5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Batu Bata
1. Pengertian Batu Bata
Batu bata merupakan salah satu elemen (material) pendukung dalam
pendirian sebuah bangunan, terbuat dari tanah hitam (humus) dan tanah
kuning (tanah liat).Bahan utama batu merah adalah tanah dan air.Bentuk
dan ukuran tanah bervariasi.(Subandi, 2013).
Batu bata merah adalah salah satu unsur bangunan dalam pembuatan
konstruksi bangunan yang terbuat dari tanah lempung/tanah liat ditambah
air dengan atau tanpa bahan campuran lain melalui beberapa tahap
pengerjaan,seperti menggali, mengolah, mencetak, mengeringkan,
membakar pada temperatur tinggi hingga matang dan berubah warna,
serta akan mengeras seperti batu setelah didinginkan hingga tidak dapat
hancur lagi bila direndam dalam air. (Ramli, 2007).
Definisi batu bata menurut SNI 15-2094-2000, SII-0021-78 merupakan
suatu unsur bangunan yang diperuntukkan pembuatan konstruksi
bangunan dan yang dibuat dari tanah dengan atau tanpa campuran bahan-
bahan lain, dibakar cukup tinggi, hingga tidak dapat hancur lagi bila
direndam dalam air.
6
2. Tanah Lempung/Tanah Liat
Tanah Lempung atau tanah liat ini merupakan bahan utama material dari
pembuatan batu bata.
3. Standar Batu Bata
Pembuatan batu bata harus memiliki standardisasi, karena dalam
pembuatan batu bata merupakan syarat mutlak dan menjadi suatu acuan
penting dari sebuah industri di suatu negara khususnya di Indonesia.
Standardisasi menurut Organisasi Internasional (ISO) merupakan proses
penyusunan dan pemakaian aturan-aturan untuk melaksanakan suatu
kegiatan secara teratur demi keuntungan dan kerjasama semua pihak yang
berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan ekonomi keseluruhan
secara optimum dengan memperhatikan kondisi-kondisi fungsional dan
persyaratan keamanan. (Suwardono, 2002).
Adapun syarat-syarat batu bata dalam SNI 15-2094-2000 dan SII-0021-78
meliputi beberapa aspek seperti :
a. Sifat Tampak
Batu bata merah harus berbentuk prisma segi empat panjang,
mempunyai rusuk-rusuk yang tajam dan siku, bidang sisinya harus
datar, tidak menunjukkan retak-retak.
b. Ukuran dan Toleransi
Standar Bata Merah di Indonesia oleh BSN (Badan Standardisasi
Nasional) nomor 15-2094-2000 menetapkan suatu ukuran standar
untuk bata merah sebagai berikut :
7
Tabel 1. Ukuran dan Toleransi Bata Merah Pasangan Dinding
Modul Tebal (mm) Lebar (mm) Panjang (mm)
M-5a
M-5b
M-6a
M-6b
M-6c
M-6d
65 + 2
65 + 2
52 + 3
55 + 3
70 + 3
80 + 3
90 + 3
100 + 3
110 + 4
110 + 6
110 + 6
110 + 6
190 + 4
190 + 4
230 + 4
230 + 5
230 + 5
230 + 5
Sumber: SNI 15-2094-2000
c. Kuat Tekan
Besarnya kuat tekan rata-rata dan koefisien variasi yang diijinkan
untuk bata merah untuk pasangan dinding sesuai Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Kekuatan Bata
Kelas Kekuatan Tekan Rata-Rata Batu Bata Koefisien
Variasi Izin Kg/cm2 N/mm
2
50
100
150
50
100
150
5,0
10
15
22%
15%
15%
Sumber :(SNI 15-2094-2000)
d. Garam Yang Membahayakan
Garam yang mudah larut dan membahayakan : Magnesium Sulfat
(MgSO4), Natrium Sulfat (Na2SO4), Kalium Sulfat (K2SO4), dan kadar
garam maksimum 1,0%, tidak boleh menyebabkan lebih dari 50%
permukaan batu bata tertutup dengan tebal akibat pengkristalan
garam.
8
e. Kerapatan Semu
Kerapatan semu minimum bata merah pasangan dinding 1,2
gram/cm3.
f. Penyerapan Air
Penyerapan air maksimum bata merah pasangan dinding adalah 20%.
4. Proses Pembakaran Batu Bata
Dari seluruh proses pembuatan batu bata, maka pada tahap pembakaran
adalah tahap yang paling menentukan berhasilnya tidak usaha ini. Jika
pembakaran gagal, maka pengusaha akan mengalami kerugian total.
Karena, bahan pembuatan batu bata hanya dibakar sekali, jika tidak
matang sepenuhnya, maka bahan pembuatan batu bata tersebut tidak dapat
dimatangkan lagi dengan pembakaran yang kedua.
Pembakaran batu bata dapat dilakukan dengan menyusun batu bata secara
bertingkat dan bagian bawah tumpukan itu diberi terowongan untuk kayu
bakar. Bagian samping tumpukan ditutup dengan batu bata setengah
matang dari proses pembakaran sebelumnya atau batu bata yang sudah
jadi. Sedangkan bagian atasnya ditutup dengan batang padi dan lumpur
tanah liat.
Saat kayu bakar telah menjadi bara menyala, maka bagian dapur atau
lubang tempat pembakaran tersebut di tutup dengan lumpur tanah
lempung/tanah liat. Tujuannya agar panas dan semburan api selalu
mengangah dalam tumbukan bata. Proses pembakaran ini memakan waktu
1 – 2 hari tergantung jumlah batu bata yang dibakar.
9
Pada saat musim kemarau, proses penjemuran tanah liat itu hanya
memerlukan waktu sekitar dua hari. Namun, saat musim hujan proses
penjemuran tanah liat itu bisa memakan waktu hingga sepekan lebih.
Proses yang terakhir yaitu membakar tanah liat yang telah dijemur.
Cetakan tanah liat yang sudah berbentuk persegi panjang itu ditata
sedemikian rupa di atas tungku pembakaran dan proses pembakaran batu
bata memerlukan waktu lebih lama dibanding pada pembakaran saat
musim kemarau.
B. Tanah
1. Pengertian Tanah
Tanah dari pandangan ilmu Teknik Sipil merupakan himpunan
mineral, bahan organik dan endapan-endapan yang relative lepas (loose)
yang terletak di atas batu dasar (bedrock) (Hardiyatmo, 1992).
Tanah didefinisikan secara umum adalah kumpulan dari bagian-bagian
yang padat dan tidak terikat antara satu dengan yang lain (diantaranya
mungkin material organik) rongga-rongga diantara material tersebut berisi
udara dan air (Verhoef,1994).
Ikatan antara butiran yang relatif lemah dapat disebabkan oleh karbonat,
zat organik, atau oksida-oksida yang mengendap-ngendap diantara
partikel-partikel.Ruang diantara partikel-partikel dapat berisi air, udara,
ataupun yang lainnya (Hardiyatmo, 1992).
Tanah dapat didefinisikan sebagai akumulasi partikel mineral yang tidak
mempunyai atau lemah ikatan partikelnya, yang terbentuk karena
10
pelapukan dari batuan. Diantara partikel-partikel tanah terdapat ruang
kosong yang disebut pori-pori yang berisi air dan udara. Ikatan yang
lemah antara partikel – partikel tanah disebabkan oleh karbonat dan
oksida yang tersenyawa diantara partikel – partikel tersebut, atau dapat
juga disebabkan oleh adanya material organik. Bila hasil dari pelapukan
tersebut berada pada tempat semula maka bagian ini disebut sebagai
tanah sisa (residu soil). Hasil pelapukan terangkut ke tempat lain dan
mengendap di beberapa tempat yang berlainan disebut tanah bawaan
(transportation soil). Media pengangkut tanah berupa gravitasi, angin,
air, dan gletsyer. Pada saat akan berpindah tempat, ukuran dan bentuk
partikel – partikel dapat berubah dan terbagi dalam beberapa rentang
ukuran.
Proses penghancuran dalam pembentukan tanah dari batuan terjadi
secara fisis atau kimiawi. Proses fisis antara lain berupa erosi akibat
tiupan angin, pengikisan oleh air dan gletsyer, atau perpecahan akibat
pembekuan dan pencairan es dalam batuan sedangkan proses kimiawi
menghasilkan perubahan pada susunan mineral batuan asalnya. Salah
satu penyebabnya adalah air yang mengandung asam alkali, oksigen dan
karbondioksida (Wesley, 1977).
2. Klasifikasi Tanah
Sistem klasifikasi tanah itu sendiri adalah suatu sistem pengaturan
beberapa jenis tanah untuk membeda-bedakan tanah berdasarkan atas
sifat-sifat yang dimilikinyatetapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam
kelompok dan subkelompok berdasarkan pemakaiannya. Dengan adanya
11
sistem klasifikasi memberikan suatu bahasa yang mudah untuk
menjelaskan secara singkat mengenai sifat-sifat umum tanah yang sangat
bervariasi tanpa penjelasan yang rinci. Klasifikasi umumnya di dasarkan
pada sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti distribusi ukuran
butiran dan plastisitas.
Ada beberapa macam sistem klasifikasi tanah yang umumnya digunakan
sebagai hasil pengembangan dari sistem klasifikasi yang sudah ada.
Beberapa sistem tersebut memperhitungkan distribusi ukuran butiran dan
batas-batas Atterberg, sistem-sistem tersebut adalah sistem klasifikasi
AASHTO (American Association of State Highway and Transportation
Official) dan sistem klasifikasi tanah unified (USCS).
a. Sistem Klasifikasi AASTHO
AASHTO(American Association of State Highway and Transportation
Official) merupakan sistem klasifikasi yang dikembangkan pada tahun
1929 sebagai Public Road Administrasion Classification System. Pada
sistem klasifikasi AASTHO ini telah mengalami beberapa perbaikan,
adapun yang berlaku saat ini adalah yang diajukan oleh Commite on
Classification of Material for Subgrade and Granular Type Road of
the Highway Research Board pada tahun 1945 (ASTM Standar No. D-
3282, AASHTO model M145).
Sistem Klasifikasi AASHTO membagi tanah ke dalam 8 kelompok,
A-1 sampai A-7 termasuk sub-sub kelompok. Tanah yang
diklasifikasikan ke dalam A-1, A-2, dan A-3 adalah tanah berbutir di
12
mana 35 % atau kurang dari jumlah butiran tanah tersebut lolos
ayakan No. 200. Tanah dimana lebih dari 35 % butirannya tanah lolos
ayakan No. 200 diklasifikasikan ke dalam kelompok A-4, A-5 A-6,
dan A-7. Butiran dalam kelompok A-4 sampai dengan A-7 tersebut
sebagian besar adalah lanau dan lempung.
Tanah-tanah dalam tiap kelompoknya yang dihitung dengan rumus-
rumus empiris. Pengujian yang digunakan hanya analisis saringan dan
batas-batas Atterberg. Sistem klasifikasi AASHTO.
Pada sistem klasifikasi AASHTO ini bermanfaat untuk menentukan
kualitas tanah guna pekerjaan jalan yaitu lapis dasar (subbase) dan
tanah dasar (subgrade). Sistem klasifikasi ini didasarkan pada kriteria
di bawah ini :
1) Ukuran Butir
Kerikil : bagian tanah yang lolos ayakan diameter 75 mm
(3in) dan yang tertahan pada ayakan No. 10 (2 mm).
Pasir : bagian tanah yang lolos ayakan No. 10 (2 mm) dan
yang tertahan pada ayakan No. 200 (0.075 mm).
Lanau dan lempung : bagian tanah yang lolos ayakan No.
200.
2) Plastisitas
Nama berlanau dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari
tanah mempunyai indeks plastisitas (IP) sebesar 10 atau kurang.
Nama berlempung dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari
13
tanah mempunyai indeks plastis indeks plastisitasnya 11 atau
lebih.
Gambar 1. Nilai - Nilai Batas Atterberg Untuk SubkelompokTanah
3) Batuan dengan ukuran lebih besar dari 75 mm di temukan di
dalam contoh tanah yang akan ditentukan klasifikasi tanahnya,
maka batuan tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu. Tetapi,
persentase dari batuan yang dikeluarkan tersebut harus dicatat.
Apabila sistem klasifikasi AASHTO dipakai untuk
mengklasifikasikan tanah, maka data dari hasil uji dicocokkan dengan
angka-angka yang diberikan dalam Tabel 1 dari kolom sebelah kiri ke
kolom sebelah kanan hingga ditemukan angka-angka yang sesuai.
14
b. Sistem Klasifikasi Tan ah Unified (USCS)
Sistem klasifikasi tanah unified atau Unified Soil Classification System
(USCS)diajukan pertama kali oleh Casagrande dan kemudian
dikembangkan oleh United State Bureau of Reclamation (USBR) dan
United State Army Corps of Engineer (USACE). ASTM atau
American Society for Testing and Materials telah memakai USCS
sebagai metode standard untuk mengklasifikasikan tanah. Dalam
USCS, suatu tanah diklasifikasikan dalam dua kategori utama yaitu :
i. Tanah berbutir kasar (coarse-grained soils) yang terdiri atas kerikil
dan pasir yang kurang dari 50% tanah lolos saringan No. 200
(F200< 50%). Simbol kelompok diawali dengan G untuk kerikil
(gravel) atau tanah berkerikil (gravelly soil) atau S untuk pasir
(sand) atau tanah berpasir (sandy soil).
ii. Tanah berbutir halus (fine-grained soils) yang mana lebih dari 50%
tanah lolos saringan No. 200 (F200 ≥ 50%). Simbol kelompok
diawali dengan M untuk lanau (silt), C untuk lempung (clay), O
untuk lanau atau lempung dengan organik rendah (OL) sampai
organik tinggi (OH). Simbol Pt digunakan untuk gambut (peat).
Simbol lain yang digunakan untuk klasifikasi adalah W - untuk
gradasi baik (well graded), P - gradasi buruk (poorly graded), L -
plastisitas rendah (low plasticity) dan H - plastisitas tinggi (high
plasticity).
15
Klasifikasi sistem tanah unified secara visual di lapangan sebaiknya
dilakukan pada setiap pengambilan contoh tanah. Hal ini berguna
di samping untuk dapat menentukan pemeriksaan yang mungkin
perlu ditambahkan, juga sebagai pelengkap klasifikasi yang di
lakukan di laboratorium agar tidak terjadi kesalahan label.
C. Tanah Lempung
1. Definisi Tanah Lempung
Beberapa pendapat para peneliti mengenai definisi dari tanah lempung,
yaitu:
a. Tanah lempung atau tanah liat adalah partikel mineral bekerangka
dasar silikat yang berdiameter kurang dari 4 mikrometer. Lempung
mengandung silika atau alumunium yang halus. Unsur – unsur ini,
silikon, oksigen, dan alumunium adalah unsur yang paling banyak
menyusun kerak bumi. Lempung terbentuk dari proses pelapukan
batuan silika oleh asam karbonat dan sebagian dihasilkan dari aktivitas
panas bumi. Lempung membentuk gumpalan keras saat kering dan
lengket apabila basah terkena air. Sifat ini ditentukan oleh jenis
mineral lempung yang mendominasinya. Mineral lempung
digolongkan berdasarkan susunan lapisan oksida silikon dan oksida
alumunium yang membentuk kristalnya. Golongan 1:1 memiliki
lapisan satu oksida silikon dan satu oksida alumunium, sementara
golongan 2:1 memiliki dua lapis golongan oksida silikon yang
mengapit satu lapis oksida alumunium.
16
Tabel 3. Sistem Klasifikasi Unified
Divisi Utama Simbol Nama Umum Kriteria Klasifikasi
Tan
ah
berb
uti
r k
asa
r≥ 5
0%
bu
tira
n
tert
ah
an
sari
ng
an
No
. 2
00
Keri
kil
50
%≥
fra
ksi
kasa
r
tert
ah
an
sari
ng
an
No
. 4
Keri
kil
bers
ih
(han
ya k
eri
kil
)
GW
Kerikil bergradasi-baik dan
campuran kerikil-pasir, sedikit
atau sama sekali tidak
mengandung butiran halus
Kla
sifi
kasi
berd
asa
rkan
pro
sen
tase
bu
tira
n h
alu
s ;
Ku
ran
g d
ari
5%
lo
los
sari
ng
an
no
.20
0:
GM
,
GP
, S
W, S
P.
Leb
ih d
ari
12
% l
olo
s sa
rin
gan
no
.20
0 :
GM
, G
C, S
M,
SC
. 5
% -
12
% l
olo
s
sari
ng
an
No
.200
: B
ata
san
kla
sifi
kasi
yan
g m
em
pu
ny
ai
sim
bo
l d
ob
el
Cu = D60 > 4
D10
Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3
D10 x D60
GP
Kerikil bergradasi-buruk dan
campuran kerikil-pasir, sedikit
atau sama sekali tidak
mengandung butiran halus
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk
GW K
eri
kil
den
gan
Bu
tira
n h
alu
s
GM Kerikil berlanau, campuran
kerikil-pasir-lanau
Batas-batas
Atterberg di
bawah garis A
atau PI < 4
Bila batas
Atterberg berada
didaerah arsir
dari diagram
plastisitas, maka
dipakai dobel
simbol GC
Kerikil berlempung, campuran
kerikil-pasir-lempung
Batas-batas
Atterberg di
bawah garis A
atau PI > 7
Pasi
r≥ 5
0%
fra
ksi
kasa
r
l
olo
s sa
rin
gan
No
. 4
Pasi
r b
ers
ih
(h
an
ya p
asi
r)
SW
Pasir bergradasi-baik , pasir
berkerikil, sedikit atau sama
sekali tidak mengandung butiran
halus
Cu = D60 > 6
D10
Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3
D10 x D60
SP
Pasir bergradasi-buruk, pasir
berkerikil, sedikit atau sama
sekali tidak mengandung butiran
halus
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk
SW
Pasi
r
den
gan
bu
tira
n
halu
s
SM Pasir berlanau, campuran pasir-
lanau
Batas-batas
Atterberg di
bawah garis A
atau PI < 4
Bila batas
Atterberg berada
didaerah arsir
dari diagram
plastisitas, maka
dipakai dobel
simbol SC
Pasir berlempung, campuran
pasir-lempung
Batas-batas
Atterberg di
bawah garis A
atau PI > 7
Tan
ah
berb
uti
r h
alu
s
50
% a
tau
leb
ih l
olo
s ay
ak
an
No
. 2
00
Lan
au
dan
lem
pu
ng
bata
s cair
≤ 5
0%
ML
Lanau anorganik, pasir halus
sekali, serbuk batuan, pasir halus
berlanau atau berlempung
Diagram Plastisitas:
Untuk mengklasifikasi kadar butiran halus yang
terkandung dalam tanah berbutir halus dan kasar.
Batas Atterberg yang termasuk dalam daerah yang
di arsir berarti batasan klasifikasinya menggunakan
dua simbol.
60
50 CH
40 CL
30 Garis A CL-ML
20
4 ML ML atau OH
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Garis A : PI = 0.73 (LL-20)
CL
Lempung anorganik dengan
plastisitas rendah sampai dengan
sedang lempung berkerikil,
lempung berpasir, lempung
berlanau, lempung “kurus” (lean
clays)
OL
Lanau-organik dan lempung
berlanau organik dengan
plastisitas rendah
Lan
au
dan
lem
pu
ng
bata
s cair
≥ 5
0%
MH
Lanau anorganik atau pasir halus
diatomae, atau lanau diatomae,
lanau yang elastis
CH
Lempung anorganik dengan
plastisitas tinggi, lempung
“gemuk” (fat clays)
OH
Lempung organik dengan
plastisitas sedang sampai dengan
tinggi
Tanah-tanah dengan
kandungan organik sangat
tinggi
PT
Peat (gambut), muck, dan tanah-
tanah lain dengan kandungan
organik tinggi
Manual untuk identifikasi secara visual dapat
dilihat di ASTM Designation D-2488
Bata
s P
last
is (
%)
Batas Cair (%)
17
Mineral lempung golongan 2:1 memiliki sifat elastis yang kuat,
menyusut saat kering dan memuai saat basah. Karena perilaku inilah
beberapa jenis tanah dapat membentuk kerutan – kerutan atau “pecah –
pecah” bila kering. (Wikipedia Indonesia).
b. Tanah Lempung merupakan tanah dengan ukuran mikronis sampai
dengan sub mikronis yang berasal dari pelapukan unsur – unsur
kimiawi penyusutan batuan. Tanah lempung sangat keras dalam
keadaan kering, dan tak mudah terkelupas hanya dengan jari tangan.
Permeabilitas lempung sangat rendah, bersifat plastis pada kadar air
sedang. Di Amerika bagian barat, untuk lempung yang keadaan plastis
ditandai dengan wujudnya bersabun seperti terbuat dari lilin disebut
“gumbo”. Sedangkan pada keadaan air yang lebih tinggi tanah
lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak. (Terzaghi
dan Peck, 1987).
c. Mendefinisikan tanah lempung sebagai deposit yang mempunyai
partikel berukuran lebih kecil atau sama dengan 0,002 mm dalam
jumlah lebih dari 50%. (Bowles, 1991).
d. Mengatakan sifat – sifat yang dimiliki dari tanah lempung yaitu antara
lain ukuran butiran halus lebih kecil dari 0,002 mm, permeabilitas
rendah, kenaikan air kapiler tinggi, bersifat sangat kohesif, kadar
kembang susut yang tinggi dan proses konsolidasi lambat. Dengan
adanya pengetahuan mengenai mineral tanah tersebut, pemahaman
mengenai perilaku tanah lempung dapat diamati. (Hardiyatmo, 1992).
18
e. Dalam klasifikasi tanah secara umum, partikel tanah lempung memiliki
diameter 2 m atau sekitar 0,002 mm (USDA, AASHTO, USCS).
Namun demikian, dibeberapa kasus partikel berukuran 0,002 mm
sampai 0,005 mm masih digolongkan sebagai partikel lempung
(ASTM-D-653). Disini tanah diklasifikasikan sebagai lempung hanya
berdasarkan ukuran saja, namun belum tentu tanah dengan ukuran
partikel lempung tersebut juga mengandung mineral – mineral
lempung. Jadi, dari segi mineral tanah dapat juga disebut sebagai tanah
bukan lempung (non clay soil) meskipun terdiri dari partikel – partikel
yang sangat kecil (quartz, feldspar), mika dapat berukuran sub
mikroskopis tetapi umumnya tidak bersifat plastis. Partikel – partikel
dari mineral lempung umumnya berukuran koloid, merupakan gugusan
kristal berukuran mikro yaitu < 1m (2m merupakan batas atasnya).
Tanah lempung merupakan hasil proses pelapukan mineral batuan
induknya, yang salah satu penyebabnya adalah air yang mengandung
asam atau alkali, oksigen, dan karbondioksida. (Shvoong.com).
2. Mineral Lempung
Tanah lempung terdiri sekumpulan partikel-partikel mineral lempung yang
berbentuk lempeng pipih dan merupakan partikel dari mika, mineral
lempung dan mineral lainnya. Partikel lempung dapat berbentuk seperti
lembaran yang mempunyai permukaan khusus. Karena itu lempung
mempunyai sifat sangat dipengaruhi oleh faktor utama yang digunakan
untuk mengontrol ukuran, bentuk, sifat fisik, sifat kimia dan partikel tanah
19
adalah mineralogi (Mitchell, 1976). Sifat fisik dan mekanis tanah lempung
dikendalikan oleh mineral yang terkandung di tanah tersebut. Mineral
tersebut terutama terdiri dari alumunium silikat yang terdiri dari silikat
tetrahedral dan alumunium oktahedral. Mineral-mineral ini terdiri dari
kristal dimana atom-atom yang membentuknya berada dalam suatu pola
geometri tertentu. Setiap unit tetrahedral terdiri dari empat atom oksigen
mengelilingi satu atom silikon, sedangkan unit oktahedral terdiri dari enam
atom oksigen yang mengelilingi satu atom silikon, seperti yang
ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar 2. Rangkaian Dasar Oktahedral dan Tetrahedral
Mineral-mineral lempung merupakan produk pelapukan batuan yang
terbentuk dari penguraian kimiawi mineral-mineral silikat lainnya dan
selanjutnya terangkut ke lokasi pengendapan oleh berbagai kekuatan.
Mineral-mineral lempung digolongkan ke dalam golongan besar, yaitu
kaolinite, smectit (mont morill onit), dan illit (mika hidrat).
20
3. Sifat Tanah Lempung Pada Pembakaran
Tanah lempung yang dibakar akan mengalami perubahan seperti berikut
(Nuraisyah, 2010) :
a. Pada temperatur + 150oC, terjadi penguapan air pembentuk yang
ditambahkan dalam tanah lempung pada pembentukan setelah menjadi
batu bata mentah.
b. Pada temperatur antara 400oC – 600
oC, air yang terikat secara kimia
dan zat-zat lain yang terdapat dalam tanah lempung akan menguap.
c. Pada temperatur diatas 800oC, terjadi perubahan-perubahan kristal dari
tanah lempung dan mulai terbentuk bahan gelas yang akan mengisi
pori-pori sehingga batu bata menjadi padat dan keras.
d. Senyawa-senyawa besi akan berubah menjadi senyawa yang lebih stabil
dan umumnya mempengaruhi warna batu bata.
e. Tanah lempung yang mengalami susut kembali disebut susut bakar.
Susut bakar diharapkan tidak menimbulkan cacat seperti perubahan
bentuk (melengkung), pecah-pecah dan retak. Tanah lempung yang
sudah dibakar tidak dapat kembali lagi menjadi tanah lempung oleh
pengaruh udara maupun air.
D. Fly Ash (Abu Terbang)
1. PengertianFly Ash (abu terbang)
Fly ash (abu terbang) adalah salah satu residu yang dihasilkan dalam
pembakaran dan terdiri dari partikel – partikel halus seperti amorf dan abu
21
tersebut merupakan bahan anorganik yang terbentuk dari perubahan bahan
mineral (mineral matter) karena proses pembakaran.
Fly ash merupakan material yang memiliki ukuran butiran yang halus,
berwarna keabu-abuan dan diperoleh dari hasil pembakaran batubara.
Komponen fly ash ini bervariasi dikarenakan mengandung unsur kimia
antara lain Silika (SiO2), Alumina (Al2O3), Ferro Oksida (Fe2O3), dan
Kalsium Oksida (CaO), juga mengandung unsur tambahan lain yaitu
Magnesium Oksida (MgO), Titanium Oksida (TiO2), Alkalin (Na2o dan
K2O), Sulfur Trioksida (SO3), Pospor Oksida (P2O5), dan Carbon. Fly
ash banyak mengandung Silika yang amorf (>40%) dan dapat memberikan
sumbangan keaktifan (mempunyai sifat pozzolan untuk dibuat bata/block
dengan campuran kapur padam), sehingga dengan mudah mengadakan
kontak dan bereaksi dengan kapur yang ditambahkan air membentuk
senyawa kalsium silikat. Senyawa inilah yang bertanggung jawab pada
proses pengerasan caampuran atau massa (Suhanda dan Hartono, 1999).
Menurut SNI S-15-1990-F tentang spesifikasi abu terbang sebagai bahan
tambahan untuk campuran beton, abu batubara (fly ash) digolongkan
menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Kelas F : Abu terbang (fly ash) yang dihasilkan dari pembakaran
batubara jenis antrasit dan bituminus.
2. Kelas C : Abu terbang (fly ash) yang dihasilkan dari pembakaran
batubara jenis lignite dan subtuminus.
3. Kelas N :Pozzolan alam, seperti tanah diatome, shale, tufa, abu
gunung merapi atau pumice.
22
Sebenarnya abu terbang tidak memiliki kemampuan mengikat seperti
semen, namun dengan kehadiran air dan ukuran yang halus, oksida silika
yang dikandung di dalam abu batubara akan bereaksi secara kimia dengan
kalsium hidroksida yang terbentuk dari proses hidrasi semen dan akan
menghasilkan zat yang memiliki kemampuan yang mengikat.
Abu batubara dapat digunakan pada beton sebagai material terpisah atau
sebagai bahan dalam campuran semen dengan tujuan untuk memperbaiki
sifat-sifat beton. Fungsi abu batubara sebagai bahan aditif dalam beton
bisa sebagai pengisi (filler) yang akan menambah internal kohesi dan
mengurangi porositas daerah transisi yang merupakan daerah terkecil
dalam beton, sehingga beton menjadi lebih kuat. Pada umur sampai
dengan 7 hari, perubahan fisik abu batubara akan memberikan konstribusi
terhadap perubahan kekuatan yang terjadi pada beton, sedangkan pada
umur 7 sampai dengan 28 hari, penambahan kekuatan beton merupakan
akibat dari kombinasi antara hidrasi semen dan reaksi pozzolan.
Partikel fly ash kebanyakan berbentuk seperti butiran kaca, padat,
berlubang, berbentuk bola kosong berlubang yang disebut cenosphere,
atau berbentuk bulatan yang sedikit mengandung fly ash disebut
plerospheres. Butiran fly ash sangat halus (silt size 0,074 – 0,005 mm) dan
sebagian besar lolos ayakan no. 325 (45 mm) sehinngga cocok sebagai
pozzolan pada beton. Fly ash yang dikumpulkan dengan cara elektrik akan
mempunyai ukuran butiran yang lebih halus, kandungan kimia yang lebih
tinggi dan unsur karbon yang lebih kecil dibanding dengan yang
dikumpulkan secara mekanik. Fly ash memiliki berat jenis antara 2,15 –
23
2,8 g/cm3. Berat jenis ini umumnya ditentukan dari total berat unsur-unsur
kimia yang dikandung dan besarnya volume bola-bola yang terbentuk.
Menurut PP 18 tahun 1999 juncto PP 85 tahun 1999 abu terbang (fly ash)
digolongkan sebagai limbah B-3 (bahan berbahaya dan beracun) dengan
kode limbah D 223 dengan bahan pencemar utama adalah logam berat,
yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.
2. Manfaat Fly Ash (abu terbang)
Manfaat fly ash (abu terbang) ini sudah mengalami berbagai penelitian
yang sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomis serta
mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan. Pada umumnya fly ash
(abu terbang) ini memiliki pemanfaatan yang bermacam – macam untuk
bidang konstruksi maupun lainnya, seperti :
Batu Bata
Batu bata dari fly ash telah digunakan untuk konstruksi rumah di
Windhoek, Nambia sejak tahun 1970, akan tetapi batu bata tersebut
akan cenderung untuk gagal atau menghasilkan bentuk yang tidak
teratur. Hal ini terjadi ketika batu bata tersebut kontak dengan air dan
reaksi kimia yang terjadi menyebabkan batu bata tersebut
memuai.Pada Mei 2007, Henry Liu pensiunan Insinyur Sipil dari
Amerika mengumumkan bahwa dia menemukan sesuatu yang baru
terdiri dari fly ash dan air. Dipadatkan pada 4000 psi dan diperam 24
jam pada temperatur 668°C steam bath, kemudian dikeraskan dengan
bahan air entrainment, batu bata berakhir untuk lebih dari 100 freeze-
24
thaw cycle. Metode pembuatan batu bata ini dapat dikatakan
menghemat energi, mengurangi polusi mercuri dan biayanya 20%
lebih hemat dari pembuatan batu bata tradisional dari lempung. Batu
bata dari fly ash kelas C dan di press dengan mesin Baldwin
Hydraulic.
E. Abu Sekam Padi
Indonesia merupakan negara agraris dengan mata pencaharian penduduk
terbanyak adalah sebagai petani tanaman padi. Jumlah panen padi pada tahun
2013 ini mencapai 72,1 juta metrik ton atau meningkat 4,4% dibandingkan
tahun lalu, yang sebanyak 69,05 juta metrik ton. Dari hasil yang sebesar itu,
dapat dibayangkan jumlah limbah sekam padi yang akan dihasilkan. Namun
penggunaan limbah sekam padi yang ada masih terbatas yakni sebagai bahan
pembakar batu merah atau untuk keperluan pembuatan abu gosok.
Pemanfaatan yang masih sangat terbatas ini sangat disayangkan, limbah abu
sekam padi ini memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi bila
dimanfaatkan dengan baik.
Beberapa penelitian telah melakukan kajian analisa pemanfaatan limbah abu
sekam padi ini. Limbah sekam padi sebagai produk pertanian mengandung
kurang lebih 20 – 25% silika. Material ini apabila dibiarkan pada ladang padi
dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan kerusakan lingkungan. Namun
sebenarnya senyawa silika yang dimiliki abu sekam padi sangat bermanfaat di
dalam bidang kostruksi, karena bahan yang mengandung silika dapat menjadi
pengganti semen yang mana memiliki harga yang sangat tinggi. Dengan
25
menggunakan abu sekam dengan komposisi 15% dari berat semen akan
memberikan peningkatan kuat tekan beton minimal 20%. Selain
meningkatkan kuat tekan beton, penggunaan abu sekam juga akan
menghemat biaya karena abu sekam dapat menggantikan sejumlah semen
yang digunakan. Keuntungan lain yang didapat dari mengganti semen dengan
abu sekam padi adalah mengurangi pencemaran udara, karena hidrasi semen
dapat menghasilkan 40% dari massa semen. Cara memperoleh abu sekam
juga cukup mudah, Sekam hanya perlu dibakar pada suhu 500C selama
kurang lebih 100 menit.
Adapun pemanfaatan abu sekam padi, antara lain :
a. Bahan Campuran Mortar Pasangan Bata
Kulit padi (sekam) merupakan salah satu bahan/material sisa dari proses
pengolahan padi yang sering dianggap sebagai limbah. Besarnya konsumsi
beras sebagai makanan pokok dan meningkatnya produksi padi dapat
memberikan perkiraan makro akan jumlah material tersebut dari tahun ke
tahun. Berdasarkan data dari BPS, produksi padi di Indonesia pada tahun
2004 mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling (GKG), dimana dapat
menghasilkan sekam padi sebanyak 20% - 25% dari berat keseluruhan.
Sekam padi umumnya hanya digunakan sebagai bahan bakar utama atau
tambahan pada industri pembuatan bata atau tahu, bahan dekorasi, media
tumbuh bagi tanaman hias, atau bahkan dibuang.Sudah diketahui bahwa
sekam padi mengandung banyak silika amorf apabila dibakar mencapai
suhu 500A – 700AC dalam waktu sekitar 1 sampai 2 jam. Oleh karena
26
itu, kini mulai dikembangkan pemanfaatan abu sekam padi (sisa
pembakaran sekam padi) dalam berbagai bidang, salah satunya di bidang
konstruksi. Reaktivitas antara silika dalam abu sekam padi dengan kalsium
hidroksida dalam pasta semen dapat berpengaruh pada peningkatan mutu
beton. (Hrc Priyosulistyo,2001 dalam 2005 ITB Faculty Civil Engineering
and Planning).
Penelitian ini melakukan eksperimen berupa penggunaan abu sekam padi
(ASP) sebagai bahan pengganti sebagian semen pada mortar pasangan bata
ASP ditambahkan rencana campuran mortar berdasarkan presentase berat,
dengan presentase penambahan ASP tersebut dibandingkan terhadap
mortar standar (tanpa penambahan ASP). Hasilnya menunjukkan bahwa
campuran dengan penambahan kadar sebesar 5% menggantikan berat
semen keseluruhan merupakan campuran yang memiliki kekuatan tekan
rata – rata yang paling tinggi dan tingkat kelecakan (workability) yang
tergolong baik dibandingkan dari campuran yang lain pada umur 28 hari.
Akan tetapi dari segi biaya, mortar ASP 5% tidak memiliki potensi untuk
dapat mengurangi biaya konstruksi, malah cenderung untuk meningkatkan
biaya. (Hrc Priyosulistyo,2001 dalam 2005 ITB Faculty Civil Engineering
and Planning).
b. Pemanfaatan Abu Sekam Padi Sebagai Bahan Aditif pada Beton.
Beton merupakan campuran agregat kasar, agregat halus, semen dan air.
Beton banyak digunakan dalam bidang konstruksi misalnya gedung, jalan,
waduk dan bendungan. Karena begitu luas peranan beton dalam bidang
konstruksi, maka banyak pihak yang mencari beton berkualitas tinggi agar
27
menghasilkan sebuah infrastruktur yang baik. Kualitas tinggi yang
dimaksud pada campuran beton adalah yang memiliki kekuatan tekan,
durabilitas dan workabilitas yang tinggi serta dengan harga yang
seekonomis mungkin. Kekuatan, keawetan dan sifat beton tergantung pada
bahan – bahan dasarnya (agregat kasar, agregat halus, semen dan air)
yakni nilai perbandingan komposisinya, cara pengadukan maupun cara
pengerjaan selama penuangan adukan beton, cara pemadatan dan cara
perawatan (curing) selama proses pekerjaan.
Top Related