BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN
HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pengertian Akuntansi
Menurut Agoes dan Estralita Trisnawati (2014:1), akuntansi adalah:
“Sistem informasi yang menghasilkan laporan kepada pihak-pihak yang berkepentingan mengenai aktivitas ekonomi dan kondisi perusahaan. Akuntansi mengacu pada tiga aktivitas dasar yaitu mengidentifikasi, merekam, dan mengkomunikasikan kejadian ekonomi yang terjadi pada organisasi untuk kepentingan pihak pengguna laporan keuangan yang terdiri dari pengguna internal dan eksternal.”
Definisi akuntansi seperti yang diberikan oleh Komite Terminologi dari
American Institute of Certified Public Accountants dalam Riahi (2011:50) adalah
sebagai berikut :
“Akuntansi adalah suatu seni pencatatan, pengklasifikasian, dan pengikhtisaran dalam cara yang signifikan dan satuan mata uang, transaksi-transaksi, dan kejadian-kejadian yang paling tidak sebagian diantaranya, memiliki sifat keuangan, dan selanjutnya menginterpretasikan hasilnya”.
Menurut Mursyidi (2010:17):
“Akuntansi adalah proses pengidentifikasian data keuangan, memproses
pengolahan dan penganalisisan data yang relevan untuk diubah menjadi
informasi yang dapat digunakan untuk pembuatan keputusan.”
21
22
Ruang lingkup akuntansi sebagaimana yang dijelaskan oleh definisi di atas
tampak seperti terbatas, sebuah perspektif yang lebih luas dinyatakan dalam
definisi yang menggambarkan akuntansi menurut Riahi (2011:50):
“Proses pengidentifikasian, pengukuran, dan pengkomunikasian informasi
ekonomi sehingga memungkinkan adanya pertimbangan dan pengambilan
keputusan berdasarkan informasi oleh para pengguna informasi tersebut.”
2.1.1.1 Akuntansi Syariah
Menurut Prof. Dr. Omar Abdullah Zaid (2012:57) mendefinisikan akuntansi
sebagai berikut:
”Muhasabah, yaitu suatu aktifitas yang teratur berkaitan dengan pencatatan transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, keputusan-keputusan yang sesuai dengan syari’at dan jumlah-jumlahnya, di dalam catatan-catatan yang representatif, serta berkaitan dengan pengukuran dengan hasil-hasil keuangan yang berimplikasi pada transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, dan keputusan-keputusan tersebut untuk membentu pengambilan keputusan yang tepat.”
Menurut Sofyan S. Harahap (2013:12) mendefinisikan:
”Akuntansi Islam atau Akuntansi syariah pada hakekatnya adalah penggunaan akuntansi dalam menjalankan syariah Islam. Akuntansi syariah ada dua versi, Akuntansi syariah yang yang secara nyata telah diterapkan pada era dimana masyarakat menggunakan sistem nilai Islami khususnya pada era Nabi SAW, Khulaurrasyidiin, dan pemerintah Islam lainnya. Kedua Akuntansi syariah yang saat ini muncul dalam era dimana kegiatan ekonomi dan sosial dikuasai (dihegemony) oleh sistem nilai kapitalis yang berbeda dari sistem nilai Islam. Kedua jenis akuntansi itu bisa berbeda dalam merespon situasi masyarakat yang ada pada masanya. Tentu akuntansi adalah produk masanya yang harus mengikuti kebutuhan masyarakat akan informasi yang disuplainya”
23
2.1.2 Bank secara umum
Para ahli dalam bidang perbankan memberikan definisi mengenai bank yang
berbeda-beda, tetapi mempunyai tujuan yang sama. Menurut Darmawi (2011:27),
bank adalah perusahaan yang kegiatan pokoknya adalah menghimpun uang dari
masyarakat dan memberikan kredit kepada masyarakat.
Menurut Hasibuan (2009:2), bank adalah lembaga keuangan berarti bank
adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset keuangan
(financial asset) serta bermotifkan profit dan juga sosial, jadi bukan hanya
mencari keuntungan saja.
Menurut LPPI dikutip oleh Hasibuan (2009:4), bank adalah badan usaha di
bidang keuangan yang menarik uang dari masyarakat dan menyalurkannya
kembali ke masyarakat, terutama dengan cara memberikan kredit dan jasa-jasa
dalam lau lintas pembayaran dan peredaran uang.
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomer 21 Tahun 2008, pengertian bank
secara umum yaitu:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.”
Berdasarkan definisi bank menurut para ahli, maka dapat disimpulkan
bahwa bank adalah salah satu lembaga keuangan yang melayani kepentingan
masyarakat dengan menghimpun dana dalam bentuk simpanan dan
24
menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka mensejahterakan masyarakat.
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang No 10 tahun 1998 pasal 4 tentang
perbankan, tujuan dari perbankan di Indonesia yaitu:
“Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.”
Sedangkan tujuan Bank menurut Hasibuan (2009:4), tujuan bank adalah
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
rakyat.
Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang perbankan,
dijelaskan bahwa:
“Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.”
2.1.2.1 Fungsi Bank
Fungsi pokok perbankan apabila dilihat dari sudut peranan ekonominya
meliputi empat faktor, dalam buku American Institute of Banking terjemahan
bebas Ruddy Tri Santoso, (1996,2) yaitu:
25
“1. Menerima simpanan dalam bentuk tabungan (saving), Deposito Berjangka (deman deposit), dan Giro (curren account), serta mengkonversikannya menjadi rekening Koran yang fleksibel untuk dapat dipergunakan oleh masyarakat.
2. Melaksanakan transaksi pembayaran melalui perintah pembayaran (standing instructions) atau bentuk lainnya.
3. Memberikan pinjaman atau melaksanakan criteria lain disektor yang menghasilkan rate of return.
4. Menciptakan uang (money maker) melalui pemberian kredit yang dimanifestasikan dengan penciptaan uang giral.”
2.1.2.2 Tugas Pokok Bank
Tugas pokok perbankan dibawah bimbingan Bank Indonesia adalah untuk
menghimpun segala dana dari masyarakat guna diarahkan kebidang-bidang yang
mempertinggi taraf hidup rakyat. Disamping pengaturan kembali tata Perbankan
di Indonesia seperti dalam Undang-undang Perbankan No.10 Tahun 1998 yang
merupakan pembaharuan dari Undang-undang No.7 Tahun 1992, dimasukkan
sebagai pembinaan system ekonomi Indonesia yang berlandaskan Pancasila, yang
menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi yang bertujuan menciptakan
masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mencapai hal tersebut maka segala
potensi, inisiatif dan daya kreasi rakyat wajib dikembangkan sepenuhnya dalam
batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
2.1.2.3 Jenis-Jenis Bank
Dalam praktek perbankan di Indonesia saat ini terdapat beberapa jenis
perbankan yang diatur dalam Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998
dengan sebelumnya yaitu Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 maka
26
terdapat beberapa perbedaan. Namun kegiatan utama atau pokok bank sebagai
lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan
dana tidak berbeda satu dengan yang lainnya.
Menurut (Kasmir, 2008:34) adapun jenis perbankan ini dapat ditinjau dari
berbagai segi antara lain:
“1. Dilihat dari segi fungsinya.a. Bank Umum
Bank umum menurut Peraturan Bank Indonesia No. 9/7/PBI/2007 adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
b. Bank Perkreditan RakyatBank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.Kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum.
c. Bank SentralFungsi bank sentral di Indonesia di pegang oleh Bank Indonesia (BI), Bank Sentral tidak termasuk kedalam undang-undang Republik 22 Indonesia No.10 tahun 1998 tentang perbankan hal ini dikarenakan pada prinsipnya Bank Indonesia merupakan lembaga Negara yang turut berfungsi mengawasi pelaksanaan Undang-Undang tersebut, yaitu dalam kapasitasnya selaku pembinaan dan pengawas bank. Bank Sentral bersifat tidak komersial seperti halnya Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
2. Dilihat dari Segi Kepemilikan.a. Bank Milik pemerintah
Akte maupun modalnya dimiliki oleh pemerintah sehingga seluruh keuntungan bank ini dimiliki oleh pemerintah pula. Contoh bank milik pemerintah, antara lain :Bank Negara Indonesia 46 (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara(BTN).
b. Bank milik swasta nasionalBank jenis ini seluruh atau sebagian besarnya dimiliki oleh swasta nasional serta akte pendiriannya pun didirikan oleh swasta, begitu pula pembagian keuntungannya untuk keuntungan swasta pula. Contoh bank swasta nasional antara lain:Bank Muamalat, Bank Central Asia, Bank Bumi Putra, Bank Danamon, Bank Duta.
27
c. Bank milik AsingBank jenis ini merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik milik swasta asing atau pemerintah asing.Jelas kepemilikannya dimiliki oleh pihak luar negeri. Contoh Bank Asing antara lain: Deutsche Bank, American Express Bank, Bank of America, Bank of Tokyo, Bangkok Bank, Hongkong Bank.
d. Bank Milik CampuranKepemilikan saham bank campuran dimiliki oleh pihak asing dan pihak swasta nasional. Kepemilikan sahamnya secara mayoritas dipegang oleh warga negara Indonesia. Contoh bank campuran antara lain:Bank Sakura Swadarma Bank Finconesia, Mitsubishi Buana Bank, Interpacific Bank.
e. Bank Milik KoperasiKepemilikan saham-saham bank ini dimiliki oleh perusahaan yang berbadan hukum koperasi. Sebagai contoh: Bank Umum Koperasi Indonesia.
3. Dilihat dari Segi Statusa. Bank Devisa
Merupakan bank yang dapat melaksanakan transaksi ke luar negeri atau yang behubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan, misalnya transfer keluar negeri, inkaso keluar negeri, travellers cheque, pembukaan dan pembayaran Letter of Credit dan transaksi lainnya. Persyaratan untuk menjadi bank devisa ini ditentukan oleh Bank Indonesia.
b. Bank Non DevisaMerupakan bank yang belum mempunyai izin untuk melaksanakan transaksi sebagai bank devisa sehingga tidak dapat melaksanakan transaksi seperti halnya Bank Devisa. Jadi Bank Non Devisa merupakan kebalikan daripada Bank Devisa, transaksi yang dilakukan masih dalam batas-batas Negara.
4. Dilihat dari segi menentukan hargaa. Bank yang berdasarkan prinsip konvensional
Mayoritas bank yang berkembang di Indonesia dewasa ini adalah bank yang berorientasi pada prinsip konvensional. Dalam mencari keuntungan dan menentukan harga kepada para nasabahnya, bank yang berdasarkan prinsip konvensional menggunakan dua metode, yaitu:1. Menetapkan bunga sebagai harga, baik untuk produk simpanan
seperti giro, tabungan maupun deposito. Demikian pula dengan harga untuk produk pinjamannya (kredit) juga ditentukan berdasarkan tingkat suku bunga tertentu. Penentuan harga ini dikenal dengan istilah based.
2. Untuk jasa-jasa bank lainnya pihak perbankan barat menggunakan atau menerapkan berbagai biaya-biaya dalam nominal atau
28
persentase tertentu. Sistem pengenaan biaya ini dikenal dengan istilah fee based.
b. Bank yang berdasarkan prinsip syariahBagi bank yang berdasarkan prinsip syariah dalam penentuan harga produknya sangat berbeda dengan bank yang berdasarkan prinsip konvensional. Bank berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana atau pembiayaan usaha atau kegiatan perbankan lainnya. Dalam menentukan harga atau mencari keuntungan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut: 1. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah).2. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah).3.Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah).4. Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan
(ijarah).5. Pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank
oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).”
2.1.2.4 Perbedaan Bank Konvensional dengan Bank Syariah
Menurut Muhammad (2005), paling tidak ada tiga prinsip dalam operasional
bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional, terutama dalam pelayanan
terhadap nasabah, yang harus dijaga oleh bankir, yaitu:
1. Prinsip keadilan, yakni imbalan atas dasar bagi hasil dan margin
keuntungan ditetapkan atas kesepakatan bersama antara bank dan nasabah.
2. Prinsip kesederajatan, yakni nasabah penyimpan dana dan bank memiliki
hak, kewajiban, beban terhadap resiko dan keuntungan yang berimbang.
3. Prinsip ketentraman, bahwa produk bank syariah mengikuti prinsip dan
kaidah muamalah islam (bebas riba dan menetapkan zakat harta).
Syafi’I Antonio (2001:34) menyebutkan ada beberapa hal yang menjadi
perbedaan mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, yaitu:
29
Tabel 2.1
Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
No Bank Syariah Bank Konvensional
1 Melakukan investasi-investasiberdasarkan prinsip syariah.
Investasi yang dilakukan berdasarkan sistem bunga.
2 Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, sewa.
Memakai bunga.
3 Profit oriented dan falah (falah berarti mencari kemakmuran didunia dan di akhirat).
Profit oriented.
4 Hubungan dengan nasabah dalam hubungan kemitraan.
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur dan kreditur.
5 Penghimpun dana dan penyaluran dana harus seusai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah.
Tidak terdapat dewan sejenis.
2.1.3 Bank Syariah
Pengertian Bank Islam (Islamic Bank) secara umum adalah bank yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak
istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank
Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa
Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Di Indonesia secara
teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank
Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Bank Syariah juga merupakan Bank yang dalam operasionalnya berlandaskan
kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
30
Perbankan Syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan
yang dikembangkan berdasarkan syariah menurut hukum Islam. Usaha
pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk
memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta
larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (missal: usaha
yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang
tidak islami, dll), dimana dalam hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan
konvensional.
Berdasarkan Undang-Undang No.10 tahun 1998 definisi Bank Syariah
adalah Bank Syariah adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegitannya memberikan jasa lali lintas
pembayaran.
Dari beberapa pengertian bank Islam yang dikemukakan diatas, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan bank Islam atau bank syariah adalah
badan usaha yang fungsinya sebagai penghimpun dana dari masyarakat dan
penyalur dana kepada masyarakat, yang sistem dan mekanisme kegiatan
usahannya berdasarkan hokum Islam sebagaimana yang diatur dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadist.
2.1.3.1 Prinsip dan Fungi Bank Syariah
Keberadaan perbankan syariah di Indonesia selalu mengalami peningkatan
setiap tahunya. Hal ini terjadi setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 19
31
tahun 1998 tentang perbankan syariah yang menguatkan keberadaan bank syariah
di Indonesia. Bank syariah merupakan bank yang menolak adanya system bunga,
tetapi bank syariah lebih menggunakan system bagi hasil.
Di dalam pada pasal 1 ayat 13 dinyatakan bahwa:
“Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hokum Islam antara bank dengan pihak lain untuk pentimpanan dan/atau pembiayaan kegiatan usaha ataukegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank untuk pihak lain (ijarah wa itiqna).”
Prinsip yang diterapkan oleh bank islam atau bank syariah tersebut salah
satunya menjauhkan riba dalam praktek perbankan. Hukum Islam telah melarang
riba seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an surat QS. Al-Baqarah (2: 257):
“Orang yang memakan riba itu tidak dapat berdiri melainkan sebagaimana berdirinya orang yang dirasuki setan dengan terbayang-bayang karena sentuhannya. Yang demikian itu karena mereka mengatakan: “Perdagangan itu sama saja dengan riba”. Padahal Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba. Oleh karena itu, barang siapa telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya lalu ia berhenti (dari memakan riba), maka baginya apa yang telah lalu dan barang siapa mengulangi lagi (memakan riba) maka itu ahli neraka akan kekal di dalamnya.”
Dalam menjalankan aktivitas operasionalnya, menurut Rachmadi (2012:35)
bank syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
“1. Prinsip keadilanPrinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara bank dengan nasabah.
2. Prinsip kesederajatan
32
Bank syariah menempatkan nasabah menyimpan dana, nasabahpengguna dana, maupun bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, risiko, dan keuntugan yang berimbang antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana maupun bank.
3. Prinsip kententeramanProduk-produk bank syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah muamalah Islam, antara tidak adanya unsur riba serta penerapanzakat harta. Artinya nasabah akan merasakan ketenteraman lahir maupun batin.Sedangkan fungsi bank syariah menurut Rachmadi (2012:38) sebagai berikut:a. Memobilitasi tabungan masyarakat, baik domestic maupun asing.b. Menyalurkan dana tersebut secara efektif pada kegiatan-kegiatan usaha
profuktif dan menguntungkan secara financial, dengan tetap memperhatikan keinginan usaha tersebut tidak termasuk yang dilarang oleh syariah.
c. Melakukan fungsi regulator, turut mengatur mekanisme penyaluran dana ke masyarakat sesuai kebijakan Bank Indonesia, sehingga dapat mengendalikan aktivitas moneter yang sehat dan terhindar dari inflasi.
d. Menjembati keperluan pemanfaatan dana dari pemilik modal dan pihak yang memerlukan, sehingga uang dapat berfungsi untuk melancarkan perekonomian khususnya dan pembangunan umumnya.
e. Menjaga amanah yang dipercayakan kepadanya sebagai lembaga keuangan yang berdasarkan prinsip syariah.”
2.1.3.2 Produk-Produk Bank Syariah
Pada bank syariah, secara garis besar terdapat tiga kelompok produk
perbankan sebagai berikut (Muhammad dan Dwi Suwiknyo 2009:13):
“1. Produk Penghimpun DanaDalam rangka menghimpun dana dari masyarakat, bank syariah pada
dasarnya melakukan kegiatan usaha yang sama dengan bank konvensional, hanya saja perbedaannya terletak pada prinsip yang mendasarinya yaitu, prinsip syariah. Penghimpunan dan pada bank syariah dalam bentuk tabungan, deposito dan giro diselenggarakan dengan akad yang sesuai dengan prinsip yang akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Prinsip Wadi’ahPrinsip ini implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana
nasabah berlaku sebagai peminjam. Merupakan titipan murni dari penitip yang harus dijaga dan dikembalikan kapan pun sesuai kehendak penitip. Prinsip wadi’ah dalam produk syariah dapat dikembangkan menjadi 2 jenis, yaitu wadi’ah yad amanah (bank bertanggung jawab
33
penuh atas keutuhan harta titipan) dan wadi’ah yad dhamanah (pemilik dana yang tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian).
b. Prinsip MudharabahPrinsip dari prinsip mudharabah ini adalah penyimpanan atau
deposan yang berlaku sebagai shahibul maal dan bank berlaku sebagai mudharib. Kemudian dana tersebut akan digunakan bank untuk melakukan akad jual beli ataupun syirkah. Jika mengalami kerugian dalam kegiatannya maka bank yang akan bertanggung jawab atas kerugian yang telah terjadi. Yang merupakan prinsip mudharabah dalam produk penghimpunan dana yaitu tabungan berjangka dan deposito berjangka. Pembiayaan mudharabah dapat dikembangkan menjadi mudharabah mutlaqh (investasi tidak terikat dimana nisbah disepakati untuk bagi hasilnya) dan mudharabah muqayaddah (simpanan khusu atau investasi terikat dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat yang harus dipatuhi oleh bank).
2. Produk Penyaluran DanaDalam penyaluran dana oleh bank syariah atas dana yang telah dihimpun
dari masyarakat, terdapat beberapa produk perbankan yang ditawarkan yaitu atas prinsip jual beli (murabahah), prinsip sewa (ijarah), dan prinsip bagi hasil (syirkah). Penjelasan sebagai berikut:
a. Prinsip jual beli atau MurabahahMekanisme dalam prinsip ini adalah upaya yang dilakukan untuk
transfer of property dan tingkat keuntungan akan ditentukan di awal yang akan nantinya akan menjadi harga jual barang. Bentuk-bentuk pembiayaan sebagai berikut:1. Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan dimana bank syariah sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Barang akan diserahkan dengan syarat – syarat tertentu, dimana bank berlaku sebagai pembeli. Barang akan diserahkan dengan segera dan pembayaran dilakukan secara menangguh atau dicicil.
2. SalamSalam merupakan jual beli barang dengan pemesanan dan
pembayaran secara tunai dilakukan terlebih dahulu dengan syarat – syarat tertentu, dimana bank berlaku sebagai pembeli, sedangkan nasabah sebagai penjual.
3. IstishnaIstishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesenan atas
barang tertentu dengan criteria dan persyaratan tertentu yang telah disepakati di awal, namun pembayaran dilakukan secara tangguh atau dicicil.
b. Prinsip Sewa atau Ijarah
34
Merupakan akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dalam pembayaran sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang tersebut. Adapun Ijarah Mutahiyah Bi Tamlik yang merupakan akad yang sama dengan ijarah,perbedaannya hanya terletak pada adanya hak opsi untuk memindahkan kepemilikan atas barang tersebut.
c. Prinsip Bagi Hasil atau SyirkahBasis pola pada prinsip ini adalah kemitraan dalam produk
pembiayaan pada bank syariah, yang dioperasionalkan dengan pola sebagai berikut:1. Musyarakah, yaitu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu, kedua pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan maupun resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
2. Mudharabah, adalah akad kerjasama dimana satu pihak yang memberikan seluruh dananya (shahibul maal) dengan pihak yang memiliki keahlian (mudharib) .
3. Produk Jasaa. Al – Hiwalah (alih utang-piutang)
Adalah akad yang berpindahan yang berhubungan dengan utang piutang atau transaksi pengalihan utang piutang antara pihak satu dengan pihak lainnya.
b. Rahn (gadai)Digunakan untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada
bank dalam memberikan pembiayaan, atau dengan kata lain adalah menahan salah satu harta milik peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diterima.
c. Al – Qardh (pinjaman kebaikan)Adalah pemberian harta kepada orang lain (muqtaridh) dalam rangka
membantu keuangannya secara tepat dan berjangka pendek, yang dapat ditagih atau diminta kembali sesuai dengan waktu yang telah disepakati bersama.
d. WakalahMerupakan pelimpahan kuasa atau wewenang dari nasabah selaku
pemberi kuasa kepada bank syariah selaku pihak kedua untuk melaksanakan jasa tertentu dan nasabah yang akan bertanggung jawab sepenuhnya atas terjadinya sesuatu atas kegiatan yang dilakukan.
e. Kafalah (bank garansi)Merupakan jasa perbankan yang bertugas untuk menjamin pembayaran
suatu kewajiban pembayaran dilakukan antara penjamin yang diberikan oleh penanggung (Kafil) kepada pihak ketiga dalam rangka memenuhi kewajiban yang ditanggung (Mahfulanhu) apabila pihak yang ditanggung cidera janji atau wanprestasi. Secara teknis perbankan dapat dikatakan bahwa pihak
35
bank syariah dalam hal ini memberikan jaminan kepada nasabahnya sehubungan dengan kontrak kerja/perjanjian yang telah disepakati antara nasabahnya sehubungan dengan pihak ketiga.”
2.1.3.3 Laporan Keuangan Bank Syariah
Laporan keuangan pada sektor perbankan syariah, sama seperti sektor
lainnya yaitu menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja,
serta perubahan posisi keuangan, serta perubahan posisi keuangan aktifitas
operasi bank yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan. Suatu laporan
keuangan pada hakikatnya merupakan suatu hasil akhir (output) dari proses
akuntansi selama suatu periode tertentu.
Laporan keuangan tersebut mencerminkan kegiatan yang dilakukan oleh
entitas tersebut pada suatu periode tersebut. Kegiatan pada periode tersebut harus
dipertanggung jawabkan oleh manajemen entitas terkait, yang direfleksikan dalam
pertanggung jawaban laporan keuangannya.
Laporan keuangan bank syariah tidak sama dengan laporan keuangan bank
konvensional sebagaimana disebutkan dalam PSAK No. 101 tentang Penyajian
Laporan Keuangan Syariah bahwa bank syariah memiliki laporan keuangan yaitu:
“Laporan Keuangan Syariah:
a. Neraca,b. Laporan Laba Rugi,c. Laporan Arus Kas,d. Laporan Perubahan Ekuitas,e. Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat,f. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infaq, dan Shadaqoh,g. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardbul Hasan, dan
36
h. Catatan Atas Laporan Keuangan.”
2.1.3.4 Sumber Dana Bank
Menurut Kasmir (2010:46) secara garis besar sumber dana bank dapat
diperoleh dari bank itu sendiri, masyarakat luas dan lembaga lainnya. Sedangkan
menurut Lukman Dendawijaya (2009:46) dana-dana yang digunakan sebagai alat
operasional suatu bank bersumber dari dana-dana sebagai berikut:
“1. Dana Pihak KesatuDana dari bank sendiri adalah dana yang berasal dari pemilik bank atau
pemegang saham, baik para pemegang saham pendiri (yang pertama kalinya ikut mendirikan bank tersebut) maupun pihak pemegang saham yang ikut dalam usaha bank tersebut pada waktu kemudian, termasuk para pemegang saham publik (jika misalnya bank tersebut sudah go public atau merupakan suatu badan usaha terbuka, Lukman Dendawijaya (2009:47).
Adapun pencarian dana yang bersumber dari bank itu sendiri (pihak I) terdiri dari:a. Setoran modal dari pemegang saham yaitu merupakan modal dari para
pemegang saham lama atau pemegang saham baru.b. Cadangan laba, yaitu merupakan laba yang setiap tahun di cadangkan
oleh bank dan sementara waktu belum digunakan.c. Laba bank yang belum digunakan, yaitu merupakan laba tahun berjalan
tapi belum dibagikan kepada para pemegang saham.Keuntungan dari sumber dana sendiri ini adalah tidak perlu membayar
bunga yang relatif lebih besar dari pada jika meminjam ke lembaga lainnya, mudah untuk memperoleh dana yang diinginkan. Sedangkan kerugiannya adalah untuk jumlah dana yang relatif besar harus melalui berbagai prosedur yang relatif lebih lama.
2. Dana Pihak KeduaDana pihak kedua merupakan dana yang bersumber dari lembaga lain.
Menurut Lukman Dendawijaya (2009:48), dana pihak kedua adalah dana-dana pinjaman yang berasal dari pihak luar, yang terdiri atas dana-dana sebagai berikut:a. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BI), meupakan kredit yang diberikan
Bank Indonesia kepada bank-bank lain yang mengalami kesulitan likuiditasnya.
37
b. Pinjaman antar bank (call money), biasanya pinjaman ini diberikan kepada bank-bank yang mengalami kalah kliring didalam lembaga kliring dan tidak mampu membiayai kekalahannya.
c. Pinjaman dari bank-bank luar negeri, merupakan pinjaman yang diperoleh perbankan dari pihak luar negeri.
d. Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), dalam hal ini pihak perbankan menerbitkan SBPU kemudian diperjual belikan kepada pihak yang berminat, baik perusahaan keuangan maupun non keuangan.
e. Long Term Debt diperoleh antara lain dengan melakukan penerbitan obligasi. Seperti SBPU, instrument ini merupakan kertas komersial atau surat berharga namun mempunyai jangka waktu panjang (lebih dari 5 tahun) dan dapat diperdagangkan dipasar modal.Dari penjelasan-penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dana pihak kedua terdiri dari pinjaman antar bank, pinjaman dari bank-bank negri, pinjaman dari bank sentral (BI), dan surat berharga.
3. Dana Pihak KetigaMenurut Kuncoro dan Suharjono (2002:155) dana masyarakat
merupakan dana terbesar yang dimiliki oleh bank dan ini sesuai dengan fungi bank sebagai penghimpun dana dari pihak-pihak yang kelebihan dana dalam masyarakat. Untuk memperoleh dana dari masyarakat luas bank dapat menggunakan tiga macam jenis simpanan yaitu:a. Simpanan Giro
Simpanan giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan/menerbitkan cek untuk penarikan tunai atau bilyet giro untuk pemindahan bukuan (Dendawijaya 2009:49).
b. Simpanan TabunganPengertian tabungan menurut Undang-Undang Perbakan Nomor 10 Tahun 1998 dalam (Kasmir 2008:57) adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarikdengan cek, bilyet giro dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
c. Simpanan DepositoMenurut (Kuncoro dan Suhardjono 2002:193) deposito adalah simpanan berjangka yang dikeluarkan oleh bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan sebelumnya.”
2.1.4 Pengertian Pembiayaan
Kegiatan bank yang selanjutnya setelah menghimpun dana dari masyarakat
luas dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito adalah menyalurkan
38
kembali dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya. Kegiatan
pengalokasian dana ini dikenal juga dengan istilah penyaluran dana.
Pengalokasian dana dapat diwujudkan dalam bentuk pinjaman atau lebih
dikenal dengan istilah pembiayaan. Pengalokasian dana dapat pula dilakukan
dengan membelikan berbagai asset (harta) yang dianggap menguntungkan bank.
Arti lain dari alokasi dana adalah menjual kembali dana yang diperoleh dari
penghimpunan dana dalam bentuk simpanan. Penjualan dana ini tidak lain agar
perbankan memperoleh keuntungan seoptimal mungkin. Dalam pengalokasian
dananya pihak perbankan harus dapat memilih dari berbagai alternatif yang ada.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa keuntungan utama bisnis perbankan
syariah adalah selisih antara bagi hasil yang diterima dari alokasi dana tertentu.
Oleh karena itu, baik faktor-faktor sumber dana maupun alokasi sumber dana
memegang peranan yang sama pentingnya di dunia perbankan. Penentuan sumber
dana perbankan akan berpengaruh terhadap bagi hasil alokasi dana yang akan
dibebankan. Kegiatan alokasi dana yang terpenting adalah alokasi dana dalam
bentuk pinjaman atau lebih dikenal kredit bagi bank berdasarkan prinsip
konvensional dan pembiayaan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah
(Kasmir 2008:95)
Berdasarkan Undang-undang Pokok Perbankan No. 10 tahun 1998,
pengertian pembiayaan dapat didefinisikan sebagai berikut:
“Pembiayaan adalah penyediaan atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang
39
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”
Menurut Antonio (2001:160), “Pembiayaan yaitu pemberian fasilitas
penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit
unit”.
Sedangkan menurut Kasmir (2008:96):
“Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”
2.1.4.1 Unsur-Unsur Pembiayaan
Dalam pembiayaan mengandung berbagai maksud, atau dengan kata lain
dalam pembiayaan terkandung unsur-unsur yang direkatkan menjadi satu. Adapun
unsur-unsur yang terkandung dalam pembiayaan menurut Kasmir (2008:98)
adalah sebagai berikut:
“a. KepercayaanKepercayaan merupakan suatu keyakinan bahwa pembiayaan yang
diberikan benar-benar diterima kembali dimasa yang akan datang sesuai jangka waktu yang sudah diberikan. Kepercayaan yang diberikan oleh Bank sebagai dasar utama yang melandasi mengapa suatu pembiayaan berani dikucurkan. Oleh karena itu sebelum pembiayaan dikucurkan harus dilakukan penyelidikan dan penelitian terlebih dahulu secara mendalam tentang kondisi Nasabah, baik secara intern maupun ekstern.
Kesepakatan antara si pemohon dengan pihak Bank. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajiban masing-masing. Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam akad pembiayaan dan ditandatangani kedua belah pihak.
b. Jangka WaktuSetiap pembiayaan yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka
waktu ini mencakup masa pengembalian pembiayaan yang telah disepakati.
40
Jangka waktu merupakan batas waktu pengembalian angsuran yang sudah disepakati kedua belah pihak. Untuk kondisi tertentu jangka waktu ini bisa diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.
c. RisikoAkibat adanya tenggang waktu, maka pengembalian pembiayaan akan
memungkinkan suatu risiko tidak tertagihnya atau macet pemberian suatu pembiayaan. Semakin panjang jangka waktu pembiayaan maka semakin besar risikonya, demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan Bank, baik risiko disengaja, maupun risiko yang tidak disengaja, misalnya karena bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur kesengajaan lainnya, sehingga tidak mampu melunasi pembiayaan yang diperoleh.
d. Balas JasaDalam Bank Konvensional balas jasa dikenal dengan nama bunga.
Disamping balas jasa dalam bentuk bunga Bank juga membebankan kepada Nasabah biaya administrasi yang juga merupakan keuntungan Bank. Bagi Bank yang berdasarkan prinsip Syariah balas jasanya dikenal dengan bagi hasil.”
2.1.4.2 Jenis-Jenis Pembiayaan
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok Bank, yaitu pemberian
fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang
merupakan defisit unit. Menurut (Antonio, 2001:160) Pembiayaan menurut sifat
penggunaan dapat dibagi menjadi 2 hal, sebagai berikut:
a. Pembiayaan Produktif. Yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi. Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua hal berikut:1. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan:
a. Peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atu mutu hasil produksi.
b. Untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.
2. Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods)
41
3. Pembiayaan Konsumtif. Yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan kousumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
4. Berdasarkan dari segi unsur balas jasa pembiayaan atau mekanisme pengambilan keuntungan, operasional pembiayaan dibagi dalam dua jenis pembiayaan yaitu pembiayaan secara Konvensional dan pembiayaan secara Syariah.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kasmir (2011:52) seperti berikut:“1. Pembiayaan Konvensional
Pembiayaan Konvensional merupakan kegiatan penyaluran dana kepada Masyarakat yang dilakukan oleh Bank Kovensional, dalam Perbankan Konvensional, pembiayaan lebih dikenal dengan istilah Kredit atau Pinjaman.
2. Pembiayaan SyariahPembiayaan Syariah merupakan kegiatan penyaluaran dana yang
dilakukan Bank Syariah yang berprinsip pada konsep Perbankan Syariah atau Perbankan Islam yang didasari oleh larangan agama islam untuk meminjamkan dan dengan mengharapakan keuntungan yang berupa bunga.”
Kasmir (2008:96) mengemukakan ”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Dalam upaya untuk menghasilkan laba yang sebesar-besarnya maka Bank berupaya untuk dapat menyalurkan kredit kepada Masyarakat yang membutuhkan dana (deficit spending unit). Dalam penyaluran kredit tersebut pihak Bank akan membebankan bunga kepada Masyarakat yang menggunakan kredit dari Bank tersebut”
Hal tersebut diungkapkan oleh Martono (2007:55) “Bunga kredit adalah
suatu jumlah ganti rugi atau balas jasa atas penggunaan uang oleh nasabah”.
Bunga kredit merupakan balas jasa yang sangat diharapkan oleh Bank dari semua
produk pembiayaan yang ditawarkannya. Bunga memegang peran penting dalam
upaya Bank dalam menghasilkan laba.
42
Menurut Rachmat Firdaus dan Maya Ariayanti (2009:4) “Apabila
pemberian kredit berjalan baik (lancar) maka bunga kredit dapat mencapai 70%
sampai 90% dari keseluruhan pendapatan Bank”. Berdasarkan pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa bunga kredit merupakan tulang punggung aktivitas
Bank Konvensional, semakin lancar penerimaan bunga kredit atau pembiayaan
yang didapat oleh Bank akan dapat menjamin pergerakan Bank selanjutnya.
Menurut Antonio (2001:39) ‘riba merupakan penambahan atas harta pokok
karena unsur waktu’. Dalam dunia Perbankan,hal tersebut dikenal dengan bunga
kredit sesuai lama waktu pinjaman, yang hal ini biasanya di lakukan oleh
Perbankan Konvensional.
2.1.4.3 Perbedaan pembiayaan dan kredit
Berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan pengertian pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”
Dari pengertian di atas dapatlah dijelaskan bahwa kredit atau pembiayaan
dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang, misalnya bank
membiayai kredit untuk pembelian rumah atau mobil. Kemudian adanya
43
kesepakatan antara bank (kreditor) dengan nasabah penerima kredit (debitor)
bahwa mereka sepakat sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam
perjanjian kredit tercantum hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk
jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama. Demikian pula dengan
masalah sanksi apabila debitor ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat
bersama.
Perbedaan antara kredit yang diberikan oleh bank konvensional dengan
pembiayaan yang diberikan oleh bank berdasarkan pada prinsip syariah adalah
terletak pada keuntungan yang diharapkan. Bagi bank berdasarkan prinsip
konvensional keuntungan yang diperoleh melalui bunga sedangkan bank yang
berdasarkan prinsip bagi hasil berupa imbalan atau bagi hasil.
Dalam artian luas kredit diartikan sebagai kepercayaan. Begitu pula dengan
bahasa latin kredit berarti credere artinya percaya. Maksud dari percaya bagi si
pemberi kredit adalah ia percaya kepada si penerima kredit bahwa kredit yang
disalurkannya pasti akan kembali sesuai dengan perjanjian sedangkan bagi si
penerima kredit merupakan penerimaan kepercayaan sehingga mempunyai
kewajiban untuk membayar sesuai jangka waktu.
Sebelum pembiayaan diberikan, untuk meyakinkan bank bahwa nasabah
memang benar-benar dapat dipercaya, maka bank terlebih dahulu melakukan
analisis pembiayaan (Kasmir 2008:96). Analisis pembiayaan dilakukan dengan
prinsip 5C (Ibid 109) adalah sebagai berikut:
44
“1. CharacterSuatu keyakinan bahwa, sifat atau watak dari orang-orang yang
akan diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya, hal ini tercermin dari latar belakang si nasabah baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi seperti cara hidup atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga, hobi dan sosial standingnya (tingkatan sosial). Ini merupakan ukuran kemauan membayar.
2. CapacityUntuk melihat nasabah dalam kemampuanya dalam bidang bisnis
yang dihubungkan dengan pendidikanya, kemampuan bisnis juga diukur dengan kemampuanya dalam memahami tentang ketentuan-ketentuan pemerintah. Begitu juga dengan kemampuanya dalam menjalankan usahanya selama ini, pada akhirnya akan terlihat kemampuanya dalam mengembalikan pembiayaan yang disalurkan.
3. CapitalUntuk melihat penggunaan modal apakah efektif, dilihat dari
laporan keuangan (neraca dan laporan laba rugi) dengan melakukan pengukuran Capital juga harus dilihat dari sumber mana saja modal yang ada sekarang ini.
4. CollateralMerupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang
bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah pembiayaan yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahanya sehingga jika terjadi suatu masalah maka jaminan yang dititipkan akan dipergunakan secepat mungkin.
5. ConditionDalam menilai pembiayaan hendaknya juga dinilai kondisi
ekonomi dan politik sekarang dan dimasa yang akan datang sesuai sektor masing-masing, serta prospek usaha dari sektor yang dijalankan. Penilaian prospek bidang usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik sehingga kemungkinan pembiayaan tersebut bermasalah relatif kecil.”
Setelah dilakukan analisis selanjutnya akan dilakukan penilaian kredit
dengan metode 7P (Ibid 109) adalah sebagai berikut:
“1. PersonalityPersonality yaitu menilai nasabah dari segi kepribadianya atau
tingkah laku sehari-hari maupun masa lalunya. Personality juga mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah.
45
2. PartyParty yaitu mengklasifikasikan nasabah kedalam klasifikasi
tertentu atau golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya. Sehingga nasabah dapat digolongkan ke golongan tertentu dan akan mendapatkan fasilitas yang berbeda dari bank.
3. PurposePurpose yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil
kredit, termasuk jenis pembiayaan yang diinginkan nasabah. Tujuan pengambilan pembiayaan dapat bermacam-macam. Sebagai contoh apakah untuk modal kerja atau investasi, konsumtif atau produktif, dan lain sebagainya.
4. ProspectProspect yaitu untuk menilai usaha nasabah dimasa yang akan
datang menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lain mempunyai prospek atau sebaliknya. Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas pembiayaan yang dibiayai tanpa mempunyai prospek, bukan hanya bank yang rugi melainkan juga nasabah.
5. Payment Merupakan ukuran bagiamana cara nasbah dalam mengembalikan
kredit yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit. Semakin banyak sumber penghasilan debitor maka akan semakin baik. Dengan demikian jika salah satu usahanya merugi maka masih dapat ditutupi oleh sektor lain.
6. Profitability Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari
laba. Profitability diukur dari periode ke periode apakah akan tetap sama atau akan semakin meningkat, apalagi dengan tambahan kredit yang akan diperolehnya.
7. Protection Tujuanya adalah bagaimana menjaga agar usaha dan jaminan
mendapatkan perlindungan. Perlindungan dapat berupa jaminan barang atau orang atau jaminan asuransi.”
2.1.4.4 Kelayakan Penyaluran Pembiayaan
Bank syariah harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan
calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada
waktunya, sebelum Bank Syariah menyalurkan dana kepada nasabah penerima
fasilitas tersebut. Di dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan tentang itikad
46
baik dari nasabah penerima fasilitas untuk membayar kembali penggunaan dana
yang disalurkan oleh bank syariah. Kemampuan berkaitan dengan keadaan
nasabah penerima fasilitas, sehingga mampu untuk membayar kembali
penggunaan dana yang disalurkan oleh bank syariah.
Sehubungan dengan upaya untuk memperoleh keyakinan atas kemauan dan
kemampuan calon nasabah penerima fasilitas dalam melunasi seluruh kewajiban
pada waktunya maka bank syariah wajib melakukan penilaian 5C (Character,
Capacity, Capital, Condition, Collateral) (Ade Arthesa dan Edia Handiman
2006:170), yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan
prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas. Penjelasan tersebut
menyebutkan bahwa yang dimaksud penilaian seksama adalah sebagai berikut
(Jundiani 2009:125):
“1. Penilaian watak calon nasabah penerima fasilitas, terutama didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara bank syariah dan nasabah yang bersangkutan atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang dapat dipercaya sehingga bank syariah dapat menyimpulkan bahwa nasabah penerima fasilitas yang bersangkutan jujur, beritikad baik dan tidak menyulitkan bank syariah dikemudian hari.
2. Penilaian kemampuan calon nasabah penerima faslitas, terutama bank harus meneliti tentang kehlian nasabah dalam bidang usahanya atau kemampuan menejemen calon nasabah. Sehingga bank syariah yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dikelola oleh orang yang tepat.
3 Penilaian terhadap modal yang dimiliki calon nasabah, terutama bank syariah harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara keseluruhan, baik untuk masa yang telah lalu maupun perkiraan untuk masa yang akan dating sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon nasabah yang bersangkutan.
4 Dalam melakukan penilaian terhadap agunan, bank syariah harus menilai barang proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan yang bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi resiko yang ditambahkan sebagai aguanan tambahan, apakah sudah cukup
47
memadai sehingga apabila nasabah penerima fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, agunan tersebut dapat digunakan untuk menanggung pembayaran kembali pembiayaan dari bank syariah yang bersangkutan.
5 Penilaian terhadap proyek usaha calon nasabah penerima fasilitas, bank syariah terutama harus melakukan analisis mengenai keadaan pasar, baik didalam maupun diluar negeri, baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan datang, sehingga dapat diketahui prospek pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon nasabah yang akan dibiayai dengan fasilitas pembiayaan.”
Seperti juga dalam perbankan konvensional, perbankan syariah menetapkan
syarat-syarat umum untuk sebuah pembiayaan seperti (Muhammad Syafi‟i
Antonio 2007:171):
“1. Surat permohonan tertulis, dengan dilampiri proposal yang memuat (antara lain) gambaran umum usaha,rencana atau prospek usaha, rincian dan rencana penggunaan dana, jumlah kebutuhan dana, dan jangka waktu penggunaan dana.
2. Legalitas usaha, seperti identitas diri, akta pendirian usaha, surat izin umum perusahaan, dan tanda daftar perusahaan.
3. Laporan keuangan, seperti neraca dan laporan rugi laba, data persediaan terakhir, data penjualan, dan fotocopy rekening bank.”
2.1.4.5 Financing to Deposit Ratio (FDR)
Pada perbankan syariah tidak mengenal kredit (loan) dalam penyaluran dana
yang dihimpunnya. Oleh karena itu, aktivitas penyaluran dana yang dilakukan
bank syariah lebih mengarah kepada pembiayaan (financing).
Menurut Muhammad (2005:17), penyaluran pembiayaan adalah pendanaan
yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang direncanakan. Variabel ini
diwakili oleh FDR (Financing to Deposit Ratio). FDR merupakan perbandingan
48
antara pembiayaan yang diberikan oleh Bank dengan dana pihak ketiga yang
berhasil dihimpun perbankan syariah.
Hal mendasar mengapa bank itu diperlukan adalah karena institusi keuangan
ini bisa memainkan perannya sebagai lembaga intermediasi anatara penyimpan
dana dan peminjam dana. Karena itu wajar saja bila mengukur peran bank dalam
perekonomian suatu Negara adalah dilihat dari seberapa besar fungsi intermediasi
ini bisa dimainkan. Dari fungsi intermediasi, perbankan syariah menunjukkan
kinerja yang mengagumkan. Hal ini bisa dilihat dari tahun ke tahun besarnya
fungsi intermediasi mendekati 100 persen bahkan pernah melampaui. Dengan
kata lain, hampir 100 persen dana pihak ketiga yang ada di Bank Syariah
disalurkan kembali kepada masyarakat. Sementara bank konvensional paling
tinggi mendekati 70 persen (Amin, 2009:41).
Fakta ini menunjukkan bahwa Bank Syariah lebih pro dalam
mengembangkan sektor riil atau fungsi perbankan syariah jauh lebih tangguh
dibanding agregat perbankan konvensional.
Dendawijaya (2005:116), Financing to Deposit Ratio (FDR) menyatakan
seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang
dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber
likuiditasnya.
Rasio FDR yang analog dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) pada bank
konvensional adalah rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas
49
bank yang menunjukkan kemampuan bank untuk memenuhi permintaan kredit
dengan menggunakan total aset yang dimiliki bank (Dendawijaya, 2003).
Menurut Muhammad (2005:55), Financing to Deposit Ratio (FDR) adalah
perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan dana pihak
ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. Rasio ini dipergunakan untuk
mengukur sampai sejauh mana dana pinjaman yang bersumber dari dana pihak
ketiga. Tinggi rendahnya rasio ini menunjukkan tigkat likuiditas bank tersebut.
Sehingga semakin tinggi angka FDR suatu bank, berarti digambarkan sebagai
bank yang kurang likuid dibanding dengan bank yang empunyai angka rasio lebih
kecil.
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.26/5/BPPP taggal 29 Mei
1993, besarnya Financing to Deposit Ratio ditetapkan oleh Bank Indonesia tidak
boleh melebihi 110%. Yang berarti bank boleh memberikan kredit atau
pembiayaan melebihi jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun asalkan
tidak melebihi 110%.
2.1.4.6 Pengukuran Penyaluran Pembiayaan (FDR)
Menurut Muhammad (2005:55), pengukuran FDR dapat dihitung dengan rumus:
FDR=Pinjaman /Pembiayaan yang diberikanTotal Dana Pihak Ketiga
X 100 %
2.1.5 Risiko Pembiayaan
50
Dalam menjalankan usaha didalamnya pasti terdapat risiko. Terutama
perbankan dalam melakukan pemberian kredit/pembiayaan. Menurut Ferry dan
Sugiarto (2006:79) dijelaskan bahwa Risiko kredit didefinisikan sebagai risiko
kerugian sehubungan dengan pihak peminjam (counter party) tidak dapat dan
tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar kembali dana yang dipinjamnya
secara penuh pada saat jatuh tempo atau sesudahnya.
Menurut Karim (2006:260), risiko pembiayaan adalah risiko yang
disebabkan oleh adanya kegagalan counterparty dalam memenuhi kewajibannya.
Dalam Bank Syariah, risiko pembiayaan mencakup risiko terkait produk dan
risiko terkait pembiayaan korporasi.
Sedangkan menurut Muhammad (2005:220), risiko pembiayaan muncul jika
bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan/atau bagi
hasil/margin/pendapatan sewa dari pembiayaan yang dibeikannya atau investasi
yang sedang dilakukannya.
Dendawijaya (2005:82) mengatakan bahwa kredit/pembiayaan bermasalah
merupakan kegagalan pihak debitur memenuhi kewajibannya untuk membayar
angsuran (cicilan) pokok kredit beserta bunga yang telah disepakati kedua belah
pihak dalam perjanjian kredit. Sedangkan menurut Siamat (2004:174) pengertian
kredit bermasalah adalah “kredit bermasalah atau problem loan dapat diartikan
sebagai pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor
kesenjangan dan atau karena faktor eksternal diluar kemampuan debitur.”
51
Menurut Ismail (2009:224), kredit bermasalah yaitu suatu keadaan dimana
nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya
kepada bank seperti yang telah diperjanjikan. Setiap bank harus mampu
mengelola kreditnya dengan baik dalam memberikan kredit kepada masyarakat
maupun dalam pengembalian kreditnya sesuai dengan syarat dan ketentuan yang
berlaku sehingga tidak menimbulkan kredit bermasalah.
Menurut pengertian diatas, berarti kredit bermasalah merupakan pinjaman
yang mengalami penangguhan dalam pembayaran angsuran pokok dan tunggakan
bunga atau bahkan tidak dilunasi sama sekali, dikarenakan ketidak mampuan
debitur untuk membayarnya, sehingga pengembalian kredit tidak dilakukan tepat
waktu dan tepat jumlah sesuai perjanjian kredit. Menurut Dendawijaya (2009)
kredit bermasalah adalah kredit-kredit yang kategori kolektibilitasnya masuk
dalam kriteria kredit macet atau disebut juga Non Performing Loan (NPL).
Rasio ini menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola
kredit bermasalah yang diberikan oleh bank. Artinya, semakin tinggi rasio ini
maka akan semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit
bermasalah semakin besar, maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi
bermasalah semakin besar yaitu kerugian yang diakibatkan tingkat pengembalian
kredit macet. Salah satu risiko yang dihahapi bank adalah risiko tidak terbayarnya
kredit yang telah diberikan atau yang sering disebut risiko kredit.
Risiko kredit atau default risk umumnya timbul dari berbagai kredit yang
masuk dalam kategori bermasalah atau Non Performing Loan. Keberadaan Non
52
Performing Loan dalam jumlah yang cukup banyak dapat menimbulkan kesulitan
sekaligus menurunkan tingkat kesehatan bank yang bersangkutan. Oleh sebab itu
bank dituntut untuk selalu menjaga kredit tidak berada dalam Non Performing
Loan. Besarnya NPL yang diperbolehkan oleh Bank Indonesia saat ini adalah
maksimal 5%, jika melebihi 5% maka akan mempengaruhi penilaian Tingkat
Kesehatan Bank yang bersangkutan, yaitu akan mengurangi nilai. Meskipun tidak
dapat menghindari penuh risiko kredit, tetapi diusahakan agar jumlah kredit yang
bermasalah berada dalam batas yang wajar.
Suatu kredit dinyatakan bermasalah jika bank benar-benar tidak mampu
menghadapi risiko yang ditimbulkan oleh kredit tersebut. Risiko kredit
didefinisikan sebagai risiko kerugian sehubungan dengan pihak peminjam, tidak
dapat dan tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar kembali dana yang
dipinjamnya secara penuh pada saat jatuh tempo atau sesudahnya. Sebagai
indikator yang menunjukkan kerugian akibat risiko kredit adalah tercermin dari
besarnya Non Performing Financing (NPF).
NPF mencerminkan risiko kredit, semakin kecil NPF semakin kecil pula
risiko kredit yang ditanggung pihak bank (Nusantara, 2009). Non Performing
Financing adalah rasio antara pembiayaan yang bermasalah dengan total
pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah. Berdasarkan kriteria yang sudah
ditetapkan oleh Bank Indonesia kategori yang termasuk dalam pembiayaan yang
bermasalah adalah pembiayaan kurang lancar, diragukan dan macet.
Pengelompokkan pembiayaan bermasalah dapat dilihat pada tabel berikut ini:
53
Tabel 2.2Perhitungan Berdasarkan Kemampuan Bayar Nasabah (debitur) di Bank
Syariah
Jenis Pembiayaan
Kategori yang diperhitungkan dalam NPF
Kurang
Lancar Diragukan Macet
Murabahah, Tunggakan Tunggakan Tunggakan
Isthisna’, Ijarah, Qard lebih dari
90 hari s.d
180 hari
lebih dari 90 hari s.d
270 hari
lebih dari 270
Hari
Salam Telah jatuh
tempo s.d
60 hari
Telah jatuh tempo s.d
90 hari
Lebih dari 90
hari
Mudharabah, Tunggakan Tunggakan Tunggakan
Musyarakah lebih dari
90 hari s.d
180 hari;
relasi bagi
hasil kurang
dari 30%
lebih dari 90 hari s.d
180 hari; relasi bagi
hasil kurang dari 30%
lebih dari 180
har; relasi
pendapatan <
30% dari
proyeksi
pendapatan
lebih dari 3
periode
pembayaran
Sumber: Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/18/DPbS Tahun 2011 tentang jatuh
tempo pembiayaan.
54
2.1.5.1 Penyebab Terjadinya Pembiayaan Bermasalah
Penyebab terjadinya pembiayaan bermasalah adalah karena kesulitan-
kesulitan keuangan yang dihadapi nasabah. Penyebab kesulitan keuangan
perusahaan nasabah dapat kita bagi dalam faktor internal dan faktor eksternal
(Zainul Arifin, 2005:206):
“a. Faktor internalFaktor internal adalah faktor yang ada didalam perusahaan sendiri dan faktor utama yang paling dominan adalah faktor manajerial. Timbulnya kesulitan-kesulitan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh faktor manajerial dapat dilihat dari beberapa hal, seperti kelemahan dalam kebijakan pembelian dan penjualan, lemahnya pengawasan biaya dan pengeluaran, kebijakan piutang yang kurang tepat, penempatan yang berlebihan pada aktiva tetap, permodalan yang tidak cukup.
b. Faktor eksternalFaktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar kekuasaan manajemen perusahaan, seperti bencana alam, peperangan, perubahan dalam kondisi perekonomian dan perdagangan, perubahanperubahan teknologi, dan lain-lain.”
2.1.5.2 Penanganan Pembiayaan Bermasalah
Menurut (Muhammad 2005.311) penanganan pembiayaan bermasalah bisa
diatasi sebagai berikut:
“a. Analisa sebab kemacetan1. Aspek internal, diantaranya: peminjam kurang dalam usaha tersebut,
manajemen tidak baik atau kurang rapi, laporan keuangan tidak lengkap, penggunaan dana yang tidak sesuai dengan perencanaan, perencanaan yang kurang matang, dana yang diberikan tidak cukup untuk menjalankan usaha tersebut.
2. Aspek eksternal, diantaranya: aspek pasar kurang mendukung, kemampuan daya beli masyarakat kurang, kebijakan pemerintah, pengaruh lain diluar usaha, kenakalan peminjam.
b. Menggali potensi peminjamc. Melakukan perbaikan akad (remidial)
55
d. Memberikan pinjaman ulang, mungkin dalam bentuk : pembiayaan alQardul Hasan, Murabahah atau Mudharabah
e. Penundaan pembayaranf. Memperkecil angsuran dengan memperpanjang waktu atau akad dan
margin baru (Rescheduling)g.Memperkecil margin keuntungan atau bagi hasil”
2.1.5.3 Dampak Pembiayaan Bermasalah
Implikasi bagi pihak bank sebagai akibat dari timbulnya kredit bermasalah
tersebut dapat berupa berikut ini (Lukman Dendawijaya 2005:82):
“a. Hilangnya kesempatan untuk memperoleh income (pendapatan) dari kredit yang diberikannya, sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi rentabilitas/profitabilitas bank.
b. Rasio kualitas aktiva produktif atau yang lebih dikenal dengan BDR (Bad Debt Ratio) menjadi semakin besar yang menggambarkan terjadinya situasi yang memburuk.
c. Bank harus memperbesar penyisihan untuk cadangan aktiva produktif yang diklasifikasikan berdasarkan ketentuan yang ada. Hal ini pada akhirnya akan mengurangi besarnya modal bank dan akan sangat berpengaruh terhadap CAR (Capital Adequacy Ratio).
d. Return on assets (ROA) mengalami penurunan.e. Menurunnya nilai tingkat kesehatan bank berdasarkan perhitungan
menurut metode CAMEL (Capital, Assets, Manajemen, Earnings, Liquiditas).”
2.1.5.4 Pengukuran Risiko Pembiayaan
Untuk perhitungan risiko pembiayaan menggunakan Non Performing
Financing atau sama dengan Non Performing Loan dimana kredit yang digunakan
dalam bank konvensional diganti dengan pembiayaan dalam terminologi bank
syariah. Menurut Ismail (2009:228), rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
56
NPF= Pembiayaan BermasalahTotal Pembiayaan
X 100 %
Total pembiayaan bermasalah:
- Pembiayaan kurang lancar
- Pembiayaan diragukan
- Pembiayaan macet.
Total pembiayaan:
- Total Pembiayaan musharakah
- Total Pembiayaan mudharabah
- Total Pembiayaan ijarah
- Total Pembiayaan murabahah
- Total Pembiayaan ijarah wa iqtina
- Total Pembiayaan Qardh
2.1.6 Profitabilitas
2.1.6.1 Pengertian Rasio Profitabilitas
Pada umumnya setiap perusahaan bertujuan untuk memperoleh laba atau
keuntungan. Para manajemen perusahaan dituntut harus mampu mencapai target
yang telah direncanakan.
57
Menurut Sartono (2010:122) definisi rasio profitabilitas adalah:
“Kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan
penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri. Dengan demikian bagi investor
jangka panjang akan sangat berkepentingan dengan analisis profitabilitas ini.”
Menurut Fahmi (2013:135) definisi rasio profitabilitas adalah:
“Rasio ini mengukur efektivitas manajemen secara keseluruhan yang ditunjukkan
oleh besar kecilnya tingkat keuntungan yang diperoleh dalam hubungannya
dengan penjualan maupun investasi.”
Menurut Munawir (2010:70) pengertian dari rasio profitabilitas adalah:
“Rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mencetak laba. Untuk
para pemegang saham, rasio ini menunjukkan tingkat penghasilan mereka dalam
berinvestasi.”
Sedangkan menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/30/DPNP
tanggal 16 Desember 2011 Profitabilitas adalah kemampuan bank untuk
memperoleh keuntungan.
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa rasio profitabilitas
adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan dan keberhasilan
perusahaan dalam memperoleh laba yang hubungannya dengan penjualan, aktiva
maupun investasi.
58
2.1.6.2 Pengetian Laba
Laba merupakan elemen yang paling menjadi perhatian pemakai karena
angka laba diharapkan cukup kaya untuk merepresentasi kinerja perusahaan
secara keseluruhan.
Menurut Harahap (2001:267) yang dimaksud dengan laba adalah:
“Perbedaan antara realisasi penghasilan yang berasal dari transaksi perusahaan
pada periode tertentu dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan penghasilan itu.”
Sedangkan pengertian laba Menurut Suwardjono (2008:464) adalah:
“Imbalan atas upaya perusahaan menghasilkan barang dan jasa. Ini berarti laba
merupakan kelebihan pendapatan diatas biaya (biaya total yang melekat kegiatan
produksi dan penyerahan barang/jasa).”
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa laba adalah
kelebihan pendapatan di atas biaya sebagai imbalan menghasilkan barang dan jasa
selama satu periode akuntansi.
2.1.6.3 Jenis-Jenis Laba
Laba adalah salah satu hal yang paling penting dalam sebuah perusahaan.
Laba terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
1. Laba kotor
Laba kotor adalah selisih dari hasil penjualan dengan harga pokok penjualan.
2. Laba Operasional
59
Laba Operasional merupakan hasil dari aktivitas-aktivitas yang termasuk
rencana perusahaan kecuali ada perubahan-perubahan besar dalam
perekonomiannya, dapat diharapkan akan dicapai setiap tahun. Oleh
karenanya angka ini menyatakan kemampuan perusahaan untuk hidup dan
mencapai laba yang pantas sebagai jasa pada pemilik modal.
3. Laba sebelum dikurangi pajak atau EBT (Earning Before Tax)
Laba sebelum dikurangi pajak merupakan laba operasi ditambah hasil dan
biaya di luar operasi biasa. Bagi pihak-pihak tertentu terutama dalam hal
pajak, angka ini adalah yang terpenting karena jumlah ini menyatakan laba
yang pada akhirnya dicapai perusahaan.
4. Laba Setelah Pajak Atau Laba Bersih
Laba Bersih adalah laba setelah dikurangi berbagai pajak. Laba dipindahkan
ke dalam perkiraan laba ditahan. Dari perkiraan laba ditahan ini akan diambil
sejumlah tertentu untuk dibagikan sebagai deviden kepada para pemegang
saham.
2.1.6.4 Tujuan dan Manfaat Rasio Profitabilitas
Rasio profitabilitas memiliki tujuan dan manfaat tidak hanya bagi pihak
internal, tetapi juga bagi pihak ekternal atau diluar perusahaan, terutama pihak-
pihak yang memiliki kepentingan dengan perusahaan.
Tujuan penggunaan rasio ini menurut Kasmir (2013:197), adalah:
“1. Untuk mengukur atau menghitung laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode tertentu.
60
2. Untuk menilai posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang.
3. Untuk menilai perkembangan laba dari waktu ke waktu.4. Untuk menilai besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri.5. Untuk mengukur produktivitas seluruh dana perusahaan yang digunakan
baik modal pinjaman maupun modal sendiri.6. Untuk mengukur produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang
digunakan baik modal sendiri.”
Manfaat yang diperoleh menurut Kasmir (2013:198), yaitu:
“1. Mengetahui besarnya tingkat laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode.
2. Mengetahui posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang.
3. Mengetahui perkembangan laba dari waktu ke waktu.4. Mengtahui besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri.5. Mengetahui produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang digunakan
baik modal pinjaman maupun modal sendiri.”
2.1.6.5 Pengukuran Rasio Profitabilitas
Menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/30/DPNP Tanggal 16
Desember 2011 secara umum terdapat empat jenis komponen yang digunakan
dalam menilai tingkat profitabilitas, di antaranya:
“1. Return On Assets (ROA)Return On Asset (ROA) adalah ratio yang menilai seberapa tingkat pengembalian dari aset yang dimiliki. Rasio ini mengukur presentase dari laba sebelum pajak dibagi dengan Rata-rata total asset. Return On Asset (ROA) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
ROA= Laba Sebelum PajakRata−Rata asset
NIM= Pendapatan Bunga BersihRata−Rata Asset Produktif
ROE= Laba Setelah PajakRata−Rata Ekuitas
BOPO= Total BebanOperasionalTotal PendapatanOperasional
61
2. Return On Equity (ROE)Rasio ini merupakan salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur presentase dari laba setelah pajak/ laba bersih tahun berjalan setelah pajak dibagi dengan rata-rata ekuitas. Return On Equity (ROE) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
3. Net Interest Margin (NIM)Rasio ini merupakan salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur presentase dari pendapatan bunga bersih dibagi dengan rata-rata asset produktif. Net Interest Margin (NIM) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
4. Beban Operasional Terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)Rasio ini merupakan salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur presentase dari total beban operasional dibagi dengan total pendapatan operasional. Beban Operasional Terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Penilaian rasio profitabilitas yang dipakai oleh peneliti adalah ROA (Return
On Assets). Return On Asset (ROA) adalah kemampuan suatu perusahaan untuk
menghasilkan laba selama periode tertentu. Return On Asset (ROA) merupakan
salah satu rasio profitabilitas yang digunakan untuk mengukur efektivitas
62
perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan total asset
yang dimilikinya.
Pengertian Return On Assets (ROA) menurut Fahmi (2013:137) adalah:
“Rasio ini melihat sejauh mana investasi yang telah ditanamkan mampu memberikan pengembalian keuntungan sesuai dengan yang diharapkan. Dan investasi tersebut sebenarnya sama dengan asset perusahaan yang ditanamkan atau ditempatkan.”
Hanafi (2014:42) menjelaskan bahwa rasio profitabilitas adalah:
“Rasio yang mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih pada
tingkat penjualan, aset, dan modal saham tertentu. Dan rasio ini dicerminkan
dalam Return On Assets (ROA), yang menunjukan efisiensi manajemen aset.”
Menurut Sartono (2010:123) definisi Return On Assetss (ROA) adalah:
“Menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari aktiva yang
dipergunakannya.”
Sedangkan menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/30/DPNP
tanggal 16 Desember 2011 adalah:
“Return On Asset (ROA) adalah ratio yang menilai seberapa tingkat
pengembalian dari aset yang dimiliki.”
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Return
On Assetss (ROA) adalah salah satu jenis rasio profitabilitas yang digunakan
untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba atau
keuntungan atas aktiva yang digunakan dalam perusahaan.
63
Rasio Return On Assetss yang tinggi menunjukkan efisiensi manajemen
asset, yang berarti perusahaan mampu menggunakan asset yang dimiliki untuk
menghasilkan laba (Wahyu, 2009).
Munawir (2010:91) menjelaskan terdapat beberapa manfaat dari Return On
Assetss sebagai berikut:
“a. Jika perusahaan telah menjalankan praktik akuntansi dengan baik maka dengan analisis ROA dapat diukur efisiensi penggunaan modal yang menyeluruh, yang sensitif terhadap setiap hal yang mempengaruhi keadaan keuangan perusahaan.
b. Dapat diperbandingkan dengan rasio industri sehingga dapat diketahui posisi perusahaan terhadap industri. Hal ini merupakan salah satu langkah dalam perencanaan strategi.”
Selain berguna untuk kepentingan kontrol, analisis Return On Assets (ROA)
juga berguna untuk kepentingan perencanaan.
2.1.7 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai profitabilitas banyak dijadikan sebagai objek penelitian
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya telah banyak diuji oleh peneliti
sebelumnya. Berdasarkan penelitian terdahulu faktor-faktor yang diduga
mempengaruhi profitabilitas adalah:
1. Dana Pihak Ketiga (DPK) sebagai variabelnya diteliti oleh Ulin Nuha Aji
Setiawan (2016), Ranieta Mellawaty (2015), Ridho Wahyu Ginting (2014),
Yoli Lara Sukma (2013), Elsa Yuliani (2012) dan Dwi Ismawati (2009).
2. Non Performing Financing (NPF) sebagai variabelnya diteliti oleh Ulin Nuha
Aji Setiawan (2016), Yoga Tantular Rachman (2015), Gitta Anasty Nindya
64
(2015), Ridho Wahyu Ginting (2014), Yoli Lara Sukma (2013), M.
Shalahuddin Fahmy (2013) dan Elsa Yuliani (2012).
3. Capital Adequacy Ratio (CAR) sebagai variabelnya diteliti oleh Ulin Nuha Aji
Setiawan (2016), Ranieta Mellawaty (2015), Yoga Tantular Rachman (2015),
Ridho Wahyu Ginting (2014), Yoli Lara Sukma (2013), M. Shalahuddin
Fahmy (2013) dan Dwi Ismawati (2009).
4. Financing to Deposit Ratio (FDR) sebagai variabelnya diteliti oleh Yoga
Tantular Rachman (2015), Gitta Anasty Nindya (2015), M. Shalahuddin
Fahmy (2013) dan Dwi Ismawati (2009).
Tabel 2.3Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
Profitabilitas
Peneliti Tahun DPK NPF CAR FDR
Ulin Nuha Aji Setiawan 2016 X X -
Yoga Tantular Rachman 2015 - X
Ranieta Mellawaty 2015 - -
Gitta Anasty Nindya 2015 - -
Ridho Wahyu Ginting 2014 X -
Yoli Lara Sukma 2013 x X -
M. Shalahuddin Fahmy 2013 - X x
Elsa Yuliani 2012 X - -
Dwi Ismawati 2009 - x
65
Keterangan : = Berpengaruh Signifikan = Tidak Berpengaruh Signifikan- = Tidak diteliti- = Tidak diteliti
2.2 Kerangka Pemikiran
2.2.1 Pengaruh Penyaluran Pembiayaan terhadap Profitabilitas
Sumber dana yang berasal dari masyarakat sebagai dana pihak ketiga sangat
besar pengaruhnya. Sumber dana yang didapatkan oleh bank akan disalurkan
kembali oleh bank dalam bentuk kredit. Dengan penyaluran kredit tersebut bank
akan memperoleh pendapatan dari bunga kredit yang dibayarkan oleh debitur ke
bank. Dengan adanya pendapatan bagi bank, maka akan mempengaruhi laba yang
akan diperoleh oleh bank.
Menurut Taswan (2008:215) berpendapat bahwa:
“Dengan meningkatnya jumlah dana pihak ketiga sebagai sumber dana utama pada bank, bank menempatkan dana tersebut dalam bentuk aktiva produktif misalnya kredit. Penempatan dalam bentuk kredit akan memberikan kontribusi pendapatan bunga bagi bank yang akan berdampak terhadap profitabilitas (laba) bank.”
Elssa Yuliani mengemukakan bahwa:
“Dengan meningkatnya dana pihak ketiga sebagai sumber dana utama bank maka dana yang dialokasikan untuk pemberian kredit juga akan meningkat sehingga akan meningkatkan pula pendapatan bank yang berdampak terhadap profitabilitas (laba) / ROA.”
Sesuai dengan usaha bank yang utama adalah penyaluran kredit dan jika
dilihat dari struktur asset bank maka kredit/pembiayaan merupakan earning asset
66
terbesar dibandingkan dengan asset lainnya. Hal ini seperti yang diungkapkan
Abdullah (32:2005) bahwa:
“Uang tunai yang dimiliki bank bisa bersumber dari modal sendiri, maupun sumber-sumber lain dan sewaktu-waktu dapat ditarik kembali baik secara keseluruhan maupun secara berangsur-angsur, selanjutnya berdasarkan peran bank sebagai perantara keuangan (Financial Intermediary) dana tersebut disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk kredit atau alternative lainnya. Berdasarkan uraian tersebut maka operasional bank bertujuan mendapatkan keuntungan dari selisih bunga pinjaman kepada debitur dengan suku bunga simpanan yang dibayarkan kepada masyarakat sebagai nasabah yang menyimpan dananya kepada bank. Selisih bunga yang diterima sebagai keuntungan bank itu disebut spread”.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan semakin besar Financing to
Deposit Ratio (FDR) berarti semakin besar tingkat profitabilitas. Dengan semakin
besar (FDR) berarti semakin besar ekspansi pembiayaan yang disalurkan oleh
bank. Dengan semakin besar ekspansi pembiayaan maka akan semakin besar pula
profitabilitas bank karena pendapatan yang berasal dari pembiayaan yaitu
pendapatan bagi hasil akan semakin besar pula.
2.2.2 Pengaruh Risiko Pembiayaan terhadap Profitabilitas
NPF (Non Performing Financing) mencerminkan risiko pembiayaan,
semakin kecil NPF semakin kecil pula risiko pembiayaan yang ditanggung pihak
bank (Nusantara, 2009). Non Performing Financing adalah rasio antara
67
pembiayaan yang bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan oleh bank
syariah.
Rasio ini menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola
kredit/pembiayaan bermasalah yang diberikan oleh bank. Artinya, semakin tinggi
rasio ini maka akan semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan
jumlah kredit bermasalah semakin besar, maka kemungkinan suatu bank dalam
kondisi bermasalah semakin besar yaitu kerugian yang diakibatkan tingkat
pengembalian kredit macet. Salah satu risiko yang dihahapi bank adalah risiko
tidak terbayarnya kredit yang telah diberikan atau yang sering disebut risiko
kredit.
Sutojo (2008:14) menyatakan bahwa:
“Sebuah Bank yang dirongrong oleh kredit bermasalah (NPF) dalam jumlah besar
cenderung menurun profitabilitasnya. ROA yang merupakan tolok ukur
profitabilitas mereka akan menurun.”
Sedangkan Arim (2009:6) menyatakan bahwa:
“Tingkat resiko pembiayaan yang dilihat dari rasio NPF berpengaruh negatif
terhadap profitabilitas (ROA) pada Bank Syariah.”
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pembiayaan bermasalah
pada bank itu merupakan resiko kredit yang sangat berpengaruh terhadap
peningkatan profitabilitas yang diproyeksikan oleh ROA. Karena semakin tinggi
NPF maka semakin kecil ROA, begitupun sebaliknya semakin tinggi ROA maka
NPF pada bank tersebut akan mengalami penurunan.
68
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.3 Hipotesis
Pengertian hipotesis menurut Sugiyono (2013:64) adalah:
“Jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah peneltian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pernyataan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada fakta-fakta empris yang diperoleh melalui pengumpulan
Penyaluran Pembiayaan
(FDR)X1
Risiko Pembiayaan
(NPF)X2
Profitabilitas (ROA)
Y
FDR Naik NPF Turun
ROA Naik ROA Naik
69
data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik”.
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah:
Hipotesis 1= Penyaluran Pembiayaan berpengaruh secara signifikan terhadap
profitabilitas.
Hipotesis 2= Risiko Pembiayaan berpengaruh secara signifikan terhadap
profitabilitas.
Top Related