ii
YANGSEDANGBERMAINPenulis:RahmadKurniawanPenyunting:RahmadKurniawanDesainSampul:RahmadKurniawan&SeptianDwiSatria(Ilustrasi)Tataletakisi:RahmadKurniawan,Veronica,&Moch.YudiantaraFotopenulis:VirgusRagilErykoPenerbit:RHMDIndie/RahmadKurniawanJl.SidodadiBaruSurabaya–JawaTimur60144E-mail:[email protected],8x21cm;182hlm.Cetakanpertama,Desember2016Hakciptadilindungiundang-undang
iii
SanksiPelanggaranPasal113Undang-UndangNomer28Tahun2014TentangHakCipta
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
iv
Dengarkansetiapharapan,
Disetiapbelaianyangtersentuh
Akudisiniuntukbermaindenganmu,Didalamindahnyadukadansemu
Akuberjanjitidakakanmengecewakanmu
Akubersumpahuntukmembawamu
Terbangdanrasakan,Bayangkandandengarkan,
Bisikkanparadewi,
Untuksegeramemilikimu.
1
“Bulan Setengah Purnama”
Langit sedang bersahabat dengan awan. Cahaya bintang telah sampai dari surga.
Menyinari gulita, menghapus resah.
Kepada bulan setengah purnama, Ampunilah siapa yang berdosa
Maafkanlah siapa yang bersalah,
2
Aku rela pergi kapan pun kau siap, Berikan aku sedetik untuk memeluknya,
Ketika waktunya telah tiba.
3
Apa kabarmu hari ini, Mungkin ini sedikit norak,
Tapi aku pengin bilang sesuatu, “Aku kangen…”
4
Hai.
5
“Hai.”
Hanya itu yang aku mau saat melihat layar
handphone. Tapi mungkinkah dia sudi melakukan itu?
Aku rindu.
Kepalaku penuh dengan tanya, belum lama kita
berpisah, tapi kau seakan ditelan bumi. Tidak ada
namamu lagi disekitarku, padahal kita bersama
selama bertahun-tahun.
Sekarang aku lebih sering menatap kaca sendiri,
dan membayangkan sosokmu didalam kaca itu, bukan
aku.
Aku menggenggam tanganku sendiri.
Genggaman tanganmu, aku rindu.
Tanganmu yang lembut dan halus.
Selembut tatapanmu ketika menatapku, sehalus
bibirmu ketika aku mengecupmu.
6
Oh, aku terlena dengan kenangan ketika kita
bersama. Ketika waktu hilang saat kita bersama.
Saat kau melihatku tertawa dan aku melihatmu
tersipu. Bukankah itu indah?
7
Apakah dia merindukanku seperti aku merindunya
setiap malam?
8
Padahal kita sudah terikat satu sama lain,
teganya kau pergi.
Aku tidak akan pernah menyesal pernah membuang
waktu bersamamu.
Sedikit saja, apakah kau bisa hadir lagi
bersamaku, menemaniku disetiap malam ketika aku
merindukanmu, ketika aku sekarat menunggu sosokmu.
Aku benar-benar hampir mati karena tidak
memenuhi janjiku, harapan yang pernah kita buat,
bersama.
Pintu kamar terbuka.
“Den… Nggak kuliah?”, teman sekamarku, Tio,
masuk dan duduk dikasurnya.
Aku menggeleng. “Libur.”
“Gak kerasa ya, abis gini kita lulus.”
Aku tersenyum.
9
Sambil memegang cincin dijari manisku. Tio
melihat gerakan tanganku, dia melihat cincin yang
sedang kupegang, wajahnya berubah muram.
“Dia pasti seneng kok kalau lo lulus, Den.”,
katanya sambil melihat cincin ditanganku.
“Iyalah…”
10
“Yang tabah ya, dia tenang disana, semua ada
waktunya.”, dia bangkit dari kasurnya, “Gue cari
makan dulu, laper!”, katanya keluar dan menutup
pintu.
11
Entahlah, apa hanya aku yang merasakan semua
ini, ketika semua orang sibuk dengan urusannya
masing-masing. Tapi aku merasakan yang lebih
dalam, sebuah harapan jika dia masih ada disini,
disisiku menenamiku ketika aku membutuhkannya.
Apakah aku terlalu tinggi ketika mengharapkan
kita bersama selamanya dan menikah hingga aku
menjadi kakek dan dia menjadi nenek.
‘Lulus kuliah, aku tunggu kamu cari kerja dan
kita menikah…. janji?’, dia mengacungkan jari
kelingkingnya.
12
Aku tersenyum, aku melihatnya duduk disebelahku,
memelukku erat, walaupun semua terasa fana,
diantara nyata.
13
Kadangkala tak ada yang mampu mengerti, Betapa aku merindukanmu setiap hari,
Tak ada sehelai benangpun tahu, Dan siapa yang mau tahu?
14
Hingga habis kata, Belum ada kata yang mampu mewakili kecuali kata…
“Rindu”
15
“Rindu”
Tidak ada bunga yang tak layu. Tidak ada mati jika tak hidup.
Tiada hari tanpa senyum. Tiada hari tanpa sedih.
Apapun kata yang pernah ada. Apapun doa yang kau panjat.
Semua kan pudar dibirunya langit, Semua akan ada ujung walau sakit.
Duhai yang sedang jatuh cinta, Terbutakan kabut berwarna jingga. Nikmati sentuhan semua para dewa,
Tercekiklah dalam sengsara penuh tawa.
Ketukan irama tak kan berhenti,
Siap menanti apa yang harus dinanti. Setiap jamak yang diinjak,
Melamun bisu dalam kerasnya otak.
16
Demi Tuhan, aku bukan diriku selama ini, Cukup panjang kusiksa diri,
Terkikis bara api yang meraja, Dalam alunan ketukan baja.
Teriakku tak bersuara dalam gema, Tapakku melayang diudara.
Apa dan siapa menjelma tanda tanya, Seru hati menari lara.
Mengenangmu bukan memelukmu, Mengingatmu bukan mengecupmu,
Pergi. Pergi. Aku tidak mau dijamu semu. Sendiri. Diri. Mengaku kalau aku rindu.
17
Sudah sadarkah kau?, Aku disini,
Dalam kebimbangan,
18
Apakah wajahmu berpaling?, Rangkulah aku dengan hangatmu
Lemaskan tubuh bekumu Aku akan setia menunggu Hingga jarum tak berdetak.
19
Apa artiku tanpamu sekarang, Alasanku hidup berkurang ketika kau pergi,
Jika ini memang kehendak Tuhan, Baiklah, aku rela.
20
Kehilangan
21
Kehilangan tidak akan pernah hilang didalam
kehidupan. Menjadi aspek yang tak akan tergantikan
dan tak akan pernah bisa didustai.
Dari kehilangan pensil hingga kenangan. Semuanya
pernah kualami, dan aku menyesal sedalam perut
bumi. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku
sendiri.
22
“Maaf…”, air mataku menetes kepipi.
Ini adalah genggaman terakhirku, ini adalah
kesan terakhirku melihat wajahmu yang sudah pucat
dan tersenyum. Apa yang sudah kulakukan selama ini
adalah sia-sia, bodoh dan tidak tahu diri. Tubuhku
terlalu kotor untuk dekat tubuhmu yang terbaring
saat ini.
Langkahku menjauh, duduk dibangku paling depan
sambil menangis.
Ibunya datang menghampiriku, kerudungnya tidak
serapat terakhir aku bertemu.
“Nak, Norman.”, panggilnya sambil mengelus
bahuku. “Sabar ya…”, terdengar isaknya ketika dia
tahu aku juga menangis.
Aku mengangguk pelan. “Maaf, Ibu…”
“Jangan pernah menyesal…”, katanya terhenti,
isaknya semakin menjadi. “Kalau kamu menyesal, dia
tidak akan pernah tenang…”
23
Aku memeluk tubuh rentannya. Aku merasakan detak
tubuhnya ketika isaknya semakin meledak. Aku bisa
merasakan kesedihannya yang begitu dalam, dari
caranya menangis memelukku, dia berharap sesuatu,
yaitu ‘jangan menyesal’.
“Amnesia sementara…”, samar-samar aku mendengar
percakapan dokter dengan Mama dipojok kamar rumah
sakit ini.
Kepalaku pusing bukan main, tanganku sudah
terhubung dengan pipa-pipa kecil dan refleksi
tubuhku terpantul dari kaca kamar ini.
“Total beberapa hari. Tapi suatu saat dia bisa
sembuh, dan saya tidak dapat memastikan kapan
harinya…”, kata-katanya terhenti mendengar suara
seprai kasur yang menggesek, dia melihat tubuhku
bergerak dan mencoba bangun.
Matanya kembali ke tatapan Mamaku, “Kalau
begitu… saya permisi, Bu.”
24
“Ma…”, panggilku sambil berusaha bangkit dari
kasur.
Dia mendatangiku, membelai kepalaku dan
memelukku ditubuhnya.
“Jangan memaksakan diri, Norman.”
Aku memeluk tubuhnya, merasakan kain katun halus
yang dikenakannya, mencium aroma wangi melati dari
tubuhnya yang menenangkan, “Apa yang terjadi…”
Pelukannya semakin erat. “Ssh…”, menyuruhku
diam.
3 hari setelah aku pulang dari rumah sakit, aku
masih tidak tahu apa yang terjadi dan apa yang
sedang terjadi. Aku mengingat wajah-wajah yang
lama kukenal, wajah-wajah yang masih ada
dimemoriku saat ini.
25
Rumah ini sedikit asing bagiku, bukan karena
bentuknya atau alamatnya, tapi dekorasinya yang
amburadul, ada janur pandan dipojok ruangan yang
belum dibersihkan, ada kelopak bunga-bunga melati
yang bertaburan dipojokkan ruang tamu seperti baru
disapu.
26
“Kok masih belum dibersihkan sih, Pak Bud.”,
Mama mengeluh ke Pak Budi satpam rumah ini.
Aku duduk disofa putih. Melihat kebayangan Mama
dan Pak Budi yang terlihat dari balik jendela, aku
melihat kesekitar mencoba mengamati apa yang ada
disekelilingku.
Rumah ini berantakan, seperti baru saja ada
acara disini.
“Ya sudah! Bersihkan sekarang! Panggil Wati dan
Hendro!”, selesai Mama memarahi Pak Budi dari
balik jendela, ia masuk kedalam rumah, melihatku
duduk disofa, wajahnya sedikit tegang dan
tersenyum tipis.
“Siapa yang habis pesta disini?”, tanyaku
setelah melihat berbagai macam jajanan diatas
meja.
Dia tertawa kecil.
“Ma?”
27
Mama tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah naik
kelantai atas, suara hak tingginya lama kelamaan
memudar, tergantikan oleh suara tutupan pintu dari
atas.
28
Aku naik kelantai atas. Menyusuri lorong yang
penuh dengan kain katun putih yang tertata rapi
dipenjuru lorong. Aku lupa kamarku yang mana. Aku
membuka setiap pintu yang kulewati, menemukan
aroma yang tidak asing bagi penciumanku, tapi
sejauh ini yang kucium bukan aroma kamarku.
Saat kubuka pintu terakhir diujung lorong. Aku
terdiam.
Kamar ini penuh dengan kelopak bunga warna putih
dan merah. Dekorasi kamar ini sudah ditata rapi
dengan bunga-bunga di vas yang berada disetiap
sudut kamar.
29
Sekelebat wajah seorang wanita muncul
dimemoriku.
30
Telapak tangan menepuk bahuku, “Norman.”,
tepukannya membuat semua memori diotakku kembali
masuk dan urung kembali. Tapi aku masih mengingat
wajah wanita itu.
“Siapa dia?”, seraya aku bertanya.
Wajah Mama kebingungan.
Aku memegang tangannya erat-erat, “Jawab, Ma.”
Sekali lagi, dia memelukku erat-erat.
Aku balik memeluknya.
“Aliyah.”
“Siapa?”, aku sedikit pusing ketika mendengar
itu.
“A-L-I-Y-A-H.”
Aku mengerjapkan mataku. Tiba-tiba memori-memori
kecil menyerang seluruh jaringan otakku yang tadi
tak terjamah oleh sesuatu yang sangat sakral untuk
dibuka.
“5 hari lalu…”
31
Aku memeluknya lebih erat, serangan memori ini
tidak bisa kutahan lagi. Aku hampir kehilangan
gravitasi dibuatnya.
32
“Pernikahanmu dengan Aliyah gagal. Tiba-tiba…
Aliyah hilang dari kamar pengantin.”, ceritanya
cukup jelas untuk menjelaskan gambaran yang ada
diotakku.
Aku mengejarnya, keluar dari jendela kamar ini.
Loncat dari lantai dua. Aku mengejarnya keluar
rumah. Aku masih bisa melihat gaun pengantin
kebayanya terurai dijalanan, melati-melati yang
ada dikepalanya berguguran detik perdetik, mirip
dengan impian-impianku yang berguguran.
Saat wajahnya menoleh melihat kebelakang
kearahku, air matanya telah merusak tata riasnya,
matanya berlinang air mata hitam dari dandannya
sendiri.
Saat kulihat kelopak mata itu melebar, dia malah
berbalik arah, telapak tangannya mengarah ke
arahku, wajahnya panik, dia berteriak, “Awaaaaas!”
33
Hitam.
Pekat.
34
Aku kembali terbangun dari mimpi tadi. Aku masih
memeluk tubuh Mama. Tubuhku mengigil karena
serangan kenangan yang tak kenal urutan.
35
Hari itu juga aku minta untuk diantar
kerumahnya, tapi Aliyah sekeluarga tidak ada
dirumah. Mereka sedang berada dirumah sakit.
Aliyah terbaring diatas kasur rumah sakit, dia
tertabrak setelah aku tertabrak.
Keluarganya menceritakan apa yang Aliyah katakan
sebelum koma, yaitu
36
“Bu, Aku tidak cinta dengan Norman… Jangan paksa
aku… menikah.”, baju pengantin putihnya bersimbah
darah, dan wajahnya penuh dengan muntahan darah.
37
Belum dua jam aku datang, tiba-tiba Aliyah
kritis dan nyawanya tidak tertolong karena
pendarahan yang begitu hebat saat kejadian
beberapa hari lalu. Tim dokter hanya bisa meminta
maaf karena hanya bisa mampu untuk mempertahankan
nyawa Aliyah yang sebenarnya sudah tidak
terselamatkan.
38
Didalam pelukan tangis ini, aku menyesal kepada
diriku sendiri. Menyesal karena mau dijodohkan,
menyesal karena hari pernikahan itu ada, dan
menyesal karena aku baru saja menghilangkan dua
nyawa: nyawa Aliyah dan nyawa nafsu bercintaku
lagi.
39
“Maafkan,”
Kau pikir hatiku batu? Tak berambang, terus ditekan
Apa maumu, bukan mauku
Kau pikir rasa ini sama?
Setelah semua terbuka, Setelah semua kelana,
Ku semakin bosan.
Selir hembusan napasmu Wangi aromamu tak seperti dulu
Terlalu jujur untuk dikata Terlalu sakit untuk dirasa
Terlalu lega didada.
Maafkan, Sudah lelahku berbohong,
Disetiap kata yang terucap,
Disetiap genggaman ditangan,
Dingin tak hangat, Panas tak nikmat.
40
Jangan paksa hatiku mencintai, Rasa ini akan tetap mati,
Sadar dari mimpi sangat panjang, Cintaku bukan kamu,
Tak peduli waktu, Suatu hari aku akan mengutara.
Dinding beton tinggi terukir nama kita, Akan runtuh, terkikis kenyataan,
Rasaku dan rasamu telah lenyap, Hambar dan terbuang,
Membuang sejuta detik bersama.
41
Sedikit terang, Tapi aku tersadar,
Semua yang telah terjadi, Tidak tanpa alasan.
42
Pendosa Jatuh Cinta
43
Aku terlalu bosan dengan suasana ini. Bosan
dengan tempat ini. Semuanya masih terasa begitu
sama dengan kemarin, sama sekali tidak berbeda,
aku benci dengan tempat ini. Ketika dia masih
disini.
44
Air dikran itu masih berintik sama. Tapi katamu
dulu: “Aku suka dengan denting air itu.”, saat itu
kita berpelukan diatas sofa, melihat indahnya awan
sore hari dijendela kamar.
Hangat sekali.
Rindu sekali, rindu dengan pelukanmu.
Katamu dulu kamu suka dengan rambutku yang
panjang, berkuncir satu. Rambutku masih berkuncir
satu, masih panjang, dan sudah kucuci tadi pagi
dengan aroma kesukaanmu ‘Aroma Cokelat’.
Kau suka membelai rambutku, menciumnya, sampai
kau mengecup bibirku.
Apakah kau juga merindukannya sekarang?
Ciuman disofa sore hari itu?
45
Mungkin aku terlalu bodoh sehingga aku jatuh
cinta kepadamu. Mungkin dulu aku terlalu buta
ketika kau menatap mataku. Atau aku terlalu mati
rasa ketika kau mengecupku? Manis sekali jika
diingat, bibirmu manis sekali.
46
Sudah kubilang, hubungan kita tidak akan lama
jika terjadi. Tapi kenapa aku mau denganmu? Kenapa
aku mau menjadi kekasih gelapmu? Apakah cinta kita
sebegitu butanya sampai-sampai kamu mau gelap-
gelapan?
Tapi akhirnya aku mau. Aku mau mencintai kamu.
Awalnya aku ragu, awalnya aku tidak akan
menganggap hubungan ini serius. Aku berlagak
santai.
Aku membelot, perasaan ini semakin hari semakin
tumbuh, dari hanya bibit sekarang sudah tumbuh
pohon rindang dengan buah-buah yang tidak
mempunyai daging, dengan harapan-harapan yang
tidak akan pernah terjadi. Dan tiba-tiba
undanganmu pernikahanmu sudah ada didepan pintu.
47
Ketika itu aku sadar, mungkin hanya orang bodoh
yang mencintaimu. Mungkin hanya orang gila yang
akan mencintaimu, mungkin hanya pendosa yang jatuh
cinta kepadamu.
Dan akulah orang bodoh itu.
Akulah orang gila itu.
Akulah pendosa itu.
48
Terlalu bodoh untuk merasakannya,
Tapi kau begitu sempurna.
49
“Percaya”
Aku kehilangan semua yang telah kupercayai.
Semua yang dibangun oleh satu buah kata ‘percaya’
Diri terlalu bodoh untuk sadar, terlalu lama untuk merasa.
Apa yang salah dengan seutas garis merah ditelapak?
Kenyataan dan harapan terbentur menjadi debu.
Tidak ada batasan diantara mereka, semuanya mengabur.
Tubuhku terapung didalam indahnya wahyu pekat.
Kubahagia menyiksa diri tanpa bernapas.
Dimana warna? Dimana fana? Dimana nyata?
Apakah bisa terima bahwa aku sudah ‘dewasa’?
Tidak ada kaca yang berani melihat tubuh ini.
Refleksiku malu melihat bayangannya sendiri.
50
Langkah kaki berjalan mundur menuju laut lepas.
Melayang diantara ombak yang sedang murka.
Aku tersesat oleh langkah kaki sendiri.
Menuju kerajaan ketidakpastian.
Beginikah caranya?
Terlalu menyiksa, terlalu indah.
Jarum detik mengarah berbalik.
Ruang waktu kembali, dan kembali.
Kenangan terasa nyata dengan sentuhan maya.
Lagi-lagi terjebak dalam ruang penuh kenangan.
Disinikah rumah yang sebenarnya?
Tanda tanya terbesar. Jawaban melebar.
Waktu adalah guru teragung dibumi ini.
Untuk mengembalikan kepingan-kepingan yang sudah hilang.
Kembali menyusun sebuah hal yang sukar diraih.
yaitu: ‘rasa percaya’
51
Ada yang main-main, Dengan hatiku dan itu kamu,
Aku tersenyum diatas penderitaan, Dan bahagia dalam harapan.
52
Disabda Rindu, Dibelai Sendu
53
Pa, tolong aku, raih tanganku
Aku jatuh didalam lubang yang mengerikan.
Ma, aku butuh sedikit napas untuk bergerak
Aku bosan, aku kangen, aku sedih
Dimana duka, disana neraka
Bersabda rindu, dibalut sendu
Dicekik harapan, dibunuh kenangan.
Kenapa bayangmu masih ada,
Kenapa dan kenapa,
Aku bertanya ke siapa…
54
Tangannya berhenti menulis.
Ia meletakkan bolpoinnya dan melepas kacamata.
Ia termenung melihat tulisannya sendiri, hidup
didalam setiap kata yang ia gambar. Tubuhnya masih
duduk dikursi, namun jiwanya sudah terbang ke alam
lain.
Dunia yang penuh dengan kepingan-kepingan masa
lalu. Sedih dan bahagia, ia merasakan kembali
menjadi dirinya sendiri dan hidup didalam kepingan
yang terlintas.
“Deni…”, panggil Ibu dari ujung lorong rumah
masa kecilnya. Suaranya masih terdengar halus dan
mendamaikan. “Ayo, sini.”
Ia merasa terpanggil, kakinya mulai berjalan.
Melihat kakinya sendiri, mungil dan berkaos kaki
warna biru, dia tersadar ia kembali ke umurnya
yang baru 5 tahun.
55
Saat tatapannya kembali ke arah Ibunya, dunia
kembali menghitam. Berkedip cahaya, dari
kelopaknya sendiri.
56
Sekarang dia dipemakaman, tertunduk dikelilingi
oleh orang-orang yang menangis. Ia menyentuh
wajahnya sendiri, basah, dan hatinya mulai ngilu
ketika ia sadar, ini adalah pemakaman Ayahnya.
Pelukan itu datang dari belakang, seorang pria
dengan kulit sawo matang.
“Yang sabar ya…”, suara itu adalah suara
Ayahnya.
Deni melihat kearah pelukan itu, dan benar, itu
adalah Ayahnya, dihari kematiannya sendiri.
57
Deni meneteskan air mata. Memeluk tubuhnya
sendiri, kepalanya terbaring diatas meja. Ia tidak
sanggup lagi dengan semuanya. Dengan kenangan yang
terus datang setiap malam.
58
Pa, kapan kita bisa betemu,
Disurga…
59
“Selamanya”
Aku mendengar ayat-ayat itu diubun-ubun, Pertanda malaikat maut menjemput.
Indahnya gemerlap. dalam gelap. memikat.
Kunikmati euforia kematian yang kudamba selama ini. Tangis. dramatis. romantis.
Rasa yang tidak akan pernah terulang.
Aku marah. marah pada diri sendiri yang egois. Bengis. mati dalam tragis.
Senyumku akan abadi, dalam setiap tawamu.
Kumohon dalam sentuhan transparan. Jangan menangis, karena aku bahagia.
Dijemput sang kuasa.
sejuta dosa masih terasa dikening. tak berkeruh namun bening.
60
Selamat tinggal, kawan. Aku akan disisi, dalam sedihmu.
Serbuk kenang akan selalu dikenang.
Untuk melahirkan senyum kecut. Senyum benci, bahagia, dan cemberut.
Aku akan pudar dalam lupamu.
Lahir dalam tangismu.
Aku disini. Selamanya.
61
Siapa yang menginginkanku ada?, Tidak ada,
Aku berhak dicintai, Tapi tak seorang pecinta mampu.
62
Ada yang Mau Tidak Ada
63
Bangku kayu kasar.
Bau seragam basah.
Dari tertawa sampai cerita, ada diruangan ini.
Entahlah sorak apa yang ada dipojok depan sana,
mereka terlihat bahagia dengan tawa gigi putih
yang semakin melebar. Atau mereka yang sedang
berkumpul membuat forum diskusi tempurung kura-
kura disana. Apapun yang mereka bicarakan, adalah
topik kapur, satu hari jadi lebur.
Kulit ini bermesraan dengan meja kayu ini. Tidak
mendengar bisingnya ruang kelas ini ketika
istirahat datang. Telapakku menopang dagu,
telingaku menikmati lagu.
Inilah masa SMA yang katanya ‘tak terlupakan’.
Tak terlupakan jika sampai saat ini, aku masih
tidak punya teman sama sekali.
Apa mungkin aku kurang bergaya berandal seperti
mereka yang sedang bercanda itu? Atau mungkin aku
64
terlalu rapi dengan setelan seragam putih abu-abu
ini? Ah, aku tidak peduli, yang penting lagu
ditelingaku tidak pernah lepas.
Wajah-wajah yang tadi bercanda berubah menjadi
wajah terburu-buru.
Forum tempurung kura-kura tadi bersiap diposisi
masing-masing. Baiklah, ini sudah jam masuk.
Menurut jadwal, ini adalah pelajaran bimbingan
konseling dari guru baru.
Siapapun gurunya,
aku tidak mau tahu, dan aku tidak mau kenal.
Bangkuku berada diposisi strategis dipojok kelas
bagian belakang. Sendirian tanpa teman sebangku.
Wanita berkerudung pelangi masuk keruang kelas,
mengenakan setelan berwarna coklat tua yang
kontras dengan warna kerudungnya. Ada balutan
pemerah dibibirnya, sedikit eye-liner dimatanya.
Senyumnya memiliki dua arti: diam atau mati.
65
“Selamat pagi, Anak-anak.”, sapanya seraya
seluruh kelas menjawab, kecuali aku.
“Perkenalkan, nama saya Rumi Setyaningsih.
Panggil Ibu Rumi saja.”
“Selamat pagi, Bu Rumi…”, kata sebagian dari
kelas.
Telapaknya bertepuk. Wajahnya berubah menjadi
sumingrah dan semangat.
“Oke! Langsung saja!”, katanya semangat. “Apakah
kalian bersemangat hari ini?”
“Semangat, Bu!”, seluruh kelas menjawab.
66
Tidak sama sekali, teriakku dalam hati.
67
“Saya yakin hari ini adalah hari terindah bagi
kalian, begitu juga dengan hari-hari kalian
sebelumnya. Kalian semua harus setuju!”, nadanya
semakin tinggi dan bahagia.
“Setuju, Bu!”, dijawab dengan semakin semangat.
Baiklah kalau memang harus setuju, akan kubuat
hari kemarin adalah hari terindah.
Yaitu hari dimana Ibuku tidak pulang sama sekali
ketika Ayah meninggal, dan suami baru yang
akhirnya menetap dirumah.
Atau hari ini, dimana adik kecilku koma dirumah
sakit dan Ibu masih juga kelayapan dengan suami
barunya.
Baiklah,
ITU SEMUA INDAH.
68
“Jangan pernah menekan diri kalian sendiri,
kalian adalah manusia bebas! Kalian muda! Kalian
bisa!”
“Kita muda! Kita bisa, Bu!”
Baiklah aku tidak akan menekan diri sendiri.
Kecuali memang keadaan akan menekan seluruh emosi
yang ada didalam diri untuk cepat keluar.
Menangis dan menggila.
Aku sama sekali tidak menekan emosi itu keluar
ketika tahu hidupku adalah yang terkacau balau
didunia.
Aku manusia bebas, aku masih muda. Bahkan
didalam kamar mandi pun memiliki aturan, dimana
sisi kebebasan didunia ini?
69
“Jangan meninggalkan kehidupan! Karena kehidupan
takkan meninggalkan!”, Bu Rumi sambil mengepal-
ngepalkan tangannya keatas.
Benar. Kehidupan tidak akan meninggalkan, dan
kehidupan akan mempermainkan seluruh cerita
dihidupku dari Ibu kelayapan, adikku yang koma,
dan cinta pertamaku yang hilang.
70
Benar, kehidupan tidak akan meninggalkan, tapi
menjauh sejauh surga dan neraka.
Percuma aku berlari untuk meraih tujuan hidup
sempurna, barang mewah dan banyak teman, kalau
memang takdirnya akan hilang, kenapa harus
memiliki? Hanya untuk sakit hati?
Kalaupun aku mau, aku bisa mendapatkannya, tapi
hidupku sudah tak berselera dan tak beraroma.
71
“Apakah kalian ingin tetap hidup sehidup-
hidupnya dibumi ini?!”
“Iya!”
72
Aku sudah mati. Mati rasa dan gaya.
73
“Apakah kalian bangga telah lahir dibumi ini!?”
“Bangga!”
74
Bangga. Karena aku adalah hasil hubungan gelap
ayah dan ibuku.
75
“Kalian mau disini. Kalian ada karena kalian
mau!”
“Kami ada karena kami mau!”
Aku ada karena sperma ayahku tidak sengaja
menyentuh sel telur ibuku.
Bu Rumi tertawa kecil, “Masa iya ada yang gak
mau ‘ada’ dibumi ini…”
Seluruh kelas tertawa. Kecuali aku.
76
Ada.
Dan orangnya ada disini.
Didalam tubuh ini.
Aku kembali mengenakan earphone-ku lagi.
Telingaku tidak ingin mendengar kata-kata omong
kosong guru baru itu.
77
“Dua Orang”
Aku tidak mau menatap matamu terlalu dalam Ada dua orang disana, yang kucintai dan ku benci
Jangan main-main dengan yang satunya,
Tapi dia sungguh menggoda.
Aku tidak bisa berkata tidak, Tapi aku akan berkata jangan,
Tolong jangan ajak mereka ditubuhmu, Bersihkan dirimu, datanglah kepadaku.
78
Kan ku ajari, bagaimana menjadi manusia Kan kubisikkan sebuah rahasia, tentang kita
Bahwa yang sebenarnya…
Kita sama-sama busuk.
79
Untuk apa kamu tersenyum didepanku, Tapi bilang tidak sudi dibelakangku,
Lihat, Siapa yang paling munafik diantara kita,
Kamu.
80
Munafik
81
Suara sendu hujan mengiringi tapak kakiku yang
begitu yakin menghantam tanah, tas hitam yang
kupegang tak berdaya menahan air untuk menyentuh
wajah dan kepalaku. Mereka berdatangan, beribu
menyerang tanpa menyakiti.
Kuterobos hujan ini tanpa bantuan kain atau
plastik apapun. Aku tidak takut.
Jalan ini seketika tampak sepi saat aku
berjalan.
Tak pernah kulihat jalan sesepi ini sebelumnya,
mereka bersembunyi, tak punya nyali untuk bertahan
diri dibawah serangan hujan ini.
Aku sendiri, berjalan dengan tegar tanpa malu
untuk dilihat ratusan mata yang sedang
memandangiku dibawah atap.
Aku hidup dikota yang tak pernah tidur,
kehidupan muncul dari pagi hingga pagi. Aku hanya
salah satu dari sekian ratusan juta penduduk kota
82
ini. Sekian ratus juta yang tidak mau terlihat
bodoh dihadapan orang lain, tidak mau terlihat
jelek dihadapan orang lain. Apakah aku sama dengan
mereka? Apakah aku ini hanya salinan dari mereka?
Mereka yang berteriak ‘TIDAK TAKUUUUT!’ tapi
ketika hujan turun mereka akan berteduh dan
berbisik, “Takut Basah…”.
Mereka yang berteriak, “Anak kecil tidak boleh
merokok!”, tapi mereka sedang menikmati asap cukai
yang menari diparu-paru mereka.
Mereka yang berteriak, “Jangan merusak alam!”,
tapi mereka sedang duduk dibangku kayu yang
membunuh seribu pohon untuk membuat sebuah kursi.
Dunia apa ini?
Hari ini adalah hari perlawananku untuk dunia
seperti ini, untuk keadaan seperti ini. Aku tidak
betah hidup diantara dua sisi kehidupan, aku tidak
ingin berjalan dijalur yang berbeda.
83
Beberapa detik yang lalu aku resmi menjadi
pengangguran, aku sudah tidak mau bekerja dengan
ular berkepala dua. Aku tidak hanya berbicara
atasan, aku berbicara dengan SEMUANYA. Bahkan
teman sekantorku pun, memiliki dua wajah dan dua
kehidupan yang berbeda. Terlalu banyak wajah yang
tak seharusnya muncul dikantor.
Bawahan akan selalu senyum didepan atasan.
Padahal mereka sedang berteriak menyumpah serapah
atasan mereka ketika berhadapan.
Aku pun juga sudah muak dengan teman kantorku
yang selalu lupa dengan pinjaman alat tulis, aku
memasang wajah ‘oh nggak apa-apa kok santai aja’,
padahal didalam hati berkata: ‘anjing! lo kira itu
murah’.
Beberapa menit yang lalu, aku datang keruangan
atasan.
Aku menggebrak mejanya.
84
Dia kaget, aku tidak.
Aku berteriak kencang dimukanya.
85
Aku meneriakan kekesalanku, kebanggaanku,
kesetiaanku, ketidak setiaanku, kebodohanku,
kemarahanku, kebaikanku, dan semuanya yang pernah
kuberikan kepadanya.
86
Satu kali teriakan = Seribu masalah dan pujian.
Setelah itu aku keluar dari ruangan, dan seluruh
wajah dan mata menusukku dengan pertanyaan tanpa
suara, “Apa yang sudah terjadi?”
87
Aku tidak peduli.
Aku akan pergi.
88
Dari kota yang penuh wajah seperti ini.
Aku sudah tidak betah hidup seperti ini.
89
Biarkan aku pergi ke utopia.
Biarkan aku mandi dengan air hujan ini.
Biarkan aku membasuh suci diriku dari air alam
ini.
90
Aku ingin menjadi orang baru.
Orang yang lebih baik.
91
Mulai hari ini,
Mulai detik ini,
92
Aku bukan hipokrit,
Aku bukan orang munafik.
93
“Bocah Lanang”
Bulan telah berada diubun-ubun Baru saja aku tertawa, lima menit lalu Tapi baru saja aku merenung saat ini
Rasa tak adil muncul diwaktu yang tepat Rasa sendiri dan sempit, semua dan semua
Dari bahagia hingga merana, sekejap.
Lelah aku dipermainkan tuhan tentang kematian Apa yang berdetak bukan detak nyata
Tidak ada sistem yang bermakna ditubuh ini
94
Biarkan waktu yang menjawab, Biarkan tawa kubuat-buat,
Mempermainkan rasa semena-mena.
Lihatlah bocah lanang yang sendirian dijalan, Menatap depan melihat hidupnya berantakan,
Melamun tanpa tahu arah untuk pulang.
Jika mimpi sudah kelam, jika impian sudah gelap Raja gulita mana lagi yang berteman?
Semua gulita adalah sahabatnya, yang paling mengerti.
95
Menari diatas kuburan Aku bahagia,
Ditengah karam.
96
Yang Sedang Bermain
97
Pedagang sayur itu mengeluh kepanasan.
Pengunjung pasar itu berlari kehausan.
Tukang angkat sudah mandi oleh keringatnya
sendiri.
Aku duduk. Duduk diatas keranjang penuh dengan
jerami dan kardus telur yang sudah rusak. Melihat
suasana disekitarku yang sibuk dengan pekerjaannya
masing-masing. Aku sibuk dengan pekerjaanku
sekarang… pekerjaan melihat suasana.
Kacau.
Bau.
Mereka bertahan demi berebut rupiah yang
melayang dari pembeli. Berebut pelanggan satu sama
lain, menghianati tali pertemanan mereka untuk
bertahan hidup. Tidak ada yang tersenyum satu sama
lain, kecuali senyum seribu maksud. Senyum untuk
mendapatkan harga murah atau hanya senyum basa-
basi karena sudah bosan mengobrol dengan lainnya.
98
Apa ini?
Planet apa ini?
Apakah aku sudah pindah dari Bumi ke Mars?
Semakin hari semakin panas, semakin hari
matahari terasa lebih menyengat. Memisahkan yang
berdekatan, menghilangkan yang berjauhan.
Aku menghela napas.
Aku hidup dizaman yang penuh dengan dosa. Itu
yang mereka katakan.
Bagaimana bisa orang zaman sekarang mengatai
dirinya sebagai pendosa. Mengatai zamannya sendiri
‘yang terburuk’, ia menghianati dirinya sendiri.
Ya. Sama seperti aku.
Aku hidup dimana orang yang lebih licik bisa
mengalahkan orang yang lebih cerdik. Mengalahkan
sungai dengan laut. Mengalahkan kuburan dengan
longsor.
Semakin hari, semakin buruk.
99
Seperkian detik, aku menjadi orang yang lebih
kusam dan jelek.
Mereka yang haus surga menyuruhku untuk segera
memeluk agama.
Mereka yang ingin kaya menyuruhku untuk bekerja,
menjadi peliharaan tikus mereka.
Mereka yang ingin kekuasaan menyuruhku untuk
mengikutinya.
Aku tidak memilih siapapun. Hidupku tidak akan
dimiliki oleh siapapun. Aku adalah buangan yang
tidak direstui hadir didunia ini. Ibuku sendiri
membuangku dijalanan, pemberian yang mengesankan…
tempat tidur gerobak sampah.
Seleraku sudah hancur sejak bayi. Aromaku sudah
berbaur dengan aroma sampah.
Mengenaskan. Memalukan.
Seseorang melempar uang receh kekaleng
ditanganku.
100
Lihatlah, bahkan yang tidak aku minta datang
dengan sendirinya. Tapi aku tidak bergairah dengan
uang. Sangat tidak bergairah, kecuali jika aku
lapar.
Disebrangku ada orang berjualan kaca. Kaca itu
memantulkan gambaran tubuh dan wajahku.
101
Lihatlah kaki mungil yang sedang bergantung itu.
Lihatlah baju sobek-sobek ukuran orang dewasa
itu.
Lihatlah wajah bocahku yang menua karena
pemikiranku.
Lihatlah bocah lelaki yang mengenaskan itu!
102
Aku hanya ingin bahagia, walaupun sedetik.
Berikan aku senyuman, sedikit saja.
Aku hanya ingin teman, walaupun tidak lama.
Aku ingin seperti anak-anak yang lain.
Yang sedang bermain.
103
“Who am I Belong to?”
They want my hair black, They want my hair short
They want the blue jeans, Wore me a black jacket.
Tell me that I was so wrong, They told me worst and worst
And it’s a thousand times more
They want me to be skinny, They told me to be stronger.
They want me to be rainbow, But, what’s wrong with being mono.
104
someone who doesn’t me into me, someone who really different in my eyes,
why can’t i handle my self? why society kill me slowly?
they want me to be that. they want me to be this.
Oh God, who am i belong to?
to you or to them?
105
Tidak ada cinta untuk hari ini Besok, atau bahkan selamanya.
Aku mati rasa.
106
Valentine untuk Pelacur
107
1 tangkai mawar merah.
1 batang cokelat manis.
1 kecupan didahi, ketika hari valentin.
“It’s just for the boys and the girls, Dear.”,
kataku dalam otak. Aku masih terus menghisap rokok
ini, ditengah kasur dengan jendela hotel yang
terbuka dan kasur yang berantakan. Baju tidurku
sudah tak semulus setengah jam yang lalu, rambutku
kacau karena dia terus menjambak ketika kita
melakukannya.
108
Hari ini adalah hari kasih sayang, Valentine’s
Day, dan seluruh dunia merayakannya sebagai hari
yang penuh dengan cinta, hari yang penuh dengan
bunga, dan hari yang penuh dengan cokelat.
10 tahun lalu, aku masih kelas 3 SMA, dan
pertama kalinya aku merayakan hari kasih sayang
dengan seorang pacar. Namanya Robert, kupanggil
Ubet. Dia adalah salah satu cowok tertampan
disekolah ini, yang akhirnya dia memilihku untuk
menjadi pacarnya.
Aku meringis.
Hari itu, 14 Februari 2005, penuh dengan
kebahagiaan. Penuh dengan bunga, penuh dengan
bunga, dan penuh dengan kecupan. Walaupun aku
sudah merasakan cokelat itu beribu kali
sebelumnya, tapi rasa cokelat yang ‘biasa’ itu
menjadi ‘luar biasa’ ketika dia yang memberi.
Mungkin aku hanya terjebak keindahan sehari itu.
109
Hari itu juga, aku memberikan keperawananku ke
dia, mahkota yang kujaga agar tidak tersentuh oleh
siapapun akhirnya disentuh oleh sang pangeran.
110
“Pangeran Bajingan…”, kataku pelan sambil
menghisap rokok ini.
Dan 15 Februari 2005, Ubet meminta hubungan itu
segera berakhir, dan alasannya masih menempel
diotakku: “Felicia… dia hamil.”, katanya sambil
melirik kearah wanita yang tidak asing wajahnya.
Dia sahabatku sendiri.
Aku melihat Ubet, “Risa?”, aku tahu pembicaraan
ini akan mengarah kemana.
Segeralah aku mengakhiri pembicaraan ini dengan
tamparan tangan kanan kewajah Pangeran Bajingan
itu. Tamparan itu seperti meneriakkan kata-kata
kotor yang tidak ingin kusebut waktu itu, dan
setelah kejadian itu mereka menikah setelah lulus
sekolah.
111
“And they’re happily ever after…”, nadaku
seperti membaca akhir kata disetiap dongeng, rokok
ini masih sisa setengah.
Mereka bahagia.
Aku merana.
112
Hidupku sudah hancur karena bayang-bayang suram
masa depanku, orang tuaku meninggal karena
kecelakaan setahun setelah aku lulus sekolah, aku
hanya mempunyai kakak perempuan yang memutuskan
untuk jadi TKW di Malaysia, dan tidak ada kabar
setelah setahun orang tua meninggal.
Salah satu pekerjaan yang menyelamatkan hidupku
saat ini adalah ‘Pelacur’.
Aku terjerumus kedunia ini, dari jalanan hingga
booking-an pejabat. Banyak pejabat yang menyerukan
melarang PSK sepertiku ini berkeliaran pernah
tidur denganku, dan dia menikmati setiap sentuhan.
“Hypocrite Bitch.”, ini adalah hisapan sedot
terakhirku.
Bayangkan sudah dimana hidupku sekarang jika aku
tidak menjadi pelacur dari dulu, mungkin aku sudah
hanyut disungai dengan bunga mawar dan bungkus
cokelat yang bertaburan dihari valentine itu.
113
Pak Toriq keluar dari kamar mandi. Dia sudah
rapi dengan setelan jas dan dasi. Dia tersenyum
padaku.
“Happy Valentine’s Day, Sayang.”, katanya
tersenyum
Aku tersenyum.
114
Tidak ada lagi hari kasih sayang bagiku, seribu
bunga mawar pun sekarang tak ada artinya, dan
sebongkah cokelat batangan mahal sekarang sudah
hilang rasa dilidahku. Kecupan didahi yang dulu
romantis, sekarang tidak berarti bagiku.
Pak Toriq datang kehadapanku, mencium bibirku.
115
Ciuman ini tidak punya rasa lagi, hati ini tidak
lagi memiliki cinta, cinta hanya auman singa yang
tak memiliki gigi.
Pak Toriq melemparkan sekepal uang ratusan ribu
kekasur. “Sampai ketemu lagi.”, katanya sambil
berjalan keluar dari kamar ini.
116
Inilah hari valentine untukku, untuk para
pelacur sepertiku. Karena aku dibayar untuk
menciptakan hari-hari mereka bergairah.
Hari-hari mereka menjadi penuh dengan cinta.
“Happy Valentine’s Day…”, kataku pelan.
117
“Pertemuan Terakhir
Aku yakin ini bukan ilusi. Permainan mimpi oleh dewi.
Menyentuh wajahnya.
Ku berlari dalam silaunya pagi. Teriak hati memohon jangan pergi. Pasrah adalah yang diinginkannya.
Pagar hijau berjeruji menahan. Panjang tak tergapai mengulur tangan.
Apakah hanya aku yang menteskan air mata?
Jika ini sebuah pertemuan terakhir. Biarkan suaramu terukir.
118
Keabadian yang kekal. Kesalahan yang dangkal.
Terima kasih pernah ada. Terima kasih pernah singgah.
Ceritaku dan kamu hanya kita yang tahu. Biarkan yang lain menduga, sesat dalam kata.
Rinduku lebih dari sewindu. Hati mati rasa, berantakan tak tertata.
119
Tinta tanpa makna, Goresan antara fana dan realita
Kenapa kita bersama, Walau akhirnya harus berpisah?
120
Putus
121
Beginikah rasanya patah?
Beginikah seharusnya ini terjadi?
Hidupku terikat oleh tali bernama ‘harapan’,
terlalu sesak hingga aku lupa bernapas, hingga aku
lupa diri, hingga aku lupa dengan sebuah
kenyataan.
Didalam ikatan yang memilki penuh warna,
memiliki berjuta mimpi indah, aku melayang, aku
terbahak bahagia, hingga gravitasi ada,
menghempaskan tubuh ini ketanah sekencang-
kencangnya.
Aku mati gaya ketika dia bilang:
“Sayang, kita harus bicara…”
Sekelibat teringat dimana kita pertama bertemu.
Pertama berkenalan, pertama jatuh cinta, dan
pertama memiliki harapan yang indah untuk hidup
bersama selamanya.
122
Aku tak merespon, aku mati kutu, saat kamu
bilang:
“Maaf…”, katamu menyesal sambil meneteskan air
mata.
Lihat pohon dipojok jalan itu, apa dia pernah
mengingat saat-saat kita berpacaran? Kita suka
berteduh dibawah pohon, bersandar satu sama lain.
Apa dia pernah ingat momen-momen konyol yang kita
alami bersama? Ingat waktu aku biarkan kamu
berjalan dengan tulisan dipunggungmu: ‘aset negara
milik perorangan’, kamu baru tahu ketika kamu
sudah pulang. Atau aku yang lupa menutup resleting
celana, dan kamu biarkan sampai aku pulang
kerumah. Momen itu sekarang tayang jelas didepan
mataku, terngiang indahnya masa itu, pilu jika
kubandingkan dengan apa yang sedang terjadi.
“Kita harus putus.”, isaknya menjadi-jadi.
Indah. Pedih. Bahagia. Sesak.
123
Ingat suapan sup asin itu? Kamu tertawa
terbahak, walaupun sebenarnya aku jengkel, tapi
aku masih cinta, semakin mencintaimu.
Apakah kamu ingat dengan pelukan diatas gunung
itu? Aku masih bisa merasakan kehangatannya,
ketika napasmu menyentuh jaketku, ketika tanganmu
melingkar ditubuhku, ketika bibirku mencium
keningmu.
“Aku… Hamil… Dan… Ayahnya… Adalah… Marlo.”, dia
menangis, menutupi wajahnya.
Suaramu ketika memanggilku dulu adalah yang
termerdu. Adipati, kamu singkat jadi ‘Dipa’,
panggilan sayangmu untukku.
Ingat ketika kamu kehilangan arah di Pasar
Malang? Aku menemukanmu ketika kamu berteriak
namaku ditengah kerumunan. Telingaku cukup
124
sensitif untuk mendengar panggilan dari orang yang
paling kucintai.
Tapi kenapa ingatan itu tidak kunjung hilang
saat ini terjadi? Kenapa ingatan ini semakin
muncul kepermukaan otakku.
Ingatan-ingatan, janji-janji, harapan-harapan
yang kita buat bersama semakin terdengar disuara
isak tangismu. Setiap air matamu jatuh kebumi, aku
mendengar teriakan didalam hatiku yang berharap
ini adalah mimpi burukku.
Air mataku jatuh kepipi. Semakin deras, semakin
kering.
Tubuhku tidak bisa bergerak, mengaku dibekukan
oleh kata-katanya. Aku tidak mampu melihat
wajahnya, ingatan itu cukup jelas untuk kulihat
sekarang.
Kata-katamu muncul lagi: ‘Jangan cengeng, cowok
gak boleh nangis.’, itu waktu aku kesakitan ketika
125
jatuh dari motor, tanpa kesakitan, dia malah
menolongku mengangkat motor yang jatuh karena
terpleset genangan air ditikungan. Aku sedikit
mengeluarkan air mata, tapi dia tak meneteskan
mata sedikitpun.
Sambil menutupi wajahnya, dia mendekat kedadaku.
Dia memelukku, aku tidak membalas pelukan itu,
aku… membeku.
Untuk saat ini, peraturan ‘cowok dilarang
cengeng’ hilang seketika. Kita berdua sama-sama
menangis, seperti kehilangan sesuatu yang telah
lama kita bangun bersama, yang telah lama kita
jalani bersama, bahagia-suka-duka, hampir seluruh
masa remajaku adalah dia, dia yang sekarang sedang
hamil, hamil oleh seseorang yang bahkan tidak
kukenal namanya, hamil diluar nikah.
126
Ini adalah pelukan terakhir.
Pelukan terakhir menangisi kehilangan bersama,
kehilangan teman hidup yang tak sejalan. Kita akan
berpisah, karena saat ini kita resmi: PUTUS.
127
“Sedang Kacau”
Maaf aku kembali menjadi yang dulu Bukan tanpa alasan aku melakukan ini
Aku sendiri tidak mau menjadi seperti ini
Menyiksa, dan sendiri Setiap aku sadar, bahwa dunia ini memang kejam
Harapan dan mimpi yang tak pernah tersentuh Dan tak seorangpun akan memenuhi keinginanku
Tidak sulit untuk mewujudkannya Tapi sangat berat untuk menjalankan
Tidak seorang pun yang akan paham dan mau
128
Apakah aku terlalu berlebihan? iya. Apakah ini tidak akan menjadi kenyataan? iya.
Apakah aku akan mati sengsara? iya. Apakah kesendirianku yang akan membunuhku? iya.
Aku mencintai yang tidak mungkin dicintai. Sebuah ikatan yang tidak mungkin terikat.
Sedikit saja, bisakah itu terjadi Atau aku harus pergi dan mati.
129
Aku tidak akan pernah siap, Ketika kita berpisah,
Sahabat.
130
Dewasa
131
Aku tidak pernah percaya dengan mitos yang
mengatakan 'umur 20 kamu akan berubah, seluruh sel
diotakmu memperbarui diri, tubuhmu sepenuhnya
bukan dirimu yang dulu', itu kuanggap takhayul,
sama sekali tidak nyata.
Aku pernah yakin kalau hubungan pertemanan kita
akan berjalan selamanya, sampai kita mempunyai
pasangan masing-masing dan menjadi sahabat tua
yang bersama-sama. Kita akan tetap muda walaupun
sudah punya cucu, dan kita akan berteman hingga
terpisahkan oleh maut. Bukankah itu indah?
132
Sekarang aku baru merasakan, takhayul itu benar
benar nyata.
133
Aku selalu merindukan bagaimana kita tertawa,
bagaimana kita bersedih, bagaimana kita
merencanakan masa depan, dan berjanji tidak akan
pernah berpisah. Berjanji walaupun nanti kita
sudah mempunyai pasangan, mempunyai keluarga, kita
akan selalu bersama, karena kita adalah sahabat
sampai mati.
Setelah sekian lama bahagia, aku sekarang berada
diujung jurang. Tidak ada jalan untuk maju
kedepan, dan jalan yang tadi kulewati sudah jatuh
kebagian paling dasar bumi ini. Aku terjebak.
Aku terjebak didalam tawa yang sekarang menjadi
embun, terjebak didalam kenangan yang terasa
membosankan, terjebak dalam indahnya bayangan masa
depan yang benar-benar semu, terlihat pudar dan
lenyap ditelan dinginnya ujung jurang ini.
134
Kita terpisah jauh dari jurang ini, aku bisa
merasakan kedinginan dan kematian yang mulai
menghantui. Tidak ada pilihan lain selain: terjun.
135
Terjun dan berharap untuk melayang dan terbang
menemukan peri yang bisa memberiku keajaiban.
Keajaiban yang bisa memberiku keselamatan dan
memberiku jalan untuk melangkah kedepan
Atau terjun tanpa harapan, terhempas ke
pepohonan tanpa daun yang sudah kering dimakan
waktu, tertusuk batangnya yang tajam, berdarah
sampai mati.
Setragis itulah keadaanku sekarang: bimbang. Aku
bingung menentukan, takut untuk berharap, dan
takut untuk tertusuk batang pohon dibawah.
136
Apakah peri itu benar-benar ada?
Apakah keajaiban itu nyata?
Apakah rasa yang dulu sudah tiada?
137
Ya! Itu yang kurasakan sekarang, bukan lagi
orang yang sama, bukan lagi tawa yang sama, bukan
lagi penghayal yang sama. Aku bukan lagi diriku,
semuanya terasa begitu asing, semuanya terasa
usang, dan pelangi diotakku tertahan oleh kepalaku
sendiri.
Pelanginya bukan lagi berwarna merah kuning
hijau tapi hitam pekat tanpa hiasan kerlip yang
indah, yang ada hiasan jaring laba-laba.
138
Tolong aku dalam keadaan seperti ini, tolong aku
tanpa mengubah darahku menjadi darahmu, bantu aku
berwarna lagi, bantu aku untuk melayang diudara,
bantu aku melewati fase ini. Fase menuju:
K-E-D-E-W-A-S-A-A-N.
139
“Pencumbu Narsis”
Aku tidak akan pernah mencintai diriku sendiri Aku bukan pencumbu narsis.
Hidupku tidak memiliki banyak warna, Aku percaya realita.
Hanya ada hitam, Lalu putih, dan kembali hitam.
Mereka mengira yang dilakukan benar, Dan hubungan yang dijalani kekal.
140
Oh tuhan, Sudah berjuta kali ku ingatkan,
itu kemustahilan.
141
Artikan tatapanku kepadamu, Berjuta harapan untuk bersamamu,
Berjuta kebodohan untuk memilikimu.
142
Malam Terindah
143
Aku memandangimu sepanjang waktu.
Apapun yang kau ucapkan, apapun perbincangan
kita sekarang, tidak akan pernah ada kata menyesal
aku pernah mengenalmu. Pernah mencintaimu.
Hubungan ini tidak akan kunamai sebelum kamu
dinikahi. Oleh lelaki, entah siapa, tapi mungkin
hanya aku yang berani.
“Pernah inget waktu SMP, kita pernah duduk
berdua dibangku terus kita malu-malu-an sambil
bilang ‘aku cinta kamu’.”, aku tertawa dalam
indahnya nostalgia.
Dia tertawa dalam kelegaan jiwa.
Rinduku terobati hari ini, aku melihat
senyumnya, setelah sekian tahun aku menunggu
menyiapkan keberanianku, menyembunyikan
keinginanku.
144
Senyum itu mengambil seluruh fokusku saat ini.
Aku bahagia melihatnya tertawa, tersenyum. Tidak
ada lagi batasan yang bisa membuatku ragu untuk
bertemu.
Dengan kaos oblong putihnya, dengan kunciran
rambut kudanya, tanpa riasan, aku mengaguminya apa
adanya.
Rasa ini bergetar tak gentar, meliukkan
ketakutan dengan keberanian, jantungku masih
berdebar ketika tatapannya menatapku sesekali.
Rasa yang dulu pernah ada, ternyata masih ada,
tersimpan dan mencuat ketika waktunya tiba.
Aku tidak ingin menamainya ‘cinta’, ini berbeda,
aku hanya tidak tahu apa namanya, tapi masih
terasa sama.
145
Ingin sekali tangan ini menggenggam tanganmu.
Ingin sekali aku memeluk tubuhmu.
Aku ingin mengecup keningmu dalam dinginnya
malam. Fantasiku denganmu takkan pernah berakhir
sampai disini.
146
“Tapi… mantanku yang paling sayang dan tulus
itu… cuma kamu.”, katanya sambil tersenyum.
Aku terdiam. Dalam kemenangan dan kemerahan
wajah ini. Aku semakin tenggelam dalam lautan yang
kubuat sendiri.
“Gak usah baper…”, katanya menyolek tanganku.
Aku tertawa.
Baru saja, kulitnya menyentuh kulitku.
Itukah genggaman yang pernah kurasa?
Kenapa sentuhan itu semakin hangat, aku merasa
menyesal dengan keputusan masa itu…
Berpisah.
Semakin hari yang kurasa adalah semakin
menginginkannya.
Oh Tuhan, terima kasih telah memberiku perasaan
hidup ini, anugerah yang paling indah.
147
Mataku tersipu malu ketika melihatnya bermain
smartphone digenggamannya, dengan senyuman
diwajahnya, dengan kenangan indah yang tidak akan
terlupa, aku benar-benar merasakan hal yang sama
ketika kita bersama.
Aku tidak ingin pulang sebelum aku diusir, aku
betah duduk disini, melihatmu dan perbincangan ini
sudah lama kunantikan.
Berat rasanya untuk berakhir, kumohon… aku tidak
ingin ini terlupakan.
148
Aku tidak mau kita berpisah lama lagi,
Kembalilah dengan perasaan itu,
kembalilah dengan wajah indahmu itu,
kembalilah dengan berjutaan kenangan yang akan
memelukku menghangatkanku setiap malam.
149
Bahuku ditepuk dari belakang.
“Jangan ngelamun…”, kata Ayahnya menyadarkan.
Aku tersenyum malu.
“Kalau ada waktu, temani si Putri ya, nak Deno.
Dia kesepian.”, Ibunya meletakkan secangkir teh
dihadapanku.
Ibunya seperti menyinarkan lampu hijau seterang-
terangnya kehadapanku.
150
Aku mengangguk dan tersenyum.
Apa lagi yang harus kukatakan?
Ini adalah malam terindah.
151
“Selama ini…”
Untuk apa bersama jika saling memaksakan? Kita hanya bahagia sesaat. Kesedihanku lebih banyak,
Ketika bersamamu.
Aku belajar jujur, Tidak menipu diriku sendiri,
Semua manusia memang tidak sempurna, Tapi kau terlalu jauh dari kata sempurna.
152
Bukankah ini saat yang tepat Untuk mengatakan,
“Selama ini, aku tidak mencintaimu.”
153
Tidak seorang pun mampu mengerti, Hanya diri yang bersembunyi,
Dan bahagia dalam sedih.
154
Friksi
155
Inikah alasanmu pergi?
156
Ada sungai kecil yang mengalir, di antara kita,
ketika kita bersama dan saling tertawa.
Selama ini, aku tidak merasakan apapun kecuali
bahagia ketika bersamamu, tapi kau merasakan yang
sebaliknya.
Aku tidak terlalu suka dengan drama mini ini,
tapi memang harus terjadi, aku hanya bisa
mengikuti alur dan menunggu hasil akhir yang klise
dan mudah ditebak.
157
“Kita berpisah”
Baiklah.
158
Ini saatnya aku menjadi dewasa, seperti katamu.
Aku akan lebih berhati-hati memilih seseorang yang
akan menjadi teman hidupku, dan itu bukan kamu.
159
Ini terlalu simple, ini terlalu bodoh.
Perpisahan kita. Hanya karena… kamu tidak
merasakan hal yang sama. Padahal aku masih
merasakan hal yang sama seperti dulu, sampai saat
ini. Dan mungkin akan selalu merasakan hal yang
sama, ketika awal kita bertemu.
Sore itu kita berdebat layaknya politisi
kebakaran jenggot, andai kata kita serangga, aku
lebah, kamu kecoa, aku bisa menari berjam-jam di
udara, sedangkan kamu hanya bisa terbang
sepersekian detik.
Kita tak lagi sama.
Hanya karena ini,
hanya karena beda.
Argumentasi lalu friksi.
Sebuah fantasi yang pahit, segudang mimpi yang
akan berdebu.
160
Baiklah, aku akan menghargai perpisahan ini, dan
tidak ada perpisahan yang damai, itu hanya cerita
kosong, berikan aku ruang, tolong hilangkan
wajahmu dari ingatanku.
161
Aku akan belajar untuk pindah, dan mengunci
rapat-rapat gudang mimpi kita.
Terima kasih untuk semuanya.
162
Selamat tinggal.
163
“Tanpa atau Denganmu”
Setidaknya, temani aku, Mengarungi sungai penuh sampah ini,
Hingga kita temukan pemukiman.
Aku bersumpah tidak akan rela, Kau pergi ketika aku tidak siap ditinggal, Atau memang aku tidak akan pernah rela?
Sudah jangan lihat ke belakang, Aku disini didepanmu,
Iya, sekarang aku diwajahmu
Mungkin langkahmu tidak berhenti, Baiklah, kurelakan kau pergi
Silahkan
164
Hidupku akan berjalan, Tanpa atau denganmu
Iya kan?
165
Terima kasih, Tapi aku harus meminta maaf
166
Sejujurnya…
167
168
Aku hanya sedang bermain Dengan imajinasimu
169
170
Selamat mimpi dengan imajimu, Bermainlah dengan bayanganmu
Bahagialah,
171
172
Selamat bermain, Yang sedang bermain.
173
Tentang ‘Yang Sedang Bermain’
‘Yang Sedang Bermain’ adalah kumpulan cerpen oleh Rahmad
Kurniawan yang pertama kali diunggah disitus pribadinya. Ide pertama kali
muncul untuk membuat kumpulan cerpen tercetus ketika cerpen yang
berjudul ‘Yang Sedang Bermain’ diunggah pada Oktober 2015 dan terbit di
platform Storial pada Januari 2016.
Kumpulan-kumpulan cerpen di YSB telah dibaca sebanyak 2,300+
kali (per November 2016) hanya diplatform Storial. Dan 2,000+ kali di
situs pribadi.
Penulis juga menambahkan beberapa kumpulan puisinya dengan
nama seri ‘Jurnal Puisi’ yang telah dibaca lebih dari 2,000+ kali di
www.rahmadkurniawan.com
Kumpulan cerpen YSB juga pernah menempati dijajaran buku
‘Popular Minggu Ini’ diplatform Storial selama 2 minggu, bersama karya
Rahmad Kurniawan yang lain yaitu ‘Tenggelam’.
Pada awalnya, YSB adalah lanjutan/sekuel dari novel TETA (2015),
namun dibatalkan karena tema yang terlalu berat dan digantikan oleh tema
yang sedikit ringan, yaitu tentang emosional seseorang.
Kumpulan cerpen dan puisi YSB adalah novel yang dapat dibaca
dan imajinasikan oleh pembaca, karena memiliki tema umum yaitu ‘rasa
cinta’ dan ‘hubungan pertemanan’, meskipun begitu terdapat cerpen
174
dengan tema-tema sosial didalamnya, seperti dicerpen ‘Yang Sedang
Bermain’ atau ‘Valentine untuk Pelacur’.
Penulis tidak bisa melepaskan tema sosial dari cerpen-cerpen yang
dibuatnya, untuknya, kehidupan sosial adalah realitas yang tidak boleh
ditinggalkan dan tidak diakui adanya.
Kumpulan cerpen dan puisi YSB juga memiliki cerpen ‘Malam
Terindah’ yang mengawali penulisan lagu berjudul sama yang dibawakan
oleh Rosalinda dan dirilis secara independen pada bulan September 2016.
175
176
Tentang Penulis
Penulis dengan karya awalnya; BULAN (2015) & TETA (2015),
Rahmad Kurniawan sedang fokus dalam penulisan diplatform digital, dan
telah menghasilkan beberapa judul tulisan yang dirilis hanya dalam bentuk
digital yaitu TENGGELAM (2015-) & YANG SEDANG BERMAIN
(2015). ‘TENGGELAM’ meraih posisi #30 kategori novel fiksi ilmiah
diplatform Wattpad, dan meraih gelar ‘Pilihan Editor’, ‘Popular
Selamanya’, ‘Popular Bulan Ini’, dan ‘Popular Minggu Ini’ diplatform
Storial. Dengan total 6,800+ kali dibaca dikedua platform. Namun novel
tersebut harus di delay pengerjaannya, karena penulis yang sedang sibuk
kuliah & proyek musik indie-nya.
177
Info lengkap: www.rahmadkurniawan.com
Top Related