penyelsaian alternatif sengketa hukum dagang Dipasang: Saturday 1 August 2009 - Komentar 0 [ Komentar ] - Jejak Balik 0 [ Jejak Balik ] Category: hukum dagang
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Robi, Allah SWT , yang telah melimpahkan
segala rahmat taufik hidayah serta nikmat yang tiada batasnya sehingga penulis dapat
menyelsaikan karya tulis ini .
Tema yang di ambil oleh penulis dalam penyusunan karya tulis ini adalah penyelsaian
sengketa hukum dagang dengan jalan win-win solution
Tema ini di ambil karenaProses penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang merupakan
salah satu dari beberapa cara penyelesaian secara alternatif ini sebenarnya bukanlah sesuatu
yang asing. Sebab masyarakat (Indonesia) pada dasarnya sudah mengenal nilai-nilai
konsensus/mufakat dan kooperatif dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara
mereka.
Melihat perkembangan bisnis di era perdagangan dan persaingan bebas dewasa ini , di
pandang perlu melembagakan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa melalui suatu
peraturan perundang-undangan yang bercorak pendekatan konsensus/mufakat, di mana
penyeleseaian sengketa bisnis bukan bertujuan menempatkan para pihak pada dua ujung sisi
yang berlawanan dalam posisi kalah dan menang, tetapi pemecahan masalah yang
memberikan kepuasan kepada pihak-pihak yang bersengketa dengan mengutamakan "win-
win solution".
Di samping itu prinsip-prinsip penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang berlandaskan
suatu perjanjian yang mengutamakan kebebasan para pihak untuk menentukan pilihan hukum
dan pilihan forum diantara mereka, dengan menekankan pentingnya menjaga hubungan baik
antar relasi bisnis yang telah berlangsung maupun yang akan datang, karena dunia bisnis
menghendaki cara penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien, yang cara penyelesaian
demikian itu sulit diperoleh dengan cara litigasi(melalui pengadilan).
Adanya alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagai salah satu cara yang
ditempuh di dalam penyelesaian dagang itu cenderung dianggap merupakan penyelesaian
yang terbaik dengan menghindari publikasi dan putusannya bersifat final and binding.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, akan dapat mengantisipasi kesulitan proses litigasi dan
perkembangan bisnis di masa mendatang, terutama permasalahan penyelesaian sengketa
perdagangan yang hendak diselesaikan melalui arbitrase.
Oleh karena itu dengan asas kebebasan berkontrak, pilihan hukum dan pilihan forum di
dalam mengadakan perjanjian arbitrase, menentukan kompetensi absolut arbitrase dan
sebaliknya pengadilan tidak berwenang untuk menyimpangi dan mengadili sengketa yang di
dalamnya mengandung perjanjian arbitrase, kecuali ditentukan secara tegas oleh undang-
undang. Adapun judul yang akan dikembangkan penulis dalam karya tulis ini adalah
mengenai penyelsaian sengketa dagang melalui jalan alternatif
Melalui karya tulis ini penulis ingin menjelaskan tata cara penyelsaian sengketa hukum
dagang dengan jalan alternatif meliputi keuntungan ,kerugian yang di peroleh melalui
penyelsaian sengketa melalui win-win solution
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis
dalam penyusunan karya tulis ini , diantaranya :
1. Bpk. Prof. DR. YOSSI ADI WISASTRA, (Rector Universitas Subang)
2. Bpk. Drs. DEDDY AS SHIDIK, (Dekan Fakultas Hukum )
3. Bpk. SUBHAN DJRODYATI, SH. (Wali Dosen Fakultas Hukum )
4. Ibu ,NURBAYANTI ,SH. (Dosen Hukum Dagang)
5. Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan dorongan materil maupun sepiritual
hingga tersusunnya karya tulis ini.
Penulis juga berharap semoga karya tulis ini bermanfaat oleh penulis
khususnya dan oleh kita pada umumnya .
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini sangat jauh dari sempurna , karena :
1. Kurangnya sumber-sumber pokok bahasan
2. Terbatasnya waktu yang tersedia
3. Karya tukis ini merupakan karya tulis yang pertama ditulis oleh penulis . jadi ,
penulis kurang berpengalaman dalam pokok bahasan karya tulis ini
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca . semoga Allah SWT senantiasa mengiringi langkah kita . Amin.
………………………….
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
1
DAFTAR ISI
4
BAB 1 PENDAHULUAN
6
1.1 Latar Belakang Masalah
6
1.2 Tujuan
6
1.3 Rumusan Masalah
6
1.4 Sistaematika Penulisan
6
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Alternatif Penyelesaian sengketa (APS)
8
2. Mekanisme penyelsaian nonlitigasi 9
1. ARBITRASE
1.A) Pengaturan Mengenai Arbitrase
11
1.A.a) Definisi Arbitrase
11
1.A.b) Sejarah Arbitrase
12
1.A.c) Objek Arbitrase
12
1.A.d) Jenis-jenis Arbitrase
13
1.A.e) Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
14
1.B) Keterkaitan antara Arbitrase dengan Pengadilan
15
1.B.a) Hubungan Arbitrase dan Pengadilan
15
1.B.b) Pelaksanaan Putusan Arbitrase
15
1.B.c) Kewenangan Pengadilan Memeriksa Perkara yang Sudah
Dijatuhkan Putusan Arbitrasenya
16
2.KONSILIASI
22
3.NEGOISASI
22
4. MEDIASI
23
4.a) Siapakah yang melakukan mediasi ?
23
4.b) Kapan Mediasi itu dilakukan ? 24
4.c)Mengapa mediasi itu dilakukan ?
24
4.d)dimanakah mediasi dilakukan ?
25
4.e)Bagaimana Proses Mediasi ?
25
4.f) Unsur-unsur Mediasi
28
4.g ) tujuan mediasi
29
4.h) Sengketa-sengketa Yang Dapat Diselesaikan Melalui Mediasi
30
5.PENILAIAN AHLI 31
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan
32
DAFTR PUSTAKA
33
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya tidak seorang pun menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain, tetapi
di dalam hubungan dagang atau suatu perjanjian masing-masing pihak harus mengantisipasi
kemungkinan timbulnya sengketa yang dapat terjadi setiap saat di kemudian hari.
Sengketa yang perlu di antisipasi dapat timbul karena perbedaan penafsiran baik mengenai
bagai man acara melaksanakan klausul-klausul perjanjian maupun apa isi ketentuan –
ketentuan di dalam perjanjian
1.2. Tujuan
Dalam karya tulis ini permasalahan yang akan di bahas yaitu mengenai hal-hal sebagai
berikut :
Pengertian Alternatif Penyelesaian sengketa (APS)
Mekanisme penyelsaian nonlitigasi
1.3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan disajikan penulis dalam karya tulis ini adalah sebagai
berikut :
Jelaskan Pengertian Alternatif Penyelesaian sengketa (APS) ?
Sebutkan dan jelaskan Mekanisme penyelsaian nonlitigasi ?
1.4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan penulis dalam penyusunan karyatulis ini adalah :
Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang masalah ,tujuan, dan rumusan masalah
Bab II pembahasan , yang akan dibahas mengenai :
1. Pengertian Alternatif Penyelesaian sengketa (APS)
2. Mekanisme penyelsaian nonlitigasi
Bab III Penutup, dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Alternatif Penyelesaian sengketa (APS)
Istilah “alternatif” dalam APS memang dapat menimbulkan kebingungan, seolah-olah
mekanisme APS pada akhirnya – khususnya dalam sengketa bisnis – akan menggantikan
proses litigasi di pengadilan. Dalam kaitan ini perlu dipahami terlebih dahulu bahwa APS
adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang berdampingan dengan penyelesaian
sengketa melalui pengadilan. Selanjutnya, APS lazimnya dilakukan di luar yurisdiksi
pengadilan. Sama seperti istilah “pengobatan alternatif”, bahwa “pengobatan alternatif” sama
sekali tidak mengeliminasi “pengobatan dokter”. Bahkan terkadang keduanya saling
berdampingan. Begitu juga dengan APS dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat
berjalan saling berdampingan. Oleh karena itu, para hakim tidak perlu khawatir dengan
digunakannya mekanisme APS, pengadilan menjadi kurang pekerjaannya.
Ada beberapa pendapat mengenai APS atau Alternative Dispute Resolution (ADR).
1) Pertama, APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam
konteks ini, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain-lain.
2) Kedua, APS adalah forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan arbitrase.
Hal ini mengingat penyelesaian sengketa melalui APS tidak dilakukan oleh pihak
ketiga. Sedangkan dalam forum pengadilan atau arbitrase, pihak ketiga (hakim atau
arbiter) mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa. APS di sini hanya terbatas
pada teknik penyelesaian sengketa yang bersifat kooperatif, seperti halnya
negosiasi,mediasi, dan konsiliasi, serta teknik-teknik penyelesaian sengketa kooperatif
lainnya.
3) Ketiga, APS adalah seluruh penyelesaian sengketa yang tidak melalui pengadilan
tetapi juga tidak terbatas pada arbitrase, negosiasi, dan sebagainya. Dalam konteks ini,
yang dimaksud dengan APS termasuk juga penyelesaian sengketa yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan, tetapi berada di luar pengadilan, seperti Badan
Penyelesaian sengketa Pajak (BPSP), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),
dan sebagainya.
Teknik atau prosedur teknis APS di luar pengadilan yang sudah lazim dilakukan adalah:
negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Arbitrase merupakan cara yang paling dikenal
dan paling banyak digunakan oleh kalangan bisnis dan hukum. Teknik negosiasi, mediasi,
dan konsiliasi tidak dikenal di Indonesia. Namun, secara tidak sadar masyarakat Indonesia
telah menerapkan mekanisme APS, yakni yang disebut musyawarah untuk mufakat. Asas
musyawarah untuk mufakat telah lama dikenal dan dipromosikan oleh pemerintah sebagai
suatu budaya bangsa Indonesia.
Meskipun APS tidak dianggap sebagai pengganti dari forum pengadilan, namun jangan
dilupakan bahwa faktanya APS dianggap sebagai alternatif oleh mereka yang sangat kritis
terhadap sistem peradilan Indonesia. Kelambanan proses perkara ( di Mahkamah Agung )
dilihat sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah
sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah berpolitik,
persengkokolan (KKN), dan tuduhan bahwa mereka bobrok atau rusak.
2. Mekanisme penyelsaian nonlitigasi
Penyelesaian sengketa non litigasi dapat dilakukan dengan cara :
1. adjudikasi/adversarial/litigasi
ciri-cirinya : para pihak berhadap-hadapan untuk saling mengalahkan, diadakan di
pengadilan,
hasilnya berupa putusan.
2. Non adjudikasi/non litigasi
Ciri utamanya keputusanya berupa kesepakatan /agreement
Cara penyelesaian sengketa alternatif menurut UU No.30 tahun 1999 adalah :
1. ARBITRASE
- arbitrase penyelesaian pertentangan oleh pihak ketiga yang dipilah oleh kedua
belah pihak.
Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan
Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:
“Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga
dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum
tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa:
”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang
perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam
lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah
perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik
guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai
pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase
bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan
pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan
terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap
perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat
dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak
diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase
nasional tersebut.
Dalam jurisprudensi, kita mengetahui ada suatu kasus yaitu Arrest Artist de
Labourer dimana perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri padahal sudah
memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian sengketanya. Pada praktek saat ini
juga masih dijumpai pengadilan negeri yang melayani gugatan pihak yang kalah
dalam arbitrase.
Melihat permasalahan diatas, maka timbul beberapa pertanyaan :
1. Apakah Pengadilan berwenang memeriksa perkara yang sudah dijatuhkan
putusan arbitrasenya?
2. Sejauh mana keterkaitan antara pengadilan dengan lembaga arbitrase?
1.A) Pengaturan Mengenai Arbitrase
1.A.a) Definisi Arbitrase
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking an
abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of
carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities,
the delay, the expense and vexation of ordinary litigation".Menurut Pasal 1 angka
1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian
Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada
dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa (Akta Kompromis).
Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur
dalampasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada
penjelasanpasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-
PokokKekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di
luarPengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase)
tetapdiperbolehkan.
1.A.b) Sejarah Arbitrase
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa
sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase
diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de
Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun
Rechtsreglement Bite*****sten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam
pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut
sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang
Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang
Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam
penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap
diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari
Pengadilan.
1.A.c) Objek Arbitrase,
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan
melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa
lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU
Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.
Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa
sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah
sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas
Pasal 1851 s/d 1854.
1.A.d) Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui
badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-
aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL
Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan
perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur
pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu
disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai
badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini
dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase
seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional
seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce
(ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement
of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai
peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausularbitrase
sebagai berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjianini, akan diselesaikan dan diputus
oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan
prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang
bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".
Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational
Trade Law) adalah sebagai berikut:
"Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan
dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya
perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan
UNCITRAL.”
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kaliadalah
klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknyaklausul arbitrase,
akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase.
Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat
setelah sengketa timbul.
1.A.e) Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang
Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan
itu adalah :
kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif
dapat dihindari ;
para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar
belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur
dan adil ;
para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian
masalahnya ;
para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui
prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki
kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase
adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal
pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah
cukup jelas.
1.B) Keterkaitan antara Arbitrase dengan Pengadilan
1.B.a) Hubungan Arbitrase dan Pengadilan
Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya
dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan
putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga
arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati
putusannya.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase
antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para
pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan
arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme
sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan
autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil tempat di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat
1.B.b) Pelaksanaan Putusan Arbitrase
1. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun
1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela.
Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus
diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan
mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase
nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30
(tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional
bersifat mandiri, final ddan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan
yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri
tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase
nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan
Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase
nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU
No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan
memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5
(khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua
Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan
itu tidak ada upaya hukum apapun
2. Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada
ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan
negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di
wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN
Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award.
Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris
PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan
Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York
1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan
arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya
kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
1.B.c) Kewenangan Pengadilan Memeriksa Perkara yang Sudah Dijatuhkan
Putusan Arbitrasenya
Lembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang
termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah
terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut
campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui
arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement.
Dalam prakteknya masih saja ditemukan pengadilan yang menentang, bahkan
ketika arbitrase itu sendiri sudah menjatuhkan putusannya. Seperti dalam kasus
berikut :
Dalam kasus Bankers Trust Company dan Bankers Trust International PLC (BT)
melawan PT Mayora Indah Tbk (Mayora), PN Jakarta Selatan tetap menerima
gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrase didalamnya) dan menjatuhkan
putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkan
Mayora. Ketua PN Jakarta Pusat dalam putusan No.001 dan
002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST juncto 02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3
Februari 2000, menolak permohonan BT bagi pelaksanaan putusan Arbitrase
London, dengan alasan pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran ketertiban
umum yang dimaksud adalah bahwa perkara tersebut masih dalam proses
peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Penolakan PN Jakarta Pusat
tersebut dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No.02
K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September 2000.
Kasus diatas adalah salah satu contoh dimana pengadilan menentang lembaga
arbitrase. Sebelumnya telah jelas bahwa pengadilan tidak boleh mencampuri
sengketa para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase. Lalu apakah ada
alasan-alasan yang dapat membenarkan pengadilan memeriksa perkara para pihak
yang sudah terikat dengan klausul arbitrase? Dalam jurisprudensi salah satu
contoh adalah Arrest Artist de Labourer.
Arrest HR 9 Februari 1923, NJ. 1923, 676,
Arrest “Artis de Laboureur”(dimuat dalam Hoetink, hal. 262 dsl.)
Persatuan Kuda Jantan ( penggugat ) telah mengasuransikan kuda Pejantan
bernama Artis de Laboureur terhadap suatu penyakit /cacad tertentu, yang disebut
cornage. Ternyata pada suatu pemeriksaan oleh Komisi Undang2 Kuda, kuda
tersebut dinyatakan di-apkir, karena menderita penyakit cornage. Penggugat
menuntut santunan ganti rugi dari Perusahaan Asuransi. Didalam Polis
dicantumkan klausula yang mengatakan, bahwa sengketa mengenai Asuransi,
dengan menyingkirkan Pengadilan, akan diputus oleh Dewan Asuransi
Perusahaan Asuransi, kecuali Dewan melimpahkan kewenangan tersebut kepada
suatu arbitrage. Dewan Asuransi telah memutuskan untuk tidak membayar ganti
rugi kepada penggugat. Penggugat mengajukan gugatan dimuka Pengadilan.
Sudah tentu dengan alasan adanya klausula tersebut diatas, maka tergugat
membantah dengan mengemukakan, bahwa Pengadilan tidak wenang untuk
mengadili perkara ini.
Pengadilan ‘s Gravenhage a.l. telah mempertimbangkan :
Setelah Pengadilan menyatakan dirinya wenang memeriksa perkara tersebut,
maka Pengadilan menyatakan, bahwa keputusan Dewan Asuransi harus
disingkirkan, karena keputusan tersebut tidak didasarkan kepada suatu
penyelidikan yang teliti dan bahkan Dewan menganggap tidak perlu mendengar
pihak penggugat, sehingga perjanjian itu tidak telah dilaksanakan dengan itikad
baik. Pengadilan mengabulkan tuntutan uang santunan ganti – rugi sampai
sejumlah uang tertentu. Pihak Asuransi naik banding
Hof Amsterdam dalam keputusannya a.l. telah mempertimbangkan :
Bahwa memang benar, bahwa berdasarkan Polis ybs., para pihak sepakat untuk
menyerahkan sengketa mengenai Asuransi tersebut kepada Dewan Asuransi
Perusahaan Asuransi. Sekalipun terhadap keputusan Dewan, yang diambil dengan
tanpa aturan main yang pasti, dan bersifat mutlak, yang dikeluarkan oleh pihak
yang tidak netral, mungkin saja ada keberatan-keberatan, namun para pihak telah
membuatnya menjadi undang-undang bagi mereka, karena telah terbentuk melalui
kesepakatan para pihak, yang tidak ternyata bertentangan dengan ketertiban umum
atau kesusilaan, sehingga permasalahannya adalah, apakah ketentuan perjanjian
itu, oleh Dewan, tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana
pendapat dari Pengadilan Amsterdam, pertanyaan mana menurut pendapat Hof,
karena mengenai pelaksanaan suatu perjanjian, adalah masuk dalam kewenangan
Hakim.
Hof, untuk menjawab permasalahan tersebut, setelah mengemukakan patokan,
bahwa itikad baik dipersangkakan dan tidak adanya itikad baik harus dibuktikan,
telah menerima fakta-fakta yang disebutkan dalam keputusan Dewan sebagai
benar, a.l. :………“ bahwa menurut pendapat Hof keputusan tersebut( maksudnya
: keputusan Dewan, penj.pen.) …….adalah tidak sedemikian rupa, sehingga dapat
dianggap tidak telah diberikan dengan itikad baik, dan bahwa itikad buruk pada
pelaksaan perjanjian, sepanjang mengenai pengambilan keputusan oleh Dewan
Asuransi, tidak telah dibuktikan “ atas dasar mana Hof menyatakan keputusan
Dewan Asuransi tidak bisa dibatalkan oleh Hakim dan karenanya membatalkan
keputusan Pengadilan Amsterdam. Persatuan Kuda Jantan naik kasasi.
Catatan : Pengadilan menganggap dirinya wenang untuk menangani perkara
tersebut dan menyatakan keputusan Dewan tidak melanggar itikad baik
Pokok pertanyaan dalam pemeriksaan kasasi ini ternyata adalah, apakah maksud
ayat ke-3 Ps. 1374 B.W. ( Ps. 1338 ayat 3 Ind ) dengan itikad baik dalam
pelaksanaan perjanjian harus dinilai dengan patokan, subyektif - suatu sikap batin
tertentu dari si pelaksana - atau obyektif - suatu cara pelaksanaan. HR meninjau,
apakah isi keputusan Dewan Asuransi, sebagai pelaksanaan dari perjanjian
Asuransi antara Penggugat dengan Perusahaan Asuransi, memenuhi tuntutan
itikad baik, memenuhi kepantasan dan kepatutan menurut ukuran orang normal
pada umumnya dalam masyarakat ybs. Disini dipakai ukuran itikad baik yang
obyektif
Dalam Arrest Artist de Labourer ini pengadilan menyatakan berwenang
memeriksa karena yang diperiksa bukanlah pokok perkaranya melainkan cara
pengambilan keputusannya, apakah Dewan Asuransi sudah mengambil keputusan
berdasarkan itikad baik yang sesuai dengan asas kepatutan dan kepantasan. Itikad
baik disini memiliki dua kemungkinan yaitu itikad baik objektif atau subjektif,
dimana Hof dan Hoge Raad kemudian menilai bahwa itikad baik yang objektif lah
yang dipakai.
Berdasarkan pasal 1338 (3) suatu perjanjian harus didasarkan atas asas itikad baik.
Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan,
sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di
pengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah
kepatutan dan kepantasan. Perjanjian harus dilaksanakan dengan menafsirkannya
agar sesuai dengan kepatutan dan kepantasan, sesuai dengan pasal 1339 B.W.,
yang menyatakan bahwa, ” suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang dengan tegas dinyatakan didalmnya tapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-
undang”. Itikad baik dapat dibedakan menjadi itikad baik subjektif dan itikad baik
objektif. Itikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari
bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedang itikad baik objektif
adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah
bertentangan dengan itikad baik.
Dalam kasus Bankers Trust melawan Mayora sungguh aneh karena
mengetengahkan ketertiban umum sebagai salah satu alasan. Seharusnya PN
Jakarta Selatan menolak untuk memeriksa perkara tersebut karena bukan
merupakan kewenangannya, tidak diajukan atas dasar adanya perbuatan melawan
hukum, dan dengan Mayora mengajukan perkara tersebut ke pengadilan negeri
padahal saat itu arbitrase sedang berjalan, menunjukkan bahwa Mayora tidak
beritikad baik dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Dalam hal ketertiban umum,
yang dimaksud ketertiban umum oleh hakim adalah perkara tersebut sedang dalam
proses di pengadilan hukum di pengadilan, alasan seperti ini seharusnya tidak bisa
dijadikan alasan ketertiban umum. Apa yang telah dilakukan oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan telah melanggar ketentuan Pasal 11 UU No.30 Tahun 1999,
dan sayangnya Mahkamah Agung justru menguatkan putusan ini.
Ketertiban umum dijadikan dalih untuk menolak permohonan arbitrase. Ketertiban
umum sendiri adalah suatu sendi-sendi asasi dari hukum suatu negara. UU
Arbitrase pada bagian penjelasannya tidak mendefinisikan atau membatasi
ketertiban umum. Akibatnya, definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi
salah satu pihak untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Sulit
untuk mengklasifikasikan putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban
umum, namun dapat digunakan kriteria sederhana sebagai berikut :
1. putusan arbitrase melanggar prosedur arbitrase yang diatur dalam
peraturan perundangan negara, misalnya kewajiban untuk mendaftarkan
putusan arbitrase di pengadilan setempat tidak dilaksanakan ;
2. putusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan, padahal peraturan
perundang-undangan negara tersebut mewajibkannya; atau
3. jika salah satu pihak tidak mendapat kesempatan untuk didengar
argumentasinya sebelum putusan arbitrase dijatuhkan.
ketertiban umum yang dijadikan dalih PN Jakarta Selatan untuk menolak
permohonan Bankers Trust tidak termasuk ketertiban umum yang sudah diuraikan
diatas. Pengadilan Jakarta Selatan juga telah melakukan kesalahan karena
memeriksa isi perkara dan bukan sekedar memeriksa penerapan hukumnya saja
seperti dalam arrest Artist de Labourer.
Pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki klausul arbitrase tidak bisa
diajukan ke pengadilan negeri, dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan
arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan, kecuali apabila ada perbuatan
melawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke pengadilan
negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan
arbitrase yang tidak berdasar itikad baik.
2.KONSILIASI
- konsiliasi suatu usaha mempertemukan pihak-pihak yang berselisih bagi
tercapainya persetujuan bersama
3.NEGOISASI
- negoisasi adalah proses kreatif yang mempertemukan pihak-pihak yang memiliki
model idealnya sendiri, memiliki pandangan sendiri-sendiri mengenai apa yang
seharusnya dicapai Ada tiga hal yang harus diperhatikan sebagai isu kunci dalam
negosiasi;
(1) Menangkap kesempatan, Kesempatan harus dilihat dalam setiap krisis.
Keadaan buntu dapat menjadi masa steril yang menghambat kemajuan, namun
jika dapat melihat kesempatan dengan jeli maka kebuntuan dapat menjadi
awal dari kesempatan untuk mencari penemuan yang dapat menyatukan
model-model ideal tiap pihak. Mudahnya, ketika kebuntuan dating maka
negosiasi dapat menjadi usul yang menarik untuk membuat perubahan dan
mempertemukan kepentingan.
(2) Pentingnya kepercayaan. Meski fokus negosiasi cenderung pada isu, namun
keberhasilan negosiasi sangat bergantung pada negosiator serta manusia-
manusia yang berkepentingan dalam negosiasi tersebut. Proses negosiasi yang
baik adalah memajukan hubungan dari pihak-pihak yang bertikai. Karena
itulah perlu adanya derajat kepercayaan sampai level tertentu pada pihak-
pihak bertikai agar dapat saling duduk dan bernegosiasi. Biasanya pihak-pihak
akan bertahan pada model ideal masing-masing, disinilah dialog menjadi
penting. Kepercayaan fungsional (cukup pada derajat tertentu saja
berhubungan dengan proses negosiasi) menjadi penting karena untuk
kesepakatan maka persepsi soal pihak “musuh” harus diubah dan model ideal
harus beradaptasi
(3) Fleksibilitas. Keberhasilan atau kegagalan negosiasi tidak terukur di awal
proses. Bukan tidak mungkin tujuan dan target berubah sepanjang proses
negosiasi. Bahkan parameter serta aturan dasar bisa juga ikut diadaptasi.
Ketika Parameter proses membutuhkan rancangan dan kesepakatan, maka
proses perancangan dan pembuatan kesepakatan harus dapat sefleksibel
mungkin untuk dapat menghadapai kemungkinan apapun di masa depan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, persepsi soal pihak “musuh” harus
diubah, dan model ideal harus dilenturkan, masing-masing negosiator harus
dapat mengenmabkan pengertian yang sama.
4. MEDIASI
- Mediasi
Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak
dengan dibantu oleh mediator (Perma No. 2 tahun 2003, pasal 1 ayat (6)).
4.a) Siapakah yang melakukan mediasi ?
Seperti yang tersebut dalam pengertian mediasi ada mengutip kata “para pihak”
Para pihak tersebut adalah dua orang atau lebih yang bersengketa dan membawa
sengketa mereka ke Pengadilan tingkat pertama untuk memperoleh penyelesaian.
(pasal 1 ayat (7) Perma No. 2 tahun 2003)
Mediasi yang dilakukan harus menggunakan bantuan mediator. Mediator dapat
ditentukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa “apakah yang menjadi
mediator tersebut hakim pengadilan tingkat pertama atau pihak lain” yang tentu
saja baik hakim maupun pihak lain tersebut sudah memiliki sertifikat sebagai
mediator.
Mediator itu dapat diartikan sebagai pihak yang bersifat netral dan tidak memihak,
yang berfungsi membantu parra pihak dalam mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa.
Tidak sebagaimana halnya seorang hakim atau arbiter, seorang mediator tidak
dalam posisi (tidak mempunyai kewenangan) untuk memutus sengketa para pihak.
Tugas dan kewenangan mediator hanya membantu dan memfasilitasi pihak-pihak
yang bersengketa dapat mencapai suatu keadaan untuk dapat mengadakan
kesepakatan tentang hal-hal yang disengketakan. “The assumption…….is that
third party will be able to alter the power and social dynamics of the conflict
relationship by influencing the beliefs and behaviors of individual parties, by
providing knowledge and information , or by using a more effective negotiation
process and thereby helping the participants to settle contested issues”
(Goodpaster, Tinjauan Dalam Penyelesaian Sengketa, dalam Soebagjo dan
Radjagukguk, 1995 : 11-12 )
4.b) Kapan Mediasi itu dilakukan ?
Mediasi dilakukan pada saat suatu perkara perdata diajukan ke pengadilan tingkat
pertama. Mediasi bersifat wajib untuk dilakukan pada semua perkara perdata yang
diajukan ke pengadilan tingkat pertama.
Proses mediasi berlangsung paling lama 22 hari kerja sejak pemilihan atau
penetapan penunjukan mediator.
4.c)Mengapa mediasi itu dilakukan ?
Mediasi tersebut dilakukan karena sesuai yang tersebut di dalam Perma No.2
tahun 2003 pasal 2 ayat (1) yaitu “semua perkara yang diajukan ke pengadilan
tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan
bantuan mediator”
Mediasi adalah Non-Coercive. Ini berarti bahwa tidak ada suatu sengketa (yang
diselesaikan melalaui jalur mediasi) akan dapat diselesaikan, kecuali hal tersebut
disepakati / disetujui bersama oleh pihak-pihak yang bersengketa.
4.d)Dimanakah mediasi itu dilakukan ?
(pasal 15 Perma No. 2 tahun 2003) Adapun mediasi tersebut diselenggarakan
disalah satu ruang pengadilan tingkat pertama atau ditempat lain yang disepakati
oleh para pihak.
Proses mediasi ini sendiri tentu saja memerlukan biaya dan biaya tersebut akan
gratis jika suatu perkara perdata tersebut dalam melaksanakan proses mediasinya
menggunakan tempat di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama.
4.e)Bagaimana Proses Mediasi ?
Proses mediasi ini dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap pra mediasi dan tahap
mediasi. Sebelum melakukan mediasi terdapat pra mediasi dimana prosesnya
tertulis jelas didalam Perma No.2 tahun 2003 bab II yaitu :
4.e.1) Tahap pra mediasi, Perma No.2 tahun 2003 bab II yaitu :
Pasal 3
(1) Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, hakim
mewajibkan para pihak yang berperkara agar lebih dahulu menempuh
mediasi.
(2) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara itu untuk memberikan
kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
(3) Hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur
dan biaya
(4) Dalam hal para pihak memberikan kuasa kepada kuasa hukum, setiap
keputusan yang diambil oleh kuasa hukum wajib memperoleh persetujuan
tertulis dari para pihak.
Pasal 4
(1) Dalam waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama, para
pihak dan atau kuasa hukum mereka wajib berunding guna memilih
mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator
di luar daftar pengadilan.
(2) Jika dalam waktu satu hari kerja para pihak atau kuasa hukum mereka
tidak dapat bersepakat tentang penggunaan mediator di dalam atau di luar
daftar pengadilan, para pihak wajib memilih mediator dari daftar mediator
yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama.
(3) Jika dalam satu hari kerja para pihak tidak dapat bersepakat dalam
memilih seorang mediator dari daftar yang disediakan oleh pengadilan,
ketua majelis berwenang untuk menunjuk seorang mediator dari daftar
mediator dengan penetapan.
(4) Hakim yang memeriksa suatu perkara, baik sebagai ketua majelis atau
anggota majelis, dilarang bertindak sebagai mediator bagi perkara yang
bersangkutan.
Pasal 5
(1) Proses mediasi yang menggunakan mediator di luar daftar mediator yang
dimiliki oleh pengadilan, berlangsung paling lama tiga puluh hari kerja.
(2) Setelah waktu tiga puluh hari kerja terpenuhi para pihak wajib
menghadap kembali pada hakim pada sidang yang ditentukan.
(3) Jika para pihak mencapai kesepakatan, mereka dapat meminta penetapan
dengan suatu akta perdamaian.
(4) Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan yang tidak dimintakan
penetapannya sebagai suatu akta perdamaian, pihak penggugat wajib
menyatakan pencabutan gugatannya.
Pasal 6
(1) Mediator pada setiap pengadilan berasal dari kalangan hakim dan bukan
hakim yang telah memiliki sertifikat sebagai mediator.
(2) Setiap pengadilan memiliki sekurang-kurangnya dua orang mediator.
(3) Setiap pengadilan wajib memiliki daftar mediator beserta riwayat hidup
dan pengalaman kerja mediator dan mengevaluasi daftar tersebut setiap
Pasal 7
Mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa
melalui mediasi yang diatur
4.e.2) Tahap mediasi, Perma No.2 tahun 2003 bab III yaitu :
Pasal 8
Dalam waktu paling lama tujuh hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan
mediator, para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen yang memuat
duduk perkara, fotokopi surat-surat yang diperlukan, dan hal-hal yang terkait
dengan sengketa kepada mediator dan para pihak.
Pasal 9
(1) Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses
mediasi.
(2) Dalam proses mediasi para pihak dapat didampingi oleh kuasa hukumnya.
(3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
(4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali
kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang
terbaik bagi para pihak.
(5) Dengan hasil akhir tercapainya kesepakatan atau ketidaksepakatan, proses
mediasi berlangsung paling lama dua puluh dua hari kerja sejak pemilihan
atau penetapan penunjukan mediator.
Pasal 10
(1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat
mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk
memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu para
pihak dalam penyelesaian perbedaan.
(2) Semua biaya jasa seorang ahli atau lebih ditanggung oleh para pihak
berdasarkan kesepakatan.
Pasal 11
(1) Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak
dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara
tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh
para pihak.
(2) Kesepakatan wajib memuat klausula pencabutan perkara
atau pernyataan perkara telah selesai.
(3) Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan,
mediator wajib memeriksa materi kesepakatan untuk
menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan
dengan hukum.
(4) Para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada
hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan
telah dicapainya kesepakatan.
(5) Hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu
akta perdamaian.
Pasal 12
(1) Jika dalam waktu seperti yang ditetapkan dalam Pasal 9
ayat (5) mediasi tidak menghasilkan kesepakatan,
mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses
mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan
kepada hakim.
(2) Segera setelah diterima pemberitahuan itu, hakim
melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan
Hukum Acara yang berlaku.
Pasal 13
(1) Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan
dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak
dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses
persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara
lainnya.
(2) Fotokopi dokumen dan notulen atau catatan mediator
wajib dimusnahkan.
(3) Mediator tidak dapat diminta menjadi saksi dalam proses
persidangan perkara yang bersangkutan.
Pasal 14
(1) Proses mediasi pada asasnya tidak bersifat terbuka untuk
umum, kecuali para pihak menghendaki lain.
(2) Proses mediasi untuk sengketa publik terbuka untuk
umum.
4.f) Unsur-unsur Mediasi
1. Dalam suatu proses mediasi akan dijumpai adanya dua atau lebih pihak-
pihak yang bersengketa.
2. Dengan demikian :
a. Jika dalam suatu proses mediasi hanya dijumpai adanya suatu
pihak yang bersengketa, maka hal itu menjadikan tidak
terpenuhinya unsur-unsur pihak-pihak yang bersengketa.
b. Adanya Unsur “Sengketa” diantara para pihak
3. Adanya “Mediator” yang membantu mencoba menyelesaikan sengketa
diantara para pihak
- Mediator harus mempunyai kemampuan dan keahlian sehubungan
dengan bidang/masalah yang disengketakan.
- Mediator juga tidak boleh mempunyai benturan kepentingan
/hubungan afiliasi dengan pihak-pihak dalam sengketa masalah
yang disengketakan. (Lihat, Soebagjo dan Radjagukguk, 1995 : 16)
4.g)Tujuan Mediasi
1. Utama
- Membantu mencarikan jalan keluar/alternative penyelesaian
atassengketa yang timbul diantara para pihak yang disepakati dan
dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa.
- Dengan demikian proses negosiasi adalah proses yang forward
lookingdan bukan backward looking. Yang hendak dicapai
bukanlah mencari kebenaran dan/atau dasar hukum yang diterapkan
namun lebih kepada penyelesaian masalah. “The goal is not truth
finding or law imposing, but problem solving” (Lovenheim, 1996 :
1.4)
2. Tambahan
a. Melalui proses mediasi diharapkan dapat dicapai terjalinnya
komunikasi yang lebih baik diantara para pihak yang
bersengketa.
b. Menjadikan para pihak yang bersengketa dapat
mendengar,memahami alasan/ penjelasan/ argumentasi yang
menjadi dasar/pertimbangan pihak yang lain.
c. Dengan adanya pertemuan tatap muka, diharapkan dapat
mengurangi rasa marah/bermusuhan antara pihak yang satu
dengan yang lain.
memahami kekurangan/kelebihan/kekuatan masing-masing, dan halini
diharapkan dapat mendekatkan cara pandangdari pihak-pihak yang
bersengketa, menuju suatu kompromi yang dapat diterima para pihak.
4.h) Sengketa-sengketa Yang Dapat Diselesaikan Melalui Mediasi
1. Dapat dikatakan bahwa Mediasi dapat diterapkan dan dipergunakan
untuk mempergunakan sebagai cara penyelesaian sengketa diluar jalur
pengadilan (“Out-of court Settlement”) untuk sengketa pertada yang
timbul diantara para pihak, dan bukan perkara pidana. Dengan
demikian, setiap sengketa perdata dibidang perbankan (termasuk yang
diatur dalam PBI No.8/5/PBI/2006) dapat diajukan dan untuk
diselesaikan melalui Lembaga Medasi Perbankan.
2. Bagaimana jika sengketa diantara pihak ternyata tidak hanya
menyangkut sengketa perdata tapi sekaligus juga sengketa pidana dan
mungkin jugasengketa Tata Usaha Negara ?
3. Yang pasti merupakan cakupan dari Lembaga mediasi adalah
sengketa-sengketa di bidang perdata. Namun demikian, dalam praktek
seringkali para pihak sepakat bahwa penyelesaian sengketa perdata
yang disepakati denganmusyawarah mufakat (melalui mediasi), akan
dituangkan dalam suatu perjanjian perdamaian, dan dipahami juga
bahwa walau para pihak tidak dapat dibenarkan membuat perjanjian
perdamaian bagi perkara pidana mereka dapat menggunakan
perjanjian perdamaian atas sengketa perdata mereka sebagai dasar
untuk dengan itikad baik sepakat tidak melanjutkan perkara pidana
yang timbul diantara mereka dan/atau mencabut laporan perkara
pidana tertentu, sebagaimana dimungkinkan.
5.PENILAIAN AHLI
- penilaian ahli
Yang dimaksud dengan penilaian ahli adalah pendapat hukum oleh lembaga arbitrase.
Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berbunyi :
“Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat
memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu
dalam hal belum timbul sengketa
Dalam suatu bentuk kelembagaan, arbitrase ternyata tidak hanya bertugas untuk
menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi di
antara para pihak dalam suatu perjanjian pokok, melainkan juga dapat
memberikankonsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari
setiap pihak yang melakukannya. Oleh sebab pendapat tersebut diberikan atas permintaan
dari para pihak secara bersama-sama dengan melalui mekanisme sebagaimana halnya
suatu penunjukkan (lembaga) arbitrase untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau
sengketa, maka pendapat hukum ini juga bersifat final. Sebenarnya siafat dari pendapat
hukum yang diberikan oleh lembaga arbitrase ini termasuk dalam pengertian atau bentuk
putusan lembaga arbitrase.
PENUTUP
Kesimpulan
Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan
arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan
putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar
ketertiban umum.
Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam pelaksanaan
suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk arbitrase asing dalam hal
permohonan eksekuator ke pengadilan negeri.
Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya bisa berjalan
tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari pengadilan negeri.
DAFTAR PUSTAKA
1. (1)Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006), hal.3.
2. Budhy Budiman. Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap
praktik Peradilan Perdata Dan undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999.http://www.uika-bogor.ac.id/jur05.htm. Diakses 30 Agustus 2006.
3. (3)Arbitrase, PilihanTanpaKepastian,http://www.gontha.com/view.php?nid=104,
diakses 30 Agustus 2006..
4. Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2003
Top Related