HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA
DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan
Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
DIAN RANA AFRILIA
NIM. 1111043100001
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015M/ 1436 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
santumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, September 2015
28 Dzulhijjah 1436
Dian Rana Afrilia
i
ABSTRAK
DIAN RANA AFRILIA : 1111043100001. HUKUM ADAT BETAWI YANG
MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kampung Pisangan
Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan),
skripsi. Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih, Progam Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
Masalah roti buaya yang sudah muncul sejak lama ini merupakan adat
kebiasaan yang terjadi di masyarakat Betawi menjelang seserahan pernikahan,
beberapa masyarakat Betawi memang menyertakan roti buaya dalam seserahan
pernikahannya. Roti buaya ini diklasifikasikan sebagai adat kebiasaan yang tidak
ada dalam hukum Islam. Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui status hukum
adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya dalam seserahan pernikahan menurut
hukum Islam.
Penelitian ini merupakan pendekatan deskriptif kulitatif yaitu
mendeskripsikan dengan menggunakan pendekatan “penelaahan”. Selain itu,
penelitian ini juga menggunakan pendekatan normatif dengan tujuan untuk
menemukan kebenaran dari berbagai data yang didasarkan pada norma-norma
atau aturan-aturan yang digariskan oleh hukum Islam dan juga pendapat-pendapat
para Ulama yang berkaitan dengan masalah roti buaya.
Dalam hukum Islam pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak
menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama
tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah.
Berdasarkan pendekatan yang dilakukan di atas, hasil penelitian
menunjukan bahwa dalam hal roti buaya yang dilakukan dalam seserahan
pernikahan adat Betawi menurut hukum Islam bila hanya tradisi tidak ada
pelarangan adapun kalau ada yang menganggapnya sebagai sesajen atau sebagai
dewa maka tidak diperbolehkan dalam Islam.
Kata Kunci : „Urf, Pandangan Ulama
Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo. M.A
Daftar Pustaka : 1976-2015
ii
بسم اهلل الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, tak ada kata yang pantas penulis ucapkan
selain ungkapan puja dan puji serta rasa syukur atas karunia yang tak terhingga
yang diberikan Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA
DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar
Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)” ini dengan baik. Sholawat serta salam
semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW juga kepada
keluarga, sahabat, dan umatnya yang senantiasa mengikuti jejak dan langkah
beliau sampai hari akhir nanti, amiin.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh
ujian Sarjana Syariah. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih
banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, hal ini
dikarenakan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki.
Setelah perjuangan yang begitu berat dan melelahkan, akhirnya skripsi ini
selesai juga ditulis. Penulis sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak dan semoga amal baik yang telah diberikan kepada
penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Untuk itu dengan segala kerendahan
hati, penulis ingin meyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang turut membantu, khususnya:
iii
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., selaku ketua Progam Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., M.A.,
selaku sekretaris Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A., selaku dosen
pembimbing yang telah banyak memberikan masukan ilmu, waktu, dan
semangat serta memberikan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
4. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.A., selaku dosen penasehat akademik
yang telah membimbing semasa kuliah.
5. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga
dan pikirannya untuk medidik penulis agar kelak menjadi manusia yang
berilmu dan berguna.
6. Kepada para tokoh-tokoh yang telah memberikan bantuan yang berharga
berupa wawancara dan juga kepada para warga Kampung pisangan yang
sudah memberikan waktunya untuk proses wawancara dalam penelitian ini.
7. Segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang dijadikan
referensi dalam penulisan skripsi ini.
iv
8. Sang motivator yaitu kedua orang tua penulis, Ayahanda Noor Moechtar dan
Ibunda Sri Wahyuni yang sangat penulis hormati dan cintai dengan
mengerahkan seluruh kasih sayang, bimbingan serta nasehat dan doanya,
sehingga penulis mampu berdiri kokoh seperti sekarang. Untuk mas-masku,
Alfin Marilif, Bay Haqi, dan Cira Adlin yang telah memberi dorongan agar
penulis tidak berputus asa dan terus berjuang sampai berhasil.
9. Teman seperjuangan menuntut ilmu Mila, Ratna, Resti, Sasa, Ratu, Uje,
Iwan, Hamdi, Rifa’i dan seluruh teman di PMH angkatan 2011, serta para
senior. Terima kasih atas semua persahabatan yang telah kita rajut selama
ini. Terima kasih atas canda tawa dan dorongan semangatnya, semoga
persahabatan kita tidak akan pernah putus oleh jarak dan waktu.
10. Sahabat terbaikku, Anis, Amel, Meta, Yovi, yang setia mendengarkan
curahan hati penulis selama mengerjakan skripsi ini.
Akhirnya atas jasa dan bantuan dari semua pihak, baik berupa moril maupun
materi, penulis haturkan terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah SWT
membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai amal
jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya dan mudah-mudahan
skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak.
Jakarta,03 September 2015
(Penulis)
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................... 10
D. Review Studi Terdahulu ......................................................... 12
E. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan ............................. 14
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 18
BAB II : TINJAUAN UMUM ‘URF
A. Definisi ‘Urf ........................................................................... 21
B. Pembagian ‘Urf ...................................................................... 27
C. Kedudukan ‘Urf dalam Penetapan Hukum ............................ 32
D. Syarat-syarat ‘Urf ................................................................... 37
E. Pandangan Ulama tentang ‘Urf .............................................. 45
F. Contoh-contoh ‘Urf yang sudah teradopsi di Indonesia ......... 49
BAB III : PRAKTEK DAN KECENDERUNGAN ADAT BETAWI
YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM
SESERAHAN PERNIKAHAN DI KALANGAN
MASYARAKAT
A. Kondisi Umum pada Masyarakat Kampung Pisangan ........... 53
B. Sejarah Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan .................. 55
C. Opini masyarakat terhadap roti buaya dalam Seserahan
pernikahan .............................................................................. 58
vi
BAB IV : ANALISIS HUKUM ADAT BETAWI YANG
MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM
SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM
A. Pandangan Ulama Tentang Hukum Adat Betawi yang
Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan
Pernikahan .............................................................................. 60
B. Analisis Penulis mengenai Adat Betawi yang
Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan
Pernikahan .............................................................................. 68
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 75
B. Saran ....................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 77
LAMPIRAN ................................................................................................... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Syariat dipahami sebagai segala ketentuan yang dikeluarkan dari
Al-Qur‟an dan Sunnah. Al-Qur‟an dan Sunnah diakui sebagai sumber kewahyuan
yang valid. Pemahaman dan penafsiran kedua sumber kewahyuan ini disebut
dengan hukum fikih. Hukum fiqh inilah yang disebut dengan Hukum Islam.1
Bila kata hukum ini dihubungkan dengan kata Islam atau Syara‟, maka
hukum Islam akan berarti “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini
mengikat untuk semua manusia yang beragama Islam.”2
Syariat dapat dikatakan adalah hukum yang ditetapkan Allah. Ketika
ketetapan Allah tersebut identik dengan firman-Nya maka dapat dipahami syariat
itu ialah wahyu, dan ketika wahyu itu dikaitkan dengan peranan Rasul yang
membawanya maka syariat itu dipahami sebagai ketentuan Al-Qur‟an dan
Sunnah.3
Semua ketentuan wahyu ini telah selesai dijelaskan oleh Nabi baik tujuan
maupun tekhnis pelaksanaannya. Itulah ajaran pokok agama Islam untuk
kepentingan manusia. Segala penjelasan beliau terhadap hukum-hukum itu disebut
1Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks
Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 25.
2 Ahmad Mukri Aji, Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam
Di Indonesia, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), cet. 1, h. 117.
3 Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks
Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 27.
2
dengan Sunnah, yang juga berlaku mengikat sebagai aturan meskipun tidak
tertutup kemungkinan kecerdasan beliau ikut berperan dalam membentuk aturan,
tetapi hal ini dilegalisir oleh Al-Qur‟an sebagai kebenaran. Segala persoalan
hukum yang dikeluarkan dengan sistematis dari Al-Qur‟an dan Sunnah ini disebut
dengan hukum fikih, yang mencakup segenap aspek dari perbuatan manusia.4
Hukum yang diturunkan oleh Allah kepada manusia tidak lain kecuali
untuk kemaslahatan dan keselamatan manusia baik di dunia maupun di akhirat
kelak. Keselamatan ini akan dapat kita peroleh jika kita mau menaati hukum-
hukum Allah secara konsekuen. Jika kita perhatikan secara cermat, maka hukum-
hukum Allah yang harus kita taati ada yang bersifat perintah tegas, yaitu tuntutan
untuk dikerjakan oleh kita secara tegas dan pasti yang disebut dengan wajib
seperti shalat dan puasa. Adakalanya perintah ini bersifat tidak tegas, yaitu
tuntutan untuk dikerjakan tetapi sifatnya tidak harus dan tidak mesti seperti shalat
sunnah. Adakalanya perintah itu berupa tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan
secara pasti yang disebut dengan haram seperti berzina. Dan adakalanya berupa
tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan itu secara tidak pasti artinya tidak harus
kita tinggalkan tetapi meninggalkannya dipandang lebih baik seperti makan
jengkol dan petai. Dan adakalanya hukum Allah itu bersifat pilihan artinya
seseorang diberikan keleluasan untuk memilih antara mengerjakan atau
meninggalkan seperti makan dan minum.5
4 Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks
Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 29.
5 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. 1, h. 126.
3
Secara teoritik hukum-hukum syari‟at didasarkan pada serangkaian
manfaat dan mudharat nyata, dan bahwa akal atau nalar manusia memiliki
kemampuan untuk secara mandiri menemukan manfaat-manfaat dan mudarat-
mudarat yang melekat pada sesuatu. Karena itu, maka dengan sendirinya akal
mampu menemukan maksud-maksud dan kriteria-kriteria hukum agama melalui
ijtihad dan ra‟yu.6
Dalam menjelaskan hukum, Al-Qur‟an menggunakan beberapa cara dan
ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut
suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.7
Untuk memahami semua itu diperlukan penalaran dan kemampuan intelektual
yang tinggi, yang dalam studi Islam merupakan bagian dari telaah Ushul Fikih.
Dalam ilmu inilah dapat diketahui ketetapan-ketetapan Allah, mana yang berupa
perintah, mana yang larangan dan mana pula yang berupa pilihan dan yang
lainnya. Bahkan dengan ilmu ini pula akan dapat diketahui dengan jelas tujuan
(maqashid) dari Syari‟at Islam itu.8
Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur‟an sebagai sumber utama atau
pokok Hukum Islam, berarti Al-Qur‟an itu menjadi sumber dari segala sumber
hukum. Karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur‟an,
maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟an dan tidak boleh melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan Al-Qur‟an. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber
6Afifi Fauzi Abbas, Baik Dan Buruk Dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA
Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 64.
7Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 77.
8 Afifi Fauzi Abbas, Baik Dan Buruk Dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA
Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 107.
4
hukum selain Al-Qur‟an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-
Qur‟an.9
Dengan demikian, bila Al-Qur‟an disebut sebagai sumber asli bagi hukum
fikih, maka Sunnah disebut sebagai bayani.10
Kedudukan Sunnah sebagai bayani
atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Qur‟an, tidak diragukan
lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi
ditugaskan Allah. Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan
sebagai sumber atau dalil kedua sesudah Al-Qur‟an dan mempunyai kekuatan
untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.11
Dengan demikian di dalam Hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu;
pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul
fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrijal-ahkam) dari
sumbernya, Al-Qur‟an dan/atau Hadis. Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-
kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan
pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak
jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fikih maupun kaidah-kaidah
fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah
ushul sering digunakan di dalam takhrij al-ahkam, yaitu mengeluarkan hukum
dari dalil-dalilnya (al-Qur‟an dan sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering
9 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 86.
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 99.
11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 111.
5
digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus
yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.12
Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum yang lengkap dan universal
perlu dipahami secara menyeluruh oleh segenap umat manusia, karena kesalahan
dalam memahami hukum Islam akan berdampak pada semakin menjauhnya
hukum dari manusia, atau terlepasnya fungsi pranata hukum dalam masyarakat.13
Semua hukum-hukum ini didasarkan kepada dalil (al-dalil), terdiri dari
firman (khitab) Allah dan Sunnah Rasulullah, ijma, qiyas, dan apa saja yang
menjadi sarana untuk sampai kepada dalil. Sebagaimana yang diatur dalam ilmu
Ushul Fikih, sebagai prosedur ilmiah mengeluarkan kandungan hukum dari unit-
unit dalil. Ilmu fikih ialah mengetahui hukum-hukum syari‟ah yang jalan
penetapannya melalui ijtihad.
Usaha-usaha untuk memahami hukum dari dalilnya, maupun melahirkan
hukum yang baru disebut dengan ijtihad (al-ijtihad). Perkembangan dan
perubahan masyarakat adalah faktor penting lahirnya ijtihad, sebab pada saat itu
terjadi pula kasus baru yang berbeda dengan tentunya memerlukan aturan
pula.Segala aturan yang dikeluarkan mujtahid maka hukum tersebut adalah
Hukum Islam.14
12
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. 2, h. 4.
13
Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialetika Pemikiran Hukum
Islam, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012), cet. 2, h. 14.
14
Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks
Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 31.
6
Hukum-hukum ijtihadiyah yang ditentukan berdasarkan „urf akan
mengalami perubahan jika ‟urf yang menjadi dasar mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan atas hukum-hukum yang dibina atas „urf berubah menurut
masa dan tempat, asal tetap dalam bidang-bidang perbuatan-perbuatan yang
dibolehkan. Dalam fikih terdapat hukum yang didasarkan kepada ‟urf yang
terdapat pada masa imam mazhab. Terdapat sebagian kalangan muta‟khirin ahli
fikih bertentangan dengan sebagian imam atau ulama mutaqaddimin, yang
berpokok pangkal pada perbedaan „urf yang berlaku ketika itu. Hukum berbeda
dikarenakan perbedaan „urf dalam suatu negara dan perubahan „urf karena
perubahan masa, dan perbedaan pendapat di antara mereka terjadi karena
perbedaan tempat dan masa bukan perbedaan hujah dan alasan. Dengan demikian,
berfatwa dengan hukum tersebut hukum-hukum yang dibina para fuqoha
berdasarkan „urf pada masa kini yang urf‟nya sudah berubah merupakan suatu
kesalahan dalam agama.15
Kehidupan manusia disebut berubah karena adanya perubahan pada saat
adanya perbedaan waktu. Perubahan pada manusia terjadi pada satu persatu
individu dan menyebabkan pula pada kumpulan individu. Individu memiliki sifat
bawaan yang menjadi energi dirinya melakukan kegiatan. Sifat bawaannya yang
terutama adalah perkembangan. Sebagai makhluk hidup manusia bersifat
berkembang.
Perubahan sosial ialah perubahan pola-pola budaya (tata nilai), struktur-
struktur sosial, dan perilaku sosial pada rentang waktu. Dalam definisi ini
15
Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1, h. 49.
7
Robertson meletakan perubahan pada tiga aspek, kultur, struktur, dan nilai yang
dikaitkan dengan waktu.
Persoalan waktu menjadi bagian penting dari sebuah perubahan.Dalam
Perspektif Evoluionis perubahan masyarakat dipandang sebagai suatu yang
alamiah, terjadi dimana saja, niscaya, dan merupakan ciri tak terhindarkan dari
realitas sosial.16
Perubahan itu sendiri bisa terjadi karena perubahan yang
disebabkan oleh kejadian-kejadian alam dan bisa terjadi karena usaha-usaha
manusia itu sendiri. Adapun bentuk-bentuk perubahan itu sendiri, berbagai macam
bentuknya yang disimpulkan oleh Ibnu Qayyim dengan ungkapannya:
تغير الفتوى بحسب تغير الازمنة و الامكنة والاحوال والنيات والعوائد
Artinya: “fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan waktu,
tempat, keadaan, niat, dan adat kebiasaan.”17
Dalam kajian hukum Islam terutama dalam masalah-masalah kontemporer
masalah perubahan sosial sangat menjadi perhatian dalam menetapkan hukum
yang mencerminkan kebutuhan masa kini. Dalam kaitan ini beberapa kaidah
tentang baik dan buruk yang berkaitan dengan perubahan sosial telah diinduksi
oleh para ahli hukum Islam dari nash‟syara, seperti contoh kaidah berikut:
ا لعا دة محكمة
Artinya: “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat menjadi
hukum.”18
16
Junaidi Lubis, Islam Dinamis ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan
Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 37.
17
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. 2, h. 108.
18
Taj al-Din Abd al-Wahab al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadzair JIlid 1, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1991), h. 50.
8
Hal ini bermakna bahwa, status adat kebiasaan yang baik yang telah
berlaku ditengah-tengah masyarakat, berfungsi sebagai salah satu syarat dalam
suatu transaksi yang berlaku dalam masyarakat. Kaidah lain yang erat juga
hubungannya dengan masalah perubahan sosial adalah
التنكر تغير اال حكام بتغير اال زمان
Artinya: “tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum-hukum itu
disebabkan oleh perubahan sosial (zaman).”19
Yang dimaksud dengan “al-ahkam” di sini adalah al-ahkam al-ijtihadiyah
al-mabniyah ala al-urf wa al-mashlahah (hukum-hukum berdasarkan hasil
pemikiran dengan mempertimbangkan tradisi yang baik dan kemashlahatan
masyrakat).20
Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan
peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai
akibat dari dinamika dan interaksi yang berkembang di suatu komunitas
lingkungan masyarakat. Oleh karenanya, bisa dikatakan, adat dan tradisi
merupakan identitas dan ciri khas suatu komunitas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat atau tradisi bermakna
kebiasaan perilaku yang dijumpai secara turun-temurun. Karena bermula dari
kebiasaan dan itu merupakan warisan dari pendahulu, maka akan terasa sangat
ganjil ketika hal itu tidak boleh dilakukan atau dilakukan tapi tidak sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku.
19
Ahmad al-Hajj al-Kurdy, Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah, (Damaskus: Dar
al-Ma‟rif li al-TIba‟ah, 1979), h. 62.
20
Afifi Fauzi Abbas, Baik dan Buruk dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA
Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 208.
9
Masyarakat Indonesia memiliki beragam adat dan tradisi yang berbeda
dengan negara-negara lain, bahkan dari satu daerah ke daerah yang lain.
Beragamnya agama, bahasa dan budaya adalah keniscayaan dalam konteks
keindonesiaan.21
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau
pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat
itu berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan,
pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta kebiasaan setempat.
Seperti dalam perkawinan adat Betawi seorang laki-laki yang ingin menikahi
seorang perempuan diharuskan membawa seserahan ketika akad nikah dimana
dalam seserahan tersebut berisi roti buaya yang merupakan ciri atau tradisi dari
perkawinan adat betawi. Sebuah perkampungan Betawi yaitu Kampung Pisangan
yang terletak di Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta
Selatan dimana masyarakatnya sangat memegang teguh adat kebudayaannya dan
menjalankan kebudayaan tersebut, terutama pada bidang pernikahan mereka yang
menggunakan roti buaya yang menjadi salah satu bagian seserahan yang diberikan
dari pihak laki-laki ke pihak perempuan. Adapun hal yang penulis sebutkan di atas
nampaknya telah terjadi sejak lama dan telah mengakar dan membudidaya. Hal ini
harus diklarifikasi tentang kebenarannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
mengangkatnya menjadi sebuah karya ilmiah (skripsi) yang berjudul sebagai
berikut : “Hukum Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan
21
Iqbal1, “Ilmu Fiqh”, artikel diakses pada 27 Febuari 2015 dari
https://iqbal1.wordpress.com/2010/04/19/ilmu-fiqh-adat-atau-tradisi-dalam-beribadah-1/
10
Pernikahan Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Kampung Pisangan
Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)”.
B. Pembatasan dan PerumusanMasalah
1. Pembatasan Masalah
Agar dalam pembahasan skripsi ini tidak melebar dan tetap fokus, maka
dalam penulisan ini penulis ingin membatasi masalah yang akan dibahas oleh
penulis, yakni seputar pengertian „urf, pandangan Ulama dan status hukum adat
Betawi dalam konteks pernikahan yang menggunakan roti buaya dalam
seserahannya.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka penulis merumuskan
masalahnya sebagai berikut :
a. Bagaimana perkembangan „urf atau adat dari zaman nabi sampai
sekarang?
b. Bagaimana pandangan Ulama tentang „urf atau adat ?
c. Bagaimana status hukum adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya
dalam seserahan pernikahan ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka
dapat diakui bahwa :
1. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan
manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan
11
penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui perkembangan „urf atau adat dari zaman nabi sampai
sekarang.
b. Untuk mengetahui pandangan Ulama yang berkaitan dengan „urf atau adat.
c. Untuk mengetahui status hukum adat Betawi yang menggunakan Roti
Buaya dalam seserahan pernikahan.
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan penulisan di atas penelitian diharapkan juga dengan memberi
manfaat antara lain:
a. Manfaat Akademis
1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam
perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek di lapangan.
2) Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi
peneliti.
3) Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat
digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
1) Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum fikih.
2) Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas
tentang status hukum adat Betawi yang menggunakan roti buaya
dalam seserahan pernikahan.
12
3) Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan
bagi penulis, khususnya bidang hukum fikih.
D. Review Studi Terdahulu
Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka diperlukan
kajian terdahulu. Berdasarkan pengamatan dan pengkajian yang telah dilakukan
terhadap beberapa sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan yang dibahas
dalam penulisan skripsi ini, maka penulis lebih memfokuskan masalah hukum
adat Betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan.
Sedangkan skripsi yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu:
NO. NAMA/ NIM JUDUL PEMBAHASAN
1. Muhasim/
204044103048
Tradisi Kudangan
Perkawinan Betawi
Dalam Perspektif
Hukum Islam (Studi
Kasus Kelurahan
Benda Baru
Kecamatan
Pamulang)
Penulis membahas tentang
tradisi perkawinan adat
Betawi yang dimana ada
tradisi kudangan yaitu
permintaan pihak
perempuan yang
bersumber dari orang tua
dimana ketika masih kecil
meminta sesuatu kepada
orang tuanya tetapi tidak
dapat memenuhinya maka
permintaan tersebut
dijadikan salah satu syarat
13
yang harus dipenuhi oleh
pihak laki-laki yang akan
menikahi perempuan
tersebut.
2. M. Irfan
Juliansah/
104043101283
Tata Cara Khitbah
dan Walimah pada
Masyarakat Betawi
Kembangan Utara
Jakarta Barat
Menurut Hukum
Islam
Penulis ini lebih
memfokuskan
pembahasannya kepada
masalah khitbah, walimah,
dan biaya pernikahan
dalam pandangan Imam
mazhab dengan
menemukan deskripsi
yang shahih dan valid
mengenai konsep Islam
dalam mengatur tentang
proses dan tata cara
pelaksanaan pernikahan
yang sesuai dengan
tuntunan yang telah
diberikan oleh Allah dan
Rasul-Nya, serta terhindar
dari campur tangan dan
budaya manusia.
14
3. Andy Pathoni Tinjauan Hukum
Islam Terhadap
Tradisi Khutbah
Penyerahan dan
Khutbah Penerimaan
dalam Perkawinan
Adat Betawi (Studi
Kasus di Setu
Babakan Kelurahan
Srengseng Sawah)
Penulis ini
mengetengahkan sebuah
tradisi dari perkawinan
adat Betawi khususnya
daerah kelurahan
Srengseng Sawah dalam
hal melaksanakan
sambutan khutbah
membawa uang belanja
dan khutbah menerima
uang belanja.
Masih ada beberapa skripsi yang menjelaskan tentang pernikahan adat
betawi. Salah satunya yang sudah disebutkan di atas. Namun skripsi tersebut tidak
ada hubungannya dengan skripsi penulis, dan tidak menjelaskan pandangan
Hukum Islam mengenai adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya dalam
seserahan pernikahan, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan mengambil judul Hukum Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya
dalam Seserahan Pernikahan Perspektif Hukum Islam.
E. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan
1. Metode Pendekatan
Penelitian dengan pendekatan kualitatif menekankan analisis proses dari
proses berpikir secara induktif yang berkaitan dengan dinamika hubungan
15
antarfenomena yang diamati, dan senantiasa menggunakan logika ilmiah.
Penelitian kualitatif bertujuan megembangkan konsep sensitivitas pada masalah
yang dihadapi, menerangkan realitas yang berkaitan dengan penelusuran teori dari
bawah (grounded theory) dan mengembangkan pemahaman akan satu atau lebih
dari fenomena yang dihadapi. Penelitian kualitaif merupakan sebuah metode
penelitian yang digunakan dalam mengungkapkan permasalahan dalam kehidupan
kerja organisasi pemerintah, swasta, kemasyarakatan, kepemudaan, perempuan,
olah raga, seni dan budaya, sehingga dapat dijadikan suatu kebijakan untuk
dilaksanakan demi kesejahteraan bersama.22
Penelitian kualitatif adalah deskriptif. Data yang dikumpulkan lebih
mengambil bentuk kata-kata atau gambar daripada angaka-angka. Hasil penelitan
tertulis berisi kutipan-kutipan dari data untuk mengilustrasikan dan menyediakan
bukti presentasi.23
2. Metode Penelitian
Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max
Weber yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala
sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan
perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut.
Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan
kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran
22
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2013), cet. 1, h. 80.
23
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
cet. 2, h. 3.
16
mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis
lagi dengan menggunakan teori yang objektif.24
3. Objek Penelitian
Yang menjadi objek penelitian ini adalah masyarakat Kampung Pisangan
Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan, serta
buku-buku, litaratur-liteartur, dan kitab-kitab lainnya yang ada relevansinya
dengan judul skripsi ini.
4. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer yang digunakan sebagai acuan dalam menyusun skripsi ini
adalah wawancara secara langsung dengan masyarakat yang menggunakanroti
buaya yang menjadikan salah satu bagian seserahan dalam perkawinannya yang
diberikan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan.
b. Data Sekunder
Al-Qur‟an dan al-Hadits, serta buku-buku lainnya yang dapat mendukung
terselesaikannya skripsi ini.
5. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa
mengetahui tekhnik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan
24
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2013), cet. 1, h. 33.
17
data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.25
Dalam hal ini peneliti
menggunakan tekhnik pengumpulan data diantaranya yaitu:
a. Studi Wawancara
Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan
pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpulan data) kepada
responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat
perekam.26
Dari berbagai sumber data yang penulis catat, penulis menghubungkan
satu data dengan data yang lainnya untuk dikontruksikan, sehingga menghasilkan
pola makna tertentu. Data yang masih diragukan penulis tanyakan kembali kepada
sumber data lama atau yang baru agar memperoleh ketuntasan dan kepastian.
b. Studi Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa
berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.27
Dalam
studi ini peneliti mengumpulkan buku harian, surat pribadi, laporan dan dokumen
lainnya dari kemudian peneliti menelaah dan meneliti kembali data-data tersebut
sehingga dapat dituangkan ke dalam skripsi ini.
6. Metode Analisis Data
Jika data telah terkumpul, dilakukan analisa data secara kualitatif dengan
menggunakan instrument analisis induktif yaitu berangkat dari pengetahuan atau
25
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: CV. Alfabeta,
2007), h. 224.
26
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial “Suatu Tehnik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya”. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet: 8,
h. 67-68.
27
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: CV. Alfabeta,
2007), h. 240.
18
fakta yang bersifat khusus untuk mencapai kesimpulan umum. Metode ini
digunakan dalam menjelaskan pendapat-pendapat hukum Islam (al-Qur‟an dan al-
Hadits) dan juga para pendapat Ulama kemudian pendapat tersebut
dikomperasikan dengan motifasi serta alasan masyarakat setempat, kemudian
menarik kesimpulan umum dari pendapat-pendapat itu. Sedangkan komperatif
yaitu menganalisis data yang berbeda ataupun yang sama dengan jalan
membandingkan untuk mengetahui permasalahan perbedaan dan persamaan serta
faktor yang melatar belakanginya.
7. Tekhnik Penulisan
Adapun Teknik penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada
Prinsip-prinsip yang telah diatur dan di bukukan dalam buku pedoman penulisan
skiripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2012.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penyusunan skripsi ini, penulisan membaginya kepada
lima bab, yang garis besarnya penulis gambarkan sebagai berikut :
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penilitian,
metode penelitian dan sistematika penulisan. Dengan berangkat
dari pendahuluan kita sudah mengetahui garis besar penelitian bab
pertama ini adalah sebagai pengantar. Adapun isi penelitian
19
seluruhnya tertuang dalam bab II, III, IV. Inti dari penelitian
seluruhnya tertuang dalam bab V, berisi kesimpulan dan saran.
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG ‘URF
Bab ini merupakan kajian teori tentang „urf, dengan menelusuri
berbagai kepustakaan mengenai „urf. Kajian teori ini dimaksudkan
untuk menjadi pisau bedah dan analisis terhadap data-data hasil
penelitian. Kajian ini meliputi pengertian „urf dalam Islam,
pembagian „urf dalam Islam, dalil-dalil mengenai „urf, syarat-
syarat „urf dalam Islam, pandangan ulama mengenai „urf, serta
contoh-contoh „urf yang bersifat kontemporer.
BAB III: PRAKTEK DAN KECENDERUNGAN ADAT BETAWI
YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM
SESERAHAN PERNIKAHAN DI KALANGAN
MASYARAKAT
Bab ini merupakan pembahasan tentang sejarah munculnya adat
Betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan,
dengan menjelaskan beberapa argumentasi dan dasar pemikiran
masyarakat yang mempraktekan adat tersebut di lingkungannya,
serta mekanisme adat Betawi yang menggunakan roti buaya dalam
seserahan pernikahan.
BAB IV: ANALISIS HUKUM ADAT BETAWI DALAM SESERAHAN
PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
20
Bab ini merupakan bagian analisis yang penulis lakukan terhadap
topik inti skripsi dengan menggunakan kajian bab II sebagai
deskripsi teoritik tentang „urf dan bab III sebagai variabel lain yang
menjadi setting di mana analisis ini dilakukan. Dari analisis tersebut
kemudian akan diambil beberapa kesimpulan. Atas dasar itu, bab ini
mencoba menguraikan bagaimana pendapat dan kritikan ulama
mengenai adat Betawi dalam menggunakan roti buaya dalam
seserahan pernikahannya yang terjadi di kalangan masyarakat dan
status hukumnya.
BAB V: PENUTUP
Bab ini sebagai akhir dari karya ilmiah ini, yang memuat hasil
akhir atas kajian-kajian yang telah dilakukan dalam bentuk:
kesimpulan dan saran-saran.
21
BAB II
TINJAUAN UMUM ‘URF
A. Pengertian al-‘urf
Dari segi kebahasan (etimologi) al-„urf berasal dari kata yang terdiri dari
huruf „ain, ra‟, dan fa‟ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma‟rifah
(yang dikenal), ta‟rif (definsi), kata ma‟ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan
kata „urf (kebiasaan yang baik).
Adapun dari segi terminologi, kata „urf mengandung makna:
عئ خاص عو ىفع حعازفاطيا ق , ا مو فعو شاع ب سازاعي ااعخا د اىاس
اع د س ع س ىاخبادز غ ااىيغت الحاىف1
Artinya : Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka
mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang popular di antara mereka,
ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan
dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak
memahaminya dalam pengertian lain.
Kata „urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al-„adah
(kebiasaan), yaitu:
س ت باىقبه ااسخقسف اىف اطباع اىسي حيقخ ه ت اىعق ج2
Artinya : Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya
diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.
Kata al-„adah itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan secara
berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat.
1Abdul Wahab Kholaf, Ushul Fiqh, (t.t: Daar Arosyid, t.th), h.77.
2 Muhammad Shidq bin Ahmad bin Muhammad Ali Burnu, Al Wajiz fii idhohi qawaid al
fiqh al Kulliyah, (Beirut: Muassisah ar Risalah, 1996 M), h. 276.
22
Dari penjelasan di atas dapat dipahami, al-„urf atau al-„adah terdiri atas
dua bentuk yaitu, al-„urf al-qauli (kebiasaan dalam bentuk perkataan) dan al-„urf
al-fi‟li (kebiasaan dalam bentuk perbuatan). „Urf dalam bentuk perbuatan,
misalnya, transaksi jual beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa
mengucapkan lafal ijab dan qabul. Demikian juga membagi mahar menjadi
“hantaran” dan “mas kawin”. Sedangkan contoh „urf dalam bentuk perkataan,
misalnya, kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam
masyarakat Islam Indonesia, mengandung arti talak.3
Secara etimologi, „urf berarti “yang baik”. Para Ulama ushul fiqh
membedakan antara adat dengan „urf dalam membahas kedudukannya sebagai
salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara‟. Adat didefinisikan dengan:
ت سعياقتعقي غ خنسز ساى اال4
Artinya : Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya
hubungan nasional.5
Kata „urf yang dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan adat
kebiasaan, namun para Ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar
yang kesimpulannya adalah sebagai berikut:
Al-„urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
Demikianlah yang dikatakan oleh Imam Al Jurjani dalam At Ta‟rifat hal: 154,
kemudian beliau berkata: “Begitu jugalah makna al-„adah.”
3 Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), cet. 2, h. 209.
4Ibnu Amir Hajj, at-Taqrir wa at-Tahbir, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1983 M), cet.
3, h. 282.
5 Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 209.
23
Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan
jeli maka sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung maka
artinya berbeda namun apabila berpisah maka artinya sama, mirip dengan kata
Islam dengan iman.6
Definisi ini menunjukan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara
berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga
menunjukan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang
menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur,
makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang
menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran
yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab alami, seperti
cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis atau cepatnya tanaman
berbuah di daerah tropis, dan untuk daerah dingin terjadi kelambatan seseotang
menjadi baligh dan kelambatan tanaman berbuah. Di samping itu, adat juga bisa
muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti korupsi, sebagaimana adat
juga bisa muncul dari kasus-kasus tertentu, seperti perubahan budaya suatu daerah
disebabkan pengaruh budaya asing.
Adapun menurut Ulama Ushul Fikih, „urf adalah:
فعو ه ا ف ق زق عادة ج7
Artinya : Kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan maupun
perbuatan.
6 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih
Islami, (Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 104.
7 Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, al-Qawa‟id al-Fiqhiyah wa tathbiqatuha fii al-
Mazahib al-arba‟ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), juz 1, h. 314.
24
Berdasarkan definisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa, mengatakan bahwa
„urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari „urf. Suatu „urf
menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada
pribadi atau kelompok tertentu dan „urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana
yang berlaku dalam kebanyakan adat.8
Tentang berapa kali suatu perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut
adat, tidak ada ukurannya dan banyak bergantung pada bentuk perbuatan yang
dilakukan tersebut. Hal ini secara panjang lebar dijelaskan al-Asyab wa al-
Nazhair.
Kata „urf pengertiannya tidak melihat arti segi berulang kalinya suatu
perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama
dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berbeda ini
(dari sudut berulang kali, dan dari sudut dikenal) yang menyebabkan timbulnya
dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip
karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah
berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak; sebaliknya
karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu
dilakukan orang secara berulang kali. Dengan demikian meskipun dua kata
tersebut dapat dibedakan tetapi perbedaannya tidak berarti.
Perbedaan antara kedua kata ini, juga dapat dilihat dari segi kandugan
artinya, yaitu: adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu pebuatan
dilakukan dan tidak meliputi penilaian mengenaisegi baik dan buruknya perbuatan
8 Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 210.
25
tersebut. Jadi kata adat ini berkonotasi netral, sehingga ada adat yang baik dan ada
adat yang buruk. Definisi tentang adat yang dirumuskan Muhammad Abu Zahrah
dalam bukunya Ushul al-Fiqh cenderung ke arah pengertian ini, yaitu:
دخااع ع اساى ا قخاس اثيا زا يع جا9
Artinya : Apa-apa yang dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan
telah mantap dalam urusan-urusannya.
Kalau kata adat mengandung konotasi netral, maka „urf tidak demikian
halya. Kata „urf digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang
dilakukan, yaitu diakui, diketahui, dan diterima oleh orang banyak. Dengan
demikian, kata „urf itu mengandung konotasi baik.10
Dari adanya ketentuan bahwa „urf atau adat itu adalah sesuatu yang harus
telah dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak, melihat ada kemiripannya
dengan ijma‟. Namun antara keduanya mendapat beberapa perbedaan yang di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma‟harus diakui dan diterima smua pihak. Bila
ada sejumlah kecil saja pihak yang tidak setuju, maka ijma‟ tidak tercapai.
(Hanya sebagian kecil ulama yang mengatakan bahwa ijma‟ yang tidak
diterima oleh beberapa orang saja, tidak mempengaruhi kesahihan suatu
ijma‟). Sedangkan „urf atau adat sudah dapat tercapai bila ia telah dilakukan
dan dikenal oleh sebagian besar orang dan tidak mesti dilakukan oleh semua
orang.
9 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut; Dar al Fikr al „araby, 1958).
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 387.
26
2. Ijma‟ adalah kesepakatan (penerimaan) di antara orang-orang tertentu, yaitu
para mujtahid, dan yang bukan mujtahid tidak diperhitungkan kesepakatan
atau penolakannya. Sedangkan „urf atau adat terbentuk bila yang
melakukannya secara berulang-ulang atau yang mengakui dan menerimanya
adalah seluruh lapisan manusia, baik mujatahid atau bukan.
3. Adat atau „urf itu meskipun telah terbiasa diamalkan oleh seluruh umat
Islam, namun ia dapat mengalami perubahan karena berubahnya orang-
orang yang menjadi bagian dari umat itu. Sedangkan ijma‟ (menurut
pendapat kebanyakan ulama) tidak mengalami perubahan sesekali
ditetapkan, ia tetap berlaku sampai ke generasi berikutnya yang datang
kemudian.11
Adapun tentang pemakaiannya, „urf adalah sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan di kalangan ahli ijtihad atau bukan ahli ijtihad, baik yang berbentuk
kata-kata atau perbuatan. Dan sesuatu hukum yang ditetapkan atas dasar „urf
dapat berubah karena kemungkinan adanya perubahan „urf itu sendiri atau
perubahan tempat, zaman, dan sebagainya. Sebagian mendasarkan asal itu pada
kenyataan bahwa, Imam Syafi‟i ketika di Irak mempunyai pendapat-pendapat
yang berlainan dengan pendapat beliau sendiri setelah pindah ke Mesir. Di
kalangan ulama, pendapat Imam Syafi‟i ketika di Irak disebut qaul Qadim, sedang
pendapat di Mesir adalah qaul Jadid.
Adapun alasan para ulama yang memakai „urf dalam menentukan hukum
antara lain:
11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 389.
27
1. Banyak hukum syariat, yang ternyata sebelumnya telah merupakan
kebiasaan orang Arab, seperti adanya wali dalam pernikahan dan susunan
keluarga dalam pembagian waris.
2. Banyak kebiasaan orang Arab, baik berbentuk lafaz maupun perbuatan,
ternyata dijadikan pedoman sampai sekarang.12
B. Pembagian al-‘urf
Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan, „urf dapat dibagi dua
macam, yaitu:
1. „Urf qauli
Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan.
Kata waladun secara etimologi artinya “anak” yang digunakan untuk anak laki-
laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak
ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan
(mu‟annats). Penggunaan kata walad itu untuk laki-laki dan perempuan,
(mengenai waris/ harta pustaka) berlaku juga dalam Al-Qur‟an, seperti dalam
surat an-Nisa‟ (4): 11-12, seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang
disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan anak
perempuan.
Dalam kebiasaan sehari-hari („urf) orang Arab, kata walad itu digunakan
hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan, sehingga dalam
12
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 6, h.
162.
28
memahami kata walad kadang digunakan „urf qauli tersebut. Umpamanya dalam
memahami kata walad pada surat an-Nisa‟ (4): 176:
س له ولد وله أخت فلها وصف ستفتىوك قل اهلل فتكم ف الكاللت إن امرإا هلك ل مار
ه فلهما الثلثان مما وإن كاوىا إخىة رجاال وهى رثهآ إن لم كه لها ولد فإن كاوتا اثىت ر
ء علم ه به اهلل لكم أن ضلىا واهلل بكل ش ووسآء فللذكر مثل حظ األوث
Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan. Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal …
Melalui penggunaan bukan „urf qauli, kata kalalah dalam ayat tersebut
diartikan sebagai “orang yang tidak meninggalkan anak laki-laki”. Dalam hal ini
(dengan pemahaman „urf qaula), anak laki-laki dapat meng-hijab saudara-saudara
sedangkan anak perempuan tidak dapat.
Kata lahm artinya adalah “daging”, baik daging sapi, ikan, atau hewan
lainnya. Pengertian umum lahmun yang juga mencakup daging ikan ini terdapat
dalam Al-Qur‟an, surat an-Nahl (16); 14:
ت لبسىوها وري الفلك وهى الذ سخر البحر لتؤكلىا مىه لحما طرا وستخرجىا مىه حل
مىاخر فه ولتبتغىا مه فضله ولعلكم شكرون
Artinya : Allah yang memudahkan laut untukmu supaya kamu dapat
memakan ikannya yang segar…
Namun dalam adat kebiasaan berbahasa sehari-hari di kalangan orang
Arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk “ikan”. Karena itu, jika seseorang
bersumpah, “Demi Allah saya tidak akan memakan daging”, tetapi ternyata
29
kemudian ia memakan daging ikan, maka menurut adat masyarakat Arab, orang
tersebut tidak melanggat sumpah.
2. „Urf fi‟li
Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya, kebiasaan
jual beli barang-barang yang enteng (murah dan kurang begitu bernilai) transaksi
antara penjual dan pembeli cukup hanya menujukan barang serta serah terima dan
uang tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad
dalam jual beli, kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa
adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.13
Ditinjau dari segi jangkauannya, „urf dapat dibagi dua macam, yaitu:
1. Al-„Urf al-Amm
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi, sebagian besar
masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos
kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak
yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. Demikian juga,
membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket masuk
tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya
membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.
2. Al-„Urf al-Khash
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat
tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan masyarakat Jambi
13
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 390.
30
menyebut kalimat “satu tumbuk tanah”, untuk menunjuk pengertian luas tanah 10
x 10 meter.
Demikian juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuintansi
sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua
orang saksi.
Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, „urf dapat pula dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
1. Al-„Urf ash-Shahihah („Urf yang Absah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan
dengan aturan-aturan hukum Islam. Dengan kata lain, „urf yang tidak mengubah
ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya, mengubah ketentuan halal
menjadi haram. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat,
hadiah (hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak
dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-
laki. Sebaliknya, jika yang membatalkan peminangan adalah pihak wanita, maka
“hantaran” yang diberikan kepada wanita yang dipinang dikembalikan dua kali
lipat jumlahya kepada pihak laki-laki yang meminang.
Demikian juga, dalam jual beli dengan cara pemesanan (inden), pihak
pemesan memberi uang muka atau panjar atas barang yang dipesannya.14
2. Al-„Urf al-Fasidah („Urf yang Rusak/ Salah)
Yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya,
namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun.
14
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), cet. 2, h. 210.
31
Umpamanya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan
menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir,
kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah).15
Adapun yang berkaitan dengan mu‟amalah perdata adalah kebiasaan yang
berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang
antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam
tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo,
dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang diraih
peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena
keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi
bunganya yang 10%. Akan tetapi, praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang
bersifat tolong-menolong dalam pandangan syara‟, karena pertukaran barang
sejenis, menurut syara‟ tidak boleh saling melebihkan (HR. al-Bukhari, Muslim,
dan Ahmad Ibn Hanbal), dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang
berlaku di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan riba al-nasi‟ah (riba
yang muncul dari hutang-piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut
Ulama Ushul Fikih, termasuk dalam kategori al-„urf al-fasid.
Contoh lain adalah dalam “penyuapan”. Untuk memenangkan perkaranya,
seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk kelancaran
urusan yang dilakukan seseorang, ia memberikan sejumlah uang kepada orang
yang menangani urusannya. Hal ini juga termasuk al-„urf al-fasid.16
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 392.
16
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 213.
32
C. Kedudukan ‘Urf dalam Menetapkan Hukum
Di dalam fikih Islam banyak terdapat hukum yang dibina atas dasar „urf
yang terjadi dimasa para Imam. Perbedaan „urf antara beberapa negeri menjadi
sebab terjadinya perbedaan fuqaha terdahulu, sebagaimana halnya perubahan „urf
menurut perjalanan waktu menjadi sebab pula terjadinya perbedaan pendapat
ulama yang datang kemudian dengan pendapat ulama pendahulunya.
Dalam hubungan ini, mereka mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan
itu adalah perubahan masa dan tempat, bukan perubahan hujjah dan dalil.17
Seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam al-
Qarafi (w. 684 H/ 1285 M), harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak
bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat
tersebut. Seluruh Ulama mazhab, menurut Imam al-Syathibi (w. 790 H), dan
Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/ 1292-1350 M), menerima dan
menjadikan „urf sebagai dalil syara‟ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada
nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, seseorang
yang menggunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu, padahal
lamanya ia dalam kamar mandi itu dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas.
Sesuai dengan ketentuan umum syari‟at Islam dalam suatu akad, kedua hal ini
harus jelas. Akan tetapi, perbuatan seperti ini telah berlaku luas di tengah-tengah
masyarakat, sehingga seluruh Ulama mazhab menanggapi sah akad ini. Alasan
mereka adalah „urf „amali yang berlaku.
17
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
(Jakarta: Sinar Grafika: 2007), cet. 3, h. 80.
33
Para Ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-Qur‟an
diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat
ditengah-tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual beli yang sudah ada
sebelum Islam. Hadits-hadits Rasulullah saw. Juga banyak sekali yang mengakui
eksistensi „urf yang berlaku di tengah masyarakat, seperti hadits yang berkaitan
dengan jual beli pesanan (salm). Dalam sebuah riwayat dari Ibn „Abbas dikatakan
bahwa ketika Rasulullah saw. Hjrah ke Madinah, beliau melihat penduduk
setempat melakukan jual beli (salm) tersebut. Lalu Rasulullah saw. Bersabda:
عي اى اجو عي ش عي و سيف ف م سفي ا سيف ف ح
Artinya : Siapa yang melakukan jual beli salam pada kurma, maka
hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya, dan tenggang waktunya. (HR. al-
Bukhari)18
Tidak diperselisihkan di kalangan fuqaha bahwa „urf yang shahih dapat
dijadikan dasar pertimbangan. Fuqaha dari mazhab yang berbeda
memperhatikannya dalam istinbath, saat menerapkan hukum, dan ketika menafsiri
teks-teks akad.
Dasar dipertimbangkannya „urf ini kembali kepada prinsip menjaga
kemaslahatan manusia dan menghilangkan kesulitan. Melalui hukum-hukumnya,
syari‟at memperhatikan hal ini. Islam mengakui adat yang benar yang ada di
kalangan bangsa Arab Jahiliyah, seperti kewajiban diyat, dan sebagian mu‟amalah
lain seperti mudharabah dan syirkah. Sebagian ulama memberikan dalil atas
kehujjahan „urf dengan sebuah riwayat dari Nabi shallallahu „alaihi wasallam,
bahwa apa yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik pula di sisi Allah.
18
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 215.
34
Bagaimana pun juga,‟urf adalah hujjah syari‟at dan sumber fikih yang darinya
hukum-hukum digali. Para mujtahid, mufti, dan qadhi harus memperhatikannya.19
Kita dapat menemukan kemaslahatn yang telah ditetapkan oleh syari‟ah
agama, bahwa kemaslahatan tidak berada pada satu peringkat. Tetapi ia
bertingkat-tingkat, sebagaimana peringkat utama yang telah ditetapkan oleh para
ahli ushul fikih. Mereka membagai kemaslahatan itu menjadi tiga tingkatan
dengan urutan sebagai berikut: dharuriyyat, hajjiyat, dan tahsinat.20
Adapun beberapa argumentasi yang menjadi alasan para ulama berhujjah
dengan „urf dan menjadikannya sebagai sumber hukum fiqh, yaitu:
1. Firman Allah pada surah al-A‟raf (7): 199
خذ العفى وأمر بالعرف وأعرض عه الجاهله
Artinya : “Jadilah engkau pemaaf dan perintahkanlah orang mengerjakan
yang ma‟ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
Kata al-„urf dalam ayat tersebut, di mana umat umat manusia disuruh
mengerjakannya, oleh para Ulama Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik
dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat tersebut
dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik
sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.21
2. Firman Allah pada surah al-Baqarah (2): 233
19
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari‟ah Mengenal Syari‟ah Islam Lebih
Dalam, (Jakarta: Robbani Press, 2008), cet. 1, h. 260.
20
Yusuf Al Qardhawy, Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur‟an dan
As-Sunnah, Penerjamah Bahruddin F, (Jakarta: Robbani Press, 1996), h. 27.
21
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 155.
35
….وعل المىلىد له رزقهه وكسىهه بالمعروف ال كلف وفس إال وسعها
Artinya : “…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang ma‟ruf…”
Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kadar nafkah yang harus diberikan
seorang ayah kepada para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu
merujuk kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam satu masyarakat di mana ia
berada. Dalam hal ini adat istiadat membantu seorang mufti untu menjelaskan
pengertian ayat-ayat yang senada dengan itu.22
3. Firman Allah pada surah al-Baqarah (2): 180
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika meninggalkan harta yang banyak untuk
ibu bapak dan karib kerabatnya serta ma‟ruf.”
4. Sabda Nabi saw kepada Umar bin Khotob ketika ia mengadukan tentang
sebidang tanah yang didapatinya:
Dari Abdullah bin Umar berkata: Umar bin Khothob mendapatkan
sebidang tanah di daerah Khoibar, maka beliau mendatangi Rasulullah seraya
berkata: “Saya telah mendapatkan sebidang tanah yang selama ini saya belum
pernah memiliki harta seberharga semacam ini, maka bagaimanakah perintahmu
kepadaku? Maka Rasulullah bersabda: “Jika engkau mau, maka engkau tahan
pokoknya lalu engkau shodaqohkan hasilnya.” Maka Umar pun
menshodaqohkannya, namun tanah tersebut tidak boleh dijual, dihibahkan juga
22
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 158.
36
tidak boleh diwarisi, hasilnya dishodaqohkan untuk orang-orang faqir, kerabat
dekat, budak, mujtahid, tamu dan musafir, tidak mengapa bagi orang yang
mengurusinya untuk memakan sedikit hasilnya atau memberi makan pada orang
lain secara ma‟ruf serta bukan untuk memperkaya diri.” (HR. Bukhori 2772
Muslim 1632)23
5. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abdullah bin Mas‟ud:
أخبسا أحد ب جعفس اىقطع، ثا عبد اهلل ب أحد ب حبو، حدث أب أحد ب ع،
حسا »عاش، ثا عاط، ع شز، ع عبد اهلل قاه : قاال: ثا أب بنس ب سي ا زأ اى
حس د اىي ع (ف
Yang menunjukan bahwa hal-hal yang sudah berlaku menurut adat kaum
muslimin dan dipandangnya baik adalah pula baik di sisi Allah.
6. Sabda Nabi saw kepada Hindun isteri Abi Sufyan ketika ia mengadukan
suaminya kepada Nabi bahwa suaminya bakhil member nafkah:
فقاىج سي عي طي اىي إى اىب ا سأة أب سف د ا عائشت قاىج: جاءث أبا ع : إ
ز ا ا سف ىد؟ فقاه ى عي فق عي ، فأ اى أطب جاح أ و عي جو شحح، ف
فق فخ ا اه أب سف حأخر ل أ : "ىا حسج عي سي عي طي اىي اىي عيل ب
باىعسف"عي ىدك 24
Artinya : Dari Aisyah sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: Wahai
Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit, dia tidak
memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku kecuali apa yang ambil saya
sendiri tanpa sepengetahuannya, maka Rasulullah bersabda: “Ambillah yang
cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma‟ruf.”
(Ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu menurut
„urf).
23
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih
Islami, (t.t: Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 106.
24
Ibnu Hibban, al-Ihsanu fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban (Beirut: Muassasatu al-
Risalah,1408 H/1988 M). Juz 10. h. 72.
37
Al Qurtuby mengomentari bahwa dalam hadis ini terdapat pengakuan terhadap
„urf dalam penetapan hukum.
7. Dilakukannya kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukan bahwa
dengan melakukannya, mereka akan memperoleh mashlahat atau terhindar
dari mafsadah.25
Dari berbagai kasus „urf yang dijumpai, para Ulama Ushul Fikih
merumuskan kaidah-kaidah fikih yang berkaitan dengan „urf di antaranya adalah
yang paling mendasar:
1. Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.
2. Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.
3. Yang lebih baik itu menjadi „urf sebagimana yang disyaratkan itu menjadi
syarat.
4. Yang ditetapkan melalui „urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat
dan atau hadits).26
D. Syarat-syarat ‘Urf
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan
mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak
bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan
menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi
secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan.
Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung
25
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
(Jakarta: Sinar Grafika: 2007), cet. 3, h. 78.
26
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 216
38
(al-mudharabah). Praktik seperti ini sudah berkembang di kalangan bangsa Arab
sebelum Islam, dan kemudian diakui oleh Islam sehingga menjadi hukum Islam.
Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang
baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa
persyaratan:27
1. Adat atau „urf itu dinilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini
telah merupakan kelaziman bagi adat atau „urf yang sahih, sebagai persyaratan
untuk diterima secara umum. Umpamanya tentang kebiasaan istri yang
ditinggal mati suaminya dibakar hidup bersama-sama pembakaran jenazah
suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu
kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal yang sehat. Demikian pula
tentang kebiasaan memakan ular.
2. Adat atau „urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang
berada dalam lingkungan adat itu, atau di kalangan sebagian besar warganya.
Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan:
ايفسدط ى اف ثدسااطذاةاداىعسبخعاحا
Artinya : Sesungguhnya adat yang diperhatikan itu adalah yang berlaku
secara umum. Seandainya kacau, maka tidak kan diperhitungkan.
Umpamanya kalau adat pembayaran resmi yang berlaku di suatu tempat
hanya satu jenis mata uang, umpamanya dollar Amerika, maka dalam satu
transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis
mata uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan tidak ada
27
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 156.
39
kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku. Tetapi bila di
tempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama berlaku (ini yang
dimaksud dengan kacau), maka dalam transaksi harus disebutkan jenis mata
uangnya.
3. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku)
pada saat itu bukan „urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti „urf itu harus
telah ada sebelum penetapan hukum. Kalau „urf itu datang kemudian, maka
tidak diperhitungkan. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan:
ا اظفىاال يع وحئ حراى فساىع ا د قاباىس ازقاى سخاخاى
Artinya : „Urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan hukum)
hanyalah yang datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang
kemudian.
Dalam hal ini, Badran memberikan contoh: orang yang melakukan akad
nikah dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar
lunas atau dicicil, sedangkan adat yang berlaku waktu itu adalah melunasi
seluruh mahar. Kemudian adat di tempat itu mengalami perubahan, dan orang-
orang telah terbiasa mencicil mahar. Lalu muncul suatu kasus yang
menyebabkan terjadiya perselisihan antara suami istri tentang pembayaran
mahar tersebut.
4. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara‟ yang ada atau
bertentangan dengan prinsip yang pasti. Sebenarnya persyaratan ini hanya
menguatkan persyaratan penerimaan adat sahih, karena kalau adat itu
bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara‟
40
yang pasti, maka ia termasuk adat yang fasid yang telah disepakati ulama
untuk menolaknya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa „urf atau adat itu digunakan sebagai
landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan Ulama atas adat itu
bukanlah karena semata-mata ia bernama adat atau „urf atau adat itu bukanlah
dalil yang berdiri sendiri. Adat atau „urf itu menjadi dalil karena ada yang
mendukung, atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijma‟ atau maslahat.
Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima sekian lama secara baik
oleh umat. Bila semua ulama sudah mengamalkannya, berarti secara tidak
langsung telah terjadi ijma‟ walaupun dalam keadaan sukuti.28
„Urf yang berlaku yang di tengah-tengah masyarakat adakalanya
bertentangan dengan nash (ayat dan atau hadits) dan adakalanya bertentangan
dengan dalil syara‟ lainnya. Dalam persoalan bertentangan „urf dengan nash, para
ahli ushul fiqh memerincinya sebagai berikut:
1. Pertentangan „urf dengan nash yang bersifat khusus/ rinci.
Apabila pertentangan ‟urf dengan nash khusus menyebabkan tidak
berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka „urf tidak dapat diterima.
Misalnya, kebiasaan dizaman Jahilliyah dalam mengadopsi anak, di mana anak
yang diadopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka
mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. „Urf seperti ini tidak berlaku dan
tidak dapat diterima.
28
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 401.
41
2. Pertentangan „urf dengan nash yang bersifat umum.
Menurut Musthafa Ahmad al-Zarqa, apabila „urf telah ada ketika
datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara „urf al-lafdhi
dengan „urf al-„amali. Apabila „urf tersebut adalah „urf al-lafdhi maka „urf bisa
diterima, sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas „urf al-lafdhi yang
telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak ada indikator yang menunjukan bahwa
nash umum itu tidak dapat dikhususkan oleh „urf. Misalnya, kata-kata shalat,
puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‟urf kecuali ada indikator yang
menunjukan bahwa kata-kata yang itu dimaksudkan sesuai dengan arti
etimologisnya.
Apabila „urf yang ada ketika datangnya nash yang bersifat umum itu
adalah„urf al-„amali, maka terdapat perbedaan pendapat Ulama tentang
kehujjahannya. Menurut Ulama Hanafiyyah, apabila „urf al-„amali itu bersifat
umum, maka „urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang umum, karena
pengkhususan nash tersebut tidak membuat nash itu tidak dapat diamalkan.
Pengkhususan itu, menurut Ulama Hanafi, hanya sebatas „urf al-„amali yang
berlaku, di luar itu nash yang betsifat umum tersebut tetap berlaku. Misalnya,
dalam sebuah riwayat Rasulullah, saw:
42
ع ب ع اىسي زخض ف سا س ىيا اى
Artinya : Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki manusia dan
memberi keringanan dalam jual beli pesanan. (HR. al-Bukhari dan Abu Daud)
Hadits Rasulullah ini, menurut Abu Yusuf, bersifat umum dan berlaku
untuk seluruh bentuk jual beli yang barangnya belum ada; kecuali dalam jual beii
pesanan. Termasuk dalam larangan ini adalah akad istitsna‟ (akad yang berkaitan
dengan produk suatu industri). Akan tetapi, karena akad istitsna‟ ini telah menjadi
„urf dalam masyarakat diberbagai daerah, maka ijtihad para ahli fiqh termasuk
Jumhur Ulama membolehkannya sesuai dengan „urf yang berlaku. Akan tetapi
Imam al-Qarafi berpendapat bahwa „urf seperti ini tidak dapat mengkhususkan
hukum umum yang dikandung nash tersebut.
1. „Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan
dengan „urf tersebut.
Apabila suatu „urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum
dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa „urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun
yang bersifat‟amali (praktik), sekalipun ‟urf itu bersifat umum, tidak dapat
dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara‟, karena keberadaan „urf ini
muncul ketika nash syara‟ telah menentukan hukum secara umum.
Apabila ada „urf yang datang setelah ada nash umum dan „urf itu
bertentangan dengan nash tersebut, seakan-akan „urf itu men-naskh-kan
(membatalkan) nash; sedangkan „urf tidak bisa men-naskh-kan nash. Dalam
43
masalah ini para ulama fikih mengatakan. “‟urf yang datang kemudian dari nash
tidak bisa dijadikan patokan.”
Akan tetapi, apabila „illat suatu nash syara‟ adalah „urf itu sendiri, dalam
arti turunnya nash didasarkan atas „urf al-„amali sekalipun „urf itu baru tercipta
maka ketika „illatnash itu hilang, hukumnya pun berubah. Dengan demikian,
apabila „urf yang menjadi „illat hukum yang dikandung nash itu berubah, maka
hukumnya pun berubah. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf. Misalnya, dalam
sebuah hadits dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika diminta
izinnya untuk dikawinkan oleh wali adalah diamnya. Artinya, apabila ayah anak
perawan itu mengatakan, “Saya akan menikahkan engkau dengan Fulan,” lalu
anak itu diam saja, maka diamnya ini menunjukan kerelaannya, karena sudah
menjadi tabiat wanita yang suka merasa malu untuk menyatakan kehendak
mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman, para
wanita tidak malu lagi untuk menyatakan kehendaknya untuk kawin dengan
seseorang kepada ayahnya.29
Diterimanya „urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang
lebih luas lagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, di samping banyak masalah-
masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qiyas,
istihsan, dan maslahah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga
ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh
mujtahid berdasarkan „urf, akan berubah bilamana „urf itu berubah. Inilah yang
dimaksud oleh para Ulama, antara lain Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H)
29
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 217.
44
bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan
waktudan tempat.30
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaedah ini
menurut istilah para Ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan „urf itu bisa
dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar‟i apabila tidak terdapat
nash syar‟i atau lafadz shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.
Berkata Syaikh As Sa‟di dalam al Qawa‟id Al Jami‟ah hal: 35: “‟urf dan
adat kebiasaan dijadikan rujukan dalam semua hukum syar‟i yang belum ada
ketentuannya.”31
Oleh sebab itu, seluruh Ulama mazhab menjadikan „urf sebagai
dalil dalam menetapkan hukum, ketika nash yang menentukan hukum tersebut
tidak ada. Bahkan dalam pertentangan „urf dengan metode ijtihad lainnya, para
Ulama mazhab juga menerima „urf sekalipun kuantitas penerimaan tersebut
berbeda. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah menetapkan konsep „urf secara jelas,
tetapi Ulama Syafi‟iyyah dan Hanabillah tidak demikian.
Ungkapan para Ulama bahwa:
نت اىا ت بخغساالش حغساالحنا32
Artinya : Perubahan hukum bisa terjadi berdasarkan perubahan zaman
dan tempat.
Ungkapan tersebut hanya berlaku dalam masalah-masalah yang berkaitan
dengan adat kebiasaan manusia dan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan
30
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 157.
31
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih
Islami, (t.tp, Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 105.
32
Ahmad al-Hajj al-Kurdy, Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah, (Damaskus: Dar
al-Ma‟rif li al-TIba‟ah, 1979), h. 62.
45
ijtihad, sperti qiyas, istihsan, dan mashlahah mursalah. Adapun hukum-hukum
yang bersifat mendasar dan ditetapkan dengan dalil qath‟i, tidak berubah karena
perubahan tempat dan zaman, seperti hukum shalat, zakat, jihad, dan haramnya
riba.33
E. Pandangan Ulama tentang ‘Urf
Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut berbagai macam
agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup. Ketika agama Islam
datang, agama baru ini pun membawa pembaruan di bidang akhlak, hukum, dan
peraturan-peraturan tentang hidup. Faktor alam merupakan satu hal yang dapat
mempengaruhi kehidupan beragama pada suatu bangsa. Kebudayaan mereka yang
paling menonjol adalah bidang sastra bahasa Arab, khususnya syair Arab.
Negeri Yaman adalah tempat tumbuh kebudayaan yang amat penting yang
pernah berkembang di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Bangsa Arab termasuk
bangsa yang memiliki rasa seni yang tinggi. Salah satu buktinya ialah bahwa seni
bahasa Arab (ayair) merupakan suatu seni yang paling indah yang amat dihargai
dan dimuliakan oleh bangsa tersebut.34
Pada masa Rasululah SAW, persoalan pada kapasitas masa itu direspon
berdasar wahyu sebagai rujukan umat dan kondisi masyarakat relatif stabil. Pada
masa Kibar sahabat, Shigar sahabat kemudian tabi‟in dan seterusnya persoalan
yang muncul semakin bervariasi seiring dengan perjalanan waktu dari generasi ke
generasi. Dan sungguhpun persoalan-persoalan tersebut bermunculan dengan
33
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 223.
34
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Al Husna Zikra, 1997), cet. 9,
h. 29.
46
berbagai formatnya, akan tetapi syari‟ah dalam hal ini fikih tetap eksis dan
mampu menghadapi sebagai “sparing partnernya”.35
Lahirnya sejumlah mazhab hukum dengan berbagai corak dan perbedaan
cara dalam melakukan istinbath hukum, merupakan hal yang tidak bisa diingkari.
Karena, terjadinya perbedaan dalam berbagai produk hukum adalah berakar dari
perbedaan cara atau metode yang ditempuh oleh para tokoh mazhab dalam
melakukan istinbath.36
Kuatnya intervesi kultur dan kebiasaan masyarakat terhadap seorang
mujtahid ketika melakukan penggalian hukum, menyebabkan Imam Malik harus
banyak membangun basis hukumya berdasarkan kebiasaan-kebiasaan penduduk
Madinah. Abu Hanifah terpaksa harus banyak berbeda pendapat dengan murid-
muridnya, karena mereka dipisahkan oleh tempat dan tradisi yang berbeda. Imam
al-Syafi‟I ketika menuju ke Mesir melihat realitas masyarakat, yang kebiasaan
serta tradisinya berdeda dengan yang ia temui sebelumnya, maka ia harus segera
merubah sebagian besar hukum-hukum yang ia cetuskan di Baghdad, Irak.37
Para Ulama sepakat menolak „urf fasid (adat kebiasaan yang salah) untuk
dijadikan landasan hukum.38
Pada dasarnya, semua ulama menyepakati
kedudukan al-„urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara‟. Akan tetapi, di
antara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya
35 Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu
Kencana, 2003), h. 1.
36
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.10.
37
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar
Jaya Offset, 2004), h. 168.
38
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 155.
47
sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah yang
paling banyak menggunakan al-„urf sebagai dalil, dibandingkan dengan ulama
Syafi‟iyyah dan Hanabilah.
Ulama Hanafiyyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu
bentuk istihsan itu adalah itihsan al-„urf (istihsan yang menyandarkan pada „urf).
Oleh ulama Hanafiyyah, „urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga
didahulukan atas nash yang umum, dalam arti „urf itu men-takhsis umum nash.
Contoh dalam hal ini adalah tentang jual beli lebah dan ulat sutra. Imam
Abu Hanafi pada awalnya menetapkan haramnya menjual lebah dan alat sutra
dengan menggunakan dalil qiyas, yaitu meng-qiyas-kannya kepada kodok dengan
alasan sama-sama “hama tanah”. Namun kemudian terlihat bahwa kedua serangga
itu ada manfaatnya dan telah terbiasa orang untuk memeliharanya (sehingga telah
menjadi „urf). Atas dasar ini muridnya, yaitu Muhammad ibn Hasan al-Syaibani
membolehkan jual beli ulat sutra dan lebah tersebut, berdasarkan „urf.
Ulama Malikiyyah menjadikan „urf atau tradisi yang hidup di kalangan
ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari
hadis ahad.
Ulama Syafi‟iyyah banyak menggunakan „urf dalam hal-hal tidak
menemukan ketentuan batasannya dalam syara‟ maupun dalam penggunaan
bahasa. Mereka mengemukakan kaidah sebagai berikut:
وم اىئ اىعسف بدزا ىافئ اىيغت سجع ف ف ىاضابط ى طيقا اىشسع
Artinya : Setiap yang datang dengannya syara‟ secara mutlak, dan tidak
ada ukurannya dalam syara‟ maupun dalam bahasa, maka dikembalikan kepada
„urf.
48
Contoh dalam hal ini, umpamanya menentukan arti dan batasan tentang
tempat simpanan dalam hal pencurian, arti berpisah dalam khiyar majelis, waktu
dan kadar haid, dan lain-lain. Adanya qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi‟i
di Irak, dan qaul jadid (pendapat baru)-nya di Mesir, menunjukan diperhatikannya
„urf dalam istinbath hukum di kalangan Syafi‟iyyah
Dalam menanggapi adanya penggunaan „urf dalam fiqh, al-Suyuthi
mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah:
ت حن اىعادة 39
Artinya : Adat („urf) itu menjadi pertimbangan hukum.
Alasan para ulama mengenai penggunaan (penerimaan) mereka terhadap
„urf tersebut adalah hadis yang berasal dari Abdullah ibn Mas‟ud yang
dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya yaitu:
سي اى ازا داهلل حس ع حساف
Artinya : Apa-apa yang dilihat oleh umat Islam sebagai suatu yang baik,
maka yang demikian di sisi Allah adalah baik. (HR. Ahmad)
Di samping itu adalah pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang
banyak), dalam arti orang banyak akan mengalami kesulitan bila tidak
menggunakan „urf tersebut. Bahkan ulama menempatkannya sebagai “syarat yang
disyaratkan”.
ط شسطا ف عسف ما ىشس عس اى40
Artinya : Sesuatu yang berlaku secara „urf adalah seperti suatu yang telah
disyaratkan.
39
Taj al-Din Abd al-Wahab al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadzair JIlid 1, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1991), h. 50.
40
Abdul Karim Zidan, al-wajiz fil usulil fiqh, (Baghdad: Maktabh batsair, 1976), h. 255
49
Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan kepada „urf, maka kekuatannya
menyamai hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.41
F. Contoh-contoh ‘Urf yang sudah teradopsi di Indonesia
Keberadaan suatu kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat dan
dengan demikian kehadiran syari‟at dalam hal ini hukum Islam (fikih) tidak serta
merta menggantikan posisi kebudayaan yang telah melekat pada masyarakat. Di
dalam masyarakat yang sangat kental dengan nilai-nilai budayanya sangat sulit
untuk diterapkan nilai-nilai agama terutama sudut fikihnya.
Beberapa contoh kebiasaan yang tidak baik timbul dalam masyarakat
antara lain:
a. Masalah pembagian harta warisan pada daerah tertentu
b. Upacara sesajen untuk keselamatan dan berkah
c. Budaya dangdutan yang dipaksakan demi kehormatan sampai-sampai
menghutang untuk resepsi pernikahan
d. Budaya tukar cincin sebelum sebelum khitbah (lamaran) yang dianggap
telah sah bergaul bebas, dan lain-lain42
Selain itu juga, pembidangan hukum Islam itu sejalan dengan
perkembangan pranata sosial, sebagai norma yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan manusia dalam kehidupan individual dan kolektif. Oleh karena itu,
semakin beragam kebutuhan hidup manusia dan semakin beragam pranata sosial,
maka semakin berkembang pula pemikiran fuqaha dan pembidangan hukum Islam
41
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 399.
42
Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu
Kencana, 2003), h. 27.
50
pun mengalami perkembangan. Hal itu menunjukan, terdapat korelasi positif
antara perkembangan pranata social dengan pemikiran ulama secara sistematis.43
Adapun contoh adat kebiasaan yang berlaku secara umum dan dijalankan
oleh masyarakat, selama tidak bertentangan dengan syar‟i maka bisa dijadikan
hujjah, misalnya:
1. Apabila seseorang diberikan hadiah berupa makanan yang diletakkan di
atas piring (misalnya), maka ia wajib mengembalikan piring tersebut
(apabila menurut kebiasaan yang berlaku secara umum, piring tersebut
harus dikembalikan).
2. Apabila seseorang disewa tenaganya untuk bekerja harian di kebun atau di
sawah, maka ketentuan lamanya kerja sehari itu, dikembalikan keapada
kebiasaan yang berlaku dimasyarakat.44
Fikih telah dipandang sebagai identik dengan hukum Islam dan wahyu,
ketimbang sebagai produk pikiran manusia dan produk sejarah. Fikih telah
dipandang sebagai ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal ketimbang
sebagai ekspresi keragaman yang particular. Fikih telah mewakili hukum dalam
bentuk cita-cita ketimbang sebagai respon atau refleksi kenyataan yang ada secara
realis.45
43
Taufiq dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Logos,
1998), h. 115.
44
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar
Jaya Offset, 2004), h. 178.
45
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998), h. 101.
51
Untuk melihat bagaimana aplikasi teori penalaran fikih yang ditempuh
oleh ulama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul, salah satu
caranya adalah dengan menelisik berbagai produk pemikiran hukum yang
dikeluarkan oleh para ulama, khususnya fatwa hukum mereka.46
Untuk melihat pengaruh factor social budaya terhadap ulama, baiklah kita
lihat kasus Indonesia modern dalam hal ini fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia
(MUI). Sejak berdirinya pada tahun 1975 hingga tahun 1988, MUI telah
mengeluarkan lebih dari 38 buah fatwa yang isinya mencakup banyak bidang
kehidupan: Ibadah, perkawinan dan keluarga, makanan, kebudayaan, soal
hubungan antar agama, soal-soal kedokteran, keluarga berencana, soal gerakan
sempalan, dll. Beberapa diantara fatwa itu akan kita sebut di bawah ini.
Fatwa MUI tentang keluarga berencana khususnya tentang kebolehan
menggunakan IUD (spiral) dalam ber-KB, juga memperlihatkan bagaimana faktor
social budaya telah berpengaruh terhadap produk pemikiran hukum Islam. Bahkan
untuk ini MUI berani membatalkan fatwa ulama sebelumnya yang mengharamkan
penggunaan IUD. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1971 sejumlah ulama
terkemuka Indonesia mengeluarkan fatwa tentang haramnya penggunaan IUD
dalam KB karena pemasangannya menyangkut penglihatan aurat wanita.
Kemudian pada tahun 1983 MUI membatalkan fatwa ulama tahun 1971 itu dan
menyatakan bahwa IUD boleh dipakai dalam KB asalkan pemasangannya
dilakukan oleh dokter wanita atau dokter laki-laki dengan disaksikan oleh si
suami. Meskipun untuk fatwanya itu MUI mempunyai alasan-alasan metodologis
46
M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Cipayung Ciputat: Gaung Persada Press
Jakarta, 2007), h. 147.
52
tersendiri misalnya dengan mengatakan bahwa pengharaman melihat aurat wanita
itu bukan karena zatnya tetapi karena lisaddiz zara‟i.47
Selanjutnya, contoh lain adalah banyaknya jenis makanan yang
menggunakan bahan pengawet agar, selalu tahan lama sehingga dapat diekspor
keluar negeri. Dari segi kebersihan dan kesehatan, makanan tersebut sudah tentu
dapat dipertanggung jawabkan. Namun yang perlu dipersoalkan adalah dari bahan
apa ia dibuat. Melihat realitas ini, maka Majelis Ulama mengadakan kajian yang
berkaitan dengan status hukum memakan makanan yang menggunakan bahan
pengawet (corned beaf) tersebut. Dari hasil kajian itu, Majelis Ulama
mengeluarkan sebuah fatwa yang menyatakan bahwa: apabila makanan yang
menggunakan bahan pengawet itu jenis buah-buahan atau sayur-sayuran ataupun
terbuat dari ikan maka ia halal dimakan, karena ia bersumber dari bahan yang
halal, kecuali bahan pengawetnya itu dicampuri dengan benda najis maka ia
haram dimakan.
Untuk mengetahui hal tersebut dapat diteliti berdasarkan keterangan atau
lebel (mark) yang ada pada tempat atau kemasannya, misalnya corned beaf
(daging sapi yang diawetkan). Seiring denga fatwa ini, Majelis Ulama
memutuskan agar semua produk makanan kemasan, harus memeri label “halal”
bagi orang Islam.48
47
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998), h. 124.
48
M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Cipayung Ciputat: Gaung Persada Press
Jakarta, 2007), h. 169.
53
BAB III
PRAKTEK DAN KECENDERUNGAN ADAT BETAWI YANG
MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN
DI KALANGAN MASYARAKAT
A. Kondisi Umum pada Masyarakat Kampung Pisangan
Penelitian ini berlokasi di Kampung Pisangan yang merupakan berada
dalam wilayah Kelurahan Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, kotamadya Jakarta
Selatan. Untuk lebih mengetahui keadaan dan potensi kampung yang dijadikan
objek penelitian, maka peneliti akan menggambarkan secara garis besar keadaan
kampung berdasarkan data-data yang diperoleh.
Secara Administrasi letak Kampung Pisangan berada dalam wilayah
Kelurahan Ragunan. Kemudian teritorial Kelurahan Ragunan dibatasi dengan
batas-batas sebagai berikut:
1. Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Cilandak KKO di Kelurahan
Cilandak KKO
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Sagu di Kelurahan Jagakarsa
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Jalan Kebagusan Raya di Kelurahan
Jagakarsa
4. Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Pejaten Barat di Kelurahan Pejaten
Barat
Dilihat dari iklim yang ada di Kampung Pisangan mempunyai iklim tropis
yang terbagi menjadi dua bagian yaitu musim penghujan dan musim kemarau.
Dalam kondisi normal musim kemarau terjadi pada bulan Maret sampai dengan
54
bulan Agustus sedangkan untuk musim penghujan terjadi pada bulan September
sampai dengan Febuari.
Adapun Kampung Pisangan hanya terdapat pada 1 rukun warga yang
kemudian disebut sebagai (RW) dan 11 rukun tetangga yang kemudian disebut
sebagai (RT). Dlihat dari jumlah warga per-RT tahun ini.
No. RW/ RT JUMLAH
1. Rw. 4 / Rt. 1 1.050 Penduduk
2. Rw. 4 / Rt. 2 463 Penduduk
3. Rw. 4 / Rt. 3 802 Penduduk
4. Rw. 4 / Rt. 4 280 Penduduk
5. Rw. 4 / Rt. 5 547 Penduduk
6. Rw. 4 / Rt. 6 489 Penduduk
7. Rw. 4 / Rt. 7 388 Penduduk
8. Rw. 4 / Rt. 8 726 Penduduk
9. Rw. 4 / Rt. 9 219 Penduduk
10. Rw. 4 / Rt. 10 298 penduduk
11. Rw. 4 / Rt. 11 531 penduduk
Sumber data: Kelurahan Ragunan tahun 2015
Sistem administrasi Kelurahan Ragunan cukup baik dan teratur. Ini dapat
dilihat dari lengkapnya para staf kelurahan yang ada, hal ini terbukti dari
ketertiban pelayanan kepada masyarakat di Kelurahan Ragunan. Seperti dalam
pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Surat
55
Keterangan Tidak Mampu (SKTM), dan macam-macam surat lainnya yang
dibutuhkan masyarakat.
B. Sejarah Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan
Keberadaan tradisi di Indonesia ini merupakan sudah hal biasa. Selain
menjadi kebiasaan, juga menjadi ciri khas di beberapa wilayah yang ada di
Indonesia dengan maksud membedakan tradisi yang satu dengan tradisi yang lain
atau sebagai karya seni. Adapun contohnya seperti Roti Buaya yang menjadi
tradisi Betawi dalam seserahan pernikahan.
Yahya Andi Saputra adalah salah satu tokoh budayawan yang memulai
kecintaannya pada kesenian Betawi sejak masih anak-anak. Meski masih berusia
Sembilan tahun dan bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Al-Hurriyah, ini sudah
ikut pementasan lenong. Beliau menamatkan studi pada Jurusan Sejarah, Fakultas
Sastra (kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya), Universitas Indonesia, tahun
1988. Jiwa seninya kian menggelegak saat remaja. Mulai menulis puisi, cerpen,
resensi maupun opini sejak SMA.
Tulisannya pernah dipublikasikan Media Indonesia, Bisnis Indonesia,
Republika, Pelita, Majalah Panji Masyarakat, Jurnal Puisi, dan lain-lain.
Sebelumnya pernah menjadi redaksi Majalah Kita Sama Kita dan Tabloid Bens,
majalah FUHAB, dan majalah Jembatan. Ia pun aktivis Lembaga Kebudayaan
Betawi (LKB), Ketua Umum Badan Pemberdayaan Budaya Betawi (BPBB), dan
Ketua Bidang Pariwisata dan Kebudayaan DPD Forkabi Jakarta Selatan.1
1http://kampungbetawi.com/gerobog/dedengkot-2/yahya-andi-saputra/ diakses pada 29
Juni 2015
56
Spirit kebetawian yang dimilikinya dari waktu ke waktu kian membesar
dan hal itu dipelihara serta dipupuknya dengan baik. Baginya tradisi roti buaya
merupakan sebuah kewajiban yang dijadikan sebagai salah satu syarat bagi calon
pengantin pria yang harus menghidangkan di dalam seserahan pernikahan adat
Betawi yang hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat Betawi dan sudah
berlangsung sejak lama karena tidak tahu jelas kapan datangnya tradisi roti buaya
ini. Bahkan, terasa kurang lengkap apabila dalam seserahan pernikahan adat
Betawi tidak ada roti buaya. Pembahasan tentang siapa yang menciptakan tradisi
roti buaya ini tidak ada yang tahu, yang jelas tradisi roti buaya ini milik masyrakat
Betawi.
Di masa lalu, tradisi ini pada mulanya buaya adalah sebuah simbol dimana
dalam cerita rakyat Betawi dikenal dengan buaya siluman. Entah yang dimaksud
buaya merah, buaya buntung, ataupun buaya putih.
Buaya-buaya siluman ini oleh masyrakat Betawi dianggap pemelihara atau
penunggu sebuah entuk.2 Dalam Bahasa Betawi kuno entuk diartikan sebagai
sumber mata air. Maka pada zaman dahulu kalau ada kegiatan masyarakat yang
mengganggu seperti kebersihan, keasrian, keindahan entuk itu akan mendapat
sanksi. Contohnya seperti “kalau lewat situ yang ada sumber mata airnya harus
mengucapkan numpang-numpang karena di situ ada makhluk penjaganya”.
Adapun sumber mata air itu adalah sumber kehidupan manusia, kalau kamu
membuang sampah maka akan mendapat ketulah. Di mana dalam Bahasa Betawi
2 Entuk adalah Bahasa Kuno yang ada di Betawi zaman dahulu yang diartikan sebagai
sumber mata air.
57
kuno ketulah itu artinya karma atau akibat tindakan, sikap, perilaku yang ada
dihari lampau.
Selanjutnya, karena si buaya itu sudah menunggu sumber kehidupan
masyarakat yaitu sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu
dimanfaatkan sebagai simbol kehidupan. Adapun pemanfaatannya digunakan
dalam acara pernikahan tepatnya pada saat seserahan dari pihak calon pengantin
pria terhadap pihak calon pengantin wanita.
Perkawinan itu sendiri adalah bagian salah satu siklus kehidupan yaitu
suatu rangkaian aktivitas secara alami yang dialami oleh individu-individu dalam
populasi berkaitan dengan perubahan tahap-tahap dalam kehidupan. Seperti
manusia yang bertujuan menciptakan, melanjutkan kehidupan yang baru.
Perkawinan atau pernikahan juga bukan sekedar yang berarti ingin
melampiaskan nafsu biologis atau menghalalkan bersenang-senangnya antara laki-
laki dan perempuan, tetapi dengan memiliki tujuan yaitu melanjutkan generasi
yang baru. Maka dari itu masyarakat Betawi mengwajibkan adanya dalam
seserahan pernikahan sebagai simbol melanjutkan kehidupan yang baru.
Adapun zaman sekarang masyarakat sudah menggunakan roti sedangkan,
dahulu istilah roti buaya ini bukan dikenal dari rotinya melainkan buayanya.
Karena dahulu, belum menggunakan roti tetapi dari kayu, daun kelapa atau
semacamnya yang dapat dibentuk menjadi buaya. Dimana buayanya itu sendiri
dipajang di depan rumah yang menandakan bahwa si wanita sudah dinikahi oleh
pria lain.
58
Roti itu sendiri ada pada saat pemerintahan kolonel Belanda memiliki alat
untuk membuat roti yang dapat dibentuk dengan berbagai macam sesuai
keinginan. Sejak saat itulah yang kemudian masyarakat Betawi memanfaatkan
tekhnologi tersebut menjadi roti berbentuk buaya yang digunakan dalam
seserahan pernikahan. Semakin majunya tekhnologi sekarang ini roti buaya bisa
dikemas dalam berbagai rasa, sebab dahulu hanya terasa tawar pada roti tersebut.
Bentuknya pun, dua sepasang buaya.
Karena, dahulunya roti buaya itu hanya untuk dipajang depan rumah
sebagai simbol melanjutkan kehidupan yang baru. Oleh agama Islam, mendapat
pertentangan karena dianggap mubazir yaitu sifat pemborosan atau hal-hal yang
berlebihan dimana itu termasuk perbuatan tercela dalam agama. Makanya
sekarang roti tersebut dipotong-potong dan dapat dibagi-bagi dengan sanak
saudara.
Secara mekanisme ia tidak memiliki cara-cara tertentu dalam penyerahan
roti buaya tersebut.Karena, itu hanya orang-orang tertentu saja yang ingin ada roti
buaya dalam seserahan pernikahannya. 3
C. Opini masyarakat terhadap roti buaya dalam seserahan pernikahan
Terjadinya roti buaya dalam seserahan pernikahan merupakan adat
kebiasaan masyarakat Betawi yang sudah ada sejak zaman dahulu. Roti buaya ini
merupakan lambang setia yaitu yang menunjukan bahwa seumur hidup itu hanya
menikah sekali.
3 Wawancara Pribadi dengan Bapak Yahya Andi Saputra. Jakarta, 29 Juni 2015.
59
Dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan maka ini
merupakan bagian dari mempertahankan adat istiadat Betawi. Sehingga adat
kebudayaan Betawi tetap terjaga dan terlestari.4
Sedangkan menurut warga lainnya memiliki pandangan juga bahwa roti
buaya itu hanya beberapa yang menyertakan dalam pernikahannya atau dengan
kata lain yang mampu karena adapun jumlah harga yang diperlukan untuk
membeli roti buaya cukup mahal. Sehingga tak semua warga Betawi meyertakan
ke dalam seserahan pernikahannya.5
Adapun, mitos yang mengatakan roti buaya itu lambang setia yaitu yang
membuktikan bahwa dari pihak calon pengantin pria menunjukan hanya nikah
sekali dalam seumur hidup. Itu tidak semuanya mempercayai ada yang percaya
memang setia, ada yang percaya tidak percaya, dan ada juga yang tidak percaya
dengan mitos tersebut.
4 Wawancara Pribadi dengan Ibu Hanisah. Jakarta, 12 April 2015.
5 Wawancara Pribadi dengan Ibu Tika. Jakarta, 12 April 2015.
60
BAB IV
ANALISIS HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI
BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM
A. Pandangan Ulama Tentang Hukum Adat Betawi yang Menggunakan
Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan
Sesungguhnya agama Islam ini sudah sempurna dan sudah cukup sebagai
pedoman hidup manusia di dunia. Sebab Allah, telah menerangkan kepada umat
manusia kadah-kaidah agama dan kesempurnaannya yang meliputi segala aspek
kehidupan. Firman Allah dalam Q.S Al-Maidah (5) 3:
كن وأتممت عليكن نعمتي ورضيت لكن اإلسالم دينااليوم أكملت لكن دين
Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agamamu.
Ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa agama Islam itu telah
sempurana dan tidak memerlukan tambahan secara pengurangan sedikitpun juga.
Apapun bentuk atau alasannya dari tambahan-tambahan tersebut meskipun
disangka baik oleh sebagian manusia, atau dari siapa saja datangnya meskipun
dianggap besar oleh sebagian manusia, adalah satu perkara yang sangat dibenci
oleh Allah dan Rasul-Nya, tetapi sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya.
Dan pelakunya secara tidak langsung telah menbantah firman Allah di atas dan
telah menuduh Rasulullah berkhianat dalam menyampaikan risalah.1
1 M. Irfan Juliansah, “Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi
Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 1.
61
Kebudayaan yang merupakan hasil budi daya manusia adalah suatu adat
kebiasaan yang sudah melekat pada satu masyarakat, sehingga masyarakat tidak
dipengaruhi oleh adat kebiasaan lain. Dihubungkan dengan fikih, struktur dan
pola budaya masyarakat saling terkait satu sama lainnya. Masyarakat yang pluralis
akan berbenturan dalam penetapan aspek hukumnya, terutama dari sisi hukum
Islam (fikih).2
Rasanya tak perlu diperpanjang kalam tentang bagaimana para ulama fikih
dipengaruhi factor lingkungan sosial budaya dalam menghasilkan karya fikih
mereka. Bukti yang paling banyak dikenal masyarakat adalah riwayat tentang
bagimana Imam Syafi‟i mempunyai qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid
(pendapat baru). Pendapat lama diberikan ketika beliau berada di Baghdad dan
pendapat baru dikemukakan ketika beliau telah pindah ke Mesir. Puluhan bahkan
mungkin juga ratusan pendapat lama Imam syafi‟i diubah dan diganti dengan
pendapat baru yang lebih sesuai dengan lingkungan social budaya barunya itu.
Kalau kita membaca kitab Fiqh Mahalli, misalnya, kita akan berjumpa dengan
sejumlah kenyataan tentang qaul qadim dan qaul jadid.
Kita juga mengenal dalam tarikh tasyri’ bagaimana ulama ahl ar-ra’yi dan
ahl al-hadis berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama ahl
ar-ra’yi dengan pelopornya Imam Abu Hanifah berkembang di Kota Kuffah dan
Baghdad yang metropolitan sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah
persoalan baru yang muncul akibat kompleksitas kehidupan kota. Ditambah
dengan kenyataan bahwa Baghdad terletak jauh dari pusat kota hadis yaitu
2 Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu
Kencana, 2003), h. 27.
62
Madinah, maka Imam Abu Hanifah dan para muridnya menulis kitab-kitab fikih
yang lebih mendasarkan kepada ra’yu (akal) daripada hadis yang tidak mansyhur
dalam hal tidak ada nash al-Qur‟an. Sebaliknya Imam Malik bin Anas yang hidup
di Madinah yang tingkat kompleksitas hidup masyarakatnya lebih sederhana dan
ditambah kenyataan banyaknya hadis-hadis yang beredar di kota-kota itu,
cenderung banyak menggunakan hadis ketimbang rasio atau akal.3
Islam merupakan agama yang amat mengedepankan kemaslahatan.
Sebagai al-din (way of life) yang datang dari Allah, pencipta manusia, tentunya
syariah Islam yang diturunkan-Nya memperhatikan keperluan dan maslahat
kehidupan manusia dan seluruh makhluknya. Dalam merealisasikan pelaksanaan
syariah Islam ini, para ulama dan cendikiawan muslim memainkan peranan yang
amat penting agar ajaran Islam itu benar-benar dapat dilaksanakan sebagaimana
yang dikehendaki oleh pencipta syariah tersebut. Sebab semua tindakan manusia
dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik di dunia ini, harus tunduk kepada
Allah dan Rasul-Nya, kehendak Allah dan Rasul itu sebagian tertulis dalam kitab-
Nya yang disebut syariah, sedangkan sebagian besar lainnya tersimpan dibalik apa
yang tertulis itu. Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah
tentang tingkah laku manusia itu memerlukan pemahaman yang intens tentang
syariah sehingga secara amaliah syariah tersebut dapat diterapkan dalam
kehidupan manusia.
Di zaman modern ini, yang dicirikan dengan pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi, tampak kemaslahatan manusia terus berkembang dan
3M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998), h. 107.
63
meningkat seiring dengan urgensitasnya, tidak terbatas jenis dan kuantitasnya,
mengikuti situasi dan ekologi masyarakat. Hal itu dapat membawa dinamisasi
dalam aplikasi syariah Islam. Sebab diferensiasi waktu, tempat, dan lingkungan
dapat memberi pengaruh yang sangat besar terhadap syariah (hukum-hukum)
Islam. Suatu kaedah menegaskan bahwa “Fatwa hukum itu berubah karena
perubahan waktu, tempat, keadaan tradisi dan niat.”4
Salah satu peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan manusia dalam
berbagai suku adalah masalah pernikahan, karena pernikahan merupakan suatu
sistem sosial yang tidak hanya menyangkut dua manusia yang berkepentingan saja
tetapi juga menyangkut orang tua, kerabat, dan masyarakat.5
Roti buaya adalah model roti yang dibentuk menyerupai buaya yang
memiliki ekor, badan, kepala, gigi, dan taring.6 Ia juga merupakan simbolik yang
dijadikan adat istiadat oleh orang Betawi. Filosofinya dari binatang buaya ini ialah
ia termasuk binatang yang tahan dan kuat, maka karena itu menurut orang Betawi
dengan simbol tersebut diharapkan sang calon pengantin laki-laki memiliki sifat
yang kuat dalam hal mencari nafkah kemudian juga kuat secara fisik dan
bertanggung jawab terhadap keluarga. Adapun dari sisi calon pengantin
perempuan mengharapkan terhadap calon pengantin laki-laki yang akan menjadi
suaminya memiliki sifat yang setia dan tidak berkhianat.7 Selanjutnya, binatang
4 M. Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), cet. 1,
h. 1.
5 Suryowingjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung,
1982), h. 122.
6 Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.
7 Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil. Jakarta, 7 Oktober 2015.
64
buaya juga termasuk binatang yang memiliki sifat yang liar, dengan adanya sang
buaya betina maka sang buaya jantan lebih terarah hidupnya. 8
Adapun roti buaya tersebut diserahkan pada saat seserahan. Selain itu juga
dilengkapi dengan pakaian, peralatan dapur, uang, permata, salah satu yang
diserahkan adalah roti buaya. Semua peralatan itu dibawa oleh pihak calon
mempelai laki-laki secara beriringan dan terbuka, sehingga orang-orang dapat
melihatnya dan mengetahuinya barang-barang apasaja yang dibawanya, semakin
banyak barang bawaannya, maka pihak calon mempelai laki-laki akan semakin
meningkat pula derajatnya dimata masyarakat.9
Filosofi yang lain mengatakan buaya itu simbol dari kesetiaan, maka itu
maksud dari si calon pengantin laki-laki siap mengorbankan untuk menjaga anak-
anaknya, ketika calon pengantin dari pihak laki-laki menyerahkan roti yang
dibentuk serupa dengan buaya itu sebenarnya tidak lain ingin mengatakan ketika
nanti sudah menikahi, ia tidak hanya siap menjadi suami tetapi juga bertanggung
jawab dalam hal melindungi, mengamankan, menjaga, merawat istri dan anak-
anak seperti bagaimana buaya melindungi telurnya, anaknya, dan lain-lain.
Dari sisi lain yaitu ketika laki-laki yang memberikan roti buaya itu selain
menggambarkan seserahan juga sebagai gambaran siap menjaga istrinya sampai
menutup usia. Meskipun, faktanya orang-orang Betawi yang uangnya banyak
istrinya tidak hanya satu, bahkan dua, tiga, empat. Memberikan roti buaya itu
8 Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhammad Ishak. Jakarta, 7 Oktober 2015.
9 Andy Pathoni, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan dan
Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi (Studi Kasus di Setu Babakan Kelurahan
Srengseng Sawah)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 49.
65
mengingatkan saja bahwa ia pernah janji hanya memiliki satu istri saja dengan
kesetiaannya. Dengan maksud menahan diri saja.10
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Stacey Lance sebanyak
selama 10 tahun hasil yang didapatkannya bahwa jumlah dari 70% binatang buaya
yang berjenis kelamin betina akan terus kawin dengan binatang buaya yang
berjenis kelamin jantan yang sama saat musim kawin tiba. Maka, hal ini yang
dijadikan sebagai ikon oleh masyarakat Betawi dalam hal pernikahan tepatnya
pada bawaan-bawaan seserahan. Jika ada seorang pria yang akan menikah
diharuskan membawa roti buaya, dengan filosofinya adalah bahwa pengantin laki-
laki akan selalu setia dengan pengantin perempuannya.11
Dalam hukum islam tidak ada ketentuan yang harusmenggunakan roti
buaya dalam seserahan pernikahan. Di dalam kaidah ushul fikih yaitu yang
berbunyi:
ةمكحم ةا دا لع
Artinya : “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat menjadi
hukum.”
Oleh karena itu, tradisi yang sudah menjadi kebiasaan orang Betawi.
Maka, bisa menjadi hukum terhadap orang Betawi. Secara hukum Islam roti
buaya tidak menduduki hukum sebagai kewajiban ataupun, hukum sunnah.
Tetapi, karena hukum beredar sesuai zamannya. Apabila, adat istiadat tersebut
10
Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Jakarta, 7 Oktober 2015.
11
Kusnendar, “Hewan yang Setia dengan Pasangannya”, Artikel diakses pada 13 Oktober
2015 dari http://www.kusnendar.web.id/2013/09/hewan-yang-setia-dengan-pasangannya.html
66
tidak diberlakukan mengakibatkan ketidak harmonisan atau adanya pembicaraan
di luar. Maka bisa menjadi kewajiban, tetapi bagi yang mampu.
Bagi masyarakat Betawi dalam mengaitkan simbol buaya yaitu adanya
pelajaran-pelajaran berharga yang dapat diambil. Jadi dengan membawakan roti
buaya ini sekaligus menunjukan sikap optimis terhadap doa dan harapan semoga
si calon pengantin laki-laki yang akan menjadi suami dapat menerapkan sisi
positif yang ada pada binatang buaya.
Bila ditinjau secara kulturalistik, masyarakat Betawi memiliki berbagai
macam bentuk kebudayaan daerah. Budaya lokal ini dicerminkan dari kebiasaan
yang berkembang di lingkungan warganya. Satu tuntunan pola hidup turun-
temurun yang kuat. Keanekaragaman itu nampak jelas terlihat pada saat
penyelenggaraannya. Sebuah khasanah daerah berkelanjutan dari akar budaya
setempat.
Mengaitkan dengan cerita masyarakat atau legenda pada umumnya tidak
hanya satu pandangan, tetapi banyak. Karena pandangannya tidak hanya ada satu
cerita, maka tidak tunggal ceritanya. Jadi, bisa saja dipahami semacam keinginan
laki-laki yang ingin bertanggung jawab seperti wataknya buaya, agar tidak
keliru.12
Budaya pernikahan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau pada
suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat itu
berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan,
pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta kebiasaan setempat.
12
Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.
67
Sebagaimana, telah disinggung di pembahasan yang terdahulu, bahwa
efektifitas al-adat, hanyalah pada masalah-masalah yang tidak tercover olah Al-
Qur‟an dan al-Hadits. Dalam pengertian lain, sesuatu yang telah ditetapkan oleh
syar‟i, tidak semunya selalu disertai oleh batasan-batasan dan ukuran-ukuran.
Demikian pula lughah atau bahasa. Seringkali bahasa tidak mampumen jawab hal
ini. Solusi yang bisa ditawarkan adalah, menegembalikan permasalahan ini
kepada adat atau kebiasaan masyarakat.13
Pada dasarnya agama Islam tidak memberatkan tetapi mempermudah
bukan berarti sembarang memudahkan. Lebih menekankan dari segi agama yaitu
hal-hal yang memang disyaratkan dalam sahnya pernikahan dan tidak menyalahi
syariat.14
Jika terjadi perbedaan pendapat, maka dapat dimusyawarahkan antar
keluarga untuk menemukan titik temu. Kalau memang tradisi itu sudah mengakar
atau yang sifatnya hukum tidak tertulis.15
Dengan demikian, mengaitkan sebuah
perilaku manusia dengan sebuah legenda itu bisa saja, karena legenda itu tidak
absolut atau dengan kata lain tidak relatif maka tafsirannya banyak tidak tunggal.
Bila hanya tradisi tidak ada pelarangan adapun kalau ada yang menganggapnya
sebagai sesajen atau sebagai dewa maka tidak diperbolehkan dalam Islam.16
13
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar
Jaya Offset, 2004), h. 180.
14
Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhammad Ishak. Jakarta, 7 Oktober 2015.
15
Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil. Jakarta, 7 Oktober 2015.
16
Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.
68
B. Analisis Penulis mengenai Adat Betawi yang Menggunakan Roti
Buaya dalam Seserahan Pernikahan
Masyarakat hukum adat Indonesia dapat dibedakan atas dua golongan
menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan
(genealogi) dan yang berdasarkan lingkungan (territorial). Menurut sejarah dan
sifatnya, masyarakat Betawi mempunyai dasar genealogis yang tegas, baru
kemudian faktor territorial menampakan diri sebagai faktor yang penting juga.
Jadi bisa ketahui bahwa segala sesuatu yang menyangkut tentang adat itu sudah
tertanam turun temurun di dalam masyarakat, karena secara struktur sosial;17
Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan
peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai
akibat dari dinamika dan interaksi yang berkembang di suatu komunitas
lingkungan masyarakat. Oleh karenanya, bisa dikatakan, adat dan tradisi
merupakan identitas dan ciri khas suatu komunitas.
Dalam upacara perkawinan terdapat acara-acara pokok dan acara-acara
pelengkap yang betalian dengan tradisi atau adat kebiasaan. Yang pertama seperti
akad nikah dan walimah, sudah cukup dimaklumi, sedangkan yang kedua,
kebanyakan bertalian dengan adat yang dapat dikaitkan dengan ‘urf.18
Bagi Masyarakat Betawi roti buaya merupakan istilah yang tidak asing
lagi untuk didengar ditelinga mereka. Sekelompok kalangan masyarakat Betawi
17
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), cet.
6, h. 360.
18
Andy Pathoni, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan dan
Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi (Studi Kasus di Setu Babakan Kelurahan
Srengseng Sawah)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 36.
69
ini, baik dikalangan muda, tua, bahkan tokoh ulama sudah cukup memahami
benda roti yang berbentuk buaya itu. Kedudukannya yang cukup merajai adat
istiadat Betawi ini, bukan hanya membuat kalangan orang Betawi sendiri yang
ingin mempertahankan kebiasaan budayanya. Tetapi juga membuat sejumlah
masyarakat yang bukan asli keturunan Betawi, juga merasa tertarik untuk
mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan umumnya yang calon pasangan
pengantinnya berasal dari Betawi, baik dari pihak calon pengantin laki-laki
ataupun, calon pengantin perempuan. Jadi, bukan benda yang aneh lagi untuk
ditelinga masyarakat tentang keberadaan bentuk roti tersebut khususnya yang
berasal dari adat Betawi.
Perbedaan kelompok atau perbedaan suku merupakan bagian dari ciri khas
adanya tradisi-tradisi tertentu. Karena sebagian besar masyarakat Betawi
mengikut sertakan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan, maka upacara-
upacara pernikahan mereka umumnya bercorak adat istiadat Betawi. Itu
menandakan bahwa masyarakat Betawi telah menjadi satu kesatuan dengan
budaya mereka. Kenyataan ini dapat dilihat oleh sekelompok masyarakat Betawi
yang masih mempertahankan adat kebiasaannya yang sudah ada sejak lama
dengan menyertakan roti buaya dalam seserahan pernikahannya.
Maka dapatlah kita lihat sekarang ini bentuk-bentuk pernikahan yang
beraneka ragam, masing-masing memiliki cara-caranya sendiri serta memiliki adat
yang berbeda-beda dari daerah yang satu ke daerah yang lain.
Dalam pengertian roti buaya menurut masyarakat Betawi yaitu sebuah
harapan para calon pengantin ini hanya nikah sekali dalam seumur hidupnya.
70
Dengan alasan bahwa binatang buaya termasuk binatang yang memiliki sifat setia
pada pasangannya. Pernyataaan itu tidak hanya terbatas pada satu sifat setia saja,
tetapi juga turut bertanggung jawab dalam menjaga istri dan anaknya.
Alasan masyarakat Betawi pada umumnya karena status keturunan mereka
menjadi orang Betawi mengikuti adat kebiasaan orang tua mereka sejak dahulu
meskipun tidak tahu apa tujuannya dari pribadinya sendiri. Karena, adat kebiasaan
sudah lahir sejak lama, wajar saja calon-calon pengantin zaman sekarang mungkin
tidak enak untuk meninggalkannya sekaligus melestarikan adat kebudayaannya.
Pada umumnya memang pihak calon pengantin perempuan tidak
mengetahui bila si calon pengantin laki-laki mengikut sertakan roti buaya dalam
seserahannya, katena itu sifatnya hanya bawaan-bawaan yang memang mampu
dibawa olehnya bukan dari permintaan perempuan.
Dari segi bentuknya roti buaya ini ada jantan, betina, dan terakhir di
atasnya ada anak dari buaya itu sendiri, selain itu juga ia memiliki variasi rasa
yang berbeda-beda sesuai dengan pesanan si calon pengantin. Meskipun, dahulu
roti buaya tersebut tidak memlliki rasa atau tawar.
Mengenai penyerahan roti buaya ini dilakukan di rumah kediaman calon
pengantin perempuan. Pada umumnya diserahkan pada saat detik-detik menjelang
kesiapaan akad pernikahan. Dimana, keluarga besan atau calon pengantin laki-laki
sudah mulai berjalan dengan bentuk formasi barisan yang rapi menuju rumah
kediaman calon pengentin perempuan.
Sesampainya di depan halaman rumah kediaman calon pengantin
perempuan. Sang calon pengantin laki-laki beserta sanak keluarga, saudara dan
71
kerabatnya biasanya sudah disambut dengan permainan musik marawis dari
beberapa kumpulan anak remaja laki-laki dan tidak lupa juga dengan dilengapi
letusan petasan yang ikut meramaikan penyambutan calon pengantin laki-laki.
Calon pengantin laki-laki beserta pengiringnya dibentuk dalam formasi barisan
yang memanjang dimulai dari barisan pertama yaitu calon pengantin laki-laki
dengan didampingi kedua orang tua, selanjutnya barisan kedua saudara-saudara
kandung dari calon pengantin laki-laki, barisan ketiga dan seterusnya diiringi oleh
sanak saudara, kerabat, atau para tetangga yang turut serta hadir dalam
pengiringan pengantin.
Tiap-tiap barisan tersebut biasanya sudah dilengkapi dengan bawaannya
masing-masing. Dengan membawa barang-barang seserahan yang sudah
disiapkan dari kediaman calon pengantin laki-laki. Adapun, barang-barang
tersebut adalah tidak hanya roti buaya tetapi juga calon pengantin laki-laki
menyerahkannya bersama dengan mahar, mas kawin, kue, sepatu, pakaian,
seperangkat alat shalat, seperangkat alat mandi, seperangkat alat kamar tidur, dan
lain-lain. Karena sebenarnya, kedudukan roti buaya itu sendiri dalam seserahan
hanyalah pelengkap bagi yang ingin mengikut sertakan dalam seserahan
pernikahannya.
Meskipun ada juga masyarakat Betawi yang tidak mengikut sertakan roti
buaya dalam seserahan pernikahannya, namun pelaksanaan pernikahannya tetap
berjalan khitmat dan lancar tanpa mempersulit kedua calon pegantin yang ingin
nikah.
72
Berkaitan dengan adat istiadat, roti buaya ini juga bisa dipandang dari segi
kaidah fikih yaitu ‘urf yang memiliki arti secara etimologi kenal. Karena roti
buaya ini merupakan istilah barang yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat
khususnya Betawi. Dalam ushul fikih ‘urf itu memiliki beberapa segi pandang,
maka dari itu roti buaya akan dibahas satu persatu dengan cara pandang yang
berbeda.
Pertama dari segi materi ia masuk pada katagori ‘urf fi’li sebab ia
berbentuk perbuatan bukan perkataan yang biasa diucapkan orang-orang.
Tergolongnya ia ke dalam „urf fi’li karena ia memang termasuk perbuatan adat
kebiasaan yang bersifat berlaku di dalam masyarakat Betawi dan mayoritas
masyarakat Betawi sudah mengenalnya dalam pengertian bentuk roti yang
berbentuk buaya yang disertakan dalam seserahan pernikahan khususnya adat
Betawi. Dan memang roti buaya tersebut dikenal sebagai satu pengertian yaitu
barang yang ikut dalam seserahan bukan dalam arti yang lain.
Selanjutnya dalam pandangan dari segi jangkauannya ia tergolong dalam
bagian ‘urf al-Khash yaitu bersifat khusus yang memang berlakunya adat hanya di
ruang lingkup Betawi meskipun, zaman sekarang banyak yang bukan asli
keturunan Betawi juga ikut menyertakan seserahan roti buaya terebut. Karena jika
roti buaya digunakan dalam seserahan pernikahan yang bukan adat Betawi maka
orang-orang pun tidak akan mengerti, untuk itu adat kebiasaan roti buaya hanya
ada di seserahan pernikahan Betawi dan tidak berlaku di tempat yang lain.
Sedangkan yang terakhir yaitu roti buaya dalam segi pandang
keabsahannya ia tidak tergolong masuk ke dalam bagian manapun, karena ia tidak
73
berkedudukan sebagai membenarkan nash dalam Al-quran atau hadits begitu juga
tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum yang ada dalam Al-quran. Ia juga
bukan barang yang dijadikan hal-hal yang menyalahi syariat karena ia hanya
dijadikan sebagai lambing atau symbol.
Adapun yang berkaitan dengan syarat-syarat ‘urf yang sesuai dengan
syariat Islam. Dari penjelasan pada bab-bab terdahulu, bahwa syariat Islam pada
dasarnya dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang
baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan
sunnah Rasulullah. Masalah roti buaya ini yang ada pada seserahan pernikahan.
Menurut analisa penulis bahwa ia termasuk adat kebiasaan yang berlaku umum di
kalangan masyarakat Betawi. Karena, hal ini juga sudah berlaku sejak lama dan
karena ini tidak memiliki pertentangan dengan nash al-Qur‟an ataupun sunnah
Rasulullah maka adat istiadat boleh untuk diberlakukan.
Dibolehkannya suatu perbuatan yang mubah itu hanyalah yang bersifat
temporer, dimana seseorang itu bebas untuk memilih macam dan waktu-
waktunya. Seperti makan dihukumi mubah, hanyalah dalam macam dan waktu-
waktu tertentu bukan untuk selamanya. Akan tetapi makan bisa menjadi wajib
bagi orang yang menjaga kesehatannya dan hidupnya. Karena menjaga kesehatan
adalah suatu perbuatan yang diwajibkan. Oleh karena itu untuk hukum mubah ini,
hanya bersifat situasional atau kondisional, tidak bersifat umum, keseluruhan dan
abadi.19
19
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet. 8, h. 58.
74
Jadi menurut pengamatan dan analisa penulis bahwa adat roti buaya dalam
seserahan pernikahan adalah mubah (boleh) karena tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Dan hukum ini hanya bersifat sementara tidak untuk selamanya,
selama adat istiadat roti buaya tersebut tidak membebani dan tidak dijadikan
sebagai hal-hal yang menyalahi syariat Islam.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penyusun dapat
menyimpulkan sebagai berikut:
1. ‘Urf yaitu sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya
dalam bentuk setiap perbuatan yang popular di antara mereka, ataupun suatu
kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu. Dasar
dipertimbangkannya ‘urf ini kembali kepada prinsip menjaga kemaslahatan
manusia dan menghilangkan kesulitan. Pada dasarnya, syariat Islam dari masa
awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam
masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang
telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan
dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan.
2. Setelah penyusun meneliti kasus yang pernah terjadi di Kampung Pisangan
yaitu beberapa warga memang ada yang menyertai roti buaya dalam seserahan
pernikahan dan ada juga yang tidak menyertai. Bahwa yang melatar belakangi
adanya adat Roti Buaya dalam seserahan pernikahan yaitu para orang tua
mereka yang sebelumnya juga menyertakan Roti Buaya dalam seserahan
pernikahannya. Maka, secara turun-temurun anak-anaknya ikut menyertakan
Roti Buaya dalam seserahan pernikahan
76
3. Hukum menggunakan Roti Buaya dalam seserahan pernikahan boleh-boleh
saja, dengan maksud sebagai tambahan bawaan seserahan dari pihak laki-laki
dan tidak dijadikan sebagai pemujaan atau hal-hal yang dilarang dalam agama.
B. Saran
Dengan berakhirnya penyusunan skripsi ini, penulis menyarankan kepada
diri penulis dan para pembaca:
1. Hendaknya bagi warga Kampung Pisangan dalam melaksanakan upacar adat
pernikahan harus disesuaikan dengan ajaran agama Islam.
2. Hendaknya dalam pelaksanaan seserahan pernikahan dilakukan dengan
semampunya tidak mengharuskan hal-hal yang memang tidak wajibkan.
77
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemah
Abbas, Afifi Fauzi. Baik dan Buruk dalam Perspektif Ushul Fiqh, cet. 1, Ciputat:
ADELINA Bersaudara, 2010.
Abbas, Ahmad Sudirman. Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, Jakarta: CV Banyu
Kencana, 2003.
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, Jakarta:
Radar Jaya Offset, 2004.
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika: 2007.
Abu Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif. Kaedah-Kaedah Praktis Memahami
FIqih Islami, cet. 1, t.tp, Pustaka Al Furqon, 2009.
Aji, Ahmad Mukri. Kontekstualisasi Ijtihad dalam Diskursus Pemikiran Hukum
Islam Di Indonesia, cet. 1, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
Aji, Ahmad Mukri. Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialetika Pemikiran
Hukum Islam, cet. 2, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012.
Al-Kurdy, Ahmad al-Hajj. Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah,
Damaskus: Dar al-Ma’rif li al-TIba’ah, 1979.
Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an
dan As-Sunnah, Penerjamah Bahruddin F, Jakarta: Robbani Press, 1996.
Al-Zuhaili, Muhammad Mushthafa. al-Qawa’id al-Fiqhiyah wa tathbiqatuha fii
al-Mazahib al-arba’ah, juz. 1, Damaskus: Dar al-Fikr, 2006.
Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, cet. 1, Jakarta: Elsas, 2008.
Burnu, Muhammad Shidq bin Ahmad bin Muhammad Ali. Al Wajiz fii idhohi
qawaid al fiqh al-Kulliyah, Beirut: Muassisah ar Risalah, 1996 M.
Dahlan, Abd Rahman. Ushul Fiqh, cet. 2, Jakarta: Amzah, 2011.
Djalil, A. Basiq. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, cet. 6, Jakarta: Kencana, 2010.
Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, cet. 2, Jakarta: Kencana,
2007.
78
Effendi, Satria dan M. Zein. Ushul Fiqh, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2005.
Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, cet. 2, Jakarta: Rajawali
Pers, 2011.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, cet. 1, Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2013.
Hadi, Sutrisno. Metodelogi Penelitian Resreach, Jakarta: PT. Moyo Segoro
Agung, 2007.
Hajj, Ibnu Amir. at-Taqrir wa at-Tahbir, cet. 3, Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah,
1983 M.
Hibban, Ibnu. al-Ihsanu fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban (Beirut: Muassasatu al-
Risalah, 1408 H/1988 M). Juz 10. h. 72.
Kholaf, Abdul Wahab. Ushul Fiqh, t.t: Daar Arosyid, t.th.
Juliansah, M. Irfan. “Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi
Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam,” Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011.
Lubis, Junaidi. Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam
Konteks Perubahan Masyarakat, cet. 1, Jakarta: Dian Rakyat, 2010.
Mudzhar, M. Atho. Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,
Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial,Cet.12, Yogyakarta: Gajah
Mada Universitas Press 2007.
Pathoni, Andy. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan
dan Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi (Studi Kasus di
Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
SA, Romli. Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqh, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2011.
Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2010.
79
Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial “Suatu Tehnik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya”. Cet. 8, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2008
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia, cet. 6, Jakarta: PT Grafindo Persada,
2003.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam I, cet. 9, Jakarta: Al Husna Zikra,
1997.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, cet. 4, Jakarta: Kencana, 2009.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2, cet. 5, Jakarta: Kencana, 2009.
Sudjana, Nana. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah,Cet ke 7, Bandung: Sinar
Baru Algesindo, 2003.
Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, Bandung: CV.
Alfabeta, 2007.
Suryowingjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung
Agung, 1982.
Taufiq, dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos,
1998.
Umar, M. Hasbi. Nalar Fiqh Kontemporer, cet. 1, Jakarta: Gaung Persada Press,
2007.
Zaidan, Abdul Karim. Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih
Dalam, cet. 1, Jakarta: Robbani Press, 2008.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, cet. 8, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
Zidan, Abdul Karim. al-wajiz fil usulil fiqh, Baghdad: Maktabh batsair, 1976.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil. Jakarta, 7 Oktober 2015.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhammad Ishak. Jakarta, 7 Oktober 2015.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Yahya Andi Saputra. Jakarta, 29 Juni 2015.
Wawancara Pribadi dengan Ibu Hanisah. Jakarta, 12 April 2015.
80
Wawancara Pribadi dengan Ibu Tika. Jakarta, 12 April 2015.
http://kampungbetawi.com/gerobog/dedengkot-2/yahya-andi-saputra/ diakses
pada 29 Juni 2015
Kusnendar. “Hewan yang Setia dengan Pasangannya”. Artikel diakses pada 13
Oktober 2015
http://www.kusnendar.web.id/2013/09/hewan-yang-setia-dengan-
pasangannya.html
Iqbal1, “Ilmu Fiqh”, artikel dari https://iqbal1.wordpress.com/2010/04/19/ilmu-
fiqh-adat-atau-tradisi-dalam-beribadah-1/ diakses pada 27 Febuari 2015.
81
LAMPIRAN
82
Pedoman wawancara kepada warga tokoh budayawan
1. Apa latar belakang atau atas dasar pemikiran apa menggunakan Roti
Buaya sebagai bagian seserahan ?
2. Dari manakah budaya Roti Buaya berasal ?
3. Kapan budaya Roti Buaya masuk ke daerah ini ?
4. Mengapa harus dengan menggunakan Roti Buaya ?
5. Apa maksud atau tujuan dengan menggunakan Roti Buaya ?
6. Bagaimana mekanisme proses penyerahan seserahan Roti Buaya, apakah
ada syarat-syarat sebelumnya ?
83
Pedoman Wawancara Tokoh Ulama
1. Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti
buaya dalam seserahan pernikahan ?
2. Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang
menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
3. Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan roti
buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?
84
Pedoman wawancara kepada warga Kampung Pisangan
1. Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan
pernikahan ?
2. Apa alasan bapak atau ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam
seserahan pernikahan ?
3. Apa maksud atau tujuan bapak atau ibu menggunakan roti buaya dalam
seserahan pernikahan ?
4. Apa bapak atau ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut
menunjukan simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?
5. Apa bapak atau ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan
pernikahan ?
85
Hasil Wawancara
Nama: Bapak drs. Yahya Andi Saputra
Jabatan: Tokoh Budayawan
Tanya: Apa latar belakang atau atas dasar pemikiran apa menggunakan Roti
Buaya sebagai bagian seserahan ?
Jawab: tradisi ini pada mulanya buaya adalah sebuah simbol dimana dalam cerita
rakyat Betawi dikenal dengan buaya siluman. Entah yang dimaksud buaya
merah, buaya buntung, ataupun buaya putih. Buaya-buaya siluman ini oleh
masyrakat Betawi dianggap pemelihara atau penunggu sebuah entuk.
Dalam Bahasa Betawi kuno entuk diartikan sebagai sumber mata air.
Maka pada zaman dahulu kalau ada kegiatan masyarakat yang
mengganggu seperti kebersihan, keasrian, keindahan entuk itu akan
mendapat sanksi. Contohnya seperti “kalau lewat situ yang ada sumber
mata airnya harus mengucapkan numpang-numpang karena di situ ada
makhluk penjaganya”. Adapun sumber mata air itu adalah sumber
kehidupan manusia, kalau kamu membuang sampah maka akan mendapat
ketulah. Di mana dalam Bahasa Betawi kuno ketulah itu artinya karma
atau akibat tindakan, sikap, perilaku yang ada dihari lampau.Selanjutnya,
karena si buaya itu sudah menunggu sumber kehidupan masyarakat yaitu
sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu dimanfaatkan
sebagai simbol kehidupan. Adapun pemanfaatannya digunakan dalam
acara pernikahan tepatnya pada saat seserahan dari pihak calon pengantin
pria terhadap pihak calon pengantin wanita.Perkawinan itu sendiri adalah
86
bagian salah satu siklus kehidupan yaitu suatu rangkaian aktivitas secara
alami yang dialami oleh individu-individu dalam populasi berkaitan
dengan perubahan tahap-tahap dalam kehidupan. Seperti manusia yang
bertujuan menciptakan, melanjutkan kehidupan yang baru.
Tanya: Dari manakah budaya Roti Buaya berasal ?
Jawab: tentang siapa yang menciptakan tradisi roti buaya ini tidak ada yang tahu,
yang jelas tradisi roti buaya ini milik masyrakat Betawi.
Tanya: Kapan budaya Roti Buaya masuk ke daerah ini ?
Jawab: sudah berlangsung sejak lama karena tidak tahu jelas kapan datangnya
tradisi roti buaya ini.
Tanya: Mengapa harus dengan menggunakan Roti Buaya ?
Jawab: karena si buaya itu sudah menunggu sumber kehidupan masyarakat yaitu
sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu dimanfaatkan
sebagai simbol kehidupan.
Tanya: Apa maksud atau tujuan dengan menggunakan Roti Buaya ?
Jawab: Perkawinan bukan sekedar yang berarti melampiaskan nafsu biologis atau
menghalalkan bersenang-senangnya antara laki-laki dan perempuan, tetapi
dengan memiliki tujuan yaitu melanjutkan generasi yang baru. Maka dari
itu masyarakat Betawi mengwajibkan adanya dalam seserahan pernikahan
sebagai simbol melanjutkan kehidupan yang baru.
Tanya: Bagaimana mekanisme proses penyerahan seserahan Roti Buaya, apakah
ada syarat-syarat sebelumnya ?
87
Jawab: Secara mekanisme ia tidak memiliki cara-cara tertentu dalam penyerahan
roti buaya tersebut.
Hasil Wawancara
Nama: Ibu Hanisah
Jabatan: Warga Kampung Pisangan
Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab: adat kebiasaan masyarakat Betawi yang sudah ada sejak zaman dahulu.
Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan
pernikahan ?
Jawab: karena nikah dengan orang Betawi
Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam
seserahanpernikahan ?
Jawab: mempertahankan kebudayaan
Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan
simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?
Jawab: percaya tidak percaya
Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab: setuju
88
Hasil Wawancara
Nama: Ibu Tika Nurjanah
Jabatan: Warga Kampung Pisangan
Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab: adat Betawi
Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan
pernikahan ?
Jawab: karena orang Betawi
Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam seserahan
pernikahan ?
Jawab: karena kebiasaan
Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan
simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?
Jawab: percaya
Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab: setuju
89
Hasil Wawancara
Nama: Ibu Camah (Ketua RT)
Jabatan: Warga Kampung Pisangan
Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab: untuk seserahan perkawinan adat Betawi
Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan
pernikahan ?
Jawab: untuk pelengkap sebagai seserahan
Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam seserahan
pernikahan ?
Jawab: untuk pengantin wanita
Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan
simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?
Jawab: nggak
Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab: setuju
90
Hasil Wawancara
Nama: Bapak Dr. H. Fuad Thohari, MA
Jabatan: Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (Tokoh Ulama)
Tanya: Apa yang bapak ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti
buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab: Roti buaya adalah model roti yang dibentuk menyerupai buaya yang
memiliki ekor, badan, kepala, gigi, dan taring. Adapun roti buaya tersebut
diserahkan pada saat seserahan. Selain itu juga dilengkapi dengan pakaian,
peralatan dapur, uang, permata, salah satu yang diserahkan adalah roti
buaya. Buaya itu simbol dari kesetiaan, siap mengorbankan untuk menjaga
anak-anaknya, ketika calon pengantin dari pihak laki-laki menyerahkan
roti yang dibentuk serupa dengan buaya itu sebenarnya tidak lain ingin
mengatakan ketika nanti sudah menikahi, ia tidak hanya siap menjadi
suami tetapi bertanggung jawab dalam hal melindungi, mengamankan,
menjaga, merawat istri dan anak-anak seperti bagaimana buaya
melindungi telurnya, anaknya, dan lain-lain.
Tanya: Bagaimana pendapat bapak mengenai hukum adat betawi yang
menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab: Adapun kebiasaan laki-laki memberikan roti buaya itu selain
menggambarkan seserahan juga sebagai gambaran siap menjaga istrinya
sampai menutup usia. Meskipun, faktanya orang-orang Betawi yang
uangnya banyak istrinya tidak hanya satu, bahkan dua, tiga, empat.
Memberikan roti buaya itu mengingatkan saja bahwa ia pernah janji hanya
91
memiliki satu istri saja dengan kesetiaannya. Dengan maksud menahan
diri saja. Adanya cerita masyarakat atau legenda pada umumnya tidak
hanya satu pandangan, tetapi banyak. Karena pandangannya tidak hanya
ada satu cerita, maka tidak tunggal ceritanya. Jadi, bisa saja dipahami
semacam keinginan laki-laki yang ingin brtanggung jawab seperti
wataknya buaya, jadi tidak keliru.
Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan
roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?
Jawab: Mengaitkan sebuah perilaku manusia dengan sebuah legenda itu bisa saja,
karena legenda itu tidak absolut atau dengan kata lain tidak relatif maka
tafsirannya banyak tidak tunggal. Bila hanya tradisi tidak ada pelarangan
adapun kalau ada yang menganggapnya sebagai sesajen atau sebagai dewa
maka tidak diperbolehkan dalam Islam.
92
Hasil Wawancara
Nama: Bapak Bapak Abdul Jalil
Jabatan: penghulu (tokoh ulama)
Tanya: Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan
roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab : roti buaya itu merupakan simbolik yang dijadikan adat istiadat oleh orang
Betawi. Folisofinya bahwa buaya itu binatang yang tahan dan kuat. Maka
karena itu, menurut orang Betawi denagn simbol tersebut diharapakan kuat
mencari nafkah yang nanti akan menjadi suami. Setelah kuat mencari
nafkah, kemudian memiliki sikap yang tanggung jawab terhadap keluarga,
serta rejekinya mudah. Karena, buaya itu dikenal tidak jauh rejekinya,
kalau mencari makan cukup membuka mulutnya saja, mangsa akan
datang. Filosofi selanjutnya yaitu buaya dikenal sebagai binatang yang
setia pada pasangannya. Dalam penelitian otang Betawi itu kawin hanya
sekali. Jadi diharapkan dari suaminya nanti ia akan menjadi suami yang
setia dan tidak berkhianat. Menampakan symbol bagi masyarakat Betawi,
ada pelajaran-pelajaran berharga yang dapat diambil. Jadi, dengan
membawakan roti buaya ini sekaligus menunjukan siakp yang optimis
terhadap doa itu moga sisi positif yang ada pada diri buaya bisa diterapkan
kepada diri suami.
Tanya: Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang
menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
93
Jawab : dalam hukum Islam tidak ada ketentuan harus menggunakan roti buaya
dalam seserahan pernikahan. Tetapi pada kaidah ushul fikih “bahwa tradisi
bisa menjadi hukum” oleh karena itu tradisi yang sudah menjadi kebiasaan
orang Betawi itu bisa menjadi hukum terhadap orang Betawi. Secara
hukum Islam roti buaya bukan kewajiban bukan juga sebagai sunnah.
Tetapi, karena hukum itu beredar sesuai zamannya. Apabila terjadi ketidak
harmonisan, adanya pembicaraan di luar. Maka biasa terjadi kewajiban
yetapi bagi yang mampu melaksanakannya. Karena fikih itu bagian dari
produkpemikiran manusia yang bersifat dinamis. “sesuatu yang dapat
menyempurnakan yang wajib, maka hukumnya bisa jadi wajib”. Sama
seperti roti buaya . bila ada pandangan pelit atau tidak mengerti tradisi
maka dikembalikan saja pada hukum Islam yaitu keadaan yang berlaku.
Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan
roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?
Jawab : dikompromikan atau dimusyawarahkan dengan keluarg dan bisa
dipahami oleh keluarga. Karena itu termasuk hukum adat yang tak tertulis
apabila memang hukum ini sudah mengakar di masyarakat.
94
Hasil Wawancara
Nama: Bapak H. Muhammad Ishak
Jabatan: tokoh ulama Betawi
Tanya: Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan
roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab : buaya adalah binatang yang termasuk liar. Dengan adanya pasangan
jantan dan betina. Maka akan menjadi binatang yang jinak. Kemudian
buaya itu ternasuk binatang yang setia, dengan maksud menunjukan
lambang calon mempelai pengantin laki-laki supaya bisa setia dengan
istilah lain buaya itu akan jinak. Selanjutnya, kalau sudah berumah tangga,
kehidupannya lebih terang yang berarti lebih terarah lagi dalam jalur
agama begitu yang diharapkan oleh sang pengantin.
Tanya: Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang
menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab : boleh-boleh saja, apabila hal itu tidak memberatkan. Adapun dalam segi
ekonomi apabila membebani, maka tidak perlu di adakan.
Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan
roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?
Jawab :memberikan pengertian karena, agama sifatnya tidak membebani. Tetapi,
mempermudah bukan berarti memudahkan. Betawi itu luwes, tidak ada
takut ini atau takut itu. Karena, lebih menekankan pada hal-hal yang
diwajibkan dalam agama yaitu, jika dalam pernikahan adanya calon
95
sepasang pengantin, ijab qabul, saksi, dan terakhir wali. Tidak ada hal-hal
yang membebani.
Top Related