GAMBARAN TOKSIKOPATOLOGI ORGAN HATI DAN GINJAL
MENCIT C3H PASCA PEMBERIAN CAPSAICIN
FITRIAH IDRIS
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran
Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit C3H Pasca Pemberian Capsaicin
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Fitriah Idris
NIM B04100201
ABSTRAK
FITRIAH IDRIS. Gambaran Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit C3H
Pasca Pemberian Capsaicin. Dibimbing oleh MAWAR SUBANGKIT dan
ANDRIYANTO.
Capsaicin adalah senyawa utama yang ditemukan dalam cabai genus
Capsicum. Capsaicin secara in vitro terbukti bersifat antiproliferatif terhadap sel
kanker pada lambung, usus besar, hati, prostat, dan leukosit. Organ hati dan ginjal
merupakan organ sasaran utama dari efek toksik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efek pemberian capsaicin terhadap gambaran toksikopatologi organ
hati dan ginjal mencit C3H. Sebanyak 12 ekor mencit galur C3H dibagi dalam 3
kelompok. Kelompok 1 sebagai kontrol negatif tidak diberi capsaicin. Kelompok
2 diberi capsaicin selama dua minggu. Kelompok 3 diberi capsaicin selama empat
minggu. Pemberian capsaicin dilakukan dengan rute peroral dengan dosis 10
mg/kgBB. Pengamatan gejala klinis dilakukan sepanjang periode perlakuan.
Setelah itu, mencit dieutanasi dan diambil organnya untuk diamati dan dibuat
sediaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) dan
imunohistokimia (IHK) menggunakan antibodi TNF-α. Hasil pengamatan patologi
anatomi dan histopatologi menunjukkan bahwa mencit yang diberikan capsaicin
selama 2 minggu menunjukkan kerusakan sedang pada hati dan ginjal sedangkan
mencit yang diberikan capsaicin selama 4 minggu mengalami kerusakan berat
pada hati dan ginjal. Hal ini menunjukkan tingkat keamanan capsaicin yang
rendah terhadap organ hati dan ginjal.
Kata kunci: capsaicin, ginjal, hati, mencit C3H, toksikopatologi
ABSTRACT
FITRIAH IDRIS. Toxicopathology of liver and kidney of C3H Mice Post-
Capsaicin Administration. Supervised by MAWAR SUBANGKIT and
ANDRIYANTO.
Capsaicin is the mayor compound founds in chilli peppers of the Capsicum
genus. Capsaicin has been shown to have antiproliferative activity to intestine,
liver, prostate, and leucocytes cancer cells in vitro. The liver and kidney are the
main target of toxic effect. The research was conducted to know the effect of
capsaicin to liver and kidney toxicopathology of C3H mice. Twelve mice strain
C3H were divided into 3 groups. Groups 1 as a negative control were not
administered capsaicin. Groups 2 were administered capsaicin for 2 weeks.
Groups 3 were administered capsaicin for 4 weeks. The capsaicin was
administered perorally with 10 mg/kgBW dose. Clinical observations made
throughout the treatment period. Then, the mice euthanized and their organs were
observed and preparated for histopathology stained hematoxylin-eosin (HE) and
immunohistochemistry (CPI) using TNF-α antibody. The gross anatomy and
histopathology showed that the mice treated capsaicin for 2 weeks showed
average damage to the liver and kidney, while mice treated capsaicin for 4 weeks
suffered severe damage to the liver and kidney. This shows the lack of security
levels of capsaicin to the liver and kidneys.
Keywords: capsaicin, C3H mice, kidney, liver, toxicopathology
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
GAMBARAN TOKSIKOPATOLOGI ORGAN HATI DAN GINJAL
MENCIT C3H PASCA PEMBERIAN CAPSAICIN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
FITRIAH IDRIS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 sampai Juli 2014 ini ialah
Gambaran Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit C3H Pasca Pemberian
Capsaicin.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drh Mawar Subangkit, MSi
APVet dan Bapak Drh Andriyanto, MSi selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak pengarahan kepada penulis. Terima kasih pula penulis
sampaikan kepada Ibu Dr Drh Anita Esfandiari, MSi selaku pembimbing
akademik yang telah memberi bimbingan kepada penulis. Ungkapan terima kasih
kepada Bapak Endang, Bapak Kasnadi dan Bapak Sholeh serta seluruh staf
Bagian Patologi yang telah memberikan banyak bantuan selama penulis
melakukan penelitian. Penulis juga berterima kasih kepada Metrizal Abdi Taufik
selaku teman seperjuangan penulis selama penelitian. Terima pula penulis
sampaikan kepada Bapak M Idris Nur, Ibu Nur Alam, Muhammad Juwaini,
Pahimah, dan Muhammad Fuad yang telah melimpahkan kasih sayang dan
bantuan materiil maupun moril kepada menulis. Terima kasih kepada Keluarga
Besar Maddeppungeng, Keluarga Cendana 53, Keluarga Ikami SulSelBar,
Acromion 47, Andalas 12, serta seluruh pihak yang telah memberikan banyak
bantuan dan dukungan kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2014
Fitriah Idris
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 1
TINJAUAN PUSTAKA 2
Capsaicin 2
Organ Hati 2
Organ Ginjal 3
METODOLOGI 3
Waktu dan Tempat 3
Hewan Percobaan 3
Alat dan Bahan 3
Metode Penelitian 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Gejala Klinis 6
Patologi Anatomi Organ Hati dan Ginjal 6
Histopatologi Organ Hati dan Ginjal 7
Pengamatan Pewarnaan Imunohistokimia 11
SIMPULAN 11
DAFTAR PUSTAKA 12
RIWAYAT HIDUP 15
DAFTAR TABEL
1 Gambaran gejala klinis kelompok kontrol (K1), capsaicin 2 minggu
(K2), dan capsaicin 4 minggu (K3) 6 2 Lesio patologi anatomi pada organ hati dan ginjal mencit C3H
kelompok kontrol (K1), capsaicin 2 minggu (K2), capsaicin 4 minggu
(K3) 6 3 Hasil rataan skoring pengamatan organ hati dan ginjal mencit C3H
pada kelompok kontrol (K1), pemberian capsaicin 2 minggu (K2),
pemberian capsaicin 4 minggu (K3) 8 4 Hasil pengamatan IHK organ hati dan ginjal mencit C3H pada
kelompok kontrol (K1), pemberian capsaicin 2 minggu (K2),
pemberian capsaicin 4 minggu (K3) 8
DAFTAR GAMBAR
1 Gambaran patologi anatomi organ hati mencit (K1) tanpa capsaicin,
(K2) capsaicin 2 minggu, (K3) capsaicin 4 minggu. Organ hati pada
K3 mengalami hemoragi ditandai dengan permukaan berwarna hitam
dan belang (tanda panah) 7 2 Gambaran patologi anatomi organ ginjal mencit (K1) tanpa capsaicin,
(K2) capsaicin 2 minggu, (K3) capsaicin 4 minggu. Organ ginjal pada
K3 mengalami kongesti ditandai dengan warna kehitaman yang
menyebar merata pada korteks dan medula 7 3 Lesio histopatologi (A) organ hati K3 (pemberian capsaicin 4
minggu). Adanya lesio kongesti (panah hitam), degenerasi lemak
(panah hijau), sel radang (kepala panah), nekrosa (asterik), dan
anisositosis (panah merah) (B) organ ginjal K3 (pemberian capsaicin
4 minggu). Terlihat lesio kongesti (panah) dan nekrosa (asterik).
Pewarnaan HE perbesaran 400x 10
4 Hasil pewarnaan IHK yang bersifat imunoreaktif positif (panah)
terhadap antibodi anti TNF-α pada (A) hepatosit dan (B) sel tubulus
proksimal ginjal. Pewarnaan IHK metode LSAB perbesaran 400x 11
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Capsaicin adalah senyawa utama yang ditemukan dalam tanaman cabai
(Bode dan Dong 2011). Capsaicin dikonsumsi oleh hampir seluruh masyarakat di
dunia. Rasa pedas yang ditimbulkan oleh capsaicin pada cabai dimanfaatkan
sebagai penyedap makanan karena dapat menimbulkan nafsu makan.
Capsaicin berperan membantu pasien dengan beberapa kondisi seperti tukak
lambung. Zat ini juga berperan sebagai obat gangguan pencernaan. Selain itu,
capsaicin dapat meningkatkan sekresi saliva dan asam lambung serta
meningkatkan aktivitas saluran pencernaan. Studi terakhir menemukan bahwa
capsaicin berpotensi sebagai antikanker (Kautsar 2009). Capsaicin secara in vitro
terbukti memiliki efek antiproliferatif terhadap kanker prostat (Mori et al. 2006;
Sa'nchez et al. 2006), kanker usus besar (Kim et al. 2004), kanker lambung (Lo et
al. 2005), kanker hati (Jung et al. 2001) dan kanker leukemia (Ito et al. 2004)
tanpa menimbulkan efek samping signifikan pada sel-sel normal. Anandakumar et
al. (2009) telah membuktikan capsaicin yang diberikan peroral dengan dosis 10
mg/kgBB bersifat kemporeventif terhadap tumor paru-paru.
Hati dan ginjal merupakan organ penting dalam tubuh yang berfungsi
sebagai organ detoksifikasi. Ginjal merupakan organ ekskresi utama yang
berperan untuk mengeluarkan toksikan. Oleh karena itu, hati dan ginjal menjadi
organ sasaran utama dari efek toksik. Berdasarkan hal tersebut, penelitian
mengenai efek samping capsaicin terhadap organ hati dan ginjal menjadi penting
untuk dilakukan.
Penelitian ini menggunakan mencit C3H sebagai hewan coba. Menurut
Jaxmice (2014), mencit C3H digunakan sebagai strain dengan tujuan umum dalam
berbagai bidang penelitian termasuk penelitian kanker, penyakit menular,
sensorineural, dan biologi kardiovaskular. Sebuah mutasi spontan terjadi pada
mencit C3H membuat mencit ini lebih tahan terhadap endotoksin.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran toksikopatologi organ
hati dan ginjal mencit C3H pasca pemberian capsaicin dengan pewarnaan
Hematoksilin-Eosin (HE) dan imunohistokimia (IHK).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dibidang farmakologi,
toksikologi, dan patologi, khususnya mengetahui toksisitas capsaicin terhadap
organ hati dan ginjal sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
penggunaannya sebagai obat antikanker.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Capsaicin
Capsaicin (8-methyl-N-vanillyl1trans-6-nonenamide) termasuk dalam
capsaicinoid (Sanatombik 2008). Capsaicinoid berasal dari tanaman famili
Solanaceae dan diproduksi sebagai metabolit sekunder oleh cabai. Capsaicin
merupakan komponen aktif cabai yang menghasilkan panas yang bersifat iritan
terhadap mamalia termasuk manusia dan menimbulkan rasa terbakar dan panas
pada jaringan manapun yang tersentuh.
Capsaicin murni bersifat hidrofobik, tidak berwarna, tidak berbau, dan
bentuk kristal bahan digunakan sebagai bahan campuran lilin. Capsaicin disintesis
pada septa interlokular buah cabai dengan penambahan cabang rantai asam lemak
ke vanillyalamine. Biosintesis capsaicin tergantung pada gen AT3 (Stewart et al.
2005). Capsaicin termasuk senyawa Fenilpropanoid dengan rumus molekul
C18H27NO3 yang memiliki berat molekul 305.41 g/mol dengan titik lebur 62-65°C
dan titik didih 210-220°C (Chhabra et al. 2012).
Capsaicin memiliki aktifitas biologis yang tinggi diantaranya sebagai
antioksidan, iron-binding, dan efek hypolipidemic (Dairam et al. 2008;
Manjunatha dan Srinivasan 2007; Srinivasan et al. 2004). Capsaicin dapat
meredakan rasa nyeri dan peradangan (Sancho et al. 2002).
Kemampuan capsaicin menghambat pertumbuhan sel-sel kanker terletak
pada kemampuannya menginduksi terjadinya apoptosis, penangkapan
pertumbuhan siklus sel, regulasi faktor ekspresi transkripsi, dan penghambatan
terhadap growth signal transduction pathways (Lin et al. 2013).
Organ Hati
Hati adalah organ terbesar kedua dalam tubuh manusia setelah kulit. Hati
berbentuk segitiga yang memanjang melintasi rongga perut di kaudal diafragma.
Sebagian besar massa hati terletak di sisi kanan tubuh. Hati terdiri dari jaringan
merah muda kecokelatan yang sangat lunak yang dibalut oleh kapsul jaringan ikat
yang diperkuat oleh peritoneum yang melindungi dan memfiksasi hati di dalam
rongga perut. Organ hati berperan dalam banyak proses tubuh, diantaranya proses
digesti, metabolisme, detoksifikasi, imunitas, dan penyimpanan nutrisi (Taylor
2014).
Struktur mikroskopis dari hati dibagi menjadi sinusoid, lobulus, hepatosit,
dan triad portal. Sinusoid memiliki empati jenis sel yaitu sel Kupffer, sel endotel,
sel Ito, dan sel pit. Lobulus yaitu unit kecil berbentuk heksagonal dengan venule
terminal hepatik pada bagian tengah dan triad portal pada bagian ujung
heksagonal. Hepatosit merupakan parenkim organ hati yang tersusun radial dalam
lobulus hati yang tergabung satu sama lain dalam anastomosis plate yang dibatasi
oleh sinusoid. Triad portal terdiri dari cabang terminal vena porta, arteriol yang
merupakan cabang dari arteri hepatika, dan bile ductules (Lumongga 2008).
3
Organ Ginjal
Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks dan berkembang
untuk beberapa fungsi, diantaranya ekskresi produk sisa metabolisme,
pengendalian air dan garam, pemeliharaan keseimbangan asam dan basa, serta
sekresi berbagai hormon dan autokoid (Cotran et al. 2007). Ginjal menjadi salah
satu organ sasaran utama dari efek toksik karena merupakan organ ekskresi utama
yang berperan untuk mengeluarkan toksikan.
Ginjal terdiri dari struktur internal berupa hilus, sinus, pelvis, parenkim, dan
lobus. Unit fungsional ginjal yaitu nefron yang terdiri dari glomerulus, tubulus
kontortus proksimal, ansa henle, tubulus kontortus distal, tubulus kolektivus, dan
duktus kolektivus (Slonane 2004).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada Maret 2013 sampai Juli 2014 di Bagian
Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Hewan Percobaan
Mencit dengan galur C3H berjenis kelamin betina, sebanyak 12 ekor
dengan berat badan rata-rata 20 g dipelihara dalam kotak plastik berukuran 20 x
30 cm, dalam ruangan dengan suhu berkisar antara 25-27°C, kelembapan relatif
antara 58-63%, dan pengondisian cahaya 12 jam terang dan 12 jam gelap. Mencit
diberi pakan pelet dan minum ad libitum. Mencit dibagi dalam 3 kelompok sama
rata sebagai berikut:
1. Kelompok 1 (K1), variabel kontrol negatif, tidak diberi capsaicin.
2. Kelompok 2 (K2), variabel kelompok perlakuan, diberi capsaicin selama dua
minggu dengan dosis 10 mg/kgBB.
3. Kelompok 3 (K3), variabel kelompok perlakuan, diberi capsaicin selama
empat minggu dengan dosis 10 mg/kgBB.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah kandang, syringe, timbangan, sonde
lambung, peralatan bedah minor, peralatan pembuatan sediaan histopatologi, dan
mikroskop cahaya. Bahan yang digunakan adalah pakan mencit crude protein
(CP) 14%, albendazole, amoxicillin, metronidazole, fraksi aktif capcaisin (Sigma
Life Science®
), NaCl fisiologis, Tween 80, Lithium Karbonat, buffered neutral
formalin (BNF) 10%, etanol dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, 96%, etanol
4
absolut (Merck®), xylene, parafin, akuades, pewarna Mayer’s hematoksilin dan
eosin, Permount®
, poly-L-lysine, phosphate buffered saline (PBS), asam sitrat,
antibodi primer anti TNF-α (Santa Cruz Biotechnology®
), dan fetal bovine serum
1% (FBS 1%). Pewarnaan IHK menggunakan kit produksi Dako LSAB HRP
K0679®
yang berisi H2O2 0.3%, biotin, streptavidin, dan diaminobenzidin
(DAB).
Metode Penelitian
Aklimatisasi Mencit
Mencit diaklimatisasi selama 7 hari untuk menyamakan status kesehatan,
adaptasi kandang, dan pemberian pakan. Selama masa aklimatisasi, tiap mencit
diberi anthelmentik (albendazole 25 mg/kgBB), antibiotik (amoxicillin 25
mg/kgBB), dan antiprotozoa (metronidazole 25 mg/kgBB), yang dilarutkan
dalam air minum mencit.
Persiapan dan Pemberian Capsaicin
Sebanyak 250 mg serbuk capsaicin murni dicampur dengan 1.25 mL etanol
100%. Setelah campuran homogen, ditambahkan 1.25 mL Tween 80 dan 22.5 mL
saline 0.9% (Ohara Lab®
2013). Larutan stok kemudian diencerkan dengan
aquades hingga mencapai 0.1%. Pemberian capsaicin dilakukan dengan
pencekokan dengan dosis 10 mg/kgBB selama dua minggu (K2) dan empat
minggu (K3) dengan interval pemberian dua hari sekali.
Pengamatan Gejala Klinis
Selama perlakuan, diamati gejala klinis dengan parameter berupa temperatur
tubuh, nafsu makan, diare, tampilan klinis, dan bobot badan.
Pengambilan Organ Hati dan Ginjal
Pada akhir perlakuan, semua kelompok mencit dieuthanasia menggunakan
ketamin HCl dengan dosis 15 mg/kgBB dengan rute intraperitoneal. Setelah
tertidur, dilakukan laparotomi medianus untuk mengambil organ hati dan ginjal.
Organ tersebut diamati keadaan patologi dan anatominya, kemudian difiksasi
dalam larutan BNF 10% selama ± 48 jam.
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Organ hati dan ginjal dipotong dengan ketebalan kurang lebih 3 mm,
dimasukkan ke dalam tissue casette, kemudian dimasukkan ke dalam automatic
tissue processor untuk proses dehidrasi, clearing, dan infiltrasi. Proses dehidrasi
dimulai dengan merendam organ secara berturut-turut ke dalam etanol 70%, 80%,
90%, 96%, etanol absolut I, etanol absolut II, dan etanol absolut III. Proses
clearing dilakukan dengan merendam organ pada larutan xylene I dan xylene II,
dan proses infiltrasi dilakukan dengan merendam organ pada parafin I dan parafin
II yang bersuhu 58°C, dengan waktu masing-masing selama 2 jam.
Selanjutnya organ dimasukkan ke dalam cetakan berisi parafin cair
menggunakan paraffin embedding console dan dibiarkan mengeras hingga
terbentuk blok parafin. Organ dalam parafin kemudian dipotong menggunakan
mikrotom dengan ketebalan 3 µm. Hasil potongan berbentuk pita tipis diletakkan
5
di atas air pada waterbath bersuhu 45°C untuk menghilangkan lipatan-lipatan.
Sediaan kemudian diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah
diulas larutan albumin kemudian dikeringkan semalam dalam inkubator bersuhu
60°C.
Proses Deparafinisasi dan Rehidrasi
Sediaan direndam dalam xylene dua kali selama 2 menit, kemudian
direhidrasi menggunakan etanol bertingkat (absolut III, absolut II, absolut I, 96%,
80%) masing-masing 2 menit. Kemudian dicuci dengan air mengalir selama 1
menit dan dikeringkan.
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Sediaan direndam dalam pewarna Mayer’s hematoksilin 8 menit, kemudian
dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan Lithium Karbonat 15 sampai 30 detik,
dan dibilas dengan air mengalir kembali. Selanjutnya sediaan dicelup ke dalam
pewarna eosin 2 menit, dibilas dengan air selama 30 sampai 60 detik, dicelup ke
dalam etanol 90% sebanyak 10 kali, etanol absolut I 10 kali, etanol absolut II
selama 2 menit, xylene I selama 1 menit, dan xylene II selama 2 menit. Kemudian
dikeringkan, diteteskan Permount® dan ditutup dengan gelas penutup.
Pembuatan Sediaan Imunohistokimia (IHK)
Sebelum digunakan, dilakukan proses coating slide menggunakan poly-L-
lysine. Sediaan kemudian direndam dalam larutan PBS sitrat dan dimasukkan ke
dalam microwave selama 5 menit. Selanjutnya sediaan didinginkan mencapai
25°C. Kemudian dilakukan proses rinsing (pencucian sediaan dengan larutan PBS
I, II, dan III masing-masing selama 5 menit). Proses selanjutnya adalah blocking
endogenous peroxidase dengan meneteskan H2O2 0.3% pada sediaan dan
dibiarkan selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan rinsing, blocking normal serum
menggunakan FBS 1% selama 30 menit, rinsing, penetesan antibodi primer pada
sediaan dan diinkubasi selama satu malam pada suhu 4°C.
Keesokan harinya, dilakukan rinsing, kemudian diinkubasi dengan antibodi
sekunder yang telah dilabel dengan biotin selama 30 menit, dan dilakukan rinsing.
Selanjutnya inkubasi streptavidin selama 30 menit yang diikuti dengan rinsing,
kemudian sediaan diberi DAB selama 15 detik. Selanjutnya dilakukan
counterstain dengan pewarnaan Mayer’s hematoksilin sebanyak 5 kali celupan,
dehidrasi (etanol 70%, 80%, 90%, 96%, absolut I, absolut II, dan absolut III),
clearing (xylene I, II, dan III) masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya sediaan
ditetesi Permount® dan diamati dengan mikroskop cahaya. Hasil dinyatakan
positif jika ditemukan warna cokelat tua pada jaringan.
Pengamatan dan Analisis Data
Data pengamatan gambaran histopatologi hati dan ginjal dijelaskan
menggunakan skoring dengan skala 0 sampai 3. Skor 0 menyatakan tidak ada
lesio pada organ. Skor 1 menyatakan terjadi kongesti dan degenerasi (khusus
organ hati). Skor 2 menyatakan terjadi kongesti, degenerasi, dan peradangan. Skor
3 menyatakan terjadi kongesti, degenerasi, peradangan, dan nekrosa. Skor tiap
individu kemudian dijumlahkan dan ditentukan rata-rata kelompok untuk
identifikasi lesio ringan, sedang, dan berat, serta dideskripsikan.
6
Peubah yang diamati pada pewarnaan IHK adalah reaksi positif terhadap
antibodi primer TNF-α, yang ditunjukkan oleh warna cokelat tua pada sitoplasma
sel. Hasil positif pewarnaan IHK menunjukkan kecenderungan sediaan menjadi
nekrosa jaringan. Hasil dinyatakan negatif apabila sediaan tidak terwarnai cokelat.
Hasil positif TNF-α dibagi menjadi positif ringan, sedang, dan berat. Positif
ringan apabila warna cokelat berbentuk fokus, positif sedang apabila warna
cokelat multifokus, dan positif berat apabila warna cokelat difusa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gejala Klinis
Pemberian capsaicin tidak menimbulkan kelainan klinis pada kelompok
kontrol maupun perlakuan. Kelainanan klinis berupa diare, penurunan bobot
badan, penurunan nafsu makan, penurunan aktivitas, serta kenaikan temperatur
tidak ditunjukkan oleh setiap kelompok. Hasil pengamatan gejala klinis disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Gambaran gejala klinis kelompok kontrol (K1), capsaicin 2 minggu (K2),
dan capsaicin 4 minggu (K3)
Kelompok
Rataan temperatur tubuh
(oC)
Rataan bobot badan
pada akhir
perlakuan (g)
Aktivitas Diare Nafsu
Makan Pre
treatment
Post
treatment
K1 36.46±0.48 36.98±0.30 21.09±0.47 Baik
(4/4)
Tidak ada
(0/4)
Baik
(4/4)
K2 36.65±0.60 36.95±0.18 22.15±0.15 Baik
(4/4)
Tidak ada
(0/4)
Baik
(4/4)
K3 36.59±0.48 36.87±0.43 23.64±0.48 Baik
(4/4)
Tidak ada
(0/4)
Baik
(4/4)
Patologi Anatomi Organ Hati dan Ginjal
Lesio yang diamati pada organ hati dan ginjal adalah lesio akibat perlakuan
pemberian capsaicin diantaranya kongesti dan hemoragi. Hasil pengamatan
patologi anatomi (PA) hati dan ginjal disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Lesio patologi anatomi pada organ hati dan ginjal mencit C3H kelompok
kontrol (K1), capsaicin 2 minggu (K2), capsaicin 4 minggu (K3)
Organ Lesio Kelompok
K1 K2 K3
Hati Kongesti Tidak ada (0/4) Tidak ada (0/4) Tidak ada (0/4)
Hemoragi Tidak ada (0/4) Tidak ada (0/4) Ada (2/4)
Ginjal Kongesti Tidak ada (0/4) Tidak ada (0/4) Ada (2/4)
Hemoragi Tidak ada (0/4) Tidak ada (0/4) Tidak ada (0/4)
7
Organ hati kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) menunjukkan
terjadinya hemoragi yang ditunjukkan dengan warna kehitaman dan belang. Pada
kelompok kontrol (K1) dan kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2) tidak
teramati lesio kongesti maupun hemoragi. Hemoragi pada kelompok pemberian
capsaicin 4 minggu (K3) menunjukkan pemberian capsaicin selama empat minggu
kurang aman bagi organ hati.
Lesio kongesti maupun hemoragi tidak teramati pada ginjal kelompok
kontrol (K1) dan kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2). Organ ginjal
kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) mengalami kongesti, ditandai
dengan warna kehitaman yang menyebar secara merata pada korteks dan medula.
Hal tersebut menunjukkan rendahnya tingkat keamanan capsaicin terhadap organ
ginjal pada pemberian empat minggu. Foto makrografi organ hati dan ginjal
disajikan pada Gambar 1 dan 2.
K1
K2
K3
Gambar 1 Gambaran patologi anatomi organ hati mencit (K1) tanpa capsaicin,
(K2) capsaicin 2 minggu, (K3) capsaicin 4 minggu. Organ hati pada
K3 mengalami hemoragi ditandai dengan permukaan berwarna hitam
dan belang (tanda panah)
K1
K2
K3
Gambar 2 Gambaran patologi anatomi organ ginjal mencit (K1) tanpa capsaicin,
(K2) capsaicin 2 minggu, (K3) capsaicin 4 minggu. Organ ginjal pada
K3 mengalami kongesti ditandai dengan warna kehitaman yang
menyebar merata pada korteks dan medula
Histopatologi Organ Hati dan Ginjal
Metode pewarnaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Hematoksilin-Eosin (HE) yang merupakan metode pewarnaan umum yang
digunakan dalam histologi. Pewarnaan HE memberikan gambaran struktur
jaringan, memungkinkan diferensiasi struktur sebagai normal, mengalami
peradangan, mengalami perubahan degeneratif, atau patologis (Merck® 2004).
8
Pada penelitian ini, lesio histopatologi yang diamati adalah kongesti, degenerasi,
keberadaan sel radang, dan nekrosa.
Pewarnaan penunjang yang dilakukan adalah pewarnaan immunohistokimia
(IHK) yang bertujuan mendeteksi keberadaan antigen sitokin TNF-α pada
sitoplasma sel hati maupun ginjal. Hasil rataan skoring dan pengamatan IHK
organ hati dan ginjal disajikan pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 3 Hasil rataan skoring pengamatan organ hati dan ginjal mencit C3H pada
kelompok kontrol (K1), pemberian capsaicin 2 minggu (K2), pemberian
capsaicin 4 minggu (K3)
No Organ Kelompok
K1 K2 K3
1 Hati 2.0 ± 1.1 2.5 ± 0.6 2.8 ± 0.5
2 Ginjal 1.8 ± 1.0 2.3 ± 1.0 2.8 ± 0.5
*Rataan skor 0<x≤0.5= tidak ada kerusakan; rataan skor 0.5<x≤1.5= ringan, terjadi kongesti dan
degenerasi (khusus organ hati); rataan skor 1.5<x≤2.5= sedang, ditandai oleh akumulasi sel
radang; rataan skor 2.5<x= berat, terjadi nekrosa
Tabel 4 Hasil pengamatan IHK organ hati dan ginjal mencit C3H pada kelompok
kontrol (K1), pemberian capsaicin 2 minggu (K2), pemberian capsaicin 4
minggu (K3)
No Organ Kelompok
K1 K2 K3
1 Hati Negatif (0/4) Positif ringan (2/4)
Positif sedang (1/4) Positif sedang (4/4)
2 Ginjal Positif ringan (1/4) Positif ringan (3/4)
Positif sedang (1/4)
Positif ringan (1/4)
Positif sedang (3/4)
Organ hati kelompok kontrol (K1) mengalami kerusakan sedang yang
ditunjukkan dengan lesio kongesti, degenerasi hidropis, dan nekrosa ringan. Pada
kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2), lesio yang teramati adalah
kongesti ringan sampai sedang, degenerasi hidropis ringan, degenerasi lemak
ringan, sel radang, dan nekrosa ringan. Organ hati pada kelompok pemberian
capsaicin 4 minggu (K3) mengalami kerusakan berat dengan lesio kongesti ringan,
degenerasi hidropis sedang, degenerasi lemak ringan, proliferasi sel radang, dan
nekrosa ringan.
Lesio kongesti ringan teramati pada semua kelompok perlakuan. Kongesti
merupakan suatu keadaan ketika darah berakumulasi atau tertimbun di dalam
pembuluh darah yang melebar. Lesio kongesti terbagi menjadi dua yaitu kongesti
aktif dan kongesti pasif. Kongesti dapat disebabkan oleh vasodilatasi. Menurut
Richardson dan Vasko (2002), capsaicin mampu menyebabkan vasodilatasi
melalui aktivitas transient receptor potential vanilloid I (TRPV I).
Degenerasi dapat bersifat fisiologis maupun patologis yang dapat dibedakan
dengan melihat kelainan inti sel. Jika tidak terdapat kelainan inti sel, degenerasi
tergolong fisiologis sedangkan jika terdapat kelainan inti sel, degenerasi tergolong
patologis. Degenerasi hidropis ringan teramati pada kelompok kontrol (K1) dan
kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2), sedangkan degenerasi hidropis
sedang teramati pada kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3). Menurut
9
Cheville (2006), degenerasi hidropis merupakan respon awal terhadap bahan-
bahan yang bersifat toksik dan merupakan kerusakan sel karena adanya toksin
yang masuk melalui membran sel sehingga mengakibatkan menurunnya produksi
ATP dan terganggunya pengaturan ion sodium-potasium.
Hati sering menjadi organ sasaran sebagian besar toksikan yang masuk ke
tubuh melalui sistem gastrointestinal terkait fungsinya sebagai organ detoksikasi.
Menurut Chada et al. (2008), pada organ hati terdapat mikrosom dan fraksi S9
yang memiliki kemampuan mendetoksifikasi capsaicin murni menjadi
metabolitnya. Perlu ditekankan pula bahwa yang berbahaya bukanlah capsaicin,
namun zat metabolitnya.
Degenerasi lemak teramati pada kelompok pemberian capsaicin 2 minggu
(K2) dan kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3). Degenerasi lemak
merupakan akumulasi lemak atau trigliserida dalam sitoplasma hepatosit.
Kehadiran lemak pada hepatosit tidak selalu mengindikasikan perubahan
patologis. Menurut Suhita et al. (2013), etiologi dari degenerasi lemak adalah
toksin, malnutrisi protein, diabetes melitus, obesitas dan anoksia.
Keberadaan sel radang limfosit, sel plasma, dan neutrofil teramati pada
kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2) dan kelompok pemberian capsaicin
4 minggu (K3). Sel radang secara normal dapat ditemukan di area vena hati
karena merupakan folikel limfoid sebagai pertahanan di daerah portal hati. Namun
dalam jumlah tertentu, banyaknya sel radang akan memberikan efek negatif
terhadap fungsi hati. Menurut Vegad dan Swamy (2010), adanya nekrosa dan
apoptosis sel hepatosit, serta hadirnya sel-sel radang seperti neutrofil, limfosit, dan
sel plasma yang mengindikasikan terjadinya hepatitis akut.
Nekrosa ringan teramati pada seluruh mencit kelompok pemberian capsaicin
4 minggu (K3) dan sebagian mencit kelompok kontrol (K1) dan pemberian
capsaicin 2 minggu (K2). Nekrosa atau kematian sel merupakan lanjutan dari
degenerasi, dapat pula terjadi akibat lanjutan dari kongesti. Kongesti yang
bertambah parah mengakibatkan penumpukan deoksihemoglobin. Statis darah
yang tidak mengandung oksigen dalam waktu lama mengakibatkan hipoksia berat
yang menyebabkan kematian sel (Mitchell 2006).
Pengamatan organ hati menghasilkan tingkat keparahan, dengan tingkat
keparahan tertinggi pada kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) yang
diikuti oleh kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2). Tingkat keparahan ini
sebanding dengan waktu pemberian capsaicin, sehingga dapat disimpulkan lama
pemberian capsaicin berbanding lurus dengan tingkat keparahan organ hati. Selain
itu, pemberian capsaicin selama empat minggu tidak aman untuk organ hati pasca
pemberian. Kelompok kontrol menunjukkan keparahan sedang akibat pengamatan
lesio dengan derajat yang berbeda dari masing-masing preparat diberi skor yang
sama. Gambaran lesio histopatologi organ hati ditunjukkan pada Gambar 3A.
Pada organ ginjal, rataan skor lesio histopatologi kelompok kontrol (K1)
dan kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2) menunjukkan tingkat
keparahan sedang, sedangkan kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3)
menunjukkan tingkat keparahan yang berat. Organ ginjal kelompok kontrol (K1)
ditandai dengan kongesti dan infiltrasi sel radang neutrofil dan limfosit di sekitar
glomerulus. Selain lesio tersebut, ditemukan beberapa kelainan inti pada tubulus
proksimal. Pada kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2), lesio yang
teramati adalah kongesti ringan sampai sedang, peradangan ringan, dan nekrosa
10
ringan. Kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) menunjukkan adanya
kongesti sedang, infiltrasi sel radang sedang dan nekrosa ringan. Lesio kongesti teramati pada semua kelompok perlakuan. Kongesti merupakan
pembendungan pada kapiler darah karena lambatnya aliran darah. Kongesti dapat
disebabkan oleh adanya agen infeksius atau kelemahan jantung kanan. Menurut
Reilly et al. (2003), inhalasi capsaicinoid dapat menyebabkan kongesti ringan dan
sedang pada bronkus dan alveolus paru.
Peradangan ringan ditunjukkan oleh semua kelompok perlakuan.
Peradangan pada ginjal akibat capsaicin sangat berkaitan dengan keterlibatan
saluran TRPV 1 di neuron akar dorsal yang menginervasi ginjal. Menurut
Richardson dan Vasko (2002), vaniloid termasuk capsaicin yang berikatan dengan
reseptor TRPV I mengakibatkan melepaskan berbagai neuropeptida proinflamasi
dari ujung saraf sensitif yang menyebabkan peradangan.
Nekrosa ringan terjadi pada sebagian kecil ginjal dari setiap kelompok
perlakuan. Nekrosa adalah tingkat kerusakan tubulus yang lebih tinggi setelah
terganggunya permeabilitas membran dengan adanya bengkak keruh kemudian
diikuti oleh lisis (Marusin et al. 2001). Nekrosa teramati pada epitel tubulus
proksimal karena tubulus bagian ini merupakan bagian yang paling mudah
mengalami perlukaan akibat iskemia dan zat toksik. Pada tubulus proksimal
terjadi proses absorbsi dan sekresi zat, sehingga kadar zat toksik lebih tinggi.
Selain itu, sebagian besar sitokrom P450 memacu timbulnya nefrotoksisitas di
ginjal berada di tubulus proksimal (Fang et al. 2008). Gambar 3B menujukkan
lesio histopatologi pada organ ginjal.
Pengamatan pada kelompok yang diberi capsaicin selama 4 minggu (K2)
menunjukkan tingkat keparahan yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol
(K1) maupun kelompok yang diberi capsaicin selama 2 minggu (K3). Secara
keseluruhan, kelompok capsaicin 4 minggu (K3) paling parah dibandingkan
kelompok capsaicin 2 minggu (K2) maupun kelompok kontrol (K1). Hal ini
diakibatkan capsaicin yang bersifat nefrotoksik (Uzoh et al. 2009). Oleh karena
itu, tingkat keamanan capsaicin terhadap organ ginjal rendah, sehingga perlu
dilakukan pengamatan lanjutan dengan pewarnaan imunohistokimia.
Gambar 3 Lesio histopatologi (A) organ hati K3 (pemberian capsaicin 4 minggu).
Adanya lesio kongesti (panah hitam), degenerasi lemak (panah hijau),
sel radang (kepala panah), nekrosa (asterik), dan anisositosis (panah
merah) (B) organ ginjal K3 (pemberian capsaicin 4 minggu). Terlihat
lesio kongesti (panah) dan nekrosa (asterik). Pewarnaan HE
perbesaran 400x
B A
11
Pengamatan Pewarnaan Imunohistokimia
Organ hati menunjukkan hasil imunoreaktif positif pada seluruh mencit
kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) dan 3 dari 4 mencit kelompok
pemberian capsaicin 2 minggu (K2). Hasil ini berbanding lurus dengan pewarnaan
HE pada kelompok pemberian capsaicin selama 2 dan 4 minggu (K2 dan K3)
yang mengalami nekrosa. TNF-α merupakan sitokin inflamasi yang paling
berperan pada proses inflamasi dan dipakai sebagai indikator untuk sel yang
mengalami stres oksidatif, apoptosis atau nekrosis. Kadar TNF-α yang
dikeluarkan oleh makrofag atau limfosit yang mengalami inflamasi akan
meningkat (Heimdall et al. 2000).
Organ ginjal menunjukkan hasil imunoreaktif positif pada keempat mencit
kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) dan 2 minggu (K2), dan 1 dari 4
mencit kelompok kontrol (K1). Hasil ini sesuai dengan hasil skor dengan tingkat
kerusakan berat pada pewarnaan HE. Konsetrasi TNF-α yang tinggi menyebabkan
kematian sel yang tinggi dan cepat (Schliemann et al. 2011) sedangkan dalam
konsentrasi rendah TNF-α berperan dalam upaya regenerasi sel (Langen dan
Schols 2007). Berdasarkan hal tersebut, terdapat kemungkinan regenerasi sel yang
mengalami kerusakan ringan akibat pemberian capsaicin. Timbulnya warna cokelat yang mengindikasikan hasil imunoreaktif positif
(Gambar 4) disebabkan dalam proses pewarnaan imunohistokimia (IHK) antigen
berupa sitokin TNF-α pada sitoplasma sel berikatan dengan antibodi primer (Rat Anti
TNF-α) selanjutnya dilabeli oleh antibodi sekunder. Setelah semua berikatan
dilakukan penambahan substrat Diaminobenzidine (DAB) yang bertujuan untuk
menghasilkan warna cokelat pada sitokin (TNF-α) (Wulandari et al. 2013).
Gambar 4 Hasil pewarnaan IHK yang bersifat imunoreaktif positif (panah)
terhadap antibodi anti TNF-α pada (A) hepatosit dan (B) sel tubulus
proksimal ginjal. Pewarnaan IHK metode LSAB perbesaran 400x
SIMPULAN
Pemberian capsaicin dosis 10 mg/kgBB selama 2 minggu menyebabkan
kerusakan sedang pada hati dan ginjal sedangkan dosis 10 mg/kgBB selama 4
minggu menyebabkan kerusakan berat pada hati dan ginjal mencit C3H. Hal ini
menunjukkan tingkat keamanan capsaicin yang rendah terhadap organ hati dan
ginjal pada pemberian 4 minggu.
12
DAFTAR PUSTAKA
Anandakumar P, Kamaraj S, Jagan S, Ramakrishnan G, Devaki T. 2009. Effect of
capsaicin on glucose metabolism studied in experimental lung
carcinogenesis. Nat Prod Res. 23(8):763-74.
Bode AM, Dong Z. 2011. The two faces of capsaicin. Cancer Res. 71(8):2809-
2814.doi:10.1158/0008-5472.
Chada S, Bashir M, Babbar S, Koganti A, Bley K. 2008. In vitro hepatic and skin
metabolism of capsaicin. Drug Metabo Dispos. 36(4):670-
5.doi:10.1124/dmd.107.019240.
Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-3. Blackwell
(US): Blackwell Publishing.
Chhabra N, Aseri ML, Goyal V, Sankhla S. 2012. Capsaicin : a promising
therapy-a critical reapraisal. Int J of Nutr, Pharmac, Neur dis. 2(1):8-15.
Dairam A, Fogel R, Daya S, and Limson JL . 2008. Antioxidant and iron-binding
properties of curcumin, capsaicin, and S-allylcysteine reduce oxidative
stress in rat brain homogenate. Journal of Agricultural and Food Chemistry.
56(9):3350-3356.
Fang C, Behr M, Xie F, Lu S, Doret M, Luo H, Yang W, Aldous K, Ding X, Gu J.
2008. Mechanism of chloroform-induced renal toxicity: non-involvement of
hepatic cytochrome P450-dependent metabolism. ToxicolAppl Pharmacol.
227(1):48-55.
Heimdall JH, Aarstad HJ, Olofsson J. 2000. Peripheral blood-lymphocyte and
monocyte function and survival in patients with head and neck carcinoma.
Laryngoscope. 110(3):402-407.
Ito K, Nakazato T, Yamato K, Miyakawa Y, Yamada T, Hozumi N. 2004.
Induction of apoptosis in leukemic cells by homovanillic acid derivative,
capsaicin, through oxidative stress: implication of phosphorylation of p53 at
Ser-15 residue by reactive oxygen species. Cancer Res. 64(3):1071-1078.
[Jaxmice] The Jackson Laboratory. 2014. C3H/HeJ Mice [internet]. [diunduh
pada: 2014 Jul 10]. Tersedia pada: http://jaxmice.jax.org/strain/000659.html
JAX 2014.
Jung MY, Kang HJ, Moon A. 2001. Capsaicin-induced apoptosis in SK-Hep-1
hepatocarcinoma cells involves Bcl-2 downregulation and capsase-3
activation. Cancer Lett. 165(2):139-145.
Kautsar A. 2009. Peran capsaicin pada proses penyembuhan ulkus lambung tikus
yang diberi paparan piroksikam [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas
Indonesia.
Kim CS, Park WH, Park JY, Kang JH, Kim MO, Kawada T. 2004. Capsaicin, a
spicy component of hot pepper, induces apoptosis by activation of the
peroxisome proliferator-activated receptor gamma in HT-29 human colon
cancer cells. J Med Food. 7(3):267-273.
Langen RCD, Schols AMWJ. 2007. Inflammation: friend or foe of muscle
remodelling in COPD?. ERS Journal. 30(4):605-607.doi:
10.1183/09031936.00098107.
13
Lin CH, Lu WC, Wang CW, Chan YC, Chen MK. 2013. Capsaicin induces cell
cycle arrest and apoptosis in human KB cancer cells. BMC Complementary
and Alternative Medicine. 13:1472-6882.doi:10.1186/1472-6882-13-46.
Lo YC, Yang YC, Wu IC, Kuo FC, Liu CM, Wang HW. 2005. Capsaicin-induced
cell death in a human gastric adenocarcinoma cell line. World J
Gastroenterol. 11(40):6254-6257.
Lumongga F. 2008. Struktur Liver [internet]. [diunduh pada: 2014 Sep 28].
Tersedia pada: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2052/3/
09E01467.pdf.txt.
Manjunatha H, Srinivasan K. 2007. Hypolipidemic and antioxidant effects of
dietary curcumin and capsaicin in induced hypercholesterolemic rats. Lipids.
42(12):1133-1142.
[Merck]. 2004. H&E staining [internet]. [diunduh pada: 2014 Jul 22]. Tersedia
pada: http://microscopy.merck.de.
Mitchell R. 2006. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Ed ke-7. New York (US):
Elsevier inc.
Mori A, Lehmann S, O’Kelly J, Kumagai T, Desmond JC, Pervan M. 2006.
Capsaicin, a component of red peppers, inhibits the growth of androgen
independent, p53 mutant prostate cancer cells. Cancer Res. 66(6):3222–
3229.
[Ohara Lab]. 2013. Protocol ML003 000 capsaicin [internet]. [diunduh pada: 2014
Mar 13]. Tersedia pada: http://oharalab.ucsf.edu/common/Techniques/
capcaicin.pdf.
Reilly CA, Taylor JL, Lanza DL, Carr BA, Crouch DJ, Yost GS. 2003.
Capsaicinoids Cause Inflammation and Epithelial Cell Death through
Activation of Vanilloid Receptors. Toxicol Sci. 73(1):170-
181.doi:10.1093/toxsci/kfg044.
Richardson JD1, Vasko MR. 2002. Cellular mechanisms of neurogenic
inflammation. J Pharmacol Exp Ther. 302(3):839-845.
Sa'anchez AM, Sa´nchez MG, Malagarie-Cazenave S, Olea N, Di´az-Laviada I.
2006. Induction of apoptosis in prostate tumor PC-3 cells and inhibition of
xenograft prostate tumor growth by the vanilloid capsaicin. Apoptosis.
11(1):89–99.
Sanatombik K, Sharma GJ. 2008. Capsaicin content and pungency of different
Capsicum spp. cultivars. India (IN): Manipur University.
Schliemann M, Bullinger E, Borchers S, Allgower F, Findeisen R, Scheurich P.
2011. Heterogeneity Reduces Sensitivity of Cell Death for TNF-Stimuli.
BMC Syst Biol. 5(1):204.
Slonane E. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta (ID): Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Sancho R, Lucena C, Macho A, Calzado MA, Blanco-Molina M, Minassi A,
Appendino G, Muñoz E. 2002. Immunosuppressive activity of
capsaicinoids: capsiate derived from sweet peppers inhibits NF-kappaB
activation and is a potent antiinflammatory compound in vivo. Eur J
Immunol. 32:1753–1763.
Srinivasan K, Sambaiah K, Chandrasekhara N. 2004. Spices as beneficial
hypolipidemic food adjuncts: a review. Food Reviews International. 20:187-
220.
14
Stewart C Jr1, Kang BC, Liu K, Mazourek M, Moore SL, Yoo EY, Kim BD. 2005.
The Pun1 gene for pungency in pepper encodes a putative acyltransferase.
Paran I, Jahn MM. Plant J. 42(5):675-88.
Suhita NLPR, Sudira IW, Winaya IBO. 2013. Histopatologi ginjal tikus putih
akibat pemberian ekstrak pegagan (Centella asiatica) peroral [skripsi].
Denpasar (ID): Universitas Udayana.
Taylor T. 2014. Liver [internet]. [diunduh pada: 2014 Sep 28]. Tersedia pada:
http://www.innerbody.com/image_digeov/card10-new2.html#fulldescription.
Vegad JL, Swamy M. 2010. Veterinary Systemic Pathology. Ed ke-2. India (IN):
ibdc publishers.
Wulandari SH, Aulanni’am, Oktavianie DA. 2013. Ekspresi tumor necrosis factor
(TNF-α) dan gambaran histopatologi ginjal pada tikus (Rattus norvegicus)
renal fibrosis pasca induksi streptokinase [skripsi]. Malang (ID): Universitas
Brawijaya.
15
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pangkajene, Kabupaten Sidenreng Rappang Sulawesi
Selatan pada 20 Maret 1992. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara
dari Bapak Drs. H. M. Idris Nur dan Ibu Nur Alam. Penulis menempuh
pendidikan menengahnya di SMP Negeri 1 Pangsid (2004-2007) dan SMA
Andalan Sulawesi Selatan Negeri 2 Tinggimoncong (2007-2010) hingga terdaftar
sebagai mahasiswa IPB melalui jalur SNMPTN 2010. Selama kuliah, penulis aktif
di UKM KSR PMI Unit 1 IPB (2010-2011), BEM FKH IPB (2012-2013), Himpro
Ruminansia (2012-2013), serta Omda IKAMI SULSELBAR (2013-2014). Selama
menjadi aktivis kampus, penulis pernah mengetuai beberapa program kerja
diantaranya Temu Pembina dan Korps 2011, Upgrading LK FKH IPB 2013, dan
Pelatihan Penulisan PKM FKH IPB PRAKTISI 2013. Penulis juga beberapa kali
mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa diantaranya berjudul “Potensi Gel
Ekstrak Biji Lengkeng (Dimocarpus longan) sebagai Penyembuh Luka Sayat
Penderita Diabetes Melitus dengan Model Mencit Hiperglikemia”, “Breast Cells
Guard: Inhibisi Angiogenesis dan Proliferasi Sel Kanker Payudara dengan Fraksi
Aktif Capsaicin”, “Kukang: Kartu Indikator Penilaian Kualitas Pangan Asal
Hewan Berbasis Pewarnaan Red Green Blue”, dan “The Quarantine Island: Pulau
Karantina sebagai Filter Ancaman Emerging Disease dan Zoonosis Asal Sapi
Impor Berbasis Konsep Animal Welfare”. Penulis pernah menjuarai kompetisi
Tournament of Veteriner 2012 di FKH Universitas Airlangga Surabaya. Penulis
juga sempat menjadi asisten praktikum pada empat mata kuliah diantaranya
Histologi I, Histologi II, Anatomi Veteriner I, dan Embriologi Dasar. Penulis juga
merupakan peseta short term invitation program Jenesys 2.0 Batch ke-22 di
Jepang pada September 2014.
Top Related