GAMBARAN SANITASI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT
BERDASARKAN PARAMETER FISIK DAN BIOLOGI (STUDI KASUS
PADA 2 RUMAH SAKIT TIPE A) DI PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN
2016
SKRIPSI
Oleh:
Ukhty Rahmah Sari Manap
NIM. 1112101000084
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
i
قطع عمله الا منا ثلثة منا سان انا نا اذا مات الا
له عوا صدقة وعلام ينتفع به وولد صالح يدا
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga
perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang
shaleh” (HR. Muslim)
iii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, 12 April 2017
ABSTRAK
Ukhty Rahmah Sari Manap, NIM : 1112101000084
Gambaran Sanitasi Lingkungan Rumah Sakit Berdasarkan Parameter Fisik
dan Biologi (Studi Kasus pada 2 Rumah Sakit Tipe A) di Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2016
xx + 132 halaman, 30 tabel, 2 bagan, 11 lampiran
ABSTRAK
Rumah sakit merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan yang
berfungsi sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan paripurna. Dengan demikian, maka
rumah sakit memiliki risiko yang tinggi untuk menjadi lokasi penularan penyakit. Adapun
untuk mengurangi angka kejadian infeksi di rumah sakit maka dibutuhkan surveilans aktif
terkait faktor risiko terjadinya infeksi, dimana salah satunya adalah faktor lingkungan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran sanitasi lingkungan,
khususnya parameter fisik dan biologi pada rumah sakit tipe A di Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2016. Penelitian ini merupakan survei dengan desain studi cross sectional yang
dilakukan pada bulan Agustus – September 2016. Data yang digunakan adalah data
sekunder berupa hasil pengukuran kualitas lingkungan meliputi suhu, kelembaban,
pencahayaan, kadar debu PM10, dan angka kuman dalam udara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah sakit yang menjadi partisipan masih
memiliki skor pemenuhan sanitasi lingkungan rumah sakit < 75% berdasarkan
Kepmenkes Nomor 1204/2004. Variabel yang tidak memenuhi syarat adalah suhu,
kelembaban, tingkat pencahayaan, kadar debu, dan angka kuman dalam udara ruangan.
Berdasarkan hasil tersebut, maka rumah sakit pun disarankan untuk melakukan
sosialisasi ulang mengenai prosedur kerja, dan pentingnya pelaksanaan surveilans aktif
terkait faktor risiko lingkungan.
Daftar Bacaan : 92 (1978 – 2016)
Kata Kunci : Infeksi, Rumah Sakit, Lingkungan
iv
STATE ISLAMIC UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
ENVIRONMENTAL HEALTH DEPARTMENT
Undergraduate Thesis, April 12th
2017
Ukhty Rahmah Sari Manap, NIM : 1112101000084
Overview of The Hospital Environmental Sanitation Based on Physical and
Biological Parameters (Case Study in 2 Type A Hospitals) at DKI Jakarta
Province 2016
xx + 131 pages, 30 tables, 2 charts, 11 appendix
ABSTRACT
Hospital is one of personal health care facility that serves as comprehensive
healthcare provider. Thus, the hospital has a high risk to become the location of disease
transmission. As for reducing the incidence of infection in hospitals, there need to be an
active surveillance relating to the risk factors of nosocomial infection, which one of them
is the environment.
The aimed of this research is to study the hospital environmental sanitation,
especially based on physical and biological parameters in Type A Hospitals at DKI
Jakarta Province 2016. This study used a descriptive survey approach, with cross-
sectional study design conducted in August – September 2016. The results of
environmental quality measurement were used as the secondary data.
The results showed that the participating hospital still have the total score below
75% with the environmental health requirements as regulated in Kepmenkes No.
1204/2004 requirements. The variables that were not complied include temperature,
humidity, light levels, dust levels, and microbe rate in indoor air.
Therefore, the hospital is suggested to re-socialize the working procedures, and
urgency about doing an active surveillance related to environmental risk factors.
Bibliography : 92 (1978 - 2016)
Keywords : Infection, Hospitals, Environment
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ukhty Rahmah Sari Manap
Tempat/Tanggal Lahir : Bogor, 5 Juni 1994
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jalan Lebak Para No. 50 RT 008/02 Cijantung,
Pasar Rebo, 13770 Jakarta Timur
Telepon : (+62) 838 – 9656 – 0073
E - mail : [email protected]
viii
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga skripsi
ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul “Gambaran Sanitasi Lingkungan
Rumah Sakit Berdasarkan Parameter Fisik dan Biologi (Studi Kasus pada 2
Rumah Sakit Tipe A) di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016” ditujukan untuk
menjelaskan secara ilmiah variasi sanitasi lingkungan di beberapa rumah sakit
sehingga kedepannya diharapkan dapat dilakukan tindakan perbaikan yang tepat.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku Kepala Program Studi
Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D; Ibu Minsarnawati Tahangnacca, SKM,
M.Kes; dan Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan saran, arahan, dan
pengembangan pemikiran kepada peneliti.
4. Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan PP Jakarta yang telah memenuhi
permintaan data sanitasi lingkungan di rumah sakit sebagai bahan
penelitian.
5. Bapak, Ibu, Mas Agung, Mbak Sukma, Mas Lana, Mbak Tika, dan Mas
Dewa yang senantiasa memberikan dukungan moral ataupun materi, serta
penuh pemakluman terhadap segala hal.
6. Teman teman seperjuangan KEDUBES EURO, khususnya ENVIHSA 4
UIN Jakarta yang selalu siap membantu kapanpun dan dimanapun.
7. Cah „Kosan Apartemen Hijau‟ Tantri, Hanif, Anis, Ida, Ria, Ocha, Yuli,
Septi, Indah, Vinny, Irpan, dan Firman yang setiap hari telah memberikan
suntikan semangat, hiburan, dan keoptimisan.
ix
8. Cah „Nggosip dan Ngopi‟ Septia Putri Arofi dan Sofiyulloh yang melalui
pemikiran kritisnya menjadi salah satu hiburan dan selingan yang (semoga)
berfaedah
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini,
dimana tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak untuk menyempurnakan penelitian ini. Saya berharap, semoga penelitian ini
dapat bermanfaat bagi pihak yang membacanya.
Jakarta, 2017
Peneliti
x
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii
ABSTRAK ............................................................................................................ iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ....................................................................... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvii
DAFTAR ISTILAH ......................................................................................... xviii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 6
1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................................... 7
1.4 Tujuan ....................................................................................................... 7
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................... 7
1.4.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 7
1.5 Manfaat ..................................................................................................... 8
1.5.1 Rumah Sakit Terkait ......................................................................... 8
1.5.2 Peneliti Selanjutnya ........................................................................... 8
xi
1.6 Ruang Lingkup ......................................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 10
2.1 Rumah Sakit ........................................................................................... 10
2.1.1 Pengertian ........................................................................................ 10
2.1.2 Jenis Rumah Sakit ........................................................................... 11
2.2 Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit ..................................................... 15
2.2.1 Ruang Bangunan Rumah Sakit ....................................................... 16
2.2.2 Konstruksi Bangunan Rumah Sakit ................................................ 17
2.2.3 Ruang bangunan .............................................................................. 19
2.2.4 Kadar Gas dan Debu dalam Udara .................................................. 23
2.2.5 Angka Kuman pada Udara .............................................................. 24
2.2.6 Pencahayaan .................................................................................... 25
2.2.7 Fasilitas Sanitasi .............................................................................. 27
2.2.8 Penyehatan Lantai dan Dinding ...................................................... 29
2.2.9 Rasio Tempat Tidur......................................................................... 30
2.2.10 Kebisingan ...................................................................................... 30
2.2.11 Suhu dan Kelembaban..................................................................... 31
2.3 Dampak Kesehatan ................................................................................. 35
2.3.1 Definisi Infeksi Nosokomial ........................................................... 35
2.3.2 Sumber Infeksi Nosokomial ............................................................ 36
2.3.3 Media Penularan Mikroorganisme .................................................. 37
xii
2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Proses Infeksi Nosokomial ................ 37
2.3.5 Jenis Penyakit yang Disebabkan oleh Infeksi Nosokomial ............ 39
2.3.6 Pencegahan dan Pengendalian ........................................................ 43
2.4 Kerangka Teori ....................................................................................... 44
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ............ 47
3.1 Kerangka Konsep ................................................................................... 47
3.2 Definisi Operasional ............................................................................... 49
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 52
4.1 Desain Penelitian .................................................................................... 52
4.2 Tempat dan Waktu penelitian ................................................................. 52
4.3 Populasi dan Sampel .............................................................................. 53
4.4 Sumber Data ........................................................................................... 55
4.5 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 55
4.6 Manajemen Data ..................................................................................... 63
4.7 Analisis Data .......................................................................................... 64
BAB V HASIL ..................................................................................................... 66
5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Rujukan Nasional Penyakit Respirasi
(RS A) ............................................................................................................... 66
5.1.1 Visi, Misi, dan Nilai ........................................................................ 66
5.1.2 Kegiatan Pelayanan Medik ............................................................. 66
5.1.3 Kegiatan Penunjang Medik ............................................................. 67
xiii
5.1.4 Kegiatan Penunjang Non Medik ..................................................... 69
5.2 Sanitasi Lingkungan di Rumah Sakit A ................................................. 69
5.2.1 Suhu ................................................................................................ 71
5.2.2 Kelembaban..................................................................................... 71
5.2.3 Pencahayaan .................................................................................... 72
5.2.4 Kadar Debu ..................................................................................... 73
5.2.5 Angka Kuman dalam Udara ............................................................ 74
5.3 Gambaran Umum Rumah Sakit Rujukan Nasional Penyakit Infeksi (RS
B) 75
5.3.1 Visi, Misi, dan Nilai ........................................................................ 75
5.3.2 Kegiatan Pelayanan Medik ............................................................. 76
5.3.3 Kegiatan Penunjang Medik ............................................................. 77
5.3.4 Kegiatan Penunjang Non Medik ..................................................... 78
5.4 Sanitasi Lingkungan di Rumah Sakit B.................................................. 79
5.4.1 Suhu ................................................................................................ 80
5.4.2 Kelembaban..................................................................................... 81
5.4.3 Pencahayaan .................................................................................... 81
5.4.4 Kadar Debu ..................................................................................... 82
5.4.5 Angka Kuman dalam Udara ............................................................ 83
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................... 85
6.1 Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 85
xiv
6.2 Sanitasi Lingkungan ............................................................................... 86
6.2.1 Suhu ................................................................................................ 89
6.2.2 Kelembaban..................................................................................... 93
6.2.3 Pencahayaan .................................................................................... 97
6.2.4 Kadar Debu ..................................................................................... 99
6.2.5 Angka Kuman dalam Udara .......................................................... 102
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 107
7.1 Simpulan ............................................................................................... 107
7.2 Saran ..................................................................................................... 108
7.2.1 Rumah Sakit Terkait ..................................................................... 108
7.2.2 Peneliti Selanjutnya ....................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 110
LAMPIRAN ....................................................................................................... 122
xv
DAFTAR TABEL
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Rekapitulasi Rumah Sakit Berdasarkan Kepemilikan dan Jenis
Pelayanan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 ................................................... 12
Tabel 2.2 Rekapitulasi Rumah Sakit Berdasarkan Kelas di Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2015 ........................................................................................................... 15
Tabel 2.3 Indeks Kadar Gas dan Bahan Berbahaya dalam Udara Ruang Rumah
Sakit ...................................................................................................................... 24
Tabel 2.4 Indeks Angka Kuman Berdasarkan Fungsi Ruang atau Unit Rumah
Sakit ...................................................................................................................... 24
Tabel 2.5 Indeks Pencahayaan Berdasarkan Fungsi Ruang atau Unit di Rumah
Sakit ...................................................................................................................... 25
Tabel 2.6 Indeks Perbandingan Jumlah Tempat Tidur, Toilet, dan Kamar Mandi
............................................................................................................................... 27
Tabel 2.7 Indeks Perbandingan Jumlah Karyawan, Toilet, dan Kamar Mandi .... 27
Tabel 2.8 Indeks Kebisingan Berdasarkan Fungsi Ruang atau Unit Rumah Sakit
............................................................................................................................... 30
Tabel 2.9 Standar Suhu, Kelembaban, dan Tekanan Udara Berdasarkan Fungsi
Ruang atau Unit Rumah Sakit ............................................................................... 32
Tabel 2.10 Kejadian Pneumonia Nosokomial Berdasarkan Faktor Risiko
Kesehatan Lingkungan .......................................................................................... 40
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian ............................................................ 49
Tabel 4.1 Rencana Kegiatan Penelitian ................................................................ 52
Tabel 5.1 Distribusi Jumlah Tempat Tidur di RS A per Semester I Tahun 2016 67
Tabel 5.2 Distribusi Tenaga Medik di RS A per Semester I Tahun 2016 ............ 68
xvi
Tabel 5.3 Distribusi Tenaga Non Medik di RS A per Semester I Tahun 2016 .... 69
Tabel 5.4 Penilaian Inspeksi Sanitasi Rumah Sakit Berdasarkan Kepmenkes
Nomor 1204/2004 di RS A Tahun 2016 ............................................................... 70
Tabel 5.5 Distribusi Pengukuran Suhu pada RS A .............................................. 71
Tabel 5.6 Distribusi Pengukuran Kelembaban pada RS A................................... 72
Tabel 5.7 Distribusi Pengukuran Pencahayaan pada RS A .................................. 72
Tabel 5.8 Distribusi Pengukuran Kadar Debu pada RS A ................................... 73
Tabel 5.9 Distribusi Angka Kuman dalam Udara pada RS A .............................. 74
Tabel 5.10 Distribusi Jumlah Tempat Tidur di RS B per Semester I Tahun 201676
Tabel 5.11 Distribusi Tenaga Medik di RS B per Semester I Tahun 2016 .......... 77
Tabel 5.12 Distribusi Tenaga Non Medik di RS B per Semester I Tahun 2016 .. 78
Tabel 5.13 Penilaian Inspeksi Sanitasi Rumah Sakit Berdasarkan Kepmenkes
Nomor 1204/2004 di RS B Tahun 2016 ............................................................... 79
Tabel 5.14 Distribusi Pengukuran Suhu pada RS B ............................................. 80
Tabel 5.15 Distribusi Pengukuran Kelembaban pada RS B ................................. 81
Tabel 5.16 Distribusi Pengukuran Pencahayaan pada RS B ................................ 82
Tabel 5.17 Distribusi Pengukuran Kadar Debu pada RS B.................................. 83
Tabel 5.18 Distribusi Angka Kuman dalam Udara pada RS B ............................ 83
xvii
DAFTAR GAMBAR
Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian ................................................................... 46
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ............................................................... 48
DAFTAR GAMBAR
xviii
DAFTAR ISTILAH
DAFTAR ISTILAH
AC : Air Conditining
AHU : Air Handling Unit
ALOS : Average Lenght of Stay
BBTKL PP : Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Jakarta dan
Pengendalian Penyakit
BLU : Badan Layanan Umum
BOR : Bed Occupancy Rate
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
CDC : The Centers for Disease Controll
CO : Carbondioxide
CO2 : Carbondioxide
CSSD : Central Sterile Supply Department
dB : Desibel
DBD : Demam Berdarah Dengue
Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
DKI Jakarta : Daerah Khusus Ibukota Jakatra
EPAM : Environmental Particulate Monitor
FK : Fakultas Kedokteran
HAIS : Healthcare Associated Infections
HCHO : Formaldehida (formalin)
HCU : High Care Unit
HVAC : Heating, Ventilating, and Air Conditioning
ICCU : Intensive Cardiologi Care Unit
xix
ICU : Intensive Care Unit
IHEEM : Institute Of Healthcare Engineering & Estate Management
ILO : Infeksi Luka Operasi
ISK : Infeksi Saluran Kemih
ISO : International Standard Oganization
Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan
Kesling : Kesehatan Lingkungan
KMK : Keputusan Menteri Kesehatan
MDR : Multidrug Resistance
NICU : Neonatal Intensive Care Unit
NIOSH : National Institute for Occupational Safety and Health
NNISS : National Nosocomial Infections Surveillance System
NO2 : Nitrogen dioxide
Pb : Plumbum (Timbal)
PICU : Pediatric Intensive Care Unit
PM10 : Particulate Matter 10 mikron
POLRI : Polisi Republik Indonesia
RICU : Research, Information, and Communications Unit
Rn : Radon
RS : Rumah Sakit
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
SFRKL : Surveilans Faktor Risiko Kesehatan Lingkungan
SO2 : Sulfur dioxide
xx
SOP : Standard Operational Procedure
TNI : Tentara Nasional Indonesia
TVOC : Total Volatile Organic Compounds
UGD : Unit Gawat Darurat
UPT : Unit Pelayanan Teknis
WHO : World Health Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
1 BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sesuai amanat Undang – undang Dasar 1945 pasal 28H, disebutkan bahwa
setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan, yang kemudian semakin
ditegaskan dalam pasal 34 ayat (3) bahwa negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak. Salah satu bentuk fasilitas
pelayanan kesehatan tersebut adalah rumah sakit.
Rumah sakit merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan
yang merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat dibutuhan dalam
mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan yang komprehensif. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 147 Tahun 2010 menyebutkan bahwa rumah sakit
adalah sebuah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan, serta gawat darurat. Dengan fungsi rumah sakit yang sedemikian
kompleks, maka rumah sakit menjadi tempat yang sangat ideal untuk menularkan
penyakit. Penularan penyakit tersebut disebabkan karena adanya kontak terus
menerus antara orang sehat, orang sakit, serta alat – alat kesehatan. Penularan
penyakit yang didapat dari rumah sakit disebut dengan infeksi nosokomial.
Saat ini kejadian infeksi nosokomial menjadi salah satu tolak ukur mutu
pelayanan sebuah rumah sakit. Tingginya angka kejadian infeksi nosokomial akan
menjadi bukti buruknya pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit (WHO, 2002).
Diketahui bahwa infeksi nosokomial merupakan salah satu penyakit yang paling
2
banyak menyebabkan kematian, dan meningkatkan angka kesakitan pada pasien
sehingga menyebabkan adanya peningkatan fenomena double burden baik pada
pasien maupun kesehatan masyarakat (WHO, 2002). Sebuah survei oleh WHO
menyatakan bahwa sekitar 8,7% pasien yang dirawat di 55 rumah sakit pada 14
negara asal Timur Tengah, Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Eropa dinyatakan
memiliki infeksi nosokomial (WHO, 2002). Sementara itu dalam laporan National
Nosocomial Infections Surveillance System (2002) dilaporkan terdapat 5 – 6 kasus
infeksi nosokomial per 100 kunjungan ke rumah sakit.
Selain itu sangat dimungkinkan bahwa jumlah kejadian yang saat ini tercatat
masih kurang mewakili keadaan yang sebenarnya (WHO, 2008). Hal tersebut
disebabkan karena masih rendahnya pelaksanaan surveilans aktif oleh rumah
sakit. Kegiatan surveilans aktif merupakan salah satu langkah yang sangat
esensial untuk mengurangi angka kejadian infeksi nosokomial. Adapun yang
termasuk salah satu tujuan yang ingin dicapai dari dilaksanakannya surveilans
aktif terkait infeksi nosokomial adalah teridentifikasinya faktor – faktor risiko
yang dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi di rumah sakit dimana
lingkungan termasuk didalamnya (WHO, 2002).
Kondisi lingkungan rumah sakit menjadi salah satu penyebab terjadinya
infeksi di rumah sakit (WHO, 2002). Hal tersebut juga disebutkan oleh Caldeira et
al. (2015) bahwa suhu dan kelembaban memiliki hubungan dengan peningkatan
jumlah jamur dan bakteri gram negatif pada kasus bakteremia nosokomial,
dimana semakin tinggi suhu dan kelembaban akan meningkatkan jumlah koloni.
Pernyataan tersebut juga turut didukung oleh Chen et al. (2013) melalui studinya
di China. Hal tersebut dikarenakan suhu dan kelembaban menjadi faktor penting
3
yang mempengaruhi proses perkembangbiakkan patogen. Kemudian studi lainnya
oleh Dancer (2014) menyebutkan bahwa ada hubungan yang berarti antara jumlah
infeksi luka operasi nosokomial dengan buruknya kondisi sanitasi selama 2 bulan
proses perawatan yang dibuktikan dengan adanya jumlah total koloni yang
melebihi standar serta ditemukannya bakteri Staphylococcus au.
Dari contoh penelitian yang telah disebutkan, maka diketahui bahwa
lingkungan menjadi salah satu faktor risiko yang cukup mempengaruhi kejadian
infeksi. Menurut Departemen Kesehatan RI (1995), infeksi yang terjadi di rumah
sakit disebabkan oleh buruknya kualitas lingkungan pada rumah sakit sebesar 10 –
20%. Pernyataan tersebut kemudian didukung oleh studi yang dilakukan Suwarni
(2001) bahwa ada hubungan yang bermakna antara angka kuman di lantai ruang
perawatan dengan infeksi nosokomial. Selain itu, penelitian oleh Vinisia (2010)
juga turut menyebutkan bahwa ada pengaruh yang cukup tinggi antara bakteri
udara terhadap kejadian infeksi nosokomial di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo.
Kemudian menurut Nugraheni et al. (2012) dalam studinya di RSUD Setjonegoro
diketahui masih banyaknya parameter lingkungan yang tidak memenuhi syarat di
ruang bedah seperti angka kuman pada lantai, angka kuman pada AC, angka
kuman pada dinding, angka kuman pada linen selimut, dan angka kuman pada
udara ruang sehingga sangat memungkinkan terjadinya infeksi silang.
Berdasarkan data BBTKL PP Jakarta (2015), maka diketahui bahwa
beberapa rumah sakit kelas A di Provinsi Jawa Barat, seperti RS Paru Dr. H. A.
Rotinsulu, RSUP Dr. Hasan Sadikin, dan Pusat Mata Nasional RS Mata Cicendo
adalah tidak memenuhi persyaratan lingkungan sesuai dengan aturan Permenkes
Nomor 1204/2004. Adapun parameter lingkungan yang tidak memenuhi syarat
4
meliputi parameter suhu, kelembaban, dan angka kuman dalam udara yang diukur
di ruang bersalin, ruang bedah, serta ruang perawatan.
Jumlah rumah sakit per provinsi di Indonesia, maka Provinsi Jawa Timur
menempati urutan pertama, dan diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta. Akan tetapi
jika rumah sakit diklasifikasikan berdasarkan tipenya, maka Provinsi DKI Jakarta
menjadi satu – satunya provinsi dengan jumlah rumah sakit tipe A terbanyak di
Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2015). Rumah sakit dikategorikan ke dalam
tipe A berdasarkan kompleksitas fasilitas dan kemampuan pelayanan medis yang
dimiliki oleh rumah sakit tersebut. Dengan demikian, maka rumah sakit yang
termasuk dalam kategori tipe A memiliki risiko yang lebih besar untuk menjadi
tempat penularan penyakit. Hal ini kemudian didukung oleh Merlin (2012) yang
menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah ruangan rawat inap di Rumah
Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang tidak
memenuhi syarat Kepmenkes 1204/2004 berdasarkan data angka kuman di udara
sebesar 26 % dari tahun 2010 – 2011. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh
Rahyono (1997) bahwa terdapat ruang perawatan intensif di Ruamh Sakit Pusat
Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto yang tidak memenuhi persyaratan
berdasarkan jumlah angka kuman di udara. Oleh sebab itu, maka dibutuhkan
perhatian khusus kepada rumah sakit tipe A di Provinsi DKI Jakarta terkait upaya
manajemen sanitasi lingkungan guna mencegah penularan penyakit dari faktor
risiko lingkungan.
Menurut Nasution (2011), manajemen sanitasi lingkungan merupakan
tindakan pengelolaan lingkungan baik pada parameter fisik, kimia, dan biologi di
rumah sakit. Penyelenggaraan manajemen sanitasi lingkungan rumah sakit
5
bertujuan untuk menciptakan kondisi lingkungan rumah sakit yang aman dan
nyaman sehingga mampu mencegah terjadinya penularan penyakit di rumah sakit.
Dengan demikian, maka penerapan manajemen sanitasi lingkungan di rumah sakit
merupakan kunci awal untuk tindakan pencegahan penyakit.
Rumah sakit A dan rumah sakit B merupakan salah satu rumah sakit tipe A
yang terletak di Provinsi DKI Jakarta. RS A merupakan rumah sakit rujukan
dengan bidang pengembangan respirasi yang disertai dengan pencapaian
akreditasi internasional untuk penanganan kasus Tuberkulosis. Sedangkan RS B
adalah rumah sakit rujukan nasional yang khusus melayani penyakit infeksi dan
menular lainnya. Pencapaian yang telah didapat oleh kedua rumah sakit tentu saja
harus disertai dengan peningkatan upaya manajemen sanitasi lingkungan sehingga
mampu menekan angka infeksi di rumah sakit berdasarkan faktor risiko
lingkungan.
Penelitian terkait faktor risiko lingkungan di rumah sakit Indonesia masih
sangatlah minim dilakukan. Studi ini hanya dilakukan di beberapa rumah sakit,
dan tidak melibatkan seluruh unit pelayanan medis di rumah sakit tersebut. Oleh
sebab itu, peneliti merasa bahwa penelitian dengan topik serupa perlu diperbanyak
mengingat urgensi yang dibutuhkan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, kemudian peneliti ingin mengetahui
mengenai gambaran sanitasi lingkungan berdasarkan parameter fisik dan biologi
pada rumah sakit tipe A di Provinsi DKI Jakarta tahun 2016.
6
1.2 Rumusan Masalah
Rumah sakit merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif. Sementara itu, rumah
sakit yang termasuk dalam tipe A akan memiliki komplesitas pelayananan yang
tinggi akibat dari jenis pelayanan yang dilakukan. Dengan demikian, maka rumah
sakit tipe A akan menjadi tempat yang ideal untuk menularkan penyakit. Adapun
proses penularan penyakit di rumah sakit turut dipengaruhi oleh sanitasi
lingkungan sebesar 10 – 20% (Departemen Kesehatan RI, 1995).
Berdasarkan data BBTKL PP Jakarta (2015), maka diketahui bahwa
beberapa rumah sakit kelas A di Provinsi Jawa Barat, seperti RS Paru Dr. H. A.
Rotinsulu, RSUP Dr. Hasan Sadikin, dan Pusat Mata Nasional RS Mata Cicendo
adalah tidak memenuhi persyaratan lingkungan sesuai dengan aturan Permenkes
Nomor 1204/2004. Adapun parameter lingkungan yang tidak memenuhi syarat
meliputi parameter suhu, kelembaban, dan angka kuman dalam udara yang diukur
di ruang bersalin, ruang bedah, serta ruang perawatan.
Provinsi DKI Jakarta menjadi satu – satunya provinsi dengan jumlah rumah
sakit tipe A terbanyak di Indonesia, dimana salah satunya adalah RS A dan RS B.
RS A merupakan rumah sakit dengan pencapaian akreditasi internasional untuk
penanganan kasus Tuberkulosis. Sedangkan RS B adalah rumah sakit rujukan
nasional yang khusus melayani penyakit infeksi dan menular lainnya. Dengan
memperhatikan fungsi kedua rumah sakit, maka rumah sakit tersebut memiliki
risiko menularkan penyakit dari aspek lingkungan sehingga dibutuhkan perhatian
khusus terkait upaya pencegahan infeksi dari faktor risiko lingkungan.
7
Selain itu, diketahui masih sedikit penelitian yang meneliti mengenai faktor
sanitasi lingkungan dalam rangka pencegahan dan pengendalian penyakit di
rumah sakit. Dengan melihat kondisi tersebut, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai gambaran sanitasi lingkungan berdasarkan
parameter fisik dan biologi di rumah sakit tipe A di Provinsi DKI Jakarta Tahun
2016.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran sanitasi lingkungan rumah sakit berdasarkan
parameter fisik dan biologi pada RS A dan RS B tahun 2016?
2. Bagaimana gambaran suhu pada RS A dan RS B tahun 2016?
3. Bagaimana gambaran kelembaban pada RS A dan RS B tahun 2016?
4. Bagaimana gambaran pencahayaan pada RS A dan RS B tahun 2016?
5. Bagaimana gambaran debu PM10 pada RS A dan RS B tahun 2016?
6. Bagaimana gambaran angka kuman dalam udara pada RS A dan RS B
tahun 2016?
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran sanitasi lingkungan rumah sakit berdasarkan
parameter fisik dan biologi pada RS A dan RS B tahun 2016.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran sanitasi lingkungan rumah sakit berdasarkan
parameter fisik dan biologi pada RS A dan RS B Tahun 2016
8
2. Diketahuinya gambaran suhu pada RS A dan RS B tahun 2016
3. Diketahuinya gambaran kelembaban pada RS A dan RS B tahun 2016
4. Diketahuinya gambaran pencahayaan pada RS A dan RS B tahun 2016
5. Diketahuinya gambaran debu PM10 pada RS A dan RS B tahun 2016
6. Diketahuinya gambaran angka kuman dalam udara pada RS A dan RS B
tahun 2016
1.5 Manfaat
1.5.1 Rumah Sakit Terkait
Hasil penelitian ini kemudian dapat digunakan sebagai bahan evaluasi
program pemenuhan persyaratan kesehatan lingkungan di rumah sakit terkait
sehingga akan lebih mampu menekan risiko penularan penyakit di rumah sakit.
1.5.2 Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi studi kesehatan
lingkungan khususnya penelitian dengan tema gambaran sanitasi lingkungan
bangunan di rumah sakit, dan penyakit menular yang kemudian dapat
memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu kesehatan.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini merupakan salah satu studi mengenai gambaran sanitasi
lingkungan pada rumah sakit tipe A di Provinsi DKI Jakarta. Adapun sanitasi
lingkungan yang diteliti meliputi agen fisik (pencahayaan, suhu, kelembaban,
debu), dan biologi yang terdapat dalam ruang operasi rumah sakit. Studi ini
merupakan survei dengan desain studi cross sectional deskriptif.
9
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus – September 2016.
Kemudian berdasarkan sumber data yang digunakan, maka penelitian ini
menggunakan data sekunder. Lalu, cara pengumpulan data yang dilakukan adalah
dengan melakukan pengukuran kualitas lingkungan.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumah Sakit
2.1.1 Pengertian
Menurut American Health Association (1974) yang dimaksud dengan
rumah sakit adalah sebuah organisasi tenaga medis profesional yang terorganisir
serta sarana kedokteran yang permanen dalam menyelenggarakan pelayan
kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis, serta
pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien. Sementara itu menurut Wolper
dan Pena (1987) rumah sakit merupakan sebuah tempat dimana orang sakit
mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta gempat dimana pendidikan
klinik bagi mahasiswa bidang kesehatan.
Selanjutnya World Health Organization – WHO (2002) menjabarkan bahwa
rumah sakit adalah organisasi medis dan sosial yang memiliki fungsi untuk
menyediakan pelayanan kesehatan baik kuratif dan preventif bagi masyarakat
serta keluarganya. Hal serupa juga turut disebutkan dalam UU RI Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat. Pelayanan paripurna ini meliputi pelayanan kesehatan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif. Sedangkan menurut Adisasmito (2007) bahwa rumah
sakit adalah sebuah tempat yang terorganisasi serta memiliki fungsi untuk
11
memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien, baik yang bersifat dasar, spesialis,
maupun subspesialistik.
2.1.2 Jenis Rumah Sakit
Dalam menjalankan fungsinya untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
paripurna, maka penyelenggaraan pelayanan di rumah sakit pun turut melibatkan
berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta. Berdasarkan pengelolaanya,
maka sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit dibagi menjadi 2 (dua) yakni rumah sakit publik dan privat.
Yang dimaksud dengan rumah sakit publik adalah rumah sakit yang dikelola oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, ataupun badan hukum yang bersifat nirlaba.
Sementara itu rumah sakit privat adalah rumah sakit yang dikelola oleh badan
hukum dengan tujuan profit dalam bentuk perseroan terbatas ataupun persero.
Menurut Herlambang (2016) bahwa berdasarkan kepemilikannya, maka
terdapat beberapa jenis rumah sakit, yakni:
a. Rumah Sakit Milik Pemerintah, dimana rumah sakit tersebut didirikan
dan diselenggarakan oleh pemerintah yang merupakan Unit Pelaksanan
teknis (UPT) dari instansi Pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya
di bidang kesehatan, ataupun instansi pemerintah lainnya seperti
Kepolisian, Tentara Nasional Indonesia, kementerian atau lembaga
pemerintah non kementerian. Adapun pengelolaanya maka terbagi
menjadi 3 yaitu (1) Rumah Sakit Pemerintah Bukan Badan Layanan
Umum (BLU), (2) Rumah Sakit Pemerintah dengan Badan Layanan
Umum (BLU), dan (3) Rumah Sakit Milik Badan Usaha Milik Negara
(BUMN).
12
a. Rumah Sakit Milik Swasta, dimana rumah sakit tersebut harus
berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di
bidang perumahsakitan. Adapun pengelolaannya maka diklasifikasikan
kembali menjadi 2 yaitu (1) Rumah Sakit Milik Perseroan Terbatas, dan
(2) Rumah Sakit Milik Yayasan.
Adapun rekapitulasi jumlah rumah sakit beserta kepemilikan, serta jenis
pelayanan terdapat dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.1 Rekapitulasi Rumah Sakit Berdasarkan Kepemilikan dan Jenis
Pelayanan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
Kategori Kepemilikan RS Umum RS Khusus Total
RS Publik
Pemerintah 39 12 51
a. Kementerian Kesehatan 2 7 10
b. Pemerintah Provinsi 19 1 20
c. Pemerintah Kabupaten 0 0 0
d. Pemerintah Kota 5 1 6
e. Kementerian Lain 3 0 3
f. TNI 7 3 10
g. POLRI 2 0 2
Swasta Non Provit 31 22 53
RS Privat Swasta 46 27 73
BUMN 4 1 5
Total 120 62 182
Sumber: Sistem Informasi Rumah Sakit Online
Kemudian, berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit
maka Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit mengelompokkkannya menjadi 2, yakni rumah sakit umum dan
rumah sakit khusus. Adapun dalam penyelenggaraannya maka masing – masing
13
jenis rumah sakit pun dikelola secara berjenjang. Klasifikasi jenjang ini juga telah
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 56 Tahun 2014 tentang
Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit yang menyebutkan bahwa klasifikasi
tersebut didapat berdasarkan fasilitas, serta kemampuan pelayanan dari rumah
sakit tersebut. Kemudian yang dimaksud dengan fasilitas adalah segala hal yang
terkait sumber daya manusia, sarana, prasarana maupun alat (alat medis dan non
medis) yang dibutuhkan oleh rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada
pasien.
a. Rumah sakit umum, adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Adapun klasifikasi dari
rumah sakit umum yaitu:
1. Rumah sakit umum kelas A, yaitu rumah sakit umum yang
memiliki fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit
4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12
(dua belas) spesialis lain, dan 13 (tiga belas) subspesialis.
2. Rumah sakit umum kelas B, yaitu rumah sakit umum yang
memiliki fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit
4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8
(delapan) spesialis lain, dan 2 (dua) subspesialis dasar.
3. Rumah sakit umum kelas C, yakni rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling
sedikit 4 (empat) spesialis dasar, dan 4 (empat) spesialis penunjang
medik.
14
4. Rumah sakit umum kelas D, yakni rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling
sedikit 2 (dua) spesialis dasar.
5. Rumah sakit umum kelas D pratama, yakni rumah sakit umum
yang didirikan dan diselenggarakan untuk menjamin ketersediaan
dan meningkatkan aksesbilitas masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan tingkat kedua. Rumah sakit ini hanya dapat didirikan dan
diselenggarakan di daerah tertinggal, perbatasan, atau kepulauan
sesuai dengan peraturan perundangan.
b. Rumah sakit khusus yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan utama
pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin
ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya yang
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dibidang kedokteran.
Adapun klasifikasi jenjang rumah sakit khusus antara lain:
1. Rumah sakit khusus kelas A, yaitu rumah sakit khusus yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan
medik spesialis dan subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap.
2. Rumah sakit khusus kelas B, adalah rumah sakit khusus yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan
medik spesialis dan subspesialis sesuai dengan kekhususan yang
terbatas.
3. Rumah sakit khusus kelas C, adalah rumah sakit khusus yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan
15
medik spesialis dan subspesialis sesuai dengan kekhususan yang
minimal.
Adapun rekapitulasi rumah sakit berdasarkan kepemilikan dan klasifikasi
kelas dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.2 Rekapitulasi Rumah Sakit Berdasarkan Kelas di Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2015
Kategori Kepemilikan Kelas RS
Total A B C D Non Kelas
RS Publik
Kementerian Kesehatan 8 2 0 0 0 10
Pemerintah Provinsi 1 4 0 15 0 20
Pemerintan Kabupaten 0 0 0 0 0 0
Pemerintah Kota 0 3 1 2 0 6
Organisasi Non Profit 0 16 16 2 19 53
TNI 1 5 2 0 2 10
POLRI 1 0 0 1 0 2
Kementerian Lain 0 1 1 1 0 3
RS Privat
Swasta/Lainnya 0 18 21 3 12 54
Perusahaan 1 2 8 0 6 17
Perorangan 1 0 0 0 1 2
BUMN 1 2 2 0 0 5
Total 14 53 51 24 40 182
Sumber: Sistem Informasi Rumah Sakit Online (2015)
2.2 Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
Yang dimaksud dengan kesehatan lingkungan menurut WHO (2000) adalah
keseimbangan ekologi yang harus ada di antara manusia dengan lingkungannya
untuk dapat menjamin kondisi sehatnya sendiri. Kemudian berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan, maka
16
kesehatan lingkungan adalah upaya pencegahan penyakit dan/atau gangguan
kesehatan dari faktor risiko lingkungan untuk mewujudkan kualitas lingkungan
yang sehat baik dari aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial.
Dalam rangka mewujudkan kualitas lingkungan yan sehat secara koheren
dan disertai dengan keseimbangan ekologi, maka dibutuhkan standar dan
persyaratan yang telah dibakukan pada media lingkungan yang berdampak pada
kesehatan. Upaya – upaya pencegahan tersebut kemudian tertuang dalam sebuah
peraturan yang dibakukan. Adapun persyaratan kesehatan lingkungan yang harus
dipenuhi oleh rumah sakit telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1204 tahun 2004.
2.2.1 Ruang Bangunan Rumah Sakit
Adapun persyaratan yang harus dipenuhi mengenai lingkungan bangunan
rumah sakit yang telah diatur dalam KMK nomor 1204 tahun 2004 adalah:
a. Lingkungan bangunan rumah sakit harus memiliki batas yang jelas,
dilengkapi dengan pagar yang kuat, dan tidak memungkinkan orang atau
binatang peliharaan keluar masuk dengan bebas
b. Luas lahan bangunan dan halaman harus disesuaikan dengan luas lahan
keseluruhan, sehingga tersedia tempat parkir yang memadai dan
dilengkapi dengan rambu parkir
c. Lingkungan bangunan rumah sakit harus bebas dari banjir. Jika berlokasi
di daerah banjir harus menyediakan fasilitas atau teknologi untuk
mengatasinya
d. Lingkungan rumah sakit harus merupakan kawasan bebas rokok.
17
e. Lingkungan bangunan rumah sakit harus dilengkapi penerangan dengan
intensitas cahaya yang cukup
f. Lingkungan rumah sakit harus tidak berdebu, tidak becek atau tidak
terdapat genangan air dan dibuat landai menuju saluran terbuka atau
tertutup, tersedia luubang penerima air masuk dan disesuaikan dengan luas
halaman
g. Saluran air limbah domestic dan limbah medis harus tertutup dan terpisah,
masing – masing dihubungkan langusng dengan instalasi penglahan
limbah
h. Di tempat parkir, halaman, ruang tunggu, dan tempat – tempat tertentu
yang menghasilkan sampah harus disediakan tempat sampah
i. Lingkungan, ruang, dan bangunan rumah sakit harus selalu dalam keadaan
bersih dan tersedia fasilitas sanitasi secara kualitas dan kuantitas yang
memenuhi persyaratan kesehatan, sehingga tidak memungkinkan sebagai
tempat bersarang dan berkembangbiaknya serangga, binatang pengerat,
dan binatang pengganggu lainnya.
2.2.2 Konstruksi Bangunan Rumah Sakit
a. Lantai, dimana harus terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, permukaan
ata, tidak licin, warna terang, dan mudah dibersihkan. Selain itu lantai
yang selalu kontak dengan air harus mempunyai kemiringan yang cukup
kea rah saluran pembuangan air limbah. Selanjutnya pertemuan lantai
dengan dinding harus berbentuk konus atau lengkung agar mudah
dibersihkan.
18
b. Dinding, dimana permukaan dinding harus kuat, rata, berwarna terang dan
menggunakan cat yang tidak luntur serta tidak menggunakan cat yang
mengandung logam berat.
c. Ventilasi, dimana ventilasi alamiah harus dapat menjamin aliran udara di
dalam kamar atau ruangan dengan baik. Bila ventilasi alamiah tidak bisa
menjamin hal tersebut, maka ruangan harus dilengkapi dengan ventilasi
mekanis atau buatan yang disesuaikan dengan peruntukkan ruangan.
Kemudian luas ventilasi alamiah minimum 15% dari luas lantai.
d. Atap, dimana atap ini harus kuat, tidak bocor, dan tidak menjadi bahan
perindukan serangga, tikus, dan binatang pengganggu lainnya. Selain itu
idealnya atap dengan ketinggian lebih dari 10 meter harus dilengkapi
dengan penangkal petir
e. Langit – langit, dimana langit – langit harus kuat, berwarna terang, dan
mudah dibersihkan. Selain itu kerangka langit – langit harus kuat dan
terbuat dari bahan yang anti rayap. Idealnya langit – langit memiliki
ketinggian minimal 2,70 meter dari lantai.
f. Pintu, dimana pintu tersebut harus kuat, cukup tinggi, cukup lebar, dan
dapat mencegah masuknya serangga, tikus, dan binatang pengganggu
lainnya.
g. Konstruksi, seperti balkon, beranda, ataupun talang harus dikondisikan
agar tidak ada genangan air yang dapat memungkinkan tempat perindukan
nyamuk Aedes.
h. Lalu Lintas Antar Ruangan, dimana lalu lintas antar ruangan dan
pembagian ruangan harus dilengkapi dengan petunjuk letak ruangan,
19
sehingga akan memudahkan hubungan dan komunikasi antar ruangan serta
menghindari risiko terjadinya kecelakaan atau kontaminasi. Selain itu
sebaiknya dilengkapi dengan pintu darurat yang mudah dijangkau apabila
terjadi kebakaran atau kejadian darurat lainnya. Lalu apabila tersedia lift
atau tangga berjalan, maka harus dilengkapi dengan sarana pencegahan
kecelakaan.
i. Fasilitas Pemadam Kebakaran, dimana penggunaannya harus disesuaikan
dengan ketentuan yang berlaku.
j. Jaringan Instalasi, seperti instalasi air minum, air bersih, air limbah, gas,
listrik, sistem penghawaan, dan sarana komunikasi. Penggunaan jaringan
instalasi ini harus memenuhi persyaratan teknis kesehatan agar aman
digunakan. Selain itu pemasangan pipa air minum sangat tidak dianjurkan
jika bersilangan dengan pipa air limbah dan bertekanan negative untuk
meminimalisir pencemaran air minum.
2.2.3 Ruang bangunan
Ruang bangunan di rumah sakit harus ditata sedemikian rupa agar
penggunaannya sesuai dengan fungsinya dan memenuhi persyaratan kesehatan.
Oleh sebab itu maka perlu adanya dilakukan pengelompokkan ruangan
berdasarkan tingkat risiko penularan penyakit sebagai berikut:
a. Zona dengan Risiko Rendah, yang meliputi ruang administrasi, ruang
computer, ruang pertemuan, ruang perpustakaan, ruang resepsionis, dan
ruang pendidikan/pelatihan. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi
adalah:
1. Permukaan dinding harus rata dan berwarna terang
20
2. Lantai harus terbuat dari bahan yang kuat, mudah dibersihkan,
kedap air, berwarna terang, dan pertemuan antara lantai dengan
dinding harus berbentuk konus
3. Langit – langit harus terbuat dari bahan yang kuat, mudah
dibersihkan, berwarna terang, berkerangka kuat, dan dengan
ketinggian minimal 2,70 meter dari lantai
4. Lebar pintu minimal 1,20 meter, dengan tinggi minimal 2,10 meter.
Selain itu ambang bawah jendela minimal 1,00 meter dari lantai
5. Ventilasi ilmiah harus dapat menjamin aliran udara di dalam
ruangan dengan baik. Apabila ventilasi udara tidak bisa menjamin
hal tersebut, maka ruangan harus dilengkapi dengan penghawaan
mekanis/buatan (exhauster)
6. Semua stop kontak dan saklar harus dipasang pada ketinggian
minimal 1,40 meter dari lantai.
b. Zona dengan Risiko Sedang, yang meliputi ruang rawat inap bukan
penyakit menular, rawat jalan, ruang ganti pakaian, dan ruang tunggu
pasien. Adapun persyaratan bangunan yang harus dipenuhi sama dengan
persyaratan pada ruangan dengan zona risiko rendah.
c. Zona dengan Risiko Tinggi, yang meliputi ruang isolasi, ruang
perawatan intensif, laboratorium, ruang pengindraan medis (medical
imaging), ruang bedah mayat (autopsy), dan ruang jenazah. Adapun
persyaratan bangunan yang harus dipenuhi adalah:
1. Dinding permukaan harus rata dan berwarna terang. Untuk dinding
ruang laboratorium harus terbuat dari porselen atau keramik dengan
21
ketinggian minimal 1,50 meter dari lantai, dan sisanya dicat dengan
warna terang. Lalu untuk ruangan pengindraan medis harus
menggunakan cat warna gelap untuk menyerap pancaran sinar yang
dihasilkan dari alat yang terpasang. Selain itu, tembok pembatas
antara ruang sinar X dengan kamar gelap harus dipasang dengan
transfer cassette.
2. Lantai harus terbuat dari bahan yang kuat, mudah dibersihkan,
kedap air, berwarna terang, dan pertemuan antara lantai dengan
dinding harus berbentuk konus
3. Langit – langit harus terbuat dari bahan yang kuat, mudah
dibersihkan, berwarna terang, berkerangka kuat, dan dengan
ketinggian minimal 2,70 meter dari lantai
4. Lebar pintu minimal 1,20 meter, dengan tinggi minimal 2,10 meter.
Selain itu ambang bawah jendela minimal 1,00 meter dari lantai
5. Semua stop kontak dan saklar harus dipasang pada ketinggian
minimal 1,40 meter dari lantai.
d. Zona dengan Risiko Sangat Tinggi, yang meliputi ruang operasi, ruang
bedah mulut, ruang perawatan gigi, ruang gawat darurat, ruang bersalin,
dan ruang patologi. Adapun ketentuan yang harus dipenuhi terkait upaya
penyehatan lingkungan, antara lain:
1. Dinding terbuat dari bahan vynil atau porselin setinggi langit –
langit atau dicat dengan cat tembok yang tidak luntur dan aman,
serta berwarna terang
22
2. Langit – langit terbuat dari bahan yang kuat dan aman, dengan
ketinggian minimal 2,70 meter dari lantai
3. Lebar pintu minimal 1,20 meter dan tinggi minimal 2,10 meter.
Kondisi semua pintu kamar harus dalam keadaan selalu tertutup
4. Lantai terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, mudah dibersihkan,
dan berwarna terang
5. Terkhusus untuk ruang operasi, maka harus disediakan gelagar atau
gantungan lampu bedah dengan profil baja INP 20 yang dipasang
sebelum pemasangan langit – langit
6. Tersedianya rak dan lemari untuk menyimpan reagen yang siap
pakai
7. Ventilasi atau penghawaan sebaknya menggunakan AC yang
dilengkapi dengan anti bakteri. Pemasangan AC minimal 2 meter
dari lantai dengan aliran udara dari atas ke bawah. Sementara itu
untuk ruang bedah ortopedi atau transplantasi organ, maka harus
mengunakan pengaturan udara UCA (Ultra Clean Air) System
8. Harus dibuat ruang antara karena sangat tidak dianjurkan adanya
kontak langsung dengan udara luar
9. Perlu dipasang kaca mati jika dari ruang scrub – up ingin melihat
ke dalam ruang operasi. Selan itu diperlukan pemasangan loket
yang dapat dibuka dan ditutup untuk menhubungkan antara ruang
steril dari bagian cleaning.
10. Dilengkapi dengan sarana pengumpulan limbah medis
23
11. Pemasangan gas medis harus dipasang secara sentral serta
diusahakan melalui bawah lantai atau di atas langit – langit.
Adapun untuk upaya tata laksana dalam pemeliharaan ruang bangunan,
maka terdapat beberapa hal yang dianjurkan untuk dilakukan, yakni:
a. Kegiatan pembersihan ruang minimal diakukan pagi dan sore hari
b. Pembersihan lantai di ruang perawatan pasien dilakukan setelah merapikan
tempat tidur pasien, jam makan, jam kunjungan dokter, kunjungan
keluarga, dan sewaktu – waktu bila diperlukan
c. Cara pembersihan yang memungkinkan debu tersebar maka patut dihindari
d. Harus menggunakan cara pembersihan dengan pel yang memenuhi syarat
dan bahan antiseptik yang tepat
e. Pada masing – masing ruang supaya disediakan perlengkapan pel
tersendiri
f. Pembersihan dinding dilakukan secara periodik minimal 2 (dua) kali
setahun dan di cat ulang apabila sudah kotor atau cat sudah pudar
g. Setiap percikan ludah, darah, atau eksudat luka pada dindig harus segera
dibersihkan dengan menggunakan antiseptik
2.2.4 Kadar Gas dan Debu dalam Udara
Adapun persyaratan tentang kualitas udara didalam ruang ruamh sakit yang
harus dipenuhi antara lain:
a. Tidak berbau, khususnya bebas dari H2S dan Amoniak
b. Kadar Particulate Matter diameter 10 mikron (PM10) dengan rata – rata
pengukuran 8 jam atau 24 jam tidak melebihi 150 µg/m3, dan tidak
mengandung debu asbes
24
c. Memenuhi standar indeks kadar gas dan bahan berbahaya dalam udara
ruang rumah sakit yang terangkum dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.3 Indeks Kadar Gas dan Bahan Berbahaya dalam Udara Ruang
Rumah Sakit
Parameter Kimia Rata – rata Waktu
Pengukuran
Konsentrasi Maksimal
sebagai Standar
Karbonmonoksida (CO) 8 jam 10.000 ug/m3
Karbondioksida (CO2) 8 jam 1 ppm
Timbal (Pb) 1 tahun 0,5 µg/m3
Nitrogen dioksida (NO2) 1 jam 200 µg/m3
Radon (Rn) - 4 pCi/liter
Sulfur dioksida (SO2) 24 jam 125 µg/m3
Formaldehida (HCHO) 30 menit 100 g/m3
Total senyawa organik
yang mudah menguap
(T.VOC)
- 1 ppm
2.2.5 Angka Kuman pada Udara
Memenuhi standar indeks angka kuman yang disesuaikan dengan ruang atau unit
yang disajikan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.4 Indeks Angka Kuman Berdasarkan Fungsi Ruang atau Unit
Rumah Sakit
Ruang atau Unit Konsentrasi Maksimum Mikroorganisme
per m3 Udara (CFU/m
3)
Operasi 10
Bersalin 200
Pemulihan/perawatan 200 – 500
Obervasi Bayi 200
25
Ruang atau Unit Konsentrasi Maksimum Mikroorganisme
per m3 Udara (CFU/m
3)
Perawatan Bayi 200
ICU 200
Jenazah/Autopsi 200 – 500
Pengindraan medis 200
Laboratorium 200 – 500
Radiologi 200
Sterilisasi 200
Dapur 200 – 500
Gawat darurat 200
Administrasi, pertemuan 200 – 500
Ruang luka bakar 200
Perawatan premature 200
2.2.6 Pencahayaan
Yang dimaksud dengan pencahayaan didalam ruang bangunan rumah sakit
adalah banyaknya penyinaran pada suatu bidang kerja yang ada di dalam ruang
bangunan rumah sakit yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara
efekif. Baik pencahayaan, penerangan, dan intensitasnya di ruang umum maupun
khusus harus sesuai dengan perutukkannya yang terangkum dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.5 Indeks Pencahayaan Berdasarkan Fungsi Ruang atau Unit di
Rumah Sakit
Ruangan atau Unit Intensitas Cahaya (lux) Keterangan
Ruang pasien
- Saat tidak tidur
- Saat tidur
100 – 200
Maksimal 50
Warna cahaya sedang
Ruang operasi umum 300 – 500
Meja operasi 10.000 – 20.000 Warna cahaya sejuk
26
Ruangan atau Unit Intensitas Cahaya (lux) Keterangan
atau sedang tanpa
bayangan
Anestesi, pemulihan 300 – 500
Endoscopi,
Laboratorium
75 – 100
Sinar X Minimal 60
Koridor Minimal 100
Tangga Minimal 100 Malam hari
Administrasi/Kantor Minimal 100
Ruang alat/Gudang Minimal 200
Farmasi Minimal 200
Dapur Minimal 200
Ruang cuci Minimal 100
Toilet Minimal 100
Ruang isolasi khusus
penyakit tetanus
0,1 – 0,5 Warna cahaya biru
Ruang luka bakar 100 – 200
Adapun upaya tata laksana pencahayaan dalam ruangan lingkungan antara
lain:
a. Lingkungan rumah sakit baik dalam maupun luar ruangan harus
mendapatkan cahaya dengan intensitas yang cukup berdasarkan fungsinya
b. Semua ruang yang digunakan baik untuk bekerja maupun untuk
menyimpan barang atau peralatan perlu diberikan penerangan
c. Ruang pasien atau bangsal harus disediaakan penerangan umum dan
penerangan untuk malam hari dan disediakan saklar dekat pintu masuk,
27
saklar individu ditempatkan pada titik yang mudah dijangkau dan tidak
menimbulkan berisik.
2.2.7 Fasilitas Sanitasi
Yang termasuk didalam fasilitas sanitasi pada rumah sakit antara lain
meliputi air minum, toilet, kamar mandi, serta tempat sampah. Adapun untuk
pemenuhannya, maka dilakukanlah perhitungan berdasarkan hal berikut:
a. Indeks perbandingan jumlah tempat tidur pasien dengan jumlah fasilitas
sanitasi yang terdapat di rumah sakit, yang terangkum dalam Tabel 2.4.
Tabel 2.6 Indeks Perbandingan Jumlah Tempat Tidur, Toilet, dan Kamar
Mandi
Jumlah Tempat Tidur Jumlah Toilet Jumlah Kamar Mandi
s/d 10 1 1
s/d 20 2 2
s/d 30 3 3
s/d 40 4 4
*Setiap penambahan 10 tempat tidur harus ditambah 1 toilet dan 1 kamar
mandi
b. Indeks perbandingan jumlah karyawan dengan jumlah toilet dan kamar
mandi, yang terangkum dalam Tabel 2.5.
Tabel 2.7 Indeks Perbandingan Jumlah Karyawan, Toilet, dan Kamar
Mandi
Jumlah Karyawan Jumlah Toilet Jumlah Kamar Mandi
s/d 20 1 1
s/d 40 2 2
s/d 60 3 3
s/d 80 4 4
s/d 100 5 5
28
Jumlah Karyawan Jumlah Toilet Jumlah Kamar Mandi
*Setiap penambahan20 karyawan harus ditambah 1 toilet dan 1 kamar
mandi
Kemudiann terdapat beberapa upaya tata laksana yang bisa dilakukan oleh
pihak rumah sakit dalam rangka pemeliharaan fasilitas sanitasi di rumah sakit,
yang antara lain:
a. Fasilitas Penyediaan Air Minum dan Air Bersih, dimana harus memenuhi
persyaratan seperti:
1. Harus tersedia air minum yang sesuai dengan kebutuhan
2. Tersedia air bersih minimum 500 liter/tempat tidur/hari
3. Air minum dan air bersih tersedia pada setiap tempat kegiatan yang
membutuhkan secara berkesinambungan
4. Distribusi air minum dan air bersih di setiap ruangan/kamar harus
menggunakan jaringan perpipaan yang mengalir dengan tekanan
positif
b. Fasilitas Toilet dan Kamar Mandi, dimana harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1. Harus tersedia dan selalu terpelihara serta dalam keadaan bersih
2. Lantai terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, tidak licin, berwarna
terang, dan mudah dibersihkan
3. Pada setiap unit ruangan harus tersediatoilet (jamban, peturasan, dan
tempat cuci tangan) tersendiri. Khususnya untuk unit rawat inap dan
kamar karyawan harus tersedia kamar mandi
29
4. Pembuangan air limbah dari toilet dan kamar mandi dilengkapi
dengan penahan bau (water seal)
5. Letak toilet dan kamar mandi tidak berhubungan langsung dengan
dapur, kamar operasi, dan ruang khusus lainnya
6. Lubang penghawaan harus berhubungan langsung dengan udara luar
7. Toilet dan kamar mandi harus terpisah antara pria dan wanita, unit
rawat inap dan karyawann, karyawan dan toilet pengunjung
8. Toilet pengunjung harus terletak di tempat yang mudah terjangkau
da nada petunjuk arah, dan toilet untuk pengunjung dengan
perbandingan 1 (satu) toilet untuk 1 – 20 pengunjung wanita, 1 (satu)
toilet untuk 1 – 30 pengunjung pria
9. Harus dilengkapi dengan slogan atau peringatan untuk memelihara
kebersihan
10. Tidak terdapat tempat penampungan atau genangan air yang dapat
menjadi tempat perindukan nyamuk
2.2.8 Penyehatan Lantai dan Dinding
Adapun persyaratan yang harus dipenuhi mengenai kondisi lantai dan
dinding yang harus steril dari mikoorganisme, yaitu:
a. Ruang operasi, 0 – 5 CFU/cm2 dan bebas dari patogen serta gas gangren
b. Ruang perawatan, 5 – 10 CFU/cm2
c. Ruang isolasi, 0 – 5 CFU/cm2
d. Ruang UGD, 5 – 10 CFU/cm2
30
2.2.9 Rasio Tempat Tidur
Jumlah tempat tidur yang terdapat di rumah sakit kemudian akan
dibandingkan dengan luas lantai minimal untuk ruang perawatan ataupun kamar
isolasi. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi yaitu:
a. Ruang bayi
1. Ruang perawatan minimal 2 m2/tempat tidur
2. Ruang isolasi minimal 3,5 m2/tempat tidur
b. Ruang dewasa
1. Ruang perawatan minimal 4,5 m2/tempat tidur
2. Ruang isolasi minimal 6 m2/tempat tidur
2.2.10 Kebisingan
Kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga
mengganggu dan/atau membahayakan kesehatan. Adapun persyaratan mengenai
kebisingan dalam ruang sesuai dengan peruntukkan di rumah sakit terangkum
dalam Tabel 2.6.
Tabel 2.8 Indeks Kebisingan Berdasarkan Fungsi Ruang atau Unit Rumah
Sakit
Ruangan atau Unit Maksimum Kebisingan (waktu
pemaparan 8 jam dengan satuan dB)
Ruangan pasien
- Saat tidak tidur
- Saat tidur
45
40
Ruang operasi, umum 45
Anestesi, pemulihan 45
Endoskopi, laboratorium 65
Sinar X 40
Koridor 40
31
Ruangan atau Unit Maksimum Kebisingan (waktu
pemaparan 8 jam dengan satuan dB)
Tangga 45
Kantor/Lobby 45
Ruang alat/Gudang 45
Farmasi 45
Dapur 78
Ruang cuci 78
Ruang isolasi 40
Ruang poli gigi 80
Adapun upaya tata laksana yang dapat dilakukan oleh rumah sakit dalam
rangka pemeliharaan ruangan dari kebisingan, antara lain:
a. Pengaturan dan tata letak ruangan harus disesuaikan sehingga kamar dan
ruangan yang memerlukan suasana tenag terhindar dari kebisingan
b. Sumber – sumber kebisingan yang berasal dari rumah sakit dan sekitarnya
agar diupayakan untuk dikendalikan antara lain dengan cara (1) Pada
sumber bisingdi rumah sakit: peredaman, penyekatan, pemindahan,
pemeliharaan mesin – mesin yang menjadi sumber bising, dan (2) Pada
sumber bising dari luar rumah sakit: penyekatan/penyerapan bising dengan
penanaman pohon (green belt), meninggikan tembok, dan meninggikan
tanah (bukit buatan).
2.2.11 Suhu dan Kelembaban
Suhu adalah derajat panas atau dingin udara dalam suatu ruang watau
wilayah. Sementara itu kelembaban adalah persentase kandungan uap air udara
dalam suatu ruang atau wilayah. Adapun persyaratan penghawaan ruangan
berdasarkan peruntukkannya yang harus dipenuhi oleh rumah sakit adalah:
32
a. Ruangan tertentu seperti ruang operasi, perawatan bayi, dan laboratorium
memerlukan perhatian khusus karena sifat pekerjaan yang dilakukan
b. Terkhusus ruang operasi maka ventilasi yang digunakan harus dijaga pada
tekanan lebih positif sedikit (minimum 0,10 mbar) dibandingkan dengan
ruangan lainnya dirumah sakit
c. Ruangan yang tidak menggunakan AC (Air Conditioner), maka sistem
sirkulasi udara segar dalam ruangan harus cukup dan mengikuti pedoman
teknis yang berlaku
d. Sistem suhu dan kelembaban ada baiknya diatur sedemikan rupa agar
memenuhi standar suhu, kelembaban, dan tekanan udara yang terangkum
dalam Tabel 2.7.
Tabel 2.9 Standar Suhu, Kelembaban, dan Tekanan Udara Berdasarkan
Fungsi Ruang atau Unit Rumah Sakit
Ruang atau Unit Suhu (°C) Kelembaban (%) Tekanan
Operasi 19 – 24 45 – 60 Positif
Bersalin 24 -26 45 – 60 Positif
Pemulihan/perawatan 22 – 24 45 – 60 Seimbang
Obervasi bayi 21 – 24 45 – 60 Seimbang
Perawatan bayi 22 – 26 35 – 60 Seimbang
Perawatan prematur 24 – 26 35 – 60 Positif
ICU 22 – 23 35 – 60 Positif
Jenazah/Autopsi 21 – 24 - Negatif
Pengindraan medis 19 – 24 45 – 60 Seimbang
Laboratorium 22 – 26 35 – 60 Negatif
Radiologi 22 – 26 45 – 60 Seimbang
Sterilisasi 22 – 30 35 – 60 Negatif
Dapur 22 – 30 35 – 60 Seimbang
Gawat darurat 19 – 24 45 – 60 Positif
33
Ruang atau Unit Suhu (°C) Kelembaban (%) Tekanan
Administrasi, pertemuan 21 – 24 - Seimbang
Ruang luka bakar 24 – 26 35 – 60 Negatif
Adapun upaya tata laksana yang dapat dilakukan untuk pemeliharaan
penghawaan dan pengaturan udara di rumah sakit, antara lain:
a. ventilasi di rumah sakit ada baiknya mendapaatkan perhatian khusus.
Apabila ruangan menggunakan sistem pendingin, maka seharusnya
dipelihara dan dioperasikan sesuai dengan buku petunjuk penggunaan.
Selain itu, bagi rumah sakit yang menggunakan AC sentral maka harus
diperhatikan cooling tower – nya agar tidak menjadi tempat perindukan
Legionella dan untuk AHU (Air Handling Unit) filter udara harus
dibersihkan dari debu dan bakteri atau jamur.
b. Suplai udara dan exhaust hendaknya secara digerakkan secara mekanis,
dan exhaust fan hendaknya diletakkan pada ujung sistem ventilasi
c. Ruangan dengan volume 100 m3 sekurang – kurangnya 1 (satu) fan
dengan diameter 50 cm dengan debit udara 0,5 m3/detik, dan frekuensi
pergantian udara per jam adalah 2 (dua) sampai dengan 12 kali
d. Pergantian supply udara dari luar, kecuali unit ruang individual,
hendaknya diletakkan sejauh mungkin, minimal 7,50 meter dari exhauster
atau perlengkapan pembakaran.
e. Tinggi intake minimal 0,9 meter dari atap
f. Sistem hendaknya dibuat keseimbangan tekanan
34
g. Suplai udara untuk daerah sensitif: ruang operasi, perawatan bayi, diambil
dekat langit – lanit dan exhaust dekat lantai, hendaknya disediakan 2 (dua)
buah exhaust fan dan diletakkan minimal 7,50 cm dari lantai
h. Suplai udara di atas lantai
i. Suplai udara koridor atau buangan exhaust fan dari tiap ruang hendaknya
tidak digunakan sebagai suplai udara kecuali untuk suplai udara ke WC,
toilet, dan gudang
j. Ventilasi ruang – ruang sensitif hendaknya dilengkapi dengan saringan 2
beds. Saringan I dipasang dibagian penerimaan udara dari luar dengan
efisiensi 30% dan saringan II (filter bakteri) dipasang 90%. Untuk
mempelajari sistem ventilasi sentral dalam gedung hendaknya
mempelajari khusus central air conditioning system.
k. Penghawaan alamiah, lubang ventilasi diupayakan sistem silang (cross
ventilation) dan dijaga agar aliran udara tidak terhalang
l. Penghawaan ruang operasi harus dijaga agar tekanannya lebih tinggi
dibandingkan ruang – ruang lain dan menggunakan cara mekanis (air
conditioner)
m. Penghawaan mekanis dengan menggunakan exhaust fan atau air
conditioner dipasang pada ketinggian minimum 2,00 meter di atas lantai
atau minimum 0,20 meter dari langit – langit.
n. Untuk mengurangi kadar kuman dalam udara ruang (indoor) 1 (satu) kali
dalam sebulan harus di disinfeksi dengan menggunakan aerosol
(resorcinol, trietylin glikol), atau disaring dengan electron presipitator atau
menggunakan penyinaran ultraviolet
35
o. Pemantauan kualitas udara ruang minimum 2 (dua) kali setahun dilakukan
pengambilan sampel dan pemeriksaan parameter kualitas udara (kuman,
debu, dan gas).
2.3 Dampak Kesehatan
Terdapat penyakit yang ditimbulkan akibat dari buruknya sanitasi
lingkungan di rumah sakit. Dampak kesehatan tersebut didapatkan karena adanya
interaksi yang tidak seimbang antara lingkungan, agen penyakit, serta manusia.
2.3.1 Definisi Infeksi Nosokomial
Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, yang berarti rumah sakit. Kata ini
juga dapat diartikan „berasal dari rumah sakit‟. Sedangkan yang dimaksud dengan
infeksi adalah suatu keadaan dimana ditemukan adanya agen infeksi (organisme),
dimana terdapat respon imun tetapi tidak disertai dengan gejala klinis. Dengan
demikian maka infeksi nosokomial adalah infeksi yang muncul selama seseorang
dirawat atau setelah selesai dirawat atau setelah selesai dalam masa perawatan
(Nasution, 2011). Kemudian menurut Darmadi (2008) yang dimaksud dengan
infeksi nosokomial adalah infeksi yang trejadi di rumah sakit dan menyerang
penderita – penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan.
Sementara itu menurut Depkes RI (2002) infeksi nosokomial memiliki
beberapa kriteria khusus, seperti:
a. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda
– tanda klinis dari infeksi yang diteliti
b. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak dalam masa
inkubasi dari infeksi tersebut
36
c. Tanda – tanda khusus infeksi tersebut mulai timbul sekurang – kurangnya
setelah 3 x 24 jam sejak memulai masa perawatan
d. Infeksi pada lokasi yang sama tetapi disebabkan oleh mikroorganisme
yang berbeda.
Istilah infeksi nosokomial kemudian diperbaharui menjadi Healthcare –
associated Infections (HAIs) dengan pengertian bahwa kejadian infeksi
nosokomial tiak hanya terjadi di rumah sakit tetapi juga di pelayanan kesehatan
lainnya. Selain itu infeksi ini tidak terbatas pada infeksi pada pasien saja namun
juga pada petugas kesehatan pada saat melakukan tindakan perawatan pasien
(Depkes RI, 2008).
2.3.2 Sumber Infeksi Nosokomial
Menurut Uliyah & Alimul (2006) terdapat beberapa sumber penyebab
terjadinya infeksi nosokomial, yang antara lain:
a. Pasien, dimana pasien ini menjadi faktor utama yang dapat menularkan
infeksi ke pasien lainnya
b. Petugas kesehatan, dimana dapat menyebarkan infeksi melalui kontak
langsung
c. Pengunjung, dimana pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang berasal
dari luar ke dalam lingkungan rumah sakit.
d. Sumber lain, dimana yang dimaksud adalah lingkungan rumah sakit yang
meliputi lingkungan umum atau kondisi kebersihan rumah sakit atau alat
yang ada di rumah sakit yang dibawa oleh pengunjung atau petugas
kesehatan kepada pasien, ataupun sebaliknya.
37
2.3.3 Media Penularan Mikroorganisme
Proses penularan mikroorganisme dalam infeksi nosokomial dapat melalui
berbagai cara. Menurut Uliyah & Alimul (2006) diketahui terdapat 4 (empat)
media penularan infeksi nosokomial yaitu:
a. Kontak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Patogen ini dapat
masuk melalui kontak langsung seperti bersentuhan dengan kulit, ataupun
kontak tidak langsung dengan benda yang terkontaminasi.
b. Makanan dan minuman, dimana patogen dapat masuk melalui makanan
atau minuman yang telah terkontaminasi seperti penyakit Tifus, ataupun
penyakit diare.
c. Serangga, dimana serangga menjadi salah satu media yang sesuai untuk
menularkan patogen seperti nyamuk Anopheles menyebarkan plasmodium
penyebab penyakit Malaria, ataupun Nyamuk Ae.aegypti yang
menyebarkan virus dengue penyebab penyakit DBD.
d. Udara, dimana udara dapat menjadi media penularan penyakit khususnya
pada sistem pernafasan
2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Proses Infeksi Nosokomial
Menurut Depkes RI (2002), infeksi nosokomial dapat dipengaruhi oleh
faktor yang berasal dari 2 (dua) hal, yakni endogen dan eksogen. Sumber endogen
adalah sumber yang berasal dari kondisi internal dari masing – masing host.
Adapun menurut Uliyah & Alimul (2006), faktor endogen yang dapat
mempengaruhi proses infeksi nosokomial adalah:
a. Sumber penyakit, dimana akan mempengaruhi apakah infeksi akan
berjalan cepat atau lambat
38
b. Kuman penyebab, dimana akan menentukan jumlah mikroorganisme, serta
kemampuan virulensinya
c. Cara penularan, seperti kontak langsung ataupun tidak langsung, melalui
makanan atau minuman, udara, ataupun serangga.
d. Cara masuk dan proses penyebaran kuman, dimana memiliki
keberagaman. Hal tersebut bergantung pada sifat dari patogen tersebut.
e. Daya tahan tubuh, dimana semakin baik kondisi saya tahan tubuh
seseorang akan memperlambat proses infeksi atau mempercepat proses
penyembuhan.
f. Faktor lain, dimana status gizi, tingkat stress, ataupun usia juga akan
menjadi salah satu faktor pendukung dalam proses infeksi nosokomial
Sementara itu yang dimaksud dengan faktor eksogen adalah faktor yang
mempengaruhi infeksi nosokomial yang berasal dari kondisi luar host seperti
lingkungan yang terkontaminasi. Oleh sebab itu, maka pengelolaan faktor
lingkungan di rumah sakit haru memenuhi persyaratan kesehatan agar upaya
pencegahan infeksi nosokomial dapat berjalan dengan baik. Adapun faktor yang
berasal dari eksogen yang dapat mempengaruhi infeksi nosokomial adalah
(Parhusip, 2005):
a. Lama hari rawat, dimana diketahui bahwa pasien yang lebih lama dirawat
di rumah sakit akan memiliki tingkat risiko lebih tinggi untuk
mendapatkan infeksi nosokomial dibandingkan dengan pasien yang
dirawat lebih singkat. Menurut Ahmad (2003), diketahui bahwa jumlah
lama hari rawat pasien merupakan faktor yang cukup dominan untuk
mempengaruhi infeksi nosokomial di rumah sakit.
39
b. Klasifikasi ruang rawat, dimana pasien yang dirawat pada ruangan dengan
tingkat kepadatan cukup tinggi, serta kondisi lingkungan ruang perawatan
yang kurang memadai maka akan sangat potensial menjadi media
penularan infeksi nosokomial
c. Kontak langsung antar pasien yang satu dengan pasien lainnya
d. Kontak langsung antara petugas rumah sakit yang terkontaminasi dengan
pasien yang dirawatnya. Hal ini kemudian sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Coovadia et al. (1992) di ruang anak – anak selama 3
minggu, dimana diketahui bahwa 9 bayi terpapar dengan klebsilla
pneumonia yang berasal dari hidung dan tangan dokter, dan tangan
perawat.
e. Kondisi pasien yang lemah akibat komplikasi dan penyakit penyertayang
sedang dideritanya, dimana pasien dengan kondisi yang demikian akan
sangat rentan terinfeksi.
f. Cara desinfeksi sumber kuman, dimana akan menentukan apakah proses
infeksi cepat teratasi atau diperlambat. Hal – hal yang berkontribusi dalam
desinfeksi sumber kuman antara lain perilaku mencuci tangan, pH, suhu,
dan intensitas penyinaran.
2.3.5 Jenis Penyakit yang Disebabkan oleh Infeksi Nosokomial
Menurut French National Prevalence Survey (2002) infeksi nosokomial
yang paling sering terjadi antara lain infeksi saluran kemih sebesar 35%, infeksi
luka operasi sebesar 20%, pneumonia nosokomial sebesar 15%, dan bakteremia
nosokomial sebesar 15%.
40
1. Pneumonia Nosokomial
Pneumonia nosokomial merupakan penyakit yang paling banyak
menyebabkan kematian pada pasien di rumah sakit. Penyebab terbanyak
adalah bakteri gram negatif ataupun stafilokokus (Djojodibroto, 2007).
Bakteri ini dapat ditularkan melalui cara kontak oral langsung, dan droplet
yang berasal dari dengan pengunjung, pasien, petugas kesehatan, ataupun
peralatan dan perlengkapan terapi yang terkontaminasi (Arias, 2000).
Menurut (Muttaqin, n.d.), klien dengan penyakit pneumonia sering
dijumpai bila bertempat tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang buruk.
Hal ini kemudian sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Elynda &
Sulistyorini (2014) bahwa suhu, kepadatan hunian, dan sarana
pembuangan sampah memiliki hubungan dengan kejadian Pneumonia
pada Balita. Selain itu juga dijelaskan bahwa balita yang tinggal di
lingkungan dengan sanitasi tidak sehat memiliki risiko terkena pneumonia
5,7 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tinggal di lingkungan
sanitasi yang sehat.
Adapun penelitian serupa terkait faktor risiko kesehatan lingkungan
bangunan pada kejadian infeksi pneumonia nosokomial yang dilakukan di
ruang perawatan intensif terangkum dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.10 Kejadian Pneumonia Nosokomial Berdasarkan Faktor Risiko
Kesehatan Lingkungan
Pengarang Tahun Populasi Penelitian Reservoir Sumber
Fisher-Hoch et 1981 Rumah Sakit Umum Sistem Menara
41
Pengarang Tahun Populasi Penelitian Reservoir Sumber
al. pendingin pendingin
Amow et al. 1978 Unit Transplantasi
Ginjal
Konstruksi Debu
permukaan
Amow et al. 1991 Rumah Sakit Umum Sistem
Ventilasi
Penyaring
ventilator,
debu
permukaan
2. Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu bentuk infeksi nosokomial
yang sering ditemukan pada pasien-pasien yang dirawat di ruang ICU. ISK
ditandai dengan ditemukannya bakteri patogen pada sampel pemeriksaan
urine secara langsung atau dari hasil kultur urin (Soelaeman, 2004).
Sekitar 80% infeksi saluran kemih ini berhubungan dengan pemasangan
kateter (Brooks, 2003; WHO, 2002). Dengan demikian maka dapar
diketahui bahwa media penularan pada penyakit ISK adalah alat kesehatan
yang tidak steril. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Soelaeman
(2004) melaporkan bahwa 40% pasien pemakai kateter terinfeksi infeksi
nosokomial, dimana 26% di antaranya menunjukkan bakteriuria, tetapi
hanya seperempat yang menunjukkan gejala infeksi saluran kemih.
3. Infeksi Luka Operasi
Infeksi luka operasi (ILO) dianggap nosokomial bila infeksi terjadi
dalam 30 hari setelah operasi atau 1 tahun bila dilakukan implantasi alat
42
atau benda asing. Infeksi ini memiliki nilai insidensi yang bervariasi
berkisar antara 0.5 – 15%, bergantung dari tipe operasi dan penyakitnya
(Iwan, 2008). Pernyataan serupa juga dijabarkan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Fitriyastanti et al. (2003) bahwa insidensi infeksi
nosokomial di pelayanan bedah RSUD Kota Semarang mencapai angka
11,2%. Infeksi nosokomial jenis ini biasanya didapatkan dari faktor
eksogen seperti kondisi lingkungan ataupun kebersihan alat yang
digunakan (Irma, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Fitriyastanti et al.
(2003) menunjukkan bahwa 11,4% tindakan medis yang dilakukan oleh
petugas kesehatan masih tidak memperhatikan aspek septik dan antiseptik
sehingga memperbesar risiko terjadinya infeksi nosokomial pada luka
operasi. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa kelas ruang rawat
berpeluang dalam mendukung adanya kejadian infeksi nosokomial,
dimana kecenderungan ada di ruang kelas III. Hal ini kemudian didasarkan
pada perbedaan kepadatan hunian dalam ruang serta penggunaan toilet
dengan perbandingan 1 toilet digunakan oleh 12 orang.
4. Bakteremia Nosokomial
Yang dimaksud dengan bakteremia adalah bakteri yang terdapat di
aliran darah yang dibuktikan dengan adanya pertumbuhan pada kultur
darah. Kontaminasi pada bakteremia ini bersumber dari faktor eksogen
pemicu kejadian infeksi nosokomial, yakni lingkungan dan kebersihan alat
kesehatan yang digunakan oleh praktisi (Nielsen, 2015). Selanjutnya
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Janas et al. (1992) diketahui
bahwa jumlah penderita dengan biakan positif dari jarum infus terdapat
43
bakteremia nosokomial adalah 2 kali lebih besar (8,8%) dibandingkan
dengan penderita dengan biakan negative (4,4%). Bakteremia selalu
dihubungkan dengan mortalitas pasien sebesr 14 – 37%, dimana mortalitas
ini 35% berasal dari Intensive Care Unit (Coburn, 2012).
2.3.6 Pencegahan dan Pengendalian
The Center for Disease Control and Prevention (CDC) (2008),
memperkirakan sekitar 30% nosokomial infeksi dapat dicegah apabila petugas
kesehatan mengikuti pedoman bagaimana cara mengkontrol infeksi dirumah sakit.
Menurut Uliyah & Alimul (2006) terdapat beberapa tindakan yang dapat
dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit,
yang antara lain:
a. Dekontaminasi, yaitu upaya mengurangi dan atau menghilangkan
kontaminasi oleh mikroorganisme pada orang, peralatan, bahan, dan ruang
melalui desinfeksi dan sterilisasi denan cara fisik dan kimiawi.
b. Aseptik, yaitu tindakan yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan untuk
menggambarkan usaha yang dilakukan untuk mencegah masuknya
mikroorganisme ke dalam tubuh. Tindakan aseptik ini bertujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan jumlah mikroorganisme, baik pada
permukaan benda hidup atau mati agar alat – alat kesehatan dapat
digunakan dengan aman
c. Antiseptik, yaitu upaya pencegahan infeksi dengan cara membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit dan jaringan tubuh
lainnya.
44
d. Pencucian, yaitu tindakan menghilangkan semua benda asing dengan
mengalirkan air
e. Desinfeksi, yaitu tindakan mengurangi atau menghilangkan jumlah
mikroorganisme penyebab penyakit dengan cara fisik dan kimiawi.
Desinfeksi ini bisa dilakukan dalam tingkatan yang tinggi seperti dengan
merebus ataupun dengan melarutkannya dengan bahan kimia tertentu.
Akan tetapi, tindakan ini masih menyisakan bakteri endospora.
f. Sterilisasi, yaitu tindakan untuk menghilangkan semua mikroorganisme
termasuk bakteri endospora denagn cara fisik dan kimiawi.
2.4 Kerangka Teori
Menurut Achmadi (2012) proses terjadinya suatu penyakit disebabkan oleh
adanya hubungan interaksi antara manusia dengan komponen lingkungan yang
memiliki potensi bahaya penyakit. Menurutnya, proses perjalanan penyakit ini
terdiri dari 4 simpul, yaitu sumber, wahana, host, dan penyakit. Pada simpul
sumber, maka dapat diketahui bahwa agen penyakit tersebut dapat berupa agen
fisik, kimia, ataupun biologi. Agen penyakit tersebut bersumber dapat dari
kejadian penyakit yang alamiah ataupun dari hasil kegiatan manusia. Kemudian
pada simpul wahana, maka yang termasuk didalamnya antara lain udara, air,
pangan, serangga, ataupun kontak langsung. Selanjutnya yang dimaksud pada
simpul ketiga, yaitu host adalah perilaku – perilaku yang mendukung komponen
yang terdapat dalam simpul 1 untuk menyebabkan penyakit. Lalu pada simpul
akhir, maka dapat diketahui bahwa kejadian penyakit tersebut menjadi outcome
dari hubungan interaktif dari simpul 1 hingga 3.
45
Lalu, jika teori tersebut di aplikasikan dengan proses terjadinya infeksi
nosokomial, maka dapat diketahui bahwa infeksi nosokomial dapat berasal dari
berbagai sumber, seperti pasien, pengunjung, petugas rumah sakit, ataupun
lingkungan pada bangunan rumah sakit yang dimana dapat berupa agen fisik,
kimia, ataupun biologi. Sementara itu berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1204/2004, maka diketahui bahwa status penyehatan lingkungan
bangunan rumah sakit dipengaruhi oleh beberapa indikator yang antara lain
lingkungan bangunan, konstruksi bangunan, ruang bangunan, kualitas udara
ruang, pencahayaan, suhu, kelembaban, kebisingan, fasilitas sanitasi rumah sakit,
jumlah tempat tidur, dan penyehatan lantai dan dinding. Adapun persyaratan
tersebut harus dipenuhi oleh rumah sakit dalam rangka menghindari risiko dan
gangguan kesehatan lainnya berdasarkan pertimbangan bahwa rumah sakit
menjadi salah satu tempat yang potensial untuk menularkan penyakit. Oleh sebab
itu, maka hal – hal demikian kemudian diatur mengenai upaya pemenuhannya
dalam Kepmenkes Nomor 1204/2004
Berdasarkan penjabaran diatas, maka dapat diketahui kerangka teori dari
penelitian ini dapat terangkum dalam Bagan 2.1
47
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Sanitasi lingkungan yang melingkupi ruang bangunan di rumah sakit dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diketahui bahwa pencahayaan turut
berkontribusi pada besar suhu suatu ruangan. Sementara itu suhu dan kelembaban
udara dalam ruang rumah sakit juga menjadi salah satu syarat idealnya lokasi
berkembangbiaknya mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial, sehingga
akan turut menentukan kualitas udara suatu ruang. Kelembaban yang tinggi juga
mengindikasikan bahwa sirkulasi udara di ruangan tersebut buruk, yang salah
satunya karena minimnya jumlah ventilasi baik alami maupun mekanis.
Kekurangan ventilasi ini kemudian akan menyebabkan debu partikulat
terperangkap didalam ruangan.
Sementara itu, hal – hal yang termasuk dalam aspek sanitasi lingkungan
pada ruangan di rumah sakit tidak seluruhnya diteliti, seperti faktor konstruksi
bangunan, kebisingan, rasio jumlah toilet, serta rasio jumlah tempat tidur. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya pertimbangan mengenai keseriusan dampak yang
ditimbulkan terhadap kesehatan, khususnya terkait kejadian infeksi nosokomial di
rumah sakit. Selain itu peneliti juga turut mempertimbangkan hasil yang homogen
dari data yang akan diteliti.
Selanjutnya, faktor sanitasi lingkungan diketahui dapat meningkatkan
peluang terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit. Dengan demikian maka
dirasa perlu mengetahui upaya pemenuhan yang dilakukan oleh rumah sakit
48
sebagai tindakan pengendalian infeksi nosokomial yang kemudian dilihat
pemenuhannya berdasarkan Kepmenkes Nomor 1204/2004.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat diketahui bahwa kerangka
konsep pada penelitian ini terangkum dalam Bagan 3.1.
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
49
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian
No Variabel/
Subvariabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1. Sanitasi Lingkungan
Ruang Bangunan RS
Hasil penjumlahan skor
pemenuhan pada lembar
pengukuran
Pengukuran Lembar
pengukuran
1. Memenuhi syarat; jika
memiliki skor ≥ 75%
dari nilai yang
seharusnya
2. Tidak memenuhi syarat;
jika memiliki skor <75%
dari total nilai yang
seharusnya
(Kemenkes, 2004)
Ordinal
2. Suhu Derajat panas yang
terdapat dalam ruang
Pengukuran Thermometer 1. Memenuhi syarat; jika
hasil pengukuran 22 – 23
°C
2. Tidak memenuhi syarat;
jika hasil pengukuran
Ordinal
50
No Variabel/
Subvariabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
>23 °C
(Kemenkes, 2004)
3. Kelembaban Persentase uap air yang
terkandung dalam udara
Pengukuran Hygrometer 1. Memenuhi syarat; jika
hasil pengukuran 35 –
60%
2. Tidak memenuhi syarat;
jika hasil pengukuran
>60%
(Kemenkes, 2004)
Ordinal
4. Pencahayaan Besarnya penyinaran
yang terdapat dalam
suatu ruang
Pengukuran Luxmeter 1. Memenuhi syarat; jika
hasil pengukuran
maksimal 100 – 200 lux
2. Tidak memenuhi syarat;
jika hasil pengukuran
>200 lux
(Kemenkes, 2004)
Ordinal
51
No Variabel/
Subvariabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
5. Kadar debu Partikulat berdiameter 10
mikron yang terdapat
didalam suatu ruang
dengan rata-rata
pengukuran 8 jam atau 24
jam
Pengukuran Environmental
Particulate
Monitor
(EPAM) 5000
1. Memenuhi syarat; jika
hasil pengukuran ≤150
µg/m3
2. Tidak memenuhi syarat;
jika hasil pengukuran
>150 µg/m3
(Kemenkes, 2004)
Ordinal
6. Angka kuman dalam
udara
Banyaknya koloni
mikroorganisme yang
terkandung dalam udara
per meter kubik
Pengukuran MASS 100 NT 1. Memenuhi syarat; jika
hasil pengukuran
maksimal 200 CFU/m3
udara
2. Tidak memenuhi syarat;
jika hasil pengukuran
>200 CFU/m3 udara
(Kemenkes, 2004)
Ordinal
52
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan survei dengan disain penelitian studi cross
sectional deskriptif dimana melakukan pengamatan dan pengukuran sanitasi
lingkungan dengan menggunakan alat laboratorium pada waktu yang bersamaan.
4.2 Tempat dan Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di rumah sakit kelas A. Pemilihan rumah sakit
tersebut berdasarkan pertimbangan dari angka BOR, angka LOS, serta pencapaian
akreditasi paripurna A minimal sejak tahun 2014. Penelitian ini kemudian akan
dilaksanakaan pada bulan Agustus hingga November 2016. Adapun proses
kegiatan dapat dilihat pada bagan berikut:
Tabel 4.1 Rencana Kegiatan Penelitian
Jenis Kegiatan
Bulan
Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov
Penyusunan proposal penelitian
Pengambilan data
Pengolahan data
Analisis data
Penyusunan laporan
53
4.3 Populasi dan Sampel
Penelitian ini memiliki populasi berupa rumah sakit kelas A di Provinsi DKI
Jakarta. Kemudian untuk sampel penelitian didapatkan dengan menggunakan
teknik purposive sampling, dengan kriteria sebagai berikut:
a. RS milik Pemerintah, dimana didapatkan 39 rumah sakit.
b. RS Kelas A sejak tahun 2014, dimana kemudian didapatkan 11 rumah
sakit
c. RS dengan akreditasi paripurna sejak 2014, dimana didapatkan 8 rumah
sakit
d. RS dengan angka BOR (Bed Occupancy Rate) > 70%, yang kemudian
didapatkan 6 rumah sakit
e. RS dengan ALOS (Average Lenght of Stay) > 8 hari, yang kemudian
diperoleh 2 rumah sakit.
Adapun kedua rumah sakit yang menjadi sampel penelitian ini berdasarkan
kriteria tersebut adalah RS A dan RS B. Untuk dapat melihat rincian lengkap dari
partisipasi responden yang menjadi sampel dapat dilihat pada Bagan 4.1.
54
Rumah Sakit di DKI
Jakarta
( N = 182 )
Rumah Sakit milik
Pemerintah di DKI
Jakarta
( n = 51 )
Rumah Sakit milik
Pemerintah di DKI
Jakarta yang termasuk
dalam Kelas A sejak
2014
( n = 11 )
Rumah Sakit dengan
akreditasi paripurna
( n = 8 )
Rumah Sakit dengan
angka BOR > 70%
( n = 6 )
Rumah Sakit dengan
angka ALOS > 8 hari
( n = 2 )
Bagan 4.1 Bagan Alir Pelibatan Rumah Sakit sebagai Partisipan Penelitian
55
Berdasarkan Bagan 4.1, maka dapat diketahui bahwa response rate dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
4.4 Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai sumber data penelitian.
Adapun data sekunder yang diperlukan yaitu hasil pengukuran lingkungan berupa
suhu, kelembaban, tingkat pencahayaan, kadar debu PM10, dan angka kuman pada
udara. Data ini bersumber dari laporan kegiatan Surveilans Faktor Kesehatan
Lingkungan (SFRKL) pada Pelayanan Kesehatan oleh BBTKL PP Jakarta Tahun
2016.
Sementara itu, untuk mendukung peneliti dalam menggali informasi maka
dibutuhkan data pendukung. Adapun sumber data yang digunakan sebagai data
pendukung adalah data primer berupa hasil observasi dan wawancara.
4.5 Teknik Pengumpulan Data
Untuk data yang merupakan hasil pengukuran, maka instrumen yang
digunakan berupa formulir penilaian inspeksi rumah sakit yang terlampir sebagai
lampiran III dalam Kepmenkes Nomor 1204 Tahun 2004. Adapun dalam
melakukan upaya pengukuran variabel lingkungan tersebut, maka digunakanlah
beberapa prosedur kerja, yang antara lain:
56
1. MASS 100 NT, dimana digunakan untuk mengukur jumlah total koloni
mikroorganisme yang terdapat di udara. Adapun tahapan kerja yang
dilakukan yaitu
a. Menentukan titik pengukuran
b. Mengangkat tutup pada kepala bagian atas, dan membersihkannya
dengan menggunakan alcohol swab.
c. Meletakkan cawan petri yang berwarna biru. Bila diperlukan, maka
gunakan kunci Allen berdiameter 3mm untuk membantu proses
pemasangan cawan petri, khususnya untuk penyesuaian 3 pengungkit.
d. Pastikan cawan petri biru sudah terpasang dengan benar dan tidak lagi
goyah ataupun mudah tergeser. Hal ini dapat dipastikan dengan cara
meletakkan sampling head secara horizontal
e. Menekan tombol „yes‟ selama 5 detik untuk mengaktifkan MASS 100
NT yang ditandai dengan warna biru pada layar LED. Setelah
menyala, maka akan terlihat pada layar mengenai volume udara yang
dapat ditampung oleh alat, tanggal, serta daya baterai yang tersisa
f. Pilih „menu‟ untuk mengatur pengaturan sampling
g. Dengan menggunakan tombol panah, maka pilihlah „process setting
h. Pada bagian „mode‟ pilihlah STD untuk mode „standard sampling‟
i. Menekan tombol „back‟ untuk kembali ke menu utama
j. Menekan tombol „start‟ untuk memulai sampling. Karena telah diatur
dengan mode „standard sampling‟ , maka alat akan berhenti dengan
sendirinya jika volume sampling telah terpenuhi yang ditandai dengan
warna merah pada layar LED.
57
k. Menekan tombol „menu‟ yang dilanjutkan dengan memilih „shut
down‟ lalu OK
l. Menbuka penutup head sampling dan membersihkannya kembali
dengan menggunakan alcohol swab
m. Mengangkat petri dish yang udah siap di inkubasi
n. Memberi label keterangan sampling pada petri dish yang akan di
inkubasi
2. Luxmeter, dimana digunakan untuk mengukur jumlah penyinaran yang
terdapat didalam suatu ruang dalam satuan lux. Adapun tahapan kerja
yang harus dilakukan sesuai dengan SNI 16-7062-2004 tentang
Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja adalah
a. Mendeskripsikan area pengukuran.
1) Menghitung luas ruangan.
2) Menggambar denah ruangan (tata letak/lay out ruangan).
3) Mencatat warna ruangan.
4) Mencatat kondisi cuaca saat pengukuran.
b. Mendeskripsikan desain pencahayaan yang ada di area kerja.
1) Mencatat jumlah lampu yang digunakan.
2) Mencatat jenis lampu yang digunakan.
c. Menentukan titik pengukuran berdasarkan luas ruangan/area kerja dan
meja kerja.
1) Luas ruangan kurang dari 10 meter persegi : titik potong garis
horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap 1
(satu) meter.
58
2) Luas ruangan antara 10 meter persegi sampai 100 meter persegi :
titik potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan adalah
pada jarak setiap 3 (tiga) meter.
3) Luas ruangan lebih dari 100 meter persegi : titik potong garis
horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak 6 (enam)
meter.
4) Pengukuran setempat dilakukan dengan meletakkan alat di atas
meja kerja.
d. Memastikan keadaan pintu dan jendela diperlakukan seperti kegiatan
sehari-hari penggunaan ruangan tersebut.
e. Menyiapkan alat Lux Meter.
f. Memastikan alat Lux Meter dalam kondisi yang baik/lengkap.
g. Memasang baterai pada Lux Meter.
h. Menekan tombol power ON/OFF dan memastikan alat menunjukan
angka 0.00.
i. Membuka sensor cahaya dan mengatur range pengukuran (200, 2000,
20000, atau 200000).
j. Melakukan pengukuran di setiap titik dengan meletakkan Lux Meter
di atas meja kerja (pengukuran setempat) atau setinggi 100cm dari
lantai (pengukuran umum).
k. Mengarahkan sensor cahaya pada permukaan daerah yang akan diukur
kuat penerangannya dan menunggu hingga angka pada display terlihat
stabil.
59
l. Menekan tombol D/H unutk menghentikan angka saat pengukuran
(lakukan sebanyak 3 kali pengukuran pada tiap titik).
m. Membaca dan mencatat hasil pengukuran pada display Lux Meter.
n. Menutup kembali sensor cahaya saat penelitian telah selesai.
o. Mematikan alat dengan menekan tombol ON/OFF.
p. Menganalisis dan menginterpretasi data hasil pengukuran.
3. Hygro – Thermometer, dimana merupakan alat pembacaan langsung untuk
mengukur kelembaban dan suhu kering pada suatu ruangan, dengan unit
pengukuran yang disarankan oleh International Standard Organization
(ISO) adalah persentase untuk kelembaban, serta celcius atau derajat
kelvin untuk suhu. Adapun tahapan langkah kerja yang harus dilakukan
sesuai dengan SNI 16-7061-2004 tentang Pengukuran Iklim Kerja (Panas)
yaitu
a. Melakukan tahapan persiapan yaitu, tersedianya daya baterai pada alat
b. Melakukan kalibrasi pada alat yang akan digunakan di laboratorium
terakreditasi
c. Melakukan penentuan titik pengukuran untuk suhu dan kelembaban
yakni pada titik tengah ruangan
d. Meletakkan alat di atas bidang datar pada titik pengukuran selama ± 15
menit
e. Pengukuran dilakukan 3 kali dalam 8 jam kerja, yaitu pada awal shift
kerja, pertengahan shift kerja, dan akhir shift kerja.
f. Mencatat skala yang ditunjukkan oleh alat pada lembar observasi.
60
4. Environmental Particulate Monitor (EPAM) 5000, dimana digunakan
untuk menukur kadar partikulat dalam suatu ruang dengan satuan mg/m3.
adapun tahapan kerja yang dilakukan sesuai dengan buku manual
penggunaannya yaitu:
a. Melakukan pengecekan baterai. Sebelum digunakan, pastikan baterai
EPAM 5000 harus terisi penuh. Untuk mengisi baterai, gunakan EDC
EPAN, indikator LED pada baterai akan berubah menjadi hijau jika
baterai sudah penuh. Waktu untuk mengisi baterai sekitar 22 jam jika
penggunaan alat selama 24 jam.
b. Tekan ON/OFF untuk menyalakan EPAM
c. Tekan Enter untuk ke menu utama
d. Untuk melihat setting pada alat, pilih Special Function dari menu
utama, kemudian pilih Date/Time, kemudian pilih View Date/Time.
Tekan Enter untuk kembali ke layar Date/Time.
e. Untuk merubah setting pada alat, pilih Special Functions dari menu
utama, kemudian pilih Date/Time, kemudian pilih View Date/Time.
Kemudian masukkan data tangga dan waktu dengan menggunakan
tanda panah ke atas atau ke bawah. Tekan Enter jika sudah selesai
melakukan perubahan pengaturan. Pengaturan ini penting dilakukan
untuk menetapkan tanggal dan waktu data pengukuran diambil.
f. Untuk pengukuran alarm, pilih Special Functions dari menu utama,
kemudian pilih Set Alarm. Atur alarm sesuai dengan kebutuhan. Tekan
Enter jika sudah selesai pengaturan.
61
g. Untuk menghapus data. Pilih Special Functions dari menu utama,
kemudian pilih System Options. Kemudian pilih Erase Memory. Tekan
Yes untuk menghapus data.
h. Kemudian lakukan pengaturan mengenai ukuran partikulat yang akan
diukur dengan memilih Special Function dari menu utama.
i. Pilih System Options.
j. Pilih Extended Options.
k. Pilih Size Select.
l. Pilih 10 µm – E untuk partikulat berukuran 10 µm.
m. Masukkan inlet sampling 10 impactor jet kedalam kepala sensor dari
EPAM 5000.
n. Pasang filter cassete ke kepala sensor EPAM 5000.
o. Lakukan Manual Zero/Auto Zero.
p. Kemudian melakukan kalibrasi alat, yang dimulai dengan memilih
Special Function dari menu utama.
q. Pilih System Options.
r. Pilih Extended Options.
s. Pilih Calibration Options.
t. Pilih Manual Zero/Auto Zero. Jika memilih Manual Zero, maka tekan
lagi Manual Zero dan tunggu hingga 99 detik. Kemudia menu utama
akan muncul jika proses telah selesai.
u. Selanjutnya alat siap digunakan untuk melakukan pengukuran, yang
dimulai dengan menekan tombol ON/OFF pada alat
v. Pilih run, dan pilih Continue atau overwrite data
62
w. Untuk menghapus semua data sebelumnya yang telah terekam dalam
alat, pilih Overwrite, kemudia pilih Yes untuk megkonfirmasi, jika
pilih No, akan proses sampling akan tetap dapat dilakukan tanpa
mempengaruhi memori data
x. Untuk menambahkan data poin untuk ke lokasi penyimpanan data
pada pengukuran yang berturut turut pilih Continuation
y. Untuk pengambilan sampel tanpa fitur alarm tekan Run, untuk
pengambilan sampel dengan fitur alarm tekan Alarm-Continue.
z. Internal pump akan aktif dan memulai proses pengukuran. Pada layar
akan muncul data Run.
aa. Tekan enter untuk stop pengukuran data dan kembali ke menu utama
bb. Pilih Special Functions
cc. Pilih System Options
dd. Pilih Sample Rate. Pilih 1 second untuk maksimal pengukuran adalah
6 jam, pilih 10 second untuk maksimal pengukuran adalah 60 jam,
pilih 1 menit untuk maksimal pengukuran adalah 15 hari, dan pilih 30
menit untuk maksimal pengukuran adalah 15 bulan.
ee. Sampel yang ada akan diambil setiap detik dan akan dirata – ratakan
sesuai dengan interval waktu yang telah ditentukan.
ff. Setelah melakukan pengukuran, maka ada baiknya melihat kembali
hasil yang telah didapat dengan memilih Review Data
gg. Pilih Statistics
hh. Jika memori meletakkan data poin di lokasi lain, maka layar akan
menampilkan scanning data memori, lanjut ke step kk. Tapi jika
63
memori telah dibersihkan dari semua data poin yang ada, maka tidak
ada data yang tersimpan.
ii. Untuk memilih lokasi, jika ingin melihat hasil dari lokasi yang
berbeda, maka dapat memilih New Tag dan dilanjutkan ke step kk.
jj. Tekan enter untuk lokasi data yang ingin dilihat. Untuk melihat nilai
lokasi yang lebih kecil tekan panah ke bawah, jika ingin melihat nilai
lokasi data yang lebih besar tekan panah atas. Pilih digit atau ruang
selanjutnya dengan menekan Enter.
kk. Data pertama yang akan terlihat adalah lima layar statistic ketika data
dihitung. Pilih layar statistic dengan menekan panah bawah atau panah
atas.
4.6 Manajemen Data
1. Pemeriksaan Data
Data hasil pengukuran sanitasi lingkungan diperiksa kelengkapan
pencatatannya seperti tanggal pengambilan sampel, alamat, parameter yang
diukur, dan besar pemenuhan parameter. Selain itu, untuk data observasi
maka dilakukan pengecekan kembali apakah seluruh komponen penilaian
sudah terisi atau belum. Kemudian untuk hasil wawancara dilakukan
pemeriksaan mengenai kelengkapan pertanyaan yang diajukan sesuai dengan
pedoman wawancara serta adanya rekaman wawancara.
2. Pemasukan Data
Data hasil pengukuran dan hasil observasi yang sudah diperiksa
kemudian dimasukkan ke dalam komputer dalam bentuk tabular dengan
64
menggunakan software Microsoft Excel. Adapun untuk data hasil wawancara
maka dimasukkan ke dalam komputer dalam bentuk transkrip percakapan
dengan menggunakan software Microsoft Word.
3. Analisa Data
Data hasil pengukuran yang telah di input kemudian dilakukan
perhitungan jumlah skor sesuai dengan aturan perhitungan pada Kepmenkes
Nomor 1204/2004. Selain itu untuk data hasil observasi maka dilakukan
perhitungan banyaknya upaya tata laksana yang dilakukan oleh rumah sakit.
4. Penyajian Data
Data yang telah dianalisis kemudian disajikan dalam bentuk tabel
maupun grafik berdasarkan variabel pengukuran lingkungan di masing –
masing rumah sakit, sehingga akan lebih memudahkan pembaca dalam
memahami informasi yang disampaikan. Adapun untuk hasil wawancara
ditampilkan dalam bentuk narasi.
4.7 Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah univariat dengan bantuan software
Microsoft Excel yang bertujuan untuk menggambarkan karakteristik masing –
masing variabel. Adapun tahapan analisis yang harus ditempuh, adalah:
1. Mengisi lembar pengukuran dan lembar pengukuran
Lokasi Upaya Kesling
( a )
Komponen Penilaian
( b )
Nilai
( c )
Skor
( d )
1. Ruang Bedah/Operasi
(bobot 2)
Angka kuman maksimal 15
Kadar debu maksimal 10
65
Lokasi Upaya Kesling
( a )
Komponen Penilaian
( b )
Nilai
( c )
Skor
( d )
Pencahayaan 5
Suhu 10
Kelembaban 5
2. Ruang
Kebidanan/Perawatan
(bobot 2)
Angka kuman maksimal 15
Kadar debu maksimal 10
Pencahayaan 5
Suhu 10
Kelembaban 5
TOTAL SKOR
2. Melakukan perhitungan nilai sesuai dengan hasil pengukuran. Apabila
hasil pengukuran memenuhi persyaratan yang diatur oleh Kepmenkes
Nomor 1204/2004, maka komponen penilaian tersebut akan memperoleh
nilai sesuai dengan apa yang tercantum pada Kolom C. Sebaliknya, jika
hasil pengukuran tidak memenuhi syarat maka komponen penilaian akan
memperoleh nilai 0 (nol).
3. Menghitung skor komponen penilaian dengan cara mengalikan bobot pada
lokasi upaya kesling (Kolom A) dengan nilai yang diperoleh (Kolom C).
4. Melakukan rekapitulasi skor pada tabel.
5. Pengambilan konklusi sesuai dengan pemenuhan Kepmenkes Nomor
1204/2004 untuk rumah sakit kelas A, yaitu memenuhi syarat jika total
skor yang diperoleh adalah minimal 75% dari total skor yang seharusnya.
66
BAB V
HASIL
5 BAB V HASIL
5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Rujukan Nasional Penyakit Respirasi
(RS A)
5.1.1 Visi, Misi, dan Nilai
Dalam melaksanakan fungsinya selaku UPT dari Kementerian Kesehatan,
maka visi yang diusung oleh RS A adalah menjadi rumah sakit pusat respirasi
terkemuka di Asia Pasifik. Sedangkan misi yang dilakukan oleh RS A untuk
mencapai tujuan tersebut adalah
1. Melaksanakan pelayanan kesehatan yang berorientasi ada mutu dan
keselamatan pasien
2. Melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pelatihan kedokteran dan tenaga
kesehatan lain
3. Mengembangkan pelayanan yang terintegrasi dengan penelitian dan
pendidikan dalam bidang kesehatan respirasi, dan
4. Melaksanakan tata kelola rumah sakit dan tata kelola klinis yang
berstandar internasional
Kemudian untuk menjalankan kesemua hal tersebut, maka ada beberapa
nilai yang dijalankan oleh segenap pekerja di RS A, yakni Profesionalisme,
Integritas, Kolaborasi, Kesempurnaan, dan Orientasi.
5.1.2 Kegiatan Pelayanan Medik
Kegiatan pelayanan medik yang dilakukan oleh RS A terdiri dari beberapa
unit kegiatan, seperti pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap, pelayanan
67
gawat darurat, serta kamar operasi. Adapun daya tampung yang dimiliki oleh
pelayanan rawat inap yaitu sebesar 600 tempat tidur, dengan rincian komposisi
sebagai berikut:
Tabel 5.1 Distribusi Jumlah Tempat Tidur di RS A per Semester I Tahun
2016
Kelas Jumlah Tempat Tidur (unit)
Puspa Utama (Griya Puspa):
- Utama I
- Utama II
- Bayi
4
41
4
Kelas I 60
Kelas II 99
Kelas III 310
MDR 12
Level 11A 18
NICU 3
AI – ICU 2
AI – Observasi 4
ICCU 6
ICU 8
RICU 5
Intermediate Ward 20
HCU 4
TOTAL 600
Sumber: Bagian Rekam Medis dan SIM RS A (2016)
5.1.3 Kegiatan Penunjang Medik
Kegiatan pelayanan penunjang medis yang disediakan oleh RS A terdiri dari
kegiatan pelayanan CT – Scan, gizi, pelayanan medik terpadu, laboratorium
klinik, laboratorium patologi, laboratorium mikrobiologi, radiodiagnostik dan
68
radioterapi, rehabilitasi medik, CSSD, pemulasaran jenazah, serta apotik. Adapun
sumberdaya manusia yang dimiliki oleh RS A dalam menjalankan kegiatan
operasional penunjang medik, yakni:
Tabel 5.2 Distribusi Tenaga Medik di RS A per Semester I Tahun 2016
Jabatan Fungsional Jumlah
(Orang)
Jabatan Fungsional Jumlah
(Orang)
Dokter Umum dan Spesialis
Dokter umum 51 Dokter spesialis A 8
Dokter spesialis Og 14 Dokter spesialis Urologi 2
Dokter spesialis pd 10 Dokter spesialis Orthopedi 2
Dokter spesialis B 5 Dokter spesialis Kulit dan Kelamin 5
Dokter spesialis Radiologi 8 Dokter spesialis Forensik 1
Dokter spesialis Rehabilitai
Medik
5 Dokter spesialis Patologi Anatomi 2
Dokter spesialis An 6 Dokter spesialis Kesehatan Jiwa 2
Dokter spesialis Jp 6 Dokter spesialis Saraf 5
Dokter spesialis M 6 Dokter spesialis Bedah Saraf 2
Dokter spesialis THT 8 Dokter spesialis Bedah Plastik 1
Dokter spesialis PK 3 Dokter spesialis Bedah Toraks 4
Dokter spesialis Paru 25 Dokter spesialis Bedah Orthopedi 0
Dokter Gigi dan Spesialis
Dokter gigi 7 Dokter gigi spesialis Anak 2
Dokter gigi spesialis Bedah
Mulut
2 Dokter gigi spesialis Konservasi 2
Perawat dan Spesialis
Ners 65 Perawat gigi 8
Perawat lainnya 602 Perawat Komunitas 0
Tenaga Kesehatan Lainnya
Bidan Klinik 55 Apoteker 14
Radiografer 4 Analis farmasi 73
69
Jabatan Fungsional Jumlah
(Orang)
Jabatan Fungsional Jumlah
(Orang)
Radioterapis 20 Epidemiologi 2
Elektromedis 10 Adminitrasi kesehatan 10
Analis kesehatan 44 Kesehatan lingkungan 5
Refraksionis 4 Terapi wicara 1
Rekam medik 20 Dietisien 26
Teknisi transfusi darah 8 Fisioterapi 11
TOTAL 1176
Sumber: Bagian Rekam Medis dan SIM RS A (2016)
5.1.4 Kegiatan Penunjang Non Medik
Kegiatan pelayanan non medik yang disediakan oleh RS A terdiri dari
pelayanan sanitasi, masjid, dapur, laundry, teknik, parkir, ambulans, dan kantin.
Tabel 5.3 Distribusi Tenaga Non Medik di RS A per Semester I Tahun 2016
Jabatan Fungsional Jumlah (Orang)
Administrasi keuangan 2
Informasi teknologi 7
Hukum 5
Perpustakaan 1
Lainnya 718
TOTAL 733
Sumber: Bagian Rekam Medis dan SIM RS A (2016)
5.2 Sanitasi Lingkungan di Rumah Sakit A
Pengukuran sanitasi lingkungan yang dilakukan di RS A meliputi
pengukuran suhu, kelembaban, tingkat pencahayaan, kadar debu, serta angka
kuman dalam udara. Adapun pemenuhan yang dilakukan oleh rumah sakit sesuai
70
dengan standar Kepmenkes Nomor 1204/2004 dapat dilihat melalui tabel
rekapitulasi penilaian berikut:
Tabel 5.4 Penilaian Inspeksi Sanitasi Rumah Sakit Berdasarkan Kepmenkes
Nomor 1204/2004 di RS A Tahun 2016
Lokasi Upaya Kesling Komponen Penilaian Nilai Skor
1. Ruang Klinik Bedah
(bobot 2)
Angka kuman maksimal 15 0
Kadar debu maksimal 10 0
Pencahayaan 5 10
Suhu 10 0
Kelembaban 5 0
2. Ruang Klinik
Kebidanan
(bobot 2)
Angka kuman maksimal 15 0
Kadar debu maksimal 10 0
Pencahayaan 5 10
Suhu 10 0
Kelembaban 5 0
TOTAL SKOR 20
Berdasarkan Tabel 5.4, maka dapat diketahui bahwa hasil penilaian inspeksi
sanitasi yang dilakukan di RS A berdasarkan Kepmenkes Nomor 1204/2004
adalah tidak memenuhi syarat. Hal ini disimpulkan dari besarnya total skor yang
diperoleh, yaitu 20 (dua puluh). Suatu rumah sakit dengan tipe A akan
dikategorikan memenuhi syarat jika skor yang diperoleh adalah minimal 75% dari
total skor yang seharusnya. Kemudian komponen penilaian yang memenuhi baku
mutu adalah tingkat pencahayaan, baik di Ruang Klinik Bedah maupun di Ruang
Klinik Kebidanan RS A. Adapun rincian yang didapat dari pengukuran pada
masing – masing komponen penilaian dapat dilihat pada penjabaran berikut:
71
5.2.1 Suhu
Pengukuran besar suhu dalam ruangan dilakukan di Ruang Klinik Bedah
dan Klinik Kebidanan pada RS A. Pengukuran dilakukan oleh tim BBTKL PP
Jakarta, dimana hasil ukur tersebut dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni
memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat berdasarkan persyaratan dalam
Kepmenkes Nomor 1204 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit.
Tabel 5.5 Distribusi Pengukuran Suhu pada RS A
Lokasi Pengambilan Suhu ( °C )
Hasil Ukur Baku Mutu Status
Ruang Klinik Bedah 26,8 19 – 24 TMS
Ruang Klinik Kebidanan 25,4 22 – 24 TMS
Keterangan
MS : Memenuhi Syarat
TMS : Tidak Memenuhi Syarat
Berdasarkan Tabel 5.5, maka dapat diketahui bahwa suhu ruang yang
terdapat di ruang klinik bedah RS A adalah tidak memenuhi syarat. Hal ini
disimpulkan dari hasil pengukuran yang menunjukkan nilai yang lebih besar
dibandingkan dengan baku mutu. Adapun baku mutu untuk suhu ruang tersebut
telah diatur dalam Kepmenkes Nomor 1204/2004, dimana disebutkan untuk ruang
klinik bedah memiliki suhu ruang ideal berkisar antara 19 – 24° C dan untuk
ruang klinik kebidanan memiliki suhu ruang ideal berkisar antara 22 – 24° C.
5.2.2 Kelembaban
Pengukuran besar kelembaban dilakukan di Ruang Klinik Bedah dan Klinik
Kebidanan pada RS A. Pengukuran dilakukan oleh tim BBTKL PP Jakarta,
dimana hasil ukur tersebut dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni memenuhi
syarat dan tidak memenuhi syarat berdasarkan persyaratan dalam Kepmenkes
72
Nomor 1204 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
Sakit.
Tabel 5.6 Distribusi Pengukuran Kelembaban pada RS A
Lokasi Pengambilan Kelembaban ( % )
Hasil Ukur Baku Mutu Status
Ruang Klinik Bedah 67 45 – 60 TMS
Ruang Klinik Kebidanan 65 45 – 60 TMS
Keterangan
MS : Memenuhi Syarat
TMS : Tidak Memenuhi Syarat
Berdasarkan Tabel 5.6, maka dapat diketahui bahwa kelembaban pada ruang
klinik bedah dan ruang klinik kebidanan RS A adalah tidak memenuhi syarat. Hal
ini diketahui dari hasil pengukuran yang melebihi dari baku mutu yang telah
diatur dalam Kepmenkes Nomor 1204/2004, dimana menyebutkan bahwa
kelembaban ideal untuk ruang klinik bedah ataupun kebidanan berkisar antara 45
– 60 %.
5.2.3 Pencahayaan
Pengukuran besar pencahayaan dilakukan di Ruang Klinik Bedah dan
Klinik Kebidanan pada RS A. Pengukuran dilakukan oleh tim BBTKL PP Jakarta,
dimana hasil ukur tersebut dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni memenuhi
syarat dan tidak memenuhi syarat berdasarkan persyaratan dalam Kepmenkes
Nomor 1204 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
Sakit.
Tabel 5.7 Distribusi Pengukuran Pencahayaan pada RS A
Lokasi Pengambilan Pencahayaan ( lux )
Hasil Ukur Baku Mutu Status
Ruang Klinik Bedah 409 300 – 500 MS
73
Lokasi Pengambilan Pencahayaan ( lux )
Hasil Ukur Baku Mutu Status
Ruang Klinik Kebidanan 351 300 – 500 MS
Keterangan
MS : Memenuhi Syarat
TMS : Tidak Memenuhi Syarat
Berdasarkan Tabel 5.7, maka dapat diketahui bahwa tingkat pencahayaan di
Ruang Klinik Bedah dan Ruang Klinik Kebidanan RS A adalah memenuhi syarat.
Hal ini diketahui dari hasil pengukuran yang berada di dalam batasan baku mutu
yang telah diatur dalam Kepmenkes Nomor 1204/2004. Peraturan tersebut
menjabarkan bahwa tingkat pencahayaan yang sesuai untuk ruang klinik bedah
ataupun kebidanan berkisar antara 300 – 500 lux.
5.2.4 Kadar Debu
Pengukuran besar kadar debu dilakukan di Ruang Klinik Bedah dan Klinik
Kebidanan pada RS A. Pengukuran dilakukan oleh tim BBTKL PP Jakarta,
dimana hasil ukur tersebut dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni memenuhi
syarat dan tidak memenuhi syarat berdasarkan persyaratan dalam Kepmenkes
Nomor 1204 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
Sakit.
Tabel 5.8 Distribusi Pengukuran Kadar Debu pada RS A
Lokasi Pengambilan Kadar Debu ( µg/m
3 )
Hasil Ukur Baku Mutu Status
Ruang Klinik Bedah 159 150 TMS
Ruang Klinik Kebidanan 163 150 TMS
Keterangan
MS : Memenuhi Syarat
TMS : Tidak Memenuhi Syarat
Berdasarkan Tabel 5.8, maka dapat diketahui bahwa kadar debu dengan
besar diameter 10 mikron di Ruang Klinik Bedah dan Ruang Klinik Kebidanan
74
RS A adalah tidak mememuhi syarat. Hal ini diketahui dari hasil pengukuran yang
melebihi baku mutu yang telah ditetapkan dalam Kepmenkes Nomor 1204/2004
yaitu 150 µg/m3.
5.2.5 Angka Kuman dalam Udara
Pengukuran angka kuman dalam udara pada penelitian ini menggunakan
alat berupa MASS 100 NT oleh tim BBTKL PP Jakarta. Terdapat 2 (dua) hasi
ukur dari variabel ini, yakni memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat sesuai
dengan persyaratan dialam Kepmenkes Nomor 1204 Tahun 2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
Tabel 5.9 Distribusi Angka Kuman dalam Udara pada RS A
Lokasi Pengambilan Angka Kuman dalam Udara ( CFU/m
3 )
Hasil Ukur Kuman Dominan Baku Mutu Status
Ruang Klinik Bedah 550 Bacillus sp. 10 TMS
Ruang Klinik Kebidanan 800 Staphylococcus sp. 200 – 500 TMS
Keterangan
MS : Memenuhi Syarat
TMS : Tidak Memenuhi Syarat
Berdasarkan Tabel 5.9, maka dapat diketahui bahwa hasil pengukuran baik
di Ruang Klinik Bedah ataupun Klinik Kebidanan RS A, keduanya tidak
memenuhi syarat karena melebihi baku mutu yang telah diatur dalam Kepmenkes
Nomor 1204 Tahun 2004. Berdasarkan hasil pengukuran juga diketahui bahwa
kuman dominan yang terdapat di Ruang Klinik Bedah adalah Bacillus sp
sedangkan kuman dominan yang terdapat di Ruang Klinik Kebidanan adalah
Staphylococcus sp.
75
5.3 Gambaran Umum Rumah Sakit Rujukan Nasional Penyakit Infeksi
(RS B)
5.3.1 Visi, Misi, dan Nilai
Adapun visi yang ingin dicapai oleh RS B sebagai salah satu UPT dari
Kementerian Kesehatan adalah menjadi rumah sakit rujukan nasional dan pusat
kajian penyakit infeksi yang terdepan setingkat Asia Pasifik Tahun 2019.
Sedangkan untuk mencapai hal tersebut, maka upaya yang dilakukan oleh RS B
antara lain:
1. Menyelenggarakan pengelolaan penyakit infeksi, termasuk new
emerging, re – emerging, dan tropical medicine secara paripurna dan
profesional berbasis kualitas dan keamanan
2. Menyelenggarakan kajian, penelitian yang sesuai dengan standar ilmiah,
etik, serta berbasis bukti dan nilai pengembangan, pencegahan, dan
penanggulangan penyakit infeksi, termasuk new emerging, re –
emerging, dan tropical medicine
3. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan penyakit infeksi, termasuk
new emerging, re – emerging, dan tropical medicine secara profesional
4. Menyelenggarakan jejaring pelayanan, pendidikan dan penelitian di
bidang penyakit infeksi, termasuk new emerging, re-emerging, dan
tropical medicine baik di lingkup nasional maupun internasional
Kemudian, dalam melaksanakan kegiatan operasional maka dibutuhkan
nilai – nilai yang harus diamalkan oleh segenap karyawan di RSPI – SS, yakni:
1. Responsive (R), dimana siap untuk memberikan bantuan kepada yang
membutuhkan pelayanan
76
2. Satisfication (S), dimana memberikan pelayanan lebih dari yang
diharapkan
3. Profesionalism (P), dimana memberikan pelayanan ramah dan bermutu
sesuai dengan standar profesi
4. Integrity (I), dimana menjalankan tugas degan penuh tanggung jawab,
dapat dipercaya, disiplin, konsisten, serta berkualitas
5.3.2 Kegiatan Pelayanan Medik
Kegiatan pelayanan medik yang dilakukan oleh RS B terdiri dari beberapa
unit kegiatan, seperti pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap, pelayanan
isolasi, serta kamar operasi. Adapun daya tampung yang dimiliki oleh pelayanan
rawat inap yaitu sebesar 189 tempat tidur, dengan rincian komposisi sebagai
berikut:
Tabel 5.10 Distribusi Jumlah Tempat Tidur di RS B per Semester I Tahun
2016
Kelas Jumlah Tempat Tidur (unit)
VVIP 0
VIP 2
Kelas I 26
Kelas II 16
Kelas III 115
ICU 3
PICU 0
NICU 0
Bayi Baru Lahir 5
HCU 5
ICCU 0
Kamar Bersalin 1
Ruang Operasi 2
77
Kelas Jumlah Tempat Tidur (unit)
Ruang Isolasi 14
TOTAL 189
5.3.3 Kegiatan Penunjang Medik
Kegiatan pelayanan penunjang medis yang disediakan oelh RS B terdiri dari
kegiatan pelayanan CT – Scan, gizi, pelayanan medik terpadu, laboratorium
klinik, laboratorium patologi, laboratorium mikrobiologi, radiodiagnostik dan
radioterapi, rehabilitasi medik, serta apotik. Adapun sumberdaya manusia yang
dimiliki oleh RS B dalam menjalankan kegiatan operasional penunjang medik,
yakni:
Tabel 5.11 Distribusi Tenaga Medik di RS B per Semester I Tahun 2016
Jabatan Fungsional Jumlah
(Orang) Jabatan Fungsional
Jumlah
(Orang)
Dokter Umum dan Spesialis
Dokter umum 30 Dokter spesialis A 5
Dokter spesialis Og 2 Dokter spesialis Urologi 0
Dokter spesialis pd 3 Dokter spesialis Orthopedi 0
Dokter spesialis B 2 Dokter spesialis Kulit dan Kelamin 2
Dokter spesialis Radiologi 2 Dokter spesialis Forensik 0
Dokter spesialis Rehabilitai
Medik
1 Dokter spesialis Patologi Anatomi 0
Dokter spesialis An 3 Dokter spesialis Kesehatan Jiwa 0
Dokter spesialis Jp 0 Dokter spesialis Saraf 2
Dokter spesialis M 2 Dokter spesialis Bedah Saraf 1
Dokter spesialis THT 2 Dokter spesialis Bedah Plastik 0
Dokter spesialis PK 2 Dokter sub spesialis 1
Dokter spesialis Paru 5 Dokter spesialis Bedah Orthopedi 1
Dokter Gigi dan Spesialis
78
Jabatan Fungsional Jumlah
(Orang) Jabatan Fungsional
Jumlah
(Orang)
Dokter gigi 2 Dokter gigi spesialis Anak 0
Dokter gigi spesialis Bedah
Mulut
0 Dokter gigi spesialis Konservasi 0
Perawat dan Spesialis
Ners 21 Perawat gigi 2
Perawat lainnya 187 Perawat Komunitas 0
Tenaga Kesehatan Lainnya
Bidan Klinik 15 Apoteker 5
Radiografer 9 Analis farmasi 13
Radioterapis 0 Epidemiologi 3
Elektromedis 9 Biostatistik 1
Analis kesehatan 5 Kesehatan lingkungan 6
Refraksionis 0 Terapi wicara 0
Rekam medik 9 Nutrisionis 5
Teknisi transfusi darah 0 Fisioterapi 3
TOTAL 361
5.3.4 Kegiatan Penunjang Non Medik
Kegiatan pelayanan non medik yang disediakan oleh RS B terdiri dari
pelayanan administrasi, sanitasi, masjid, dapur, laundry, teknik, parkir, ambulans,
dan kantin.
Tabel 5.12 Distribusi Tenaga Non Medik di RS B per Semester I Tahun 2016
Jabatan Fungsional Jumlah (Orang)
Administrasi keuangan 10
Informasi teknologi 0
Hukum 2
Perpustakaan 1
Perencanaan 2
79
Jabatan Fungsional Jumlah (Orang)
Jaminan Kesehatan 8
Pelaporan 1
Sanitasi 1
Lainnya 134
TOTAL 159
5.4 Sanitasi Lingkungan di Rumah Sakit B
Penilaian sanitasi lingkungan yang dilakukan di RS B meliputi pemenuhan
suhu, kelembaban, tingkat pencahayaan, kadar debu, serta angka kuman dalam
udara. Adapun upaya pemenuhan yang dilakukan oleh rumah sakit sesuai dengan
standar Kepmenkes Nomor 1204/2004 dapat dilihat melalui tabel rekapitulasi
penilaian berikut:
Tabel 5.13 Penilaian Inspeksi Sanitasi Rumah Sakit Berdasarkan
Kepmenkes Nomor 1204/2004 di RS B Tahun 2016
Lokasi Upaya Kesling Komponen Penilaian Nilai Skor
1. Ruang Operasi II
(bobot 2)
Angka kuman maksimal 15 0
Kadar debu maksimal 10 20
Pencahayaan 5 10
Suhu 10 0
Kelembaban 5 0
2. Ruang ICU
(bobot 2)
Angka kuman maksimal 15 30
Kadar debu maksimal 10 20
Pencahayaan 5 0
Suhu 10 0
Kelembaban 5 0
TOTAL SKOR 80
80
Berdasarkan Tabel 5.13, maka dapat diketahui bahwa hasil penilaian
inspeksi sanitasi yang dilakukan di RS B berdasarkan Kepmenkes Nomor
1204/2004 adalah tidak memenuhi syarat. Hal tersebut diketahui dari perolehan
skor yang masih kurang dari 75% dari total skor yang seharusnya. Adapun
komponen penilaian yang memenuhi baku mutu adalah angka kuman maksimal,
kadar debu maksimal, dan pencahayaan. Lalu, untuk rincian yang didapat dari
hasil pengukuran pada masing – masing komponen penilaian dapat dilihat pada
penjabaran berikut:
5.4.1 Suhu
Pengukuran besar suhu ruangan dilakukan di Ruang Operasi II dan Ruang
ICU, RS B. Pengukuran dilakukan oleh tim BBTKL PP Jakarta, dimana hasil ukur
tersebut dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni memenuhi syarat dan tidak
memenuhi syarat berdasarkan persyaratan dalam Kepmenkes Nomor 1204 Tahun
2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
Tabel 5.14 Distribusi Pengukuran Suhu pada RS B
Lokasi Pengambilan Suhu ( °C )
Hasil Ukur Baku Mutu Status
Ruang Operasi II 24,2 19 – 24 TMS
Ruang ICU 26,5 22 – 23 TMS
Keterangan
MS : Memenuhi Syarat
TMS : Tidak Memenuhi Syarat
Berdasarkan Tabel 5.14, maka dapat diketahui bahwa suhu ruangan yang
terdapat di Ruang Operasi II maupun Ruang ICU RS B adalah tidak memenuhi
syarat. Hal tersebut dikarenakan hasil pengukuran yang didapat melebihi baku
mutu yang telah diatur dalam Kepmenkes Nomor 1204/2004, dimana
81
menyebutkan bahwa suhu ideal untuk ruang operasi berkisar antara 19 – 24° C,
sedangkan untuk ruangan ICU adalah 22 – 23° C.
5.4.2 Kelembaban
Pengukuran tingkat kelembaban dilakukan di Ruang Operasi II dan Ruang
ICU, RS B. Pengukuran dilakukan oleh tim BBTKL PP Jakarta, dimana hasil ukur
tersebut dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni memenuhi syarat dan tidak
memenuhi syarat berdasarkan persyaratan dalam Kepmenkes Nomor 1204 Tahun
2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
Tabel 5.15 Distribusi Pengukuran Kelembaban pada RS B
Lokasi Pengambilan Kelembaban ( % )
Hasil Ukur Baku Mutu Status
Ruang Operasi II 66 45 – 60 TMS
Ruang ICU 67 35 – 60 TMS
Keterangan
MS : Memenuhi Syarat
TMS : Tidak Memenuhi Syarat
Berdasarkan Tabel 5.15, maka dapat diketahui bahwa tingkat kelembaban
yang terdapat dalam Ruang Operasi II dan Ruang ICU RS B adalah tidak
memenuhi syarat. Kesimpulan tersebut didapatkan berdasarkan hasil pengukuran
yang melebihi baku mutu yang telah diatur dalam Kepmenkes Nomor 1204/2004
yang menyebutkan bahwa kelembaban ideal yang terdapat dalam sebuah ruang
operasi berkisar antara 45 – 60 %, dan untuk ruang ICU berkisar antara 35 – 60%.
5.4.3 Pencahayaan
Pengukuran besar pencahayaan dilakukan di Ruang Operasi II dan Ruang
ICU, RS B. Pengukuran dilakukan oleh tim BBTKL PP Jakarta dengan
menggunakan alat luxmeter. Hasil ukur tersebut kemudian dibagi menjadi 2 (dua)
kategori, yakni memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat berdasarkan
82
persyaratan dalam Kepmenkes Nomor 1204 Tahun 2004 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
Tabel 5.16 Distribusi Pengukuran Pencahayaan pada RS B
Lokasi Pengambilan Pencahayaan ( lux )
Hasil Ukur Baku Mutu Status
Ruang Operasi II 383 300 – 500 MS
Ruang ICU 201 300 – 500 TMS
Keterangan
MS : Memenuhi Syarat
TMS : Tidak Memenuhi Syarat
Berdasarkan Tabel 5.16, maka dapat diketahui bahwa tingkat pencahayaan
di Ruang Operasi II RS B adalah memenuhi syarat. Hal ini diketahui dari hasil
pengukuran yang berada pada rentang baku mutu yang telah diatur oleh
Kepmenkes Nomor 1204/2004. Namun sebaliknya, diketahui bahwa hasil
pengukuran di Ruang ICU RS B adalah tidak memenuhi syarat karena berada
dibawah baku mutu yang telah diatur dalam Kepmenkes Nomor 1204/2004.
Peraturan tersebut menyebutkan bahwa tingkat pencahayaan ideal yang dimiliki
oleh ruang operasi ataupun ruang ICU berkisar antara 300 – 500 lux.
5.4.4 Kadar Debu
Pengukuran besar kadar debu dilakukan di Ruang Operasi II dan Ruang
ICU, RS B. Pengukuran dilakukan oleh tim BBTKL PP Jakarta menggunakan alat
EPAM 500 dengan panjang diameter filter 10 mikron. Hasil ukur tersebut
kemudian dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni memenuhi syarat dan tidak
memenuhi syarat berdasarkan persyaratan dalam Kepmenkes Nomor 1204 Tahun
2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
83
Tabel 5.17 Distribusi Pengukuran Kadar Debu pada RS B
Lokasi Pengambilan Kadar Debu ( µg/m
3 )
Hasil Ukur Baku Mutu Status
Ruang Operasi II 33 150 MS
Ruang ICU 105 150 MS
Keterangan
MS : Memenuhi Syarat
TMS : Tidak Memenuhi Syarat
Berdasarkan Tabel 5.17, maka dapat diketahui bahwa kadar debu dengan
diameter 10 mikron pada Ruang Operasi II dan Ruang ICU RS B adalah
memenuhi syarat. Informasi tersebut diketahui dari hasil pengukuran yang berada
di bawah baku mutu yang telah diatur dalam Kepmenkes Nomor 1204/2004.
Peraturan tersebut menyebutkan bahwa pada idealnya ruang operasi ataupun
ruang ICU memiliki kadar debu berdiameter 10 mikron adalah maksimal 150
µg/m3.
5.4.5 Angka Kuman dalam Udara
Pengukuran angka kuman dalam udara pada penelitian ini menggunakan
alat berupa MASS 100 NT oleh tim BBTKL PP Jakarta. Terdapat 2 (dua) hasi
ukur dari variabel ini, yakni memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat sesuai
dengan persyaratan dalam Kepmenkes Nomor 1204 Tahun 2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
Tabel 5.18 Distribusi Angka Kuman dalam Udara pada RS B
Lokasi Pengambilan Angka Kuman dalam Udara ( CFU/m
3 )
Hasil Ukur Kuman Dominan Baku Mutu Status
Ruang Operasi 2 50 Staphylococcus sp. 10 TMS
Ruang ICU 40 Streptococcus sp. 200 MS
Keterangan
MS : Memenuhi Syarat
TMS : Tidak Memenuhi Syarat
84
Berdasarkan Tabel 5.18, maka dapat diketahui bahwa angka kuman dalam
udara di Ruang Operasi II RS B adalah tidak memenuhi syarat dengan kuman
dominan Staphylococcus sp. Hal tersebut dikarenakan hasil pengukuran pada
ruangan tersebut berada diatas baku mutu yang telah diatur dalam Kepmenkes
Nomor 1204/2004, yaitu 10 CFU/m3. Sementara itu, angka kuman dalam udara di
Ruang ICU RS B adalah memenuhi syarat karena berada dibawah baku mutu
yang telah diatur dalam Kepmenkes Nomor 1204 Tahun 2004, yaitu 200 CFU/m3.
85
BAB VI
PEMBAHASAN
6 BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Setiap penelitian tentu saja memiliki keterbatasan. Keterbatasan inilah yang
kemudian harus dikelola oleh Peneliti untuk mengurangi kerancuan dalam
menampilan hasil penelituan. Adapun keterbatasan dalam penelitian ini antara
lain:
1. Pada penelitian ini tidak bisa dilakukan analisis perbandingan antar rumah
sakit. Hal tersebut dikarenakan adanya ketidaksetaraan jenis ruangan yang
dijadikan sebagai lokasi pengukuran pada masing – masing rumah sakit.
2. Adanya ketidaksesuaian rata – rata lama pengukuran kadar debu yang
dilakukan oleh peneliti dengan standar yang telah ditetapkan oleh
Kepmenkes Nomor 1204/2004. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan
bahwa pengukuran kadar debu partikulat dalam ruangan dilakukan dengan
rata – rata lama pengukuran minimal 8 jam atau 24 jam. Akan tetapi,
dalam praktiknya peneliti hanya melakukannya dengan rata – rata lama
pengukuran 1 jam. Hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan
jenis lokasi pengukuran yang cenderung statis terkait sumber cemaran
debu partikulat. Walaupun demikian, hal ini kemudian masih dapat
dimaklumi karena berdasarkan NIOSH Manual of Analytical Methods
0600 bahwa pengukuran debu partikulat dapat dilakukan dalam rentang
waktu 45 menit – 8 jam.
86
6.2 Sanitasi Lingkungan
Rumah sakit merupakan salah satu jenis pelayanan kesehatan yang terdapat
di Indonesia. Disinilah kemudian berkumpul orang sakit maupun orang sehat
sehingga dimungkinkan menjadi tempat penularan penyakit. Selain itu, rumah
sakit kemudian juga berpotensi untuk menjadi tempat terjadinya pencemaran
lingkungan dan gangguan kesehatan lainnya. Untuk menghindari risiko serta
gangguan kesehatan lainnya yang disebabkan oleh kegiatan yang berlangsung di
rumah sakit, maka perlu dilakukan penyelenggaraan sanitasi lingkungan di
kawasan rumah sakit. Adapun standar dalam pelaksanaan sanitasi lingkungan
rumah sakit telah tertuang dalam Kepmenkes Nomor 1204 Tahun 2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit (Kementerian Kesehatan, 2004).
Namun, perlu diketahui bahwa pelaksanaan sanitasi lingkungan di kawasan
rumah sakit menjadi hal yang sulit direalisasikan. Hal ini kemudian sejalan
dengan WHO (2008) yang menyebutkan bahwa hal tersebut dikarenakan jenis
aktivitas yang dilakukan di rumah sakit yang dapat dikategorikan memiliki
potensi cukup besar untuk menimbulkan bahaya kesehatan. Bahaya kesehatan
tersebut bukan hanya mengancam pasien, namun juga pengunjung serta pekerja
rumah sakit. Jika melihat pada jumlah pekerja, dan daya tampung pasien yang
dimiliki oleh rumah sakit maka akan semakin tergambar jelas mengenai risiko
penularan penyakit di rumah sakit. Hal inilah yang menyebabkan sanitasi
lingkungan di rumah sakit menjadi sulit untuk dipenuhi karena kawasan rumah
sakit merupakan salah satu tempat yang sangat kompleks.
Hal ini terbukti dengan hasil dari pengumpulan data yang dilakukan oleh
Peneliti. Diketahui bahwa hasil pengukuran terhadap variabel angka kuman dalam
87
udara, pencahayaan, kadar debu, suhu, dan kelembaban dari 2 (dua) rumah sakit
tipe A di Provinsi DKI Jakarta adalah masih adanya variabel yang tidak
memenuhi syarat seperti angka kuman dalam udara, suhu, dan kelembaban. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa masih rendahnya pemenuhan yang dilakukan oleh
rumah sakit terhadap persyaratan kesehatan lingkungan di rumah sakit yang diatur
dalam Kepmenkes Nomor 1204/2004.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua rumah sakit tersebut, maka baik
RS A ataupun RS B mengakui bahwa kurangnya kerjasama antar semua pihak
yang terlibat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya pemenuhan
persyaratan kesehatan lingkungan di RS tersebut. Menurut mereka, pemenuhan
persyaratan kesehatan lingkungan dalam rangka pengendalian infeksi di rumah
sakit tidak hanya menjadi tanggungjawab tim sanitasi saja, namun juga
melibatkan banyak pihak seperti tim sarana dan prasarana. Hasil observasi
menunjukkan bahwa hasil pemantauan suhu dan kelembaban yang dilakukan oleh
Tim Sarana dan Prasarana seharusnya diserahkan juga kepada Tim Sanitasi untuk
kemudian dilakukan analisis risiko terhadap ancaman penularan penyakit di
rumah sakit. Namun, penerapan alur kerja tersebut ternyata masih belum
terlaksana sehingga menyebabkan adanya kesulitan Tim Sanitasi dalam
melakukan pemantauan persyaratan kesehatan lingkungan.
Hal ini sesuai dengan penjabaran WHO (2002) yang menyebutkan bahwa
pelaksanaan kegiatan pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit merupakan
tanggung jawab dari semua orang yang terlibat pada kegiatan di rumah sakit yang
bersangkutan, mulai dari pengunjung, pasien, dan pekerja. Menurut WHO (2008)
untuk meningkatkan rasa tanggung jawab dalam rangka pencegahan infeksi di
88
rumah sakit, maka dibutuhkan sebuah momen khusus untuk memberikan
pengarahan dan pelatihan kepada pekerja, khususnya yang terlibat langsung dalam
upaya pemeliharaan hygiene dan sanitasi di rumah sakit. Pada momen tersebut
diharapkan pekerja mampu memahami pentingnya mengikuti prosedur kerja yang
berlaku untuk menjamin kesehatan dan keselamatan pekerja, pasien, dan
pengunjung dari risiko tertular penyakit. Selain peningkatan tanggung jawab
kepada pekerja, maka peningkatan tersebut juga perlu dilakukan kepada pasien
dan pengunjung sehingga upaya pencegahan infeksi di rumah sakit berjalan lebih
komprehensif.
Diketahui bahwa objek yang perlu dilindungi dari infeksi penyakit di rumah
sakit adalah pekerja, pasien, dan pengunjung selama 24 jam sehari dan 7 hari
semingggu. Untuk dapat merealisasikan hal tersebut, maka dibutuhkan banyak
tenaga dengan latar belakang pendidikan yang multidisiplin sehingga dapat
dilakukan upaya pemantauan yang berkesinambungan. Oleh sebab itu, untuk
memudahkan pelaksanaan upaya pemantauan yang terintegrasi guna mencegah
infeksi di rumah sakit, maka WHO (2002) menyebutkan bahwa monitoring
pemenuhan kondisi lingkungan rumah sakit ini dapat dilakukan oleh tim khusus.
Tim ini memiliki tanggung jawab untuk membuat perencanaan, koordinasi, dan
upaya pemantauan berkala mengenai pengendalian infeksi secara komprehensif
dan terintegritas dengan semua departemen.
Diketahui bahwa baik RS A ataupun RS B, keduanya telah memiliki tim
khusus tersebut dengan deskripsi kerja berupa kegiatan pemantauan kejadian
infeksi nosokomial di rumah sakit tersebut. Adapun pekerja yang tergabung
didalam tim khusus tersebut merupakan tenaga manajerial yang bekerja secara
89
mandiri dan tidak tergabung dalam departemen manapun. Hal ini kemudian tidak
sesuai dengan penjabaran WHO (2002) yang menyebutkan bahwa tim khusus ini
dianjurkan merupakan perwakilan dari seluruh departemen sehingga akan
meningkatkan peran dan tanggung jawab untuk upaya pencegahan infeksi di
rumah sakit. Selain itu melihat dari banyaknya jumlah pekerja dan daya tampung
pasien yang harus dillindungi, maka tim khusus ini juga memiliki peran untuk
mengurangi kejadian tanggung gugat kepada tim sanitasi di rumah sakit. Hasil
dari kegiatan tersebut pun dapat diolah menjadi data epidemiologi untuk
keperluan investigasi wabah, evaluasi mengenai efektivitas dari kegiatan
dekontaminasi, serta menilai kebutuhan pelatihan staf sehingga proses
pencegahan infeksi nosokomial pun akan lebih optimal.
6.2.1 Suhu
Bangunan rumah sakit menjadi salah satu fasilitas kesehatan yang
membutuhkan perhatian khusus dalam perencanaan, pembangunan,
pengoperasian, dan pemeliharaan terutama pada sarana dan prasarana instalasi tata
udara. Terlebih lagi dengan pertimbangan adanya ruangan dengan tindakan medik
yang membutuhkan sistem tata udara yang tidak boleh berhenti untuk melindungi
pasien, staf, dan peralatan medik dari kontaminasi. Selain itu, terdapat juga
ruangan dengan fungsi beragam berdasarkan jenis dan tingkat keparahan penyakit,
sehingga juga akan dibutuhkan perlakuan sistem tata udara yng berbeda pula. Hal
inilah yang kemudian menjadikan sistem tata udara di rumah sakit begitu
kompleks. Adapun sistem tata udara di rumah sakit memiliki korelasi dengan
HVAC (Heating, Ventilating, and Air Conditioning). HVAC ini merupakan
kumpulan alat dengan fungsi yang berbeda – beda yang saling bekerja sama untuk
90
mengendalikan beberapa parameter kritis tata udara di rumah sakit yang salah
satunya adalah suhu ruangan (Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Paulisa et al. (2008) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan suhu
adalah derajat panas atau dingin suatu benda atau ruangan. Pemantauan suhu di
rumah sakit menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan
suhu ruangan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangbiakkan
bakteri. Hal ini kemudian sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah
& Hakim (2011) yang menyebutkan bahwa korelasi tersebut memiliki nilai
signifikansi (p) sebesar 0,0472.
Diketahui juga bahwa suhu optimal untuk pertumbuhan bagi bakteri sangat
bervariasi dan bergantung pada jenis bakteri itu sendiri. Pada suhu yang tepat
(optimal), sel bakteri dapat memperbanyak diri dan tumbuh sangat cepat.
Sedangkan pada suhu yang lebih rendah atau lebih tinggi, ia masih dapat
memperbanyak diri, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil dan tidak secepat jika
dibandingkan dengan pertumbuhan pada suhu optimalnya (Waluyo, 2007). Oleh
sebab itu, bakteri dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelas berdasarkan suhu
idealnya yakni psikrofil, mesofil, termofil, dan hipertermofil (Madigan et al.,
2009).
Berdasarkan kegiatan pengambilan data maka diketahui bahwa 4 titik
(100%) yang dilakukan pengukuran variabel suhu berstatus tidak memenuhi
syarat karena melebihi baku mutu yang telah diatur dalam Kepmenkes Nomor
1204/2004. Adapun titik pengukuran tersebut berasal dari 2 (dua) rumah sakit
dengan rincian ruang klinik bedah (26,8° C) dan ruang klinik kebidanan (25,4° C)
dari RS A, serta ruang operasi (24,2° C) dan ruang ICU (26,5° C) dari RS B.
91
Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, maka tidak terpenuhinya hasil
pengukuran suhu ruangan oleh pihak rumah sakit tentu akan memiliki dampak
yang tidak menguntungkan. Jika tidak segera dilakukan upaya perbaikan, maka
ruangan dengan suhu yang tidak memenuhi syarat tersebut akan berisiko untuk
mendukung perkembangan mikroorganisme. Adapun mikroorganisme yang
dimungkinkan berkembangbiak sesuai dengan suhu pada hasil pengukuran adalah
mikroorganisme pada kelas mesofil, yang antara lain Bacilllus psychrophilus,
Pseudomonas fluorescens, Amoeba preoteus, Skeletonema costatum, Candida
scotti, dan Saccaromyces cerevisiae (Prescott, 2008). Terlebih jika melihat fungsi
yang dijalankan oleh rumah sakit, maka dapat dikatakan bahwa rumah sakit
merupakan lokasi yang ideal untuk menularkan penyakit. Hal ini kemudian
sejalan dengan penelitian Paulutu et al. (2014) yang menyebutkan bahwa tidak
terpenuhinya parameter suhu memiliki hubungan dengan keberadaan bakteri
Staphylococcus aureus di ruang rawat inap kelas II dan III RSUD Toto Kabila.
WHO (2008) menyebutkan bahwa terdapat banyak rumah sakit yang masih
belum mampu untuk memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan dalam
pengoperasionalan kegiatannya. Adapun penyebabnya sangat bervariasi seperti
tidak tersedianya sumberdaya, kurangnya keterampilan, serta minimnya dukungan
dari tim manajerial rumah sakit. Selain itu dibutuhkan upaya yang berkelanjutan,
kerjasama yang multidisiplin, dan durasi yang cenderung lama untuk
merealisasikan hal tersebut.
Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Tim Instalasi Sanitasi dari
kedua rumah sakit, baik dari RS A ataupun RS B menyatakan bahwa penyebab
tidak terpenuhinya standar tersebut dimungkinkan karena waktu pengukuran
92
dilakukan ketika jam kunjungan sedang berlangsung. Jam kunjungan ternyata
memiliki korelasi tidak langsung dengan suhu yang diukur oleh peneliti. Hal ini
dikarenakan pertambahan jumlah orang yang berada di suatu ruangan akan turut
meningkatkan suhu ruangan tersebut sehingga akan memicu perkembangbiakkan
mikroorganisme. Hal ini kemudian sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Paulutu et al. (2014) dimana jumlah orang dalam ruang mampu meningkatkan
jumlah Staphylococcus aureus di RSUD Toto Kabila. Hal serupa juga disebutkan
oleh Mirhoseini et al. (2015) dan Ramos (2014) bahwa kepadatan penghuni
didalam rumah sakit akan meningkatkan frekuensi perpindahan orang yang ada di
ruangan tersebut sehingga menyebabkan minimnya jumlah oksigen yang tersuplai
di ruangan tersebut. Dengan demikian, maka semakin padat penghuni di suatu
ruangan maka akan semakin tinggi juga suhu yang terdapat di ruangan tersebut.
Sementara itu, menurut Batti et al. (2013) suhu ruangan yang tidak memenuhi
syarat akan menyebabkan kelembaban tidak memenuhi syarat sehingga akan
menjadi sangat ideal untuk menjadi tempat perkembangan mikroorganisme. Hal
inilah yang kemudian akan memberikan kontribusi pada proses penularan infeksi
nosokomial di rumah sakit.
Fernstrom & Goldbaltt (2013) menyebutkan bahwa tidak terpenuhinya
standar minimal tentang sanitasi lingkungan di area rumah sakit, khususnya
terkait lingkungan fisik akan menjadi menjadi salah satu pemicu meningkatnya
jumlah kasus infeksi nosokomial di rumah sakit. Gagal dalam pemenuhan standar
ini memiliki banyak dampak yang ditimbulkan seperti pemenuhan biaya
operasional kesehatan, dan peningkatan angka morbiditas ataupun mortalitas
pasien. Oleh karena itu, dirasa perlu melakukan upaya pencegahan yang salah
93
satunya adalah dilakukannya monitoring rutin terhadap kondisi lingkungan rumah
sakit. Hal ini kemudian sejalan dengan penelitian Li & Hou (2015), yang
menyatakan bahwa monitoring kondisi lingkungan tersebut merupakan
pendekatan yang efektif dalam rangka pencegahan infeksi nosokomial di rumah
sakit.
6.2.2 Kelembaban
Kualitas udara dalam ruang yang baik adalah kondisi udara yang terbebas
dari bahan pencemar baik secara fisik, kimia, dan biologi yang dapat
mengakibatkan ketidaknyamanan, ritasi, ataupun terganggunya status kesehatan
dari penghuni ruangan tersebut (Candrasari & Mukono, 2013). Salah satu
parameter kritis dari kualitas udara dalam ruang adalah kelembaban. Kelembaban
merupakan representasi dari uap air yang terkandung di udara (Jjemba, 2004).
Kelembaban tanpa disadari ternyata turut menyumbang peran pada status
kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kelembaban yang
berpengaruh secara langsung dapat terlihat dari adanya ketidaknyamanan ketika
kita bernafas di lingkungan dengan udara yang berkadar air tinggi. Hal tersebut
akan menyebabkan jaringan pada organ pernafasan menjadi basah dan memicu
kerentanan serta kerusakan tubuh pada penyakit (IHEEM, 2015). Selain itu,
Maheshwari (2012) juga turut menjelaskan bahwa kelembaban udara dengan
kategori rendah akan menyebabkan hilangnya panas tubuh akibat proses
metabolisme berlebihan melalui ekskresi keringat.
Selain berpengaruh secara langsung, kelembaban juga memiliki peran tidak
langsung terhadap kesehatan. Menurut IHEEM (2015), diketahui bahwa
kelembaban adalah salah satu aspek dari lingkungan fisik yang turut memberikan
94
pengaruh terhadap perkembangbiakkan mikroorganisme patogen. Bila terpapar
oleh kelembaban dengan < 40%, maka mikroorganisme patogen tersebut akan
bergabung menjadi satu sehingga akan terbentuk ukuran partikel yang lebih besar.
Ukuran yang semakin besar tersebut tentu saja akan mempercepat
mikroorganisme untuk jatuh pada permukaan tubuh ataupun benda lainnya, dan
tidak lagi melayang di udara. Menurut CDC (2008), permukaan lingkungan rumah
sakit seperti kasur ataupun meja kerja berpotensi untuk menimbulkan kontaminasi
silang antar pekerja, pasien, dan pengunjung yang melakukan kontak langsung
dengan benda yang terkontaminasi. Dengan demikian, maka jalur penularan
mikroorganisme pun akan semakin kompleks karena penularan tidak hanya terjadi
melalui media udara namun juga melalui media barang ataupun kontak langsung.
Hal inilah yang kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi rumah sakit untuk
kerap memantau tingkat kelembaban didalam ruangan di rumah sakit, terlebih lagi
pada area dengan tingkat risiko tinggi seperti ruang operasi dan ruang ICU.
Dari hasil pengumpulan data diketahui bahwa 4 titik (100%) yang dilakukan
pengukuran tingkat kelembaban memiliki status tidak memennuhi syarat setelah
dibandingkan dengan baku mutu yang terdapat di Kepmenkes Nomor 1204/2004.
Titik pengukuran ini berasal dari 2 (dua) rumah sakit dengan rincian ruang klinik
(67%) bedah dan ruang klinik kebidanan (65%) dari RS A, serta ruang operasi
(66%) dan ruang ICU (67%) dari RS B.
Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat tergambarkan bahwa masih
minimnya pemenuhan sanitasi lingkungan di kawasan rumah sakit, khususnya
mengenai tingkat kelembaban. Jika ditinjau dari urgensinya yang dapat
berdampak pada proses penularan infeksi nosokomial, maka pihak rumah sakit
95
seharusnya cukup peduli terhadap pemenuhan tingkat kelembaban dalam ruang di
area rumah sakit. Hal tersebut dapat dipertimbangkan dari adanya kebutuhan
mikroorganisme akan kelembaban dengan tingkat tertentu untuk dapat bertahan
hidup (Mirhoseini et al., 2015). Hal ini dapat terlihat dari variasi kebutuhan akan
kelembaban yang dimiliki oleh bakteri, jamur, ataupun virus. Diketahui bakteri
Legionella pneumophila memiliki kelembaban ideal sebesar 65%, namun akan
mati dengan cepat pada tingkat kelembaban 35% atau kurang. Lain halnya dengan
virus Polio yang bukan hanya bertahan, namun turut berkembangbiak pada
tingkat kelembaban 80% (Bry - Air Inc., 2009).
Diketahui bahwa semakin tinggi tingkat kelembaban udara di suatu ruang,
maka akan diiikuti dengan semakin tingginya kandungan uap air di udara ruangan
tersebut. Kelembaban dengan kadar uap air yang tinggi ini memiliki peran penting
terhadap pertumbuhan mikroorganisme, baik jamur ataupun bakteri karena uap air
merupakan media bertahan hidup untuk mikroorgansmi di udara (Jjemba, 2004).
Hal ini pun disepakati oleh Fithri et al. (2016) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara kelembaban dan jumlah koloni bakteri udara dalam ruang
dengan nilai koefisien korelasinya (r) = 0,28 yang artinya memiliki tingkat
hubungan sedang. Selain itu, penelitian tersebut menghasilkan hubungan antara
dua variabel dengan nilai positif. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi
kelembaban udara dalam ruang menyebabkan semakin tinggi pula jumlah koloni
bakteri udara dalam ruang. Sementara itu, menurut Wulandari (2013)
menyebutkan bahwa ada hubungan signifikan antara kelembaban udara dengan
keberadaan koloni jamur udara dimana memiliki pvalue sebesar 0.0001 dan nilai
koefisien korelasi sebesar (r) = -0,33 yang memiliki arti berhubungan sedang.
96
Hubungan antara dua variabel tersebut menunjukkan nilai negatif yang berarti
bahwa semakin tinggi kelembaban udara dalam ruang menyebabkan menurunnya
jumlah koloni jamur udara dalam ruang.
Kemudian, Imaniar (2013) turut menambahkan bahwa semakin lembab
suatu ruangan, maka akan semakin besar peluang bagi mikroorganisme
melakukan perpindahan. Hal tersebut dikarenakan partikel air memiliki
kemampunan untuk memindahkan sel – sel yang berada di permukaan menuju
udara ataupun sebaliknya. Selain itu, menurut IHEEM (2015) disebutkan bahwa
kelembaban suatu ruangan juga turut mempengaruhi efisiensi dari kegiatan
desinfeksi permukaan ruangan. Tingkat kelembaban dibawah 40% akan membuat
mikroorganisme, khususnya bakteri berspora menjadi sulit untuk dihilangkan.
Diketahui beberapa spora dari Bacillus.sp tidak sepenuhnya musnah walaupun
sudah terpapar chlorine dioxide selama 30 menit dengan persentase kelembaban
20 – 30. Namun, spora tersebut akan musnah seluruhnya selama paparan 15 menit
jika kelembaban ruangan tersebut dimodifikasi menjadi 70%, dimana merupakan
kelembaban ideal untuk kawasan rumah sakit.
Berdasarkan banyaknya bahan yang layak dijadikan pertimbangan bagi
rumah sakit, maka peneliti pun memandang perlu untuk melakukan pemantauan
tingkat kelembaban di rumah sakit secara rutin, khususnya di area dengan tingkat
risiko tinggi seperti ruang ICU ataupun ruang operasi. Hasil dari pemantauan ini
pun diharapkan dapat dikomunikasikan dengan departemen terkait sehingga
proses pelaksanaan pemantauan lebih secara terintegrasi dan menyeluruh sehingga
rantai penularan infeksi nosokomial dapat diputus.
97
6.2.3 Pencahayaan
Rumah sakit menjadi salah satu fasilitas pelayanan kesehatan dengan jenis
kegiatan yang kompleks. Terlebih jika rumah sakit tersebut merupakan salah satu
rumah sakit dengan tipe klasifikasi A yang artinya rumah sakit tersebut memiliki
minimal 16 (enam belas) jenis pelayanan yang siap diberdayakan. Maka, semakin
jelas terlihat bahwa semakin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi oleh rumah
sakit dimana salah satunya adalah pencahayaan. Menurut Kemenkes RI dalam
Kepmenkes Nomor 1405 Tahun 2002 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
pencahayaan adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan
untuk melaksanakan kegiatan secara efektif.
Pencahayaan turut menyumbang peran pada status kesehatan secara
langsung maupun tidak langsung. Peran pencahayaan yang berpengaruh secara
langsung dapat terlihat dari adanya ketidaknyamanan ketika kita melakukan
aktivitas dengan tingkat ketelitian yang tinggi namun tidak didukung dengan
pencahayaan yang cukup. Hal ini tentu saja akan memicu untuk terkena gangguan
penglihatan akibat lelahnya syaraf mata ketika melakukan fokus secara
berlebihan. Selain itu, kondisi yang demikian juga memiliki risiko untuk
menghasilkan pekerjaan yang tidak memuaskan, serta berbahaya baik untuk
pekerja maupun objek kerja (Surahmawati & Rusmin, 2015).
Peran tidak langsung dari pencahayaan selanjutnya terhadap status
kesehatan terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Paulutu et al. (2014) dan
Abdullah & Hakim (2011) bahwa pencahayaan ruangan memiliki hubungan
dengan keberadaan angka kuman dalam udara, khususnya Staphylococcus aureus.
Sedangkan menurut Fithri et al. (2016) menyebutkan bahwa ada hubungan antara
98
pencahayaan dan jumlah koloni bakteri udara dengan nilai koefisien korelasinya
(r) = -0,39 atau berkekuatan sedang. Hubungan antara dua variabel tersebut
menunjukkan nilai negatif yang menandakan bahwa semakin tinggi nilai
pencahayaan dalam ruang menyebabkan menurunnya jumlah koloni bakteri udara
dalam ruang. Hal tersebut dikarenakan tingkat pencahayaan yang tinggi akan
menurunkan kadar kelembaban disekitarnya sehingga akan menghambat
perkembangan mikroorganisme. Berdasarkan kondisi tersebut, maka Peneliti
merasa perlu untuk terus melakukan pemantauan secara berkala mengenai
pemenuhan tingkat pencahayaan di rumah sakit, khususnya pada area dengan
risiko penularan penyakit tinggi.
Berdasarkan hasil pengumpulan data maka diketahui bahwa 3 dari 4 titik
(75%) yang dilakukan pengukuran tingkat pencahayaan memiliki status
memenuhi syarat setelah dibandingkan dengan baku mutu yang terdapat di
Kepmenkes Nomor 1204/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan di
Rumah Sakit. Titik pengukuran ini berasal dari 2 (dua) rumah sakit dengan rincian
ruang klinik bedah (409 lux) dan ruang klinik kebidanan (351 lux) dari RS A,
serta ruang operasi (383 lux) RS B. Sementara itu, yang tidak memenuhi syarat
adalah hasil pengukuran yang berasal dari ruang ICU (201 lux) RS B.
Berdasarkan jenis ruangan yang tidak memenuhi syarat, maka ruang ICU
termasuk dalam kategori pelayanan kritis dimana pasien yang dirawat keadaanya
belum stabil akibat pasca operasi ataupun bukan operasi sehingga dibutuhkan
pemantauan yang intensif dan ketat. Dengan demikian, pelaksanaan upaya
pemenuhan standar, persyaratan mutu, keamanan, dan keselamatan harus
diutamakan (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Berdasarkan penjelasan tersebut
99
maka dapat diketahui bahwa pemenuhan tingkat pencahayaan dalam ruang oleh
RS B masih harus ditingkatkan kembali.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tingkat pencahayaan di ruang ICU
RS B masih dibawah standar Kemenkes Nomor 1204/2004, yakni 300 – 500 lux.
Tim Instalasi Sanitasi RS B menuturkan bahwa tidak terpenuhinya standar
tersebut dikarenakan ruangan yang menjadi lokasi pengukuran sedang tidak
menerima pasien sehingga tingkat pencahayaan yang terdapat didalam ruangan
tidak diatur sedemikian rupa. Hal ini kemudian Peneliti anggap wajar karena
menurut Kementerian Kesehatan RI (2012) rumah sakit dapat mempertimbangkan
aspek efisiensi,dan penempatan energi terkait pemenuhan tingkat pencahayaan
buatan dalam ruangan.
Walaupun termasuk dalam upaya efisiensi dan hemat energi, Peneliti
kemudian menyarankan ruangan rumah sakit agar dikondisikan sedemikian rupa
dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan. Ruangan
tersebut tetap memiliki risiko untuk menularkan penyakit walaupun sedang tidak
digunakan. Menurut Jawetz et al. (2004) dan Surahmawati & Rusmin (2015)
bakteri lebih menyukai kondisi gelap atau minim penyinaran karena terdapatnya
besar penyinaran yang menyerupai sinar matahari secara langsung dapat
menghambat pertumbuhan bakteri.
6.2.4 Kadar Debu
Yang dimaksud dengan debu adalah partikel yang disebabkan oleh aktivitas
pengolahan, penghancuran, pelembutan, ataupun pengepakan dari bahan – bahan
organik dan anorganik. Selanjutnya debu tersebut dibagi menjadi 2 (dua)
berdasarkan diameternya. Debu dengan diameter >45 mikron dimasukkan
100
kedalam kategori deposite particulate matter karena debu dengan ukuran yang
demikian hanya akan berada di udara sementara lalu akan mengendap karena
adanya daya gravitasi. Selanjutnya debu dengan ukuran <45 mikron termasuk ke
dalam kategori total suspended particulate matter karena memiliki sifat yang
tidak mudah mengendap dan tetap melayang di udara. Adapun yang
mempengaruhi debu tetap melayang di udara antara lain adalah akibat adanya
pergerakan udara dan aktivitas manusia (Mayasari, 2011).
Berdasarkan hasil pengambilan data maka diketahui bahwa masih terdapat
hasil pengukuran kadar debu dalam ruangan di rumah sakit yang tidak memenuhi
syarat. Didapatkan 2 dari 4 titik (50%) yang dilakukan pengukuran diketahui
memiliki status tidak memenuhi syarat terhadap pemenuhan tingkat kadar debu di
Kepmenkes Nomor 1204/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan di
Rumah Sakit. Titik pengukuran ini berasal dari 2 (dua) rumah sakit dengan
rincian, ruang ICU serta ruang operasi RS B. Sementara itu, yang tidak memenuhi
syarat adalah hasil pengukuran yang berasal dari ruang klinik bedah dan ruang
klinik kebidanan RS A.
Diketahui bahwa jumlah partikulat debu turut mempengaruhi keberadaan
mikroorganisme di suatu ruang atau wilayah. Menurut McKinney (1962)
menyebutkan bahwa mikroorganisme yang terdapat di udara hanya bersifat
sementara dan memiliki jenis yang beragam (Triyantoro et al., 2015). Udara pada
dasarnya bukanlah media pertumbuhan dan reproduksi mikroorganisme karena
komposisi udara yang tidak sesuai (Iriantanto, 2007). Udara hanya menjadi media
pembawa partikulat, debu, dan percikan cairan yang kesemuanya memungkinkan
adanya kandungan mikroorganisme. Dengan demikian, maka jumlah partikulat
101
debu akan menjadi indikator peluang adanya mikroorganisme yang terkandung
didalam udara. Hal ini kemudian juga didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Mirhoseini et al. (2015) bahwa ada hubungan antara jumlah partikulat
berukuran >10 mikron dengan jumlah mikroorganisme yang terkandung didalam
udara. Kemudian menurut Imaniar (2013) semakin tinggi konsentrasi dan semakin
kecil ukuran partikel debu maka semakin banyak jumlah mikroba di udara.
Selain itu, partikulat debu akan tetap melayang – layang di udara akibat
adanya pergerakan di udara karena banyaknya jumlah aktivitas. Hal ini kemudian
sesuai dengan hasil observasi bahwa pengukuran yang dilakukan ketika sedang
diberlakukannya jam kunjungan. Jam kunjungan di rumah sakit kemudian akan
meningkatkan jumlah aktivitas yang terdapat didalam ruangan sehingga
menyebabkan peningkatan arah pergerakan angin, terbawanya debu ataupun
partikulat dari luar ruangan, dan suhu ruangan. Hal ini kemudian yang akan
semakin meningkatkan peluang untuk penularan mikroorganisme penyebab
penyakit. Berdasarkan kondisi tersebut, maka Peneliti merasa perlu untuk terus
melakukan pemantauan secara berkala mengenai pemenuhan kadar debu ataupun
partikulat di rumah sakit, khususnya pada waktu khusus seperti pada saat
diberlakukannya jam kunjungan. Selain itu, Peneliti juga merasa penting untuk
dilakukan pembatasan mengenai jumlah pengunjung dan durasi kunjungan untuk
mengurangi pergerakan arah angin yang memungkinkan terbawanya partikulat
debu dari luar ruangan. Kemudian, pemantauan berkala ini dirasa semakin penting
untuk diterapkan khususnya pada area dengan jenis aktivitas yang beragam dan
area berisiko tinggi.
102
6.2.5 Angka Kuman dalam Udara
Rumah sakit menjadi salah satu tempat terkonsentrasinya berbagai jenis
mikroba patogen yang berasal dari berbagai sumber (reservoir), dan sekaligus
menjadi tempat yang memungkinkan terjadinya proses penularan, baik langsung
maupun tidak langsung. Mikroba tersebut dapat berasal dari penderita, baik yang
sedang menjalani rawat jalan, rawat inap, berada di poliklinik ataupun di bangsal
perawatan. Selain sumber yang telah disebutkan, rumah sakit juga memiliki
potensi untuk menularkan patogen penyebab penyakit yang bersumber dari
limbah rumah sakit, petugas kesehatan, keluarga yang sedang melakukan
kunjungan (Darmadi, 2008). Bahkan menurut Ramos (2014) rumah sakit juga
menjadi salah satu tempat yang ideal untuk mempelajari proses penularan
mikroba patogen kepada manusia melalui media lingkungan dan bangunan.
Berdasarkan konsep segitiga Epidemiologi Host, Agent, dan Environment
yang dikemukakan oleh Gordon dan La Richt (1950), maka dapat diketahui
bahwa mikroba patogen (agent) akan dapat menimbulkan penyakit jika bertemu
dengan penjamu (host) yang rentan. Kemudian lingkungan rumah sakit yang
merupakan bagian dari environment akan memiliki kedudukan yang cenderung
berpihak kepada agent. Hal tersebut dikarenakan banyaknya jumlah reservoir di
rumah sakit sehingga menjadi tempat ideal untuk terjadinya proses penularan
penyakit (Rajab, 2008).
Adapun proses perjalanan patogen menuju penjamu melalui beberapa jalur
penularan, baik langsung maupun tidak langsung. Salah satu jalur penularan
patogen tersebut adalah melalui udara atau juga disebut dengan air-borned
disease. Jalur penularan ini memiliki peluang penularan cukup tinggi terlebih jika
103
didukung oleh ruangan yang cukup tertutup sehingga secara teknis akan memiliki
sirkulasi udara dan pencahayaan yang kurang baik (Darmadi, 2008). Bahkan,
Fernstrom & Goldbaltt (2013) memperkirakan bahwa mikroorganisme dengan
jalur penyebaran udara mampu menyebabkan infeksi nosokomial sebesar 10 –
20%. Lalu, untuk mengetahui apakah media udara memiliki potensi untuk
menyebabkan penyakit atau tidak, maka salah satu caranya adalah dengan
mengetahui jumlah kuman yang terdapat dalam udara yang kemudian
dibandingkan dengan baku mutu.
Pada tahap pengambilan data, diketahui bahwa 3 dari 4 titik (75%)
pengukuran angka kuman yang berasal dari 2 (dua) rumah sakit menunjukkan
bahwa angka kuman yang terkandung dalam udara ruang adalah tidak memenuhi
syarat karena ketika dibandingkan dengan baku mutu maka hasil pengukuran
menunjukkan nilai yang lebih besar dari nilai yang telah diatur dalam Kepmenkes
Nomor 1204/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan di Rumah Sakit.
Adapun 3 (tiga) titik tersebut memiliki rincian berupa 2 (dua) titik pengukuran
berupa ruang klinik bedah dan ruang klinik kebidanan dari RS A, dan 1 (satu) titik
pengukuran berupa ruang ICU dari RS B.
Adapun hasil wawancara dengan salah satu staff di Instalasi Kesehatan
Lingkungan dan Pertamanan RS A, menyebutkan bahwa kondisi tidak
terpenuhinya standar penilaian inspeksi sanitasi lingkungan, terkhusus pada
komponen angka kuman dalam udara di Ruang Klinik Kebidanan adalah waktu
pengukuran yang bertepatan dengan waktu kunjungan. Pernyataan ini sependapat
dengan penelitian yang dilakukan oleh Park et al. (2013), Scaltriti et al. (2007),
dan Obbard & Fang (2003) yang menyatakan bahwa salah satu hal yang dapat
104
meningkatkan jumlah mikroorganisme secara signifikan adalah jumlah orang
yang berada di ruangan tersebut. Mikroorganisme udara di rumah sakit tidak
hanya bersumber dari pasien, namun juga dari pekerja rumah sakit dan
pengunjung. Pertambahan jumlah orang dengan beragam kondisi ini sangat
dimungkinkan menjadi salah satu media pembawa patogen penyakit sehingga
akan sangat meningkatkan risiko paparan khususnya pada pasien rawat inap (Park
et al., 2013; Mirhoseini et al., 2015). Selain itu, Scaltriti et al. (2007) turut
menyebutkan bahwa frekuensi terbukanya pintu ruangan juga turut mempengaruhi
jumlah mikroorganisme didalam ruangan. Frekuensi tersebut nantinya akan
dijadikan sebagai bahan perhitungan tentang seberapa banyak perpindahan yang
dilakukan oleh pengunjung ataupun staf pekerja rumah sakit.
Lain halnya dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh salah seorang staff di
Instalasi Kesehatan Lingkungan RS B. Ia mengaku bahwa pihaknya selaku
penanggung jawab kegiatan desinfeksi ruangan merasa sulit untuk mengendalikan
jumlah mikroorganisme di Ruang Operasi. Hasil penelitian ini ternyata juga
sejalan dengan apa yang telah terlaporkan dalam Laporan Implementasi RKL dan
RPL dari RS B Periode Semester I Tahun 2016 bahwa pemeriksaan bakteri udara
dalam ruang telah terlaksana sebesar 100% namun untuk pemenuhannya masih
sebesar 50%. Menurutnya, pemenuhan yang masih dibawah standar ini terjadi
karena terbatasnya alat yang tersedia di RS B ketika proses dekontaminasi
berlangsung. Alat ini diketahui mengalami kerusakan sehingga tidak memenuhi
syarat minimal dalam pelaksanaan dekontaminasi ruangan yang telah diatur dalam
Kepmenkes Nomor 1204/2004. Peraturan ini menyebutkan bahwa dalam
melaksanakan dekontaminasi maka diharuskan untuk menggunakan peralatan
105
sterilisasi uap atau gas dengan suhu sekitar 134°C. Terjadinya kerusakan alat ini
kemudian tidak mendukung alat yang digunakan untuk menghasilkan suhu hingga
134°C.
Menurut CDC (2008) terdapat banyak faktor yang mempengaruhi proses
pemusnahan bakteri di rumah sakit, dimana salah satunya dapat berasal dari faktor
intrinsik seperti karakteristik dari mikroorganisme itu sendiri. Diketahui bahwa
dengan mikroorganisme yang berjumlah besar tentu akan membutuhkan waktu
pemusnahan yang lebih lama. Selain itu, setiap mikroorganisme memiliki tingkat
resistensi yang bervariasi terhadap zat kimia yang digunakan dalam kegiatan
dekontaminasi. Dengan demikian, untuk pemusnahan mikroorganisme dengan
tingkat resistensi tinggi maka dibutuhkan waktu paparan yang lebih lama serta
dengan konsentrasi kimiawi yang lebih pekat. Kemudian, yang termasuk ke dalam
faktor ekstrinsik antara lain kondisi lingkungan fisik ataupun kimia seperti suhu,
pH, arah pergerakan udara, kesadahan air, dan kelembaban (Ramos, 2014). Hal ini
yang kemudian diharapkan tim sanitasi rumah sakit dan tim pengendalian infeksi
nosokomial rumah sakit mampu melakukan pemantauan secara berkala terkait
upaya pemenuhan standar persyaratan kesehatan lingkungan di rumah sakit.
Sementara itu, berdasarkan jenis mikroorganismenya maka bakteri yang
sering ditemukan pada umumya berasal dari jenis basil gram positif baik berspora
maupun non spora, basil gram negatif dan kokus gram positif. Bakteri ini
umumnya terdapat dalam mulut dan tenggorokan orang normal seperti
Staphylococcus sp., dan Streptococcus sp. yang ditemukan di udara melalui batuk,
bersin, dan berbicara. Beberapa jenis mikroorganisme lain yang terdeteksi
mencemari udara antara lain Pseudomonas sp., Klebsiella sp., Proteus sp.,
106
Bacillus sp. dan golongan jamur (Waluyo, 2007). Kemudian jika melihat hasil
pengukuran, maka diketahui bahwa bakteri dominan yang terkandung dalam
udara dengan jumlah yang tidak memenuhi syarat adalah bakteri Bacillus sp. dan
Staphylococcus sp. Adapun jenis penyakit yang diakibatkan oleh bakteri Bacillus
sp. antara lain penyakit antrax oleh Bacillus anthracis. Penyakit ini termasuk yang
memiliki risiko kematian tinggi dan sangat mudah ditularkan oleh perorangan
sehingga sering juga menyebabkan kepanikan pada warga (CDC, 2008). Lalu
bakteri Staphylococcus sp. memiliki karakteristik sulit dimusnahkan oleh bahan
desinfektan yang mengandung ammonia, baking soda, cuka, boraks, dan detergen
cair (CDC, 2008).
107
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Hasil penilaian inspeksi sanitasi lingkungan yang dilakukan di RS A dan RS
B adalah tidak memenuhi syarat berdasarkan Kepmenkes Nomor 1204/2004
dengan rincian sebagai berikut:
1. Hasil pengukuran suhu ruangan yang dilakukan di RS A adalah tidak
memenuhi syarat pada ruang klinik bedah dan klinik kebidanan.
Sementara itu, hasil pengukuran suhu ruangan di RS B adalah tidak
memenuhi syarat pada ruang operasi II dan ruang ICU.
2. Hasil pengukuran kelembaban ruangan yang dilakukan di RS A adalah
tidak memenuhi syarat pada ruang klinik bedah dan klinik kebidanan.
Sementara itu, hasil pengukuran kelembaban di RS B adalah tidak
memenuhi syarat pada ruang operasi II dan ruang ICU.
3. Hasil pengukuran pencahayaan ruangan yang dilakukan di RS A
berdasarkan Kepmenkes Nomor 1204/2004 adalah memenuhi syarat pada
ruang klinik bedah dan klinik kebidanan. Sementara itu, hasil pengukuran
pencahayaan ruangan yang dilakukan di RS B adalah tidak memenuhi
syarat pada ruang ICU.
4. Hasil pengukuran kadar debu yang dilakukan di RS A berdasarkan
Kepmenkes Nomor 1204/2004 adalah tidak memenuhi syarat pada ruang
klinik bedah dan klinik kebidanan. Sementara itu, hasil pengukuran kadar
108
debu yang dilakukan di RS B adalah memenuhi syarat pada ruang operasi
II dan ruang ICU.
5. Hasil pengukuran angka kuman dalam udara ruangan yang dilakukan di
RS A adalah tidak memenuhi syarat pada ruang klinik bedah dan klinik
kebidanan. Sementara itu, hasil pengukuran angka kuman dalam udara
ruangan yang dilakukan di RS B adalah tidak memenuhi syarat pada ruang
operasi II.
7.2 Saran
7.2.1 Rumah Sakit Terkait
1. Untuk pemenuhan persyaratan sanitasi lingkungan secara umum, maka di
kedua rumah sakit disarankan untuk melakukan upaya pengarahan berkala
kepada pekerja di instalasi sanitasi mengenai pentingnya pemantauan
kualitas kesehatan lingkungan guna mengurangi infeksi di rumah sakit.
2. Melakukan sosialiasi mengenai prosedur kerja yang berlaku perlu
dilakukan kembali, khususnya mengenai pendokumentasian dan
pengkomunikasian hasil kegiatan antar departemen.
3. Untuk pemenuhan persyaratan angka kuman dalam udara di kedua rumah
sakit maka disarankan agar RS A melakukan upaya pemantauan angka
kuman sesuai dengan jadwal, sedangkan untuk RS B diharapkan agar
mampu melakukan upaya pemantauan secara manual sebagai bentuk
kegiatan cadangan ketika alat sedang tidak bisa dioperasikan.
109
7.2.2 Peneliti Selanjutnya
1. Melakukan pengukuran variabel dengan minimal 3 jumlah titik pada satu
ruangan sehingga akan diperoleh hasil rata – rata pengukuran. Hal ini tentu
bertujuan untuk meminimalisir bias
2. Melakukan pengumpulan data dengan meminimalisisr peluang terjadinya
bias informasi, seperti tidak melakukan pengukuran ketika jam kunjungan
berlangsung
3. Melakukan uji bivariat pada variabel persyaratan kesehatan lingkungan
sehingga akan lebih tergambarkan mengenai interaksi hubungan antar
variabel.
110
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.T. & Hakim, B.A., 2011. Lingkungan Fisik dan Angka Kuman
Udara Ruangan di Rumah Sakit Umum Haji Makassar, Sulawesi Selatan.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, V(5), pp.206 - 2011.
Achmadi, U.F., 2012. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Adisasmito, W., 2007. Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: Raja
Grafindo.
Ahmad, 2003. Kunci Pengendalian Infeksi Nosokomial. Padang: Angkasa Rasa.
Amow, P., Anderson, R. & Mainous, D., 1978. Pulmonary aspergillosis during
Hospital Renovation. Am Rev Respir Dis, (113), pp.49 - 53.
Apriadji, W.H., 2004. Metode Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional.
Arias, K.M., 2000. Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Azmir, 2009. Pengaruh Air Lindi Tempat Pembuangan Akhir Sampah terhadap
Kualitas Air Tambah Ikan di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan
Kota Medan. Thesis. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatra Utara.
Azwar, A., 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara
Sumber Widya.
111
Barus, T.A., 2002. Pengantar Limnologi. Medan: Universitas Sumatra Utara.
Batti, H.T.S., Ratag, B.T. & Umboh, J.M.I., 2013. Analisis Hubungan Antara
Kondisi Ventilasi, Kepadatan Hunian, Kelembaban Udara, Suhu dan
Pencahayaan Alami Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Wara Utara Kota Palopo. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Universitas Sam Ratulangi Manado.
Bry - Air Inc., 2009. Environmental Temperature Control Systems For Hospitals
and Infirmaries. [Online] Available at: http://bry-
air.com/casestudies/environmental-temperature-control-systems-for-
hospitals-and-infirmaries/ [Accessed 10 January 2017].
Bustan, M.N., 2006. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Caldeira, S.M. et al., 2015. Weather Parameters and Nosocomial Bloodstream
Infection: A Case Referent Study. Rev Saude Publica, 49(19), pp.1 - 7.
Candrasari, C.R. & Mukono, J., 2013. Hubungan Kualitas Udara dalam Ruang
dengan Keluhan Penghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Kabupaten
Sidoarjo. Jurnal Kesehatan Lingkungan, VII(1), pp.21 - 25.
CDC, 2008. Guideline for Desinfection and Sterilization in Healthcare Facilities.
North Carolina: Department of Health & Human Services USA.
Chen, Y., Xu, X., Liang, J. & Lin, H., 2013. Relationship Between Climate
Conditions and Nosocomial Infections Rates. African Health Sciences,
12(2), pp.339 - 343.
112
Coburn, B., 2012. Does This Adult Patient with Suspected Bacteremia Require
Blood Cultures? JAMA.
Coovadia, Y. et al., 1992. Multiresisten Klibsella Pneumonie in a Neonatal
Surgery: The Important of Maintenance of Infection Controll Policies and
Procedures in The Prevention Outbreak. Journal of Hospital Infection, (22),
pp.197 - 205.
Dancer, S.J., 2014. Controlling Hospital-acquired Infections: Focus on The Role
of The Environment and New Technologies for Decontamination. Clinical
Mivrobiology Reviews, 27(4), pp.665 - 690.
Darmadi, 2008. Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika.
Depkes RI, 2002. Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Jendral PPM & PL dan Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan.
Depkes RI, 2008. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit
dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya: Kesiapan Menghadapi
Emerging Infectious Disease. 2nd ed. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Direktorat Jendral Pelayanan Kesehatan, 2015. Sistem Informasi Rumah Sakit
Online. [Online] Available at:
http://sirs.buk.depkes.go.id/rsonline/report/propinsi.php?alamat_prop=DKI+
JAKARTA&aktif=0 [Accessed Juni 2016].
113
Ditjen PPM & PLP, 1990. Pedoman Surveilans dan Pencegahan Infeksi
Nosokomial. Jakarta: Departemen Kesehatan.
Djojodibroto, D., 2007. Respirologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Elynda, S.R. & Sulistyorini, L., 2014. Pengaruh Kesehatan Lingkungan Rumah
terhadap Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tambakrejo,
Kecamatan Simokerto, Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 7(2),
pp.126 - 133.
Fardiaz, S., 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius.
Fekadu, S. & Getachewu, B., 2015. Microbial Assessment of Indoor Air of
Teaching Hospital Wards: A Case of Jimma University Specialized
Hospital. Ethiopia Journal Health Science, XXV(2), pp.117 -122.
Fernstrom, A. & Goldbaltt, M., 2013. Aerobiology and Its Role in the
Transmission of Infectious Disease. Journal Pathogens.
Fisher-Hoch, S., Tobin, J. & Nelson, A., 1981. Investigation and Control of
Legionnaires Disease in District general Hopital. Lancet, I, pp.933 - 936.
Fithri, N.K., Handayani, P. & Vionalita, G., 2016. Faktor - faktor yang
Berhubungan dengan Jumlah Mikroorganisme Udara dalam Ruang Kelas
Lantai 8 Universitas Esa Unggul. In Forum Ilmiah Volume XIII Nomor 1.
Jakarta, 2016. Universitas Esa Unggul.
Fitriyastanti, D., Sulchan, M. & Sayono, 2003. Beberapa Faktor yang Terkait
dengan Kejadian Infeksi Nosokomial Luka Operasi di RSUD Kota
114
Semarang Tahun 2003. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, 1(1),
pp.38 - 44.
Garha, H., 1991. Study on Nosocomial Infection in The Departement of Child
Health Hasan Sadikin General Hospital Padjajaran University. Disertasi.
Bandung: Padjajaran University.
Herlambang, S., 2016. Manajemen Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
IHEEM, 2015. Controlling Humidity for Healthier Hospitals. Journal of The
Institute of Healthcare Engineering and Estate Management, 69(1), pp.2 -
7.
Imaniar, E., 2013. Kualitas Mikrobiologi Udara di Inkunator Unit Peritologi
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Abdul Moeloek bandar Lampung. Bachelor
Thesis. bandar Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Iriantanto, K., 2007. Mikrobiologi: Menguak dalam Mikroorganisme. 2nd ed.
Bandung: CV. Yrama Widya.
Irma, F.A., 2012. Profil Resistensi Antimikroba terhadap Flora Normal Dicavum
Nasi pada Petugas di Kamar OPrasi Bedah Jnatung dan Petugas Post
Operasi Intensive Care Unit Jantung RSUP H. Adam Malik Medan. Tesis.
Medan: Program Magister Kedokteran Klinik Ilmu Patologi Klinik
Universitas Sumatra Utara.
115
Janas, Sutoto & Punjabi, N.H., 1992. Pencemaram Jarum Infus Intervena (IV) di
Rumah Sakit Khusus Penyakit Menular Jakarta. Buletin Penelitian
Kesehatan, 20(2), pp.48 - 55.
Jawetz, Melnick & Adelberg, 2004. Medical Microbiology. 23rd ed. Lange.
Jjemba, P.K., 2004. Environmental Microbiology Principles and Applications.
New Hampshire: Science Publisher.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405 Tahun 2002
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri.
Kementerian Kesehatan RI, 2012. Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit:
Ruang Perawatan Intensif. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan RI, 2012. Pedoman Teknis Prasarana Sistem Tata Udara
pada Bangunan Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan Penunjang
Medik dan Sarana Kesehatan.
Kementerian Kesehatan, 2008. Pedoman Manajerial Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Lainnya. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan, 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta, Provinsi
DKI Jakarta, Indonesia: Pusat Data dan Informasi.
Kementerian Kesehatan, 2015. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2015 - 2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
116
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204 Tahun 2004 Tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
Kusnoputranto, 1986. Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Li, C.S. & Hou, P.A., 2015. Bioaerosol Characteristics in Hospital Clean Rooms.
Science Total Environment, (15), pp.169 - 176.
Lowburry, E.J.L., Ayliffe, G.A.J., Geddes, A.M. & Williams, J.D., 1981. Control
of Hospital Infection: A Practical Handbook. 2nd ed. Springer - Science
Business Media.
Madigan, M.T., Martinko, J.M. & Parker, J., 2009. Biology of Microorganism.
12th ed. New York: Prentice Hall International.
Maheshwari, K., 2012. Room Ventilation Systems. In Operating RoomDesign
Manual. Cleveland: American Society of Anesthesiologist. pp.1 - 6.
Masloman, A.P., Kandou, G.D. & Tilaar, C.R., 2015. Analisis Pelaksanaan
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Kamar Operasi RSUD dr. Sam
Ratulangi Tondano. JIKMU, pp.238 - 249.
Mayasari, K., 2011. Pengukuran Kadar Debu Dan Perilaku Pekerja Serta
Keluhan Kesehatan di Tempat Pertukangan Kayu Desa Tembung
Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2010. MiniThesis. Medan: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara.
Mirhoseini, S.H. et al., 2015. Monitoring of Airborne Bacteria and Aerosolsin
Different Wards of Hospitals - Particle Counting Usefulness in Investigation
117
of Airborne Bacteria. Annals of Agricultural and Environmental Medicine,
22(4), pp.670 - 673.
Muttaqin, A., n.d. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Nasution, S.A., 2011. Perbedaan Sanitas Lingkungan dan Perilaku Petugas
Kesehatan di Ruang ICU RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau
Kesdam I/BB Medan Tahun 2010. Tesis. Medan: Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatra Utara.
National Nosocomial Infections Surveillance System, 2002. National Nosocomial
Infections Surveillance (NNIS) System Report, data summary from January
1992 through June 2004, issued October 2004. Summary Report. Georgia:
Centers for Disease Control and Prevention National Nosocomial Infections
Surveillance.
Nielsen, S., 2015. The Incidence and Prognosis of Patients with Bacteremia.
Danish Medical Journal.
Notoatmodjo, S., 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nugraheni, R., Suhartono & Winarni, S., 2012. Infeksi Nosokomial di RSUD
Setjonegoro, Kabupaten Wonosobo. Media Kesehatan Masyarakat
Indonesia, 11(1), pp.94 - 100.
118
Obbard, J. & Fang, L., 2003. Airborne Concentrations of Bacteria in A Hospital
Environment iin Singapore. Water Air Soil Pollutant, 144, pp.333 - 341.
Parhusip, 2005. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi
Nosokomial serta Pengendaliannya di BHG UPF Paru RS Dr.
Pirngadi/Lab. Penyakit Paru FK USU. Medan: Universitas Sumatra Utara.
Park, D.-U., Yeom, J.-K., Lee, W.J. & Lee, K.-M., 2013. Assessment of The
Levels of Airborne Bacteria, Gram-Negative Bacteria, and Fungi in Hospital
Lobbies. International Journal of Environmental Research and Public
Health, 10, pp.541 - 555.
Paulisa, O., Gustanti, D. & Buchori, A., 2008. Fisika Kelompok Teknologi dan
Kesehatan. Bandung: grafindo.
Paulutu, S., Kadir, S. & Bialangi, S., 2014. Pengaruh Lingkungan Fisik dan
Jumlah Pengunjung Pasien Terhadap Keberadaan Staphylococcus aureus
pada Udara Ruang Rawat Inap Kelas II dan III RSUD Toto Kabila. Karya
Ilmiah Mahasiswa. Gorontalo: Fakultas Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan
Universitas Negeri Gorontalo.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147 Tahun 2010 tentang Perizinan Rumah
Sakit.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 340/2010 tentang Klasifikasi Rumah
Sakit.
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan.
119
PERDALIN, 2003. Jakarta: Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia
PERDALIN.
Prescott, 2008. Microbiology. 7th ed. USA: McGraw - Hill Book Company.
Rajab, W., 2008. Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ramos, T., 2014. Building Science Measurement for The Hospital Microbiome
Project. Thesis. Chicago: Department of Civil, Architectural and
Environmental Engineering Illinois Institute of Technology.
Saktiyono, 2004. IPA Biologi untuk SMP dan MTs Kelas VII. 1st ed. Jakarta:
Erlangga.
Salwati, L., 2012. Pengendalian Infeksi Nosokomial di Ruang ICU Rumah Sakit.
Jurnal Kedokteran Syah Kuala, 12(1), pp.47 - 52.
Scaltriti, S. et al., 2007. Risk Factors for Particulate and Microbial Contamination
of Air in Operating Theatres. Hospital Infection, 66, pp.320 - 326.
Slamet, 2004. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Soemirat, 2009. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Spagnolo, A.M. et al., 2013. Operating Theater Quality and Prevention of
Surgical Site Infections. Journal Prevention Medical HYG, 54, pp.131 -
137.
120
Surahmawati & Rusmin, M., 2015. Gambaran Kualitas Fisik Bakteriologis Udara
dalam Ruang dan Gejala ISPA di Pondok Pesantren Bahrul Ulum
Kabupaten Gowa Tahun 2014. Higiene, I(2), pp.84 - 91.
Triatmodjo, P., 1993. Gambaran Hygiene Lingkungan Beberapa Rumah Sakit di
Jakarta Ditinjau dari Sudut Mikrobiologi dalam Kaitannya dengan Infeksi
Nosokomial. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, XXI(1).
Triyantoro, B., Suparmin & Utami, D.B.K., 2015. Studi Angka Lempeng Total
(ALT) Mikroba dan Staphylococcus pada Mesin Fingerprint Perkantoran.
Jurnal Riset Kesehatan, IV(1), pp.677 - 680.
Tuman, 2001. GIS Development. [Online] Available at:
http://gisdevelopment.net/tutorials [Accessed September 2015].
Uliyah, M. & Alimul, H., 2006. keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan.
Jakarta: Salemba Medika.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit.
Waluyo, L., 2007. Mikrobiologi Umum. Malang: UMM Press.
Wardhana, 2000. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Weinstein, R.A., 1998. Nosocomial Infection Update. Emerging Infectious
Disease, IV(3), pp.416 - 420.
WHO, 2002. Prevention of Hospital Acquired Infections. Malta: World Health
Organizatiion.
121
WHO, 2008. Essential Environmental Standards in Health Care. Switzerland:
WHO Press.
Wulandari, 2013. Faktor yang Berhubungan dengan Keberadaan Streptococcus
di Udara pada Rumah Susun di Bandarharjo Semarang. Skripsi. Semarang:
Fakultas Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.
Yayasan Spiritia, 2007. Yayasan Spiritia. [Online] Available at:
http://spiritia.or.id/cst/dok/ku1.pdf. [Accessed Mei 2016].
123
Lampiran 1 Instrumen Penelitian
PENILAIAN INSPEKSI SANITASI RUMAH SAKIT
Nama Rumah Sakit :
Alamat Rumah Sakit :
Kelas Rumah Sakit : - A/B/C/D (RS Pemerintah, BUMN/BUMD)*
- Utama/Madya/Pratama (RS Swasta)*
- I/II/III/IV (RS TNI/POLRI)*
Jumlah Tempat Tidur : ………………………….. (buah)
Tanggal Pemeriksaan : ……..… / ……………. / ………...
Variabel Upaya
Kesling Komponen Penilaian Hasil Pengukuran Nilai
Sk
or
Ruang
Perawatan
(bobot 2)
Rasio luas lantai dengan
tempat tidur
Dewasa: … m2/tt 15
Anak/Bayi: … m2/tt 15
Rasio tempat tidur dengan
kamar mandi
… tt/km 15
Angka kuman … CFU/m3 udara 15
… CFU/cm2 lantai 15
… CFU/cm2 dinding 15
Kadar debu dalam udara … µg/m3
udara 10
Pencahayaan … lux 5
Suhu Tanpa AC: … °C
Dengan AC: … °C
10
Kelembaban Tanpa AC: …%
Dengan AC: …%
5
Kebisingan … dBA 5
124
DAFTAR CHECKLIST
No Komponen Penilaian Ya Tidak
Pencahayaan
1.. Ruangan tersedia penerangan umum
2. Ruangan tersedia penerangan untuk malam hari
3. Tersedia saklar dekat pintu masuk Ruangan
4. Saklar individu ditempatkan pada titik yang mudah
dijangkau dan tidak menimbulkan berisik
Fasilitas Sanitasi
1. Lantai terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, tidak
licin, berwarna terang, dan mudah dibersihkan
2. Pada setiap unit ruangan harus tersedia toilet
(jamban, peturasan, dan tempat cuci tangan)
tersendiri.
3. Tidak terdapat tempat penampungan atau genangan
air yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk
4. Dilengkapi dengan slogan atau peringatan untuk
memelihara kebersihan
5. Pembuangan air limbah dari toilet dan kamar mandi
dilengkapi dengan penahan bau (water seal)
6. Letak toilet dan kamar mandi tidak berhubungan
langsung dengan dapur, kamar operasi, dan ruang
khusus lainnya
7. Toilet dan kamar mandi terpisah antara pria dan
wanita, unit rawat inap dan karyawann, karyawan
dan toilet pengunjung
8. Lubang penghawaan berhubungan langsung dengan
udara luar
Kebisingan
1. Adanya pengendalian sumber bising di rumah sakit
seperti peredaman, penyekatan, pemindahan,
125
No Komponen Penilaian Ya Tidak
pemeliharaan mesin – mesin yang menjadi sumber
bising.
2. Adanya pengendalian sumber bising dari luar rumah
sakit seperti penyekatan/penyerapan bising dengan
penanaman pohon (green belt), meninggikan tembok,
dan meninggikan tanah (bukit buatan).
Penghawaan
1. Adanya buku petunjuk penggunaan sistem pendingin
ruangan
2. Pemantauan kualitas udara ruang dilakukan
minimum 2 (dua) kali setahun.
3. Dilakukan desinfeksi minimal 1 (satu) kali dalam
sebulan
4. Penghawaan mekanis dengan menggunakan exhaust
fan atau air conditioner dipasang pada ketinggian
minimum 2,00 meter di atas lantai atau minimum
0,20 meter dari langit – langit
5. Penghawaan alamiah seperti lubang ventilasi
menggunakan sistem silang (cross ventilation)
6. Ventilasi ruang ICU dilengkapi dengan saringan 2
beds.
7. Disediakan 2 (dua) buah exhaust fan didekat lantau
dan diletakkan minimal 7,50 cm dari lantai
√
8. Suplai udara di atas lantai
9 Tinggi intake minimal 0,9 meter dari atap
10 Sistem dibuat keseimbangan tekanan
11 Suplai udara di ruang ICU diambil dekat langit –
langit
12 Pergantian supply udara dari luar, kecuali unit ruang
individual, hendaknya diletakkan sejauh mungkin,
minimal 7,50 meter dari exhauster atau perlengkapan
126
No Komponen Penilaian Ya Tidak
pembakaran.
13 Suplai udara dan exhaust digerakkan secara mekanis,
dan exhaust fan diletakkan pada ujung sistem
ventilasi
14 Ruangan dengan volume 100 m3 sekurang –
kurangnya 1 (satu) fan dengan diameter 50 cm
dengan debit udara 0,5 m3/detik, dan frekuensi
pergantian udara per jam adalah 2 (dua) sampai
dengan 12 kali
127
PEDOMAN WAWANCARA
1. Struktur organisasi dari Instalasi HSE di Rumah Sakit terkait
2. TUPOKSI dari Instalasi HSE di Rumah Sakit terkait
3. Input (6M) dari Instalasi HSE di Rumah Sakit terkait. Man (jumlah SDM, jenjang
pendidikan, pelatihan); Money; Method (SOP kerja, aspek pematuhan,
sosialisasi); Material; Machine (Alat lengkap? Kalibrasi? Perawatan?); Market
(jejaring kerja)
4. Proses kerja dari Instalasi HSE di Rumah Sakit terkait? Jadwal pelaksanaan
pengukuran variabel lingkungan? Penanggung jawab?
5. Apakah terdapat pihak ke – 3 yang turut terlibat dalam penanganan praktik
sanitasi ruang bangunan di RS terkait?
6. Apakah Instalasi HSE pernah melakukan pengukuran secara mandiri? Kapan
terakhir kali? Berapa kali periode nya? Bagaimana hasilnya?
7. Apakah RS ini pernah dilakukan inspeksi mendadak dari lembaga pemerintahan
yang berwenang? Apa? Kapan? Bagaimana hasilnya?
8. Apa baku mutu lingkungan yang digunakan oleh rumah sakit? Lalu bagaimana
pemenuhannya? Variabel lingkungan apa saja yang tidak terpenuhi?
9. Hambatan yang dirasakan selama proses kerja? Lalu bagaimana strategi
penanggulangannya?
10. Apakah terdapat organisasi penanganan infeksi nosokomial di rumah sakit
tersebut? Apakah pernah terjadi integrasi informasi dengan lembaga tersebut?
11. Bagaimana tanggapan pemangku kebijakan/top management terhadap hasil yang
dicapai oleh Instalasi HSE RS? Apresiasi? Reward? Punishment?
128
12. Menurut Ibu/Bapak, seberapa penting sanitasi lingkungan bangunan ini dijaga?
Dari rasio angka 1 – 10?
13. Apa pendapat Ibu/Bapak tentang sanitasi lingkungan dengan timbulnya suatu
penyakit? (menyebutkan masing – masing variabel)
Top Related