STANDAR OPERASIONAL DAN PROSEDUR DAN
INTERPRETASI FOTO UDARA DENGAN
STEREOSKOPIK MATA KULIAH FOTOGRAMETRI
OLEH: RIZA FITRIA INDRA LESTARI
(4315082106)
JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemetaan merupakan suatu proses penyajian data kedalam bentuk gambar. Pemetaan
dapat dilakukan melaui dua cara bebeda yaitu melalui proses teristis atau pemetaan
langsung dengan menggunakan peralatan ukur lapangan, dan juga bisa dilakukan secara
tidak langsung, yaitu peteaan yang dilakukan melalui media pengambilan data baik dari
pemotretan udara atau menggunakan citra satelit yang juga dikenal dengan istilah
pemetaan fotogrametri.
Salah satu karakteristik pada fotogrametri, yaitu pengukuran terhadap obyek yang
dilakukan tanpa harus berhubungan atau kontak langsung dengan obyek tersebut.
Pemetaan secara fotogrametrik tidak dapat lepas dari referensi pengukuran secara
terestris, mulai dari penetapan ground controls (titik dasar kontrol) hingga kepada
pengukuran batas tanah. Fotogrametri ialah ilmu, seni dan teknologi untuk memperoleh
ukuran terpercaya dari foto udara.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui teori-teori yang berhubungan dengan fotogametri
2. Agar mampu mengaplikasikan teori kedalam pemetaan secara manual
3. Agar mampu menggunakan stereoskop cermin sebagai alat yang digunakan sebagai
penunjang kegiatan interpretasi
1.3 Metode Penulisan
Penulisan laporan akhir mata kuliah Fotogrametri ini dilakukan dengan melakukan
pengumpulan data dari berbagai sumber. Data berdasarkan buku utama merupakan sumber
primer yang didukung dengan hasil interpretasi dan perhitungan yanng dilakukan terhadap
obyek analisis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Teori
1.1 Foto Udara
Foto udara merupakan salah satu jenis citra penginderaan jauh yang paling tua
perkembangannya dan paling banyak digunakan sampai saat ini. Hal ini dikarenakan foto
udara mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan jenis citra lainnya, yaitu caranya
yang sederhana, relatif murah, resolusi spasial baik dan integritas geometrinya baik, dan yang
sangat menguntungkan adalah kerana foto udara menggambarkan ujud dan letak obyek yang
mirip ujud dan letaknya dipermukaan bumi, serta meliputi daerah yang luas dan permanen
(Sutanto, 1986).
Foto udara berisi rekaman rinci kenampakan permukaan bumi pada saat pemotretan.
Seorang penafsir foto dengan sistematik mengkaji foto udara tersebut dan sering juga
material penduduknya seperti peta dan laporan pengamatan medan. Berdasarkan, studi ini
dilakukan interpretasi atas sifat fisik yang tampak pada foto. Keberhasilan di dalam
interpretasi foto sangat bervariasi tergantung dari latihan dan pengalaman penafsir, sifat objek
yang diinterpretasikan dan kualitas foto yang digunakan. Pada umumnya, penafsir foto yang
paling mampu memliki daya pengamatan yang tajam dipadu dengan imaginasi. Bila kita
melihat suatu foto atau gambar, kadang kita sendiri bingung dan bahkan tidak tahu tentang
objek-objek yang ada di dalam foto/gambar itu. Ada beberapa objek yang dapat dikenali
secara langsung tetapi ada sebagian objek yang malah tidak dikenali. Proses pengenalan
objek ini sangat bergantung dari pengalaman dan persepsi dari orang yang melihat foto
tersebut.
Gambar 1 Proses Pengambilan Foto Udara
Interpretasi merupakan langkah awal yang sangat menentukan bagi hasil pekerjaan
nanti. Estes dan Simonett (1975) dalam Sutanto (1992) mengatakan bahwa interpretasi
citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk
mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Pengalaman sangat
menentukan hasil interpretasi karena persepsi pengenalan objek bagi orang-orang yang
berpengalaman biasanya lebih konstan atau dengan kata lain pengenalan objek yang sama
pada berbagai bentuk citra akan selalu sama. Interpretasi secara manual adalah interpretasi
data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara
keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan 9 unsur interpretasi, yaitu
bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi dan konvergensi bukit.
Interpretasi secara digital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang
disajikan pada citra. Dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi citra pixel
berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik.
Perlengkapan interpretasi foto udara biasanya bertindak satu diantara tiga tujuan
pokok, yaitu pengamatan foto, pengukuran kenampakan pada foto, dan hasil interpretasi
ke peta dasar. Proses interpretasi foto udara secara khusus meliputi pengamatan
streoskopik untuk menampilkan pandangan tiga dimensional bagi medan. Efek ini
dimungkinkan karena tidak mempunyai dua arah pengamatan. Artinya, karena kita
mempunyai dua mata yang terpisah kita terus menerus mengamati bumi dari dua arah
pandangan. Apabila obyek terletak pada tempat yang berbeda jaraknya, maka setiap mata
akan mengamati obyek yang sedikit berbeda. Perbedaan oleh dua pengamatan itu
disatukan oleh otak yang menghasilkan kesan kedalaman. Dengan demikian, maka
pengamatan yang diberikan oleh dua mata kita yang terpisah dapat memberikan kesan tiga
dimensional.
Apabila foto udara bertampalan, foto tersebut juga memberikan dua pandangan yang
diambil dari dua posisi yang terpisah. Kenampakan tiga dimensional permukaan medan
dapat dihasilkan dengan mengamati foto udara sebelah kiri pasangan stereo dengan mata
kiri dan foto udara sebelah kanan dengan mata kanan. Stereoskop mempermudah proses
pengamatan stereoskop
1.2 Fotogrametri
Fotogrametri atau aerial surveying adalah teknik pemetaan melalui foto udara. Hasil
pemetaan secara fotogrametrik berupa peta foto dan tidak dapat langsung dijadikan dasar atau
lampiran penerbitan peta. Fotogrametri berasal dari kata Yunani yakni dari kata “photos”
yang berarti sinar, “gramma” yang berarti sesuatu yang tergambar atau ditulis, dan “metron”
yang berarti mengukur. Fotogrametri berarti pengukuran scara grafik dengan menggunakan
sinar (Thompson, 1980 dalam Sutanto, 1983). Dalam manual fotografi edisi lama,
fotogrametri didefinisikan sebagi ilmu atau seni untuk memperoleh ukuran terpercaya dengan
mengguanakan foto. Di dalam manual edisi ketiga, definisi fotogrametri dilengkapi dengan
menambahkan interpretasi foto udara kedalamnya dengan fungsi yang hampir sama
kedudukannya dengan penyadapan ukuran dari foto. Setelah edisi ketiga pada tahun 1996,
definisi fotogrametri diperluas lagi hingga meliputi penginderaan jauh. (Sutanto, 1983).
Sehingga dapat disimpilkan bahwa Fotogrametri adalah suatu seni, ilmu, dan teknik untuk
memperoleh data-data tentang objek fisik dan keadaan di permukaan bumi melalui proses
perekaman, pengukuran, dan penafsiran citra fotografik. Citra fotografik adalah foto udara
yang diperoleh dari pemotretan udara yang menggunakan pesawat terbang atau wahana
terbang lainnya. . Hasil dari proses fotogrametri adalah berupa peta foto atau peta garis. Peta
ini umumnya dipergunakan untuk berbagai kegiatan perencanaan dan desain seperti jalan
raya, jalan kereta api, jembatan, jalur pipa, tanggul, jaringan listrik, jaringan telepon,
bendungan, pelabuhan, pembangunan perkotaan, dsb.
Dalam kajian fotogrametri dimaksud di sini adalah fotogrametri dalam arti terbatas yaitu :
fotogrametri sebagai dasar untuk interpretasi foto udara vertical karena foto udara vertical
merupakan foto yang terbanyak digunakan dalam interpretasi foto udara. Foto udara vertical
dibuat dengan sumbu kamera tegak lurus terhadap bidang referensi yaitu bidang datar yang
merupakan ketinggian rata-rata daerah yang dipotret, atau daerah yang sempit dengan arah
grafitasi.
Azas fotogrametri penting bagi penafsir foto, karena merupakan dasar untuk kuantifikasi
kenampakan medan hasil interpretasi dalam kaitannya dengan lokasi dan bentangannya.
Proses kuantisasi ini penting karena perhatian penafsir pada apa yang terdapat pada citra
hampir selalu disertai dengan memperhatikan dimana kedudukan obyek yang diamati tersebut
dilapangan dan bagaimana bentangan arealnya.
Prosedur analisis fotogrametri dapat berkisar dari mengukur jarak dan elevasi kurang
teliti dengan menggunakan alat yang relatif kurang canggih dan memanfaatkan konsep
geometrik yang sederhana hingga menghasilkan peta, hingga perolehan ukuran dan peta yang
sangat tepat dengan menggunakan alat yang canggih dan dengan teknik perhitungan yang
rumit. Walaupun sebagian besar terapan fotogrametri berhubungan dengan fotoudara, tetapi
foto terestrial (dipotret dengan kamera dari muka bumi) juga dapat digunakan. Penggunaan
teknik fotogrametri terestrial berkisar dari perekam secara tepat pemandangan kecelakaan
mobil hingga pemetaan tubuh manusia dalam bidang kedokteran.
Penginderaan jauh sistem fotogrametri adalah sistem perekaman objek yang didasarkan
pantulan. Semakin besar pantulan tenaga dari objek maka rona yang tergambar akan cerah,
dan sebaliknya semakin kecil pantulan objek rona yang terbentuk akan gelap. Karena itu
objek yang tegak lurus dengan sumbu kamera berpantulan tinggi, rona yang tergambar akan
cerah dibandingkan dengan objek yang jauh dari sumbu kamera.
Sehubungan dengan sumbu kamera yang tegak lurus, maka ukuran objek yang lebih
sesuai dan akurat adalah objek yang tegak lurus. Artinya semakin jauh dari sumbu tegak lurus
dengan kamera, maka kesalahan ukuran makin besar. Oleh karena itu semakin jauh dari titik
tembus suatu kamera (titik prinsipal) skala semakin kecil dan kesalahan (distorsi) pada foto
udara bersifat radial.
Kedudukan sumbu kamera mempengaruhi skala, karena bila sumbu kamera tidak tegak
lurus, maka jarak medan yang sama akan mempunyai perbedaan jarak pada foto udara.
Panjang fokus merupakan perbandingan antara ketinggian objek dengan wahana. Sumbu
kamera berkaitan dengan sumbu liputan, semakin panjang fokus kamera, maka sudut liputan
semakin kecil. Artinya lahan yang terliput semakin sempit dan sebaliknya. Sudut liputan
mempengaruhi skala dan kerincian objek yang direkam, karena semakin kecil sudutnya
liputan lahan semakin kecil, tetapi kemampuan mendeteksi objek semakin besar.
Hubungan antara Geografi dan Fotogrametri tidak berehenti sampai situ saja.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Geografi mencakup analisis tentang gejala alam dan
manusia. Untunk menganalisis, sebelumnya diperlukan informasi yang banyak mengenai
daerah atau objek yang akan dikaji (dianalisis). Untuk mendapatkan informasi-informasi itu,
geograf membutuhkan gambaran mengenai objek tersebut yang didapatkan dari hasil
Penginderaan Jauh, baik berupa citra satelit maupun citra foto, hasil dari Fotogrametri.
Dalam segi informasi, citra foto dari hasil Fotogrametri memiliki keunggulan yaitu dapat
melihat kenampakan suatu objek secara tiga dimensi dengan fotostereo, dengan syarat daerah
yang akan dikaji saling bertampalan searah jalur terbang (overlap) dan antar jalur terbang
(sidelap). Hal ini memudahkan para geograf untuk menganalisis suatu daerah dan dapat
mengumpulkan informasi dari hasil citra foto tersebut.
Dari uraian-uraian di atas, dapat dikatakan bahwa Geografi sebagai induk dari ilmu
Fotogrametri. Salah satu dasar dari ilmu Fotogrametri adalah Ilmu Geografi, yang membuat
kedua ilmu tersebut berkaitan erat. Kemudian, dapat dikatakan juga bahwa Geografi
bergantung pada Fotogrametri dalam hal pengumpulan informasi suatu fenomena atau objek.
Fotogrametri menghasilkan produk yang oleh para geograf dapat diolah dan dikaji, dan
nantinya akan menghasilkan informasi yang bisa saja lebih memperkaya dan memperluas
ilmu Geografi itu sendiri.
1.3 Paralaks
Paralaks atau lebih tepatnya paralaks gerak (bahasa Yunani: παραλλαγή (parallagé))
adalah perubahan kedudukan sudut dari dua titik diam, relatif satu sama lain, sebagaimana
yang diamati oleh seorang pengamat yang bergerak. Secara sederhana, paralaks merupakan
pergeseran yang tampak dari suatu obyek (titik 1) terhadap latar belakang (titik 2) yang
disebabkan oleh perubahan posisi pengamat.
Paralaks sering didefinisikan sebagai "pergerakan yang tampak" dari sebuah obyek
terhadap latar belakang yang jauh akibat pergeseran perspektif sebagaimana dapat dilihat
pada gambar 1. Ketika dilihat dari titik pandang A, obyek tampak berada di depan kotak
biru. Ketika titik pandang diubah ke titik pandang B, obyek tampak bergerak ke depan kotak
merah. Fenomena ini biasa dimanfaatkan dalam astronomi untuk menentukan jarak benda-
benda langit.
Gambar 2. Contoh sederhana paralaks
Sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Paralaks
Pada fotografi dikenal istilah kesalahan paralaks (en:parallax error), yaitu sebuah
kesalahan pendekatan paraksial yang dilakukan pada pergeseran sudut pandang.
Fotografi mengenal dua jenis kesalahan paralaks:
1. Paralaks penyambungan (en:stacking parallax, panoramic parallax), yaitu tidak
tersambungnya garis-garis pada foreground, midground dan background dari
beberapa foto yang akan disambung untuk membentuk sebuah citra panorama.
2. Paralaks sudut pandang (en:AOV parallax), yaitu paralaks yang sering dijumpai
pada kamera refleks lensa ganda atau kamera TLR saat digunakan untuk mengambil
foto pada jarak yang sangat dekat. Foto yang dihasilkan akan mempunyai sudut
pandang yang berbeda dengan sudut pandang yang dilihat oleh fotografer pada
jendela bidik.
Paralaks bar Adalah alat yang terdiri dari sebuah batang yang pada kedua ujungnya
terpasang masing-masing lensa. Pada kedua lensa tersebut terdapat tanda berupa titik, silang
atau lingkaran kecil yang disebut tanda apung ( floting mark ) tanda dilensa sebelah kiri
disebut fixed mark, karena pada batang terdapat titik merah atau hitam, di mana orang yang
akan menggunakannya harus menentukan konstanta batang paralaks dengan memilih salah
satu titik tersebut. Bila telah ditetapkan titik merah, maka selanjutnya lensa kiri ini tidak
diubah-ubah lagi (fixed). Lensa sebelah kanan memiliki tanda juga yang disebut half mark.
Titik ini dapat digerakkan sesuai dengan posisinya pada objek yang dikehendaki dengan cara
memutar-mutar skip micrometer. Paralaks batang digunakan untuk mengukur besarnya
paralaks suatu titik. Paralaks titik biasanya diperlukan untuk mengukur ketinggian titik
tersebut. Pengukuran tinggi ini dapat pula dilakukan dengan mistar, paralaks tangga dan
paralaks meter.
Gambar 3. Paralaks Bar
Sumber : http://fizcowocool.blogspot.com
Pengukuran paralaks dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
a. Pengukuran paralaks secara stereoskopik; dilakukan dengan menggunkan
batang paralaks atau meter paralaks (parallax bar) terdiri dari dua keping kaca
yang diberi tanda padanya. Tanda ini disebut tanda apung (floating mark).
Masing-masing keping kaca dipasang pada batang yang dapat diatur
panjangnya yang diatur dengan memutar sekrup mikrometer. Pengukuran
dilakukan setelah foto disetel di bawah pengamatan stereoskopik. Tanda
apung kiri diletakkan pada titik yang akan diukur paralaksnya di foto kiri, dan
tanda apung kanan diletakkan pada titik yang akan diukur paralaksnya pada
foto kanan, dimana peletakan dilakukan dengan melihat dari stereoskop.
Kemudian dilakukan pembacaan pada sekrup mikrometer yang dibaca dalam
milimeter (mm).
b. Pengukuran paralaks secara monoskopik; atau disebut juga cara manual,
dilakukan tanpa menggunakan batang paralaks, melainkan hanya dengan
menggunakan penggaris biasa. Dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut : PA = XA1 – (-XA2) = XA1 + XA2 PB = XB1 – XB2.
1.4 Kontur
Kontur adalah garis khayal untuk menggambarkan semua titik yang mempunyai
ketinggian yang sama di atas atau di bawah permukaan datum tertentu yang disebut
permukaan laut rata-rata. Kontur digambarkan dengan interval vertikal yang reguler. Interval
kontur adalah jarak vertikal antara 2 (dua) garis ketinggian yang ditentukan berdasarkan
skalanya. Besarnya interval kontur sesuai dengan skala peta dan keadaan di muka bumi.
Interval kontur selalu dinyatakan secara jelas di bagian bawah tengah di atas skala grafis.
Nama lain garis kontur adalah garis tranches, garis tinggi dan garis tinggi horizontal. Garis
kontur + 25 m, artinya garis kontur ini menghubungkan titik-titik yang mempunyai
ketinggian sama + 25 m terhadap tinggi tertentu. Garis kontur disajikan di atas peta untuk
memperlihatkan naik turunnya keadaan permukaan tanah. Aplikasi lebih lanjut dari garis
kontur adalah untuk memberikan informasi slope (kemiringan tanah rata-rata), irisan
profil memanjang atau melintang permukaan tanah terhadap jalur proyek (bangunan)
dan perhitungan galian serta timbunan (cut and fill) permukaan tanah asli terhadap ketinggian
vertikal garis atau bangunan. Garis kontur dapat dibentuk dengan membuat proyeksi tegak
garis-garis perpotongan bidang mendatar dengan permukaan bumi ke bidang mendatar
peta. Karena peta umumnya dibuat dengan skala tertentu, maka untuk garis kontur ini
juga akan mengalami pengecilan sesuai skala peta. Garis-garis kontur merupakan cara
yang banyak dilakukan untuk melukiskan bentuk permukaan tanah dan ketinggian pada
peta, karena memberikan ketelitian yang lebih baik. Cara lain untuk melukiskan
bentuk permukaan tanah yaitu dengan cara hachures dan shading. Bentuk garis kontur dalam
3 dimensi. Kontur biasanya digambar dalam bentuk garis-garis utuh yang kontinyu (biasanya
berwarna cokelat atau oranye). Setiap kontur keempat atau kelima (tergantung pada
intervalnya) dibuatlah indeks, dan digambarkan dengan garis yang lebih tebal. Kontur indeks
dimaksudkan untuk membantu pembacaan kontur dan menghitung kontur untuk menentukan
tinggi. Angka (ketinggian) kontur diletakkan pada bagian kontur yang diputus, dan diurutkan
sedemikian rupa agar terbaca searah dengan kemiringan ke arah atas (lebih tinggi).
Pada daerah datar yang jarak horisontalnya lebih dari 40 mm sesuai skala peta dibuat garis
kontur bantu. Kontur bantu ini sangat berarti terutama jika ada gundukan kecil pada daerah
yang datar. Kontur bantu digambar pada peta berupa garis putus-putus untuk membedakan
dengan kontur standar.
Gambar 4: Kontur indeks dan titik-titik tinggi pada peta rupabumi skala 1:25.000
Sumber: multiply.com/journal/item/16/Peta_Topografi_amp_Cara_Pembacaan_Konturnya
Bentuk Kontur
Bentuk suatu kontur menggambarkan bentuk permukaan lahan yang sebenarnya. Kontur-
kontur yang berdekatan menunjukkan kemiringan yang terjal, kontur-kontur yang berjauhan
menunjukkan kemiringan yang landai. Jika kontur-kontur itu memiliki jarak satu sama lain
secara tetap maka kemiringan yang ada juga akan ikut menjadi teratur.
Beberapa catatan tentang kontur sebagai berikut:
1. Kontur adalah kontinyu (bersinambung). Sejauh mana pun kontur berada, tetap akan
bertemu kembali di titik awalnya. Perkecualiannya adalah jika kontur masuk ke suatu
daerah kemiringan yang curam atau nyaris vertikal, karena ketiadaan ruang untuk
menyajikan kontur-kontur secara terpisah pada pandangan horisontal, maka lereng terjal
tersebut digambarkan dengan simbol. Selanjutnya, kontur-kontur akan masuk dan keluar
dari simbol tersebut.
2. Jika kontur-kontur pada bagian bawah lereng merapat, maka bentuk lereng disebut
konveks (cembung), dan memberikan pandangan yang pendek. Jika sebaliknya, yaitu
merenggang, maka disebut dengan konkav (cekung), dan memberikan pandangan yang
panjang.
3. Jika pada kontur-kontur yang berbentuk meander tetapi tidak terlalu rapat maka
permukaan lapangannya merupakan daerah yang undulasi (bergelombang).
4. Kontur-kontur yang rapat dan tidak teratur menunjukkan lereng yang patah-patah.
Kontur-kontur yang halus belokannya juga menunjukkan permukaan yang teratur (tidak
patah-patah), kecuali pada peta skala kecil pada umumnya penyajian kontur cenderung
halus akibat adanya proses generalisasi yang dimaksudkan untuk menghilangkan detil-
detil kecil (minor).
Gambar 5.Berbagai kenampakan kontur
Sumber: multiply.com/journal/item/16/Peta_Topografi_amp_Cara_Pembacaan_Konturnya
Kenampakan yang tidak berubah dengan penggambaran kontur adalah bukit dan lembah.
Bentuk permukaan lahan tidak berubah cukup berarti meskipun ada bangunan gedung, jalan,
pemotongan pepohanan (hutan atau perkebunan). Penafsiran yang benar terhadap bentuk
permukaan lahan membutuhkan latihan, praktek dan pengalaman yang memadai di lapangan.
Bentuk garis kontur dalam 3 dimensi.
Penggambaran kontur Garis kontur memiliki sifat sebagai berikut :
a. Berbentuk kurva tertutup.
b. Tidak bercabang.
c. Tidak berpotongan.
d. Menjorok ke arah hulu jika melewati sungai.
e. Menjorok ke arah jalan menurun jika melewati permukaan jalan.
f. Tidak tergambar jika melewati bangunan.
g. Garis kontur yang rapat menunjukan keadaan permukaan tanah yang terjal.
h. Garis kontur yang jarang menunjukan keadaan permukaan yang landai
i. Penyajian interval garis kontur tergantung pada skala peta yang disajikan, jika datar
maka interval garis kontur tergantung pada skala peta yang disajikan, jika datar maka
interval garis kontur adalah 1/1000 dikalikan dengan nilai skala peta , jika berbukit
maka interval garis kontur adalah 1/500 dikalikan dengan nilai skala peta dan jika
bergunung maka interval garis kontur adalah 1/200 dikalikan dengan nilai skala peta.
j. Penyajian indeks garis kontur pada daerah datar adalah setiap selisih 3 garis kontur,
pada daerah berbukit setiap selisih 4 garis kontur sedangkan pada daerah bergunung
setiap selisih 5 garis kontur.
k. Satu garis kontur mewakili satu ketinggian tertentu..
l. Garis kontur berharga lebih rendah mengelilingi garis kontur yang lebih tinggi.
m. Rangkaian garis kontur yang berbentuk huruf "U" menandakan punggungan gunung.
n. Rangkaian garis kontur yang berbentuk huruf "V" menandakan suatu lembah/jurang
Selain menunjukan bentuk ketinggian permukaan tanah, garis kontur juga dapat digunakan
untuk:
a. Menentukan profil tanah (profil memanjang, longitudinal sections) antara dua tempat.
b. Menghitung luas daerah genangan dan volume suatu bendungan
c. Menentukan route/trace suatu jalan atau saluran yang mempunyai kemiringan tertentu
d. Menentukan kemungkinan dua titik di lahan sama tinggi dan saling terlihat
2.2 STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
Alat dan Bahan :
1). Alat :
1. 1 set stereoskop cermin
2. Karton
3. Plastik transparan
4. Spidol transparansi 3 warna
5. penggaris panjang
6. gunting
7. selotip
2). Bahan :
a. Foto Copy Laser atau digital foto udara 1 lembar ( kode C 15-15 dan C 15-16 )
b. Millimeter block
Cara Kerja:
a. Ambil karton, gunting sesuai ukuran foto udara karena akan digunakan sebagai alas
foto udara.Setelah sesuai, tempel foto udara di atas karton menggunakan selotip.
b. Ambil plastik transparan secukupnya, lapisi foto udara di atas karton dengan plastik
tersebut kemudian tenpel menggunakan selotip agar tidak bergeser.
c. Setelah itu, lihat pada foto udara. Tentukan titik tengah dari masing – masing kedua
gambar, caranya dengan menggaris gambar foto copy udara tersebut secara diagonal
dari kiri ke kanan dengan spidol transparansi sehingga tebentuklah titik perpotongan
tengah. Garis dengan teliti. Pada titik garis perpotongan horizontal dicopy foto udara
kode C 15-15 diberi tanda dengan simbol p1, sedangkan pada copy foto udara C 15-
14 diberi tanda p2.
d. Letakkan copy foto udara kode C 15-15 di sebelah kiri karton
e. Ambil stereoskop cermin yang telah dipersiapkan,kemudian letakan stereoskop
cermin tersebut diatas karton yang telah ditempel copy gambar foto udara.
f. Ambil copy foto udara kode C 15-14, kemudian letakan copy foto udara itu pada
bagian kanan karton kemudian gerakkan foto copy tersebut agar mencapai titik fokus
dan terlihat gambar secara 3 dimensi . Jika gambar 3 dimensi sudah ditemukan,
rekatkan foto copy tersebut menggunakan selotip.
g. Tarik garis lurus yang merupakan garis terbang foto udara dari ujung copy foto
menyentuh titik p1 dan p2 .
h. Carilah titik p11 dengan menggunakan stereoskop cermin , kemudian tandai dengan
simbol titik lalu diberi nama p11
i. Carilah titik p21 dengan menggunakan stereoskop cermin , kemudian tandai dengan
simbol titik lalu diberi nama p21 .
j. Hitung jarak antara copy foto udara kode C 15-15 dan C 15-16. Hasil yang didapatkan
penulis 7cm.
k. Tentukan garis horisontal dan vertikal pada gambar kode C 15-14 dan C 15-15
membentuk sudut 90o.
l. Tentukan garis tampalan dengan menggunakan stereoskop cermin, temukan bayangan
garis tepi sebelah kanan gambar kode C 15-15 berada di gambar kode C 15-14
kemudian tarik garis horizontal. Temukan garis tampalan kedua dengan melihat
bayangan garis tepi sebelah kiri gambar kode C 15-14 berada di gambar kode C 15-15
apabila telah terlihat tarik garis horizontal. Garis tampalan tersebut berguna untuk
membatasi gambar saat mendeliniasi copy foto udara tersebut.
m. Amati gambar, aturlah posisi lensa sesuai kebutuhan. Dari stereoskop akan tampak
perbedaan antara puncak dengan lembah. Tentukan 3 titik puncak dan 3 titik lembah .
Tandai titik yang ditemukan dengan menggunakan spidol transparansi dengan simbol
titik dan huruf ( puncak : A,C,E dan lembah : B,D,F ). Kemudian tentukan titik
bayangan puncak dan lembah, dan beri tanda titik dan huruf ( puncak : A’,C’,E’ dan
lembah : B’,D’,F’ ).
n. Hitunglah jarak antara titik dengan garis sumbu x (Px). Gunakan untuk menghitung
beda tinggi dengan menggunakan rumus Px = x-x’. Kemudian carilah beda tinggi
antara lembah dan puncak dengan rumus ∆t = PX - PY.
o. Alternatif lain,gunakan paralaks bar yang di hubungkan antara titik puncak dengan
titik bayangan lembah dan lembah dengan titik bayangan lembah. Lalu akan diketahui
nilai panjangnya dengan melihat hasil pengukuran di paralaks bar. Pada perhitungan
ini ukuran mm diubah menjadi cm..
p. Buatlah garis kontur dengan tinggi interval 5 m, 10 m, dan 15 m. Tentukan salah satu
titik puncak dan lembah yang ingin dibuat konturnya, (pilihan saya titik A dan B).
Tentukan interval paralaksnya dengan rumus interval paralaks = interval kontur :
penyebut skala.
q. Tentukanlah 8 titik-titik objek untuk membentuk suatu kontur dari masing-masing
interval. Kemudian hubungkan tiap-tiap titik agar membentuk suatu garis kontur.
Gunakan stereoskop untuk hasil yang lebih akurat.
r. Tentukan luas permukaan kontur berjarak interval 10 m untuk menghitung volume
pada interval tersebut. Perhitungan luas permukaan dilakukan dengan square method,
square method merupakan perhitungan dengan alat bantu milimeter block.
s. Hitung volume pada garis 10 m. Volume dihitung dengan menggunakan rumus yaitu
⅓ x Luas alas x tinggi.
2.3 HASIL PERHITUNGAN
2.3.1 HASIL PERHITUNGAN BEDA TINGGI ANTARA PUNCAK DENGAN
LEMBAH GAMBAR KODE C 15-14 DAN C 15-15
a. Dengan Menggunakan Rumus
Diketahui :
Panjang jarak dari tiap titik dengan sumbu x
A = 3,2 cm = 32 mm A’ = -3,8 cm = -38 mm
B = 4,4 cm = 44 mm B’ = -2,0 cm = -20 mm
C = 4,8 cm = 48 mm C’ = -2,2 cm = -22 mm
D = 3,1 cm = 31 mm D’ = -3,0 cm = -30 mm
E = 3,6 cm = 36 mm E’ = -2,9 cm = -29 mm
F = 2,4 cm = 24 mm F’ = -3,8 cm =- 38 mm
Cari titik Px dengan menggunakan rumus, Px = X – X’
- PA = A – A’
= 3,2 cm – (- 3,8) cm
= 7 cm
- PB = B – B’
= 4,4 cm – (-2) cm
= 6,4 cm
- PC = C – C’
= 4,8 cm – (-2,2) cm
= 7 cm
- PD = D – D’
= 3,1 cm – (-3) cm
= 6,1 cm
- PE = E – E’
= 3,6 cm – (-2,9) cm
= 6,5 cm
- PF = F – F’
= 2,4 cm – (-3,8) cm
= 6,2 cm
Mencari beda tinggi puncak dengan lembah, rumus ∆t = PX - PY
- ∆t (PAB) = PA – PB
= 7 cm – 6,4 cm
= 0,6 cm = 6 mm
- ∆t (PCD)= PC – PD
= 7 cm – 6,1 cm
= 0,9 cm = 9mm
- ∆t (PEF)= PE – PF
= 6,5 cm – 6,2 cm
= 0.3 cm = 3 mm
b. Dengan Menggunakan Paralaks Bar
Diketahui :
Panjang jarak antara titik X dengan X’ (PX)
- PA : A sampai A’ = 28 mm = 2,8 cm
- PB : B sampai B’ = 22 mm = 2,2 cm
- PC : C sampai C’ = 29,8 mm = 2,98 cm
- PD : D sampai D’ = 20,8 mm = 2,08 cm
- PE : E sampai E’ = 24,4 mm = 2,44 cm
- PF : F sampai F’ = 21,4 mm = 2,14 cm
Menghitung beda tinggi dengan mengurangi puncak dengan lembah
- ∆t (PAB) = PA – PB
= 2,8 cm – 2,2 cm
= 0,6 cm = 6 mm
- ∆t (PCD) = PC – PD
= 2,98 cm – 2,08 cm
= 0,9 cm = 9 mm
- ∆t (PEF) = PE – PF
= 2,44 cm – 2,14 cm
= 0,3 cm = 3 mm
= 6 mm
Menentukan skala foto :
Diketahui :ketinggian (dari permukaan laut) = H = 1.450.000, panjang fokus = F = 194
maka nilai H : F = 1.450.000 : 194
= 7500 mm
jadi skala yang didapat adalah 1 : 7500
Mencari jarak sesungguhnya dengan menjumlah hasil perhitungan paralaks bar dengan hasil
perhitungan manual lalu di bagi dua. hasil dari perhitungan tersebut lalu dikali skala.
Px = hasil beda tinggi manual + hasil beda tinggi paralaks
2
PAB = 6 mm + 6 mm x 7500 = 45.000 mm = 45 m
2
PCD = 9 mm + 9 mm x 7500 = 67.500 mm = 67,5 m
2
PEF = 3 mm + 3 mm x 7500 = 22.500 mm = 22.5 m
2
2.3.2 HASIL PERHITUNGAN INTERVAL PARALAKS DENGAN JARAK 5 m, 10
m, DAN 15 m GAMBAR KODE C 15-14 DAN C 15-15
Untuk menentukan garis kontur dengan jarak interval 5 cm, 10 cm, dan 15 cm diperlukan
perhitungan interval paralaks. Perhitungan interval paralaks diperoleh dari pembagian antara
interval kontur dangan penyebut skala.
interval paralaks = interval kontur : penyebut skala
interval paralaks 5 m = 0,6 mm
X skala
interval paralaks 10 m = 1,3 mm
interval paralaks 15 m = 2 mm
Setelah interval paralaks dari masing-masing jarak kontur diketahui, selanjutnya menghitung
interval jarak dengan cara mengurangi jumlah titik puncak dengan jarak interval kontur.
garis kontur interval = tinggi titik puncak (A/C/E) – jarak interval kontur (5,10,15)
saya memilih titik puncak A dengan tinggi 28 mm. Jadi didapatkan perhitungan sebagai
berikut :
- garis kontur inteval 5 m = 28 mm – 0,6 mm
= 27,34 mm
- garis kontur interval 10 m = 28 mm – 1,3 mm
= 26,6 mm
- garis kontur interval 15 m = 28 mm – 2 mm
= 26 mm
2.3.3 HASIL PERHITUNGAN VOLUME PADA GARIS KONTUR DENGAN
JARAK INTERVAL 10 METER GAMBAR KODE C 15-14 DAN C 15-15
Perhitungan volume diperoleh dengan menggunakan rumus :
Volume = 1/3 x Luas Alas x Tinggi
- Luas Alas, didapatkan dengan menggunakan sistem grid. Yaitu sistem pengukuran
luas pada obyek yang dideliniasi dengan mengaris kotak-kotak pada obyek dengan
ukuran tertentu. Ukuran yang penulis gunakan sebesar 1 cm. Setelah daerah diberi
kotak-kotak 1cm, maka mulai menghitung jumlah kotak yang terdapat pada obyek.
Ketentuannya yaitu, jika lebih dari setengah, maka dihitung satu kotak. Kemudian
kotak-kotak tersebut dijumlahkan dan dikalikan dengan skala foto udara.
Penghitungan pada volume tutupan lahan dilakukan diatas kertas millimeter blok.
Satu kotak pada millimeter blok sama dengan 1 cm. Dari perhitungan gambar penulis,
diketahui luasan pada milimeter blok adalah 10 kotak, kemudian di konversikan
menjadi mm dengan hasil 100 mm.
Luas Alas = jumlah kotak x skala x skala
Luas Alas = 100 mm x 7500 mm x 7500 mm
= 5.625.000.000 mm2
= 5.625 m2
- Tinggi, diperoleh dari jarak interval yaitu 10 m.
- Dari kedua variable tersebut maka diperoleh perhitungan :
Volume = 1/3 x Luas Alas x Tinggi
Volume = 1/3 x 5.625 m2 x 10 m
= 1/3 x 56.250 m
= 18.750 m3
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fotogrametri dapat didefinisikan sebagai suatu seni, pengetahuan dan teknologi untuk
memperoleh informasi yang dapat dipercaya tentang suatu obyek fisik dan keadaan
disekitarnya melalui proses perekaman, pengamatan/ pengukuran dan interpretasi citra
fotografis atau rekaman gambar gelombang elektromagnetik.
Dari praktikum fotogrametri yang telah penulis lakukan didapatkan volume titik A
dengan garis kontur interval 10 m sebesar 18.750 m3. Praktikum fotogrametri ini merujuk
pada kemampuan teori dan praktikum mahasiswa dalam foto udara dan lebih menjelaskan
pemetaan yang sudah pernah dipelajari sebelumnya. Dengan adanya praktikum ini penulis
bisa mengetahui tentang teori-teori fotogrametri dan mampu mengaplikasikannya pada
pemetaan secara manual.
DAFTAR PUSTAKA
Lillesand, Thomas, dan Ralph Kiefer. 1993. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. New
York: Universitas New York.
Sutanto. 1983. Pengetahuan Dasar Fotogrametri. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada