FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT
FARMA YUNIANDRA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan, bahwa tesis Formulasi Strategi Kebijakan
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat merupakan karya saya
dengan dibimbing oleh Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Pebruari 2007
Farma Yuniandra NIM.: P052040191
ABSTRAK
FARMA YUNIANDRA. 2007. Formulasi Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Sejak penetapan Gunung Ciremai di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa
Barat sebagai taman nasional, implementasi PHBM pada 25 desa di dalam dan sekitar taman nasional menghadapi masalah. Tujuan penelitian ini ialah menganalisis substansi kebijakan PHBM, mengkaji implementasi kebijakan dan dampaknya di Taman Nasional Gunung Ciremai dan merumuskan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai. Metode penelitian ialah analisis kebijakan, deskripsi, AHP dan SWOT.
Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan terdiri atas beberapa tahapan, yaitu sosialisasi, pembentukan Forum PHBM, pemetaan, inventori, perencanaan desa, Nota Kesepakatan Bersama (NKB), Nota Perjanjian Kerja sama (NPK) dan Peraturan Desa. Dampak ekonomi dari kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan ialah kontribusi PHBM pada pendapatan sekitar 7,71% dari rata-rata pendapatan sebesar Rp 3.336.573,- per kapita per tahun dan tingkat kemiskinan masyarakat setelah PHBM secara umum relatif baik.
Penelitian ini menghasilkan rekomendasi, bahwa strategi kebijakan PHBM yang dapat diterapkan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat ialah sosialisasi nilai ekonomi taman nasional dan intervensi regulasi, pengembangan pemanfaatan taman nasional dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Kata kunci: Pengelolaan hutan bersama masyarakat, strategi kebijakan, taman
nasional
ABSTRACT
FARMA YUNIANDRA. 2007. Formulation of Policy Strategy of Collaborative Forest Management (CFM) in the Mount Ciremai National Park, Kuningan Regency, West Java Province. Under the supervision of CECEP KUSMANA and DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Since the enaction of Mount Ciremai in the Kuningan Regency, West Java
Province as national park, the implementation of CFM at 25 villages within and surrounding the national park have been facing problem. The objectives of this research are analysing the policy substance of CFM, examining policy implementation and it’s impact in the Mount Ciremai National Park and formulating policy strategy of CFM in the Mount Ciremai National Park. Methods of this research are policy analysis, descriptive analysis, AHP and SWOT.
Implementation of the CFM policy in Kuningan Regency consists of some steps: socialization, forming of CFM Forum, mapping, inventory, planning of village, NKB, NPK and village regulation. Economic impact from the policy of CFM in Kuningan Regency is the contribution of CFM to income of about 7,71% from the nominal of Rp 3.336.573,- per capita per year and poverty rate after CFM in general is relatively good.
This research results recommend that CFM policy strategies that can be applied in Mount Ciremai National Park, Kuningan Regency, West Java Province are socialization of economic value of the national park, intervence of regulation, developing the utilition of national park and empowerment of the community economic.
Key words: Collaborative forest management, national park, policy strategy
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,
baik cetak, foto copy, mikro film dan sebagainya
FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT
FARMA YUNIANDRA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
Judul Tesis : Formulasi Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
Nama : Farma Yuniandra NIM : P052040191 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui: Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MSc
Ketua Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 12 Pebruari 2007 Tanggal Lulus:
Karya kecil ini dipersembahkan buat Ibu (almarhumah), Bapak, Kakak, Keponakan dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih
sayangnya
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan kurnia-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Formulasi
Strategi Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat” berhasil diselesaikan. Penelitian tesis ini yang
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dilaksanakan di lapangan selama tiga
bulan pada bulan April–Juni 2006 di Taman Nasional Gunung Ciremai,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MSc selaku anggota Komisi Pembimbing
atas bimbingan dan saran selama penelitian tesis ini. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada Ibu (almarhumah), Bapak dan seluruh keluarga atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari, bahwa tesis ini masih banyak memiliki keterbatasan
dan kekurangan. Meskipun demikian, penulis berharap tesis ini dapat
bermanfaat bagi perkembangan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan,
khususnya Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Bogor, Pebruari 2007
Farma Yuniandra
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Batusangkar pada tanggal 26 Juni 1974 dari Bapak
Makmur Munaf dan Ibu Farida. Penulis merupakan putra bungsu dari enam
bersaudara. Tahun 1993, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program
Studi Manajemen Hutan pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1998.
Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister diperoleh penulis
pada tahun 2004 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis
pernah bekerja di Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Perawang Sukses Perkasa
Industri (Surya Dumai Group) dan sejak tahun 2000 bekerja di Dinas Kehutanan
Kabupaten Kampar, Propinsi Riau.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………..............…………..vii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………..............………... x
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………….............…………….xi
I. PENDAHULUAN……………………………………………………....…………. 1
1.1. Latar Belakang……………………………………………………....…….. 1
1.2. Kerangka Pemikiran………………………………….....................…….. 4
1.3. Perumusan Masalah......………………………………..…………………6
1.4. Tujuan.................................................................................................10
1.5. Manfaat...............................................................................................10
II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………......11
2.1. Formulasi Strategi dan Analisis Kebijakan……………………………..11
2.2. Hutan dan Pengelompokannya..........................................................14
2.3. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat………………....................18
2.4. Kawasan Konservasi dan Taman Nasional........................................20
2.5. Pengambilan Keputusan, Analisis AHP dan SWOT..............………..25
III. METODE………………………………………………………………………....31
3.1. Lokasi dan Waktu…………………………………………………………31
3.2. Bahan dan Peralatan……………………………………………………..31
3.3. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………....31
3.4. Analisis Data……………………………………………………...............33
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN...................................................40
4.1. Taman Nasional Gunung Ciremai......................................................40
4.2. Kabupaten Kuningan..........................................................................42
4.3. Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma.....................................46
4.4. Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari...............................49
V. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................53
5.1. Substansi Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat........................................53
5.2. Implementasi dan Dampak Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat............89
v
A. Implementasi Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat....................89
B. Dampak Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat..................................95
1. Pertumbuhan Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan..............97
2. Disparitas Pendapatan.........................................................100
3. Ekonomi Rumah Tangga......................................................102
a. Struktur Pendapatan dan Ketergantungan terhadap PHBM..............................................................................105
b. Distribusi Keuntungan dari PHBM..................................107
c. Analisis Kemiskinan di Desa...........................................109
5.3. Strategi Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat......................................110
A. Identifikasi Stakeholders.............................................................111
B. Klasifikasi Faktor-faktor Keputusan............................................115
C. Evaluasi Faktor-faktor Keputusan...............................................116
1. BKSDA II Provinsi Jawa Barat..............................................117
2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan....118
3. PMTH Kabupaten Kuningan.................................................120
4. LPI-PHBM Kabupaten Kuningan..........................................120
5. LSM Lokal Kabupaten Kuningan..........................................122
6. Universitas Kuningan............................................................123
VI. KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................130
6.1. Kesimpulan.......................................................................................130
6.2. Saran-saran......................................................................................131
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………............132
LAMPIRAN.........................................................................................................136
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Pengaruh kapabilitas pemerintah dan modal sosial pada pilihan lembaga pengelolaan hutan.........................................................................................9
2. Klasifikasi kawasan lindung menurut Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung...................................21
3. Klasifikasi kawasan konservasi menurut Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor 129 tahun 1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutan Lindung.......................................................22
4. Klasifikasi hutan konservasi dan hutan lindung menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan............................................22
5. Skala dasar dari AHP..................................................................................28
6. Responden peserta PHBM pada desa sampel………….............................32
7. Responden untuk analisis dan perumusan strategi kebijakan……….........32
8. Prioritas SWOT...........................................................................................35
9. Evaluasi faktor internal dan eksternal.........................................................36
10. Matriks SWOT dan kemungkinan strateginya.............................................37
11. Penggunaan lahan kering di Kabupaten Kuningan tahun 2004..................43
12. Tanaman pertanian yang terdapat di Kabupaten Kuningan tahun 2004.....44
13. Penduduk Kabupaten Kuningan tahun 2004...............................................45
14. Penduduk Kabupaten Kuningan menurut jenis kelamin dan kelompok umur tahun 2004.........................................................................................45
15. Sekolah menurut tingkatannya di Kabupaten Kuningan tahun 2005/2006.46
16. Sarana jalan di Kabupaten Kuningan tahun 2000-2004..............................46
17. Penggunaan lahan kering di Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma tahun 2004...................................................................................................47
18. Tanaman pertanian yang terdapat di Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma tahun 2004................................................................................48
19. Penduduk Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma menurut jenis kelamin tahun 2004.....................................................................................49
20. Sekolah menurut tingkatannya di Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma tahun 2005/2006 (A = Negeri, B = Swasta).....................................49
21. Penggunaan lahan di Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari tahun 2004...................................................................................................50
vii
22. Tanaman pertanian yang terdapat di Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari tahun 2004.........................................................................51
23. Penduduk Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari menurut jenis kelamin tahun 2004.............................................................................51
24. Sekolah menurut tingkatannya di Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari tahun 2004................................................................................52
25. Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dalam UUD 1945.......................................53
26. Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.....................................................................................84
27. Peraturan menteri yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat......85
28. Keputusan Bupati Kuningan mengenai kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat......86
29. Inkonsistensi substansi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat...................................88
30. Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun 2001-2004.90
31. Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun 2005..........90
32. Dana dari lembaga donor, Pemda Kabupaten Kuningan dan Perum Perhutani untuk implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun 2002-2005.........................................................................................93
33. Implementasi kebijakan PHBM pada tiga desa sampel..............................94
34. KTH dalam PHBM pada tiga desa sampel..................................................94
35. Pendapatan peserta PHBM di desa sampel dari PHBM dan non PHBM....98
36. Pendapatan KPH Kuningan tahun 1998-2003............................................99
37. Kerusakan hutan akibat pencurian kayu dan kerugiannya tahun 1999- 2004...........................................................................................................100
38. Tingkat kemiskinan sebelum dan setelah PHBM......................................100
39. Jarak disparitas pendapatan peserta PHBM di desa sampel antara yang paling tinggi dengan yang paling rendah...................................................101
40. Distribusi pendapatan menurut kelas pendapatan di desa sampel...........101
41. Deskripsi variabel sosial ekonomi responden...........................................103
42. Deskripsi statistik karakteristik sosial ekonomi responden........................104
43. Sumber pendapatan rumah tangga peserta PHBM di desa sampel.........105
44. Variabel yang berhubungan terhadap porsi pendapatan dari PHBM........106
45. Variabel yang berhubungan dengan keuntungan dari PHBM...................108
46. Analisis regresi dari variabel yang berhubungan dengan tingkat kemiskinan.................................................................................................109
viii
47. Stakeholders, kepentingan dan tingkat kepentingannya, tingkat pengaruh dan peluang partisipasinya dalam PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat...................112
48. Faktor-faktor SWOT yang mempengaruhi strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat..........................................................................................................115
49. Evaluasi faktor internal dan eksternal kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat....124
50. Matriks analisis SWOT strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat...................125
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram alir kerangka pemikiran...................................................................5
2. Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah....................................13
3. Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan pembuatan kebijakan.......14
4. Suatu contoh dari hirarki AHP dengan tiga tingkatan..................................28
5. Struktur hirarki perumusan strategi kebijakan.............................................35
6. Posisi pada berbagai situasi........................................................................37
7. Tahapan dari penelitian...............................................................................38
8. Siklus kebijakan dan objek penelitian..........................................................39
9. Kurva Lorens pada desa sampel...............................................................102
10. Tipe rumah dan kontribusi sumber pendapatan pada pendapatan rumah tangga............................................................................................106
11. Distribusi keuntungan dari PHBM di desa sampel....................................109
12. Stakeholders, tingkat kepentingan dan pengaruhnya terhadap PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat..........................................................................................................114
13. Pilihan BKSDA II Provinsi Jawa Barat terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat..........................................................................................................118
14. Pilihan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat...............................................119
15. Pilihan PMTH Kabupaten Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat....120
16. Pilihan LPI-PHBM Kabupaten Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat..........................................................................................................122
17. Pilihan LSM lokal Kabupaten Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat..........................................................................................................123
18. Pilihan Universitas Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat....124
19. Posisi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat...............................................125
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta lokasi penelitian.................................................................................136
2. Jadwal penelitian.......................................................................................137
3. Kuisioner penelitian untuk implementasi dan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.................................................................................................138
4. Kuisioner penelitian untuk perumusan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat..........................................................................................................141
5. Nilai faktor prioritas dan semua prioritas dari analisis SWOT dan AHP....147
6. Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun 2001- 2004...........................................................................................................148
7. Kegiatan Gerhan di Taman Nasional Gunung Ciremai wilayah Kabupaten Kuningan tahun 2005..............................................................153
8. PAD Kabupaten Kuningan dari sektor kehutanan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan tahun 2001-2005.........................154
9. PAD Kabupaten Kuningan dari sektor kehutanan pada dinas lainnya di Kabupaten Kuningan tahun 2001-2005…………………………………......155
10. Skala parameter dari SWOT kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat…………….156
11. Nilai faktor prioritas dan semua prioritas dari analisis SWOT dan AHP kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat……………………………………………….158
xi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kebijakan merupakan salah satu unsur vital dalam suatu organisasi atau
lembaga apapun, baik lembaga pemerintah, swasta, pendidikan, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) atau lembaga internasional, bahkan dalam keluarga
atau institusi informal karena merupakan landasan untuk tindakan-tindakan nyata
di lapangan. Kebijakan yang ada pada setiap lembaga atau organisasi dapat
diturunkan dalam bentuk strategi, rencana, peraturan, kesepakatan, konsensus,
kode etik, program dan proyek. Keberhasilan kebijakan ini sangat ditentukan
oleh proses pembuatan dan pelaksanaannya.
Kebijakan sebagai ilmu pengetahuan memerlukan pendekatan interdisiplin
dan lintas sektoral, yaitu kebijakan di suatu sektor harus memperhatikan
implikasinya bagi kegiatan atau dampak di sektor lain. Permasalahannya ialah
kebijakan lintas sektoral sulit karena masing-masing sektor mempunyai strategi,
program, proyek dan anggaran terpisah.
Kebijakan merupakan bentuk intervensi pemerintah untuk mencari cara
pemecahan masalah dalam pembangunan untuk mendukung proses
pembangunan yang lebih baik. Dengan kata lain, kebijakan ialah upaya, cara
dan pendekatan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan yang sudah
dirumuskan. Kebijakan bisa juga merupakan upaya pemerintah untuk
memperkenalkan model pembangunan baru berdasarkan masalah lama.
Kebijakan juga dapat diartikan upaya untuk mengatasi kegagalan dalam proses
pembangunan. Kegagalan itu bisa kegagalan kebijakan itu sendiri, kegagalan
pemerintah, kegagalan ekonomi, perdagangan dan pemasaran.
Kebijakan selalu menjadi isu penting dalam pengelolaan hutan, pertanian
atau pembangunan pada umumnya. Pengalaman menunjukkan, bahwa di
negara-negara maju yang memiliki kebijakan yang baik merupakan kunci dari
keberhasilan pengelolaan negara, pembangunan, pasar, perdagangan atau
bisnis. Sebaliknya, di Indonesia kebijakan pemerintah cenderung tidak
konsisten, selalu berubah dan sulit dilaksanakan secara utuh. Hal ini
memerlukan perhatian yang serius karena pada dasarnya hampir semua
kegagalan pembangunan bersumber dari persoalan fundamental ini, yaitu
kegagalan kebijakan.
2
Pengelolaan hutan di Pulau Jawa dimonopoli oleh Perusahaan Umum
Kehutanan Negara (Perum Perhutani), sehingga ruang partisipasi daerah dan
masyarakat sekitar hutan sangat sempit. Kondisi ini menyebabkan timbulnya
berbagai konflik sosial yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan hutan. Oleh
karena itu, Perum Perhutani melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan pelibatan masyarakat dalam mengelola hutan. Kegiatan tersebut dimulai
dari Prosperity Approach dengan Perhutanan Sosial (PS), kemudian Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dan diperbaiki dengan PMDH Terpadu
(PMDHT). Namun, hal ini tidak cukup memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat karena masyarakat sekitar hutan hanya dijadikan objek oleh Perum
Perhutani.
Salah satu alternatif dalam mengurangi kerusakan dan tekanan terhadap
hutan, Perum Perhutani meluncurkan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
(PHBM) dengan mengikuti hal serupa di Nepal, yaitu Joint Forest Management
(JFM) berdasarkan Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor
1061/Kpts/Dir/2000 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dan diganti
dengan Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani Nomor
136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama
Masyarakat. PHBM dicanangkan oleh Perum Perhutani sebagai tonggak
transformasi Perum Perhutani menuju perubahan. Program ini memiliki
perbedaan yang cukup mendasar dibandingkan dengan pola pengelolaan hutan
sebelumnya, yaitu pengelolaan yang semula timber forest management berubah
menjadi resources base management yang artinya pengelolaan hutan Perum
Perhutani tidak lagi berorientasi pada produk kayu saja, melainkan pada semua
komponen sumberdaya hutan. Kemudian, pola pengelolaan yang dulunya state
based forest management berubah menjadi collaborative forest management
yang artinya proses pengelolaan hutan Perum Perhutani dilaksanakan secara
bersama dengan prinsip saling berbagi (sharing), kesetaraan dan keterbukaan.
Kabupaten Kuningan yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Jawa Barat mempunyai hutan negara seluas 24.401 Ha (22,68% dari luas
daratan 107.597 Ha) dan hutan rakyat seluas 6.735 Ha (6,25%). Namun,
menurut Aliadi (2002) telah terjadi degradasi hutan di Kabupaten Kuningan
seluas 5.844 Ha kehilangan tegakan akibat penjarahan, 2.300 Ha kondisinya
kritis berupa alang-alang, areal bekas kebakaran dan areal penggembalaan yang
tidak terkontrol serta seluas 7.577 Ha tidak produktif karena tingkat kerapatan
3
pohonnya yang rendah. Dengan demikian, luas kawasan hutan di Kabupaten
Kuningan yang masih berhutan hanya 8.680 Ha (35,57%) atau 8,07% dari luas
daratan.
Pada awalnya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
419/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi
Daerah Tingkat I Jawa Barat Seluas ± 1.045.071 (Satu Juta Empat Puluh Lima
Ribu Tujuh Puluh Satu) Ha, fungsi kawasan hutan di Gunung Ciremai seluas
15.518,23 Ha yang terletak di perbatasan Kabupaten Kuningan dan Majalengka
ialah hutan lindung (7.748,75 Ha), hutan produksi (2.690,48 Ha), hutan produksi
terbatas (4.943,62 Ha) dan areal penggunaan lain (135,38 Ha). Kemudian, pada
tahun 2003 berubah menjadi hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di
Wilayah Provinsi Jawa Barat Seluas ± 816.603 Ha dan tahun 2004 berubah lagi
menjadi taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
424/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada
Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas 15.500 Ha Terletak di Kabupaten
Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional
Gunung Ciremai.
Perubahan menjadi taman nasional di atas memunculkan reaksi berbeda
dari berbagai kalangan. Sebagian pihak, antara lain Pemerintah Daerah
(Pemda) Kabupaten Kuningan dan Universitas Kuningan menyambut positif
perubahan fungsi kawasan hutan di Gunung Ciremai menjadi taman nasional.
Sebagian pihak yang lain, seperti sejumlah personil Lembaga Pelayanan
Implementasi (LPI)-PHBM dari unsur LSM dan perorangan serta masyarakat
pelaku kegiatan PHBM di kawasan hutan Gunung Ciremai menolak, belum
menerima atau setidaknya mengkritisi proses penetapan Taman Nasional
Gunung Ciremai ini dan proses lanjutannya karena di sebagian kawasan hutan
Gunung Ciremai yang berada di wilayah Kabupaten Kuningan terdapat 25 desa
pada tujuh kecamatan yang telah dalam proses implementasi PHBM dan
sebagian di antaranya telah melaksanakan negosiasi dan penandatanganan
Nota Kesepakatan Bersama (NKB) pada 18 desa dan Nota Perjanjian Kerja
sama (NPK) pada lima desa dengan Perum Perhutani serta melaksanakan
kegiatan pengelolaan hutan di lapangan. Perubahan fungsi kawasan hutan
menjadi taman nasional berarti pengelola hutan akan berganti dan kesepakatan
kerja sama yang telah dibuat bisa menjadi tidak berlaku lagi.
4
Oleh karena itu, agar permasalahan di atas tidak berlarut-larut dan hutan
yang semakin sedikit ini bisa dikelola secara lestari perlu rasanya kebijakan yang
telah ditetapkan dan merupakan salah satu instrumen yang cukup penting dalam
suatu pengelolaan untuk dikaji kembali keefektifan dan keefisienannya serta
dicari strategi kebijakan terbaik dalam PHBM di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.
1.2. Kerangka Pemikiran Hutan yang merupakan salah satu dari sumberdaya alam mempunyai
berbagai manfaat, yaitu sosial, ekonomi dan ekologi. Manfaat sosial dari hutan
ialah sebagai hak masyarakat sekitar hutan, estetika dan budaya. Manfaat
ekonomi hutan ialah hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, kebutuhan lahan
dan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan manfaat ekologi dari hutan ialah
keanekaragaman hayati, satwa dan habitatnya, iklim, pengatur tata air dan
pencegah erosi.
Untuk mendapatkan manfaatnya, hutan harus dikelola. Pengelolaan hutan
tergantung pada fungsi dan status suatu hutan. Namun, bentuk pengelolaan
suatu hutan harus memperhatikan juga stakeholders di sekitarnya karena
mempunyai kepentingan masing-masing terhadap hutan. Jika tidak, maka suatu
saat kepentingan yang berbeda-beda tersebut akan bersinggungan, sehingga
menimbulkan konflik. Bila konflik kepentingan ini berlangsung terus, maka akan
merugikan stakeholders dan hutan sendiri.
Hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani di Kabupaten Kuningan,
Provinsi Jawa Barat hanya melibatkan masyarakat sebagai tenaga kerja,
sehingga kesejahteraan masyarakat tidak meningkat. Hal ini menyebabkan
masyarakat mengganggu hutan berupa penjarahan dan perambahan, sehingga
kelestarian hutan menjadi terganggu. Di samping itu, hutan yang dikelola oleh
Perum Perhutani ini tidak berkontribusi secara signifikan pada PAD Pemda
Kabupaten Kuningan karena kontribusi sektor kehutanan turun ke daerah melalui
mekanisme Dana Alokasi Umum (DAU).
Gangguan terhadap hutan bertambah parah akibat perilaku sebagian
masyarakat yang mengekspresikan tuntutan perubahan, demokrasi dan
kebebasan pasca reformasi tahun 1998 secara kebablasan. Hal ini
menyebabkan kelestarian hutan semakin terganggu dan muncul konflik antara
masyarakat dengan Perum Perhutani. Menyikapi keadaan ini dan seiring dengan
5
perubahan paradigma, Perum Perhutani menerapkan PHBM yang melibatkan
seluruh stakeholders, seperti masyarakat, Pemda dan sebagainya dalam
mengelola hutan. Meskipun bentuk pengelolaan ini telah menghasilkan hal-hal
yang positif, tetapi ada beberapa hal yang masih menjadi masalah, yaitu
mengenai ketepatan sharing bagi hasil antara masyarakat dengan Perum
Perhutani, kontribusi PHBM pada kesejahteraan masyarakat dan sebagainya.
Pada tahun 2004, fungsi kawasan hutan di Gunung Ciremai dirubah
menjadi taman nasional, sehingga harus dicari lagi bentuk pengelolaan yang
tepat pada fungsi baru ini yang secara tidak langsung mengabaikan bentuk
pengelolaan sebelumnya. Oleh karena itu, harus dianalisis kebijakan PHBM dan
implementasi serta dampaknya di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan memformulasikan strategi kebijakan
PHBM yang bisa mengakomodir kepentingan para stakeholders agar tidak terjadi
konflik kepentingan dan hutan lestari. Berikut gambar diagram alir kerangka
pemikiran.
Pengelolaan Hutan Perum Perhutani
Tenaga Kerja Pendapatan Daerah
Reformasi Gangguan Hutan Kesejahteraan Masyarakat
Konflik Kelestarian Hutan
Sharing PHBM
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan
Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran
6
1.3. Perumusan Masalah Kondisi masyarakat di Kabupaten Kuningan yang tersebar pada 132 desa
sekitar hutan umumnya memprihatinkan karena sebagian besar merupakan desa
tertinggal meskipun berdampingan dengan sumberdaya hutan yang melimpah.
Namun, sumberdaya hutan tersebut sebagian rusak dan bertambah parah akibat
perilaku sebagian masyarakat yang mengekspresikan tuntutan perubahan,
demokrasi dan kebebasan pasca reformasi tahun 1998 secara kebablasan,
seperti penjarahan dan perambahan. Situasi seperti ini mendasari dan
mendorong beberapa pihak di Kabupaten Kuningan berpikir dan berupaya untuk
mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Apalagi sumbangan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dari sektor kehutanan terhadap Kabupaten Kuningan tahun 1999
hanya 2,65% atau Rp 383.400.000,- (Gunawan, 2001).
Penjarahan hutan di Kabupaten Kuningan selama tahun 1998–2001 ialah
seluas 3.062,32 Ha dengan nilai kerugian mencapai Rp 2.997.567.330,- dengan
rincian tahun 1998 seluas 786,84 Ha dengan kerugian Rp 31.603.950,-, tahun
1999 seluas 806,70 Ha dengan kerugian Rp 78.379.380,-, tahun 2000 seluas
750,22 Ha dengan kerugian Rp 819.127.000,- dan tahun 2001 seluas 718,56 Ha
dengan kerugian Rp 2.068.457.000,- (Anonim, 2002).
Keprihatinan dan semangat mencari solusi atas masalah pengelolaan
hutan di Kabupaten Kuningan bertemu dengan gagasan PHBM yang tengah
bergulir di lingkungan Perum Perhutani. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini
sedang mencari jalan keluar dari persoalan yang dihadapinya ialah kerusakan
hutan makin parah, konflik sosial di sekitar hutan meluas dan tekanan politik di
daerah yang menggugat eksistensinya. PHBM dinilai sebagai jawaban yang
tepat, mengingat pendekatan sosial yang sudah ada tidak bisa menyelesaikan
masalah karena secara psikologis belum mampu mengikat hubungan emosional
masyarakat untuk merasa memiliki kawasan hutan. Hal ini menjadi tantangan
dan peluang untuk bersama-sama mewujudkan PHBM sebagai sistem
pengelolaan hutan baru yang lebih demokratis, adil, partisipatif dan sesuai
dengan karakteristik daerah.
Gagasan PHBM yang semula hanya terbatas pada beberapa orang dalam
pembicaraan informal terus bergulir dan meluas melibatkan berbagai pihak di
tingkat kabupaten, baik dari kalangan Pemda, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), Perum Perhutani, LSM dan organisasi kemasyarakatan lain, baik dalam
forum informal maupun formal. Salah satu forum terpenting dalam proses
7
pengguliran gagasan PHBM ini ialah Lokakarya Implementasi PHBM bulan Juli
2000. Dalam forum ini, para pihak di Kabupaten Kuningan melakukan proses
pendalaman pemahaman bersama dan konseptualisasi gagasan PHBM secara
bersama dengan beberapa pihak dari luar kabupaten (Institut Pertanian Bogor,
Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjajaran dan Departemen Kehutanan).
Proses dialog multi pihak dalam lokakarya ini melahirkan kesepakatan, bahwa
PHBM merupakan solusi atas masalah pengelolaan hutan di Kabupaten
Kuningan yang kemudian diformulasikan dalam Dokumen Pokok-Pokok PHBM di
Kabupaten Kuningan.
Meskipun implementasi PHBM di tingkat lapangan masih menyimpan
sejumlah masalah, tetapi telah menunjukkan beberapa hasil positif pada aspek
kelestarian hutan, terutama berupa percepatan rehabilitasi hutan dan penurunan
proses kerusakan hutan akibat pencurian kayu. Berdasarkan data dari Kesatuan
Pemangkuan Hutan (KPH) Kuningan tahun 2005, tahun 2000–2004 telah
berhasil dilakukan rehabilitasi hutan kritis seluas 9.448 Ha. Di samping itu,
jumlah pohon yang dicuri menurun dari 15.694 pohon pada tahun 1999 menjadi
6.017 pohon tahun 2000, 6.370 pohon tahun 2001, 1.786 pohon tahun 2002, 341
pohon tahun 2003 dan 549 pohon tahun 2004. Hal ini mengakibatkan kerugian
Perum Perhutani akibat pencurian kayu menurun dari 5,124 milyar rupiah tahun
1999 menjadi 1,9 milyar rupiah tahun 2000, 2,7 milyar rupiah tahun 2001, 767
juta rupiah tahun 2002, 104 juta rupiah tahun 2003 dan 81 juta rupiah tahun
2004. Perkembangan tersebut makin menguatkan keyakinan, bahwa kegagalan
tanaman dan pengamanan hutan masalah utamanya bukan masalah teknis,
melainkan masalah sosial.
Menurut Maksum (2005), dari 36 orang peserta PHBM diperoleh gambaran,
bahwa 50% responden memperoleh tambahan pendapatan Rp 250.000,- -
500.000,- sekali panen dan sekitar 34% responden memperoleh tambahan Rp
500.000,- - 1.000.000,- sekali panen. Sementara itu, menurut hasil evaluasi
penyelenggaraan PHBM yang dilakukan oleh Universitas Kuningan tahun 2004,
peningkatan pendapatan peserta PHBM rata-rata Rp 177.000,- per tahun atau
7,8% dari total sebelum mengikuti PHBM (Rp 2.259.600,-).
Terlepas dari angka-angka di atas, kegiatan PHBM dalam jangka pendek
telah memberikan tambahan pendapatan pada petani hutan, terutama dari
kegiatan tumpang sari. Hasil tumpang sari ini penting karena luas pemilikan
lahan para peserta PHBM umumnya sangat kecil menurut survey Universitas
8
Kuningan tahun 2004, rata-rata kurang dari 0,16 Ha. Pada tahun-tahun
mendatang, para peserta PHBM akan memperoleh tambahan pendapatan dari
hasil hutan bukan kayu, seperti durian, petai, nangka, alpukat, kemiri, melinjo dan
bagi hasil tebangan kayu. Pada lokasi-lokasi yang pada saat NPK telah terdapat
tegakan hutan, pendapatan dari bagi hasil kayu akan lebih cepat.
Menurut Noorvitastri dan Wijayanto (2003), format sistem bagi hasil yang
lebih layak, adil dan ideal, baik bagi masyarakat maupun Perum Perhutani ialah
sebesar 25% untuk masyarakat dan 75% untuk Perum Perhutani karena format
ini menghasilkan Benefit Cost Ratio (BCR) Perum Perhutani yang hampir sama
dan sangat mendekati masyarakat yang artinya manfaat yang akan diperoleh
Perum Perhutani akan sama atau hampir mendekati dengan manfaat yang akan
diperoleh masyarakat. Namun menurut Affianto et al. (2005), pada daur tanaman
jati PHBM selama 40 tahun, Perum Perhutani memberikan kontribusi sebesar
49,8%, sementara 50,2% selebihnya dikontribusikan oleh masyarakat dan
apabila daur diperpanjang menjadi 60 tahun, kontribusi Perum Perhutani
meningkat menjadi 55% dan 45% sisanya dikontribusikan oleh masyarakat.
Tahun 2004, hutan Gunung Ciremai berubah fungsi menjadi taman
nasional, sehingga mengkhawatirkan masyarakat tentang kelanjutan peran serta
mereka dalam pengelolaan hutan. Kekhawatiran ini terjadi karena dengan
berubahnya fungsi suatu kawasan hutan menjadi taman nasional dengan
berbagai aturan yang sudah baku menyebabkan sistem pengelolaannya tidak
lentur dan tidak akomodatif, sehingga berakibat langsung pada masyarakat.
Menurut Ramdan (2006), selain menghasilkan kayu hutan Gunung Ciremai
juga memberi manfaat tata air yang besar, yaitu zona resapan air Gunung
Ciremai menghasilkan rata-rata debit air yang besar (50–2.000 l/detik) untuk
setiap mata airnya dengan kualitas air secara alami umumnya memenuhi standar
kriteria kualitas air minum dan nilai manfaat hidrologi total kawasan Gunung
Ciremai dari sektor rumah tangga mencapai Rp 2.130.000.000,-/tahun.
Mata air di wilayah Gunung Ciremai digunakan untuk irigasi dan kegiatan
pariwisata, diantaranya Waduk Darma, Darmaloka, Balong Cigugur, Balong
Dalem dan Telaga Remis. Potensi air dari wilayah Gunung Ciremai yang
dimanfaatkan untuk industri dan perekonomian, yaitu:
1. Suplai air untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Cirebon
sebesar 200 l/detik
2. Suplai air untuk PDAM Kota Cirebon sebesar 800 l/detik
9
3. Suplai air untuk Perusahaan Tambang Minyak Nasional (Pertamina) Cirebon
sebesar 50 l/detik
4. Suplai air untuk PT. Indocement Cirebon sebesar 36 l/detik
5. Kegiatan pertanian, perkebunan tebu dan pabrik gula memerlukan suplai air
sebesar 2.500 l/detik
Berdasarkan hal-hal di atas, maka menurut Nurrochmat (2005a) konsep
pengelolaan hutan lestari sangat spesifik dan tidak dapat digeneralisasi.
Community based forest management, co–management, state forest
management maupun private forest management masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Tidak ada sistem pengelolaan hutan yang paling
baik karena sistem dikatakan baik, apabila sesuai dengan kondisi ekologi,
ekonomi dan sosial budaya daerah dimana hutan berada. Hal ini terlihat pada
Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Pengaruh kapabilitas pemerintah dan modal sosial pada pilihan
lembaga pengelolaan hutan
Modal Sosial No. Kapabilitas Pemerintah Rendah Tinggi
1 Rendah Private forest management
Community based forest management
2 Tinggi State forest management
Co-management
Sumber: Nurrochmat (2005a)
Pemilihan bentuk pengelolaan yang tepat dilaksanakan pada suatu taman
nasional sangat tergantung pada kondisi setempat dan kebutuhan pengelolaan.
Pengelolaan kolaborasi bukan suatu pendekatan yang dapat diterapkan pada
semua kasus dan tidak selalu efektif, misalnya dalam situasi yang membutuhkan
keputusan dan tindakan yang cepat, seperti mencegah suatu kerusakan
lingkungan yang drastis, maka lebih baik mengambil tindakan nyata secepatnya
dari pada menunggu tercapainya konsensus bersama tentang apa yang harus
dilakukan (Hermawan et al., 2005).
Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian yang
perlu dijawab, yaitu:
1. Bagaimanakah substansi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat?
2. Bagaimanakah implementasi dan dampak kebijakan PHBM di Taman
Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat?
10
3. Bagaimanakah strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat?
1.4. Tujuan Berdasarkan hal-hal di atas, maka penelitian ini secara umum bertujuan
memformulasikan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dan secara spesifik, yaitu:
1. Menganalisis substansi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
2. Mengkaji implementasi dan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional
Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
3. Merumuskan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
1.5. Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, sebagai
berikut:
1. Memberikan masukan bagi Departemen Kehutanan dan Pemda Kabupaten
Kuningan dalam merumuskan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
2. Memberikan gambaran bagi berbagai stakeholders yang terlibat dalam
PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi
Jawa Barat
3. Memberikan informasi bagi masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat tentang hal yang bisa
dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraannya
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Formulasi Strategi dan Analisis Kebijakan Formulasi strategi yang biasanya disebut juga dengan perumusan strategi
merupakan proses penyusunan perencanaan jangka panjang. Oleh karena itu,
prosesnya lebih banyak menggunakan proses analisis dan tujuannya ialah untuk
menyusun strategi, sehingga sesuai dengan misi, sasaran dan kebijakan.
Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Konsep mengenai strategi
terus berkembang, sebagai berikut:
1. Alat untuk mencapai tujuan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang,
program tindak lanjut dan prioritas alokasi sumberdaya (Chandler, 1962)
2. Alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing (Porter, 1985)
3. Kekuatan motivasi untuk stakeholders, seperti stakeholders, debtholders,
manajer, karyawan, konsumen, komunitas, pemerintah dan sebagainya yang
baik secara langsung maupun tidak langsung menerima keuntungan atau
biaya yang ditimbulkan oleh semua tindakan yang dilakukan (Chaffee, 1985)
Pilihan strategi berasal dari proses analisis karena diketahui dampak di
masa yang akan datang terhadap kinerja. Namun sebelum menentukan
alternatif strategi yang layak, perencana strategi harus mengevaluasi dan
meninjau kembali misi dan tujuan. Setelah itu, baru tahap selanjutnya ialah
generation, evaluasi dan pemilihan alternatif strategi yang terbaik. Proses
analisis strategi, yaitu: (Rangkuti, 2005)
1. Analisis hubungan antara posisi strategi saat ini dengan kemungkinan
strategi berikut ancamannya
2. Menguji kemungkinan hasilnya
3. Membandingkan hasilnya dengan alternatif tujuan untuk mengetahui
kesenjangan yang ada
4. Mengidentifikasi alternatif strategi, sehingga kesenjangan dapat dikurangi
5. Mengevaluasi berbagai alternatif dan pilihan strategi
Kegiatan yang paling penting dalam proses analisis ialah memahami
seluruh informasi, menganalisis situasi untuk mengetahui isu yang sedang terjadi
dan memutuskan tindakan yang harus segera dilakukan untuk memecahkan
masalah. Menurut Boulton (1984), proses untuk melaksanakan analisis dapat
dilihat pada diagram proses analisisnya. Kerangka analisis secara keseluruhan,
sebagai berikut: (Rangkuti, 2005)
12
1. Memahami situasi dan informasi yang ada
2. Memahami permasalahan yang terjadi, baik masalah yang bersifat umum
maupun spesifik
3. Menciptakan berbagai alternatif dan memberikan berbagai alternatif
pemecahan masalah
4. Mengevaluasi pilihan alternatif dan memilih alternatif yang terbaik dengan
membahas sisi pro maupun kontra dan memberikan bobot serta skor untuk
masing-masing alternatif dan kemungkinan yang akan terjadi
Kebijakan (policy) sering penggunaannya saling dipertukarkan dengan
istilah-istilah lain, seperti tujuan (goals), program, keputusan, undang-undang,
ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan. Kebijakan diberi
arti bermacam-macam, yaitu:
1. Jalan atau cara lembaga yang berperan sebagai pemegang kewenangan,
seperti pemerintah untuk mengatasi suatu permasalahan atau sekelompok
permasalahan yang saling berhubungan (Pal, 1992)
2. Cara atau jalan yang dipilih pemerintah untuk mendukung suatu aspek dari
ekonomi, termasuk sasaran yang pemerintah cari untuk mencapainya dan
pemilihan metode untuk mencapai tujuan dan sasaran itu (Elis, 1994)
3. Kegiatan yang dipilih secara sengaja oleh aktor tertentu atau sekelompok
aktor dalam mengatasi suatu masalah (Anderson, 1984)
Suatu kebijakan memiliki karakteristik, sebagai berikut: (Ramdan et al.,
2003)
1. Kebijakan tidak eksis secara tunggal, tetapi bersifat ganda dan berantai
2. Keberhasilan suatu kebijakan harus didukung oleh sistem
3. Kebijakan mengubah atau mempengaruhi suatu keadaan yang hampir tidak
mungkin menjadi mungkin
4. Kebijakan yang baik didukung oleh informasi yang lengkap dan akurat
Upaya-upaya untuk mempelajari proses-proses kebijakan yang dilakukan
dengan melakukan aktivitas yang disebut analisis kebijakan (policy analysis).
Beberapa definisi tentang analisis kebijakan, yaitu:
1. Aktivitas menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan
(Dunn, 2003)
2. Suatu upaya sistematik untuk menghasilkan pengetahuan tentang preskripsi
dalam mengatasi suatu masalah (Kartodihardjo, 1999)
13
Dunn (2003) menyatakan ada lima macam pertanyaan yang berkaitan
dengan kebijakan, yaitu:
1. Apa hakikat masalahnya
2. Kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah
dan bagaimana hasilnya
3. Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah
4. Alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab masalah
5. Hasil apa yang dapat diharapkan
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas menghasilkan informasi
tentang masalah kebijakan, masa depan atau prospek dari kebijakan, aksi atau
pelaksanaan dari kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan. Tipe informasi
tersebut saling berhubungan dan saling tergantung, dimana satu tipe informasi
ke tipe informasi yang lain dipindahkan dengan menggunakan prosedur analisis
kebijakan yang tepat. Apabila tipe informasi kebijakan dipadukan dengan
prosedur analisis kebijakan, maka akan terlihat hubungan keduanya sebagai
analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah seperti pada Gambar 2
berikut.
Kinerja Kebijakan
Evaluasi Peramalan Perumusan Masalah
Hasil Perumusan Masalah Kebijakan Perumusan Masa Depan Kebijakan Masalah Masalah Kebijakan Perumusan Masalah Pemantauan Rekomendasi Aksi Kebijakan
Gambar 2. Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah
Dunn (2003) juga menyatakan, bahwa metodologi analisis kebijakan
menggunakan prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah
ialah definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi dan evaluasi, dimana pada analisis
kebijakan prosedur tersebut memperoleh nama-nama khusus, yaitu:
14
1. Perumusan masalah atau definisi yang menghasilkan informasi mengenai
kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah
2. Peramalan atau prediksi yang menyediakan informasi mengenai konsekuensi
di masa datang dari penerapan alternatif kebijakan atau tidak melakukan
sesuatu
3. Rekomendasi atau preskripsi yang menyediakan informasi mengenai nilai
atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan
masalah
4. Pemantauan atau deskripsi yang menyampaikan informasi tentang
konsekuensi sekarang dan masa lalu akibat diterapkannya alternatif
kebijakan
5. Evaluasi yang menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari
konsekuensi pemecahan atau pengentasan masalah
Dunn (2003) mengemukakan, bahwa gabungan tipe informasi kebijakan
dan prosedur analisis kebijakan menunjukkan kerangka kerja analisis kebijakan
yang berpusat pada masalah. Prosedur pembuatan kebijakan ialah serangkaian
tahapan yang saling tergantung dan diatur menurut urutan waktu, yaitu
penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi
kebijakan dan penilaian kebijakan. Kedekatan antara prosedur analisis kebijakan
dengan prosedur pembuatan kebijakan diilustrasikan pada Gambar 3 berikut.
Perumusan Masalah Penyusunan Agenda Peramalan Formulasi Kebijakan Rekomendasi Adopsi Kebijakan Pemantauan Implementasi Kebijakan Evaluasi Penilaian Kebijakan
Gambar 3. Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan pembuatan
kebijakan
2.2. Hutan dan Pengelompokannya Pengertian hutan dapat ditinjau dari faktor-faktor wujud biofisik lahan dan
tumbuhan, fungsi ekologi, kepentingan kegiatan operasional pengelolaan atau
kegiatan tertentu lainnya dan status hukum lahan hutan. Berbagai definisi hutan
yang dibuat biasanya memberikan penekanan pada faktor-faktor tersebut sesuai
dengan tujuan definisi hutan yang dikehendaki.
15
Beberapa definisi hutan yang telah dibuat oleh beberapa pakar dan
lembaga yang disesuaikan dengan tujuan penggunaannya, yaitu:
1. Hutan berdasarkan penekanan pada konsep ekologi
a. Suhendang (2002)
Hutan ialah suatu komunitas tumbuhan yang didominasi oleh
pohon-pohon atau tumbuhan berkayu lain, tumbuh secara bersama-sama
dan cukup rapat.
b. Helms (1998)
Hutan ialah sebuah ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon-
pohon yang cukup rapat dan luas, seringkali terdiri dari tegakan-tegakan
yang beraneka ragam sifat, seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur
dan proses-proses yang berhubungan yang pada umumnya mencakup
padang rumput, sungai, ikan dan satwa liar. Hutan mencakup pula
bentuk khusus, seperti hutan industri, hutan milik non industri, hutan
tanaman, hutan publik, hutan lindung dan hutan kota.
c. Departemen Kehutanan (1989)
Hutan ialah suatu ekosistem yang bercirikan liputan pohon yang
cukup luas, baik yang lebat atau kurang lebat.
2. Hutan untuk tujuan kegiatan tertentu
a. Tujuan inventarisasi hutan yang dilakukan oleh Food Agricultural
Organization (FAO) tahun 1958 (Loetsch and Haller, 1964)
Hutan ialah keseluruhan lahan yang berhubungan dengan
masyarakat tumbuhan yang didominasi oleh pohon-pohon dari berbagai
ukuran, dieksploitasi atau tidak, dapat menghasilkan kayu atau hasil
hutan lainnya, dapat memberikan pengaruh terhadap iklim atau siklus air
atau menyediakan perlindungan untuk ternak dan satwa liar.
b. Untuk pengelolaan hutan dengan tujuan menghasilkan kayu
- Davis dan Johnson (1987)
Hutan ialah suatu kumpulan bidang-bidang lahan yang
ditumbuhi atau akan ditumbuhi tumbuhan pohon dan dikelola sebagai
satu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan pemilik lahan, berupa
kayu atau hasil-hasil lain yang berhubungan.
- Bruenig (1996)
Hutan ialah suatu bidang lahan yang tertutupi oleh pohon-pohon
yang dapat membentuk keadaan iklim tegakan (iklim mikro di dalam
16
hutan), termasuk bagian bidang lahan bekas tebangan melalui tebang
habis di dalam wilayah hutan tetap pada tanah negara atau tanah
milik yang setelah pemanenan terhadap tegakan hutan yang
terdahulu dilakukan pembuatan dan pemeliharaan permudaan alam
atau penghutanan kembali (permudaan buatan).
3. Hutan berdasarkan penekanan pada status hukum menurut undang-undang,
yaitu Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Hutan ialah suatu kesatuan ekosistem, berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan
alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Berdasarkan sifat-sifat khusus yang dimilikinya, hutan dikelompokkan ke
dalam beberapa macam, tipe, bentuk dan status tergantung pada sifat-sifat yang
diperhatikannya, yaitu: (Suhendang, 2002)
1. Keadaan tumbuhan hutan
a. Hutan lebat atau hutan rapat (closed forest)
b. Hutan terbuka atau hutan jarang (open forest)
c. Hutan primer (primary forest/primeval forest/pristine forest/virgin forest/old
growth forest)
d. Hutan sekunder (secondary forest)
2. Asal hutan atau cara hutan terbentuk
a. Hutan alam (natural forest)
b. Hutan tanaman atau hutan buatan (planted forest)
c. Hutan trubusan (coppice forest)
d. Tegakan hutan tinggi (high forest)
3. Tahapan pertumbuhan dan perkembangan tegakan
a. Hutan klimaks (climax forest)
b. Tegakan hutan masak tebang (mature forest stand)
c. Hutan normal (normal forest)
d. Hutan seumur (even aged forest)
e. Hutan tidak seumur (uneven aged forest)
4. Komposisi jenis pohon
a. Hutan murni atau hutan homogen (pure forest)
b. Hutan campuran atau hutan heterogen (mixed forest)
c. Hutan perdu (sclerophyllous forest)
d. Hutan savana (savana forest/savana woodland)
17
5. Letak geografis dan ketinggian tempat
a. Hutan pantai (coastal forest)
b. Hutan dataran rendah (low land forest)
c. Hutan dataran tinggi (high land forest)
d. Hutan pegunungan (mountain forest)
e. Hutan boreal (boreal forest)
f. Hutan ripari (riparian forest)
6. Iklim tempat tumbuh hutan
a. Hutan hujan (rain forest)
b. Hutan musim atau hutan tropika menggugurkan daun (monsoon
forest/tropical deciduous forest)
c. Hutan beriklim sedang (temperate forest)
d. Hutan tropika (tropical forest)
7. Keadaan tanah tempat tumbuh hutan
a. Hutan tanah kering (dry land forest)
b. Hutan gambut (peat forest)
c. Hutan rawa (swamp forest)
d. Hutan mangrove atau hutan bakau (mangrove)
8. Faktor dominan yang mempengaruhi pembentukan vegetasi
a. Formasi klimatis (climatic formation)
b. Formasi edafis (edaphic formation)
9. Kategori hutan menurut fungsi
a. Hutan yang berfungsi untuk perlindungan (protective forest)
b. Hutan yang berfungsi untuk produksi (productive forest)
c. Hutan yang berfungsi serba guna (multiple purpose forest)
10. Status hukum fungsi penggunaan hutan
a. Hutan lindung (protection forest)
b. Hutan produksi (production forest)
c. Hutan konservasi (conservation forest)
11. Status hukum lahan hutan
a. Hutan negara (state forest)
b. Hutan hak (private forest)
c. Hutan adat (traditional law society forest)
d. Hutan masyarakat (community forest)
e. Hutan komunal (communal forest) f. Hutan rakyat (social forest)
18
2.3. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Pengelolaan yang dari istilahnya berasal dari management, terdiri dari
planning, organizing, actuating dan controlling. Pengelolaan dalam kehutanan
lebih pada pengelolaan tegakan hutan, sehingga saat ini muncul konsep forest
governance yang cakupannya lebih luas dari pada forest management. Forest
governance mencakup hubungan lokal dengan global, hubungan antar sektor
dan hubungan antar nilai-nilai yang berbeda.
Perkembangan periode pengelolaan hutan di dunia, terdiri atas:
(Suhendang, 2004)
1. Periode pra pengelolaan (pre management era)
2. Periode pengelolaan berlandaskan prinsip kelestarian hasil (sustained yield
principles era)
a. Era pengelolaan hutan untuk tujuan menghasilkan kayu
b. Era prinsip manfaat ganda hutan
c. Era aspek ekologi masuk dalam pengelolaan hutan
d. Era aspek sosial masuk dalam pengelolaan hutan
3. Periode pengelolaan berlandaskan prinsip pengelolaan hutan lestari
(sustainable forest management era)
Berbagai bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau yang
berorientasi pada perbaikan kesejahteraan masyarakat dipayungi oleh social
forestry. Namun, social forestry ini ditafsirkan berbeda-beda oleh berbagai pihak.
Salah satunya dikemukakan oleh Nguyen (2001) ialah sistem dan bentuk
pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak atau unsur sosial
yang dapat dilakukan di lahan milik, umum atau pada kawasan hutan yang
diizinkan dengan memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat
dan tujuan produksi yang lestari.
Blair dan Olpadwala (1988) membagi social forestry ke dalam community
forestry ialah penumbuhan pohon-pohon oleh organisasi lokal yang mungkin
diprakarsai pemerintah pada bidang-bidang lahan umum (village commons/lahan
desa) untuk beragam kegunaan atau serba guna dan farm forestry ialah pemilik-
pemilik lahan menanam pohon-pohon di lahan milik mereka. Sedangkan Rao
(1979) membagi social forestry ke dalam farm forestry (penanaman pohon-pohon
di lahan pertanian), extension forestry (penanaman pohon-pohon di luar lahan
pertanian dan hutan lindung) dan urban forestry (penanaman pohon-pohon di
perkotaan).
19
Konsep agroforestry sebagai teknologi mulai berkembang awal tahun 1970-
an, namun praktek menanam pohon dan tanaman pertanian secara kombinasi
telah terjadi jauh lebih awal di seluruh dunia. Eropa setidak-tidaknya sejak abad
pertengahan, Finlandia sejak akhir abad yang lalu dan Jerman sejak tahun 1920-
an (King, 1987). Agroforestry sebagai suatu teknik produksi yang
mengkombinasikan produksi pohon dengan tanaman pertanian dan atau ternak
secara spasial dan sekuensial dapat diterapkan tidak terbatas dalam social
forestry, tetapi juga juga oleh pengusaha-pengusaha industri besar, seperti The
Jari Forestral Project di Amapa, Brasil (Kirchhofer and Evan, 1986).
Departemen Kehutanan sejak tahun 1980-an sudah melaksanakan social
forestry. Pada kawasan hutan milik negara disebut Hutan Kemasyarakatan
(HKm), sedangkan di lahan milik disebut hutan rakyat. Tahun 2002, Departemen
Kehutanan menempatkan social forestry sebagai payung dari semua program
dan kebijakan strategisnya.
HKm dimulai awal tahun 1995 dengan Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 622/Kpts-II/1995. Keputusan ini menekankan pada izin pemanfaatan
hutan, hak masyarakat dibatasi pada rehabilitasi hutan dan pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu. Keputusan ini diperbaiki dengan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 677/Kpts-II/1998, dimana masyarakat bisa mengambil
keputusan pengelolaan hutan, pemerintah sebagai fasilitator, masyarakat harus
membentuk koperasi dan izin pemanfaatan diganti menjadi izin pengusahaan.
Keputusan ini diganti lagi dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
865/Kpts-II/1999, dimana izin pengusahaan diganti menjadi izin pemanfaatan
dan masyarakat tidak harus membentuk koperasi, tetapi bisa kelompok apa saja.
Keputusan ini diganti dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-
II/2001 yang memberi wewenang pada bupati memberi izin dan memfasilitasi
pembentukan kelembagaan masyarakat.
Lembaga penelitian dan universitas mengembangkan pendekatan lain
dalam bentuk pembalakan berbasis masyarakat (community logging) di kawasan
hutan yang dialokasikan oleh negara pada universitas atau lembaga penelitian.
Center International Forestry Research (CIFOR) mengembangkan Adaptive
Collaborative Management (ACM) atau Pengelolaan Hutan Bersama secara
Adaptif (PHBA). Namun, bentuk ini di tingkat masyarakat maupun kebijakan
masih dalam tahap penjajagan.
20
Tahun 1974, Perum Perhutani mengembangkan pendekatan kesejahteraan
dalam pengelolaan hutan. Setelah Kongres Kehutanan tentang Hutan untuk
Kemasyarakatan di Jakarta tahun 1978, pemerintah mengharuskan swasta
mengembangkan Program Bina Desa Hutan yang kemudian diperbaiki tahun
1982 dengan Program PMDH. Kelanjutan dari PMDH, Perum Perhutani bekerja
sama dengan LSM dan donor mengembangkan PS yang diuji coba tahun 1984 di
Jawa dan luar Jawa tahun 1986. Tahun 1991, PMDH diperbaiki melalui
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 691/Kpts-II/1991, namun pelaksanaannya
kebanyakan tidak memuaskan.
Tahun 2001, Dewan Pengawas Perum Perhutani mengeluarkan Keputusan
Nomor 136/Kpts/Dir/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama
Masyarakat. Keputusan ini mengatur mengenai hak dan kewajiban perusahaan
dan masyarakat. PHBM cukup memberikan insentif bagi masyarakat sekitar
hutan untuk terlibat dalam pengelolaan hutan. Hal ini dipengaruhi perubahan
paradigma pengelolaan hutan di Perum Perhutani yang membuka ruang
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Namun, beberapa hal yang menjadi disinsentif masyarakat dalam PHBM
ialah kemungkinan perubahan status dan fungsi kawasan yang dapat
mempengaruhi nota kesepakatan yang telah dibuat, tidak adanya jangka waktu
pengelolaan yang menjamin kelangsungan pengelolaan hutan bersama
masyarakat dan kebijakan bagi hasil serta pengelolaan yang masih pada tingkat
lokal, berupa kesepakatan antara masyarakat dan KPH.
2.4. Kawasan Konservasi dan Taman Nasional Istilah konservasi diambil dari istilah bahasa Inggris conservation yang
berasal dari bahasa Sanskerta conservare yang terdiri dari kata con yang berarti
together dan kata servare yang berarti keep/save what we have. Dengan
demikian, secara harfiah konservasi berarti melestarikan sumberdaya yang
menjadi milik bersama secara bersama-sama. Dari pengertian istilah konservasi
ini dapat diperoleh pemahaman, bahwa ada dua syarat keharusan dalam
konservasi ialah konservasi hanya berlaku atau harus diberlakukan pada
sumberdaya milik bersama atau common resources dan pelestarian sumberdaya
milik bersama harus dilakukan secara bersama-sama. Namun, terhadap
sumberdaya milik bersama manusia cenderung untuk free rider yang dapat
mengakibatkan terjadinya tragedy of commons yang ditakuti oleh setiap individu
21
atau kelompok manusia karena besarnya kerugian yang akan dideritanya
(Hardin, 1968).
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak menyebutkan istilah kawasan konservasi,
tetapi menggunakan istilah kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung juga tidak menggunakan istilah kawasan konservasi, tetapi istilah
kawasan lindung seperti Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Klasifikasi kawasan lindung menurut Keputusan Presiden Nomor
32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung No. Kawasan Lindung Pembagian 1 Kawasan yang memberikan
perlindungan di bawahnya 1. Kawasan hutan lindung 2. Kawasan bergambut 3. Kawasan resapan air
2 Kawasan perlindungan setempat 1. Sempadan pantai 2. Sempadan sungai 3. Sempadan sekitar danau/waduk 4. Kawasan sekitar mata air
3 Kawasan suaka alam dan cagar budaya
1. Kawasan suaka alam 2. Kawasan suaka alam laut dan
perairan lainnya 3. Kawasan pantai berhutan bakau 4. Taman nasional, taman hutan
raya dan taman wisata alam 5. Kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan
4 Kawasan rawan bencana alam Pada Keputusan Direktur Jenderal Pelestarian Hutan dan Perlindungan
Alam Nomor 129 tahun 1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam,
Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutan Lindung, istilah kawasan
konservasi didefinisikan sebagai kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan
suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan hutan lindung seperti
Tabel 3. Istilah kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ini sama
dengan pembagian dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Klasifikasi yang sama
tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam terdapat juga pada
Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam.
22
Tabel 3. Klasifikasi kawasan konservasi menurut Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor 129 tahun 1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutan Lindung
No. Kawasan Konservasi Pembagian 1 Kawasan suaka alam 1. Cagar alam
2. Suaka margasatwa
2 Kawasan pelestarian alam 1. Taman nasional 2. Taman hutan raya 3. Taman wisata alam
3 Taman buru
4 Hutan lindung
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tidak
menggunakan istilah kawasan konservasi, tetapi hutan konservasi yang terdiri
dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan taman
buru. Pada undang-undang ini, fungsi lindung dipisahkan dari fungsi konservasi
atau hutan lindung tidak termasuk pada hutan konservasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagai
peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, klasifikasi kawasan hutan suaka alam dan kawasan hutan
pelestarian alam sama dengan klasifikasi pada Peraturan Pemerintah Nomor 68
tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya. Di samping itu, ada taman buru yang masuk ke dalam
hutan konservasi dan hutan lindung yang berbeda dari hutan konservasi seperti
terlihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Klasifikasi hutan konservasi dan hutan lindung menurut Undang-
Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
No. Hutan Kawasan Sub Kawasan Zona 1 Konservasi Kawasan suaka
alam 1. Cagar alam 2. Suaka
margasatwa
Kawasan pelestarian alam
Taman nasional 1. Zona inti 2. Zona
pemanfaatan 3. Zona lain
23
Tabel 4. (lanjutan)
No. Hutan Kawasan Sub Kawasan Zona Taman hutan
raya 1. Kawasan
penggunaan 2. Kawasan
koleksi tanaman 3. Kawasan
perlindungan 4. Kawasan lain
Taman wisata alam
1. Kawasan penggunaan yang intensif
2. Kawasan penggunaan terbatas
3. Kawasan lain
Taman buru 1. Kawasan perburuan
2. Kawasan penggunaan
3. Kawasan penangkaran satwa liar
4. Kawasan lain
2 Lindung 1. Kawasan lindung
2. Kawasan penggunaan
3. Kawasan lain
Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan taman nasional ialah
kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan
sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
Kriteria yang digunakan dalam penetapan suatu kawasan menjadi taman
nasional, yaitu:
1. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin
kelangsungan proses ekologi secara alami
2. Memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik, baik berupa jenis tumbuhan
maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan
alami
3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh
24
4. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai
pariwisata alam
5. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan
kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan
dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri
Pengelolaan taman nasional didasarkan atas sistem zonasi, yaitu:
1. Zona inti ialah zona dengan kriteria:
a. Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya
b. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya
c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan
atau tidak atau belum diganggu manusia
d. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang
pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologi
secara alami
e. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi
f. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya
yang langka atau yang keberadaannya terancam punah
2. Zona pemanfaatan ialah zona dengan kriteria:
a. Mempunyai daya tarik alam, berupa tumbuhan, satwa atau berupa
formasi ekosistem tertentu dan formasi geologinya yang indah dan unik
b. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan
daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam
c. Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan
pariwisata alam
3. Zona rimba dan atau yang ditetapkan menteri berdasarkan kebutuhan
pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
a. Kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangan dari
jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi
b. Memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian
zona inti dan zona pemanfaatan
c. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu
25
Taman nasional dapat dimanfaatkan sesuai dengan sistem zonasinya.
Berbagai bentuk pemanfaatan yang dapat dilakukan untuk masing-masing zonasi
tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu:
1. Zona inti
a. Penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan
b. Ilmu pengetahuan
c. Pendidikan
d. Kegiatan penunjang budidaya
2. Zona pemanfaatan
a. Pariwisata dan rekreasi
b. Penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan
c. Pendidikan
d. Kegiatan penunjang budidaya
3. Zona rimba
a. Penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan
b. Ilmu pengetahuan
c. Pendidikan
d. Kegiatan penunjang budidaya
e. Wisata alam terbatas
Pengelolaan taman nasional dilakukan dengan tujuan utama untuk:
1. Terjamin dan terpeliharanya keutuhan dari keberadaan kawasan dan
ekosistem taman nasional
2. Terjamin dan terpeliharanya keberadaan dari potensi dan nilai-nilai dari
keanekaragaman tumbuhan, satwa, komunitas dan ekosistem penyusun
kawasan taman nasional
3. Pemanfaatan kawasan dan potensi taman nasional secara optimal, lestari
dan bijaksana untuk kepentingan kegiatan penelitian, pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan, kegiatan yang menunjang budidaya,
budaya dan pariwisata alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
2.5. Pengambilan Keputusan, Analisis AHP dan SWOT Setiap manusia dihadapkan pada masalah (problem) ialah kesenjangan
antara kenyataan dan harapan. Pada umumnya masalah cenderung kompleks,
padahal selalu ada keterbatasan untuk memecahkannya, sehingga pengambilan
26
keputusan merupakan suatu keharusan. Pengambilan keputusan umumnya
tidak mudah karena persoalan yang kompleks, keterbatasan, non linier utilities,
kriteria yang saling bertentangan dan teknik pengukuran yang cukup sulit.
Golembiewski (1972) memberi definisi keputusan ialah suatu pilihan
terhadap berbagai macam alternatif. Dalam glossary of public administration,
pembuatan keputusan (decision making) didefinisikan sebagai suatu proses
dalam mana pilihan-pilihan dibuat untuk mengubah atau tidak mengubah suatu
kondisi yang ada, memilih serangkaian tindakan yang paling tepat untuk
mencapai suatu tujuan yang diinginkan dan untuk mengurangi resiko-resiko,
ketidakpastian dan pengeluaran sumber-sumber dalam rangka mengejar tujuan.
Nigro (1980) tidak membedakan antara pembuatan keputusan dan
pembuatan kebijakan dengan menyatakan, bahwa tidak ada perbedaan yang
mutlak antara pembuatan keputusan dan pembuatan kebijakan karena setiap
penentuan kebijakan merupakan suatu keputusan, tetapi kebijakan membuat
rangkaian-rangkaian tindakan yang mengarahkan banyak macam keputusan
yang dibuat dalam rangka melaksanakan tujuan-tujuan yang telah dipilih.
Sebaliknya, Anderson (1984) membedakan pengertian pembuatan
keputusan dan pembuatan kebijakan dengan menyatakan, bahwa pembuatan
kebijakan (policy making) berbeda dengan pengambilan keputusan karena
pengambilan keputusan ialah pengambilan pilihan suatu alternatif dari berbagai
alternatif yang bersaing mengenai sesuatu hal dan selesai, sedangkan
pembuatan kebijakan meliputi banyak pengambilan keputusan. Jadi, menurut
Tjokroamidjojo (1976), apabila pemilihan alternatif itu sekali dilakukan dan
selesai, maka kegiatan itu disebut pembuatan keputusan dan bila pemilihan
alternatif itu terus menerus dilakukan dan tidak pernah selesai, maka kegiatan
tersebut dinamakan pembuatan kebijakan.
Metode pengambilan keputusan yang populer ialah Multi Criteria Decision
Making (MCDM) yang terbagi atas dua kelompok, yaitu: (Tiryana dan Saleh,
2005)
1. Multi Objective Decision Making (MODM)
a. Ruang keputusan bersifat kontinyu
b. Pemilihan alternatif didasarkan atas tujuan-tujuan yang saling
bertentangan
2. Multi Attribute Decision Making (MADM)
27
a. Ruang keputusan bersifat diskret
b. Pemilihan alternatif didasarkan atas atribut-atribut (kriteria) yang saling
bertentangan untuk suatu tujuan tertentu
Analisis Hirarki Proses (AHP) yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty
ialah salah satu dari metode MCDM yang memecahkan permasalahan yang
kompleks dengan dekomposisi masalah ke dalam suatu struktur hirarki (Saaty,
1980). Metode AHP mempunyai tiga prisip dasar, yaitu: (Saaty, 1986)
1. Dekomposisi ialah penerapan struktur masalah yang kompleks ke dalam
suatu hirarki
2. Penilaian komparatif ialah penerapan perbandingan berpasangan dari semua
elemen
3. Sintesis prioritas ialah penerapan untuk menghasilkan prioritas umum melalui
hirarki dengan mempertimbangkan prioritas lokal dari elemen
Secara umum, ada dua model yang dipakai dalam praktek ialah model
pengukuran relatif dan model pengukuran rating. Model pengukuran relatif
dipakai untuk memprioritaskan beberapa alternatif terbatas dengan
membandingkan secara langsung satu dengan yang lainnya. Di samping itu,
model pengukuran rating (model absolut atau skoring) dipakai untuk mengukur
alternatif terhadap suatu skala yang ditetapkan dan tidak terhadap yang lainnya.
Berdasarkan prinsip AHP, prosedur yang disarankan untuk memecahkan
permasalahan dipakai metode AHP yang dijelaskan, sebagai berikut: (Saaty,
1980)
1. Struktur permasalahan ke dalam suatu hirarki
Langkah pertama dalam memakai AHP ialah struktur (dekomposisi)
masalah ke dalam suatu hirarki yang menunjukkan hubungan dari semua
tujuan (goal), kriteria, sub kriteria dan seterusnya sampai beberapa alternatif
di bawah hirarki. Gambar 4 berikut menunjukkan suatu contoh sederhana
dari hirarki AHP yang secara umum dipakai dalam model pengukuran relatif.
28
Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3
Tujuan
Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3
Gambar 4. Suatu contoh dari hirarki AHP dengan tiga tingkatan
2. Perbandingan elemen hirarki berdasarkan pasangan
Perbandingan berpasangan ialah pengukuran dasar pada metode AHP
untuk memperoleh prioritas untuk tingkat hirarki. Pada masing-masing
tingkat hirarki, pembuat keputusan harus membuat perbandingan
berpasangan dari kepentingan relatif suatu elemen terhadap yang lainnya
pada setiap elemen di tingkat yang lebih tinggi berikutnya. Nilai dimasukkan
dalam matriks perbandingan berpasangan.
Secara umum, perbandingan berpasangan dibuat memakai penilaian
verbal menurut suatu skala seperti terlihat pada Tabel 5. Oleh karena itu,
penilaian AHP juga membolehkan pembuat keputusan memakai pengukuran
sebenarnya dari suatu skala rasio ke bentuk matriks perbandingan
berpasangan.
Tabel 5. Skala dasar dari AHP
No. Penilaian Verbal Intensitas Kepentingan 1 Sama pentingnya 1 2 Sedikit lebih penting 3 3 Penting 5 4 Jelas lebih penting 7 5 Sangat penting 9 6 Nilai antara atau pertengahan 2, 4, 6, 8
Sumber: Saaty (1980)
Matriks perbandingan berpasangan ialah suatu matriks timbal balik,
dimana elemen bawah diagonal utamanya ialah kebalikan dari elemen
atasnya. Sebagai contoh, matriks C berikut menggambarkan suatu matriks
perbandingan berpasangan yang diperoleh dari perbandingan berpasangan
dari tiga kriteria (c1, c2 dan c3) terhadap tujuan.
29
c1 c2 c3c1 1 3 5
C = c2 1/3 1 2 c3 1/5 1/2 1
Jika, ada n elemen dibandingkan yang akan membentuk suatu n x n matriks
perbandingan berpasangan, maka akan ada n(n–1)/2 perbandingan
berpasangan dalam suatu matriks perbandingan berpasangan.
Masing-masing matriks perbandingan berpasangan menghasilkan
prioritas atau bobot dari elemen, seperti alternatif, kriteria dan seterusnya
memakai metode eigen vektor. Berdasarkan metode ini, vektor prioritas
untuk masing-masing matriks perbandingan berpasangan dapat diperoleh
dengan normalisasi eigen vektor utama yang menghubungkan pada eigen
value utama dari suatu matriks perbandingan berpasangan. Pada
prakteknya, proses ini dapat dengan mudah dikerjakan dengan memakai
software AHP, seperti Expert Choice.
3. Pengumpulan semua vektor prioritas
Langkah terakhir ialah mengumpulkan prioritas (bobot) vektor dari
masing-masing tingkatan yang diperoleh dari langkah kedua untuk
menghasilkan semua bobot. Ini dikerjakan dengan rata-rata dari perkalian
berurutan dari bobot vektor pada masing-masing tingkatan dari hirarki.
Semua bobot menggambarkan rating dari alternatif pada semua tujuan.
Semua nilai Ri dari alternatif ke-i ialah jumlah total dari ratingnya pada
masing-masing tingkatan yang dihitung sebagai berikut: (Malczewski, 1999)
Ri = ∑ wk rik
Dimana, wk ialah vektor prioritas dihubungkan dengan elemen ke-k dari
hirarki dan rik ialah vektor prioritas yang diperoleh dari perbandingan alternatif
pada masing-masing kriteria.
Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) ialah
identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi.
Analisis ini didasarkan pada logika yang memaksimalkan kekuatan (Strengths)
dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan
keputusan strategi berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan
kebijakan. Dengan demikian, perencana strategi (strategic planner) harus
30
menganalisis faktor-faktor strategi (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman)
dalam kondisi saat ini yang disebut dengan analisis situasi. Model yang paling
populer untuk analisis situasi ialah analisis SWOT (Rangkuti, 2005).
Kinerja ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua
faktor ini harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Proses yang harus
dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih
tepat, yaitu: (Marimin, 2004)
1. Tahap pengambilan data untuk evaluasi faktor eksternal dan internal
Tahap pengambilan data untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dapat dilakukan dengan
wawancara atau analisis secara kuantitatif. Dengan demikian, diketahui
posisi berada pada kuadran mana, sehingga strategi yang dipilih merupakan
strategi yang paling tepat karena sesuai dengan kondisi internal dan
eksternal yang dimiliki saat ini.
Posisi dapat dikelompokkan dalam empat kuadran, yaitu kuadran I, II, III
dan IV. Pada kuadran I strategi yang sesuai ialah strategi agresif, kuadran II
strategi diversifikasi, kuadran III strategi turn around dan kuadran IV strategi
defensif.
2. Tahap analisis ialah pembuatan matriks SWOT
Matriks SWOT menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks ini akan
membentuk empat kemungkinan alternatif strategi.
3. Tahap pengambilan keputusan
Dalam tahap pengambilan keputusan merujuk kembali pada evaluasi
faktor eksternal dan internal yang menghasilkan posisi saat ini. Oleh karena
itu, harus dilihat kuadran yang bersangkutan, sehingga diketahui kombinasi
strategi yang paling tepat.
III. METODE
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat karena Kabupaten Kuningan ditetapkan sebagai
pilot project PHBM berdasarkan Keputusan Kepala Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat Nomor 496/059.9/BinSDH/III tentang Penetapan Kabupaten
Kuningan sebagai Pilot Project PHBM dan juga kegiatan PHBM sudah mulai
eksis di Kabupaten Kuningan serta untuk melihat implementasi dan dampak
kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai dilakukan pada tiga desa
sampel secara purpossive yang tersebar merata di Utara, tengah dan Selatan
Taman Nasional Gunung Ciremai, yaitu Desa Padabeunghar, Linggarjati dan
Karangsari. Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan di lapangan pada
bulan April–Juni 2006. Lokasi dan waktu penelitian terlampir pada Lampiran 1
dan 2.
3.2. Bahan dan Peralatan Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah kuisioner,
alat tulis, tape recorder, kamera dan software Expert Choice 2000 untuk
membantu mendapatkan bobot dari matriks perbandingan berpasangan pada
metode AHP.
3.3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan secara survey. Data yang digunakan dalam
penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer
dilakukan secara langsung dari responden lewat kuisioner seperti pada Lampiran
3 dan 4 serta wawancara dengan para stakeholders di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Di samping itu juga
dilakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian di lapangan untuk
mendapatkan gambaran kondisi hutan dan sosial ekonomi budaya masyarakat
sekitar hutan.
Pemilihan responden untuk melihat implementasi dan dampak kebijakan
PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa
Barat dari peserta PHBM secara stratified random sampling berdasarkan tipe
rumah, yaitu permanen, semi permanen dan non permanen dengan alokasi yang
32
berimbang sebanyak 35 orang pada setiap desa sampel seperti pada Tabel 6.
Berdasarkan statistik, sampel sebanyak 33 sudah memenuhi karena keragaman
datanya mulai berkurang. Pada penelitian ini sampel dilebihkan untuk
mengantisipasi, jika ada data yang tidak bisa diolah.
Tabel 6. Responden peserta PHBM pada desa sampel No. Desa/Kecamatan Responden 1 Padabeunghar/Pasawahan 352 Linggarjati/Cilimus 353 Karangsari/Darma 35
Jumlah 105 Serangkaian wawancara dan pengisian kuisioner dengan berbagai
stakeholders dilakukan dengan purpossive sampling untuk mendapatkan
informasi yang akurat mengenai kebijakan terkini, menggali berbagai ide dan
pendapat serta memahami realitas implementasi dan dampak kebijakan PHBM di
Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.
Responden untuk analisis dan perumusan strategi kebijakan ini sebanyak 12
orang, yaitu dua orang dari enam lembaga yang terpilih untuk mengantisipasi
inkonsistensi pada analisis data dengan metode AHP seperti pada Tabel 7.
Kriteria responden ialah orang yang berkaitan dengan objek yang diteliti
berdasarkan jabatan, profesi dan pengalamannya. Lembaga yang terpilih
berdasarkan analisis stakeholders yang dilakukan menurut kepentingan dan
pengaruhnya.
Tabel 7. Responden untuk analisis dan perumusan strategi kebijakan
No. Responden Jumlah
1 Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) II Provinsi Jawa Barat
2
2 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan 23 LPI–PHBM Kabupaten Kuningan 24 LSM lokal Kabupaten Kuningan 25 Universitas Kuningan 26 Paguyuban Masyarakat Tani Hutan (PMTH) Kabupaten
Kuningan 2
Total 12
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan
dokumen-dokumen hasil studi atau penelitian, peraturan perundang-undangan,
peta-peta dan data pendukung lainnya dari berbagai sektor yang terkait, baik
nasional maupun lokal yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, Pemda dan
33
lembaga non pemerintah, seperti Departemen Kehutanan, Perum Perhutani
Jakarta, BKSDA II Provinsi Jawa Barat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Kuningan, Bapeda Kabupaten Kuningan, Dinas Lingkungan Hidup
Kabupaten Kuningan, BPS Kabupaten Kuningan, KPH Kuningan, Universitas
Kuningan, kantor camat dan desa di lokasi penelitian serta LSM.
3.4. Analisis Data Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu:
1. Analisis substansi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat pada tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten dengan analisis normatif dan positif. Analisis normatif terdiri atas
analisis isi (content analysis) serta analisis struktur dan hirarki (analysis of
structure and hierarchy). Analisis isi kebijakan menggunakan tujuh indikator
berdasarkan asas peraturan perundangan-undangan, yaitu Undang-Undang
Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan:
a. Kejelasan tujuan ialah setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus mempunyai tujuan jelas yang hendak dicapai
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat ialah setiap jenis
peraturan perundang-undangan dibuat oleh lembaga atau pejabat
pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
perundang-undangan dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat
oleh lembaga atau pejabat yang tidak berwenang.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan ialah dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan memperhatikan materi muatan yang
tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya
d. Dapat dilaksanakan ialah dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan
tersebut dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun
sosiologis
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan ialah setiap peraturan perundang-
undangan dibuat karena dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
f. Kejelasan rumusan ialah setiap peraturan perundang-undangan
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-
34
undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi serta bahasa
hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya
g. Keterbukaan ialah dalam proses pembentukan peraturan perundang-
undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan
pembahasan bersifat transparan, sehingga seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya memberikan masukan
dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan
Analisis struktur dan hirarki kebijakan dilakukan secara horizontal dan
vertikal, yaitu:
a. Analisis struktur kebijakan dititikberatkan pada analisis horizontal untuk
melihat kesesuaian suatu peraturan perundang-undangan dengan
peraturan perundang-undangan lain yang setara
b. Analisis hirarki kebijakan dilakukan untuk mengevaluasi kesesuaian dan
konsistensi suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai dengan tata urutan
peraturan perundang-undangan
Analisis positif dilakukan dengan analisis konsistensi dan gap implementasi
kebijakan. Menurut Darusman dan Nurrochmat (2005), analisis normatif dan
positif juga dilakukan untuk melihat:
a. Dinamika kelembagaan, proses dan perilaku aktor
b. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi proses kebijakan
2. Analisis implementasi dan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional
Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat secara deskriptif,
baik kuantitatif maupun kualitatif dengan mengacu pada Nurrochmat (2005b)
3. Perumusan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan metode AHP dan SWOT
yang diadopsi dan dimodifikasi dari Shrestha et al. (2004). Di samping
mempunyai kelebihan dengan kemudahan pemakaian, menurut Tiryana
(2005) metode AHP mempunyai kelemahan dengan adanya kompensasi
atau pengaruh nilai rataan. Oleh karena itu, untuk menghindari kelemahan
tersebut, maka dalam rangka perumusan strategi kebijakan PHBM di Taman
Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat yang
mempunyai fungsi utama untuk ekologi diberi bobot 55%, sosial 30% dan
ekonomi 15%. Metode AHP dan SWOT terdiri atas:
35
a. Struktur hirarki
Struktur hirarki dalam perumusan strategi kebijakan PHBM di
Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa
Barat seperti pada Gambar 5 berikut.
Gambar 5. Struktur hirarki perumusan strategi kebijakan
b. Prioritas SWOT
Bobot masing-masing stakeholders, baik Strength, Weakness,
Opportunity maupun Threat pada kriteria ekologi, sosial dan ekonomi
dimasukkan pada Tabel 8 berikut, kemudian dijumlahkan.
Tabel 8. Prioritas SWOT
No. Stakeholders dan Kriteria Bobot S S’ W W’ O O’ T T’
1 BKSDA II Provinsi Jawa Barat a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah
0,55 0,30 0,15 1,00
2 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah
0,55 0,30 0,15 1,00
3 LSM lokal Kabupaten Kuningan a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah
0,55 0,30 0,15 1,00
Tingkat 4: SWOT
Tingkat 2: ders Stakehol
PHBM di TNGC
BKSDA Dishutbun LSM Uniku LPI-PHBM PMTH
Ekologi Sosial Ekonomi
Strength Weakness Opportunity
Tingkat 1: Fokus
Tingkat 3: Kriteria
Threat
36
Tabel 8. (lanjutan) No. Stakeholders dan Kriteria Bobot S S’ W W’ O O’ T T’
4 Universitas Kuningan a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah
0,55 0,30 0,15 1,00
5 LPI-PHBM Kabupaten Kuningan a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah
0,55 0,30 0,15 1,00
6 PMTH Kabupaten Kuningan a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah
0,55 0,30 0,15 1,00
c. Nilai faktor prioritas dan semua prioritas dari analisis SWOT dan AHP
Bobot masing-masing stakeholders, baik pada komponen Strength,
Weakness, Opportunity maupun Threat dimasukkan pada Lampiran 5,
kemudian dikali dan dirata-ratakan dengan nilai prioritas SWOT di atas.
d. Evaluasi faktor internal dan eksternal
Nilai rata-rata komponen Strength, Weakness, Opportunity dan
Threat di atas dimasukkan pada Tabel 9 berikut, kemudian diselisihkan.
Tabel 9. Evaluasi faktor internal dan eksternal
No. Faktor-faktor Internal Eksternal Rata-rata 1 Strength 2 Weakness
Skor Faktor Strength – Weakness 3 Opportunity 4 Threat
Skor Faktor Opportunity – Threat Sumber: Rangkuti (2005)
e. Posisi
Dari Tabel 9 di atas, dapat dilihat posisi berada pada kuadran
seperti pada Gambar 6 berikut.
37
Opportunity
Kuadran III Kuadran I
(Strategi Turn Around) (Strategi Agresif) Weakness Strength
Kuadran IV Kuadran II (Strategi Defensif) (Strategi Diversifikasi)
Threat
Gambar 6. Posisi pada berbagai situasi
f. Matriks SWOT dan kemungkinan strateginya
Dari posisi di atas, dapat ditentukan strateginya seperti pada Tabel
10 berikut.
Tabel 10. Matriks SWOT dan kemungkinan strateginya
IFA/EFA Strength (S) Weakness (W)
Opportunity (O)
Strategi SO Menciptakan strategi yang menggunakan strength untuk memanfaatkan opportunity. Digunakan jika berada pada kuadran I
Strategi WO Menciptakan strategi yang meminimalkan weakness untuk memanfaatkan opportunity. Digunakan jika berada pada kuadran III
Threat (T) Strategi ST Menciptakan strategi yang menggunakan strength untuk mengatasi threat. Digunakan jika berada pada kuadran II
Strategi WT Menciptakan strategi yang meminimalkan weakness dan menghindari threat. Digunakan jika berada pada kuadran IV
Sumber: Marimin (2004)
Penelitian ini dilakukan dengan tahapan-tahapan seperti ditunjukkan pada
Gambar 7 berikut.
38
Mendefinisikan Permasalahan
Studi Pustaka
Memilih Metode Penelitian
Analisis Kebijakan PHBM di TNGC
Implementasi dan Dampak PHBM di TNGC
Identifikasi Stakeholders
Klasifikasi Faktor-faktor Keputusan
Evaluasi Faktor-faktor Keputusan - AHP - SWOT
Strategi Kebijakan PHBM di TNGC
Gambar 7. Tahapan dari penelitian Jika objek penelitian dikaitkan dengan siklus kebijakan, maka dapat terlihat
pada Gambar 8 berikut ini.
39
Strategi Kebijakan
Formasi Kebijakan
Agenda Kebijakan
Formulasi dan Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Evaluasi Kebijakan
Dampak
Analisis Kebijakan PHBM TNGC
Keterangan: ----------------- : Fokus penelitian
Gambar 8. Siklus kebijakan dan objek penelitian
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Taman Nasional Gunung Ciremai Secara geografis Taman Nasional Gunung Ciremai terletak pada 1080 19’
10” – 1080 27’ 55” BT dan 60 47’ 5” – 60 58’ 20” LS. Taman Nasional Gunung
Ciremai mempunyai luas sekitar 15.859,17 Ha yang secara administrasif meliputi
dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kuningan di Timur seluas 8.931,27 Ha (56,32%)
dan Kabupaten Majalengka di Barat seluas 6.927,90 Ha (43,68%). Perkiraan
panjang batas Taman Nasional Gunung Ciremai sekitar 210 km.
Taman Nasional Gunung Ciremai berbatasan sebelah Utara dengan
Kabupaten Cirebon, Selatan dengan Kabupaten Kuningan, Barat dengan
Kabupaten Majalengka dan Timur dengan Kabupaten Kuningan. Berdasarkan
Daerah Aliran Sungai (DAS), Taman Nasional Gunung Ciremai termasuk pada
lima DAS, yaitu DAS Ciwaringin, Cisanggarung, Cimanuk Hilir, Cilitung dan
Ciberes Bangkaderes.
Taman Nasional Gunung Ciremai dapat diakses dari Kabupaten Cirebon,
Kuningan dan Majalengka dengan jalan-jalan kondisi baik dan transportasi relatif
lancar. Jalur pendakian di Taman Nasional Gunung Ciremai ada tiga, yaitu jalur
Linggarjati dan Palutungan di Kabupaten Kuningan dan jalur Apuy di Kabupaten
Majalengka. Topografi Taman Nasional Gunung Ciremai pada umumnya
berombak, berbukit dan bergunung dengan kemiringan bervariasi mulai dari
landai (0-8%) sebesar 26,52% sampai curam (di atas 8%) sebesar 73,48%.
Geologi Taman Nasional Gunung Ciremai secara umum dari batuan hasil
aktivitas vulkanik Gunung Ciremai, yaitu batuan endapan vulkanik, baik vulkanik
tua sebesar 35% di bagian Selatan dan 5% di bagian Utara maupun vulkanik
muda sebesar 60% di bagian Utara. Gunung Ciremai ialah gunung tertinggi di
Provinsi Jawa Barat dengan ketinggian 3.078 m dpl dan merupakan gunung yang
unik karena terletak tidak terlalu jauh dari laut (Laut Jawa) dibandingkan dengan
gunung-gunung lainnya di Pulau Jawa serta termasuk klasifikasi A (strato) atau
magmatik (aktif).
Gunung Ciremai mempunyai kawah ganda, yaitu di Barat beradius 400 m
dan di Timur beradius 600 m dengan kedalaman masing-masing 250 m. Pada
ketinggian 2.900 m di lereng Selatan Gunung Ciremai terdapat bekas titik letusan
dengan diameter 30 m. Gunung Ciremai pernah terjadi tujuh kali letusan, yaitu
41
tahun 1698, 1772, 1775, 1805, 1917, 1924 dan 1938, tetapi hanya menimbulkan
kerusakan sekitar daerah puncak.
Jenis tanah yang terdapat di Taman Nasional Gunung Ciremai ialah
regosol coklat kelabu, asosiasi regosol kelabu, regosol coklat kelabu dan latosol,
asosiasi andosol coklat, latosol coklat dan latosol coklat kemerahan dengan
penyebaran sebagai berikut:
1. Regosol coklat kelabu, asosiasi regosol kelabu, regosol coklat kelabu dan
latosol menyebar mulai dari puncak sampai bagian lahan yang landai di
Kecamatan Jalaksana dan sebagian Kecamatan Mandirancan sebesar
77,44%
2. Asosiasi andosol coklat menyebar pada daerah-daerah tinggi di sekeliling
puncak sebesar 11,02%
3. Latosol coklat dan latosol coklat kemerahan menyebar di daerah yang lebih
rendah secara merata sebesar 11,54%
Iklim Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan klasifikasi Schmidt dan
Fergusson termasuk tipe iklim B dan C dengan rata-rata curah hujan 2.000-4.000
mm/tahun dan temperatur bulanan 18–220 C. Angin di Taman Nasional Gunung
Ciremai pada umumnya bertiup dari arah Selatan dan Tenggara, kecuali pada
bulan April–Juli bertiup dari arah Barat Laut dengan kecepatan 3–6 knot.
Pada Taman Nasional Gunung Ciremai terdapat sungai sebanyak 43 buah
yang dimanfaatkan untuk irigasi, perikanan, industri dan kegiatan ekonomi
lainnya serta 156 mata air, dimana 147 mata air mengalirkan air sepanjang
tahun, 4 mata air mengalir selama sembilan bulan dalam setahun, 3 mata air
mengalir selama enam bulan dalam setahun dan 2 mata air mengalir selama tiga
bulan dalam setahun dengan debit rata-rata 50–2.000 l/detik yang kualitas airnya
memenuhi standar kualitas air minum. Mata air tersebut, diantaranya Cibunian
(Palutungan), Cimanceng, Cikacu (Linggarjati), Paniis, Telaga Remis,
Cigarunggang dan sebagainya.
Hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai sebagian kecil merupakan hutan
sekunder yang berumur sekitar 35 tahun dan sebagian besar merupakan hutan
alam primer (virgin forest) yang dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Hutan hujan dataran rendah (2–1.000 m dpl)
2. Hutan hujan pegunungan/zona montana (1.000–2.400 m dpl)
3. Hutan pegunungan sub alpin (> 2.400 m dpl)
42
Pada Taman Nasional Gunung Ciremai terdapat berbagai jenis vegetasi,
antara lain pinus (Pinus merkusii), saninten (Castanopsis javanica), kitandu
(Fragraera blumii), mara (Macaranga denticulata), kipeper (Engelhardia spicata),
tangongo (Castanopsis tungurut), pasang (Lithocarpus sundaicus), janitri
(Elaeocarpus stipularis), pasang bodas (Lithocarpus spicatus), saninten
(Castanopsis argentea), kiara (Ficus sp), hamberang (Ficus padana) dan
sebagainya. Jenis vegetasi di atas terdapat juga jenis yang dikategorikan
langka, seperti lampina (Ardisia cymosa DC), kakaduan (Platea latifolia Blume)
dan kipulusan (Villubrunes rubescens), jambu persik (Prunus javanica), lame
(Alstonia scholaris) dan jirak (Symplocos theaefoli).
Taman Nasional Gunung Ciremai juga memiliki berbagai jenis anggrek,
diantaranya Vanda tricolor Lindh, Eria multiflora (BI) Lindh, Eria hyancinthoides
(BI) Lindh, Eria compressa (BI), Coelogyne miniata (BI) Lindh, Pholidota
imbricata WJ Hooker, Liparis latifolia (BI) dan sebagainya. Sedangkan satwa di
Taman Nasional Gunung Ciremai cukup beragam, terdiri dari kelompok aves
(elang jawa, elang ular, elang hitam, cakakak, puyuh, walik, cipoh, perenjak,
kipasan dan anis), mamalia (babi hutan, kijang, macan kumbang, lutung, kera
ekor panjang dan surili) dan reptil (ular sanca dan biawak). Beberapa jenis satwa
tersebut termasuk langka dan dilindungi, yaitu macan kumbang (Phantera
pardus), kijang (Muntiacus muntjak), landak (Zaglossus brujini), surili (Presbytis
comata) dan elang jawa (Spizaetus bertelsii).
Taman Nasional Gunung Ciremai memiliki berbagai objek wisata alam,
diantaranya Telaga Remis, Bumi Perkemahan (Buper) Palutungan, Buper
Pajambon, Buper Paniis, Lembah Cilengkrang, Curug Sawer, Curug Sabuk, jalur
pendakian Linggarjati, Buper Cibeureum, Situ Sangiang, jalur pendakian Apuy
dan sebagainya. Selain itu terdapat juga fosil pohon dan miniatur alam stalaktit
serta stalakmit.
4.2. Kabupaten Kuningan Kabupaten Kuningan yang terletak di Timur Provinsi Jawa Barat
mempunyai luas 107.597 Ha atau 3,75% dari luas Provinsi Jawa Barat
(2.867.600 Ha). Jarak Kabupaten Kuningan ke ibu kota Provinsi Jawa Barat
(Bandung) ialah 170 km. Secara geografis Kabupaten Kuningan terletak pada
1080 39’ – 1080 80’ BT dan 60 78’ – 70 19’ LS.
43
Kabupaten Kuningan yang diapit oleh lima kabupaten mempunyai batas-
batas administrasi sebagai berikut:
1. Utara : Kabupaten Cirebon
2. Selatan : Kabupaten Ciamis dan Cilacap (Provinsi Jawa Tengah)
3. Barat : Kabupaten Majalengka
4. Timur : Kabupaten Brebes (Provinsi Jawa Tengah)
Topografi Kabupaten Kuningan relatif datar dengan variasi berbukit-bukit di
Barat dan Utara dengan ketinggian sekitar 700 m dpl. Sedangkan di Selatan dan
Timur Kabupaten Kuningan memiliki tanah yang relatif rata dengan ketinggian
120–222 m dpl. Secara geologi, Utara Kabupaten Kuningan sebagian besar
merupakan daerah undifferentiated vulkanik yang subur karena pengaruh
vulkanik Gunung Ciremai dan sebagian kecil termasuk daerah micone
sedimentary facies yang kurang subur. Sedangkan Selatan Kabupaten Kuningan
merupakan daerah micone sedimentary facies dan gabro yang subur.
Kabupaten Kuningan memiliki tujuh golongan tanah, yaitu andosol, alluvial,
podzolik, grumusol, mediteran, latosol dan regosol. Golongan tanah andosol
terdapat di Barat Kabupaten Kuningan yang cocok untuk tanaman tembakau,
bunga-bungaan, sayur-sayuran, buah-buahan, kopi, kina dan apel. Sedangkan
golongan tanah alluvial terdapat di Timur Kabupaten Kuningan yang cocok untuk
tanaman padi, palawija dan perikanan.
Kabupaten Kuningan beriklim tropis dan angin musim dengan temperatur
bulanan 18–220 C dan curah hujan rata-rata 2.000–4.000 mm/tahun. Hutan di
Kabupaten Kuningan seluas 31.136 Ha atau 28,94% dari luas Kabupaten
Kuningan. Berdasarkan kepemilikan, terdiri atas hutan negara seluas 24.401 Ha
dan hutan rakyat seluas 6.735 Ha.
Penggunaan lahan di Kabupaten Kuningan terdiri atas sawah dan lahan
kering. Luas sawah di Kabupaten Kuningan ialah 29.550 Ha dan lahan kering
ialah 78.047 Ha. Perincian lahan kering tertera pada Tabel 11 berikut.
Tabel 11. Penggunaan lahan kering di Kabupaten Kuningan tahun 2004 No. Lahan Kering Luas (Ha) %
1 Pekarangan 9.959 12,762 Tegalan/kebun 16.356 20,953 Ladang/huma 11.444 14,664 Pengangonan 1.651 2,125 Hutan rakyat 6.735 8,636 Hutan negara 24.401 31,27
44
Tabel 11. (lanjutan)
No. Lahan Kering Luas (Ha) % 7 Perkebunan 2.434 3,128 Kolam/tebat/empang 539 0,699 Lain-lain 4.528 5,80
Jumlah 78.047 100,00Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005
Tanaman pertanian yang terdapat di Kabupaten Kuningan sangat beragam,
diantaranya padi, jagung, kedelai dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya disajikan
pada Tabel 12 berikut.
Tabel 12. Tanaman pertanian yang terdapat di Kabupaten Kuningan tahun
2004 No. Tanaman Luas (Ha) Produksi (ton) Produksi/Ha (ton)
1 Padi sawah 59.641 355.902 5,9302 Padi gogo 3.875 14.261 2,9853 Jagung 6.065 20.223 3,4624 Kedelai 1.324 1.217 0,9505 Kacang tanah 3.177 5.459 1,6386 Kacang hijau 948 575 1,1177 Ubi kayu 3.087 42.529 12,0928 Ubi jalar 5.788 93.594 15,4149 Bawang merah 741 4.788 6,462
10 Bawang daun 3.308 39.787 12,02811 Kentang 125 1.168 9,34412 Kubis 47 590 12,53313 Sawi 387 6.424 16,59914 Wortel 269 6.132 22,79615 Kacang panjang 53 370 6,98116 Cabe 237 1.759 7,42217 Tomat 143 1.862 13,02118 Terung 19 60 3,15819 Buncis 100 860 8,60020 Ketimun 124 959 7,734
Jumlah 89.458 598.519Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005
Penduduk Kabupaten Kuningan tahun 2004 berjumlah 1.015.054 orang
atau 256.572 rumah tangga, terdiri dari 506.968 laki-laki dan 508.086 perempuan
dengan rasio seks 99,78 tersebar pada 32 kecamatan dengan kepadatan 908
orang/km2. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Kuningan tahun 1995-2004
ialah rata-rata 1%/tahun. Rincian penduduk Kabupaten Kuningan tercantum
pada Tabel 13 dan 14 berikut.
45
Tabel 13. Penduduk Kabupaten Kuningan tahun 2004
Penduduk (orang) No. Kecamatan Luas
(km2) Laki-Laki Perempuan Jumlah
Kepadatan (orang/km2)
Rumah Tangga
1 Darma 49,43 21.846 22.457 44.303 896 11.512 2 Kadugede 19,03 11.802 11.920 23.722 1.247 5.990 3 Nusaherang 18,27 9.268 9.324 18.592 1.018 4.728 4 Ciniru 48,26 9.409 9.430 18.839 390 5.739 5 Hantara 35,02 6.931 6.780 13.711 392 4.052 6 Selajambe 37,28 7.184 7.301 14.485 389 4.157 7 Subang 44,95 7.914 8.555 16.469 366 4.300 8 Cilebak 35,42 5.978 5.974 11.952 337 3.070 9 Ciwaru 72,03 13.800 13.685 27.485 382 7.114
10 Karangkancana 36,29 7.957 8.241 16.198 446 4.165 11 Cibingbin 72,77 16.686 17.342 34.028 468 10.848 12 Cibeureum 31,46 9.473 9.688 19.161 609 5.294 13 Luragung 43,28 17.946 18.198 36.144 835 9.730 14 Cimahi 52,45 18.057 18.354 36.411 694 9.837 15 Cidahu 33,89 20.037 19.720 39.757 1.173 9.853 16 Kalimanggis 20,47 11.268 11.568 22.836 1.116 5.353 17 Ciawigebang 61,36 39.004 39.143 78.147 1.274 19.619 18 Cipicung 18,37 13.245 13.152 26.397 1.437 6.677 19 Lebakwangi 19,95 19.272 19.112 38.384 1.924 9.801 20 Maleber 56,10 20.526 20.222 40.748 726 10.148 21 Garawangi 28,24 19.757 19.153 38.910 1.378 9.429 22 Sindangagung 12,49 15.980 15.926 31.906 2.555 7.883 23 Kuningan 28,01 38.824 39.613 78.437 2.800 17.854 24 Cigugur 27,77 20.104 19.344 39.448 1.421 8.528 25 Karamatmulya 18,42 22.707 22.850 45.557 2.473 11.339 26 Jalaksana 21,55 20.110 19.929 40.039 1.858 9.437 27 Japara 27,79 9.948 10.015 19.963 718 4.461 28 Cilimus 33,24 22.310 21.957 44.267 1.332 11.152 29 Cigandamekar 25,81 14.511 14.056 28.567 1.107 8.072 30 Mandirancan 37,00 11.892 12.085 23.977 648 5.175 31 Pancalang 18,13 11.712 11.581 23.293 1.285 4.901 32 Pasawahan 33,42 11.510 11.411 22.921 686 6.354
Jumlah 1.117,95 506.968 508.086 1.015.054 908 256.572 Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005
Tabel 14. Penduduk Kabupaten Kuningan menurut jenis kelamin dan
kelompok umur tahun 2004
No. Kelompok Umur (tahun)
Laki-Laki (orang)
Perempuan (orang)
Jumlah (orang)
Rasio Seks
A Non produktif 1 0–14 128.641 127.572 256.213 100,842 65 ke atas 22.332 24.027 46.359 92,95
Jumlah 150.973 151.599 302.572 99,59B Produktif
15–64 355.995 356.487 712.482 99,86 Jumlah 355.995 356.487 712.482 99,86 Total 506.968 508.086 1.015.054 99,78
Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005
Mata pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan ialah petani (57%),
pegawai (14%), pedagang (8%) dan lainnya (21%). Dilihat dari tingkat
46
pendidikannya, penduduk Kabupaten Kuningan sebagian besar berpendidikan
Sekolah Dasar (SD), sebagian berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) serta hanya sebagian kecil
saja yang berhasil menamatkan sampai ke perguruan tinggi mulai dari D1, D2,
D3, S1, S2 dan S3.
Jumlah sekolah menurut tingkatannya di Kabupaten Kuningan tertera pada
Tabel 15 berikut.
Tabel 15. Sekolah menurut tingkatannya di Kabupaten Kuningan tahun
2005/2006 No. Jenis Negeri Swasta Jumlah
1 TK 1 147 1482 SD 699 4 6733 SLTP 63 9 724 SMU 17 8 255 SMK 4 16 20
Jumlah 784 184 968Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005
Sarana jalan di Kabupaten Kuningan tahun 2000–2004 tertera pada Tabel
16 berikut.
Tabel 16. Sarana jalan di Kabupaten Kuningan tahun 2000-2004
Tahun (km) No. Jalan 2000 2001 2002 2003 2004 1 Provinsi 99,64 99,64 99,62 99,62 99,622 Kabupaten 446,00 446,00 416,10 416,10 416,10
Jumlah 545,64 545,64 515,72 515,72 515,72Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005
4.3. Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma Kecamatan Pasawahan yang mempunyai jarak 20 km dengan kota
Kuningan terdiri atas 10 desa dengan luas 4.407 Ha dan ketinggian 393 m dpl.
Batas administrasi Kecamatan Pasawahan ialah sebelah Utara dengan
Kabupaten Cirebon, Selatan dengan Taman Nasional Gunung Ciremai, Barat
dengan Kabupaten Majalengka dan Timur dengan Kecamatan Mandirancan.
Secara geografis Kecamatan Pasawahan terletak pada 1080 40’ – 1080 46’ BT
dan 60 78’ – 60 89’ LS.
Kecamatan Cilimus yang mempunyai jarak 13 km dengan kota Kuningan
terdiri atas 13 desa dengan luas 4.405 Ha dan ketinggian 441 m dpl. Batas
47
administrasi Kecamatan Cilimus ialah sebelah Utara dengan Kecamatan
Mandirancan dan Pancalang, Selatan dengan Kecamatan Jalaksana, Barat
dengan Taman Nasional Gunung Ciremai dan Timur dengan Kecamatan
Gandamekar. Secara geografis Kecamatan Cilimus terletak pada 1080 41’ –
1080 55’ BT dan 60 84’ – 60 90’ LS.
Kecamatan Darma yang mempunyai jarak 12 km dengan kota Kuningan
terdiri atas 19 desa dengan luas 6.470 Ha dan ketinggian 709 m dpl. Batas
administrasi Kecamatan Darma ialah sebelah Utara dengan Taman Nasional
Gunung Ciremai, Selatan dengan Kabupaten Ciamis, Barat dengan Kabupaten
Majalengka dan Timur dengan Kecamatan Kadugede, Nusaherang, Hantara dan
Selajambe. Secara geografis Kecamatan Darma terletak pada 1080 38’ – 1080
42’ BT dan 60 92’ – 70 9’ LS.
Topografi pada ketiga kecamatan ini datar sampai bergunung. Curah hujan
di Kecamatan Pasawahan ialah 3.285 mm/tahun atau rata-rata 273,75 mm/bulan
dengan jumlah hari hujan selama 131 hari. Curah hujan di Kecamatan Cilimus
ialah 2.558 mm/tahun atau rata-rata 213,17 mm/bulan dengan jumlah hari hujan
selama 100 hari. Sedangkan curah hujan di Kecamatan Darma ialah 331
mm/tahun atau rata-rata 27,58 mm/bulan dengan jumlah hari hujan selama 159
hari. Penggunaan lahan di Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma terdiri
atas sawah dan lahan kering. Luas sawah di Kecamatan Pasawahan ialah 583
Ha, Cilimus 2.165 Ha dan Darma 665 Ha. Sedangkan luas lahan kering di
Kecamatan Pasawahan ialah 3.824 Ha, Cilimus 2.240 Ha dan Darma 5.805 Ha.
Perincian lahan kering tertera pada Tabel 17 berikut.
Tabel 17. Penggunaan lahan kering di Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan
Darma tahun 2004
Kecamatan Pasawahan
Kecamatan Cilimus
Kecamatan Darma No. Lahan Kering Luas
(Ha) % Luas (Ha) % Luas
(Ha) %
1 Pekarangan 199 5,20 753 33,62 391 6,742 Tegalan/kebun 482 12,60 1.096 48,93 529 9,113 Ladang/huma 206 5,39 101 4,51 3.404 58,644 Pengangonan 24 0,63 85 3,79 46 0,795 Hutan rakyat 31 0.81 81 3,62 311 5,366 Hutan negara 2.411 63,05 24 1,07 1.088 18,747 Perkebunan 387 10,12 43 1,92 - -
48
Tabel 17. (lanjutan)
Kecamatan Pasawahan
Kecamatan Cilimus
Kecamatan Darma No. Lahan Kering Luas
(Ha) % Luas (Ha) % Luas
(Ha) %
8 Kolam/tebat/empang 14 0,37 28 1,25 15 0,269 Lain-lain 70 1,83 29 1,29 21 0,36
Jumlah 3.824 100,00 2.240 100,00 5.805 100,00Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005
Tanaman pertanian yang terdapat pada Kecamatan Pasawahan, Cilimus
dan Darma sangat beragam, diantaranya padi, jagung, kedelai dan sebagainya.
Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 18 berikut.
Tabel 18. Tanaman pertanian yang terdapat di Kecamatan Pasawahan,
Cilimus dan Darma tahun 2004
Kecamatan Pasawahan
Kecamatan Cilimus
Kecamatan Darma No. Tanaman Luas
(Ha) Hasil (ton)
Luas (Ha)
Hasil (ton)
Luas (Ha)
Hasil (ton)
1 Padi sawah 1.735 11.008,0 3.789 20.801,0 1.189 8.039,02 Padi gogo - - - - 585 1.647,03 Jagung 36 140,0 25 - 1.738 6.296,04 Kedelai 20 23,0 - - - - 5 Kacang tanah 11 27,0 18 38,0 10 16,06 Kacang hijau 12 15,0 - - - - 7 Ubi kayu 14 265,0 7 139,0 640 11.176,08 Ubi jalar 22 263,0 3.316 54.626,0 4 27,09 Bawang merah 2 12,0 1 10,5 - -
10 Bawang daun - - 4 62,6 378 6.320,511 Kentang - - - - 115 1.056,912 Kubis - - - - 39 498,313 Sawi - - 60 514,4 156 3.806,314 Kacang panjang 7 102,0 - - - - 15 Cabe 4 44,7 - - 33 538,716 Tomat 5 23,0 4 18,0 7 144,517 Buncis - - - - 4 43,018 Ketimun 4 10,0 1 35,0 1 35,0
Jumlah 1.872 11.932,7 7.225 76.244,5 4.899 39.644,2Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005
Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk tahun 2004 Kecamatan
Pasawahan ialah 22.921 orang, Kecamatan Cilimus 44.267 orang dan
Kecamatan Darma 44.303 orang. Perinciannya tertera pada Tabel 19 berikut.
49
Tabel 19. Penduduk Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma menurut jenis kelamin tahun 2004
No. Kecamatan Laki-laki (orang)
Perempuan (orang)
Jumlah (orang)
Rasio Seks
1 Pasawahan 11.510 11.411 22.921 100,872 Cilimus 22.310 21.957 44.267 101,613 Darma 21.846 22.457 44.303 97,28
Jumlah 55.666 55.825 111.491 99,72Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005
Kepadatan penduduk Kecamatan Pasawahan ialah 686 orang/km2 dengan
jumlah rumah tangga sebanyak 6.354 rumah tangga. Kepadatan penduduk
Kecamatan Cilimus ialah 1.332 orang/km2 dengan jumlah rumah tangga
sebanyak 11.152 rumah tangga. Sedangkan kepadatan penduduk Kecamatan
Darma ialah 896 orang/km2 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 11.512
rumah tangga.
Sebagian besar penduduk Kecamatan Pasawahan dan Darma hanya
tamatan SD serta Kecamatan Cilimus tamatan SLTP dengan mata pencaharian
sebagian besar sebagai petani dan lainnya ialah pedagang, pegawai dan
sebagainya. Sekolah menurut tingkatannya di Kecamatan Pasawahan, Cilimus
dan Darma tertera pada Tabel 20 berikut.
Tabel 20. Sekolah menurut tingkatannya di Kecamatan Pasawahan,
Cilimus dan Darma tahun 2005/2006 (A = negeri, B = swasta)
Kecamatan Pasawahan Kecamatan Cilimus Kecamatan Darma No. Jenis A B Jumlah A B Jumlah A B Jumlah 1 TK - 4 4 - 15 15 - 6 6 2 SD 16 - 16 46 - 46 29 - 29 3 SLTP 2 - 2 4 2 6 2 - 2 4 SMU - - - 1 3 4 - - - 5 SMK - - - - 3 3 - - -
Jumlah 18 4 22 51 23 74 31 6 37 Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005
4.4. Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari Desa Padabeunghar dengan 12 RT dan 3 RW mempunyai luas 7,62 km2
dengan ketinggian 500 m dpl dan jarak ke ibu kota Kecamatan Pasawahan
(Pasawahan) 3 km. Batas administrasi Desa Padabeunghar ialah sebelah Utara
dengan Kabupaten Cirebon, Selatan dengan Taman Naional Gunung Ciremai,
Barat dengan Kabupaten Majalengka dan Timur dengan Desa Kaduela dan
50
Pasawahan. Secara geografis Desa Padabeunghar terletak pada 1080 41’ –
1080 42’ BT dan 60 79’ – 60 83’ LS.
Desa Linggarjati dengan 18 RT dan 4 RW mempunyai luas 1,86 km2
dengan ketinggian 650 m dpl dan jarak ke ibu kota Kecamatan Cilimus (Cilimus)
3 km. Batas administrasi Desa Linggarjati ialah sebelah Utara dengan Desa
Setianegara, Selatan dengan Desa Linggasana, Barat dengan Taman Nasional
Gunung Ciremai dan Timur dengan Desa Linggamekar. Secara geografis Desa
Linggarjati terletak pada 1080 45’ – 1080 49’ BT dan 60 87’ – 60 89’ LS.
Desa Karangsari dengan 13 RT dan 2 RW mempunyai luas 2,91 km2
dengan ketinggian 850 m dpl dan jarak ke ibu kota Kecamatan Darma (Parung) 2
km. Batas administrasi Desa Karangsari ialah sebelah Utara dengan Taman
Nasional Gunung Ciremai, Selatan dengan Desa Bakom, Barat dengan Desa
Situsari dan Timur dengan Kecamatan Kadugede dan Nusaherang. Secara
geografis Desa Karangsari terletak pada 1080 40’ – 1080 43’ BT dan 60 96’ – 60
98’ LS.
Topografi ketiga desa, yaitu Desa Padabeunghar, Linggarjati dan
Karangsari berbukit dan bergunung serta sebagian kecil berupa dataran pada
pemukiman dan lahan persawahan. Sedangkan penggunaan lahan pada ketiga
desa ini terlihat pada Tabel 21 berikut.
Tabel 21. Penggunaan lahan di Desa Padabeunghar, Linggarjati dan
Karangsari tahun 2004
Desa Padabeunghar
Desa Linggarjati
Desa Karangsari No. Penggunaan
Lahan Luas (Ha) % Luas
(Ha) % Luas (Ha) %
1 Sawah 384,45 50,45 58,80 31,62 29,00 9,962 Ladang/kebun/
kolam/tegalan 228,10 29,93 12,00 6,45 232,00 79,73
3 Perkebunan 128,90 16,92 14,20 7,63 - - 4 Perumahan 15,28 2,01 101,00 54,30 10,50 3,615 Bangunan lainnya 1,57 0,20 - - 2,50 0,866 Lainnya 3,70 0,49 - - 5,50 1,897 Tidak diusahakan - - - - 11,50 3,95
Jumlah 762,00 100,00 186,00 100,00 291,00 100,00Sumber: Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma dalam angka tahun
2004/2005
Suhu rata-rata Desa Padabeunghar ialah 24-270 C dengan curah hujan
2.000–3.000 mm/tahun. Suhu rata-rata Desa Linggarjati ialah 24-280 C dengan
curah hujan 3.000 mm/tahun. Sedangkan suhu rata-rata Desa Karangsari ialah
51
23-270 C dengan curah hujan 300 mm/tahun. Tanaman pertanian yang terdapat
pada Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari sangat beragam,
diantaranya padi, jagung, ubi jalar dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya
disajikan pada Tabel 22 berikut.
Tabel 22. Tanaman pertanian yang terdapat di Desa Padabeunghar,
Linggarjati dan Karangsari tahun 2004
Desa Padabeunghar
Desa Linggarjati
Desa Karangsari No. Tanaman Luas
(Ha) Hasil (ton)
Luas (Ha)
Hasil (ton)
Luas (Ha)
Hasil (ton)
1 Padi 121,0 81,60 59,0 286,00 153,0 157,702 Jagung 4,0 19,00 0,5 2,40 362,0 131,403 Ubi jalar - - 59,0 850,00 - - 4 Ubi kayu 4,0 5,64 - - 90,0 119,005 Kacang tanah 9,0 14,00 - - - - 6 Cabe - - - - 9,0 5,807 Bawang merah - - 1,0 9,00 - - 8 Tomat - - 0,5 6,00 - - 9 Sawi - - 5,0 7,50 36,0 125,50
10 Bawang daun - - - - 121,0 257,3011 Kubis - - - - 17,0 25,70
Jumlah 138,0 120,24 125,0 1.160,90 788,0 822,40Sumber: Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma dalam angka tahun
2004/2005 Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk tahun 2004 Desa
Padabeunghar ialah 2.331 orang, Desa Linggarjati 3.657 orang dan Desa
Karangsari 1.925 orang. Perinciannya tertera pada Tabel 23 berikut.
Tabel 23. Penduduk Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari
menurut jenis kelamin tahun 2004
No. Desa Laki-laki (orang)
Perempuan (orang)
Jumlah (orang)
Rasio Seks
1 Padabeunghar 1.152 1.179 2.331 97,712 Linggarjati 1.850 1.807 3.657 102,383 Karangsari 950 975 1.925 97,44
Jumlah 3.952 3.961 7.913 99,77Sumber: Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma dalam angka tahun
2004/2005
Kepadatan penduduk Desa Padabeunghar ialah 306 orang/km2 dengan
jumlah rumah tangga sebanyak 677 rumah tangga. Kepadatan penduduk Desa
Linggarjati ialah 1.966 orang/km2 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 922
52
rumah tangga. Sedangkan kepadatan penduduk Desa Karangsari ialah 662
orang/km2 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 509 rumah tangga.
Mata pencaharian penduduk Desa Padabeunghar, Linggarjati dan
Karangsari sebagian besar sebagai petani dan lainnya ialah pedagang, pegawai
dan sebagainya. Sebagian besar penduduk Desa Padabeunghar dan
Karangsari hanya tamatan SD dan Desa Linggarjati tamatan SLTP. Sekolah
menurut tingkatannya di Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari tertera
pada Tabel 24 berikut.
Tabel 24. Sekolah menurut tingkatannya di Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari tahun 2004
No. Jenis Desa Padabeunghar
Desa Linggarjati
Desa Karangsari Jumlah
1 TK - 1 - 12 SD 2 1 1 43 SLTP - 1 1 24 SMU - - - - 5 SMK - 1 - 1
Jumlah 2 4 2 8Sumber: Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma dalam angka tahun
2004/2005
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Substansi Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Substansi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat terdapat pada berbagai peraturan
perundang-undangan yang terdiri dari dua kategori, yaitu: (Darusman dan
Nurrochmat, 2005)
1. Peraturan perundang-undangan yang disebutkan secara langsung dalam
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945),
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah
2. Peraturan perundang-undangan yang tidak disebutkan secara langsung
dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yaitu Peraturan Menteri, Peraturan
Gubernur, Peraturan Bupati dan peraturan lainnya
UUD 1945 merupakan landasan konstitusional bagi seluruh peraturan
perundang-undangan di bawahnya. PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat berkaitan dengan beberapa pasal
dalam bab VI, VII A, X, X A dan XIV. Tabel 25 berikut menyajikan landasan konstitusional kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dalam bab-bab dan perincian
pasal-pasal terkait dalam UUD 1945.
Tabel 25. Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat dalam UUD 1945 No. Bab Tentang Pasal (Ayat)
1 VI Pemerintah daerah 18 A (2) 2 VII A Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 22 D (1, 2, 3) 3 X Warga negara dan penduduk 27 (2) 4 X A Hak asasi manusia 28 A, 28 C, 28 D (2),
28 E (1) dan 28 H (1) 5 XIV Perekonomian nasional dan
kesejahteraan nasional 33 (3, 4)
Taman nasional merupakan salah satu sumberdaya alam yang
kawasannya berada di daerah, maka dalam pengelolaannya pemerintah pusat
yang diberi kewenangan dalam pengelolaannya harus adil dan sesuai dengan
54
Undang-Undang serta melibatkan Pemda. Hal ini disebutkan mengenai
hubungan pemerintah pusat dan daerah pada UUD 1945 pasal 18 A ayat (2):
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan
sumberdaya lainnya antara pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.
DPD yang merupakan lembaga baru mempunyai peran yang sangat
strategis dalam pengawasan pengelolaan sumberdaya alam karena Pemda dapat mengusulkan perubahan atau mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) melalui DPD. Hal ini secara jelas dinyatakan pada pasal 22 D
ayat (1–3):
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya
ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan
sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat atas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan dan agama
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
Undang-Undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan dan agama serta
menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti
Setiap warga negara dan penduduk Indonesia dijamin haknya untuk
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak seperti pasal 27 ayat (2):
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Hal ini juga merupakan salah satu dari hak asasi manusia seperti
55
disebut pada pasal 28 A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya. Hak asasi manusia Indonesia lebih
lanjut dinyatakan dalam pasal 28 C:
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya
Pasal 28 D ayat (2): Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal ini
merupakan pengaturan secara spesifik hak asasi manusia dalam pekerjaan. Hak
asasi manusia yang lainnya disebut pada pasal 28 E ayat (1): Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali. Hak asasi
manusia dalam lingkungan hidup yang baik dan sehat dinyatakan pada pasal 28
H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi
Jawa Barat harus berlandaskan pada pasal 33 ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan ayat (4):
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional. Oleh karena itu, setiap kebijakan dan kegiatan
pengelolaan ekonomi dan konservasi sumberdaya alam harus didasari semangat
yang terkandung dalam pasal ini.
Negara hanya menjalankan sebagian pasal 33 UUD 1945, yaitu
penguasaan negara atas hutan, namun mengabaikan kesejahteraan masyarakat
sekitar hutan. Padahal pasal 33 di atas mengamanatkan agar penguasaan
negara atas hutan secara bersama-sama juga harus mengakomodir berbagai
56
kelompok kepentingan dan tidak hanya kepentingan Departemen Kehutanan,
tetapi juga kepentingan petani dan kelompok masyarakat lainnya.
Undang-Undang ialah peraturan perundang-undangan tertinggi yang tata cara pengaturannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berikut
berbagai Undang-Undang yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman
Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat:
1. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Agraria
Undang-Undang ini berkaitan dengan penggunaan lahan, dimana
kawasan konservasi merupakan bagian darinya. Menurut pasal 2 ayat (2 a, b
dan c): Hak menguasai dari negara termaksud dalam pasal 1 memberi
wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa
Pengaturan tentang peruntukan oleh pemerintah tersebut diatur pada
pasal 14 ayat (1): Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2
ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2), pemerintah
dalam rangka sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:
a. untuk keperluan negara;
b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya sesuai
dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan
dan lain-lain kesejahteraan;
d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan
perikanan serta sejalan dengan itu;
e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan
57
Berdasarkan pasal di atas, peruntukan atau pengaturan untuk kawasan konservasi kurang mendapat perhatian. Namun, konservasi
sedikit disinggung dalam pasal 15: Memelihara tanah, termasuk menambah
kesuburannya serta mencegah kerusakannya ialah kewajiban tiap-tiap orang,
badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan-hubungan dengan
tanah itu dengan memperhatikan ekonomis yang lemah. Hal ini secara
implisit menyatakan perlunya dana kompensasi atau semacamnya bagi daerah-daerah yang secara geografis memiliki fungsi perlindungan,
namun tidak berdaya secara ekonomi karena tidak ada alternatif penggunaan
lahan selain sebagai kawasan konservasi.
2. Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan
Undang-Undang ini banyak bertentangan dengan konservasi karena
secara substansi mengelola segala kekuatan potensial di bidang
pertambangan untuk ekonomi dan konservasi tidak ada. Pasal 16
menyatakan wilayah-wilayah yang tidak boleh dilakukan pertambangan.
Namun, dari wilayah-wilayah yang dilarang tersebut tidak tercantum kawasan konservasi.
Undang-Undang ini juga menyatakan, bahwa pekerjaan pertambangan
di wilayah yang tertutup untuk kepentingan umum tidak dibolehkan. Namun,
kepentingan umum ini memiliki penafsiran yang tidak seragam dan tidak ada
penjelasan yang menyebutkan secara pasti, bahwa kawasan konservasi
dikategorikan sebagai wilayah tertutup untuk kepentingan umum.
3. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
Undang-Undang ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 4
tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut pasal 4: Konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan
kewajiban pemerintah serta masyarakat. Hal ini dilaksanakan seperti pada
pasal 5: Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan
melalui kegiatan:
58
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
c. pemanfaatan secara lestari sumberdaya alami hayati dan ekosistemnya
Perlindungan sistem penyangga kehidupan bertujuan agar
terpeliharanya proses ekologi yang menunjang kelangsungan kehidupan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia. Oleh karena itu, disebutkan pada pasal 9 ayat (1): Setiap
pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah
sistem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi
perlindungan wilayah tersebut.
Pasal 12 menyebutkan: Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya dilaksanakan dengan menjaga keutuhan
kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli. Hal ini dilaksanakan
seperti pada pasal 13 ayat (1): Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa
dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam.
Sedangkan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan seperti pada pasal 26:
a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam;
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar
Hal ini dilakukan seperti pada pasal 27: Pemanfaatan kondisi lingkungan
kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi
kawasan dan pasal 28: Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar
dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung dan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.
Kawasan konservasi yang memiliki fungsi strategis harus dilindungi,
terdiri atas kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan
kawasan pelestarian alam yang menurut pasal 29:
(1) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka
13 terdiri dari:
a. taman nasional;
b. taman hutan raya;
c. taman wisata alam
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu wilayah sebagai
kawasan pelestarian alam dan penetapan wilayah yang berbatasan
59
dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan Peraturan
Pemerintah
Pada pasal 31 menyebutkan:
(1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dapat
dilakukan kegiatan kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, budaya dan wisata alam
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa
mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan
Pasal di atas terlihat, bahwa pemanfaatan kawasan konservasi untuk
hal lain sangat terbatas karena pemanfaatan yang dibolehkan hanya
pemanfaatan kondisi lingkungan, seperti kegiatan wisata alam dan
sebagainya serta tidak boleh mengurangi fungsi pokok masing-masing
kawasan. Padahal pemanfaatan yang ada saat ini di Taman Nasional
Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat lebih banyak
berbasis lahan dan penentuan zona-zona belum ditetapkan. Oleh karena itu,
perlu pengaturan pemanfaatan berbasis lahan yang sudah ada saat ini dan
secara bertahap mengarahkan pada pemanfaatan berbasis non lahan dan
pemanfaatan jasa lingkungan. Di samping itu, juga perlu dibangun
mekanisme untuk menentukan zona-zona dalam kawasan konservasi secara
partisipatif agar meminimalkan resiko konflik kepentingan dan menjamin
kelestarian pengelolaan kawasan konservasi.
Zonasi pada taman nasional disebutkan pada pasal 32: Kawasan taman
nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona
pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan. Zona inti ialah
kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan
adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona pemanfaatan ialah
bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan
kunjungan wisata. Sedangkan zona lain ialah zona di luar kedua zona di atas
karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu, seperti zona
rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan sebagainya.
Pasal 33 Undang-Undang ini menyatakan:
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional, sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan
60
luas zona inti taman nasional serta menambahkan jenis tumbuhan dan
satwa lain yang tidak asli
(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan
fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan
raya dan taman wisata alam
Hal ini berarti, bahwa pemanfaatan kawasan konservasi sangat terbatas
dan zona inti taman nasional tidak mungkin dimanfaatkan selain untuk
kepentingan konservasi. Namun, pada kenyataannya sudah ada
pemanfaatan dalam Taman Nasional Gunung Ciremai yang mungkin saja
pada zona inti karena zonasi belum ada serta peraturan yang mengatur
pengelolaan kawasan konservasi saat ini belum mampu mengakomodasi
berbagai kepentingan yang berkembang di berbagai bidang. Oleh karena itu,
perlu dilakukan zonasi dalam Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan
kondisi aktual dan potensi masyarakat agar tidak mengancam kelestarian
taman nasional. Selain itu diperlukan juga kebijakan baru yang mengatur
pengelolaan kawasan konservasi, sehingga dapat mengakomodasi
kepentingan-kepentingan yang ada dan adaptif terhadap perubahan yang
terjadi di dalam maupun di luar kawasan yang efeknya mempengaruhi
pengelolaan kawasan konservasi.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya pada pasal 34 ayat (1): Pengelolaan taman
nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dilaksanakan oleh
pemerintah. Pemerintah di sini diartikan menteri yang berwenang dalam
bidang kehutanan (Departemen Kehutanan). Namun, karena kompleksitas
permasalahan dan konflik yang ada serta keterbatasan sumberdaya
(manusia, biaya dan sebagainya), sistem single player rasanya tidak
memadai lagi. Oleh karena itu, perlu ada ruang untuk kolaborasi antar pihak
dalam pengelolaan kawasan konservasi, seperti Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Namun, perlu
operasionalisasi dan perbaikan dari Peraturan Menteri Kehutanan ini.
Pada pasal 34 ayat (2): Di dalam zona pemanfaatan taman nasional,
taman hutan raya dan taman wisata alam dapat dibangun sarana
kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan. Pembangunan sarana
pariwisata ini dapat melibatkan masyarakat, namun pada Taman Nasional
61
Gunung Ciremai belum mempunyai rencana pengelolaan, sehingga arah
pengembangannya belum jelas. Oleh karena itu, perlu segera disusun
Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai yang berisi visi dan
misi serta arahan pengembangannya, dimana penyusunan rencana ini
dilakukan secara partisipatif.
Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Konservasi ini menyatakan: Untuk
kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak
pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan
taman wisata alam dengan mengikutsertakan rakyat. Meskipun sudah
terdapat beberapa peraturan yang mengatur pemanfaatan kawasan
konservasi untuk pengusahaan pariwisata alam, namun belum ada
mekanisme pengaturan retribusinya. Oleh karena itu, perlu peraturan
perundangan tentang pengaturan retribusi wisata alam yang berisi
mekanisme pembagian kewenangan dan manfaat (hak dan kewajiban) antar
stakeholders yang terlibat dalam pemanfaatan kawasan konservasi,
khususnya dalam pengusahaan pariwisata alam.
Undang-Undang ini secara substansial hanya memberi ruang yang
sempit bagi peran serta masyarakat seperti disebutkan pada pasal 37:
(1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui
berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna
(2) Dalam mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat
melalui pendidikan dan penyuluhan
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah
Rakyat yang dimaksud di atas ialah perorangan dan kelompok
masyarakat, baik yang terorganisasi, seperti LSM dan sebagainya maupun
tidak. Menurut Sembiring et al. (1999), Undang-Undang ini memberikan
pijakan dasar bagi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,
tetapi berkaitan dengan peran serta masyarakat sebaliknya, yaitu
memandulkan peran serta dan menyimpang dari pasal 6 Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
62
Berkaitan dengan desentralisasi, Undang-Undang ini membuka peluang
seperti pada pasal 38 ayat (1): Dalam rangka pelaksanaan konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, pemerintah dapat menyerahkan
sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintah di Daerah.
Pada penjelasan ayat di atas disebutkan, bahwa pemerintah pusat
selain dapat menyerahkan urusan di bidang konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya kepada Pemda juga dapat menugaskan Pemda
Tingkat I melaksanakan urusan tersebut sebagai tugas pembantuan. Namun
dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal ini kehilangan relevansinya.
4. Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Di samping Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang ini termasuk yang secara
komprehensif mengatur pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
Menurut pasal 1 butir 1: Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan,
ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta
memelihara kelangsungan hidupnya.
Asas dari Undang-Undang ini disebutkan pada pasal 2: Penataan ruang
berasaskan:
a. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya
guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan;
b. keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum
Pasal di atas memperlihatkan, bahwa telah ada kesadaran memasukkan
prinsip-prinsip demokrasi.
Sedangkan tujuan dari Undang-Undang ini dinyatakan pada pasal 3:
Penataan ruang bertujuan:
a. terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang
berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional;
b. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan
kawasan budidaya;
63
c. tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:
1) mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan
sejahtera;
2) mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan
sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia;
3) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan secara berdaya guna, berhasil guna dan tepat guna untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia;
4) mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta
menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan;
5) mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan
keamanan
Pasal 4 mengatur mengenai peran serta masyarakat secara jelas dan
tegas, yaitu pada ayat (2 b): Berperan serta dalam penyusunan rencana tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kewajiban
untuk berperan serta ditegaskan dalam pasal 5 ayat (1): Setiap orang
berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang.
Pada penjelasan pasal 4 ayat (2 b) disebutkan, bahwa setiap orang
berperan serta dalam penataan ruang dalam bentuk mengajukan usul,
memberi saran atau mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam
penataan ruang. Sedangkan kewajiban berperan serta dalam memelihara
kualitas ruang merupakan pencerminan rasa tanggung jawab sosial setiap
orang dalam pemanfaatan ruang.
Pasal 27 menyatakan:
(1) Gubernur kepala daerah tingkat I menyelenggarakan penataan ruang
wilayah provinsi daerah tingkat I
(2) Untuk Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, pelaksanaan penataan ruang
dilakukan gubernur kepala daerah dengan memperhatikan pertimbangan
dari departemen, lembaga dan badan-badan pemerintah lainnya serta
koordinasi dengan daerah sekitarnya sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang Nomor 11 tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah
Khusus Ibu Kota Negara Republik Indonesia Jakarta
(3) Apabila dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) terdapat hal-hal yang tidak dapat diselesaikan
64
di wilayah provinsi daerah tingkat I, maka diperlukan pertimbangan dan
persetujuan menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1)
Sedangkan pasal 28 menyebutkan:
(1) Bupati/walikotamadya kepala daerah tingkat II menyelenggarakan
penataan ruang wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II
(2) Apabila dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) terdapat hal-hal yang tidak dapat diselesaikan di wilayah
kabupaten/kotamadya daerah tingkat II, maka diperlukan pertimbangan
dan persetujuan gubernur kepala daerah tingkat I
Berdasarkan kedua pasal di atas terlihat, bahwa penataan ruang, baik
tingkat nasional, provinsi atau kabupaten/kotamadya dilakukan secara
terpadu dan tidak dipisah-pisahkan. Rencana tata ruang terdiri atas Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
(RTRWK).
5. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations
Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai Keanekaragaman Hayati)
Undang-Undang ini mengatur konservasi keanekaragaman hayati,
pemanfaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan dan membagi
keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan sumberdaya genetika
secara adil dan merata melalui akses yang memadai terhadap sumberdaya
genetika dengan alih teknologi yang tepat guna dan memperhatikan semua hak atas sumberdaya serta pendanaan yang memadai. Oleh karena itu,
pemilik sumberdaya alam memiliki hak atas pemanfaatan dan menggali sumber pendanaan, termasuk dari negara-negara lain untuk pengelolaan.
Hal ini ditegaskan dalam pasal 13 (b): Para pihak-pihak wajib bekerja sama
bila sesuai dengan negara-negara lain dan organisasi-organisasi
internasional dalam mengembangkan program-program pendidikan dan
kesadaran masyarakat di bidang konservasi dan pemanfaatan secara
berkelanjutan keanekaragaman hayati.
6. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Undang-Undang ini secara substansi dan ruang lingkup lebih maju
dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang
65
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup karena di
samping mempertahankan berbagai prinsip yang telah ada (hak berperan
serta dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat) juga terdapat
beberapa prinsip lainnya seperti pada pasal 5 ayat (2): Setiap orang
mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan
peran dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pasal 37 ayat (1):
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau
melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan
hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.
Pada pasal 5 ayat (3) secara tegas mengatur peran serta masyarakat
yang menyebutkan: Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam
rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pada penjelasannya, peran serta yang dimaksud
ialah peran serta dalam pengambilan keputusan, baik dengan cara
mengajukan keberatan maupun dengar pendapat atau cara lain yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, seperti penilaian Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), perumusan kebijaksanaan
lingkungan hidup dan sebagainya.
Mekanisme peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
hidup melalui cara-cara, seperti pada pasal 7 ayat (2):
a. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan;
b. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
c. menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan
pengawasan sosial;
d. memberikan saran pendapat;
e. menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan
7. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Hutan menurut pasal 1 butir 2: Hutan ialah suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumberdaya hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan lainnya
tidak dapat dipisahkan. Penguasaan hutan dinyatakan pada pasal 4:
66
(1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat
(2) Penguasaan hutan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberi wewenang kepada pemerintah untuk:
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau
kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang
dengan hutan serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai
kehutanan
(3) Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat
hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
Pasal di atas menjelaskan, bahwa hutan dikuasai oleh negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan tersebut memberi
wewenang kepada pemerintah untuk mengurus hutan. Namun, penguasaan
ini tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat adat sepanjang
kenyataannya masih ada.
Menurut pasal 5 ayat (1-2):
(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. hutan negara dan
b. hutan hak
(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa
hutan adat
Hal di atas, berarti berdasarkan statusnya hutan terdiri dari hutan
negara dan hutan hak, dimana hutan negara dapat berupa hutan adat.
Pengurusan hutan oleh pemerintah, maka pemerintah menetapkan hutan
berdasarkan fungsinya seperti disebutkan pada pasal 6 ayat (2): Pemerintah
menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut:
a. hutan konservasi,
b. hutan lindung dan
c. hutan produksi
67
Hutan konservasi pada pasal 7 menyebutkan: Hutan konservasi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari:
a. kawasan hutan suaka alam,
b. kawasan hutan pelestarian alam dan
c. taman buru
Pengurusan hutan lebih lanjut dijelaskan pada pasal 10:
(1) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) huruf a
bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serba
guna dan lestari untuk kemakmuran rakyat
(2) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi
kegiatan penyelenggaraan:
a. perencanaan kehutanan,
b. pengelolaan hutan,
c. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta
penyuluhan kehutanan dan
d. pengawasan
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan mempertimbangkan hal-hal
seperti pasal 17 ayat (2): Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat
unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik
lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi Daerah Aliran Sungai, sosial budaya,
ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat, termasuk masyarakat hukum
adat dan batas administrasi pemerintahan. Tampak, bahwa dalam
pengelolaan hutan banyak faktor yang harus dipertimbangkan, termasuk
sosial dan budaya masyarakat.
Tujuan pemanfaatan hutan dinyatakan pada pasal 23: Pemanfaatan
hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 huruf b bertujuan untuk
memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat
secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan
kawasan hutan ini dilakukan seperti pada pasal 24: Pemanfaatan kawasan
hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan, kecuali pada hutan cagar
alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Pasal ini tidak
memungkinkan memberikan akses lahan pada cagar alam, zona inti dan
rimba taman nasional. Padahal kebutuhan lahan tidak hanya karena alasan
ekonomi, tetapi juga sosial budaya. Jika budaya bertani tidak dapat
dilaksanakan karena wilayahnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi,
68
pengalihan/kompensasi yang baik perlu dilakukan. Apalagi pada Taman
Nasional Gunung Ciremai zonasi belum ada. Oleh karena itu, perlu penataan
pemanfaatan lahan dalam kawasan konservasi secara partisipatif.
Pemanfaatan hutan konservasi diatur oleh Undang-Undang Nomor 5
tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
sebagaimana dinyatakan pada pasal 25: Pemanfaatan kawasan hutan
pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penggunaan kawasan hutan dijelaskan pada pasal 38:
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan
produksi dan hutan lindung
(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan
(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan
melalui pemberian ijin pinjam pakai oleh menteri dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan
(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan
pola pertambangan terbuka
(5) Pemberian ijin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis dilakukan
oleh menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal di atas menyatakan, bahwa kepentingan pembangunan di luar
kehutanan hanya dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan
hutan produksi serta ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang
dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan
hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan dilarang. Kepentingan
pembangunan di luar kehutanan ialah kegiatan untuk tujuan strategis yang
tidak dapat dielakkan, seperti kegiatan pertambangan, pembangunan
jaringan listrik, telepon dan instalasi air, kepentingan religi serta kepentingan
pertahanan keamanan.
Tujuan perlindungan hutan dan konservasi alam dijelaskan pada pasal
46: Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan
menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung,
69
fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari.
Masyarakat dapat berpartisipasi dalam perlindungan hutan, seperti pasal 48
ayat (5): Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-
baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. Di
samping itu, pasal 51 ayat (1) berbunyi: Untuk menjamin terselenggaranya
perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan
sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus.
Pada pasal 60 ayat (1): Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
melakukan pengawasan kehutanan. Hal ini berarti, bahwa pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengawasan
kehutanan dimungkinkan. Pasal 61 menyebutkan: Pemerintah berkewajiban
melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Daerah. Ini berarti, pemerintah pusat masih memegang
pengawasan dalam pengelolaan sumberdaya hutan di daerah.
Pengawasan lebih lanjut dibunyikan pada pasal 62: Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap
pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Pasal ini berarti, pengawasan secara kolaboratif dimungkinkan. Selanjutnya
pengawasan diatur pada pasal 63: Dalam melaksanakan pengawasan
kehutanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 ayat (1), pemerintah dan
Pemerintah Daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta
keterangan dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan
hutan.
Pasal 66 ayat (1-2) berbunyi:
(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan
sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan
dalam rangka pengembangan otonomi daerah
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan dinyatakan pada
pasal 68:
(1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan
hutan
(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:
70
a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan
informasi kehutanan;
c. memberi informasi, saran serta pertimbangan dalam pembangunan
kehutanan dan
d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan
kehutanan, baik langsung maupun tidak langsung
(3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh
kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai
lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan
kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
(4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas
tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Hak masyarakat dalam pengelolaan hutan di atas dalam penjelasan
disebutkan dalam pengertian menikmati kualitas lingkungan, termasuk untuk
memperoleh manfaat sosial dan budaya bagi masyarakat yang tinggal di
dalam dan di sekitar hutan. Di samping itu, dimungkinkan adanya pemberian
kompensasi kepada masyarakat karena hilangnya akses terhadap hutan,
namun mekanisme pemberian kompensasi belum disusun. Oleh karena itu,
perlu didorong penyusunan mekanisme pemberian kompensasi kepada
masyarakat sekitar kawasan hutan karena kehilangan akses terhadap
sumberdaya hutan.
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan lebih lanjut juga
dinyatakan dalam pasal 69 ayat (1): Masyarakat berkewajiban untuk ikut
serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan
dan pasal 70 ayat (1): Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan
di bidang kehutanan.
8. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
Undang-Undang ini merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 11
tahun 1974 tentang Pengairan. Undang-Undang ini menyebutkan pentingnya
menjaga kelestarian air dan pengelolaan yang berwawasan lingkungan,
seperti dinyatakan pada pasal 2: Sumberdaya air dikelola berdasarkan asas
71
kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan
keserasian, keadilan, kemandirian serta transparansi dan akuntabilitas, pasal
3: Sumberdaya air dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air
yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan pasal 4:
Sumberdaya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras.
Meskipun telah menyebutkan secara eksplisit kepentingan konservasi
dan lingkungan hidup, Undang-Undang ini memasukkan privatisasi dalam pengelolaan sumberdaya air, seperti tercantum dalam pasal 79, 80 dan 81
berikut ini:
a. Pasal 79
(1) Pembiayaan pengelolaan sumberdaya air sebagaimana dimaksud
dalam pasal 77 ayat (1) yang ditujukan untuk pengusahaan
sumberdaya air yang diselenggarakan oleh koperasi, Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah pengelola sumberdaya air,
badan usaha lain dan perseorangan ditanggung oleh masing-masing
yang bersangkutan
(2) Untuk pelayanan sosial, kesejahteraan dan keselamatan umum,
pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam batas-batas tertentu dapat
memberikan bantuan biaya pengelolaan kepada Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah pengelola sumber daya air
b. Pasal 80
(1) Pengguna sumberdaya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-
hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan
sumberdaya air
(2) Pengguna sumberdaya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menanggung biaya jasa pengelolaan sumberdaya air
(3) Penentuan besarnya biaya jasa pengelolaan sumberdaya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada perhitungan
ekonomi rasional yang dapat dipertanggungjawabkan
(4) Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumberdaya air untuk
setiap jenis penggunaan sumberdaya air didasarkan pada
pertimbangan kemampuan ekonomi kelompok pengguna dan volume
penggunaan sumberdaya air
72
(5) Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumberdaya air untuk
jenis penggunaan non usaha dikecualikan dari perhitungan ekonomi
rasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
(6) Pengelola sumberdaya air berhak atas hasil penerimaan dana yang
dipungut dari para pengguna jasa pengelolaan sumberdaya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
(7) Dana yang dipungut dari para pengguna sumberdaya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dipergunakan untuk
mendukung terselenggaranya kelangsungan pengelolaan
sumberdaya air pada wilayah sungai yang bersangkutan
c. Pasal 81
Ketentuan mengenai pembiayaan pengelolaan sumberdaya air
sebagaimana dimaksud dalam pasal 77, pasal 78, pasal 79 dan pasal 80
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
9. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang ini yang merupakan pengganti dari Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan
kepada pemerintah pusat untuk menyerahkan berbagai kewenangan kepada
Pemda. Penyerahan kewenangan itu menurut pasal 1 butir 7-9:
7. Desentralisasi ialah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia
8. Dekonsentrasi ialah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu
9. Tugas pembantuan ialah penugasan dari pemerintah kepada daerah
dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu
Sedangkan butir 19: Kawasan khusus ialah bagian wilayah dalam
provinsi dan/atau kabupaten/kota yang ditetapkan oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi
kepentingan nasional. Secara rinci ketentuan mengenai kawasan khusus
ini diatur dalam pasal 9 ayat (1–6):
73
(1) Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat
khusus bagi kepentingan nasional, pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota
(2) Fungsi pemerintahan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas ditetapkan dengan
Undang-Undang
(3) Fungsi pemerintahan tertentu selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah
(4) Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3), pemerintah mengikutsertakan daerah yang bersangkutan
(5) Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemerintah
(6) Tata cara penetapan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah
Berdasarkan pasal-pasal di atas terlihat, bahwa penetapan suatu kawasan khusus tidak hanya memperhatikan kekhasan dan keinginan daerah, tetapi juga harus menyangkut kepentingan nasional dan tata cara penetapan kawasan khusus, selain kawasan khusus perdagangan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
10. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Desentralisasi administratif, fiskal dan politik tidak dapat dipisahkan,
maka Undang-Undang ini yang mendasari desentralisasi fiskal merupakan
peraturan perundang-undangan yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Daerah memperoleh
porsi yang cukup besar dari dana perimbangan sumberdaya alam,
khususnya kehutanan seperti disebut pada pasal 14 (a–b):
74
a. penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak
Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan
imbangan 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah dan 80% (delapan
puluh persen) untuk daerah;
b. penerimaan kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi (DR) dibagi
dengan imbangan sebesar 60% (enam puluh persen) untuk pemerintah
dan 40% (empat puluh persen) untuk daerah;
Dana perimbangan yang diterima daerah di atas, kemudian
didistribusikan dengan perincian seperti pada pasal 15:
(1) Dana Bagi Hasil (DBH) dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan
(IHPH) yang menjadi bagian daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal
14 huruf a dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi dan
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil
(2) Dana Bagi Hasil (DBH) dari penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan
(PSDH) yang menjadi bagian daerah sebagaimana dimaksud dalam
pasal 14 huruf a dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil dan
c. 32% (tiga puluh dua persen) dibagikan dengan porsi yang sama besar
untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan
Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman
Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat ada
sebanyak tujuh buah, yaitu:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya
dan Taman Wisata Alam
Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan dari pasal
31 dan 34 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengusahaan pariwisata alam
dapat dilakukan oleh koperasi, BUMN, perusahaan swasta dan perorangan
untuk jangka waktu paling lama 30 tahun sesuai dengan jenis usahanya.
Sedangkan ijin pengusahaan pariwisata alam disebutkan dalam pasal 5 ayat
(3): Izin pengusahaan pariwisata alam diberikan oleh menteri setelah
75
mendapat pertimbangan dari menteri yang bertanggung jawab di bidang
kepariwisataan dan gubernur kepala daerah tingkat I yang bersangkutan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam
Penataan Ruang
Peraturan Pemerintah ini terdiri dari 6 bab dan 32 pasal yang memuat
tentang pelaksanaan hak dan kewajiban masyarakat, bentuk peran serta
masyarakat, tata cara peran serta masyarakat dan pembinaan peran serta
masyarakat. Menurut pasal 1 butir 11: Peran serta masyarakat ialah
berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan keinginan
sendiri di tengah masyarakat untuk berminat dan bergerak dalam
penyelenggaraan penataan ruang.
Pada pasal 2 disebutkan: Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat
berhak:
a. berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang;
b. mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata
ruang kawasan dan rencana rinci tata ruang kawasan;
c. menikmati manfaat ruang dan atau pertambahan nilai ruang sebagai
akibat dari penataan ruang;
d. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya
sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
rencana tata ruang
Konsekuensi dari hak untuk peran serta masyarakat di atas, berarti
masyarakat berhak menikmati ruang dan atau pertambahan nilai ruang
sebagai akibat dari penataan ruang dan memperoleh penggantian yang layak
atas kondisi yang dialaminya karena pelaksanaan kegiatan pembangunan
yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Bentuk peran serta yang terdapat dalam penataan ruang wilayah
nasional dinyatakan dalam pasal 8: Peran serta masyarakat dalam proses
perencanaan tata ruang wilayah nasional, termasuk kawasan tertentu dapat
berbentuk:
76
a. pemberian masukan dalam penentuan arah pengembangan wilayah
nasional, termasuk kawasan tertentu yang ditetapkan;
b. pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan,
termasuk bantuan untuk memperjelas hak atas ruang wilayah, termasuk
kawasan tertentu;
c. pemberian masukan dalam perumusan Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, termasuk kawasan tertentu;
d. pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam
penyusunan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang
wilayah negara, termasuk perencanaan tata ruang kawasan tertentu;
e. pengajuan keberatan terhadap rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, termasuk kawasan tertentu;
f. kerja sama dalam penelitian dan pengembangan;
g. bantuan tenaga ahli
Bentuk peran serta yang terdapat di provinsi dan kabupaten tidak
berbeda dengan peran serta yang terdapat dalam penataan ruang wilayah
nasional. Namun, bentuk-bentuk peran serta masyarakat di atas tidak
menyangkut peran serta dalam pembuatan keputusan karena berbagai
bentuk peran di atas tidak ada peran serta masyarakat dalam pembuatan
keputusan.
Peran serta masyarakat yang dicantumkan di atas juga hanya bersifat
konsultatif, yaitu berbagai masukan dan pendapat ditampung, namun
keputusan tetap berada di tangan pemerintah. Hal ini berarti, pendapat dan
keberatan masyarakat boleh, tetapi bisa saja tidak akan mempengaruhi
pengambilan keputusan atau peran serta yang diberikan hanya bersifat semu
dan tidak bersifat kemitraan.
Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah nasional bentuknya seperti pasal 9 dan 11
berikut:
a. Pasal 9
Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional
dapat berbentuk:
a. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan
kebijaksanaan pemanfaatan ruang;
b bantuan teknik dan pengelolaan pemanfaatan ruang
77
b. Pasal 11
Peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
nasional, termasuk kawasan tertentu dapat berbentuk:
a. pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah nasional dan
kawasan tertentu, termasuk pemberian informasi atau laporan
pelaksanaan pemanfaatan ruang dan atau
b. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban
pemanfaatan ruang
Berdasarkan pasal-pasal di atas terlihat, bahwa masyarakat sudah
berperan serta dalam tata ruang, tetapi peluang partisipasi ini belum
dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat karena kurangnya informasi.
Oleh karena itu, perlu penyebarluasan informasi mengenai peluang-peluang
peran serta dalam tata ruang.
Pada pasal 30 ayat (4), pemerintah menyelenggarakan pembinaan
untuk menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran, memberdayakan
serta meningkatkan tanggung jawab masyarakat dalam penataan ruang
melalui:
a. memberikan dan menyelenggarakan penyuluhan, bimbingan, dorongan,
pengayoman, pelayanan, bantuan teknik, bantuan hukum, pendidikan dan
atau pelatihan;
b. menyebarluaskan semua informasi mengenai proses penataan ruang
kepada masyarakat secara terbuka;
c. mengumumkan dan menyebarluaskan rencana tata ruang kepada
masyarakat;
d. menghormati hak yang dimiliki masyarakat;
e. memberikan penggantian yang layak kepada masyarakat atas kondisi
yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan
yang sesuai dengan rencana tata ruang;
f. melindungi hak masyarakat untuk berperan serta dalam proses
perencanaan tata ruang, menikmati pemanfaatan ruang yang berkualitas
dan pertambahan nilai ruang akibat rencana tata ruang yang ditetapkan
serta dalam menaati rencana tata ruang;
g. memperhatikan dan menindaklanjuti saran, usul atau keberatan dari
masyarakat dalam rangka peningkatan mutu penataan ruang
78
Hal di atas sesuai dengan pasal 30 ayat (2): Masyarakat dapat memprakarsai
upaya peningkatan tata laksana hak dan kewajiban masyarakat dalam
penataan ruang melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan atau pelatihan
untuk tercapainya tujuan penataan ruang.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional
Pengelolaan kawasan lindung dinyatakan dalam pasal 40 ayat (3): Pola
pengelolaan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi
langkah-langkah pengelolaan kawasan lindung dan pengendalian
pemanfaatan ruang di kawasan lindung. Berdasarkan pasal ini terlihat,
bahwa pemanfaatan di kawasan lindung terbatas dan hanya diutamakan
untuk kepentingan perlindungan. Oleh karena itu, penataan ruang di
kawasan lindung perlu didorong melalui proses partisipatif, sehingga
menjamin perlindungan fungsi kawasan lindung.
Pasal 42 ayat (1) menyatakan: Pengendalian pemanfaatan ruang di
kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (3) dilakukan
oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan wilayah administrasinya dan/atau
instansi yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini berarti, tata ruang kawasan lindung diintegrasikan dengan
pembangunan wilayah dan kebutuhan lokal, tetapi penentuan kawasan
lindung dilakukan pemerintah pusat. Oleh karena itu, perlu pelibatan Pemda
dan stakeholders lokal dalam penentuan kawasan dan penyusunan tata
ruang kawasan lindung.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam
Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Tujuan dan fungsi pengelolaan kawasan suaka alam dan
kawasan pelestarian alam dinyatakan dalam pasal 3: Pengelolaan kawasan
suaka alam dan kawasan pelestarian alam bertujuan mengusahakan
terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan
ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan dan pasal 4: Pengelolaan
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam dilakukan sesuai dengan
fungsi kawasan:
79
a. sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau
satwa beserta ekosistemnya;
c. untuk pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya
Hal-hal di atas berarti, pengelolaan kawasan konservasi harus
memperhatikan fungsi kawasan. Padahal di Taman Nasional Gunung
Ciremai belum ada pembagian zona, sehingga perlu didorong penyusunan
zonasi secara partisipatif.
Pada pasal 35: Pengelolaan kawasan taman nasional, taman hutan
raya dan taman wisata alam dilakukan oleh pemerintah. Berdasarkan pasal
di atas terlihat, bahwa pemerintah atau Menteri Kehutanan bertugas
mengelola taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom
Pada pasal 2 ayat (3): Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dikelompokkan dalam bidang, sebagai berikut:
4. Bidang kehutanan dan perkebunan:
a. Penetapan kriteria dan standar pengurusan hutan, kawasan suaka
alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan areal perkebunan
b. Penetapan kriteria dan standar pengurusan inventarisasi, pengukuhan
dan penatagunaan kawasan hutan, kawasan suaka alam, kawasan
pelestarian alam dan taman buru
c. Penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsinya
d. Penetapan kriteria dan standar pembentukan wilayah pengelolaan
hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman
buru
e. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan
pelestarian alam dan taman buru, termasuk Daerah Aliran Sungai di
dalamnya
Menurut pasal di atas, konservasi ditangani pemerintah pusat, tetapi kriteria
dan indikator lokal tidak diakomodasi dalam pengurusannya. Oleh karena itu,
perlu mekanisme pembangunan kriteria dan indikator lokal dalam
pengurusannya.
80
6. Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
Pengertian dari perlindungan hutan dari Peraturan Pemerintah ini
terdapat pada pasal 1 butir 1: Perlindungan hutan ialah usaha untuk
mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan
yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya
alam, hama dan penyakit serta mempertahankan dan menjaga hak-hak
negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan,
investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Pengaturan kegiatan perlindungan hutan dilaksanakan pada seluruh
kawasan hutan sebagaimana dinyatakan pada pasal 2 ayat (2): Kegiatan
perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada
wilayah hutan dalam bentuk unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan
Konservasi (KPHK), unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL)
dan unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP).
Perlindungan hutan yang diatur pada Peraturan Pemerintah ini sudah
bersifat desentralisasi, seperti pada pasal 3 ayat (1) menyebutkan:
Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada pasal 2 menjadi
kewenangan pemerintah dan atau Pemerintah Daerah. Sedangkan tujuan
dari perlindungan hutan disebutkan pada pasal 5: Penyelenggaraan
perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan
hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi
produksi tercapai secara optimal dan lestari.
Hal yang kontroversial dari Peraturan Pemerintah ini ialah dimuatnya
ketentuan mengenai sanksi pidana yang seharusnya hanya dimuat pada
Undang-Undang atau Peraturan Daerah. Ketentuan mengenai sanksi pidana
dimuat pada pasal 42: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada pasal 12 ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh
milyar rupiah) sebagaimana dimaksud pada pasal 78 ayat (7) Undang-
Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan pasal 43: Setiap orang
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 14 ayat (2)
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) sebagaimana
dimaksud pada pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan.
81
7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
Pemanfaatan hutan dinyatakan pada pasal 1 butir 4: Pemanfaatan
hutan ialah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan
jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta
memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk
kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.
Pemanfaatan hutan lebih lanjut disebutkan pada pasal 18: Pemanfaatan
hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dapat dilakukan pada seluruh
kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (2), yaitu
kawasan:
a. hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba dan zona inti
dalam taman nasional;
b. hutan lindung dan
c. hutan produksi
Hal ini berarti, bahwa pemanfaatan hutan di taman nasional hanya pada zona
tertentu. Padahal zonasi pada Taman Nasional Gunung Ciremai belum
ditetapkan, maka perlu penetapan zonasi secara partisipatif.
Pemanfaatan hutan pada hutan konservasi dinyatakan pada pasal 22:
Pada hutan konservasi, pemberian ijin pemanfaatan hutan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 17 harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Ijin pemanfaatan hutan pada pasal 17 terdiri dari:
a. Pemanfaatan kawasan
b. Pemanfaatan jasa lingkungan
c. Pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu
d. Pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu
Menurut pasal 1 butir 5: Pemanfaatan kawasan hutan ialah kegiatan
untuk memanfaatkan ruang tumbuh, sehingga diperoleh manfaat lingkungan,
manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak
mengurangi fungsi utamanya, butir 6: Pemanfaatan jasa lingkungan ialah
kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak
lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, butir 7: Pemanfaatan hasil
hutan kayu ialah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil
hutan, berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi
fungsi pokoknya, butir 8: Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu ialah kegiatan
82
untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan, berupa bukan kayu
dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya dan
butir 9: Pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu ialah kegiatan
untuk mengambil hasil hutan, baik berupa kayu dan/atau bukan kayu dengan
batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu.
Pemberdayaan masyarakat setempat disebutkan pada pasal 83:
(1) Untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil
dilakukan pemberdayaan masyarakat setempat melalui pengembangan
kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan
kesejahteraannya
(2) Pemberdayaan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan kewajiban pemerintah, provinsi, kabupaten/kota yang
pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Kepala KPH
Usaha pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilakukan seperti
pasal 84: Pemberdayaan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud
dalam pasal 84 ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a. hutan desa;
b. hutan kemasyarakatan; atau
c. kemitraan
Pemberdayaan masyarakat setempat pada areal hutan yang belum dibebani
ijin pemanfaatan hutan atau hak pengelolaan hutan dilakukan melalui hutan
desa dan hutan kemasyarakatan. Sedangkan pada areal hutan yang telah
dibebani ijin pemanfaatan hutan atau hak pengelolaan hutan dilakukan
melalui pola kemitraan.
Peraturan Presiden yang mengatur tentang kebijakan PHBM di Taman
Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat hanya
terdapat pada Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung. Ruang lingkup dari kawasan lindung pada Keputusan
Presiden ini terdapat pada pasal 3, 4, 5 dan 6. Pasal 3 menyebutkan: Kawasan
lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 meliputi:
1. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya
2. Kawasan perlindungan setempat
3. Kawasan suaka alam dan cagar budaya
4. Kawasan rawan bencana alam
83
Pasal 4 menyatakan: Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan
bawahannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari:
1. Kawasan hutan lindung
2. Kawasan bergambut
3. Kawasan resapan air
Pasal 5 berbunyi: Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud
dalam pasal 3 terdiri dari:
1. Sempadan pantai
2. Sempadan sungai
3. Kawasan sekitar danau/waduk
4. Kawasan sekitar mata air
Sedangkan pasal 6 menyebutkan: Kawasan suaka alam dan cagar budaya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari:
1. Kawasan suaka alam
2. Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya
3. Kawasan pantai berhutan bakau
4. Taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam
5. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan
Pada pasal 36 menyinggung mengenai keterlibatan masyarakat, sebagai
berikut:
(1) Pemerintah Daerah tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat akan
tanggung jawabnya dalam pengelolaan kawasan lindung
(2) Pemerintah Daerah tingkat I dan tingkat II mengumumkan kawasan-kawasan
lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 kepada masyarakat
Pasal di atas menyatakan peran serta masyarakat bukan merupakan suatu hal
yang penting dalam pengelolaan kawasan lindung dan masyarakat hanya
sebagai objek yang perlu dikembangkan kesadarannya melalui tanggung jawab
terhadap kawasan lindung.
Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan yang berkaitan dengan kebijakan
PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa
Barat cukup banyak seperti yang terlihat pada Tabel 26 berikut.
84
Tabel 26. Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
No. Peraturan Daerah Tentang
1 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 28 tahun 2001
Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada) tahun 2002
2 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 15 tahun 2002
Ketentuan ijin pengelolaan air bawah tanah dan irigasi
3 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 35 tahun 2002
Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada) tahun 2003
4 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 38 tahun 2002
Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Gunung Ciremai
5 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 18 tahun 2003
Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kepada desa
6 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 6 tahun 2004
Pola dasar pembangunan daerah Kabupaten Kuningan tahun 2004-2008
7 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 7 tahun 2004
Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kabupaten Kuningan tahun 2004-2008
8 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 8 tahun 2004
Rencana Strategis (Renstra) Kabupaten Kuningan tahun 2004-2008
9 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 14 tahun 2004
Penyelenggaraan pendakian Gunung Ciremai
10 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 15 tahun 2004
Retribusi ijin pendakian Gunung Ciremai
11 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 21 tahun 2004
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Kuningan sampai dengan tahun 2013
Sebagaimana dinyatakan di atas, peraturan yang menyangkut kebijakan
PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa
Barat terdiri atas peraturan yang disebutkan secara langsung oleh Undang-
Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dan peraturan yang tidak disebutkan secara langsung dalam Undang-
Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, tetapi mengacu kepada salah satu peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, diantaranya Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan
Bupati dan sebagainya.
Peraturan Menteri yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman
Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat cukup
banyak, baik keputusan bersama, Keputusan Menteri Kehutanan maupun
keputusan menteri terkait lainnya seperti terlihat pada Tabel 27 berikut.
85
Tabel 27. Peraturan menteri yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
No. Peraturan Menteri Tentang
1 Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Nomor 23 tahun 1979 dan KEP-002/MNPPLH/2/1979
Instansi pengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup di daerah
2 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 167/Kpts-II/1994
Sarana dan prasarana pengusahaan pariwisata alam di kawasan pelestarian alam
3 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 446/Kpts-II/1996
Tata cara permohonan, pemberian dan pencabutan ijin pengusahaan pariwisata alam
4 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/1996
Pembinaan dan pengawasan pengusahaan pariwisata alam
5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 1998
Tata cara peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang di daerah
6 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002
Organisasi dan tata kerja balai taman nasional
7 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6187/Kpts-II/2002
Organisasi dan tata kerja Balai Konservasi Sumberdaya Alam
8 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 390/Kpts-II/2003
Tata cara kerja sama di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
9 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2004
Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dalam rangka social forestry
10 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004
Kolaborasi pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
11 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.424/Menhut-II/2004
Perubahan fungsi kawasan hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai seluas 15.500 Ha terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai
Peraturan Bupati Kuningan mengenai kebijakan PHBM di Taman Nasional
Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat ada beberapa buah
seperti terlihat pada Tabel 28 berikut.
86
Tabel 28. Keputusan Bupati Kuningan mengenai kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
No. Keputusan Bupati Tentang
1 Keputusan Bupati Kuningan Nomor 522/KPTS.455-KLH/2002
Pembentukan Lembaga Pelayanan Implementasi Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Kabupaten Kuningan
2 Keputusan Bupati Kuningan Nomor 522/KPTS.524-HUTBUN/2003
Pembentukan Forum Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Kabupaten Kuningan
3 Keputusan Bupati Kuningan Nomor 660.I/KPTS.49-Hutbun/2005
Pembentukan tim sosialisasi perubahan fungsi kelompok hutan Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan
4 Keputusan Bupati Kuningan Nomor 188.45/Kep.17-Hutbun/2005
Pedoman pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 14 tahun 2004 tentang penyelenggaraan pendakian Gunung Ciremai
5 Keputusan Bupati Kuningan Nomor 361/Kep.18-Hutbun/2005
Pembentukan Dewan Pengelola Pendakian Gunung Ciremai (DPPGC)
6 Peraturan Bupati Kuningan Nomor 4 tahun 2005
Kewenangan camat dalam Kabupaten Kuningan
7 Keputusan Bupati Kuningan Nomor 522.81/KPTS.251-Dishutbun/2005
Pembentukan tim pengkaji pengelolaan taman nasional kolaboratif pada kelompok hutan Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan
Berdasarkan substansi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat di atas, yaitu pasal 25
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pemanfaatan taman
nasional yang merupakan bagian dari kawasan hutan pelestarian alam diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan pada pasal 22 menyatakan: Pada hutan konservasi,
pemberian ijin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 harus
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ijin pemanfaatan
hutan pada pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
87
dan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
terdiri dari:
1. Pemanfaatan kawasan
2. Pemanfaatan jasa lingkungan
3. Pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu
4. Pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu
Hal ini berarti, bahwa pada Taman Nasional Gunung Ciremai dapat dilakukan
PHBM berbasis lahan, seperti tumpang sari dan sebagainya serta non lahan,
seperti pendakian Gunung Ciremai dan sebagainya.
Namun, jika dilihat pada pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kegiatan yang
dapat dilakukan di taman nasional hanya penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam serta kegiatan inipun
dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokoknya. Ini berarti, hanya PHBM yang
berbasis non lahan saja yang dapat dilaksanakan di Taman Nasional Gunung
Ciremai. Padahal sampai saat ini, PHBM yang sudah berkembang hanya
berbasis lahan dan PHBM berbasis non lahan baru pada tahap awal. Oleh
karena itu, ke depannya PHBM berbasis non lahan harus dikembangkan dan
PHBM berbasis lahan pelan-pelan dikurangi.
Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal
24, pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan,
kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman
nasional. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 32, zona rimba
termasuk pada zona lain yang kawasan hutannya dapat dimanfaatkan. Hal ini
berarti, bahwa terdapatnya inkonsistensi antara peraturan perundang-undangan,
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Inkonsistensi substansi kebijakan
di atas dapat dilihat pada Tabel 29 berikut.
88
Tabel 29. Inkonsistensi substansi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
No. Peraturan Perundang-
undangan Pasal Pemanfaatan Hutan
1 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
24 Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan, kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional
25 Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
28 (1) Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu
2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
22 Pada hutan konservasi, pemberian ijin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
17 (1) Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat
(2) Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kegiatan: a. pemanfaatan kawasan; b. pemanfaatan jasa
lingkungan; c. pemanfaatan hasil hutan
kayu dan bukan kayu dan d. pemungutan hasil hutan
kayu dan bukan kayu (3) Pemanfaatan hutan
dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, pasal 14, pasal 15 dan pasal 16
89
Tabel 29. (lanjutan)
No. Peraturan Perundang-undangan
Pasal Pemanfaatan Hutan
3 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
31 (1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan
32 Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan
Di samping itu, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan pasal 68 ayat 3, masyarakat di sekitar taman nasional berhak
memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan taman nasional
sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun,
peraturan pelaksanaannya belum ada, maka perlu didorong penyusunan
peraturan pelaksanaannya.
5.2. Implementasi dan Dampak Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Implementasi dan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat disurvey pada tiga desa
sampel secara purpossive yang tersebar merata di Utara, tengah dan Selatan
Taman Nasional Gunung Ciremai, yaitu Desa Padabeunghar (Kecamatan
Pasawahan), Desa Linggarjati (Kecamatan Cilimus) dan Desa Karangsari
(Kecamatan Darma).
A. Implementasi Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
Implementasi kebijakan PHBM terdiri atas beberapa tahapan, yaitu
sosialisasi, pembentukan Forum PHBM, pemetaan, inventori, perencanaan
desa, NKB, NPK dan Peraturan Desa. PHBM yang mulai diimplementasikan
90
sejak tahun 2001 di Kabupaten Kuningan telah mencapai hasil-hasil, seperti
Tabel 30. Perinciannya dapat dilihat pada Lampiran 6.
Tabel 30. Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun
2001-2004
NKB NPK No. Tahun Desa Desa % Luas (Ha) Desa % Luas (Ha) % 1 2001 3 3 100,00 123,35 3 100,00 123,35 100,00 2 2002 36 26 72,22 11.394,74 5 13,89 281,25 2,47 3 2003 60 39 65,00 8.365,19 3 5,00 296,79 3,55 4 2004 32 11 34,38 971,54 3 9,38 135,75 13,97
Jumlah 131 79 20.854,82 14 837,14 Sumber: LPI-PHBM Kabupaten Kuningan
Fungsi hutan Gunung Ciremai pada NPK di atas ialah hutan lindung
dan hutan produksi. Pada akhir tahun 2003 keluar Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di
Wilayah Provinsi Jawa Barat Seluas ± 816.603 Ha yang merubah fungsi
hutan Gunung Ciremai menjadi hutan lindung. Konsekuensi dari perubahan
ini ialah NPK yang berbasis kayu, hak bagi hasil masyarakat ditanggung oleh
Perum Perhutani. Sedangkan pada areal yang tegakannya jarang dilakukan
pengkayaan dengan jenis Multi Purpose Tree Species (MPTS) dan pada
areal kosong Perum Perhutani dan masyarakat melakukan rehabilitasi lahan
dengan komposisi tanaman hutan dan MPTS sekitar 60-40 sampai 70-30.
Kesepakatan di atas dilakukan melalui musyawarah Perum Perhutani dengan
masyarakat melalui Forum PHBM Desa.
Implementasi kebijakan PHBM yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Kuningan tahun 2005 terdapat pada Tabel 31
berikut.
Tabel 31. Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun
2005
No. Kegiatan/Kecamatan Desa A Pembuatan persemaian
1 Cibeureum Cimara 2 Garawangi Gewok 3 Selajambe Padahurip 4 Hantara Bunigeulis 5 Darma Cimenga 6 Cilebak Cilebak
91
Tabel 31. (lanjutan)
No. Kegiatan/Kecamatan Desa
B Bantuan dana bergulir sebesar Rp 30.000.000,-
1 Selajambe Kutawaringin 2 Nusaherang Haurkuning 3 Cilimus Linggarjati 4 Garawangi Pakembangan 5 Hantara Citapen
C Sosialisasi Taman Nasional Gunung Ciremai
1 Pasawahan Padabeunghar, Kaduela, Pasawahan, Padamatang, Singkup dan Cibuntu
2 Mandirancan Seda, Randobawagirang dan Trijaya 3 Cilimus Cibeureum, Setianegara, Linggarjati,
Linggasana dan Bandorasakulon 4 Jalaksana Sayana, Sangkanherang, Sukamukti
dan Babakanmulya 5 Kramatmulya Pajambon 6 Cigugur Cisantana dan Puncak 7 Darma Gunungsirah, Karangsari dan
Sagarahiang
D Pengkajian pengelolaan hutan kolaboratif
E Pembinaan fasilitator PHBM tingkat kecamatan sebanyak 100 orang
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan
Sebelum lembaga resmi dibentuk, BKSDA II Provinsi Jawa Barat
ditunjuk sebagai pengelola sementara Taman Nasional Gunung Ciremai
dengan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam Nomor SK.140/IV/Set-3/2004 tentang Penunjukan BKSDA II Provinsi
Jawa Barat sebagai Pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai. Sampai
saat ini proses pembentukan lembaga pengelola Taman Nasional Gunung
Ciremai ialah surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
B/1027/M.Pan/4/2006 tentang Usul Pembentukan Unit Pelaksana Teknis
Balai Taman Nasional Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Departemen Kehutanan. Di samping itu, dokumen
Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai juga sedang dalam
proses penyusunan oleh Universitas Kuningan saat ini.
BKSDA II Provinsi Jawa Barat sebagai pengelola sementara Taman
Nasional Gunung Ciremai dalam rangka kegiatan Gerakan Rehabilitasi Hutan
92
dan Lahan (Gerhan) tahun 2005 telah melaksanakan penanaman dan
pengkayaan seluas 400 Ha dengan jenis peutag, huni, salam, puspa, ki hujan
dan manglid. Perinciannya dapat dilihat pada Lampiran 7. Selain itu juga
sudah disepakati NPK antara Pemda Kabupaten Kuningan dengan BKSDA II
Provinsi Jawa Barat dalam bidang pengembangan wisata alam dan
pemanfaatan jasa lingkungan Nomor 522.82/678/Hutbun dan S.2150/IV-
K.12/2006. Sebagai tindak lanjut dari NPK di atas juga telah disepakati NKB
antara BKSDA II Provinsi Jawa Barat dengan Pemerintah Desa Setianegara,
Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan tentang Implementasi Sistem
PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai Nomor S.950/IV-K.12/2006 dan
8213/18/IV/Des/2006 dan Nota Perjanjian Kemitraan antara BKSDA II
Provinsi Jawa Barat dengan Pondok Pesantren Madinatunnajah tentang
Pengelolaan Sumberdaya Alam melalui Pendidikan Konservasi di Taman
Nasional Gunung Ciremai Nomor S.901/IV-K.12/2006. Hal ini karena akses
masyarakat di dalam kawasan hutan sebelumnya sudah berkekuatan hukum,
sehingga perlu adanya kekuatan hukum baru meskipun berganti Pemegang
Otoritas Pengelolaan (POP).
Dalam rangka melanjutkan implementasi PHBM, Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Kuningan tahun 2006 melaksanakan kegiatan
Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan dengan
rincian, sebagai berikut:
1. Pelatihan lebah madu sebanyak dua kelompok
2. Bantuan dana bergulir sebesar Rp 20.000.000,-
3. Pemberian alat lebah madu sebanyak satu paket
4. Pertemuan teknis pembinaan Forum PHBM
Saat ini sedang dibahas draft Memorandum of Understanding (MoU)
yang memayungi kepentingan para pihak di Kabupaten Kuningan dengan
Departemen Kehutanan dan juga dibentuk Tim Pengkajian Pengelolaan
Taman Nasional Gunung Ciremai melalui Keputusan Bupati Kuningan Nomor
522.81/KPTS.251-Dishutbun/2005 tentang Tim Pengkaji Pengelolaan Taman
Nasional Gunung Ciremai Kolaboratif yang meliputi tiga Kelompok Kerja
(Pokja), yaitu Pokja Review Kebijakan, Penyusunan Kelembagaan dan
Penyusunan Zonasi. Pokja Kebijakan telah menyusun naskah Nota
Kesepahaman antara Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Konservasi Alam
dengan Bupati Kuningan tentang Pengelolaan Kawasan Taman Nasional
93
Gunung Ciremai. Draft Kelembagaan Kolaborasi Taman Nasional Gunung
Ciremai tingkat regional, terdiri dari Balai Taman Nasional Gunung Ciremai,
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, perguruan tinggi, LSM,
masyarakat dan dunia usaha. Sedangkan draft Kelembagaan Kolaborasi
Taman Nasional Gunung Ciremai tingkat kabupaten, kecamatan dan desa,
terdiri dari Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, Pemda, masyarakat dan
pihak lainnya. Draft model-model zonasi dan kriterianya dinilai dari aspek
ekologi, sosial dan ekonomi dengan bentuk-bentuk zona, yaitu zona inti, zona
rimba, zona pemanfaatan (terbatas dan tradisional) dan zona rehabilitasi.
Pendanaan untuk implementasi kebijakan PHBM bersumber dari
Pemda Kabupaten Kuningan, Perum Perhutani dan lembaga donor melalui
LSM dengan alokasi sebagaimana pada Tabel 32. Dana dari Perum
Perhutani untuk menunjang kegiatan penguatan kelembagaan dan tenaga
fasilitator. Sedangkan dana dari Pemda Kabupaten Kuningan dan lembaga
donor bersifat sinergi untuk penguatan kelembagaan dan pemberdayaan
masyarakat. Dana dari lembaga donor cukup signifikan dan hal ini sangat
membantu karena dana dari Pemda Kabupaten Kuningan baru pada akhir
tahun, sehingga pelaksanaan PHBM di Kabupaten Kuningan tidak terhambat.
Tabel 32. Dana dari lembaga donor, Pemda Kabupaten Kuningan dan
Perum Perhutani untuk implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun 2002-2005
Tahun (000 Rp) No. Instansi 2002 2003 2004 2005 Jumlah (000 Rp)
1 Lembaga donor
178.000,- 396.000,- 367.000,- - 941.000,-
2 Pemda Kabupaten Kuningan
200.000,- 500.000,- 500.000,- 100.000,- 1.300.000,-
3 Perum Perhutani
368.000,- 200.000,- 70.000,- - 638.000,-
Jumlah 746.000,- 1.096.000,- 937.000,- 100.000,- 2.879.000,- Sumber: LPI-PHBM Kabupaten Kuningan
Implementasi kebijakan PHBM pada tiga desa sampel terdapat pada
Tabel 33 berikut.
94
Tabel 33. Implementasi kebijakan PHBM pada tiga desa sampel
NPK No. Desa Kecamatan BKPH RPH Tahun NKB (Ha) Luas (Ha) % 1 Padabeunghar Pasawahan Linggarjati Pasawahan 2002 1.200,46 36,90 3,07 2 Linggarjati Cilimus Linggarjati Setianegara
dan Jalaksana
2003 394,83 42,26 10,70
3 Karangsari Darma Linggarjati Darma 2003 72,63 - - Jumlah 1.667,92 79,16
Sumber: LPI-PHBM Kabupaten Kuningan
Sedangkan Kelompok Tani Hutan (KTH) dalam PHBM pada tiga desa
sampel terdapat pada Tabel 34 berikut.
Tabel 34. KTH dalam PHBM pada tiga desa sampel
No. Desa Kecamatan KTH Anggota Luas
(Ha) Petak Komoditi
1 Padabeunghar Pasawahan Cirendang 33 106,90 1 A, 1 B dan 1 C
Melinjo, pete, pisang dan
Kiara 14 42,00 3 C durian Batukuda 94 36,90 5 A Cipelah 30 98,90 11 D Kiamis 20 65,70 11 C Sipanenjoan 15 51,20 4 D, 11 A
dan 11 B
Silebu 20 64,30 4 A Siliangkerud 14 44,10 4 B
Jumlah 240 510,00
2 Linggarjati Cilimus Salam 52 13,05 22 E dan 22 F
Jeruk, nilam, pisang dan
Sihurang 39 5,00 23 D kopi Sareng
Tengah 35 19,15 22 B, 22 C
dan 22 E
Leuweung Datar
45 12,70 22 D dan 23 B
Parigi 27 8,60 23 E Jumlah 198 58,50
3 Karangsari Darma Rimbasari 50 63,45 30, 31 A, 31 B, 31 C, 32 B dan 32 C
Sayuran, alpukat, pisang dan kopi
Jumlah 50 63,45 Total 488 631,95
Sumber: LPI-PHBM Kabupaten Kuningan
Pada Desa Linggarjati, di samping terdapat PHBM berbasis lahan ada
juga PHBM berbasis non lahan dengan kegiatan pengelolaan pendakian
Gunung Ciremai sepanjang 11 km, dimana jumlah pendaki sebanyak 9.000-
12.000 orang/tahun. Organisasi yang mengelola jalur pendakian ini ialah
Badan Pengelola Pendakian Gunung Ciremai (BPPGC). Retribusi pendakian
Gunung Ciremai ini sebesar Rp 3.000,-/orang dengan pembagian sebagai
berikut:
1. Perum Perhutani : Rp 1.250,-
2. Pemda Kabupaten Kuningan : Rp 500,-
3. Asuransi : Rp 100,-
95
4. Pemerintah Desa Linggarjati : Rp 350,-
5. Pengelola PHBM : Rp 800,-
Di samping itu, di Desa Linggarjati terdapat juga Buper. Buper terdapat
juga di Desa Karangsari seluas 1 Ha, selain Situs Kancangan. Potensi
wisata terdapat juga di Desa Padabeunghar, yaitu Batu Luhur, Gunung
Rangkong dan Situ Ayu Salintang. Namun, potensi berbasis non lahan ini
belum dikembangkan dan baru sebatas dalam rencana Forum PHBM Desa
dan Pemerintah Desa Padabeunghar karena mengalami kesulitan dengan
modal untuk pengembangannya.
Meskipun PHBM sudah dilaksanakan sejak tahun 2001, namun masih
ada beberapa permasalahan dalam implementasinya, yaitu:
1. Kelembagaan KTH belum berfungsi secara maksimal
2. Forum PHBM Kecamatan dan Desa belum berfungsi optimal
3. Kemampuan petani dalam budidaya tanaman, baik semusim maupun
hortikultura masih terbatas
4. Peran serta instansi yang tergabung dalam Forum PHBM Kecamatan
belum maksimal
5. Pembagian wilayah tanggung jawab atau penentuan batas antar desa
masih ada yang belum terjalin kesepakatan
6. Pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pendataan potensi dan
merencanakan kegiatan masih terbatas
B. Dampak Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
Salah satu dampak negatif dari kebijakan PHBM di Kabupaten
Kuningan terhadap masyarakat ialah sebagian masyarakat mengganggap
PHBM merupakan hadiah. Saat wawancara dengan masyarakat sekitar
hutan, peneliti menanyakan “Apakah Bapak masih ikut PHBM sekarang?”.
Bapak tersebut menjawab, “Tidak karena sudah lama tidak ada lagi bantuan.”
Hal ini membuktikan, bahwa sebagian masyarakat mengganggap PHBM
hanya sekadar bantuan.
PHBM juga memberi dampak pada LSM karena aktivitas LSM lokal di
Kabupaten Kuningan semakin bergairah karena banyaknya proposal LSM
tersebut yang disetujui oleh lembaga donor yang tertarik dengan aktivitas
yang terjadi di Kabupaten Kuningan, khususnya mengenai kegiatan PHBM.
Hal ini juga menjadi nilai tambah bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada
96
Pemda Kabupaten Kuningan, peserta PHBM dan sebagainya untuk
beraktivitas dalam wadah LPI–PHBM Kabupaten Kuningan. Selintas agak
susah dilihat mana yang anggota LSM dan mana yang bukan, bahkan salah
seorang dosen Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan menyatakan,
bahwa PNS di Kabupaten Kuningan sudah menjadi anggota LSM.
LPI-PHBM Kabupaten Kuningan merupakan wadah yang dibentuk
dengan Keputusan Bupati Kuningan Nomor 522/KPTS.455.KLH/2002 tentang
Pembentukan Lembaga Pelayanan Implementasi Sistem PHBM Kabupaten
Kuningan yang anggotanya berasal dari berbagai kalangan untuk memediasi
proses pelaksanaan PHBM di Kabupaten Kuningan karena Forum PHBM
Kabupaten Kuningan yang dibentuk dengan Keputusan Bupati Kuningan
Nomor 522/KPTS.167.KPLD/2001 tentang Pembentukan Organisasi
Penyelenggara PHBM Kabupaten Kuningan anggotanya merupakan para
pejabat di lingkungan Pemda Kabupaten Kuningan yang mempunyai
kegiatan banyak dan hanya bertemu 2–3 kali setahun. Oleh karena itu,
dibantu oleh LPI-PHBM Kabupaten Kuningan yang mempersiapkan bahan
untuk pertemuan Forum PHBM Kabupaten Kuningan dan sebagainya.
Namun, timbul kerancuan pada masyarakat di Kabupaten Kuningan yang
menganggap LPI-PHBM Kabupaten Kuningan merupakan Forum PHBM
Kabupaten Kuningan karena anggota LPI–PHBM Kabupaten Kuningan yang
sering berinteraksi dengan mereka. Hal ini membuktikan, bahwa begitu
melembaganya LPI–PHBM Kabupaten Kuningan, termasuk anggotanya.
Dari segi kelembagaan, PHBM di Kabupaten Kuningan cukup baik,
tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan relatif sama. PHBM hanya
merupakan pelegalan masyarakat menggarap lahan hutan selama ini yang
tidak terpantau atau sengaja tidak dipantau oleh petugas lapangan Perum
Perhutani, sehingga dengan adanya PHBM masyarakat merasa tenang untuk
masuk ke dalam hutan karena memiliki kepastian hukum. Hal ini sesuai
dengan Kusuma (2003) yang menyatakan, bahwa 69% responden merasa
lebih aman mengolah lahan hutan setelah PHBM.
NPK yang merupakan kesepakatan antara masyarakat dengan Perum
Perhutani dalam bagi hasil tidak terlalu dipermasalahkan oleh masyarakat
karena yang penting bagi masyarakat hanya akses untuk masuk hutan.
Bahkan tanpa NPK-pun, PHBM sudah dilaksanakan di lapangan dan NPK-
nya menyusul kemudian. Jika dilihat secara cermat, tidak semua peserta
97
yang ada di dokumen NPK peserta PHBM dan tidak semua peserta PHBM
ada pada dokumen NPK karena lahan hutan yang telah diolah masyarakat
secara terpisah-pisah dikumpulkan menjadi satu dan dibuat satu kelompok,
sehingga lahan yang diolah peserta bervariasi. Bahkan muncul fenomena
ganti rugi lahan yang telah diolah antar masyarakat karena sebelumnya tidak
mempunyai kemampuan untuk membuka lahan di hutan. Pada umumnya,
kelompok masyarakat seperti ini yang tidak setuju dengan PHBM.
Pada tingkat desa kadang-kadang timbul kecemburuan sosial karena
dengan adanya PHBM seolah-olah pamor Kepala Desa tersaingi oleh Ketua
Forum PHBM Desa. Namun, pada beberapa desa yang Kepala Desa dan
Ketua Forum PHBM Desa seiring, dimana yang semestinya laporan PHBM
desa dilaporkan secara tertulis kepada Kepala Desa sebagai penanggung
jawab PHBM di tingkat desa hanya dilakukan secara lisan dan sering
dilakukan pertemuan Forum PHBM Desa.
Pada tingkat kecamatan, proses PHBM sering terlewatkan. Meskipun
ada Forum PHBM Kecamatan, tetapi sering tidak aktif dan laporan dari desa
sering juga tidak sampai pada kecamatan. Bahkan ada kecamatan yang
belum di-legal-kan secara formal Forum PHBM Kecamatan-nya. Hal ini
mungkin karena mudahnya akses dari desa ke kabupaten dan seringnya
anggota LPI-PHBM Kabupaten Kuningan langsung ke desa tanpa melewati
kecamatan terlebih dahulu.
Berikut disampaikan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional
Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dari aspek sosial
ekonomi yang terdiri atas pertumbuhan pendapatan dan tingkat kemiskinan,
disparitas pendapatan dan ekonomi rumah tangga.
1. Pertumbuhan Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan PHBM telah memberi kesempatan bagi masyarakat desa sekitar
hutan untuk meningkatkan pendapatannya dan juga berpartisipasi dalam
menjaga kelestarian hutan. Dari kuisioner, wawancara dan survey yang
dilakukan pada peserta PHBM di desa sampel terdapat kontribusi
pendapatan PHBM pada pendapatan rumah tangga sebesar 7,71%, yaitu
Rp 924.905,- dari Rp 11.957.952,- seperti terlihat pada Tabel 35 berikut.
98
Tabel 35. Pendapatan peserta PHBM di desa sampel dari PHBM dan non PHBM
Pendapatan
Non PHBM PHBM No. Desa Sampel (Rp) % (Rp) % Jumlah (Rp)
1 Padabeunghar 9.635.428,- 93,81 636.143,- 6,19 10.271.571,- 2 Linggarjati 12.827.571,- 93,09 952.000,- 6,91 13.779.571,- 3 Karangsari 10.636.143,- 89,96 1.186.571,- 10,04 11.822.714,-
Rata-rata 11.033.047,- 92,29 924.905,- 7,71 11.957.952,- Sumber: Data primer (2006)
Tabel 35 di atas menunjukkan, bahwa pendapatan masyarakat di
Desa Linggarjati merupakan yang paling tinggi, yaitu Rp 13.779.571,-.
Namun, kontribusi pendapatan PHBM yang paling besar pada
pendapatan rumah tangga terdapat di Desa Karangsari, yaitu 10,04%.
PAD Kabupaten Kuningan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Kuningan meningkat cukup signifikan, yaitu sebesar Rp
2.055.000,- tahun 2001 menjadi Rp 102.520.293,50 tahun 2005 dengan
pertumbuhan rata-rata 1.222,21%/tahun. Namun, jika dilihat dari
komponen sumber pendapatannya hanya pada tahun 2005 yang berasal
dari PHBM, yaitu Ijin pendakian Gunung Ciremai (PHBM berbasis non
lahan) sebesar Rp 6.766.915,- atau sebesar 6,60% dari PAD Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan pada tahun tersebut.
Secara umum kontribusi sektor kehutanan dan perkebunan
Kabupaten Kuningan terhadap PAD Kabupaten Kuningan tidak
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 0,02%
tahun 2001 menjadi 0,83% tahun 2005. Padahal rendahnya kontribusi
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan bagi PAD
Kabupaten Kuningan menjadi salah satu hal yang mendorong
dilaksanakannya PHBM. Bahkan Pemda Kabupaten Kuningan pernah
ingin menjadikan hutan di Kabupaten Kuningan sebagai Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), meskipun payung hukumnya tidak ada. Namun,
studi kelayakan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Kuningan hasilnya cukup berat bagi Pemda Kabupaten
Kuningan karena untuk memperbaiki kondisi hutan di Kabupaten
Kuningan menjadi hutan normal diperlukan dana sekitar Rp
27.000.000.000,- dan baru akan mencapai kondisi tegakan hutan normal
pada tahun 2027. PAD Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Kuningan tahun 2001-2005 secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 8.
99
Pada dasarnya kontribusi sektor kehutanan pada PAD Kabupaten
Kuningan tidak hanya dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Kuningan saja, tetapi juga dari dinas lainnya karena kontribusi sektor
kehutanan menjadi PAD dinas-dinas tersebut, seperti manfaat air menjadi
PAD Dinas Sumberdaya Air dan Pertambangan Kabupaten Kuningan.
PAD dari manfaat air ini cukup besar, yaitu sebesar Rp 769.098.938,-
tahun 2001 menjadi Rp 2.615.511.600,- tahun 2005 atau meningkat rata-
rata sebesar 240,08%/tahun. Hal ini secara rinci dapat dilihat pada
Lampiran 9.
Informasi dari KPH Kuningan, PHBM tidak mengurangi pendapatan
Perum Perhutani, bahkan pendapatan Perum Perhutani cenderung
meningkat dan hutan relatif terjaga. Hal ini berarti, bahwa keberlanjutan
pengusahaan hutan lebih terjamin jika melihat pendapatan perusahaan
secara keseluruhan, baik dari hasil hutan kayu maupun non kayu.
Produksi kayu jati maupun rimba dari tahun 1998-2000 terus meningkat,
namun sejak tahun 2001-2003 mengalami penurunan. Hal ini karena
adanya pemberlakuan moratorium logging bagi jenis rimba di kawasan
hutan. Namun, pendapatan KPH Kuningan tetap meningkat karena
meningkatnya produksi hutan non kayu, seperti minyak kayu putih, rotan
dan jasa wisata. Pendapatan KPH Kuningan rata-rata per tahun sekitar
Rp 900.000.000,- seperti Tabel 36 berikut.
Tabel 36. Pendapatan KPH Kuningan tahun 1998-2003
No. Tahun Pendapatan (Rp) 1 1998 500.000.000,-2 1999 550.000.000,-3 2000 700.000.000,-4 2001 300.000.000,-5 2002 1.300.000.000,-6 2003 2.050.000.000,-
Jumlah 5.400.000.000,- Rata-rata 900.000.000,-
Sumber: KPH Kuningan
Dampak kebijakan PHBM terhadap kesadaran masyarakat tentang
pentingnya keberadaan hutan mulai tumbuh kembali pada desa-desa
sekitar hutan yang pada awal era reformasi merupakan daerah rawan
perambahan hutan. Berdasarkan data dari KPH Kuningan, gangguan
100
keamanan hutan puncaknya tahun 1999 dan setelah itu gangguan
keamanan hutan cenderung turun seperti terlihat pada Tabel 37 berikut.
Tabel 37. Kerusakan hutan akibat pencurian kayu dan kerugiannya
tahun 1999-2004 No. Tahun Pencurian Kayu (batang) Kerugian (Rp)
1 1999 15.694 5.124.000.000,-2 2000 6.017 1.900.000.000,-3 2001 6.370 2.700.000.000,-4 2002 1.786 767.000.000,-5 2003 341 104.000.000,-6 2004 549 81.000.000,-
Jumlah 30.757 10.676.000.000,- Rata-rata 5.126 1.779.333.333,-
Sumber: KPH Kuningan
Tabel 38 menunjukkan tingkat kemiskinan masyarakat di desa
sampel setelah PHBM yang secara umum relatif lebih baik dari pada
tingkat kemiskinan Kabupaten Kuningan dan Indonesia. Tingkat
kemiskinan Kabupaten Kuningan sebelum dan setelah PHBM ada
penurunan sekitar 1,30% atau hanya 0,26% per tahun dan tingkat
kemiskinan Indonesia sebelum dan setelah PHBM ada penurunan sekitar
1,39% atau hanya 0,23% per tahun. Tingkat kemiskinan di desa sampel
sebelum PHBM (tahun 2000) tidak ada data.
Tabel 38. Tingkat kemiskinan sebelum dan setelah PHBM
Desa Sampel (%)
No. Waktu Padabeunghar Linggarjati Karangsari Rata-rata
Kuningan (%)
Indonesia (%)
1 Sebelum PHBM
- - - - 16,36 19,14
2 Setelah PHBM
11,43 8,57 8,57 9,52 15,06 17,75
Sumber: Data primer (2006), Bapeda Kabupaten Kuningan dan BPS
2. Disparitas Pendapatan
Menghitung disparitas pendapatan sangat penting untuk
mengetahui, apakah kesejahteraan telah terdistribusi merata dengan
menghitung distribusi pendapatan per kapita masyarakat pada tiga desa
sampel. Disparitas pendapatan dapat juga diukur dengan menghitung
Koefisien Gini. Disparitas pendapatan bisa terjadi karena perbedaan
kemampuan sumberdaya manusia dan sebagainya.
101
Tabel 39 menunjukkan distribusi pendapatan peserta PHBM pada
ketiga desa sampel tidak sama. Pada Desa Linggarjati, pendapatan per
kapita masyarakat yang paling kaya sekitar 28 kali lebih tinggi dari pada
pendapatan masyarakat yang paling rendah. Pada Desa Padabeunghar
dan Karangsari, distribusi pendapatan relatif lebih baik dari pada Desa
Linggarjati, meskipun disparitas antara masyarakat yang paling kaya dan
yang paling miskin masih cukup tinggi.
Tabel 39. Jarak disparitas pendapatan peserta PHBM di desa
sampel antara yang paling tinggi dengan yang paling rendah
Jarak Distribusi Pendapatan
No. Desa Pendapatan
Tahunan yang paling Tinggi
(Rp/kapita/tahun)
Pendapatan Tahunan yang paling Rendah
(Rp/kapita/tahun)
Jarak Rata-rata
1 Padabeunghar 6.933.750,- 670.000,- 10 x 2.681.521,- 2 Linggarjati 10.685.000,- 375.000,- 28 x 3.907.536,- 3 Karangsari 8.137.500,- 570.000,- 14 x 3.420.664,-
Rata-rata 3.336.573,- Sumber: Data primer (2006)
Disparitas pendapatan dikategorikan tinggi, jika nilai Koefisien Gini
lebih dari 0,5, nilai 0,4-0,5 dikategorikan sedang dan nilai di bawah 0,4
ialah disparitas rendah (Departemen Kehutanan, 2000 dalam
Nurrochmat, 2005b). Tabel 40 menunjukkan nilai Koefisien Gini dan
persentase distribusi pendapatan rumah tangga per tahun pada masing-
masing kuintil pada tiga desa sampel. Hal ini menunjukkan, bahwa nilai
Koefisien Gini dari pendapatan rumah tangga per tahun pada ketiga desa
sampel merupakan disparitas pendapatan yang rendah karena Koefisien
Gini di bawah 0,4. Rata-rata Koefisien Gini dari pendapatan rumah
tangga per tahun pada desa sampel ialah 0,28 yang berarti disparitas
pendapatan di desa sampel relatif terdistribusi secara baik.
Tabel 40. Distribusi pendapatan menurut kelas pendapatan di desa
sampel
Pendapatan (%) No. Desa Koefisien Gini Kuintil
1 Kuintil
2 Kuintil
3 Kuintil
4 Kuintil
5 1 Padabeunghar 0,31 5,99 12,03 20,70 25,53 35,75 2 Linggarjati 0,35 4,88 10.89 19,05 26,69 38,49 3 Karangsari 0,18 10,79 17,52 19,33 22,16 30,21
Rata-rata 0,28 7,22 13,48 19,69 24,79 34,82 Sumber: Data primer (2006)
102
Tabel 40 di atas menunjukkan keadaan pada desa sampel, dimana
rata-rata kuintil yang paling tinggi (20% penduduk yang paling kaya)
menerima sekitar 34,82% dari total pendapatan dan sekitar 65,18% dari
pendapatan terdistribusi pada masyarakat yang lain. Hal ini berarti,
bahwa relatif cukup banyak keuntungan dari PHBM (34,82%) didapat oleh
sedikit masyarakat (20%).
Perbandingan disparitas pendapatan antar desa sampel dapat lebih
jelas dengan memproyeksikan persentase pendapatan dari masing-
masing kuintil pada sebuah kurva yang disebut Kurva Lorens pada
Gambar 9 berikut.
KURVA LORENS DESA SAMPEL
Kuintil
0 1 2 3 4 5 6
Pen
dapa
tan
(%)
0
20
40
60
80
100
120
Desa PadabeungharDesa LinggarjatiDesa KarangsariRata-rataGaris persamaan
Gambar 9. Kurva Lorens pada desa sampel
3. Ekonomi Rumah Tangga
Beberapa variabel yang dipakai pada analisis ekonomi rumah
tangga di tiga desa sampel ialah indikator sumberdaya manusia
responden (kelas umur, umur produktif, pendidikan dan jumlah anggota
rumah tangga), indikator kesejahteraan (pendapatan rumah tangga,
tingkat kemiskinan, tipe rumah dan luas kepemilikan lahan) dan
hubungan responden terhadap PHBM (luas lahan PHBM, waktu kerja
PHBM, pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM dan porsi
103
pendapatan rumah tangga dari PHBM). Tabel 41 berikut
menggambarkan variabel sosial ekonomi responden yang digunakan.
Tabel 41. Deskripsi variabel sosial ekonomi responden
No. Variabel Definisi A Indikator
sumberdaya manusia
1 Kelas umur 1 jika umur responden < 30 tahun, 2 jika 31–40 tahun, 3 jika 41–50 tahun dan 4 jika > 50 tahun
2 Umur produktif 1 jika responden pada umur produktif (16-50 tahun) dan 0 yang lainnya
3 Pendidikan 1 jika pendidikan responden SD, 2 jika SLTP, 3 jika SLTA dan 4 jika perguruan tinggi
4 Jumlah anggota rumah tangga
Jumlah anggota rumah tangga
B Indikator kesejahteraan
1 Pendapatan rumah tangga
Pendapatan rumah tangga
2 Tingkat kemiskinan
1 jika pendapatan per kapita di atas garis kemiskinan dan 0 yang lainnya
3 Tipe rumah 1 jika tipe rumah non permanen, 2 jika semi permanen dan 3 jika permanen
4 Luas kepemilikan lahan
1 jika luas kepemilikan lahan < 0,25 Ha, 2 jika 0,25-0,5 Ha dan 3 jika > 0,5 Ha
C Hubungan terhadap PHBM
1 Luas lahan PHBM
1 jika luas lahan PHBM < 0,25 Ha, 2 jika 0,25-0,5 Ha dan 3 jika > 0,5 Ha
2 Waktu kerja PHBM
Frekuensi kerja PHBM per bulan (hari)
3 Pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM
Pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM
4 Porsi pendapatan rumah tangga dari PHBM
Porsi pendapatan rumah tangga dari PHBM
104
Analisis sosial ekonomi pada bagian ini menggunakan skala
nominal, ordinal dan variabel. Deskripsi statistik dari masing-masing
variabel di atas ditunjukkan pada Tabel 42 berikut.
Tabel 42. Deskripsi statistik karakteristik sosial ekonomi responden
No. Variabel Minimum Maksimum Rata-rata A Indikator
sumberdaya manusia
1 Kelas umur 1 4 2,492 Umur produktif 0 1 0,823 Pendidikan 1 3 1,414 Jumlah anggota
rumah tangga 2 7
3,74
B Indikator kesejahteraan
1 Pendapatan rumah tangga
1.500.000,- 42.740.000,- 11.923.571,-
2 Tingkat kemiskinan
0 1 0,91
3 Tipe rumah 1 3 1,894 Luas
kepemilikan lahan
1 3 1,73
C Hubungan terhadap PHBM
1 Luas lahan PHBM
1 3 1,74
2 Waktu kerja PHBM
2 20 10,41
3 Pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM
25.000,- 6.800.000,- 924.904,-
4 Porsi pendapatan rumah tangga dari PHBM
0,002 0,518 0,099
Sumber: Data primer (2006)
Analisis ini dibagi atas tiga bagian, yaitu bagian pertama membahas
struktur pendapatan rumah tangga dan ketergantungan pendapatannya
terhadap PHBM, bagian kedua membahas penyebaran keuntungan dari
PHBM dan bagian ketiga mengenai hubungan variabel terhadap
kemiskinan di desa.
105
a. Struktur Pendapatan dan Ketergantungan terhadap PHBM Rata-rata pendapatan peserta PHBM pada tiga desa sampel
sekitar Rp 3.336.573,- per kapita per tahun, dimana jauh di atas garis
kemiskinan (320 kg beras atau Rp 960.000,- per kapita per tahun saat
ini). Hal ini diperkuat lagi dengan banyaknya masyarakat yang tinggal
di rumah semi permanen dan permanen, yaitu sekitar 80,95%
mempunyai rumah semi permanen dan permanen.
Rumah tangga relatif tidak memiliki ketergantungan yang tinggi
terhadap PHBM sebagai sumber pendapatan. Pada Desa Linggarjati,
sekitar 6,91% pendapatan rumah tangga berasal dari PHBM, seperti
tumpang sari dan sebagainya. Sedangkan di Desa Karangsari,
kontribusi PHBM sekitar 10,04% terhadap pendapatan rumah tangga
dan di Desa Padabeunghar 6,19% dari pendapatan rumah tangga
berasal dari PHBM seperti Tabel 43 berikut.
Tabel 43. Sumber pendapatan rumah tangga peserta PHBM di
desa sampel
Desa (%) No. Sumber
Pendapatan Padabeunghar Linggarjati Karangsari
Rata-rata (%)
1 Pertanian 45,14 61,03 47,37 51,182 PHBM 6,19 6,91 10,04 7,713 Lainnya 48,67 32,06 42,59 41,11
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00Sumber: Data primer (2006)
Gambar 10 menunjukkan, bahwa dari semua tipe rumah secara
umum memiliki ketergantungan pendapatan yang relatif sama pada
PHBM dengan kontribusi sekitar 10% pada pendapatan rumah
tangga. Tipe rumah permanen memiliki ketergantungan pendapatan
yang tinggi pada pertanian, tipe rumah non permanen memiliki
ketergantungan pendapatan yang tinggi pada lainnya dan tipe rumah
semi permanen memiliki ketergantungan pendapatan yang relatif
sama antara pertanian dan lainnya. Hal ini berarti, bahwa tipe rumah
tidak berpengaruh secara signifikan, maka untuk penelitian
selanjutnya tidak cocok tipe rumah sebagai indikator di daerah ini.
106
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Lainnya 2,506,250.00 5,090,000.00 4,731,624.09
PHBM 941,875.00 886,500.00 933,116.88
Pertanian 9,556,250.00 2,784,500.00 6,967,986.30
Permanen Non Permanen Semi Permanen
Gambar 10. Tipe rumah dan kontribusi sumber pendapatan pada pendapatan rumah tangga
Tabel 44 menunjukkan variabel yang berhubungan pada porsi
pendapatan rumah tangga dari PHBM pada tiga desa sampel. Tabel
44 ini juga menunjukkan, bahwa dengan model regresi linier tingkat
kemiskinan memiliki hubungan koefisien negatif pada variabel terikat.
Hal ini menunjukkan, bahwa masyarakat yang hidup di bawah garis
kemiskinan secara umum memiliki ketergantungan yang lebih tinggi
pada PHBM karena lebih besar porsi PHBM pada pendapatan rumah
tangga mereka. Koefisen pendapatan rumah tangga yang negatif
memberi alasan kuat bagi ketergantungan yang tinggi dari rumah
tangga yang mempunyai pendapatan yang rendah dari pada
pendapatan yang tinggi.
Tabel 44. Variabel yang berhubungan terhadap porsi
pendapatan dari PHBM
No. Variabel Koefisien Standard Error t-ratio
1 Konstanta 0,11144 0,06228 1,79**2 Kelas umur -0,007928 0,009406 -0,843 Umur produktif -0,02582 0,02191 -1,184 Pendidikan 0,01166 0,01019 1,145 Jumlah anggota
rumah tangga 0,004752 0,006792 0,70
6 Pendapatan rumah tangga
-0,00000001 0,00000000 -5,37***
7 Tingkat kemiskinan -0,08226 0,02216 -3,71***
107
Tabel 44. (lanjutan)
No. Variabel Koefisien Standard Error t-ratio
8 Tipe rumah 0,01393 0,01157 1,209 Luas kepemilikan
lahan 0,00601 0,01355 0,44
10 Luas lahan PHBM 0,01633 0,01112 1,47*11 Waktu kerja PHBM 0,002827 0,002428 1,1612 Pendapatan
tahunan rumah tangga dari PHBM
0,00000007 0,00000001 12,96***
Sumber: Data primer (2006), regresi linier, peubah terikat: porsi pendapatan dari PHBM, n = 105, R-Sq (adj) = 74,9% ***signifikan pada tingkat kepercayaan 1%, **signifikan pada tingkat kepercayaan 5%, *signifikan pada tingkat kepercayaan 10%
Berdasarkan hasil analisis statistik yang digambarkan pada
Tabel 44 di atas terlihat, bahwa porsi pendapatan dari PHBM
mempunyai hubungan positif dengan luas lahan PHBM dan
pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM. Logikanya, jika lebih
luas lahan PHBM seseorang, maka lebih besar kontribusi pendapatan
dari PHBM.
Pengaruh kelas umur dan umur produktif pada porsi pendapatan
dari PHBM tidak signifikan. Tabel 44 di atas juga menunjukkan,
bahwa porsi pendapatan dari PHBM berhubungan dengan jumlah
anggota rumah tangga, yaitu semakin banyak jumlah anggota rumah
tangga, maka akan semakin banyak porsi pendapatan dari PHBM
b. Distribusi Keuntungan dari PHBM Tabel 45 menunjukkan, bahwa keuntungan dari PHBM secara
signifikan dipengaruhi oleh faktor pendidikan, jumlah anggota rumah
tangga, pendapatan rumah tangga, tingkat kemiskinan dan porsi
pendapatan dari PHBM. Hal ini berarti, bahwa orang yang lebih kaya
memiliki lebih besar keuntungan dari PHBM dan tidak ada hubungan
dengan tipe rumah.
108
Tabel 45. Variabel yang berhubungan dengan keuntungan dari PHBM
No. Variabel Koefisien Standard Error t-ratio
1 Konstanta -1010698 745006 -1,36*2 Kelas umur 121915 111425 1,093 Umur produktif 228853 261095 0,884 Pendidikan -196872 120149 -1,64*5 Jumlah anggota rumah
tangga -116510 79977 -1,46*
6 Pendapatan rumah tangga
0,10196 0,01528 6,67***
7 Tingkat kemiskinan 658743 273607 2,41***8 Tipe rumah -124485 137894 -0,909 Luas kepemilikan
lahan -87360 160800 -0,54
10 Luas lahan PHBM -137485 132832 -1,0411 Waktu kerja PHBM 1934 29049 0,0712 Porsi pendapatan dari
PHBM 9528248 735297 12,96***
Sumber: Data primer (2006), regresi linier, peubah terikat: pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM, n = 105, R-Sq (adj) = 68,6% ***signifikan pada tingkat kepercayaan 1%, **signifikan pada tingkat kepercayaan 5%, *signifikan pada tingkat kepercayaan 10%
Gambar 11 menunjukkan, bahwa sebagian kecil masyarakat
yang kaya (20%) mendapat keuntungan relatif banyak dari PHBM dan
20% masyarakat paling miskin menerima relatif lebih sedikit
keuntungan. Kelompok yang paling kaya mendapat keuntungan dari
PHBM sekitar Rp 33.940.000,- per tahun. Sedangkan kelompok
paling miskin mendapat sekitar Rp 16.660.000,- per tahun atau
sekitar 50% dari yang didapat kelompok paling kaya dari PHBM.
109
Kelompok yang mendapatkan keuntungan paling banyak dari PHBM
33,940,000.00
16,660,000.00
10,000,000.00
20,000,000.00
30,000,000.00
40,000,000.00
20% Paling Kaya 20% Paling Miskin Rumah tangga
Rupiah/tahun
Gambar 11. Distribusi keuntungan dari PHBM di desa sampel
c Analisis Kemiskinan di Desa Model regresi linier digunakan untuk menentukan variabel yang
berhubungan dan berpengaruh pada kemiskinan di tiga desa sampel.
Variabel terikat tingkat kemiskinan dalam memperkirakan model
tingkat kemiskinan seperti yang digambarkan pada Tabel 41
sebelumnya ‘1’ menunjukkan, bahwa pendapatan per kapita rumah
tangga di atas garis kemiskinan dan ‘0’ yang lainnya.
Tabel 46 berikut menggambarkan hasil analisis regresi linier
dengan tingkat kemiskinan sebagai variabel terikat.
Tabel 46. Analisis regresi dari variabel yang berhubungan
dengan tingkat kemiskinan
No. Variabel Koefisien Standard Error t-ratio
1 Konstanta 0,8223 0,2632 3,12***2 Kelas umur 0,02777 0,04113 0,683 Umur produktif 0,05538 0,09623 0,584 Pendidikan -0,07095 0,04420 -1,61*5 Jumlah anggota
rumah tangga -0,05766 0,02913 -1,98**
6 Pendapatan rumah tangga
0,00000001 0,00000001 0,77
7 Tipe rumah 0,04494 0,05071 0,89
110
Tabel 46. (lanjutan)
No. Variabel Koefisien Standard Error t-ratio
8 Luas kepemilikan lahan
0,06947 0,05878 1,18
9 Luas lahan PHBM 0,00117 0,04912 0,0210 Waktu kerja PHBM 0,00848 0,01065 0,8011 Pendapatan tahunan
rumah tangga dari PHBM
0,00000009 0,00000004 2,41***
12 Porsi pendapatan dari PHBM
-1,5690 0,4226 -3,71***
Sumber: Data primer (2006), regresi linier, peubah terikat: tingkat kemiskinan, n = 105, R-Sq (adj) = 31,9% ***signifikan pada tingkat kepercayaan 1%, **signifikan pada tingkat kepercayaan 5%, *signifikan pada tingkat kepercayaan 10%
Tabel 46 di atas menunjukkan, bahwa tingkat kemiskinan pada
tiga desa sampel dipengaruhi secara signifikan oleh banyak faktor,
yaitu pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan tahunan
rumah tangga dari PHBM dan porsi pendapatan dari PHBM. Jumlah
anggota rumah tangga berpengaruh pada tingkat kemiskinan, yaitu
lebih banyak anggota keluarga, maka lebih kecil kemungkinan untuk
keluar dari kemiskinan.
Tabel 46 di atas juga menunjukkan, bahwa pendapatan yang
lebih tinggi dari PHBM tidak dapat dipakai sebagai indikator untuk
mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Menurut hasil dari
analisis regresi linier, porsi pendapatan dari PHBM berlawanan
dengan tingkat kemiskinan. Porsi yang tinggi dari pendapatan PHBM
tidak paralel dengan keuntungan yang diterima dari PHBM.
5.3. Strategi Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Dalam rangka memformulasikan strategi kebijakan PHBM di Taman
Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat digunakan
metode AHP dan SWOT. Metode ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu
identifikasi stakeholders yang terlibat dalam pengambilan keputusan dan
klasifikasi serta evaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan (Kurttila et
al., 2000).
111
A. Identifikasi Stakeholders Formulasi strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat tergantung pada
beberapa faktor, yaitu sosial ekonomi masyarakat, ekologi hutan dan
sebagainya. Hal ini berimplikasi, bahwa penting untuk mendapatkan
informasi dari berbagai stakeholders untuk mendapatkan stakeholders kunci.
Pengklasifikasian stakeholders berdasarkan tingkat kepentingan dan
pengaruhnya dalam suatu pengelolaan merupakan salah satu cara untuk
mengidentifikasi peluang partisipasi dan kemungkinan resiko yang dapat
ditimbulkan oleh stakeholders tertentu. Tingkat kepentingan berkaitan
dengan dampak yang akan diterima oleh stakeholders, yaitu semakin besar
dampak yang akan diterima oleh stakeholders, maka semakin tinggi tingkat
kepentingannya. Sedangkan tingkat pengaruh mengindikasikan kemampuan
stakeholders untuk mempengaruhi keberhasilan atau ketidakberhasilan suatu
pengelolaan (Hermawan et al., 2005).
Berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya, stakeholders yang terlibat
dalam PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan,
Provinsi Jawa Barat, yaitu:
1. Primer langsung ialah stakeholders yang terlibat dan atau memperoleh
dampak langsung
2. Primer tidak langsung ialah stakeholders yang terlibat secara tidak
langsung, tetapi memperoleh dampak langsung
3. Sekunder ialah stakeholders yang tidak terlibat langsung dan tidak
memperoleh dampak secara langsung
Kepentingan, pengaruh dan peluang partisipasi stakeholders dalam
PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi
Jawa Barat terlihat pada Tabel 47 berikut.
112
Tabel 47. Stakeholders, kepentingan dan tingkat kepentingannya, tingkat pengaruh dan peluang partisipasinya dalam PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
No. Stakeholders Kepentingan Tingkat
Kepentingan Tingkat
Pengaruh Peluang
Partisipasi A Primer
langsung
1 BKSDA II Provinsi Jawa Barat
Konservasi sumberdaya hutan
Tinggi, pengelolaan kawasan konservasi
Tinggi, otoritas pengelolaan
Pengelolaan kawasan konservasi
2 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan
Pengelolaan sumberdaya hutan
Tinggi, wilayah teritorial
Tinggi, pengelola sumberdaya hutan daerah
Pembinaan
3 PMTH Kabupaten Kuningan
Lahan sebagai sumber penghidupan
Tinggi, penerima dampak langsung
Tinggi, sumberdaya manusia dan kontrol
Perlindungan
B Primer tidak langsung
1 Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Kuningan
Pembangunan daerah
Rendah, sumberdaya yang terbatas
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Perencanaan
2 Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan
Pembangunan pertanian
Tinggi, intensitas pemanfaatan lahan untuk pertanian
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Fasilitasi kegiatan pertanian
3 DInas Pariwisata Kabupaten Kuningan
Pariwisata Tinggi, koordinasi kepariwisataan
Sedang, koordinator kepariwisataan
Koordinasi kepariwisataan
4 Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kuningan
Kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan
Tinggi, sumberdaya terhadap kegiatan konservasi
Sedang, dukungan tanpa kekuatan intervensi
Fasilitasi
5 Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kuningan
PAD Rendah, alokasi anggaran
Rendah, dukungan tanpa kekuatan intervensi
Koordinasi
6 PDAM Kabupaten Kuningan
Kontinuitas pasokan air
Tinggi, pemanfaat sumberdaya air
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Kompensasi pemanfaatan air
113
Tabel 47. (lanjutan)
No. Stakeholders Kepentingan Tingkat Kepentingan
Tingkat Pengaruh
Peluang Partisipasi
7 Perusahaan Air Minum Kemasan (PAMK)
Kontinuitas pasokan air
Tinggi, pemanfaat sumberdaya air
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Kompensasi pemanfaatan air
8 PT. Indocement
Kontinuitas pasokan air
Tinggi, pemanfaat sumberdaya air
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Kompensasi pemanfaatan air
9 Pecinta alam Penggunaan kawasan untuk kegiatan alam terbuka
Tinggi, sumberdaya manusia
Sedang Pelestarian
C Sekunder 1 Badan
Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kuningan
Pemberdayaan masyarakat
Rendah Rendah, dukungan tanpa kekuatan intervensi
Fasilitasi
2 Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Kuningan
Pendapatan dari konsumen wisata
Rendah Rendah Kompensasi
3 LPI-PHBM Kabupaten Kuningan
Kelestarian sumberdaya hutan dan kesejahteraan masyarakat
Tinggi, dukungan para pihak dan pendampingan
Tinggi, koordinasi, mobilisasi dan advokasi
Fasilitasi dan mediasi
4 LSM local Kabupaten Kuningan
Kelestarian sumberdaya hutan dan kesejahteraan masyarakat
Tinggi, dukungan para pihak dan pendampingan
Tinggi, koordinasi, mobilisasi dan advokasi
Fasilitasi dan mediasi
5 Universitas Kuningan
Pengembangan tempat penelitian
Tinggi, penelitian dalam pengelolaan kawasan konservasi
Tinggi, academic authority
Penelitian dan pengembangan
6 Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Pemanfaatan kawasan untuk latihan
Rendah, tidak dalam tataran operasional
Rendah Perlindungan
Sumber: Data primer (2006)
114
Gambar 12 berikut memetakan stakeholders berdasarkan tingkat
kepentingan dan pengaruhnya terhadap PHBM di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.
Kepentingan
Tinggi A B C
Sedang D
Rendah
Rendah Sedang Tinggi Pengaruh
Keterangan: A : Dinas Pertanian, PDAM, PAMK dan PT. Indocement B : Dinas Pariwisata, Dinas Lingkungan Hidup dan pecinta alam C : Dinas Kehutanan dan Perkebunan, PMTH, BKSDA, LPI-PHBM, LSM
dan Universitas Kuningan D : Badan Perencanaan Daerah, Dinas Pendapatan Daerah, Badan
Pemberdayaan Masyarakat, PHRI dan TNI
Gambar 12. Stakeholders, tingkat kepentingan dan pengaruhnya terhadap PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
Pada daerah A dan B terdapat stakeholders dengan tingkat
kepentingan tinggi dan tingkat pengaruh rendah sampai sedang, yaitu Dinas
Pertanian Kabupaten Kuningan, PDAM Kabupaten Kuningan, PAMK, PT.
Indocement, Dinas Pariwisata Kabupaten Kuningan, Dinas Lingkungan Hidup
Kabupaten Kuningan dan pecinta alam. PHBM di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat memerlukan inisiatif-
inisiatif khusus untuk melindungi kepentingan stakeholders ini karena
merupakan pihak yang paling besar menerima dampak, namun pengaruhnya
relatif rendah.
Pada daerah C terdapat stakeholders dengan tingkat kepentingan dan
pengaruh yang tinggi, yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Kuningan, PMTH Kabupaten Kuningan, BKSDA II Provinsi Jawa Barat, LPI-
115
PHBM Kabupaten Kuningan, LSM lokal Kabupaten Kuningan dan Universitas
Kuningan. Stakeholders pada daerah ini perlu melakukan kerja sama yang
baik agar PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan,
Provinsi Jawa Barat dapat terlaksana secara sinergis. Pada penelitian ini,
kelompok stakeholders inilah yang diminta masukannya untuk menganalisis
dan merumuskan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.
Pada daerah D terdapat stakeholders dengan tingkat kepentingan dan
pengaruh rendah, yaitu Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Kuningan,
Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kuningan, Badan Pemberdayaan
Masyarakat Kabupaten Kuningan, PHRI Kabupaten Kuningan dan TNI.
Kelompok stakeholders ini tidak memerlukan pelibatan intensif karena bukan
prioritas dalam pelaksanaan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Namun, apabila memungkinkan
perlu dilakukan pengawasan dan evaluasi secara berkala untuk mengetahui
perkembangan kepentingannya.
B. Klasifikasi Faktor-faktor Keputusan Menurut Shrestha et al. (2004), identifikasi dan klasifikasi faktor-faktor
keputusan dilakukan dengan studi pustaka, survey lapangan dan Focus
Group Discussion (FGD). Namun, karena keterbatasan peneliti hanya
dilakukan studi pustaka yang mendapatkan 12 faktor keputusan dan
kemudian diletakkan pada masing-masing kelompok SWOT seperti Tabel 48
berikut.
Tabel 48. Faktor-faktor SWOT yang mempengaruhi strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
No. Strength Opportunity
1 Potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa lingkungan yang besar
Permintaan ekowisata dan jasa lingkungan yang cukup besar
2 Kerja sama stakeholders yang cukup baik
Iklim usaha yang cukup kondusif
3 Dukungan pemerintah dan stakeholders lainnya yang cukup menjanjikan
Investasi dari pihak luar yang peduli terhadap kelestarian hutan
116
Tabel 48. (lanjutan)
No. Weakness Threat 1 Keanekaragaman hayati, satwa
dan habitatnya yang sangat sensitif
Gangguan terhadap hutan yang cukup tinggi
2 Kapasitas stakeholders yang relatif rendah
Jumlah penduduk yang cukup besar
3 Ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi
Pasar produk kayu yang cukup potensial
Sumber: Data primer (2006)
Pada dasarnya sangat baik untuk memperhitungkan sebanyak mungkin
faktor, namun jumlah perbandingan berpasangan dalam AHP akan
meningkat secara eksponensial dengan jumlah faktor. Oleh karena itu, untuk
menjaga agar perbandingan berpasangan tidak terlalu banyak, peneliti hanya
menggunakan tiga faktor pada masing-masing kategori SWOT.
C. Evaluasi Faktor-faktor Keputusan Pada penelitian ini, peneliti menggunakan fungsi ekologi, sosial dan
ekonomi sebagai kriteria kontrol dengan bobot 55%, 30% dan 15% yang
hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Pada Lampiran 10 tersebut
nampak, bahwa rasio konsistensi pada perbandingan berpasangan cukup
bagus. Hal ini berarti perbandingan berpasangan pada tingkat ini tidak
menyulitkan stakeholders dan dengan mudah dapat mengambil keputusan
yang prioritas.
Data yang diperoleh dari responden dihitung secara terpisah untuk
mendapatkan nilai faktor prioritas dan semua prioritas, sehingga memperoleh
nilai rata-rata seperti pada Lampiran 11. Nilai faktor prioritas menunjukkan
kepentingan relatif dari masing-masing faktor SWOT. Nilai semua prioritas
diperoleh dengan mengalikan nilai faktor prioritas dengan skala parameter
yang menggambarkan kepentingan relatif dari masing-masing faktor terhadap
semua kelompok SWOT. Nilai rata-rata menggambarkan pilihan semua
responden terhadap PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Perbandingan berpasangan membuktikan,
bahwa pada tingkat ini cukup rumit dengan rasio konsistensi mencapai 9%.
Hal ini masih dapat diterima, namun memang lebih tinggi dari pada tingkat
sebelumnya.
117
1. BKSDA II Provinsi Jawa Barat Analisis faktor SWOT untuk BKSDA II Provinsi Jawa Barat
menunjukkan, bahwa potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan
jasa lingkungan yang besar (S1) sebagai kekuatan yang paling penting
dalam kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan nilai faktor prioritas 0,687
(Lampiran 11). Faktor peluang dirasakan sama pentingnya oleh
stakeholders ini ialah permintaan ekowisata dan jasa lingkungan yang
cukup besar (O1), iklim usaha yang cukup kondisif (O2) dan investasi dari
pihak luar yang peduli terhadap kelestarian hutan (O3) dengan nilai
prioritas 0,333. Faktor kelemahan yang paling berpengaruh dirasakan
oleh stakeholders ini ialah keanekaragaman hayati, satwa dan habiatnya
yang sangat sensitif (W1) dengan nilai prioritas 0,678. Tiga ancaman
yang sama pentingnya ialah gangguan terhadap hutan yang cukup tinggi
(T1), jumlah penduduk yang cukup besar (T2) dan pasar produk kayu yang
cukup potensial (T3) dengan nilai prioritas 0,333. Analisis silang oleh
BKSDA II Provinsi Jawa Barat menunjukkan pengaruh faktor ancaman
yang paling dominan dengan nilai prioritas 0,273, diikuti oleh kelemahan,
peluang dan kekuatan dengan nilai prioritas 0,267, 0,252 dan 0,208
(Lampiran 11 dan Gambar 13).
Meskipun analisis menyarankan, bahwa ancaman kebijakan PHBM
di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa
Barat yang paling signifikan, namun stakeholders ini merasa bahwa
potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa lingkungan yang
besar (S1) dan keanekaragaman hayati, satwa dan habiatnya yang
sangat sensitif (W1) juga cukup penting.
118
-0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
Weakness Threat
Opportunity Strength
Gambar 13. Pilihan BKSDA II Provinsi Jawa Barat terhadap
kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan Hasil analisis dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Kuningan terungkap, bahwa potensi keanekaragaman hayati, ekowisata
dan jasa lingkungan yang besar (S1), kerja sama stakeholders yang
cukup baik (S2) dan dukungan pemerintah dan stakeholders lainnya yang
cukup menjanjikan (S3) sama pentingnya pada kekuatan kebijakan PHBM
di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa
Barat dengan nilai prioritas 0,333. Hal ini mengindikasikan, bahwa dari
sudut pandang Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan
kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat akan dilaksanakan untuk
mempertahankan keanekaragaman hayati, memanfaatkan potensi
ekowisata dan jasa lingkungan serta meningkatkan kerja sama
stakeholders. Nilai prioritas sebesar 0,653 pada permintaan ekowisata
dan jasa lingkungan yang cukup besar (O1) menunjukkan faktor peluang
utama. Kelemahan yang paling utama dengan nilai faktor prioritas
sebesar 0,429 ialah kapasitas stakeholders yang relatif rendah (W2) dan
119
ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi (W3).
Responden ini juga memilih gangguan terhadap hutan yang cukup tinggi
(T1) di Taman Nasional Gunung Ciremai sebagai ancaman yang paling
besar untuk melaksanakan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan nilai faktor
prioritas sebesar 0,637.
Analisis silang dari tanggapan Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Kuningan terungkap, bahwa kelompok kelemahan dan
peluang merupakan yang paling berpengaruh dalam melaksanakan
kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat dibandingkan dengan dua kelompok
SWOT lainnya. Nilai prioritas menggambarkan kelompok kelemahan dan
peluang ialah 0,290, diikuti oleh kelompok kekuatan sebesar 0,277 dan
kelompok ancaman sebesar 0,143. Nilai semua prioritas digambarkan
pada Gambar 14. Panjang garis yang berbeda pada berbagai bagian
menunjukkan, bahwa kelemahan dan peluang yang dominan.
-0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
Threat Weakness
Strength Opportunity
Gambar 14. Pilihan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
120
3. PMTH Kabupaten Kuningan Analisis persepsi PMTH Kabupaten Kuningan menunjukkan, bahwa
potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa lingkungan yang
besar (S1) ialah kekuatan yang paling penting dari kebijakan PHBM di
Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa
Barat dengan nilai prioritas 0,747. Stakeholders ini merasa faktor
kelemahan ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi (W3)
sangat penting, namun gangguan terhadap hutan yang cukup tinggi (T1)
sebagai ancaman yang paling penting juga. Iklim usaha yang cukup
kondusif (O2) merupakan faktor peluang yang paling penting untuk
kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Analisis faktor silang untuk stakeholders
ini menunjukkan, bahwa faktor kelemahan yang berpengaruh tinggi
dengan nilai prioritas 0,258 diikuti oleh ancaman (0,256), kekuatan
(0,246) dan peluang (0,240) (Lampiran 11 dan Gambar 15).
-0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
Threat Weakness
Opportunity Strength
Gambar 15. Pilihan PMTH Kabupaten Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
4. LPI-PHBM Kabupaten Kuningan
Hasil analisis dari LPI-PHBM Kabupaten Kuningan terungkap,
bahwa potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa lingkungan
121
yang besar (S1) merupakan kekuatan yang paling penting dalam
kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan nilai prioritas 0,413. Hal ini
mengindikasikan, bahwa dari sudut pandang LPI-PHBM Kabupaten
Kuningan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat akan dilaksanakan untuk
mempertahankan keanekaragaman hayati, memanfaatkan potensi
ekowisata dan jasa lingkungan. Nilai prioritas sebesar 0,550 pada
permintaan ekowisata dan jasa lingkungan yang cukup besar (O1)
menunjukkan faktor peluang utama. Kelemahan yang paling utama
dengan nilai faktor prioritas sebesar 0,455 ialah kapasitas stakeholders
yang relatif rendah (W2) dan ketergantungan masyarakat terhadap hutan
cukup tinggi (W3). Responden ini juga memilih jumlah penduduk yang
cukup besar (T2) di Taman Nasional Gunung Ciremai sebagai ancaman
yang paling besar untuk melaksanakan kebijakan PHBM di Taman
Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
dengan nilai faktor prioritas sebesar 0,655.
Analisis silang dari tanggapan LPI-PHBM Kabupaten Kuningan
terungkap, bahwa kelompok kelemahan dan peluang merupakan yang
paling berpengaruh dalam melaksanakan kebijakan PHBM di Taman
Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
dibandingkan dengan dua kelompok SWOT lainnya. Nilai prioritas
menggambarkan kelompok kelemahan ialah 0,280 dan peluang ialah
0,263 serta diikuti oleh kelompok kekuatan sebesar 0,260 dan kelompok
ancaman sebesar 0,196. Nilai semua prioritas digambarkan pada
Gambar 16. Panjang garis yang berbeda pada berbagai bagian
menunjukkan, bahwa kelemahan dan peluang yang dominan.
122
-0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
Threat Weakness
Opportunity Strength
Gambar 16. Pilihan LPI-PHBM Kabupaten Kuningan terhadap
kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
5. LSM Lokal Kabupaten Kuningan
Analisis faktor SWOT untuk LSM lokal Kabupaten Kuningan
menunjukkan, bahwa kerja sama stakeholders yang cukup baik (S2)
sebagai kekuatan yang paling penting dalam kebijakan PHBM di Taman
Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
dengan nilai faktor prioritas 0,714 (Lampiran 11). Faktor peluang yang
dirasakan paling penting oleh stakeholders ini ialah investasi dari pihak
luar yang peduli terhadap kelestarian hutan (O3) dengan nilai prioritas
0,600. Faktor kelemahan yang paling berpengaruh dirasakan oleh
stakeholders ini ialah ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup
tinggi (W3) dengan nilai prioritas 0,649. Ancaman yang paling penting
ialah jumlah penduduk yang cukup besar (T2) dengan nilai prioritas 0,600.
Analisis silang oleh LSM lokal Kabupaten Kuningan menunjukkan
pengaruh faktor peluang yang paling dominan dengan nilai prioritas
0,326, diikuti oleh kekuatan, kelemahan dan ancaman dengan nilai
prioritas 0,299, 0,193 dan 0,181 (Lampiran 11 dan Gambar 17).
Meskipun analisis menyarankan, bahwa peluang kebijakan PHBM di
Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa
123
Barat yang paling signifikan, namun stakeholders ini merasa bahwa verja
sama stakeholders yang cukup baik (S2) dan ketergantungan masyarakat
terhadap hutan cukup tinggi (W3) juga cukup penting.
-0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
Threat Weakness
Opportunity Strength
Gambar 17. Pilihan LSM lokal Kabupaten Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
6. Universitas Kuningan
Analisis persepsi Universitas Kuningan menunjukkan, bahwa
potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa lingkungan yang
besar (S1) ialah kekuatan yang paling penting dari kebijakan PHBM di
Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa
Barat dengan nilai prioritas 0,714. Stakeholders ini merasa faktor
kelemahan keanekaragaman hayati, satwa dan habitatnya yang Sangay
sensitif (W1) sangat penting dan gangguan terhadap hutan yang cukup
tinggi (T1) sebagai ancaman yang paling penting juga. Permintaan
ekowisata dan jasa lingkungan yang cukup besar (O1), iklim usaha yang
cukup kondusif (O2) dan investasi dari pihak luar yang peduli terhadap
kelestarian hutan (O3) merupakan faktor peluang yang sama pentingnya
untuk kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Analisis faktor silang untuk stakeholders
ini menunjukkan, bahwa faktor kekuatan yang berpengaruh tinggi dengan
124
nilai prioritas 0,264 diikuti oleh peluang (0,252), kelemahan dan ancaman
masing-masing (0,242) (Lampiran 11 dan Gambar 18).
-0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
Weakness Threat
Strength Opportunity
Gambar 18. Pilihan Universitas Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
Nilai rata-rata dari faktor-faktor internal dan eksternal yang didapat pada
Lampiran 11 dibandingkan seperti Tabel 49. Hasil tersebut, kemudian
diletakkan pada Gambar 19, sehingga terlihat situasi saat ini berada pada
kuadran I dengan strategi agresif.
Tabel 49. Evaluasi faktor internal dan eksternal kebijakan PHBM di
Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
No. Faktor-faktor Internal Eksternal Rata-rata
1 Strength 0,2592 Weakness 0,255
Skor Faktor Strength – Weakness 0,0043 Opportunity 0,2714 Threat 0,215
Skor Faktor Opportunity – Threat 0,056Sumber: Data primer (2006)
125
Opportunity
(0,004;0,056)
Kuadran I (Strategi Agresif) Weakness Strength
Threat
Gambar 19. Posisi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
Analisis SWOT yang merupakan analisis situasi, maka jika situasinya
berubah maka strateginya juga akan berbeda. Namun, berdasarkan situasi
saat ini dari analisis SWOT disarankan strategi (S-O) seperti Tabel 50
berikut.
Tabel 50. Matriks analisis SWOT strategi kebijakan PHBM di Taman
Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness)
1. Potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa lingkungan yang besar
2. Kerja sama stakeholders yang cukup baik
3. Dukungan pemerintah dan stakeholders lainnya yang cukup menjanjikan
1. Keanekaragaman hayati, satwa dan habitatnya yang sangat sensitif
2. Kapasitas stakeholders yang relatif rendah
3. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi
Peluang (Opportunity) Strategi S–O Strategi W–O 1. Permintaan ekowisata
dan jasa lingkungan yang cukup besar
2. Iklim usaha yang cukup kondusif
3. Investasi dari pihak luar yang peduli terhadap kelestarian hutan
1. Sosialisasi nilai ekonomi Taman Nasional Gunung Ciremai dan intervensi regulasi
2. Pengembangan pemanfaatan Taman Nasional Gunung Ciremai
3. Pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Ciremai
Ancaman (Threat) Strategi S–T Strategi W–T 1. Gangguan terhadap hutan
yang cukup tinggi 2. Jumlah penduduk yang
cukup besar 3. Pasar produk kayu yang
cukup potensial
Analisis Faktor
Internal
Analisis Faktor
Eksternal
Sumber: Data primer (2006)
Berikut dijabarkan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat, yaitu:
126
1. Sosialisasi nilai ekonomi taman nasional dan intervensi regulasi
Nilai ekonomi taman nasional merupakan informasi yang mampu
menjelaskan keterkaitan manfaat taman nasional dengan kepentingan
pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sosialisasi nilai
ekonomi taman nasional akan memberikan pemahaman kepada
masyarakat tentang tingginya manfaat intangible kawasan Taman
Nasional Gunung Ciremai, sehingga dapat menghilangkan atau minimal
memperkecil adanya miskonsepsi tentang nilai manfaat taman nasional
dari masyarakat dan para stakeholders Taman Nasional Gunung Ciremai
dapat melakukan intervensi regulasi.
Jasa ekologi Taman Nasional Gunung Ciremai memberikan manfaat
bagi masyarakat, seperti hidrologi memberikan nilai manfaat ekonomi
sebesar Rp 2.130.000.000,- per tahun bagi masyarakat untuk kebutuhan
rumah tangga yang dihitung dengan metode penilaian kontingensi yang
merupakan metode pendekatan langsung untuk mengestimasi nilai
ekonomi dari manfaat lingkungan dengan menanyakan secara langsung
tentang kesediaan pengguna air minum untuk memberikan sejumlah
dana sebagai biaya tambahan yang digunakan secara khusus untuk
membiayai kegiatan konservasi kawasan sumber air minum. Nilai Rp
2.130.000.000,- menunjukkan, bahwa masyarakat mengeluarkan biaya
sebesar Rp 1.235.904.000,-, sedangkan sebesar Rp 894.096.000,-
merupakan surplus konsumen yang berarti peranan jasa hidrologi Taman
Nasional Gunung Ciremai mampu memberikan nilai kesejahteraan
kepada masyarakat sebesar Rp 894.096.000,- per tahun (Ramdhan,
2006).
Nilai ekonomi di atas agar menjadi nilai riil dalam penerapannya
harus didukung dengan intervensi regulasi, berupa:
a. Insentif, berupa kompensasi daerah hilir pada daerah hulu
b. Revisi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang
mempertimbangkan reward dan punishment dalam pengelolaan
hutan, seperti reward bagi daerah yang kinerja pengelolaan hutannya
baik dan punishment bagi daerah yang kinerja pengelolaan hutannya
buruk
127
c. Mendorong penerapan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)
Hijau sebagai neraca pembanding (satelite account) bagi pelaporan
keuangan daerah dan nasional, dimana di dalamnya terdapat neraca
sumberdaya hutan
Alokasi lahan untuk Taman Nasional Gunung Ciremai bukan
investasi yang sia-sia, melainkan justru merupakan bagian yang penting
dari pembangunan ekonomi. Jasa ekologi kawasan Taman Nasional
Gunung Ciremai mampu memberikan subsidi nilai ekonomi yang sangat
signifikan dalam pembangunan ekonomi, baik di tingkat lokal, seperti nilai
ekonomi air, regional dan nasional, seperti nilai ekowisata dan sampai
tingkat internasional, seperti nilai ekonomi penyerap karbon. Hal ini
berarti, bahwa kegiatan konservasi sejalan dengan kegiatan ekonomi
karena adanya rasional ekonomi yang tinggi dari kegiatan konservasi.
Pembangunan konservasi akan semakin kuat, apabila
pengembangan kegiatannya sejalan dengan aktivitas ekonomi karena
nilai ekonomi taman nasional ditentukan oleh besarnya satuan nilai
manfaat dan jumlah penggunanya, yaitu semakin tinggi perekonomian
suatu wilayah yang dicirikan oleh tingginya kegiatan ekonomi per kapita
dari penduduk, maka akan semakin tinggi nilai ekonomi yang diberikan
oleh kawasan konservasi. Pembangunan ekonomi akan semakin kuat
dan berkelanjutan, apabila pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai
semakin efektif karena subsidi nilai dari jasa ekologi kawasan konservasi
semakin tinggi.
Setiap taman nasional harus dilakukan penilaian ekonomi, sehingga
memiliki informasi nilai ekonomi dan kegiatan sosialisasi tentang nilai
ekonomi kepada masyarakat mempunyai landasan informasi yang kuat.
Di samping itu, sistem pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai
perlu adanya dukungan sumberdaya manusia yang memiliki kapasitas di
bidang penilaian ekonomi sumberdaya alam taman nasional, baik dalam
aspek technical skill, managerial skill maupun social atau communication
skill. Technical skill ialah secara teknis memiliki kemampuan memahami
dan mengimplementasikan teknik-teknik penghitungan nilai ekonomi
taman nasional. Managerial skill ialah memiliki kemampuan memahami
aspek-aspek manajemen pengelolaan taman nasional dari aspek
Planning, Organizing, Actuating dan Controlling (POAC). Social atau
128
communication skill ialah kemampuan mengkomunikasikan secara efektif
kepada semua stakeholders taman nasional tentang nilai manfaat
ekonomi taman nasional.
2. Pengembangan pemanfaatan taman nasional
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistem kawasan
taman nasional hanya untuk kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata
alam. Oleh karena itu, pemanfaatan Taman Nasional Gunung Ciremai
untuk kegiatan penelitian harus diarahkan pada penelitian terapan dalam
pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penelitian jenis-jenis tumbuhan dan satwa bernilai ekonomi tinggi,
termasuk jenis-jenis yang dibutuhkan oleh masyarakat harus dilakukan
secara intensif, seperti tanaman obat, tanaman hias, kumbang, ikan,
kupu-kupu dan sebagainya. Kegiatan penelitian harus diarahkan sampai
pada tahap bagaimana bisa dikembangkan budidaya atau
penangkarannya oleh masyarakat sekitar, sehingga dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat.
Kegiatan wisata alam harus diarahkan pada kegiatan ekowisata
dengan lebih memberikan peluang peran serta masyarakat. Hal ini akan
dapat meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat,
sehingga ketergantungan secara langsung terhadap sumberdaya alam
Taman Nasional Gunung Ciremai yang bersifat ekstraktif dapat dikurangi.
Pengembangan kegiatan pendidikan konservasi bagi masyarakat
sekitar harus diarahkan pada pendekatan kesejahteraan melalui
pengembangan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) karena melalui ini
dapat dikembangkan unit percontohan usaha konservasi yang produktif,
seperti usaha budidaya anggrek, tanaman obat, penangkaran kupu-kupu,
ekowisata dan sebagainya.
3. Pemberdayaan ekonomi masyarakat
Selain pengembangan usaha ekowisata dan sebagainya, program
pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat dikembangkan melalui usaha
pedesaan berbasiskan kondisi potensi biofisik desa-desa sekitar Taman
Nasional Gunung Ciremai, seperti pengembangan kegiatan agroforestry
dan sebagainya.
129
Agroforestry ialah sistem usaha tani dan kehutanan yang
dikembangkan di lahan-lahan masyarakat di desa-desa penyangga taman
nasional dengan pendekatan social forestry, sehingga dapat diwujudkan
pemanfaatan lahan secara optimal dengan mempertimbangkan aspek
ekonomi, ekologi dan sosial.
Secara ekonomi, pengembangan agroforestry diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat melalui sumber pendapatan yang
lebih beragam dari komoditas yang ditanamnya, baik komoditas
kehutanan maupun pertanian (tanaman pangan, tanaman hortikultura dan
tanaman industri). Keragaman komoditas, selain akan lebih menstabilkan
pendapatan dan mengurangi ketergantungan terhadap suatu komoditas
juga dapat membuka berbagai jenis usaha baru.
Dipandang dari aspek ekologi, penerapan sistem agroforestry
merupakan hal yang sangat penting karena kondisi fisik lahan dan curah
hujan di wilayah penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai
menyebabkan wilayah ini sangat rawan terhadap erosi, sehingga harus
dipertahankan bervegetasi hutan. Dari aspek sosial, peningkatan dan
keragaman sumber pendapatan dapat meningkatkan kesejahteraan.
Meskipun demikian, PHBM yang sekarang ada pada kawasan Taman
Nasional Gunung Ciremai bisa tetap berjalan selama masa transisi ini.
Kesepakatan lama masa transisi merupakan kebijakan bersama Pemda
Kabupaten Kuningan dengan Departemen Kehutanan berdasarkan
kepentingan, perkembangan permasalahan dan sebagainya. Namun, tidak
berarti setelah masa transisi selesai masyarakat akan diusir dari kawasan
Taman Nasional Gunung Ciremai. Selama masa transisi tersebut, semua
pihak bersama-sama secara bertahap berusaha melaksanakan strategi di
atas karena perubahan pola budaya masyarakat memerlukan pendekatan
yang bersifat elegan dan persuasif.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan terdiri atas beberapa
tahapan, yaitu sosialisasi, pembentukan Forum PHBM, pemetaan, inventori,
perencanaan desa, NKB, NPK dan Peraturan Desa
2. Dampak ekonomi dari kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan terlihat dari
nilai kontribusi pendapatan PHBM pada pendapatan rumah tangga sebesar
7,71%, yaitu Rp 924.905,- dari Rp 11.957.952,- dengan rata-rata pendapatan
sekitar Rp 3.336.573,- per kapita per tahun. Meskipun kontribusinya tidak
terlalu besar, namun kegiatan PHBM tidak bisa diabaikan karena
menyangkut budaya masyarakat yang perubahannya memerlukan
pendekatan yang persuasif dan juga mempengaruhi tingkat kemiskinan
masyarakat yang setelah PHBM secara umum relatif baik.
3. Rata-rata Koefisien Gini dari pendapatan rumah tangga per tahun ialah 0,28
yang berarti disparitas pendapatan relatif terdistribusi secara baik dan relatif
tidak memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap PHBM sebagai sumber
pendapatan
4. Keuntungan dari PHBM di Kabupaten Kuningan secara signifikan dipengaruhi
oleh faktor pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan rumah
tangga, tingkat kemiskinan dan porsi pendapatan dari PHBM serta tingkat
kemiskinan dipengaruhi secara signifikan oleh faktor pendidikan, jumlah
anggota rumah tangga, pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM dan
porsi pendapatan dari PHBM
5. Strategi kebijakan PHBM yang dapat diterapkan di Taman Nasional Gunung
Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat, yaitu:
a. Sosialisasi nilai ekonomi taman nasional dan intervensi regulasi, seperti
insentif hulu hilir, revisi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah serta penerapan PDRB Hijau (PDRB berwawasan lingkungan)
sebagai neraca pendamping bagi pelaporan keuangan daerah dan
nasional
b. Pengembangan pemanfaatan taman nasional
c. Pemberdayaan ekonomi masyarakat
131
6.2. Saran-saran 1. Perlu dilakukan penilaian ekonomi lainnya di Taman Nasional Gunung
Ciremai, sehingga memiliki informasi nilai ekonomi dan kegiatan sosialisasi
tentang nilai ekonomi kepada masyarakat mempunyai landasan informasi
yang kuat dan intervensi regulasi dapat dilakukan
2. PHBM yang sekarang ada pada kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai
bisa tetap berjalan selama masa transisi ini dan kesepakatan lama masa
transisi merupakan kebijakan bersama Pemda Kabupaten Kuningan dengan
Departemen Kehutanan berdasarkan kepentingan, perkembangan
permasalahan dan sebagainya
3. Selama masa transisi ini, semua pihak bersama-sama secara bertahap
berusaha melaksanakan strategi di atas karena perubahan pola budaya
masyarakat memerlukan pendekatan yang bersifat elegan dan persuasif
DAFTAR PUSTAKA
Affianto, A., W.A. Djatmiko, S. Riyanto dan T.T. Hermawan. 2005. Analisis
Biaya dan Pendapatan dalam Pengelolaan PHBM: Sebuah Panduan Perhitungan Bagi Hasil. Pustaka Latin. Bogor.
Aliadi, A. 2002. Good Forest Governance: Experience from Kuningan. Latin.
Bogor. Anderson, J.E. 1984. Public Policy Making. Praeger Publishers. New York. Anonim. 2002. Rapat Koordinasi Perlindungan dan Penanggulangan Hutan.
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Bandung. Blair, H.W. and P.D. Olpadwala. 1988. Forestry in Development Planning:
Lesson from the Rural Experience. Westview Press, Inc. Boulder Colorado.
Boulton, R.W. 1984. Business Policy: The Art of Strategic Management.
Mc.Millan. New York. Bruenig, E.F. 1996. Conservation and Management of Tropical Rain Forest: An
Integrated Approach to Sustainability. CABI International. Wallingford. Chaffee, E.E. 1985. Three Models of Strategy. Academic of Management
Review 10:89-98. Chandler. 1962. Strategy and Structure: Chapters in the History of American
Industrial Enterprise. The MIT Press. Cambridge. Darusman, D dan D.R. Nurrochmat. 2005. Kebijakan dan Kerangka Hukum
Kehutanan menuju Tata Kelola Hutan yang Baik di Kabupaten Pasir, Malinau dan Kapuas Hulu. Laboratorium Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Davis, L.S. and K.N. Johnsons. 1987. Forest Management. McGraw-Hill Book
Company. New York. Departemen Kehutanan. 1989. Kamus Kehutanan Volume I. Departemen
Kehutanan. Jakarta. Dunn, W.N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. Elis, F. 1994. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge
University Press. England. Golembiewski, R.T. 1972. Public Administration. Chicago Rand Mc. Nelly and
Company. Chicago.
133
Gunawan, G. 2001. Memahami Kemitraan Perhutani–Masyarakat: Kasus KPH Kuningan, Jawa Barat. Latin. Bogor
Hardin, G. 1968. The Tragedy of the Commons. Science, 162(1968):1243-
1248. Helms, J.A. 1998. The Dictionary of Forestry. The Society of American
Foresters and CABI Publishing. Bethesda and Wallington. Hermawan, T.T., A. Affianto, A. Susanti, E. Soraya, W. Wardhana dan S.
Riyanto. 2005. Pemanfaatan Ruang dan Lahan di Taman Nasional Gunung Ciremai: Suatu Rancangan Model. Pustaka Latin. Bogor.
Kartodihardjo, H. 1999. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. King, K.F.S. 1987. The History of Agroforestry. ICRAF. Nairobi. Kirchhofer, J. and M. Evan. 1986. Putting Social and Community Forestry in
Perspective in the Asia Pacific Region. Winrock International Institute for Agricultural Development. Bangkok.
Kurttila, M., M. Pesonen, J. Kangas and M. Kajanus. 2000. Utilizing the Analytic
Hierarchy Process (AHP) in SWOT Analysis–A Hybrid Method and it’s Application to a Forest-Certification Case. Forest Policy and Economics 1, 41-52.
Kusuma, S.W. 2003. PHBM Jilid II sebagai Pembangunan Masyarakat Desa
Hutan menuju Masyarakat Desa yang Maju dan Mandiri. Bapeda Kabupaten Kuningan. Kuningan.
Loetsch, F. and K.E. Haller. 1964. Forest Inventory Volume I. BLV Verlagsgfsell
Schaft. Muenchen, Basel, Wien. Maksum, J. 2005. Pasang Surut Kolaborasi PHBM di Kuningan. Pustaka Latin.
Bogor. Malczewski, J. 1999. GIS and Multi Criteria Decision Analysis. John Wiley and
Sons, Inc. New York. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Nguyen. 2001. Social Forestry: Terminology Forum.
http://edugreen.teri.res.in/explore/forestry/social.htm [5 Januari 2006]. Nigro, F.A. 1980. Modern Public Administration. Harper and Row Publisher.
New York. Noorvitastri, H. dan N. Wijayanto. 2003. Format Sistem Bagi Hasil dalam
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dengan Sistem Agroforestry. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 9(1):37-46.
134
Nurrochmat, D.R. 2005a. Strategi Pengelolaan Hutan: Upaya Menyelamatkan Rimba yang Tersisa. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
_____. 2005b. The Impacts of Regional Autonomy on Political Dynamics, Socio-
Economics and Forest Degradation: Case of Jambi-Indonesia. Cuvillier Verlag. Gottingen.
Pal, L.A. 1992. Public Policy Analysis: An Introduction. Scarborough, Ont.
Canada. Porter, M.E. 1985. Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior
Performance. The Free Press. New York. Ramdan, H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan
Gunung Ciremai, Provinsi Jawa Barat. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ramdan, H., Yusran dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Otonomi Daerah: Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Alqaprint. Bandung.
Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi
Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Rao, M.S. 1979. Introduction to Social Forestry. Oxford and IBH Publishing Co.
Pvt. Ltd. New Delhi. Saaty, T.L. 1980. The Analytic Hierarchy Process: Planning Setting Priorities,
Resource Allocation. McGraw-Hill. New York. _____. 1986. Decision Making for Leaders: The Analytical Hierarchy Process for
Decisions in a Complex World. University of Pittsburgh Press. Pittsburgh. Sembiring, S.N., F. Husbani, A.M. Arif, F. Ivalerina dan F. Hanif. 1999. Kajian
Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat. Indonesian Center for Environmental Law. Jakarta.
Shrestha, R.K., J.R.R. Alavalapati and R.S. Kalmbacher. 2004. Exploring the
Potential for Silvopasture Adoption in South Central Florida: An Application of SWOT–AHP Method. Jurnal Agricultural Systems:1-15.
Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas
Kehutanan. Bogor. _____. 2004. Kemelut dalam Pengurusan Hutan: Sejarah Panjang Kesenjangan
antara Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Tiryana, T. 2005. Assessment of Sustainable Forest Management Using Fuzzy
Rule–Based Model. International Institute for Geo–Information Science and Earth Observation. Enschede.
135
Tiryana, T dan B. Saleh. 2005. Pengambilan Keputusan dengan Metode AHP. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Tjokroamidjojo, B. 1976. Analisa Kebijakan dalam Proses Perencanaan
Pembangunan Nasional. Majalah Administrator Nomor 5 dan 6 Tahun IV.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta lokasi penelitian
136
137
Lampiran 2. Jadwal penelitian
Tahun 2006 Tahun 2007 No. Kegiatan Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Peb 1 Pengumpulan data sekunder dan
studi pustaka
2 Penyusunan proposal penelitian 3 Sidang Komisi Pembimbing I 4 Kolokium 5 Studi/survey lapangan (pengumpulan
data primer)
6 Pengolahan dan analisis data serta penulisan laporan hasil penelitian
7 Sidang Komisi Pembimbing II 8 Seminar hasil 9 Ujian tesis
10 Perbaikan dan penggandaan tesis
138
Lampiran 3. Kuisioner penelitian untuk implementasi dan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN
PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI,
KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT
KUISIONER IMPLEMENTASI DAN DAMPAK PHBM
Besar harapan saya Bapak/Ibu dapat berpartisipasi dalam penelitian tesis ini guna mengkaji implementasi dan dampak kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Atas partisipasinya diucapkan terima kasih. Data kuisioner ini akan digunakan sebagai bahan penyusunan tesis: Nama : FARMA YUNIANDRA NRP : P052040191 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2006
139
Lampiran 3. (lanjutan)
PETUNJUK PENGISIAN
Dalam rangka memformulasikan strategi kebijakan PHBM di Taman
Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat, maka
dilakukan penelitian. Responden untuk kuisioner ini ialah para peserta PHBM di
Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
yang dipilih secara stratified random sampling.
KUISIONER
A. Data Umum Keluarga
1. Kepala keluarga : ................................................................................
2. Alamat : ................................................................................
3. Tipe Rumah : ................................................................................
4. Anggota keluarga yang tinggal saat ini:
No. Nama Usia Jenis Kelamin Hubungan Pendidikan1 2 3 4 5 6 7 Jumlah
5. Anggota keluarga di tempat lain:
No. Nama Alamat Usia Jenis Kelamin Hubungan Pendidikan Pekerjaan Kiriman
1 2 3 4 5 Jumlah
B. Pendapatan
1. Asset:
No. Lahan Luas Penggunaan 1 2 3 4 Jumlah
140
Lampiran 3. (lanjutan) 2. Pendapatan pertanian:
No. Tanaman Produksi Harga Pendapatan Kotor Biaya Pendapatan Bersih 1 2 3 4 5
Jumlah
3. Pendapatan lainnya: No. Jenis Pendapatan
1 2 3 4 5 Jumlah
4. Pengeluaran:
No. Tanaman Input Penggunaan Harga Biaya 1 2 3 4 5
Jumlah C. PHBM
1. Berapa luas lahan PHBM?
2. Berapa hari dalam sebulan bekerja di lahan PHBM?
3. Pendapatan: No. Tanaman Produksi Harga Pendapatan Kotor Biaya Pendapatan Bersih
1 2 3 4 5
Jumlah
4. Pengeluaran: No. Tanaman Input Penggunaan Harga Biaya
1 2 3 4 5
Jumlah
141
Lampiran 4. Kuisioner penelitian untuk perumusan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN
PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI,
KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT
KUISIONER AHP DAN SWOT
Besar harapan saya Bapak/Ibu dapat berpartisipasi dalam penelitian tesis ini dengan cara membandingkan faktor satu dengan faktor lainnya dengan melihat faktor mana yang lebih berperan di antara faktor-faktor tersebut dalam penentuan tingkat di atasnya guna mendapatkan rumusan strategi kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Atas partisipasinya diucapkan terima kasih. Data kuisioner ini akan digunakan sebagai bahan penyusunan tesis: Nama : FARMA YUNIANDRA NRP : P052040191 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2006
142
Lampiran 4. (lanjutan)
PETUNJUK PENGISIAN
Dalam rangka memformulasikan strategi kebijakan PHBM di Taman
Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat, maka
dilakukan penelitian dengan menggunakan teknik Analisis Hirarki Proses (AHP)
dan Strength, Weakness, Opportunity, Threat (SWOT). Responden untuk
kuisioner ini ialah para pakar yang berkaitan dengan PHBM di Taman Nasional
Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat yang dipilih secara
sengaja berdasarkan jabatan, profesi atau pengalamannya dengan syarat
memiliki pengetahuan yang menyeluruh mengenai PHBM di Taman Nasional
Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.
Struktur hirarki dari kajian ini dibagi atas tingkat 1 sampai dengan 4 sebagai
berikut:
1. Tingkat 1: Fokus
Strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat
2. Tingkat 2: Stakeholders
Stakeholders yang terlibat dalam PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat terdiri atas:
a. Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) II Provinsi Jawa Barat
b. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan
c. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal Kabupaten Kuningan
d. Universitas Kuningan
e. Lembaga Pelayanan Implementasi (LPI)–PHBM Kabupaten Kuningan
f. Paguyuban Masyarakat Tani Hutan (PMTH) Kabupaten Kuningan
3. Tingkat 3: Kriteria
Kriteria yang digunakan untuk strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional
Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat terdiri atas:
a. Ekologi
b. Sosial
c. Ekonomi
143
Lampiran 4. (lanjutan) 4. Tingkat 4: SWOT
Merupakan analisis situasi untuk strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional
Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat yang terdiri atas:
a. Strength
b. Weakness
c. Opportunity
d. Threat
Struktur hirarki kajian di atas secara sederhana disajikan pada gambar
berikut.
Tingkat 4: SWOT
Tingkat 2: Stakeholders
PHBM di TNGC
BKSDA Dishutbun LSM Uniku LPI-PHBM PMTH
Ekologi Sosial Ekonomi
Strength Weakness Opportunity Threat
Tingkat 1: Fokus
Tingkat 3: Kriteria
Pengisian kuisioner ini dilakukan dengan cara membandingkan faktor satu
dengan faktor lainnya dengan melihat faktor mana yang lebih berperan di antara
faktor-faktor tersebut dalam penentuan tingkat di atasnya. Skala yang digunakan
dalam pengisian kuisioner ini ialah skala perbandingan berpasangan Saaty,
sebagai berikut:
No. Penilaian Verbal Intensitas Kepentingan 1 Sama pentingnya 1 2 Sedikit lebih penting 3 3 Penting 5 4 Jelas lebih penting 7 5 Sangat penting 9 6 Nilai antara atau pertengahan 2, 4, 6, 8
Sumber: Saaty (1980)
144
Lampiran 4. (lanjutan) Contoh: PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa
Barat mempunyai Strength secara ekologi, sosial dan ekonomi. Bandingkan
intensitas kepentingan kriteria tersebut. Jika intensitas kepentingan kriteria
ekologi sedikit lebih penting dari pada sosial, maka diberi nilai 3, jika ekologi jelas
lebih penting dari pada ekonomi, maka diberi nilai 7 dan jika sosial penting dari
pada ekonomi, maka diberi nilai 5. Intensitas Kepentingan No. Kriteria 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kriteria
1 Ekologi X Sosial 2 Ekologi X Ekonomi 3 Sosial X Ekonomi
BIODATA Nama : ______________________________________________ Pekerjaan/Jabatan : ______________________________________________ Alamat : ______________________________________________ Hari/Tanggal : ______________________________________________ Waktu : ______________________________________________
KUISIONER
1. PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi
Jawa Barat mempunyai Strength secara ekologi, sosial dan ekonomi.
Bandingkan intensitas Strength di antara faktor tersebut untuk menentukan
strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat Intensitas Kepentingan No. Kriteria 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kriteria
1 Ekologi Sosial 2 Ekologi Ekonomi 3 Sosial Ekonomi 2. PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi
Jawa Barat mempunyai Weakness secara ekologi, sosial dan ekonomi.
Bandingkan intensitas Weakness di antara faktor tersebut untuk
menentukan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
145
Lampiran 4. (lanjutan)
Intensitas Kepentingan No. Kriteria 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kriteria
1 Ekologi Sosial 2 Ekologi Ekonomi 3 Sosial Ekonomi 3. PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi
Jawa Barat mempunyai Opportunity secara ekologi, sosial dan ekonomi.
Bandingkan intensitas Opportunity di antara faktor tersebut untuk
menentukan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Intensitas Kepentingan No. Kriteria 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kriteria
1 Ekologi Sosial 2 Ekologi Ekonomi 3 Sosial Ekonomi 4. PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi
Jawa Barat mempunyai Threat secara ekologi, sosial dan ekonomi.
Bandingkan intensitas Threat di antara faktor tersebut untuk menentukan
strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat Intensitas Kepentingan No. Kriteria 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kriteria
1 Ekologi Sosial 2 Ekologi Ekonomi 3 Sosial Ekonomi 5. Strength pada PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat mempunyai S1, S2 dan S3. Bandingkan
intensitas Strength di antara faktor tersebut untuk menentukan strategi
kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat Intensitas Kepentingan No. S 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 S
1 S1 S22 S1 S33 S2 S3
6. Weakness pada PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat mempunyai W1, W2 dan W3. Bandingkan
intensitas Weakness di antara faktor tersebut untuk menentukan strategi
kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat
146
Lampiran 4. (lanjutan)
Intensitas Kepentingan No. W 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 W
1 W1 W22 W1 W33 W2 W3
7. Opportunity pada PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat mempunyai O1, O2 dan O3. Bandingkan
intensitas Opportunity di antara faktor tersebut untuk menentukan strategi
kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat Intensitas Kepentingan No. O 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 O
1 O1 O22 O1 O33 O2 O3
8. Threat pada PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat mempunyai T1, T2 dan T3. Bandingkan
intensitas Threat di antara faktor tersebut untuk menentukan strategi
kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat Intensitas Kepentingan No. T 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 T
1 T1 T22 T1 T33 T2 T3
Keterangan: 1. S1 : Potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa lingkungan yang
besar
2. S2 : Kerja sama stakeholders yang cukup baik
3. S3 : Dukungan pemerintah dan stakeholders lainnya yang cukup menjanjikan
4. W1 : Keanekaragaman hayati, satwa dan habitatnya yang sangat sensitif
5. W2 : Kapasitas stakeholders yang relatif rendah
6. W3 : Ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi
7. O1 : Permintaan ekowisata dan jasa lingkungan yang cukup besar
8. O2 : Iklim usaha yang cukup kondusif
9. O3 : Investasi dari pihak luar yang peduli terhadap kelestarian hutan
10. T1 : Gangguan terhadap hutan yang cukup tinggi
11. T2 : Jumlah penduduk yang cukup besar
12. T3 : Pasar produk kayu yang cukup potensial
Lampiran 5. Nilai faktor prioritas dan semua prioritas dari analisis SWOT dan AHP
Faktor Prioritas Semua Prioritas No. SWOT BKSDA Dishutbun LSM Uniku LPI-
PHBM PMTH BKSDA Dishutbun LSM Uniku LPI-PHBM PMTH
Rata-Rata
1 S a. S1b. S2c. S3
2 W a. W1b. W2c. W3
3 O a. O1b. O2c. O3
4 T a. T1b. T2c. T3
147
Lampiran 6. Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun 2001-2004
No. Tahun/Desa Kecamatan Sosialisasi Forum PHBM dan KTH
Pemetaan Partisipatif Inventori Perencanaan
Desa NKB NPK Peraturan Desa
A 2001 1 Sukasari Karangkancana 1 1 1 1 1 30,35 30,35 - 2 Cileuya Cimahi 1 1 1 1 1 63,00 63,00 - 3 Pajambon Kramatmulya 1 1 1 1 1 30,00 30,00 -
Jumlah 3 3 3 3 3 123,35 123,35 - B 2002
1 Dukuh Badag Cibingbin 1 1 1 - - - - - 2 Bantar Panjang Cibingbin 1 1 1 - - - - - 3 Cipondok Cibingbin 1 1 1 - - - - - 4 Sukarapih Cibeureum 1 1 1 - - - - - 5 Cibeureum Cibeureum 1 1 1 - - 370,05 - - 6 Kawungsari Cibeureum 1 1 1 1 1 157,70 73,40 - 7 Pasawahan Pasawahan 1 1 1 1 1 789,60 - - 8 Padabeunghar Pasawahan 1 1 1 1 1 1.200,46 36,90 - 9 Kaduela Pasawahan 1 1 1 1 1 91,40 - -
10 Setianegara Cilimus 1 1 1 1 1 975,66 - - 11 Linggasana Cilimus 1 1 1 1 1 341,29 44,60 - 12 Sayana Jalaksana 1 1 1 1 1 367,54 - - 13 Babakan Mulya Jalaksana 1 1 1 1 1 21,25 - - 14 Cimahi Cimahi 1 1 1 1 1 105,35 - - 15 Gunungsari Cimahi 1 1 1 1 1 645,17 - - 16 Kartawana Kalimanggis 1 1 1 1 1 124,40 - - 17 Cipancur Kalimanggis 1 1 1 1 1 103,57 - - 18 Cihirup Ciawigebang 1 1 1 1 1 551,70 - 1 19 Tanjungkerta Karangkancana 1 1 1 1 1 311,35 - - 20 Karangkancana Karangkancana 1 1 1 1 1 570,62 - - 21 Jabranti Karangkancana 1 1 1 1 1 1.347,51 50,00 - 22 Patala Cilebak 1 1 1 1 1 230,04 - - 23 Legokherang Cilebak 1 1 1 1 1 398,35 - - 24 Gunungmanik Ciniru 1 1 1 1 1 374,55 - - 25 Mekarsari Lebakwangi 1 1 1 - - - - - 26 Cipakem Lebakwangi 1 1 1 - - 808,19 - -
148
Lampiran 6. (lanjutan)
No. Tahun/Desa Kecamatan Sosialisasi Forum PHBM dan KTH
Pemetaan Partisipatif Inventori Perencanaan
Desa NKB NPK Peraturan Desa
27 Seda Mandirancan 1 1 1 1 - - - - 28 Trijaya Mandirancan 1 1 1 1 1 405,14 - - 29 Sagarahiang Darma 1 1 1 1 1 588,25 76,35 - 30 Sumberjaya Ciwaru 1 1 - - - - - - 31 Ciwaru Ciwaru 1 1 1 - - - - - 32 Bunigeulis Hantara 1 1 1 1 1 - - - 33 Cisantana Cigugur 1 1 1 1 1 - - - 34 Pakembangan Garawangi 1 1 1 1 1 51,10 - - 35 Jatimulya Cidahu 1 1 1 1 1 333,20 - - 36 Kertayuga Nusaherang 1 1 1 1 1 131,30 - -
Jumlah 36 36 35 27 26 11.394,74 281,25 1 C 2003
1 Singkup Pasawahan 1 1 - - - - - - 2 Paniis Pasawahan 1 1 1 - - 12,95 - - 3 Cibuntu Pasawahan 1 1 - - - - - - 4 Pakapasan Hilir Hantara 1 1 1 - - 54,80 - - 5 Tundagan Hantara 1 1 - - - - - - 6 Citapen Hantara 1 1 1 - - 244,75 - - 7 Pinara Ciniru 1 1 - - - - - - 8 Rambatan Ciniru 1 1 1 - - 130,05 - - 9 Cipedes Ciniru 1 1 - - - - - -
10 Tembong Garawangi 1 1 1 - - 28,50 - - 11 Cirukem Garawangi 1 1 1 - - - - - 12 Kadatuan Garawangi 1 1 - - - - - - 13 Marga Bakti Kadugede 1 1 1 - - 60,95 - - 14 Sindang Jawa Kadugede 1 1 1 - - 61,55 - - 15 Randobawa Girang Mandirancan 1 1 1 1 1 12,05 - - 16 Karangsari Darma 1 1 1 - - 72,63 - - 17 Gunung Sirah Darma 1 1 1 - - 324,50 - - 18 Cageur Darma 1 1 1 - - 57,25 - - 19 Sakerta Timur Darma 1 1 1 - - 32,00 - - 20 Jamberama Selajambe 1 1 1 - - 318,50 - -
149
Lampiran 6. (lanjutan)
No. Tahun/Desa Kecamatan Sosialisasi Forum PHBM dan KTH
Pemetaan Partisipatif Inventori Perencanaan
Desa NKB NPK Peraturan Desa
21 Bagawat Selajambe 1 1 1 - - 197,95 - - 22 Padahurip Selajambe 1 1 1 - - 176,35 176,35 - 23 Kutawaringin Selajambe 1 1 1 - - 153,99 - - 24 Gunung Aci Subang 1 1 - - - - - - 25 Subang Subang 1 1 - - - - - - 26 Situgede Subang 1 1 - - - - - - 27 Sukadana Ciawigebang 1 1 1 1 - 127,10 - - 28 Linggarjati Cilimus 1 1 1 1 1 394,83 - - 29 Bandorasa Kulon Cilimus 1 1 1 1 - 253,00 - - 30 Cibeureum Cilimus 1 1 - - - - - - 31 Cilimus Sari Cilebak 1 1 1 - - 205,15 - - 32 Bungur Beres Cilebak 1 1 1 - - 449,17 - - 33 Lebak Herang Ciwaru 1 1 1 - - 127,00 - - 34 Cilayung Ciwaru 1 1 - - - - - - 35 Citundun Ciwaru 1 1 1 - - 340,63 - - 36 Sukamukti Jalaksana 1 1 - - - - - - 37 Manis Kidul Jalaksana 1 1 - - - - - - 38 Sangkanerang Jalaksana 1 1 1 1 1 83,44 83,44 - 39 Cikahuripan Lebakwangi 1 1 1 - - 82,00 - - 40 Padamulya Lebakwangi 1 1 - - - - - - 41 Giriwaringin Lebakwangi 1 1 1 - - 124,58 - - 42 Kalimati Japara 1 1 1 1 1 137,90 37,00 - 43 Cibulan Cidahu 1 1 1 - - - - - 44 Puncak Cigugur 1 1 1 1 1 211,70 - - 45 Cimulya Cimahi 1 1 1 1 1 691,10 - - 46 Marga mukti Cimahi 1 1 1 - - 211,00 - - 47 Mekarjaya Cimahi 1 1 - - - - - - 48 Sukajaya Cimahi 1 1 - - - - - - 49 Wanasaraya Kalimanggis 1 1 1 - - 128,10 - - 50 Margacina Karangkancana 1 1 1 - - 768,89 - - 51 Kaduagung Karangkancana 1 1 1 - - 177,80 - - 52 Segong Karangkancana 1 1 1 - - 412,00 - -
150
Lampiran 6. (lanjutan)
No. Tahun/Desa Kecamatan Sosialisasi Forum PHBM dan KTH
Pemetaan Partisipatif Inventori Perencanaan
Desa NKB NPK Peraturan Desa
53 Simpay Jaya Karangkancana 1 1 - - - - - - 54 Haurkuning Nusaherang 1 1 1 - - 51,10 - - 55 Cibingbin Cibingbin 1 1 1 - - 128,01 - - 56 Ciangir Cibingbin 1 1 - - - - - - 57 Randusari Cibeureum 1 1 - - - - - - 58 Cimara Cibeureum 1 1 1 - - 1.215,58 - - 59 Tarikolot Cibeureum 1 1 1 - - 82,64 - - 60 Sukadana Cibeureum 1 1 1 - - 23,70 - -
Jumlah 60 60 41 8 6 8.365,19 296,79 - D 2004
1 Padamatang Pasawahan 1 1 1 - - - - - 2 Mulyajaya Cimahi 1 1 - - - - - - 3 Mungkaldatar Ciniru 1 1 1 - - - - - 4 Pamupukan Ciniru 1 1 1 - - - - - 5 Cijemit Ciniru 1 1 - - - - - - 6 Garahaji Lebakwangi 1 1 - - - - - - 7 Cihanjaro Karangkancana 1 1 - - - - - - 8 Cimenga Darma 1 1 1 1 1 61,05 61,50 - 9 Tugumulya Darma 1 1 1 1 - 23,70 - -
10 Karangbaru Ciwaru 1 1 1 1 - 166,90 - - 11 Garajati Ciwaru 1 1 1 1 - 104,40 - - 12 Andamui Ciwaru 1 1 1 1 - 21,65 - - 13 Sagaranten Ciwaru 1 1 - - - - - - 14 Pakapasan Girang Hantara 1 1 - - - - - - 15 Cikondang Hantara 1 1 1 1 - 62,23 - - 16 Pasir Agung Hantara 1 1 1 1 - 156,18 - - 17 Hantara Hantara 1 1 - - - - - - 18 Gewok Garawangi 1 1 1 1 1 55,45 55,45 - 19 Sukaimut Garawangi 1 1 - - - - - - 20 Cikananga Garawangi 1 1 1 - - - - - 21 Kutakembaran Garawangi 1 1 1 - - - - - 22 Purwasari Garawangi 1 1 1 - - - - -
151
Lampiran 6. (lanjutan)
No. Tahun/Desa Kecamatan Sosialisasi Forum PHBM dan KTH
Pemetaan Partisipatif Inventori Perencanaan
Desa NKB NPK Peraturan Desa
23 Karamatwangi Garawangi 1 1 1 1 1 18,80 18,80 - 24 Citangtu Kuningan 1 1 - - - - - - 25 Dukuhpicung Luragung 1 1 1 1 - 100,00 - - 26 Cisaat Cibingbin 1 1 1 - - - - - 27 Sumurwiru Cibeureum 1 1 - - - - - - 28 Cilebak Cilebak 1 1 1 1 - 201,18 - - 29 Mandapajaya Cilebak 1 1 - - - - - - 30 Jalatrang Cilebak 1 1 1 - - - - - 31 Paramulihan Subang 1 1 1 - - - - - 32 Jatisari Subang 1 1 1 - - - - -
Jumlah 32 32 21 11 3 971,54 135,75 - Total 131 131 100 49 38 20.854,82 837,14 1
Sumber: LPI-PHBM Kabupaten Kuningan 152
Lampiran 7. Kegiatan Gerhan di Taman Nasional Gunung Ciremai wilayah Kabupaten Kuningan tahun 2005
Bibit (batang) No. Resort Blok Petak Luas (Ha) Peutag Huni Salam Puspa Ki Hujan Manglid Jumlah Keterangan
1 Pasawahan Cipari Cipari 40 2.400 1.333 4.000 2.667 3.200 4.000 17.600 Murni (bibit 440 per Ha)
Tegal Bodas Tegal Bodas 20 600 334 1.000 666 800 1.000 4.400 Pengkayaan (bibit 220 per Ha)
Panjak Roma 20 600 334 1.000 666 800 1.000 4.400 Sayang Kaak Sayang Kaak 10 300 167 500 333 400 500 2.200 Pengkayaan Batu Lingga 40 1200 667 2.000 1.333 1.600 2.000 8.800 Remut Ruka 10 300 167 500 333 400 500 2.200
2 Setianegara Tutupan Tutupan 10 600 333 1.000 667 800 1.000 4.400 Murni Cirahong 5 300 167 500 333 400 500 2.200 Cikacu 10 600 333 1.000 667 800 1.000 4.400 Lambosir 30 1.800 1.000 3.000 2.000 2.400 3.000 13.200 Tampian Tampian 20 600 333 1.000 667 800 1.000 4.400 Pengkayaan Hutan lindung 20 600 333 1.000 667 800 1.000 4.400 Durma Kiamis 15 450 250 750 500 600 750 3.300
3 Cigugur Darma
Kopi Gewok Kopi Gewok 25 750 417 1.250 833 1.000 1.250 5.500 Pengkayaan
Jubleg 10 300 167 500 333 400 500 2.200 Lamping
Kidang 10 300 167 500 333 400 500 2.200
Taheun Arit Taheun Arit 50 300 167 500 333 400 500 2.200 Murni Percobaan 25 150 83 250 167 200 250 1.100 Palasari 30 1.800 1.000 3.000 2.000 2.400 3.000 13.200
Total 400 13.950 7.752 23.250 15.498 18.600 23.250 102.300 Sumber: BKSDA II Provinsi Jawa Barat 153
Lampiran 8. PAD Kabupaten Kuningan dari sektor kehutanan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan tahun 2001-2005
2001 2002 2003 2004 2005 No. Sumber
Pendapatan Rp % Rp % Rp % Rp % Rp % 1 Kebun bibit
daerah - - - - 10.099.000,00 57,40 10.109.800,00 62,74 10.356.000,00 10,10
2 Ijin aneka hasil hutan bukan kayu
2.055.000,00 100,00 2.500.000,00 100,00 7.493.835,00 42,6 6.005.115,00 37,26 9.202.590,00 8,98
3 Pengukuran dan pengujian hasil hutan kayu
- - - - - - - - 76.194.788,50 74,32
4 Ijin pendakian Gunung Ciremai
- - - - - - - - 6.766.915,00 6,60
Jumlah 2.055.000,00 100,00 2.500.000,00 100,00 17.592.835,00 100,00 16.114.915,00 100,00 102.520.293,50 100,00 Kabupaten
Kuningan 12.093.675.538,00 0,02 16.496.871.043,00 0,02 20.511.174.116,72 0,09 24.412.352.859,00 0,07 31.148.897.888,52 0,33
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kuningan
154
Lampiran 9. PAD Kabupaten Kuningan dari sektor kehutanan pada dinas lainnya di Kabupaten Kuningan tahun 2001-2005
2001 2002 2003 2004 2005 No. Sumber Pendapatan Rp % Rp % Rp % Rp % Rp %
1 Pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan
769.098.938,00 100,00 450.872.705,00 98,84 - - - - - -
2 Ijin pengelolaan air bawah tanah
- - 5.300.000,00 1,16 12.950.000,00 100,00 13.634.150,00 100,00 15.850.000,00 0,61
3 Kompensasi pemanfaatan sumberdaya air
- - - - - - - - 2.599.661.600,00 99,39
Jumlah 769.098.938,00 100,00 456.172.705,00 100,00 12.950.000,00 100,00 13.634.150,00 100,00 2.615.511.600,00 100,00 Dinas
Kehutanan dan Perkebunan
2.055.000,00 2.500.000,00 17.592.835,00 16.114.915,00 102.520.293,50
Total 771.153.938,00 458.672.705,00 30.542.835,00 29.749.065,00 2.718.031.893,50 Kabupaten
Kuningan 12.093.675.538,00 6,38 16.496.871.043,00 2,78 20.511.174.116,72 0,15 24.412.352.859,00 0,12 31.148.897.888,52 8,73
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kuningan
155
Lampiran 10. Skala parameter dari SWOT kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
No. Stakeholders dan Kriteria Bobot S S’ W W’ O O’ T T’
1 BKSDA II Provinsi Jawa Barat a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah Rasio Konsistensi Rata-Rata
0,550,300,15
1,000
0,4000,2000,4001,0000,000
0,220 0,060 0,060 0,340
0,208
0,6590,1560,1851,0000,030
0,3620,0470,0280,437
0,267
0,5840,1840,2321,0000,050
0,3210,0550,0350,411
0,252
0,7010,1060,1931,0000,010
0,386 0,032 0,029 0,446
0,273
2 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah Rasio Konsistensi Rata-Rata
0,550,300,15
1,000
0,6590,1560,1851,0000,030
0,362 0,047 0,028 0,437
0,277
0,7140,1430,1431,0000,000
0,3930,0430,0210,457
0,290
0,7140,1430,1431,0000,000
0,3930,0430,0210,457
0,290
0,0950,2500,6551,0000,020
0,052 0,075 0,098 0,226
0,143
3 LSM lokal Kabupaten Kuningan a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah Rasio Konsistensi Rata-Rata
0,550,300,15
1,000
0,6000,2000,2001,0000,000
0,330 0,060 0,030 0,420
0,299
0,1420,4290,4291,0000,000
0,0780,1290,0640,271
0,193
0,7140,1430,1431,0000,000
0,3930,0430,0210,457
0,326
0,0900,4550,4551,0000,000
0,050 0,137 0,068 0,254
0,181
156
Lampiran 10. (lanjutan)
No. Stakeholders dan Kriteria Bobot S S’ W W’ O O’ T T’ 4 Universitas Kuningan
a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah Rasio Konsistensi Rata-Rata
0,550,300,15
1,000
0,7140,1430,1431,0000,000
0,393 0,043 0,021 0,457
0.264
0,6000,2000,2001,0000,000
0,3300,0600,0300,420
0,242
0,6590,1560,1851,0000,030
0,3620,0470,0280,437
0,252
0,6000,2000,2001,0000,000
0,330 0,060 0,030 0,420
0,242
5 LPI-PHBM Kabupaten Kuningan a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah Rasio Konsistensi Rata-Rata
0,550,300,15
1,000
0,4260,4030,1701,0000,000
0,234 0,121 0,026 0,381
0,260
0,5270,3330,1401,0000,050
0,2900,1000,0210,411
0,280
0,4290,4290,1421,0000,000
0,2360,1290,0210,386
0,263
0,1050,6370,2581,0000,040
0,058 0,191 0,039 0,288
0,196
6 PMTH Kabupaten Kuningan a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah Rasio Konsistensi Rata-Rata
0,550,300,15
1,000
0,6940,1320,1741,0000,080
0,382 0,040 0,026 0,447
0,246
0,7310,1880,0811,0000,060
0,4020,0560,0120,471
0,258
0,6590,1560,1851,0000,030
0,3620,0470,0280,437
0,240
0,7470,1190,1341,0000,010
0,411 0,036 0,020 0,467
0,256
Sumber: Data primer (2006)
157
Lampiran 11. Nilai faktor prioritas dan semua prioritas dari analisis SWOT dan AHP kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
Faktor Prioritas Semua Prioritas
No. SWOT BKSDA Dishutbun LSM Uniku LPI-PHBM PMTH BKSDA Dishutbun LSM Uniku LPI-
PHBM PMTHRata-rata
1 Strength 0.208 0.277 0.299 0.264 0.260 0.246 0.259 a S1 0.687 0.334 0.143 0.714 0.413 0.747 0.142 0.092 0.042 0.188 0.107 0.183 0.126 b S2 0.186 0.333 0.714 0.143 0.327 0.119 0.038 0.092 0.213 0.037 0.085 0.029 0.082 c S3 0.127 0.333 0.143 0.143 0.260 0.134 0.026 0.092 0.042 0.037 0.067 0.032 0.049
Jumlah 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
Inkonsistensi 0,090 0,000 0,000 0,000 0,050 0,010 2 Weakness 0.267 0.290 0.193 0.242 0.280 0.258 0.255 a W1 0.678 0.142 0.279 0.637 0.090 0.333 0.181 0.041 0.053 0.154 0.025 0.085 0.090 b W2 0.142 0.429 0.072 0.105 0.455 0.140 0.037 0.124 0.013 0.025 0.127 0.036 0.060 c W3 0.180 0.429 0.649 0.258 0.455 0.527 0.048 0.124 0.125 0.062 0.127 0.135 0.103
Jumlah 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
Inkonsistensi 0,050 0,000 0,060 0,040 0,000 0,050 3 Opportunity 0.252 0.290 0.326 0.252 0.263 0.240 0.270 a O1 0.334 0.653 0.200 0.334 0.550 0.367 0.084 0.189 0.065 0.084 0.144 0.088 0.109 b O2 0.333 0.227 0.200 0.333 0.240 0.498 0.083 0.065 0.065 0.083 0.063 0.119 0.080 c O3 0.333 0.120 0.600 0.333 0.210 0.135 0.083 0.034 0.195 0.083 0.055 0.032 0.080
Jumlah 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
Inkonsistensi 0,000 0,010 0,000 0,000 0,020 0,090 4 Threat 0.273 0.143 0.181 0.242 0.196 0.256 0.215 a T1 0.334 0.637 0.200 0.600 0.250 0.481 0.091 0.091 0.036 0.145 0.049 0.123 0.089 b T2 0.333 0.105 0.600 0.200 0.655 0.114 0.090 0.015 0.108 0.048 0.128 0.029 0.070 c T3 0.333 0.258 0.200 0.200 0.095 0.405 0.090 0.036 0.036 0.048 0.018 0.103 0.055
Jumlah 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 Inkonsistensi 0,000 0,040 0,000 0,000 0,020 0,030
158
Top Related