BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai mahasiswa farmasi, sudah seharusnya kita mengetahui hal-hal
yang berkaitan dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik,
farmakokinetik, dan juga dari segi farmakologi. Dalam pengelolaan penderita,
ketepatan cara pemberian obat bisa menjadi faktor penentu keberhasilan suatu
pengobatan, karena cepat lambatnya obat sampai ditempat kerjanya (site of
action) sangat tergantung pada cara pemberian obat. Dari berbagai cara
pemberian obat seorang dokter harus memilih suatu pengobatan yang sesuai
dan aman bagi pasiennya. Dengan Memilih rute penggunaan obat tergantung
dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu
mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik
b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya
lama
c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui
bermacam-macam rute
g. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.
Kali ini kami akan membahas dalam bab farmakologi obat dengan sub-bab
rute pemberian obat dizepam pada mencit. Adapun yang melatar belakangi
pengangkatan materi adalah agar kita dapat mengetahui kaitan antara rute
pemberian obat dengan waktu cepatnya reaksi obat yang ditampakkan pertama
kali pada pemberian obat diazepam secara oral, subkutan, intraperitonel,
intravena, dan intramuskular serta mengetahui onset dan durasi pada masing-
masing rute pemberian obat.
B. Tujuan
1. Mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan cara-cara pemberian
obat terhadap kecepatan absorbsinya, menggunakan data farmakologi
sebagai tolok ukurnya.
2. Mempelajari dan mengamati pengaruh dari obat penekan syaraf pusat.
C. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi obat dari saluran
cerna?
2. Bagaimana pengaruh rute pemberian obat terhadap absorbsi obat diazepam
terhadap mencit ?
3. Apa saja keuntungan dan kerugian dari masing-masing cara pemberian
obat?
4. Bagaimana mekanisme terjadinya efek sedatif dan apa bedanya dengan
efek anastesis?
5. Apa saja cara uji daya sedatif yang lain berikut alat-alat yang di gunaka
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Abrobsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam
darah. Bergantungpada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran
cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. (Farmakologi
dan Terapi edisi revisi 5, 2008)
Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagai barier
absorbsi adalah membran epitel saluran cerna yang seperti halnya semua
membran sel epitel saluran cerna , yang seperti halnya semua membran sel
ditubuh kita, merupakan lipid bilayer. Dengan demikian , agar dapat melintasi
membran sel tersebut, molekul obat harus memiliki kelarutan lemak (setelah
terlebih dulu larut dalam air). (Farmakologi dan Terapi edisi revisi 5, 2008).
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang
kedokteran atau biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai
model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu,
antara lain persyaratan genetis atau keturunan dan lingkungan yang memadai
dalam pengelolaannya, disamping factor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh,
serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia.
(Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002).
Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula
diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah
berbeda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil)
serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan
atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan
penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang
memegangnya. (Katzung, B.G, 1989).
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal
(dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular,
subkutan, dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-
beda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri,
intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung
masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara
pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui
kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas
farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan
akan memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
( Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).
Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk
kedalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau
kemungkinan timbulnya efek yang merugikan. Rute pemberian obat dibagi 2,
yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2008).
1. Jalur Enternal
Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI),
seperti pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral.
Pemberian melalui oral merupakanjalur pemberianobat paling banyak
digunakankarena paling murah, paling mudah, dan paling aman. Kerugian
dari pemberian melalui jalur enternal adalah absorpsinya lambat, tidak
dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar atau tidak dapat menelan.
Kebanyakan obat diberikan melalui jalur ini, selain alasan di atas juga
alasan kepraktisan dan tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan dianjurkan
jika obat dapat diberikan melalui jalur ini dan untuk kepentingan
emergensi (obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral.
2. Jalur Parenteral
Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalah
transdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam
trakea menggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian obat
melalui jalur ini dapat menimbulkan efek sistemik atau lokal. Tabel 1
merupakan deskripsi cara pemberian obat, keuntungan, dan kerugiannya.
Tabel 1. Keuntungan dan Kerugian dari Masing-masing Jalur Pemberian
Obat.
Dskripsi Keuntunagn Kerugian
Aerosal
Partikel halus atau
tetesan yang dihirup
Langsung masuk ke
paru-paru
Irtasi pada mukosa paru-
paru atau saluran
pernafasan, memerlukan
alat khusus, pasien harus
sadar.
Bukal
Obat diletakkan
diantara pipi dengan
gusi
Obat diabsorpsi
menembus membran
Tidak sukar, tidak
perlu steril, dan
efeknya cepat
Tidak dapat untuk obat
yang rasanya tidak enak,
dapat terjadi iritasi di mulut,
pasien harus sadar, dan
hanya bermanfaat untuk
obat yang sangat non polar
Inhalasi
Obat bentuk gas
diinhalasi
Pemberian dapat
terus menerus
walaupun pasien
tidak sadar
Hanya berguna untuk obat
yang dapat berbentuk gas
pada suhu kamar, dapat
terjadi iritasi saluran
pernafasan
Intramuskular
Obat dimasukkan
kedalam vena
Absorbsi cepat,
dapat di berikan
pada pasien sadar
atau tidak sadar
Perlu prosedur steril, sakit,
dapat terjadi infeksi di
tempat injeksi
Intravena
Obat dimasukkan ke
dalam vena
Obat cepat masuk
dan bioavailabilitas
100%
Perlu prosedur steriil, sakit,
dapat terjadi iritasi di
tempat injeksi, resiko
terjadi kadar obat yang
tinggi kalau diberikan
terlalu cepat.
Oral
Obat ditelan dan
Mudah, ekonomis,
tidak perlu steril
Rasa yang tidak enak dapat
mengurangi kepatuhan,
diabsorpsi di
lambung atau usus
halus
kemungkinan dapat
menimbulkan iritasi usus
dan lambung, menginduksi
mual dan pasien harus
dalam keadaan sadar. Obat
dapat mengalami
metabolisme lintas pertama
dan absorbsi dapat
tergganggu dengan adanya
makanan
Subkutan
Obat diinjeksikan
dibawah kulit
Pasien dapat dalam
kondisi sadar atau
tidak sadar
Perlu prosedur steril, sakit
dapat terjadi iritasi lokal di
tempat injeksi
Sublingual
Obat terlarut
dibawah lidah dan
diabsorpsi
menembus membran
Mudah, tidak perlu
steril dan obat cepat
masuk ke sirkulasi
sistemik
Tidak dapat untuk obat
yang rasanya tidak
ennak,dapat terjadi iritasi di
mulut, pasien harus sadar,
dan hanya bermanfaat untuk
obat yang sangat larut
lemak
Transdermal
Obat diabsorpsi
menembus kulit
Obat dapat
menembus kulit
secara kontinyu,
tidak perlu steril,
obat dapat langsung
ke pembuluh darah
Hanya efektif untuk zat
yang sangat larut lemak,
iritasi lokal dapat terjadi
(Priyanto, 2008)
Peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang
kesehatan dibarengi dengan peningkatan kebutuhan akan hewan uji terutama
mencit. Penggunaan mencit ini dikarenakan relatif mudah dalam penggunaanya,
ukurannya yang relatif kecil, harganya relatif murah, jumlahnya peranakannya
banyak yaitu sekali melahirkan bisa mencapai 16-18 ekor, hewan iotu memiliki
sistem sirkulasi darah yang hampir sama dengan manusia serta tidak memiliki
kemampuan untuk muntah karena memiliki katup dilambung. Sehingga banyak
digunakan untuk penelitian obat (Priyanto, 2008).
Perbedaan antara tikus dan manusia cukup besar. Memang suatu
percobaan farmakologi maupun toksikologi hanya dapat berarti bila dilakukan
pada manusia sendiri. Tetapi pengalaman telah membuktikan bahwa hasil
percobaan farmakologi pada hewan coba dapat diekstrapolasikan pada manusia
bila beberapa spesies hewan pengujian menunjukkan efek farmakologi yang sama.
(Anonim,2007)
Ditinjau dari system pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, dimana
factor keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat /
karakteristik hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan yaitu:
1. Hewan Liar
2. Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara
terbuka
3. Hewan yang bebas kuman spesifik pathogen, yaitu hewan yang
dipelihara dengan system barrier ataut ertutup
4. Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang
dipelihara dengan system isolator (Sulaksono,M.E.,1992).
Semankin meningkat cara pemliharaan, semakin sempuran pula hasil
percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan
dengan hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan
hewan percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman.
( Sulaksono,M.E.,1992).
Diazepam adalah turunan dari benzodiazepine dengan rumus
molekul 7-kloro-1,3-dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-on.
Merupakan senyawa Kristal tidak berwarna atau agak kekuningan yang
tidak larut dalam air. Secara umum , senyawa aktif benzodiazepine dibagi
kedalam empat kategori berdasarkan waktu paruh eliminasinya, yaitu :
Benzodiazepin ultra short-acting
Benzodiazepin short-acting, dengan waktu paruh kurang dari 6 jam.
Termasuk didalamnya triazolam, zolpidem dan zopiclone.
Benzodiazepin intermediate-acting, dengan waktu paruh 6 hingga 24
jam. Termasuk didalamnya estazolam dan temazepam.
Benzodiazepin long-acting, dengan waktu paruh lebih dari 24 jam.
Termasuk didalamnya flurazepam, diazepam dan quazepam.
Dipasaran, diazepam tersedia dalam bentuk tablet, injeksi dan gel rectal,
dalam berbagai dosis sediaan.
Efek samping
Yang sering terjadi, seperti : pusing, mengantuk.
Yang jarang terjadi, seperti : Depresi, Impaired Cognition.
Mekanisme kerja
Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan
neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat
dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di
hipokampus dan dalam otak kecil.
Indikasi
Diazepam digunakan untuk memperpendek mengatasi gejala yang timbul
seperti gelisah yang berlebihan, diazepam juga dapat diinginkan untuk gemeteran,
kegilaan dan dapat menyerang secara tiba-tiba. Halusinasi sebagai akibat
mengkonsumsi alkohol. diazepam juga dapat digunakan untuk kejang otot, kejang
otot merupakan penyakit neurologi. dizepam digunakan sebagai obat penenang
dan dapat juga dikombinasikan dengan obat lain.
Kontra indikasi
HipersensitivitasSensitivitas silang dengan benzodiazepin
lainPasien koma Depresi SSP yang sudah ada sebelumnya Nyeri berat tak
terkendali Glaukoma sudut sempit Kehamilan atau laktasi Diketahui
intoleran terhadap alkohol atau glikol propilena (hanya injeksi).
DOSIS & RUTE
Antiansietas, Antikonvulsan.
PO (Dewasa) : 2-10 mg 2-4 kali sehari atau 15-30 mg bentuk lepas
lambat sekali sehari.
PO (anak-anak > 6 bulan) : 1-2,5 mg 3-4 kali sehari.
IM, IV (Dewasa) : 2-10 mg, dapat diulang dalam 3-4 jam bila perlu.
Pra-kardioversi
IV (Dewasa) : 5-15 mg 5-10 menit prakardioversi.
Pra-endoskopi
IV (Dewasa) : sampai 20 mg.
IM (Dewasa) : 5-10 mg 30 menit pra-endoskopi.
Status Epileptikus
IV (Dewasa) : 5-10 mg, dapat diulang tiap 10-15 menit total 30 mg,
program pengobatan ini dapat diulang kembali dalam 2-4 jam (rute IM biasanya
digunakan bila rute IV tidak tersedia).
IM, IV (Anak-anak > 5 tahun) : 1 mg tiap 2-5 menit total 10 mg, diulang
tiap 2-4 jam.
IM, IV (Anak-anak 1 bulan – 5 tahun) : 0,2-0,5 mg tiap 2-5 menit sampai
maksimum 5 mg, dapat diulang tiap 2-4 jam.
Rektal (Dewasa) : 0,15-0,5 mg/kg (sampai 20 mg/dosis).
Rektal (Geriatrik) : 0,2-0,3 mg/kg.
Rektal (Anak-anak) : 0,2-0,5 mg/kg.
Relaksasi Otot Skelet
PO (Dewasa) : 2-10 mg 3-4 kali sehari atau 15-30 mg bentuk lepas
lambat satu kali sehari. 2-2,5 mg 1-2 kali sehari diawal pada lansia atau pasien
yang sangat lemah.
IM, IV (Dewasa) : 5-10 mg (2-5 mg pada pasien yang sangat lemah)
dapat diulang dalam 2-4 jam.Putus Alkohol
PO (Dewasa) : 10 mg 3-4 kali pada 24 jam pertama, diturunkan sampai 5
mg 3-4 kali sehari.
IM, IV (Dewasa) : 10 mg di awal, keudian 5-10 mg dalam 3-4 jam sesuai
keperluan (Laurent C. Galichet, 2005).
BAB III
METODELOGI
I. ALAT DAN BAHAN
A. Alat
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah Spuit injeksi (0,1-2
ml), Jarum sonde, Labu ukur 10 ml, Stop watch, Timbangan tikus,
Neraca analitik dan Alat-alat gelas.
B. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah Aquabidest,
Phenobarbital, Hewan coba ( tikus ), Kapas dan Alkohol.
II. CARA KERJA
- Konversi dosis
- Konsentrasi larutan stok obat
- Volume Phenobarbital yang akan
diberikan
- Dimasukkan melalui mulut dengan
jarum tumpul
Disiapkan semua peralatan yang dibutuhkan
Ditimbang bobot badan tikus
Dilakukan perhitungan
Diberikan Phenobarbital pada hewan uji
Oral
Data
- Dimasukkan sampai dibawah kulit
pada tengkuk hewan uji
- Disuntikkan ke dalam otot daerah
paha dengan jarum suntik
- Disuntikkan ke dalam rongga perut
- Dimasukkan ke vena lateralis pada
ekor hewan uji
Subkutan
Intramuskular
Intraperitoneal
Intravena
Diamati dan dicatat dengan seksama waktu mulai hilangnya reflek balik badan sampai dengan kembalinya reflek balik badan tikus
Dihitung onset dan durasi waktu tidur Phenobarbital
Hasil
III. Perhitungan dan Hasil Percobaan
A. Perhitungan
1. Per oral
Berat Tablet : 178mg
Bobot tikus : 175 gr
Dosis Tablet : 3 mg
Dosis Konversi : Faktor Konversi x Dosis Tablet
0,018 x 10 mg = 0,18mg / 200 gr BB tikus
Kons. Larutan Stok : Dosis Konversi = 0,18 mg
2 x Volume Maks 2 x 5
= 0,018 mg/ml
Bobot yang diambil : V. Larutan Stok x Berat Tablet
Dosis Manusia
= 0,018 mg/ml x 178 mg
2 mg
= 1,62 mg x 25ml = 40,05mg/ml
Ad 25 ml
Volume Pemberian : BB tikus / 100 gr x 1/ 2 x V. Maks
175 gr / 100 gr x 1/ 2 x 5 ml = 4,4 ml
2. Intravena
Bobot tikus : 177 gr
Dosis Konversi : Faktor Konversi x Dosis Tablet
0,018 x 10 mg = 0,18 mg / 200 gr BB tikus
Kons. Larutan Stok : Dosis Konversi = 0,18mg =
2 x Volume Maks 2 x 1ml
= 0,09 mg/ml
V1 x M1 = V2 x M2
10ml x 0,09mg/ml = V2 x 5 mg/ml
V1 = 0,18 ml ad 10 ml
Volume Pemberian : BB tikus / 100 gr x 1/ 2 x V. Maks
= 177 gr / 100 gr x 1/ 2 x 5 ml = 4,425 ml
3. Intraperitoneal
Bobot tikus : 120 gr
Dosis Konversi : Faktor Konversi x Dosis Tablet
0,018 x 10 mg = 0,18 mg / 200 gr BB tikus
Kons. Larutan Stok : Dosis Konversi = 0,18 mg
Volume Maks 2 x 5
= 0,018 mg/ml
V1 x M1 = V2 x M2
25 x 0,018 = V2 x 5
V2 = 0,00 ml ad 25 ml
Volume Pemberian : BB tikus / 100 gr x 1/ 2 x V. Maks
120/100 x 1/2 x 5 = 3 ml
= 2,75 ml
4. Subcutan (SC)
Dosis Konversi = Faktor Konversi X Dosis Obat
= 0,018 x 10 mg
= 0,18 mg
Larutan Stok = Dosis Konversi
2 xV max
= 0,18 mg2 x5 ml
=0,018 mg /ml
V pemberian = BB tikus100 mg
X 12
V max
= 130 mg100 mg
X 12
x 5
= 3,25ml
Larutan sediaan diazepam = 10 mg2 ml
= 5 mg /ml
Pengeceran
V1 . M1 = V2 . M2
25 . 0,018 = V2 .5
V2 = 0,09 ml ad 25 ml
5. Intra Muskular (IM)
Dosis Konversi = Faktor Konversi X Dosis Obat
= 0,018 x 10 mg
=0,18 mg /200 gr tikus
Larutan Stok = Dosis Konversi
2 xV max
= 0,18 mg
2 x 0,1 ml
=0,9 mg /ml
V pemberian = BB tikus100 mg
X 12
V max
= 150 mg100 mg
X 12
x 0,1
= 0,075ml
Pengeceran
V1 . M1 = V2 . M2
10 . 0,9 = V2 .5
V2 = 1,8 ml ad 10 ml
B. Hasil percobaan
P O I V I P I M S C
OnsetMenit
ke 25
Menit
ke 10
Menit
ke 20
Menit
ke 10
Menit
ke 12
Durasi20
menit
>90
menit
40
menit
35
menit
35
menit
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini bertujuan untuk mengenal, mempraktikan, dan
membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap kecepatan absorbsi obat
diazepam terhadap hewan uji ( mencit ). Masing-masing cara pemberian memiliki
keuntungan dan manfaat tertentu. Suatu senyawa obat mungkin efektif jika
diberikan dengan cara tertentu namun kurang efektif dengan cara lain. Perbedaan
ini akan berefek pada kecepatan absorbsi yang berpengaruh pada efektifitas obat.
Dalam praktikum ini di lakukan 5 cara pemberian obat yaitu peroral, intravena,
intamuskular, subkutan dan intraperitoneal.
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai
adalah sebagai berikut:
Cara/bentuk sediaan parenteral
a. Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke
dalam vena, “onset of action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %,
baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara
lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya
(t1/2) pendek) (Joenoes, 2002).
b. Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan
dalam air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan
dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian
memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada
besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel,
semakin cepat proses absorpsi) (Joenoes, 2002).
c. Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan
suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas
permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi
pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat
dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim
yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes,
2002).
d. Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat
pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan
infeksi SSP yang akut) (Anonim, 1995).
e. Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya
(Anonim, 1995).
Pemberian obat per oral merupakan pemberian obat paling umum
dilakukan karena relatif mudah dan praktis serta murah. Kerugiannya ialah banyak
faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita,
interaksi dalam absorpsi di saluran cerna) (Ansel, 1989).
Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Dan faktor-
faktor yang memepengaruhi absorpsi obat antara lain :
faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi obat adalah :
a. rute pemberian
b. letak posisi kurva
c. bentuk sediaan
d. Dosis
e. ukuran partikel
Beberapa diantaranya dapat diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan,
sedangkan yang lainnya tidak (Ansel, 1989).
Dalam setiap cara pemberian obat memiliki keuntungan dan kerurian
diantaranya:
a. Cara Pemberian Obat Intravena
Keuntungan Cepat mencapai konsentarsi Dosis tepat Mudah mentitrasi
dosis Kerugian Konsentrasi awal tinggi toksik Invasiv, risiko infeksi
Memrlukan keahlian.
b. Cara Pemberian Obat Intravena Memerlukan persiapan karena : Daya larut
obat yang jelek (solubility), memerlukan zat pelarut, sehingga kecepatan
pemberian berhubungan dengan toksisiti (rate-ralated-toxicity).
c. Cara Pemberian Obat Intravemuskuler
Keuntungan Tidak diperlukan keahlian khusus Dapat dipakai untuk
pemberian obat larut dalam minyak Absorbsi cepat obat larut dalam air.
Kerugian Rasa sakit Tidak dapat dipakai pada gangguan bekuan darah
(clotting time). Bioavibilitas berfariasi. Obat dapat menggumpal pada
lokasi penyuntikan.
d. Cara Pemberian Obat Subkutan
Keuntungan Diperlukan latihan sederhana Absorbsi cepat obat larut dalam
air Mencegah kerusakan sekitar saluran cerna.
Kerugian Rasa sakit dan kerusakan kulit Tidak dapat dipakai jika volume
obat besar Bioavibilitas berfariasi, sesuai lokasi.
e. Cara Pemberian Obat Oral
Keuntungan Tidak diperlukan latihan khusus Nyaman
(penyimpanan,muda dibawa) Non-invasiv, lebih aman Ekonomis.
Dalam pratikum ini di lakukan cara kerja sebagai barikut :
Pertama-tama hal yang perlu diperhatikan sebelumnya adalah kita harus
melakukan pendekatan terlebih dahulu terhadap hewan uji. Tujuannya agar
nantinya mencit tersebut lebih mudah untuk dipegang. Jangan justru membuat
mencit stres, membuatnya berontak yang bisa melukai diri kita sendiri. Kedua
Pemberian obat pada hewan uji yaitu pertama melalui cara oral, intravena,
subkutan, intraperitoneal, dan intramuscular. Namun pada praktikum ini kita
hanya melakukan percobaan pemberian obat diazepam dengan cara peroral,
intravena dan intraperitoneal. Dengan cara oral (pemberian obat melalui mulut
masuk kesaluran intestinal) digunakan jarum injeksi yang berujung tumpul agar
tidak membahayakan bagi hewan uji. Kedua, pemberian obat dilakukan dengan
cara intravena yaitu dengan menyuntikkan obat pada daerah ekor (terdapat vena
lateralis yang mudah dilihat dan dapat membuat obat langsung masuk
kepembuluh darah). Ketiga, yaitu dengan cara subkutan (cara injeksi obat melalui
tengkuk hewan uji tepatnya injeksi dilakukan dibawah kulit). Keempat dengan
cara intraperitoneal (injeksi yang dilakukan pada rongga perut. Cara ini jarang
digunakan karena rentan menyebabkan infeksi). Yang kelima atau yang terkhir
adalah dengan cara intramuscular yaitu dengan menyuntikkan obat pada daerah
yang berotot seperti paha atau lengan atas.
Dosis obat yang diberikan yaitu 10 mg/kgBB hewan uji. Untuk stock
larutan, pada per oral, intravena, intraperitoneal, intramuskular dan subkutan
menggunakan larutan 0,018mg/ml. Untuk volume injeksi untuk oral, intravena,
intraperitoneal, subkutan, dan intramuscular secara berturut-turut adalah 4,4ml;
4,425 ml; 3 ml; 3,25ml dan 0,075 ml. Perhitungan volume injeksi yang diberikan
berdasarkan berat badan tiap hewan uji sehingga diperoleh hasil yang berbeda.
Dari hasil pengamatan kelompok-kelompok, diperoleh onset dan durasi
yang berbeda. Onset merupakan waktu mulai timbulnya efek setelah pemberian
obat. Durasi adalah waktu lamanya efek sampai efek obat tersebut hilang. Dari
pengamatan kelompok I, berdasarkan onsetnya, injeksi dengan cara intramuscular
memiliki waktu yang tercepat dan yang paling lambat adalah injeksi dengan
pemberian oral.
Cara pemberian dapat mempengaruhi kecepatan absorbsi obat yang
berpengaruh juga terhadap onset dan durasi. Cara pemberian per oral memiliki
onset yang paling lama karena pada per oral senyawa obat memerlukan proses
absorbsi, setelah obat masuk mulut akan masuk lambung melewati kerongkongan.
Di dalam lambung obat mengalami ionisasi kemudian diabsorbsi oleh dinding
lambung masuk kedalam peredaran darah, sehingga membutuhkan waktu lebih
lama untuk berefek. Sedangkan secara intraperitonial memiliki onset paling
pendek karena rongga perut banyak terdapat pembuluh darah dan tidak ada faktor
penghambat sehingga dengan segera akan menimbulkan efek. Pada subcutan
melalui bawah kulit di mana obat harus melalui lapisan- lapisan kulit baru masuk
ke pembuluh kapiler bawah kulit, sehingga onset yang dihasilkan lebih lama dari
kedua cara lainnya (Anief, 1990).
Sedangakan durasi dipengaruhi oleh kadar obat dalam darah dalam waktu
tertentu. Pada per oral didapatkan durasi terpendek, disebabkan karena per oral
melewati banyak fase seperti perombakan dihati menjadi aktif dan tidak aktif.
Semakin banyak fase yang dilalui maka kadar obat akan turun sehingga obat yang
berikatan dengan reseptor akan turun dan durasinya pendek. Sedangkan pada
pemberian secara intraperitonial obat dengan kadar tinggi akan berikatan dengan
reseptor sehingga akan langsung berefek tetapi efek yang dihasilkan durasinya
cepat karena setelah itu tidak ada obat yang berikatan lagi dengan reseptor. Pada
sub cutan memiliki durasi yang lama, hal ini disebabkan karena obat akan
tertimbun di depot lemak/ jaringan di bawah kulit sehingga secara perlahan- lahan
baru akan dilepaskan sehingga durasinya lama. Cara pemberian obat yang baik,
bila onset yang dihasilkan cepat dan durasi dalam obat lama (Anief, 1990).
Menurut Ansel (1986), dengan adanya variasi onset dan durasi dari tiap-
tiap cara pemberian dapat disebabkan oleh beberapa hal, meliputi:
1. Kondisi hewan uji dimana masing-masing hewan uji sangat
bervariasi yang meliputi produksi enzim, berat badan dan luas
dinding usus, serta proses absorbsi pada saluran cerna.
2. Faktor teknis yang meliputi ketetapan pada tempat penyuntikan dan
banyaknya volume pemberian luminal pada hewan uji.
Cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi dimana
hubungannya dengan kecepatan dan kelengkapan absorbsi obat. Kecepatan
absorbsi obat di sini berpengaruh terhadap onsetnya sedangkan kelengkapan
absorbsi obat berpengaruh terhadap durasinya misalnya lengkap atau tidaknya
obat yang berikatan dengan reseptor dan apakah ada faktor penghambatnya. Cara
pemberian obat yang ideal adalah obat dengan onset cepat dan durasi panjang.
(Ansel, 1986).
Onset adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk menimbulkan efek
mulai obat itu diberikan. Didapatkan hasil onset yang terpendek adalah intravena
> intraperitonial > intra muscular > subcutan > dan per oral.
Cara pemberian peroral memiliki onset yang paling lama karena pada
peroral senyawa obat memerlukan proses absorbsi, setelah obat masuk mulut akan
masuk lambung melewati kerongkongan. Didalam lambung obat mengalami
ionisasi kemudian diabsorbsi oleh dinding lambung masuk kedalam peredaran
darah, sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk berefek. Sedangkan secara
subcutan melalui bawah kulit di mana obat harus melalui lapisan- lapisan kulit
baru masuk ke pembuluh kapiler bawah kulit, sehingga onset yang dihasilkan
lebih lama dari intra muscular. Intra muscular memiliki onset terpendek setelah ip
dan iv karena obat yang disuntikkan melalui jaringan otot dan akan terdistribusi
ke pembuluh darah melalui otot pula , intraperitonial memiliki onset lebih pendek
dari ip karena rongga perut banyak terdapat pembuluh darah dan tidak ada factor
penghambat sehingga dengan segera akan menimbulkan efek. sedangkan pada
intravena memiki onset paling pendek soalnya Biasanya tidak mengalami absorpsi
terlebih dahulu, tetapi pemberianya langsung kedalam pembulu darahnya,
sehingga kadar atau efek dapat diperoleh dengan cepat dan tepat.
Durasi adalah waktu yang diperlukan obat mulai dari obat berefek
sampai efek hilang. Didapatkan hasil durasi yang terpendek adalah per oral,
intraperitonial, intra muscular, dan subcutan. Durasi sipengaruhi oleh kadar obat
dalam darah dalam waktu tertentu. Pada peroral didapatkan durasi terpendek,
disebabkan karena per oral melewati banyak fase seperti perombakan dihati
menjadi aktif dan tidak aktif. Semakin banyak fase yang dilalui maka kadar obat
akan turun sehingga obat yang berikatan dengan reseptor akan turun dan
durasinya pendek. Sedangkan pada pemberian secara intraperitonial obat dengan
kadar tinggi akan berikatan dengan reseptor sehingga akan langsung berefek tetapi
efek yang dihasilkan durasinya cepat karena setelah itu tidak ada obat yang
berikatan lagi dengan reseptor. Pada sub cutan memiliki durasi yang lama, hal ini
disebabkan karena obat akan tertimbun di depot lemak/ jaringan di bawah kulit
sehingga secara perlahan- lahan baru akan dilepaskan sehingga durasinya lama.
Cara pemberian yang tidak diberikan kepada manusia adalah secara
intraperitonial, karena akan menyebabkan infeksi dan perlekatan peritoneum. Bila
infeksi membesar akan terjadi adhesi yaitu terbentuknya jaringan fibrin yang
disebabkan luka dari jaringan tubuh. Cara pemberian obat yang baik, bila onset
yang dihasilkan cepat dan durasi dalam obat lama.
Mekanisme terjadinya efek sedatif pada mencin setelah di berikan
diazepam yaitu :
Mekanisme terjadinya efek sedative
Penggolongan suatu obat ke dalam jenis sedative-hipnotik menunjukkan
bahwa kegunaan terapeutik utamanya adalah menyebabkan sedasi (dengan
disertai hilangnya rasa cemas) atau menyebabkan kantuk. Sedative-hipnotik
seringkali diresepkan untuk gangguan tidur karena termasuk ke dalam obat-obatan
penekan Sistem Saraf Pusat yang dapat menimbulkan depresi (penurunan aktivitas
fungsional) dalam berbagai tingkat dalam Sistem Saraf pusat.
Sedatif adalah obat tidur yang dalam dosis lebih rendah dari terapi yang diberikan
pada siang hari untuk tujuan menenangkan. Sedatif termasuk ke dalam kelompok
psikoleptika yang mencakup obat obat yang menekan atau menghambat sisem
sarafpusat.
Sedatif berfungsi menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan, dan
menenangkan penggunanya. Keadaan sedasi juga merupakan efek samping dari
banyak obat yang khasiat utamanya tidak menekan Sistem Saraf Pusat, misalnya
antikolinergika.
Sedatif-hipnotik berkhasiat menekan Sistem Saraf Pusat bila digunakan dalam
dosis yang meningkat, suatu sedatif, misalnya fenobarbital akan menimbulkan
efek berturut-turut peredaan, tidur, dan pembiusan total (anestesi), sedangkan
pada dosis yang lebih besar lagi dapat menyebabkan koma depresi pernafasan dan
kematian. Bila diberikan berulang kali untuk jangka waktu lama, senyawa ini
lazimnya menimbulkan ketergantungan dan ketagihan.
Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapeutik
diperuntukkan untuk mempermudah atau menyebabkan tidur. Hipnotika
menimbulkan rasa kantuk, mempercepat tidur, dan sepanjang malam
mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur alamiah. Secara ideal obat
tidur tidak memiliki aktivitas sisa pada keesokan harinya. (Drs. Tan Hoan Tjay
dan Drs. Kirana Rahardja, 2002)
Efek hipnotik meliputi depresi sistem saraf pusat yang lebih kuat daripada
sedasi, hal ini dapat dicapai dengan semua obat sedative dengan peningkatan
dosis. Depresi sistemsaraf pusat yang bergantung pada tingkat dosis merupakan
karakteristik dari sedative-hipnotik. Dengan peningkatan dosis yang diperlukan
untuk hipnotik dapat mengarah kepada keadaan anestesi umum. Masih pada dosis
yang tinggi, obat sedative-hipnotik dapat mendepresi pusat-pusat pernafasan dan
vasomotor di medulla, yang dapat mengakibatkan koma dan kematian.
(BertramG. Katzung, 2002).
Bentuk yang paling ringan dari penekanan sistem saraf pusat adalah
sedasi, dimana penekanan sistem saraf pusat tertentu dalam dosis yang lebih
rendah dapat menghilangkan respon fisik dan mental tetapi tidak mempengaruhi
kesadaran. Sedatif terutama digunakan pada siang hari, dengan meningkatkan
dosis dapat menimbulkan efek hipnotik. Jika diberikan dalam dosis yang sangat
tinggi, obat-obat sedatif-hipnotik mungkin dapat mencapai anestesi, sebagai
contoh adalah barbiturat dengan masa kerja yang sangat singkat yang digunakan
untuk menimbulkan anestesi adalah natrium thiopental (Pentothal).
Penggolongan obat yang bekerja dengan mekanisme penekanan sistem saraf
pusat dilihat berdaasrkan efek terapeutiknya adalah:
1. Depresan sistem saraf pusat umum
Efek dari obat ini bersifat mendepresi secara ridak selektif pada struktur sinaptik,
termasuk pada jaringan prasinaptik dan pasca sinaptik. Penggunaan obat
golongan depresi sistem saraf pusat umum ini menstabilkan membran neuron
dengan cara mendepresi struktur dari pasca sinaps, selain itu juga dengan
mengurangi jumlah transmitter kimia yang dilepaskan oleh neuron prasinaps.
2. Rangsang sistem saraf pusat umum
Obat golongan ini juga bekerja secara tidak selektif, seperti pada obat depresi
umum, namun terdapat perbedaan mekanisme kerja dari obat golongan ini. Cara
kerjanya dalam tubuh melalui salah satu tahap, yaitu dengan mengurangi
hambatanpada pasca sinaps atau mengeksitasi neuron secara langsung. Proses
terjadinya eksitasi dari neuron secara langsung dapat dicapai dengan
mendepolarisasi atau mengurangi kepolaran dari sel prasinaps. Cara lain adalah
dengan meningkatkan pelepasan prasinaps akan transmitter, selain itu juga dapat
dilakukan dengan menurunkan waktu paruh dari sinaptik.
3. Obat sistem saraf pusat selektif
Obat dari golongan in bekerja secara selektif dan efektif untuk suatu hal saja.
Penggunaan obat golongan ini biasanya untuk depresan dan juga sebagai
perangsang. Mekanisme kerjanya dapat melalui beberapa cara seperti dalam
pengobatan anti kejang, pelemas otot-otot yang bekerja sentral, secara analgetik
dan obat psikofarmakologi.
Sedangakan pada efek anestesia adalah hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit)
disertai atau tidak disertai hilangnya kesadaran
PENGGOLONGAN :
Anestetik umum adalah obat yang dapat menimbulkan anetesia atau
norkosa, yakni suatu keadaan depresi umum dari pelbagai pusat di SSP yang
bersifat reversibel, dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan, sehingga
agak mirip keadaan pingsan.
Anastesika lokal atau zat penghilang rasa setempat adalah obat yang pada
penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls saraf ke SSP dan
dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rsa nyeri, gatal-gata, rasa panas
atau dingin.
MEKANISME KERJA ANESTETIKA UMUM
Mekanisme kerjanya berdasarkan perkiraan bahwa anestetika umum di
bawah pengaruh protein SSP dapat membentuk hidrat dengan air yang bersifat
stabil. Hidrat gas ini mungkin dapat merintangi transmisi rangsangan di sinaps
dan dengan demikian mengakibatkan anesthesia.
Selain dengan cara uji daya sedatif yang dapat di lakukan selain
menggunakan pengujian di atas rotarot antara lain :
1. Traction Test
Hewan uji digantungkan pada traction test secara horizontal, hewan
abnormal memerlukan waktu yang lama untuk membalikkan badan
bahkan akan terjatuh.
2. Fireplace Test
Hewan uji diletakkan dalam tabung kaca, hewan normal akan berusaha
keluar dari tabung dalam waktu 30 detik, sedangkan hewan yang telah
diberi obat sedatif lebih dari 30 detik.
KESIMPULAN
a) Perlakuan dan Penanganan tikus dan mencit dapat dilakukan secara baik
dengan memperhatikan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi
kondisi hewan uji coba tersebut.
b) Karakter mencit cenderung penakut dan lebih suka berkumpul dengan
sesama. Pergerakannnya lebih banyak dibandingkan dengan tikus dan
lebih susah ditangani ketimbang tikus.
c) Karakter tikus lebih mudah ditangani dibandingkan mencit karena minim
pergerakan, namun apabila tikus tersebut diperlakukan secara kasar,
biasanya akan menyerang si pemegang.
d) Praktikum kali ini rute pemberian obat dilakukan dengan :
a. Per oral : melalui dengan bantuan jarum sonde
b. Subkutan : injeksi dimasukkan sampai kebawah kulit pada tengkuk
c. Intramuskular : injeksi melalui otot pangkal paha
d. Intraperitoneal : injeksi melalui kedalam ronnga perut ( tidak sampai
masuk ke usus).
Obat yang memiliki efek sedatif-hipnosis mempunyai efek utama sebagai
obat penenang dengan cara meghilangkan kecemasan dan menyebabkan
timbulnya kantuk.
Obat fenobarbital yang merupakan golongan obat barbituriat yang
berkhasiat memberikan efek sedatif pada hewan uji .
Fenobarbital mempunyai efek sedatif, karena dapat menimbulkan efek
sedasi pada hewan uji, ditunjukan dengan terjadinya aktifitas motorik dan
ketajaman kognitif.
Daftar Pustaka
Djamhuri, Agus., 1995, Sinopsis Farmakologi dengan Terapan Khusus di
Klinik dan Perawatan , Edisi 1, Cetakan Ketiga, Hipokrates, Jakarta.
Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi , Edisi IV . Balai
Penerbit Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D., 1995, Farmakologi dan Terapi , Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta
Holck, H.G.O., 1959, Laboratory Guide in Pharmacology , Burgess Publishing Company : Minnesotta, 1-3
Katzung BG.2004. Farmakologi Dasar dan klinik Buku 2. Edisi 8. Jakarta:
SalembaMedika
Laurent C. Galichet, 2005, Clarke’s Analysis of Drugs and Poisons 3rd
Edition (Electronic Version), Pharmaceutical Press, London.
Levine, R.R., 1978, Pharmacology : Drug actions and Reactions, 2nd edition, little, Brown & company, Boston.
Priyanto, 2008. Martindale.The Complete Drugs Reference 35th Edition
(Electronic Version), Pharmaceutical Press, London.
Rosenfeld GC, Loose DS. 2007. Pharmacology. 4 th edition . USA:
Lippincott Williams &Walkins;
Siswandono dan Soekardjo, B, 1995, Kimia Medisinal , Airlangga Press, Surabaya.
Sulaksono. 1992, Pharmacotherapy Handbook 6th Edition (Electronic
Version), Mc Graw-Hill Book Company, New York.
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat Penting, PT Gramedia,
Jakarta.
Top Related