Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah
Sendiri
Oleh: Istin Nana Robi’ah, MAN 1 Praya, Jln. Pejanggik No. 05 Tampar Ampar
Praya Telp. (0370) 654154
I. PENDAHULUAN
“Ma…. Belikan aku ice cream dong…!,” rengek bocah TK kepada
ibunya.
“Ya baby, tunggu sebentar mama ambilin uang dulu ya sayang!,” jawab
ibunya.
Percakapan seperti di atas kerap kali kita temukan dalam kehidupan
sehari-hari. Kita sering menyaksikan sendiri di jalan, di sekolah, di tempat
bermain atau lingkungan lainnya. Bukan hanya anak TK akan tetapi pelajar
tingkat SD, SMP, SMA bahkan tingkat perguruan tinggi yang tidak lagi
menggunakan bahasa Sasak dalam berkomunikasi kesehariannya. Mayoritas
dari mereka menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing seperti bahasa
Inggris. Mereka lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia dari pada
bahasa Sasak atau bahasa ibu.
Generasi muda sebagai generasi pendamping dan penerus kebudayaan,
sudah sepantasnya dapat mempertahankan dan pengguna aktif bahasa Sasak
dalam kehidupan sehari-hari. Namun bila hal ini tidak diberdayakan dan
diajarkan sejak dini, maka bahasa Sasak akan tertelan waktu dan lapuk
dimakan zaman. Demikian pula dengan bahasa daerah lain di Nusantara
bahwa pada umumnya bahasa daerah sulit untuk dipahami, karena
pengucapan atau idialek dan dialek sangat berbeda dengan bahasa Indonesia,
terlebih lagi sebagai pendatang baru di suatu daerah.
Bahasa daerah menunjukkan jati diri atau ciri khas suatu daerah seperti
bahasa Sasak menunjukkan jati diri masyarakat Lombok. Demikian pula
dialek bahasa Sasak menunjukkan asal daerah tempat tinggal di suatu daerah
di pulau Lombok.
Walaupun ada yang menggunakan bahasa Sasak hanya sedikit yaitu
terbatas pada masyarakat pinggiran yang masih kental dengan nuansa budaya
Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah Sendiri
1
Sasak saja. Hal ini dipengaruhi oleh orang tua. Jika orang tua mereka tinggal
di daerah pinggiran atau pelosok pedesaan dan bukan masyarakat yang
berstatus sosial menengah atas maka bahasa Sasak bagi mereka tidaklah asing
karena bahasa Sasak masih kental digunakan sebagai bahasa keseharian
mereka.
Namun berbeda dengan orang tua yang merupakan masyarakat yang
berstatus sosial kelas menengah ke atas dan tinggal di daerah perkotaan.
Mereka cenderung lebih menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa
Sasak. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena sebagian dari mereka lebih
percaya diri menggunakan bahasa Indonesia dan gengsi menggunakan bahasa
Sasak. Mungkin anggapan mereka bahwa yang lebih pantas menggunakan
bahasa Sasak hanyalah masyarakat pinggiran saja sedangkan di kalangan
mereka menggunakan bahasa Sasak tidaklah etis. Ketidaketisan tersebut
merupakan suatu ketidakcocokan jika digunakan di kalangan mereka dan
merupakan suatu kerendahan baginya. Dan memang mayoritas dari mereka
tidak bisa berbahasa Sasak disebabkan oleh orang tua mereka yang tidak
memperkenalkan bahasa Sasak dari kecil sehingga menjadi kebiasaan sampai
dewasa.
Orang tua yang berasal dari masyarakat kelas menengah ke atas tersebut
mengajarkan anaknya terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dari sejak kecil
dan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi mereka jika anaknya bisa
menggunakan bahasa Indonesia ketika masih kecil. Sehingga keturunan
selanjutnya adalah anak yang akan menjadi generasi penerus dan menjadi
orang tua bagi anak-anaknya kelak tidak dapat mengenali bahasa Sasak itu
sendiri apalagi dapat mengajarkan anaknya bahasa Sasak.
Hal ini lambat laun akan mendarah daging, sadar atau tidak sadar pun
akan menjadi suatu konvensi dalam pergaulan sehari-hari sebagai lingua
pranca di antara srata sosial mereka bahkan sebagai pembeda antara tau
gawah dan tau kote. Karena orang tua memegang peranan penting terhadap
anak sebagai generasi penerus maka upaya apakah yang seharusnya dilakukan
oleh orang tua sebagai guru pertama anak?
Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah Sendiri
2
Permasalahan di atas setidak- tidaknya masih ada kepedulian dari instansi
terkait dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk sedini mungkin
menyusun kurikulum pendidikan yang lebih serius dan tegas sehingga
pelajaran Muatan Lokal (Mulok) dijadikan sebagai mata pelajaran wajib
yakni pembelajaran bahasa Sasak. Sebab kenyataannya di lapangan bahwa
mata pelajaran Muatan Lokal yang diterapkan di sekolah masih setengah-
setengah diajarkan di beberapa sekolah tergantung dari kebijakan komite
sekolah tersebut, sebagai contoh di desa Batu Nyala, SD yang masih diajarkan
adalah sebanyak….sehingga memperoleh persentase…% dan SD yang tidak
diajarkan sebanyak…dengan persentase...%.
Akan tetapi walaupun demikian pendidikan bahasa Sasak di SD dirasakan
kurang karena hanya sebatas pembelajaran agar tahu saja dan sebagai
pengenalan bukan sebagai media untuk melekatkan budaya bahasa daerah dan
melestarikan bahasa Sasak itu sendiri agar tidak punah tergeser arus
globalisasi yang kian berkembang sangat dahsyat.
Bukan hanya itu umumnya anak tamat SD sebagian besar tidak lagi
membiasakan diri berkomunikasi menggunakan bahasa Sasak. Bila demikian
bahasa Sasak terasa asing di rumahnya sendiri. Seperti kata petuah bahwa
“ala bisa karena biasa”. Jadi, jika tidak dibiasakan dari kecil maka akan hilang
dengan sendirinya dan tanpa disadari karena terhanyut dan melebur oleh
bahasa yang dianggap lebih pantas, lebih intelektual, dan lebih bergengsi
digunakan di tengah-tengah masyarakat yang sedang mencari identitas diri.
Mengapa bahasa Sasak hanya diajarkan sampai di Sekolah Dasar? Apakah
itu menjamin bahwa pelajar sebagai generasi penerus akan dapat
mempertahankan budaya Sasak Lombok yang menjadi ciri khas dan jati diri
daerah Lombok?
Begitu pula halnya dengan siswa di tingkat pendidikan menengah ke atas
siswa membatasi diri menggunakan bahasa Sasak sebagai alat komunikasi,
yang paling mendominasi adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Sebagian besar beranggapan bahwa bahasa Sasak tidak perlu lagi untuk
diajarkan di sekolah menengah atas karena bahasa Sasak sudah menjadi
santapan sehari-hari.
Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah Sendiri
3
Sebagai contoh pada kenyataannya sekolah-sekolah menengah yang
berada di bawah naungan Kementerian Agama yang berada di Lombok seperti
MAN 1 Praya, MAN 2 Praya, MAN 2 Mataram dan sekolah lainnya, mata
pelajaran muatan lokalnya menggunakan bahasa Arab. Sedang bahasa Arab
bukan bahasa lokal. Bahasa Arab ingin dikuasai seperti bahasa lokal agar
mampu berkompetisi di dunia internasional. Namun bukan dengan melupakan
bahasa Sasak sebagai bahasa lokal yang menjadi jati diri daerah Lombok.
Hal ini menunjukkan suatu pertanda bahaya bahwa bahasa Sasak sebagai
bahasa daerah di Lombok sudah terasa asing di lingkungan sendiri sehingga
lambat laun akan memudar dan nyaris terancam punah digulung zaman.
Namun hal ini tidak kita sadari. Lalu upaya apakah yang seharusnya dapat
dilakukan oleh pemerintah setempat?
II. PEMBAHASAN
Bahasa merupakan sarana komunikasi manusia yang paling utama dalam
menyampaikan suatu gagasan, ide, atau suatu pemikiran kepada lawan bicara
sehingga lawan bicara dapat memahami dan merespon pembicara. Oleh
karena itu setiap daerah memiliki bahasa tertentu yang merupakan ciri khas
daerah tersebut. Daerah Lombok memiliki bahasa daerah sendiri yaitu bahasa
Sasak.
Sasak adalah salah satu suku bangsa asli provinsi Nusa Tenggara Barat,
khususnya di pulau Lombok. Pulau Lombok dengan luas pulau lebih kurang
5.179 km2. Dilihat dari letak astronomisnya, pulau Lombok berada di antara 8o
10’ – 8o 95’ Lintang Selatan dan 115o 45’–116o 42’ Bujur Timur. Di sebelah
Utara pulau Lombok berbatasan dengan Laut Flores, sebelah Selatan
berbatasan dengan Samudra Hindia, sebelah Barat berbatasan dengan Selat
Lombok dan Pulau Bali, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Alas dan
Pulau Sumbawa. Secara administratif pulau Lombok di bagi menjadi tiga
kabupaten, yaitu kabupaten Lombok Barat, kabupaten Lombok Tengah,
kabupaten Lombok Timur dengan 56 kecamatan (Wikipedia Indonesia).
Bahasa Sasak digunakan oleh seluruh penduduk di pulau Lombok yaitu
Ampenan di Kota Mataram, Pujut, Praya, Puyung di Lombok Tengah,
Labuhan Lombok, Sakre, Sambelia, Jerowaru di Lombok Timur, Sekotong,
Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah Sendiri
4
Gerung, Narmada di Lombok Barat dan Kekait, Tanjung dan Bayan di
Lombok Utara.
Mereka menggunakan bahasa Sasak yang merupakan bahasa ibu karena
bahasa itu pertama kali diberikan oleh ibu mereka. Perkembangan bahasa
Sasak di Lombok tidak seperti dahulu lagi. Pada era sekarang ini banyak
masyarakat tidak mau menggunakan bahasa Sasak sebagai alat berkomunikasi
sehari-hari bahkan nyaris mereka tidak bisa terutama kaum muda atau pelajar.
Meninggalkan bahasa Sasak berarti meninggalkan bahasa ibu yang
merupakan salah satu kebudayaan mahal warisan nenek moyang bangsa dan
sebagai penanda atau identitas suatu daerah. Bahasa Sasak yang merupakan
bahasa daerah tidak akan dapat menghapus bahasa persatuan atau bahasa
nasional yaitu bahasa Indonesia. Karena bahasa daerah tersebut mengundang
pemersatu budaya di seluruh tanah air Indonesia. Jika bahasa daerah dijunjung
tinggi maka budaya Indonesia juga akan dijunjung tinggi.
Bahasa daerah sangat penting digunakan dan dipelajari sesuai dengan
UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa bahasa daerah juga menjunjung nilai
budaya nasional sesuai dengan bunyi UUD 1945 pasal 32 ayat (2)
menegaskan bahwa “Negara menghormati dan memilihara bahasa daerah
sebagai kekayaan budaya nasional.”
Demikian pula dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika,” semboyan
nasional ini tidak akan terhapuskan hanya karena mempelajari atau
menggunakan bahasa Sasak. Namun, dengan adanya bahasa daerah maka
semboyan itu akan tertanam bahwa di Indonesia memiliki ratusan bahasa ibu
atau bahasa daerah dengan beragam suku bangsa yang tersebar dari Sabang
sampai Marauke sebagai alat pemersatu untuk menjunjung tinggi budaya
nasional. Oleh karena itu, bahasa daerah sangat penting selain sebagai sarana
komunikasi dengan sesama dan di sisi lain bahasa daerah juga sebagai
kekayaan bangsa dan penjunjung budaya nasional.
Biasanya bahasa daerah sudah melekat dalam diri seseorang dan
menggunakannya dengan orang yang sama daerahnya. Sehingga ketika
mereka bertemu di suatu tempat di luar daerahnya maka mereka akan
menggunakan bahasa daerahnya setelah mereka tahu bahwa mereka memiliki
Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah Sendiri
5
asal daerah yang sama tanpa disadari bahasa itu muncul, lancar dan timbul
kepuasan serta kebebasan berkomunikasi. Demikian juga dengan bahasa
Sasak.
Masyarakat Suku Sasak Lombok yang menggunakan bahasa Sasak sangat
tinggi tingkat perbedaannya tentang kesadaran dalam menggunakan bahasa
daerahnya jika dibandingkan dengan suku Mbojo. Suku Mbojo dalam rantauan
sangat kental dalam berkomunikasi selalu mengedepankan menggunakan
bahasa daerah Mbojonya daripada bahasa Indonesia. Apalagi jika mereka
bertemu dengan kawan sesama orang Bima sungguh familianer.
Orang Bima memiliki semboyan dalam berbahasa yaitu “ngaha aina
ngoho,” sehingga bahasa daerahnya selalu melekat dan mereka tidak pernah
gengsi menggunakannya. Begitupula dengan daerah Lombok juga memiliki
semboyan tersendiri. Namun kita hanya sebatas tahu artinya saja sedang
memaknai sebuah semboyan itu yang belum ada di setiap individu masyarakat
Lombok.
Jika bahasa daerah punah maka jati diri suatu daerah akan hilang dan dapat
mengurangi kekayaan budaya nasional. Demikian terjadi disebabkan karena
beberapa faktor di antaranya orang tua, perbedaan dialek, tempat kelahiran,
lingkungan, kawin campur, tingkat ketidaksadaran dan lain sebagainya.
Orang tua mempunyai peranan penting dalam mendidik anaknya. Namun
di sini orang tua dibagi menjadi dua yaitu orang tua yang berasal dan tinggal
di pedesaan atau pelosok dan orang tua yang berasal dan tinggal di perkotaan
atau perumahan kelas menengah atas.
Orang tua yang berasal dan tinggal di pedesaan atau pelosok masih kental
menggunakan bahasa Sasak. Begitupula dengan anak atau keturunannya.
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan ada di antara mereka yang tidak lagi
menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa kesehariannya yaitu kaum pelajar.
Karena di dunia pelajar Lombok dari masyarakat manapun ia lebih cenderung
menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi antar pelajar Lombok
atau pelajar luar daerah Lombok. Lebih-lebih tingkat SMP, SMA dan
Perguruan Tinggi. Menggunakan bahasa Indonesia merupakan suatu
Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah Sendiri
6
kesesuaian terhadap profesinya sebagai seorang pelajar. Hal ini juga perlu
mendapat perhatian dari orang tua.
Sedangkan orang tua yang berasal dan tinggal di perkotaan atau
perumahan kelas menengah atas lebih cenderung mengajarkan anaknya
menggunakan bahasa Indonesia sejak kecil sehingga ketika dewasa si anak
tidak mengenali jati diri daerahnya sendiri.
Sebagai wong sasak kalau orang tua tidak mengajarkan anaknya bahasa
Sasak maka secara tidak langsung ia mengajarkan anaknya untuk
mengkhianati budaya Sasak Lombok. Tetapi kenyataan yang sekarang terjadi,
orang tua belum menyadari bahwa bahasa daerah merupakan aset budaya
bangsa dan warisan nenek moyang yang tak ternilai harganya.
Bertitik tolak dari faktor di atas maka orang tua harus dapat menanamkan
dalam diri anak bahwa bahasa Sasak adalah bahasa daerahnya yang tidak
boleh punah dan harus tetap lestari di rumahnya sendiri bahkan di dunia
nasional ataupun internasional. Mengingat orang tua adalah sekolah pertama
anak untuk memperoleh bimbingan dasar yang kuat dari sejak kecil. Sehingga
tidak perlu khawatir jika sudah besar nanti, ibarat pohon yang masih muda
jika ia dibengkokkan akan lebih mudah namun jika pohon yang tua
dibengkokkan, akan sulit dan bahkan akan patah.
Setiap anak yang normal pasti memperoleh suatu bahasa pertama dari ibu
mereka. Anak dilahirkan memiliki potensi yang tinggi untuk merekam apa
yang terucap dari ibunya atau lingkungan masyarakat di mana mereka berada.
Menurut Chomsky, kemampuan itu membawa anak mampu menguasai
kalimat-kalimat secara bertahap dari yang sederhana sampai pada bentuk yang
kompleks. Anak yang terlahir di dunia ini memliki kapasitas berbahasa. Anak
akan belajar makna kata dan bahasa sesuai apa yang didengar, dilihat dan
dihayati dalam kesehariannya. Perkembangan anak dalam memahami bahasa
akan terus berkembang dari kecil hingga dewasa. Perkembangan anak dari
usia 3-5 tahun merupakan fase yang cukup penting di mana anak diajarkan
cara pengucapan dan menyusun kata sesuai dengan struktur tertentu dan anak
akan belajar makna kata yang telah diucapkan. Oleh karena itu di sini orang
tua memliki peran yang sangat penting untuk ditiru dan digugu (sumber).
Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah Sendiri
7
Djelenge (1999) membagi bahasa Sasak dalam empat kategori
dialek yaitu : dialek ngeno-ngene (dialek Selaparang), dialek meno-
mene (dialek Pejanggik), meriak-meriku (dialek Pujut) dan dialek
kuto-kute (dialek Petung Bayan). Sedangkan menurut Stiff (1995)
bahasa Sasak yang digunakan oleh masyarakat Lombok dalam lima
kelompok yaitu dialek ngene-ngene,dialek meno-mene, dialek kuto-
kute, dialek ngeto-ngete, dan dialek meriak-meriku. Dalam hal
penyebaran masing-masing dialek memiliki daerah/ wilayah
penyebaran sendiri, seperti dialek ngeno-ngene banyak dipakai oleh
masyarakat Lombok Timur dan sebagian Lombok Barat. Dialek
meno-mene banyak dipakai oleh masyarakat Lombok Tengah dan
sekitarnya, disamping daerah Lombok Timur bagian selatan. Dialek
meriak-meriku banyak dipakai oleh masyarakat Lombok Tengah
bagian selatan dan sedikit di Lombok Timur. Terakhir dialek ngeto-
ngete banyak dipakai oleh masyarakat Lombok Barat bagian utara
dan beberapa tempat di Lombok Timur (skripsi-ciwon.weebly, 20….).
Contoh bahasa Sasak Lombok Tengah pada kata /jangan/ maknanya
daging sementara bahasa Sasak Lombok Timur /jangan/ maknanya sayur-
sayuran.
Dengan adanya perbedaan dialek tersebut juga merupakan salah satu
faktor yang membuat masyarakat Sasak malu menggunakan bahasa Sasak
karena ketika mereka bertemu dengan masyarakat yang memiliki dialek yang
berbeda dengan dirinya maka mereka lebih cenderung menggunakan bahasa
Indonesia daripada bahasa Sasak yang berbeda dialek agar mereka nyambung
dalam berkomunikasi. Dan masing-masing daerah bila berkomunikasi akan
terjadi saling mencemooh. Oleh karenanya perlu adanya sifat kekerabatan
yang erat dengan cara mengadakan silaturrahmi agar tumbuh kesadaran
sehingga tidak saling mengejek bahasa daerah satu dengan yang lain. Salah
jika menganggap bahasa daerah sendiri lebih baik karena semua bahasa daerah
tidak ada yang buruk, yang buruk adalah malu menggunakan bahasa daerah
sendiri bahkan sampai melupakannya yang merupakan suatu pengkhianatan
besar bagi daerah sendiri dan secara tidak langsung terhadap kebudayaan
Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah Sendiri
8
nasional. Sedapat mungkin jangan menertawakan bahasa daerah orang lain
ketika sedang berkomunikasi agar lawan bicara tidak tersinggung.
Tempat kelahiran juga mempengaruhi. Kalau anak tersebut dilahirkan di
daerah lain dalam masyarakat suku yang berbeda maka mereka tidak akan
mengenal bahasa daerahnya. Kalau mereka pun tidak diajarkan oleh
orangtuanya maka cenderung mengunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
sehari-hari. Untuk itu, seyogyanya orang tua lebih berperan aktif untuk
memperkenalkan kepada anak-anaknya dan mengajarinya bahasa Sasak
sebagai bentuk tanggung jawab moral dan sebagai identitas daerah.
Lingkungan sangat mempengaruhi anak dalam hal apa saja ketika di
terlepas dari orang tuanya. Kalau anak tersebut hidup dalam lingkungan biasa
mengunakan bahasa Indonesia maka secara tidak langsung dia akan
terpengaruh. Karena bahasa Indonesialah yang digunakan sebagai bahasa
sehari-hari untuk berinteraksi dengan teman-teman dan orang sekitar mereka.
Mulailah dari diri sendiri untuk berbahasa Sasak sebagai tuan di rumah
sendiri!
Kawin campur adalah pertemuan antara kedua budaya yang berbeda dan
memiliki bahasa yang berbeda pula. Dengan pertemuan kedua budaya ini
maka dampaknya akan di terima oleh anaknya, jika anaknya tidak di ajarkan
bahasa daerah, karena pasti di rumah mereka mengunakan bahasa Indonesia.
Anak akan binggung mau ikut bahasa mama atau bapaknya. Maka anak tidak
akan tahu nama bahasa daerah dan budaya (Agustinus Dogomo, tahun).
Faktor ini juga dapat diselesaikan dengan bimbingan orang tua yaitu orang tua
harus dapat memperkenalkan bahasa daerah bapak kepada anak yang
merupakan budaya daerahnya.
Tingkat kesadaran masyarakat Sasak Lombok tentang pentingnya
berbahasa Sasak sangatlah kurang. Oleh sebab itu banyak ditemukan orang-
orang gengsi menggunakan bahasa Sasak dan lebih bangga menggunakan
bahasa yang sedang tren saat itu seperti bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Karena masyarakat menganggap bahasa nasional maupun bahasa internasional
yang lebih baik digunakan dan lebih modern daripada bahasa Sasak. Namun
anggapan itu salah besar. Bahkan dengan meninggalkan bahasa Sasak maka
Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah Sendiri
9
sejatinya ia telah mengikis sedikit demi sedikit budaya nasional yang ada di
Indonesia. Oleh karena itu masyarakat harus memiliki kesadaran sendiri
sebagai masyarakat Sasak dan mengenal siapa dirinya salah satunya dengan
memahami benar semboyan/ motto daerahnya sendiri. Motto daerah
Kabupaten Kota se-NTB dapat berfungsi sebagai rujukan psikososiokultur
dalam membangun daerah. Karena motto dimaksud adalah ungkapan rasa
yang memiliki makna dahsyat (mogic word) yang mengendalikan kehidupan
sosial kemasyarakatan setempat sebagai karakteristik stereotif kultural.
Motto tersebut harus mampu sebagai rujukan kultural tata laku dan
kelakuan masyarakat apapun profesinya sehingga motto adalah pemicu yang
berfungsi sebagai daya ungkit inisiasi, motivasi, dan prestasi dalam bekerja
untuk menghasilkan karya terbaik dan optimal.
Misalnya motto Kota Mataram (Maju dan Religius), Lombok Barat (Patut
Patuh Patju), Lombok Tengah (Tatas Tuhu Trasna), Lombok Timur (Patuh
Karya) yang dan Lombok Utara (Tiok Tata Tunak).
Selain itu berbeda tingkat kepedulian seseorang jika mereka dapat
menguasai bahasa daeranya sendiri dengan orang yang tidak menguasai yaitu
orang yang menguasai karena cenderung lebih mencintai daerahnya, tumbuh
dan sadar bahwa bahasa daerah itu adalah penting sehingga mereka juga
memiliki kepedulian lebih tinggi kepada daerahnya seperti mencintai
lingkungannya, menjaga adat dan budaya yang ada dan lainnya.
Faktor-faktor di atas juga sudah ada bentuk kepedulian pemerintah
memberikan wewenang kepada Sekolah Dasar agar memasukkan muatan
lokal bahasa Sasak ke dalam materi atau kurikulum pembelajaran. Namun
tidak semua sekolah yang memasukkan materi muatan lokal ke materi
pembelajaran. Namun tidak semua jenjang pendidikan yaitu hanya masih di
tingkat Sekolah Dasar (SD) itupun hanya sebagian saja seperti contoh yang
dikemukakan sebelumnya. Masih hanya tingkat SD kemungkinan karena
suatu pembelajaran akan tertanam pada diri anak jika mulai diajarkan di usia
dini sehingga jika memang bahasa Sasak benar-benar tertanam maka sampai
dewasapun ia akan tetap menanamkan bahwa bahasa Sasak adalah jati diri
rumahnya sendiri yang tidak mungkin ia tinggalkan karena sesuai dengan
Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah Sendiri
10
pernyataan “rumahku surgaku”. Seindah-indahnya bahasa orang ia tidak akan
pernah melupakan bahasanya sendiri yaitu bahasa daerahnya karena bahasa
daerahnya adalah rumah sendiri layaknya surga baginya.
Kesadaran anak juga dipicu oleh guru yang mengajarkan muatan lokal.
Tidak ditemukan di setiap Sekolah Dasar di Lombok bahwa guru yang
mengajarkan muatan lokal adalah murni ahli dalam bahasa Sasak. Karena
memang belum ada juruasan bahasa Sasak di Perguruan Tinggi setempat
seperti di Universitas Mataram sehingga yang mengajar di SD adalah sarjana
yang bukan spisialisnya. Berbeda dengan di Jawa gurunya adalah murni
sarjana Jurusan bahasa Jawa. Oleh karena itu bahasa Sasak Lombok juga
perlu dibuka program tersebut di Perguruan Tinggi sebagai wujud kepedulian
agar bahasa Sasak tidak terkikis oleh zaman.
Kebijakan pembelajaran muatan lokal bahasa Sasak ada di tingkat
Sekolah Dasar sedangkan guru yang mengajar bukan orang yang ahli dalam
bidang itu. Jadi tidak heran jika dasar berbahasa Sasak anak mudah rapuh
atau tidak melekat sama sekali pada diri anak. Di samping itu bahasa Sasak
terlalu banyak dialek dan idialeknya dengan kata dan makna yang berbeda.
Bukan hanya itu, untuk menumbuhkembangkan bahasa Sasak pemerintah
daerah perlu mengadakan suatu festival atau pertunjukan pada tingkat pelajar
tentang kebahasaan bahasa Sasak dalam bentuk mengarang, mendongeng,
menyanyi dan lain-lainnya.
III.PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa upaya yang seharusnya dapat
dilakukan untuk membentengi generasi muda Lombok agar mempunyai jati
diri dan terhindar dari pengaruh negatif budaya luar ataupun permasalahan
yang dapat membumihanguskan bahasa Sasak dari masyrakat Sasak seperti
faktor orang tua, perbedaan dialek, tempat kelahiran, lingkungan, kawin
campur, tingkat ketidaksadaran dan lain sebagainya, sehingga nantinya dapat
menjamin terbentuknya rasa bangga sebagai warga Lombok dan umumnya
warga NTB yaitu pertama oleh orang tua dengan menanamkan bahasa Sasak
kepada anak sedini mungkin.
Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah Sendiri
11
Kedua oleh pemerintah setempat perlu meninjau kembali apakah
kebijakan yang dikeluarkannya yaitu menetapkan muatan lokal bahasa Sasak
sebagai mata pelajaran wajib telah dilaksanakan atau tidak dengan cara
mengontrol semua sekolah agar melaksanakan kebijakan pmerintah tersebut
dan muatan lokal yang digunakan adalah bahasa Sasak bukan bahasa asing
yang lain seperti bahasa Inggris atau Arab.
Ketiga pemerintah perlu membuka program sastra Sasak di perguruan
tinggi yang turut mendukung pembelajaran muatan lokal bahasa Sasak di
setiap jenjang sekolah agar guru yang mengajar di sana adalah sarjana yang
benar-benar ahli sastra Sasak.
Pemerintah setempat juga perlu mengadakan suatu festival atau
pertunjukan pada tingkat pelajar tentang kebahasaan bahasa Sasak dalam
bentuk mengarang, mendongeng, menyanyi dan kegiatan lainnya yang
mendukung timbulnya kesadaran bahwa pentingnya bahasa Sasak sehingga
menumbuhkan rasa bangga menjadi masyarakat di Lombok.
Disarankan kepada seluruh masyarakat Lombok agar tidak malu
menggunakan bahasa Sasak. Tanamkanlah bahwa sejatinya bahasa Sasak
merupakan jati diri daerah sendiri yang tidak boleh pudar bahkan punah
ditelan zaman dan kita harus bangga menjadi masyarakat Lombok atau
masyarakat NTB pada umumnya dengan tetap melestarikan budaya yang ada
sehingga budaya nasional juga akan tetap lestari.
Glosarium:-Kuto-kute : -Lingua pranca :-Maju dan Religius : Maju dan Agamis-Meno-mene : -Meriak-meriku : -Mogic word : Makna dahsyat-Ngaha aina ngoho : Boleh mencari makan, tapi jangan membabat hutan-Ngeno-ngene : -Ngeto-ngete : -Patut Patuh Patju : Taat Rajin-Suku Mbojo : Suku Bima-Tatas Tuhu Trasna :-Tau gawah : Masyarakat pinggiran-Tau kote : Terpelajar
Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah Sendiri
12
-Tiok Tata Tunak :-Wong sasak : Orang Sasak
Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah Sendiri
13
DAFTAR PUSTAKA
Agustinus Dogomo, tahun
Febrina, Cynthia. 2007. Daerah Kebudayaan Lombok. LSPR: Jakarta.
Www.WikipediaIndonesia.com
Www.skripsi-ciwon.weebly.com
Bahasa Sasak sebagai Warisan Budaya sudah tidak Nyaman di Rumah Sendiri
14