EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN JOHAR PADA BOBOT
BADAN DAN SUHU TUBUH AYAM YANG TERINFEKSI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN JOHAR PADA BOBOT
BADAN DAN SUHU TUBUH AYAM YANG TERINFEKSI
Eimeria spp.
MELATI ANGGRAINI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
1
EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN JOHAR PADA BOBOT
BADAN DAN SUHU TUBUH AYAM YANG TERINFEKSI
2
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Efek Ekstrak Etanol Daun
Johar pada Bobot Badan dan Suhu Tubuh Ayam yang Terinfeksi Eimeria spp.
adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
Melati Anggraini
NIM B04061358
3
MELATI ANGGRAINI. Efek Ekstrak Etanol Daun Johar pada Bobot Badan dan
Suhu Tubuh Ayam yang Terinfeksi Eimeria spp. Di bawah bimbingan SRI
UTAMI HANDAJANI dan IETJE WINTARSIH.
ABSTRAK
Koksidiosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Eimeria spp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak etanol
daun johar (Cassia siamea Lamk.) pada ayam terinfeksi alami Eimeria spp. yang
mengandung 8,1-23,6 x 103 ookista terhadap bobot badan dan suhu tubuh ayam.
Sebanyak 90 ekor ayam dibagi menjadi 6 kelompok yaitu kelompok kontrol
normal (KN), kelompok kontrol negatif (K-), kelompok kontrol obat (KO),
kelompok perlakuan 1 (P1) dengan dosis ekstrak etanol daun johar 4,09 mg/0,5
ml, kelompok perlakuan 2 (P2) dengan dosis ekstrak etanol daun johar 8,18
mg/0,5 ml, dan kelompok perlakuan 3 (P3) dengan dosis ekstrak etanol daun johar
16,38 mg/0,5 ml. Pengukuran terhadap bobot badan dan suhu tubuh ayam
dilakukan sebanyak delapan kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot
badan dan suhu tubuh ayam tidak dipengaruhi oleh infeksi 8,1-23,6 x 103 ookista
Eimeria spp. Bobot badan ayam kelompok P3 lebih tinggi dibandingkan
kelompok ayam yang terinfeksi lainnya. Sedangkan ekstrak etanol daun johar
dosis 16,38 mg/0,5 ml dapat mempertahankan suhu tubuh ayam pada kisaran
normal (41,45˚C).
Kata kunci: Eimeria spp., daun johar, bobot badan, suhu tubuh, ayam
4
MELATI ANGGRAINI. The Effect of Johar Leaves Etanol Extract in Body
Weight and Temperature of Chicken that Infected by Eimeria spp. Under direction
of SRI UTAMI HANDAJANI and IETJE WINTARSIH.
ABSTRACT
Coccidiosis is a common disease caused by infection of Eimeria spp. The
aimed of this research was to observe effectiveness of johar leaves etanol extract
(Cassia siamea Lamk.) in chicken that infected naturally by Eimeria spp.
containing 8,1-23,6 x 103 oocyts on body weight and temperature of chicken.
Nineteen chickens were divided into six equal groups. They were normal control
group (KN), negative control group (K-), drug control group (K+), group (P1)
induced by ethanol extract of johar leaves with dose 4,09 mg/0,5 ml, group (P2)
induced by ethanol extract of johar leaves with dose 8,18 mg/0,5 ml, group (P3)
by ethanol extract of johar leaves with dose 16,38 mg/0,5 ml. Weight and
temperature in chickens examined for eight times. The results showed that
generally body weight and temperature were not affected by number of oocyts.
Body weight of P3 group is higher than another infected groups. While etanol
extract of johar leaves with dose 16,38 mg/0,5 ml could keep chicken’s
temperature in normal temperature (41,45˚C).
Keywords: Eimeria spp., johar leaves, body weight, temperature, chicken
5
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB.
6
EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN JOHAR PADA BOBOT
BADAN DAN SUHU TUBUH AYAM YANG TERINFEKSI
Eimeria spp.
MELATI ANGGRAINI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
7
Judul Skripsi : Efek Ekstrak Etanol Daun Johar pada Bobot Badan dan Suhu
Tubuh Ayam yang Terinfeksi Eimeria spp.
Nama : Melati Anggraini
NIM : B04061358
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Tanggal Lulus :
Dr. dra. Hj. Ietje Wientarsih, Apt. M.Sc
Pembimbing II
Dr. drh.Rr. Sri Utami Handajani, MS
Pembimbing I
Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Dr. Nastiti Kusumorini
NIP : 19621205 198703 2 001
8
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmannirrohim.
Alhamdulillah segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi
Robbi atas ridho, kasih sayang, izin dan hidayahNya penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan. Skripsi dengan judul Efek Ekstrak Etanol Daun Johar pada Bobot
Badan dan Suhu Tubuh Ayam yang Terinfeksi Eimeria spp. merupakan karya
ilmiah yang bertujuan untuk memahami sekaligus mengkaji pengaruh pemberian
obat herbal pada ayam yang telah terinfeksi koksidiosis terhadap suhu tubuh
maupun bobot badan ayam.
Penulisan skripsi terselesaikan dengan bimbingan, saran, dan sumbangan
pemikiran dari berbagai pihak. Dengan rasa hormat penulis mengucapkan terima
kasih kepada Ibu Dr. drh. Rr. Sri Utami Handajani, MS selaku pembimbing utama
dan Ibu Dr. dra. Hj. Ietje Wientarsih, Apt. M.Sc, serta Ibu Dr. drh. Aryani Sismin,
S. M.Sc yang telah meluangkan waktu dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan namun penulis
berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Bogor, Februari 2011
Melati Anggraini
9
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala Puji dan Syukur hanya dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan kekuatan, kesabaran, dan pengetahuan kepada penulis dalam
penyelesaian penulisan skripsi ini.
Dalam kesempatan ini, dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis
mengucapkan terima kasih dengan rasa hormat kepada:
1. Keluarga besarku tercinta, Mama dan Mas Jaka yang telah memberikan kasih
sayang dan doanya, serta saudara-saudara, yang senantiasa memberikan
penulis bantuan baik secara spiritual maupun material.
2. Ibu Dr. drh. Rr. Sri Utami Handajani, MS selaku pembimbing skripsi utama
dan Ibu Dr. dra. Hj. Ietje Wientarsih Apt. M.Sc selaku pembimbing skripsi
kedua, serta Ibu Dr. drh. Aryani Sismin S. M.Sc yang telah mengarahkan dan
memberi masukan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis juga meminta maaf jika terdapat kesalahan dalam perilaku dan
ucapan selama masa bimbingan yang tidak berkenan di hati Ibu.
3. Prof. Dr. drh. Winny Sanjaya, MS selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan dan nasehat.
4. Gilang yang selalu mendukung, mendoakan, dan memberikan semangat
selama penelitian dan penyelesaian skripsi.
5. Teman-teman sepenelitian, yaitu Arum, Indra, Fifit, dan Yulia yang telah
membantu penulis selama penelitian.
6. Teman-teman seperjuangan FKH 43 (43sculapius), yang telah memberikan
semangat kepada penulis Ivone, Tri, Gendis, Edo, Kurnia, Tika, dan Laras.
7. Pak Dede, Ibu Neni, Deni, Kiki, serta seluruh penghuni kostan Girma, Aida,
Gita, Sarah, Kak Munir, Kak Mawan, Kak Deni, Tile, Hanif, Wahid, Yan,
Hans, Indra, Mamade, Budi, Ipul, Kak Aan, Sandra, Nissa, Niken, Ibu Nti,
dan Mba Win terima kasih telah menjadi keluarga kedua untuk penulis.
8. Seluruh dosen FKH IPB, terima kasih telah memberikan pengajaran yang
baik, juga untuk seluruh staff yang telah membantu selama perkuliahan.
10
9. Tidak lupa rasa terima kasih juga kepada semua pihak yang tidak mungkin
disebutkan satu per satu atas bantuannya dalam penyusunan dan penyelesaian
skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
Melati Anggraini
11
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta, 10 November 1988 sebagai anak bungsu dari
pasangan suami istri Yunan Suganda Permana dan Siti Harkuswati. Pendidikan
formal dimulai dari TK Mutiara Bekasi pada tahun 1992, kemudian dilanjutkan di
SDN Rawa Baru 45 Bekasi sampai pada tahun 2000. Penulis melanjutkan
pendidikan di SMP N 2 Bekasi. Pada tahun 2006, penulis lulus dari SMA N 6
Bekasi dan mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi di Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi
Masuk IPB). Selama perkuliahan, penulis pernah menjabat ketua divisi kubah di
Himpunan Profesi Ornithologi dan Unggas.
12
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................... i
DAFTAR TABEL ................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... v
PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................ 1
Tujuan .......................................................................................... 2
Manfaat ........................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA
Johar ............................................................................................ 3
Klasifikasi ................................................................................. 3
Morfologi .................................................................................. 4
Komponen Kimia ...................................................................... 4
Khasiat....................................................................................... 6
Ekstraksi .................................................................................... 6
Etanol ........................................................................................ 8
Pemberian Koksidiostat ............................................................... 9
Sulfadiazine ............................................................................... 10
Trimethoprim ............................................................................ 10
Eimeria ....................................................................................... 11
Morfologi .................................................................................. 11
Klasifikasi ................................................................................. 11
Siklus Hidup .............................................................................. 12
Patogenesis ................................................................................ 13
Gejala Klinis ............................................................................. 14
Ayam ........................................................................................... 15
Klasifikasi ................................................................................. 15
Morfologi dan Sifat Fisiologis .................................................. 16
Suhu Tubuh ............................................................................... 16
Bobot Badan .............................................................................. 18
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................... 19
Alat dan Bahan ............................................................................ 19
Metode ......................................................................................... 19
Tahap persiapan ........................................................................ 19
Kandang ............................................................................... 19
Koksidiostat ......................................................................... 20
Pembuatan ekstrak etanol daun johar (C. siamea Lamk.) .. 20
Pengelompokan Hewan coba ............................................... 21
Tahap pelaksanaan .................................................................. 21
13
Pemeriksaan feses ................................................................ 22
Pengukuran suhu tubuh dan bobot badan ayam................... 22
Pencekokan koksidiostat dan ekstrak daun johar ................ 22
Pengolahan Data .................................................................. 22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot badan ................................................................................. 23
Suhu badan .................................................................................. 26
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ...................................................................................... 30
Saran ............................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 31
LAMPIRAN ............................................................................................ 37
ii
14
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Obat antikoksidia yang sering digunakan ........................................ 9
2. Nilai fisiologis ayam ........................................................................ 17
3. Berat badan ayam berdasarkan umur ............................................... 18
4. Pengelompokan ayam penelitian ...................................................... 21
5. Rata-rata jumlah ookista (103) pada setiap kelompok perlakuan ..... 23
6. Rata-rata bobot badan ayam (gram) setelah terinfeksi Eimeria spp.
dan diberi ekstrak etanol daun johar (Cassia siamea Lamk.) .......... 24
7. Rata-rata suhu badan ayam (˚C) setelah terinfeksi Eimeria spp. dan
diberi ekstrak etanol daun johar (Cassia siamea Lamk.) ................. 28
15
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Johar (Cassia siamea) ...................................................................... 3
2. Barakol ............................................................................................. 6
3. Sulfadiazin ........................................................................................ 10
4. Trimetoprim ..................................................................................... 10
5. Ookista Eimeria ............................................................................... 11
6. Siklus hidup Eimeria ........................................................................ 12
7. Sekum ayam yang berdarah ............................................................. 15
8. Ayam tipe petelur ............................................................................. 15
9. Rata-rata bobot badan ayam (gram) dari setiap kelompok
perlakuan .......................................................................................... 24
10. Rata-rata suhu badan ayam (˚C) dari setiap kelompok perlakuan ... 29
16
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Analisis data dengan uji ANOVA dan dilanjutkan uji wilayah
berganda DUNCAN .......................................................................... 36
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Unggas merupakan salah satu komoditi utama yang berperan dalam
pemenuhan kebutuhan protein bagi masyarakat Indonesia, baik melalui produksi
telur maupun daging. Kebutuhan akan protein hewani yang berasal dari produk
unggas ini cukup tinggi dikarenakan jumlah penduduk Indonesia yang semakin
hari semakin meningkat dan harganya yang relatif lebih murah dibandingkan
sumber protein hewani lainnya. Kebutuhan ini sebenarnya dapat dipenuhi jika
pengelolaan dan manajemen peternakan unggas dapat berjalan dengan baik dan
benar. Namun dalam usaha meningkatkan produksi unggas untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat ditemukan banyak kendala, salah satu kendalanya yaitu
penyakit pada unggas.
Penyakit unggas yang sering terjadi di peternakan ayam baik pada
peternakan ayam pedaging maupun ayam petelur yaitu koksidiosis atau di
Indonesia lebih dikenal sebagai berak darah. Koksidiosis merupakan penyakit
yang disebabkan oleh genus Eimeria dan menyerang saluran pencernaan sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan yang disertai oleh terganggunya proses
percernaan karena ada penurunan absorbsi nutrisi, dehidrasi dan anemia.
Koksidiosis pada ayam disebabkan oleh sembilan spesies Eimeria, yaitu E.
tenella, E. necatrix, E. acervulina, E. mitis, E. praecox, E. brunette, E. hagani,
dan E. mivati (Ashadi dan Handayani 1992). Koksidiosis dari segi ekonomi dapat
menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi peternakan akibat terhambatnya
pertumbuhan, penurunan berat badan dan kualitas karkas, serta penurunan
produksi telur (Tampubolon 2004).
Menurut Shane (1997) faktor predisposisi wabah koksidiosis pada suatu
peternakan adalah kelembaban air pada litter yang melebihi 30%, imunosupresi
akibat penyakit lain seperti Infectious Bursal Disease (IBD) atau Marek,
pemberian obat koksidiosis yang tidak sesuai anjuran, stres lingkungan, dan
manajemen kandang. Tindakan yang perlu dilakukan untuk pencegahan dan
pengendalian terhadap koksidiosis antara lain dengan sanitasi yang ketat dan
penggunaan koksidiostat (Levine 1985). Tindakan pencegahan terhadap
2
koksidiosis lainnya yaitu pemberian vaksin yang mampu menginduksi sistem
kekebalan, dengan menstimulasi limfosit untuk menghasilkan antibodi dan sel
memori yang akan bekerja ketika ada benda asing yang masuk (Lilehoj dan
Lilehoj 1999).
Beberapa jenis koksidiostat yang digunakan, antara lain sulfaquinosalin,
sulfakloropromazin, sulfanitran, amprolium, dan sulfonamide. Penggunaaan
koksidiostat dapat menimbulkan efek samping berupa munculnya galur-galur
koksidia baru yang tahan terhadap obat dan menimbulkan residu pada daging dan
telur yang berdampak kurang baik untuk konsumen (Cahyaningsih et al. 2007;
Wardhana et al. 2001). Untuk mengatasi resistensi dan residu maka diperlukan
obat alternatif yang berasal dari tanaman (tumbuhan yang dibudidayakan) atau
Obat Asal Tumbuhan (OAT) yang mudah didapat dengan biaya yang lebih murah
dan aman, serta tidak menimbulkan efek samping (Mulyani dan Gunawan 2002).
Johar (Cassia siamea Lamk.) banyak digunakan sebagai antimalaria,
antipiretik, beri-beri, sakit perut, scabies, dan diabetes (Kardono et al. 2003).
Sebagai tanaman obat, daun johar diduga juga mengandung zat aktif yang dapat
mengatasi penyakit lainnya. Penggunaan daun johar sebagai obat koksidiosis
belum pernah dilakukan sehingga diperlukan penelitian tentang pengaruh
pemberian daun johar terhadap bobot badan dan suhu tubuh ayam yang terinfeksi
Eimeria spp. secara alami. Pada penelitian ini daun johar dibuat ekstrak dengan
metode maserasi dan pelarut etanol.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak
daun johar (Cassia siamea Lamk.) dengan dosis bertingkat terhadap bobot badan
dan suhu tubuh pada ayam petelur jantan yang telah terinfeksi Eimeria spp.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu dapat memberikan informasi kepada
peternak maupun dunia kedokteran hewan tentang penggunaan daun johar sebagai
alternatif pengobatan koksidiosis.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Johar (Cassia siamea)
Johar atau juar adalah nama sejenis pohon penghasil kayu keras yang
termasuk suku Fabaceae (Leguminosae = polong-polongan). Pohon yang sering
ditanam sebagai peneduh tepi jalan ini, dikenal pula dengan nama-nama yang
mirip, seperti juwar atau johor (KemenKes RI 1989). Di Sumatra, pohon ini
dinamai pula bujuk atau dulang. Dalam bahasa Inggris tumbuhan ini disebut
dengan beberapa nama seperti black-wood cassia, Bombay blackwood, kassod
tree, Siamese senna dan lain-lain (Kardono et al. 2003). Morfologi pohon johar
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Johar (Cassia siamea) (Kardono et al. 2003).
Klasifikasi
Menurut Heyne (1987), johar diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae (suku polong-polongan)
Genus : Cassia
Spesies : Cassia siamea Lamk.
4
Morfologi
Cassia siamea merupakan pohon berukuran sedang dengan cabang yang
kuat dan halus. Daunnya terdiri dari 7-10 pasang anak daun, petiole (tangkai
daun) mempunyai panjang 2-3 cm, dan tulang daunnya sepanjang 10-25 cm.
Kelopaknya berwarna kuning dan panjangnya 1,5-2 cm . Buahnya seperti kacang
polong sebanyak 20-30 buah dengan ukuran 1-1,5 cm (Farnsworth dan
Bunyapraphatsara 1992). Bunga Johar memiliki panjang 15-60 cm dengan 10-60
kuntum bunga. Setiap bunga memiliki benang sari 10. Biji berwarna coklat terang
mengkilap, bundar telur pipih dengan ukuran 6,5-8 mm x 6 mm (Steenis 1981).
Komponen Kimia
Beberapa komponen kimia yang terdapat pada tanaman yang berkhasiat
sebagai obat diantaranya:
1. Alkaloid
Alkaloid yaitu senyawa kimia yang biasa ditemukan pada tumbuhan dan
digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan obat, misalnya morphin,
atropin, dan codein. Alkaloid dapat menembus barier darah otak (blood-brain
barrier), apabila kandungan alkaloid berlebihan dalam tubuh maka alkaloid
dapat menyebabkan kerusakan hati.
2. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa polar sehingga flavonoid dapat larut dalam
pelarut polar seperti etanol, metanol, aseton, dimetil sulfoksida (DMSO),
dimetil fonfamida (DMF), dan air (Markham 1988). Flavonoid merupakan
senyawa kimia yang bekerja sebagai antioksidan, memiliki hubungan sinergis
dengan vitamin C (meningkatkan efektivitas vitamin C), antiinflamasi,
menghambat pertumbuhan tumor, dan mencegah keropos tulang (Harbone
1987).
3. Tanin
Tanin merupakan senyawa fenolik yang kerjanya bersifat adstringen
(menciutkan selaput usus/ pengelat) yang dapat mengurangi kontraksi usus,
menghambat diare, mengurangi penyerapan, dan melindungi usus dengan cara
melapisi permukaan lumen (Amelia 2002).
5
4. Saponin
Saponin adalah suatu glikosida triterpana dan sterol yang mungkin terdapat
pada banyak tanaman (Harbone 1987). Kata saponin berasal dari bahasa Latin
“sapo” yaitu suatu bahan yang akan membentuk busa jika dilarutkan dalam
larutan yang encer. Saponin berfungsi sebagai ekspektoran, kemudian
emetikum jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar (Kusumaningtyas 2009).
Saponin juga merupakan senyawa kimia yang dapat menyebabkan sel darah
merah terganggu akibat dari kerusakan membran sel, menurunkan kolestrol
plasma, dan dapat menjaga keseimbangan flora usus, serta sebagai antibakteri
(Sayekti 2008).
5. Kuinon
Kuinon merupakan senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar seperti
kromofor pada benzikuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuionon
isoprenoid (Pratama 2008), serta bersifat menghilangkan rasa sakit.
Daun johar mengandung alkaloid, steroid, triterpenoid, saponin, flavonoid,
dan tanin (KemenKes RI 1989). Bagian tanaman yang diduga sebagai bahan
untuk mengatasi koksidiosis adalah daunnya yang mengandung betulin
(Thongsaard et al. 2001), betulin merupakan komponen kimia dari golongan
triterpenoid, yang masuk dalam turunan saponin. Penelitian yang dilakukan oleh
El-Sayyad et al. (1984) secara in vitro assay menemukan beberapa anthraquinone
dan bianthraquinone, yang menunjukkan aktivitas antitumor dengan potensi lebih
tinggi pada monomer anthraquinone (Koyama et al. 2001).
Menurut Ingkaninan et al. (2000); El-Sayyad et al. (1984); Teeyapant et
al. (1998), di dalam daun Cassia siamea juga ditemukan alkaloid dan non-
alkaloid. Senyawa alkaloid pada daun johar berupa isoquinolone alkaloid siamine,
siamine A, siamine B, dan siamine C. Sedangkan senyawa non-alkaloid dari zat
aktif ekstrak etanol Cassia siamea yaitu flavonoid pada Gambar 2 (2’,4’,5,7-
tetrahydroxy-8-C-glukosy-lisoflavone) (Shafiullah et al. 1995, 1996) dan barakol,
bersifat anxiolytic dengan mekanisme kerjanya mirip dengan diazepam.
Perbedaan diazepam dan barakol adalah diazepam dapat meningkatkan aktivitas
pada tubuh (pergerakan) sedangkan barakol hanya menghilangkan efek
kecemasan (Thongsaard et al. 2001).
6
Gambar 2 Flavonoid (Kardono et al. 2003).
Khasiat
Daun Johar (Cassia siamea) banyak digunakan dalam pengobatan
tradisional antara lain sebagai obat malaria, gatal, kudis, kencing manis, demam,
luka dan dimanfaatkan sebagai tonik karena memiliki kandungan flavonoid dan
karotenoid yang cukup tinggi (Heyne 1987). Kulit dari johar digunakan untuk
wasir, dan scabies. Kayunya digunakan untuk pengobatan demam, kelainan
menstruasi, mempercepat pengeluaran lokial, meningkatkan kualitas darah
menstruasi, diabetes melitus, ulcer, laksativa, dan diuretik. Akar tanaman johar
digunakan untuk pengobatan demam, beri-beri, antipiretik dan sakit perut atau
pencahar. Batang dan cabangnya digunakan untuk pengobatan penyakit kulit dan
dysurea yang disertai urolith sebagai laksativa. Bunganya digunakan untuk
pengobatan insomnia, asma, antelmentik dan obat antiketombe (Farnsworth dan
Bunyapraphatsara 1992). Menurut Kardono et al. (2003), daun johar juga
memiliki efek hipnotis, antitumor, anxiolytic, perlindungan terhadap efek aconitin
(alkaloid diterpen) yang menyebabkan keracunan jantung, dan insektisida.
Ekstraksi
Ekstraksi yaitu proses untuk mengisolasi senyawa dari tanaman, hewan
ataupun mineral (Harborne 1987). Sedangkan menurut Ansel (1989) ekstraksi
yaitu penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat dengan
menggunakan pelarut yang dapat melarutkan zat yang diinginkan. Simplisia
merupakan bahan alami yang digunakan sebagai obat, yang belum mengalami
perubahan, biasanya dalam bentuk yang dikeringkan. Prinsip dari ekstraksi adalah
melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam
7
pelarut non polar (Yuliani dan Rusli 2003). Menurut Harborne (1987), ragam
ekstraksi bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang
diekstraksi pada jenis senyawa yang diisolasi. Cairan pelarut yang biasanya
digunakan dalam proses ekstraksi yaitu air, eter, atau campuran etanol air. Metode
ekstraksi dibagi ke dalam 5 cara yaitu :
1. Maserasi
Maserasi berasal dari bahasa Latin macerare yang artinya merendam. Proses
maserasi adalah proses menyatukan bahan yang telah dihaluskan dengan
bahan ekstraksi, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk maserasi yaitu 4-10
hari (Ansel 1989).
2. Perkolasi
Perkolasi berasal dari bahasa Latin per yang artinya melalui dan colare yang
artinya merembes. Metode perkolasi dilakukan dengan cara mencampur 10
bagian simplisia ke dalam 5 bagian larutan pencuci. Setelah itu dipindahkan
ke dalam perkolator, dan ditutup selama 24 jam setelah itu dibiarkan menetes
sedikit demi sedikit. Kemudian ditambahkan larutan pencuci secara berulang-
ulang hingga terdapat selapis cairan pencuci. Perkolat yang telah terbentuk
kemudian diuapkan (Ansel 1989).
3. Dekoksi
Metode dekoksi (decocta) sama dengan metode infus, hanya saja waktu
pemanasannya lebih lama yaitu sekitar 30 menit (Voigt 1994).
4. Digesti
Metode ini merupakan bentuk lain dari maserasi yang menggunakan panas
seperlunya selama proses ekstraksi, yaitu pada suhu 40-50˚C. Metode digesti
hanya dapat dilakukan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap
pemanasan (Voigt 1994).
5. Infus
Metode ini dilakukan dengan memanaskan campuran air dan simplisia pada
suhu 90˚C selama 15 menit. Selama proses ini berlangsung campuran terus
diaduk dan diberi tambahan air hingga diperoleh volume infus yang
dikehendaki (Voigt 1994).
8
Simplisia yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun johar,
sedangkan jenis ekstraksi yang digunakan yaitu metode maserasi. Menurut Voigt
(1994), prinsip maserasi yaitu penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara
merendam simplisia dalam cairan penyari yang sesuai. Cairan penyari akan masuk
ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang
konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan
konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi
keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Sedangkan
keadaan diam saat maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif
(Voight 1994). Ekstrak yang diperoleh kemudian diuapkan dengan penguap
pemutar yang akan menguapkan larutan menjadi volume kecil (Harborne 1987).
Menurut Yuliani dan Rusli (2003), metode maserasi digunakan karena
pengerjaan dan alatnya sederhana, tetapi metode ini juga mempunyai kerugian
yaitu pengerjaannya yang lama dan proses ekstraksi kurang sempurna, serta cairan
penyari yang digunakan lebih banyak kemudian tidak dapat digunakan untuk
bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks, dan lilin.
Etanol
Etanol sering ditulis dengan rumus EtOH, yang rumus molekulnya adalah
C2H5OH atau rumus empiris C2H6O (Ane 2008), sering digunakan sebagai pelarut
dalam dunia farmasi dan industri makanan dan minuman. Etanol termasuk ke
dalam pelarut polar, sehingga sebagai pelarut diharapkan dapat menarik zat-zat
aktif yang juga bersifat polar (Houghton dan Raman 1998). Etanol digunakan
sebagai cairan penyari karena lebih selektif, kapang dan khamir sulit tumbuh
dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, dan etanol dapat bercampur
dengan air pada segala perbandingan, serta panas yang diperlukan untuk
pemekatan lebih rendah.
Etanol dapat memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut dan tidak
mengakibatkan pembengkakan membran sel. Keuntungan lainnya adalah
sifatnya yang mampu mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim.
Umumnya yang digunakan sebagai cairan pengekstraksi adalah campuran
9
bahan pelarut yang berlainan khususnya campuran etanol-air. Etanol 70%
sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal, dimana
bahan yang diekstraksi (simplisia) hanya sedikit turut ke dalam cairan
pengekstraksi (Voigt 1994).
Pemberian Koksidiostat
Koksidiostat merupakan obat yang digunakan untuk menghentikan
pertumbuhan koksidia, antara lain zoalen, amprolium, nitrofurazon, sodium
arsanilat, quinolon, ionophor, golongan sulfa seperti sulfaquinoksalin, sulfanatran,
sulfakloropirazin, dan mitramid, serta obat-obatan lainnya seperti nicarb dan
clinicox. Pemberian koksidiostat dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu, hal
ini bertujuan untuk memutus siklus hidup Eimeria dan memberi kesempatan pada
ayam untuk membentuk kekebalan (Retno et al. 1998). Pemberian koksidiostat
sebaiknya tidak dilakukan terus-menerus, dikarenakan dapat menimbulkan
resistensi terhadap obat itu sendiri. Contoh pemberian obat koksidiostat yaitu obat
sulfa, jika pemberian obat sulfa melebihi dosis maka dapat mengakibatkan
terganggunya produksi telur dan dapat menimbulkan residu pada daging dan telur
ayam (Mangapul 2008). Pada penelitian ini obat koksidiostat yang digunakan
mengandung sulfadiazine dan trimethoprim.
Tabel 1 Obat antikoksidia yang sering digunakan
Kelas Nama Bekerja pada stadium
siklus hidup
Ionophor Monensin, lasalocid,
narasin, maduramisin,
semsemduramicin
Trophozoit/sporozoit
Sulphonamid Sulphaquinoxalin Skizon generasi II
Quinolon Decoquinat Sporozoit
Pyridon Clopidol Sporozoit
Thiamin Amprolium, halofuginon Stadium aseksual, skizon
generasi I
Sumber: Williams (2002)
10
Sulfadiazin
Sulfadiazin (N1-2-pirimidimilsulfanilamid atau 2-sulfanilamidopirimidin
pada Gambar 5 berupa serbuk kristal putih, tidak berbau, tidak larut dalam air
sampai 1 : 8100 pada suhu 37˚C dan 1 : 13.000 pada suhu 25˚C, dan sedikit larut
dalam alkohol dan aseton. Tetapi sulfadiazin mudah larut dalam asam mineral
encer dan basa (Wilson dan Gisvold 1982). Golongan obat sulfa mempunyai zat
aktif yaitu para-amino benzene-sulfonamid (PABS). Mekanisme kerjanya adalah
dengan mengadakan antagonis kompetitif dengan para-amino benzoic-acid
(PABA). Eimeria membutuhkan PABA untuk pertumbuhannya, yaitu berperan
dalam sintesis asam folat. Di dalam asam folat terdapat koenzim untuk sintesis
purin dan asam amino. Defisiensi asam folat mengakibatkan terjadinya gangguan
dalam sistem DNA dan RNA, sehingga fungsi tubuh yang berkaitan dengan
fungsi DNA dan RNA akan terganggu seperti proses pembelahan sel, maturasi sel,
termasuk dalam gangguan fungsi normal sel di dalam tubuh (Setiabudi dan
Mariana 1995).
Gambar 3 Sulfadiazin (Wilson dan Gisvold 1982).
Trimetoprim
Trimetoprim merupakan penghambat pereduktase folat, dimana reduktase
folat diperlukan untuk mengubah asam dihidrofolat (FAH2) menjadi asam
tetrahidrofolat (Wilson dan Gisvold 1982). Trimetoprim mempunyai sifat sangat
sukar larut dalam air, larut dalam benzilalkohol, agak sukar larut dalam kloroform
dan dalam metanol, sangat sukar larut dalam etanol dan dalam asetone, praktis
tidak larut dalam eter dan dalam karbon tetraklorida.
Gambar 4 Trimetoprim (Wilson dan Gisvold 1982).
11
Eimeria
Morfologi
Bentuk umum ookista adalah oval, dinding ookista terdiri satu atau dua
lapis yang bersifat transparan. Dinding sebelah dalam tersusun dari senyawa
protein tannin dan kinin, sedangkan dinding sebelah luar terdiri dari dua lapis
yaitu lapis protein dan lemak (Levine 1985). Ookista mempunyai tempat terbuka
disebut mikropil (Levine 1977). Pada dinding ookista anterior terdapat granula
refraktif yang terletak di ujung spora. Sporozoit (pada Gambar 5) biasanya
memanjang dengan ujung posterior yang membulat dan ujung anterior yang
meruncing atau dapat berbentuk seperti sosis (Levine 1985).
Ookista Eimeria dikeluarkan bersama feses ayam, kemudian bersporulasi
pada suhu kamar (Levine 1985). Ookista Eimeria dapat diidentifikasikan melalui
karakteristik morfologi berdasarkan panjang dan lebar, indeks, bentuk dan warna,
granul yang retraktil, ada tidaknya mikrofil dan ada tidaknya residu (Levine
1985). Sporokista berbentuk agak tumpul membulat dan berukuran kira-kira 7 µm
lebar dan 11 µm panjang, di dalamnya terdapat dua sporozoit dengan massa
hyalin di dekat salah satu ujung dan massa residu juga ditemukan di dalamnya
(Tampubolon 1996).
Klasifikasi
Menurut Levine (1985), Eimeria diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Protozoa
Subfilum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoa
Ordo : Eucocidiorida
Sub Ordo : Eimeronina
Famili : Eimeridae
Genus : Eimeria
Spesies : Eimeria spp. Gambar 5 Ookista Eimeria
(Desser 2000).
12
Siklus Hidup
Menurut Soulsby (1982), siklus hidup koksidia pada ayam memiliki dua
tahap yaitu seksual dan aseksual, dengan tiga tahap perkembangan yaitu stadium
skizogoni (merogoni), gametogoni, dan sporogoni. Stadium sporogoni terjadi di
luar tubuh induk semang, sedangkan stadium skizogoni (fase aseksual) dan
gametogoni (fase seksual) terjadi di dalam tubuh induk semang. Terjadinya
infeksi koksidiosis pada ayam yaitu ketika ayam menelan ookista yang infektif.
Ookista yang infektif merupakan ookista yang bersporulasi. Ookista melakukan
sporulasi membutuhkan waktu yang optimal, yaitu pada kelembaban tinggi (75-
85%), suhu 29˚C-30˚C, dan suplai oksigen yang memadai (Tampubolon 1992).
Ookista merupakan tahap yang resisten dari koksidia. Ookista yang
bersporulasi mengandung empat sporokista dan masing-masing sporokista
mengandung dua sporozoit. Proses pecahnya dinamakan dengan ekskistasi. Untuk
menstimulir terjadinya ekskistasi maka dapat dibagi menjadi dua tahap. Pertama
disebabkan oleh gas CO2 (akibat dari enzim dan mekanisme gerakan lambung)
dan yang kedua akibat dari aktifitas enzim tripsin dan empedu dalam usus halus
(Soulsby 1986). Ekskistasi ini berlangsung selama 1 jam setelah infeksi pada
ayam yang memakan pakan atau air minum yang mengandung ookista. Bila
sudah mengalami ekskistasi maka sporozoit akan bebas.
Gambar 6 Siklus hidup Eimeria (Desser 2000).
13
Sporozoit akan melakukan penetrasi melalui ujung epitel vili sekum,
kemudian masuk ke dalam epitel basal dari sel dan dimakan oleh makrofag pada
lamina propria. Pada keadaan ini sporozoit akan menghindari makrofag dan
melakukan penetrasi kembali ke sel epitel yang ada di bawah kripta. Sporozoit
akan berkelompok dan mengalami perbanyakan bagian dan mengalami fase
skizogoni membentuk skizon (meron) generasi I yang memproduksi merozoit
generasi I. Merozoit akan merusak epitel, merobek sel inang dalam perjalanannya
ke dalam lumen sekum dimana mereka akan menginfeksi kembali sel epitel yang
lain. Proses ini berlangsung antara dua setengah sampai tiga hari (Tampubolon
1996).
Merozoit generasi I yang masuk ke dalam sel hospes baru akan membulat
lalu membentuk meron generasi II yang terletak di atas inti sel hospes. Koloni
meron generasi II mulai terlihat setelah 72 jam dan menjadi skizon dewasa setelah
96 jam. Meron generasi II melakukan penetrasi sel epitel baru dan membentuk
meron generasi III atau menjadi siklus gametogenus (Levine 1985). Merozoit
yang dihasilkan pada akhir tahap skizogoni masuk ke dalam sel dan berkembang
menjadi gametosit jantan (mikrogametosit) dan gametosit betina
(makrogametosit). Mikrogametosit akan banyak menghasilkan mikrogamet yang
berflagela, motil, dan bermigrasi ke makrogamet. Fertilisasi makrogamet oleh
mikrogamet akan berkembang menjadi zigot dan kemudian menjadi ookista pada
hari ke-6 setelah infeksi (Soulsby 1982). Ookista-ookista kemudian keluar dari
sel-sel hospesnya, masuk ke dalam rongga usus dan keluar bersama feses. Masa
prepaten yaitu saat inokulasi sampai timbulnya ookista pertama di dalam feses
adalah 7 hari. Jumlah ookista yang dihasilkan di dalam hewan untuk setiap
ookista yang dimakan, tergantung kepada jumlah generasi merozoit dan jumlah
merozoit setiap generasi (Tampubolon 1996).
Patogenesis
Menurut Levine (1985) patogenitas dari koksidia tergantung pada
beberapa faktor antara lain jumlah sel induk semang yang dirusak oleh setiap
ookista yang tergantung dari jumlah generasi merozoit dan lokasi parasit di dalam
jaringan induk semang, besarnya dosis infeksi, waktu reinfeksi serta derajat
14
imunitas yang diperoleh atau immunitas alami induk semang. Tahap yang paling
patogen adalah skizon generasi II yang akan tumbuh dewasa, pada hari keempat
setelah infeksi. Skizon akan berkembang di bagian dalam lamina propria,
sehingga terjadi kerusakan mukosa ketika skizon dewasa mengeluarkan merozoit
(McDougald et al. 1997). Menurut Hermawan (2008), jika dihitung perkiraan
jumlah merozoit generasi ke dua yang dihasilkan oleh satu ookista yang sporulasi,
maka dimulai dari 8 sporozoit yang di dalam satu ookista akan sukses melakukan
penetrasi pada sel epitel sekum. Kemudian dari setiap sporozoit akan
menghasilkan 900 merozoit generasi pertama, dan setiap merozoit generasi
pertama akan memproduksi 350 merozoit generasi kedua, sehingga dari satu
ookista akan menghasilkan 2.520.000 atau (8 x 350 x 900) merozoit generasi
kedua.
Unggas cenderung lebih tahan terhadap koksidiosis pada umur 1-2
minggu, walaupun unggas dengan umur 1 hari kemungkinan dapat terinfeksi
koksidiosis (Soulsby 1982). Unggas yang berumur lebih tua biasanya akan
menghasilkan kekebalan yang kuat sebagai respon dari infeksi kembali (reinfeksi)
sehingga gejala penyakitnya tidak terlalu parah (Levine 1985). Jumlah ookista
yang dapat menimbulkan gangguan klinis contohnya pada ayam dewasa umur 1-2
minggu sekitar 2 x 105 ookista dan akan mengalami kematian. Pada unggas yang
lebih tua beberapa minggu, mortalitasnya pada saat 0,5-1 x 105 ookista.
Gejala Klinis
Gejala klinis pada ayam yang mengalami koksidiosis yaitu ayam terlihat
lemah, bulu kusut, jengger terlihat pucat, serta feses yang bercampur darah karena
terjadi peradangan pada sekum (Hasan 2007). Gejala klinis terlihat ketika skizon
generasi kedua membesar dan merozoit keluar dari epitel yang menyebabkan
terjadinya pendarahan pada sekum (Tampubolon 2004). Pada koksidiosis ringan,
gejala klinis tidak terlihat tetapi jika penyakitnya berat dapat bersifat mematikan.
Nafsu makan berkurang bahkan tidak ada nafsu makan (Levine 1985). Biasanya
nafsu untuk minum 2 atau 3 kali lebih banyak daripada yang biasa atau polidipsi,
sehingga hewan menjadi kurus, bobot badannya mengalami penurunan, depresi,
bulu kusut, dan hidup berkelompok di tepi kandang (Tampubolon 2004).
15
Gambar 7 Sekum ayam yang berdarah (FAO 2008).
Pada hari ke-2 dan ke-3 setelah infeksi, selaput lendir usus akan terlihat
berwarna merah kemudian pada hari ke-4 akan timbul bercak-bercak putih yang
pada akhirnya akan berwarna abu-abu. Pada hari ke-5 dan ke-6 dapat ditemukan
darah yang paling banyak di feses. Menjelang hari ke-8 atau hari ke-9 ayam akan
mati atau dalam tahap persembuhan, sedangkan jumlah ookista di feses akan
mencapai maksimal. Pada hari ke-11 masih ditemui ookista tetapi amat sedikit
jumlahnya. Jika ayam sembuh dari penyakit akut, penyakit menjadi bersifat kronis
(Tampubolon 2004). Gejala klinis pada ayam yang terinfeksi Eimeria bervariasi,
tergantung pada umur ayam terserang, jenis ayam, dan jenis parasit yang
menyerang (Retno et al. 1998). Pada ayam petelur yang terinfeksi koksidia terlihat
gejala klinis berupa penurunan produksi telur, bahkan terhenti sama sekali
(Murtidjo 1992).
Ayam
Klasifikasi
Menurut Sturkie (2000), ayam diklasifikasikan sebagai berikut:
Kelas : Aves
Subkelas : Neornithes
Superorder : Neognathae
Ordo : Galliformes
Superfamili : Phasianoidea
Famili : Phasianidae
Genus : Gallus
Spesies : G. gallus Gambar 8 Ayam tipe petelur putih
16
Morfologi dan Sifat Biologis
Ayam yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam petelur putih
jantan, hal ini disebabkan karena ayam ras petelur jantan memiliki sistem
hormonal yang lebih sederhana dibandingkan dengan ayam ras petelur betina
sehingga diharapkan tidak banyak mempengaruhi proses yang terjadi di dalam
tubuh ayam. Kelemahan ayam ras petelur yaitu peka terhadap lingkungan dan
kemampuan adaptasi terhadap lingkungan lebih rendah dibandingkan ayam
kampung dan mudah mengalami stres, tuntutan terhadap ayam ras petelur cukup
tinggi yaitu menuntut pakan dalam jumlah dan kualitas yang tinggi dan air minum
yang cukup. Ayam ras petelur juga memiliki sifat kanibalisme yang lebih tinggi
dibandingkan ayam kampung (Asa 2009).
Suhu Tubuh
Menurut Vibowo (2008), ayam dan mamalia hidup dengan pengaturan
suhu tubuh yang diatur sehingga relatif konstan dan berbeda dengan suhu
lingkungan. Pada hewan seperti ini suhu tubuh menjadi penting karena kenaikan
suhu tubuh akan mempengaruhi laju fisika dan kimia tubuh. Suhu tubuh akan
mempengaruhi energi kinetik dari molekul yang memungkinkan terjadinya
tubrukan antara reaktan dari molekul dalam tubuh sehingga terjadi serangkaian
reaksi molekul. Selain itu kenaikan suhu tubuh akan mendenaturasi enzim tubuh,
tetapi sebelum mencapai titik denaturasinya enzim akan bekerja lebih cepat (Key
1998).
Menurut Prayitno (2004), suhu tubuh normal pada ayam yaitu 41,49˚C.
Suhu tubuh adalah indikator yang akurat, objektif, dan mudah diidentifikasi dari
kondisi fisiologis. Di dalam tubuh mekanisme pengaturan suhu dilakukan oleh
hipotalamus. Hipotalamus memiliki set poin suhu, jika suhu tubuh berada di atas
normal maka akan terjadi mekanisme pengeluaran panas, begitu pula ketika suhu
tubuh di bawah normal maka akan terjadi mekanisme pembentukan panas
(Guyton dan Hall 1996). Mekanisme pembentukan dan pengeluaran panas yang
terjadi melalui termoreseptor perifer yang akan dihantarkan ke hipotalamus. Saraf
yang ada di hipotalamus akan berintegrasi menghasilkan sinyal eferen akhir yaitu
pembentukan atau pengeluaran panas (Guyton dan Hall 1996). Suhu tubuh ayam
17
biasanya lebih tinggi daripada suhu sekitarnya, sehingga panas akan terus menerus
hilang melalui empat macam mekanisme yaitu konveksi, konduksi, radiasi, dan
evaporasi (Prayitno 2004). Tabel fisiologis ayam dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai fisiologis ayam
Kriteria Nilai
Temperatur 41,49ºC
Respirasi
Σ eritrosit
Hematokrit
20-30 kali/menit
2,0-3,2 juta/mm3
22-35%
Volume eritrosit
Leukosit
Trombosit
Limfosit
Heterofil
Eosinofil
Basofil
Monosit
Sistolik/diastolik
Detak jantung/menit
Σ protein
Albumin
Globulin
Hb
48%
16,6%
27,6%
64%
25,8%
1,4%
2,4%
6,4%
166 mgHg/142 mmHg
250-350/menit
4 g/100 ml
1,66 g/100 ml
2,33 g/100 ml
12 g%
Konsistensi Plasma Protein 30-35 g/l
Sumber : Prayitno (2004)
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan suhu tubuh yaitu fisiologis dan
patologis. Faktor fisiologisnya yaitu laju metabolisme basal tubuh, laju cadangan
metabolisme yang dihasilkan oleh aktivitas otot, terutama kontraksi otot yang
disebabkan oleh menggigil, metabolisme tambahan yang disebabkan oleh
pengaruh tiroksin (dan sebagian hormon lain, seperti hormon pertumbuhan dan
testosteron) terhadap sel, dan metabolisme tambahan yang disebabkan oleh
epinefrin, norepinefrin, dan perangsangan simpatis terhadap sel, serta
metabolisme tambahan yang disebabkan oleh meningkatnya aktifitas kimiawi di
dalam sel sendiri, terutama bila temperatur sel meningkat (Guyton dan Hall 1996).
Sedangkan faktor patologisnya yaitu ketika tubuh terpapar infeksi
mikroorganisme (virus, bakteri, dan parasit) atau faktor non infeksi seperti
kompleks imun, atau inflamasi (peradangan) lain (Corwin 2001).
18
Bobot Badan (BB)
Bobot badan dapat menjadi indikator bukti kesehatan hewan yang
dikaitkan dengan umur yang sesuai. Pada Tabel 3 disajikan data yang
mengkaitkan antara umur (minggu) dengan bobot badan standar. Bobot badan
dapat mempengaruhi konversi pakan. Menurut Siregar dan Sabrani (1981),
konversi pakan adalah perbandingan jumlah pakan yang dikonsumsi persatu berat
badan. Semakin kecil rasio konversi pakan maka semakin baik efisiensi
penggunaan pakan sehingga pertumbuhan bobot badan yang dicapai dengan
jumlah ransum yang digunakan semakin efisien. Angka konversi pakan yang kecil
dapat diperoleh dengan memperhatikan kualitas bahan pakan dan zat gizi dalam
ransum (Kamal 1986).
Total Konsumsi Pakan
Pertumbuhan Bobot Badan
Bila seekor ayam mengalami gangguan pada tubuhnya karena adanya
suatu agen penyakit maka bobot badan akan terganggu. Ayam yang terinfeksi
Eimeria dengan dosis tinggi akan menunjukkan gejala klinis berupa penurunan
bobot badan yang disebabkan oleh malabsorbsi nutrisi pada saluran pencernaan
sehingga ayam terlihat kurus dan mungkin tidak mencapai bobot badan yang sama
dengan ayam yang sehat (Barnes et al. 2003). Hal ini akan berpengaruh pada
peningkatan konversi pakan yaitu peningkatan konsumsi pakan tanpa diimbangi
dengan penambahan bobot badan yang sesuai akibat pakan yang dikonsumsi tidak
diserap dengan efisien.
Tabel 3 Bobot badan ayam berdasarkan umur
Umur (minggu) Bobot badan standar (kg)
9 0,863
10 0,963
11 1,044-1,067
12 1,135-1,180
13 1,249-1,294
14 1,362-1,408
15 1,476-1,544
Sumber : Sudaryani (1994)
Feed Convertion Rate (Tipakorn 2002) =
19
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan mulai dari bulan Februari 2010 sampai bulan Mei 2010
di laboratorium Protozoologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Laboratorium Farmasi,
Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi FKH-IPB, dan kandang ayam FKH-
IPB.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu timbangan, syringe 1 ml, termometer, kandang
ayam, tempat pakan, tempat minum, termos es, tabung reaksi, mikroskop,
counter, kamar hitung ookista, pipet, botol sentrifuse plastik dan wadahnya,
batang pengaduk, sentrifuse, mortar, stemper, kamera, saringan, kapas, bejana,
botol ekstrak, botol obat, gelas ukur, corong, batang pengaduk, lap, stiker label,
tisu, pulpen, dan buku tulis.
Bahan yang digunakan yaitu hewan coba berupa ayam petelur putih jantan
umur 2 bulan sebanyak 30 ekor, daun johar (Cassia siamea Lamk.) yang
diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO), laktosa,
pakan ayam tanpa koksidiostat, air minum, feses ayam, larutan garam jenuh,
etanol 70%, propilen glikol, aquades, dan koksidiostat (Colibact®
).
Metode Penelitian
Tahap persiapan
A. Kandang
Kandang yang digunakan untuk pemeliharaan ayam berbentuk segi empat
dengan bagian kiri, kanan dibatasi oleh tripleks dan bagian bawah dialasi
dengan sekam. Sebelum kandang digunakan, kandang dibersihkan terlebih
dahulu dengan pembersihan kering, pembersihan basah, setelah kandang
kering dilapisi dengan kapur lalu didesinfeksi dengan formalin dan kalium
permanganat (KMnO4).
20
B. Kokdisiostat
Koksidiostat yang digunakan berasal dari golongan sulfa (Colibact®
yang
diproduksi oleh PT. Sanbe Farma) yang mengandung sulfadiazine 200 mg
dan trimetoprime 40 mg.
C. Pembuatan ekstrak etanol daun johar (Cassia siamea Lamk.)
Ekstraksi daun johar dilakukan dengan metode maserasi. Simplisia daun
johar kering direndam dalam etanol 70% dengan perbandingan 1 : 10 artinya
1 bagian johar (1 kg) dengan 10 bagian etanol (10 liter) selama 24 jam dan
dilakukan pengadukan sekali-sekali kemudian disaring sehingga diperoleh
filtrat pertama dan ampas, lalu ampas dilarutkan kembali dengan etanol 70%
selama 24 jam. Setelah itu, disaring sehingga diperoleh filtrat kedua, filtrat
pertama dan kedua digabung dan dipekatkan dengan menggunakan rotary
evaporator pada suhu 40˚C dan 50 rpm hingga diperoleh ekstrak kental.
Kemudian ekstrak kental dievaporasi kembali hingga membentuk ekstrak
kering daun johar. Setelah itu ekstrak kering ditimbang menjadi tiga dosis
kemudian dilarutkan dalam 0,5 ml propilen glikol sehingga diperoleh dosis
bertingkat yaitu dosis rendah (4,09 mg/0,5 ml per ekor), sedang (8,18 mg/0,5
ml per ekor), dan tinggi (16,36 mg/0,5 ml per ekor).
Cara perhitungan dosis ekstrak daun johar adalah sebagai berikut.
• Dosis ekstrak standar = 6,8 mg (P2)
• Dosis rendah dan tinggi diperoleh dengan deret hitung sehingga dosis
rendah (P1) = ½ x 6,8 mg = 3,4 mg dan dosis tinggi (P3) = 2 x 6,8 mg =
13,58 mg
• Ekstrak yang tersedia yaitu 83% karena mengandung laktosa sebagai
pengisi = {Jumlah ekstrak / (jumlah ekstrak + pengisi)} x 100%
• Ekstrak yang dibutuhkan untuk dosis rendah (P1) = (3,4 mg/83%) x
100%= 4,09 mg
• Ekstrak yang dibutuhkan untuk dosis rendah (P2) = (6,8 mg/83%) x
100%= 8,18 mg
• Ekstrak yang dibutuhkan untuk dosis tinggi (P3) = (13,58 mg/83%) x
100%= 16,36 mg.
21
D. Pengelompokan Hewan coba
Hewan coba dibagi menjadi enam kelompok perlakuan, masing-masing
berjumlah 15 ekor dengan ulangan 5 ekor. Berikut tabel mengenai
pengelompokan ayam pada penelitian.
Tabel 4 pengelompokan ayam penelitian
Kelompok Banyak
(ekor)
Keterangan
Kontrol normal (KN) 5 ayam tidak terinfeksi Eimeria, tidak
diberi ekstrak johar dan koksidiostat
Kontrol negatif (K-) 5 ayam terinfeksi Eimeria, tidak diberi
ekstrak johar dan koksidiostat
Kontrol positif (K+) 5 ayam terinfeksi Eimeria dan diberi
koksidiostat
Perlakuan 1 (P1) 5 ayam terinfeksi Eimeria dan diberi
ekstrak johar dengan dosis infektif 1
(3,4 mg/0,5 ml per ekor)
Perlakuan 2 (P2) 5 ayam terinfeksi Eimeria dan diberi
ekstrak johar dengan dosis infektif 2
(8,18 mg/0,5 ml per ekor)
Perlakuan 3 (P3) 5 ayam terinfeksi Eimeria dan diberi
ekstrak johar dengan dosis infektif 3
(16,36 mg/0,5 ml per ekor)
Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan pada penelitian ini meliputi pemeriksaan feses,
pengukuran suhu tubuh dan bobot badan, serta pencekokan koksidiostat dan
ekstrak daun johar, serta pengolahan data.
A. Pemeriksaan feses
Pemeriksaan feses bertujuan untuk mengetahui adanya ookista pada semua
kelompok perlakuan ayam dan dilakukan 3 hari sekali mulai hari ke 0 s/d 21.
22
Metode pemeriksaan feses adalah metode McMaster, caranya feses dilarutkan
dalam larutan garam jenuh dengan perbandingan 1 : 29 artinya 1 bagian feses
(1 g) dan 29 bagian larutan garam jenuh (29 ml) kemudian disentrifugasi
dengan kecepatan 1,500 rpm selama 10 menit. Setelah itu bagian permukaan
larutan diambil dengan pipet dan diamati di bawah mikroskop dengan
perbesaran 100x menggunakan kamar hitung McMaster (Conway dan
McKenzie 2007).
B. Pengukuran suhu tubuh dan bobot badan ayam
Pengukuran suhu tubuh dan bobot badan ayam dilakukan 3 hari sekali dari
hari ke 0 s/d 21. Pengukuran suhu tubuh ayam menggunakan termometer
digital yang dimasukkan ke dalam rektum ayam sebagai indikator terjadinya
infeksi Eimeria spp. yang meningkatkan suhu tubuh, sedangkan pengukuran
bobot badan menggunakan timbangan.
C. Pencekokan koksidiostat dan ekstrak daun johar
Pencekokan koksidiostat dan ekstrak daun johar dilakukan selama 3 hari
yaitu pada hari ke 1 s/d 3 dan sehari dicekok 2 x, masing-masing sebanyak
0,5 ml per ekor dengan menggunakan syringe 1 ml tanpa jarum. Pencekokan
koksidiostat pada kelompok kontrol positif (K+) dengan dosis pemberian
0,25 mg/0,5 ml per ekor, sedangkan pencekokan ekstrak daun johar pada
kelompok johar dosis rendah (P1 = 3,4 mg/0,5 ml per ekor), johar dosis
sedang (P2 = 8,18 mg/0,5 ml per ekor), dan johar dosis tinggi (P3 = 16,36
mg/0,5 ml per ekor).
D. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan uji Analysis of Varian (ANOVA)-SAS
System . Jika analisis menunjukkan berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan
Duncans Multiple Range Test (Matjik dan Sumertaja 2002).
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh pemberian ekstrak daun johar (Cassia siamea Lamk.) dosis
bertingkat dengan pelarut etanol sebagai alternatif pengobatan koksidiosis dengan
parameter bobot badan dan suhu tubuh ayam dijelaskan pada bab ini. Secara
umum suhu tubuh dan bobot badan ayam tidak berbeda signifikan. Pengukuran
dilakukan sebanyak 8 kali pada kelompok perlakuan KN, K-, K+, P1, P2, dan P3.
Pengukuran suhu tubuh dan bobot badan ayam ke-1 dilakukan ketika pada feses
ayam telah ditemukan ookista sebanyak 8,1–23,6 x 103, yang mengindikasikan
bahwa ayam telah terinfeksi koksidiosis secara alami. Gejala klinis yang tampak
pada ayam yang terkena koksidiosis adalah penurunan nafsu makan, polidipsi,
merunduk, bulu kusam, dan terjadi diare berdarah. Jumlah ookista pada masing-
masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Rata-rata jumlah ookista (103) pada setiap kelompok perlakuan
Pengukuran
ke-
Kelompok
KN K- K+ P1 P2 P3
I 0 23,6 8,1 11 9,5 10,4
II 0 1,8 1,6 5 1 1,5
III 0 1,3 1,3 6,5 1,3 0,4
IV-VIII 0 0 0 0 0 0
Kelompok perlakuan: K(−) = kontrol negatif, K(+) = kontrol positif, KN = kontrol normal, P1 =
johar dosis 1, P2 = johar dosis 2, P3 = johar dosis 3.
Bobot badan
Rataan bobot badan ayam kelompok kontrol normal (KN) adalah paling
tinggi (778,88 g) dan berbeda nyata (p<0,05) dengan rataan bobot badan pada
semua kelompok perlakuan ayam terinfeksi. Kelompok KN tidak terinfeksi
Eimeria spp., sedangkan kelompok perlakuan lainnya telah terinfeksi Eimeria spp.
sebelumnya, sehingga bobot badannya lebih rendah dibandingkan kelompok KN.
Ayam yang terinfeksi Eimeria spp. diduga mengalami penurunan nafsu makan
sehingga mempengaruhi bobot badannya. Secara umum, rataan bobot badan
semua kelompok ayam pada penelitian ini tidak berbeda nyata dari waktu
pengukuran ke 1 s/d 8 (p>0,05) seperti yang terlihat pada Tabel 6.
24
Tabel 6 Rata-rata bobot badan ayam (gram) setelah terinfeksi Eimeria spp. dan diberi
ekstrak etanol daun johar (Cassia siamea Lamk.) Perlakuan Pengukuran ke-
I II III IV V
KN 504,42d±70,91 605,92
d±89,13 720,40
d±94,70 839,40
d±109,00 808,30
d±101,29
K(-) 377,00b±70,66 414,92
b±57,83 443,10
b±58,53 486,20
b±67,09 504,60
b±50,32
K(+) 283,40a±68,80 315,80
a±73,54 336,30
a±78,58 372,70
a±97,30 402,80
a±116,30
P1 341,00a±40,08 375,40
a±55,25 359,60
a±25,65 388,80
a±38.58 386,40
a±54,33
P2 387,00b±50,47 383,60
b±91,62 428,11
b±94,51 492,40
b±135,79 514,80
b±138,25
P3 349,40c±70,34 473,20
c±46,71 491,30
c±70,84 549,00
c±87,00 571,20
c104,88
Perlakuan Pengukuran ke- Rata-rata (gram)
VI VII VIII
KN 906,20d±109,90 951,40
d±124,81 895,00
d±105,19 778,88
d±175,00
K(-) 588,70b±71,28 617,80
b±64,36 672,50
b±79,14 513,10
b±115,12
K(+) 475,70a±111,98 526,70
a115,52 577,20
a±126,36 411,33
a±135,20
P1 430,60a±74,48 471,20
a±83,25 497,00
a±84,63 406,25
a ±75,66
P2 583,10b±139,26 632,10
b±140,14 692,10
b±149,97 514,15
b±154,66
P3 644,30c±102,29 687,10
c±121,73 729,60
c±120,80 561,89
c±145,59
Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada kolom dan baris menyatakan tidak berbeda nyata
(P> 0.05). Kelompok perlakuan: K(−) = kontrol negatif, K(+) = kontrol positif, KN
= kontrol normal, P1 = johar dosis 1, P2 = johar dosis 2, P3 = johar dosis 3.
Gambar 9 Rata-rata bobot badan ayam (gram) dari setiap kelompok perlakuan.
Rataan bobot badan ayam pada semua kelompok yang terinfeksi Eimeria
spp. menunjukkan bahwa bobot badan kelompok ayam johar dosis tinggi (P3)
yang paling tinggi sampai dengan akhir penelitian (pengukuran ke-I hingga ke-
VIII) yaitu 561,89 gram (Tabel 6). Rataan bobot badan kelompok K(+)
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan kelompok P1 yaitu
0100200300400500600700800900
1000
I II III IV V VI VII VIII
Bo
bo
t b
ad
an
(g
ram
)
Pengukuran ke-
KN
K(-)
K(+)
P1
P2
P3
25
mempunyai rataan bobot badan 411,33 gram, demikian pula kelompok K(-) tidak
berbeda nyata dengan kelompok P2. Rataan bobot badan ayam pada pengukuran
ke 1 s/d 8 pada kelompok P1, P2, dan P3 mengalami peningkatan. Rataan bobot
badan ayam pada kelompok P3 paling tinggi bila dibandingkan kelompok P1 dan
P2. Semakin tinggi dosis ekstrak daun johar yang diberikan pada kelompok
perlakuan ayam yang terinfeksi maka semakin tinggi pula rataan bobot badan
kelompok ayam tersebut. Hal ini diduga karena flavonoid pada daun johar dosis
tinggi (16,36 mg/0,5 ml per ekor) sebagai immunostimulan sehingga ookista
infektif dari Eimeria spp. tidak atau kurang efektif dalam menimbulkan sakit.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusmardi et al. (2006), juga
melaporkan bahwa daun johar dapat meningkatkan aktifitas makrofag. Semakin
tinggi dosis yang digunakan semakin tinggi pula aktivitas makrofag yang
dihasilkan. Flavonoid berpotensi bekerja terhadap limfokin yang dihasilkan oleh
sel T sehingga akan merangsang sel-sel fagosit untuk melakukan respon
fagositosis. Menurut Guyton dan Hall (1996), limfokin bertindak sebagai pengatur
utama yang sesungguhnya bagi seluruh fungsi imun, dengan cara membentuk
serangkaian mediator protein yang bekerja pada sel-sel lain dari sistem imun dan
pada sel sumsum tulang. Limfokin mempengaruhi makrofag dengan dua cara,
pertama dengan menghambat atau menghentikan migrasi makrofag setelah
limfokin secara kemotaktik tertarik ke dalam area jaringan yang meradang,
dengan demikian menyebabkan pengumpulan makrofag dalam jumlah yang
banyak. Kedua, limfokin mengaktifkan makrofag untuk menimbulkan fagositosis
yang jauh lebih efisien, sehingga memungkinkan makrofag untuk menyerang dan
menghancurkan organisme penyerbu dalam jumlah yang lebih banyak.
Pada pengukuran ke-V hingga ke-VIII, kelompok K(+) memiliki rataan
bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok P1. Hal ini diduga obat
koksidiostat yang digunakan mengandung sulfadiazine dan trimethoprim.
Sulfadiazine termasuk sulfonamide dengan aksi intermediate yang mempunyai
waktu-paro plasma selama 17 jam dan mempunyai sifat antagonis kompetitif
dengan Eimeria terhadap para-amino benzoic-acid (PABA) yang dibutuhkan oleh
Eimeria untuk proses pembelahan sel sedangkan trimetoprim merupakan zat yang
dapat menghambat reduktase asam folat yang diperlukan oleh Eimeria untuk
26
pembelahan selnya. Kombinasi trimetoprim dan sulfadiazine menghasilkan efek
sinergisme antimikroba karena terjadi pemblokan biosintesis koenzim pada lebih
dari satu tempat pada lintasan biosintesis protozoa atau bakteri. Selain itu
keuntungan dari kombinasi kedua obat ini adalah mikroba tidak mampu
mengembangkan resistensi secepat yang ditimbulkan oleh pemblok lintasan
tunggal dan sulfadiazine-trimetoprim cenderung diabsorbsi dengan cepat dan
didistribusi dengan baik (Wilson dan Gisvold 1982).
Pada pengukuran ke-IV hingga ke-VIII, semua kelompok ayam yang
terinfeksi Eimeria spp. mengalami kenaikan rataan bobot badan dikarenakan
ookista sudah tidak ditemukan lagi di dalam feses ayam kelompok terinfeksi
seperti terlihat pada Tabel 5. Hal ini menunjukkan ayam mengalami proses
persembuhan karena koksidiosis bersifat self limitting yaitu bila tidak terjadi
reinfeksi, Eimeria dapat membatasi sendiri perkembangannya (Levine 1985),
sehingga pertumbuhan bobot badan ayam menjadi lebih baik (Siregar 2008).
Ayam yang mengalami self limitting dapat menjadi carrier koksidia (Farmer
1980).
Suhu Badan
Menurut Prayitno (2004), suhu normal ayam berkisar 41,5 ˚C. Hasil
pengamatan terhadap rata-rata suhu tubuh ayam yang terinfeksi Eimeria spp. dan
diberi ekstrak daun johar (Cassia siamea Lamk.) dapat dilihat dari Tabel 7 dan
Gambar 10. Rata-rata suhu badan ayam tidak berbeda nyata dan tidak dipengaruhi
oleh hadirnya ookista (8,1-23,6 x 103) yang ditemukan sampai dengan pengukuran
ke-III. Menurut Corwin (2001), suhu tubuh akan mengalami peningkatan ketika
tubuh terpapar oleh pirogen (bakteri, virus, protozoa, inflamasi, dan lainnya).
Ookista yang termakan oleh ayam dan telah bersporulasi dapat menjadi agen
infeksius. Ookista dapat bersporulasi bila berada pada kelembaban tinggi (75-
85%), suhu 29-30˚C, dan suplai oksigen yang memadai (Tampubolon 1992).
Peningkatan suhu tubuh disebut dengan demam.
Menurut Corwin (2001), demam merupakan suatu peningkatan titik
patokan suhu di hipotalamus, rangsangan pirogen yang merusak membran sel
sehingga asam arakhidonat dalam fosfolipid yang menyusun membran sel
27
membentuk prostaglandin dengan bantuan enzim siklooksigenase. Prostaglandin
akan merangsang hipotalamus untuk meningkatkan suhu tubuh. Sebagai respon,
pada saat terjadi peningkatan suhu tubuh terlalu tinggi, hipotalamus akan
mendinginkan tubuh. Efek demam yang berbahaya meliputi meningkatnya
katabolisme jaringan, dehidrasi, sindroma otak akut, dan kejang (Northrup et al.
1981).
Demam dapat menyebabkan dehidrasi atau kurangnya cairan tubuh
sehingga dapat mempengaruhi volume plasma dan viskositas menjadi kecil
akibatnya nilai hematokrit meningkat. Hematokrit adalah persen volume sel darah
dalam plasma. Ketika terjadi peningkatan suhu tubuh, plasma akan menurun
sehingga biasanya persen volume sel darah akan menjadi meningkat. Menurut
Riza (2010), nilai hematokrit pada semua kelompok perlakuan masih dalam
kisaran normal yaitu berkisar antara 22-35%. Jika kadar hematokrit masih dalam
kisaran normal maka viskositas darah pun normal sehingga aliran darah menuju
jaringan dan kembali ke jantung pun normal. Kecepatan aliran darah yang normal
mengakibatkan konduksi panas yang disalurkan ke kulit tidak berlebihan atau
kurang sehingga suhu tubuh dalam kisaran normal.
Pada pengukuran ke-V menunjukkan suhu tubuh kelompok P1 berbeda
nyata dengan semua kelompok, hal ini disebabkan suhu lingkungan yang lebih
tinggi akan menaikkan suhu rektum dan kenaikan ini lebih tinggi bila ayam-ayam
diletakkan di ruang panas tersebut terinfeksi koksidia, serta dosis johar yang
paling rendah dibandingkan dengan ekstrak johar lainnya. Ketika demam,
interleukin-I akan menginduksi prostaglandin, zat ini selanjutnya bekerja dalam
hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam.
Menurut Kardono et al. (2003), johar mengandung antipiretik. Antipiretik
bekerja dengan mengganggu pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat
sehingga demam sama sekali tidak terjadi atau paling tidak berkurang (Guyton
dan Hall 1996). Kemudian flavonoid dan tanin bertindak sebagai antioksidan
utama, tanin akan melapisi lumen sekum sehingga infeksi merozoit akan
berkurang (Subroto dan Hendro 2007). Pengobatan dengan antioksidan akan
memperkuat sistem dan melindungi inang khususnya selama dalam masa
pengobatan dari suatu penyakit.
28
Kandungan saponin di dalam ekstrak daun johar akan bereaksi terhadap
kolestrol yang terdapat pada permukaan membran protozoa sehingga
menyebabkan membran protozoa menjadi lisis dan ruptur (Cheeke 1998). Selain
itu, karena saponin dapat mengikat asam empedu maka tidak terjadi reabsobsi
ulang asam empedu maupun kolestrol pada saluran pencernaan dan proses
ekskistasi pada ookista tidak dapat terjadi dikarenakan ookista membutuhkan
asam empedu untuk melakukan proses ekskistasi (Soulsby 1982). Namun
kelompok P1 merupakan kelompok ayam terinfeksi Eimeria spp. dengan ekstrak
daun johar dosis rendah yang diduga kandungan flavonoid, tanin, saponin, dan
antipiretiknya (alkaloid) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok P2 dan P3,
sehingga suhu tubuh kelompok P1 lebih tinggi.
Tabel 7 Rata-rata suhu badan ayam (˚C) setelah terinfeksi Eimeria spp. dan diberi
ekstrak etanol daun johar (Cassia siamea Lamk.) Perlakuan Pengukuran ke-
I II III IV
KN 40,80abcd
±0,25 41,08bcdefgh
±0,43 41,76jkl
±0,33 41,46efghijk
±0,42
K(-) 41,50efghijkl
±0,25 41,86kl±0,05 41,18
cdefghij±0,53 41,50
efghijkl±0,42
K(+) 41,00abcde
±0,38 41,38defghijk
±0,55 41,10bcdefgh
±0,23 41,26cdefghijk
±0,34
P1 41,28cdefghijk
±0,23 41,38defghijk
±0,49 41,62fghijkl
±0,25 41,72ijkl
±0,18
P2 41,32cdefghijk
±0,80 41,18cdefghij
±0,29 41,54efghijkl
±0,24 41,30cdefghijk
±0,62
P3 40,60ab
±0,89 41,50efghijkl
±0,42 41,50efghijkl
±0,34 41,46efghijk
±0,21
Perlakuan Pengukuran ke-
V VI VII VIII
KN 41,36defghijk
±0,42 40,46a±0,22 40,56
ab±0,44 41,02
bcdef±0,42
K(-) 41,46efghijk
±0,17 41,64ghijkl
±0,26 41,12bcdefghi
±0,48 41,42efghijk
±0,28
K(+) 40,76abc
±0,40 41,52efghijkl
±0,33 41,06bcdefg
±0,34 41,66ghijkl
±0,11
P1 42,06l±0,49 41,72
ijkl±0,19 41,00
abcde±0,25 41,54
efghijkl±0,21
P2 41,34cdefghijk
±0,31 41,72ijkl
±0,22 41,28cdefghijk
±0,36 41,70hijkl
±0,14
P3 41,22cdefghij
±0,37 41,62fghijkl
±0,26 40,99abcde
±0,49 41,58efghijkl
±0,13
Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada kolom dan baris menyatakan tidak berbeda nyata
(P> 0.05). Kelompok perlakuan: KN = kontrol normal, K(-) = kontrol negatif, K(+)
= kontrol positif, P1 = johar dosis 1, P2 = johar dosis 2, P3 = johar dosis 3.
29
Gambar 10 Rata-rata suhu badan ayam (˚C) dari setiap kelompok perlakuan.
Pada Tabel 7 terlihat pengukuran ke-VII menunjukkan kelompok KN
berbeda nyata terhadap semua kelompok perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan
oleh dua kemungkinan yaitu kondisi lingkungan atau penanganan saat pengukuran
suhu sehingga suhu kelompok KN lebih rendah dibandingkan semua kelompok
perlakuan. Rataan suhu tubuh pada pengukuran ke-VII dan ke-VIII pada semua
kelompok perlakuan menunjukkan rata-rata suhu tubuh ayam yang mendekati
normal, hal ini dikarenakan koksidiosis bersifat self limiting disease yaitu dapat
sembuh sendiri (Levine 1990).
39,5
40
40,5
41
41,5
42
42,5
I II III IV V VI VII VIII
suh
u b
ad
an
ay
am
(˚C
)
Pengukuran ke-
KN
K(-)
K(+)
P1
P2
P3
30
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Rataan bobot badan ayam pada kelompok ayam terinfeksi Eimeria spp.
dengan dosis johar 16,36 mg/0,5 ml (P3) lebih besar dibandingkan kelompok
P1 dan P2.
2. Rataan suhu pada semua kelompok ayam yang terinfeksi 8,1-23,6 x 103
ookista tidak berbeda nyata.
3. Johar dengan dosis 16,36 mg/0,5 ml (P3) dapat mempertahankan suhu tubuh
ayam pada kisaran normal.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam penggunaan ekstrak daun johar
dengan berbagai konsentrasi lainnya sebagai alternatif obat koksidiosis.
2. Perlu dilakukan penapisan fitokimia sehingga diketahui senyawa aktif yang
terkandung di dalam daun johar (Cassia siamea Lamk.) dan mekanisme
kerjanya terhadap infeksi Eimeria spp..
3. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui toksisitas daun johar secara
histopatologi.
31
DAFTAR PUSTAKA
Amelia. 2002. Fitokimia Komponen Ajaib PJK, DM, dan Kanker.
http://www.kompas.com// [23 Juli 2010].
Ane. 2008. Kegunaan Alkohol. http://www.web_kimia.com/ [23 Juli 2010].
Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi keempat. Ibrahim F,
penerjemah. Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari Introduction to
Pharmaceutical Dosage Forms.
Asa HE. 2009. Pengaruh Ekstrak Etanol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) Terhadap Gambaran Titer Antibodi Avian Influenza (AI) pada Ayam
Petelur Strain Isa Brown. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.
Ashadi G, Handayani S. 1992. Protozoology Veteriner I. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Bioteknologi. IPB Bogor.
Barnes HJ, Fadly AM, Glisson JR, McDouglad LR, Swayne DE. 2003. Disease of
Poultry 11th edition. USA: Blackwell.
Cahyaningsih U, D Iswantini, Iskandar. 2007. Pemanfaatan Tanaman Sambiloto
Sebagai Subtitusi Obat Antikoksidia dan Antiperadangan untuk
Menanggulangi Diare Berdarah pada Ayam akibat Infeksi Eimeria tenella.
[Abstrak Penelitian] http://www.lppm.ipb.ac.id// [25 Juli 2010].
Cheeke PR. 1998. Saponin: Suprising Benefit’s of Desert Plant.
http://lpi.oregonstate.edu/index.html [12 September 2010].
Corwin EJ. 2001. Patofisiologi. Pendit BU, penerjemah. Jakarta: EGC.
Terjemahan dari Patophysiology.
Desser SS. 2000. Eimeria spp.
http://www_umanitoba_ca_faculties_science_zoology_faculty-
d\eimerhome.htm [12 September 2010].
El-Sayyad SM, Ross SA, Sayed HM. 1984. New Isoquinolone Alkaloids from
The Leaves of Cassia siamea. J Nat Prod 47:708-710.
[FAO] Food and Agriculture Organisation. 2008. Coccidiosis.
http://www.fao.org/docrep/003/t0756e/T0756E08.htm [11 Juli 2010].
Farnsworth NR, Bunyapraphatsara N. 1992. Thai Medicicinal Plants. Bangkok:
Prachachon Co. Ltd. hlm 102-106.
32
Guyton AC, Hall JE. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-9. Setiawan
I, Tengadi KA, Santoso A, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari
Textbook of Medical Physiology, 9th ed.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan Edisi ke-2. Bandung : ITB.
Hasan. 2007. Mengatasi Berak Darah.
http://www.pultryindonesia.com/modules.php?name=Nes&file=article&sid=1
13 [12 September 2010].
Hermawan D. 2008. Efektivitas Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata
Nees) dengan Pelarut Air Hangat Tanpa Evaporasi dan Kajian Differensial
Leukosit pada Ayam yang Diinfeksi dengan Eimeria tenella. [Skripsi]. Bogor:
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Ed ke-2. Jakarta: Yayasan Sarana
Wana Jaya. hlm 926-927.
Houghton PJ, Raman. 1998. Laboratory Handbook For The Fracnation of
Natural Extracts. London UK Chapman and Hall.
Ingkaninan K, Ijzerman AP, Verpoorte R. 2000. Luteolin, A Coumpound with
Adenosine A1 Receptor-Binding Activity, and Chromone and
Dihydronaphthalenone Constituents from Senna siamea. J Nat Prod 63:315-
317.
Kalsum U, Nur P, dan Nurdiana. 2008. Peran Alkaloid.
http://www.litbangdepkes.go.id/ [24 Juli 2010].
Kardono LBS, Artanti N, Dewiyanti ID, Basuki T. 2003. Selected Indonesian
Medicinal Plants: Monographs and Descriptions. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
[KemenKes RI] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 1989. Materia
Medika Indonesia V, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia, Jakarta. hlm
129-133.
Key I. 1998. Introduction to Animal Physiology. New York: Bios Scientific
Publisher.
Kusmardi, Kumala S, Wulandari D. 2006. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol
Daun Johar (Cassia siamea Lamk.) terhadap Peningkatan Aktivitas dan
Kapasitas Fagositosis Sel Makrofag. Makara, Kesehatan 2: 89-93.
Kusumaningtyas P. 2009. Histopatologi Hati Ayam yang Diinfeksi Ascaridia
Galli dan Diobati Ekstrak Etanol Akar Daruju (Acanthus ilicifolius Linn.).
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
33
Koyama J, Morita I, Tagahara K, Aqil M. 2001. Bianthraquinone from Cassia
siamea. Phythochemistry 56:849-851.
Levine ND. 1977. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Levine ND. 1985. Protozoology Veteriner. Soekardono S, penerjemah.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm 373-413. Terjemahan dari
Protozoology Veteriner.
Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Lilehoj HS, Lilehoj EP. 1999. Avian Coccidiosis, View of Acquired Intestinal
Immunity and Vaccination Strategist Avian Diseases.
Mangapul BN. 2008. Pengaruh Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis
panniculata Ness.) dengan Pelarut Etanol Dosis Bertingkat Diberikan
Sebelum dan Sesudah Infeksi E. tenella terhadap Produksi Ookista pada Tinja
Ayam. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavanoid. Bandung: ITB.
Mattjik AA, Sumertaja IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan MINITAB. Bogor: IPB Press.
McDougal LR, WM Reid. 1997. Disease Poultry Ed. 10. USA : Iowa State
University Press.
Mulyani SD, Gunawan. 2002. Ramuan Tradisional untuk Penderita Asma.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Murtidjo, BA. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ayam. Yogyakarta:
Kanisius.
Northrup RS, Asdie AH, Santoso B. 1981. Pedoman Pengobatan. Edisi Indonesia.
Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica.
Pratama AH. 2008. Kajian Aktifitas Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit (Curcuma
longa Linn.) Terhadap Persembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus
albinus). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Prayitno DS. 2004. Pencahayaan Sebagai Upaya Pencegahan Cekaman Pada
Unggas Tropis Berwawasan Animal Welfare. [Disertasi]. Semarang: Fakultas
Peternakan, Universitas Diponegoro.
34
Retno FD, Jahja J, Suryani T. 1998. Penyakit-Penyakit Penting Pada Ayam.
Bandung: Medion.
Riza Y. 2010. Gambaran Eritrosit Ayam Terinfeksi Eimeria spp. Secara Alami
yang Diberi Ekstrak Daun Johar (Cassia siamea Lamk.). [Skripsi]. Bogor:
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Sayekti. 2008. Sifat Saponin. http://www.kalbe.co.id/ [23 Juli 2010].
Shafiullah M, Parveen M, Kamil M, Ilyas M. 1995. A New Isoflavone C-
Glycoside From Cassia siamea. Fitoterapia 66:439-441.
Shafiullah K, Mohammad S, Parveen M, Kamil M, Ilyas M. 1996. Isolation of
2’,3’,6’-trihydroxy-4’-methoxy-7-O-neohesperidoside, A Novel Flavones
Glycoside From Cassia siamea. J Chem Res Synop. 1:2-3.
Shane SM. 1997. Pedoman Penyakit Unggas Ed ke-1. Budi Tangenjaya,
penerjemah. 1998. American Soybean Association Jakarta.
Setiabudi R, Mariana. 1995. Farmakologi dan Terapi Ed. Ke-4. Jakarta : Gaya
Baru.
Siregar NM. 2008. Pengaruh Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
dengan Pelarut Metanol Dosis Bertingkat Terhadap Penampilan Ayam
Pedaging yang Diinfeksi Eimeria tenella. [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Siregar AP, Sabrani M. 1981. Tehnik Beternak Ayam di Indonesia. Bogor:
Balitbang Pertanian.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal
7th
Edition. London : Bailere Tindall.
Soulsby EJL. 1986. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal
7th
Edition. London : Bailere Tindall.
Steenis, CGGJ van. 1981. Flora, untuk Sekolah di Indonesia. Jakarta: PT Pradnya
Paramita. hlm 226.
Sturkie. 2000. Avian Physiology 5th
Ed. Whittow GC, editor. San Diego:
Academic Press.
Subroto, Hendro. 2007. Kandungan Sarang Semut.
http://www.deherba.com/kandungan-sarang-semut.html. [12 September 2010].
Sudaryani, Hari S. 1994. Pembibitan Ayam Ras. Jakarta : Penebar Swadaya.
35
Tampubolon MP. 1992. Protozoologi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat,
Institut Pertanian Bogor.
Tampubolon MP. 1996. Protozoologi. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat,
Institut Pertanian Bogor. hlm 145-149.
Tampubolon MP. 2004. Protozoologi. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat.
Institut Pertanian Bogor. hlm 145-229.
Teeyapant R, Srikun O, Wray V, Witte L. 1998. Chemical Investigation Of
Anhydrobarakol From Cassia siamea. Fitoterapia 69:475-476.
Thongsaard W, Deachapunya C, Pongsakorn S, Boyd EA, Bennett GW, Marsden
CA. 2001. Pharmacol Biochem Behav 53:753-758.
Tipakorn N. 2002. Effect of A. paniculata (burm F.) Nees on Performance,
Mortality, and Coccidiosis in Broiler Chicken. [Disertasi]. Gottingen,
Germany: Doctor of Agricultural Sciences of The Faculty of Agricultural
Science. Georg August-University.
Vibowo H. 2008. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Rimpang Temu Putih
(Curcuma zedoariae (Berg.) Roscoe) terhadap Gambaran Klinis Pre dan Post
Operasi pada Kelinci yang Diinduksi Tumor. [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Voigt R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Noerono S, penerjemah.
Yogyakarta: UGM-Press. Terjemahan dari Lehburch der Pharmazeutischen
Technologie.
Wardhana AP, Kencanawati E, Nurmawati, Rahmaweni, Jatmiko CB. 2001.
Pengaruh Pemberian Sediaan Patikan Kebo (Eurphobia Hirta L) Terhadap
Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin, dan Nilai Hematokrit pada Ayam yang
Diinfeksi dengan Eimeria Tenella. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 2(6):
126-133.
Wilson, Gisvold. 1982. Kimia Farmasi dan Medisinal Organik. Fatah AM,
penerjemah. Semarang: IKIP Semarang Press. Terjemahan dari: Textbook of
Organic Medical and Pharmaceutical Chemistry.
William RBC. 2002. Progress Toward Anticoccidial Vaccines for Broiler Chicken
Schering. Ploogh Animal Health. Pp: 2-27.
Yuliani S, Rusli S. 2003. Ekstraksi Pestisida Nabati. Bogor: Balitro.
36
LAMPIRAN
36
1. Analisis data dengan uji ANOVA dan dilanjutkan uji wilayah berganda DUNCAN
Univariate Analysis of Variance Notes
Output Created 23-Aug-2010 10:42:21
Comments
Input Data D:\PENELITIAN\untitled2.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 240
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used Statistics are based on all cases with valid data for all variables in the model.
Syntax UNIANOVA bobot BY umur perlakuan /METHOD=SSTYPE(2) /INTERCEPT=EXCLUDE /POSTHOC=pengukuran perlakuan(DUNCAN) /PLOT=PROFILE(pengukuran*perlakuan) /EMMEANS=TABLES(pengukuran) /EMMEANS=TABLES(perlakuan) /PRINT=HOMOGENEITY DESCRIPTIVE /CRITERIA=ALPHA(.05) /DESIGN=pengukuran perlakuan pengukuran*perlakuan.
Resources Processor Time 00:00:00.624
Elapsed Time 00:00:00.577
[DataSet1] D:\PENELITIAN\untitled2.sav
Between-Subjects Factors
N
pengukuran I 30
II 30
III 30
IV 30
V 30
VI 30
VII 30
VIII 30
perlakuan P1 40
P2 40
P3 40
KN 40
K- 40
K+ 40
37
Descriptive Statistics
Dependent Variable:bobot
Pengukuran Perlakuan Mean Std.
Deviation
N Pengukuran Perlakuan Mean Std.
Deviation
N
I P1 3.4100E2 40.08740 5 VI P1 4.3060E2 74.48020 5
P2 3.8700E2 50.47276 5 P2 5.8310E2 139.26252 5
P3 3.4940E2 70.34060 5 P3 6.4430E2 102.29101 5
KN 5.0442E2 70.90513 5 KN 9.0620E2 109.89631 5
K- 3.7700E2 70.65763 5 K- 5.8870E2 71.28429 5
K+ 2.8340E2 68.79898 5 K+ 4.7570E2 111.97634 5
Total 3.7370E2 89.22451 30 Total 6.0477E2 182.05080 30
II P1 3.7540E2 55.24876 5 VII P1 4.7120E2 83.25308 5
P2 3.8360E2 91.62041 5 P2 6.3210E2 140.13627 5
P3 4.7320E2 46.71269 5 P3 6.8710E2 121.73044 5
KN 6.0592E2 89.12537 5 KN 9.5140E2 124.80705 5
K- 4.1492E2 57.82977 5 K- 6.1780E2 64.36090 5
K+ 3.1580E2 73.54047 5 K+ 5.2670E2 115.51926 5
Total 4.2814E2 114.06002 30 Total 6.4772E2 185.82424 30
III P1 3.5960E2 25.64761 5 VIII P1 4.9700E2 84.62565 5
P2 4.2811E2 94.51222 5 P2 6.9210E2 149.97433 5
P3 4.9130E2 70.84455 5 P3 7.2960E2 120.79859 5
KN 7.2040E2 94.69583 5 KN 8.9500E2 105.19030 5
K- 4.4310E2 58.53354 5 K- 6.7250E2 79.13912 5
K+ 3.3630E2 78.57926 5 K+ 5.7720E2 126.35545 5
Total 4.6313E2 145.00612 30 Total 6.7723E2 163.43858 30
IV P1 3.8880E2 38.58368 5 Total P1 4.0625E2 75.65839 40
P2 4.9240E2 135.79461 5 P2 5.1415E2 154.66304 40
P3 5.4900E2 87.00072 5 P3 5.6189E2 145.58558 40
KN 8.3940E2 109.00138 5 KN 7.7888E2 175.00458 40
K- 4.8620E2 67.08632 5 K- 5.1310E2 115.11994 40
K+ 3.7270E2 97.30339 5 K+ 4.1133E2 135.20201 40
Total 5.2142E2 179.24098 30 Total 5.3093E2 184.35058 240
V P1 3.8640E2 54.32587 5
P2 5.1480E2 138.25050 5
P3 5.7120E2 104.87707 5
KN 8.0830E2 101.29018 5
K- 5.0460E2 50.32196 5
K+ 4.0280E2 116.30219 5
Total 5.3135E2 168.31821 30
38
Levene’s Test of Equality of Error Variancesa
Dependent Variable: Bobot
F df1 df2 Sig.
1.290 47 192 .119
Tests the null hypothesis that the error variances of the dependent variable is equal across groups.
a. Design: pengukuran + perlakuan + pengukuran*perlakuan
Tests of Between-Subject Effects
Dependent Variable: Bobot
Source Type II Sum of Squares
df Mean Square F Sig.
Model 7.411E7 48 1543900.302 177.638 .000
Pengukuran 2414054.847 7 344864.978 39.679 .000
Perlakuan 3715494.956 5 743098.991 85.500 .000
Pengukuran*perlakuan 324174.917 35 9262.140 1.066 .038
Error 1668723.146 192 8691.266
Total 7.578E7 240
a. R Squared= .978 (Adjusted R Squared=.972)
UJI HIPOTESIS • Pengaruh pengukuran:
H0: pengukuran tidak berpengaruh nyata terhadap bobot H1: pengukuran berpengaruh nyata terhadap bobot
• Pengaruh Perlakuan: H0: Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot H1: Perlakuan berpengaruh nyata terhadap bobot
• Pengaruh interaksi umur dan perlakuan: H0: interaksi pengukuran dan perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot H1: interaksi pengukuran dan perlakuan berpengaruh nyata terhadap bobot
Tolak H0 jika nilai signifikansi < taraf nyata (0.05)
Post Hoc Tests Perlakuan Homogenous Subsets
Bobot Duncan
Perlakuan N Subset
1 2 3 4
P1 40 4.0625E2a
K+ 40 4.1133E2a
K- 40 5.1310E2b
P2 40 5.1415E2b
P3 40 5.6189E2c
KN 40 7.7888E2d
Sig. .808 .960 1.000 1.000
Means for groups in homogenous subsets are displayed. Based on observed means. The error terms is Mean Square (Error)= 8691.26
39
Pengukuran Homogenous Subsets
Bobot Duncan
Pengukuran N Subset
1 2 3 4 5
I 30 3.7370E2
II 30 4.2814E2
III 30 4.6313E2
IV 30 5.2142E2
V 30 5.3135E2
VI 30 6.0477E2
VII 30 6.4772E2 6.4772E2
VIII 30 6.7723E2
Sig. 1.000 .148 .680 .076 .222
Means for groups in homogenous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square (Error) = 8691.266.
Estimated Marginal Means 1. Pengukuran
Dependent Variable: Bobot
Pengukuran Mean Std. error 95% Confidence Internal
Lower Bound Upper Bound
I 373.703 17.021 340.131 407.275
II 428.140 17.021 394.568 461.712
III 463.135 17.021 429.563 496.707
IV 521.417 17.021 487.845 554.989
V 531.350 17.021 497.778 564.922
VI 604.767 17.021 571.195 638.339
VII 647.717 17.021 614.145 681.289
VIII 677.233 17.021 643.661 710.805
2. Perlakuan Dependent Variable: Bobot
Perlakuan Mean Std. error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P1 406.250 14.740 377.176 435.324
P2 514.151 14.740 485.077 543.225
P3 561.887 14.740 532.813 590.962
KN 778.880 14.740 749.806 807.954
K- 513.102 14.740 484.028 542.177
K+ 411.325 14.740 382.251 440.399
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Temperatur
Source Type II Sum of Squares
df Mean Square F Sig.
Model 410093.254a 48 8543.609 5.924E4 .000
Pengukuran 7.222 7 1.032 7.154 .000
Perlakuan 6.161 5 1.232 8.545 .000
Pengukuran*perlakuan 14.350 35 .410 2.843 .000
Error 27.689 192 .144
Total 410120.943 240
a. R Squared= 1.000 (Adjusted R Squared= 1.000)
UJI HIPOTESIS
40
• Pengaruh pengukuran: H0: pengukuran tidak berpengaruh nyata terhadap temperatur H1: pengukuran berpengaruh nyata terhadap temperatur
• Pengaruh Perlakuan: H0: Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap temperatur H1: Perlakuan berpengaruh nyata terhadap temperatur
• Pengaruh interaksi umur dan perlakuan: H0: interaksi pengukuran dan perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap temperatur H1: interaksi pengukuran dan perlakuan berpengaruh nyata terhadap temperatur
Tolak H0 jika nilai signifikansi < taraf nyata (0.05)
Univariate Analysis of Variance Notes
Output Created 23-Aug-2010 12:26:05
Comments
Input Data D:\PENELITIAN\untitled2.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 240
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used Statistics are based on all cases with valid data for all variables in the model.
Syntax UNIANOVA temperatur3 BY Interaksi /METHOD=SSTYPE(2) /INTERCEPT=EXCLUDE /POSTHOC=Interaksi(DUNCAN) /PRINT=HOMOGENEITY DESCRIPTIVE /CRITERIA=ALPHA(.05) /DESIGN=Interaksi.
Resources Processor Time 00:00:01.170
Elapsed Time 00:00:01.240
[DataSet1] D:\PENELITIAN\untitled2.sav
Between-Subjects Factors
Interaksi N Interaksi N Interaksi N Interaksi N
IP1 5 IIIP1 5 VP1 5 VIIP1 5
IP2 5 IIIP2 5 VP2 5 VIIP2 5
IP3 5 IIIP3 5 VP3 5 VIIP3 5
IKN 5 IIIKN 5 VKN 5 VIIKN 5
IK- 5 IIIK- 5 VK- 5 VIIK- 5
IK+ 5 IIIK+ 5 VK+ 5 VIIK+ 5
IIP1 5 IVP1 5 VIP1 5 VIIIP1 5
IIP2 5 IVP2 5 VIP2 5 VIIIP2 5
IIP3 5 IVP3 5 VIP3 5 VIIIP3 5
IIKN 5 IVKN 5 VIKN 5 VIIIKN 5
IIK- 5 IVK- 5 VIK- 5 VIIIK- 5
IIK+ 5 IVK+ 5 VIK+ 5 VIIIK+ 5
Descriptive Statistics Dependent Variable: Temperatur
41
Interaksi Mean Std.
deviation
N Interaksi Mean Std.
deviation
N
IP1 41.2800 .22804 5 VP1 42.0600 .49295 5
IP2 41.3200 .80125 5 VP2 41.3400 .31305 5
IP3 40.6000 .89443 5 VP3 41.2200 .37014 5
IKN 40.8000 .25495 5 VKN 41.3600 .42190 5
IK- 41.5000 .25495 5 VK- 41.4600 .16733 5
IK+ 41.0000 .38079 5 VK+ 40.7600 .40373 5
IIP1 41.3800 .48683 5 VIP1 41.7200 .19235 5
IIP2 41.1800 .28636 5 VIP2 41.7200 .21679 5
IIP3 41.5000 .42426 5 VIP3 41.6200 .25884 5
IIKN 41.0800 .43243 5 VIKN 40.4600 .21909 5
IIK- 41.8600 .05477 5 VIK- 41.6400 .26077 5
IIK+ 41.3800 .55408 5 VIK+ 41.5200 .33466 5
IIIP1 41.6200 .24900 5 VIIP1 41.0000 .25495 5
IIIP2 41.5400 .24083 5 VIIP2 41.2800 .36332 5
IIIP3 41.5000 .33912 5 VIIP3 40.9940 .49313 5
IIIKN 41.7600 .32863 5 VIIKN 40.5600 .44497 5
IIIK- 41.1800 .52631 5 VIIK- 41.1200 .47645 5
IIIK+ 41.1000 .23452 5 VIIK+ 41.0600 .34351 5
IVP1 41.7200 .17889 5 VIIIP1 41.5400 .20736 5
IVP2 41.3000 .61644 5 VIIIP2 41.7000 .14142 5
IVP3 41.4600 .20736 5 VIIIP3 41.5800 .13038 5
IVKN 41.4600 .42190 5 VIIIKN 41.0200 .42071 5
IVK- 41.5000 .41833 5 VIIIK- 41.4200 .27749 5
IVK+ 41.2600 .34351 5 VIIIK+ 41.6600 .11402 5
Total 41.3353 .48155 240
Levene’s Tests of Equality of Error Variancesa Dependent Variable: Temperatur
F df1 df2 Sig.
1.705 47 192 .007
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: interaksi
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: temperature
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 410093.254a
48 8543.609 5.924E4 .0000
Interaksi 410093.254 48 8543.609 5.924E4 .0000
Error 27.689 192 .144
Total 410120.943 240
a. R Squared= 1.000 (Adjusted R Squared= 1.000)
Post Hoc Tests
Interaksi (Homogeneous Subsets)
42
Temperatur
Duncan
Interaksi N
Subset
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
VIKN 5 40.46
VIIKN 5 40.56
40.56
IP3 5 40.60
40.60
VK+ 5 40.76
40.76
40.76
IKN 5 40.80
40.80
40.80
40.80
VIIP3 5 40.99
40.99
40.99
40.99
40.99
IKN 5 41.00
41.00
41.00
41.00
41.00
VIIP1 5 41.00
41.00
41.00
41.00
41.00
VIIIKN 5 41.02
41.02
41.02
41.02
41.02
VIIK+ 5 41.06
41.06
41.06
41.06
41.06
41.06
IIKN 5 41.08
41.08
41.08
41.08
41.08
41.08
IIIK+ 5 41.10
41.10
41.10
41.10
41.10
41.10
41.10
VIIK- 5 41.12
41.12
41.12 41.12
41.12
41.12
41.12
41.12
IIP2 5 41.18
41.18
41.18
41.18
41.18
41.18
41.18 41.18
IIIK- 5 41.18 41.18 41.18 41.18
41.18
41.18 41.18
41.18
VP3 5 41.22 41.22 41.22 41.22 41.22 41.22 41.22 41.22
IVK+ 5 41.26 41.26 41.26 41.26 41.26 41.26 41.26 41.26 41.26
IP1 5 41.28 41.28 41.28 41.28 41.28 41.28 41.28 41.28 41.28
VIIP2 5 41.28 41.28 41.28 41.28 41.28 41.28 41.28 41.28 41.28
IVP2 5 41.30 41.30 41.30 41.30 41.30 41.30 41.30 41.30 41.30
IP2 5 41.32 41.32 41.32 41.32 41.32 41.32 41.32 41.32 41.32
VP2 5 41.34 41.34 41.34 41.34 41.34 41.34 41.34 41.34 41.34
VKN 5 41.36 41.36 41.36 41.36 41.36 41.36 41.36 41.36
IIP1 5 41.38 41.38 41.38 41.38 41.38 41.38 41.38 41.38
IIK+ 5 41.38 41.38 41.38 41.38 41.38 41.38 41.38 41.38
VIIIK- 5 41.42 41.42 41.42 41.42 41.42 41.42 41.42
IVP3 5 41.46 41.46 41.46 41.46 41.46 41.46 41.46
IVKN 5 41.46 41.46 41.46 41.46 41.46 41.46 41.46
VK- 5 41.46 41.46 41.46 41.46 41.46 41.46 41.46
IK- 5 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50
IIP3 5 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50
IIIP3 5 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50
IVK- 5 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50 41.50
VIK+ 5 41.52 41.52 41.52 41.52 41.52 41.52 41.52 41.52
VIIIP1 5 41.54 41.54 41.54 41.54 41.54 41.54 41.54 41.54
IIIP2 5 41.54 41.54 41.54 41.54 41.54 41.54 41.54 41.54
VIIIP3 5 41.58 41.58 41.58 41.58 41.58 41.58 41.58 41.58
IIIP1 5 41.62 41.62 41.62 41.62 41.62 41.62 41.62
VIP3 5 41.62 41.62 41.62 41.62 41.62 41.62 41.62
VIK- 5 41.64 41.64 41.64 41.64 41.64 41.64
VIIIK+ 5 41.66 41.66 41.66 41.66 41.66 41.66
VIIIP2 5 41.70 41.70 41.70 41.70 41.70
Interaksi N
Subset
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
IVP1 5 41.72 41.72 41.72 41.72
VIP2 5 41.72 41.72 41.72 41.72
43
VIP1 5 41.72 41.72 41.72 41.72
IIIKN 5 41.76 41.76 41.76
IIK- 5 41.86
41.86
VP1 5 42.06
Sig. .055 .054 .053 .054 .057 .051 .051 .051 .051 .060 .051 .062
Means for groups in homogenous subsets are displayed. Based on observed means. The
error terms is Mean Square (Error)= .144
Top Related