Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 116
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
DINAMIKA PEMERINTAHAN MESIR MENUJU NEGARA YANG DEMOKRATIS: DITANDAI PERSAINGAN ANTARA DEMOKRAT ISLAM
DENGAN MILITER
Oleh Bulbul Abdurahman Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNPAS Bandung
Abstrak______________________________________________________ Kemenangan Partai Islam dalam Parlemen Mesir pasca kudeta terhadap Hosni Mubarak, hanya kemenangan sesaat karena beberapa waktu kemudian, parlemen hasil pemilu 2012 ini dibubarkan oleh Militer, begitupula kemenangan Presiden Moersi pada tahun 2012 yang lalu, berakhir dengan diambilalihnya kekuasaan oleh militer. Kata Kunci: Dinamika Pemerintahan Mesir, Demokrat-Islam, Militer Pendahuluan
Pada tahun 2005, Presiden Hosni Mubarak, mengejutkan rakyatnya
sendiri dan dunia, ketika dia mengusulkan pemilihan Presiden langsung
dengan banyak kandidat. Usulannya itu menggantikan sistem lama yang
telah bertahan setengah abad, yaitu seorang kandidat tunggal disaring oleh
militer dan baru kemudian diajukan ke parlemen untuk diadakan voting.32
Mubarak mengusulkan amandemen konstitusi tersebut ditengah
tekanan dalam negeri dan internasional yang semakin kuat. Kaum oposisi
Mesir menyambut baik usulan Mubarak, yang dilukiskan sebagai gerakan
reformasi serius di Mesir yang berasal dari aspirasi nasional. Pemilunya
sendiri dijadwalkan digelar bulan September 2005.
Ketua Majelis Syura (MPR) yang juga Sekretaris Jenderal Partai NDP
yang berkuasa, Safwat Sharif, menyebut usulan tersebut adalah yang
pertama dalam sejarah modern Mesir sejak diterapkannya sistem republik
pasca revolusi tahun 1952.
32 Berita Internasional, “Demokrasi Mulai Merebak di Timur Tengah”, Media Indonesia, 2 Maret 2005, hal 25.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 117
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
Bahkan Tajuk Rencana
koran Al-Ahram menyebut “Inisiatif
Historis, dan Titik Balik
Perubahan”. Harian itu menuliskan
Mesir tengah memasuki arah
reformasi politik total. Usulan ini
juga dinilai sebagai upaya
menangkis keraguan berbagai
pihak bahwa Mesir adalah negara
pioner di kawasan Timur Tengah
dalam memimpin reformasi politik.
Usulan ini demi kepentingan masa
depan Mesir dan dunia Arab,
ditengah perubahan politik dan
tatanan hubungan internasional.
Pengamat politik terkemuka
Mesir, Osama Ghazali al-Harb,
menyebut usulan Mubarak itu akan
mengantarkan lahirnya republik
kedua di Mesir. Menurut Harb, ada
tiga titik balik perjalanan dalam
sejarah politik modern di Mesir.
Pertama, kemerdekaan dari
kolonial Inggris pada tahun 1922
yang melahirkan negara monarki
konstitusional. Kedua, meletusnya
revolusi tahun 1952 yang
mengakhiri sistem monarki dan
lahirnya sistem republik pertama.
Ketiga, usulan Presiden Mubarak
mengamandemen pasal nomor 76
yang dianggap akan melahirkan
republik kedua.33
Masa sistem monarki
konstitusional dan republik
pertama memiliki kelebihan dan
sekaligus kelemahan. Pada masa
sistem monarki (1922-1952), Mesir
mengukir prestasi politik, ekonomi,
budaya dan sosial, seperti
penanaman rasa nasionalisme,
penerapan prinsip hak yang sama
bagi semua warga, terciptanya
persatuan nasional, pengenalan
sistem multipartai dan aktivitas
lembaga swadaya masyarakat.
Namun kelemahan masa
itu, menurut Aladin al-Hilal dalam
bukunya “Politik dan Pemerintahan
di Mesir”, adalah tiadanya
komitmen menghormati prinsip-
prinsip aturan main parlemen dari
pihak Inggris, Raja, Partai-partai
minoritas, serta buruknya
penampilan Partai Wafad yang
berkuasa saat itu.
Sedangkan kelebihan pada
masa republik kedua (1952-2005)
adalah telah tercipta keadilan
sosial di Mesir dengan kembalinya
hak-hak kaum petani dan pekerja
melalui melalui program reformasi 33 Musthafa Abd Rahman, “Inisiatif Mubarak dan Geliat Reformasi di Mesir”, KOMPAS, 6 Maret 2005, hal 4.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 118
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
tanah yang dicanangkan Presiden
Gamal Abdul Naser. Namun
kelemahan utama masa itu adalah
tiadanya kehidupan demokrasi
dengan dihapuskannya sistem
multipartai dan diterapkan sistem
partai tunggal (partai sosialis yang
berkuasa pada masa Presiden
Gamal Abdul Nasser).
Presiden Anwar Sadat yang
menggantikan Gamal Abdul
Nasser pada tahun 1970
memberlakukan kembali sistem
multipartai sejak tahun 1977 dan
berlanjut hingga masa
pemerintahan Mubarak. Namun
sistem multipartai tersebut masih
jauh dari standar kehidupan
demokrasi yang sesungguhnya.
Dalam kehidupan sosial dan
ekonomi, pemerintahan Presiden
Mubarak, menghadapi masalah
yang serius, seperti
membengkaknya angka
pengangguran, pertumbuhan
penduduk yang sulit dikendalikan,
naiknya harga-harga bahan pokok,
korupsi, kolusi dan nepotisme,
serta ancaman kaum militan.
Mubarak yang namanya bersinar
sebagai panglima AU dalam
perang Arab-Israel tahun 1973,
pada tahun pertama
pemerintahannya juga
menghadapi situasi regional yang
cukup sulit, yaitu terisolasinya
Mesir dari dunia Arab akibat
perjanjian damai Camp David
dengan Israel tahun 1979.34
Mubarak kemudian berhasil
mengembalikan Mesir ke dunia
Arab dan pindahnya lagi markas
besar Liga Arab dari Tunisia ke
Cairo. Dalam proses damai
dengan Israel, Mubarak berhasil
mengembalikan sisa-sisa tanah
Gurun Sinai pada April 1982. Ia
juga terus melanjutkan hubungan
strategisnya dengan AS yang telah
dirintis oleh pendahulunya, Anwar
Sadat.
Dalam konteks ekonomi,
Mubarak telah menerapkan
reformasi ekonomi terbatas sejak
pertengahan tahun 1980. Mubarak
juga melakukan demokratisasi
secara sangat terbatas pula
dengan terus memperkuat sistem
multipartai dan kebebasan pers
maupun berpendapat. Namun,
langkah demokratisasi yang
dilakukan Mubarak masih menuai
kritik dari kelompok oposisi karena
masih berjalannya undang-undang
34Ibid
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 119
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
darurat dan dibatasinya gerak
partai politik.35
Dalam konteks
hubungannya dengan kelompok
Islam di Mesir, Hosni Mubarak
pada awal masa kekuasaannya
mencoba melakukan rekonsiliasi
dengan kelompok Islam. Kelompok
tersebut mengalami hubungan
yang sangat buruk dengan
pemerintah pada akhir masa
jabatan Anwar Sadat yang tewas
oleh kelompok Islam militan.
Mubarak melapaskan tahanan
tokoh-tokoh Islam, ia juga
membuka secara luas aktivitas
dakwah dan menambah acara ke-
islaman di radio dan televisi.
Mubarak juga mengijinkan tokoh-
tokoh Ikhwanul Muslimin
bergabung dengan partai lain,
seperti Partai Buruh, untuk
memperebutkan kursu parlemen.
Pemerintah Mubarak dalam
batas tertentu masih bersikap
toleran atas tindakan kelompok
Islam radikal. Namun, Mubarak
mulai bertindak tegas ketika
kelompok Islam militan menyerang
kawasan wisata para turis asing
yang merupakan salah satu
sumber utama devisa Mesir.
35Ibid
Pemerintahpun memilih
berkonfrontasi dengan kelompok
Islam militan, klimaknya terjadi
ketika kelompok militan melakukan
percobaan pembunuhan Mubarak
di Addis Ababa, Ethiopia, Juni
1995.
Pemerintah Mesir memilih
sikap konfrontatif dengan gerakan
militan, karena kalau Mesir
membuka diri bagi gerakan Islam
Militan dalam aktivitas politik,
maka akan mengantarkan mereka
pada kekuasaan dan selanjutnya
akan mempraktekan doktrin-
doktrinnya, yaitu mengislamisasi
pemerintahan dan masyarakat
sesuai dengan versinya yang
antidemokrasi dan pluralisme.
Dalam waktu yang sama,
pemerintah itu dapat
meningkatkan tingkat hidup dan
pelayanan masyarakat.
Dan pengumuman Mubarak
yang meminta kepada parlemen
untuk mengamandemen pasal 76,
dan pemilihan presiden secara
langsung, merupakan langkah
signifikan pertama menuju
pembaruan politik dalam beberapa
dekade terakhir. Tentu saja hal itu
amat penting karena
bagaimanapun Mesir merupakan
negara terkemuka di dunia Arab.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 120
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
Gema perubahan itu sendiri amat
terasa karena sudah selama lebih
dari setengah abad terakhir negara
itu menganut pemerintahan satu
partai, mengarah pada
pembentukan rezim yang
demokratis.
Semenjak awal abad ke-21,
demokrasi menjadi tema umum
yang menarik perhatian banyak
negara di seluruh dunia. Negara-
negara bekas Uni Soviet, Eropa
Timur, Timur Tengah, Asia dan
Afrika mempunyai keinginan
menyuarakan tentang perlunya
power sharing kekuasaan. Dalam
power sharing kekuasaan yang
menjadi bagian penting demokrasi
itu terdapat aspek partisipasi,
representasi, dan perlindungan
warga negara. Pada demokrasi
juga meniscayakan adanya
akuntabilitas pemerintahan, aturan
hukum, dan keadilan sosial.
Pada banyak negara dan
masyarakat Islam, agama
menduduki posisi yang signifikan
dalam perkembangan tatanan
demokrasi. Peran agama menjadi
penting, apakah ia akan
mendukung demokratisasi ataukah
justru ia menjadi penghalang bagi
penciptaan sebuah masyarakat
yang demokratis. Ditambah lagi,
institusi agama juga banyak
menyediakan pelayan sosial,
lembaga pendidikan, sarana
kesehatan, yang tentu saja sangat
berpengaruh pada kondisi
masyarakat.36
Dalam pandangan banyak
masyarakat Islam, perdebatan
apakah Islam cocok dengan
demokrasi atau tidak sudah
menjadi polemik lama yang hingga
sekarang belum tuntas.
Perdebatan ini menjadi penting
untuk diangkat terus menerus,
sebab situasi dalam negara
Muslim dan masyarakat dunia
pada umumnya senantiasa
berkembang dan berubah.
Menurut para pakar hukum Islam,
pada era abad lampau, umumnya
ada tiga hubungan antara Islam
dan pemerintahan yang banyak
mengemuka pada masyarakat
Muslim.
Pertama, sistem kuno, yaitu
sistem negara yang alami, tidak
beradab dan anarkhis, serta
bersifat tirani. Hukum dalam
sistem ini adalah sebagaimana
hukum rimba, yaitu bagaimana
yang kuat memakan atau
36 John L. Esposito, Modernizing Islam: Religion in the Public Sphere in Europe and the Middle East, 2003.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 121
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
mengalahkan yang lemah. Kedua,
sistem kerajaan, yaitu adanya
seorang raja yang mengatur
semua urusan kenegaraan. Sistem
ini banyak menguntungkan hanya
pada kelas penguasa dan
meminggirkan rakyat jelata, oleh
karenanya sangat tiranik dan tidak
mempunyai legitimasi. Ketiga,
adalah sistem kekhalifahan, yaitu
adanya seorang pemimpin yang
mendasarkan aturan pemerintahan
pada hukum syari’ah. Karena
dianggap sebagai pemerintahan
berdasarkan syari’ah yang
mempunyai otoritas dibandingkan
dengan manusia, maka sistem ini
menjadi kuat dibanding sistem
lainnya.37
Bila kita telusuri dan
pikirkan lebih mendalam, pada
dasarnya sistem kekhalifahan
terdapat persoalan yang mendasar
dan problematis. Karena ia
mengaku sebagai Khalifatullah war
Rasul (Wakil Tuhan dan Rosul),
maka banyak khalifah yang tidak
merasa perlu atau penting
mempertanggungjawabkan
kekuasaannya. Soalnya, dia
menganggap bahwa apa saja yang
37 Khaled Abou El Fadl, Islam and the Challenge of Democracy, 2003.
dikatakan atau diperintahkan,
itulah wujud hukum Tuhan.38
Dari sini, otoritarianisme
dan absolutisme kekuasaan
berawal muncul dan menjadi
tradisi yang dipelihara oleh banyak
khalifah-khalifah masa lalu.
Padahal sebagaimana tugas nabi
sendiri, pada dasarnya adalah
untuk mensejahterakan dan
memberikan bimbingan pada
manusia seluruhnya. Selain itu,
dalam sistem kekhalifahan, juga
tidak ada pemisahan kekuasaan
yang tegas antara eksekutif,
legislatif dan yudikatif.
Adanya kecenderungan
romantisme masa lalu itulah maka
kesesuaian antara Islam dan
demokrasi di masyarakat Islam
menjadi persoalan yang rumit.
Selain karena anggapan awal
bahwa demokrasi adalah ide Barat
yang sekuler dan tidak mengaku
Tuhan, mereka juga
mempertanyakan dimana
meletakkan kedaulatan Tuhan
diantara kedaulatan rakyat dan
aturan negara.
Tetapi kedaulatan Tuhan
itu sesungguhnya bisa diketahui
38 Ahmad Fuad Fanani, “Islam dan Tantangan Demokratisasi”, KOMPAS, 26 Pebruari 2005, hal 46.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 122
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
lewat kehendak masyarakat atau
dengan memenuhi kedaulatan
rakyat. Sebab pada dasarnya yang
sering dikatakan sebagai hukum
atau kehendak Tuhan oleh
sebagian masyarakat itu
sesungguhnya adalah penafsiran
manusia yang sangat beragam
dan tidak terdapat kebenaran
Tunggal. Oleh karenanya, visi etik
Al-Qur’an yang mengajarkan
tentang penegakkan hukum,
shuro’, al-‘adalah, dan al-musawah
adalah pilar bagi tatanan
demokrasi itu sendiri.
Dalam pandangan Olivier
Roy, perdebatan pada istilah atau
konsep Islam dan demokrasi, pada
saat ini bukanlah menjadi
persoalan yang terlampau penting.
Yang lebih penting adalah adalah
persoalan dukungan dan
keterlibatan masyarakat untuk
melakukan pembelajaran dan
praktik demokrasi. Tentu saja ini
berlaku pada sepanjang waktu,
kalangan atas dan bawah, serta
dalam keadaan damai atau konflik.
Sebab demokratisasi akan bisa
ditegakkan pada masyarakat
nyata, jadi bukan pada hal atau
visi abstrak yang diinginkan
masyarakat.39
Pada wilayah ini, maka para
aktor demokrasi yang berbeda
mesti memberikan pemahaman
internal tentang konsep yang
selanjutnya ditransformasikan
menjadi hal yang praktis dan
dipahami masyarakat. Jadi, bukan
hanya melakukan permainan
retorika istilah atau definisi
administratif yang membingungkan
rakyat.
Dalam kasus Mesir,
sebelum ini, Presiden Mesir dipilih
parlemen dan kemudian nama
presiden yang disetujui parlemen
itu diajukan kepada rakyat untuk
diminta persetujuan melalui
referendum. Partai Nasional
Demokrasi (NDP) pimpinan Hosni
Mubarak yang mengasai kursi di
parlemen selama ini selalu
mengajukan nama Hosni Mubarak
sebagai calon tunggal dan berhasil
memenangi pemilihan secara
telak.
Kemudian nama yang
disetujui parlemen itu diajukan
kepada rakyat melalui referendum,
yang juga selalu mendapat
dukungan lebih dari 90 persen. 39 Olivier Roy, Globalised Islam: The Search for a New Ummah, 2004.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 123
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
Mubarak yang berkuasa di Mesir
sejak tahun 1981, dalam forum
pertemuan dengan tokoh-tokoh
masyarakat dan pemerintah di
Universitas Menoufia, sekitar 70
kilometer arah utara kota Cairo
menegaskan, negara ini butuh
kebebasan dan demokrasi lebih
besar.40
Pemilihan Presiden akan
dilakukan secara langsung dan
rahasia untuk memberikan
kesempatan kepada partai-partai
politik berlomba dalam pemilihan
presiden dengan jaminan
mengijinkan lebih dari satu
kandidat agar rakyat memilih
diantara mereka sesuai dengan
kehendaknya. Hal ini mendapat
sambutan yang sangat positif dari
peserta yang hadir, dengan cara
memberikan applaus dan berdiri
sambil meneriakkan “hidup
Mubarak, hidup Mubarak,
pemimpin kebebasan dan
demokrasi”. Namun hal ini perlu
secepatnya dibuat perangkat
ketatanegaraan untuk
melaksanakan pemilu yang
dicanangkan oleh Mubarak,
sehingga Mubarak tidak hanya
40 Berita, “Mesir Akan Gelar Pemilu Presiden Secara Langsung”, KOMPAS, 27 Pebruari 2005, hal 1.
beretorika, melainkan memiliki
keinginan untuk menata
pemerintahan Mesir kearah yang
lebih demokratis.
Presiden Mesir yang telah
menjabat selama empat periode
itu mengatakan, inisiatif perubahan
tersebut, yang diakui benar-benar
berasal dari pendiriannya, butuh
konsolidasi bagi upaya lebih
terciptanya kebebasan dan
demokrasi. Ia mengungkapkan,
amandemen konstitusi itu akan
ditawarkan kepada rakyat melalui
referendum sebelum sistem
tersebut dilaksanakan secara
resmi pada pemilu presiden,
September 2005. Jika hal ini
menjadi kenyataan, ini merupakan
sejarah dalam politik di Mesir,
dimana kesempatan diberikan
kepada semua orang yang mampu
mewujudkan aspirasi rakyat dan
keamanan untuk maju dalam
pemilihan presiden dengan
dukungan parlemen dan rakyat.
Pernyataan pemimpin
paling senior di dunia Arab ini
merupakan kejutan luar biasa yang
akan membawa dampak tidak saja
untuk Mesir, melainkan juga dunia
Arab. Diduga kuat perubahan yang
dihenbuskan Hosni Mubarak
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 124
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
tersebut akibat tekanan dari dalam
negeri dan dunia internasional.
Seperti dimaklumi, Presiden
AS George Walker Bush dalam
pidato kenegaraannya pada
pertengahan Pebruari 2005,
secara terang-terangan meminta
Mesir dan Arab Saudi melakukan
reformasi politik dan ekonomi.
Presiden Bush saat itu
mengatakan Mesir hendaknya
tidak hanya berhasil memimpin
proses perdamaian di Timur
Tengah, tetapi juga berhasil
memimpin gerakan reformasi di
kawasan tersebut. Meskipun
pernyatan Bush mendapat sindiran
dari Presiden Rusia, Vladimir
Putin, yang mengatakan jangan
memanipulasi isu demokrasi untuk
kepentingan kebijakan luar negeri
sendiri.
AS berpendapat, reformasi
dunia Arab harus dimulai dari
Mesir dengan memanfaatkan
momentum pemilu presiden Mesir
pada September 2005. Kedua,
mendorong kaum oposisi dan opini
umum Mesir untuk meningkatkan
tuntutan melalui unjuk rasa dan
seminar agar dilakukan reformasi
substansial di Mesir. AS ingin
membujuk Uni Eropa dan PBB
ikut menekan pemerintah Mesir
agar lebih memberi kebebasan
dalam semua aspek kehidupan.
AS khususnya dibawah
kepemimpinan Presiden George
W. Bush, semakin mendorong
demokratisasi di kawasan Timur
Tengah karena melalui proses itu
ekstremisme bisa ditekan.
Kebijakan itu semakin
diperlihatkan secara gamblang,
misalnya AS mengecam
penahanan Nour, sampai pada
penangguhan rencana kunjungan
Menlu Condoleezza Rice karena
soal itu.
Proses demokratisasi di
Timur Tengah yang sedang
digalakkan oleh AS, dimulai dari
Irak, Palestina, Arab Saudi dan
sekarang Mesir, akan semakin
menekan rezim-rezim yang tidak
demokratis di kawasan ini. Yang
pada akhirnya, demokrasi akan
menjadi ideologi bagi sebagian
besar masyarakat Timur Tengah,
sehingga memperkuat tesis
besarnya Francis Fukuyama, “The
End of History” dan yang menjadi
pemenangnya adalah demokrasi
dengan gaya AS.
Didalam negeri, gerakan
menolak perpanjangan jabatan
Presiden Mubarak dan peralihan
kekuasaan dengan sistem
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 125
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
waris/keturunan untuk mencegah
putra Mubarak, Jamal Mubarak,
dicalonkan, semakin kuat.
Pengaruh Jamal Mubarak terakhir
ini semakin kuat berkat jabatannya
sebagai Kepala Biro Politik Partai
Nasional Demokrasi yang
berkuasa.41
Sebuah gerakan dengan
nama “kifayah” mengeluarkan
pernyataan politik yang
ditandatangani sekitar 3.000
cendikiawan Mesir, pernyataan
tersebut berbunyi: “Tidak
perpanjangan jabatan, tidak sistem
warisan”. Menurut pemimpin
redaksi harian Al-Araby yang
beroposisi, Abdul Halim Kandil,
gerakahan kifayah tidak
ditunggangi partai-partai oposisi,
tetapi sebuah gerakan spontanitas
yang berangkat dari kesadaran
rakyat yang berlatar belakang dari
berbagai ideologi.
Kandil lebih jauh
menjelaskan, gerakan kifayah
memiliki tiga program. Pertama,
menggelar unjuk rasa yang sudah
dilakukan lima kali; Kedua, akan
mengajukan kandidat presiden
dan wakil presiden yang namanya
akan disampaikan pada bulan
41 KOMPAS, 27 Pebruari 2005, hal 11.
Maret 2005; Ketiga, gerakan di
parlemen untuk menyiapkan
undang-undang yang akan
menegaskan bahwa parlemen saat
ini tidak konstitusional dan tidak
sah mencalonkan kembali
Presiden Hosni Mubarak.
Dalam sebuah jajak
pendapat yang diselenggarakan
oleh Al-Jazeera Net menunjukkan
mayoritas mutlak menolak
perpanjangan jabatan Presiden
Mesir Hosni Mubarak dengan
suara 90,7 persen dan hanya 9,3
persen yang setuju. Jajak
pendapat itu melibatkan 46.942
responden. Hasil jajak pendapat
itu menunjukkan popularitas
Mubarak turun drastis. Mubarak
juga mendapat tekanan karena
dinilai telah membuka jalan bagi
putranya, Jamal Mubarak untuk
menggantikannya.42
Pengaruh Jamal Mubarak
makin kuat, karena ia telah
menempatkan sejumlah loyalis
dalam kabinet baru pimpinan PM
Ahmed Nadhif. Karena itu, dari
segi waktu Presiden Mubarak
melontarkan usulan itu pada saat
yang tepat meskipun
42 Musthafa Abd Rahman, “Tekanan AS dan Domestik Paksa Mesir Berubah”, KOMPAS, 28 Pebruari 2005, hal 3.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 126
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
sesungguhnya terlambat. Jamal
kini memimpin kelompok generasi
muda dalam pertarungan dengan
generasi tua atau pengawal lama
dalam memperebutkan pengaruh
di partai dan pemerintahan.
Bersinarnya bintang Jamal
yang begitu cepat sempat
menkhawatirkan kalangan oposisi
dan kelompok independen atas
terjadinya peralihan kekuasaan
secara warisan dari Mubarak
kepada Jamal seperti yang terjadi
di Suriah. Isu Jamal Mubarak pun
terus menjadi polemik di Mesir
hingga kini.
Dengan pertimbangan usia
yang sudah tidak muda lagi,
Mubarak praktis hanya mampu
memperpanjang satu masa
jabatan lagi. Jika Mubarak
memenangkan pemilu bulan
September 2005, berarti usia pada
akhir jabatannya mencapai 82
tahun. Maka tak ada pilihan lain
bagi Mubarak kecualai
memperbaiki citranya diakhir
periode jabatannya, dengan
menerapkan sistem demokrasi
yang hakiki sesuai tuntutan
internal dan internasional.
Mubarak juga bisa menepis
tuduhan tengah mempersiapkan
Jamal Mubarak untuk
menggantikannya dengan cara
warisan. Karena melalui sistem
pemilu langsung dengan
melibatkan banyak calon,
siapapun harus bersaing secara
fair dan transparan untuk
mendapatkan kursi Presiden.
Dalam konteks situasi
makro Mesir dan dunia Arab,
sesungguhnya usulan Mubarak
merupakan hasil akumulasi politik
didalam negeri dan dunia Arab.
Usulan amandemen itu
sebenarnya sudah bagian dari
agenda dialog nasional antara
NDP dan partai-partai oposisi
tentang reformasi. Dialog tersebut
menghasilkan kesepakatan
mengenai pentingnya amandemen
konstitusi guna mengakomodasi
perubahan dikancah politik dalam
negeri, dunia Arab dan dunia
Internasional. Usulan itu juga
merupakan refleksi dan
kesepakatan politik baru dalam
masyarakat Mesir tentang
keharusan peralihan dari sistem
multipartai terbatas pada sistem
demokrasi komprehensif.
Usulan Mubarak juga bisa
dipahami dari munculnya
kecenderungan reformasi dalam
tubuh pemerintahan dan partai
yang berkuasa. Sayap reformis
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 127
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
dalam pemerintahan dan partai
yang berkuasa melihat pentingnya
rakyat Mesir berpartisipasi efektif
dalam politik dan ekonomi. Pada
tahun 2004, telah terjadi gerakan-
gerakan reformasi penting di
Mesir. Maret 2004, Mubarak
mensponsori konferensi tentang
reformasi di dunia Arab di Gedung
Perpustakaan Alexandria, dan
Mubarak juga ikut mendukung
dokumen Alexandria yang
dikeluarkan oleh konferensi
tersebut.
Namun kalangan oposisi
Mesir banyak juga yang bersikap
skeptis dan tidak percaya pada
komitmen baru Mubarak. Mereka
mengatakan hal itu hanya sebuah
kamuflase. Dikatakan juga,
Mubarak akan tetap terpilih
dengan sistem yang ada. Pemilu
Presiden yang terbuka telah lama
didesakkan kelompok oposisi,
tetapi Mubarak menolak. Tiba-tiba
Mubarak menyatakan reformasi
pemilu adalah sesuatu yang urgen.
Pemerintahan Mubarak telah
menghadapi peningkatan tekanan
dari domestik dan dari AS.
Hampir semua partai
oposisi dan pendukung reformasi
menyambut baik usulan Mubarak,
seperti yang dikatakan Rifaat el-
Said, pemimpin Partai Tagammu,
oposisi Mesir, “kami telah
menggusur gunung itu, hal ini
harusnya bisa membuka gerbang
menuju demokrasi.” Namun
mereka menilai usulan itu tidak
serius dan hanya sekedar
kosmetik politik. Kalangan oposisi
yakin Mubarak kemungkinan besar
tetap bertahan setelah pemilu
presiden September 2005.
Meski pada umumnya
skeptis, Ayman Nour, penentang
keras sistem lama dan ditangkap
bulan Januari 2005 oleh polisi,
memuji pengumuman Mubarak
tersebut dari penjara. Itu adalah
langkah berani dan penting. Tetapi
sistem baru tampaknya tidak
memungkinkan seseorang yang
dikucilkan pemerintahan sekarang
tampil menandingi Mubarak pada
pemilu presiden yang akan datang.
Oposisi menyerukan
reformasi lebih jauh, termasuk
keleluasaan bagi partai politik.
Oposisi juga menyerukan
diakhirinya pemberlakuan keadaan
darurat selama 25 tahun terakhir di
Mesir. Peraturan itu tidak
memungkinkan aktivis politik
terkenal mencalonkan diri. Penulis
dan feminis Mesir, Nawal el-
Saadawi, Sosiolog Said Eddin
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 128
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
Ibrahim, dan mantan anggota
oposisi parlemen Mohammed
Farid Hassanein, tampaknya tak
mungkin menjadi calon presiden
dengan sistem itu karena cacat
politik. Juru bicara gerakan Kifayah
(cukuplah Sudah), George Ishaq
mengatakan langkah Mubarak itu
tidak lengkap.43
Terlepas dari apapun latar
belakangnya pernyataan yang
dikeluarkan oleh Hosni Mubarak,
apakah akibat tekanan oposisi
didalam negeri ataupun tekanan
AS, atau karena Presiden Hosni
Mubarak secara pribadi mendapat
pencerahan, namun hal ini
melegakan sebagian besar
masyarakat Mesir dan juga dunia
Arab.
Pertama-tama bukan
karena demokrasinya itu sendiri,
tetapi karena melalui sistem itulah
masyarakat melihat jendela
terbuka bagi penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih sehat dan
mengakomodasi kepentingan
rakyat. Pemilihan Presiden
langsung memang bukan jaminan
bahwa segala sesuatu akan
berubah segera menjadi lebih baik.
43KOMPAS, 28 Pebruari 2005, hal 3.
Namun paling tidak hak dan
kepentingan rakyat diakui, dan
kedudukan presiden sendiri
menjadi semakin akuntabel,
demikian pula legitimasinya.
Berkenaan dengan siapa
yang akan menjadi presiden pasca
perubahan, dalam pandangan
pakar politik dari Pusat Kajian
Politik dan Strategis Al-Ahram, Dr.
Diya Rashwan, Presiden Mesir
mendatang kemungkinan besar
tetap dari lembaga militer karena
besarnya pengaruh lembaga itu
sejak revolusi tahun 1952. Seperti
diketahui, presiden Mesir sejak
revolusi tahun 1952 selalu dari
militer, yaitu secara berturut-turut
Presiden Muhammad Najib (1952-
1954), Presiden Gamal Abdul
Nasser (1954-1970), dan Presiden
Anwar Sadat (1970-1981) yang
berasal dari angkatan Darat.
Sedangkan Presiden Hosni
Mubarak (1981-sekarang/2005)
berasal dari angkatan Udara.
Menurut Rashwan, Kepala
Intelejen Mesir saat ini, Omar
Sulaiman, merupakan salah satu
calon kuat presiden Mesir yang
akan datang. Peran Sulaiman
terakhir ini semakin besar, yakni
menangani masalah Israel-
Palestina.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 129
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
Meskipun prinsip demokrasi
dan hak azasi manusia berlaku
universal, dalam penerapan dan
ekspresinya sangat bergantung
pada kondisi riil sebuah negara
dan bangsa. Kualitasnya tidaklah
sama karena sangat bergantung
pada mutu kehidupan setiap
bangsa. Perlu diakui pula, proses
demokratisasi tidaklah sekali jadi,
tetapi memakan waktu dan
berbelit-belit. Tidak jarang
mengalami jatuh bangun, ritme
dan dinamikanya berbeda-beda
setiap negara, sangat bergantung
pada budaya, tingkat kemajuan
sosial ekonomi dan politik.
Adapun rangkaian proses
demokratisasi yang terjadi di Timur
Tengah, diawali oleh pemilihan
Presiden Palestina 9 Pebruari
2005, yang berhasil membawa
Mahmoud Abbas ke puncak
kekuasaan dipuji sebagai langkah
menuju demokrasi dan peluang
memulai reformasi yang telah lama
ditunggu.
Pemilu di Palestina tersebut
sebenarnya bukanlah pemilihan
demokratis pertama di wilayah-
wilayah pendudukan, namun
meninggalnya Yasser Arafat telah
menerbitkan harapan akan muncul
transparansi dalam pemerintahan
Palestina. Pemerintah AS
menyebutnya sebagai “hari
bersejarah” bagi Timur Tengah.
Pujian serupa juga disampaikan
tiga pekan kemudian kepada Irak
yang telah menggelar pemilu
multipartai pertama selama lima
dekade.44
Perubahan-perubahan
serupa yang tingkatannya
berbeda-beda juga terjadi di
negara-negara Arab lainnya
menambah trend reformasi menuju
demokrasi di kawasan itu. Tak
ketinggalan, Arab Saudi juga telah
maju selangkah dalam
mendemokrasikan kerajaannya
yang ultrakonservatif, yakni untuk
pertama kalinya menggelar pemilu
di tingkat dewan kota. Kerajaan itu
menjanjikan perempuan diizinkan
berpartisipasi dalam pemilihan
mendatang.
Di Uni Emirat Arab, yang
menutup pintu bagi partai-partai
politik dan tidak pernah menggelar
pemilu, desakan agar majelis
negara itu dirubah menjadi sebuah
badan terpilih semakin keras. Di
Bahrain, yang juga melarang
pendirian partai-partai politik, Raja 44 Berita Internasional, “Demokrasi Mulai Merebak di Timur Tengah”, Media Indonesia, 2 Maret 2005, hal 25.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 130
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
Hamad telah berjanji akan
memenuhi tuntutan kelompok
oposisi untuk membentuk
pemerintahan yang lebih
demokratis dan representatif. Di
Lebanon, pembunuhan mantan
PM Rafiq al-Hariri, telah
mendorong gerakan yang
menuntut rezim yang lebih
demokratis, yang bebas dari
pengaruh Suriah.
Revolusi 2011 Revolusi Mesir 2011 adalah
demonstrasi besar-besaran yang
terjadi di seluruh Mesir menuntut
agar Presiden Hosni Mubarak
yang telah berkuasa selama 30
tahun untuk melepaskan
jabatannya. Aksi ini merupakan
salah satu aksi revolusi seperti
yang terjadi di Tunisia. Pemerintah
berusaha meredam usaha para
demonstran yang menggalang
aksinya dari internet dengan cara
memberhentikan saluran internet
dan komunikasi hingga batas
waktu yang tidak ditentukan. Putra
dari Presiden, Gamal Mubarak
dilaporkan telah meninggalkan
Mesir dan menuju London
bersama keluarga. Setelah
demonstrasi berlangsung selama
18 hari, akhirnya Presiden
Mubarak mundur pada tanggal 11
Februari 2011.
Demonstrasi massa yang
memprotes kepemimpinan
Mubarak di Tahrir Square sejak 25
Januari 2011 berhasil
menumbangkannya pada 12
Februari 2011. Meskipun Mubarak
berencana menggelar pemilu
presiden pada bulan September.
Ia pun menjanjikan amandemen
konstitusi. Tetapi, para
demonstran menekannya untuk
mundur secepatnya. Pada 10
Februari beredar rumor bahwa
Mubarak akan mundur.
Puncaknya, Wakil Presiden Omar
Suleiman mengumumkan
mundurnya Mubarak melalui
televisi nasional Mesir dan
menyerahkan kekuasaannya
kepada militer.
Kronologi Revolusi Mesir.
25 Januari, Warga mulai
berdemonstrasi menentang
pemerintah yang diikuti ribuan
warga di Kairo dan berbagai
propinsi lainnya. Demonstrasi yang
disebut dengan nama “Hari
Kemarahan” itu berlangsung atas
permintaan para aktivis Mesir
melalui jejaring sosial Facebook.
Empat orang termasuk seorang
aparat keamanan tewas dalam
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 131
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
bentrokan antara para demonstran
dan aparat.
26 Januari. Demonstrasi
tetap berlanjut meski Kementerian
Dalam Negeri Mesir telah
mengeluarkan peringatan
menyusul peningkatan jumlah
korban tewas mencapai lima
orang, dan puluhan cedera.
Ratusan orang ditangkap termasuk
delapan wartawan dan jurnalis.
Seluruh jaringan internet diputus
dalam rangka mencegah
tersebarnya berita soal tuntutan
reformasi ke seluruh Mesir. 27
Januari. Demonstrasi berlanjut di
Kairo dan sejumlah kota besar
Mesir selama tiga hari berturut-
turut dengan meneriakkan slogan
anti-rezim Mubarak.
Bentrokan antara ratusan
demonstrasi dan aparat keamanan
semakin meningkat. Pasukan anti-
huru-hara menggunakan gas air
mata dan peluru karet di Propinsi
Ismailiyah dan kota Suez. Ketua
Dewan Nasional untuk Reformasi,
Mohammad El Baradei, meminta
Hosni Mubarak untuk segera
turun. El Baradei juga
menyampaikan kesiapannya untuk
memegang kontrol pemerintahan
transisi jika Mubarak bersedia
turun.
Presiden Amerika Serikat,
Barack Obama menekankan
bahwa tindak kekerasan bukan
solusi yang tepat untuk kondisi
Mesir, dan diperlukan reformasi
politik demi menjaga kepentingan
rakyat.
28 Januari. - Para pejabat
Mesir sebelum dimulainya
demonstrasi “Hari Kemarahan,
memutus seluruh saluran internet
dan mengerahkan pasukan
keamanan dalam jumlah besar di
Kairo. - Terjadi bentrokan hebat
antara polisi dan para demonstran
di kota Suez. - Tewas dan
cederanya puluhan orang serta
ditangkapnya ratusan orang dalam
demonstrasi yang digelar setelah
shalat Jumat di beberapa kota
besar termasuk ibukota, Kairo. -
Sejumlah kantor milik partai
berkuasa pimpinan Hosni
Mubarak, juga dibakar di berbagai
kota. - Barak Obama meminta
Mubarak untuk segera mengambil
kebijakan kongkret guna
merealisasikan reformasi politik
dan menghentikan tindak
kekerasan terhadap para
demonstran. - Mubarak
membubarkan kabinetnya dan
membentuk pemerintahan baru.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 132
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
29 Januari. - Ketua Dinas
Intelijen Mesir, Omar Suleiman,
diangkat sebagai Wakil Presiden,
dan Ahmad Shafiq, yang dulu
menjabat sebagai menteri
penerbangan sipil, ditunjuk untuk
membentuk pemerintahan baru. -
Berlanjutnya demonstasi di Kairo
dan kota-kota Mesir paca pidato
Mubarak terjadi di saat para
demonstran tetap menuntut
lengsernya Mubarak. Reuters juga
melaporkan bahwa jumlah korban
tewas mencapai 68 orang. -
Peningkatan jumlah korban tewas
di berbagai wilayah Mesir di hari
kelima demonstrasi. Polisi sudah
tidak dapat menangani situasi.
Personil militer dikerahkan untuk
memulihkan kondisi. - Terjadi
pemberontakan di sejumlah
penjara Mesir, serta aksi tembak
para sipir penjara terhadpa para
tahanan. Puluhan narapidana
tewas.
30 Januari. - Para warga
asing yang berdomisili di Mesir
mulai dievakuasi menyusul
peningkatan instabilitas. - Jumlah
demonstran di Bundaran Tahrir,
Kairo mencapai puluhan ribu
orang. - Menteri Luar Negeri
Amerika Serika, Hillary Clinton,
menuntut penyusunan
perencanaan di Mesir yang tidak
menyebabkan kekosongan
kekuasaan. Clinton menyatakan
bahwa penentuan wakil presiden
tidak cukup. - Mendagri Mesir
menginstruksikan penempatan
pasukan keamanan di seluruh kota
Mesir kecuali di Bundaran Tahrir,
Kairo. - Obama menyatakan
mendukung proses peralihan
kekuasaan secara damai yang
menjawab tuntutan rakyat Mesir. -
Pemerintah Mesir menutup
aktivitas jaringan televisi Aljazeera
di Mesir dan menutup transmisi
sinyal satelit Nilesat untuk program
Aljazeera di sebagian kawasan
Timur Tengah.
31 Januari. - Hosni
Mubarak, menginstuksikan
perdana menteri barunya untuk
mulai berunding dengan kelompok
oposisi dan berupaya
menyediakan lapangan kerja baru
dan juga untuk mengakhiri inflasi. -
Ketua Kebijakan Luar Negeri Uni
Eropa, Catherine Ashton, meminta
Mubarak segera berunding dengan
kelompok oposisi. - Mubarak
menunjuk wakilnya, Omar
Suleiman untuk berunding dengan
seluruh kelompok oposisi guna
membicarakan amandemen
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 133
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
undang-undang dasar dan
reformasi dewan yudikatif.
01 Februari. - Lebih dari
satu juga warga berdemonstrasi di
Bundaran Tahrir mengiyakan
tuntutan berbagai kelompok
oposisi yang tetap melanjutkan
demonstrasi hingga runtuhnya
rezim Mubarak. - Hosni Mubarak
dalam pidatonya di televisi
bersikeras akan mempertahankan
jabatannya namun tidak akan
mencalonkan diri dalam pemilu
mendatang. Ia juga menyatakan
akan berupaya keras
menyerahkan kekuasaan secara
damai. - Sekelompok badui dan
para preman bayaran Mubarak,
mendadak muncul di Bundaran
Talat di dekat Bundaran Tahrir dan
menyerang warga yang tengah
berdemonstrasi.
02 Februari. - Para
demonstran memamerkan
demonstrasi akbar di hari Jumat
guna memaksa Hosni Mubarak
meletakkan jabatannya. - Sekejen
Liga Arab, Amr Moussa,
mengatakan akan memikirkan
secara serius pencalonan dirinya
dalam pemilu presiden
mendatang. - Ketua Parlemen
Mesir menyatakan akan
melakukan sejumlah perubahan
dalam undang-undang dasar. Ia
juga mengkonfirmasikan
pembekuan seluruh aktivitas
parlemen sampai lembaga ini
selesai meninjau protes
menyangkut pemilu presiden
sebelumnya. - Bundaran Tahrir di
Kairo kembali bergolak dan para
demonstran menolak
meninggalkan bundaran tersebut.
03 Februari. - Kelompok
oposisi utama Mesir menolak
usulan Perdana Menteri Mesir,
Ahmad Shafiq, untuk berunding.
Perundingan hanya akan
dilakukan setelah Mubarak mundur
dan pembentukan pemerintahan
persatuan nasional. - Sekelompok
orang bersenjata pro-Mubarak
menembaki warga di Bundaran
Tahrir. Aparat keamanan Mesir
juga menginstruksikan para
wartawan agar segera
meninggalkan hotel-hotel di sekitar
Bundaran Tahrir. - Omar Suleiman
menyatakan bahwa Mubarak dan
putranya tidak akan ikut dalam
pemilu presiden mendatang. Ia
juga menginstruksikan penindakan
tegas terhadap para pelaku
kerusuhan dan instabilitas di
Bundaran Tahrir. - Mubarak
menyatakan bersedia meletakkan
jabatannya, namun ia khawatir
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 134
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
aksinya ini akan menyeret negara
ke dalam instabilitas yang lebih
dalam.
04 Februari. - Lebih dari
satu juga warga Mesir menggelar
shalat Jumat di Bundaran Tahrir,
dan khatib shalat menuntut
masyarakat untuk tetap bertahan
hingga tergulingnya rezim
Mubarak. - Kota Iskandariyah dan
sejumlah kota lainnya berkobar. -
Sejumlah kota lainnya juga
mengikuti demonstrasi yang
berlangsung dahsyat di Kairo dan
beberapa kota besar Mesir.
05 Februari. - Para anggota
partai berkuasa mengundurkan diri
dan Hisam Badrawi ditunjuk
sebagai ketua baru partai ini.
Adapun jabatan sekjen penentu
kebijakan partai tersebut yang
sebelumnya milik Gamal Mubarak,
diserahkan kepada Sifwat Sharif. -
Delegasi khusus Amerika Serikat,
Frank Wisner berkunjung ke Mesir
dan menyatakan bahwa dalam
kondisi seperti saat ini, Mubarak
harus tetap bertahan di kekuasan
untuk mengatur perubahan “ideal”
dalam proses transisi kekuasaan
secara damai. Namun Jubir
Kementerian Luar Negeri Amerika
Serikat, Philip Crowley, menilai
pernyataan Wisner itu sebagai
pendapat pribadi dan dalam hal ini
ia tidak mengkonfirmasikannya
terlebih dahulu dengan
Washington. - Panglima Militer
Mesir, Hasan al-Rudaini, meminta
masyarakat untuk mengosongkan
Bundaran Tahrir. - Mubarak
bersidang dengan para menteri
ekonomi, perdagangan, dan
perminyakan di kabinet barunya.
06 Februari. - Kelompok-
kelompok oposisi termasuk
Ikhwanul Muslimin berunding
dengan Wakil Presiden, Omar
Suleiman. 07 Februari. - Tuntutan
pengadilan terhadap Habib al-Adli,
mantan menteri dalam negeri
Mesir. 08 Februari. - Pengawas
hak asasi manusia
mengkonfirmasikan tewasnya 300
orang dalam demonstrasi di Mesir.
- Para demonstran memblokade
gedung parlemen dan kabinet.
09 Februari. - Dalam
bentrokan antara pasukan polisi
dan para demonstran di kota al-
Kharga, di Propinsi al-Wadi al-
Jadid, lima orang tewas dan 100
orang cedera.
10 Februari. - Dewan Tinggi
Angkatan Bersenjata Mesir
menggelar sidang tanpa kehadiran
Hosni Mubarak dan merilis
deklarasi nomor satu serta
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 135
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
menegaskan bahwa dewan ini
akan menggelar sidang secara
kontinyu untuk mengontrol kondisi
Mesir. - Sekitar tiga juga
demonstran berkumpul di
Bundaran Tahrir, di jembatan-
jembatan dan tempat-tempat
umum menuntut pengunduran diri
Mubarak. - Mubarak merespon
tuntutan rakyat dan menyatakan
tidak akan mengundurkan diri dari
kekuasaan sampai masa tugasnya
berakhir, dan menyerahkan
wewenang kepada wakilnya Omar
Suleiman. - Omar Suleiman juga
berpidato setelah pidato Mubarak.
Suleiman berusaha meyakinkan
rakyat Mesir bahwa Mubarak
berkomitmen untuk melimpahkan
kekuasaan secara damai dan
bertindak berdasarkan undang-
undang dasar. Oleh karena itu,
Suleiman berharap agar segera
pulang ke rumah mereka masing-
masing. - Para demonstran
mengamuk setelah mendengar
pidato Omar Suleiman dan Hosni
Mubarak. Tekad mereka untuk
menggulingkan rezim diktator
Mubarak semain membara.
11 Februari. - Jutaan warga
Mesir di Kairo dan di berbagai kota
berdemonstrasi. Di sisi lain, ribuan
orang berarak menuju istana
presiden di ibukota. Jumlah
demonstran saat menunaikan
shalat Jumat mencapai lebih dari
juga orang. - Militer merilis
deklarasi nomor dua yang di
dalamnya disebutkan kondisi
darurat dan berjanji akan
mencabutnya setelah situasi
kembali normal. Pelaksanaan
pemilu bebas dan transparan juga
di antara janji-janji militer. - Omar
Suleiman secara mengejutkan
mengumumkan pengunduran diri
Mubarak dari kekuasaan yang
telah dicengkeramnya selama 30
tahun. Seluruh wewenang
Mubarak diserahkan kepada militer
mesir. - Dewan Tinggi Angkatan
Bersenjata Mesir merilis deklarasi
nomor tiga yang menyebutkan
bahwa dewan ini akan
menggantikan pemerintahan posisi
pemerintahan yang tidak didukung
oleh rakyat Mesir. - Kegembiraan
dan suka cita menyelimuti seluruh
Mesir dan dunia Arab setelah
rezim Mubarak secara resmi
terguling akibat perlawanan rakyat
Mesir selama 18 hari.
Setelah Revolusi Mesir
tahun 2011, Hosni Mubarak yang
menjabat selama 14 Oktober 1981
hingga 11 Februari 2011 dipaksa
untuk mengundurkan diri dari
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 136
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
jabatannya. Pada 10 Februari
2011, Mubarak menyerahkan
kekuasaan presiden kepada Wakil
Presiden Omar Suleiman,
sehingga menjadikan Suleiman
sebagai presiden de facto. Setelah
pengunduran diri Mubarak, posisi
Presiden Mesir secara resmi
kosong dan Dewan Tertinggi
Angkatan Bersenjata pimpinan
Field Marshal Mohamed Hussein
Tantawi mengontrol penuh
kekuasaan eksekutif. Pada 30 Juni
2012, Mohamed Morsi dilantik
sebagai Presiden Mesir, setelah
memenangkan pemilu presiden
Mesir 2012 pada 24 Juni.
Pemilu Parlemen Pertama
Hasil akhir pemilihan parlemen
pertama Mesir setelah jatuhnya
Presiden Husni Mubarak,
menetapkan partai-partai beraliran
Islam sebagai pemenang. Partai
Kebebasan dan Keadilan, FJP -
yang merupakan partai politik milik
Ikhwanul Muslimin- meraih 47,18%
suara, seperti diumumkan Komisi
Pemilihan Umum Mesir, Sabtu 21
Januari.
Dengan perolehan itu, FJP
akan menguasai 235 kursi di
Majelis Rakyat. Tempat kedua
diduduki oleh kubu konservatif,
Partai Salafist al Nur dengan 121
kursi atau 25% suara. Sementara
partai beraliran liberal, Partai
Wafd, meraih 36 kursi dan partai
sekuler, Koalisi Mesir, memiliki 33
kursi.
Dengan hasil tersebut maka
partai-partai Islam menguasai
sekitar dua pertiga parlemen.
Ikhwanul Muslimin merupakan
organisasi yang dilarang di bawah
pemerintahan Presiden Husni
Mubarak. Kemenangan mutlak ini
membuat FJP sudah memutuskan
seorang politisi seniornya, Saad al-
Katatni, untuk ditunjuk sebagai
ketua Majelis Rakyat.
Kehawatiran militer
terhadap ancaman dominasi
Islamis di tubuh pemerintahan
Mesir nampak tergambar jelas dari
putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) yang tiba-tiba membubarkan
Parlemen. Berdasarkan hasil
pemilu, 70 persen anggota
parlemen berasal dari partai Islam
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 137
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
FJP yang juga sayap politik
Ikhwanul Muslimin dan An Nur
yang berafiliasi ke Salafi.
Pembacaan tentang
besarnya peluang calon dari
Islamis, Muhammad Mursi
memenangi pemilihan presiden,
menjadi kekhawatiran tersendiri.
Dengan pembubaran parlemen
yang kemudian diambil alih oleh
pemerintahan transisi dari
kalangan militer, maka kekuatan
kelompok Islamis bisa direduksi.
Pembubaran parlemen hasil
pemilu dilakukan MK pada hari
Kamis (14/6). MK menyatakan
bahwa pemilu tahun lalu untuk
memilih anggota parlemen
melanggar undang-undang dasar.
Pengumuman resmi pembubaran
parlemen dikeluarkan ketika Mesir
menggelar pemilihan putaran
kedua untuk memilih pengganti
Husni Mubarak, yang dipaksa
menyerahkan kekuasaan tahun
lalu. (Www.bbc.co.uk, 17/6)
Ada dua skenario besar
memandang kemungkinan hasil
pilpres. Pertama, jika Mursi yang
didukung oleh kelompok Islamis
dari Partai FJP (sayap politik
Ikhwanul Muslimin) maupun Partai
An Nur (dari kelompok salafi)
menang dalam pilpres putaran
kedua dan otomatis menjadi
Presiden Mesir pertama pasca
Mubarak, maka tak ada dominasi
Islamis di dalam pemerintahan
Mesir.
Setidaknya, parlemen
sebagai mitra pemerintah yang
awalnya dikuasai kelompok Islamis
(FJP dan An Nur), kini telah
dinyatakan tidak absah lagi. Maka
tak ada yang bisa melegitimasi
kebijakan-kebijakan Mursi
kedepan.
Saat ini kendali atas
pemerintahan Mesir bisa dikatakan
masih berada di tangan militer
sebagai pemangku transisi.
Lembaga Yudikatif (MK) yang
posisinya sangat urgen, juga
seirama dengan nada hasrat
militer. Militer memposisikan diri
sebagai oposisi pemerintah
sehingga arah politik Mesir
kedepan akan penuh tarikan
kepentingan politik. Militer juga
telah membuat aturan untuk
mengendalikan UU dan anggaran
negara. Jika ini terjadi, Presiden
terpilih bak dikebiri. Demokrasi
Mesir hanya simbolik semata.
Bahkan tak menuntup
kemungkinan terjadinya chaos
karena militer telah melakukan
setting agar Shafiq lah yang
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 138
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
terpilih sebagai Presiden Mesir.
Militer telah mengumumkan, jika
ada yang protes dengan
pengumuman hasil pilpres, maka
militer akan melakukan
penangkapan.
Spekulasi kedua, jika Shafiq
yang berlatar belakang militer naik
ke tampuk kekuasaan, maka
ucapan mantan Direktur Jenderal
Badan Energi Atom Internasional
(IAEA) Mohamed El Baradei bisa
menjadi kenyataan. Kata El
baradei, Mesir akan menderita di
bawah kondisi yang lebih buruk
ketimbang kondisi di bawah
kediktatoran Mubarak. Militer akan
membawa Mesir berada di bawah
“kekaisaran baru” yang mendirikan
dominasi total di negara itu.
Berkuasanya militer menjadi
babak baru bagi serangan balik
terhadap euforia “kesuksesan
revolusi” yang belum lama dirasai
manisnya. Kembalinya militer juga
menjadi pukulan telak bagi
kelompok Ikhwanul Mislimin yang
gerakannya telah dikooptasi
selama tiga dekade di bawah
rezim militersime Mubarak.
Kekosongan parlemen dan
konstitusi bisa jadi akan membuat
Shafiq membuat aturan sesuai
seleranya. Termasuk putusan
ekstrim melarang organisasi-
organisasi semacam Ikhwanul
Muslimin jika kelompok ini terus
mengeritik pemerintah. Dengan
alasan stabilitas, seperti dilakukan
Mubarak di masanya.
Semestinya, semanagat
anti Mubarak dikapitalisasi oleh
Ikhwan dan pendukung Mursi agar
dukungan mengalir ke mereka.
Tapi di sisi lain, publik juga belum
yakin dengan sosok Mursi dan
kemana ia akan membawa Mesir
jika terpilih. Kondisi dilema ini,
menyebabkan kalangan muda
enggan memberikan hak pilihnya.
Angka golput pun diperkirakan
lebih tinggi dari pilpres putaran
pertama.
Pemilihan presiden Mohamed Mursi terpilih
sebagai presiden baru Mesir
setelah dinyatakan menang dalam
dalam pemilihan presiden yang
diumumkan pada Minggu
(24/6/2012). Mursi mengalahkan
Ahmad Shafiq dan akan menjadi
presiden pertama Mesir setelah
jatuhnya kekuasaan Hosni
Mubarak.(http://internasional.komp
as.com/read/2012/06/24/2202526/
Mursi.Menangi.Pilpres.Mesir)
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 139
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
Komisi pemilihan umum
Mesir, menyatakan, Mursi dari
Ikhwanul Muslimin menang
dengan 51,7 persen dukungan
dengan total peroleh 13.230.131
suara. Ia mengalahkan Shafiq,
mantan Perdana Menteri Mesir di
era Mubarak, yang memperoleh
suara 48,3 persen atau 12.347.380
suara. Jumlah tersebut hanya
separuh dari jumlah pemilik hak
suara yang diperkirakan mencapai
50 juta suara. Pengumuman
kemenangan Mursi itu disambut
gegap gempita jutaan para
pendukungnya yang berkumpul di
Alun-alun Tahrir, Kairo. Para
pendukung menembakkan
kembang api, bernyanyi, dan
menari bersama.
Awal Demokrasi di Mesir
Jatuhnya kekuasaan Husni
Mubarak diharapkan menjadi awal
terbentuknya demokrasi yang baik
di Mesir. Presiden Mesir yang baru
dilantik Dr Mohamed Moursi
diharapkan mampu menjalankan
amanat rakyat yang telah
dipercayakan melalui pemilihan
umum yang dimenangkannya.
Revolusi Mesir juga bisa menjadi
pelajaran bagi Negara-negara lain
yang masih memiliki persoalan
dalam penegakan demokrasi dan
hak asasi manusia.
Seorang Moursi sepertinya
serius untuk kemudian membuka
ruang bagi demokrasi yang lebih
baik. Dimana baru tiga hari terpilih
sebagai presiden Mesir, Ia
menyatakan berniat menunjuk
seorang perempuan sebagai salah
satu wakil presidennya. Juga, dia
akan mengangkat seorang
penganut Kristen Koptik dan wakil
dari kelompok liberal untuk
menjadi dua wakil presiden
lainnya.
Wacana ini tentu sebuah
kemajuan, apalagi Mesir
merupakan negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam.
Selanjutnya sikap yang diambil
Moursi juga menunjukkan
bagaimana peran perempuan,
kelompok liberal tidak dijadikan
sebagai musuh atau sebatas
saingan politik tetapi juga bisa
dijadikan mitra pembangunan.
Selain itu juga Moursi akan
menempatkan posisi perdana
menteri ditempati golongan
independen bukan karena
Ikhwanul Muslimin cinta
perdamaian, tapi karena mereka
khawatir bakal gagal,” kata
Mohammed el-Gebbah, mantan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 140
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
anggota Ikhwanul Muslimin.
“Beban yang dihadapi terlampau
berat. Mereka ingin orang lain
untuk ikut menanggungnya.”
Untuk jabatan perdana
menteri, beredar nama mantan
Direktur Jenderal Badan Tenaga
Atom Internasional (IAEA),
penerima Nobel Perdamaian,
sekaligus advokat prodemokrasi,
Mohamed El Baradei. Nama lain
yang juga digadang-gadang
adalah mantan Menteri Keuangan
Hazem Beblawi. Siapa yang
terpilih di antara dua orang itu,
belum diketahui secara pasti.
Jadi dengan dibukanya
ruang bagi kelompok minoritas
(Kristen) dan kelompok pro
demokrasi menunjukkan adanya
kemauan untuk memperbaiki Mesir
dalam mewujudkan demokrasi
yang baik. Apalagi dunia
internasional berharap pada
presiden Moursi, walaupun
sebenarnya kepentingan dunia
besar terhadap Mesir, tetapi
sejatinya Mesir harus berubah
pasca jatuhnya Husni Mubarak.
Selanjutnya rancangan demokrasi
yang mungkin akan diperbaharui
oleh Moursi menjadi tonggak baru
kemajuan di negara-negara yang
bertikai seperti Libya, Tunisia dan
mungkin saja selanjutnya Suriah.
Inilah yang menjadi tugas
penting dari pada seorang
presiden, selanjutnya mampu
menerima semua aspirasi
masyarakat. Karena harus
diketahui juga bahwa masih
banyak pendukung Husni Mubarak
yang mungkin saja selanjutnya
sebagai musuh dalam selimut,
tetapi itulah pentingnya kebijakan
pemimpin yang mampu melihat
semua kebutuhan masyarakatnya
tanpa terkecuali.
Di sisi lain, Mursi juga harus
mampu meyakinkan Israel,
tetangganya, bahwa kepentingan
mereka tak akan terganggu meski
kelompok Islam berkuasa.
Penegasan itu penting karena
Mesir pada masa Mubarak adalah
pemerintahan sekuler dan moderat
penghubung kepentingan Amerika-
Israel dan negara-negara Arab
lainnya. Tantangan bagi Mesir
adalah menyeimbangkan semua
kepentingan itu, terutama di
tengah potensi konflik Israel-Iran
yang belakangan meningkat.
Moursi juga punya
pekerjaan rumah yang rumit untuk
berdamai dengan militer. Sebab,
secara de facto, militer masih
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 141
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
menancapkan kekuasaannya.
Dewan Militer telah melucuti
sebagian kekuasaan presiden
melalui dekrit yang dikeluarkan
pasca-pembubaran parlemen.
Dengan dekrit itu, Presiden Mesir
kini tak sepenuhnya memegang
kontrol atas militer. Presiden,
misalnya, tak bisa lagi menyatakan
perang tanpa persetujuan Dewan
Militer.
Dunia internasional,
termasuk Indonesia, berharap
Mesir mampu melewati masa
transisinya ini. Hasil ujian
demokrasi ini akan menjadi tolok
ukur apakah Mesir mampu
menjalani tahap kedua “Musim
Semi Arab”. Setelah tahap
pertama, yaitu mengganti
pemerintahan diktator, kini Mesir
masuk ke tahap membangun
pemerintahan demokratis. Tahap
yang pasti jauh lebih berat karena
lebih mudah menumbangkan
pemerintahan diktator ketimbang
membngun pemerintahan
demokratis yang didukung
rakyatnya.
Krisis 2013 30 Juni akan diingat
sebagai titik tolak lain bagi
Revolusi Mesir. Para penentang
Presiden Muhammad Morsi dari
Ikhwanul Muslimin turun ke jalan
memperingati satu tahun
kekuasaan Morsi di kursi
kepresidenan dengan menuntut
Morsi untuk mundur. Mobilisasi
massa 30 Juni ini merupakan
puncak kampanye petisi
“Tamarod” (Pemberontakan). Para
aktivis menyatakan bahwa mereka
telah mengumpulkan lebih dari 15
juta tanda tangan mendukung
tuntutan agar Morsi mengundurkan
diri. Jumlah ini lebih besar
daripada jumlah pemilih Morsi
dalam pemilihan umum
presidensial tahun lalu. Kedua
belah pihak menyatakan
demonstrasi ini akan sebesar
revolusi 2011 yang menggulingkan
Hosni mubarak meskipun terdapat
kekhawatiran di antara kaum
aktivis bahwa para pendukung
Morsi dan Ikhwanul Muslimin akan
memprovokasi aksi kekerasan.
Sameh Naguib, salah satu
pimpinan Sosialis Revolusioner di
Mesir menulis artikel berikut yang
menganalisis situasi politik di Mesir
menjelang kampanye Tamarod,
sebagaimana dimuat dalam
Catatan Sosialis, jurnal politik
mereka.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 142
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
Krisis Kekuasaan Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslim berkuasa
di tengah kondisi historis yang
mereka sendiri tidak pahami.
Kaum Ikhwanul Muslimin
membayangkan bahwa demokrasi
kotak suara adalah tujuan revolusi
yang harus ditempuh. Mereka
tidak memahami konteks sosial
fundamental dan demokratis dari
revolusi bersejarah yang besar ini.
Kompas mereka tidak
menunjuk pada massa
revolusioner tetapi kepada mereka
yang memiliki kepentingan sama
yaitu pengusaha Mesir, pejabat
Amerika Serikat (AS), kaum
bangsawan Timur Tengah. Mereka
memang telah mampu meyakinkan
ketiga pihak tersebut bahwa
mereka mampu melindungi
kepentingan yang sama
sebagaimana rezim Mubarak
sebelumnya sembari mencoba
memuaskan rakyat Mesir dengan
janji-janji palsu dan slogan-slogan
semu berkedokkan agama.
Akibatnya mereka mencoba
mengosongkan revolusi dari
wataknya sosial dan
demokratisnya demi menjaga
kepentingan pihak-pihak yang
takut terhadap revolusi. Dengan
segera mereka berhadapan
dengan perlawanan berjuta rakyat
yang sebelumnya telah
menggulingkan Mubarak dan
menolak kooptasi. Janji-janji palsu
penguasa yang baru tidak berarti
apapun selain provokasi yang
memicu kemarahan rakyat
terhadap oportunisme Ikhwanul
Muslimin dan pengkhianatan
mereka terhadap revolusi.
Dua pilihan pahit terbentang
di hadapan Ikhwanul Muslimin.
Pertama membuat kesepakatan
dengan sisa-sisa rezim lama dan
kaum semi-oportunis di antara
kaum liberal. Pilihan lainnya
adalah membuat aliansi dengan
kelompok-kelompok Salafi,
termasuk akar-akar sisa mereka di
Said, Mesir atas, dan di antara
perkampungan kumuh perkotaan.
Sejak awal, Ikhwanul
Muslimin telah mengambil langkah
besar menuju pilihan pertama,
dengan konsesi-konsesi yang tak
ada bandingannya terhadap
institusi-institusi militer dan
keamanan, yang mana merupakan
jantung dari rezim sebelumnya.
Namun institusi-institusi tersebut
menerima tawaran di atas dasar
penilaian keliru terhadap
kapabilitas Ikhwanul Muslimin
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 143
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
untuk mengooptasi rakyat dan
mengeringkan kemarahan
revolusioner dengan cara
memanipulasi pemilihan umum.
Bagaimanapun juga setelah
mereka menemukan inkompetensi
Ikhwanul Muslimin, mengetahui
perubahan pesat kesadaran
nasional melawan Ikhwanul
Muslimin, menyadari cepatnya
keruntuhan ekonomi melalui
serangkaian kesalahan-kesalahan
fatal kepemimpinan Ikhwanul
Muslimin, maka mereka mulai
mempertimbangkan ulang tawaran
mereka. Hal ini tampak dalam
kegoyangan, kontradiksi, dan
tegangan dalam pernyataan-
pernyataan para pimpinan tentara.
Hal itu dengan demikian
membuka proses persekutuan
sisa-sisa rezim lama dengan
organisasi-organisasi liberal
menentang Ikhwanul Muslimin.
Kondisi pengepungan yang dialami
Ikhwanul Muslimin dalam
kehidupan sehari-hari telah
membawa mereka pada upaya
pendekatan ulang dengan
kelompok-kelompok Salafi dan
peningkatan penggunaan bahasa
sektarian baik yang diarahkan
terhadap Kaum Kristen Koptik,
Kaum Shia, maupun memberikan
cap kafir pada semua kelompok
penentang Morsi dan Ikhwanul
Muslimin.
Krisis Ekonomi Semenjak naiknya
Muhammad Morsi dan Ikhwanul
Muslim ke kursi kekuasaan,
mereka telah menerapkan
program ekonomi yang sama
dengan Gamal Mubarak dan
Komite Kebijakan sebelum
meletusnya revolusi. Program
Mursi adalah program Neoliberal
yang berintikan liberalisasi pasar
dan peningkatan integrasi Mesir ke
dalam ekonomi kapitalis dunia.
Kebijakan-kebijakan demikian
yang sama dengan kebijakan
rezim sebelumnya telah
memainkan peran penting dalam
memantik bara Revolusi Mesir.
Karena kebijakan-kebijakan
ini bukanlah sekedar serangan
brutal terhadap kepentingan dan
hajat hidup rakyat miskin, demi
kepentingan Ikhwanul Muslimin,
kaum jutawan dan pemimpin
militer. Melainkan juga
merepresentasikan tuntutan-
tuntutan yang sama dari institusi
finansial global dan kaum
bangsawan Timur Tengah agar
Mesir menerapkan kebijakan yang
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 144
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
semakin memiskinkan rakyat
miskin dan semakin memperkaya
kaum kaya.
Nampaknya Morsi, Shatir,
dan Ikhwanul Muslimin tidak
menyadari tiga hal berikut yang
sebenarnya disadari oleh orang
yang berpikir logis. Pertama,
Revolusi Mesir muncul dari
harapan dan cita-cita jutaan buruh,
tani, dan kaum miskin akan
keadilan sosial, akan redistribusi
kekayaan dari bisnis-bisnis besar
kepada rakyat, dan bukan
sebaliknya.
Kedua, dunia kapitalis
tengah menderita luka akibat
krisis-krisisnya semenjak tahun
1930 akibat kebijakan-kebijakan
kapitalis yang sama, yang mana,
bila kita mengacu kepada Al-
Quran, hal ini tidak lain dan tidak
bukan adalah berhala yang
disembah para pimpinan Ikhwanul
Muslimin.
Ketiga, kapitalisme global,
baik dari Teluk maupun di Barat.
tidak akan menurunkan
investasinya ke dalam rawa
ekonomi Mesir. Mereka tidak akan
coba-coba masuk ke dalam
negara yang keberadaannya
masih terus diguncang revolusi,
suatu revolusi yang mengguncang
seluruh dunia sebagaimana yang
kita saksikan akhir-akhir ini di Turki
dan Yunani.
Kapitalisme Global, di
bawah kepemimpinan
Imperialisme Amerika dan sekutu-
sekutunya di negara-negara Timur
Tengah, ingin membalas dendam
kepada rakyat Mesir karena rakyat
Mesir telah mengobarkan revolusi
akbar yang menginspirasi kaum
miskin di seluruh dunia. Revolusi
inilah yang meneguhkan abad 21
sebagai abad penggali kubur
terhadap perampokan yang
dilakukan kapitalis dan
despotisme. Agen-agen mereka
dalam balas dendam kali ini
adalah Ikhwanul Muslimin dan
wakil mereka yang gagal,
Muhammad Morsi.
Serangkaian perdamaian
dengan rezim korup sebelumnya,
termasuk pembebasan tokoh-
tokoh penting rezim lama dari
penjara, terjadi di sepanjang
pemerintahan Ikhwanul Muslimin.
Di satu sisi mereka telah
menerapkan persekutuan dengan
Saudi dan Qatar yang rapuh
dengan perseteruan, yang
memainkan peran penting dalam
mendukung kontra-revolusi di
Mesir dengan meningkatkan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 145
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
hutang. Sedangkan di sisi lain,
mereka membutuhkan dukungan
dari orang-orang besar rezim lama
untuk menghadapi krisis.
Kebijakan-kebijakan ini
telah menyebabkan ekonomi mesir
memasuki periode paling brutal
dalam krisis-krisisnya selama
berpuluh-puluh tahun. Defisit
anggaran mencapai 14% Produk
Domestik Bruto (PDB), dan total
beban hutang mencapai 80%
PDB. Cadangan devisa Bank
Sentral Mesir juga telah merosot
dari US$ 32 juta menjadi tinggal
$13 juta. Terlebih, setengah dari
sisa cadangan yang tersisa ini
terdiri dari emas batangan yang
tidak segera dilikuidasi.
Ambruknya mata uang
mesir terhadap dolar telah
menurunkan nilainya sebesar 12%
pada paruh pertama tahun ini.
Semua hal ini telah berujung pada
kaburnya kapital dalam dan luar
negeri, serta ketidakmampuan
negara untuk memenuhi
komitmen-komitmen nasionalnya.
Hal ini juga mengakibatkan
kekurangan dan langkanya
komoditas-komoditas dasar (yang
tentu saja berasal dari impor,
melalui mata uang asing),
langkanya barang-barang vital
seperti berbagai macam bahan
bakar, gandum, dan sebagainya.
Hal ini menyebabkan bahaya
serius tidak hanya pada kelas
buruh namun juga pada kelas
kapitalis dan negara kapitalisnya.
Serangan barbar terhadap
hajat hidup kaum miskin, telah
memicu gelombang gerakan dan
demonstrasi buruh yang menuntut
penyitaan harta dan kekayaan
para pengusaha, menuntut
nasionalisasi perusahaan-
perusahaan besar, baik dalam
maupun luar negeri, serta
menuntut penolakan pembayaran
hutang beserta bunga hutang dari
pinjaman-pinjaman asing.
Tuntutan-tuntutan ini tidak dapat
tidak akan berujung tidak hanya
penggulingan Morsi dan Ikhwanul
Muslimin dari kursi kekuasaannya,
namun juga penggulingan
terhadap negara kapitalis.
Sulit untuk membayangkan
seberapa besar negara Mesir dan
Ikhwanul Muslimin terisolasi dari
kenyataan. Di tengah krisis yang
sangat menghancurkan ini, jatah
yang diperoleh militer dari
anggaran negara untuk tahun
2013-2013 telah ditingkatkan
hingga 31 milyar pound mesir
(meningkat 3,4 milyar pound mesir
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 146
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
dibandingkan anggaran tahun
lalu). Jumlah ini belum ditambah
dengan jumlah bantuan militer AS
yang sebesar $1,4 milyar atau
hampir setara dengan 15 milyar
pound Mesir.
Gerakan Buruh
Terlepas dari penurunan
aktivitas politik dalam beberapa
bulan sebelum gempa sosial
akibat kampanye Tamarod dan
persiapan untuk demonstrasi 30
Juni, gerakan buruh Mesir terus
melancarkan pemogokan dan
pendudukan serta
mendemonstrasikan suatu skala
aksi buruh tertinggi di tataran
internasional selama periode
Maret hingga Mei, dan ini masih
terus berlangsung. Aktivitas saat
ini telah memberikan motivasi baru
terhadap kemungkinan dan
kepentingan yang paling besar
yang bisa dicapai oleh gerakan
buruh.
Gerakan Buruh Mesir telah
menghadapi serangkaian
tantangan dan membayar harga
yang sangat mahal melalui
pertempuran-pertempuran mereka,
yang selama ini masih merupakan
pertempuran berwatak defensif
daripada ofensif. Salah satu
tantangan pertama dari sekian
tantangan tersebut adalah
serangan brutal kapitalis terhadap
gerakan buruh, baik dengan
menggunakan preman-preman
bersenjatakan pentungan untuk
membubarkan aksi pendudukan,
menggunakan senjata penutupan
pabrik untuk menekan kelas buruh
di satu sisi, sementara beban
ekonomi krisis memberikan
tekanan di sisi lain.
Tantangan kedua adalah
konflik di antara serikat buruh dan
serikat pekerja. Terlepas dari
kemenangan tak terbantahkan
atas keberhasilan mendirikan lebih
dari seribu serikat pekerja
independen, terdapat kesenjangan
antara para pimpinan dan militansi
serikat-serikat ini. Perubahan
drastis mengarah pada
birokratisasi serikat, penyandaran
terhadap konservatisme, kerja
lamban dan bertahap,
penentangan terhadap politisasi,
serta pemecahbelahan gerakan ke
dalam dua federasi yang saling
bersaing telah melipatgandakan
tantangan bagi Kelas Buruh Mesir
dan Gerakannya.
Hal-hal demikian ditambah
dengan kerja ulet Ikhwanul
Muslimin untuk membangkitkan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 147
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
organisasi serikat buruh lama yang
berada di bawah kendali gabungan
dengan sisa-sisa rezim lama,
sebagai upaya untuk mengepung
dan membaurkan serikat buruh
dan serikat pekerja independen.
Hal-hal tersebut memberikan
gerakan politik kerakyatan yang
kini tengah bangkit, sebuah
peluang luar biasa yaitu
perubahan kualitatif dalam
Gerakan Kelas Buruh.
Semua hal ini kemudian
memberi kita suatu tugas yaitu
membentuk komite-komite
koordinasi aksi buruh lintas sektor,
lintas industri, dan lintas wilayah,
serta menghubungkan tuntutan-
tuntutan parsial dan tuntutan-
tuntan total, serta menghubungkan
tuntutan-tuntutan ekonomi dengan
tuntutan-tuntutan politik. Inilah
tugas mendesak bagi kaum
revolusioner di periode yang
menjelang ini.
Institusi Militer Isu institusi militer dan
hubungannya dengan malapetaka
kekuasaan Ikhwanul Muslimin
kembali muncul ke permukaan
sebagai isu tekanan dalam
kehidupan politik Mesir selama
beberapa bulan belakangan. Di
antara sekian tuntutan para
komentator dan pimpinan liberal,
kadang-kadang tersirat, kadang-
kadang tersembunyi, pesan akan
perlunya intervensi militer untuk
menyingkirkan kekuasaan
Ikhwanul Muslimin. Hal ini tidak
lain dan tidak bukan merupakan
suatu tuntutan kudeta militer.
Terdapat banjir pernyataan dan
tulisan menyangkut independensi,
netralitas, dan patriotisme institusi
militer Mesir.
Banjir ini tidak kunjung surut
semenjak krisis Sinai, dengan
penculikan tentara, keajaiban
pembebasan atau pelepasan
sandera tanpa intervensi militer,
kurangnya negosiasi dengan para
penculik dan tentu saja tanpa
tangkapan mereka. Hal ini terus-
menerus ditunjukkan melalui teater
politik yang mengelilingi
bendungan Ethiopia, dengan
diskursus atas perlunya solusi
militer, dan akhirnya melalui
keputusan mengejutkan
mahkamah konstitusi atas
perlunya mengijinkan para perwira
dan tentara angkatan bersenjata
untuk memberikan hak suaranya
dalam pemilihan umum.
Keputusan ini sebenarnya
merupakan keputusan yang
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 148
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
diajukan oleh kedua belah pihak,
yaitu Ikhwanul Muslimin dan kaum
liberal bersama-sama, dan ini tidak
hanya memberikan ancaman
politisasi tentara namun juga
ancaman pecah belah tentara.
Terlepas dari jaminan-
jaminan yang diberikan oleh para
pimpinan Militer bahwa mereka
tidak akan melakukan kudeta
sedikitpun dan jaminannya akan
netralitas dan patriotisme, kaum
liberal Mesir masih sangat
berharap bahwa tentara akan
melancarkan intervensi demi
“menyelamatkan” negara dari
mimpi buruh Ikhwanul Muslimin,
untuk menukar mereka dengan
pejabat-pejabat militer. Betapa
kaum liberal menyayangi militer,
yang bahkan sampai tahun
sebelumnya merupakan
penghantam rakyat Mesir dan
tenaga kontra-revolusi. Militer
Mesir hingga kini masih
merupakan tembok kokoh yang
menghalangi perkembangan
Revolusi Mesir dan pencapaian
tujuan-tujuan revolusi.
Terdapat sejumlah fakta
yang harus kita ingat menyangkut
skenario komikal ini. Pertama,
institusi militer bukanlah suatu
institusi netral melainkan
sebongkah jantung baja dari
negara kapitalis Mesir, negara
Mubarak dan sisa-sisa
pendukungnya, negara pengusaha
besar, serta di belakang mereka
ada Imperialisme Amerika. Kedua,
militer merupakan cermin
masyarakat dan tidak akan
terceraikan dari masyarakat ini,
karena para pimpinannya adalah
bagian fundamental dari kelas
penguasa Mesir, baik dari sayap
sekulernya maupun sayap
Islamisnya.
Sedangkan lain halnya bagi
para tentara dan perwira militer
Mesir, terdapat sebagian yang
berasal dari kalangan pekerja,
petani, dan kaum miskin. Bukanlah
kepentingan para pimpinan dan
pejabat atau jenderal-jenderal
militer untuk mendukung
kemenangan Revolusi Mesir,
karena hal itu tidak hanya berarti
memberi jalan bagi pengadilan
terhadap kejahatan-kejahatan
yang telah mereka lakukan
terhadap Revolusi Mesir.
Melainkan juga karena
kepentingan dan kekuasaan para
pimpinan, pejabat, dan jenderal
Militer ini mengharuskan mereka di
sisi kontra-revolusi. Sedangkan
para perwira rendahan militer tidak
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 149
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
memiliki kepentingan langsung
dalam penerapan tujuan-tujuan
Revolusi Mesir (yaitu keadilan
sosial, kemerdekaan, dan
kehormatan) baik di dalam militer
maupun diluarnya.
Ketiga, mitos bahwa militer
Mesir melindungi rakyat Mesir dan
negara Mesir tidak memiliki
landasan nyata. Hubungan antara
institusi militer Mesir dengan militer
AS, kepentingan-kepentingan AS,
serta senjata-senjata AS adalah
dasar kepatuhan para pimpinan
institusi militer Mesir. Tidak ada
sedikitpun bagian dari kesetiaan
mereka yang ditujukan bagi
kesetiaan terhadap rakyat Mesir.
Hal ini juga berarti secara regional
melindungi kepentingan nasional
Kaum Zionis dan Imperialis AS,
serta bukan keselamatan dan
keamanan rakyat Mesir.
Sebagai tambahan, kita
harus ingat bahwa militer
berpartisipasi dengan Ikhwanul
Muslimin dalam menguasai Mesir.
Ini merupakan tawar-menawar di
antara mereka, suatu jalan keluar
aman, dewan keamanan nasional,
jatah anggaran rahasia tanpa
pengawasan demokratis dan
keberlanjutan kontrol militer
terhadap kerajaan ekonomi
mereka, yang meliputi porsi
signifikan dari ekonomi Mesir.
Tawaran ini masih berlaku hingga
kini.
Krisis bagi kepemimpinan
Militer Mesir adalah Ikhwanul
Muslimin tak mampu menjalankan
perannya dalam tawaran ini, yang
mana peran tersebut adalah
pelaksana likuidasi revolusi Mesir
dan pasifikasi populasi. Krisis ini
juga dialami pejabat AS dan
beberapa negara Timur Tengah
lainnya.
Masuknya tank-tank tentara
dan perangkat-perangkat
bersenjata ke dalam Sinai
bukanlah demi mencegah
terorisme atau menghadapi lawan
Zionis namun mengonfrontasi
rakyat Sinai. Rakyat Sinai juga
bangkit sebagaimana saudara-
saudara tertindas dan terhinanya
di penjuru Mesir lainnya serta
melawan ketidakadilah penguasa-
penguasa Kairo dan para
perampas hak-hak dasar mereka
sebagai warga negara.
Perbedaan-perbedaan yang
muncul di antara Ikhwanul
Muslimin dan pihak militer terkait
kegagalan Ikhwanul Muslimin
dalam menyelesaikan krisis
ekonomi dan menghancurkan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 150
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
revolusi Mesir. Semua hal ini
berkaitan langsung dengan
kekhawatiran para pejabat militer
bahwa gelombang revolusioner
akan sampai juga di kalangan
militer dan menyapu para perwira
dan prajurit.
Hal inilah yang akan terjadi
bila Revolusi Mesir mampu
mempertahankan dirinya dan
menghantam balik kontra-revolusi
yang terdiri dari persekutuan
antara para pimpinan Ikhwanul
Muslimin, militer, dan sisa-sisa
rezim lama. Kita juga menyaksikan
di bawah rezim Morsi, tokoh-tokoh
rezim lama kini telah dilepaskan
dari penjara, dipuja-puji, dan
diagung-agungkan, padahal
tangan mereka bersimbah darah
martir-martir revolusi.
Front Keselamatan Ikhwanul Muslimin
Semenjak oposisi kaum
liberal terhadap Ikhwanul Muslimin
membentuk Front Keselamatan
Nasional, kelemahan oposisi ini
langsung tampak seketika.
Semenjak awal, mereka telah
mendorong-dorong agar konflik
berkembang menjadi konflik
identitas antara kaum sekuler yang
diwakili oleh Front dengan Kaum
Islamis yang diwakili oleh Ikhwanul
Muslimin dan sekutu-sekutunya di
antara Kaum Salafi. Hal ini, tentu
saja, makin menguatkan posisi
Ikhwanul Muslimin. Kaum Liberal
selanjutnya memberikan hadiah
lain bagi Ikhwanul Muslimin
dengan bersekutu dengan sisa-
sisa rezim Mubarak, dan akibat
tuntutan-tuntutan tanpa henti
mereka yang meminta intervensi
militer.
Ini semua makin
memperhebat fragmentasi dan
oportunisme para pimpinan Front
Keselamatan Nasional, bahkan
beberapa diantaranya telah
menemui para pimpinan Ikhwanul
Muslimin, sementara yang lain
terus mengkritisi, hanya untuk
menyusul menemui Ikhwanul
Muslimin secara diam-diam. Inilah
kekonyolan terbaru dari kaum
oposisi borjuis dan para
pemboncengnya yang sering
mengaku kaum nasionalis dan
kaum kiri.
Kebimbangan Kaum Liberal
dan sisa-sisa rezim lama dalam
menentang Ikhwanul Muslimin
datang dari kenyataan bahwa
mereka, seperti Ikhwanul
Muslimin, tidak ingin ada
pendalaman atau keberlanjutan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 151
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
revolusi. Mereka hanya
menginginkan pertempuran antara
penguasa, namun tidak
menginginkan perubahan watak
kekuasaan. Mereka bahkan siap
untuk memobilisasi penentangan
terhadap Ikhwanul Muslimin,
khususnya dengan menggunakan
media massa, namun mereka
takut bahwa mobilisasi ini akan
berujung pada revolusi baru yang
akan menggulingkan kekuasaan
Ikhwanul Muslimin sekaligus
kekuasaan mereka sendiri. Untuk
alasan inilah mereka terus
mencoba menggunakan massa
untuk mendongkrak negosiasi
mereka dengan Ikhwanul Muslimin
atau untuk mendorong intervensi
militer. Namun ketakutan mereka
atas kehilangan kendali terhadap
gerakan massa luas tetap menjadi
obsesi penting mereka.
Selain itu, mereka juga tidak
punya skenario ekonomi alternatif
untuk menggantikan skeneario
Ikhwanul Muslimin. Mereka masih
menganut kapitalisme, menganut
kebijakan-kebijakan pasar yang
sama, serta menggunakan
strategi-strategi sama: mengemis-
ngemis kepada Barat dan Monarki
Timur Tengah serta melayani
kepentingan mereka.
Tamarod, 30 Juni, dan Alternatif Revolusioner
Kampanye Tamarod
(Pemberontakan) telah bangkit
setelah periode kemunduran
dalam gerakan revolusioner untuk
menyalakan kembali api gerakan
hingga ke skala nasional yang
belum pernah disaksikan
sebelumnya. Kejeniusan pemilihan
nama dan kesederhanaan
kampanye dengan cepat
mentransformasikannya menjadi
gerakan nasional dimana jutaan
rakyat berpartisipasi dengan
memberikan tandatangan mereka.
Lebih penting lagi, ratusan
ribu telah berpartisipasi dalam
proses pengumpulan tandatangan.
Mayoritas bahkan mengaku bahwa
ini adalah partisipasi pertama
mereka dalam proses
revolusioner, yang telah
meningkatkan nafas dan
kedalaman radikalisasi massa
rakyat Mesir. Hal ini tercermin dari
persiapan-persiapan hebat untuk
demonstrasi 30 Juni serta
pendirian komite-komite koordinasi
di tiap gubernuran untuk
menyiapkan hari penting tersebut.
Hal-hal demikian mencakup
permulaan pertempuran baru di
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 152
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
antara pertempuran-pertempuran
dalam revolusi Mesir.
Sebagaimana yang terjadi
dalam krisis-krisis dan
pertempuran-pertempuran
revolusioner sebelumnya, situasi
kini makin rumit. Semua tenaga
yang bermusuhan dengan
Ikhwanul Muslimin berpartisipasi
dalam Kampanye Pemberontakan
dan Aksi 30 Juni. Namun tenaga-
tenaga ini memiliki tujuan yang
berbeda-beda dalam gerakan.
Sedangkan bagi Kaum
Revolusioner, tujuan mereka
dalam berpartisipasi di Kampanye
Pemberontakan dan di
pertempuran-pertempuran sejak
30 Juni adalah untuk merebut
revolusi dari para pencuri Islamis.
Kami menentang mereka
bukan karena mereka adalah
Kaum Islamis namun karena
mereka telah mengkhianati
revolusi, menyelamatkan negara
Mubarak, dan menerapkan
kebijakan-kebijakan kapitalis
penindas. Termasuk menunjukkan
kepatuhan mereka pada
kepentingan-kepentingan
imperialis Amerika serta
kepentingan-kepentingan para
pengusaha besar dari era Mubarak
dengan mengorbankan
kepentingan-kepentingan rakyat
Mesir dan darah para martir
revolusi. Mereka telah
melestarikan pengaruh jenderal-
jenderal tentara dan kepolisian
serta aparat-aparat dan institusi-
institusi negara, dengan para
pimpinan mereka berbagi
kekuasaan dengan sisa-sisa rezim
sebelumnya di pucuk-pucuk
institusi dan aparatus ini, dengan
watak korup dan penindas yang
tetap dilindungi.
Bagi Kaum Revolusioner,
keselamatan dari kekuasaan
Ikhwanul Muslimin bukanlah suatu
tujuan namun merupakan
penyingkiran penghalang dalam
penuntasan Revolusi Mesir.
Revolusi Mesir tidak akan tuntas
tanpa retribusi dari pengorbanan
kaum martir dan massa rakyat
revolusioner Mesir yang terluka.
Pengorbanan Revolusi Mesir
hanya bisa ditebus dengan
pengadilan revolusioner yang akan
mengadili dan menghukum para
petinggi militer serta perwira
tentara dan kepolisian, para
pengusaha Mubarak beserta
preman-preman mereka. Revolusi
Mesir juga hanya akan tuntas
dengan penghancuran negara
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 153
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
penindas, pemeras, dan predator
yang kini masih berdiri.
Muhammad Morsi dan
kelompoknya hingga kini masih
terus melindungi negara demikian,
sama seperti para pendahulu
mereka. Revolusi hanya bisa
dituntaskan bila negara penindas
digantikan dengan negeri
demokratis yang secara langsung
mengekspresikan keinginan
massa buruh, tani, dan kaum
miskin Mesir, suatu negeri yang
mencapai tujuan-tujuan revolusi:
kemerdekaan, kehormatan, dan
keadilan sosial.
Dengan demikian jelas, apa
yang tampak sebagai suatu
kesatuan di antara berbagai pihak
yang ingin menggulingkan
Muhammad Morsi ternyata
memiliki perbedaan-perbedaan
tujuan dan kepentingan. Bukanlah
kepentingan Kaum Revolusioner
untuk mengaburkan,
menyembunyikan, atau menunda
menyoroti perbedaan-perbedaan
ini, namun untuk membedakan
dari pertama kali manakah lawan-
lawan revolusi dan manakah yang
ingin menuntaskan revolusi. Hal ini
tidak hanya berarti kemandirian
sepenuhnya dalam gerakan dari
para oportunis dan para
pengkhianat, namun juga bekerja
untuk membongkar kedok mereka
dan menunjukkan tujuan asli
mereka kepada rakyat.
Beberapa orang
membayangkan bahwa pendirian
macam ini akan menunjukkan
kelemahan dalam pertempuran
melawan Morsi dan ambruknya
kekuatan melawannya.
Sebaliknya, sandaran terhadap
oposisi Borjuis malah akan
memperkuat Morsi dan bukannya
melemahkannya. Di antara
lapisan-lapisan populasi, Ikhwanul
Muslimin mampu menggambarkan
pertempuran seakan-akan
pertempuran Ikhwanul Muslimin
dan sisa-sisa rezim lama.
Karena itu kecermatan,
kejelasan, dan kemandirian
tentang sisa-sisa rezim lama dan
para pengkhianat merupakan
prasyarat kemenangan melawan
Morsi dan Ikhwanul Muslimin.
Sedangkan oportunisme dan
persekutuan dengan sisa-sisa
rezim lama, dan oposisi borjuis,
hanya akan berujung pada
hilangnya kredibilitas para pelaku
kejahatan ini dan malah
memperkuat kemampuan Ikhwanul
Muslimin untuk tetap berkuasa.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 154
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
Kampanye Pemberontakan
dan demonstrasi serta
pendudukan 30 Juni bisa
berkembang menjadi permulaan
Revolusi Mesir kedua. Namun kita
wajib belajar dari pelajaran-
pelajaran gelombang-gelombang
revolusioner sebelumnya. Kedua,
gerakan buruh dan gerakan-
gerakan kerakyatan harus menjadi
jantung front politik baru ini, karena
mereka memiliki kepentingan
langsung tidak hanya dalam
penggulingan Morsi namun juga
untuk menuntaskan revolusi. Hal
ini berarti suatu front revolusioner
alternatif harus melampaui batas
rivalitas sekuler-relijius antara
Front Keselamatan Nasional
dengan Ikhwanul Muslimin. Front
revolusioner alternatif ini harus
berlandaskan basis kesetaraan
sosial antara kelas buruh dan
kaum miskin serta kepentingan-
kepentingan mereka.
Ketiga, retribusi atas
kejahatan-kejahatan rezim lama,
militer, dan Ikhwanul Muslim yang
telah membunuh martir-martir kita
harus menjadi agenda, tuntutan,
dan prioritas terdepan kita. Karena
kita tidak dapat menuntaskan
revolusi di bawah bayang-bayang
pelepasan para pembunuh-
pembunuh yang mendukung
kontrarevolusi, yang dihormati dan
dipuja-puji sementara darah martir
kita masih bersimbah di tangan
mereka.
Keempat, kita perlu untuk
merumuskan program rinci dan
jelas sebagai suatu alternatif di
tataran ekonomi, masyarakat,
politik, dan kebudayaan. Tanpa
memenangkan rakyat ke dalam
alternatif revolusioner yang
meyakinkan, saat pertanyaan
mengenai program diajukan oleh
Ikhwanul Muslimin dan Kaum
Salafi di satu sisi, serta sisa-sisa
rezim lama dan Kaum Liberal di
sisi lain kita tidak akan mampu
mengalahkan kontrarevolusi dan
menuntaskan jalan revolusioner
kita yang susah payah kita
tempuh.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 155
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.13,NO.1 (JANUARI-JUNI 2014) ISSN 0853-2265
Daftar Bacaan: Ahmad Fuad Fanani, “Islam dan
Tantangan Demokratisasi”,
KOMPAS, 26 Pebruari 2005.
John L. Esposito, Modernizing
Islam: Religion in the Public
Sphere in Europe and the
Middle East, 2003.
Khaled Abou El Fadl, Islam and
the Challenge of Democracy,
2003.
Musthafa Abd Rahman, “Tekanan
AS dan Domestik Paksa Mesir
Berubah”, KOMPAS, 28
Pebruari 2005.
Musthafa Abd Rahman, “Inisiatif
Mubarak dan Geliat Reformasi
di Mesir”, KOMPAS, 6 Maret
2005.
Olivier Roy, Globalised Islam: The
Search for a New Ummah, 2004.
Berita, “Mesir Akan Gelar Pemilu
Presiden Secara Langsung”,
KOMPAS, 27 Pebruari 2005.
Berita Internasional, “Demokrasi
Mulai Merebak di Timur
Tengah”, Media Indonesia, 2
Maret 2005.
KOMPAS, 27 Pebruari 2005.
KOMPAS, 28 Pebruari 2005.
http://sosiologipendidikan.bl
ogspot.com/2012/09/revolusi-mesir
2011.html#sthash.OTmfrBuC.dpuf
Top Related