Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan
Minuman Beralkohol di Kabupaten Banyumas
Disusun Oleh:
SRI HANDAYANI (F1B013001)/2013
SITI MUNAWAROH (F1B013009)/2013
BURHAM SUBECHI (F1B013033)/2013
INASSARAH CANDRI .K.(F1B013047)/2013
(Diajukan dalam rangka memenuhi tugas terstruktur kelompok mata kuliahFormulasi Kebijakan Publik Semester 6)
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGIUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKJURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
PURWOKERTO2016
Dinamika Aktor Kebijakan dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 tahun 2014 tentang
Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman
Beralkohol di Kabupeten Banyumas
1. Latar Belakang Masalah
Permasalahan sosial di tengah-tengah masyarakat selalu mengalami perubahan dan
akan terus berkembang mengikuti dinamika masyarakat itu sendiri. Tidak terkecuali
masyarakat kabupaten Malinau yang merupakan suatu kabupaten terletak di perbatasan antara
Indonesia dan Malaysia, juga terus mengalami perkembangan, baik positif maupun yang
negatif. Adapun dalam perkembangan-perkembangan yang negatif di antaranya kebiasaan
dalam mengonsumsi minuman keras atau minuman berakohol.
Sedangkan masalah minuman keras sendiri, sudah tidak dapat dipunkiri, sangat
merasahkan kehidupan sosial masyarakat. Minuman keras atau minuman berakohol tidak saja
membahayakan pemakaianya, tetapi juga membawa dampak yang sangat buruk di
lingkungan masyarakat pemakai. Penyimpanan prilaku negatif pada khususnya kebiasaan
mengonsumsi minuman keras secara berlebihan hingga menyebabkan hilangnya kontrol pada
diri sendiri, atau sering dikatakan mabuk, yang pada akhirnya melahirkan pelanggaran atau
bahkan tindak pidana yang sangat meresahkan masyarakat. Sehingga minuman keras atau
minuman berakohol dapat di simpulkan sebagian sumber dari tindakan-tindakan yang
melanggar aturan hukum yang berlaku baik itu, kecelakaan lalu lintas, pemerkosaan,
pembunuhan, pencurian, penganiayaan, bahkan sampai pada tindak kekerasan dalam
keluarga.
Sedangkan pada saat ini penyebaran minuman keras di Kabupaten Banyumas, sudah
tidak terkontrol lagi, sebagai contoh dalam penyebarannya sudah tidak lagi memandang
batasan usia pemakai atau pengonsumsi minuman keras serata dikhawatirkan akan membawa
dampak yang negatif pada masyarakat, terutama pada anak-anak usia remaja yang nantinya
sebagai generasi penerus bangsa. Selain itu, penyebaran minuman keras yang tidak terkontrol
akan membawa dampak pada tingkat kriminalitas yang tinggi pada masyarakat. Oleh
karenanya, untuk mengatasi personal tersebut maka diperlukan langkah dan terobosan serta
tindakan tegas namun terukur yang dilandasi dengan niat yang tulus untuk melindungi,
mengayomi dan melayani masyarakat, baik masyarakat sebagai korban maupun masyarakat
sebagai pelaku itu sendiri.
Dengan adanya keputasan Presiden nomor 03 Tahun 1997 tentang pegawasan dan
pengadilan minuman berakohol, oleh karana itu Pemerintah Daerah Banyumas mengeluarkan
peraturan daerah nomor 15 tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap
Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Adapun larangan yang tercantum dalam BAB II Larangan Pasal 2 yaitu :
1. Setiap orang atau badan hukum/badan usaha dilarang memproduksi, memasukkan ke
dalam Wilayah Daerah, mengedarkan, memperdagangkan, menyimpan, menimbun,
menyediakan, minuman beralkohol di Kabupaten Banyumas.
2. Setiap orang dilarang meminum minuman beralkohol di dalam Wilayah Daerah.
3. Dikecualikan dari larangan ini ababila penggunaanya : Sesuai dengan resep Dokter,
Sesuai dengan tata cara keagamaan
4. Dikecualikan dari larangan ini dengan ketentuan :Sesuai dengan adat istiadat
masyarakat adat di Kabupaten Banyumas. Diproduksi dan dikonsumsi sesuai dengan
tata upacar adat, Tidak diperdagangkan atau diperjualbelikan, Tidak dipindahkan ke
tempat yang lain, Mendapat ijin dari Pejabat Pemerintah yang berwenang
Permasalahan yang terjadi di Kabupaten Banyumas secara khusus terjadi banyak nya
yang menjual, mengedarkan, memperdagangkan, menyimpan, menyediakan secara ilegal
dan bersebar sangat luas padahal Perda Pemerintah Daerah Banyumas mengeluarkan
peraturan daerah nomor 15 tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap
Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, tersebut sudah lama di
implementasikan. Hal ini disebabkan substansi yang mencoba membawa minuman
beralkohol menjadi salah satu pendapatan daerah . Beberapa pihak seperti petani dan
produsen menyatakan dukungan penuh dan keberpihakan mereka, dimana disisi lain
pengusaha dan masyarakat golongan tertentu menunjukkan secara terang-terangan
penolakan mereka. Melihat fakta yang menarik ini, maka penulis mencoba untuk
membahas topik tentang “Dinamika Aktor Kebijakan dalam Formulasi Peraturan
Daerah nomor 15 tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap
Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di Kabupeten
Banyumas.’’
2. Tinjuan Pustaka
2.1 Kebijakan publik
Chandler dan Plano (1988) mengatakan bahwa Kebijakan publik merupakan
pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan
masalah-masalah publik atau pemerintah. Sedangkan menurut Woll (1966), Kebijakan publik
adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara
langsung maupun melalui berbagai lembagayang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Adapun pengaruh dari tindakan pemerintah tersebut adalah : 1) Adanya pilihan kebijakan
yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya yang bertujuan
menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat. 2) Adanya
output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah
untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi
dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat. 3) Adanya dampak
kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat.Jones memandang kebijakan publik sebagai suatu kelanjutan kegiatan pemerintah
di masa lalu dengan hanya mengubahnya sedikit demi sedikit atau yang biasa disebut sebagai
decision making, yaitu ketika pemerintah membuat suatu keputusan untuk suatu tindakan
tertentu.
2.2. Aktor Kebijakan Publik
Menurut Howlet dan Ramesh, aktor-aktor dalam kebijakan terdiri atas lima kategori,
yaitu sebagai berikut: 1) Aparatur yang dipilih (elected official) yaitu berupa eksekutif dan
legislative. 2) Aparatur yang ditunjuk (appointed official), sebagai asisten birokrat, biasanya
menjadi kunci dasar dan sentral figure dalam proses kebijakan atau subsistem kebijakan. 3)
Kelompok-kelompok kepentingan (interest group),Pemerintah dan politikus seringkali
membutuhkan informasi yang disajikan oleh kelompok-kelompok kepentingan guna
efektifitas pembuatan kebijakan atau untuk menyerang oposisi mereka. 4) Organisasi-
organisasi penelitian (research organization), berupa Universitas, kelompok ahli atau
konsultan kebijakan. 5) Media massa (mass media), sebagai jaringan hubungan yang krusial
diantara Negara dan masyarakat sebagai media sosialisasi dan komunikasi melaporkan
permasalahan yang dikombinasikan antara peran reporter dengan peran analis aktiv sebagai
advokasi solusi.
Menurut Long & Long (1992) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa perumusan
kebijakan publik yang partisipatif, interaksi aktor harus berlangsung secara setara, intersif
dan interface. Model inilah yang oleh kedua penulis disebut sebagai model orientasi aktor.
Sementara de Zeeuw (2001), seorang psikolog menyimpulkan bahwa perumus kebijakan
publik seharusnya memperhatikan potensi dan kemampuan masyarakat anggota kolektivitas
secara keseluruhan sehingga kebijakan yang ditentukan tidak memihak dan dapat diakses
oleh seluruh aktor yang terlibat dalam kolektivitas tersebut.
Almond & Verba (1985) meneliti perbandingan orientasi aktor yang disebut sebagai
budaya politik di berbagai negara menyimpulkan bahwa ada keterkaitan yang erat antara
penampilan rezim politik yang tergambar dalam model-model dan sifat kebijakan yang
dibuatnya dengan tipologi budaya politik masyarakatnya. Sinclair (2002) dalam penelitiannya
di Brazilia menekankan pentingnya peran dan keterlibatan masyarakat dalam segala proses
pembangunan. Dalam model yang disebut “Manitoba Approach” ini disimpulkan bahwa,
konsultasi masyarakat merupakan bagian integral yang harus dilakukan dalam setiap tahapan
pembangunan, baik proses perencanaan, pelaksanaan maupun pelestarian keberlangsungan
hasil pembangunan.
2.3. Formulasi Kebijakan
Setelah suatu masalah publik sudah dimasukkan ke dalam agenda kebijakan,
kemudian dibahas oleh pembuat kebijakan dalam tahap formulasi kebijakan. Dari berbagai
masalah yang ada tersebut ditentukan alternatif-alternatif yang tepat dan benar-benar layak
untuk dijadikan fokus dalam penyelesaian suatu masalah.
Formulasi kebijakan memberikan perhatian yang sangat tinggi, karena di dalamnya
mengandung makna bagaimana para analis kebijakan mampu mengenal perbedaan antara
masalah-masalah publik dengan masalah-masalah privat (Anderson, 1984: 57-58). Oleh
karena itu proses perumusan masalah publik merupakan fundamen dasar dalam merumuskan
kebijakan publik, sehingga arahnya menjadi benar, tepat, dan sesuai.
Terdapat beberapa tahapan dalam perumusan kebijakan (dalam Winarno, 2014; 123-
126) antara lain:
1) Tahap Perumusan Masalah (Defining Problem)
Mengenali dan merumuskan masalah dalam perumusan kebijakan merupakan
tahap yang paling penting untuk menentukan suatu sifat dari suatu masalah yang ada.
Oleh karena itu, untuk dapat merumuskan kebijakan yang baik, maka masalah-
masalah publik harus dapat dikenali dan didefinisikan dengan baik.
Menurut Dunn (Dunn, 1992: 226), terdapat fase-fase yang perlu diperhatikan
dalam merumuskan masalah, sehingga hasil akhir dari kebijakan yang ditetapkan
mampu menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi. Fase tersebut terdiri atas;
problem search (pencarian masalah), problem definition (pendefinisian masalah),
problem spesification (menyepesifikasi masalah), problem sensing (pengenalan
masalah).
Dengan demikian, langkah awal dari perumusan masalah adalah merasakan
keberadaan antara masalah yang bersifat publik dan masalah yang bersifat privat.
Untuk itu pencarian masalah menjadi sangat penting keberadaannya. Pada tahap ini,
tujuan jangka pendek para analis bukan hanya menemukan masalah yang bersifat
tunggal melainkan berupaya memanifestasi beberapa masalah yang ada di lapangan.
2) Tahap Agenda Kebijakan
Tidak semua masalah yang telah didefinisikan dalam tahap perumusan masalah
akan langsung masuk dalam agenda kebijakan. Hanya masalah-masalah tertentu saja
yang pada akhirnya akan masuk dalam agenda kebijakan. Terdapat beberapa
syarat/kriteria suatu masalah publik agar dapat masuk ke dalam agenda kebijakan.
Kriteria issue/masalah bisa dijadikan sebagai agenda kebijakan publik (Kimber,
1974 ; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood & Gunn, 1986) :
1. Telah mencapai titik kritis tertentu, jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius.
2. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu.
3. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak dan mendapat
dukungan media massa.
4. Menjangkau dampak yang amat luas.
5. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat.
6. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan
kehadirannya)
3) Tahap Pemilihan Alternatif Kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para
pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternative/policy options) yang ada (William
Dunn, 1999).
Tahap formulasi kebijakan merupakan tahap yang sangat penting karena pada
tahap ini akan dilakukan pilihan-pilihan yang digunakan sebagai alternatif dalam
memecahkan masalah yang telah masuk dalam agenda kebijakan. Dalam melakukan
pilihan, tentunya alternatif tersebut benar-benar dapat dilaksanakan dan memiliki
tujuan, yaitu mampu memecahkan setiap masalah yang terdapat dalam agenda
kebijakan.
4) Tahap Penetapan Kebijakan
Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan yang digunakan
sebagai cara untuk memecahkan masalah, maka tahap paling akhir dalam
pembentukan sebuah kebijakan yaitu menetapkan kebijakan yang telah dipilih
sehingga kebijakan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Bentuk dari
kebijakan tersebut dapat berupa, undang-undang, keputusan presiden, keputusan
menteri dan sebagainya sesuai dengan jenis masalah dan level pemerintahan yang
mengeluarkan kebijakan.
3. Pembahasan
Munculnya Perda larangan miras berasal dari semangat Pemerintah Daerah untuk
menghentikan peredaran miras karena terlalu banyaknya peredaran miras di Kabupaten
Banyumas dimana miras tersebut dapat diakses di semua kalangan masyarakat baik yang
masih berumur muda maupun orang dewasa. Latar belakang lain munculnya perda larangan
miras adalah karena kondisi yang memprihatinkan dimana banyak masyarakat yang bekerja
sebagai penjual minuman beralkohol. Hal tersebut dikarenakan banyaknya masyarakat yang
tidak memiliki keterampilan sehingga mereka terpaksa bekerja sebagai penjual minuman
beralkohol.
Dalam penyusunan suatu kebijakan ataupun peraturan daerah tidak selamanya
berjalan lancar. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan kebijakan atau perda berkaitan secara
langsung dengan berbagai kepentingan para aktor pembuat maupun kepentingan yang ada di
masyarakat. Dinamika permasalahan dalam penyusunan Perda larangan miras sangat
kompleks, hal tersebut dapat dilihat dari waktu yang ditempuh cukup lama dalam
menyelesaikan perda serta munculnya berbagai perselisihan di kalangan masyarakat.
Permasalahan yang terjadi adalah adanya kegelisahan dikalangan masyarakat yang menolak
diterapkannya perda tersebut akan tetapi disisi lain terdapat kelompok masyarakat yang
mendesak eksekutif untuk dapat memasukkan perda larangan miras agar dapat dibahas di
tingkat DPRD. Kelompok masyarakat tersebut sebagian besar berasal dari aliansi organisasi
Islam yang jelas melarang semua kegiatan yang berhubungan dengan miras. Kegiatan miras
merupakan suatu kebiasaan yang jika dilanjutkan dalam jangka panjang akan menjadi
penyakit sosial yang membahayakan masyarakat secara luas. Penyakit sosial atau patologi
sosial merupakan suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara berbagai unsur dari suatu
keseluruhan, sehingga dapat membahayakan kehidupan berkelompok, atau yang sangat
merintangi pemuasan keinginan fundamental dari anggota – anggotanya, akibatnya
pengikatan sosial tidak terjadi. Dalam tahapan pasca penetapan perda larangan miras,
permasalahan pun tetap terjadi. Keputusan yang di ambil tidak diterima sepenuhnya oleh
semua lapisan masyarakat Banyumas. Tidak diterimanya keputusan perda ini sangat
berpengaruh pada efektifitas implementasi perda larangan miras di Kabupaten Banyumas.
Dinamika aliran kebijakan yang terjadi pada penyusunan suatu perda merupakan
kemungkinan alternatif–alternatif kebijakan yang ditawarakan pada saat penyusunan
berlangsung. Alternatif kebijakan harus dipilih secara tepat agar implementasi kebijakan
dapat dijalankan secara efektif dan efisien.Dalam penyusunan perda tentang larangan miras,
alternatif kebijakan yang terjadi yaitu tarik menarik para aktor antara perda yang berbunyi
pengendalian dan larangan. Perda dengan judul pengendalian di ajukan oleh kelompok
kepentingan yaitu dari partai politik, sedangkan perda dengan judul larangan di ajukan aktor
yang berasal dari pemerintah yaitu eksekutif. Dinamika politik merupakan suatu kegiatan
yang di lakukan oleh beberapa orang yang bertindak politik yang diorganisasikan secara
politik dan berusaha mempengaruhi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan.
Dinamika aliran politik ini terdiri atas situasi yang terjadi baik terbentuknya opini maupun
iklim publik yang ada, adanya kekuatan organisasi politik, terjadinya perubahan proses
kebijakan yang merupakan hasil dari pengaruh beberapa kelompok kepentingan, serta upaya
pembentukan sebuah konsensus. Dinamika politik juga terjadi pada proses penyusunan perda
tentang larangan miras di Kabupaten Banyumas, dimana terlihat masing – masing aktor
menentukan sikap dan standing position nya untuk menyatakan pro maupun kontra terhadap
penetapan perda tersebut. Dinamika politik tersebut terlihat dalam desakan beberapa
kelompok kepentingan kepada eksekutif untuk segera mengesahkan Perda tentang larangan
miras dan adanya tarik menarik dan penyebaran kekuatan politik antar para aktor dalam
Panitia Khusus yang membahas perda miras.
Perda tentang larangan miras merupakan salah satu perda yang menyentuh
kepentingan semua golongan, sehingga tidak dapat dipungkiri apabila hal proses penyusunan
perda ini akan dimanfaatkan sebaik mungkin oleh kelompok kepentingan untuk dapat
memperoleh dukungan dari masyarakat. Kelompok kepentingan ini juga membangun
konsesnsus dimana mereka melakukan tawar – menawar terhadap alternatif kebijakan yang
dapat mengakomodir kepentingan mereka, hal ini juga dilakukan dengan mencari dukungan
dari masyarakat.
Dalam perumusan perda tentang larangan minuman keras di Kabupaten Banyumas,
prosesnya pun berlangsung cukup lama dan penuh dengan kontroversi karena banyak
penolakan yang dilakukan oleh masyarakat. Proses Perumusan Perda tentang larangan miras
berlangsung sejak tahun 2013 saat Perda tersebut di usulkan, akan tetapi tidak berhasil
dilakukan pembahasan. Kemudian Perda tersebut kembali di usulkan pada tahun 2013 dan
dilakukan pembahasan sejak tahun 2014 hingga selesai dilakukan pembahasan dan di ambil
keputusan final pada tahun tersbut pula. Dalam proses pembahasan tersebut dilakukan
hearing oleh Pemerintah Daerah dan DPRD.
Setelah dilakukan beberapa tahap dalam proses penyusunan perda tentang larangan
miras, proses selanjutnya yang dilakukan oleh pembuat kebijakan yang merupakan satu –
satunya proses penentu dari adanya suatu kebijakan yaitu proses penetapan kebijakan.
Penetapan perda tentang larangan miras dilakukan pada awal tahun 2014 yang
telahdirumuskan sejak lama. Rapat ini dilakukan untuk pengambilan persetujuan akhir
bersama eksekutif. Peraturan Daerah tentang larangan miras di Kabupaten Banyumas
ditetapkan dengan judul Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan
Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Hasil atas
Perda Nomor 15 Tahun 2014 mendapatkan respon yang beragam dari para aktor pembuat
kebijakan.
3.1. Aktor yang Berperan dalam Penetapan Perda Nomor 15 Tahun 2014
Dalam perumusan suatu peraturan daerah tidak akan pernah terlepas dari aktor – aktor politik
yang menyusun perda tersebut. Aktor – aktor yang berperan dalam perumusan perda tidak
hanya aktor – aktor politik yang besentuhan langsung dalam proses penyusunannya, tapi juga
termasuk pejabat publik yang berhubungan dengan perda yang dibentuk, kelompok
kepentingan, dinas terkait, masyarakat serta beberapa stakeholder. Aktor yang memiliki peran
cukup besar dalam penyusunan perda tentang larangan miras adalah aktor yang memberikan
pengaruh cukup besar dalam isu permasalahan, agenda kebijakan, penyusunan serta
penetapan perda larangan miras. Aktor – aktor yang memiliki peran besar tersebut
diantaranya eksekutif dan kelompok kepentingan. Di dalam perumusan perda tersebut
tidaklah lepas dari intervensi-intervensi kelompok kepentingan yang merasa dirugikan
dengan adanya kebijakan tersebut seperti para pengusaha hiburan malam/ cafe yang menjual
minuman-minuman beralkohol, kemudian dari kalangan penikmat minuman beralkohol yang
merasa dirugikan dengan adanya kebijakan tersebut serta penjual maupun produsen minuman
tersebut.
3.2. Faktor Pendukung dan penghambat Proses Penetapan Perda
Dalam proses penyusunan suatu peraturan terdapat banyak kepentingan yang berbeda,
sehingga muncul berbagai faktor yang mendukung dan menghambat peraturan tersebut saat
disahkan maupun di implementasikan. Faktor pendukung yaitu sikap yang dinyatakan oleh
Bapak Bupati Banyumas yang mendukung adanya perda tentang larangan miras tersebut,
dukungan juga datang dari aliansi organisasi Islam serta dukungan dari masyarakat. Faktor
penghambat proses pengesahan perda tentang larangan miras adalah kebiasaan masyarakat
yang kemudian mempengaruhi pola pikir dan sikap mereka yang menganggap bahwa
berjualan minuman beralkohol adalah hal yang biasa demi memenuhi kebutuhan terutama di
sekitaran gang sadar serta didukung dengan adanya beberapa tempat-tempat hiburan malam.
Keadaan yang telah berlangsung cukup lama ini menjadi alasan dari adanya aktor-aktor
kepentingan dalam pembuatan perda tersebut.
4. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan
dinamika aktor yang terlibatr dari penetapan Perda Nomor 15 Tahun 2014 di Kabupaten
Banyumas. Kesimpulan yang telah di lakukan di antaranya bahwa Perda tentang minuman
beralkohol di inisiatif oleh Eksekutif dengan usulan dan desakan dari beberapa kelompok
kepentingan seperti aliansi golongan islam/ kelompok keagamaan, maupaun masyarakat yang
resah dengan maraknya peredaran minuman beralkohol yang ada di Kabupaten Banyumas.
Dari pembahasan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa sebenarnya Pemerintah
Kabupaten Banyumas tidak dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu,
diketahui bahwa aktor yang memiliki peran cukup besar dalam penetapan perda diantaranya
adalah Eksekutif yang menginisiasi munculnya perda tentang larangan miras serta organisasi
keagamaan dan kelompok kepentingan yang pro penetapan perda sehingga perda tentang
larangan miras berhasil ditetapkan. SikapEksekutif yang mendukung penuh penetapan Perda
larangan miras juga menjadi faktor pendukung penetapan Perda dapat terlaksana, sedangkan
faktor penghambatnya yaitu sikap masyarakat dan juga kepentingan-kepentingan politis yang
menghambat implementasi kebijakan tersebut sehingga penegakan atas pelanggaran perda
tersebut kurang di tegaskan.
Alasan pemerintah ingin menetapkan Perda tentang larangan minuman beralkohol
adalah untuk mengatur pola konsumsi dan perilaku masyarakat agar menjadi lebih baik lagi.
Akan tetapi dalam proses penetapan Perda minuman beralkohol justru terjadi berbagai
permasalahan karena terjadi berbagai kepentingan politik maupun intervensi kepentingan lain
yang merasa dirugikan dengan adanya perda tersebut. Pemerintah sebagai intitusi yang
melayani dan berkewajiban mensejahterakan rakyatnya harus memikirkan berbagai
kepentingan yang ada agar dapat terakomodir dalam suatu perda. Apabila pemerintah telah
yakin mengambil keputusan untuk menetapkan Perda minuman beralkohol, maka Pemda
Kabupaten Banyumas juga harus mempersiapkan berbagai hal pendukung agar implementasi
berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
5. Daftar Pustaka
Top Related