Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian...

18
Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di Kabupaten Banyumas Disusun Oleh: SRI HANDAYANI (F1B013001)/2013 SITI MUNAWAROH (F1B013009)/2013 BURHAM SUBECHI (F1B013033)/2013 INASSARAH CANDRI .K.(F1B013047)/2013 (Diajukan dalam rangka memenuhi tugas terstruktur kelompok mata kuliah Formulasi Kebijakan Publik Semester 6)

description

Dari pembahasan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa sebenarnya Pemerintah Kabupaten Banyumas tidak dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, diketahui bahwa aktor yang memiliki peran cukup besar dalam penetapan perda diantaranya adalah Eksekutif yang menginisiasi munculnya perda tentang larangan miras serta organisasi keagamaan dan kelompok kepentingan yang pro penetapan perda sehingga perda tentang larangan miras berhasil ditetapkan. SikapEksekutif yang mendukung penuh penetapan Perda larangan miras juga menjadi faktor pendukung penetapan Perda dapat terlaksana, sedangkan faktor penghambatnya yaitu sikap masyarakat dan juga kepentingan-kepentingan politis yang menghambat implementasi kebijakan tersebut sehingga penegakan atas pelanggaran perda tersebut kurang di tegaskan.Alasan pemerintah ingin menetapkan Perda tentang larangan minuman beralkohol adalah untuk mengatur pola konsumsi dan perilaku masyarakat agar menjadi lebih baik lagi. Akan tetapi dalam proses penetapan Perda minuman beralkohol justru terjadi berbagai permasalahan karena terjadi berbagai kepentingan politik maupun intervensi kepentingan lain yang merasa dirugikan dengan adanya perda tersebut. Pemerintah sebagai intitusi yang melayani dan berkewajiban mensejahterakan rakyatnya harus memikirkan berbagai kepentingan yang ada agar dapat terakomodir dalam suatu perda. Apabila pemerintah telah yakin mengambil keputusan untuk menetapkan Perda minuman beralkohol, maka Pemda Kabupaten Banyumas juga harus mempersiapkan berbagai hal pendukung agar implementasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Transcript of Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian...

Page 1: Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di

Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan

Minuman Beralkohol di Kabupaten Banyumas

Disusun Oleh:

SRI HANDAYANI (F1B013001)/2013

SITI MUNAWAROH (F1B013009)/2013

BURHAM SUBECHI (F1B013033)/2013

INASSARAH CANDRI .K.(F1B013047)/2013

(Diajukan dalam rangka memenuhi tugas terstruktur kelompok mata kuliahFormulasi Kebijakan Publik Semester 6)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGIUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKJURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

PURWOKERTO2016

Page 2: Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di

Dinamika Aktor Kebijakan dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 tahun 2014 tentang

Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman

Beralkohol di Kabupeten Banyumas

1. Latar Belakang Masalah

Permasalahan sosial di tengah-tengah masyarakat selalu mengalami perubahan dan

akan terus berkembang mengikuti dinamika masyarakat itu sendiri. Tidak terkecuali

masyarakat kabupaten Malinau yang merupakan suatu kabupaten terletak di perbatasan antara

Indonesia dan Malaysia, juga terus mengalami perkembangan, baik positif maupun yang

negatif. Adapun dalam perkembangan-perkembangan yang negatif di antaranya kebiasaan

dalam mengonsumsi minuman keras atau minuman berakohol.

Sedangkan masalah minuman keras sendiri, sudah tidak dapat dipunkiri, sangat

merasahkan kehidupan sosial masyarakat. Minuman keras atau minuman berakohol tidak saja

membahayakan pemakaianya, tetapi juga membawa dampak yang sangat buruk di

lingkungan masyarakat pemakai. Penyimpanan prilaku negatif pada khususnya kebiasaan

mengonsumsi minuman keras secara berlebihan hingga menyebabkan hilangnya kontrol pada

diri sendiri, atau sering dikatakan mabuk, yang pada akhirnya melahirkan pelanggaran atau

bahkan tindak pidana yang sangat meresahkan masyarakat. Sehingga minuman keras atau

minuman berakohol dapat di simpulkan sebagian sumber dari tindakan-tindakan yang

melanggar aturan hukum yang berlaku baik itu, kecelakaan lalu lintas, pemerkosaan,

pembunuhan, pencurian, penganiayaan, bahkan sampai pada tindak kekerasan dalam

keluarga.

Sedangkan pada saat ini penyebaran minuman keras di Kabupaten Banyumas, sudah

tidak terkontrol lagi, sebagai contoh dalam penyebarannya sudah tidak lagi memandang

batasan usia pemakai atau pengonsumsi minuman keras serata dikhawatirkan akan membawa

dampak yang negatif pada masyarakat, terutama pada anak-anak usia remaja yang nantinya

sebagai generasi penerus bangsa. Selain itu, penyebaran minuman keras yang tidak terkontrol

akan membawa dampak pada tingkat kriminalitas yang tinggi pada masyarakat. Oleh

karenanya, untuk mengatasi personal tersebut maka diperlukan langkah dan terobosan serta

tindakan tegas namun terukur yang dilandasi dengan niat yang tulus untuk melindungi,

mengayomi dan melayani masyarakat, baik masyarakat sebagai korban maupun masyarakat

sebagai pelaku itu sendiri.

Page 3: Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di

Dengan adanya keputasan Presiden nomor 03 Tahun 1997 tentang pegawasan dan

pengadilan minuman berakohol, oleh karana itu Pemerintah Daerah Banyumas mengeluarkan

peraturan daerah nomor 15 tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap

Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

Adapun larangan yang tercantum dalam BAB II Larangan Pasal 2 yaitu :

1. Setiap orang atau badan hukum/badan usaha dilarang memproduksi, memasukkan ke

dalam Wilayah Daerah, mengedarkan, memperdagangkan, menyimpan, menimbun,

menyediakan, minuman beralkohol di Kabupaten Banyumas.

2. Setiap orang dilarang meminum minuman beralkohol di dalam Wilayah Daerah.

3. Dikecualikan dari larangan ini ababila penggunaanya : Sesuai dengan resep Dokter,

Sesuai dengan tata cara keagamaan

4. Dikecualikan dari larangan ini dengan ketentuan :Sesuai dengan adat istiadat

masyarakat adat di Kabupaten Banyumas. Diproduksi dan dikonsumsi sesuai dengan

tata upacar adat, Tidak diperdagangkan atau diperjualbelikan, Tidak dipindahkan ke

tempat yang lain, Mendapat ijin dari Pejabat Pemerintah yang berwenang

Permasalahan yang terjadi di Kabupaten Banyumas secara khusus terjadi banyak nya

yang menjual, mengedarkan, memperdagangkan, menyimpan, menyediakan secara ilegal

dan bersebar sangat luas padahal Perda Pemerintah Daerah Banyumas mengeluarkan

peraturan daerah nomor 15 tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap

Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, tersebut sudah lama di

implementasikan. Hal ini disebabkan substansi yang mencoba membawa minuman

beralkohol menjadi salah satu pendapatan daerah . Beberapa pihak seperti petani dan

produsen menyatakan dukungan penuh dan keberpihakan mereka, dimana disisi lain

pengusaha dan masyarakat golongan tertentu menunjukkan secara terang-terangan

penolakan mereka. Melihat fakta yang menarik ini, maka penulis mencoba untuk

membahas topik tentang “Dinamika Aktor Kebijakan dalam Formulasi Peraturan

Daerah nomor 15 tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap

Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di Kabupeten

Banyumas.’’

Page 4: Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di

2. Tinjuan Pustaka

2.1 Kebijakan publik

Chandler dan Plano (1988) mengatakan bahwa Kebijakan publik merupakan

pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan

masalah-masalah publik atau pemerintah. Sedangkan menurut Woll (1966), Kebijakan publik

adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara

langsung maupun melalui berbagai lembagayang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Adapun pengaruh dari tindakan pemerintah tersebut adalah : 1) Adanya pilihan kebijakan

yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya yang bertujuan

menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat. 2) Adanya

output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah

untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi

dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat. 3) Adanya dampak

kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan

masyarakat.Jones memandang kebijakan publik sebagai suatu kelanjutan kegiatan pemerintah

di masa lalu dengan hanya mengubahnya sedikit demi sedikit atau yang biasa disebut sebagai

decision making, yaitu ketika pemerintah membuat suatu keputusan untuk suatu tindakan

tertentu.

2.2. Aktor Kebijakan Publik

Menurut Howlet dan Ramesh, aktor-aktor dalam kebijakan terdiri atas lima kategori,

yaitu sebagai berikut: 1) Aparatur yang dipilih (elected official) yaitu berupa eksekutif dan

legislative. 2) Aparatur yang ditunjuk (appointed official), sebagai asisten birokrat, biasanya

menjadi kunci dasar dan sentral figure dalam proses kebijakan atau subsistem kebijakan. 3)

Kelompok-kelompok kepentingan (interest group),Pemerintah dan politikus seringkali

membutuhkan informasi yang disajikan oleh kelompok-kelompok kepentingan guna

efektifitas pembuatan kebijakan atau untuk menyerang oposisi mereka. 4) Organisasi-

organisasi penelitian (research organization), berupa Universitas, kelompok ahli atau

konsultan kebijakan. 5) Media massa (mass media), sebagai jaringan hubungan yang krusial

diantara Negara dan masyarakat sebagai media sosialisasi dan komunikasi melaporkan

permasalahan yang dikombinasikan antara peran reporter dengan peran analis aktiv sebagai

advokasi solusi.

Menurut Long & Long (1992) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa perumusan

kebijakan publik yang partisipatif, interaksi aktor harus berlangsung secara setara, intersif

Page 5: Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di

dan interface. Model inilah yang oleh kedua penulis disebut sebagai model orientasi aktor.

Sementara de Zeeuw (2001), seorang psikolog menyimpulkan bahwa perumus kebijakan

publik seharusnya memperhatikan potensi dan kemampuan masyarakat anggota kolektivitas

secara keseluruhan sehingga kebijakan yang ditentukan tidak memihak dan dapat diakses

oleh seluruh aktor yang terlibat dalam kolektivitas tersebut.

Almond & Verba (1985) meneliti perbandingan orientasi aktor yang disebut sebagai

budaya politik di berbagai negara menyimpulkan bahwa ada keterkaitan yang erat antara

penampilan rezim politik yang tergambar dalam model-model dan sifat kebijakan yang

dibuatnya dengan tipologi budaya politik masyarakatnya. Sinclair (2002) dalam penelitiannya

di Brazilia menekankan pentingnya peran dan keterlibatan masyarakat dalam segala proses

pembangunan. Dalam model yang disebut “Manitoba Approach” ini disimpulkan bahwa,

konsultasi masyarakat merupakan bagian integral yang harus dilakukan dalam setiap tahapan

pembangunan, baik proses perencanaan, pelaksanaan maupun pelestarian keberlangsungan

hasil pembangunan.

2.3. Formulasi Kebijakan

Setelah suatu masalah publik sudah dimasukkan ke dalam agenda kebijakan,

kemudian dibahas oleh pembuat kebijakan dalam tahap formulasi kebijakan. Dari berbagai

masalah yang ada tersebut ditentukan alternatif-alternatif yang tepat dan benar-benar layak

untuk dijadikan fokus dalam penyelesaian suatu masalah.

Formulasi kebijakan memberikan perhatian yang sangat tinggi, karena di dalamnya

mengandung makna bagaimana para analis kebijakan mampu mengenal perbedaan antara

masalah-masalah publik dengan masalah-masalah privat (Anderson, 1984: 57-58). Oleh

karena itu proses perumusan masalah publik merupakan fundamen dasar dalam merumuskan

kebijakan publik, sehingga arahnya menjadi benar, tepat, dan sesuai.

Terdapat beberapa tahapan dalam perumusan kebijakan (dalam Winarno, 2014; 123-

126) antara lain:

1) Tahap Perumusan Masalah (Defining Problem)

Page 6: Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di

Mengenali dan merumuskan masalah dalam perumusan kebijakan merupakan

tahap yang paling penting untuk menentukan suatu sifat dari suatu masalah yang ada.

Oleh karena itu, untuk dapat merumuskan kebijakan yang baik, maka masalah-

masalah publik harus dapat dikenali dan didefinisikan dengan baik.

Menurut Dunn (Dunn, 1992: 226), terdapat fase-fase yang perlu diperhatikan

dalam merumuskan masalah, sehingga hasil akhir dari kebijakan yang ditetapkan

mampu menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi. Fase tersebut terdiri atas;

problem search (pencarian masalah), problem definition (pendefinisian masalah),

problem spesification (menyepesifikasi masalah), problem sensing (pengenalan

masalah).

Dengan demikian, langkah awal dari perumusan masalah adalah merasakan

keberadaan antara masalah yang bersifat publik dan masalah yang bersifat privat.

Untuk itu pencarian masalah menjadi sangat penting keberadaannya. Pada tahap ini,

tujuan jangka pendek para analis bukan hanya menemukan masalah yang bersifat

tunggal melainkan berupaya memanifestasi beberapa masalah yang ada di lapangan.

2) Tahap Agenda Kebijakan

Tidak semua masalah yang telah didefinisikan dalam tahap perumusan masalah

akan langsung masuk dalam agenda kebijakan. Hanya masalah-masalah tertentu saja

yang pada akhirnya akan masuk dalam agenda kebijakan. Terdapat beberapa

syarat/kriteria suatu masalah publik agar dapat masuk ke dalam agenda kebijakan.

Kriteria issue/masalah bisa dijadikan sebagai agenda kebijakan publik (Kimber,

1974 ; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood & Gunn, 1986) :

1. Telah mencapai titik kritis tertentu, jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius.

2. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu.

Page 7: Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di

3. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak dan mendapat

dukungan media massa.

4. Menjangkau dampak yang amat luas.

5. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat.

6. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan

kehadirannya)

3) Tahap Pemilihan Alternatif Kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para

pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari

pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai

alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternative/policy options) yang ada (William

Dunn, 1999).

Tahap formulasi kebijakan merupakan tahap yang sangat penting karena pada

tahap ini akan dilakukan pilihan-pilihan yang digunakan sebagai alternatif dalam

memecahkan masalah yang telah masuk dalam agenda kebijakan. Dalam melakukan

pilihan, tentunya alternatif tersebut benar-benar dapat dilaksanakan dan memiliki

tujuan, yaitu mampu memecahkan setiap masalah yang terdapat dalam agenda

kebijakan.

4) Tahap Penetapan Kebijakan

Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan yang digunakan

sebagai cara untuk memecahkan masalah, maka tahap paling akhir dalam

pembentukan sebuah kebijakan yaitu menetapkan kebijakan yang telah dipilih

sehingga kebijakan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Bentuk dari

kebijakan tersebut dapat berupa, undang-undang, keputusan presiden, keputusan

Page 8: Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di

menteri dan sebagainya sesuai dengan jenis masalah dan level pemerintahan yang

mengeluarkan kebijakan.

3. Pembahasan

Munculnya Perda larangan miras berasal dari semangat Pemerintah Daerah untuk

menghentikan peredaran miras karena terlalu banyaknya peredaran miras di Kabupaten

Banyumas dimana miras tersebut dapat diakses di semua kalangan masyarakat baik yang

masih berumur muda maupun orang dewasa. Latar belakang lain munculnya perda larangan

miras adalah karena kondisi yang memprihatinkan dimana banyak masyarakat yang bekerja

sebagai penjual minuman beralkohol. Hal tersebut dikarenakan banyaknya masyarakat yang

tidak memiliki keterampilan sehingga mereka terpaksa bekerja sebagai penjual minuman

beralkohol.

Dalam penyusunan suatu kebijakan ataupun peraturan daerah tidak selamanya

berjalan lancar. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan kebijakan atau perda berkaitan secara

langsung dengan berbagai kepentingan para aktor pembuat maupun kepentingan yang ada di

masyarakat. Dinamika permasalahan dalam penyusunan Perda larangan miras sangat

kompleks, hal tersebut dapat dilihat dari waktu yang ditempuh cukup lama dalam

menyelesaikan perda serta munculnya berbagai perselisihan di kalangan masyarakat.

Permasalahan yang terjadi adalah adanya kegelisahan dikalangan masyarakat yang menolak

diterapkannya perda tersebut akan tetapi disisi lain terdapat kelompok masyarakat yang

mendesak eksekutif untuk dapat memasukkan perda larangan miras agar dapat dibahas di

tingkat DPRD. Kelompok masyarakat tersebut sebagian besar berasal dari aliansi organisasi

Islam yang jelas melarang semua kegiatan yang berhubungan dengan miras. Kegiatan miras

merupakan suatu kebiasaan yang jika dilanjutkan dalam jangka panjang akan menjadi

penyakit sosial yang membahayakan masyarakat secara luas. Penyakit sosial atau patologi

sosial merupakan suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara berbagai unsur dari suatu

keseluruhan, sehingga dapat membahayakan kehidupan berkelompok, atau yang sangat

merintangi pemuasan keinginan fundamental dari anggota – anggotanya, akibatnya

pengikatan sosial tidak terjadi. Dalam tahapan pasca penetapan perda larangan miras,

permasalahan pun tetap terjadi. Keputusan yang di ambil tidak diterima sepenuhnya oleh

semua lapisan masyarakat Banyumas. Tidak diterimanya keputusan perda ini sangat

berpengaruh pada efektifitas implementasi perda larangan miras di Kabupaten Banyumas.

Page 9: Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di

Dinamika aliran kebijakan yang terjadi pada penyusunan suatu perda merupakan

kemungkinan alternatif–alternatif kebijakan yang ditawarakan pada saat penyusunan

berlangsung. Alternatif kebijakan harus dipilih secara tepat agar implementasi kebijakan

dapat dijalankan secara efektif dan efisien.Dalam penyusunan perda tentang larangan miras,

alternatif kebijakan yang terjadi yaitu tarik menarik para aktor antara perda yang berbunyi

pengendalian dan larangan. Perda dengan judul pengendalian di ajukan oleh kelompok

kepentingan yaitu dari partai politik, sedangkan perda dengan judul larangan di ajukan aktor

yang berasal dari pemerintah yaitu eksekutif. Dinamika politik merupakan suatu kegiatan

yang di lakukan oleh beberapa orang yang bertindak politik yang diorganisasikan secara

politik dan berusaha mempengaruhi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan.

Dinamika aliran politik ini terdiri atas situasi yang terjadi baik terbentuknya opini maupun

iklim publik yang ada, adanya kekuatan organisasi politik, terjadinya perubahan proses

kebijakan yang merupakan hasil dari pengaruh beberapa kelompok kepentingan, serta upaya

pembentukan sebuah konsensus. Dinamika politik juga terjadi pada proses penyusunan perda

tentang larangan miras di Kabupaten Banyumas, dimana terlihat masing – masing aktor

menentukan sikap dan standing position nya untuk menyatakan pro maupun kontra terhadap

penetapan perda tersebut. Dinamika politik tersebut terlihat dalam desakan beberapa

kelompok kepentingan kepada eksekutif untuk segera mengesahkan Perda tentang larangan

miras dan adanya tarik menarik dan penyebaran kekuatan politik antar para aktor dalam

Panitia Khusus yang membahas perda miras.

Perda tentang larangan miras merupakan salah satu perda yang menyentuh

kepentingan semua golongan, sehingga tidak dapat dipungkiri apabila hal proses penyusunan

perda ini akan dimanfaatkan sebaik mungkin oleh kelompok kepentingan untuk dapat

memperoleh dukungan dari masyarakat. Kelompok kepentingan ini juga membangun

konsesnsus dimana mereka melakukan tawar – menawar terhadap alternatif kebijakan yang

dapat mengakomodir kepentingan mereka, hal ini juga dilakukan dengan mencari dukungan

dari masyarakat.

Dalam perumusan perda tentang larangan minuman keras di Kabupaten Banyumas,

prosesnya pun berlangsung cukup lama dan penuh dengan kontroversi karena banyak

penolakan yang dilakukan oleh masyarakat. Proses Perumusan Perda tentang larangan miras

berlangsung sejak tahun 2013 saat Perda tersebut di usulkan, akan tetapi tidak berhasil

dilakukan pembahasan. Kemudian Perda tersebut kembali di usulkan pada tahun 2013 dan

dilakukan pembahasan sejak tahun 2014 hingga selesai dilakukan pembahasan dan di ambil

Page 10: Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di

keputusan final pada tahun tersbut pula. Dalam proses pembahasan tersebut dilakukan

hearing oleh Pemerintah Daerah dan DPRD.

Setelah dilakukan beberapa tahap dalam proses penyusunan perda tentang larangan

miras, proses selanjutnya yang dilakukan oleh pembuat kebijakan yang merupakan satu –

satunya proses penentu dari adanya suatu kebijakan yaitu proses penetapan kebijakan.

Penetapan perda tentang larangan miras dilakukan pada awal tahun 2014 yang

telahdirumuskan sejak lama. Rapat ini dilakukan untuk pengambilan persetujuan akhir

bersama eksekutif. Peraturan Daerah tentang larangan miras di Kabupaten Banyumas

ditetapkan dengan judul Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan

Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Hasil atas

Perda Nomor 15 Tahun 2014 mendapatkan respon yang beragam dari para aktor pembuat

kebijakan.

3.1. Aktor yang Berperan dalam Penetapan Perda Nomor 15 Tahun 2014

Dalam perumusan suatu peraturan daerah tidak akan pernah terlepas dari aktor – aktor politik

yang menyusun perda tersebut. Aktor – aktor yang berperan dalam perumusan perda tidak

hanya aktor – aktor politik yang besentuhan langsung dalam proses penyusunannya, tapi juga

termasuk pejabat publik yang berhubungan dengan perda yang dibentuk, kelompok

kepentingan, dinas terkait, masyarakat serta beberapa stakeholder. Aktor yang memiliki peran

cukup besar dalam penyusunan perda tentang larangan miras adalah aktor yang memberikan

pengaruh cukup besar dalam isu permasalahan, agenda kebijakan, penyusunan serta

penetapan perda larangan miras. Aktor – aktor yang memiliki peran besar tersebut

diantaranya eksekutif dan kelompok kepentingan. Di dalam perumusan perda tersebut

tidaklah lepas dari intervensi-intervensi kelompok kepentingan yang merasa dirugikan

dengan adanya kebijakan tersebut seperti para pengusaha hiburan malam/ cafe yang menjual

minuman-minuman beralkohol, kemudian dari kalangan penikmat minuman beralkohol yang

merasa dirugikan dengan adanya kebijakan tersebut serta penjual maupun produsen minuman

tersebut.

3.2. Faktor Pendukung dan penghambat Proses Penetapan Perda

Dalam proses penyusunan suatu peraturan terdapat banyak kepentingan yang berbeda,

sehingga muncul berbagai faktor yang mendukung dan menghambat peraturan tersebut saat

disahkan maupun di implementasikan. Faktor pendukung yaitu sikap yang dinyatakan oleh

Bapak Bupati Banyumas yang mendukung adanya perda tentang larangan miras tersebut,

Page 11: Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di

dukungan juga datang dari aliansi organisasi Islam serta dukungan dari masyarakat. Faktor

penghambat proses pengesahan perda tentang larangan miras adalah kebiasaan masyarakat

yang kemudian mempengaruhi pola pikir dan sikap mereka yang menganggap bahwa

berjualan minuman beralkohol adalah hal yang biasa demi memenuhi kebutuhan terutama di

sekitaran gang sadar serta didukung dengan adanya beberapa tempat-tempat hiburan malam.

Keadaan yang telah berlangsung cukup lama ini menjadi alasan dari adanya aktor-aktor

kepentingan dalam pembuatan perda tersebut.

4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan

dinamika aktor yang terlibatr dari penetapan Perda Nomor 15 Tahun 2014 di Kabupaten

Banyumas. Kesimpulan yang telah di lakukan di antaranya bahwa Perda tentang minuman

beralkohol di inisiatif oleh Eksekutif dengan usulan dan desakan dari beberapa kelompok

kepentingan seperti aliansi golongan islam/ kelompok keagamaan, maupaun masyarakat yang

resah dengan maraknya peredaran minuman beralkohol yang ada di Kabupaten Banyumas.

Dari pembahasan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa sebenarnya Pemerintah

Kabupaten Banyumas tidak dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu,

diketahui bahwa aktor yang memiliki peran cukup besar dalam penetapan perda diantaranya

adalah Eksekutif yang menginisiasi munculnya perda tentang larangan miras serta organisasi

keagamaan dan kelompok kepentingan yang pro penetapan perda sehingga perda tentang

larangan miras berhasil ditetapkan. SikapEksekutif yang mendukung penuh penetapan Perda

larangan miras juga menjadi faktor pendukung penetapan Perda dapat terlaksana, sedangkan

faktor penghambatnya yaitu sikap masyarakat dan juga kepentingan-kepentingan politis yang

menghambat implementasi kebijakan tersebut sehingga penegakan atas pelanggaran perda

tersebut kurang di tegaskan.

Alasan pemerintah ingin menetapkan Perda tentang larangan minuman beralkohol

adalah untuk mengatur pola konsumsi dan perilaku masyarakat agar menjadi lebih baik lagi.

Akan tetapi dalam proses penetapan Perda minuman beralkohol justru terjadi berbagai

permasalahan karena terjadi berbagai kepentingan politik maupun intervensi kepentingan lain

yang merasa dirugikan dengan adanya perda tersebut. Pemerintah sebagai intitusi yang

melayani dan berkewajiban mensejahterakan rakyatnya harus memikirkan berbagai

kepentingan yang ada agar dapat terakomodir dalam suatu perda. Apabila pemerintah telah

yakin mengambil keputusan untuk menetapkan Perda minuman beralkohol, maka Pemda

Page 12: Dinamika Aktor Kebijakan Dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di

Kabupaten Banyumas juga harus mempersiapkan berbagai hal pendukung agar implementasi

berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

5. Daftar Pustaka