perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG
DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN
PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan Untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Juni Panto Susilo
NIM. E 0006150
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA
AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT
PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA
Oleh
Juni Panto Susilo
NIM. E 0006150
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 18 Januari 2011
Dosen Pembimbing I
Edy Herdyanto, S. H, M. H
NIP. 1957291985031002
Dosen Pembimbing II
Muh. Rustamaji, S. H, M.H
NIP. 198210082002005011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA
AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT
PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA
Oleh
Juni Panto Susilo
NIM. E 0006150
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 18 Januari 2011
DEWAN PENGUJI
1.Bambang Santoso, S.H., M.Hum : .............................................. NIP. 196202091989031001
Ketua
2.Muh. Rustamaji, S.H., M.H. : ............................................... NIP.198210082002005011001
Sekretaris
3. Edy Herdyanto, S.H., M.H. : ............................................... NIP. 1957291985031002
Anggota
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum
NIP. 19610930 1986011 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Juni Panto Susilo
NIM : E0006150
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
Tinjauan Argumentasi Legalitas Dan Kewenangan Jaksa Agung dalam
Mengajukan Peninjauan Kembali Berkait Putusan Praperadilan Kasus Bibit
dan Chandra adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya
dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam
daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar,
maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan
hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Januari 2011
yang membuat pernyataan
Juni Panto Susilo
NIM. E0006150
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAKS
Juni Panto Susilo. E0006150. TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui legalitas dan kewenangan jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali berkait putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra oleh Kejaksaan Agung. Jaksa mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan kasus praperadilan Bibit dan Chandra karena ingin mempertahankan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung untuk menutup perkara tersebut. Padahal ada alternatif lain untuk mengesampingkan perkara yaitu dengan deponering.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif bersifat perskriptif dan terapan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan doktrinal. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder. Teknik analisis penelitian dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deduksi, yaitu metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dihasilkan simpulan. Kesatu, jaksa mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra merupakan suatu tindakan yang tidak legal karena tidak ada aturan hukum yang mengaturnya. Kedua, jaksa tidak berwenang untuk melakukan peninjauan kembali atas putusan kasus praperadilan kasus Bibit dan Chandra hal ini melanggar Pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2005. Jaksa melakukan sebuah terobosan hukum yang justru membuat ketidakpastian hukum.
Kata kunci: Peninjauan Kembali, Praperadilan, dan Kejaksaan Agung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACS
Juni Panto Susilo. E0006150. THE OVERVIEW OF LEGALITY ARGUMENTATION AND GENERAL ATTORNEY AUTHORITY IN THE FILLING OF REVIEW RELATED TO THE PRETRIAL VERCIT OF BIBIT AND CHANDRA CASES. Faculty of Law University of Sebelas Maret Surakarta.
The aim of this research to determine the legality and authority of prosecutors in filing pretrial review of the decision relates Bibit and Chandra by the Attorney General. Prosecutors proposed a judicial review against the decision of the case of pretrial Bibit and Chandra because they wanted to maintain the Letter of Termination of Prosecution Assessment issued by the Attorney General to close the case. Though there are other alternatives to rule out the case with deponering.
This research is a normative nature perskriptif and applied research. The approach used in this study is using doctrinal approach. The techniques of legal materials collection is primary and secondary legal materials. Technical analysis of research in this study using deductive analysis technique, a method that stems from the filing of major premise and then submitted to minor premise. From the premises is then drawn a conclusion.
Based on the results of the research and its discussion, it can be concluded that. First, prosecutors filed for judicial review of pretrial ruling Bibit and Chandra was an act that was not legal because there were no legal rules that govern them. Second, the prosecutor was not authorized to conduct a review of the decision of the case pretrial Bibit and Chandra it violated of Article 45 paragraph (2) of Law Number 5 of 2004 and SEMA Number 7 of 2005. Attorney conducted a legal breakthrough that would make legal uncertainty. Keywords : Judicial Review, Pretrial, and Attorney General
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“ Berdoa dan berusaha adalah kunci keberhasilan dan
kesuksesan, apapun yang terjadi janganlah mudah
menyerah dan putus asa... pantang mundur!!!! ”
-Penulis-
“ Pencapaian keberhasilan dimasa depan didapat dari
pemanfaatan setiap detik dalam hidup, masa depan
merupakan akumulasi dari masa sekarang ”
-Penulis-
” Sepi ing pamrih rame ing gawe ”
-N N-
” Hidup Adalah Peningkatan ”
-Penulis-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Penulisan Hukum ini, penulis persembahkan kepada:
1. Bapak ibuku tercinta yang telah melahirkan, merawat, menjaga,
membesarkan, membimbing, dan mendidik dengan penuh cinta dan kasih
sayang yang tulus. Terima kasih untuk segala pengorbanan, doa, semangat
dan dukungan yang bapak dan ibu berikan kepada saya selama ini.
2. Adik tersayang semoga cepat menyusul kakakmu ini untuk segera lulus dan
wisuda, semoga kelak kamu bisa meraih cita-citamu menjadi bidan yang
menolong banyak ibu untuk melahirkan putra-putrinya.
3. Sahabat-sahabatku Genk Mogglenk : Ahimsa S, Adhi CN , Agus S, Didit S,
Eriek C, Farid M, Haris W, M. Zaki I, Puguh R,dan Rudi AT, terima kasih,
semoga jalinan persahabatan kita abadi selamanya, AMIIIN.....
4. Teman-temanku : Wasiat Eko, Aji BG, Gurindo... ayo semangat !!!! Skripsi
tidak selesai kalau Cuma dipandangi saja harus dikerjakan.
5. Temanku Ginati Ayuningtyas, terima kasih banyak atas semua pelajaran
kehidupan yang pernah kamu ajarkan padaku untuk mengerti dan menghargai
arti sebuah teman, sahabat, dan kasih sayang.
6. Adik kecilku Mahardhika Putri Utami, terima kasih buat perhatiannya selama
ini. Maaf, terkadang Mas Juni terlalu sibuk untuk mempersiapkan masa depan.
7. Teman seperjuanganku Wahyu Agus Kurniawati AS yang telah membantu
selama menempuh perkuliahan hingga sekarang dapat menyusun penulisan
hukum (Skripsi).
8. Rekan-rekan Indis 2009, rekan-rekan Posita 2009, dan rekan-rekan angkatan
2006, yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, terima kasih atas segala
pengalaman dan motivasinya.
9. Terima kasih pada KSP Principium dan BEM FH UNS yang pernah
membimbing saya dalam berorganisasi sehingga saya sedikit banyak
mempunyai pengalaman berorganisasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
serta rasa syukur kehadirat Allah SWT, penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul
”TINJAUAN LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA DALAM
MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN
PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA OLEH KEJAKSAAN
AGUNG” dapat diselesaikan oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini, masih banyak
kekurangannya dalam menyusun skripsi ini.dalam penulisan hukum ini, penulis
tidak lepas dari hambatan serta kesulitan-kesulitan, namun berkat bimbingan,
bantuan, nasehat dan saran-saran dari berbagai pihak khususnya pembimbing
segala hambatan dan kesulitan-kesulitan tersebut akhirnya dapat diatasi dengan
baik. Penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak, sehingga dapat memperkaya isi penulisan hukum ini.
Penulis yakin bahwa keberhasilan di dalam penyelesaian penulisan hukum
ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, maka dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya.
2. Nabi Muhammad SAW, semoga penulis dapat istiqomah dijalanNya hingga
akhir jaman.
3. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS
yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan
menyelesaikan penulisan hukum ini.
4. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III yang telah
membantu dalam pemberian izin dilakukannya penulisan ini.
5. Bapak Edy Herdyanto, S.H, M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus pembimbing I
dalam penulisan hukum ini yang telah memberikan yang telah banyak
membantu memberikan pengarahan, bimbingan serta saran dalam penulisan
hukum ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
6. Bapak Muhammad Rustamaji S.H, M.H, selaku Pembimbing akademik
sekaligus menjadi Pembimbing II dalam penulisan hukum ini yang telah
banyak memberikan masukan, arahan dan saran dalam penyusunan proposal
dan penulisan hukum ini dan telah membimbing saya selama kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta tercinta ini.
7. Bapak Bambang Santoso S.H, M.Hum, selaku Dosen Hukum Acara Pidana
yang telah membekali penulis dengan ilmu Hukum Acara Pidana
8. Bapak Kristiyadi S.H, M.Hum, selaku Dosen Hukum Acara Pidana yang telah
membekali penulis dengan ilmu Hukum Acara Pidana.
9. Bapak Lego Karjoko S.H, M.H, selaku ketua PPH dan Mas Wawan yang telah
membantu dalam proses penulisan hukum ini.
10. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu,
serta mengajari dan membimbing Penulis sehingga dapat menjadi bekal bagi
Penulis dalam penulisan hukum ini.
11. Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas
Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan-kesempatan yang
telah diberikan.
12. Seluruh keluarga, terima kasih untuk semua doa, perhatian, kasih sayang dan
peluh harap serta tetes air mata yang diberikan
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan bagi penulis, baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian
penulisan hukum ini.
Sebagai kata terakhir semoga skripsi ini membawa manfaat, tidak lupa
pula penulis ucapkan Alhamdulillahhirobil’alamin kepada Allah SWT yang
memberi petunjuk serta kekuatan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
Surakarta, Januari 2011
Penulis
Juni Panto Susilo
NIM. E 0006150
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
ABSTRAK ....................................................................................................... v
ABSTRACT..................................................................................................... vi
MOTTO ........................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ............................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................... xiii
DAFTAR BAGAN........................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xvii
BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 6
E. Metode Penelitian .................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................. 11
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 14
A. Kerangka Teori ........................................................................ 14
1. Tinjauan tentang Kejaksaan Agung ................................... 14
a. Pengertian Kejaksaan Agung.................................. 14
b. Susunan Kejaksaan ................................................. 16
c. Wewenang Kejaksaan ............................................ 16
d. Pengertian Penuntut Umum..................................... 18
e. Wewenang Penuntut Umum..................................... 18
f. Penghentian Penuntutan ......................................... 19
2. Tinjauan tentang Peninjauan kembali ……....……………. 20
a. Pengertian Peninjauan Kembali............................... 20
b. Putusan Pengadilan yang dapat Dimintakan
Pengajuan Peninjauan Kembali.............................. 21
c. Pihak yang dapat Mengajukan Peninjauan Kembali
................................................................................ 22
d. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali ................. 22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
e. Tata Cara Mengajukan Peninjauan kembali........... 24
f. Pemeriksaan Permintaan di Sidang Pengadilan
Negeri..................................................................... 26
g. Putusan Peninjauan Kembali.................................. 27
h. Asas yang Ditentukan dalam Upaya ...................... 29
Peninjauan Kembali
3. Tinjauan tentang Praperadilan ........................................... 29
a. Pengertian Praperadilan.......................................... 29
b. Tujuan dan Fungsi Praperadilan............................. 31
c. Wewenang Praperadilan......................................... 31
d. Pihak yang berhak mengajukan Permohonan
Praperadilan ........................................................... 32
e. Pengajuan dan Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan
............................................................................... 33
f. Bentuk dan Isi Putusan Praperadilan...................... 34
g. Pemeriksaan Praperadilan Dinyatakan Gugur........ 35
h. Upaya Banding, Kasasi, dan Pengajuan Kembali
atas Putusan Praperadilan....................................... 36
B. Kerangka Pemikiran ................................................................. 39
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 42
A. Hasil Penelitian ........................................................................ 42
B. Pembahasan ............................................................................. 45
1. Argumentasi Jaksa Agung sebagai Alasan Pengajuan
Peninjauan Kembali .......................................................... 45
2. Putusan Mahkamah Agung Atas Pengajuan Peninjauan
Kembali Oleh Jaksa Yang Mengakibatkan Alasan
Kewenangan Jaksa Dalam Mengajukan Peninjauan
Kembali Tidak Bisa Diterima ............................................ 64
BAB IV : PENUTUP………………. ............................................................. 73
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
A. Simpulan………….. ................................................................ 73
B. Saran……………..................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 75
LAMPIRAN
DAFTAR BAGAN
Gambar 1 : Alur Kerangka Pemikiran............................................................. 39
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
Gambar 2 : Skema Upaya Hukum yang Dilakukan Jaksa............................... 60
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 152 PK/Pid/2010.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasus-kasus yang terjadi dilingkup peradilan Indonesia saat ini banyak
disoroti oleh masyarakat luas. Perkembangan zaman yang diimbangi dengan
perkembangan teknologi dan intelektualitas manusia semakin membuat berbagai
jenis kasus-kasus hukum yang terjadi sulit dipecahkan. Sebagaimana kasus yang
menimpa dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi banyak menarik perhatian
masyarakat luas. Isu penggembosan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
maupun isu rekayasa kasus terhadap perkara tersebut menambah semakin
rumitnya perkara tersebut.
Polemik yang terjadi di dunia peradilan Indonesia ini membuat ancaman
bagi kelangsungan hukum yang berlaku di Indonesia. Tiga nama institusi penting
di Indonesia yaitu Polri, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi jatuh
kewibawaannya karena kasus tersebut. Dua nama pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi yaitu Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah dituduh
melakukan kejahatan dengan menyalahgunakan kewenangannya. “Polri kemudian
melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus tersebut untuk menemukan
bukti dugaan bahwa Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah melakukan
kejahatan atas penyalahgunaan kewenangannya dalam menangani kasus korupsi
pengadaan Sistem Komunikasi Radio Telekomunikasi (SKRT) di Departemen
Kehutanan (Dephut)” (http://www.inilah.com /news/ read/ politik /2010/06/ 12
/595201 /icw-desak-ma-kabulkan- pk-skpp-chandra-bibit/ [ Senin, 13 Desember
2010 pukul 20.00 WIB).
Polri melakukan pemeriksaan terhadap Bibit Samad Riyanto dan Chandra
Hamzah untuk mengembangkan kasus dan mencari bukti-bukti yang menguatkan
dugaan melakukan kejahatan atas penyalahgunaan kewenangannya. Pada
akhirnya, Polri pun menyusun berkas perkara atas kasus tersebut dan selanjutnya
menyerahkan berkas perkara kepada Kejaksaan. Kejaksaan menerima berkas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
tersebut yang dinyatakan P-21 atau berkas pekara sudah lengkap atau sempurna
untuk selanjutnya dilakukan penuntutan.
Banyaknya masyarakat yang mengikuti perkembangan kasus ini
menyebabkan gejolak hukum yang meresahkan dan menganggu kelangsungan
hukum di Indonesia. Masyarakat menduga bahwa seakan-akan kasus tersebut
direkayasa untuk menjatuhkan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra. Isu adanya penggembosan KPK
pun terus bergulir dan menyebabkan keresahan masyarakat akan kejadian
tersebut. Hal itu juga akan mengganggu tugas-tugas KPK sebagai komisi yang
mendapatkan mandat untuk memberantas korupsi yang terjadi di Negara
Indonesia. Pada Akhirnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui
pidatonya menganggapi perkara yang meresahkan dan mengganggu kelangsungan
hukum itu dengan mendesak Jaksa Agung agar menghentikan penuntutan
terhadap kasus tersebut. Pada saat itu, Jaksa Agung yang dijabat oleh Hendarman
Supandji menanggapi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan
mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus
tersebut padahal Jaksa Agung mempunyai alternatif lain yaitu deponering.
Jaksa Agung memilih mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP) sesuai dengan Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Alasan yang
mendasari dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP)
bahwa perkara tersebut tidak layak untuk diajukan ke pengadilan karena tidak
cukup bukti. “SKPP Kejagung dalam perkara Bibit-Chandra memang unik karena
memuat dua pertimbangan yang kontradiktif. Pertama, telah cukup bukti dalam
perkara Bibit-Chandra. Kedua, pertimbangan sosiologis yang intinya tidak
diperlukan melanjutkan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan”
(http://news.okezone.com/read /2010/04/29 /58/327523 /skpp-bibit-chandra-dan-
putusan- praperadilan [ Senin, 13 Desember 2010 pukul 20.15 WIB]).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Selain itu, Jaksa Agung mempunyai alasan sosiologis yakni:
1. Adanya suasana kebainan yang berkembang saat ini membuat prkara
tersebut tidak layak untuk diajukan ke pengadilan, kareana lebih banyak
mudharat dari pada manfaatnya;
2. Untuk menjaga keterpaduan /keharmonisasi lembaga penegak hukum
(Kejaksaan, Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam
menjalankan tugasnya untuk pemberantasan korupsi, sebagai alasan
doktrinal yang dinamis dalam hukum pidana;
3. Masyarakat memandang perbuatan yang dilakukan oleh tersangka tidak
layak untuk dipertanggungjawabkan kepada trsangka karena perbuatan
tersebut adalah dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang di dalam
pemberantasan korupsi yang memerlukan terobosan-terobosan hukum.
Berawal dari alasan sosiologis yang dinyatakan dalam oleh Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan (SKPP) oleh Jaksa Agung tersebut munculah banyak
reaksi dari berbagai pihak. Dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP) oleh Jaksa Agung dengan menggunakan dasar alasan
sosiologis tentu saja tidak sesuai dengan dasar alasan penghentian penuntutan.
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) dinilai mempunyai
kejanggalan maupun kelemahan yang mengakibatkan cacat hukum dan layak
untuk dibatalkan. Pencantuman alasan sosiologi dalam Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan (SKPP) dianggap tidak tepat dan lebih tepat digunakan
dasar untuk deponering. Jaksa Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP) karena desakkan masyarakat dan situasi hukum yang sedang
memanas karena kejadian tersebut.
Pada dasarnya Jaksa Agung dianggap telah menyimpangi Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini didasarkan karena berkas
perkara yang sudah diterima oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sudah
sempurna atau dinyatakan P-21. Akan tetapi, Jaksa Agung menganggap perkara
tersebut dianggap tidak memiliki bukti cukup kuat untuk dilakukan penuntutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Penggunaan alasan sosiologis yang dinyatakan Jaksa Agung dalam Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) juga tidak sesuai dengan KUHAP.
Berdasarkan alasan sosiologis tersebut, muncul masalah baru yakni ada
pihak ketiga yang berkepentingan yaitu Anggodo Widjoyo yang memperkarakan
kembali Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang meminta agar
SKPP tersebut dibatalkan karena cacat hukum. Kemudian Anggodo Widjoyo
mengajukan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas SKPP yang
dikeluarkan oleh Jaksa Agung tersebut.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan praperadilan yang diajukan
oleh Anggodo Widjoyo. Jaksa selaku penuntut umum tidak terima atas putusan
praperadilan yang dikeluarkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Oleh karena itu, jaksa selaku penuntut umum permohonan banding di Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta. Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permasalahan kembali terjadi pada saat
Kejaksaan Agung melakukan peninjauan kembali atas putusan tersebut kepada
Mahkamah Agung. Padahal putusan tersebut adalah putusan praperadilan dan
pengajuannya peninjauan kembali atas praperadilan tidak diatur dalam KUHAP.
KUHAP juga tidak mengatur secara ekplisit tentang pengaturan peninjauan
kembali yang diajukan jaksa. Peninjauan Kembali diatur dalam Bab XVIII Pasal
263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Adapun yang dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, adalah terpidana atau ahli warisnya (Pasal 263 ayat (1) KUHAP).
Permintaan peninjauan kembali diajukan kepada panitera pengadilan yang telah
memutus perkaranya dalam tingkat pertama (Moch. Fisal Salam,2001:363).
Kejadian-kejadian dari kasus tersebut menjadi polemik hukum baru yang
menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia. Masalah peninjauan kembali
terhadap putusan praperadilan SKPP Bibit dan Chandra tersebut oleh penulis
akan dikaji dalam penulisan hukum ini. Masalah ini penting untuk dikaji karena
untuk mencari solusi ataupun fakta-fakta hukum dalam menyelesaikan kasus-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
kasus yang serupa yang mungkin akan terulang kembali. Selain itu, untuk
menjamin kepastian dan kelangsungan hukum yang berlaku di Indonesia. Apabila
kejadian seperti halnya perkara di atas tidak dikaji, dikhawatirkan masalah serupa
dengan di atas akan muncul kembali dan akan mengancam kepastian hukum dan
kelangsungan hukum yang berlaku di Indonesia.
Penulis tertarik mengkaji masalah ini sebagai pokok permasalahan penulisan
dikarenakan penulis menganggap kejadian tersebut merupakan polemik hukum
nasional yang mengakibatkan ketidakpastian hukum dan mengancam
kelangsungan hukum Indonesia. Peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa
atas putusan praperadilan SKPP kasus Bibit dan Chandra, sangat menarik untuk
dikaji. Apalagi dalam masalah tersebut, jaksa menggunakan upaya hukum
peninjauan kembali atas putusan praperadilan. Kejadian putusan praperadilan
dilakukan peninjauan kembali sangatlah jarang dilakukan oleh jaksa. Selain itu,
sering terjadi peristiwa hukum yang mengakibatkan kebingungan masyarakat
akan kepastian hukum yang berlaku di Indonesia. Terkadang aparat penengak
hukum ingin menciptakan terobosan-terobosan hukum baru dengan penafsiran
tertentu yang justru akan menciptakan masalah baru dalam hukum yang berlaku di
Indonesia. Bertitik tolak dari hal tersebut, penulis perlu mengkaji peristiwa hukum
seperti halnya peninjauan kembali atas putusan praperadilan yang diajukan jaksa
dalam suatu penulisan hukum.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, Penulis ingin mengkaji
lebih dalam mengenai perkara tersebut. Penulis kemudian mengangkat
permasalahan tersebut dalam penulisan hukum ini yang berjudul : “ TINJAUAN
ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG
DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN
PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA ”.
B. Rumusan Masalah
Suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah. Perumusan masalah
dimaksudkan supaya penelitian lebih fokus dan terarah sesuai dengan tujuan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
dilakukan oleh penelitian hukum tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah diuraikan, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimana argumentasi legalitas dan kewenangan Jaksa Agung dalam
mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan Bibit dan
Chandra?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian digunakan untuk memberikan arahan yang tepat dalam
penelitian supaya berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Tujuan dari
penelitian ini sebagaimana berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui legalitas suatu pengajuan peninjauan kembali dalam
suatu putusan praperadilan dalam hal ini berkaitan dengan putusan
praperadilan Bibit dan Chandra yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
b. Untuk mengetahui kewenangan jaksa dalam mengajukan peninjauan
kembali dalam pengaturan hukum yang berlaku di Indonesia.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh bahan hukum dan informasi sebagai bahan utama
dalam penyususan penulisan hukum (Skripsi) guna memenuhi persyaratan
akademis bagi peneliti dalam meraih gelar Sarjana Hukum dalam bidang
Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan dan
pengalaman serta pemahaman aspek Hukum Acara Pidana dalam teori dan
praktiknya, khususnya yang berkaitan dengan pengajuan peninjauan
kembali yang dilakukan oleh jaksa.
c. Untuk lebih mendalami teori dan ilmu pengetahuan tentang hukum yang
diperoleh selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
D. Manfaat Penelitian
Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan
bagi pembaca pada umumnya dan pada penulis pada khususnya. Adapun manfaat
yang dapat diperoleh dari hasil penelitian dibedakan menjadi dua antara lain
manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu sebagai berikut :
1. Manfaat Teori
a. Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan
ilmu hukum pada umumnya dan pada Hukum Acara Pidana pada
khususnya, serta yang berkaitan dengan pengajuan peninjauan kembali
yang dilakukan oleh jaksa dalam putusan praperadilan.
b. Menambah literatur, referensi, dan bahan-bahan informasi ilmiah serta
pengetahuan di bidang hukum yang telah ada sebelumya, khususnya untuk
memberikan penjelasan mengenai kewenangan jaksa dalam mengajuan
peninjauan kembali terutama yang berkaitan dengan putusan praperadilan.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian hukum ini diharapkan dapat membantu dan memberikan
masukan serta sumbangan pemikiran bagi para pihak yang terkait dalam
masalah yang diteliti dan berguna dalam penyelesaiannya.
b. Memberikan jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan dalam
penelitian hukum ini.
c. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk
mengetahui kemampuan penelitian dalam menerapkan ilmu hukum yang
diperoleh.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara yang akan digunakan peneliti untuk
mencapai tingkat ketelitian yang dihadapi. Penelitian hukum merupakan suatu
rangkaian proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab isu hukum yang dihadapi. Dalam
penelitian hukum ini digunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan penelitian judul dan rumusan masalah, penelitian ini
termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau doktrinal dengan
pendekatan kualitatif. Penelitian normatif dapat diartikan sebagai penelitian
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier.
Bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji dan ditarik
suatu kesimpulan sesuai dengan masalah yang diteliti. Kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti untuk kemudian menyusun
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif. Sebagai
konsekuensi dari pemilihan topik permasalahan yang dikaji dalam penelitian
ini yang obyeknya adalah permasalahan hukum, maka tipe penelitian yang
digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni tipe penelitian yang
difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif
untuk dibandingkan dengan pelaksanannya di lapangan.
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas keadilan, konsep-
konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum
menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam
melaksanakan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2010:22).
Penelitian hukum ini dimaksudkan untuk mencari pemecahan atas kasus
yang terjadi yaitu mengenai legatitas dan kewenangan jaksa dalam
mengajukan peninjauan kembali dikaitkan dengan kasus yang sedang
menimpa Bibit dan Chandra atas putusan praperadilan SKPP mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Kemudian hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memberikan
preskriptif atas apa yang seharusnya dilakukan atas kasus hukum tersebut.
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan
tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai
isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya. Pendekatan-pendekatan yang
digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komperatif (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2010:93).
Pendekatan penelitian yang digunakan penulis dalam melakukan
penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan beberapa pendekatan yang
relevan dengan permasalahan penelitian yang dihadapi, yaitu dan pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach).Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dengan regulasi yang bersangkut-paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan undang-undang ini
menggunakan KUHAP untuk mengkaji mengenai legalitas dan kewenangan
jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan.
Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara telaah terhadap
kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Peter
Mahmud Marzuki, 2010:93-94).
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis dan sunber bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Untuk memecahkan isu hukum sekaligus
memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-
sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
sekunder. Sumber bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Sumber bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan - bahan hukum yang mengikat yang
terdiri dari :
1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;
3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia;
4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan
Kehakiman;
5) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1985 tentang
Penghentian Praperadilan;
6) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 tahun 2005 mengenai
Penjelasan tentang Ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;
7) Putusan Mahkamah Agung Nomor 152 PK/Pid/2010.
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,
2010:141).
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Berdasakan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif maka
untuk memperolah bahan hukum yang mendukung kegiatan penulisan hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
ini, maka pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara
studi kepustakaan baik dari media cetak maupun elektronik.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan adalah penalaran hukum. Metode
penalaran hukum adalah kegiatan penalaran ilmiah terhadap bahan-bahan
hukum yang dianalisis menggunakan penalaran deduksi dan induksi. Analisis
bahan hukum adalah tahapan yang dilakukan peneliti dalam mengklasifikasi,
menguraikan bahan hukum yang diperoleh kemudian melalui proses
pengolahan nantinya bahan hukum yang digunakan untuk menjawab
permasalahan yang diteliti. Metode deduksi digunakan penulis untuk
menganalisis bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini. Metode
deduksi adalah metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang
kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik
suatu kesimpulan atau conclusion. Dalam penelitian ini metode deduksi yang
dilakukan adalah diawali penelitian dengan mengajukan hal yang bersifat
umum dalam undang-undang dan diakhiri khusus dalam kasus serta dengan
kesimpulan sebagai temuan atas isu hukum (Peter Mahmud Marzuki,2010:47).
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk
mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka
peneliti menjabarkan dalam bentuk sistematika penulisan hukum yang terdiri atas
4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang
dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai seluruh isi penulisan
hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini, penulis menguraikan latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika skripsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan yang pertama tentang kerangka
teori yang berisi tinjauan kepustakaan yang menjadi
literatur pendukung dalam pembahasan masalah
penulisan hukum ini. Kemudian yang kedua adalah
kerangka pikir yang disajikan dalam bentuk narasi
maupun gambar. Kerangka teori yang berisi tinjauan
kepustakaan yang akan dibahas dalam penulisan ini
meliputi : tinjauan umum mengenai Kejaksaan Agung,
diantaranya yaitu : pengertian Kejaksaan Agung, susunan
kejaksaan, wewenang kejaksaan, pengertian Penuntut
Umum, wewenang Penuntut Umum, dan penghentian
penuntutan; tinjauan umum tentang Peninjauan
Kembali, diantaranya yaitu : pengertian peninjauan
kembali, putusan yang dapat diajukan peninjauan
kembali, pihak yang dapat mengajukan peninjauan
kembali, alasan peninjauan kembali, cara mengajukan
peninjauan kembali, putusan peninjauan kembali, dan
asas yang ditentukan dalam peninjauan kembali; tinjauan
umum tentang Praperadilan, diantaranya yaitu:
pengertian praperadilan, tujuan dan fungsi praperadilan,
wewenang praperadilan, pihak yang berhak mengajukan
permohonan praperadilan, tata cara pengajuan
praperadilan, bentuk dan isi praperadilan, pemeriksaan
praperadilan, dan upaya banding,kasasi dan peninjauan
kembali atas putusan praperadilan. Selanjutnya, bagian
kedua adalah kerangka pikir yang disajikan dalam bentuk
narasi maupun bagan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBASAHAN
Pada bab ini, penulis akan menguraikan dan menyajikan
mengenai hasil penelitian tentang argumentasi legalitas
jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali berkait
putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra. Selain itu,
Bab ini juga akan membahas mengenai kewenangan jaksa
dalam mengajukan peninjauan kembali berkait putusan
praperadilan Bibit dan Chandra. Diuraikan pula mengenai
pembahasan yang dilakukan terhadap teori yang diperoleh
dari hasil penelitian kemudian dianalisis dengan kajian
pustaka, rumusan masalah dan tujuan penelitian.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini diuraikan tentang pokok-pokok yang
menjadi kesimpulan dan saran dari penelitian ini, yang
tentu saja berpedoman pada hasil penelitian dan
pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Kejaksaan Agung
a. Pengertian Kejaksaan Agung
Kejaksaan Agung adalah lembaga negara yang melaksanakan
kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang
berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin
oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada
Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri
merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan yang
semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat
dipisahkan.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak
hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi
hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia,
serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam
Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan Republik Indonesia
sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara
merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004).
Kejaksaan menjalankan tugas dan wewenangnya dipimpin oleh
Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala
Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. Undang-Undang Nomor 16 Tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa
lembaga kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam
pemantapan ketahanan bangsa. Kejaksaan berada di poros dan menjadi
filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan
serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan sehingga
lembaga kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis),
karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu
kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang
sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan juga merupakan satu-
satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain
berperan dalam perkara pidana, kejaksaan juga memiliki peran lain dalam
Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili pemerintah
dalam perkara perdata dan tata usaha negara sebagai jaksa pengacara
negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan
wewenang lain berdasarkan undang-undang (http://kejaksaan.go.id/tentang
_kejaksaan.php?id=1) >[29 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB]).
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia yang dimaksud dengan:
1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang.
2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-
Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.
Sebenarnya cukup dirumuskan dalam satu pasal dengan
menggabungkan rumusan-rumusan tadi sehingga berbunyi : Jaksa adalah
pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang sebagi penuntut umum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
serta melaksanakan ”penetapan” dan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (M. Yahya Harahap,2009:354).
b. Susunan Kejaksaan
Susunan kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan
Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan
ditetapkan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung. Kejaksaan Tinggi dan
Kejaksaan Negeri dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul Jaksa
Agung. Dalam hal tertentu di daerah hukum Kejaksaan Negeri dapat
dibentuk cabang Kejaksaan Negeri. Cabang Kejaksaan Negeri dibentuk
dengan Keputusan Jaksa Agung (http://kejaksaan.go.id/tentang_
kejaksaan. php?id=7> [29 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB]).
Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi
kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan
wewenang kejaksaan. Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa
Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda. Jaksa Agung dan Wakil
Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan. Jaksa Agung
Muda adalah unsur pembantu pimpinan.
c. Wewenang Kejaksaan
Kejaksaan mempunyai wewenang meliputi bidang pidana, bidang
perdata dan tata usaha negara, dan bidang ketertiban umum. Di bidang
pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
1) melakukan penuntutan;
2) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
5) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan;
6) pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk
dan atas nama negara atau pemerintah. Dalam bidang ketertiban dan
ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
1) peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
2) pengamanan kebijakan penegakan hukum;
3) pengawasan peredaran barang cetakan;
4) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
5) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
6) penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang
ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan
undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan
membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan
keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kejaksaan dapat
memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi
pemerintah lainnya.
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
1) menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan
keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;
2) mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-
undang;
3) mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
4) mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah
Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;
5) dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah
Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
6) mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya
dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
d. Pengertian Penuntut Umum
Pengaturan penuntut umum dan penuntutan diatur secara terpisah
dalam KUHAP. Penuntut umum diatur dalam Bab II, Bagian Ketiga, yang
terdiri dari tiga Pasal yakni Pasal 13 sampai dengan Pasal 15. Penuntutan
diatur dalam Bab XV, dari Pasal 137 sampai dengan Pasal 144. Penuntut
umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim. Pengertian
penuntut umum tersebut tertuang dalam Pasal 1 butir 6 dan Pasal 13
KUHAP.
Ketentuan ini juga dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 menyebutkan
jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (2) menyebutkan
penuntut umum adalah jaksa yang diberikan wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.
e. Wewenang Penuntut Umum
Adapun wewenang penuntut umum sebagaimana yang telah diatur
dalam Pasal 14 KUHAP yaitu sebagai berikut:
1) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
2) mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dan memperhatikan ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP,
dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dari penyidik;
3) memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan dan
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
4) membuat surat dakwaan;
5) melimpahkan perkara ke pengadilan;
6) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik
kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang
telah ditentukan;
7) melakukan penuntutan;
8) menutup perkara demi kepentingan hukum;
9) mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dang tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
10) melaksanakan penetapan hakim.
Penuntut umum juga mempunyai wewenang sebagaimana telah
diatur dalam Pasal 137 KUHAP. Di mana dalam pasal tersebut
menyatakan bahwa penuntut umum berwenang untuk melakukan
penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak
pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke
pengadilan yang berwenang mengadili.
f. Penghentian Penuntutan
Penuntut umum menerima atau menerima kembali berkas perkara
hasil penyidikan yang sudah lengkap atau sudah dilengkapi oleh penyidik
dan segera mementukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139
KUHAP).
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak semua berkas perkara
hasil penyidikan yang sudah lengkap adalah memenuhi persyaratan untuk
dilimpahkan ke pengadilan. Misalnya, berkas perkara yang hasilnya sudah
lengkap tetapi tersangkanya sudah meninggal dunia (Pasal 77 KUHP) atau
hak menuntut telah gugur karena kadaluarsa berdasarkan Pasal 78 KUHP
atau karena tersangkanya tidak dapat dituntut atau diadili untuk kedua
kalinya berdasar asas ne bis idem (Pasal 76 KUHP). Perihal yang demikian
maka perkaranya tidak perlu dilimpahkan ke pengadilan. Penuntut umum
akan memutuskan penghentian penuntutan dengan cara perkara tersebut
ditutup demi hukum dan dituangkan dalam bentuk Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan (SKPP model P-26) sesuai dengan ketentuan
Pasal 140 ayat (2). Di samping itu, penuntut umum dapat menghentikan
penuntutan berdasarkan alasan karena tidak cukup bukti atau perkara
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana.
2. Tinjauan Umum tentang Peninjauan Kembali
a. Pengertian Peninjauan kembali
Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa untuk
melawan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap (in krach van guwijsde). Peninjauan kembali diatur dalam Bab XVIII
KUHAP mengenai upaya hukum luar biasa Bagian Kedua mengenai
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Sebagaimana dalam rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP
yang menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut mempunyai landasan
mengenai asas pokok peninjauan kembali yang mana kesatuannya tidak
bisa dipisahkan :
1) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya terhadap putusan
pemidanaan saja;
2) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya terhadap putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
3) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya oleh terpidana
atau ahlinya saja.
b. Putusan Pengadilan yang dapat Dimintakan Pengajuan Peninjauan
Kembali
Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa :
1) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap (in krach van guwijsde) peninjauan kembali dapat
dimintakan kepada Mahkamah Agung. Apabila belum mempunyai
kekuatan hukum tetap maka peninjauan kembali tidak dapat diajukan
kepada Mahkamah Agung.
2) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan.
Upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat dimintakan
terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Upaya pengajuan peninjauan kembali dapat diajukan terhadap
semua putusan instansi putusan pengadilan. Hal tersebut maksudnya
yaitu dapat diajukan pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahkamah Agung, asalkan putusan pengadilan tersebut sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
3) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum.
Pengecualian itu dijelaskan sendiri dalam Pasal 263 ayat (1)
KUHAP yakni terhadap putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas
dari segala tuntutan hukum (onslag rechts vervolging). Kedua jenis
putusan tersebut tidak dapat dimintakan peninjauan kembali, hal ini
dimaksudkan sebagai upaya memberikan kesempatan kepada terpidana
untuk membela kepentingannya agar dia terlepas dari kekeliruan
pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya.
c. Pihak yang dapat Mengajukan Permintaan Peninjauan Kembali
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa yang berhak
mengajukan peninjauan kembali yaitu terpidana atau ahli warisnya. Oleh
karena itu, sekalipun ada pihak yang merasa dirugikan dalam putusuan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dibenarkan
untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali.
Sudah dijelaskan, baik terpidana maupun ahli waris sama-sama
mempunyai hak mengajukan permintaan peninjauan kembali tanpa
mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi, jika
yang mengajukan pemintaan peninjauan kembali itu terpidana kemudian
sebelum peninjauan kembali itu diputus oleh Mahkamah Agung terpidana
meninggal dunia, maka dalam Pasal 268 ayat (2) KUHAP telah mengatur
bahwa hak untuk meneruskan permintaan peninjauan kembali diteruskan
oleh ahli warisnya. Dalam peristiwa yang seperti inilah kedudukan ahli
waris menduduki “hak substitusi” dari terpidana (M. Yahya
Harahap,2006:617).
d. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
1) Apabila terdapat keadaan baru
Landasan yang mendasari permintaan peninjauan kembali adalah
“keadaan baru” atau “novum”. Keadaan baru yang dapat dijadikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
landasan untuk mendasari permintaan peninjauan kembali adalah keadaan
baru yang mempunyai sifat dan kualitas menimbulkan dugaan kuat :
a) jika keadaan baru itu ditemukan atau diketahui dan
dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi
faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau
putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
b) jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung,
dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan
yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima;
c) dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan
dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
Agar permintaan peninjauan kembali diterima dan dibenarkan
Mahkamah Agung, maka keadaan baru tersebut harus memenuhi 4
(empat) syarat alternatif, yaitu (Adami Chazawi,2010:68):
a) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan pembebasan;
b) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum;
c) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan tuntutan penuntut
umum tidak dapat diterima, dan
d) syarat-syarat untuk dapat diterapkannya ketentuan pidana yang
lebih ringan.
2) Apabila dalam pelbagai putusan saling ada pertentangan
Alasan ini digunakan sebagai dasar permintaan peninjauan kembali
yakni apabila dalam pelbagai putusan terdapat :
a) pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
b) kemudian tentang pernyataan terbuktinya hal atau keadaan itu
dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu
perkara;
c) akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang
dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang
satu dengan yang lainnya.
3) Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan
Alasan ini dijadikan dasar untuk mengajukan permintaan
peninjauan kembali, apabila putusan terdapat dengan jelas atau pun terlihat
dengan nyata yakni : kekhilafan hakim, atau kekeliruan hakim.
Hakim sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan dan
kekeliruan. Kekhilafan dan kekeliruan bisa terjadi dalam semua tingkat
pengadilan. Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama, bisa
berlanjut pada tingkat banding, dan kekhilafan tingkat pertama dan tingkat
banding itu tidak tampak dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung.
Padahal tujuan dari tingkat banding maupun kasasi untuk meluruskan dan
memperbaiki serta membenarkan kembali kekeliruan yang diperbuat
pengadilan yang lebih rendah.
e. Tata Cara Mengajukan Peninjauan Kembali
Berdasarkan Ilmu Hukum Acara Pidana maka pengajuan
peninjauan kembali harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil
sebagaimana ditentukan KUHAP. Kedua syarat ini memerlukan
pemahaman yang saksama.
Syarat formil bagi pengajuan peninjauan kembali adalah:
1) adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap;
2) putusan pengadilan tersebut memuat pemidanaan, artinya bukan
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
3) diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya;
4) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkara
tersebut dalam tingkat pertama (Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 264 ayat
(1) KUHAP);
5) terpidana atau ahli warisnya, belum pernah mengajukan peninjauan
kembali (Pasal 268 ayat (3) KUHAP).
Syarat-syarat materiil pengajuan peninjauan kembali yang
merupakan dasar atau alasan pengajuan peninjauan kembali yang
ditentukan undang-undang sebagai berikut:
1) adanya novum yakni bukti atau keadaan baru yang belum pernah
diajukan dalam pemeriksaan perkara;
2) adanya 2 (dua) atau lebih putusan pengadilan yang saling
bertentangan;
3) adanya kekeliruan/kekhilafan hakim secara nyata (Pasal 263 ayat (2)
KUHAP) (Leden Marpaung,2000:74 ).
Tata cara pengajuan peninjauan kembali diatur dalam Pasal 264
KUHAP. Tata cara pengajuan kembali jauh lebih sederhana dibandingkan
dengan tata cara mengajukan permohonan kasasi. Adapun tata cara
pengajuan permohonan pengajuan peninjauan kembali sebagai berikut :
1) Permintaan diajukan kepada panitera
Pemohon mengajukan permintan peninjauan kembali pada panitera
pengadilan negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama yang
selanjutnya akan diteruskan ke Mahkamah Agung. Permintaan peninjauan
kembali pada prinsipnya yaitu sebagai berikut :
a) diajukan secara tertulis;
b) serta menyebutkan secara jelas alasan-alasan yang mendasari
permintaan peninjauan kembali;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
c) boleh juga diajukan secara lisan, maksudnya adalah apabila
pemohon tidak memahami hukum maka permintaan peninjauan
kembali yang secara lisan tadi akan dituangkan dan dirumuskan
panitera dalam bentuk surat permintaan peninjauan kembali.
2) Panitera membuat akta permintan peninjauan kembali
Panitera Pengadilan Negeri yang menerima permohonan
permintanan peninjauan kembali mencatat dalam sebuah surat keterangan
yang lazim juga disebut “akta permintaan peninjauan kembali”. Akta atau
surat keterangan ditandatangani oleh panitera dan pemohon, kemudian
akta tersebut dilampirkan dalam berkas perkara.
3) Tenggang waktu mengajukan permintaan peninjauan kembali
Pasal 264 ayat (3) KUHAP telah mengatur mengenai tenggang
waktu dalam pengajuan peninjauan kembali. Ketentuan ini menetapkan
bahwa permintaan peninjauan kembali “tanpa batas waktu”. Tidak ada
batas tenggang waktu untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali.
f. Pemeriksaan Permintaan di Sidang Pengadilan Negeri
1) Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang akan memeriksa
Ketua pengadilan mengeluarkan penetapan penunjukan hakim
yang bertindak melakukan pemeriksaan. Hakim yang ditunjuk untuk
memimpin sidang pemeriksaan permintaan peninjauan kembali adalah
hakim yang tidak terlibat dalam pemeriksaan semula.
2) Obyek pemeriksaan sidang
Pasal 265 ayat (1) KUHAP, pemeriksan sidang difokuskan kepada
alasan permintaan peninjauan kembali. Alasan yang menjadi dasar
permintaan peninjauan kembali itulah hakim mengarahkan pemeriksaan
sidang, tidak diperkenankan memeriksan hal-hal yang berada di luar
alasan permintaan peninjauan kembali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
3) Sifat pemeriksaan persidangan resmi dan terbuka untuk umum
Ketentuan Pasal 265 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan
pemeriksaan sidang tentang permintaan peninjauan kembali, dihadiri oleh
pemohon, jaksa penuntut umum, dan mereka yang menyampaikan
pendapat.
4) Berita acara pemeriksaan
Pemeriksan sidang permintaan peninjauan kembali dibuat dalam
“berita acara” sidang yang mana ditandatangani oleh hakim, jaksa,
pemohon, dan panitera.
5) Berita acara pendapat
Berita acara pendapat merupakan pendapat dan kesimpulan yang
berisi penjelasan dan saran Pengadilan Negeri yang dibuat berdasarkan
berita acara pemeriksaan.
6) Pengadilan negeri melanjutkan permintaan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung
Hal-hal yang harus dikirimkan Ketua Pengadilan Negeri kepada
Mahkamah Agung adalah :
a) surat permintaan peninjauan kembali;
b) berkas perkara semua selengkapnya, termasuk berita acara
pemeriksaan penyidikan, berita acara pemeriksaan sidang,
segala surat-surat yang berhubungan dengan perkara serta
segala putusan yang berhubungan dengan perkara tersebut;
c) berita acara pendapat.
g. Putusan Peninjauan Kembali
1) Permintaan dinyatakan tidak dapat diterima
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Mahkamah Agung dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan
permintaan peninjauan kembali “tidak dapat diterima”. Putusan ini
dijatuhkan berdasarkan beberapa alasan, yaitu sebagai berikut :
a) permintaan diajukan oleh pihak yang tidak berhak;
b) surat permintaan memenuhi ketentuan Pasal 266 ayat (1)
KUHAP.
2) Putusan menolak permintaan peninjauan kembali
Putusan penolakan permintaan dapat dijatuhkan Mahkamah Agung
dalam hal :
a) alasan keberatan yang mendasari permintaan peninjauan
kembali secara formal memenuhi ketentuan Pasal 263 ayat (2)
KUHAP, maksudnya alasan itu tidak menyimpang dari
ketentuan pasal tersebut sehingga ditinjau dari segi formal telah
memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 263 ayat (2);
b) secara faktual tidak dapat dinilai sebagai keadaan baru atau
“novum”;
c) tidak benar terdapat saling pertentangan antara pelbagai
keputusan;
d) putusan tidak mengandung kekhilafan atau kekeliruan hakim.
3) Putusan yang membenarkan alasan pemohon
Menurut ketentuan Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP apabila
Mahkamah Agung membenarkan alasan permintaan peninjauan kembali
putusan Mahkamah Agung yang mengiringi pembenaran terebut:
a) putusan bebas;
b) putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
c) tidak menerima tuntutan penuntut umum;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
d) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.
h. Asas yang Ditentukan dalam Upaya Peninjauan Kembali
1) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula.
Asas ini diatur dalam Pasal 266 ayat (3) KUHAP, yang
menegaskan pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali
tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.
Akan tetapi, Mahkamah Agung diperbolehkan memberikan hukuman lebih
ringan daripada hukuman semula.
2) Permintaan peninjauan kembali tidak menangguhkan pelaksanaan
putusan.
Peninjauan kembali tidak merupakan alasan untuk menghambat
atau menghapus pelaksanaan putusan. Proses permintaan peninjuan
kembali berjalan terus namun pelaksanaan putusan juga berjalan terus.
3) Permintaan peninjuan kembali hanya dapat dilakukan satu kali.
Pasal 268 ayat (3) KUHAP membenarkan atau memperkenankan
permintaan peninjauan kembali atas suatu perkara hanya satu kali saja.
Prinsip ini berlaku terhadap permintaan kasasi dan kasasi untuk
kepentingan umum.
3. Tinjauan Umum tentang Praperadilan
a. Pengertian Praperadilan
Praperadilan adalah lembaga yang lahir bersamaan dengan lahirnya
KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981). Praperadilan bukan lembaga
peradilan yang mandiri terlepas dari Pengadilan Negeri karena dari
perumusan Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa
praperadilan hanyalah wewenang tambahan yang diberikan kepada
Pengadilan Negeri. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu yang berfungsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
melakukan pemeriksaan pendahuluan. Di Belanda ada yang dikenal
dengan istilah Rechter Commissaris atau dikenal dengan Hakim Komisaris
dan di Prancis dikenal dengan istilah Judge d’ insruction yang mana
lembaga-lembaga tersebut benar-benar dapat disebut praperadilan karena
selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga
melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara (Andi
Hamzah,2002:183-184).
Selain itu Sudaryono mengatakan bahwa di Amerika Serikat,
lembaga tersebut adalah Habeas Corpus (Amerika Serikat). Gregory
Churchil menjelaskan bahwa Habeas Corpus merupakan upaya hukum
yang menentang dilangsungkannya penahanan seseorang. Habeas Corpus
berfungsi sebagai pengawasan oleh pengadilan terhadap tindakan resmi
yang membatasi atau mempengaruhi kemerdekaan pribadi orang. Fungsi
Habeas Corpus di Amerika Serikat adalah sama dengan fungsi
praperadilan di Indonesia (Sudaryono,2001:208).
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk
memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam KUHAP,
tentang (Pasal 1 butir 10 KUHAP) :
1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
hukum tersangka;
2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3) permintaaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Praperadilan merupakan wewenang tambahan dari Pengadilan
Negeri untuk memeriksa dan memutus permasalahan atau perkara yang
terjadi dalam penggunaan wewenang upaya paksa yang dilakukan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
penyidik dan penuntut umum sebagaimana yang telah diatur dalam
KUHAP.
b. Tujuan dan Fungsi Praperadilan
Praperadilan mempunyai tujuan dan maksud untuk menegakkan
hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat penyidikan
dan penuntutan. Undang-undang memberikan kewenangan terhadap para
penyidik atau penuntut umum untuk melakukan suatu upaya paksa berupa
penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Tindakan upaya
paksa yang dilakukan oleh penyidik maupun penuntut umum merupakan
pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus
dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan dan hukum yang
berlaku. Praperadilan yang sebagaimana telah diatur dalam KUHAP
merupakan wewenang tambahan kepada Pengadilan Negeri untuk
melakukan pemeriksaan perkara-perkara yang berkaitan dengan
penggunaan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut
umum.
Lembaga praperadilan juga berfungsi sebagai alat kontrol terhadap
tindakan penyidik dan penuntut umum apabila terjadi penyalahgunaan
wewenang yang telah diberikan kepada aparat penegak hukum. Maksud
dari alat kontrol adalah bahwa setiap tindakan dari penyidik dan jaksa
harus berdasar pada aturan yang berlaku dan sesuai dengan KUHAP.
Hal ini dapat memberikan sebuah kesimpulan bahwa praperadilan
bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horisontal.
Sarana pengawasan horisontal maksudnya adalah untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia terutama hak asasi tersangka
dan terdakwa (Dian Ekawaty Ismail dan Yowan Tamu,2009:87).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
c. Wewenang Praperadilan
KUHAP telah mengatur mengenai wewenang praperadilan dimana
yang diatur dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP, selain itu ada
lagi kewenangan lain yakni memeriksa dan memutus tuntutan ganti
kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 92 dan Pasal 95
KUHAP. Undang-undang memberikan wewenang terhadap praperadilan
yakni sebagai berikut :
1) memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa;
2) memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan (Pasal 77 huruf a KUHAP);
3) berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi (Pasal 95 KUHAP);
4) memeriksa permintaan rehabilitasi (Pasal 97 KUHAP);
5) praperadilan terhadap sah tidaknya tindakan pemasukan rumah,
penggeledahan, dan/atau penyitaan.
d. Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan Praperadilan
1) Tersangka, keluarga, dan kuasanya
Permohonan pemeriksaan praperadilan tentang sah atau tidaknya
penangkapan dan penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga, dan kuasa
hukumnya. Hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal
79 KUHAP sedangkan untuk sah atau tidaknya suatu penggeledahan dan
penyitaan yang diatur dalam Pasal 79 KUHAP dihubungkan dengan Pasal
83 ayat (3) KUHAP.
2) Tersangka, ahli warisnya, atau kuasanya
Permohonan pemeriksaan praperadilan yang diajukan oleh
tersangka, ahli warisnya atau kuasanya sesuai dengan Pasal 77, 79, 82 ayat
(4) jo 95 ayat (2) KUHAP mengenai tuntutan ganti kerugian atas
penangkapan dan atau penahanan, penggeledahan dan penyitaan tanpa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
alasan sah, dan karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
3) Penyidik, penuntut umum, pihak ketiga yang berkepentingan
Penyidik, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan
mengajukan permohonan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya
penghentian penyidikan, dalam penghentian penyidikan penuntutan
penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 80 KUHAP. Dalam KUHAP tidak dijelaskan
mengenai pihak ketiga yang berkepentingan sehingga dapat diartikan
sebagai orang atau pihak yang mempunyai kepentingan dan atau ada
kaitannya langsung dengan perkara praperadilan yang bersangkutan yaitu
saksi korban atau saksi yang menjadi korban tindak pidana, pelapor atau
pengadu mengenai terjadinya peristiwa tindak pidana.
4) Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan
Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat
mengajukan tuntutan ganti kerugaian kepada praperadilan atas sahnya
penghentian penyidikan atau sahnya penghentian penuntutan yang mana
ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 81 KUHAP. Pengertian pihak ketiga
dalam hal ini yaitu keluarga ataupun ahli warisnya.
e. Pengajuan dan Tata Cara Pemeriksan Praperadilan
Praperadilan merupakan wewenang tambahan dari Pengadilan
Negeri untuk memeriksa dan memutus permasalahan atau perkara yang
terjadi dalam penggunaan wewenang upaya paksa yang dilakukan oleh
penyidik dan penuntut umum. Pengajuan pemohonan pemeriksaan
praperadilan melalui tahapan sebagai berikut :
1) permohonan ditujukan kepada ketua Pengadilan Negeri;
2) permohonan diregister dalam perkara praperadilan;
3) ketua Pengadilan Negeri segera menunjuk hakim dan panitera;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
4) pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal;
5) tata cara pemeriksaan praperadilan.
Pejabat yang diajukan praperadilan:
1) Penyidik, dengan alasan :
a) tidak sahnya penangkapan atau penahanan;
b) tidak sahnya penghentian penyidikan;
c) ada benda yang disita karena tidak termasuk alat pembuktian;
d) ganti rugi dan rehabilitasi terhadap tidak sahnya penangkapan
dan penahanan;
e) ganti rugi dan rehabilitasi terhadap sahnya penghentian
penyidikan.
2) Penuntut umum, dengan alasan :
a) tidak sahnya penahanan;
b) tidak sahnya penghentian penuntutan;
c) ganti rugi dan rehabilitasi terhadap tidak sahnya penahanan;
d) ganti rugi dan rehabilitasi terhadap sahnya penghentian
penuntutan.
Meskipun hakim mempunyai wewenang melakukan penahanan
tidak bisa diajukan praperadilan. Oleh karena itu, apabila ada permintaan
pemeriksaan praperadilan terhadap seorang hakim, haruslah ditolak
dengan surat biasa di luar sidang (SEMA 14/Tahun 1983) (Hari Sasangka
dan Lilik Rosita,2003:104).
f. Bentuk dan Isi Putusan Praperadilan
Bentuk putusan praperadilan tidak diatur secara tegas dalam
undang-undang. Bentuk putusan dari praperadilan berupa penetapan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Bentuk putusan praperadilan merupakan rangkaian berita acara dengan isi
putusan itu sendiri.
Isi putusan praperadilan memuat pertimbangan secara jelas yang
pada garis besarnya diatur dalam Pasal 82 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP
dalam pertimbangan tersebut menjelaskan mengenai fakta-fakta yang
terbukti dan dasar hukum yang melandasi amar putusan. Isi amar putusan
adalah jawaban petitum yang berupa pernyataan:
1) sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan;
2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan;
3) diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi;
4) perintah pembebasan dari tahanan;
5) perintah untuk melanjutkan penyidikan atau penuntutan;
6) penentuan jumlah ganti kerugian;
7) berisi pernyataan pemulihan nama baik tersangka/ rehabilitasi;
8) memerintahkan segera mengembalikan sitaan.
g. Pemeriksaan Praperadilan Dinyatakan Gugur
Apabila pemeriksaan praperadilan belum selesai atau belum
diputus, ternyata perkara pokok pemohon praperadilan menjadi tersangka
atau terdakwa mulai diperiksa oleh pengadilan negeri yang berwenang
maka permohonan pemeriksaan praperadilan dinyatakan gugur. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang
berbunyi : “dalam hal sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri,
sedang pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum
selesai maka permintaan tersebut gugur “. Sebagaimana yang telah
disebutkan dalam Pasal tersebut, praperadilan dianggap gugur apa bila
perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri dan pada saat
perkaranya diperiksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan praperadilannya
belum selesai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Sebagaimana telah diatur dalam Surat Edaran Mahkahmah Agung
Nomor 5 tahun 1985 maka untuk menghindari keragu-raguan apakah cara
praperadilan yang sedang berjalan dapat dihentikan sewaktu-waktu oleh
Hakim, berhubung mengenai hal ini tidak ada pengaturannya dalam
KUHAP, Mahkamah Agung memberikan petunjuk sebagai berikut:
1) acara praperadilan yang sedang berjalan dapat dihentikan oleh Hakim
atas dasar permintaan pihak yang semula mengajukan keberatan;
2) penghentian itu hendaknya dilakukan dengan sebuah penetapan.
h. Upaya Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali atas Putusan
Praperadilan
1) Upaya Banding
Ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP pemeriksaan
praperadilan dilakukan dengan cara pemeriksaan cepat. Berdasarkan Pasal
62 KUHAP terhadap putusan pengadilan dalam acara pemeriksaan cepat
tidak dapat dimintakan banding, kecuali bagi terdakwa yang dijatuhi
pidana berupa perampasan kemerdekaan (Pasal 205 ayat (3) KUHAP).
Pasal 83 KUHAP pada dasarnya terhadap putusan praperadilan tidak dapat
dimintakan banding, kecuali terhadap putusan praperadilan yang
menetapkan mengenai tidak sahnya penghentian penyidikan atau tidak
sahnya penghentian penuntutan, yang dapat dimintakan putusan akhir ke
Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan (Pasal 83 ayat
(2) KUHAP).
Putusan praperadilan yang tidak dapat dimintakan banding
menurut Pasal 83 ayat (1) KUHAP, yaitu sebagai berikut:
a) putusan yang menetapkan tentang sah atau tidaknya tindakan
penangkapan dan atau penahanan;
b) putusan yang menetapkan tentang sahnya penghentian
penyidikan atau tentang sahnya penghentian penuntutan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
c) putusan yang menetapkan tentang ganti kerugian dan atau
rehabilitasi akibat tidak sahnya tindakan penangkapan dan atau
penahanan (Pasal 81 KUHAP) dan atau tindakan lain seperti
penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum
dan atau karena kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan.
Menurut Pasal 83 ayat (2) KUHAP putusan praperadilan yang
dapat dimintakan pemeriksaan banding hanyalah putusan yang
menetapkan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau tidak
sahnya penghentian penuntutan. Putusan Pengadilan Tinggi dalam
pemeriksaan praperadilan adalah merupakan putusan akhir dan bukan
putusan tingkat akhir. Maksud dari hal tersebut yaitu bahwa sifat putusan
akhir berarti putusan yang diambil sudah final dan tidak lagi dapat
diajukan permintaan kasasi. Akan tetapi yang dimaksud dengan sifat
putusan yang masih bertaraf putusan tingkat terakhir masih dapat diajukan
permohonan kasasi. Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Pengadilan
Tinggi bertindak memeriksa dan memutus tidak sahnya penghentian
penyidikan dan penghentian penuntutan dalam bentuk putusan akhir dan
terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan permohonan kasasi.
2) Upaya Kasasi
KUHAP tidak mengatur mengenai pemeriksaan kasasi terhadap
putusan praperadilan pada pemeriksaan tingkat banding sudah dijelaskan
bahwa Pengadilan Tinggi bertindak sebagia pengadilan yang memutus
dalam tingkat akhir yang putusannya bersifat putusan akhir. Putusan akhir
dapat disimpulkan bahwa putusan praperadilan hanya dapat dimintakan
banding yang nama putusannya bersifat final. Oleh karena itu, terhadap
putusan praperadilan tidak dapat diajukan permohonan kasasi dengan
alasan bahwa ada keharusan untuk penyelesaian secara cepat dalam
pemeriksaan perkara praperadilan.
Mahkamah Agung tidak membenarkan atau tidak dapat menerima
permohonan kasasi untuk putusan praperadilan. Hal tersebut dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
diketahui antara lain dari putusan MA No 227 K/KR/1982 tanggal 29
Maret dan No. 680 K/Pid/1983 tanggal 10 Mei 1984 yang dalam
pertimbangan pada pokoknya menyatakan bahwa menurut yurisprudensi
tetap terhadap putusan-putusan praperadilan harus dinyatakan dan tidak
dapat dimintakan kasasi sehingga permohonan kasasi terhadap putusan-
putusan praperadilan harus dinyatakan tidak dapat diterima (HMA
Kuffal,2010:268).
3) Upaya Peninjauan Kembali
KUHAP juga tidak mengatur mengenai pemeriksaan peninjauan
kembali dalam pemeriksaan perkara praperadilan seperti halnya pada
permohonan kasasi terhadap putusan praperadilan. Akan tetapi dalam
praktik hukum sudah pernah terjadi dan diputus Mahkamah Agung , antara
lain yaitu (HMA Kuffal,2010:270-271):
a) Putusan MA No. 32 PK/Pid/ 1989 tanggal 7 Februari 1991:
Putusan tersebut adalah putusan peninjauan kembali terhadap
putusan praperadilan atas nama pemohon Drs. Lukito. Putusan
tersebut pada intinya mengabulkan permohonan peninjauan
kembali dan menyatakan penangkapan dan atau penahanan
terhadap Drs. Lukito adalah tidak sah.
b) Putusan MA No. 16 PK/Pid/1989 tanggal 19 Juni 1990 :
Putusan tersebut adalah peninjauan kembali terhadap putusan
praperadilan atas nama Ridwan alias Aceng yang mana pada
itninya permohonan peninjauan kembali oleh Ridwan alias
Aceng tersebut tidak dapat diterima.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Putusan PT DKI Jakarta Atas Praperadilan SKPP
Bibit dan Chandra
Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
Oleh Jaksa Agung
Pengajuan PK oleh Jaksa Agung ke MA
Kewenangan PK atas putusan praperadilan
Legalitas PK atas putusan praperadilan
Putusan MA No. 152 PK/Pid/2010
atas PK Jaksa Agung terhadap putusan
praperadilan SKPP Bibit dan Chandra
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Penjelasan Kerangka Pemikiran :
Kerangka pemikiran tersebut menggambarkan alur pemikiran dari penulis
dalam menguraikan dan menganalisis serta menemukan jawaban dari
permasalahan yang diangkat. Alur pemikiran dalam penelitian ini yaitu mengenai
peninjauan kembali yang diajukan Jaksa Agung terhadap putusan Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta atas putusan praperadilan SKPP kasus Bibit dan Chandra.
Dalam kerangka pemikiran ini disajikan mengenai alasan Jaksa Agung
mengajukan peninjauan kembali dan legal atau tidaknya pengajuan peninjauan
kembali yang diajukan oleh Kejaksaan Agung terhadap putusan praperadilan
terhadap Bibit dan Chandra. Selain itu, juga membahas mengenai akibat dari
putusan Mahkamah Agung atas pengajuan peninjauan kembali yang diajukan
jaksa teradap putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra.
Alur pemikaran dalam penelitian ini menjelaskan bahwa keterkaitan antara
kewenangan jaksa dalam mengambil langkah pengajuan peninjauan kembali
untuk mempertahankan ketetapan jaksa dalam mempertahankan SKPP yang telah
dikeluarkannya. Permohonan praperadilan yang diajukan oleh Anggodo Widjoyo
diterima oleh Pengadilan Negeri Jakata Selatan dan dimenangkan oleh Anggodo.
Kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding atas putusan tersebut.
Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Akan tetapi, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak banding dan menguatkan
putusan yang diputus oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakata Selatan. Jaksa tidak
terima dengan putusan tersebut dan mengajukan peninjauan kembali atas putusan
itu ke Mahkamah Agung
Hal tersebut menjadi gambaran untuk menganalisis alasan jaksa dalam
mencari legalitas dan kewenangan jaksa dalam mengajukan peninjauan atas
putusan praperadilan Bibit dan Chandra. Selain itu, dalam penelitian ini penulis
juga akan menelaah peraturan-peraturan mengenai peninjauan kembali yang
dilakukan oleh jaksa. Dengan demikian, penulis akan membahas mengenai hal
yang sudah dijelaskan di atas, yaitu mengenai legalitas dan kewenangan jaksa
dalam mengajukan peninjauan kembali yang dikaitkan dengan kasus yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
menimpa Bibit dan Chandra dan juga akan membahas peraturan-peraturan yang
mengatur mengenai kewenangan jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali.
Peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah
Agung dinyatakan tidak diterima dikarenakan Mahkamah Agung tidak berwenang
untuk menyelesaikan perkara tersebut. Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan
No. 152 PK/Pid/2010 atas PK Jaksa Agung terhadap putusan praperadilan SKPP
Bibit dan Chandra. Putusan Mahkamah Agung tersebut berakibat pada gagalnya
alasan jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan
kasus Bibit dan Chandra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pada hasil penelitan ini akan menguraikan mengenai kasus posisi yang
terjadi dan kemudian akan dibahas secara mendalam dalam pembahasan. Pada
hasil penelitian menjelaskan kasus posisi yang terjadi dari awal putusan
praperadilan di keluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sampai dengan
peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa atas putusan praperadilan tersebut.
Pada pembahasan akan menjelaskan secara mendalam mengenai analisis
argumentasi dasar alasan jaksa mengajukan peninjauan kembali atas putusan
praperadilan tersebut, dikeluarkannya putusan atas peninjauan kembali oleh
Mahkamah Agung yang mengakibatkan alasan jaksa dalam mengajukan
peninjauan kembali tidak bisa diterima, dan uraian tentang putusan Mahkamah
Agung atas pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa.
Paparan Kasus Posisi:
Dua nama pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu Bibit Samad
Riyanto dan Chandra Hamzah dituduh melakukan kejahatan dengan
menyalahgunakan kewenangannya. Polri kemudian melakukan penyelidikan dan
penyidikan atas kasus tersebut untuk menemukan bukti dugaan bahwa Bibit
Samad Riyanto dan Chandra Hamzah melakukan kejahatan atas penyalahgunaan
kewenangannya dalam menangani kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi
Radio Telekomunikasi (SKRT) di Departemen Kehutanan (Dephut).
Polri melakukan pemeriksaan terhadap Bibit Samad Riyanto dan Chandra
Hamzah untuk mengembangkan kasus dan mencari bukti-bukti yang menguatkan
dugaan melakukan kejahatan atas penyalahgunaan kewenangannya. Pada
akhirnya, Polri pun menyusun berkas perkara atas kasus tersebut dan selanjutnya
menyerahkan berkas perkara kepada Kejaksaan. Kejaksaan menerima berkas
tersebut yang dinyatakan P-21 atau berkas pekara sudah lengkap atau sempurna
untuk selanjutnya dilakukan penuntutan. Andi Hamzah menyatakan bahwa jaksa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
penuntut umum mempunyai wewenang salah satu wewenangnya adalah
melakukan penuntutan, namun sebelum melakukan penuntutan, seorang jaksa
penuntut umum harus melakukan prapenuntutan yaitu tindakan penuntut umum
untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik
(Andi Hamzah,1987:160-161).
Banyaknya masyarakat yang mengikuti perkembangan kasus ini
menyebabkan gejolak hukum yang meresahkan dan menganggu kelangsungan
hukum di Indonesia. Masyarakat menduga bahwa seakan-akan kasus tersebut
direkayasa untuk menjatuhkan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra. Isu adanya penggembosan KPK
pun terus bergulir dan menyebabkan keresahan masyarakat akan kejadian
tersebut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui pidatonya menganggapi
perkara yang meresahkan dan mengganggu kelangsungan hukum itu dengan
mendesak Jaksa Agung agar menghentikan penuntutan terhadap kasus tersebut.
Pada saat itu, Jaksa Agung yang dijabat oleh Hendarman Supandji menanggapi
pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengeluarkan Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus tersebut padahal Jaksa
Agung mempunyai alternatif lain yaitu deponering.
Jaksa Agung memilih mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP) sesuai dengan Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Alasan yang
mendasari dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP)
bahwa perkara tersebut tidak layak untuk diajukan ke pengadilan karena tidak
cukup bukti. Selain itu, Jaksa Agung mempunyai alasan sosiologis yakni demi
kepentingan hukum dan kelangsungan persatuan bangsa Indonesia. Berawal dari
alasan sosiologis yang dinyatakan dalam oleh Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP) oleh Jaksa Agung tersebut mulai menuai banyak reaksi dari
berbagai pihak. Di keluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP)
oleh Jaksa Agung dengan menggunakan dasar alasan sosiologis tentu saja tidak
sesuai dengan dasar alasan penghentian penuntutan. “SKPP terhadap perkara
Bibit Samad Riyanto dan Chandra Marta Hamzah sebelumnya telah diterbitkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Kejari Jaksel pada hari Selasa tanggal 1 Desember 2009, dengan SKPP Nomor :
Tap-01/0.1.14/Ft.1/12/2009 tanggal 01 Desember 2009 untuk tersangka Chandra
Hamzah dan SKPP Nomor : Tap-02/0.1.14/Ft.1/12/2009 tanggal 01 Desember
2009 untuk tersangka Bibit Samad Rianto” (http://inimu.com/berita /2010/04/19
/hakim -pn-jaksel-menangkan-anggodo-widjojo/ [Senin, 20 Desember 2010,
pukul 19.45 WIB]).
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) dinilai mempunyai
kejanggalan maupun kelemahan yang mengakibatkan cacat hukum dan layak
untuk dibatalkan. Pencantuman alasan sosiologi dalam Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan (SKPP) dianggap tidak tepat dan lebih tepat digunakan
dasar untuk deponering. Jaksa Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP) karena desakkan masyarakat dan situasi hukum yang sedang
memanas karena kejadian tersebut.
Pada dasarnya Jaksa Agung dianggap telah menyimpangi Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini didasarkan karena berkas
perkara yang sudah diterima oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sudah
sempurna atau dinyatakan P-21. Akan tetapi, Jaksa Agung menganggap perkara
tersebut dianggap tidak memiliki bukti cukup kuat untuk dilakukan penuntutan.
Penggunaan alasan sosiologis yang dinyatakan Jaksa Agung dalam Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) juga tidak sesuai dengan KUHAP.
Berdasarkan alasan sosiologis tersebut, muncul masalah baru yakni ada
pihak pihak ketiga yang berkepentingan yaitu Anggodo Widjoyo yang
memperkarakan kembali Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang
meminta agar SKPP tersebut dibatalkan karena cacat hukum. Kemudian Anggodo
Widjoyo mengajukan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas
SKPP yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung tersebut.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan praperadilan yang
diajukan oleh Anggodo Widjoyo. Jaksa selaku penuntut umum tidak terima atas
putusan praperadilan yang dikeluarkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Oleh karena itu, jaksa selaku penuntut umum permohonan banding di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
menguatkan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permasalahan
kembali terjadi pada saat Kejaksaan Agung melakukan peninjauan kembali atas
putusan tersebut kepada Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung memutuskan untuk mengeluarkan putusan Mahkamah
Agung No. 152 PK/Pis/2010 yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan
kembali tidak dapat diterima karena Mahkamah Agung tidak mempunyai
kewenangan memeriksa perkara tersebut. Mahkamah Agung menolak alasan yang
menjadi dasar jaksa untuk melakukan peninjuaan kembali atas putusan
praperadilan tersebut. Hal ini didasari dengan aturan Pasal 45 A ayat (2) huruf a
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (MA) dan juga
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2005.
B. Pembahasan
Pada pembahasan ini akan dibahas secara mendalam mengenai kasus yang
terjadi. Pembahasan ini akan dibagi menjadi dua sub bagian untuk mempermudah
menjelaskan dam menganalisis hasil penelitian. Pada sub bagian yang pertama
akan menguraikan tentang argumentasi Jaksa Agung sebagai alasan dalam
mengajukan peninjauan kembali atas kasus yang terjadi. Pada sub bagian yang
kedua akan menjelaskan putusan Mahkamah Agung atas pengajuan peninjauan
kembali yang diajukan oleh jaksa yang mengakibatkan alasan kewenangan jaksa
dalam mengajukan peninjauan kembali tidak bisa diterima.
1. Argumentasi Jaksa Agung sebagai Alasan Pengajuan Peninjauan
Kembali
Kasus yang menimpa dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
yaitu Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah yang dituduh melakukan
kejahatan dengan menyalahgunakan kewenangannya menimbulkan polemik
hukum yang rumit. Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus
yang menimpa Bibit dan Chandra yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung tidak serta
merta menghentikan kasus tersebut. Alasan sosiologis yang dinyatakan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
SKPP tersebut mengundang reaksi pihak ketiga yang berkepentingan yaitu
Anggodo Widjoyo untuk melakukan permohonan praperadilan atas SKPP
tersebut. Alasan sosiologis tersebut dinilai tidak tepat digunakan untuk
mengeluarkan SKPP dan lebih tepatnya digunakan untuk dasar deponering.
Berdasarkan alasan sosiologis tersebut, muncul masalah baru yakni ada pihak
ketiga yang berkepentingan yaitu Anggodo Widjoyo yang memperkarakan
kembali Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang meminta agar
SKPP tersebut dibatalkan karena cacat hukum. Kemudian Anggodo Widjoyo
mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas SKPP yang
dikeluarkan oleh Jaksa Agung tersebut.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan praperadilan yang
diajukan oleh Anggodo Widjoyo. Jaksa selaku penuntut umum tidak terima atas
putusan praperadilan yang dikeluarkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Oleh karena itu, jaksa selaku penuntut umum permohonan banding di
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
menguatkan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permasalahan
kembali terjadi pada saat Kejaksaan Agung melakukan peninjauan kembali atas
putusan tersebut kepada Mahkamah Agung.
Permasalahan yang terjadi yaitu suatu putusan praperadilan diajukan
permohonan peninjauan kembali oleh jaksa. KUHAP tidak mengatur secara jelas
mengenai hal tersebut. Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk
memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam KUHAP, tentang (Pasal
1 butir 10 KUHAP) :
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
hukum tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
c. permintaaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Lembaga Praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak
Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo-Saxon, yang memberikan jaminan
fundamental terhadap HAM khususnya hak kemerdekaan, Habeas Corpus Act
memberikan hak kepada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan
menuntut (menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya. Hal itu
untuk menjamin bahwa perampasan atau pembatasan kemerdekaan terhadap
seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan HAM. Sekalipun lembaga
praperadilan adalah alat kontrol bagi penegak hukum khususnya penyidik dan
penuntut umum. Tetapi dalam praktek dialami bahwa putusan hakim dalam
perkara praperadilan adalah putusan yang bersifat deklaratoir, yaitu menyatakan
bahwa penghentian penuntutan oleh penuntut umum adalah tidak sah dan
memerintahkan kejaksaan untuk meneruskan penuntutan (Otto Cornelis Kaligis,
2006:157).
Bentuk putusan praperadilan tidak diatur secara tegas dalam undang-
undang. Bentuk putusan dari praperadilan berupa penetapan. Bentuk putusan
praperadilan merupakan rangkaian berita acara dengan isi putusan itu sendiri.
Penggarisan isi putusan atau penetapan praperadilan pada garis besarnya diatur
dalam Pasal 82 ayat (2) dan (3) KUHAP, oleh karena itu penetapan praperadilan
memuat alasan dasar pertimbangan hakim. Menurut Moch. Faisal Salam, dalam
putusan praperadilan memuat hal-hal sebagai berikut (Moch. Faisal
Salam,2001:333):
a. dalam hal suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka penyidik
atau penuntut umum/ jaksa harus segera membebaskan tersangka;
b. dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
dinyatakan tidak sah, maka penyidikan atau penuntutan terhadap
tersangka wajib dilanjutkan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah
besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang dibayarkan/ diberikan,
sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan,
maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak
termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa
benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari
siapa benda itu disita.
Pengajuan peninjauan kembali diatur dalam Bab XVIII Bagian Kedua
Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Peninjauan kembali merupakan
upaya hukum luar biasa untuk melawan putusan pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in krach van guwijsde). Sebagaimana dalam
rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa terhadap putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas
atau lepas dari tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Pengajuan permohonan peninjauan atas putusan praperadilan banding
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap SKPP Bibit dan Chandra diajukan oleh
jaksa didasari dengan tiga alasan. Ada keadaan baru atau novum, putusan yang
bertentangan dan kekhilafan hakim. Jaksa mengajukan PK dengan alasan adanya
keadaan baru atau novum. Dalam hal adanya keadaan baru, dimaksudkan jika
hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mempertimbangkan adanya suatu keadaan
pada waktu sidang masih berlangsung maka putusan Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta nomor 130 PID/Prap/2010/PT DKI tertanggal 3 Juni 2010 akan
memutuskan bahwa penerbitan SKPP terhadap Bibit dan Chandra adalah sah.
Alasan kedua, adanya alasan putusan yang saling bertentangan. Putusan
PT DKI Jakarta menunjukkan adanya alasan atau pertimbangan putusan yang
saling bertentangan yaitu dalam putusan PT DKI Jakarta nomor 130
PID/Prap/2010/PT DKI tertanggal 3 Juni 2010. Penuntut umum tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
diperkenankan menggunakan alasan penutupan perkara demi hukum berdasarkan
Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Sedangkan dalam putusan PT DKI Jakarta nomor
149/PID/Prap/2006/PT DKI tertanggal 1 Agustus 2006 penuntut umum
diperkenankan menggunakan alasan penutupan perkara demi hukum berdasarkan
Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Dengan demikian, dalam 2 putusan PT DKI Jakarta
tersebut terdapat putusan yang saling bertentangan.
Alasan ketiga, terdapat kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata dalam
putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pertimbangan PT DKI Jakarta yang
menyatakan bahwa Pasal 139 KUHAP bukanlah pasal berdiri sendiri tetapi harus
dimaknai dalam kaitan yang erat dan tidak terpisahkan dengan pasal lainnya.
Bahwa adapun Pasal 50 KUHP tergabung dalam kelompok ketentuan tentang
penghapusan, pengurangan dan penambahan hukuman bukan pasal yang
memberikan pengaturan mengenai gugurnya hak penuntutan adalah merupakan
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (http://www.detiknews.com
/read /2010 /07/14/132429/1399033/10/3-alasan-jpu-ajukan-pk-skpp-bibit-
chandra[Senin, 13 Desember 2010 Pukul 10.50 wib]).
Sesuai dengan alasan yang telah disebutkan di atas maka akan diuraikan
lebih lanjut mengenai argumentasi Jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali.
Alasan yang digunakan jaksa yaitu adanya keadaan baru (novum), adanya alasan
yang saling bertentangan, dan terdapat kekhilafan atau suatu kekeliruan yang
nyata dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
130/Pid/Prap/2010/PT.DKI, tanggal 3 Juni 2010, sebagai berikut:
a. Adanya Keadaan Baru (Novum)
Dalam hal "adanya keadaan baru", dimaksudkan jika Hakim
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mempertimbangkan adanya suatu
keadaan pada waktu sidang masih berlangsung, maka putusan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 130/Pid/Prap/2010/ PT.DKI,
tanggal 3 Juni 2010, akan memutuskan bahwa penerbitan Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan terhadap Chandra Martha Hamzah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
dan Bibit Samad Rianto adalah sah; Keadaan baru dimaksud adalah
didasarkan atas fakta-fakta sebagai berikut:
1) Bahwa Anggodo Widjojo berkedudukan sebagai saksi yang tidak
menjadi korban dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi atas
nama Tersangka Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto
(Pimpinan KPK) yang diduga melakukan tindak pidana dimaksud
Pasal 12 huruf e dan/atau Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal
421 KUHP berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Pol. :
Sprin Sidik/98.B/IX/2009/ Pidkor & WCC, tanggal 15 September
2009, atas nama Tersangka Bibit Samad Rianto dan No. Pol : Sprin
Sidik/91.A/ VIII/2009/Dit-I, tanggal 26 Agustus 2009, atas nama
Tersangka Chandra Martha Hamzah;
2) Bahwa atas perkara tersebut Kejaksaan Negeri JakartaSelatan
menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor TAP-
01/0.1.14/Ft.1/12/2009, tanggal 1 Desember 2009, atas nama
Chandra Martha Hamzah dan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan Nomor TAP 02/0.1.14/Ft.1/12,2009, tanggal 1
Desember 2009, atas nama Bibit Samad Rianto;
3) Bahwa Anggodo Widjojo selanjutnya ditetapkan sebagai Tersangka
diduga melakukan tindak pidana percobaan penyuapan kepada
Pimpinan KPK oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan
Surat Perintah Penyidikan Nomor SP- 03/01/1/2010, tanggal 13
Januari 2010;
4) Bahwa selanjutnya perkara pidana atas nama Tersangka Anggodo
Widjojo tersebut dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi oleh Penuntut Umum KPK berdasarkan Surat Pelimpahan
Perkara Nomor PP-12/24/ 04/2010, tanggal 19 April 2010;
5) Bahwa Anggodo Widjojo berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor
020/RBS-SK/III/2010, tanggal 12 Maret 2010 mengajukan
permohonan pemeriksaan praperadilan atas diterbitkannya Surat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Ketetapan Penghentian Penuntutan terhadap Tersangka Chandra
Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang diterbitkan oleh
Termohon I Jaksa Agung RI, Cq. Kepala Kejaksaan Tinggi DKI
Jakarta, Cq. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan;
6) Bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
14/Pid.Prap/2010/PN.Jkt.Sel, tanggal 19 April 2010, antara lain
memutuskan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dalam
perkara Tersangka Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad
Rianto adalah tidak sah;
7) Bahwa Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan selaku Pembanding
semula Termohon I mengajukan banding atas putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan tersebut berdasarkan Surat Perintah Kepala
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Nomor Prin
40/0.1.14/Ft.1/03/2010, tanggal 26 Maret 2010;
8) Bahwa atas permohonan banding tersebut Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta dengan putusan Nomor 130/Pid/Prap/ 2010/PT.DKI,
tanggal 3 Juni 2010, antara lain menyatakan :
(a) Menetapkan bahwa penghentian penuntutan sesuai Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor TAP
02/0.1.14/Ft.1/12/2009, tanggal 1 December 2009, atas nama
Bibit Samad Rianto yang diterbitkan oleh Pembanding
semula Termohon I adalah tidak sah;
(b) Menetapkan bahwa penghentian penuntutan sesuai Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor TAP-
02/0.1.14/Ft.1/1212009, tanggal 1 Desember 2009, atas nama
Bibit Samad Rianto yang diterbitkan oleh Pembanding
semula Termohon I adalah tidak sah;
(c) Mewajibkan Pembanding semula Termohon I
untukmelanjutkan penuntutan perkara Bibit Samad Rianto,
sebagaimana tercantum dalam Berkas Perkara Hasil
Penyidikan Turut Terbanding Semula Termohon II Nomor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Pol. : BP/B.10/X/2009/PlDKOR & WWC, tertanggal 9
Oktober 2008;
Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat diketahui bahwa dalam masa
pengujian atas penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan
terhadap Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto terdapat
suatu keadaan baru, sebagai berikut:
(1) Tersangka Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad
Rianto (Pimpinan KPK) diduga melakukan tindak pidana
pemerasan sesuai Pasal 12 huruf e Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Dalam perkara ini, Anggodo Widjojo sebagai saksi dalam
kaitan menyerahkan sejumlah uang yang dititipkan
Anggoro Widjojo (kakak Anggodo Widjojo) kepada Ary
Muladi untuk diserahkan kepada oknum Komisi
Pemberantasan Korupsi, antara lain Tersangka Chandra
Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto;
(2) Apabila perkara Chandra Martha Hamzah dan Bibit
Samad Rianto diajukan ke persidangan dengan dakwaan
Pasal 12 huruf e Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang- Undang No. 20 Tahun 2001, maka akan terjadi
konstruksi yuridis yang saling bertentangan dengan
perkara atas nama Tersangka Anggodo Widjojo yang
diduga melakukan tindak pidana percobaan penyuapan
terhadap Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad
Rianto (Pimpinan KPK), karena substansi perkara antara
perkara pemerasan yang dilakukan Chandra Martha
Hamzah dan Bibit Samad Rianto dan perkara percobaan
penyuapan kepada Pimpinan KPK yang dilakukan oleh
Anggodo Widjojo, tidak mungkin disidangkan dalam
waktu yang bersamaan, karena 2 (dua) perkara tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
bersifat saling meniadakan satu sama lain, artinya tidak
mungkin 2 (dua) perkara tersebut terbukti semua;
Oleh karena materi perkara atas nama Terdakwa Anggodo Widjojo
yang didakwa melakukan percobaan penyuapan, pada saat ini tengah
diperiksa dan diadili di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi,
sehingga tidak memungkinkan materi perkara atas nama Chandra
Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang diduga melakukan
pemerasan terhadap Anggodo Widjojo diajukan ke persidangan;
Berdasarkan uraian tersebut maka hal ini dapat dinilai sebagai keadaan
baru yang dijadikan alasan oleh Kejaksaan Republik Indonesia untuk
mengajukan peninjauan kembali demi terselenggaranya tertib hukum
dalam penegakan hukum;
b. Adanya Alasan Pelbagai Putusan yang Saling Bertentangan
Dalam pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
130/Pid/Prap/2010/PT.DKI, tanggal 3 Juni 2010, pada halaman 8
sampai dengan halaman 9, pertimbangan tersebut merupakan dasar
pertimbangan putusan yang saling bertentangan dengan putusan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 149/Pid/Prap/2006/PT.DKI,
tanggal 1 Agustus 2006, atas Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan
Nomor TAP-01/0.1.14/Ft.1/05/2006, tanggal 11 Mei 2006, dalam
perkara atas nama Tersangka H. M. Soeharto alias Soeharto, dengan
pertimbangan antara lain sebagai berikut :
1) “Menimbang, bahwa seiring perjalanan waktu, terjadi perobahan
kondisi dan kebutuhan masyarakat, perkembangan ilmu
pengetahuan dan rasa keadilan masyarakat, dan karenanya sudah
selayaknya timbul alasan baru tentang hapusnya kewenangan
untuk menuntut;
2) Menimbang, bahwa Pancasila sebagai dasar Negara dan falsafah
hidup bangsa Indonesia, yang salah satu silanya adalah
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, yang merupakan sumber
dari segala sumber hukum, dipergunakan pula dalam menilai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
peristiwa konkrit yang terungkap di persidangan dihubungkan
dengan ketentuan perundang-undangan yang telah berusia hampir
seabaddimaksud;
3) Menimbang, bahwa demikian alasan a quo merupakan juga satu
keadaan yang dapat dijadikan dasar untuk penutupan perkara demi
hukum sebagaimana dimaksud Pasal 140 ayat (2) KUHAP”
Dalam kedua putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut
menunjukkan adanya alasan/pertimbangan putusan yang saling
bertentangan, yaitu dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Nomor 130/Pid/Prap/2010/PT.DKI, tanggal 3 Juni 2010, Penuntut
Umum tidak diperkenankan menggunakan alasan "Penutupan Perkara
Demi Hukum" berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP, sedangkan
dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
149/Pid/Prap/2006/PT.DKI, tanggal 1 Agustus 2006, Penuntut Umum
diperkenankan menggunakan alas an "Penutupan Perkara Demi
Hukum" berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP;
Dengan demikian dalam 2 (dua) putusan Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta tersebut terdapat putusan yang saling bertentangan, sehingga
demi tertib hukum dalam penegakan hukum, kami Jaksa Penuntut
Umum mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali
terhadap putusan Pengadilan Tinggi DKI Nomor
130/Pid/Prap/2010/PT.DKI, tanggal 3 Juni 2010;
c. Adanya Kekhilafan Hakim atau Suatu Kekeliruan yang Nyata
Bahwa putusan Pengadilan Tinggi DKI tersebut mengandung suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, dengan penjelasan
sebagai berikut:
1) Pasal 140 ayat (2) KUHAP menegaskan, bahwa Penuntut Umum
dapat menghentikan penuntutan perkara, karena: tidak terdapat
cukup bukti; atau perkara tersebut ternyata bukan merupakan
tindak pidana; atau perkara ditutup demi hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
2) Bahwa perkara ditutup demi hukum sebagai alasan dihentikannya
penuntutan, dalam logika umum akan bermakna "hukum tidak
menghendaki suatu perkara diproses sesuai dengan hukum acara
pidana yang berlaku". Dalam hal pernyataan "hukum tidak
menghendaki”, secara luas di dalamnya terkandung maksud adanya
suatu situasi dan kondisi personal yang menghendaki untuk
ditiadakannya pemidanaan tanpa harus melalui suatu persidangan
(perkara berhenti di tingkat penuntutan atau penyidikan
3) Selain ketiga alasan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 76, 77
dan 78 KUHP, terhadap pencabutan pengaduan pada delik-delik
aduan, seperti Pasal 284 ayat (4) KUHP dan Pasal 332 ayat (1), (2)
dan (3) KUHP, (310 jo 313 KUHP, 315 KUHP dan 367 ayat (2)
KUHP) atau telah ada pembayaran denda maksimum untuk
pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda (Pasal 82
KUHP) atau terhadap perkara yang diberikan amnesti atau abolisi
yang merupakan hak konstitusional Kepala Negara pada saat
perkaranya dalam proses penuntutan, maka Penuntut
4) Berdasarkan alasan penghentian penuntutan pada Pasal 140 ayat (2)
KUHAP dengan alasan perkara ditutup demi hukum didasarkan
azas-azas yang berkembang dalam hukum pidana (Buku I KUHP
berdasarkan alasan tempat (place), waktu (time) dan ruang (space),
seperti: nebis in idem (Pasal 76 KUHP), meninggal dunia (Pasal 77
KUHP), daluwarsa (Pasal 78 KUHP), penyelesaian di luar
persidangan (Pasal 82 KUHP) bahkan adanya pencabutan pada
delik aduan. Jadi penghentian penuntutan dengan alasan perkara
ditutup demi hukum didasarkan azas hukum pidana (Buku I) dalam
prinsip "expertise-causaliteit”, antara actus reus dan mens rea,
sehingga alasan yuridis dengan mempergunakan Pasal 50 KUHP
dengan alasan perkara ditutup demi hukum adalah telah tepat dan
sah;”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
5) Pada dasarnya undang-undang itu harus ditafsirkan menurut
undang-undang itu sendiri, tetapi memperhatikan juga keadaan
yang berubah, maka dapat diberlakukan secara menyimpang dari
maksud yang sebenarnya dari pembentuk undang-undang;
6) Apabila alasan pembenar maupun alasan pemaaf sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44, 45, 48, 49, 50 dan 51 KUHP sebagai
alasan peniadaan pidana hanya dimaknai sebagai wewenang hakim
dan tidak dapat dipergunakan sebagai alasan penghentian
penuntutan, kemudian Pasal 76, 77 dan 78 KUHP hanya dimaknai
sebagai wewenang penuntut umum dalam menghentikan perkara,
maka akan terjadi pemaksaan terhadap seseorang yang tidak perlu
disidangkan karena telah diketahuinya terdapat keadaankeadaan
yang meniadakan pidana dalam tahap penyidikan maupun
penuntutan. Disamping itu, dengan pemaknaan sebagaimana
pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut,
maka Penyidik tidak mempunyai kewenangan Iagi untuk
menghentikan penyidikan dengan alasan perkara dihentikan demi
hukum, padahal hukum acara pidana memberikan kewenangan
tersebut ;
Dengan demikian penafsiran atas alasan peniadaan pidana maupun
alasan penghapusan penuntutan tidak semestinya hanya didasarkan
atas makna yang bersifat terminologis, tetapi harus dimaknai secara
substansial dalam menentukan dapat tidaknya dipidananya
seseorang adalah juga sebagai alasan ditutupnya perkara demi
hukum baik oleh Penuntut Umum maupun Penyidik;
7) Pasal 139 KUHAP menentukan:
"Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil
penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan
apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat
dilimpahkan ke pengadilan;”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Rumusan "menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang
lengkap dari penyidik" dalam Pasal 139 KUHAP, dimaksudkan
proses penerimaan Tersangka dan barang bukti dalam tahap
penuntutan, dimana Jaksa Penuntut Umum diberi kewenangan
untuk menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi
persyaratan untuk dapat dilimpahkan atau tidak. Jaksa Penuntut
Umum diberi kewenangan untuk melakukan penelitian dalam tahap
penuntutan, karena penelitian berkas perkara yang dilakukan Jaksa
Penuntut Umum yang ditunjuk untuk mengikuti perkembangan
penyidikan tahap prapenuntutan sebagaimana dimaksud Pasal 138
ayat (2) KUHAP, hanyalah penelitian kelengkapan formal dan
materiil atas berkas perkara hasil penyidikan tanpa Jaksa Penuntut
Umum bertemu dengan Tersangka dan meneliti kebenaran atas
barang bukti;
Dengan demikian dimungkinkan pada tahap prapenuntutan Jaksa
Penuntut Umum menyatakan suatu berkas perkara telah lengkap
secara formal maupun materiil (P.21), akan tetapi setelah Jaksa
Penuntut Umum melakukan penelitian pada tahap penuntutan
setelah diterimanya berkas perkara berikut tersangka dan barang
buktinya, ternyata diketahui bahwa tersangka tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena keadaan-keadaan tertentu sebagai
alasan peniadaan pidana maupun penghapusan hak penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana;
Dalam kondisi tersebut, Jaksa berdasarkan Pasal 139 jo Pasal 140
ayat (2) KUHAP haruslah berpendapat perkara tidak memenuhi
persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan dengan menerbitkan
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan, karena tidak cukup bukti,
bukan merupakan peristiwa pidana maupun perkara ditutup demi
hukum. Kiranya dalam kondisi demikian, Jaksa Penuntut Umum
tidak perlu melimpahkan perkara ke pengadilan, karena hal-hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
yang menyebabkan tidak dapat dipidananya tersangka telah
diketahui di tahap penuntutan demi kemanfaatan hukum.
Sebaliknya jika harus melimpahkan perkara ke pengadilan terhadap
materi perkara yang sudah diketahui bahwa pengadilan akan
memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan, akan bertentangan
dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan;
8) Selanjutnya jika dicermati, sebenarnya perbuatan Tersangka
Chandra Martha Hamzah yang menerbitkan Surat Perintah
Penggeledahan PT Masaro Radiokom dan PT Masaro
Korporatindo, Surat Keputusan Pelarangan Bepergian Ke Luar
Negeri atas nama Anggoro Widjojo, dkk. dan perbuatan Tersangka
Bibit Samad Rianto yang menerbitkan Keputusan Pelarangan
Bepergian Ke Luar Negeri atas nama Joko S. Tjandra, tidak ada
hubungannya dengan penerimaan uang Ary Muladi dari Anggoro
Widjojo melalui Anggodo Widjojo, sehingga perbuatan Tersangka
Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto tersebut dapat
dikategorikan melaksanakan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Pasal 12 huruf b
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Secara yuridis formal perbuatan para Tersangka tersebut dalam
sangkaan Pasal 23 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 421 KUHP telah terpenuhi, karena telah
melakukan pelarangan ke luar negeri terhadap orang yang tidak
terkait langsung dengan perkara pidana yang sedang ditangani,
namun perbuatan para Tersangka tersebut dianggap hal yang wajar
dan meneruskan perbuatan para pendahulunya dalam rangka
menjalankan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud Pasal 50 KUHP, sehingga perbuatan para Tersangka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
yang demikian itu dapat dibenarkan dan tidak dapat dipidana
karena tidak diliputi oleh kesalahan (dolus/ culpa);
Berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud 1 sampai dengan 8,
dapat disimpulkan bahwa:
Alasan penghapus pidana (strafuitsluitings gronden) dapat
dijadikan sebagai alasan penghapusan penuntutan
(vervolgingsuitsluitings gronden) bahwa dua terminologi tersebut
hanyalah perbedaan terminologi untuk tidak dapat diterapkannya
peraturan hukum;
Bahwa Pasal 139 KUHAP bukanlah pasal berdiri sendiri, tetapi ia
harus dimaknai dalam kaitan yang erat dan tidak terpisahkan
dengan pasal-pasal lainnya dalam kelompok Pasal-Pasal Bab XV
KUHAP yang mengatur perihal penuntutan, termasuk dengan Pasal
140 KUHAP; Bahwa adapun Pasal 50 KUHP tergabung dalam
kelompok ketentuan tentang penghapusan, pengurangan dan
penambahan hukuman, bukan pasal yang memberikan pengaturan
mengenal gugurnya hak penuntutan; adalah merupakan kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata;
Alasan-alasan yang diuraikan di atas merupakan dasar jaksa melakukan
peninjauan kembali atas putusan praperadilan dalam kasus Bibit dan Chandra.
KUHAP tidak mengatur secara jelas mengenai peninjauan kembali terhadap
putusan praperadilan yang diajukan oleh jaksa. KUHAP juga tidak mengatur
secara eksplisit mengenai peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Di bawah ini skema upaya hukum yang dilakukan oleh jaksa maupun
penuntut umum yang dibedakan menjadi dua alur pemeriksaan yakni pemeriksaan
praperadilan dan pemeriksaan perkara biasa.
Gambar 2. Skema upaya hukum yang dilakukan jaksa
Skema tersebut menggambarkan bahwa upaya hukum yang dilakukan
oleh jaksa dalam pemeriksaan praperadilan dan pemeriksaan perkara pidana biasa.
Pemeriksaan dalam perkara pidana biasa, jaksa dapat melakukan upaya hukum
yang dengan jelas diterangkan atau diatur dalam KUHAP terkecuali pengajuan
peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa. Jaksa dapat melakukan upaya
hukum banding yang diajukan ke pengadilan tinggi sesuai dengan Pasal 63 jo.
Pasal 233 KUHAP. Selain upaya hukum banding, jaksa dapat melakukan upaya
hukum kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam
Perkara pidana biasa
Praperadilan
Peninjauan Kembali
Kasasi
Banding
Banding Pasal 83 ayat (2) KUHAP
Pasal 63 jo. 233 ayat (1) KUHAP
Pasal 244 KUHAP
Tersirat dalam Pasal 263 Ayat (3)
KUHAP
Upaya Hukum oleh Jaksa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Pasal 244 KUHAP. Pengajuan peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar
biasa termasuk juga kasasi demi kepentingan hukum, peninjauan kembali diatur
dalam Pasal 263 KUHAP. Pada pasal tersebut terdiri atas tiga ayat yang
berbunyi:
”(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntutan umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagi dasar dan alasan putusan tang telah terbukti, itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
(3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.”
Pasal 263 KUHAP tidak menyebutkan secara tegas bahwa jaksa berhak
untuk mengajukan peninjauan kembali. Jaksa jelas adalah salah satu pihak dalam
sistem peradilan pidana kita. Jaksa mewakili kepentingan masyarakat atau negara,
meski dakwaan yang diajukan dipersidangan hanya menimbulkan korban bagi
seseorang saja.
KUHAP tidak diatur secara eksplisit mengenai kemungkinan bagi jaksa
untuk mengajukan peninjauan kembali, tetapi disiratkan sebagaimana terdapat
dalam Pasal 263 ayat (3). Ketentuan dimaksud menyebutkan bahwa terhadap
putusan pengadilan dapat diajukan peninjauan kembali apabila perbuatan yang
didakwakan dianggap terbukti namun tidak disertai dengan pemidanaan. Perihal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
putusan seperti itu membuat jaksa merasa tidak adil dan bukan terpidana atau ahli
warisnya sebab putusan seperti itu tidak merugikan mereka.
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa, ”terhadap putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat
mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal
atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”. Pasal 24 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ini secara tidak langsung menyiratkan
bahwa yang dimaksud pihak-pihak yang bersangkutan yakni Jaksa Penuntut
Umum dan Terdakwa jika perkara tersebut perkara pidana. Dari ketentuan
tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa terhadap putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa dijatuhi putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum maka jaksa sebagai pihak yang dapat mengajukan
peninjauan kembali, karena terpidana yang juga sebagai pihak yang
berkepentingan tentu tidak mungkin mengajukan permohonan peninjauan kembali
terhadap putusan seperti itu, karena Pasal 263 ayat (1) melarangnya dan dalam
logika tidak mungkin seorang diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum
mengajukan peninjauan kembali.
Ketentuan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP
yang menyatakan bahwa “Atas dasar yang sama sebagaimana tersebut pada ayat
(2), terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dapat diajukan permintaan Peninjauan kembali apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak
diikuti oleh suatu pemidanaan.” Di samping itu, Pasal 263 KUHAP, sama sekali
tidak melarang jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali, sehingga oleh
karenanya jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali. Selain itu, dalam Pasal 14
huruf i menyebutkan wewenang penuntut umum bahwa mengadakan tindakan lain
dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut
ketentuan undang-undang. Dalam hal mengadakan tindakan lain dapat ditarik
kesimpulan bahwa demi rasa keadilan jaksa dapat melakukan peninjauan kembali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
apabila perbuatan yang didakwakan dianggap terbukti namun tidak disertai
dengan pemidanaan.
Pemeriksaan dalam praperadilan, jaksa dapat melakukan upaya hukum
banding sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Upaya hukum
banding ini dapat dilakukan terhadap putusan praperadilan yang menetapkan tidak
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan
putusan ahkir ke pengadilan tinggi. Upaya hukum kasasi dalam praperadilan tidak
dapat diajukan oleh jaksa karena melanggar Pasal 45 ayat (2) UU No. 5 Tahun
2004 tentang Mahkamah Agung. Sedangkan upaya hukum luar biasa pengajuan
peninjauan kembali oleh jaksa terhadap putusan praperadilan tidak terdapat aturan
yang mengaturnya.
Peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan agaknya sulit
diterima oleh peradilan. Hal tersebut dikarenakan praperadilan dilakukan dengan
acara cepat sesuai dengan Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP yang menyatakan
pemeriksaan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim
harus sudah menjatuhkan putusannya. Putusan praperadilan juga dapat dilakukan
upaya hukum lain yakni upaya hukum banding. Putusan praperadilan yang dapat
dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi diatur dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP.
Putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan saja yang dapat diajukan banding.
Berdasarkan ketentuan Pasal 83 ayat (2) tersebut terhadap putusan yang
menetapkan sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, tidak dapat diajukan
banding; terhadap putusan yang menetapkan tentang tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan, dapat diajukan permintaan banding; pengadilan
tinggi yang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang tidak sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan, bertindak sebagai pengadilan yang
memeriksa dan memutus dalam tingkat akhir.
Ketentuan yang dinyatakan dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP tidak
semua putusan praperadilan yang menyangkut sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penuntutan dapat diajukan permintaan banding dan hanya terbatas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
mengenai putusan yang berisi penetapan tentang tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan. Putusan Pengadilan Tinggi dalam pemeriksaan
banding adalah merupakan putusan akhir bukan putusan tingkat terakhir. Sifat dari
putusan akhir adalah putusan yang sudah ”final” dan tidak lagi diajukan
permintaan pemeriksaan yang lain. hal tersebut mendasari bahwa peninjauan
kembali tidak dapat dilakukan dalam putusan praperadilan.
2. Putusan Mahkamah Agung atas Pengajuan Peninjauan Kembali oleh
Jaksa yang Mengakibatkan Alasan Kewenangan Jaksa dalam
Mengajukan Peninjauan Kembali tidak bisa Diterima
Mahkamah mengeluarkan putusan atas pengajuan peninjauan kembali
yang diajukan oleh Jaksa dalam putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra.
Dalam putusan itu hakim Mahkamah Agung menyatakan permohonan peninjauan
kembali dari pemohon peninjauan kembali : Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, Cq. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Cq. Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan tersebut tidak dapat diterima. Putusan tersebut dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung pada tanggal 7 Oktober 2010. Mahkamah Agung menganggap
bahwa Mahkamah Agung tidak berwenang untuk memeriksa perkara tersebut
karena pada dasarnya pengajuan peninjauan kembali tidak dapat diajukan dalam
putusan praperadilan. Praperadilan merupakan pemeriksaan sebelum sidang untuk
memeriksa pokok materi perkara.
Mahkamah Agung memutus peninjauan kembali yang diajukan jaksa
dalam putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra dengan memperhatikan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan peraturan
perundang-undangan lainnya yang bersangkutan. Pada khususnya berdasarkan
Pasal 45 A ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung (MA) yang berbunyi :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
”1. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya.
2. Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. putusan tentang praperadilan; b. perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan/atau diancam pidana denda; c. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan
pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
3. Permohonan kasasi terhadap perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung.
4. Penetapan ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diajukan upaya hukum.
5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.”
Pasal itu menyatakan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dapat
mengadili perkara, kecuali yang oleh undang-undang dibatasi pengajuannya, salah
satunya putusan praperadilan. Kasasi merupakan upaya hukum biasa yang
perkaranya diadili oleh Mahkamah Agung. Peninjauan kembali adalah upaya
hukum luar biasa, akan tetapi dalam hal ini peninjauan kembali tidak bisa
diajukan terhadap putusan praperadilan. Upaya hukum kasasi dalam praperadilan
tidak bisa dilakukan, apalagi upaya hukum peninjauan kembali. Hal ini yang
mendasari bahwa peninjauan kembali tidak diperbolehkan untuk diajukan
terhadap putusan praperadilan. Peraturan lain yang mendasari hal tersebut adalah
SEMA No. 7 Tahun 2005 yang juga mengatur soal praperadilan yang merupakan
penjelasan dari Pasal 45 A ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004. Mahkamah Agung telah membuat sebuah yurisprudensi yang menyatakan
peninjauan Kembali hanya dapat diajukan untuk pokok perkara, bukan untuk
praperadilan yang menurut Mahkamah Agung bukan pokok perkara.
Ketentuan-ketentuan yang telah dinyatakan di atas merupakan dasar
hukum bahwa peninjauan kembali tidak diperbolehkan diajukan terhadap putusan
praperadilan. Kasus yang dibahas dalam penelitian ini yakni peninjauan kembali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
terhadap putusan praperadilan SKPP Bibit dan Chandra seharusnya tidak
diperbolehkan. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum. Pengajuan
peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum boleh dilakukan
walaupun tidak secara tegas namun hanya tersirat sebagaimana diatur dalam Pasal
263 KUHAP yaitu apabila perbuatan yang didakwakan dianggap terbukti namun
tidak disertai dengan pemidanaan akan tetapi terdapat batasan-batasannya.
Sedangkan pengajuan peninjauan kembali atas putusan praperadilan tersebut tidak
boleh dilakukan karena melanggar peraturan dan undang-undang. Peninjauan
kembali yang dilakukan oleh jaksa atas putusan praperadilan SKPP Bibit dan
Chandra tidak legal menurut ketentuan undang-undang dan peraturan yang
berlaku sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan di atas.
Mahkamah Agung pernah mengabulkan permohonan peninjauan kembali
atas putusan praperadilan yang diajukan jaksa, yaitu putusan No. 70PK/Pid/2006
dan 98PK/Pid/2007. Namun, bila dilihat lebih teliti, putusan tersebut tidak
memutus materi praperadilan. Alasan para pemohon mengajukan permohonan
peninjauan kembali adalah karena Pengadilan Tinggi telah melanggar dan
melampaui kewenangannya untuk memutus perkara praperadilan di luar apa yang
telah digariskan oleh Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Peninjauan kembali tersebut
bukan diajukan untuk menguji materi praperadilan itu, akan tetapi untuk menguji
Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara yang ditujukan untuk kesatuan hukum
(http:// www. leip. or. Id /kajian -putusan/ putusan- pidana/ 160-ekstrak -pk-
praperadilan- skpp- bibit- chandra.html<[ Senin, 13 Desember 2010 Pukul 11.00
WIB]).
Pada pembahasan ini akan menjelaskan mengenai argumentasi ataupun
alasan jaksa untuk berwenang atau tidaknya dalam mengajukan peninjauan
kembali terhadap putusan praperadilan. Sebelum menjelaskan mengenai pokok
bahasan akan dipaparkan dahulu mengenai wewenang penuntut umum. Penuntut
umum dan penuntutan diatur secara terpisah dalam KUHAP. Penuntut umum
diatur dalam Bab II, Bagian Ketiga, yang terdiri dari tiga pasal yakni Pasal 13
sampai dengan Pasal 15 sedangkan penuntutan diatur dalam Bab XV, mulai dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Pasal 137 sampai dengan Pasal 144. Terlepas dari cata pengaturan penuntut umum
dan penuntutan, bab dan bagian yang membicarakan penuntutan sangat sedikit
jika dibandingkan dengan bab dan bagian yang membicarakan penyidikan dan
ruang lingkup peradilan.
M. Yahya Harahap menyatakan bahwa hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa dengan adanya deferensiasi dan spesifikasi fungsional secara institusional
yang menempatkan penuntut umum dalam fungsi penuntutan dan pelaksanaan
putusan peradilan maka fungsi penuntut umum tidak berbelit-belit lagi dan sudah
disederhanakan dalam suatu fungsi dan wewenang yang jelas sehingga pengaturan
dalam KUHAP dapat diatur dalam suatu bab dan beberapa pasal (M. Yahya
Harahap,2000:364 ).
Penuntut umum adalah jaksa yang diberikan wewenang oleh undang-
undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Adapun wewenang penuntut umum sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 14
KUHAP yaitu sebagai berikut:
a) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu;
b) mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dan
memperhatikan ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, dengan
memberikan petunjuk dalam rangkapenyempurnaan penyidikan dari
penyidik;
c) memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan dan
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
d) membuat surat dakwaan;
e) melimpahkan perkara ke pengadilan;
f) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;
g) melakukan penuntutan;
h) menutup perkara demi kepentingan hukum;
i) mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dang tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j) melaksanakan penetapan hakim.
Jaksa Penuntut umum juga mempunyai wewenang sebagaimana telah
diatur dalam Pasal 137 KUHAP. Di mana dalam pasal tersebut menyatakan
bahwa Jaksa Penuntut Umum berwenang untuk melakukan penuntutan tehadap
siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya
dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Selain
itu, jaksa penuntut umum juga diberi wewenang untuk memutuskan menghentikan
penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut teryata bukan
merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, Jaksa Penuntut
Umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan, apabila kemudian ternyata
ada alasan baru Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap
tersangka. Hal tersebut sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 140 ayat (2)
KUHAP.
Jaksa Penuntut Umum dengan wewenangnya dapat melakukan suatu hal
dalam penuntutan yaitu menuntut suatu perbuatan yang telah dilakukan oleh
terdakwa dengan maksud untuk menciptakan rasa keadilan. Hakim adalah
manusia yang juga dapat melakukan suatu kekeliruan ataupun kekhilafan dalam
memutus suatu perkara sebagaimana telah diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c
KUHAP. Wewenang Jaksa Penuntut Umum sebagai wakil dari negara atau
pengacara negara melakukan suatu upaya hukum jika dalam putusan tersebut
terdapat kekeliruan ataupun kekhilafan yang dilakukan oleh hakim. Selain itu,
dalam perkara pidana Jaksa Penuntut Umum juga berperan sebagai pengacara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
untuk kepentingan korban dari suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa
untuk memperoleh rasa keadilan.
Jaksa Penuntut Umum berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap
seseorang yang melakukan suatu tindak pidana setelah berkas perkaranya
dilimpahkan dari kepolisian ke tingkat kejaksaan. Apabila berkas perkara dari
kepolisian belum sempurna maka kejaksaaan akan menyatakan P-19 atau berkas
perkara yang dilimpahkan ke tingkat kejaksaan belum lengkap dan belum
sempurna. Kemudian perkara tersebut akan dikembalikan ke kepolisian untuk
dilengkapi dan disempurnakan terlebih dahulu. Setelah berkas dilengkapi dan
disempurnakan oleh kepolisian maka berkas tersebut akan dilimpahkan kembali
ke tingkat kejaksaan.
Berkas perkara yang telah dinyatakan P-21 atau sempurna akan diperiksa
oleh kejaksaan apakah layak untuk dilakukan penuntutan. Apabila berkas perkara
yang telah dilimpahkan dari kepolisian ke tingkat kejaksaan tidak cukup bukti
atau ternyata bukan merupakan tindak pidana maka Jaksa Penuntut Umum
memutuskan untuk menghentikan penuntutan atau perkara ditutup demi hukum.
Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, Jaksa Penuntut Umum dapat
melakukan penuntutan kembali terhadap tersangka. Hal ini sebagaimana telah
diatur dalam Pasal 140 KUHAP. .
Wewenang Jaksa Penuntut Umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal
14 huruf i KUHAP yaitu ” mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini”,
secara eksplisit telah memberikan kewenangan terhadap jaksa untuk melakukan
suatu wewenang lain yaitu dengan melakukan suatu perbuatan ataupun tindakan
lainnya sesuai dengan undang-undang.
Pasal 14 huruf i KUHAP menyebutkan bahwa ”mengadakan tindakan
lain”, tindakan lain tersebut tidak lain adalah pemberian wewenang terhadap Jaksa
Penuntut Umum untuk melakukan wewenang lainnya. Tindakan lainnya
dipresentasikan sebagai wewenang lainnya yang diberikan kepada jaksa penuntut
umum. Jaksa menilai bahwa hal tersebut dapat diartikan sebagai wewenang untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali walaupun dalam KUHAP tidak
diatur secara tegas mengenai peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa. Pada
pembahasan pertama sudah diterangkan, walaupun KUHAP tidak mengatur secara
tegas mengenai peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa akan tetapi secara
tersirat dalam Pasal 263 ayat (3) memperbolehkan jaksa untuk melakukan
peninjauan kembali. Peninjauan kembali dapat dilakukan jaksa apabila perbuatan
yang didakwakan dianggap terbukti namun tidak disertai dengan pemidanaan.
Dengan kata lain, jaksa diperbolehkan untuk melakukan wewenangnya demi
menciptakan rasa keadilan dengan melakukan upaya peninjauan kembali terhadap
putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal perbuatan yang
didakwakan dianggap terbukti namum tidak disertai dengan pemidanaan. Hal ini
tentu saja akan mencoreng rasa keadilan bagi para pencari keadilan.
Kewenangan jaksa untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali
terhadap putusan praperadilan SKPP Bibit dan Chandra merupakan suatu
terobosan hukum yang membuat ketidakpastian hukum. Sebagaimana yang telah
diuraikan dalam pembahasan yang pertama bahwa tidak legal jika suatu
peninjauan kembali diajukan terhadap putusan praperadilan. Jaksa Penuntut
Umum boleh saja tidak keberatan terhadap putusan banding yang diputus oleh
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Selain itu, jaksa juga mempunyai alasan-alasan
untuk dilakukannya upaya peninjauan kembali. Jaksa beralasan bahwa adanya
keadaan baru atau novum, putusan yang bertentangan dan kekhilafan hakim. Akan
tetapi, tidak hanya dengan alasan itu Jaksa Penuntut Umum dapat begitu saja
melakukan wewenangnya untuk melakukan peninjauan kembali atas putusan
praperadilan SKPP Bibit dan Chandra. Hal ini dikarenakan sudah ada kententuan
bahwa terhadap putus dan praperadilan tidak dapat diajukan upaya hukum lain
kecuali banding.
Hal tersebut diatur pada ketentuan yang dinyatakan dalam Pasal 83 ayat
(2) KUHAP tidak semua putusan praperadilan yang menyangkut sah atau
tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan permintaan
banding dan hanya terbatas mengenai putusan yang berisi penetapan tentang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Putusan Pengadilan Tinggi
dalam pemeriksaan banding adalah merupakan putusan akhir bukan putusan
tingkat terakhir. Sifat dari putusan akhir adalah putusan yang sudah final dan tidak
lagi diajukan permintaan pemeriksaan yang lain. Hal tersebut mendasari bahwa
peninjauan kembali tidak dapat dilakukan dalam putusan praperadilan. Selain itu,
berdasarkan Pasal 45 A ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung (MA) dan penjelasannya yakni SEMA No. 7 Tahun
2005 yang juga mengatur soal praperadilan.
Peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa atas putusan praperadilan
SKPP Bibit dan Chandra merupakan terobosan hukum yang akan membuat
ketidakpastian hukum. Jaksa terlalu memaksakan wewenangnya untuk melakukan
suatu upaya hukum demi mempertahankan keputusannya yaitu diterbitkannya
SKPP Bibit dan Chandra tanggal 1 Desember 2009, dengan SKPP Nomor : Tap-
01/0.1.14/Ft.1/12/2009 tanggal 01 Desember 2009 untuk tersangka Chandra
Hamzah dan SKPP Nomor : Tap-02/0.1.14/Ft.1/12/2009 tanggal 01 Desember
2009 untuk tersangka Bibit Samad Riyanto oleh Jaksa Agung. Hal tersebut
menjadi dasar bahwa peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan SKPP
Bibit dan Chandra tidak dapat dilakukan. Secara implisit mengartikan bahwa jaksa
tidak berhak atau tidak berwenang mengajukan peninjauan kembali terhadap
putusan praperadilan SKPP Bibit dan Chandra. Hal tersebut dianggap
kewenangan jaksa tidak sesuai dengan undang-undang dan peraturan hukum yang
berlaku.
Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan peninjauan kembali yang
diajukan Jaksa dalam putusan praperadilan kasus SKPP Bibit dan Chandra ditolak
karena Mahkamah Agung tidak berwenang dalam memeriksa perkara tersebut.
Argumentasi alasan Jaksa yang dimenjadi dasar dalam mengajukan peninjuan
kembali ditolak karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Mahkamah Agung menolak semua alasan yang digunakan Jaksa karena
hakim Mahkamah Agung menilai putusan praperadilan tidak dapat dimintakan
peninjauan kembali. Hal ini dikarenakan praperadilan masih belum menyentuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
pokok perkara yang akan diperiksa. Praperadilan hanya memeriksa mengenai sah
atau tidaknya penangkapan dan penahanan, sah atau tidaknya penghentian
penyidikan dan penuntutan, dan permintaaan ganti kerugian atau rehabilitasi. Hal
tersebut sebagaimana telah diatur dalam Pasal 45 A ayat (2) huruf a Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004. Dalam putusan tersebut, secara tidak langsung
menyatakan bahwa jaksa tidak berhak mengajukan peninjauan kembali atas
putusan praeradilan kasus Bibit dan Chandra dan pengajuan peninjauan yang
diajukan oleh jaksa tidak legal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam bab hasil penelitian dan
pembahasan, maka Penulis dapat merumuskan simpulan sebagai berikut:
Upaya peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan SKPP Bibit dan
Chandra yang diajukan oleh jaksa merupakan suatu tindakan yang tidak legal.
Selain itu, Jaksa Penuntut Umum tidak berhak atau tidak berwenang
melakukan upaya peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan SKPP
Bibit dan Chandra. Hal ini dikarenakan jaksa dianggap melanggar Pasal 45 A
ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2005 yang juga mengatur tentang
praperadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan putusan peninjauan kembali
yang menyatakan tidak dapat menerima permohonan peninjauan kembali yang
diajukan jaksa atas putusan praperadilan kasus SKPP Bibit dan Chandra.
Mahkamah Agung menolak argumentasi jaksa dalam alasan yang diajukan
sebagai dasar pengajuan peninjauan kembali atas putusan praperadilan kasus
SKPP Bibit dan Chandra.
B. Saran
1. Dilakukannya perubahan KUHAP dan harus dibuat aturan yang jelas dan
tegas mengenai upaya hukum peninjauan kembali sehingga tidak timbul
penafsiran yang dapat membuat kebingungan para penegak hukum dan
pencari keadilan.
2. Jaksa Penuntut Umum harus melakukan suatu upaya hukum yang sesuai
dengan undang-undang ataupun aturan hukum yang berlaku dan tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
membuat terobosan hukum yang akan menimbulkan suatu ketidakpastian
hukum.
3. Jaksa harus menggunakan wewenangnya sesuai dengan undang-undang
ataupun aturan hukum yang berlaku.
4. Hendaknya Jaksa Agung bersikap tegas dalam menutup perkara Bibit dan
Chandra yang terindikasi rekayasa kasus oleh Anggodo widjoyo dengan
mengeluarkan deponering dan bukan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP).
Top Related