1
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan makanan khususnya beras semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini menyebabkan adanya pemenuhan
kebutuhan konsumsi beras yang tinggi. Bahan makanan ini merupakan makanan
pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Upaya pemenuhan kebutuhan
konsumsi beras akan terhambat apabila terjadi gangguan dari hama dan penyakit
yang menyerang tanaman padi.
Hawar pelepah merupakan penyakit penting pada tanaman padi. Penyakit
ini merusak pelepah, sehingga untuk menemukan dan mengenali penyakit, perlu
dibuka kanopi pertanaman. Penyakit hawar pelepah padi menyebabkan tanaman
menjadi mudah rebah, makin awal terjadi kerebahan, makin besar kehilangan
yang diakibatkan oleh jamur tersebut. Penyakit ini menyebabkan gabah kurang
terisi penuh atau bahkan hampa. Hawar pelepah terjadi umumnya saat tanaman
mulai membentuk anakan sampai menjelang panen. Namun demikian, penyakit
ini juga dapat terjadi pada tanaman muda. Penyakit disebabkan oleh jamur
Rhizoctonia solani, dengan gejala awal berupa bercak oval atau bulat berwarna
putih pucat pada pelepahnya. Dalam keadaan yang menguntungkan (lembab),
penyakit dapat mencapai daun bendera. Patogen bertahan hidup dan menyebar
dengan bantuan struktur tahan yang disebut sklerotium (Puslitbang Tanaman
Pangan, 2007).
Pada umumnya penyakit ini berawal saat tanaman mencapai stadium
anakan, tetapi dalam keadaan yang cocok, gejala dapat muncul lebih awal pada
saat tanaman padi berumur 20 HST (Hari Setelah Tanam). Suhu dan kelembaban
tinggi, pupuk nitrogen yang tinggi, dan penanaman varietas yang rentan sangat
mendukung perkembangan penyakit di lapangan. Daun yang basah dan kontak
antar tanaman dan antar daun mendukung penyebaran penyakit. Patogen juga
dapat menyebar melalui air irigasi atau melalui perpindahan tanah saat persiapan
tanam. Selain tanaman padi, patogen dapat bertahan pada jeruk, kubis-kubisan,
sayuran, kacang-kacangan, waluh, kacang tanah, cabe, wortel, kedelai, kapas,
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
2
2
barley, sledri, tomat, sorgum, gandum, tulip, dan jagung (Suparyono, 2009).
Di lapang jamur patogen tumbuhan (termasuk di dalamnya R. solani)
memiliki banyak strain. Strain tersebut memiliki tingkat virulensi yang berbeda
termasuk pula dalam tingkat kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan. R. solani
yang menyerang padi pada musim tanam pada tahun 1997 menimbulkan
kerusakan sebesar 0,5 ha (kategori tinggi) di Kabupaten Tator, pada tahun 1997-
1998 menyebabkan kerusakan sebesar 1 ha (kategori ringan) di Kabupaten
Soppeng, saat musim tanam tahun 2000 kerusakan akibat jamur tersebut
menyebakan kerusakan sebesar 4 ha di Kabupaten Enrekang dan 11 ha di
Kabupaten Tator, serta musim tanam tahun 2001 menyebabkan kerusakan di
Kabupaten Luwu sebesar 1 ha (Anonim, 1998;1999;2000;2001 cit. Syatrawati,
2005). Selama ini pengendalian yang dilakukan untuk penyakit damping off hanya
dengan menggunakan fungisida.
Pestisida tidak hanya berdampak merugikan pada kesehatan manusia dan
lingkungan, tetapi juga pada lahan pertanian dan menyebabkan produk pertanian
tidak aman dikonsumsi. Penggunaan pestisida dalam ekosistem pertanian telah
mengakibatkan berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan yang berdampak
pada musnahnya keanekaragaman spesies dalam ekosistem, sehingga dengan
adanya dampak yang terjadi, perlu adanya pembatasan atau penggunaan pestisida
serta pengendalian secara hayati dalam upaya mengembalikan fungsi ekologis
pada suatu agroekosistem.
Penelitian ini penting dilakukan untuk mempelajari karakter biologi isolat
jamur R. solani yang telah dikoleksi di lapang, mengevaluasi virulensi dari isolat-
isolat R. solani yang telah dikoleksi di lapang, menganalisis hubungan antara
karakter biologi dengan tingkat virulensi dari isolat-isolat R. solani yang telah
dikoleksi, dan mempelajari karakter biologi R. solani yang memiliki tingkat
virulensi yang rendah. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diharapkan
mendapatkan isolat jamur R. solani yang memiliki hipovirulensi yang dapat
dikembangkan sebagai agens pengendali hayati terhadap R. solani yang virulen.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
3
3
B. Perumusan Masalah
Jamur R. solani merupakan patogen penting pada tanaman dengan kisaran
inang yang luas. Hampir semua kelompok komoditas tanaman, yaitu padi-padian,
hortikultura, tanaman perkebunan, dan lain-lain. Di daerah Amerika menurut hasil
penelitian yang dilakukan oleh Farr et al., (1989) terdapat 500 inang dari jamur
tersebut dan jamur tersebut menyebabkan kerugian besar terhadap semua
komoditas tersebut. Jamur ini diketahui menyebar di seluruh dunia.
Jamur R. solani sangat sulit dikendalikan karena mampu bertahan sebagai
saprofit di dalam tanah ataupun pada sisa tanaman dalam bentuk sklerotia pada
saat tidak terdapat inang dan kerapatan populasi jamur ini di lapang tergantung
ada tidaknya tanaman inang yang rentan (Yulianti dan Suhara, 2010). Secara
umum, tanaman yang tahan terhadap strain yang paling virulen akan tahan
terhadap strain lain (Green dan Kim, 1991 cit. Rustikawati et al., 2006). Strain
yang berbeda akan mempunyai tingkat kevirulenan yang berbeda. Penggunaan
fungisida harus dipertimbangkan, karena di samping harganya mahal, juga
mengakibatkan patogen menjadi tahan terhadap fungisida, dapat menimbulkan ras
baru, dan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.
Berdasarkan permasalahan yang ada rumusan masalah yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana karakter biologi dari isolat-isolat R. solani asal Daerah
Karanganyar telah dikoleksi di lapang?
2. Bagaimana virulensi dari isolat-isolat R. solani asal Daerah Karanganyar yang
telah dikoleksi di lapang?
3. Adakah hubungan antara karakter biologi dengan tingkat virulensi dari isolat-
isolat R. solani asal Daerah Karanganyar yang telah dikoleksi?
4. Bagaimana karakter biologi R. solani asal Daerah Karanganyar yang memiliki
tingkat virulensi yang rendah?
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
4
4
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mempelajari karakter biologi isolat R. solani asal Daerah Karanganyar yang
telah dikoleksi di lapang.
2. Mengevaluasi virulensi dari isolat-isolat R. solani asal Daerah Karanganyar
yang telah dikoleksi di lapang.
3. Menganalisis hubungan antara karakter biologi dengan tingkat virulensi dari
isolat-isolat R. solani asal Daerah Karanganyar yang telah dikoleksi.
4. Mempelajari karakter biologi R. solani asal Daerah Karanganyar yang
memiliki tingkat virulensi yang rendah.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
5
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Jamur Rhizoctonia solani
Jamur R. solani termasuk dalam Phylum Basidiomycota. Bagian vegetatif
jamur ini berupa struktur mirip benang yang disebut hifa. Kumpulan dari hifa ini
membentuk miselium. Miselium ini dibentuk pada tanaman inangnya maupun pada
media buatan dengan ciri-ciri: berwarna putih kecoklatan, mempunyai sekat dolipori,
serta sel-selnya multinukleat. Jamur membentuk sel-sel monoliolid dalam susunan
rantai bercabang atau kluster. Sel-sel ini kemudian membentuk agregat yang disebut
sklerotia, berwarna hitam sampai coklat dengan panjang mencapai 3-5 mm serta tidak
membentuk spora aseksual. Jamur R. solani merupakan jamur patogen penting pada
tanaman pertanian dengan kisaran inang luas yaitu hampir pada semua kelompok
komoditas tanaman, yaitu padi-padian, hortikultura, tanaman perkebunan, dan lain-
lain serta menyebabkan kerugian besar.
Jamur R. solani termasuk anggota Agonomycetales (Deuteromycetes) dan
merupakan fase anamorf (aseksual), sedangkan Thanatephorus cucumeris (Frank)
Donk (Basidiomycetes) adalah fase telemorf (seksual). T. cucumeris memiliki warna
hialin, hifa multinukleat (Ø 8-12 μm) dengan septum dolipore. Hifa biasanya
membentuk cabang pada sudut 90 °, dengan constrictions pada titik asal cabang
hyphal. Pembentukan sklerotia dirangsang oleh perubahan suhu yang meningkat tiba-
tiba atau akibat dari banjir. Jamur ini tidak teratur (hemispherical), 1 - 6 mm
diameter, kumpulan hifa mengumpul menjadi satu untuk membentuk struktur lebih
besar membentuk sklerotia yang sangat tahan dan mungkin tetap infektif sampai 21
bulan di tanah kering (Bayer CropScience, 2010).
Ceresini (1999) cit. Muis (2007) menggambarkan cara R. solani menyerang
tanaman. Patogen ini tertarik pada tanaman karena senyawa kimia stimulan yang
dilepaskan oleh tanaman. Hifa jamur bergerak ke arah tanaman dan melekat pada
permukaan luar tanaman. Setelah melekat, jamur terus berkembang pada permukaan
luar tanaman dan menyebabkan penyakit dengan membentuk apresorium atau
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
6
6
infection cushion dan melakukan penetrasi ke dalam sel tanaman. Proses infeksi
didukung oleh produksi berbagai enzim ekstraseluler yang mendegradasi berbagai
komponen dinding sel tanaman, seperti selulosa, kutin, dan pektin. Seiring dengan
matinya sel tanaman oleh jamur tersebut, hifa melanjutkan pertumbuhannya dan
menyerang jaringan mati, sering kali juga membentuk sklerotia. Inokulum baru
dihasilkan pada atau di dalam jaringan inang, dan siklus baru berulang jika substrat
baru tersedia.
Jamur R. solani terdiri atas banyak ras patogen yang berbeda dalam hal inang
dan jaringan tanaman yang diserang. Beberapa ras menyerang satu jenis tanaman,
sedangkan ras yang lain menyerang beragam famili. Sebagai contoh, ras yang
menyerang kentang tidak menyerang tanaman crusifera, begitu pula sebaliknya. Ras
yang menyerang tanaman serealia berbeda dengan ras yang menyebabkan penyakit
pada tanaman leguminosa dan sayuran. Ras yang berbeda juga menyebabkan gejala
serangan yang berbeda pada inang yang sama. Populasi Rhizoctonia di lapangan
bervariasi dalam hal patogenisitasnya. Ras virulen ringan terdapat pada perakaran
gulma yang mungkin merupakan sumber ras virulen bagi tanaman lain. Variasi ini
dapat terjadi dengan cara percabangan dan anastomosis hifa multinukleat (Baker dan
Martinson, 1970).
Di Indonesia, R. solani merupakan penyakit penting pada kentang yang
dikenal dengan nama penyakit rebah kecambah (dumping off) pada pembibitan, busuk
akar, busuk pangkal batang, dan busuk umbi (Semangun, 1988). Pada padi
menyebabkan penyakit hawar pelepah daun (Purwanti et.al., 1997). Jamur ini juga
penyebab penyakit utama pada kapas (Suhara dan Yulianti, 2005). Selain itu, juga
menyerang berbagai komoditas penting lainnya seperti kelapa sawit, kentang,
tembakau, kacang-kacangan, kubis-kubisan, dan lain-lain (Semangun, 1988). Sampai
sekarang belum ditemukan cara pengendalian yang efektif serta ramah lingkungan.
Mekanisme pengendalian terhadap patogen umumnya dengan cara
berkompetisi dengan tanaman inang atau dan kemampuannya dalam menghasilkan
antibiotik atau dapat pula dengan menghasilkan enzim B-glukanase. Secara
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
7
7
mikroskopis dinding sel R. solani tersusun atas campuran yang kompleks dari
polisakarida dan protein. Khitin (β-1,4- N acetyl glucosamine) dan β-1,3-glukosa atau
β-1,6-glukosa merupakan bagian terbesar dalam jamur tersebut (Syatrawati, 2005)
Jamur R. solani merupakan jamur tular tanah yang dijumpai di daerah tropis.
Patogen ini menyebar melalui saluran air irigasi, bahan tanaman, maupun benih
terinfeksi. Jamur tersebut sulit dikendalikan karena mampu bertahan sebagai saprofit
di dalam tanah ataupun pada sisa tanaman dalam bentuk sklerotia pada saat tidak ada
inang serta kerapatan populasi patogen tersebut tergantung ada tidaknya inang di
lapang yang rentan ( Yulianti dan Suhara, 2010)
Genus Rhizoctonia merupakan suatu kelompok besar jamur yang penting
karena mempunyai kisaran inang yang luas. Beberapa karakteristik utama R. solani
yang disampaikan oleh Sneh et al., 1991 cit. Irawati (2010) adalah jamur tersebut
tidak pernah membentuk clamp connection, konidium, dan rhizomorf. Dasar-dasar
pengelompokkan ini ke dalam spesies yang meliputi warna miselium (koloni), jumlah
inti sel hifa, dan morfologi telemorf.
B. Gejala dan Perkembangan Penyakit Hawar Pelepah Padi
B1. Gejala Hawar Pelepah Padi
Gejala serangan Rhizoctonia solani yaitu bibit sakit menjadi layu dan
akhirnya mati. Pada tanaman yang sudah berkembang, penyakit menyebabkan
bercak besar yang tidak beraturan pada pelepah dan disebut hawar (blight). Pada
awalnya, bercak berbentuk lonjong, berwarna hijau keabuan, dan berukuran
panjang antara 1-3 cm. Pusat bercak menjadi berwarna putih keabuan dengan
tepi berwarna coklat. Dalam keadaan parah bercak dapat terjadi pada daun,
termasuk daun bendera. Sklerotium, yang berfungsi sebagai alat penyebaran
horisontal penyakit, terbentuk pada atau dekat daerah gejala dan mudah dilepas.
Dalam keadaan lembab, miselium tumbuh menutupi pelepah dan menyebar
beberapa cm dalam waktu 24 jam. Sebagai patogen terbawa tanah, penyakit
biasanya berawal pada daerah pangkal dekat permukaan air. Selanjutnya gejala
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
8
8
dapat ditemukan pada pelepah bagian atas dan pada helaian daun. Gejala yang
besar pada permukaan pelepah merupakan penyebab kematian seluruh daun.
Tanaman sakit menjadi mudah rebah dan menghasilkan gabah hampa atau gabah
setengah isi, terutama gabah yang berada pada pangkal malai (Suparyono, 2009).
Gejala penyakit ini biasanya muncul ketika tanaman berada dalam tahap
pertumbuhan dan pembentukan anakan. Bintik kecil muncul pada daun kelopak
sekitar 3 inci di atas permukaan air. Bintik-bintik ini membesar dengan cepat di
bawah kondisi yang menguntungkan, lebih panjang atas dan lebih kecil daripada
luas, dan memiliki pusat-putih keabu-abuan dengan marjin kecoklatan. Jika
dilihat lebih jelas, penyakit berlangsung sampai tanaman menyebabkan lesi
putih-keabu-abuan pada daun. Lesi mungkin sebanyak-tiga perempat inci dari
panjang dan melibatkan seluruh lebar daun. Padi yang sakit memiliki diameter
lesi sekitar 1,5 sampai 3 inci dan dapat melebar sampai kanopi daun. Gejala
dapat terjadi pada tanaman sangat sakit, khususnya pada varietas unggul. Tingkat
keparahan hawar pelepah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Suhu di
atas 900C, kelembaban tinggi, dan mendorong penyebaran penyakit hawar
(msucares.com, 2007).
Belang daun dan hawar pelepah (BDHP) yang disebabkan oleh
Rhizoctonia solani f. sp. sasakii Exner, (Tel: Thanatephorus sasakii (Shirai) Tu
dan Kimbro) adalah penyakit yang destruktif pada jagung dan dianggap sebagai
kendala utama untuk produksi. Patogen ini menyebabkan kerugian pada hasil
gabah berkisar 11,0-40,0 per persen (Singh dan Sharma, 1976 cit. Akhtar et al.,
2009) . Lal et al. (1985) cit. Akhtar et al., 2009) melaporkan bahwa kerugian
dalam hasil gabah sejauh lebih dari 90,0 per persen. Meskipun, laporan
variabilitas patogen berdasarkan perilaku anastomosis, budaya dan penampilan
morfologi dan patogenisitas yang tersedia (Talbot, 1970; Ogoshi 1987; Chen et
al., 1990; Naiki dan Kanoh, 1978; Wang dan Hsich, 1993 cit. Akhtar et al.,
2009).
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
9
9
B2. Perkembangan Jamur R. solani
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara umum tidak terlepas
dari gangguan faktor lingkungan biotik, seperti serangan serangga, gulma, jamur,
atau faktor lingkungan abiotik yang tidak sesuai bagi tanaman. Gangguan yang
ditimbulkan dapat menyebabkan gangguan struktur pada organ, jaringan atau
lebih lanjut berakibat pada gangguan fungsi fisiologisnya.
Lingkungan secara umum dapat mempengaruhi perkembangan jamur.
Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan
jamur R. solani diantaranya adalah suhu dan cahaya. Kedua faktor ini dapat
berpengaruh langsung maupun tidak langsung pada perkembangan jamur. Suhu
kardinal untuk pertumbuhan Rhizoctonia sp. bervariasi, umumnya berkisar 20-
300C, sedangkan kecepatan pertumbuhannya antara 1-100 mm/jam (Parmeter dan
Whitney, 1970 cit. Irawati, 2010).
Cahaya biasanya berpengaruh pada proses perkembangbiakan seksual
(Sneh et al., 1991 cit. Irawati, 2010). Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan
hifa vegetatif jamur biasanya berupa penghambatan ataupun pemicuan
pertumbuhannya. Menurut Semangun (1996), jamur umumnya berpigmen hialin
(tidak berwarna), jika berwarna berarti jamur tersebut berpigmen, umumnya
adalah pigmen melanin yang terikat pada dinding hifa. Cahaya mungkin juga
dapat berpengaruh pada konsentrasi produksi pigmen.
Gangguan fungsi fisiologi ini erat kaitannya dengan struktur jaringan atau
organ yang bersangkutan. Tanaman yang terinfeksi jamur menunjukkan
gangguan pada perkembangan dan struktur jaringan penyusun organ, seperti
jaringan pelindung (epidermis), meristem (baik apikal, interkalar maupun
lateral), dasar (misalnya parenkim penyusun mesofil daun), dan jaringan
pengangkut (xylem dan floem) (Sutic dan Sinclair, 1991 cit. Maryani dan
Kasiamdari, 2004). Pada jaringan epidermis, kerusakan yang terjadi dapat berupa
perubahan struktur kutikula dan rusaknya sel epidermis (Commenil et al., 1997
cit. Maryani dan Kasiamdari, 2004). Kemampuan jamur dalam menginfeksi
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
10
10
inang, misalnya Sclerotinia libertiana untuk menembus jaringan daun melalui
epidermis dan stomata, dapat menginfeksi jaringan mesofil (tersusun oleh
jaringan parenkim) pada tanaman Phaseolus coccineus dan Vicia faba (Sutic dan
Sinclair, 1991 cit. Maryani dan Kasiamdari, 2004). Hal ini dapat berpengaruh
lebih lanjut terhadap tebal tipisnya daun dan perkembangan sel mesofil tersebut.
Masuknya jamur ke daun melalui stomata dapat juga menyebabkan
penebalan dinding sel dan menguraikan komponen dinding sel, sehingga jamur
mampu menembus protoplas dan menginfeksi komponen penyusun sel lainnya.
Kerusakan yang terjadi pada jaringan meristem oleh jenis jamur tertentu dapat
berakibat tertundanya perpanjangan sel atau jaringan penyusunnya, sehingga
meristem akan lebih pendek dibanding meristem yang tidak terinfeksi. Hifa
jamur dapat menembus sampai ke jaringan pengangkut, xylem dan floem, akan
menggerombol di dalam sel parenkim xylem atau floem dan menyebabkan
kematian sel serta menghambat transportasi zat makanan (Sutic dan Sinclair,
1991 cit. Maryani dan Kasiamdari, 2004).
Jamur patogen mengganggu proses fisiologi pada tanaman inangnya
misalkan keaktifan pengangkutan air dan mineral dari dalam tanah, fotosintesis
atau pengangkutan hasil fotosintesis. Jamur dapat merusak organ tanaman inang
seperti pada akar, batang, daun, dan biji (Kendrick, 2000).
Hawar pelepah cenderung lebih destruktif yang menyebabkan kerusakan
tinggi pada anakan, dan beberapa varietas nitrogen responsif. Pemberian pupuk
nitrogen yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan tajuk
padat. Jenis struktur kanopi memiliki kelembaban relatif yang tinggi yang
memberikan iklim mikro yang menguntungkan bagi penyebab penyakit hawar
pelepah padi. Studi di IRRI menunjukkan bahwa pasokan nitrogen untuk
tanaman yang tidak langsung mempengaruhi penyebaran penyakit dengan
meningkatkan kontak jaringan dan daun basah di kanopi. Penyemaian dan jarak
tanam yang dekat mendukung penyebaran penyakit karena, selain menciptakan
iklim mikro yang menguntungkan, itu memungkinkan kontak jaringan dan
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
11
11
jangka waktu yang lebih lama dari daun basah (Rice Knowledge Bank, 2009).
Contoh tanaman yang terserang jamur R. solani (gambar1).
1 a. Hawar Pelepah yang menyerang saat tanaman muda
1 b. Gejala hawar pelepah daun yaitu bercak keabu-abuan berbentuk ovalmemanjang atau elips di antara permukaan air dan daun.
Gambar 1. Gejala serangan R. Solani pada tanaman Padi (Puslitbang TanamanPangan, 2007)
Sklerotium adalah bentuk yang dapat dilihat dengan kasat mata pada
koloni contohnya pada spesies Aspergilus flavus. Umumnya bentuk sklerotia
berbentuk globos/subgloboss berwarna gelap, terletak diantara hifa-hifa yang
berfungsi sebagai resting cell untuk mencegah kepunahan. Apabila dalam
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
12
12
keadaan lingkungan yang baik maka sklerotium dapat tumbuh menjadi
hifa/miselium/stroma (Gdanjar et al., 2006)
C. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Diduga terdapat variasi karakter biologi isolat-isolat R. solani yang menginfeksi
tanaman padi di Daerah Karanganyar.
2. Diduga terdapat variasi tingkat virulensi isolat-isolat R. solani yang menginfeksi
tanaman padi di Daerah Karanganyar.
3. Diduga terdapat hubungan antara karakter biologi dengan tingkat virulensi isolat-
isolat R. solani yang menginfeksi tanaman padi di Daerah Karanganyar.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
13
13
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2009 sampai September
2010 yang bertempat di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman dan Rumah Kaca
Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta pada ketinggian 99 m dpl.
B. Bahan dan Alat
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bagian-bagian tanaman
yang terinfeksi jamur R. solani, buah apel, bibit padi Varietas Membramo, air
destilata, alcohol 90%, PDA (Potato Dextrose Agar, tanah steril, parafilm,
aquades, pupuk Urea, pupuk kompos.
2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, termos
pendingin, refrigerator, LAF (Laminar Air Flow), otoklaf, jarum inokulasi,
mikroskop cahaya, optilab viewer, jarum N, jarum pentul, petridish steril, lampu
bunzen, beaker glass, kertas label, dan kapas.
C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini didesain sebagai penelitian eksploratif di lapangan dan dilakukan
di laboratorium dan rumah kaca. Uji virulensi pada buah apel dilakukan di
Laboratorium sedangkan uji virulensi pada tanaman inang pada padi di lakukan di
rumah kaca menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
14
14
D. Pelaksanaan Penelitian
1. Koleksi isolat-isolat R. solani
Isolat-isolat R. solani dikoleksi dari wilayah endemik jamur R. solani di
daerah Karanganyar. Koleksi dilakukan dengan mendatangi wilayah tersebut.
Tanaman padi yang menunjukkan gejala hawar pelepah yaitu adanya bercak oval
pada pelepah dipotong pada bagian pangkal. Bagian tanaman terutama bagian
batang dan pangkal batang diperiksa jika terdapat gejala penyakit yaitu berupa
bercak-bercak, luka, atau adanya tdana penyakit berupa sklerotia. Bagian tanaman
yang menunjukkan gejala ataupun tanda penyakit tersebut kemudian dimasukkan
ke dalam termos pendingin. kemudian sampel-sampel tanaman segera dipindah ke
refrigerator bersuhu 40C, untuk selanjutnya dikulturkan di medium PDA.
2. Kultur isolat-isolat R. solani pada medium buatan.
Kultur isolat-isolat R. solani dilakukan di LAF (Laminar Air Flow)
menurut cara Streets (1972). Permukaan jaringan yang menunjukkan gejala bercak
atau luka disterilkan dengan 90% alkohol. Bagian kecil dari daerah perbatasan
antara jaringan tanaman yang sakit dan sehat dipotong, diambil, dan diletakkan di
tengah petridish steril berdiameter 90 mm yang mengandung 20 ml PDA (Potato
Dextrose Agar). Preparasi diinkubasikan di rak percobaan di bawah kondisi
stdanard pada 22 – 26 ˚ C selama 7 – 10 hari. Seluruh isolat diberi nomor identitas
sesuai dengan identitas pada label saat isolasi dari lapang. Saat kultur berumur 1
minggu dilakukan pemotretan untuk dokumentasi.
Pada saat pemotretan itu pula masing-masing isolat dibuat stok, yaitu
dengan cara dikulturkan pada medium regenerasi di dalam petridish berdiameter 4
cm menurut cara Hillman et al., (1990). Pembuatan stok ini dimulai dengan
menginokulasikan 3x3x3 mm kubik agar yang diambil dari bagian tepi biakan,
kemudian diletakkan di tengah medium yang telah disediakan. Preparasi
diinkubasikan di rak percobaan di bawah kondisi standar pada 22 – 26 ˚ C selama
1 minggu. Setelah itu preparasi disimpan di dalam refrigerator bersuhu 4˚ C
sebagai stok untuk pengujian-pengujian berikutnya. Masing-masing stok ini diberi
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
15
15
nomor identitas yang sesuai atau diturunkan dari nomor identitas isolat pada
medium PDA di atas.
3. Karakterisasi fenotipe isolat-isolat R. solani
Karakterisasi morfologi dilakukan menurut cara Hillman et al., (1990).
Percobaan dimulai dengan menginokulasikan 3x3x3 mm3 agar, diambil dari
bagian tepi biakan stok berumur 1 minggu, pada bagian tengah petridish
berdiameter 85 mm yang mengandung 20 ml PDA. Petridish lalu diinkubasikan di
rak percobaan dibawah kondisi standar 22-260C. Biakan diamati pada hari ke
3,5,7, dan 9. Karakter yang diamati dan dicatat adalah: laju pertumbuhan koloni
dan fenotip koloni. Isolat-isolat yang diamati jika ditemukan karakter-karakter
yang berbeda, misalnya laju pertumbuhan koloni yang ditunjukkan dengan
diameter koloni yang lebih kecil, fenotip koloni dengan warna yang lebih gelap
atau terang, permukaan koloni yang tidak halus, maka isolat-isolat yang
bersangkutan ditdanai atau dipilih dan didokumentasikan. Isolat-isolat tersebut
mempunyai peluang besar mempunyai tingkat virulensi yang rendah (hipovirulen).
Isolat-isolat terpilih selanjutnya diuji dengan pengujian-pengujian berikutnya yaitu
uji virulensi menggunakan buah apel dan bibit padi.
4. Uji virulensi pada apel
Pengujian dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dan diulang sebanyak tiga kali. Uji virulensi ini menggunakan isolat-isolat
hipovirulen terpilih berdasarkan karakterisasi isolat. Isolat-isolat terpilih dilakukan
uji virulensi menurut cara Elliston (1985). Buah apel yang sudah masak
didesinfeksi dengan 90% alkohol. Ditentukan 4 titik disekeliling buah dengan
posisi menyebar seimbang.
Masing-masing titik kemudian diinokulasi dengan isolat-isolat jamur pada
bagian yang telah dilukai. Inokulum dimasukkan ke dalam masing-masing luka
dengan posisi menghadap ke dalam, lalu ditekan dengan spatula steril sampai
terjadi kontak yang sempurna dengan jaringan apel. Bagian yang diinokulasi lalu
dibalut dengan parafilm untuk mencegah kering, lalu buah apel diinkubasi di baki
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
16
16
plastik berukuran 35x25x7 cm di suhu ruang. Diameter lesio diukur pada hari ke
3,5,7, dan 9.
5. Pengujian ke tanaman Inang
Pengujian ke tanaman inang ini dilakukan untuk mengetahui intensitas dan
presentase serangan R. solani ke inang sesungguhnya. Pemilihan isolat yang akan
diujikan berdasarkan hasil uji virulensi pada buah apel. Uji virulensi ke tanaman
inang ini dengan Rancangan Percobaan RAL (Rancangan Acak Lengkap).
Dari perlakuan tersebut terdapat 1 kontrol sebagai pembanding yaitu
kontrol positif (virulensi tinggi) kemudian tiap batang diulang sebanyak 3 kali dan
masing-masing batang diambil ulangan tiap pelepah yang pada akhir pengamatan
diambil rata-rata. Pada uji virulensi ini digunakan bibit padi varietas Memberamo
dan dilakukan pada padi umur 36 HST. Uji ini dilakukan dengan
menginokulasikan isolat-isolat jamur yang telah dipilih dengan menyelipkan
potongan inokulasi di antara pelepah padi. Pengamatan dilakukan setiap seminggu
sekali setelah inokulasi (MSI) selama satu bulan. Dari hasil uji virulensi ini dapat
diketahui isolat-isolat jamur yang menunjukkan tingkat virulensinya lebih rendah
(hipovirulen) dibanding kontrol (virulen).
6. Persiapan Media Tanam
Media yang digunakan adalah tanah latosol yang sebelumnya dilakukan
sterilisasi dengan autoclaf dengan suhu 1210C dan tekanan 1,5 atm selama 2 jam.
Setelah disterilisasi, tanah diletakkan dalam pot berdiameter 20 cm yang
sebelumnya yang telah dicampur urea 1 g/tanaman dan 6 g/tanaman pupuk
kompos.
7. Pembibitan
Pembibitan tanaman padi yaitu dengan menyemaikan benih dalam wadah
persegi yang sebelumnya benih direndam terlebih dahulu selama 24 jam agar
terjadi imbibisi benih. Benih yang telah direndam ditanam pada bak persegi yang
telah diberi media tanah steril dan campuran kompos dengan perbandingan 1 : 1
dan disemaikan selama 14 hari. Setelah disemaikan bibit padi dipindah ke dalam
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
17
17
media yang telah disediakan.
8. Pemeliharaan tanaman
Penyiraman dilakukan sebanyak 2 kali untuk menjaga kelembaban dan
suhu dari tanaman yang telah diinokulasi jamur R. solani agar perkembangan
penyakit dapat terjadi.
Pemberian pupuk dilakukan untuk mencukupi kebutuhan nutrisi tanaman
yaitu Urea dengan dosis 6 g/tanaman. Pemberian pupuk dilakukan pada saat
sebelum tanam, 21 HST, 45 HST, 60 HST, dan 90 HST.
E. Variabel yang diamati
1. Laju Pertumbuhan
Pengamatan laju pertumbuhan jamur R. solani dilakukan dengan mengukur
diameter koloni jamur pada petridish berdiameter 90 mm. Data hasil pengukuran
laju pertumbuhan di hitung dengan standar deviasi dengan rumus sebagai berikut:
SD =1
)( 21
n
XX
2. Karakter Fenotip koloni
Karakter fenotipe koloni isolat jamur tersebut meliputi warna, struktur
permukaan dan ada tidaknya hifa udara.
3. Diameter kerusakan pada Apel
Pengamatan dilakukan dengan mengamati besarnya diameter lesio pada
apel. Data diameter lesio pada apel dihitung dengan standar deviasi dengan rumus
sebagai berikut:
SD =1
)( 21
n
XX
4. Intensitas Penyakit
Pengamatan intensitas penyakit dilakukan dari awal penginokulasian
sampai panen, mulai dua minggu setelah inokulasi (MSI). Penilaian untuk
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
18
18
menentukan intensitas penyakit tanaman menggunakan skala 0,1,2,3,4, dan 5
sebagai berikut;
Tabel 1. Skala Intensitas Penyakit TanamanNilai skala Gejala bercak
0 Tidak terdapat bercak/sehat1 1-10% terdapat bercak2 11-30% terdapat bercak3 31-60% terdapat bercak4 61-90% terdapat bercak5 >90% atau tanaman mati
Kemudian skala intensitas penyakit tanaman dipakai untuk menghitung
intensitas penyakit dengan menggunakan rumus:
IP = %100.
).(x
VN
vn
Keterangan:
IP = Intensitas Penyakit
n = jumlah tanaman yang menunjukkan gejala dengan kategori tertentu
v = nilai skala dengan kategori gejala tertentu
N = Jumlah tanaman sampel
V = Nilai skala tertinggi kategori gejala
F. Analisis Data
1. Laju pertumbuhan dan Uji Virulensi pada Buah Apel
Data tersebut dianalisis dengan rerata dan standar deviasi yang disajikan dalam
bentuk grafik.
2. Uji virulensi ke tanaman Inang
Data uji virulensi pada tanaman inang dengan menggunakan analisis ragam
berdasarkan uji F taraf 5% dan apabila terdapat beda nyata dilanjutkan dengan uji
Duncan.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
19
19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Koleksi Isolat R. solani di Lapang
Lokasi pengambilan isolat R. solani di lapang yaitu dari Kabupaten
Karanganyar. Pengambilan isolat ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang
gejala yang ditimbulkan oleh jamur tersebut sekaligus mempelajari karakter biologi
dan tingkat kerusakannya pada tanaman padi yang nantinya informasi tersebut
digunakan sebagai langkah awal dalam menentukan isolat yang hipovirulen maupun
virulensi tinggi dan hasil isolasi jamur yang hipovirulen dapat digunakan sebagai
agen pengendali hayati penyakit tersebut.
Gejala yang nampak di lapang yaitu pada pelepah muncul luka nekrotik yang
berbentuk elips pada permukaan pelepah dan pada awalnya, bercak berbentuk
lonjong, berwarna hijau keabuan, dan berukuran panjang antara 1-3 cm. Pusat bercak
menjadi berwarna putih keabuan dengan tepi berwarna coklat. Dalam keadaan parah
bercak dapat terjadi pada daun, termasuk daun bendera. Dan jika tanaman yang
terserang jamur ini menyebabkan tanaman mudah rebah dan menyebabkan gabah
hampa.
Dari informasi yang terdapat di lapang, kemudian dilakukan isolasi terhadap
jamur tersebut. Cara isolasi jamur R. solani yaitu dengan mengambil 1/3 bagian
tanaman sakit dan bagian yang sehat yang ditumbuhkan dalam media PDA. Dalam
media PDA (Potato Dextrose Agar) masih bercampur dengan jamur lain sehingga
perlu dilakukan pembiakan murni. Dalam biakan murni dipilih jamur yang diyakini
memiliki morfologi dan ciri R. solani. Dari hasil isolasi diperoleh 45 isolat yang
kemudian diamati dan di biakkan dalam media PDA.
Hasil isolasi diperoleh 31 isolat yang akan dipelajari karakter biologinya
mulai dari warna, laju pertumbuhan, ada tidaknya miselium udara, dan virulensinya
terhadap tanaman inang. Dari hasil tersebut akan diketahui bagaimana hubungan
antara karakter morfologi terhadap tingkat patogenisitasnya pada tanaman inang dan
tingkat kerusakan terendah pada tanaman inang.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
20
20
B. Karakterisasi Morfologi Isolat R. solani secara Makroskopis
Beberapa R. solani yang bersifat patogen terhadap padi memiliki kemampuan
untuk memproduksi sklerotia yang berdinding luar tebal, sehingga mampu terapung
dan bertahan hidup di air. Jamur ini juga bertahan hidup sebagai miselium dengan
cara saprofit, yakni mengkolonisasi bahan-bahan organik tanah khususnya sebagai
hasil aktivitas patogen tanaman. Sklerotia dan atau miselia yang berada di tanah atau
jaringan tanaman tumbuh dan membentuk hifa yang dapat menyerang beberapa jenis
tanaman. Patogen ini sangat cocok dengan keadaan struktur tanah yang kurang baik
dan kelembapan tanah yang tinggi (Ceresini 1999; CABI 2004 cit. Muis (2007)).
Menurut Yulianti dan Suhara (2010) langkah pertama untuk mengetahui
metode pengendalian secara efektif dengan mempelajari bioekologi jamur-jamur
tersebut. Kenampakan morfologi ini dapat digunakan untuk pengelompokkan awal
terhadap isolat-isolat tersebut. Pengamatan secara makroskopis koloni isolat R. solani
dilakukan mulai pada hari ke-3 sampai hari ke-7 setelah isolasi. Pengamatan
makroskopis dilakukan secara langsung dengan melihat perkembangan masing-
masing koloni yaitu mulai dari diameter koloni, warna koloni, miselium udara, dan
profil koloni. Pengamatan makroskopis ini dilakukan untuk mengetahui karakter
isolat yang memiliki virulensi tinggi maupun tingkat virulensi rendah. Hasil
pengamatan isolat R. solani disajikan pada tabel 1.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
21
21
Tabel 1. Karakterisasi Morfologi Isolat R. solani secara Makroskopis Pada Harike-3
Isolat DiameterKoloni(cm)
Warna Koloni MiseliumUdara
Profil koloni
P1 7,85 Putih kotor Banyak Seperti cincin dan sudahterbentuk sklerotia, kasar
P2 7,90 Putih kotor Banyak Cincin, kasarP3 8,05 Putih kotor Banyak Sudah terbentuk sklerotia,
seperti cincinP4 7,70 Putih kotor Banyak Seperti cincin, kasarP5 7,30 Putih kotor sedikit Cincin, kasarP6 7,60 Putih kotor Banyak Cincin, kasarP7 8,20 Putih kotor Sedikit Banyak terdapat sklerotia,
kasarP8 7,65 Putih kotor Banyak CincinP9 7,25 Putih kotor Tidak ada Halus seperti mengendapP10 7,25 Putih kotor Banyak Sklerotia mulai munculP11 0 - - -P12 6,30 Putih kotor Banyak Koloni bergelombang tidak
beraturanP13 3,45 Putih hijau Banyak KasarP14 8,15 Krem Banyak CincinP15 3,65 Putih ditengah
hijauBanyak Kasar
P16 8,25 Putih kotor Banyak Sudah muncul sklerotia,kasar
P17 8,15 Putih kotor Banyak CincinP18 7,20 Putih kotor Banyak Cincin sudah terbentuk
sklerotiaP19 3,00 Putih hijau Banyak KasarP20 7,05 Putih kotor Banyak KasarP21 6,5 Putih kotor Banyak KasarP22 6,55 Putih kotor Banyak KasarP23 7,15 Putih kotor Banyak Kasar, mengendapP25 5,45 Putih kotor Banyak Seperti cincin, kasarP26 5,70 Putih kotor Banyak Membentuk lingkaran
seperti cincinP28 4,80 Putih kotor Banyak Kasar, membentuk lingkaranP29 4,95 Putih kotor Banyak kasarP31 5,00 Putih kotor Banyak Kasar, membentuk lingkaranP32 2,35 Putih kotor Jarang Kasar, terbentuk lingkaran
gelap terangP33 5,20 Putih kotor Banyak Kasar, seperti cincinP39 5,1 Putih kotor Banyak Kasar
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
22
22
Kenampakan morfologi ini dapat digunakan untuk pengelompokkan awal
terhadap isolat-isolat tersebut. Berdasarkan pada tabel 1, hasil isolasi menunjukkan
bahwa terdapat berbagai variasi karakter morfologi isolat jamur R. solani yang
kemudian diidentifikasi menurut warna, hifa, dan profilnya. Isolat yang diperoleh
berasal dari kabupaten Karanganyar. Dari hasil isolasi diperoleh 45 isolat, yang
kemudian dipilih 31 isolat yang diduga merupakan jamur R. solani untuk selanjutnya
diidentifikasi. Dari hasil penelitian ini ditemukan keragaman isolat R. solani.
Secara umum warna koloni ke-31 isolat adalah putih kotor. Jika masa inkubasi
masing-masing isolat pada media PDA diperpanjang maka warnanya akan cokelat
serta akan terbentuk struktur seperti sklerotuim, yaitu stroma. Menurut Holliday,
1989 cit. Irawati (2010) warna koloni dari isolat berhubungan dengan kandungan
melanin yang diproduksi oleh isolat. Melanin biasanya tidak berperan dalam
pertumbuhan, tetapi berperan dalam meningkatkan daya tahan dan kemampuan
berkompetisi khususnya jamur.
Menurut Parmeter dan Whitney (1970) cit. Yulianti dan Suhara (2010),
pigmen hifa Rhizoctonia sp. umumnya bervariasi, dengan warna utama coklat. Koloni
yang muda pada media buatan biasanya berwarna putih atau mendekati putih, tetapi
dengan bertambahnya umur maka koloni akan menjadi coklat tua. Menurut Danersen
dan Rasmussen (1996) cit. Irawati (2010), pembentukan skerotium bukan merupakan
ciri utama genus Rhizoctonia. Pembentukan sklerotium sering dipengaruhi oleh jenis
subtrat tempat jamur ini tumbuh, sedangkan yang selalu terbentuk pada genus
Rhizoctonia adalah sel-sel moniloid yang merupakan prekusor pembentukan
sklerotium. Dari hasil penelitian (tabel1) ini secara umum isolat yang ditumbuhkan
dalam PDA membentuk sklerotium.
Hasil pengamatan penelitian (tabel 1) menunjukkan semua isolat mempunyai
miselium udara yang banyak. Hal ini sejalan dengan pendapat Sneh et al., 1991 cit.
Irawati, 2010, bahwa secara umum jamur-jamur yang ditumbuhkan pada kondisi
terang terus akan mempunyai miselium udara yang lebih banyak dibandingkan pada
kondisi yang lain. Diduga disebabkan adanya hifa jamur yang tumbuh mengikuti arah
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
23
23
cahaya (fototropi). Cahaya berperan penting dalam pembentukan fase telemorf jamur
Rhizoctonia sp. Sporulasi terjadi pada malam hari dan cahaya diketahui dapat
menstimulasi pembentukkan himenium tapi menghambat pematangan basidium.
Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan hifa vegetatif jamur biasanya berupa
penghambatan ataupun pemicuan pertumbuhannya. Menurut Semangun (1996),
jamur umumnya berpigmen hialin (tidak berwarna), jika berwarna berarti jamur
tersebut berpigmen, umumnya adalah pigmen melanin yang terikat pada dinding sel
hifa.
Isolat-isolat R. solani yang ditumbuhkan dalam medium PDA memiliki
kenampakan koloni yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dari hasil
penelitian menunjukkan isolat tersebut memiliki kenampakan yaitu cincin, kasar, dan
halus. Hal ini sejalan dengan Snech et al., 1991 cit. Irawati (2010) diduga cahaya
mungkin juga dapat berpengaruh pada konsentrasi produksi pigmen. Dengan kedua
faktor yang dipengaruhi cahaya tersebut maka jika suatu biakan jamur diperlakukan
dengan kondisi cahaya gelap dan terang secara bergantian akan dapat terbentuk
kenampakan morfologi koloni yang membentuk lingkaran-lingkaran konsentris
gelap-terang. Sehingga lingkaran-lingkaran konsentris yang umumnya terbentuk
seperti pada kondisi gelap terus maupun gelap-terang menjadi tidak nampak jelas
Dari hasil isolasi ditemukan adanya lingkaran-lingkaran konsentris seperti cincin
dengan gelap-terang.
Pengamatan laju pertumbuhan koloni menunjukkan kecepatan tumbuh koloni
tiap isolat yang berbeda. Laju pertumbuhan ini dengan menumbuhkan isolat pada
media PDA yang diamati dan diukur pada hari 3, 5, 7, dan 9 HSI (Hari setelah
Isolasi). Secara umum, pertumbuhan R. solani berlangsung sangat cepat. Satu isolat
dapat tumbuh menutupi cawan petri ukuran 90 mm dalam tiga hari. Jamur ini dapat
hidup selama beberapa tahun dengan memproduksi sklerotia di tanah dan jaringan
tanaman. Hasil pengamatan laju pertumbuhan koloni isolat R. solani disajikan pada
gambar 2.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
24
24
Gambar 2. Diagram Batang Diameter koloni R. solani pada PDA hari ke-3
Hasil penelitian pada tingkat laju pertumbuhan koloni (Gambar 2)
menunjukkan masing-masing isolat yang telah diperoleh memiliki keragaman
pertumbuhan koloni yang berbeda-beda. Dari hasil pengukuran diameter isolat yang
diamati pada hari ke-3 menunjukkan bahwa diameter koloni isolat yang tertinggi
terdapat pada isolat P16 sebesar 8,25 cm sedangkan diameter koloni isolat yang
terrendah terdapat pada isolat P11 sebesar 0 cm. Menurut Irawati (2010) terdapat
hubungan antara karakter morfologi koloni dengan kecepatan pertumbuhan dan
tingkat patogenisitas Rhizoctonia. Pengelompokan Rhizoctonia dapat dilakukan
berdasarkan kenampakan morfologi koloni, namun hal ini agak sulit dilakukan karena
keragaman (variabilitas) spesies ini sangat banyak. Namun dalam penelitian ini hal
tersebut belum dapat dibuktikan karena belum diketahui tingkat virulensinya pada
tanaman inang.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
25
25
C. Uji Virulensi R. solani Pada Apel
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit epidemik yaitu
tingkat virulensi, jumlah dan macam inokulum yang mendekati inang, daur
reproduksi (waktu generasi), lingkungan inokulum terbentuk, ketahanan inokulum
terhadap lingkungan, bentuk penyebaran patogen dan potensi inokulumnya
(Purnomo, 2010)
Isolat yang telah diidentifikasi secara makroskopis kemudian dilakukan uji
virulensi untuk mengetahui tingkat kemampuan isolat jamur R. solani dalam
menimbulkan baik gejala maupun kerusakan pada buah apel. Pengujian pada buah
apel ini merupakan langkah awal dalam pemilihan isolat yang diduga memiliki
tingkat virulensi rendah yang akan diuji pada tanaman inang dan satu isolat yang
diduga memiliki tingkat virulensi tinggi yang digunakan sebagai kontrol. Parameter
yang diamati adalah diameter kerusakan apel yang ditimbulkan oleh isolat R. solani
setelah inokulasi. Pengamatan uji virulensi dilakukan pada hari ke-3, 5, 7, dan 9.
Hasil pengujian virulensi pada buah apel disajikan dalam bentuk diagram batang
dengan standar deviasi (gambar 3)
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
26
26
Gambar 3. Diameter Kerusakan Pada Buah Apel Pada Hari ke-9 (data dianalisis dengan rerata dan standard deviasi)
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
27
27
Berdasarkan hasil pengamatan kerusakan apel pada hari ke sembilan
setelah inokulasi diketahui bahwa isolat jamur R. solani setiap koloni
memiliki tingkat kemampuan menginfeksi yang berbeda-beda. Dari hasil
tersebut menunjukkan bahwa isolat yang diuji memberikan tingkat kerusakan
lesio buah apel tertinggi pada isolat P14 sebesar 2,76 cm serta isolat yang
memberikan tingkat kerusakan rendah pada isolat P13, P22, P10, Kontrol, P4,
P7, dan P16 masing-masing sebesar 0 cm; 0,1 cm; 0,2 cm; 0,3 cm; 0,3 cm; 0,3
cm; 0,4 cm. Hasil penelitian yang dilakuan beberapa peneliti seperti Pegg
(1957), Heale dan Isaac (1965), Boisson dan Lahlou (1982) dalam
Hadisutrisno (2004) cit. Syaifudin (2010) menyatakan, bahwa jamur yang
dilakukan dengan perlakuan kultur, akan kehilangan patogenisitasnya setelah
dipindahkan beberapa kali dalam medium, atau setelah disimpan lama.
Menurut Yunafsi (2002) cit. Syaifudin (2010) menjelaskan bahwa
berbagai galur atau asal (isolat) suatu jenis patogen dapat beragam
keganasannya (virulensinya), tergantung pada gen yang terkandung di dalam
inti atau bahan yang bertindak sebagai inti. Mengingat susunan gen karena
berbagai proses dapat berubah, maka demikian pula virulensi pada suatu jenis
patogen dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan itu bisa terjadi karena
hibridisasi, heterokariosis dan paraseksualisme. Abdullahi et al., (2005) cit.
Syaifudin (2010) menambahkan bahwa daya patogenitas suatu patogen
dipengaruhi oleh faktor internal seperti umur dan kondisi fisik patogen serta
faktor eksternal seperti iklim, kondisi lingkungan dan tindakan agronomis
khususnya pemakaian bahan yang bersifat antifungal dan antimikrobial.
Hasil uji virulensi pada buah apel selanjutnya dipilih 20 isolat yang
diduga memiliki tingkat kerusakan terendah dengan satu isolat yang memiliki
tingkat kerusakan tertinggi sebagai kontrol yang selanjutnya diujikan pada
tanaman inang.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
28
28
D. Uji Virulensi R.solani Pada Tanaman Inang
Hasil uji virulensi pada buah apel digunakan sebagai langkah awal dalam
pemilihan isolat yang diduga memiliki tingkat virulensi yang rendah
dibandingkan dengan kontrol positif. Dari hasil uji pada buah apel dipilih 20 isolat
yang akan diujikan pada tanaman inang. Uji pada tanaman inang ini dimaksudkan
untuk mengetahui seberapa besar tingkat kerusakan pada tanaman inang yang
diakibatkan oleh isolat-isolat jamur R. solani yang telah dikarakterisasi menurut
warna, hifa, diameter koloni.
Uji virulensi pada tanaman inang ini dilakukan di Rumah kaca dengan suhu
harian rata-rata 250C-400C. Dalam pengujian ini digunakan padi varietas
Membramo pada umur 36 HST (Hari Setelah Tanam). Pengujian pada tanaman
inang ini dengan menginokulasikan sklerotia pada pelepah padi dengan cara
menyisipkan sklerotia tersebut pada pelepah padi dengan cara membuka sedikit
pelepah padi kemudian memasukkan gumpalan sklerotia didalamnya sehingga
diharapkan terjadi infeksi antara patogen dengan tanaman inang yang diuji. Data
hasil uji virulensi pada tanaman inang disajikan gambar 4.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
29
29
Gambar 4. Presentase Luas Bercak Rhizoctonia solani pada Tanaman Inang pada 4 MSI (Minggu Setelah Inokulasi)
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
30
30
Gambar 4, menunjukkan bahwa isolat yang diuji pada tanaman inang
memiliki daya patogenisitas yang berbeda pada masing-masing isolat. Uji pada
tanaman inang ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakter
morfologi yang dikaitkan dengan tingkat kerusakan pada tanaman uji. Dari hasil
pengujian virulensi pada tanaman inang 4 MSI (Minggu setelah inokulasi)
diperoleh hasil bahwa pada isolat yang diduga termasuk isolat hipovirulen adalah
isolat K+ (P6); P28; P17; P16; dan P26 masing-masing menimbulkan luas bercak
sebesar 35,93%; 36,94%; 42,16%; 45,28%; 45,99% sedangkan isolat yang pada
awalnya diduga sebagai isolat yang hipovirulen ketika diuji pada tanaman inang
memberikan luasan bercak tertinggi yaitu isolat P7 sebesar 56,57%. Hal ini
sejalan dengan Wakman (2004) menyatakan bahwa luas serangan suatu penyakit
dipengaruhi oleh patogen, inang, dan lingkungan. Patogen dengan kepatogenan
tinggi apabila menyerang inang yang peka dengan kondisi lingkungan yang
menguntungkan, maka akan memperluas gejala serangan, tetapi apabila salah satu
faktor tersebut tidak sesuai, maka terjadinya penyakit akan terhambat.
Menurut Ou (1985) cit. Prayudi (2000) apabila penyakit berkembang sampai
ke daun bendera penurunan hasil dapat mencapai 20%. Semakin tinggi intensitas
penyakit hawar pelepah daun maka stabilitas hasil akan terganggu. Dan usaha
pengendalian penyakit padi yang diakibatkan oleh R. solani Kuhn mengalami
kesulitan karena patogen memiliki inang yang sangat beragam dan mampu
bertahan lama dalam bentuk sklerotium. Didaerah subtropika seperti Jepang,
sklerotium diketahui memiliki peran sebagai alat bertahan dan sebagai sumber
inokulum awal (X0) pertanaman berikutnya (Kozaka, 1970; Hasiba dan Mogi,
1975; Hasiba, 1982 cit. Prayugi, 2000). Hal ini dikarenakan pada musim dingin
tidak ada bentuk lain patogen selain sklerotium yang mampu bertahan hidup. Pada
musim berikutnya, sklerotium muncul ke permukaan tanah sebagai akibat
pengolahan tanah dan siap menjadi sumber inokulum awal pertanaman pada
musim berikut. Di daerah tropika, bentuk lain selain sklerotium selalu tersedia,
sehingga peran sklerotium sebagai sumber inokulum awal pertanaman diduga
tidak dominan.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
31
31
Jamur R. solani yang menginfeksi dinding sel inang menyebabkan gejala
lesio pada pelepah yang menyebabkan rebah dan eksudat patogen tersebut terikut
aliran pengangkutan air sehingga menyebabkan meluasnya serangan dan
meningkatkan intensitas penyakit. Penelitian tersebut sejalan dengan Hadi et al.,
1975 dalam Rosnawati, 1991 cit. Winarni et al., 2004, tingginya intensitas
penyakit dipengaruhi oleh inkubasi, kepadatan konidium dan kemampuan patogen
menyerang berkas pembuluh pada tanaman jahe yang sangat erat hubungannya
dengan pengangkutan air dalam tanaman, karena patogen ini berada dalam xilem
dan konidiumnya terangkut aliran transpirasi. Cepat lambatnya pengangkutan
tersebut juga mempengaruhi cepat lambatnya terjadinya gejala penyakit. Intensitas
penyakit disajikan tabel 2.
Tabel 2. Intensitas Penyakit Pada 4 Minggu Setelah Inokulasi (MSI)
Isolat Minggu ke-4K+ 53.33abK (P1) 65.93 abP2 63.70 abP3 60.74 abP4 65.92 abP7 73.33 bP16 59.26 abP17 55.55 abP18 69.63 abP20 59.26 abP21 62.96 abP22 63.70 abP23 65.18 abP25 62.22 abP26 62.96 abP28 46.67aP29 62.96 abP32 62.96 abP33 69.63 abP39 62.96 ab
Keterangan: Angka yang dikuti huruf yang sama menunjukkan tidakberbeda nyata menurut Uji Duncan 5%
Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas penyakit yang diakibatkan
oleh isolat R. solani fluktuatif. Isolat yang diduga hipovirulen memiliki intensitas
penyakit yaitu pada isolat K+(P6),P28, P17; P16; dan P26 masing-masing sebesar
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
32
32
53,33%; 46,67%; 55,55%; 59,26%; 62,96% sedangkan isolat P7 yang diduga
memiliki virulensi tinggi memiliki intensitas penyakit sebesar 73,33%.
Hasil penelitian terhadap isolat R. solani yang dikarakterisasi secara
makroskopis, uji virulensi terhadap apel dan tanaman inang dapat diketahui
tingkat virulensi masing-masing isolat. Pada hasil penelitian ini, dapat diketahui
bahwa isolat yang mempunyai tingkat virulensi relatif rendah terdapat pada isolat
K+(P6), P28, P17, P16, dan P26 yang memiliki karakter biologi antara lain
memiliki warna putih kotor, miselium udara banyak, dengan profil koloni seperti
cincin atau membentuk lingkaran konsentris, sedangkan isolat yang mempunyai
tingkat virulensi tinggi terdapat pada isolat P7 memiliki karakter biologi yaitu
warna putih kotor, miselium udara sedikit, dengan profil koloni banyak terdapat
sklerotia dan kasar.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
33
33
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Isolat-isolat R. solani asal daerah Karanganyar memiliki keragaman karakter
biologi (warna, miselium udara, profil koloni, dan diameter koloni).
2. Isolat-isolat R. solani asal daerah Karanganyar memiliki tingkat virulensi
yang beragam.
3. Isolat yang termasuk hipovirulen adalah isolat K+ (P6); P28; P17; P16; dan
P26 masing-masing menimbulkan luasan bercak sebesar 35,93%; 36,94%;
42,16%; 45,28%; 45,99% pada tanaman inang dan isolat yang termasuk
virulen adalah isolat P7 dan menimbulkan luasan bercak sebesar 56,57%.
4. Intensitas penyakit pada isolat K+(P6),P28, P17; P16; dan P26 masing-
masing sebesar 53,33%; 46,67%; 55,55%; 59,26%; 62,96% dan intensitas
penyakit isolat P7 yang termasuk virulen sebesar 73,33%.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah
1. Perlu dilakukan pengujian lanjutan sampai komponen hasil sehingga dapat
diketahui tingkat penurunan hasil dari isolat yang termasuk hipovirulen.
2. Perlu dilakukan pengujian molekuler untuk mengetahui adakah mikovirus
pada isolat-isolat hipovirulen tersebut.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
34
34
DAFTAR PUSTAKA
Akhtar, J., V. Kumar Jha, A. Kumar dan H.C. Lal. 2009. Occurrence of BdanedLeaf dan Sheath Blight of Maize in Jharkhdan with Reference toDiversity in Rhizoctonia solani. Asian Journal of Agricultural Sciences1(2): 32-35, 2009
Baker, R. dan C.A. Martinson. 1970. Epidemiology of diseases caused byRhizoctonia solani. p.172−178. In J.R. Parmeter, Jr. (Ed.). Rhizoctoniasolani: Biology dan Pathology.University of California Press, Barkeley.
Bayer CropScience. 2010. Thanatephorus cucumeris (Rice).compendium.bayercropscience.com. Diakses Tanggal 13 September2010.
CABI. 2004. Crop Protection Compendium. Dalam Muis, A. 2007. PengelolaanPenyakit Busuk Pelepah (Rhizoctonia solani kuhn.) Pada TanamanJagung. J. Litbang Pertanian 26 (3).
Ceresini, P. 1999. Rhizoctonia solani, patogen profile as one of the requirementsof the course. Soilborne Plant Patogens. NC. State University. DalamMuis, A. 2007. Pengelolaan Penyakit Busuk Pelepah (Rhizoctonia solanikuhn.) Pada Tanaman Jagung. J. Litbang Pertanian 26 (3).
Danersen, T.F. dan H.N. Rasmussen. 1996. The Mycorrhizal species ofRhizoctonia. In: Sneh, B., S.Jabaji-Hare, S. Neate, dan G. Dijst.Rhizoctonia Spesies: Taxonomy, Molecular Biology, Ecology, Pathologydan Disease Kontrol. KAP. London. 379-390 pp
Elliston, J.E. 1985. Characteristics of dsRNA-free dan dsRNA-containing strainsof Endothia parasitica in relation to hypovirulence. Phytopathology82(2):151-157.
Farr, D.F., G.F. Bills, G.P. Chamuris, dan A.Y. Rossman. 1989. Fungi on Plantsdan Plant Product in the United States. APS Press. St.Paul, Minnesota.1252 pp.
Gdanjar, I., W. Sjamsuridzal, dan A. Oetari. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan.Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Hilman, B.I, Shapira, R., dan D.L. Nuss. 1990. Hypovirulence-associatedsuppresion of host functions in Chryphonectria parasitica can bepartially relieved by high light intensity. Phytopathology.80:950-956.
Irawati, A. F. Cindra. 2010. Karakterisasi Mikoriza Rhizoctonia Dari PerakaranTanaman Vanili Sehat. BPTP Bangka Belitung. mti.ugm.ac.id. Diaksestanggal 15 Agustus 2010.
Kendrick, B. 2000. The Fifth Kingsom. 3rd Ed. Focus Publishing. R. Pulluns Co.USA. Pp200-216.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
35
35
Maryani dan R. S. Kasiamdari, 2004. Kenampakan Anatomis Jaringan TanamanKedelai (Glycine max (L.) Merr.) Terinfeksi Jamur Mikroskopis. Hal150-159. dalam L. Soesanto (ed.). Prosiding Simposium Nasional ITentang Fusarium. Purwokerto.
Msucares.com. 2007. Sheat Blight of Rice. http://mscuares.com. Diakses tanggal13 September 2010.
Parmeter, J. R., dan H. S. Whitnry. 1970. Taxonomy dan nomenclature of perfectstate. In: Rhizoctonia solani, Biology and Pathology. University ofCalifornia Press. Los Angles.7-19.
Prayudi, B. 2000. Efisiensi Aplikasi Fungisida Untuk Pengendalian Rhizoctoniasolani pada Kedelai di Lahan Rawa Pasang Surut. katalog.pustaka-deptan.go.id. Diakses tanggal 23 September 2010.
Purwanti, H., M.K. Kardin, A. Nasution., dan Sutoyo. 1997. Penyakit HawarPelepah Daun Padi (Rhizoctonia solani Kuhn): Permasalahan danProspek Pengendaliannya di Indonesia. J. Agrobio (1) 2.
Purnomo, B. 2010. Epidemiologi Penyakit Tanaman, Penyakit Endemik danFaktor-faktor Yang Berpengaruh. blog.unila.ac.id. Diakses tanggal 23September 2010.
Puslitbang Tanaman Pangan. 2007. Masalah Lapang Hama, Penyakit, dan HaraPada Padi. www.litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 19 November2009.
Rice Knowledge Bank. 2009. Sheath Blight [Rhizoctonia solani Kuhn].http://www.knowledgebank.irri.org. Diakses tanggal 13 September 2010.
Rustikawati, C. Herison, dan Sudarsono. 2006. Kevirulenan Beberapa StrainCucumber Mosaic Virus (CMV) pada Tanaman Cabai Merah (Capsicumannum L.). J. Akta Agrosia Vol 9 (1):12-18.
Semangun, H. 1988. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia.Gajdah Mada University Press. Yogyakarta. 808 hal.
-------------------. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. UGM Press.Yogyakarta.
Streets, R.B. 1972. Diagnosis of Plants Disease. The University of Arizona Press,USA.
Suhara, C dan T. Yulianti. 2005. Mekanisme Ketahanan Varietas Kapas TerhadapRhizoctonia solani Penyebab Penyakit Bibit. Prosiding LokakaryaRevitalisasi Agribisnis Kapas Diintregasikan Dengan Palawija di LahanSawah Tadah Hujan. Lamongan 8 September 2005.p.125-129.
Suparyono. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Padi.www.litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 23 November 2009.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
36
36
Syaifudin, A. Karakterisasi Biologi Isolat-isolat Fusarium sp. Pada Benih Kedelai(Glycine max L.) Dari Beberapa Kabupaten Di Jawa Tengah dan JawaTimur. Skripsi S1 Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Syatrawati. 2005. Pengaruh Kultur Filtrat Gliocladium sp. Terhadap Rhizoctoniasolani Untuk Mengendalikan Penyakit Damping-off Pada Jagung. J.Sains dan Teknologi Vol 5 (3):142-146.
Wakman, W. 2004. Fusarium Patogen Pada Tanaman Jagung. Hal 119-127.dalam L. Soesanto (ed.). Prosiding Simposium Nasional I tentangFusarium. Purwokerto.
Winarni, W., E. Pramono, Soedarmono, L. Soesanto. 2004. Uji KepatogenanBeberapa Isolat Fusarium oxyorum f.sp. Zingiberi Pada Tanaman JaheGajah. Hal 128-135. dalam L. Soesanto (ed.). Prosiding SimposiumNasional I tentang Fusarium. Porwokerto.
Yulianti, T. dan C. Suhara. 2010 . Patogenisitas Sclerotium rolfsii, Rhizoctoniasolani, dan R. bataticola Dari Beberapa Sumber Inokulum TerhadapKecambah Wijen (Sesamum indicum L.) www.e-jurnal.perpustakaan.ipb.ac.id. Diakses tanggal 15 Juli 2010.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
Top Related