Dewan Direksi
Penanggungjawab : Direktur Jenderal Anggaran
Penasehat : Direktur Sistem Penganggaran
Pemimpin Redaksi : Kasubdit Standar Biaya
Redaktur Pelaksana : Kasubdit Transformasi Sistem Penganggaran
Kasubdit Teknologi Informasi Penganggaran
Kasubdit Evaluasi Kinerja Penganggaran
Penyunting/Editor : Kepala Seksi Riset dan Pengembangan Standar Biaya
Staf Redaktur : Yuliardi Muliawan
Achmad Fauzan Sirat
A.A. Nova Swandana
Niken Ajeng Lestari
Lies Kurnia Irwanti
Desain Grafis : Andryan Puji Prapbono
Penyunting Penyelia/Reviewer : Drs. Parluhutan Hutahean, M.A.
Muchamad Amrullah, S.Sos., MM.
Dr. Ir. Uka Wikarya, M.Si.
Keuangan : Indro Trikuntjoro
Israfenny Simangunsong
Tata Usaha dan Sirkulasi : Kepala Subbag Tata Usaha Direktorat Sistem Penganggaran
Faizal Dwi Aulia
Muhammad Aji Wibowo
Trio Kurnia Dianto
Alamat:
Direktorat Sistem Penganggaran
Direktorat Jenderal Anggaran
Kementerian Keuangan
Gedung Sutikno Slamet Lantai 4
Jalan Dr Wahidin Nomor 1 Jakarta Pusat 10710
Email: [email protected]
Kajian yang ditulis pada jurnal ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan
kebijakan institusi dimana penulis bekerja.
ii
KATA PENGANTAR
Upaya efisiensi alokasi anggaran adalah usaha yang terus menerus perlu dioptimalkan.
Oleh karena itu, jurnal Sistem Penganggaran Sektor Publik terus berupaya melakukan
perbaikan. Perbaikan tersebut dilakukan dengan melakukan proses review oleh ahli terkait
dalam penyusunan kajian.
Peer review dalam kajian-kajian dimaksud antara lain Drs. Parluhutan Hutahean, M.A.
sebagai widya iswara utama dan Muchamad Amrullah dari Pusdiklat Anggaran dan
Perbendaharaan, serta Dr. Ir. Uka Wikarya, M.Si dari Universitas Indonesia.
Adapun kajian-kajian dalam jurnal Sistem Penganggaran Sektor Publik volume 2 tahun
2017 ini adalah sebagai berikut.
1. Telaah atas kewenangan Kementerian Keuangan (c.q. Ditjen Anggaran) dalam menilai
kelayakan proposal anggaran kementerian/lembaga
2. Kajian pengelolaan biaya dalam sistem penganggaran
3. Kajian atas implementasi PMK Nomor 195/PMK.02/2014 tentang Standar Struktur Biaya
4. Sinkronisasi kebijakan honorarium standar biaya dalam kerangka single remunerasi
penganggaran berbasis kinerja
5. Kajian indeksasi
6. Metode monitoring dan evaluasi standar biaya keluaran
7. Memadukan konsep standar biaya keluaran umum riset dengan fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan dana
8. Pengaruh kebijakan at cost terhadap alokasi anggaran perjalanan dinas
Hasil kajian di atas diharapkan dapat memberikan kontribusi dan gambaran yang
komprehensif dalam upaya efisiensi alokasi anggaran belanja negara.
Semoga bermanfaat.
Direktur Sistem Penganggaran
Agung Widiadi
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................................................................ ii
Daftar Isi .......................................................................................................................................................iii
Telaah Atas Kewenangan Kementerian Keuangan (C.q. Ditjen Anggaran) Dalam Menilai
Kelayakan Proposal Anggaran Kementerian/Lembaga .............................................................. 1
Kajian Pengelolaan Biaya Dalam Sistem Penganggaran .......................................................... 25
Kajian Atas Implementasi PMK Nomor 195/PMK.02/2014 Tentang Standar Struktur
Biaya ............................................................................................................................................................. 32
Sinkronisasi Kebijakan Honorarium Standar Biaya Dalam Kerangka Single Remunerasi
Penganggaran Berbasis Kinerja ........................................................................................................ 49
Kajian Indeksasi ....................................................................................................................................... 71
Metode Monitoring Dan Evaluasi Standar Biaya Keluaran.................................................... 82
Memadukan Konsep Standar Biaya Keluaran Umum Riset Dengan Fleksibilitas
Pertanggungjawaban Penggunaan Dana ....................................................................................... 98
Pengaruh Kebijakan At Cost Terhadap Alokasi Anggaran Perjalanan Dinas ................. 112
ISSN 2549-9858
1
TELAAH ATAS KEWENANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN (C.Q. DITJEN
ANGGARAN) DALAM MENILAI KELAYAKAN PROPOSAL ANGGARAN
KEMENTERIAN/LEMBAGA
Achmad Fauzan Sirat Email: [email protected]
Intisari
Tujuan utama penelitian ini adalah menjawab pertanyaan adakah kewenangan kementerian keuangan melakukan penliaian kelayakan proposal anggaran kementerian/lembaga. Telaah dilakukan berkenaan dengan aspek filosofis yuridis esensi dari tugas Kementerian Keuangan dalam mencapai tujuan bernegara. Sejalan dengan itu, telaah dilakukan dengan mengulas landasan hukum yang melandasi kewenangan yang dimiliki oleh Kementerian Keuangan sebagai pengejawantahan dari aspen sebelumnya. Hasil penelitian menyatakan bahwa Kementerian Keuangan memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian kelayakan dan efisiensi kebutuhan dana sebagaimana tercantum dalam PP 90/2010 tentang Penyusunan RKAKL. Namun dalam melaksanakan tugas fungsinya, Kementerian Keuangan kurang memiliki pedoman yang cukup untuk melakukan penilaiannya mengingat tidak ada elaborasi lebih mengenai bagaimana penilaian kelayakan dilakukan.
Kata Kunci: Kewenangan, Penilaian, Kelayakan, Sistem Penganggaran, RKAKL.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
APBN merupakan wujud
pengelolaan keuangan negara demi
terciptanya tujuan bernegara sebagaimana
tercantum dalam alinea IV Pembukaan
UUD 1945. Segala tema seperti pro-poor,
pro-growth, dan pro-job; pembangunan
berkelanjutan dan lain-lain, dicantumkan
dalam APBN merupakan salah satu bukti
yang ditunjukkan bahwa keuangan negara
diarahkan untuk terciptanya tujuan bangsa
dimaksud. APBN merupakan instrumen
kebijakan fiskal yang memiliki peran
penting dalam kehidupan bernegara, oleh
karenanya APBN perlu dikelola secara
terbuka, transparan, bertanggung jawab,
dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Dalam pembentukannya, APBN
melalui suatu proses yang dikenal dengan
sebagai siklus APBN. Siklus ini merupakan
rangkaian kegiatan yang melibatkan
berbagai pihak guna memastikan APBN
terbentuk sesuai dengan tujuan tersebut.
Hal yang sering tidak disadari oleh banyak
pihak memahami bahwa siklus APBN
sendiri hanya terbatas pada penyusunan
APBN. Padahal penyusunan sendiri
seharusnya merupakan sebuah sub sistem
yang menjadi bagian dari sistem
pengelolaan keuangan negara yang lebih
besar. Dimana secara keseluruhan sistem
ini terdiri atas penyusunan, pelaksanaan
dan pertanggungjawaban APBN. Dengan
kata lain APBN bukan sesuatu yang
berhenti hanya karena APBN telah
disetujui oleh DPR, namun masih ada
rangkaian kegiatan lain guna memastikan
tujuan bernegara tersebut tercapai.
2
Proses dalam penyusunan APBN
sendiri dimulai dengan pembicaraan awal
untuk membahas asumsi yang akan
digunakan, dan diakhiri dengan
pengesahan dokumen pelaksanaan
anggaran yang menjadi dasar legal
pelaksanaan kebijakan guna mencapai
tujuan bernegara. Dalam proses ini,
interaksi, baik secara internal pemerintah
maupun antara pemerintah dan DPR,
terjadi untuk menjamin bahwa APBN telah
dikelola secara terbuka dan bertanggung
jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Berbeda dengan tahap
pelaksanaan dan pertanggung jawaban,
penyusunan APBN menyedot perhatian
lebih mengingat proses tidak hanya
mengingat proses ini berada di awal
namun menjadi kunci masuknya suatu
tindakan yang akan membebani keuangan
negara. Hal ini merupakan alasan mengapa
suatu mekanisme check and balances pada
tahap penyusunan APBN perlu dibuat agar
setiap tindakan yang tercantum dalam
APBN memang ditujukan untuk sebesarnya
kemakmuran rakyat.
Menilik lebih jauh mengenai proses
dalam penyusunan APBN, terdapat banyak
pertanyaan mengenai kewenangan
masing-masing pihak dalam proses
tersebut maupun pertanyaan mengenai
bagaimana kewenangan itu akan
dilaksanakan. Menjawab pertanyaan
tersebut, kajian ini mencoba mengulas
kewenangan masing-masing pihak dan
bagaimana kewenangan tersebut
seharusnya dilaksanakan. Jika fungsi check
and balance mengacu pada pola hubungan
antara pemerintah dan parlemen, antara
CFO dan COO, serta dalam internal COO.
Kementerian Keuangan c.q. DJA dalam
pelaksanaan tugasnya adalah wujud
pelaksanaan check and balance antar
pemerintah merupakan salah satu pihak
yang secara intensif mengawal
penyusunan anggaran dari sejak
pembahasan asumsi awal sampai
disahkannya dokumen pelaksanaan
anggaran.
1.2 Rumusan Masalah
Sebagaimana diuraikan dalam latar
belakang, beberapa pertanyaan muncul
yaitu:
1. Apa inti yang menjadi tugas
Kementerian Keuangan (cq. DJA) dalam
pengelolaan APBN tersebut?
2. Apakah Kementerian Keuangan (cq.
DJA) memiliki kewenangan dalam
menilai kelayakan proposal anggaran
Kementerian/Lembaga?
3. Jika memiliki kewenangan tersebut,
Apakah Kementerian Keuangan (cq.
DJA) memiliki kapabilitas yang cukup
untuk melaksanakan kewenangannya?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tulisan ini bertujuan untuk
mengulas kewenangan Kementerian
Keuangan (cq. DJA) sebagaimana dimaksud
dalam PP 90/2010 DJA mengenai penilaian
kelayakan. Bahasan diutamakan pada
pertanyaan utama mengenai adakah
kewenangan tersebut, kapan dilakukan
dan bagaimana hal itu dilakukan
berkenaan dengan peraturan-
perundangan yang ada.
Untuk mencapai tujuan tersebut,
tulisan ini akan menyajikan secara sepintas
mengenai proses dalam penyusunan APBN
termasuk pihak-pihak terkait di dalamnya
3
guna memberikan sedikit gambaran
mengenai bagaimana APBN disusun
sebelum akhirnya mengulas lebih jauh
mengenai bagaimana kewenangan
Kementerian Keuangan (cq. DJA)
dilakukan.
Tulisan ini bermanfaat guna
mengetahui nilai strategis posisi
Kementerian Keuangan (cq. DJA) dalam
penyusunan APBN. Hal ini membawa
manfaat lanjutan yakni guna memberikan
landasan mengenai apa yang perlu
dibangun dalam mendukung posisi serta
mitigasi atas risiko dalam pelaksanaan
tugasnya.
1.4 Ruang Lingkup
Sebagaimana diketahui bahwa
proses penyusunan APBN melibatkan
banyak pihak dalam pelaksanaannya,
sehingga akan sangat banyak sekali detail
yang akan diulas terkait dengan
kewenangan masing-masing pihak jika
tidak ada pembatasan atas bahasan dalam
penelitian ini. Untuk itu, penelitian ini
dibatasi pada kewenangan yang ada pada
Kementerian Keuangan c.q. Ditjen
Anggaran untuk melakukan penilaian
kelayakan.
2. TELAAH PUSTAKA
2.1 Penilaian Kelayakan
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kata penilaian berasal
dari kata nilai (n) yang memiliki 6 makna
yaitu: 1 harga (dl arti taksiran harga):
sebenarnya tidak ada ukuran yg pasti
untuk menentukan -- intan; 2 harga uang
(dibandingkan dng harga uang yg lain): --
rupiah terus menurun; 3 angka
kepandaian; biji; ponten: rata-rata -- mata
pelajarannya adalah sembilan; sekurang-
kurangnya -- tujuh untuk ilmu pasti baru
dapat diterima di akademi teknik itu; 4
banyak sedikitnya isi; kadar; mutu: -- gizi
berbagai jeruk hampir sama; suatu karya
sastra yg tinggi -- nya; 5 sifat-sifat (hal-hal)
yg penting atau berguna bagi
kemanusiaan: -- tradisional yg dapat
mendorong pembangunan perlu kita
kembangkan; 6 sesuatu yg
menyempurnakan manusia sesuai dng
hakikatnya: etika dan -- berhubungan erat.
Sedangkan penilaian (n) sendiri bermakna
sebuah proses, cara, perbuatan menilai;
pemberian nilai (biji, kadar mutu, harga).
Dimana Menilai (v) adalah 1
memperkirakan atau menentukan
nilainya; menghargai: pedagang itu belum
dapat ~ harga intan itu; 2 memberi nilai;
menganggap: ia ~ perkumpulan tari itu
terlalu mementingkan pemasukan uang; 3
memberi angka (biji): saya berani ~ tujuh
untuk gambar itu.
Menurut KBBI, kata kelayakan
berasal dari kata layak yang memiliki dua
makna yaitu: 1) wajar; pantas; patut dan 2)
mulia; terhormat. Sedangkan kelayakan (n)
sendiri merupakan kata layak dengan
mendapatkan imbuhan ke-an sehingga
memiliki makna 1) perihal layak (patut,
pantas); kepantasan; kepatutan; 2) perihal
yg dapat (pantas, patut) dikerjakan.
Berkenaan dengan dua makna
tersebut dapat disimpulkan bahwa
penilaian kelayakan adalah suatu proses
memperkirakan suatu nilai apakah sesuatu
hal layak/patut/pantas dikerjakan. Dalam
kenyataannya, proses dimaksud dapat
berbentuk banyak hal, baik dalam aspek
formil dalam penilaian kelayakan proyek
4
atau bahkan dalam aspek yang tidak formil
penilaian kelayakan pakaian yang
dikenakan oleh seseorang.
Penilaian atas suatu kelayakan
dapat bersifat subjektif dan judgmental
belaka sehingga hasil penilaian yang akan
cenderung bervariasi. Tanpa adanya
aspek-aspek yang mengontrol variasi atas
hasil penilaian menjadi besar yang dapat
mengakibatkan berkurangnya kredibilitas
penilaian tersebut. Untuk itu, penilaian
kelayakan memerlukan aspek pengontrol
dimaksud untuk mengurangi variasi atas
penilaian seperti misalnya bagaimana
proses penilaian dilakukan, adakah kriteria
yang digunakan untuk melakukan
penilaian.
Berkenaan dengan hal tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa penilaian
kelayakan memiliki 4 aspek penting yang
perlu dipersiapkan guna meningkatkan
kredibilitas penilaian, yakni:
1) Proses
Aspek ini berkaitan dengan mekanisme
bagaimana penilaian dilakukan,
sehingga adanya ekspektasi bahwa
untuk kasus yang sama akan ditangani
sama sehingga akan mengarah pada
kesimpulan yang sama.
2) Adanya Kriteria
Aspek ini berkaitan ukuran yang
menjadi dasar atas suatu penilaian
sesuatu. Jika proses berkenaan dengan
mekanisme, kriteria berkenaan dengan
substansi yang diukur. Adanya kriteria
memiliki dua manfaat, yakni
memberikan arah yang jelas mengenai
faktor yang akan dinilai, dan
mengurangi subyektifitas dalam proses
penilaian.
3) Nilai
Aspek ini berkaitan dengan
hasil/kesimpulan atas proses dan
kriteria yang ada. Dengan kata lain,
nilai merupakan hasil akhir dari
mekanisme dan kriteria yang sudah
ditetapkan sebelumnya. Namun
demikian nilai belum menjadi indikasi
dari kelayakan, namun sebagai poin
antara sebelum kelayakan.
4) Keputusan
Aspek ini berkaitan penentuan apakah
suatu nilai dikatakan layak atau patut
untuk dikerjakan. Aspek terakhir ini
merupakan hasil dari keseluruhan
proses yang meliputi pencarian nilai
dan menggunakan nilai dalam
mengambil keputusan.
2.2 Teori Checks and Balances dalam
Sistem Bernegara
Konsep Checks and Balances
pertama kali muncul pada abad
pertengahan, dengan dilandasi oleh ajaran
klasik tentang pemisahan kekuasaan
(separation of power). Hal yang menjadi
esensi dari fungsi check and balances
adalah jika tidak ada satupun cabang
pemerintahan yang memiliki kekuasaan
dominan, serta dapat dipengaruhi oleh
cabang lainnya.
Secara etimologis, checks and
balances terdiri dari dua suku kata, yakni
checks and balances. Suku kata pertama
memiki arti adanya porsi untuk ikut
memeriksa/menilai/ mengawasi/mencari
informasi dan konfirmasi terhadap suatu
keadaan (the right to check); sedangkan
suku kata kedua merujuk pada alat untuk
mencari keseimbangan pandangan atas
suatu kondisi (the means to actively
5
balance out imbalances). Secara idiom,
check and balances dapat diartikan suatu
tindakan untuk ikut memeriksa/menilai/
mengawasi/mencari informasi dan
konfirmasi terhadap suatu keadaan guna
mencari keseimbangan pandangan atas
kondisi tersebut.
Konsep Checks and Balances ini
merupakan instrumen yang sangat penting
dalam desain hubungan antar lembaga
kekuasaan mengingat secara alamiah
manusia yang mempunyai kekuasaaan
cenderung menyalahgunakan, dan
manusia yang mempunyai kekuasaan tak
terbatas memiliki pasti akan
menyalahgunakannya. Adagium yang
menyatakan bahwa absolutely power
tends to corrupt but absolute power
corrupts absolutely masih relevan dengan
kondisi saat ini. Banyak contoh yang ada
dalam kehidupan sehari-hari bangsa yang
dapat menjadi contoh atas kondisi saat ini,
seperti misalnya perlukah lembaga
superbody. Keinginan untuk membatasi
kekuasaan dapat terlihat dari
perkembangan konsep bernegara dari
konsep social contract sampai dengan
konsep negara konstitusi1.
Dalam pola hubungan antara
lembaga sebagai alat negara, esensi pokok
dari prinsip checks and balances ini adalah
menjamin adanya kebebasan dari masing-
masing cabang kekuasaan negara sekaligus
menghindari terjadinya interaksi atau
campur tangan dari kekuasaan yang satu
terhadap kekuasaan lainnya. Dengan kata
lain, upaya menciptakan keseimbangan
tersebut tidak dilakukan dengan
1 Rusma Dwiyana, Konsep Konstitusionalisme, Pemisahan Kekuasaan, Dan Checks And Balances System (Sebuah Tinjauan Konseptual Dan Praktis)
melemahkan fungsi, mengurangi
independensi, atau mengurangi
kewenangan lembaga lain yang justru akan
mengganggu kinerja lembaga yang
bersangkutan.
Dengan demikian, checks and
balances sesungguhnya bukanlah tujuan
dari penyelenggaraan negara. Konsep ini
lebih merupakan elemen pemerintahan
demokratis, bersih dan kuat, serta
mendorong perwujudan good society,
melalui penyempurnaan tata hubungan
kerja yang sejajar dan harmonis diantara
pilar-pilar kekuasaan dalam negara.
1. Konsep Konstitusionalisme
Sebelum membahas mengenai
konsep konstitusionalisme, terlebih dahulu
perlu diulas mengenai kata konstitusi. Kata
konstitusi memiliki arti harfiah sebagai
pembentukan. Kata ini berasal dari bahasa
Perancis yaitu constituir yang bermakna
membentuk dan bahasa latin, yang
merupakan gabungan dua kata yakni cume
dan statuere. Bentuk tunggalnya contitutio
yang berarti menetapkan sesuatu secara
bersama-sama dan bentuk jamaknya
constitusiones yang berarti segala sesuatu
yang telah ditetapkan.
Ada beberapa pengertian
mengenai konstitusi diantaranya adalah
pengertian yang diberikan menurut James
Bryce (C.F. Strong, 1966:11) yaitu
constitution is a collection of principles
according to which the powers of the
government, the rights of the governed,
and the relations between the two are
adjusted. Dengan demikian secara
6
sederhana yang menjadi objek dalam
konstitusi adalah pembatasan terhadap
tindakan pemerintah, hal ini ditujukan
untuk memberikan jaminan terhadap hak-
hak warga negara dan menjabarkan
bagaimana kedaulatan itu dijalankan.
Mengenai peranan konstitusi
dalam negara, C.F Strong (1966:12)
mengibaratkan konstitusi sebagai tubuh
manusia dan negara serta badan politik
sebagai organ dari tubuh. Organ tubuh
akan bekerja secara harmonis apabila
tubuh dalam keadaan sehat dan
sebaliknya. Negara ataupun badan-badan
politik akan bekerja sesuai dengan fungsi
yang telah ditetapkan dalam konstitusi.
Berdasarkan pengertian dan
peranan konstitusi dalam negara tersebut
maka yang dimaksud dengan konsep
konstitusionalisme adalah konsep
mengenai supremasi konstitusi. Adnan
Buyung Nasution (Negara Hukum
Konstitusionalisme, 1995:111)
menyatakan bahwa konstitusi merupakan
aturan main tertinggi dalam negara yang
wajib dipatuhi baik oleh pemegang
kekuasaan dalam negara maupun oleh
setiap warga negara.
Louis Henkin (2000) menyatakan
bahwa konstitusionalisme memiliki
elemen-elemen sebagai berikut: (1)
pemerintah berdasarkan konstitusi
(government according to the
constitution); (2) pemisahan kekuasaan
(separation of power); (3) Kedaulatan
rakyat dan pemerintahan yang demokratis
(sovereignty of the people and democratic
government); (4) Riview atas konstitusi
(constitutional review); (5) Independensi
kekuasaan kehakiman (independent
judiciary); (6) Pemerintah yang dibatasi
oleh hak-hak individu (limited government
subject to a bill of individual rights); (7)
Pengawasan atas kepolisian (controlling
the police); (8) Kontrol sipil atas militer
(civilian control of the military); and (9)
Kekuasaan negara yang dibatasi oleh
konstitusi (no state power, or very limited
and strictly circumscribed state power, to
suspend the operation of some parts of, or
the entire, constitution).
Kesembilan elemen dari konstitusi
tersebut dapat dikelompokkan menjadi
dua yang berkaitan dengan fungsi
konstitusi sebagai berikut:
a. membagi kekuasaan dalam negara
yakni antar cabang kekuasaan negara
(terutama kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif) sehingga
terwujud sistem checks and balances
dalam penyelenggaraan negara.
b. membatasi kekuasaan pemerintah
atau penguasa dalam negara.
Pembatasan kekuasaan itu mencakup
dua hal: isi kekuasaan dan waktu
pelaksanaan kekuasaan. Pembatasan
isi kekuasaan mengandung arti bahwa
dalam konstitusi ditentukan tugas serta
wewenang lembaga-lembaga negara.
2. Konsep Pemisahan Kekuasaan (The
Separation of Power) Dalam Negara
Sejalan dengan premis bahwa
secara alamiah manusia yang mempunyai
kekuasaaan cenderung menyalahgunakan,
dan manusia yang mempunyai kekuasaan
tak terbatas memiliki kecenderungan
untuk menyalahgunakannya maka dalam
ketatanegaraan diperlukan implementasi
pemisahan kekuasaan. Dasar pemikiran
atas Pemisahan kekuasaan adalah
kekuasaan akan membahayakan bagi
7
warga negara bila kekuasaan yang besar
tersebut dimiliki oleh orang perorangan
maupun kelompok. Pemisahan kekuasaan
adalah suatu metode memindahkan
kekuasaan ke dalam kelompok-kelompok,
dengan demikian akan menjadi lebih sulit
untuk disalahgunakan.
Menurut Jimly Asshiddiqie
(2000:2), konsep pemisahan kekuasaan
secara akademis dapat dibedakan antara
pengertian sempit dan pengertian luas.
Dalam pengertian luas, konsep pemisahan
kekuasaan (separation of power)
mencakup pengertian pembagian
kekuasaan yang biasa disebut dengan
istilah division power(distribution of
power). Pemisahan kekuasaan merupakan
konsep hubungan yang bersifat horizontal,
sedangkan konsep pembagian kekuasaan
bersifat vertikal. Secara horizontal,
kekuasaan negara dapat dibagi ke dalam
beberapa cabang kekuasaan yang
dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga
negara tertentu, yaitu legislatif, eksekutif,
dan judikatif. Sedangkan dalam konsep
pembagian kekuasaan (distribution of
power atau division of power) kekuasaan
negara dibagikan secara vertikal dalam
hubungan “atas-bawah”.
3. Konsep Checks and Balances System
Check and balances system adalah
sistem dimana orang-orang dalam
pemerintahan dapat mencegah pekerjaan
pihak yang lain dalam pemerintahan jika
mereka meyakini adanya pelanggaran
terhadap hak. Pengawasan (checks)
sebagai bagian dari checks and balances
adalah suatu langkah maju yang sempurna.
Mencapai keseimbangan lebih sulit untuk
diwujudkan. Gagasan utama dalam checks
and balances adalah upaya untuk membagi
kekuasaan yang ada ke dalam cabang-
cabang kekuasaan dengan tujuan
mencegah dominannya suatu kelompok.
Bila seluruh ketiga cabang kekuasaan
tersebut memiliki checks terhadap satu
sama lainnya, checks tersebut
dipergunakan untuk menyeimbangkan
kekuasaan. Suatu cabang kekuasaan yang
mengambil terlalu banyak kekuasaan
dibatasi lewat tindakan cabang kekuasaan
yang lain. Checks and Balances diciptakan
untuk membatasi kekuasaan pemerintah.
Hal tersebut dapat tercapai dengan men-
split pemerintah dalam kelompok-
kelompok persaingan yang dapat secara
aktif membatasi kekuasaan kelompok
lainnya. Hal ini akan berakhir bila ada suatu
kelompok kekuasaan yang mencoba untuk
menggunakan kekuasaannya secara ilegal.
Contoh sederhana dari konsep ini
adalah hak veto yang dimiliki oleh Presiden
Amerika Serikat. Presiden memiliki
kekuasaan yang signifikan terhadap
legislatif, yang memungkinkan presiden
untuk menuntut bagian tertentu dalam
meloloskan rancangan undang-undang
atau bahkan mem-veto nya. Hasilnya
adalah presiden dapat bekerja sama
dengan legislatif untuk meningkatkan
kekuasaan federal, dan sebagai peringatan
terhadap legislatif untuk tidak melakukan
tindakan preventif untuk memperluas
kekuasaannya. Dalam kasus Indonesia,
veto diejawantahkan dengan pengeluaran
produk hukum PERPU (Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang).
8
2.3 Teori Kewenangan dan Batas
Kewenangan
1. Kekuasaan, Kewenangan, dan
Wewenang
Dalam literatur ilmu politik, ilmu
pemerintahan, dan ilmu hukum sering
ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan,
dan wewenang. Penggunaan istilah
tersebut dalam praktiknya sering
dipertukarkan satu dengan yang lain. Guna
memberikan gambaran atas istilah-istilah
tersebut akan diulas mengenai makna
masing-masing.
Kekuasaan biasanya berbentuk
hubungan dalam arti bahwa “ada satu
pihak yang memerintah dan pihak lain yang
diperintah” (the rule and the ruled)2.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat
terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan
dengan hukum. Kekuasaan yang tidak
berkaitan dengan hukum oleh Henc van
Maarseven disebut sebagai “blote
match”3, sedangkan kekuasaan yang
berkaitan dengan hukum oleh Max Weber
disebut sebagai wewenang rasional atau
legal, yakni wewenang yang berdasarkan
suatu sistem hukum ini dipahami sebagai
suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta
dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang
diperkuat oleh Negara4.
Dalam hukum publik, wewenang
berkaitan dengan kekuasaan yang
berkaitan dengan hukum. Kekuasaan
2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), h. 35-36 3 Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung
Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1990), h. 30
memiliki makna yang sama dengan
wewenang karena kekuasaan yang dimiliki
oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif
adalah kekuasaan formal. Kekuasaan
menurut Miriam Budiardjo adalah
kemampuan seseorang atau sekelompok
orang manusia untuk mempengaruhi
tingkah laku seseorang atau kelompok lain
sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu
sesuai dengan keinginan dan tujuan dari
orang atau Negara5. Agar dapat dijalankan,
kekuasaan membutuhkan penguasa atau
organ sehingga Negara itu dikonsepkan
sebagai himpunan jabatan-jabatan (een
ambten complex) di mana jabatan-jabatan
itu diisi oleh sejumlah pejabat yang
mendukung hak dan kewajiban tertentu
berdasarkan konstruksi subyek-
kewajiban6.
Kewenangan sering disejajarkan
dengan istilah wewenang. Ateng syafrudin
berpendapat ada perbedaan antara
pengertian kewenangan dan wewenang7
yakni antara kewenangan (authority,
gezag) dengan wewenang (competence,
bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang
disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang
berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh
undang-undang, sedangkan wewenang
hanya mengenai suatu bagian tertentu saja
dari kewenangan dimana di dalam
kewenangan terdapat beberapa
wewenang (rechtsbe voegdheden).
4 A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan
Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 52 5 Miriam Budiardjo, Op Cit, h. 35 6 Rusadi Kantaprawira, Op Cit, h. 39 7 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), h. 22
9
Wewenang merupakan lingkup
tindakan hukum publik, lingkup wewenang
pemerintahan, yang meliputi wewenang
membuat keputusan pemerintah
(bestuur), wewenang dalam rangka
pelaksanaan tugas, dan wewenang dalam
memberikan wewenang serta distribusi
wewenang utamanya yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan.
Secara yuridis, pengertian wewenang
adalah kemampuan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum8.
Menurut H.D. Stoud wewenang dapat
dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-
aturan yang berkenaan dengan perolehan
dan penggunaan wewenang pemerintah
oleh subjek hukum publik dalam hukum
publik9.
Berdasarkan beberapa pengertian
di atas, dapat disimpulkan bahwa
kewenangan (authority) memiliki
pengertian yang berbeda dengan
wewenang (competence). Kewenangan
merupakan kekuasaan formal yang berasal
dari konstitusi seperti undang-undang,
sedangkan wewenang adalah suatu
spesifikasi dari kewenangan yang
memberikan subyek hukum yang
kewenangan oleh undang-undang untuk
melakukan sesuatu yang tersebut dalam
kewenangan itu.
Kewenangan selalu dilandasi oleh
kewenangan yang diperoleh dari konstitusi
baik secara atribusi, delegasi, maupun
mandat. Suatu atribusi menunjuk pada
8 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), h. 65 9 Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam
Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan
kewenangan yang asli atas dasar konstitusi
(UUD). J.G. Brouwer10 berpendapat bahwa
atribusi merupakan kewenangan yang
diberikan kepada suatu organ (institusi)
pemerintahan atau lembaga Negara oleh
suatu badan legislatif yang independen.
Kewenangan ini adalah asli, yang tidak
diambil dari kewenangan yang ada
sebelumnya. Badan legislatif menciptakan
kewenangan mandiri dan bukan perluasan
kewenangan sebelumnya dan memberikan
kepada organ yang berkompeten. Delegasi
adalah kewenangan yang dialihkan dari
kewenangan atribusi dari suatu organ
(institusi) pemerintahan kepada organ
lainnya sehingga delegator (organ yang
telah memberi kewenangan) dapat
menguji kewenangan tersebut atas
namanya, sedangkan pada Mandat, tidak
terdapat suatu pemindahan kewenangan
tetapi pemberi mandat (mandator)
memberikan kewenangan kepada organ
lain (mandataris) untuk membuat
keputusan atau mengambil suatu tindakan
atas namanya.
2. Kewenangan dan Konsekuensi atas
Kewenangan
Sebagaimana diuraikan diatas
bahwa kewenangan adalah kekuasaan
formal sehingga perlu landasan hukum
yang atas kewenangan tersebut. Landasan
hukum ini merupakan tidak hanya aspek
legal atas kewenangan tersebut untuk
melakukan administrasi pemerintahan
namun juga mencegah terjadinya tumpang
Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: Alumni, 2004), h.4 10 J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch
Administrative Law, (Nijmegen: Ars Aeguilibri, 1998), h. 16-17
10
tindih serta penyalahgunaan kewenangan
antara sesama pejabat adaministrasi
pemerintahan. Hal-hal tersebut akan
menimbulkan konsekuensi hukum bagi
pejabat adminisrasi baik pada tataran
hukum administrasi negara, hukum pidana
maupun dalam tataran hukum perdata.
Berkenaan dengan konsekuensi
hukum, terdapat beberapa perbedaan
penerapan bergantung pada doktrin
hukum yang melandasi. Doktrin di Inggris
dan Prancis tidak mengenal doktrin
pembagian wewenang, fungsi dan tugas
seperti di Belanda. Kedua negara ini
mengenal adanya konsep “delegation of
power“ dimana pejabat yang menerima
wewenang bertanggung jawab mutlak atas
pelaksanaan serta akibat dari pelaksanaan
wewenang itu. Namun demikian, doktrin
Prancis mengenal doktrin pemisahan
kesalahan antara kesalahan pribadi atau
kesalahan jabatan. Dimana kriteria yang
dipakai dalam pemisahan kesalahan
tersebut adalah:
a. Apakah kesalahan pribadi itu dilakukan
dalam jabatan,
b. Apakah kesalahan itu dilakukan dengan
mengatas namakan jabatan,
c. Adakah alat-alat dan perlengkapan yang
digunakan pada saat dilakukan
kesalahan merupakan milik jabatan;
dimana akumulasi dari ketiga kriteria
tersebut menjadikan kesalahan pribadi
menjadi kesalahan jabatan. Namun dalam
praktiknya Pancis sendiri menganut paham
gabungan mengingat sulitnya memisahkan
kesalahan pribadi dan jabatan. Sehingga
konsekuensinya adalah masyarakat
11 Rum Riyanto S, Kewenangan Pejabat Administrasi di Indonesia, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artike
dipersilahkan untuk memilih pengadilan
dalam hal mengajukan gugatan atas
seorang pejabat negara. Untuk sistem
Belanda dan Inggris, kesalahan jabatan
digugat melalui peradilan administrasi
sedangkan untuk kesalahan pribadi terjadi
perubahan diantara keduanya. Dimana
dalam sistem Belanda gugatan diajukan
melalui pengadilan umum sedangkan
dalam sistem Inggris gugatan diajukan
melalui pengadilan perdata.
Hal lain yang menjadi
permasalahan berkenaan dengan
kewenangan dan konsekuensinya adalah
bagaimana suatu tindakan dikatakan
melampaui kewenangan atau tidak.
Berkenaan dengan hal tersebut tiap
doktrin memberikan pembedaaan sebagai
berikut:11
1. Doktrin Belanda yaitu : onrechtmatige
daad dengan unsur
a. Perbuatan itu bertentangan
dengan peraturan perundang -
undangan yang berlaku,
b. Bertentangan dengan kewajiban
hukum si pelaku,
c. Bertentangan dengan kesusilaan,
d. Bertentangan dengan azas
kepatutan, ketelitian, dan sikap
hati-hati.
Sedangkan doktrin onrechtmatige
over heidsdaad;
a. Bertentangan dengan peraturan
perundangan yang berlaku,
b. Menyalahgunakan wewenang,
c. Sewenang-wenang,
d. Bertentangan dengan azas
pemerintahan yang baik.
l/150-artikel-keuangan-umum/20230-kewenangan-pejabat-adminstrasi-di-indonesia, diakses tanggal 8/7/2015
11
2. Doktrin Prancis
a. Ultra vires dengan unsur
1) Aspek prosedur : mengabaikan
syarat proseduril yang telah di
tetapkan,
2) Aspek substantif :
a) Tindakan administrasi
dilakukan oleh badan atau
pejabat yang salah,
b) Tindakan administrasi
dilakukan oleh pejabat atau
badan yang tidak di tunjuk
untuk itu,
c) Tindakan dilakukan oleh
pejabat atau badan,
melampai wewenang,
d) Tindakan itu dilakukan tidak
sesuai dengan tujuan
hukum,
e) Tindakan yang dilakukan
oleh pejabat yang
berwenang tetapi
pengunaan wewenangnya
melampaui waktu yang jauh
yang akan datang.
b. Detournement de Pouvoir
1) Menggunakan wewenang
untuk kepentingan peribadi,
2) Menggunakan wewenang
untuk kepentingan golongan.
c. Abus de droit
1) Tindakan administrasi negara
dilakukan dengan
mengabaikan perundang-
undangan,
2) Tindakan administrasi tidak
berdasarkan undang-undang.
3. Doktrin Inggris,
a. Law of Tort dengan unsur :.
1) A certain of conduct ;
pelanggaran kode etik,
2) Duty of care ; kewajiban untuk
bewrbuat berhati-hati,
3) Preach of duty ; pelanggaran
terhadap kewajiban, untuk
bertindak berhati-hati,
4) The are of Risk ; medan resiko
dari suatu perbuatan agar tidak
menimbulkan kerugian bagi,
orang lain.
b. Grouns of Action ; unsurnya,
1) Lack of Action ; melakukan
tindak administrasi tetapi
pejabat atau badan itu tidak
cukup kewenangan ;
2) Infrigement of an assential
prosedural requirement ;
melakukan pelanggaran
pelanggaran terhadap
syarataal dan materiil prosedur
administrasi,
3) Infrigement of Treaty or of any
rule law relating its application
: melakukan pelanggaran
terhadap perjanjian publik
atau prinsip-prinsip hukum,
yang seharusnya di terapkan,
4) Misuse of power ;
menyalahgunakan wewenang,
Doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran
dalam ilmu hukum tersebut berguna
untuk menilai apakah suatu perbuatan
administrasi pemerintahan itu telah
sesuai dengan kewenangannya.
Ajaran-ajaran tersebut dapat
pula di pergunakan baik dalam
konteks peradilan tata usaha negara,
maupun dalam peradilan pidana
terutama dalam tindak pidana korupsi,
dimana penyalahan gunaan
kewenangan oleh pejabat
pemerintahan termasuk sebagai
12
tindakan kriminal, jika tindakan itu
merugikan keuangan negara.
Berkenaan dengan tindakan
pidana, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana mencantumkan hal pidana
dalam jabatan pada BAB XXVIII
Kejahatan Jabatan dari Pasal 413
sampai dengan Pasal 437. Secara
substansi Kejahatan Jabatan dapat
berupa sebagai berikut:
1. Menolak atau sengaja
mengabaikan perintah untuk
Komandan Angkatan Bersenjata
2. Memerintahkan untuk melawan
ketentuan undang-undang
3. Melakukan penggelapan,
pembiaran yang berujung
penggelapan, atau membantu
penggelapan aset yang berada
dalam tanggung jawabnya
4. Memalsukan catatan untuk
kepentingan pemeriksaan
5. Memaksa seseorang untuk
melakukan, tidak melakukan atau
membiarkan sesuatu
6. Menggunakan sarana paksaan, baik
untuk memeras pengakuan,
maupun untuk mendapatkan
keterangan, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat
tahun.
7. Menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum
8. Melampaui kekuasaan atau tanpa
mengindahkan cara-cara yang
ditentukan dalam peraturan umum
12 Gumilar Rusliwa Somantri, Memahami Metode Kualitatif, Makara, Sosial Humaniora, Vol.9, No.2, Desember 2005: 57-65;
Hal umum yang menjadikan kesalahan
jabatan menjadi lingkup pidana adalah
kesalahan tersebut dilakukan dengan
melawan hukum. Jika tidak, kesalahan
jabatan tersebut tidak dapat dikategorikan
dalam lingkup pidana.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Kualitatif
Menurut Sukmadinata (2005) dasar
penelitian kualitatif adalah
konstruktivisme yang berasumsi bahwa
kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif
dan suatu pertukaran pengalaman sosial
yang diinterpretasikan oleh setiap individu.
Peneliti kualitatif percaya bahwa
kebenaran adalah dinamis dan dapat
ditemukan hanya melalui penelaahan
terhadap orang-orang melalui interaksinya
dengan situasi sosial mereka (Danim,
2002).
Gaya penelitian kualitatif berusaha
mengkonstruksi realitas dan memahami
maknanya, sehingga penelitian ini biasanya
sangat memperhatikan proses, peristiwa
dan otentisitas.12
Penelitian kualitatif mengkaji
perspektif partisipan dengan strategi-
strategi yang bersifat interaktif dan
fleksibel. Penelitian kualitatif ditujukan
untuk memahami fenomena-fenomena
sosial dari sudut pandang partisipan.
Dengan demikian arti atau pengertian
penelitian kualitatif tersebut adalah
penelitian yang digunakan untuk meneliti
pada kondisi objek alamiah dimana peneliti
13
merupakan instrumen kunci (Sugiyono,
2005).
Ada lima ciri pokok karakteristik
metode penelitian kualitatif yaitu:
1) Menggunakan lingkungan alamiah
sebagai sumber data
Penelitian kualitatif menggunakan
lingkungan alamiah sebagai sumber
data. Peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam suatu situasi sosial merupakan
kajian utama penelitian kualitatif.
Peneliti pergi ke lokasi tersebut,
memahami dan mempelajari situasi.
Studi dilakukan pada waktu interaksi
berlangsung di tempat kejadian.
Peneliti mengamati, mencatat,
bertanya, menggali sumber yang erat
hubungannya dengan peristiwa yang
terjadi saat itu. Hasil-hasil yang
diperoleh pada saat itu segera disusun
saat itu pula. Apa yang diamati pada
dasarnya tidak lepas dari konteks
lingkungan di mana tingkah laku
berlangsung.
2) Memiliki sifat deskriptif analitik
Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif
analitik. Data yang diperoleh seperti
hasil pengamatan, hasil wawancara,
hasil pemotretan, analisis dokumen,
catatan lapangan, disusun peneliti di
lokasi penelitian, tidak dituangkan
dalam bentuk dan angka-angka.
Peneliti segera melakukan analisis
data dengan memperkaya informasi,
mencari hubungan, membandingkan,
menemukan pola atas dasar data
aslinya (tidak ditransformasi dalam
bentuk angka). Hasil analisis data
berupa pemaparan mengenai situasi
yang diteliti yang disajikan dalam
bentuk uraian naratif. Hakikat
pemaparan data pada umumnya
menjawab pertanyaan-pertanyaan
mengapa dan bagaimana suatu
fenomena terjadi. Untuk itu peneliti
dituntut memahami dan menguasai
bidang ilmu yang ditelitinya sehingga
dapat memberikan justifikasi
mengenai konsep dan makna yang
terkandung dalam data.
3) Tekanan pada proses bukan hasil
Tekanan penelitian kualitatif ada pada
proses bukan pada hasil. Data dan
informasi yang diperlukan berkenaan
dengan pertanyaan apa, mengapa,
dan bagaimana untuk mengungkap
proses bukan hasil suatu kegiatan. Apa
yang dilakukan, mengapa dilakukan
dan bagaimana cara melakukannya
memerlukan pemaparan suatu proses
mengenai fenomena tidak dapar
dilakukan dengan ukuran frekuensinya
saja. Pertanyaan di atas menuntut
gambaran nyata tentang kegiatan,
prosedur, alasan-alasan, dan interaksi
yang terjadi dalam konteks lingkungan
di mana dan pada saat mana proses itu
berlangsung. Proses alamiah dibiarkan
terjadi tanpa intervensi peneliti, sebab
proses yang terkontrol tidak akan
menggambarkan keadaan yang
sebenarnya. Peneliti tidak perlu
mentaransformasi data menjadi angka
untuk mengindari hilangnya informasi
yang telah diperoleh. Makna suatu
proses dimunculkan konsep-
konsepnya untuk membuat prinsip
bahkan teori sebagai suatu temuan
atau hasil penelitian tersebut.
4) Bersifat induktif
Penelitian kualitatif sifatnya induktif.
Penelitian kualitatif tidak dimulai dari
14
deduksi teori, tetapi dimulai dari
lapangan yakni fakta empiris. Peneliti
terjun ke lapangan, mempelajari suatu
proses atau penemuan yang tenjadi
secara alami, mencatat, menganalisis,
menafsirkan dan melaporkan serta
menarik kesimpulan-kesimpulan dari
proses tersebut. Kesimpulan atau
generalisasi kepada lebih luas tidak
dilakukan, sebab proses yang sama
dalam konteks lingkungan tertentu,
tidak mungkin sama dalam konteks
lingkungan yang lain baik waktu
maupun tempat. Temuan penelitian
dalam bentuk konsep, prinsip, hukum,
teori dibangun dan dikembangkan dari
lapangan bukan dari teori yang telah
ada. Prosesnya induktif yaitu dari data
yang terpisah namun saling berkaitan.
5) Mengutamakan makna
Penelitian kualitatif mengutamakan
makna. Makna yang diungkap berkisar
pada persepsi orang mengenai suatu
peristiwa. Misalnya penelitian tentang
peran kepala sekolah dalam
pembinaan guru, peneliti
memusatkan perhatian pada
pendapat kepala sekolah tentang guru
yang dibinanya. Peneliti mencari
informasi dari kepala sekolah dan
pandangannya tentang keberhasilan
dan kegagalan membina guru. Apa
yang dialami dalam membina guru,
mengapa guru gagal dibina, dan
bagaimana hal itu terjadi. Sebagai
bahan pembanding peneliti mencari
informasi dari guru agar dapat
diperoleh titik-titik temu dan
pandangan mengenai mutu
13 Gumilar Rusliwa Somantri, op. Cit, 57-65
pembinaan yang dilakukan kepala
sekolah. Ketepatan informasi dari
partisipan (kepala sekolah dan guru)
diungkap oleh peneliti agar dapat
menginterpretasikan hasil penelitian
secara sahih dan tepat.
Berdasarkan ciri di atas dapat
disimpulkan bahwa penelitian kualitatif
tidak dimulai dari teori yang dipersiapkan
sebelumnya, tapi dimulai dari lapangan
berdasarkan lingkungan alami. Data dan
informasi lapangan ditarik maknanya dan
konsepnya, melalui pemaparan deskriptif
analitik, tanpa harus menggunakan angka,
sebab lebih mengutamakan proses
terjadinya suatu peristiwa dalam situasi
yang alami. Generalisasi tak perlu
dilakukan sebab deskripsi dan interpretasi
terjadi dalam konteks dan situasi tertentu.
Realitas yang kompleks dan selalu berubah
menuntut peneliti cukup lama berada di
lapangan.
Setidaknya terdapat lima jenis
metode penelitian kualitatif yang banyak
digunakan menurut Dr. Gumilar
R.Sumantri yaitu: Observasi Terlibat,
Analisa Percapakan, Analisa Wacana,
Analisa Isi, dan Pengambilan Data
Ethnografis13. Observasi terlibat biasanya
melibatkan seoarang peneliti kualitatif
langsung dalam intervensi sosial. Analisa
Percakapan pada umumnya memusatkan
perhatian pada percakapan dalam sebuah
interaksi. Analisa Wacana lebih fokus pada
penggunaan bahasa, dimana perhatian
yang besar tertuju pada praktek dan
kontekstualitas. Analisis Isi mengkaji
dokumen berupa kategori dari makna.
Sedangkan Pengambilan data enthografis
15
yang relatif tidak terstruktur berfokus pada
pengngalian tekstur dan alir pengalaman
selektif dari responden melalui proses
interaksi secara mendalam dan bebas.
Berkenaan dengan penjelasan
diatas, Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Metode kualitatif
dengan penekanan pada analisis isi dari
suatu peraturan.
3.2 Objek penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah
peraturan mengenai kewenangan pihak-
pihak yang terlibat dalam suatu siklus
penganggaran: dari tahap perencanaan
sampai dokumen anggaran disahkan.
Sebagai suatu objek, peraturan ini akan
ditelaah secara isi mengenai keterkaitan
dengan kewenangan yang menjadi objek
dari penelitian.
3.3 Jenis Data
Peraturan-peraturan yang menjadi
data dalam penelitian ini adalah:
a. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara
b. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara
c. Peraturan Pemerintah Nomor 90
Tahun 2010 tentang Penyusunan
Rencana Kerja Anggaran
Kementerian/Lembaga
d. PMK No.136/PMK.01/2014 tentang
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan
RKAKL
e. Peraturan Menteri Perencanaan
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Penyusunan Inisiatif Baru Peraturan
dimaksud merupakan data sekunder
terkait dengan kebutuhan penelitian
ini.
3.4 Pengolahan Data
Sebagai dijelaskan mengenai esensi
penelitian kualitatif, penelitian ini
berusaha menelaah lebih dalam mengenai
keweanangan yang dimiliki oleh
Kementerian Keuangan berkenaan dengan
Proposal Anggaran. Berkenaan dengan hal
tersebut, peraturan terkait dikupas pasal
per pasal termasuk dengan ketentuan
dalam lampirannya. Pengkajian difokuskan
pada kewenangan yang diturunkan dari
pengaturan tersebut.
4. PEMBAHASAN
4.1 Kajian Aspek Filosofis Yuridis
Dalam rangka mencapai tujuan
bernegara sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 perlu dibentuk
pemerintahan negara guna mencapai
tujuan tersebut, dimana pembentukan
pemerintahan negara tersebut
menimbulkan konsekuensi hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang yang perlu dikelola dalam
suatu Sistem Pengelolaan Keuangan
Negara. Selanjutnya wujud pengelolaan
keuangan negara guna mencapai tujuan
bernegara dimaksud termaktub dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang berisi hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang.
Mengingat APBN dimaksudkan untuk
mencapai tujuan bernegara, maka
penyusunan APBN perlu dijaga sedemikian
rupa untuk memastikan proses yang
terbuka dan bertanggung jawab untuk
sebesarnya kemakmuran rakyat.
APBN berisi hak dan kewajiban
negara dalam rangka menyelenggarakan
fungsi pemerintahan untuk mencapai
16
tujuan negara. Untuk itu, dalam
penyusunannya APBN perlu
memperhatikan aspek-aspek keuangan
yang berkesinambungan yakni harus
memperhatikan seberapa besar
kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan negara serta kemampuan
negara dalam menghimpun pendapatan.
Dengan demikian, pelaksana
pemerintahan negara tidak dapat berlaku
semena-mena menyelenggarakan
pemerintahan negara tanpa
memperhatikan kemampuan untuk
membiayai hal tersebut. Hal ini sangatlah
penting mengingat ketidakmampuan
untuk menyadari kondisi berkenaan akan
berakibat tidak tercapainya tujuan
bernegara itu sendiri karena negara akan
kehilangan kemampuannya untuk
membiayai pencapaian tujuan bernegara
dimasa yang akan datang. Berkenaan
dengan itu, UU 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara memberikan mandat
untuk selalu mempertahankan kelebihan
biaya atas pendapatan dibawah 3% (ref:
pasal 12 UU 17/2003).
Pemerintahan Negara adalah
sistem penyelenggaraan pemerintahan
Indonesia dengan Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan
negara tertinggi sesuai dengan Pasal 4 ayat
(1) UUD 1945. Berdasarkan Ketentuan
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 terdeviasi
kekuasaan Presiden dalam pengelolaan
keuangan negara. Secara yuridis,
kekuasaan memegang pengelolaan
keuangan negara hakikatnya juga untuk
menjamin penyelenggaraan pemerintahan
negara dan pelayanan publik, dalam
konteks penyediaan pendanaan.
Penyusunan APBN sebagai bagian
awal siklus anggaran negara berdasarkan
konstruksi hukumnya diadakan untuk
maksud pemenuhan kewajiban negara
dalam rangka menyelenggarakan fungsi
pemerintahan dalam mencapai tujuan
bernegara. Kewajiban negara ini kemudian
dilaksanakan oleh kementerian
negara/lembaga, yang merupakan pihak
yang menerima kuasa selaku pengguna
anggaran/pengguna barang dari Presiden.
Implikasi hukumnya adalah kementerian
negara/lembaga mempunyai kewajiban
mempertanggungjawabkan penggunaan
anggaran dan barang kepada Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara.
Menteri Keuangan, selaku
pembantu Presiden, mendapatkan mandat
sebagai kuasa yang ditunjuk untuk
pengelolaan APBN. Pemberian kuasa
pengelolaan APBN kepada Menteri
Keuangan merupakan perbuatan hukum
Presiden yang menciptakan kekuasaan
atau kewenangan kepada Menteri
Keuangan untuk melakukan sesuatu atau
menuntut sesuatu kepada pihak lain,
dalam hal ini kementerian negara/lembaga
atau pihak ketiga, guna melaksanakan
peraturan perundang-undangan terkait
dengan pengelolaan APBN. Perbuatan
hukum ini berlandaskan pada Pasal 6 ayat
(2) huruf a UU Nomor 17 Tahun 2003,
sehingga menjadi kehendak Presiden
secara mandiri agar Menteri Keuangan
mengelola APBN sebatas kuasa yang telah
diberikannya.
Sebagai penerima kuasa untuk
melakukan pengelolaan APBN, Menteri
Keuangan mempunyai tugas menyusun
kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi
17
makro, menyusun rancangan APBN dan
Perubahan APBN, mengesahkan dokumen
pelaksanaan anggaran, melakukan
perjanjian internasional di bidang
keuangan, melaksanakan pemungutan
pendapatan negara yang telah ditetapkan
dalam undang-undang, melaksanakan
fungsi bendahara umum negara,
menyusun laporan keuangan yang
merupakan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN, dan melaksanakan
tugas-tugas lain di bidang pengelolaan
fiskal berdasarkan ketentuan undang-
undang.
Menteri Keuangan dalam
melaksanakan hal yang menjadi tugasnya
dapat membuat kebijakan guna
memastikan tujuan atas penugasan
tersebut dapat dicapai. Untuk itu berbagai
produk hukum dihasilkan sebagai wujud
kebijakan untuk tercapainya tujuan dari
pelaksanaan tugasnya. Kebijakan atau
keputusan tersebut menurut I Gede Pantja
Astawa14 dalam arti luas dapat berupa
salah satu dari tiga kelompok yakni: (1)
wettlijk regelling (peraturan perundang-
undangan) seperti UUD, undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan
pemerintah pengganti undang-undang,
peraturan presiden, peraturan menteri,
peraturan daerah, dan lain-lain; (2)
beleidsregels (peraturan kebijakan),
seperti instruksi, surat edaran,
pengumuman dan lain-lain; dan (3)
beschikking (penetapan), seperti surat
keputusan dan lain-lain.
Kebijakan tersebut pada dasarnya
merupakan alat bantu administratif dalam
melaksanakan kewenangan untuk
14 Arif Christiono Soebroto, kedudukan hukum peraturan/kebijakan dibawah Peraturan Menteri
memastikan suatu proses yang baik (good
governance) dapat tercipta dan
dilaksanakan. Hal inilah yang kemudian
dikenal sebagai suatu sistem pengelolaan
keuangan negara merujuk pada UU 17
Tahun 2003 dan UU 1 Tahun 2004. Sistem
ini dibangun guna memastikan bahwa hak
dan kewajiban yang tercantum dalam
APBN dimaksudkan untuk sebenar-
benarnya kepentingan negara dalam
mencapai tujuannya.
Untuk itu, penilaian kelayakan guna
memastikan bahwa hak dan kewajiban
yang tercantum dalam APBN digunakan
untuk kepentingan negara perlu
memperhatikan aspek-aspek yakni
bagaimana proses dilakukan, apa saja
kriteria yang ditetapkan, nilai apa yang
didapat dari proses tersebut, dan
bagaimana nilai diejawantahkan bagi
pengambilan keputusan. Sebagaimana
aspek-aspek tersebut diupayakan guna
mengurangi variasi atas hasil penilaian
yang berujung pada pengambilan
keputusan. Untuk itu pihak yang
berkewenangan perlu menyusun sistem
untuk memastikan hal tersebut di atas
dapat dilakukan dengan baik sebagai suatu
proses yang governance.
4.2 Kajian Aspek Landasan Hukum
Ketentuan yang menjadi landasan
dalam mengelola APBN adalah sebagai
berikut:
a. UU 17/2003 tentang Keuangan Negara
b. UU 1/2004 tentang Perbendaharaan
Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional. www.birohukum.bappenas.go.id
18
c. PP 90/2010 tentang Penyusunan
Rencana Kerja Anggaran
Kementerian/Lembaga
d. PMK 136/PMK.01/2014 tentang
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan
RKAKL mengatur ruang lingkup
penelaahan
e. Peraturan Menteri Perencanaan
Nomor 1/2011 tentang Tata Cara
Penyusunan Inisiatif Baru
Ketentuan dalam UU 17/2003
menyebutkan bahwa APBN merupakan
rencana keuangan tahunan pemerintahan
negara yang disetujui oleh DPR (Pasal 1)
dan merupakan wujud pengelolaan
keuangan negara yang ditetapkan tiap
tahun dengan undang-undang (pasal 11).
Kekuasaan pengelolaan keuangan negara
merupakan bagian dari kekuasaan
pemerintahan dimana Presiden bertindak
selaku Kepala Pemerintahan (pasal 6).
Selanjutnya kekuasaan tersebut
dikuasakan (mandat) kepada Menteri
Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil
pemerintah dalam kepemilikan kekayaan
yang dipisahkan; dikuasakan (mandat)
kepada menteri/pimpinan lembaga selaku
pengguna anggaran/pengguna barang K/L
yang dipimpinnya; diserahkan (delegasi)
kepada gubernur/bupati/walikota selaku
kepada pemerintahan daerah untuk
mengelola keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikan
kekayaan daerah yang dipisahkan; tidak
termasuk kewenangan dibidang moneter,
yang antara lain mengeluarkan dan
mengedarkan uang, yang diatur dengan
undang-undang (pasal 6 ayat (2)).
Ketentuan tersebut menjelaskan
mandat atau delegasi yang diberikan
Presiden dalam menjalankan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari
kekuasaaan pemerintahan kepada pihak-
pihak yang mengelola keuangan negara.
Menteri Keuangan menurut ketentuan ini
mendapatkan mandat selaku pengelola
fiskal dan wakil pemerintah dalam
kepemilikan kekekayaan yang dipisahkan.
Selaku pengelola fiskal, Menteri Keuangan
memiliki tugas seperti sebagaimana
tercantum dalam pasal 8 UU 17/2003.
Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut,
Menteri Keuangan berdasarkan ketentuan
yang ada berkuasa untuk melakukan
pengaturan-pengaturan yang lebih detail
mengenai pengelolaan keuangan negara.
Berkenaan dengan APBN, Menteri
Keuangan bertugas untuk menyusun
Rancangan APBN dan mengesahkan
dokumen pelaksanaan anggaran. Menteri
Keuangan, dalam menyusun rancangan
APBN, perlu menjaga kesesuaian
kebutuhan penyelenggaran pemerintahan
negara dan kemampuan dalam
menghimpun pendapatan negara. Hal ini
dikenal sebagai kesinambungan fiskal
(fiscal sustainability) sebagai bagian upaya
pengelolaan fiskal. Selain itu, Menteri
Keuangan perlu memastikan kesesuaian
kesepakatan yang terdapat dalam APBN
dengan apa yang dituangkan dalam
dokumen pelaksanaan anggaran. Hal ini
melandasi perlunya pengesahan dokumen
pelaksanaan anggaran mengingat segala
hal yang tertuang dalam dokumen
tersebut akan membebani negara. Dalam
melakukan segala penugasan dimaksud,
sangat memungkinkan Menteri Keuangan
membentuk suatu mekanisme yang
dibutuhkan guna efektifitas pelaksanaan
tugasnya dan melaksanakan kaidah umum
praktik penyelenggaraan tata
19
kepemerintahan yang baik (ref. Pasal 2
PP90/2010).
Dalam penyusunan RKAKL
sebagaimana tercantum dalam PP 90/2010
tentang RKAKL, proses dimulai dari
penetapan arah kebijakan dan prioritas
pembangunan nasional oleh Presiden.
Proses dilanjutkan dengan penyusunan
rencana Insiatif baru dan indikasi
kebutuhan anggaran yang telah
diselaraskan dengan arah kebijakan dan
prioritas pembangunan nasional. Dalam
proses tersebut, Kementerian Keuangan
dan Kementerian Perencanaan
menjalankan peran untuk mengevaluasi
pelaksanaan program dan kegiatan yang
sedang berjalan, dan mengkaji usulan
inisiatif baru berdasarkan prioritas
pembangunan serta analisa pemenuhan
kelayakan dan efisiensi indikasi kebutuhan
dananya (ref. Pasal 7 ayat (4)).
Kementerian Perencanaan sendiri
dimandatkan untuk mengoordinasikan
pelaksanaan evaluasi dan pengintegrasian
hasil evaluasi dan melakukan pengaturan
mengenai penyusunan Inisiatif Baru.
Dalam konstruksi ini, Kementerian
Keuangan memiliki kewenangan
berdasarkan PP 90/2010 untuk melakukan
evaluasi atas pelaksanaan program dan
kegiatan berjalan serta melakukan kajian
atas usulan insiatif baru. Hal ini dilakukan
berdasarkan pada dua hal pokok yakni: (1)
apakah program dan kegiatan yang akan
dibiayai sesuai arah kebijakan dan prioritas
nasional, dan (2) apakah program dan
kegiatan tersebut layak dan efisien. Pokok
yang pertama memiliki penekanan pada
apakah ini sesuai dengan kebijakan umum
Pemerintah. Sedangkan pokok yang kedua
merupakan aspek teknis atas usulan
dimaksud walaupun kata layak tidak
dielaborasi lebih mengenai layak dari sisi
yang mana.
Dalam peraturan yang menjadi
turunan dari PP 90/2010, Menteri
Keuangan melalui produk hukum yang
dikeluarkan tidak mengulas lebih lanjut
mengenai bagaimana suatu usulan dikaji,
namun memberikan guidence bagaimana
mengevaluasi sebagaimana tercantum
dalam PMK 249/PMK.02/2011 tentang
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas
Pelaksanaan RKAKL. Jika melihat esensi
yang termaktub dalam judul PMK
249/PMK.02/2011, hal yang dilakukan
adalah bagaimana mengevaluasi atas
pelaksanaan program dan kegiatan
berjalan. Sedangkan untuk sesuatu yang
akan dilaksanakan, dimana kajian atas
usulan seharusnya ada, lebih tepatnya
adalah substansi yang ada dalam
pengaturan tentang Petunjuk Penyusunan
dan Penelaahan RKAKL. Dimana esensi
yang dibangun dalam peraturan tersebut
adalah bukan kajian atas usulan, namun
kata yang digunakan adalah penelaahan.
Berkenaan dengan penelaahan
maksud dari penelaahan RKAKL
sebagaimana tercantum dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
136/PMK.02/2014 tentang Petunjuk
Penyusunan dan Penelaahan RKAKL adalah
memastikan hal-hal sebagai berikut:
1. Rencana Kinerja yang dituangkan
dalam RKAK-KL konsisten dengan yang
tertuang dalam RKP;
2. Untuk mencapai rencana kinerja
tersebut dialokasikan dana yang efisien
dalam tataran perencanaan;
3. Dalam pengalokasiannya telah
mengikuti ketentuan penerapan
20
anggaran terpadu, penganggaran
berbasis kinerja, dan kerangka
pengeluaran jangka menengah.
Selanjutnya ruang lingkup
penelaahan sebagaimana tercantum
dalam Peraturan Menteri Keuangan ini
terdiri dari:
1. Penelaahan Kriteria Administratif
Bertujuan meneliti kelengkapan dari
dokumen yang digunakan dalam forum
penelaahan
2. Penelaahan Kriteria Substantif
Bertujuan untuk meneliti kesesuaian,
relevansi, dan/atau konsistensi dari
setiap bagian RKAKL, yang terdiri atas:
a. Kesesuaian data dalam RKAKL
dengan Pagu Anggaran/Alokasi
Anggaran K/L (DJA)
b. Kesesuaian antara kegiatan,
keluaran, dan anggarannya (DJA)
c. Relevansi komponen/tahapan
dengan keluaran (DJA)
d. Konsistensi pencatuman sasaran
kinerja K/L dengan RKP (Bappenas)
e. Konsistensi pencatuman prakiraan
maju untuk 3 (tiga) tahun ke depan
(DJA)
Dalam konteks ini, pengaturan ini
menempatkan penelaahan sebagai bagian
mengkonfirmasi dari beberapa hal yang
telah dilakukan sebelumnya dalam proses
penganggaran, namun tidak spesifik pada
penilaian atas usulan baru baik dari sisi
kelayakan dan efisiensi. Lebih lanjut dalam
pengaturan dimaksud sebenarnya
dibedakan juga penanganan untuk alokasi
yang sudah ada ditahun sebelumnya dan
alokasi inisiatif baru, namun demikian
secara subtansi tidak ada perbedaan dalam
penangangannya mengingat dalam aspek
efisiensi adalah berkenaan apakah
terdapat komponen yang berbeda dalam
penghitungan alokasinya karena hal
tersebut berkenaan alokasi anggaran yang
efisien. Secara umum didalam pengaturan
ini, tidak ada klausul yang membahas
mengenai kelayakan.
Dilain pihak, Peraturan Menteri
Perencanaan Nomor 1/2011 tentang Tata
Cara Penyusunan Inisiatif Baru
memposisikan Kementerian Keuangan
untuk (ref.BAB III):
1. melakukan penilaian atas kelayakan
Proposal Inisiatif Baru, terutama dari
sisi anggaran dan memposisikan
Kementerian Perencanaan guna
melakukan penilaian dari sisi kebijakan
(policy)
2. Melakukan penilaian atas kemampuan
penyerapan anggaran dan saving yang
dilakukan Kementerian dan Lembaga
3. Melakukan pengecekan kepatutan
sesuai dengan kebijakan anggaran
Melihat konstruksi pengaturan
yang membagi kewenangan dimaksud,
secara eksplisit dikatakan bahwa
Kementerian Keuangan memiliki
wewenang untuk melakukan hal
sebagaimana disebutkan, dimana
dikatakan bahwa penilaian atas kelayakan
proposal inisiatif baru adalah dari sisi
anggaran dengan katagori yang
ditentukan. Selanjutnya, dijelaskan kriteria
yang menjadi dasar dari penilaian proposal
dengan dari sisi anggaran yakni:
1. Kesesuaian Anggaran: kesesuaian
parameter, komponen unit jelas, biaya
proposional.
2. Kepatutan Anggaran: Sesuai SBU/SBK,
Konsistensi Biaya,
Penghematan/efisiensi
21
3. Sumber Pendanaan: Sumber dari
realokasi anggaran, Target yang
direlokasi tetap dapat dicapai.
Dimana 3 kriteria tersebut merupakan
bagian dari 10 kriteria penilaian inisiatif
baru.
Berdasarkan hal tersebut diatas
maka, dapat disimpulkan bahwa melalui
peraturan ini kata kelayakan dielaborasi
lebih mendalam dalam Peraturan Menteri
Perencanaan Nomor 1/2001 tentang Tata
Penyusunan Inisiatif Baru dengan
menambahkan kriteria yang diperlukan
dari sisi anggaran. Selain itu, kata
kelayakan juga disandingkan dengan kata
kepatutan dari sisi kebijakan anggaran
dimana kedua kata tersebut secara harfiah
memiliki arti yang sama.
4.3 Kesimpulan Aspek Filosofis Yuridis dan
Aspek Landasan Hukum
Berdasarkan bahasan atas kedua
aspek tersebut dapat ditarik benang merah
berkenaan dengan tujuan negara secara
umum, dimana Presiden mandat kepada
Menteri Keuangan selaku untuk
pengelolaan APBN. Mandat ini didapat
mengingat Presiden secara Undang-
undang Dasar menjadi pemegang
kekuasaan tertinggi pemerintahan negara.
Hal ini tercantum dalam ketentuan pada
pasal 6 ayat (2) huruf a UU Nomor 17 tahun
2003. Sehingga walaupun kewenangan
Menteri Keuangan tersebut adalah dalam
undang-undang tidak dapat dikatakan
bahwa kewenang tersebut diperoleh
secara atribusi.
Substansi kewenangan yang
didapat oleh Menteri Keuangan berkenaan
dengan pengelolaan keuangan adalah
untuk memastikan bahwa negara tidak
kehilangan kemampuan dalam membiayai
kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan
bernegara. Oleh karena itu, Menteri
Keuangan berkepentingan untuk
memaksimalkan sumberdaya yang berada
dalam pengelolaannnya berdasarkan
prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang
baik, misalnya optimasi penerimaan dan
pengeluaran, serta mencari pembiayaan
yang menguntungkan jika dibutuhkan
untuk melaksanakan kegiatannya.
Berdasarkan kewenangan yang diperoleh,
Menteri Keuangan selayaknya membuat
aturan yang memadai untuk mendukung
pelaksanaan wewenang tersebut,
terutama pada saat penyusunan APBN
sebagai bentuk pengelolaan keuangan
negara.
Namun demikian pada saat
undang-undang diturunkan lebih lanjut,
konstruksi hukum sebagaimana tercantum
dalam PP90/2010 membagi kewenangan
pemerintahan berkenaan dengan
penyusunan RKAKL kepada Kementerian
Keuangan dan Bappenas. Pada pengaturan
tersebut dinyatakan bahwa kedua institusi
dimaksud memiliki kewenangan untuk
melakukan evaluasi atas pelaksanaan
kegiatan yang sudah ada dan analisa
pemenuhan kelayakan dan efisiensi
indikasi kebutuhan dana.
Mengingat kewenangan
membutuhkan panduan dalam
pelaksanaannya, maka aturan turunan
yang menjadi produk Menteri Keuangan
tidak menggunakan kata kajian atas usulan
mengenai penilaian kelayakan, namun
menggunakan istilah penelaahan
sebagaimana dimaksud dalam PMK
136/PMK.02/2014. Walaupun demikian
22
secara desain, waktu penelaahan
sebagaimana dimaksud dalam PMK
tersebut diposisikan sebagai bagian
konfirmasi atas hal yang telah dilakukan
sebelumnya dalam siklus anggaran. Dilain
pihak, kata-kata penilaian kelayakan
dinyatakan lebih jelas dalam Permen
Perencanaan No.1/2011.
Hal yang perlu mendapatkan
perhatian adalah bahwa kedua peraturan
adalah peraturan mandiri, namun
didalamnya mengatur berkenaan dengan
kewenangan pihak lain yang berada diluar
atau secara horisontal. Hal yang
memerlukan perhatian adalah apakah
kewenangan yang dimandatkan oleh
atasan dapat dialihkan berdasarkan
peraturan yang dibuat sendiri. Seharusnya
peraturan tersebut jika mengatur proses
dari institusi lain perlu dibuat sebagai
peraturan bersama.
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang
sudah disampaikan sebelumnya guna
menjawab pertanyaan penelitian, dapat
disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Tugas Kementerian Keuangan
Kementerian Keuangan (cq. DJA) dalam
pengelolaan APBN adalah memastikan
bahwa negara tidak kehilangan
kemampuan dalam membiayai
kegiatan-kegiatan dalam mencapai
tujuan bernegara. Hal ini dapat
dilakukan dengan mengoptimalisasi
pendapatan dan pengeluaran, serta
mencari pembiayaan yang
menguntungkan jika dibutuhkan untuk
melaksanakan kegiatannya.
2. Berdasarkan landasan hukum yang
ada, Kementerian Keuangan (cq. DJA)
memiliki kewenangan dalam menilai
kelayakan proposal anggaran
Kementerian/Lembaga sebagai
tercantum dalam PP90/2010. Namun
demikian pelaksanaan atas tugas
tersebut tidak diatur lebih lanjut dalam
aturan pelaksanaan atas kewenangan
tersebut.
3. Kewenangan yang tercantum dalam PP
90/2010 tidak dijelaskan lebih lanjut
didalam aturan pelaksanaannya
mengingat kata-kata penilaian
kelayakan tidak digunakan secara
eksplisit namun digunakan kata
penelaahan. Penelahaan ini secara
substanstif berbeda dengan kata
penilaian kelayakan mengingat
penelaahan berdasarkan peraturan
yang mengatur merupakan bagian
mengkonfirmasi dari beberapa hal
yang telah dilakukan sebelumnya
dalam proses penganggaran.
4. Kewenangan yang memberikan
kapabiltas lebih mengenai penilaian
kelayakan lebih banyak diatur dalam
Peraturan Menteri Perencanaan
Nomor 1/2011 tentang Tata Cara
Penyusunan Inisiatif Baru, yang secara
teori kewenangan terkesan tanggal
mengingat kewenangan diperoleh dari
peraturan yang dikeluarkan oleh
institusi yang selevel.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini,
dapat disampaikan beberapa saran sebagai
berikut:
1. Esensi dari PP90/2010 pada saat
memunculkan institusi lain sebagai
23
bagian dari pelaksanaan UU 17/2003
pada dasarnya mencoba mengadopsi
konsepsi check and balance dalam
pelaksanan tugas dan fungsi, namun
demikian pengaturan salah satu
institusi yang mengatur institusi lain
seharusnya dibentuk dalam konstruksi
Peraturan Bersama. Hal ini mengingat
konsepsi check and balance tidak
berarti mengkooptasi pelaksanaan
tugas institusi lain dalam menjalankan
kewenangannya.
2. Perlu adanya pengaturan internal guna
mendukung proses yang dilaksanakan
berkenaan dengan penyusunan APBN
terutama berkenaan dengan
kewenangan penilaian kelayakan
anggaran. Dalam hal ini pengaturan
standar biaya dapat menjadi instrumen
atas kelayakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000)
Gumilar Rusliwa Somantri, Memahami Metode Kualitatif, Makara, Sosial Humaniora, Vol.9, No.2, Desember 2005: 57-65
Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1990)
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994),
J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, (Nijmegen: Ars Aeguilibri, 1998),
Kuat, CF. 2008, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi PERBANDINGAN TENTANG Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Terjem. SPA Teamwork, Cet. II, Jakarta: Nusa Media.
Mahkamah Konstitusi RI Dan Konrad Adenauer Stiftung 2005, MEKANISME Impeachment dan
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hasil Penelitian, Jakarta.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998)
MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia), Tanpa Tahun, Keputusan Presiden Yang Menyimpang Periode 1993-1998.
Nasution, Adnan Buyung, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Hukum differences Konstituante 1956-1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Nasution, Mirza 2004, Negara Dan Konstitusi, makalah, Medan: FH-USU
Rum Riyanto S, Kewenangan Pejabat Administrasi di Indonesia, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-umum/20230-kewenangan-pejabat-adminstrasi-di-indonesia, diakses tanggal 8/7/2015
Rusma Dwiyana, Konsep Konstitusionalisme, Pemisahan Kekuasaan, Dan Checks And Balances System (Sebuah Tinjauan Konseptual Dan Praktis)
Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: Alumni, 2004),
24
Subekti, Valina Singka, 2008, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan Dan Pemikiran hearts Proses Perubahan UUD 1945, Jakarta: Rajawali Press.
Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1990),
Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi, Dan Ni'matul Huda, 1999, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali.
Utomo, Tri Widodo W., Tinjauan Kritis TENTANG Pemerintah Dan Kewenangan Pemerintah * Menurut Hukum Administrasi Negara, hearts Jurnal Unisia, No. 55 / XXVIII / I / 2005, hal. 28-43, Yogyakarta: UII Press.
Wardani, Kunthi Dyah, 2007, Impeachment Dalam ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, UII Press.
DOKUMEN
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Peraturan Pemerintah No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga
PMK No.136/PMK.01/2014 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKAKL
Peraturan Menteri Perencanaan No. 1 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyusunan Inisiatif Baru
25
KAJIAN PENGELOLAAN BIAYA DALAM SISTEM PENGANGGARAN
Intisari
Secara de jure, amanat pelaksanaan performance based budget telah berumur lebih dari satu dekade tertulis dalam UU 17 tahun 2003. Secara de facto, bisa jadi belum seperti harapan. Kondisi ini disinyalir karena dalam proses penganggaran masih terjebak dalam detail per item belanja, termasuk didalamnya upaya penerapan prinsip let the manager manage yang masih sarat dengan pendekatan line item.
Kajian ini berupaya memaparkan peran strategis costing dalam mewujudkan tujuan performance based budgeting beserta langkah merealisasikannya. Kajian ini menggunakan metode telaah literatur, peraturan yang ada dilakukan analisa dan dituangkan dalam pemikiran untuk pengembangan penerapannya khususnya dalam sisi pengelolan biaya.
Pada akhir Kajian ini, ditekankan bahwa perbaikan pengaturan costing melalui standar biaya yang disempurnakan dari waktu ke waktu adalah modal dasar dalam mewujudkan efisiensi di level alokasi dan pelaksanaan dalam kesatuan sistem penganggaran.
Kata kunci: biaya, performance based budget, standar biaya, costing
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara yuridis (de jure) kehendak
untuk mempraktekkan Performace Based
Budgeting telah diamanatkan dalam UU
No 17 tentang Keuangan Negara, namun
setelah hampir 10 (sepuluh) tahun
diundangkan, boleh jadi dalam prakteknya
(de facto) masih belum seperti harapan,
seperti masih tercampur dengan rasa Line
Item Budgeting.
Performance Based Budgeting
mensyaratkan bahwa terlaksananya
prinsip let managers manage akan berjalan
baik manakala: (1) adanya kepercayaan
(trust) dari Kementerian Keuangan selaku
Chief Financial Officer (CFO) kepada K/L
(managers) selaku Chief Operational
Officer (COO) untuk mengurus hal-hal yang
detail dan mengikat hal-hal yang strategis
(capaian output), didasarkan pada
anggapan bahwa K/L (managers) adalah
pihak yang dianggap paling mengetahui
dan paling bertanggung jawab tentang
bagaimana cara untuk mencapai output
yang diperjanjikan atas penggunaan
alokasi anggaran, dan (2) pada saat
bersamaan K/L (managers) diasumsikan
memang dapat dipercaya (amanah) dalam
membelanjakan anggarannya untuk
mencapai output yang diperjanjikan secara
efisien dan efektif, sehingga apabila dalam
pelaksanannya terdapat pelanggaran maka
mereka harus dimintakan
pertanggungjawabannya.
1.2 Identifikasi Masalah
Permasalahan belum sempurnanya
penerapan Performance Based Budgeting
utamanya karena proses penganggaran
yang ada masih sering terperangkap
dengan hal-hal detail item-per-item
belanja, yang melebihi dari orientasi pada
hasil (output) – itu sendiri. Hal lain yang
juga ikut memperkeruh kondisi ini adalah
26
penerapan prinsip let managers manage
pada K/L pada saat pelaksanaan anggaran,
yang juga masih sangat kental dengan
pendekatan item-item belanja yang sering
melebihi dari upaya pencapaian output
secara efisien dan efektif.
1.3 Tujuan
Kajian ini dimaksudkan untuk
memaparkan peran strategis standar biaya
(costing) dalam mewujudkan tujuan
performance based budgeting, dan
langkah-langkah untuk merealisasikannya.
2. METODOLOGI PENELITIAN
Kajian ini menggunakan metode
telaah literature, peraturan yang ada
dilakukan analisa dan dituangkan dalam
pemikiran untuk pengembangan
penerapannya khususnya dalam sisi
pengelolan biaya.
3. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Peranan Standar Biaya
Upaya untuk mengoptimalkan
peran standar biaya (costing) dalam sistem
penganggaran perlu berangkat dari
pemikiran tentang perlunya mencermati
kembali atas pengaturan three in one (satu
dan lainnya saling melengkapi, saling
menguatkan, dan harus saling bekerja
paralel), yaitu antara: (1) indikator kinerja,
(2) standar biaya (costing) dan (3) evaluasi
kinerja dalam mensukseskan pelaksanaan
Performance Based Budgeting.
Gambar 1. Hubungan instrumen penganggaran
Hubungan ketiga instrumen
performance based budgeting tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama,
rumusan output secara tepat beserta
indikatornya merupakan cerminan
seberapa efektif nantinya akan mampu
menopang mencapaian kegiatan, program
dan dampak (impacts) dari alokasi
anggaran akan dirasa secara riil oleh
masyarakat. Hal ini menguatkan keyakinan
tentang urgensi untuk mengawal
terwujudnya rumusan output dan
indikator kinerja K/L di tingkat pusat dan
SKPD di tingkat daerah dalam suatu
27
arsitektur kinerjayang makin baik dari
waktu ke waktu. Kedua, standar biaya
(costing) merupakan pengisi rumah
struktur program sebagai alat agar alokasi
anggaran dapat dilakukan secara efisien
dan ekonomis dalam pencapaian output.
Hal ini mengedepankan pentingnya
allocative efficiency dalam perencanaan
anggaran dan operational efficiency dalam
pelaksanaan anggaran dengan
menggunakan prinsip let managers
manage. Sedangkan ketiga, evaluasi
kinerja yang dilaksanakan melalui
monitoring dan evaluasi (monev) menjadi
pilar/alat untuk mengawal dan
membandingkan antara pelaksanaan
anggaran dengan tujuan kinerja yang
diharapkan dari alokasi anggaran agar
dapat terlaksana sesuai dengan yang telah
diperjanjikan dalam indikator kinerja
output sampai dengan impact kepada
masyarakat. Dari ketiga instrumen
tersebut selanjutnya indikator output dan
costing yang memadai diperlukan agar
monev dapat berjalan sesuai tujuan.
Rumusan output yang tepat dan memadai
merupakan prasyarat agar costing dapat
dilaksanakan secara baik pada saat proses
alokasi anggaran. Selanjutnya, hasil monev
juga dibutuhkan untuk proses costing
dalam alokasi anggaran periode
berikutnya.
Gambar 2. Costing Dalam Penganggaran
Standar biaya (costing) dalam
sistem penganggaran mempunyai peran
yang sangat penting untuk menjamin
terwujudnya keekonomian dan efisiensi
anggaran. Salah satu alasannya adalah
karena karakteristik K/L dan SKPD
(pengguna anggaran) saat ini cenderung
untuk menggunakan anggaran dengan
SETARA
STANDAR
BIAYA
BIAYA OUTPUT
BIAYA OUTPUT
BIAYA
KEGIA
BIAYA
PROGRA
BIAYA KOMPONEN
(Vol X Indeks)
BIAYA KOMPONEN
REMUNERASI Gaji Pokok Tunj
Struktural/ Fungs.
Tunj. Kinerja
Honorarium Tetap
PP/ KEPPRES
Ijin Prinsip Menkeu
Dinas Cipta Karya
Pemda
PMK STANDAR BIAYA
Volume Output berkorelasi
Langsung dgn total biaya :
Biaya Output =
Vol x Sat Biaya/Indeks
Volume Output
berkorelasi scr tdk
langsung dgn total
biaya: Biaya
Output = total biaya komponen
BIAYA
KEGIA
Cost Center
(Vol X Indeks)
28
harga maksimal dan perlunya prinsip
keadilan untuk pembiayaan suatu
kegiatan/aktivitas yang sama bagi seluruh
pengguna anggaran. Untuk mewujudkan
peran standar biaya yang makin
berkontribusi positif dalam sistem
penganggaran, CFO sebagai otoritas
perencanaan keuangan K/L dan SKPD
harus melakukan langkah-langkah dalam
menerapkan efisiensi belanja negara, salah
satu caranya melalui penetapan standar
biaya, yang meliputi: (1) standar biaya
masukan (SBM), dan (2) standar biaya
keluaran (SBK). Mengingat Standar biaya
merupakan instrumen efisiensi dalam
penerapan Performance Based Budgeting,
maka pengembangan standar biaya
(costing) akan diarahkan pada
pengembangan standar biaya yang
berorientasi pada hasil atau penyusunan
standar biaya berbasis output dalam
bentuk penyusunan Standar Biaya
Keluaran (SBK). Seharusnya SBK secara
bertahap dikembangkan ke arah full-
costing (dengan mengecualikan komponen
gaji dan biaya administrasi pada tahap
awalnya) dengan menggunakan
pendekatan activity based costing. Apabila
hal ini telah dilakukan, maka alokasi
anggaran akan didasarkan pada alokasi
biaya output yang dihasilkan oleh K/L atau
SKPD yang bersangkutan.
4. PEMBAHASAN
4.1 Pengembangan Standar Biaya
Untuk penerapan standar biaya
yang bersuber dari APBN, dalam pasal 3
ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara diatur bahwa yang
dimaksud standar biaya adalah satuan
biaya yang ditetapkan baik berupa standar
biaya keluaran sebagai acuan perhitungan
anggaran dalam RKAKL. Lebih lanjut diatur
bahwa standar biaya merupakan salah satu
instrument penting dalam penyusunan
alokasi anggaran, sebagaimana diatur
dalam pasal 5 ayat (3) PP Nomor 90 Tahun
2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja
dan Anggaran Kementrian/Lembaga,
bahwa penyusuaan RKAKL menggunakan
instrument indikator kinerja, standar biaya
dan evaluasi kinerja. Standar biaya
meliputi merupakan satuan biaya yang
ditetapkan sebagai acuan penghitungan
kebutuhan anggaran dalam Rencana Kerja
dan Anggaran Kemetrian
Negara/Lembaga, baik berupa Standar
Biaya Masukan maupun Standar Biaya
keluaran. Standar Biaya Masukan (SBM)
adalah satuan Biaya berupa harga satuan,
tariff, dan indeks yang digunakan untuk
menyusun biaya komponen masukan
kegiatan. Sedangkan Standar Biaya
Keluaran (SBK) adalah besaran biaya yang
dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah
keluaran kegiatan yang merupakan
akumulasi biaya komponen masukan
kegiatan.
Untuk pengelolaan biaya dalam
proses alokasi dan pelaksanaan anggaran
atas kegiatan yang dananya bersumber
dari APBN dan APBD perlu adanya
pengembangan sistem costing (costing
system) secara konsisten dari waktu ke
waktu sesuai tuntutan perkembangan
jaman. Costing system pada hakekatnya
diperlukan untuk melakukan perkiraan
jumlah alokasi dana untuk berbagai jenis
pengeluaran di dalam suatu K/L atau SKPD.
Standar analisis belanja ini perlu dilakukan
untuk menghasilkan alokasi anggaran
29
berbasis aktivitas yang lebih akurat,
sehingga setiap anggaran yang dikeluarkan
didasarkan atas proses penghitungan yang
wajar dan rasional.
Costing system tersebut diperlukan
agar dapat mendorong K/L atau SKPD
selaku COO untuk melaksanakan prinsip
ekonomi, efisiensi dan efektifitas secara
berkesinambungan. Costing system
diperlukan untuk menjamin implementasi
Penganggaran Berbasis Kinerja, dan
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah
agar dapat berjalan sesuai harapan, yaitu
tercapainya keseimbangan ekonomis,
efisiensi dan efektivitas. Oleh karena itu,
dalam pengembangan pengelolaan biaya
disektor publik yang bersumber dari APBN
dan APBD perlu dicermati esensi
penggunaan pendekatan menerapkan
biaya berbasis aktivitas (Activity Based
Costing).
Standar Biaya Masukan (SBM) saat
ini telah menjadi tools bagi pengguna
anggaran dalam melakukan penyusunan
dokumen perencanaan anggaran. Selain
itu, standar biaya juga diperlukan untuk
membatasi pengeluaran-pengeluaran yang
terkait dengan tambahan penghasilan bagi
pegawai, karena dengan belum berlakunya
sistem remunerasi secara penuh, saat ini
banyak pengguna anggaran yang masih
mengalokasikan honorarorium yang
seharusnya sudah menjadi bagian dari
sistem remunerasi sehingga perlu
pembatasan melalui standar biaya.
Sedangkan untuk Standar Biaya Keluaran
(SBK), saat ini penyusunannya masih
dilakukan hanya untuk biaya langsung
(direct cost) yang terkait langsung dalam
pencapaian suatu output, dengan fokus
pada proses pembelajaran kepada
pengguna anggaran bahwa penyusunan
SBK merupakan bagian dari upaya efisiensi
belanja negara. Namun demikian,
pengembangan konsep SBK terus
dilakukan secara bertahap agar perubahan
yang terjadi dapat berjalan dengan baik
dan dapat diterima oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.
Beberapa hal penting yang
merupakan area pengembangan SBM
adalah: (1) Peningkatan kualitas dan
cakupan SBM, dan mencarikan penataan
pengaturan terhadap satuan-satuan biaya
yang berlaku spesifik pada setiap
pengguna anggaran untuk menjamin
efisiensi anggaran, (2) Makin
mengintensifkan keterlibatan pengguna
anggaran dalam penyusuna SBM, dan (3)
Menggeser penggunaan SBM ke pengguna
anggaran dengan menguatkan peran
aparat pengawasan dalam memantau
pelaksanaan SBM oleh pengguna
anggaran.
Sedangkan beberapa area
pengembangan SBK antara lain dengan
cara: (1) Pengembangan costing
methodologies, dan (2) pengembangan
benchmarking atas SBK yang telah ada
untuk diterapkan pada tahun berbeda,
wilayah berbeda, atau pengguna anggaran
yang berbeda. Kondisi saat ini, SBK sebagai
alat efisiensi kurang mendapat tanggapan
positif dari pengguna anggaran karena
beberapa hal: (1) keengganan pengguna
anggaran untuk melakukan efisiensi, (2)
Hukum penerapan SBK belum menjadi
kewajiban, (3) Pengguna anggaran belum
merasa menerima manfaat secara nyata
atas penerapan SBK, (4) Yang sudah
menerapkan SBK justru merasa sering
diaudit daripada yang belum menerapkan
30
SBK. Hal-hal tersebut selanjutnya perlu
disikapi dengan seksama, dan dituangkan
dalam peraturan
4.2 Langkah-Langkah Pengembangan
Untuk mencapai tujuan
pengembangan standar biaya tersebut di
atas, reformulasi pengaturan teknis
standar biaya tidak saja dalam bentuk
penetapan (besichking) dalam bentuk
satuan-satuan biaya dan angka-angka
untuk setiap tahunnya, tetapi juga dalam
bentuk pengaturan (regelling) yang berupa
pedoman mengelola biaya oleh pengguna
anggaran yang berlaku untuk jangka lebih
panjang. Pengaturan standar biaya yang
berlaku untuk sepanjang tahun tersebut
mencakup prinsip-prinsip dan pedoman-
pedoman costing untuk menjamin
alllocative efficiency dan operational
efficiency.
Gambar 3. Pengaturan Standar Biaya
Upaya untuk menjadikan SBK sebagai
suatu kewajiban bagi pengguna anggaran
merupakan upaya pengembangan yang
penting untuk dilakukan. SBK sebagai
keharusan tersebut dilakukan untuk ha-hal
tertentu secara bertahap melalui proses
penelaahan secara prudent yang akan
dijadikan sebagai baseline (angka dasar)
untuk output-output sejenis. Untuk
mendukung proses ini perlu disusun
costing methodolgy sebagai proses
efisiensi terhadap output-output yang
dihasilkan pengguna anggaran. Kalau hal
ini sudah tertata, langkah berikutnya
adalah alokasi output-output yang bersifat
dukungan manajemen (gaji dan
manajemen kantor) didistribusikan kepada
output-output teknis sehingga yang tersisa
adalah output teknis saja sebagai dasar
alokasi anggaran setiap pengguna
anggaran. Untuk mendukung alokasi
output bersangkutan maka perlu pedoman
bagaimana suatu output dicapai melalui
tahapan-tahapan atau komposisi biaya
tertentu sehingga dalam pencapaian suatu
output menjadi jelas biaya-biaya yang
diperlukan.
Secara lebih rinci, langkah-langkah
pengembangan dari aspek kebijakan,
sistem dan SDM adalah sebagai berikut:
a. Aspek Kebijakan
Pengembangan standar biaya diarahkan
kepada pencapaian keekonomiasan
alokasi dan efisiensi belanja negara
dalam rangka mendukung penerapan
anggaran berbasis kinerja. Untuk
pengembangan ini perlu koordinasi
secara lebih inten antara CFO dengan
COO dan para praktisi penganggaran,
khususnya mengenai metodologi
1. PMK & Surat Menkeu ttg SBM
2. PMK SBK 3. PMK/Surat
Menkeu ttg Standar Struktur Biaya & Indeksasi
BENTUK PENGATURAN SB
Beschikking Regelling
• Bersifat tahunan • Penetapan
satuan2 biaya baik SBM maupun SBK termasuk struktur biaya
• Bersifat jangka panjang
• Pengaturan penerapan standar biaya
1. Panduan penerapan SBM
2. Panduan penerapan SBK,
3. Panduan penerapan Standar Struktur Biaya & Indeksasi)
31
pembiayaan sebagai upaya untuk
mendorong percepatan penerapan SBK.
b. Aspek Kesisteman
Pengembangan standar biaya harus
sejalan dengan sistem perencanaan
yang berlaku (Renstra, Renja,
Penganggaran itu sendiri (RKA-K/L atau
RKA SKPD), dokumen pelaksanaan
anggaran dan pertanggungjawaban
kinerja (LKPP dan LAKIP). Dari aspek
kelembagaan, perlu dikaji kembali
keberadaan unit yang
bertanggungjawab menangani seluruh
elemen yang terdapat di dalam Standar
Biaya, dan dalam kerangka penerapan
full-costing maka upaya untuk
mensinergikan penanganan standar
biaya dan remunerasi merupakan hal
urgent dalam kerangka proses
reorganisasi. Dari sisi Teknologi
Informasi, perlu dikembangkan Sistem
Informasi/Teknologi Informasi (SI/TI)
dalam rangka pengolahan data hasil
survey dan penetapan besaran standar
biaya secara elektronik.
c. Aspek Sumber Daya Manusia
Peningkatan kapasitas SDM yang
memadai untuk mengembangkan
norma akuntansi biaya pada sektor
publik/pemerintahan sebagai upaya
penerapan efisiensi atas anggaran
berbasis kinerja. Peningkatan SDM
dimaksud meliputi SDM padai CFO, COO
dan Aparat Pemeriksa Fungsional
melalui program intensif semacam
PPAKP (pada akuntansi pemerintahan)
dengan tekanan pengetahuan proses
perencanaan dan costing methodology.
d. Aspek pengembangan kerjasama
Pengembangan standar biaya tidak
hanya cukup dilaksanakan sendiri. Perlu
adanya upaya-upaya yang lebih
strategis dengan memperluas
kerjasama dengan pihak lain untuk
pengembangannya. Beberapa bentuk
kerjasama pengembangan Standar
Biaya antara lain dalam bentuk
kerjasama terkait costing methodology
dengan pihak kampus, pelaksanaan
survey dengan BPS dan/atau institusi
Kementerian Keuangan yang memiliki
kantor daerah, dan terkait capasity
building dan bantuan konsultan dapat
bekerjasama dengan lembaga-lembaga
internasional yang bersedia
memberikan bantuan atau hibah untuk
kepentingan pengembangan standar
biaya tersebut.
5. PENUTUP
Upaya-upaya percepatan
pengembangan standar biaya merupakan
salah satu pilar penting dan urgent untuk
mewujudkan pencapain tujuan
implementasi Performance Based
Budgeting. Penerapan Performance Based
Budgeting sudah dilaksanakan sejak
ditetapkannya UU No 17 tahun 2003,
tetapi karena hasilnya masih jauh dari
harapan maka saat sekarang dan
selanjutnya merupakan momentum
penting untuk mewujudkan peningkatan
kualitas implementasinya. Pengaturan
Standar Biaya yang telah ada saat ini dari
waktu ke waktu makin membaik
merupakan modal dasar untuk
pengembangan standar biaya yang lebih
sempurna, agar standar biaya betul-betul
menjadi instrumen yang makin efektif
dalam mewujudkan allocative efficiency
dan operational efficiency dalam sistem
penganggaran.
32
KAJIAN ATAS IMPLEMENTASI PMK NOMOR 195/PMK.02/2014
TENTANG STANDAR STRUKTUR BIAYA
Lies Kurnia Irwanti Email: [email protected]
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reformasi dalam bidang
pengelolaan keuangan negara ditandai
dengan lahirnya paket peraturan
perundang-undangan bidang keuangan
negara yang salah satunya adalah Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Pemberlakuan UU
Keuangan Negara tersebut telah
membawa perubahan yang cukup
signifikan. Sistem pengelolaan keuangan
negara mengalami perombakan
menyeluruh untuk mengatasi kelemahan
sistem penganggaran yang ada. Menurut
Nunuy (2012) kelemahan dimaksud, yaitu:
1. masih terjadinya inefisiensi yaitu
terjadinya penghamburan keuangan
negara,
2. duplikasi penganggaran akibat adanya
kemiripan kegiatan yang dibiayai
anggaran rutin dan anggaran
pembnagunan misalnya, diindikasikan
sebagai penyebab pemborosan
keuangan negara,
3. selain itu, masih ditemui pola-pola
pengelolaan keuangan negara yang
tertutup, tidak profesional dan tidak
proposional sehingga sulit untuk
mewujudkan good-governance dan
clean-government yang sudah menjadi
tuntutan masyarakat.
Dalam UU Keuangan Negara secara
tegas menyatakan bahwa Pemerintah
diwajibkan menyusun anggaran dengan
menggunakan pendekatan anggaran
terpadu, kerangka pengeluaran jangka
menengah dan penganggaran berbasis
kinerja. Selain itu juga meminta
diterapkannya prinsip pengelolaan
keuangan negara yang meliputi
akuntabilitas yang berorientasi pada hasil,
profesionalitas, proporsionalitas,
keterbukaan dalam pengelolaan dan
dilakukannya pemeriksaan keuangan oleh
badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Berdasarkan sistem penganggaran dan
prinsip-prinsip tersebut diharapkan terjadi
perubahan sejak penyusunan, pelaksanaan
hingga pertanggungjawaban anggaran.
Reformasi di bidang keuangan
negara sesungguhnya merupakan
reformasi pada dua sisi dalam praktek
pengelolaan keuangan Negara, yaitu
pertama dari sisi sistem dengan
mewujudkan pengelaan keuangan negara
yang mengikuti kaedah yang mendorong
praktek yang mendorong transparansi,
akuntabilitas dan profesionalisme
pengelolaan keuangan negara. Kedua, dari
sisi intern penyelenggaraan negara
diharapkan ada suatu spirit yang melandasi
penyelenggara keuangan negara yang
memiliki integritas sehingga cukup
memadai untuk melaksanakan konsepsi
‘let the manager manage’.
33
Namun dari pelaksanaan yang telah
berjalan selama satu dekade ini dari kedua
sisi tersebut yaitu sisi sistem dan sisi intern
dalam mewujudkan konsepsi “let manager
manage”masih ditemukannya kelemahan
pada aspek perencanaan dan
penganggaran dimana perencanaan dan
penganggaran yang berlaku saat ini belum
ditunjang dengan metode analisis dan
costing yang memungkinkan alokasi
penganggaran dilakukan dengan
transparan dan akuntabel mencapai
efisiensi dan efektivitas yang optimal.
Memperhatikan kondisi tersebut, maka
masih diperlukan kajian sistem
penganggaran yang pada penelitian kali ini
akan melihat efisiensi komponen utama
dan pendukung dalam biaya birokrasi di
Indonesia yang telah ditetapkan sebagai
kebijkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 195/PMK.02/2014
tentang Standar Struktur Biaya.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Pada penelitian ini akan menjawab
pertanyaan sejauh mana implementasi
PMK Nomor 195/PMK.02/2014 tentang
Standar Struktur Biaya yang telah
diamanatkan untuk diterapkan pertama
kali pada tahun anggaran 2016.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam
kajian ini bertujuan melakukan analisis atas
implementasi kebijakan Standar Struktur
Biaya yang telah ditetapkan dalam PMK
Nomor 195/PMK.02/2014.
1.4 Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini karena
keterbatasan peneliti, maka data yang
digunakan dalam penelitian merupakan
data sekunder mengenai pagu
Kementerian Negara/Lembaga pada saat
perencanaan anggaran untuk tahun
anggaran 2016 yang diambil dari Business
Intelligence (BI). Selain itu, tidak semua
Kementerian Negara/Lembaga diteliti,
tetapi hanya beberapa dari hasil
penyamplingan. Oleh karena itu,
diharapkan ke depan akan dilanjutkan
kajian yang lebih komprehensif.
2. LANDASAN TEORI
2.1 Terminologi dan Dasar Hukum
Beberapa istilah yang sering
digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Kementerian Negara adalah perangkat
pemerintah yang membidangi urusan
tertentu dalam pemerintahan.
2. Lembaga adalah organisasi non
Kementerian dan instansi lain pengguna
anggaran yang dibentuk untuk
melaksanakan tugas tertentu
berdasarkan UUD Tahun 1945 atau
peraturan perundang-undangan
lainnya.
3. Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga (RKA-
K/L) adalah dokumen rencana keuangan
tahunan K/L yang disusun menurut
bagian anggaran K/L.
4. Standar Struktur Biaya (SSB) adalah
batasan komposisi biaya atas suatu
keluaran (output)/kegiatan/program
tertentu yang ditetapkan oleh Mneteri
Keuangan selaku pengelola fiskal (Chief
Financial Officer).
5. Populasi adalah wilayah generalisasi
yang terdiri atas objek/subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
34
untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Populasi bukan hanya
orang, tetapi juga objek dan benda-
benda alam yang lain. Populasi juga
bukan sekedar jumlah yang ada pada
objek/subjek yang dipelajari, tetapi
meliputi seluruh karakteristik/sifat yang
dimiliki oleh subjek atau objek yang
diteliti (Nana Syaodih Sukmadinata,
2009).
6. Sampel adalah sebagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi.
Sampel merupakan kelompok kecil yang
secara nyata diteliti dan ditarik
kesimpulan (Nana Syaodih
Sukmadinata, 2009).
Dasar hukum yang melandasi
perlunya penyusunan RKA-K/L dan
penerapan SSB, yaitu:
1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 (UU
No.17/2003) tentang Keuangan Negara
Pasal 3 (1) bahwa “Keuangan Negara
dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan,
efisien, ekonomis, efektif, transparan,
dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan.”
2. UU No.17/2003 Pasal 14 (1) bahwa
“Dalam rangka penyusunan rancangan
APBN, menteri/pimpinan lembaga
selaku pengguna anggaran/pengguna
barang menyusun rencana kerja dan
anggaran kementerian negara/lembaga
tahun berikutnya.”
3. Peraturan Pemerintah No. 90 Tahun
2010 (PP No. 90/2010) tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian
negara/Lembaga Pasal 4 (2) bahwa
“Menteri/Pimpinan Lembaga selaku
Pengguna Anggaran wajib menyusun
RKA-K/L atas Bagian Anggaran yang
dikuasainya.”
4. Amanat PMK No. 71/PMK.02/2013
Pasal 26 bahwa “dalam rangka
mendukung efisiensi alokasi biaya
dalam penyusunan RKA-K/L, Menteri
Keuangan menetapkan Standar Struktur
Biaya dan Indeksasi.”
2.2 Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga
(RKA-K/L)
Penyusunan anggaran dalam
dokumen RKA-K/L merupakan bagian dari
penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), selain
RencanaDana Pengeluaran Bendahara
Umum Negara (RDP-BUN). Secara garis
besar, proses penyusunan RKA-K/L
mengatur tiga materi pokok, yaitu
pendekatan penyusunan anggaran,
klasifikasi anggaran dan proses
penganggaran.
2.2.1 Pendekatan Penyusunan
Anggaran
Sesuai dengan amanat Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, penyusunan anggaran
oleh K/L mengacu kepada tiga pilar sistem
penganggaran, yaitu:
1. Pendekatan Penganggaran Terpadu
Penyusunan anggaran terpadu
dilakukan dengan mengintegrasikan
seluruh proses perencanaan dan
penganggaran di lingkungan K/L untuk
menghasilkan dokumen RKA-K/L
dengan klasifikasi anggaran menurut
organisasi, fungsi dan jenis belanja.
Integrasi atau keterpaduan proses
perencanaan dan penganggaran
35
dimaksudkan agar tidak terjadi duplikasi
dalam penyediaan dana untuk K/L baik
yang bersifat investasi maupun untuk
keperluan biaya operasional.
2. Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK)
PBK merupakan suatu pendekatan
dalam sistem penganggaran yang
memperhatikan keterkaitan antara
pendanana dan kinerja yang
diharapkan, serta memperhatikan
efisiensi dalam pencapaian kinerja
tersebut. Kinerja merupakan prestasi
kerja yang berupa keluaran (output)
dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu
program dengan kuantitas dan kualitas
yang terukur.
3. Kerangka Pengeluaran Jangka
Menengah (KPJM)
KPJM adalah pendekatan penyusunan
nggaran berdasarkan kebijakan, dengan
pengambilan keputusan yang
menimbulkan implikasi anggaran dalam
jangka waktu lebih dari satu tahun
anggaran. Sesuai dengan amanat UU
Nomor 17 Tahun 2003, dalam
penerapan KPJM, K/L menyusun
prakiraan maju dalam periode tiga
tahun ke depan, dna hal tersebut
merupakan keharusan yang harus
dilkaukan setiap tahun, bersamaan
dengan penyampaian RKA-K/L.
Pendekatan penyusunan anggaran
tersebut terus mengalami perbaikan dan
penyempurnaan, dan diwajibkan menjadi
acuan bagi pemangku kepentingan bidang
penganggaran dalam merancang dan
menyusun anggaran.
2.2.2 Klasifikasi Anggaran
Klasifikasi anggaran merupakan
pengelompokan anggaran berdasarkan
organisasi, fungsi dan jenis belanja
(ekonomi) yang bertujuan untuk melihat
besaran alokasi anggaran menurut:
1. Klasifikasi Menurut Organisasi K/L
Klasifikasi organisasi mengelompokkan
alokasi anggaran belanja sesuai dengan
struktur organisasi K/L dan BUN.
Organisasi diartikan sebagai K/L atau
BUN yang dibentuk untuk
melaksanakan tugas tertentu
berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku. Suatu K/L dapat terdiri
atas unit-unit organisasi (Unit Eselon I)
yang merupakan bagian dari suatu K/L.
Suatu unit organisasi dapat didukung
oleh satker yang bertanggung jawab
melaksanakan kegiatan dari program
unit Eselon I atau kebijakan pemerintah
dan berfungsi sebagai Kuasa Pengguna
Anggaran dalam rangka pengelolaan
anggaran. Sementara itu, BUN
merupakan pejabat yang diberi tugas
untuk melaksanakan fungsi bendahara
umum negara sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang.
2. Klasifikasi Menurut Fungsi
Fungsi adalah perwujudan tugas
kepemerintahan di bidang tertentu
yang dilaksanakan dalam rangka
mencapai tujuan pembangunan
nasional, sedangkan Subfungsi
merupakan penjabaran lebih
lanjut/lebih detail dari deskripsi fungsi.
Subfungsi terdiri atas kumpulan
program dan program terdiri atas
kumpulan kegiatan. Yang dimaksud
program adalah penjabaran kebijakan
K/L di bidang tertentu yang
dilaksanakan dalam bentuk upaya yang
berisi satu atau beberapa kegiatan
36
dengan menggunakan sumber daya
yang disediakan untuk mencapai hasil
yang terukur sesuai dengan misinya
yang dilaksanakan instansi atau
masyarakat dalam koordinasi K/L yang
bersangkutan.
3. Klasifikasi Jenis Belanja K/L
Jenis belanja atau klasifikasi menurut
ekonomi dalam klasifikasi belanja
digunakan dalam dokumen anggaran
baik dalam proses penyusunan,
pelaksanaan dan
pertanggungjawaban/pelaporan
anggaran. Namun penggunaan jenis
belanja dalam dokumen tersebut
mempunyai tujuan berbeda. Berkenaan
dengan proses penyusunan anggaran
dalam dokumen RKA-K/L, tujuan
penggunaan jenis belanja dimaksudkan
untuk mengetahui pendistribusian
alokasi anggaran ke dalam jenis–jenis
belanja. Dalampengelolaan keuangan
terdapat jenis belanja sebagai berikut:
a. belanja pegawai
b. belanja barang dan jasa
c. belanja modal
d. belanja pembayaran kewajiban
utang
e. belanja subsidi
f. belanja hibah
g. belanja bantuan sosial
h. belanja lain-lain
Belanja Barang dan Jasa adalah
pengeluaran untuk pembelian barang
dan/atau jasa yang habis pakai untuk
memproduksi barang dan/atau jasa
yang dipasarkan maupun yang tidak
dipasarkan dan pengadaan barang yang
dimaksudkan untuk diserahkan atau
dijual kepada masyarakat/Pemerintah
Daerah (Pemda) dan belanja perjalanan.
Dalam pengertian belanja tersebut
termasuk honorarium dan vakasi yang
diberikan dalam rangka pelaksanaan
kegiatan untuk menghasilkan barang
dan/atau jasa. Belanja Barang terdiri
atas Belanja Barang (Operasional dan
Non-Operasional), Belanja Jasa, Belanja
Pemeliharaan, Belanja Perjalanan,
Belanja Badan Layanan Umum (BLU),
serta Belanja Barang Untuk Diserahkan
Kepada Masyarakat/Pemda.
2.2.3 Proses Penganggaran
Proses penganggaran merupakan
uraian mengenai proses dan mekanisme
penganggarannya, dimulai dari Pagu
Indikatif sampai dengan penetapan Pagu
Alokasi Anggaran K/Lyang bersifat final.
Sistem penganggaran tersebut harus
dipahami secara baik dan benar oleh
pemangku kepentingan (stakeholder) agar
dapat dihasilkan APBN yang kredibel dan
dapat dipertanggungjawabkan.
2.3 Standar Struktur Biaya (SSB)
Salah satu upaya meningkatkan
kualitas penganggaran khususnya terkait
dengan efisiensi, maka perlu pengaturan
perubahan unsur-unsur biaya untuk
menghasilkan sebuah output. Pengaturan
perubahan unsur biaya terutama untuk
unsur-unsur yang tidak memberikan nilai
tambah pada peningkatan layanan
pemerintah. Sejalan dengan hal tersebut,
pada Pasal 26 dalam PMK No.
71/PMK.02/2013 tentang Pedoman
Standar Biaya, Standar Struktur Biaya dan
Indeksasi dalam Penyusunan RKA-K/L
mengamanatkan bahwa dalam rangka
mendukung efisiensi alokasi biaya, Menteri
Keuangan menetapkan standar struktur
biaya dalam PMK No. 195/PMK.02/2014
37
tentang Standar Struktur Biaya. Standar
Struktur Biaya merupakan salah satu alat
untuk mendukung efisiensi alokasi biaya
dalam penyusunan RKA-K/L melalui
penilaian kewajaran komposisi biaya
tertentu dari suatu keluaran (output)/
kegiatan/program tertentu yang berupa
batasan besaran atau persentase tertentu.
Standar Struktur Biaya berfungsi sebagai
acuan bagi K/L dalam menyusun komposisi
pembiayaan suatu keluaran
(output)/kegiatan/program tertentu dalam
penyusunan RKA-K/L dan sebagai salah
satu alat penelaahan untuk menilai
kewajaran pembiayaan atas suatu
keluaran (output)/ kegiatan/program yang
sejenis/serumpun.
Tujuan utama dari pengaturan SSB
adalah untuk meminimalisasi biaya
birokrasi dalam menghasilkan pelayanan
kepada masyarakat. Biaya atas suatu
keluaran (output) terdiri dari biaya utama
dan biaya pendukung. Biaya utama
merupakan komponen pembiayaan
langsung dari pelaksanaan langsung dari
pelaksanaan suatu kebijakan dan
berpengaruh terhadap pencapaian
keluaran (output). Sedangkan biaya
pendukung (penunjang) merupakan
komponen pembiayaan yang digunakan
dalam rangka menjalankan dan mengelola
kebijakan.
Pada tahap awal, penerapan SSB
dilakukan pada level keluaran (output).
Penetapan besaran SSB merujuk pada jenis
keluaran (output)dalam RKA-K/L yang
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Keluaran (output) Barang, yang terdiri
dari:
a. Output barang infrastruktur, yaitu
output kegiatan yang merupakan
barang berwujud dan atau berupa
jaringan yang diperlukan untuk
jaminan ekonomi sektor publik agar
perekonomian dapat berfungsi
dengan baik. Contoh: jalan, kereta
api, air bersih, bandara, kanal,
waduk, pengolahan limbah, dan
sebagainya.
b. Output barang non infrastruktur,
yaitu output kegiatan yang
merupakan barang baik berwujud
maupun tidak berwujud yang tidak
berupa jaringan yang bukan
termasuk barang infrastruktur.
Contoh: kendaraan, software
aplikasi, dan sebagainya.
2. Keluaran (output) Jasa, yang terdiri dari:
a. Output jasa regulasi/birokrasi, yaitu
output yang dihasilkan dari suatu
kegiatan dalam rangka pembuatan
peraturan atau pendukung
administrasi birokrasi. Bentuk
output tersebut dapat berupa
norma, standar, dan lain-lain.
b. Output jasa layanan non-regulasi,
yaitu output dari suatu kegiatan
yang merupakan layanan dari suatu
instansi pemerintah. Contoh: SP2D,
layanan BOS, dan sebagainya.
Standar Struktur Biaya
diberlakukan pada keluaran (output) jasa
layanan non-regulasi. Pemberlakuan SSB
dilakukan dengan membatasi besaran
biaya pendukung tertinggi yang diizinkan
dari total biaya keluaran (output) jasa
layanan non-regulasi. Batasan besaran
biaya pendukung tertinggi yang diizinkan
yaitu sebesar 45% dari total biaya keluaran
(output) jasa layanan non-regulasi.
38
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian
deskriptif yang menggunakan pendekatan
kuantitatif. Mely G. Tan (dalam
Soejono:22) mengatakan bahwa penelitian
deskriptif bertujuan menggambarkan
secara tepat sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala atau kelompok tertentu.
Dalam penelitian ini akan digambarkan
pengimplementasian kebijakan Standar
Struktur Biaya di tahun anggaran 2016.
3.2 Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah
birokrasi di Indonesia (K/L). Objek
penelitian adalah output jasa layanan non-
regulasi dan pagu himpunan RKA-KL dari
K/L yang telah dipilih sebagai sampel.
3.3 Jenis Data
Data merupakan kumpulan
informasi yang diperoleh dari suatu
pengamatan, dapat berupa angka,
lambang atau sifat. Data yang digunakan
merupakan data sekunder, yaitu data
terkait output dan pagu himpunan RKA-K/L
dari K/L yang terpilih menjadi sampel.
3.4 Metode Pengolahan Data
Pada penelitian ini pada prinsipnya
ingin mengetahui penerapan salah satu
bagian dari kebijakan standar biaya, yaitu
standar struktur biaya (SSB) yang saat ini
telah ditetapkan dalam PMK Nomor
195/PMK.02/2014 tentang Standar
Struktur Biaya. Birokrasi di Indonesia
terdiri dari banyak Kementerian Negara
dan Lembaga yang saat ini jumlahnya
mencapai 87 K/L. Oleh karena
keterbatasan penulis, pada penelitian yang
lebih ke arah deskriptifkuantitatif ini, maka
perlu dilakukan pengambilan sampel
(sampling) untuk menentukan K/L mana
saja yang akan diteliti dalam hal penerapan
SSB di dalam RKA-K/L-nyadi tahun 2016.
Dalam suatu penelitian, metode
sampling menjadi salah satu aspek yang
penting dan diperlukan, karena akan
menentukan validitas eksternal dari hasil
penelitian, dalam arti menentukan
seberapa luas atau sejauhmana
keberlakuan atau generalisasi kesimpulan
hasil penelitian. Dengan demikian, kualitas
sampling akan menentukan kualitas
kesimpulan suatu penelitian. Oleh karena
itu, setiap kelemahan dalam metode
sampling akan menyebabkan kelemahan
kesimpulan, kelemahan ramalan atau
dalam tindakan yang mendasarkan pada
hasil penelitian tersebut (Zainuddin, 2011).
Dalam metode sampling dikenal
istilah strata, yaitu mengelompokkan unit-
unit dalam populasi menjadi strata,
dengan tujuan untuk efisiensi penggunaan
metode sampling atau untuk keperluan
lain seperti domain penyajian (daerah
perkotaan dan daerah pedesaan atau
daerah terpencil dan bukan daerah
terpencil). Penggunaan stratifikasi untuk
efisiensi metode sampling adalah dengan
mengusahakan pengelompokkan elemen
yang karakteristiknya lebih homogen.
Pengelompokkan unit sampling ke dalam
strata yaitu membagi N unit sampling
menjadi LNNN ,...,, 21
yang masing-masing
menunjukkan jumlah unit dalam strata,
yaitu strata ke-1, ke-2, dan seterusnya
sampel dengan ke- .L L menunjukkan
banyak strata yang dibentuk pada populasi
(Muhardi Kahar, 2010).
39
Selain metode sampling yang akan
digunkaan, ukuran sampel pun merupakan
hal yang tak kalah penting dalam sebuha
penelitian. Pada dasarnya tidak ada aturan
baku mengenai pengambilan ukuran dari
sampel selama sampel sudah mewakili
karakteristik dari populasi. Beberapa ahli
memberikan gambaran mengenai jumlah
sampel yang berbeda-beda , akan tetapi
pertimbangan jenis dan bidang penelitian
sebaiknya dijadikan acuan untuk memilih
ukuran sampel. Gay dan Diehl (1992) pada
kajian penelitian untuk kelas bisnis dan
manajemen memberikan saran ukuran
sampel minimal, sebagai berikut:
a. penelitian deskriptif, jumlah sampel
minimum adalah 10% dari populasi,
b. penelitian korelasi, jumlah sampel
minimum adalah 30 subjek,
c. penelitian kausal perbandingan,
jumlah sampel minimum adalah 30
subjek per grup,
d. penelitian eksperimental, jumlah
sampel minimum adalah 15 subjek per
grup.
4. PEMBAHASAN
Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah suatu negara
berkembang yang wilayahnya merupakan
kepulauan terbesar di dunia. Jumlah
penduduk Indonesia menempati peringkat
ke-4 pada tahun 2015 sebagai negara
dengan jumlah penduduk terbesar di dunia
yitu sebanyak 255,708,785 orang (Divisi
Kependudukan PBB, 2015). Dengan kondisi
geografis dan demografis tersebut, maka
diperlukan pemerintah yang kuat untuk
menjalankan pemerintahan. Salah satu
usaha menjalankan pemerintahan yang
baik, Indonesia membagi tugas dan fungsi
kepada 87 Kementerian Negara/Lembaga.
Guna menjalankan tugas dan fungsi yang
melekat pada setiap K/L, maka pemerintah
memberikan anggaran di setiap tahunnya.
4.1 Pemilihan Sampel Penelitian
Selaras dengan amanat dalam UU
No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara pada Pasal 3 (1) mengamanatkan
bahwa keuangan negara dikelola secara
efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab, maka salah satunya
dibuat kebijakan terkait standar struktur
biaya. Guna menilik penerapan kebijakan
tersebut, dalam penelitian ini akan dipilih
beberapa K/L untuk dijadikan sebagai
sampel yang diamati.
Delapan puluh tujuh K/L dimaksud
dan pemilihan K/L yang dijadikan sampel
disajikan dalam Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Daftar Kementerian Negara/Lembaga di Indonesia (2016)
K/L Unit Pagu HRPA 2016 Rata-rata Pagu/Unit Urutan per Kuartil
052 WANTANNAS 1 45.958.904.000 45.958.904.000 1
074 KOMNAS HAM 1 93.956.146.000 93.956.146.000 2
108 KPPU 1 116.460.861.000 116.460.861.000 3
110 OMBUDSMAN RI 1 146.332.581.000 146.332.581.000 4
084 BSN 1 146.877.155.000 146.877.155.000 5
100 KY RI 1 148.874.879.000 148.874.879.000 6
087 ANRI 1 166.687.386.000 166.687.386.000 7
078 PPATK 1 190.000.000.000 190.000.000.000 8
085 BAPETEN 1 190.772.897.000 190.772.897.000 9
40
K/L Unit Pagu HRPA 2016 Rata-rata Pagu/Unit Urutan per Kuartil
034 KEMENKO POLKAM 1 192.678.497.000 192.678.497.000 10
111 BNPP 1 200.599.529.000 200.599.529.000 11
048 KEMEN PAN RB 1 205.386.227.000 205.386.227.000 12
007 KEMENSETNEG 10 2.223.653.489.000 222.365.348.900 13
114 KEMEN SETKAB 1 222.786.973.000 222.786.973.000 14
106 LKPP 1 240.792.573.000 240.792.573.000 15
120 KEMENKO MARITIM 1 250.000.000.000 250.000.000.000 16
077 MK 1 250.368.908.000 250.368.908.000 17
118 BPKPB & PB SABANG 1 261.385.354.000 261.385.354.000 18
086 LAN 1 273.146.483.000 273.146.483.000 19
064 LEMHANNAS 1 314.258.703.000 314.258.703.000 20
109 BPW SURAMADU 1 318.550.954.000 318.550.954.000 21
113 BNPT 1 331.914.878.000 331.914.878.000 22
119 BAKAMLA 1 334.830.911.000 334.830.911.000 1
041 KEMEN BUMN 1 345.000.000.000 345.000.000.000 2
035 KEMENKO EKON 1 361.614.997.000 361.614.997.000 3
019 KEMENPERIND 9 3.339.228.559.000 371.025.395.444 4
104 BNP2TKI 1 415.046.706.000 415.046.706.000 5
026 KEMENAKER 9 3.804.804.724.000 422.756.080.444 6
115 BAWASLU 1 446.928.781.000 446.928.781.000 7
090 KEMENDAG 9 4.036.639.999.000 448.515.555.444 8
010 KEMENDAGRI 11 4.968.104.645.000 451.645.876.818 9
001 MPR 2 953.302.827.000 476.651.413.500 10
029 KEMEN LHK 13 6.301.022.231.000 484.694.017.769 11
036 KEMENKO KESRA 1 487.378.446.000 487.378.446.000 12
105 BPLS 1 500.048.585.000 500.048.585.000 13
065 BKPM 1 520.901.324.000 520.901.324.000 14
095 DPD 2 1.069.594.539.000 534.797.269.500 15
088 BKN 1 555.214.115.000 555.214.115.000 16
040 KEMENPAR 9 5.643.327.228.000 627.036.358.667 17
057 PNRI 1 701.101.136.000 701.101.136.000 18
067 KEMEN DES PDTT 10 7.269.302.065.000 726.930.206.500 19
011 KEMENLU 10 7.286.391.486.000 728.639.148.600 20
056 KEMEN AGRARIA TR / BPN
9 6.585.290.739.000 731.698.971.000 21
059 KEMENKOMINFO 7 5.220.956.623.000 745.850.946.143 22
082 LAPAN 1 777.498.642.000 777.498.642.000 1
051 LSN 1 805.446.595.000 805.446.595.000 2
020 KEMEN ESDM 11 8.894.063.961.000 808.551.269.182 3
080 BATAN 1 814.880.249.000 814.880.249.000 4
116 LPP RRI 1 864.423.065.000 864.423.065.000 5
083 BIG 1 865.537.644.000 865.537.644.000 6
013 KEMENHUMHAM 11 10.131.575.923.000
921.052.356.636 7
117 LPP TVRI 1 930.262.532.000 930.262.532.000 8
081 BPPT 1 977.094.382.000 977.094.382.000 9
103 BNPB 1 986.902.448.000 986.902.448.000 10
093 KPK 1 1.101.130.137.000 1.101.130.137.000 11
121 BEKRAF 1 1.157.724.467.000 1.157.724.467.000 12
41
K/L Unit Pagu HRPA 2016 Rata-rata Pagu/Unit Urutan per Kuartil
112 BPKPB & PB BATAM 1 1.169.799.756.000 1.169.799.756.000 13
079 LIPI 1 1.216.088.234.000 1.216.088.234.000 14
047 KEMEN PP & PA 1 1.269.331.578.000 1.269.331.578.000 15
044 KEMEN KOP & UKM 1 1.277.994.952.000 1.277.994.952.000 16
005 MA 7 8.964.879.492.000 1.280.697.070.286 17
066 BNN 1 1.416.122.988.000 1.416.122.988.000 18
055 KEMENPPN/BAPPENAS 1 1.463.944.435.000 1.463.944.435.000 19
032 KEMEN KP 10 15.801.192.731.000
1.580.119.273.100 20
050 BIN 1 1.592.602.925.000 1.592.602.925.000 21
075 BMKG 1 1.607.180.481.000 1.607.180.481.000 1
063 BPOM 1 1.617.444.585.000 1.617.444.585.000 2
089 BPKP 1 1.678.602.257.000 1.678.602.257.000 3
076 KPU 1 1.716.479.187.000 1.716.479.187.000 4
004 BPK 2 3.600.864.073.000 1.800.432.036.500 5
107 BASARNAS 1 1.987.727.561.000 1.987.727.561.000 6
027 KEMENSOS 7 15.289.443.575.000
2.184.206.225.000 7
002 DPR 2 4.659.970.787.000 2.329.985.393.500 8
018 KEMENTAN 12 32.853.133.229.000
2.737.761.102.417 9
092 KEMENPORA 1 2.851.638.316.000 2.851.638.316.000 10
015 KEMENKEU 12 40.499.457.364.000
3.374.954.780.333 11
023 KEMENDIKBUD 13 49.232.799.474.000
3.787.138.421.077 12
068 BKKBN 1 3.864.657.742.000 3.864.657.742.000 13
006 KEJAKSAAN 1 4.706.013.339.000 4.706.013.339.000 14
042 KEMENRISTEK & PT 7 37.987.978.612.000
5.426.854.087.429 15
054 BPS 1 5.656.879.192.000 5.656.879.192.000 16
025 KEMENAG 10 58.482.058.585.000
5.848.205.858.500 17
022 KEMENHUB 8 50.160.359.782.000
6.270.044.972.750 18
024 KEMENKES 8 64.804.497.001.000
8.100.562.125.125 19
033 KEMEN PU & PERA 12 103.812.178.082.000
8.651.014.840.167 20
012 KEMENHAN 5 95.919.798.831.000
19.183.959.766.200
21
060 POLRI 1 67.232.730.717.000
67.232.730.717.000
22
Dalam penelitian deskriptif, menurut Gay
dan Diehl (1992) jumlah sampel minimum
adalah 10% dari populasi. Seperti telah
disampaikan di atas, dari populasi K/L di
Indonesia, maka jumlah sampel
minimumnya yaitu 8,7 atau 9 K/L.
42
Penelitian ini menggunakan metode
sampling sistematik berstrata. Strata yang
dimaksud dilihat dari jumlah unit dan pagu
setiap K/L. Dari jumlah unit dan jumlah
pagu tersebut, dihitung rata-rata pagu per
unit (rata-rata tertimbang). Strata satu (S1)
yaitu kelas yang berisi K/L yang rata-rata
tertimbang pagunya 25% dari rata-rata
tertimbang pagu yang terendah
(menggunakan metode kuartil), kemudian
seterusnya ada strata dua (S2), strata tiga
(S3)dan strata empat (S4). Dari masing-
masing strata tersebut dipilih beberapa K/L
sebagai sampel.Sebagai contoh, diambil
dari S2 yaitu data ke-2, data ke-12 dan data
ke-22 yang dipilih sebagai sampel.
Berdasarkan pertimbangan peneliti,
Kementerian Keuangan sebagai pembuat
kebijakan SSB perlu dijadikan sebagai
sampel. Jadi, keseluruhan terdapat sebelas
sampel yang digunakan dalam penelitian
ini.
Tabel 4.2 Daftar Kementerian Negara/Lembaga Terpilih Menjadi Sampel
Strata Ke- Urutan per Kuartil
K/L Sampel
I 1 Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas)
11 Badan Nasional Pengelola Perbatasan(BNPP)
21 Badan Pengembangan Wilayah (BPW) Suramadu
II 2 Kementerian Badan Usaha Milik Negara (Kemen BUMN)
12 Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko Kesra)
22 Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)
Strata Ke- Urutan per Kuartil
K/L Sampel
III 3 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM)
13 Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BPKPB & PB Batam)
IV 4 Komisi Pemilihan Umum (KPU)
11 Kementerian Keuangan (Kemenkeu)
14 Kejaksaan Republik Indonesia
4.2 Output Jasa Layanan Non-Regulasi
Output jasa layanan non-regulasi
yaitu output dari suatu kegiatan yang
merupakan layanan dari suatu instansi
pemerintah. Layanan yang dimaksudkan
yaitu layanan yang merupakan penjabaran
tugas dan fungsi dari instansi pemerintah.
Pada sub bab ini akan diuraikan tugas dan
fungsi K/L sampel dan output yang
termasuk output jasa layanan non-regulasi.
1. Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, tugas
dan wewenang Kejaksaan diantaranya
pengawasan aliran kepercayaan yang
dapat membahayakan masyarakat
dan negara, peningkatan kesadaran
hukum masyarakat dan melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan undang-undang.
Output jasa layanan non-regulasi dari
Kejaksaan antara lain laporan
pengawasan aliran kepercayaan
masyarakat di Kejaksaan Tinggi (1102
003), pelaksanaan pers gathering pada
satker kejaksaan di daerah (1103 008)
dan penanganan perkara tindak
pidana umum khusus (1108 007).
2. Berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 28 tahun 2015 tentang
Kementerian Keuangan dan Peraturan
43
Menteri Keuangan Nomor
234/PMK.01/2015 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian
Keuangan, tugas dan fungsi
Kementerian Keuangan Republik
Indonesia antara lain,
menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan
negara untuk membantu presiden
dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara dan perumusan,
penetapan, dan pelaksanaan
kebijakan di bidang penganggaran,
pajak, kepabeanan dan cukai,
perbendaharaan, kekayaan negara,
perimbangan keuangan, dan
pengelolaan pembiayaan dan risiko.
Beberapa output jasa layanan non-
regulasi di Kementerian Keuangan
antara lain, rumusan kebijakan
kerjasama internasional (1676 001),
laporan rekomendasi kebijakan
potensi penerimaan negara (1740
007) dan laporan pemantauan dini
perkembangan ekonomi makro (1741
001).
3. Tugas dan fungsi Kementerian ESDM
antara lain membantu presiden dalam
menyelenggarakan sebagian urusan
pemerintahan di bidang energi dan
sumber daya mineral, perumusan
kebijakan nasional, kebijakan
pelaksanaan dan kebijakan teknis di
bidang energi dan sumber daya
mineral, serta penyampaian laporan
hasil evaluasi, saran dan
pertimbangan di bidang tugas dan
fungsi departemen kepada presiden.
Output jasa layanan non-regulasi dari
Kementerian ESDM antara lain,
monitoring dan evaluasi (1887 003),
laporan penyiapan rumusan program
pengelolaan di bidang mineral dan
batubara (1904 001), dan laporan
penyiapan program aneka energi baru
dan energi terbarukan (4033 011).
4. Kementerian Koordinator Bidang
Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan mempunyai tugas
menyelenggarakan koordinasi,
sinkronisasi dan pengendalian urusan
Kementerian dalam penyelenggaraan
pemerintahan di bidang
pembangunan manusia dan
kebudayaan. Beberapa fungsi dari
Kemenko Kesra yaitu koordinasi dan
sinkronisasi perumusan, penetapan,
dan pelaksanaan kebijakan K/L yang
terkait dengan isu di bidang
pembangunan manusia dan
kebudayaan, pengelolaan barang
milik/kekayaan negara yang menjadi
tanggung jawab Kementerian
Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, output
jasa layanan non-regulasi dari
Kemenko Kesra antara lain usulan
rekomendasi kebijakan di bidang
warisan budaya (2542 001), usulan
rekomendasi kebijakan bidang
kependudukan dan KB (2546 001), dan
usulan rekomendasi kebijakan di
bidang keolahragaan (2553 001).
5. Pasal 2 Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 54 Tahun 2015
Tentang Kementerian Komunikasi dan
Informatika menyatakan bahwa
Kementerian Komunikasi dan
Informatika mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang komunikasi
dan informatika untuk membantu
Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara. Selanjutnya
pada Pasal 3 menyatakan bahwa
beberapa fungsi Kemenkominfo yaitu
perumusan dan penetapan kebijakan
44
di bidang pengelolaan sumber daya
dan perangkat pos dan informatika,
penyelenggaraan pos dan informatika,
penatakelolaan aplikasi informatika,
pengelolaan informasi dan komunikasi
publik, pelaksanaan penelitian dan
pengembangan sumber daya manusia
di bidang komunikasi dan informatika,
dan pelaksanaan bimbingan teknis dan
supervisi atas pelaksanaan
pengelolaan sumber daya dan
perangkat pos dan informatika,
penyelenggaraan pos dan informatika,
penatakelolaan aplikasi informatika,
pengelolaan informasi dan komunikasi
publik. Berdasarkan tugas dan
fungsinya tersebut, beberapa output
jasa layanan non-regulasi dari
Kemenkominfo yaitu, Layanan
Perumusan dan Evaluasi Peraturan
Perundang-undangan Kementerian
Kominfo (3011 001), Layanan
Komunikasi dan Informasi Publik
Kementerian Kominfo (3017 001),
Layanan pengamanan jaringan
internet (3059 001), dan
Kebijakan/Regulasi di Bidang
Telekomunikasi (3064 001).
6. Dalam Pasal 10 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum dan Pasal 2
Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun
1999 tentang Pembentukan Komisi
Pemilihan Umum dan Penetapan
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat
Umum Komisi Pemilihan Umum,
dijelaskan bahwa untuk melaksanakan
Pemilihan Umum, KPU mempunyai
tugas kewenangan antara lain
merencanakan dan mempersiapkan
pelaksanaan Pemilihan Umum,
menerima, meneliti dan menetapkan
Partai-partai Politik yang berhak
sebagai peserta Pemilihan Umum, dan
memimpin tahapan kegiatan
Pemilihan Umum. Guna mendukung
tugas tersebut, output jasa layanan
non-regulasi KPU yaitu, Penyuluhan
Peraturan Perundang-undangan
Pemilu dan Pemilukada (3363 013),
Bimbingan teknis penyelenggaraan
Pemilukada (3364 006), dan lain-lain.
7. Ruang lingkup tugas utama BNPP
adalah mengelola Batas Wilayah
Negara dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di kawasan
perbatasan yang merupakan
kristalisasi dari amanat Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 2008 pasal
15 dan Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2010 pasal 3, yaitu menetapkan
kebijakan program pembangunan
perbatasan, menetapkan rencana
kebutuhan anggaran,
mengkoordinasikan pelaksanaan dan
melaksanakan evaluasi, dan
pengawasan terhadap pengelolaan
Batas Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan. Output jasa layanan non-
regulasi dari BNPP antara lain,
Penetapan kebijakan program
pengelolaan batas negara wilayah
darat (4039 023), Perencanaan
kebutuhan anggaran pengelolaan
batas negara wilayah darat (4039 024),
Evaluasi dan pengawasan pengelolaan
lintas batas negara (4041 034).
8. Visi BP Batam yaitu menjadikan
Kawasan Batam sebagai Kawasan
Ekonomi terkemuka Asia Pasifik dan
kontributor utama pembangunan
Ekonomi Nasional. Serta misi-nya
adalah mewujudkan Pulau Batam
sebagai daerah industri hijau
berorientasi ekspor dan mewujudkan
Pulau Batam menjadi kawasan wisata
bahari unggul dan transhipment
perdagangan internasional. Beberapa
45
output jasa layanan non-regulasi BP
Batam yaitu, barang dan jasa yang
dilelang melalui elektronik lelang
(5128 001), layanan perijinan lalu
lintas barang (5129 001) dan Dokumen
Legalitas Kavling Siap Bangun yang
diselesaikan (5133 002).
9. Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun
2008 tentang Pembentukan Badan
Pengembangan Wilayah Surabaya-
Madura (BPW Suramadu) yang
kemudian disempurnakan dengan
Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun
2009 tentang Pembentukan Badan
Pengembangan Wilayah Surabaya-
Madura (BPW Suramadu) memiliki
tugas dan fungsi untuk melaksanakan
pengelolaan, pembangunan dan
fasilitasi percepatan kegiatan
pembangunan wilayah Suramadu.
Output jasa layanan non-regulasi BPW
Suramadu antara lain laporan
pelaksanaan promosi pengembangan
klaster/kawasan (3966 023) dan
operasional dan pemeliharaan
infrastruktur kawasan (3970 014).
10. Kementerian Badan Usaha Milik
Negara (Kementerian BUMN) memiliki
tugas pokok yaitu menyelenggarakan
urusan di bidang pembinaan BUMN
dalam pemerintahan untuk
membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan
negara. Sedangkan salah satu fungsi
dari Kementerian BUMN yaitu
perumusan dan penetapan
pelaksanaan kebijakan di bidang
pembinaan BUMN. Tugas pokok dan
fungsi tersebut berdasarkan pada
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik
Negara Nomor Per-06/MBU/2014
tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian BUMN. Output jasa
layanan non-regulasi di Kementerian
BUMN antara lain, peraturan
perundang-undangan (2618 001) dan
dokumen pelaksanaan pembinaan
BUMN bidang usaha perkebunan dan
kehutanan (2622 002).
11. Dewan Ketahanan Nasional
(Wantannas) merupakan lembaga
negara yang berkedudukan di bawah
dan bertanggung jawab kepada
Presiden. Wantannas mempunyai
tugas membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pembinaan
ketahanan nasional guna menjamin
pencapaian tujuan dan kepentingan
nasional Indonesia. Beberapa output
jasa layanan non-regulasi dari
Wantannas, yaitu kebijakan sistem
nasional bidang lingkungan alam
(5649 001), kebijakan politik dan
strategi bidang politik nasional (5653
001) dan kebijakan penginderaan dan
perkiraan ancaman bidang lingkungan
strategi nasional (5656 001).
Gambaran persentase jumlah
output jasa layanan non regulasi terhadap
seluruh jenis output dari kesebelas K/L
sampel disajikan pada tabel berikut.
46
Tabel 4.3 Persentase Output Jasa Layanan Non Regulasi Terhadap Seluruh Jenis Output
Berdasarkan Tabel 4.3 di atas
diperoleh informasi bahwa output jasa
layanan non-regulasi di seluruh K/L berada
di bawah 75% dari seluruh output yang
dimilikinya. Bahkan di beberapa K/L output
jasa layanan non-regulasinya di bawah
50%. Hal itu berarti bahwa sebenarnya
upaya pengefisienan anggaran melalui
kebijakan standar struktur biaya masih
memiliki ruang yang cukup besar untuk
dikembangkan dengan memperhatikan
ketiga jenis output yang lainnya.
Sebelas K/L terpilih tersebut ditarik
data rincian total pagu himpunan RKA-K/L,
kegiatan, output, komponen dan sifat
biaya-nya dari business intelligence.
Selanjutnya, output yang dimiliki
dipisahkan jenisnya yang merupakan
output jasa layanan non-regulasi. Jenis
output inilah yang diuraikan jenis biayanya
(biaya utama dan biaya pendukung). Hasil
perhitungan yang telah dilakukan tampak
pada Tabel 4.4 berikut.
Tabel 4.4 Persentase Biaya Pendukung Output Jasa Layanan Non-Regulasi
Tabel 4.4 dimaksud berisikan
informasi nama sebelas K/L yang dijadikan
sampel. Masing-masing K/L dirincikan total
pagu untuk output jasa layanan non-
regulasi, biaya utama dan biaya pendukung
dari output jasa layanan non-regulasi, serta
persentase biaya pendukung terhadap
total pagu output jasa layanan non-
regulasi. Biaya utama sendiri merupakan
biaya komponen yang berpengaruh secara
langsung terhadap keluaran (output)/ sub
keluaran (sub output). Sedangkan biaya
pendukung merupakan biaya komponen
yang tidak berpengaruh secara langsung
Jumlah Pagu Jumlah Pagu Jumlah Pagu
1. Kejaksaan 505 861.982.780.000 674 4.706.013.339.000 74,93% 18,32%
2. Kemenkeu 1.481 4.322.057.116.000 3.728 30.958.001.840.000 39,73% 13,96%
3. Kemen ESDM 1.431 2.265.385.346.000 3.010 8.894.063.961.000 47,54% 25,47%
4. Kemenkokesra 221 333.514.065.000 286 487.378.446.000 77,27% 68,43%
5. Kemenkominfo 1.049 3.296.118.755.000 1.541 5.220.956.623.000 68,07% 63,13%
6. KPU 52 189.412.665.000 128 1.716.479.187.000 40,63% 11,03%
7. BPW Suramadu 3 9.000.000.000 8 40.260.000.000 37,50% 22,35%
8. BNPP 153 129.446.600.000 251 200.599.529.000 60,96% 64,53%
9. BPKPB & PB Batam 81 92.203.788.000 337 1.169.799.756.000 24,04% 7,88%
10. Kemen BUMN 261 119.371.471.000 450 345.000.000.000 58,00% 34,60%
11. Wantannas 21 5.861.562.000 48 36.420.683.000 43,75% 16,09%
Total Output Persentase Output JLNRNo. K/L
Output JLNR
No. K/L Total Pagu Output JLNR Biaya Utama Biaya Pendukung Persentase
1. Kejaksaan 861.982.780.000 825.163.811.000 36.818.969.000 4,27143%
2. Kemenkeu 4.322.057.116.000 4.300.024.939.000 22.032.177.000 0,50976%
3. Kemen ESDM 2.265.385.346.000 2.079.828.774.000 185.556.572.000 8,19095%
4. Kemenkokesra 333.514.065.000 302.077.542.000 31.436.523.000 9,42585%
5. Kemenkominfo 3.296.118.755.000 3.094.379.961.000 201.738.794.000 6,12050%
6. KPU 189.412.665.000 184.064.835.000 5.347.830.000 2,82338%
7. BPW Suramadu 9.000.000.000 0 9.000.000.000 100%
8. BNPP 129.446.600.000 126.130.648.000 3.315.952.000 2,56164%
9. BPKPB & PB Batam 92.203.788.000 89.830.232.000 2.373.556.000 2,57425%
10. Kemen BUMN 119.371.471.000 119.371.471.000 0 0%
11. Wantannas 5.861.562.000 4.388.722.000 1.472.840.000 25%
47
terhadap keluaran (output)/ sub keluaran
(sub output). Kedua jenis biaya ini
ditentukan oleh sistem pada saat
penginputan data RKA-K/L berdasarkan
Rincian Anggaran Biaya (RAB).
Persentase biaya pendukung
output jasa layanan non-regulasi dari
sebelas K/L yang terpilih sebagai sampel
bervariasi. Persentase terendah yaitu dari
Kementerian Keuangan sebesar 0,51%. Hal
ini sekaligus membuktikan bahwa
Kementerian Keuangan sebagai pembuat
kebijakan berhasil memberikan contoh
kepada K/L lain dalam menerapkan
kebijakan SSB. Selain itu delapan K/L lain
juga berhasil menerapkan kebijakan SSB
dalam RKA-K/Lnya di tahun anggaran 2016
ini. Namun demikian, terdapat satu K/L
yang dalam output-nya tidak terdapat
biaya utama, tetapi hanya biaya
pendukung, yaitu BPW Suramadu.Di
samping itu, terdapat pula K/L yang dapat
dikatakan unik lainnya karena dia hanya
memiliki biaya utama tetapi tidak memiliki
biaya pendukung, yaitu Kementerian
BUMN.
Kejadian pada BPW Suramadu dan
Kementerian BUMN memang
memungkinkan terjadi. Akan tetapi, hal
tersebut perlu menjadi perhatian karena
apabila dinilai secara awam merupakan
sesuatu yang ganjil. Dalam suatu kegiatan
terdapat output yang akan dicapai. Guna
mencapai output tersebut, lazimnya,
diperlukan biaya utama dan biaya
pendukung. Oleh karena itu, menurut
peneliti untuk lebih mendalami perihal
evaluasi pelaksanaan implementasi
kebijakan SSB perlu memperhatikan
apakah output jasa layanan non regulasi
dilakukan selama beberapa tahun
berturut-turut atau tidak. Selain itu juga
penentuan suatu biaya termasuk biaya
utama atau pendukung serta penentuan
kategori output mana yang merupakan
output jasa layanan non-regulasi perlu
mendapatkan pedoman atau patokan yang
lebih jelas.
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Implementasi PMK Nomor
195/PMK.02/2014 tentang Standar
Struktur Biaya yang telah diamanatkan
untuk diterapkan pertama kali pada tahun
anggaran 2016 telah dilaksanakan oleh K/L
dengan baik. Kesimpulan tersebut
diperoleh dari penarikan sampel yang
dipilih menggunakan metode sampling
berstrata dari jumlah populasi 87 K/L. Dari
sebelas K/L yang menjadi sampel output
jasa layanan non-regulasinya berada di
bawah 75% dari seluruh output yang
dimilikinya. Bahkan di beberapa K/L output
jasa layanan non-regulasinya di bawah
50%. Sepuluh K/L telah
mengimplementasikan kebijakan SSB
dengan baik dengan persentase biaya
pendukung terkecil oleh Kementerian
Keuangan sebesar 0,51%. Selain itu
terdapat dua K/L yang memiliki kejadian
unik, yaitu BPW Suramadu yang hanya
memiliki biaya pendukung dan
kementerian BUMN yang hanya memiliki
biaya utama dalam output jasa layanan
non-regulasinya.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil analisis dalam
penelitian ini, masukan yang dapat kami
sampaikan, sebagai berikut.
1. Batasan besaran biaya pendukung
dalam output jasa layanan non-
48
regulasi dapat diturunkan, yang
apabila kebijakan untuk menurunkan
ditempuh maka perlu dilakukan
penentuan besaran batasannya
dituangkan dalam kajian tersendiri.
2. Penerapan Standar Struktur Biaya juga
perlu dipertimbangkan untuk
ditetapkan pada jenis output lainnya
seperti jasa layanan regulasi karena
mengingat persentase jumlah output
jasa layanan non-regulasi berada tidak
lebih dari 75% yang berarti masih ada
peluang inefisiensi dalam hal proporsi
biaya pendukung dari sebuah output
jasa layanan regulasi.
3. Standar Struktur Biaya perlu dilihat
tidak hanya pada output jasa layanan
non-regulasi dalam satu tahun
anggaran, tetapi pada satu kesatuan
alokasi untuk kegiatan yang memiliki
output jasa layanan non-regulasi yang
sama selama beberapa tahun seperti
pada kasus BPW Suramadu.
DAFTAR PUSTAKA
Afiah, Nunuy Nur, 2012, Pengembangan Metode Costing untuk Penguatan Peran K/L dan Peran Strategis DJA dalam Mendukung Implementasi
Penganggaran Berbasis Kinerja yang Berkualitas, Jakarta.
Gay, L.R. dan Diehl, P.L. (1992), Research Methods for Business and Management, New York: MacMillan Publishing Company. (Source:http://www.eurekapendidikan.com/2015/09/defenisi-sampling-dan-teknik-sampling.htmlDisalin dan Dipublikasikan melalui Eureka Pendidikan).
Kahar, Muhardi. (2010). Modul Survei Sampel, Jakarta.
Neuman, W. L. (2007). Basic of Social Research: Qualitative and Quantitative Approaches, Second Edition. Pearson Education, Inc.
PMK Nomor 143/PMK.02/2015 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-K/L dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran.
PMK Nomor 195/PMK.02/2014 tentang Standar Struktur Biaya.
Soejono. 2005. Metode Penelitian Deskriptif. Rineka Cipta: Yogyakarta.
Sukmadinata, Nana Syaodih, 2009, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Zainuddin, M. (2011). Metodologi Penelitian Kefarmasian dan Kesehatan. Surabaya: Airlangga University Press.
49
SINKRONISASI KEBIJAKAN HONORARIUM STANDAR BIAYA DALAM
KERANGKA SINGLE REMUNERASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
Achmad Fauzan Sirat
Email: [email protected]
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penganggaran berbasis kinerja lahir
dari suatu keinginan bahwa
menghubungkan antara alokasi dengan
kinerja pemerintah yang didanai.
Penganggaran berbasis kinerja, dilain
pihak, memiliki sisi-sisi lain sebagai
konsekuensi dari suatu pilihan sistem.
Salah satu konsekuensi ini adalah pilihan
dalam penggajian/kompensasi
berdasarkan kinerja.
Standar biaya sebagai salah satu
instrumen penganggaran berbasis kinerja
memiliki peran penting dalam praktik
penganggaran di Indonesia. Sebagai
sebuah instrumen, standar biaya menjadi
kunci efisiensi baik dalam rangka alokasi
dan pelaksanaan anggaran. Namun
demikian, aspek efisiensi dari sebuah
standar biaya tersebut perlu untuk selalu
ditandingkan dengan efektifitas
pelaksanaan kegiatan yang dialokasikan.
Dengan kata lain, sebagai sebuah pilar
standar biaya memiliki dua sisi
pertimbangan dalam penyusunannya
yakni efisiensi sebagai pertimbangan
utama dan efektifitas sebagai
pertimbangan penyeimbang mengingat
alokasi efisien bukan berarti suatu
pelaksanaan pekerjaan tidak dapat
berjalan efektif dalam menunjang
pencapaian kinerja.
Berkenaan dengan sistem
penggajian, diskusi hangat terjadi
mengenai demarkasi antara honorarium
sebagai produk dari standar biaya dan
remunerasi sebagai bentuk penggajian
kepada pegawai pemerintah. Saat
kebijakan remunerasi digulirkan sejak
tahun 2007 terdapat semangat
menghapuskan praktik pemberian honor
yang tersebar dalam beberapa kegiatan
dan dimasukkan dalam suatu tatanan
penghasilan terintegrasi, dikenal sebagai
single remuneration system. Hal ini,
disadari ataupun tidak, sejalan dengan
prinsip Unified Budget yang
mengitegrasikan pekerjaan proyek dalam
satu managemen dengan pekerjaan rutin.
Namun demikian, dalam praktiknya
masih timbul beberapa honorarium
disamping pemberian remunerasi. Bahkan
demarkasi antara biaya honor dan
remunerasi menjadi tidak terang dan
dirasa cenderung overlap. Kondisi ini
ditimbulkan dari kurangnya keberadaan
kriteria bagaimana suatu kegiatan
membutuhkan tambahan honorarium atau
tidak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, sinkronisasi
dari kebijakan honorarium perlu dilakukan
50
dengan remunerasi dan agar menjadi
komprehensif harus dimulai dari
pembuatan kriteria. Dalam membuat
kriteria perlu pemetaan mengenai
kegiatan dan kajian mendalam mengenai
aspek-aspek apa yang mempengaruhi
sehingga dapat dikelompokkan dengan
baik.
1.3 Tujuan
a. Apa perbedaan antara Honorarium
dan Remunerasi?
b. Aspek-aspek yang
mempengaruhi/perlu
dipertimbangkan pemberian honor?
c. Bagaimana seharusnya pemberian
honor dipetakan dan dikelompokkan?
d. Apakah seharusnya kriteria-kriteria
dapat ditetapkan sebagai patokan
kebijakan honorarium?
2. METODOLOGI PENELITIAN
Kajian ini berupa kajian eksplorasi
berkenaan dengan kerangka kebijakan
honorarium. Kajian eksplorasi ini bagian
dari kajian kualitatif yang mencoba
merangkai suatu kerangka kerja menilai
kelayakan suatu honor atau setidaknya
pengelompokannya. Kajian dilakukan
dengan melakukan kajian pustaka dari
referensi ilmiah yang bereputasi dan
kerangka peraturan yang sudah
diaplikasikan saat ini.
3. LANDASAN TEORI
3.1 Performance-Based Compensation vs
Seniority-Based Compensation
Performance-based compensation
menjadi topik yang sangat hangat sejalan
dengan meningkatkan pemberlakuan
prinsip-prinsip berbasis kinerja yang
diterapkan dalam birokrasi akhir-akhir ini.
Dalam beberapa kajian disebutkan bahwa
pada dasarnya terdapat beberapa
pertimbangan dalam melakukan
performance-based compensation
tersebut terutama dalam menarik talenta
terbaik untuk bekerja di tempat tertentu,
terutama pada bidang pemerintahan (Beth
J. Asch 2015). Terlebih lagi dalam kajian
lain disebutkan bahwa adanya hubungan
yang sangat kuat antara kompensasi yang
didasarkan oleh kinerja dengan
productivitas kerjanya (Paarsch adn
Shearer 1999, 2000: Lazaer 2000; Haley
2003; Badiera Barankay, and Rasul 2005,
2007). Namun demikian disisi lain
pendekatan ini memiliki dampak lain yang
merupakan konsekuensi dari pilihan
kebijakan dimaksud yang berujung pada
hasil yang sebaliknya. Konsekuensi
tersebut terjadi karena sulitnya
pengukuran kinerja individu pegawai,
kehadiran tujuan perusahaan yang
berbagai macam, tarikan atas pengambilan
keputusan dengan berbagai dimensi, serta
adanya kebutuhan yang bervariasi atas
kinerja organisasi.
Gambar 1. Kompensasi trade off antara kinerja dan pengalaman (deffered
compensation)
Pada dasarnya terdapat dua arus
utama sistem kompensasi yang dipakai dan
51
sering diulas dalam beberapa literature,
yakni performance-based compensation
dan seniority based compansation. Secara
konsepsi, performance-based
compensation sangat berbeda dengan
seniority based compansation. Penjelasan
sederhana dapat merujuk pada gambar
diatas. Pendekatan Performance-based
Compensation akan membawa
pembayaran upah pada level yang sama
dengan kinerja yang dicapai. Sedangkan
pada seniority-based compensation upah
yang diberikan akan lebih rendah
dibandingkan kinerja yang dicapai namun
pada seiring dengan berjalannya waktu
(senioritas) tingkat upah akan mendekati
tingkat kinerja dimana pada titik tertentu
akan akan melewati tingkat kinerja
tersebut.
Kedua konsep tersebut memiliki
keunggulan dan kelemahan masing-
masing, dimana performance-based
compensation mengedepankan
current/immediate output sedangkan
seniority-based compensation
mengedepankan steadiness atau
keberlangsungan. Gambar diatas
menjelaskan juga mengenai fenomena
yang dikenal dengan sebutan “deffered
compensation” dimana surplus kinerja
akan dikompensasikan dengan defisit
kinerja dikemudian hari. Berkenaan
dengan hal tersebut, perbedaan mendasar
berkenaan dengan dua konsepsi tersebut
adalah bagaimana kedua konsep tersebut
menangani isu loyalitas dan kestabilan
pendapatan bagi sebuah individu.
Hal yang sangat menarik berkenaan
dengan pay-for-performance adalah
bagaimana konsep ini dapat menggiring
prilaku pekerja kepada hal yang menjadi
indikator utama dalam penentuan besaran
kompensasinya. Shingo Takahashi et.al
(2014) menyatakan bahwa para peneliti
ilmu sosial telah mengenal bahwa kontrak
yang hanya berdasarkan satu indikator
kinerja yang bisa diidentifikasi cenderung
menghasilkan respon yang tidak
semestinya. Sebagai contoh jika salesman
dihargai berdasarkan jumlah
penjualannya, maka dia akan lebih
berfokus pada pekerjaan tersebut tanpa
memperhatikan bahwa salesman tersebut
memiliki tugas lain yakni menchoaching
juniornya. Oleh karena itu, dalam
beberapa hal besaran kompensasi yang
dikaitkan dengan kinerja harus dibuat
dalam proporsi yang tepat. Dengan
demikian konsepsi pay-for-performance
memiliki prasyarat: yakni rumusan kinerja
yang tepat (dengan multi indikator, jika
memungkinkan) dan besaran kompensasi
yang berkaitan dengan kinerja harus
dibuat tidak terlalu jauh (dalam berbagai
referensi 20% atas besaran kompensasi).
Khusus hal yang terakhir, Lazaer
(2000) menyatakan bahwa praktik dalam
sektor privat mengindikasikan pemberian
kompensasi lebih sering tidak secara
explisit terkait dengan indikator kinerja
tertentu, misalnya tingkat penjualan.
Namun lebih pada indikator yang lebih
jelas seperti jumlah jam kerja. Dari sisi
besaran atau jumlah yang dikaitkan
dengan kinerja, menurut Parent (1999)
hanya berkisar 9.4 persen dari semua
pembayaran dibayarkan berdasarkan
kinerja individu seperti tingkat penjualan,
dan 14.2 persen dibayar berupa bonus.
Bahkan dalam beberapa kajian
diindikasikan bahwa disparitas
pendapatan atas top performance dan the
lowest tidak begitu signifikan (Medoff and
52
Abraham, 1980; Baker, jensen, and
Murphy, 1988).
Hal yang menjadi simpulan dari
poin ini setidaknya ada ketiga hal. Pertama
adalah tambahan penghasilan yang
dikaitkan dengan suatu kinerja merupakan
praktik yang lumrah berkenaan dengan
pemberian kompensasi kepada pegawai.
Hal kedua adalah bahwa tambahan
tersebut dapat menjadi pemicu kenaikan
kinerja dan sekaligus penurunan atas
kinerja, mengingat ada tidaknya indikator
yang cukup tepat berkenaan dengan
pemberian kompensasi tersebut. Terakhir
adalah bagaimana besaran tambahan
tersebut tidak terlampau jauh
dibandingkan dengan kompensasi
dasarnya dan diantara rekan sejawat.
3.2 Definisi Berkenaan dengan
kompensasi bagi pegawai
Sebelum membahas lebih jauh,
berikut disampaikan berbagai perspektif
mengenai sistem pemberian kompensasi
dari suatu pekerjaan.
a) Gaji (Payroll) vs tunjangan (fringe benefit)15 dalam Praktik di Dunia Privat
Kompensasi bagi pegawai terdiri
dapat berupa gaji (payroll) maupun
tunjangan (fringe benefit). Pada dasarnya
gaji dan tunjangan merupakan manfaat
yang didapat oleh karyawan atas jasa yang
diberikan pada perusahaan yang memakai
jasanya. Namun terdapat perbedaan
antara keduanya, yakni Gaji adalah
penghasilan utama sedangkan tunjangan
(fringe benefit) merupakan tambahan
penghasilan kepada pegawai. Sejalan
15 Referensi utama: Payroll Accounting ,Acccounting Coach diakses pada tanggal 6/11/2015
dengan hal tersebut Tohardi (2002)
menyatakan bahwa pada dasarnya
kompensasi itu dapat dibagi menjadi dua
bagian: direct compensation dan indirect
compensation.
Selanjutnya menurut Hariandja
(2002) Kompensasi pelengkap merupakan
salah satu bentuk pemberian kompensasi
berupa penyediaan paket benefit dan
program- program pelayanan karyawan,
dengan maksud pokok untuk
mempertahankan keberadaan karyawan
sebagai anggota organisasi dalam jangka
panjang. Dengan perkataan lain
kompensasi pelengkap adalah upaya
penciptaan kondisi dan lingkungan kerja
yang menyenangkan dan tidak secara
langsung berkaitan dengan prestasi kerja.
Jenis-Jenis Gaji/Direct
Compensation:
1. Gaji/Upah: terminologi gaji atau upah
biasanya merujuk pada penerimaan
secara periodik yang menjadi dasar
dari pengupahan, sedangkan gaji
biasanya ditujukan untuk pembayaran
pada bagian “white-collar” dan upah
untuk “blue-collar”.
2. Bonus & Komisi: terminologi ini
merupakan pembayaran tambahan
yang berkaitan dengan suatu kinerja
tertentu, misalnya target penjualan.
3. overtime pay/lembur: terminologi ini
merujuk pada pembayaran atas
kelebihan waktu yang dilakukan
pekerja dalam menyelesaikan
pekerjaannya. Pembayaran overtime
tersebut pada dasarnya tidak
menyeluruh dengan dua hal yang
http://www.accountingcoach.com/payroll-accounting/explanation/2
53
menjadi dasar pertimbangan, yakni:
tanggungjawabnya dan tingkat
pembayarannya.
Jenis-Jenis Tunjangan Fringe
Benefit/Indirect Compensation
1. payroll taxes and costs
o Social Security
o Medicare
o federal income tax
o state income tax
o state unemployment tax
o federal unemployment tax
o worker compensation insurance
2. employer paid benefits
o holidays
o vacations
o sick days
o insurance (health, dental, vision,
life, disability)
o retirement plans
o profit-sharing plans
b) GFS Manual Definition16
Kompensasi pada pegawai adalah
jumlah total remunerasi, baik dalam
bentuk kas maupun natura, yang terutang
pada seseorang dalam hubungan pemberi
kerja dan pekerja sebagai kompensasi dari
pekerjaan yang dilakukan pekerja dalam
suatu period. Sejumlah yang dibayarkan
tersebut merupakan pertukaran atas jasa
karyawan baik tenaga kasar maupun
intelektual yang dilibatkan dalam proses
produksi yang terjadi dalam suatu unit
organisasi. Namun demikian, dalam
kategori ini tidak termasuk dalam
kompensasi kepada karyawan yang
diberikan pada pembentukan barang
modal mengingat hal tersebut akan
16 Government Finance Statistics manual 2014 – Washington, DC: International Monetary Fund, 2014
diperhitungkan sebagai biaya pokok
pembentukan barang modal tersebut.
Selain itu, kompensasi bagi karyawan juga
dikecualikan dari suatu kegiatan dimana
tidak ada hubungan pemberi kerja dan
pekerja, seperti Kontraktor, dan self-
employed outworkers (pekerja
lepas/bukan pegawai tetap).
Demarkasi atas kompensasi pada
pegawai dan klasifikasi dengan tidak
adanya hubungan pekerjaan dapat
dijelaskan pada bagian dalam GFS Manual
sebagai berikut:
- Kompensasi diberikan kepada pekerja
yang bukan merupakan pegawai dari
pemerintah/instansi tertentu harus
dimasukkan sebagai bagian dari belanja
barang
- Hubungan kerja terjadi saat terjadi suatu
perjanjian, baik tertulis maupun tidak,
formal maupun tidak, antara institusi
dan individu, atas kesepakatan kedua
belah pihak, dimana individu pekerja
dimaksud bekerja dengan imbalan
remunerasi baik dalam bentuk uang
ataupun natura.
- Jika seseorang dikontrak untuk
mengerjakan sebuah tugas yang
spesifik, disarankan hal tersebut
dilakukan secara tanpa adanya
hubungan pekerja dan pemberi kerja,
namun dibentuk dalam hubungan
kontraktual antara institusi dan individu
tersebut.
Sebuah indikasi apakah telah
terjadi hubungan pekerja dengan pemberi
kerja dapat dilakukan dengan
menggunakan kaidah sebagai berikut:
54
1. Ada tidaknya pengendalian baik untuk
mengendalikan secara personal atau
untuk mengarahkan bagaimana
pekerjaan dilakukan;
2. apakah seorang pekerja membayar
sendiri sosial contribution yang ada
atau tidak.
3. Apakah seseorang mendapatkan
benefit lain yang diberikan oleh
pemberi kerja kepada pekerjanya
(misalnya: tunjangan, fasilitas,
pembayaran/tunjangan pajak dan lain
sebagainya.)
Beberapa penggunaan barang atau
jasa yang digunakan oleh pemerintah yang
tidak masuk secara langsung dalam proses
produksi namun dikonsumsi oleh pegawai
dalam melaksanakan proses tersebut.
Secara umum, ketika barang atau jasa
digunakan oleh pegawai atas kemauan
atau dalam penguasan waktu mereka
untuk kepentingan/kebutuhan pribadi
pegawai, barang atau jasa tersebut
merupakan remunerasi in kind (dalam
bentuk natura). Namun demikian, ketika
penggunaan barang dan jas tersebut
adalah suatu keharusan agar pegawai
dapat melaksanakan tugasnya, maka hal
tersebut akan diperhitugkan sebagai
penggunaan barang dan jasa atau bukan
bagian dari remunerasi. Contohnya:
1. Alat yang digunakan dalam pekerjaan
2. Pakaian atau alat lain yang konsumen
scara umum tidak akan
menggunakan/membeinya atau
dipakai dan yang digunakan secara
khusu pada saat melakukan kerja for
example, protective clothing, overalls,
or uniforms;
3. Jasa Akomodasi pada tempat kerja
atau tempat sejenisya yang tidak dapat
dimiliki oleh rumahtangga dimana
pekerja menggunakannya: seperti
barak, kabin, dormitori, huts dll.
4. Makanan khusus yang diberikan dan
dibtuhkan secara khusus dalam suatu
kondisi kerja tertentu, pada saat
perjalanan dinas dan pada saat
melakukan pekerjaan.
5. Perubahan fasilitas, kamar mandi dlsb
yang dibutuhkan pada tempat kerja
6. Fasilitas pertolongan pertama,
pemeriksaan kesehatan atau lainnya
yang dibutuhkan pada pekerjaan.
Walaupun pegawai membelinya dan
dilakukan penggantian atas
pembeliaannya nanti, hal tersebut tetap
masuk sebagai bagian dari penggunaan
barang dan jasa, bukan sebagai gaji atau
tunjangan dari pegawai.
Menurut GFS, kompensasi kepada
pegawai baik dalam bentuk kas atau
natura, diluar social contribution payable
for employers, dapat berupa:
a. Gaji Dasar/Hutang Gaji yang dibayar
secara periodik, termasuk pada yang
dibayar atas dasar piece rate atau
tunjangan khusus dari lembur atau
pemberian tunjangan saat bekerja jauh
dari domisili atau pada daerah
berkecamuk atau berbahaya,
tunjangan expatriaton saat bekerja
jauh di luar negeri, dan lain sebagainya.
b. Tunjangan Tambahan (Supplementary
allowances) yang dibayar secara
reguler, contoh tunjangan perumahan,
kecuali social benefit;
c. Gaji/Tunjangan lain pada pegawai yang
pergi dalam waktu singkat, misalnya:
liburan atau cuti;
d. Tunjangan tambahan tahunan, seperti
bonus and “13th month” pay;
e. Bonus Ad hoc atau pembayaran khusus
yang terhubung langsung dengan
55
skema umum pemberian insentif
dalam perusahaan;
f. Komisi, gratifikasi , dan tips yang
diterima oleh pegawai: ini harus
dimasukkan dalam pembayaran untuk
layanan yang diberikan oleh unit
mempekerjakan pekerja, bahkan
ketika mereka dibayarkan langsung
kepada karyawan oleh pihak ketiga.
Mereka dengan demikian dianggap
sebagai dibayar oleh pekerja kepada
karyawan .
Hal ini tidak termasuk :
1. Penggantian perjalanan , relokasi , atau
biaya terkait dibuat oleh karyawan
ketika mereka mengambil pekerjaan
baru atau diwajibkan oleh majikan
mereka untuk memindahkan rumah
mereka ke bagian berbeda negara atau
ke negara lain
2. Penggantian biaya yang dikeluarkan
oleh karyawan pada peralatan,
perlengkapan, pakaian khusus, atau
barang-barang lainnya yang diperlukan
secara eksklusif, atau terutama, untuk
memungkinkan mereka untuk
melaksanakan pekerjaan mereka
mengecualikan manfaat sosial
dibayarkan oleh pemerintah kepada
karyawan mereka dalam bentuk :
3. Anak, pasangan, keluarga, pendidikan ,
atau tunjangan lainnya sehubungan
tanggungan
4. Pembayaran dilakukan pada full , atau
dikurangi , tingkat upah atau gaji untuk
pekerja absen dari pekerjaan karena
sakit , luka karena kecelakaan , cuti
hamil , etc.10
5. pembayaran pesangon kepada pekerja
atau korban mereka yang kehilangan
pekerjaan mereka karena redundansi ,
ketidakmampuan , kematian, dll
Termasuk dalam jenis (natura):
1. Makanan dan minuman yang
disediakan secara teratur, termasuk
unsur subsidi dari kantin kantor (untuk
alasan praktis, tidak perlu untuk
membuat estimasi untuk makanan dan
minuman yang dikonsumsi sebagai
bagian dari aparat hiburan resmi atau
selama perjalanan bisnis)
2. Pakaian atau alas kaki yang karyawan
dapat memilih untuk memakai sering di
luar tempat kerja dan di tempat kerja
3. layanan Perumahan atau akomodasi
dari jenis yang dapat digunakan oleh
semua anggota rumah tangga yang
karyawan milik
4. Layanan kendaraan atau barang tahan
lama lainnya disediakan untuk
penggunaan pribadi karyawan
5. Barang dan jasa yang dihasilkan oleh
majikan, seperti perjalanan gratis di
pesawat terbang atau kereta api
pemerintah
6. Olahraga, rekreasi, atau fasilitas
liburan bagi karyawan dan keluarga
mereka
7. Transportasi ke dan dari tempat kerja,
gratis atau parkir bersubsidi, ketika
dinyatakan harus
8. harus dibayar untuk
9. penitipan anak untuk anak-anak
karyawan
10. Nilai dari bunga oleh majikan ketika
mereka memberikan pinjaman kepada
karyawan di dikurangi atau bahkan nol
tingkat bunga untuk keperluan
membeli rumah, kendaraan, furniture,
atau barang atau jasa lainnya (jumlah
ini juga dicatat sebagai piutang bunga
seperti yang dijelaskan dalam ayat
11. Dalam kasus perusahaan publik, upah
dan gaji dalam bentuk juga dapat
56
mencakup saham bonus atau saham
dibagikan kepada karyawan.
Kontribusi sosial dibayar oleh pengusaha
untuk dana sosial keamanan, dana pensiun
yang terkait dengan ketenagakerjaan, atau
skema asuransi sosial tenaga kerja terkait
lainnya untuk mendapatkan hak untuk
benefit sosial bagi karyawan mereka.
c) Honorarium
Dalam pengertian yang didapat
dari web wikipedia.org, honorarium adalah
pembayaran ex-gratia (yaitu pembayaran
yang dilakukan tanpa adanya keharusan
atau kewajiban hukum dari yang
memberikan) dibuat untuk seseorang atas
jasanya sesuai kapasitasnya selaku relawan
atau untuk jasa yang secara tradisi tidak
diberikan pembayaran. Pembayaran
seperti Ini digunakan oleh kelompok-
kelompok seperti sekolah atau klub
olahraga untuk membayar pelatih untuk
biaya mereka. Contoh lain termasuk
pembayaran untuk pembicara tamu di
sebuah konferensi untuk menutupi
perjalanan , akomodasi, atau waktu
persiapan mereka.
Dengan kata lain dari pengertian
tersebut, kata honorarium mengacu pada
pemberian sebagai bentuk penghargaan
kepada seseorang mengingat biasanya hal
yang dilakukan bukan sesuatu yang
dibayar. Hal inilah yang melandasi
bagaimana standar atas pemberian
penghargaan tersebut tidak terdapat di
pasar.
3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Besarnya Kompensasi
Organisasi atau perusahaan dalam
setiap pemberian kompensasi kepada
karyawan mempunyai beberapa faktor
yang mempengaruhi pemberian
kompensasi.
Menurut Tohardi (2002) faktor-faktor yang
mempengaruhi besar kecilnya kompensasi
antara lain adalah produktivitas,
kemampuan untuk membayar, kesediaan
untuk membayar, penawaran dan
permintaan tenaga kerja, organisasi
karyawan, dan peraturan perundang-
undangan. Senada dengan pendapat
tersebut, Hasibuan (2003) menyebutkan
faktor-faktor yang mempengaruhi
besarnya kompensasi, antara lain sebagai
berikut: Penawaran dan permintaan
tenaga kerja, Kemampuan dan kesediaan
perusahaan, Serikat buruh/Organisasi
karyawan, Pemerintah dengan undang-
undang Keppres, Biaya hidup/Cost of
living, Posisi jabatan karyawan, Pendidikan
dan pengalaman kerja, Kondisi
perekonomian nasional, dan Jenis dan sifat
pekerjaan.
Berdasarkan pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa posisi jabatan
karyawan, jenis pekerjaan yang dilakukan
dan kemampuan perusahaan tersebut
untuk membayar merupakan faktor-faktor
yang mempengaruhi besar kecilnya
pemberian balas jasa dan kompensasi
terhadap karyawan. Dalam konteks
kebutuhan penyusunan standar biaya,
selayaknya posisi dan jenis pekerjaan yang
akan diberikan kompensasi menjadi
perhatian dalam perumusan besaran.
Namun demikian ada hal lain yang tidak
kalah penting yakni bagaimana pemberi
kerja (pemerintah) mampu membayar atas
jasa yang diberikan tersebut. untuk itu,
selain dari posisi penerima, pertimbangan
dari sisi pemberi berupa ketersediaan dana
(fiscal space) harus menjadi perhatian.
57
Secara umum dari beberapa hal
yang menjadi rujukan dalam kajian ini
dapat ditarik beberapa kesimpulan yang
dapat digunakan sebagai kerangka pikir
dalam penetapan honor beserta
besarannya. adapun beberapa kriteria
yang perlu dilakukan sebagai berikut:
1. Pembuatan Klasifikasi Kompensasi
Kepada Pegawai
2. Pengelompokan Kompensasi
3. Formulasi Penghitungan Besaran
4. Penentuan Besaran
Berkenaan dengan hal tersebut,
proposal disampaikan sehubungan dengan
penetapan klasifikasi yang akan menjadi
kerangka pikir dalam kajian ini.
Gambar 2. Kerangka Pikir Single Remunerasi
Terdapat empat kuadran
pemberian pemberi kerja kepada pegawai
yang dapat dijadikan kerangka pikir dalam
pengambilan kebijakan kompensasi.
Adapun empat kuadran tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Gaji
Gaji merupakan pembayaran secara
berkala kepada pegawai sebagai
bentuk imbalan atas jasa yang diterima
dari pegawai. Termasuk didalamnya
adalah pembayaran overtime (lembur).
Dasar filosofi dari gaji adalah segala
sesuatu yang diperjanjikan pada saat
perikatan kerja antara pekerja dan
pemberi kerja. Dalam praktik, gaji tidak
dibedakan baik dibayar harian,
mingguan, bulanan. Hal yang menjadi
pokok untuk mengidentifikasi gaji ada
kesepakatan awal sebelumnya dan
kompensasi apa yang menjadi
imbalannya.
b. Tunjangan
Tunjangan merupakan tambahan
penghasilan pegawai yang diberikan
baik yang dibayarkan bersamaan
dengan gaji ataupun tidak, misalnya
tunjangan istri, tunjangan anak,
tunjangan pajak, tunjangan jabatan
termasuk juga bonus dan komisi.
Tunjangan lebih bersifat optional. Pada
umumnya tunjangan biasanya sejalan
dan dibayarkan atas dasar gaji
pegawai. Hal yang membedakan
adalah proporsi antara keduanya yang
secara umum menempatkan gaji pada
tempat yang lebih besar.
c. Honorarium
Honorarium merupakan pembayaran
yang diberikan kepada seseorang yang
melaksanakan penugasan diluar
kesepakatan kerja awal atau sebagai
pembayaran atas pekerjaan yang
dilakukan tanpa hubungan pekerja dan
pemberi kerja. seperti keanggotaan
dalam tim.
d. Fasilitas
Fasilitas merupakan pemberian sarana
yang diberikan untuk kelancaran dalam
pelaksanaan tugas. Pengertian sarana
dalam hal ini adalah alat yang
digunakan dalam pelaksanaan
tugasnya. Dalam perkembangan, alat
tersebut dapat diberikan dalam uang
untuk kepentingan pelaksanaan tugas.
58
Contoh dari fasilitas adalah kendaraan
operasional, baju seragam, peralatan
kerja dsb.
Konsekuensi dari pengelompokkan
tersebut akan berakibat pada pendekatan
yang perlu dilakukan berkenaan dengan
perumusan kebijakan terkait dengan
segala kompensasi kepada pegawai.
Secara konsepsi penerapan standar biaya
harus mempertimbangkan 3 aspek secara
bersamaan, yakni:
a. Aspek fiskal
Setiap penetapan standar biaya akan
mempengaruhi besaran biaya
dialokasikan dari kemampuan
keuangan daerah yang tersedia
(kapasitas fiskal daerah). Oleh karena
itu, penetapan standar biaya seefisien
mungkin mengingat perubahan
(kenaikan) standar biaya dapat
mengurangi alokasi pada sektor yang
lain.
b. Efektifitas
Setiap standar biaya yang ditetapkan
harus diupayakan agar dapat
membiayai kegiatan secara efektif.
Adanya aspek fiskal tidak berarti
kegiatan akan menjadi tidak terbiayai
secara tuntas. Oleh karena itu,
memastikan standar biaya ditetapkan
pada angka rasional menjadi penting
sebagai salah satu pertimbangan.
c. Efek Sistem
Penetapan standar biaya juga harus
mempertimbangkan keberadaan
satuan biaya lainnya, khususnya satuan
biaya yang dasar perhitungannya atau
jenisnya sama. Hal ini berarti juga pada
saat terdapat perubahan disatu
standar akan berefek secara relatif
pada standar biaya lainnya.
4. PEMBAHASAN
4.1 Kebijakan Honorarium Standar Biaya
dari Tahun ke Tahun
4.1.1 Alokasi Belanja terkait dengan
Penghasilan Pegawai
Alokasi belanja pegawai dari tahun
ke tahun meningkat, seiring dengan
meningkatnya satuan gaji pokok sebanyak
6% selama tahun 2009-2014 dan
pemberian tunjangan kinerja pada
kementerian/lembaga sejak tahun 2008.
Peningkatan total gaji dan tunjangan yang
melekat pada gaji sejak 10 tahun terakhir
beranjak dengan laju peningkatan sebesar
13% selama lima tahun terakhir. Sejalan
dengan hal tersebut peningkatan
tunjangan kinerja juga stabil dengan laju
peningkatan lebih tinggi dengan rata-rata
sebesar 36%.selama lima tahun. Hal yang
menarik adalah penurunan alokasi untuk
honor tetap (seperti honor penilik sekolah,
vakasi dll) serta lembur yang secara
tradisional dikenal dengan tingkat
penurunan rata-rata 26% selama kurun
waktu yang sama. Hal ini menunjukaan
bahwa dalam satu sisi kebijakan
remunerasi telah berhasil mengubah
paradigma alokasi kedalam sistem
penggajian tunggal. Namun disisi lain
kerangka sistem penggajian tunggal mulai
meninggalkan sistem overtime, jika
diperlukan waktu lebih dalam
melaksanakan pekerjaan. Selain itu sistem
lama berkenaan dengan insentif tambahan
juga mulai ditinggalkan. Hal ini tergambar
secara ringkas dalam grafik 1.
59
Grafik 1. Komposisi Belanja Pegawai 2005-2015 (dalam juta)
Grafik 2 menggambarkan
bagaimana perilaku biaya birokrasi terkait
dengan honor atau yang ada kaitannya
dengan penghasilan pegawai selama kurun
waktu 2008-2015. Dalam grafik tersebut,
alokasi yang dimasukkan sebagai
pertimbangan adalah berkenaan dengan
honor tim Adhoc pengelola keuangan,
honor tim terkait dengan output, dan
honor narasumber. Alokasi honor
pengelola keuangan meningkat sejalan
dengan perkembangan jumlah satker dan
ini merupakan mandat tetap atas
pengelolaan keuangan yang ada. Perilaku
biaya ini tidak mengkhawatirkan
mengingat kontrol atas satuan biaya ini
sudah sangat jelas baik dari sisi penerima
maupun jumlah yang dapat diberikan.
Dilain pihak, perkembangan honor terkait
output kegiatan, yakni honor-honor tim
pelaksana kegiatan, berkembang secara
rata-rata 16% selama 5 tahun terakhir
dengan nilai total tertinggi sampai dengan
Rp. 13 trilyun. Hal ini masih cukup tinggi
mengingat semangat penggajian secara
tunggal serasa belum cukup efekif jika
dilihat dari perkembangan atas
pembayaran honor dimaksud.
Terakhir, berkenaan dengan
pembayaran honor narasumber, data
menunjukkan hal yang lebih menarik
mengingat pertumbuhan alokasi
mengalami kenaikan sebesar 33% selama
kurun waktu sama tol dan, secara proporsi,
alokasi pada tahun 2015 sudah mencapai
separuh dari alokasi honorarium tim
pelaksana kegiatan.
60
Grafik 2. Honor Adhoc dan Belanja Honor lainnya (dalam juta)
Dari deskripsi data tersebut diatas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan
remunerasi yang ada selama ini belum
cukup efektif menekan laju pertumbuhan
honor-honor adhoc yang selama ini
berjalan. Hal ini dibuktikan dengan
peningkatan atas gaji serta tunjangan
dengan honor-honor adhoc lainnya.
Kedua, penurunan honor tetap dan lembur
yang selama ini menjadi penghasilan
bersifat variable bagi pegawai diganti
dengan alokasi honor adhoc. Ketiga,
kebijakan honor adhoc dan honor lainnya
sedikit banyak berpengaruh pada perilaku
K/L dalam mengalokasikan dananya,
terutama untuk hal yang bersifat variabel.
4.1.2 Bentuk Rumusan Kebijakan
Honorarium
Kebijakan Honorarium dalam
standar biaya tertuang dalam tiga bentuk
produk, yakni Peraturan Menteri
Keuangan tentang Standar Biaya Masukan
yang dikeluarkan tahunan, Peraturan
Menteri Keuangan yang dikeluarkan
tersendiri berkenaan dengan honorarium
tertentu, dan Surat Persetujuan Standar
Biaya Masukan lainnya. Kebijakan ini
terangkum dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 71/MK.02/2013.
Sedangkan terkait dengan gaji dan
tunjangan (remunerasi) tertuang dalam
produk kebijakan yang berbentuk
Keputusan Presiden. Saat ini, pemrosesan
PMK Standar Biaya dan SBM lainnya
dilakukan pada Direktorat Sistem
Penganggaran sedangkan Keppres
mengenai gaji dan tunjangan diproses
pada Direktorat Harmonisasi Peraturan
Penganggaran.
Perkembangan rumusan kebijakan
honorarium yang tercantum dalam
Peraturan Menteri Keuangan tentang
Standar Biaya Masukan terlihat sangat
dinamis sebagai mana dapat dilihat pada
tabel 1. Baik dari sisi pengelompokannya,
besaran honorariumnya atau bahkan
masuk tidaknya dalam sebuah pengaturan.
Dinamika pengelompokan honor terlihat
dari perubahan atas penempatan jenis
honorariumnya dari tahun ke tahun.
Dinamika juga berlaku pada uraian
penjelasan atas honorarium dimaksud.
Walaupun tidak sedinamis yang lain,
61
besaran honorarium berubah pada
beberapa bagian secara parsial sehingga
perubahan terlihat beragam.
Tabel 1. Daftar Honor SBM dari Tahun ke Tahun No 2016 2015 2014 2013 2012
1. Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan
Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan
Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan
Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan
Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan
2. Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan pada satker yang khusus mengelola belanja pegawai
Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan pada satker yang khusus mengelola belanja pegawai
Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan pada satker yang khusus mengelola belanja pegawai
Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan pada satker yang khusus mengelola belanja pegawai
Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan pada satker yang khusus mengelola belanja pegawai
3. Honor Pengadaan Barang/Jasa
Honor Pengadaan Barang/Jasa
Honor Pengadaan Barang/Jasa
Honor Pengadaan Barang/Jasa/ULP
Honor Pengadaan Barang/Jasa/ULP
4. Honor Perangkat ULP
Honor Perangkat ULP
5. Honor Penerima Hasil Pekerjaan
Honor Penerima Hasil Pekerjaan
Honor Penerima Hasil Pekerjaan
Honor Penerima Hasil Pekerjaan
Honor Penerima Hasil Pekerjaan
6. Honor Pengelola PNBP
Honor Pengelola PNBP
Honor Pengelola PNBP
Honor Pengelola PNBP
Honor Pengelola PNBP
7. Honor Pengelola SAI
Honor Pengelola SAI
Honor Pengelola SAI
Honor Pengelola SAI
Honor Pengelola SAI
8. Honor Pengurus/Penyimpan BMN
Honor Pengurus/Penyimpan BMN
Honor Pengurus/Penyimpan BMN
Honor Pengurus/Penyimpan BMN
Honor Pengurus/Penyimpan BMN
9. Honor Kelebihan Jam Perekayasaan
Honor Kelebihan Jam Perekayasaan
Honor Kelebihan Jam Perekayasaan
Honor Kelebihan Jam Perekayasaan
Honorarium Peneliti
Honor Kelebihan Jam Penelitian
10. Honor Penunjang Penelitian/Perekayasaan
Honor Penunjang Penelitian/Perekayasaan
Honor Penunjang Penelitian/Perekayasaan
Honor Penunjang Penelitian/Perekayasaan
11. Honor Narasumber Honor (Narasumber, Moderator, Pembawa Acara, Panitia, Narasumber LN)
Honor Kegiatan Seminar (Narasumber dan Moderator)
Honor Kegiatan Seminar (Narasumber dan Moderator)
Honor Kegiatan Seminar (Narasumber dan Moderator)
Honor Panitia Seminar
Honor Panitia Seminar
Honor Panitia Seminar
12. Honor Penyuluh Pegawai P3
Honor Penyuluh Pegawai P3
Honor Penyuluh Non Pegawai Negeri
Honor Penyuluh Non Pegawai Negeri
Honor Penyuluh Non Pegawai Negeri
13. Satuan Biaya Operasional Penyuluh
Satuan Biaya Operasional Penyuluh
62
No 2016 2015 2014 2013 2012
14. Honor Rohaniwan Honor Rohaniwan Honor Rohaniwan Honor Rohaniwan
15. Honor Tim Pelaksanan Kegiatan dan Sekretariat Tim pelaksanan Kegiatan
Honor Tim Pelaksanan Kegiatan dan Sekretariat Tim pelaksanan Kegiatan
Honor Tim Pelaksanan Kegiatan dan Sekretariat Tim pelaksanan Kegiatan
Honor Tim Pelaksanan Kegiatan dan Honor Sekretariat Tim pelaksanan Kegiatan
Honor Tim Pelaksanan Kegiatan dan Honor Sekretariat Tim pelaksanan Kegiatan
16. Honor Tim Penyusun Jurnal/Buletin/Majalah/Pengelola Website
Honor Tim Penyusun Jurnal/Buletin/Majalah/Pengelola Website
Honor Tim Penyusun Jurnal/Buletin/Majalah/Pengelola Website
Honor Tim Penyusun Jurnal/Buletin/Majalah/Pengelola Website
Honor Tim Penyusun Jurnal/Buletin/Majalah/Pengelola Website
17. Honor Penyelenggaran Sidang Internasional
Honor Penyelenggaran Sidang Internasional
Honor Penyelenggaraan Sidang Internasional
Honor Penyelenggaraan Sidang Internasional
Honor Penyelenggaraan Sidang Internasional
Honor Penyelenggaraan Workshop Internasional
Honor Penyelenggaraan Workshop Internasional
Honor Penyelenggaraan Workshop Internasional
Biaya Narasumber LN
Biaya Narasumber LN
Biaya Narasumber LN
18. Honor Penyelenggaraan Ujian dan Vakasi
Vakasi dan Honor Penyelenggaraan Ujian
Vakasi dan Honor Penyelenggaraan Ujian
Vakasi dan Honor Penyelenggaraan Ujian
Vakasi Penyelenggaraan Ujian
19. Honor Penyelenggaraan Kegiatan DIKLAT
Honor Pengajar DIKLAT
20. Satuan Biaya Uang Makan ASN
Satuan Biaya Uang Makan ASN
Satuan Biaya Uang Makan PNS
Satuan Biaya Uang Makan PNS
Satuan Biaya Uang Makan PNS
21. Satuan Biaya Uang Lembur dan Uang Makan Lembur
Satuan Biaya Uang Lembur dan Uang Makan Lembur
Satuan Biaya Uang Lembur dan Uang Makan Lembur
Satuan Biaya Uang Lembur dan Uang Makan Lembur
Satuan Biaya Uang Lembur dan Uang Makan Lembur
22. Satuan Biaya Uang Rapat dalam Kantor
Satuan Biaya Uang Rapat dalam Kantor
Satuan Biaya Uang Rapat dalam Kantor
Satuan Biaya Uang Rapat dalam Kantor
Satuan Biaya Uang Rapat dalam Kantor
23. Satuan Biaya Uang Saku Pemeriksaan dalam lokasi perkantoran yang sama
Satuan Biaya Uang Saku Pemeriksaan dalam lokasi perkantoran yang sama
24. Honor Satpam, pengemudi, Petugas Kebersihan dan Pramubakti (per Prop)
Honor Satpam, pengemudi, Petugas Kebersihan dan Pramubakti (per Prop)
Honor Satpam, pengemudi, Petugas Kebersihan dan Pramubakti (per Prop)
Honor Satpam, pengemudi, Petugas Kebersihan dan Pramubakti
Honor Satpam, pengemudi, Petugas Kebersihan dan Pramubakti
Daftar tersebut diatas merupakan
honorarium yang tercantum dalam PMK
SBM dari tahun ke tahun. Jika
dikelompokkan honor-honor tersebut
terdiri dari:
63
1. Honor terkait pejabat terkait pengelola
keuangan/pejabat
pengadaan/kebendaharaan;
2. Honor terkait penelitian (kelebihan
penelitian/perekayasaan dan
penunjang penelitian/perekayasaan)
3. Honor terkait dengan penyuluhan
(honor dan biaya operasional)
4. Honor tim ad hoc (pelaksana
kegiatan/jurnal/majalah/sidang
internasional dll)
5. Honor Penyelenggaraan ujian dan
vakasi
6. Honor terkait Lembur/Uang Makan
Lembur
7. Honor terkait dengan pelaksanaan
Rapat
8. Honor terkait dengan Biaya
Pemeriksaan yang menjadi TUSI
9. Honor terkait dengan perikatan tenaga
kontrak
(satpam/pengemudi/pramubakti/kebe
rsihan)
Pada umumnya honorarium
diformulasikan berdasarkan metode point
factor. Metode ini meliputi identifikasi
variabel yang mempengaruhi bobot
masing-masing posisi dalam jabatan
tertentu dan penentuan dasar perhitungan
besaran. Variable yang diidentifikasi terdiri
dari tanggung jawab, risiko pekerjaan,
kompleksitas pekerjaan, pendidikan formal
yang dibutuhkan dan pangkat/golong
minimal yang dibutuhkan untuk
menduduki jabatan tersebut. Kelima
variabel tersebut nantinya akan menjadi
indeks yang membedakan antara tingkat
jabatan dalam kelompok jabatan tertentu.
Sedangkan terkait dengan dasar
perhitungan, besaran yang diacu adalah
sama untuk satu kelompok jabatan
tertentu. Besaran ini dapat berupa gaji
pokok untuk golongan tertentu, tarif
lembur dan lainnya.
Dari sekian banyak honor yang
tercantum, honor pejabat terkait
pengelolaan
keuangan/pengadaan/kebendaharaan
diformulasikan secara bersamaan
menggunakan metode point factor.
Sedangkan honor lainnya diformulasikan
secara terpisah. Dengan demikian, patut
diduga bahwa konsistensi perhitungan
yang bisa dijaga secara kesisteman tidak
menyeluruh.
Selain kebijakan Honorarium yang
dimasukkan dalam PMK Standar Biaya
Masukan diatas, terdapat beberapa
honorarium yang dikeluarkan dalam
bentuk Standar Biaya Masukan Lainnya.
Adapun kebijakan yang menjadi contoh
dari bentuk ini antara lain: honorarium
dokter internship, pemberian uang
pengamanan bagi petugas Bea dan Cukai.
Kebijakan ini pada umumnya dikeluarkan
dalam bentuk surat persetujuan Menteri
Keuangan atas dasar usulan dari
Kementerian/Lembaga namun demikian
tidak menutup kemungkinan kebijakan ini
diangkat dalam bentuk satu Peraturan
Menteri tersendiri. Bahkan dalam
beberapa hal, kebijakan honorarium yang
dikeluarkan dalam bentuk surat
persetujuan diintegrasikan dengan
kebijakan umum standar biaya masukan
dalam Peraturan Menteri. Perumusan
SBML tersebut terkadang didasarkan atas
perhitungan mandiri pengusul dengan
konfirmasi lebih lanjut atas perhitungan
yang ada.
Hal tersebut diatas menghasilkan
setidaknya dua kondisi yang menjadi risiko
dalam perumusannya, yakni: konsistensi
atas klasifikasi dan konsistensi atas dasar
64
perhitungan. Pada akhirnya, risiko terberat
adalah kebijakan honorarium akan
mengalami penurunan kredibiltas dalam
perumusannya. Untuk mengurangi risiko
tersebut, suatu kriteria yang dapat
menjaga konsistensi atas dua kondisi
dibutuhkan. Klasifikasi dapat dikaitkan
dengan konsepsi pemberian kompensasi
atas pekerjaan secara komprehensif.
Sedangkan dasar perhitungan besaran
akan mengikuti metode yang menjadi
dasar penghitungan pada setiap klasifikasi
yang ada.
4.1.3 Kompleksitas Rumusan Kebijakan
Honorarium
Sebagai konsekuensi atas bentuk
kebijakan yang berbeda beda,
kompleksitas atas Rumusan Kebijakan
Honorarium pun tidak sama. Hal ini dapat
dilihat dari setidaknya dalam tiga indikator,
yakni: baru tidaknya rumusan honorarium,
waktu penyelesaian, dan efek penetapan.
Rumusan kebijakan baru akan berbeda
dengan kebijakan honorarium yang sudah
ada. Hal ini dikarenakan rumusan
kebijakan baru harus mempertimbangkan
dasar perhitungan dari awal, sedangkan
kebijakan yang sudah ada biasanya sudah
lebih stabil dari cara perhitungan dan hal-
hal lain yang menjadi pertimbangan.
Indikator berikutnya adalah
berkenaan dengan waktu penyelesaian.
Panjang pendeknya waktu penyelesaian
rumusan kebijakan dapat mengindikasikan
kompleksnya kebijakan yang akan diambil.
Hal ini dapat terjadi karena luasnya ruang
koordinasi, tidak adanya benchmark, dan
kurangnya pengaturan yang akan menjadi
dasar dari kebijakan.
Sedangkan berkenaan dengan
indikator yang terakhir, efek dari
penetapan merupakan akibat yang muncul
setelah kebijakan ini digulirkan. Pada
beberapa kebijakan, pertimbangan
matang harus benar-benar dilakukan
mengingat dapat saja efek berikutnya dari
kebijakan tersebut adalah berkaitan
dengan penyediaan alokasi dana pada
dokumen anggaran. Sebagai contoh
kenaikan 10% pada tarif uang makan PNS
akan berefek bagi negara setidaknya
tambahan dana 10% dari 4 juta pegawai.
Kompleksitas tersebut semakin
menjadi kendala sekaligus tantangan
mengingat belum ada kriteria yang
disepakati dalam perumusan kebijakan
lebih lanjut. Dilain pihak, kriteria standar
untuk kebijakan honorarium perlu ada
guna adanya kepastian penanganan. Untuk
itu kesepakatan atas kriteria standar dalam
perumusan kebijakan honorarium adalah
sebuah kebutuhan mendasar dalam
kerangka single remunerasi pada
penerapan pengangaran berbasis kinerja.
4.2 Usulan Formulasi Kebijakan Umum
Honorarium Standar Biaya
4.2.1 Evaluasi Rumusan Kebijakan
Honorarium
Sebagaimana dibahas pada bab
sebelumnya, gambaran perumusan
kebijakan honorarium memiliki celah
kebijakan yang perlu segera diisi. Adapun
celah tersebut berkenaan dengan kriteria
perumusan honorarium dalam kerangka
single remunerasi. Kriteria tersebut akan
memperjelas demarkasi antara
kompensasi langsung (direct) dan tidak
langsung (indirect) dalam satu kerangka
kompensasi terhadap pegawai.
65
Secara umum honor-honor
tersebut jika diklasifikasikan dalam
kerangka 4 kuadran menjadi sebagai
berikut:
Gaji Tunjangan
1. Honor terkait pejabat terkait pengelola keuangan/pejabat pengadaan/kebendaharaan;
2. Honor terkait Lembur/Uang Makan Lembur
3. Honor Penyelenggaraan ujian dan vakasi
4. Honor terkait dengan perikatan tenaga kontrak (satpam/pengemudi/pramubakti /kebersihan)
5. Honor terkait penelitian (kelebihan penelitian/perekayasaan dan penunjang penelitian/perekayasaan)
6. Honor terkait dengan penyuluhan (honor)
Honor Fasilitas
1. Honor Tim adhoc (pelaksana kegiatan/jurnal/majalah/sidang internasional dll)
2. Honor terkait penelitian (penunjang penelitian/perekayasaan)
1. Honor terkait dengan penyuluhan (biaya operasional)
2. Biaya Pemeriksaan yang menjadi TUSI
Adapun dasar dalam
pengelompokan tersebut adalah
sebagaimana diulas dalam definisi. Gaji
merupakan pembayaran secara berkala
kepada pegawai yang termasuk
didalamnya pembayaran overtime.
Tunjangan merupakan tambahan
penghasilan yang pada prinsipnya bersifat
optional. Honorarium adalah pembayaran
atas penugasan yang berada diluar dari
kesepakatan kerja awal, bersigat adhoc
dan tidak terus menerus. Sedangkan
fasilitas merupakan pemberian sarana
yang diberikan untuk kelancaran dalam
pelaksanaan tugas.
Termasuk dalam kelompok gaji
adalah honor pejabat pengelola
keuangan/pejabat
pengadaan/kebendaharaan. lembur dan
uang makan lembur, honor
penyelenggaraan ujian dan vakasi, honor
terkait dengan perikatan tenaga kontrak,
honor terkait dengan penelitian, dan honor
terkait dengan penyuluhan. Lembur/uang
makan lembur dan penyelenggara ujian
dan vakasi masuk dalam kategori pertama
mengingat keduanya pada dasarnya
semacam overtime atas pelaksanaan
tugas. Lembur bagi pekerja kantor dan
penyelenggaraan ujian/vakasi bagi
pendidik merupakan pelaksanaan
pekerjaan diluar jam operasional utama.
Pekerja kantor akan bekerja diluar jam
kerja, sedangkan untuk pendidik overtime
terjadi pada saat diluar jam mengajar.
Sedangkan honor yang diberikan pada
pekerja dengan perikatan kontrak dan
Penyuluh masuk pada kategori pertama
karena hal inilah yang menjadi sejatinya
penghasilan utama pekerja atas jasa yang
diberikan.
Dalam kelompok tunjangan
terdapat tidak terdapat dalam peraturan
standar biaya masukan eksisting.
Kelompok honor ini merupakan biasanya
terkait dengan penggunaan tunjangan
secara umum yang biasa dituangkan dalam
peraturan lainnya.
Sebagaimana ketentuan pada
dasarnya yang masuk dalam kategori ini
adalah bagian penugasan diluar
kesepakatan kerja awal (tugas tambahan).
66
Honorarium yang bersifat ad-hoc ini
dimasukkan dalam kategori honorarium
karena pada dasarnya yang diberikan
merupakan bagian yang tidak
terdefinisikan pada saat perikatan
pekerjaan.
Sedangkan untuk klasifikasi
terakhir, honororium terdiri dari Honor
terkait dengan penyuluhan (biaya
operasional), dan Biaya Pemeriksaan yang
menjadi TUSI. Beberapa pengaturan honor
tersebut pada dasar merupakan fasilitas
yang diberikan oleh negara dalam
pelaksanaan tugasnya. Secara substansi
pengaturan dimaksud tidak termasuk
sebagai honor namun pemberian fasilitas
dalam bentuk pertanggung-jawaban
lumpsum. Hal ini sama halnya jika seorang
pegawai diberikan uang transport pada
saat tidak disediakan kendaraan dinas
untuk menuju lokasi penugasan. Biaya
operasional penyuluh dan biaya
pemeriksaan yang menjadi TUSI pada
dasarnya ada fasilitas yang diberikan
negara.
4.2.2 Usulan Formulasi Kebijakan Standar
Biaya
Sehubungan dengan hasil evaluasi
diatas usulan formulasi kebijakan standar
biaya akan berkisar dari pembedaan honor
dan remunerasi dalam kerangka single
remunerasi, aspek-aspek yang
mempengaruhi, pengelompokkan atau
kategorisasi pemberian honor dalam
kerangka single remunerasi dan
standardisasi kriteria pada tiap kelompok.
Bahasan berikut adalah berkenaan dengan
ke-empat faktor tersebut diatas.
17 http://nasional.tempo.co/read/news/2010/01/26/
1) Kerangka Single Remunerasi.
Kerangka Single Remunerasi adalah
kerangka penghasilan dengan
memperhitungkan semua penghasilan
yang diterima oleh seorang pekerja,
atau dengan kata lain dengan sudut
pandang adalah pekerja sebagai
sebuah individu yang dipekerjakan.
Dalam sebuah artikel koran online,
remunerasi merupakan prasyarat
menuju single salary system yang
diartikan bahwa seorang pegawai
hanya mendapatkan gaji dan tunjangan
tanpa perlu mengharapkan lagi honor-
honor yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugasnya17. Untuk itu
pertimbangan dalam formulasi
kebijakan standar biaya harus
memperhitungkan faktor tersebut.
Terdapat setidaknya empat hal yang
perlu dilpertimbangkan dalam
kerangka single remunerasi tersebut,
yakni:
a. apakah suatu pekerjaan merupakan
pekerjaan utama atau pekerjaan
tambahan
b. seberapa banyak waktu yang
dibutuhkan dalam melaksanakan satu
tugas
c. seberapa besar porsi penghasilan
tambahan dibandingkan penghasilan
utama (gaji dan tunjangan) yang
diterima
d. adakah duplikasi pemberian
kompensasi atas pekerjaan antara
pekerjaan utama dan pekerjaan
tambahan
Keempat pertanyaan ini perlu
menjadi standar dalam menilai apakah
063221589/kpk-single-salary-system-bisa-diterapkan-pasca-remunerasi diakses 11/02/2016
67
suatu usulan kebijakan masih dalam satu
kerangka atau tidak. Pertanyaan pertama
berkenaan dengan esensi perikaatan
antara pemberi kerja dan pekerja yang
secara alaminya tidak ada pemberi kerja
yang memberi pekerjaan kepada pekerja
untuk melakukan pekerjaan tambahan.
Perlu diingat perspektif yang dipakai
adalah pekerja tersebut. sehingga
seandainya seseorang diangkat sebagai
pramubakti dalam sebuah satker, bagi
pekerja tersebut, itu adalah pekerjaan
utama. Sehingga atas pekerjaan tersebut
diperoleh imbalan atas jasanya berupa gaji.
Pertanyaan kedua berkenaan
dengan pengujian bagaimana suatu
pekerjaan merupakan pekerjaan
tambahan atau tidak. Jika proporsi waktu
pengerjaan pekerjaan tambahan lebih
besar dibandingkan tugas utama, perlu
dievaluasi yang mana yang pekerjaan
tambahan.
Pertanyaan ketiga berkenaan
dengan aspek psikologis dan keadilan
antara tambahan pekerjaan dan tugas
utama. Sebagaimana merujuk kondisi
multitasking, secara psikologis pekerja
akan cenderung mengerjakan apa yang
lebih menguntungkan dari sisi personal.
Dalam konteks ini, jika penghasilan untuk
tugas tambahan atau tambahan
penghasilan lebih besar maka pekerja akan
cenderung memilih tugas tambahan
tersebut mengingat rewardnya. Hal ini
akan terlabih lagi jika reward yang
diberikan bersifat variable terhadap
pekerjaan. Secara konsepsi, lebih besar
penghasilan tambahan dari pada
penghasilan utama akan merusak konsep
keadilan dalam penggajian.
Terakhir, pertanyaan berkenaan
apakah atas penggajian utama sudah
memperhitungkan pekerjaan tambahan
dimaksud. Sejatinya jika pekerjaan
tersebut masih terkait dengan pekerjaan
utama dapat ditenggarai bahwa pekerjaan
tersebut masih dalam jangkauan pekerjaan
utama. Sebagai contoh, seorang petugas
lalu lintas mengatur lalu lintas pada kondisi
normal atau pada saat kondisi ada
kecelakaan. Kondisi yang lebih
membutuhkan penanganan tidak
membuat pekerjaan tersebut menjadi
pekerjaan tambahan, namun demikian
mengingat dibutuhkan jam kerja lebih
untuk penanganan maka ha tersebut
diperlakukan sebagai lembur atau
overtime dari normal time.
2) Aspek-aspek yang mempengaruhi
besaran dan pemberian honorarium.
Terdapat banyak aspek yang
mempengaruhi besaran dan
pemberian honorarium. Secara prinsip,
besaran honorarium tidak boleh lebih
besar dari gaji dan tunjangan yang
menjadi alasan seseorang
dipekerjakan. Hal ini berdasarkan
konsepsi multasking bahwa pekerja
akan cenderung mengerjakan
pekerjaan yang memberikan reward
tinggi dan mengesampingkan kinerja
yang unrewarded. Perilaku ini akan
berakibat tidak baik secara
keseluruhan organisasi. Hal yang kedua
adalah perlu adanya level sesuai
dengan tanggung jawab pekerjaan.
Seorang superviser atau koordinator
tidak bisa disamakan dengan
subordinatnya, mengingat
kompleksitas dan tanggung jawabnya
berbeda secara hierarki. Untuk itu,
besaran perlu memperhatikan hierarki
tersebut. selain itu, faktor kompetensi
juga harus dipertimbangkan dalam
68
formulasi besaran sehingga top
performer dengan middle performer
berefek. Secara umum kompetensi bisa
dilihat dari berbagai indikator, seperti
pengalaman kerja, pendidikan, atau
hasil evaluasi dari kinerja terdahulu.
Berkenaan bagaimana honorarium
dapat diberikan, kebijakan selayaknya
berfokus pada seberapa mungkin suatu
pekerjaan dikategorikan sebagai
tambahan yang tidak diperhitungkan
dalam kegiatan pekerjaan utama.
Dengan pengembangan dari empat
pertanyaan sebagaimana disampaikan
dalam subbab sebelumnya, perlu
dibuat suatu kategori untuk
kemudahan dan konsistensi kebijakan
standar biaya, khususnya berkenaan
dengan honorarium.
3) Kelompok honor dalam kerangka single
remunerasi.
Sebagaimana beberapa kali diulas,
pengelompokkan kebijakan standar
biaya adalah sesuatu yang penting
untuk formulasi kebijakan berikutnya.
Sebagai usulan kerangka kebijakan
single remunerasi utk formulasi
kebijakan standar biaya, kelompok
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Gaji
Merupakan basis kompensasi yang
diberikan dalam rekrutmen pekerja
b. Tunjangan
Merupakan opsi atas penghasilan
dikaitkan dengan suatu kondisi
tertentu
c. Honorarium
Merupakan tambahan penghasilan
sebagaimana tambahan pekerjaan
diluar tugas utama
d. Fasilitas
Merupakan alat, bahan, akomodasi
atau biaya tambahan yang
diberikan guna mendukung
pelaksanaan pekerajaan
4) Standardisasi kriteria pada tiap
kelompok.
Berkenaan dengan keempat kelompok
kebijakan standar biaya dalam
kerangka single remunerasi, perlu
dibuat kriteria yang standar sebagai
penjelas dari definisi. Adapun kriteria
yang menjadi usulan adalah sebagai
berikut:
a. Gaji
Sebagai basis kompensasi yang
diberikan dalam rekrutmen pekerja
maka kriteria yang perlu ada pada
kategori ini adalah:
- Merupakan penghasilan utama
atas suatu perikatan pekerja
dan pemberi kerja
- Menjadi nilai acuan dalam
pemberian insentif lainnya
- Besaran diformulasikan
multitable
b. Tunjangan
Sebagai sebuah opsi atas
penghasilan dikaitkan dengan
suatu kondisi tertentu kriteria yang
perlu dimasukkan dalam kategori
ini adalah:
- Opsi penghasilan dikaitkan
tunjangan yang berlaku umum
- Berlaku hanya pada beberapa
pegawai dan tidak seluruhnya
c. Honorarium
Sebagai tambahan penghasilan
sebagaimana tambahan pekerjaan
diluar tugas utama kriteria untuk
kategori ini adalah:
- Merupakan kompensasi dari
tugas tambahan
69
- Besaran tidak melebihi
penghasilan utama
- Merupakan kompensasi dari
tugas sekali, besaran mungkin
tidak terkait dengan
penghasilan utama
d. Fasilitas
Sebagai alat, bahan, akomodasi
atau biaya tambahan yang
diberikan guna mendukung
pelaksanaan pekerjaan maka
kriteria pada kategori ini adalah:
- Bukan tambahan penghasilan,
namun penghindar pengurang
gaji dan tunjangan
- Diberikan terkait dengan
pelaksanaan tugas
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Salah satu kunci keberhasilan
sistem penggajian tunggal adalah dengan
konsistensi kebijakan lain terkait dengan
penghasilan pegawai. Secara alamiah,
penghasilan bersifat variable menjadi salah
satu konsekuensi atas pilihan sistem
berbasis kinerja dalam penganggaran.
Untuk itu, peran penting standar biaya
perlu dijaga dengan konsistensi dalam
perumusan kebijakan sebagai sebuah
instrumen dari penganggaran berbasis
kinerja, khususnya berkenaan dengan
perumusan kebijakan honorarium dalam
kerangka single remunerasi. Konsistensi
dalam perumusan kebijakan tersebut
akan meningkatkan kredibilitas rumusan
yang menjadi arti pentingnya standar biaya
dalam penjaga efisiensi pada level mikro.
Kajian eksploratif ini mengusulkan
pendekatan dalam perumusan kebijakan
dimaksud guna mencapai tujuan
konsistensi.
Honorarium dan remunerasi secara
konsepsi berbeda berkenaan apakah
kompensasi tersebut diperoleh atas tugas
utama atau tugas tambahan. Dalam
praktik, terjadi ambiguitas dalam
penggunaannya istilah tersebut sebagai
contoh penyebutan honor satpam
pramubakti yang secara konsepsi
seharusnya masuk sebagai gaji/remunerasi
satpam pramubakti mengingat pekerjaan
tersebut ada pekerjaan utama pada saat
perikatan kontrak. Dengan demikian telah
disampaikan cara-cara pemilhan antara
honorarium dan remunerasi dengan
empat pertanyaan, yakni:
a. apakah suatu pekerjaan merupakan
pekerjaan utama atau pekerjaan
tambahan
b. seberapa banyak waktu yang
dibutuhkan dalam melaksanakan satu
tugas
c. seberapa besar porsi penghasilan
tambahan dibandingkan penghasilan
utama (gaji dan tunjangan) yang
diterima
d. adakah duplikasi pemberian
kompensasi atas pekerjaan antara
pekerjaan utama dan pekerjaan
tambahan
selain empat pertanyaan tersebut
sebagai alat untuk membedakan antara
honorarium dan remunerasi, perlu juga
pengelompokkan atas bentuk lain yang
seolah-olah ada diantara keduanya.
Dengan demikian pengelompokkan
menjadi empat bagian yakni: Gaji,
Tunjangan, Honorarium, dan Fasilitas.
Keempat kelompok ini diupayakan guna
70
menjaga konsistensi kebijakan yang
diambil.
Sejalan dengan pengklasifikasian
tersebut, besaran atas masing-masing
klasifikasi perlu dijaga keseimbangannya.
Bagaimana penghasilan tambahan dijaga
agar tidak lebih besar dari penghasilan
utama demi kepentingan organisasi secara
keseluruhan.
5.2 Rekomendasi
Sebagai rekomendasi, terdapat tiga
hal untuk dipertimbangkan:
a. kebijakan pengelompokan empat
bagian terkait dengan penghasilan
pegawai dapat digunakan sebagai
landasan pengelompokan awal untuk
kebijakan standar biaya.
b. Atas pengelompokan tersebut perlu
penguatan kriteria sebagai rambu-
rambu untuk melakukan formulasi
besaran satuannya.
c. Pengelompokan diatas berkenaan
dengan pekerja yang bekerja secara
tetap pada satu pemberi kerja, atas
satuan biaya penggunaan jasa tenaga
kontrak perlu dilakukan kajian lanjut
guna memperlakukan biaya yang tidak
termasuk dalam kelompok dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
Asch, Beth J. (2005), The Economic Complexities of Incentive Reforms, High-Performance Government: Structure, Leadership, Inscentives, pp.309-379
Becker, Gary (1976). The Economic Approach to Human Behavior. Chicago: University of Chicago Press.
Lazear, Edward (1995). Personnel Economics. Cambridge: MIT Press.
Lazear, Edward (1997). Personnel Economics for Managers: New York: Wiley.
Prendergast, Canice (1999). The Provision of Incentives in Firms, Journal of Economic Literature, Vol.37, No.1 (Mar., 1999), pp.7-63
Sandel, Michael J. (2013), Market Reasoning as Moral Reasoning: Why Economists Should Re-engage with Political Philosophy. Journal of Economic Persctives—volume 27, Number 4—Fall 2013- Pages 121-140
Bahan Bimtek Kebijakan Standar Biaya PMK SBM tahun 2012-2016
71
KAJIAN INDEKSASI
Lies Kurnia Irwanti
Email: [email protected]
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara
mengamanatkan tiga pilar sistem
penganggaran untuk penyusunan angaran
oleh Kementerian negara/Lembaga (K/L).
Ketiga pilar dimaksud yaitu penganggaran
terpadu, Penganggaran Berbasis Kinerja
(PBK) dan Kerangka Pengeluaran Jangka
Menengah (KPJM). KPJM adalah
pendekatan penyusunan anggran
berdasarkan kebijakan, dengan
pengambilan keputusan yang
menimbulkan implikasi anggaran dalam
jangka waktu lebih dari satu tahun
anggaran. Sesuai dengan amanat UU No 17
Tahun 2003, dalam penerapan KPJM, K/L
menyusun prakiraan maju dalam periode
tiga tahun ke depan. Hal tersebut
merupakan keharusan yang dilakukan
setiap tahun, bersamaan dengan
penyampaian RKA-K/L.
Sejalan dengan hal tersebut,
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
71/PMK.02/2013 tentang Pedoman
Standar Biaya, Standar Struktur Biaya, dan
Indeksasi dalam Penyusunan Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga, Indeksasi didefinisikan
sebagai parameter penyesuaian yang
digunakan untuk menghitung kebutuhan
alokasi biaya tahun yang direncanakan dan
prakiranaan maju tahun anggaran
berikutnya yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan. Penerapan indeksasi KPJM
dalam kerangka teknik pembiayaan pada
hakekatnya merupakan aspek mikro dari
penerapan penganggaran yang melebihi
dari satu tahun(KPJM). Penganggaran
dengan KPJM dimaksud dilaksanakan
dengan menggunakan konsep anggaran
bergulir yang dilakukan dengan tiga
instrumen yaitu baseline, new initiative
dan parameter. Angka indeksasi pada
hakekatnya merupakan angka parameter
yang merujuk pada angka perkiraan inflasi
di tahun yang direncanakan 321 ,, ttt yang
dilakukan penyesuaian merujuk kebijakan
atas sebuah output. Pembiayaan dengan
konsep indeksasi KPJM dimaksudkan untuk
memperbaiki kualitas prakiraan maju agar
sejalan prakiraan kebutuhan anggaran,
pada saat perencanaan pembiayaan atas
sebuah output.
Selanjutnya penerpan KPJM
dilakukan dengan penggunaan prakiraan
maju dalam RKA-K/L yang dilakukan
dengan indeks. Proses pendisiplinan
penerapan indeksasi KPJM pada
hakekatnya merupakan bagian dari
pembiayaan atas suatu output yang dalam
KPJM dilakukan dengan merujuk pada
konsep baseline dan new initiative.
Indeksasi dilakukan untuk pembuatan
prakiraan maju (prakiraan kebutuhan
pembiayaan) dari suatu output merujuk
pada klasifikasi dan jenis biaya dari suatu
output. Jenis output yang dimaksudkan
yaitu Indeks Keluaran (Output) barang
infrastruktur, Indeks Keluaran (Output)
72
barang non infrastruktur, Indeks Keluaran
(Output) jasa regulasi dan Indeks Keluaran
(Output) jasa layanan non-
regulasi.Berkenaan dengan kebijakan
tersebut, tulisan ini mencoba
mendokumentasikan bagaimana sebuah
angka indeks KPJM diformulasikan untuk
kepentingan reviu baseline dan angka
penyesuai sebagaimana dimaksudkan
dalam PMK Nomor 71 Tahun 2013.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Pada kajian ini akan menyajikan
pendokumentasian penentuan angka
indeks KPJM dengan menjawab beberapa
pertanyaan berikut ini:
1. Bagaimana metode untuk
memformulasikan angka indeksasi?
dan
2. Berapa angka indeksasi untuk
beberapa jenis output pada RKA-K/L
2018?
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam
kajian ini bertujuan:
1. Menjelaskan metode yang digunakan
untuk memformulasikan angka
indeksasi, dan
2. Menentukan angka indeksasi untuk
beberapa jenis output pada RKA-K/L
2018.
1.3 Pembatasan Masalah
Pada penelitian ini karena
keterbatasan peneliti, maka formulasi
perumusan indeksasi menggunakan hasil
yang telah disusun oleh akademisi, yaitu
Dr. Ir. Uka Wikarya, M.Si.
2. LANDASAN TEORI
2.1 Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga (RKA-
K/L)
Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga (RKA-K/L)
adalah dokumen rencana keuangan
tahunan K/L yang disusun menurut bagian
anggaran K/L. Penyusunan anggaran dalam
dokumen RKA-K/L merupakan bagian dari
penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), selain Rencana
Dana Pengeluaran Bendahara Umum
Negara (RDP-BUN). Secara garis besar,
proses penyusunan RKA-K/L mengatur tiga
materi pokok, yaitu pendekatan
penyusunan anggaran, klasifikasi anggaran
dan proses penganggaran.
2.1.1 Penganggaran Berbasis Kinerja
(PBK)
Sesuai dengan amanat Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, penyusunan anggaran
oleh K/L mengacu kepada tiga pilar sistem
penganggaran, yaitu: Pendekatan
Penganggaran Terpadu, Penganggaran
Berbasis Kinerja (PBK), dan Kerangka
Pengeluaran Jangka Menengah
(KPJM).Pendekatan penyusunan anggaran
tersebut terus mengalami perbaikan dan
penyempurnaan, dan diwajibkan menjadi
acuan bagi pemangku kepentingan bidang
penganggaran dalam merancang dan
menyusun anggaran.
PBK merupakan suatu pendekatan
dalam sistem penganggaran yang
memperhatikan keterkaitan antara
pendanaan dan kinerja yang diharapkan,
serta memperhatikan efisiensi dalam
73
pencapaian kinerja tersebut. Kinerja
merupakan prestasi kerja yang berupa
keluaran (output) dari suatu kegiatan atau
hasil dari suatu program dengan kuantitas
dan kualitas yang terukur. Agar penerapan
PBK dapat dioperasionalkan, PBK
menggunakan instrumen, sebagai berikut:
1. indikator kinerja, merupakan
instrumen yang digunakan untuk
mengukur kinerja,
2. standar biaya, adalah satuan biaya
yang ditetapkan baik berupa standar
biaya masukan dan standar biaya
keluaran maupun standar struktur
biaya sebagai acuan perhitungan
kebutuhan anggaran, dan
3. evaluasi kinerja, merupakan penilaian
terhadap capaian sasaran kinerja,
konsistensi perencanaan dan
implementasi, serta realisasi
penyerapan anggaran.
2.1.2 Kebijakan Indeksasi Sebagai
Bagian Standar Biaya
Pelaksanaan reformasi
penganggaran berdasarkan UU Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
perlu dijaga konsistensi dan kelanjutannya
untuk menjamin terwujudnya
penganggaran yang efektif dan efesien.
Sejalan telah ditetapkannya PP Nomor 90
Tahun 2010 tentang RKA-K/L sebagai revisi
PP 21 Tahun 2004 perlu dilakukan
pemantapan penerapan Penganggaran
Berbasis Kinerja (PBK). Revisi PP dimaksud
diantaranya dilatarbelakangi oleh perlunya
penguatan tentang konsep anggaran
bergulir, penerapan parameter serta
penambahan ketentuan tentang
pengukuran dan evaluasi kinerja. Standar
biaya merupakan instrumen dalam
penyusunan RKA-K/L, dimana bersama
dengan dua instrumen PBK lainnya, yaitu
indikator kinerja dan evaluasi kinerja,
digunakan pemerintah dalam pengelolaan
APBN.
Pada Pasal 5 ayat (3) PP Nomor 90
Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana
Kerja dan Anggaran
Kementerian/Lembaga:
“Penyusunan RKA-K/L menggunakan
instrumen indikator kinerja, standar biaya
dan evaluasi kinerja”
Amanat PMK No. 71/PMK.02/2013
tentang Pedoman Standar Biaya, Standar
Struktur Biaya, dan Indeksasi dalam
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga Pasal 26
bahwa:
“dalam rangka mendukung efisiensi
alokasi biaya dalam penyusunan RKA-K/L,
Menteri Keuangan menetapkan Standar
Struktur Biaya dan Indeksasi.”
Indeksasi sendiri didefinisikan
dalam PMK Nomor 71 Tahun 2013 dalam
Pasal 28 yaitu “indeksasi merupakan alat
yang digunakan untuk penghitungan
kebutuhan anggaran dalam kerangka
pengeluaran jangka menengah.” Indeksasi
digunakan oleh K/L untuk menyusun
penghitungan anggaran dasar (baseline)
dan inisiatif baru. Penggunaan indeksasi
dalam penghitungan anggaran dasar
dilakukan untuk menyesuaikan
perhitungan kebutuhan besaran biaya
keluaran (output) pada tahun anggaran
yang direncanakan dan prakiraan maju
tahun anggaran berikutnya.
2.2 Indeksasi
Penerapan indeksasi KPJM dalam
kerangka costing (teknik perhitungan
74
biaya) merupakan aspek mikro dari
penerapan penganggaran yang melebihi
satu tahun anggaran dengan
menggunakan konsep anggaran bergulir.
Konsep anggaran bergulir tersebut
dilaksanakan dengan tiga instrumen, yaitu
anggaran dasar (baseline), inisiatif baru
dan parameter. Angka indeksasi
merupakan angka parameter yang
merujuk antara lain pada angka perkiraan
besaran inflasi dan kurs di tahun yang
direncanakan 321 ,, ttt . Angka indeksasi
tersebut disusun sesuai klasifikasi output
dan jenis biaya atas sebuah output.
Indeksasi KPJM digunakan untuk
menyusun prakiraan maju/pagu
kebutuhan alokasi biaya suatu dasar
keluaran (output baseline) dan inisiatif
baru pada tahun anggaran yang
direncanakan.
Fungsi utama indeksasi dalam
rangka perencanaan anggaran berupa:
1. Penghitungan pagu kebutuhan alokasi
biaya suatu output pada tahun
anggaran yang direncanakan bagi
dasar output baseline.
2. Penghitungan prakiraan maju tahun
anggaran berikutnya bagi output
baseline dan insiatif baru.
Biaya atas suatu keluaran (output)
terdiri dari biaya utama dan biaya
pendukung. Biaya utama merupakan
komponen pembiayaan langsung dari
pelaksanaan langsung dari pelaksanaan
suatu kebijakan dan berpengaruh
terhadap pencapaian keluaran (output).
Sedangkan biaya pendukung (penunjang)
merupakan komponen pembiayaan yang
digunakan dalam rangka menjalankan dan
mengelola kebijakan.
Penetapan nilai indeksuntuk output
dalam RKA-K/L, dikelompokkan sebagai
berikut:
1. Keluaran (output) Barang, yang terdiri
dari:
a. Output barang infrastruktur, yaitu
output kegiatan yang merupakan
barang berwujud dan atau berupa
jaringan yang diperlukan untuk
jaminan ekonomi sektor publik agar
perekonomian dapat berfungsi
dengan baik. Contoh: jalan, kereta
api, air bersih, bandara, kanal,
waduk, pengolahan limbah, dan
sebagainya.
b. Output barang non infrastruktur,
yaitu output kegiatan yang
merupakan barang baik berwujud
maupun tidak berwujud yang tidak
berupa jaringan yang bukan
termasuk barang infrastruktur.
Contoh: kendaraan, software
aplikasi, dan sebagainya.
2. Keluaran (output) Jasa, yang terdiri dari:
a. Output jasa regulasi/birokrasi, yaitu
output yang dihasilkan dari suatu
kegiatan dalam rangka pembuatan
peraturan atau pendukung
administrasi birokrasi. Bentuk
output tersebut dapat berupa
norma, standar, dan lain-lain.
b. Output jasa layanan non-regulasi,
yaitu output dari suatu kegiatan
yang merupakan layanan dari suatu
instansi pemerintah. Contoh: SP2D,
layanan BOS, dan sebagainya.
Penerapan indeksasi dilakukan
dengan tujuan dapat menghasilkan
perhitungan angka prakiraan maju yang
mencerminkan kebutuhan riil pada saat
pelaksanaannya.Dalam pendekatan KPJM
disampaikan bahwa proyeksi biaya output
75
pada tahun direncanakan disesuaikan
dengan angka indeks, dengan rumusan:
indekskuantitasahoutput arg
Jenis dan besarannya indeks yang akan
ditetapkan terdiri atas:
1. Indeks untuk kebutuhan output
layanan perkantoran belanja pegawai.
2. Indeks untuk kebutuhan output
layanan perkantoran belanja barang.
3. Indeks untuk komponen utama output
barang infrastuktur.
4. Indeks untuk komponen utama output
barang non-infrastruktur.
5. Indeks untuk komponen utama output
jasa regulasi.
6. Indeks untuk komponen utama output
jasa layanan non-regulasi.
7. Indeks untuk komponen pendukung
output barang infrastruktur.
8. Indeks untuk komponen pendukung
output barang non-infrastruktur.
9. Indeks untuk komponen pendukung
output jasa regulasi.
10. Indeks untuk komponen pendukung
output jasa layanan non-regulasi.
2.3 Indeks Harga Konsumen (IHK)
Inflasi merupakan suatu keadaan
perekonomian yang menunjukkan adanya
kecenderungan kenaikan tingkat harga
secara umum. Dikatakan tingkat harga
umum karena barang dan jasa yang ada di
pasaran memiliki jenis dan jumlah yang
beraneka ragam. Sebagian besar dari
harga-harga barang tersebut selalu
meningkat dan mengakibatkan terjadinya
inflasi. Beberapa faktor penyebab inflasi,
yaitu:
1. demand inflation, merupakan inflasi
yang timbul karena meningkatnya
permintaan masyarakat terhadap
barang dan jasa.
2. cost inflation yaitu inflasi yang timbul
naiknya biaya produksi untuk
menghasilkan barang dan jasa.
3. imported inflation, yaitu inflasi yang
timbul karena kenaikan harga barang
impor yang digunakan sebagai baham
mentah produksi di dalam negeri.
4. teori kuantitas yaitu pertambahan
jumlah uang yang beredar di
masyarakat, baik uang kartal maupun
uang giral dan alat pembayaran
lainnya.
Indeks harga adalah salah satu
indikator ekonomi yang secara umum
dapat menggambarkan tingkat
inflasi/deflasi harga barang dan jasa.
Indeks harga merupakan sebuah rataan
dari perubahan harga yang proporsional
pada suatu barang atau jasa tertentu
antara dua periode waktu. Indeks harga
biasa digunakan untuk mengetahui ukuran
perubahan variabel-variabel ekonomi
sebagai barometer keadaan
perekonomian. Indeks hargadi Indonesia
dihitung dengan mengembangkan metode
agregatif tertimbang, yaitu metode
Laspeyres, metode Paasche dan metode
tahun khas. Beberapa macam indeks harga
yaitu:
1. Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah
angka yang menggambarkan
perbandingan perubahan harga
barang dan jasa yang dihitung
dianggap mewakili belanja konsumen,
kelompok barang yang dihitung bisa
berubah-ubah disesuaikan dengan
pola konsumsi aktual masyarakat.
2. Indeks Harga Produsen (IHP) adalah
perbandingan perubahan barang dan
jasa yang dibeli oleh produsen pada
76
waktu tertentu, yang dibeli oleh
produsen meliputi bahan mentah dan
bahan setengah jadi. Perbedaannya
dengan IHK adalah kalau IHP
mengukur tingkat harga pada awal
sistem distribusi, IHK mengukur harga
langsung yang dibayar oleh konsumen
pada tingkat harga eceran. Indeks
harga produsen biasa disebut juga
indeks harga grosir.
3. Indeks harga yang harus dibayar dan
diterima oleh petani. Indeks harga
barang-barang yang dibayar oleh
petani baik untuk biaya hidup maupun
untuk biaya proses produksi, apabila
dalam menghitung indeks dimasukkan
unsur jumlah biaya hipotek, pajak,
upah pekerja yang dibayar oleh petani,
indeks yang diperoleh disebut indeks
paritas. Rasio antara indeks harga
yang harus dibayar oleh petani dengan
indeks paritas dalam waktu tertentu
disebut rasio paritas.
Komoditas barang dan jasa yang
dipilih dalam perhitungan IHK didasarkan
pada Survei Biaya Hidup (SBH)
yangdilakukan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS). Barang dan jasa yang dipilih untuk
disurvei diklasifikasikan menjadi 7
kelompok pengeluaran rumah tangga,
yaitu:
1. bahan makanan,
2. makanan jadi, minuman, rokok, dan
tembakau,
3. perumahan, air, listrik, gas, dan bahan
bakar,
4. sandang,
5. kesehatan,
6. pendidikan, rekreasi, dan olahraga,
serta
7. transpor, komunikasi, dan jasa
keuangan.
Data harga barang dan jasa yang
dikumpulkan adalah harga di tingkat
pedagang eceran dan merupakan harga
transaksi. Observasi harga dilakukan
secara harian, mingguan, dua mingguan
dan bulanan. Dari setiap kota, data harga
dikumpulkan pada beberapa pasar
tradisional maupun pasar modern yang
mewakili harga di kota tersebut. Data dari
masing-masing komoditas diperoleh dari 3
atau 4 outlet dan dikumpulkan langsung
dari pemantauan harga.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian
deskriptif yang menggunakan pendekatan
kuantitatif.
3.2 Objek Penelitian
Objek penelitian adalah data
faktor-faktor penyebab Indeks Harga
Konsumen (IHK).
3.3 Jenis Data
Data merupakan kumpulan
informasi yang diperoleh dari suatu
pengamatan, dapat berupa angka,
lambang atau sifat. Data yang digunakan
merupakan data sekunder, yaitu data yang
diperoleh dari laman Badan Pusat Statistik.
3.4 Metode Pengolahan Data
Pada kajian ini pada prinsipnya
ingin mengetahui berapa angka indeksasi
untuk tahun anggaran 2018. Untuk
menentukan angka indeksasi tersebut
dilakukan dengan proyeksi inflasi melalui
pendekatan ekonometri. Setelah itu angka
inflasi dijabarkan untuk menjadi indeks
77
dari sepuluh jenis output menggunakan
regresi dan solver. Dalam kajian ini data
yang diperoleh diolah menggunakan
bantuan perangkat lunak eviews, minitab,
dan microsoft excel.
4. PEMBAHASAN
4.1 Pemutakhiran Data Faktor
Penyebab Inflasi
Inflasi dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Pada penelitian ini faktor-
faktor yang menyebabkan inflasi
dinamakan variabel independen,
sedangkan untuk inflasinya sendiri
dinamakan variabel dependen. Dalam
rangka untuk mendapatkan angka
indeksasi yang akan digunakan pada tahun
anggaran 2018, akan dilakukan terlebih
dahulu proyeksi inflasi dengan pendekatan
ekonometri. Model untuk
memproyeksikan inflasi diperoleh dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ir.
Uka Wikarya, M.Si. menggunakan model
panel dengan data historis tahun 2007-
2011, model dimaksud yaitu:
iitititi
tt
tt
tiit
GCINVCONS
PElectGAJIPNS
PBBMNER
MCPI
log
loglog
loglog
1loglog
54
32
1
dengan keterangan untuk setiap variabel,
sebagai berikut:
1. CPI (Consumer Price Index): indeks
harga konsumen di provinsi
2. M1: jumlah uang beredar
3. NER (Nominal Exchange Rate): nilai
tukar rupiah terhadap dollar
4. PBBM: harga rata-rata BBM premium
dan solar
5. GAJIPNS: gaji pokok rata-rata PNS
Golongan IIIa
6. PElect: harga listrik rata-rata
7. CONS: PDRB konsumsi rumah tangga
atas dasar harga konstan 2000
8. INV: PDRB pembentukan modal tetap
atas dasar harga konstan 2000
9. GC: PDRB pengeluaran konsumsi
pemerintah atas dasar harga konstan
2000
Berdasarkan model yang diperoleh
tersebut, dilakukan simulasi dengan
bantuan perangkat lunak eviews. Data
yang diperlukan untuk simulasi merupakan
data runtun waktu dari tahun 2011 hingga
2020. Akan tetapi, saat ini sedang berjalan
di tahun 2016, sehingga untuk data dari
tahun 2017 hingga 2020 diperoleh dari
hasil peramalan (forecasting). Metode
peramalan yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu exponential smoothing
yang merupakan salah satu analisis deret
waktu dan merupakan metode peramalan
dengan memberi nilai pembobot pada
serangkaian pengamatan sebelumnya
untuk memprediksi nilai masa depan
(Trihendradi, 2005).Peramalan yang
dilakukan untuk meng-update data
dibantu perangkat lunak minitab.Data-
data yang di-update untuk digunakan
dalam simulasi, yaitu:
1. Data nilai tukar rupiah terhadap dollar.
Data yang digunakan yaitu data
bulanan dari tahun 2001 hingga tahun
2016, kemudian hasil peramalannya
untuk bulan Desember 2016.
Selanjutnya yang dimasukkan dalam
simulasi adalah rata-rata di tahun
2016.
2. Data tarif listrik rata-rata (rupiah per
KWH). Data yang digunakan adalah
data tarif listrik bulanan yang
kemudian dirata-rata untuk
mendapatkan data tahunan.
78
3. Kenaikan gaji PNS (dalam %). Terkait
kebijakan pemerintah sejak tahun
2016 tidak terdapat kenaikan gaji PNS,
maka untuk update data kenaikan gaji
PNS diisi 0%.
4. Jumlah uang beredar. Untuk data
tahun 2016, diramalkan dulu jumlah
uang beredar untuk bulan Desember
2016, karena data yang tersedia dari
BPS adalah data bulanan. Setelah
didapatkan data bulan Desember
2016, selanjutnya dirata-rata selama
tahun 2016 untuk meng-update data
M1 di tahun 2016 untuk simulasi.
5. Rata-rata harga BBM transportasi
bersubsidi. Data yang digunakan yaitu
data terkini harga premium dan solar
di tahun 2016 kemudian dirata-rata.
Data yang telah di-update tersebut
kemudian dijalankan program simulasi
yang telah dibuat oleh Dr. Ir. Uka Wikarya,
M.Si. dengan kombinasi bantuan
perangkat lunak microsoft excel dan
eviews. Data asumsi faktor penyebab
inflasi yang telah di-update tersaji seperti
dalam tabel berikut.
Tabel 4.1 Data Asumsi Faktor Penyebab Inflasi
Tahun Nilai Tukar Tarif Listrik Gaji PNS (%) Uang Beredar BBM
2011 8.776 700 10 634.788 4.500 2012 9.384 725 10 758.404 4.500 2013 10.459 798 6 842.934 6.065 2014 11.869 1.528 6 905.441 8.138 2015 13.389 1.506 6 999.281 7.255 2016 13.277 1.402 0 1.113.999 6.079 2017 13.428 1.536 0 1.207.058 6.021 2018 13.857 1.632 0 1.298.355 6.256 2019 14.285 1.729 0 1.389.651 6.490 2020 14.713 1.826 3 1.480.947 6.724
4.2 Angka Proyeksi Inflasi dan Indeksasi
Indeks harga merupakan salah satu
indikator ekonomi yang secara umum
dapat menggambarkan tingkat inflasi
harga barang dan jasa. Oleh karena itu,
angka proyeksi inflasi yang diperoleh dari
hasil simulasi akan dijabarkan menjadi
angka indeks untuk kesepeuluh jenis
output yang ada di dalam RKA-K/L guna
menjadi baseline.
Angka proyeksi inflasi yang
diperoleh dari hasil simulasi untuk tahun
2018 yaitu 4,13%. Sebagai pembanding,
pada sasaran inflasi untuk tahun 2018 yang
ditetapkan melalui PMK
Nomor93/PMK.011/2014 adalah sebesar
3,5% dengan deviasi sebesar 1%. Angka
proyeksi inflasi tersebut dijabarkan pada
komponen-komponen yang membentuk
angka inflasi global untuk tahun yang akan
diproyeksikan (2018). Langkah-langkah
menjabarkan ke dalam tujuh komponen,
sebagai berikut:
1. Ambil data realisasi rincian inflasi per
kategori barang menurut kelompok
pengeluaran selama 10 tahun terakhir,
yaitu:
79
Tabel 4.2 Data Inflasi Menurut Kelompok Pengeluaran
Sumber: BPS, 2016
2. Estimasikan koefisien yang menjadi bobot dari masing-masing komponen menggunakan program microsoft excel dengan memilih menu “data analysis”, “regression” selanjutnya masukkan variabel dependen di kolom y dan variabel independen di kolom x.
Tabel 4.3 Koefisien Regresi Setiap
Variabel
3. Estimasikan nilai inflasi dari setiap komponen dengan nilai proyeksi inflasi. Hal ini dilakukan dengan bantuan microsoft excel pada menu “data” kemudian “solver” dan masukkan “value of” sesuai dengan angka proyeksi inflasi yaitu 4,13 kemudian klik “solve”.
Tabel 4.4 Nilai Proyeksi Inflasi Tiap Komponen di Tahun 2018
TahunBahan
Makanan
Makanan
Jadi,
Minuman,
Rokok, dan
Tembakau
Perumahan,
Air, Listrik,
Gas, dan
Bahan Bakar
Sandang Kesehatan
Pendidikan,
Rekreasi
dan
Olahraga
Transpor,
Komunikasi,
dan Jasa
Keuangan
Umum
2016 5,17 4,90 1,72 3,53 3,58 2,68 -1,82 2,59
2015 4,93 6,42 3,34 3,43 5,32 3,97 -1,53 3,35
2014 10,57 8,11 7,36 3,08 5,71 4,44 12,14 8,36
2013 11,35 7,45 6,22 0,52 3,70 3,91 15,36 8,38
2012 5,68 6,11 3,35 4,67 2,91 4,21 2,20 4,30
2011 3,64 4,51 3,47 7,57 4,26 5,16 1,92 3,79
2010 15,64 6,96 4,08 6,51 2,19 3,29 2,69 6,96
2009 3,88 7,81 1,83 6,00 3,89 3,89 -3,67 2,78
2008 16,35 12,53 10,92 7,33 7,96 6,66 7,49 11,06
2007 11,26 6,41 4,88 8,42 4,31 8,83 1,25 6,59
Coefficients Standard Error
Intercept 0,009667984 0,146960465
X Variable 1 0,221371715 0,00941045
X Variable 2 0,162419423 0,017175724
X Variable 3 0,297458447 0,047206679
X Variable 4 0,064860965 0,015004597
X Variable 5 -0,0344791 0,038677624
X Variable 6 0,111752692 0,014645502
X Variable 7 0,161646792 0,011229772
Cell Name Original Value Final Value Integer
$O$17 Bahan Makanan 4,412960999 4,412960999 Contin
$O$18 Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau 3,237769543 3,237769543 Contin
$O$19 Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar 5,92972107 5,92972107 Contin
$O$20 Sandang 1,292978659 1,292978659 Contin
$O$21 Kesehatan 0 0 Contin
$O$22 Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga 2,227747425 2,227747425 Contin
$O$23 Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan 3,222367553 3,222367553 Contin
80
4. Besaran indeks ditetapkan dalam
penghitungan prakiraan maju pada
output:
a. Indeks Keluaran (Output) barang
infrastruktur;
b. Indeks Keluaran (Output) barang
non infrastruktur;
c. Indeks Keluaran (Output) jasa
regulasi; dan
d. Indeks Keluaran (Output) jasa
layanan non-regulasi.
5. Nilai indeksasi tiap komponen
dimasukkan dalam tabel per output
dan koefisien regresi yang didapatkan
dijadikan sebagai bobot. Nilai indeks
untuk setiap komponen diperoleh dari
hasil perkalian bobot dengan estimasi
nilai inflasi tiap komponen di tahun
2018, kemudian ditambahkan
konstanta. Untuk lebih jelasnya
disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 4.5 Jenis Output dan Bobot Tiap Komponen
6. Guna kebutuhan penyesuaian angka
dasar (baseline) untuk tahun anggaran
2018, besaran indeksasi yang dapat
disarankan, yaitu:
Tabel 4.6 Besaran Indeks untuk Tiap
Jenis Output
Berdasarkan hasil penjabaran nilai
proyeksi inflasi telah diperoleh indeks
untuk masing-masing jenis output.
Beberapa jenis output memiliki nilai indeks
melebihi nilai proyeksi inflasi, yaitu
komponen utama output barang
infrastruktur (5,13) dan output barang
non-infrastruktur (4,72). Jenis output
lainnya baik yang merupakan komponen
utama dan pendukung memiliki nilai
indeks sama dengan nilai proyeksi inflasi,
yaitu 4,13.
5. PENUTUP
5.3 Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang telah
dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Indeksasi dilakukan untuk pembuatan
prakiraan maju (prakiraan kebutuhan
pembiayaan) dari suatu output
merujuk pada klasifikasi dan jenis
biaya dari suatu output. Nilai indeks
yang diperolehakan digunakan untuk
kepentingan reviu baseline dan angka
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Layanan Perkantoran Belanja Pegawai 0,221 0,162 0,297 0,065 -0,034 0,112 0,162
Layanan Perkantoran Belanja Barang 0,221 0,162 0,297 0,065 - 0,112 0,162
Komponen Utama Keluaran Barang Infrastruktur - - 0,700 - - - 0,300
Komponen Utama Keluaran Barang Non-Infrastruktur - 0,200 0,550 - - - 0,250
Komponen Utama Keluaran Jasa Regulasi 0,221 0,162 0,297 0,065 -0,034 0,112 0,162
Komponen Utama Keluaran Jasa Non-Regulasi 0,221 0,162 0,297 0,065 -0,034 0,112 0,162
Komponen Pendukung Keluaran Barang Infrastruktur 0,221 0,162 0,297 0,065 -0,034 0,112 0,162
Komponen Pendukung Keluaran Barang Non-Infrastruktur 0,221 0,162 0,297 0,065 -0,034 0,112 0,162
Komponen Pendukung Keluaran Jasa Regulasi 0,221 0,162 0,297 0,065 -0,034 0,112 0,162
Komponen Pendukung Keluaran Jasa Non-Regulasi 0,221 0,162 0,297 0,065 -0,034 0,112 0,162
Proporsi KomponenJenis Output
Layanan Perkantoran Belanja Pegawai 4,130
Layanan Perkantoran Belanja Barang 4,130
Komponen Utama Keluaran Barang Infrastruktur 5,127
Komponen Utama Keluaran Barang Non-Infrastruktur 4,724
Komponen Utama Keluaran Jasa Regulasi 4,130
Komponen Utama Keluaran Jasa Non-Regulasi 4,130
Komponen Pendukung Keluaran Barang Infrastruktur 4,130
Komponen Pendukung Keluaran Barang Non-Infrastruktur 4,130
Komponen Pendukung Keluaran Jasa Regulasi 4,130
Komponen Pendukung Keluaran Jasa Non-Regulasi 4,130
Jenis Output Indeks
81
penyesuai sebagaimana dimaksudkan
dalam PMK Nomor 71 Tahun 2013.
2. Indeks harga merupakan salah satu
indikator ekonomi yang secara umum
dapat menggambarkan tingkat inflasi
harga barang dan jasa. Oleh karena
itu, dalam merumuskan indeksasi
terlebih dahulu diproyeksikan nilai
inflasi dengan menggunakan variabel-
variabel penyebab inflasi.
3. Model yang digunakan untuk
memproyeksikan inflasi, yaitu:
iitititi
tt
tt
tiit
GCINVCONS
PElectGAJIPNS
PBBMNER
MCPI
log
loglog
loglog
1loglog
54
32
1
Dari model dimaksud, diperoleh angka
proyeksi inflasi untuk 2018 sebesar
4,13%.
4. Untuk dapat digunakan sebagai angka
indeksasi, nilai proyeksi inflasi
dijabarkan lebih lanjut dengan
menggunakan regresi dan solver di
microsoft excel.
5. Angka indeksasi untuk masing-masing
jenis output diperoleh seperti pada
tabel 4.6.
5.4 Saran
Berdasarkan kajian yang telah
dilakukan, beberapa masukan yang dapat
kami sampaikan, sebagai berikut:
1. Perlu meninjau kembali pemutakhiran
data asumsi yang digunakan dalam
membentuk rumusan model untuk
memproyeksikan inflasi dengan
berkoordinasi dengan Badan Pusat
Statistik (BPS).
2. Pembobotan untuk merumuskan
indeksasi pada masing-masing
komponen memungkinkan
dikembangkan pada metode dan
proporsi komponen yang lebih tajam.
DAFTAR PUSTAKA
Ardra. 2016. Jenis-jenis, Sifat, Sebab, dan
Asal Inflasi (diakses pada 13
Desember 2016
https://ardra.biz/ekonomi/ekonomi-
makro/jenis-sifat-sebab-dan-asal-
inflasi/)
Badan Pusat Statistik. 2016. Jakarta. Laman
https://www.bps.go.id/
Cladi, Emha. 2012. Makalah Inflasi dan
Indeks Harga. Barru. (diakses pada 13
Desember 2016
https://emhaclady.wordpress.com/
2012/03/08/makalah-inflasi-dan-
indeks-harga/)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
71/PMK.02/2013tentang Pedoman
Standar Biaya, Standar Struktur
Biaya, dan Indeksasi dalam
Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga.
PMK Nomor 143/PMK.02/2015 tentang
Petunjuk Penyusunan dan
Penelaahan RKA-K/L dan
Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran.
Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun
2010 tentang Penyusunan Rencana
Kerja dan Anggaran
Kementerian/Lembaga.
Trihendradi, C. 2005. SPSS 13: Step by Step
Analysis Data Statistik. Andi Offset:
Yogyakarta.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara.
82
METODE MONITORING DAN EVALUASI STANDAR BIAYA KELUARAN
Niken Ajeng Lestari
Email: [email protected]
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Berdasarkan ketentuan pasal 24
ayat (1) PMK No.71/PMK.02/2013 tentang
Pedoman Standar Biaya, Standar Struktur
Biaya, dan Indeksasi dalam Penyusunan
RKA K/L, Kementerian Keuangan dan/atau
K/L diamanatkan untuk melaksanakan
monitoring dan evaluasi (monev)
penerapan standar biaya keluaran (SBK)
sesuai dengan kewenangannya. Hingga
saat ini, baik dalam pelaksanaan tugas
kebijakan standar biaya maupun monev
penganggaran, belum dilakukan monev
yang berkenaan dengan standar biaya yang
dalam hal ini adalah SBK. Di sisi lain, saat ini
juga belum terdapat pengaturan yang
menetapkan atau menjelaskan lebih rinci
aspek apa saja yang perlu untuk dimonev.
Monev SBK perlu dilaksanakan
karena selain sebagai bentuk pelaksanaan
peraturan perundang-perundangan, juga
penting untuk dilaksanakan dalam rangka
perbaikan kebijakan penganggaran yang
menjadi tugas utama dari Ditjen Anggaran.
Selain itu hasil monev juga menjadi bahan
pertimbangan dalam menyusun dan
menetapkan SBK di tahun anggaran
berikutnya sebagaimana diamanatkan
dalam pasal 24 ayat (3) PMK
No.71/PMK.02/2013.
Pelaksanaan monev SBK berperan
penting dalam hal pengembangan
kebijakan standar biaya terutama karena
hingga saat ini SBK dianggap kurang
penting dan kurang bermanfaat bagi
beberapa kementerian negara dan
lembaga (K/L). Monev SBK menjadi salah
satu alat untuk menampung berbagai kritik
dan saran dari K/L yang terkait dengan
pelaksanaan kebijakan SBK. Selain itu,
berdasarkan amanat pasal 24 ayat (2) PMK
No.71/PMK.02/2013, monev SBK
dilakukan meliputi realisasi anggaran dan
komponen/tahapan dari SBK.
Berdasarkan beberapa hal yang
telah disebutkan di atas, dalam studi ini
akan dikaji konsep monev SBK yang dinilai
paling tepat atau yang dapat dilaksanakan
dan sesuai dengan tujuannya. Metode
yang digunakan dalam menyusun kajian ini
adalah kualitatif deskriptif dengan
menggali informasi dari berbagai sumber
dan proses wawancara dan diskusi untuk
memperoleh informasi lebih lengkap.
1.2 Tujuan penelitian
1. Mengetahui aspek-aspek dalam
monev SBK
2. Mengetahui indikator dari setiap
aspek dalam monev SBK
3. Mengetahui tahapan monev SBK
1.3 Pertanyaan penelitian
1. Apa saja aspek-aspek dalam monev
SBK?
2. Apa saja indikator penilaian dari setiap
aspek dalam monev SBK?
3. Bagaimana tahapan monev SBK?
83
2. TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Kebijakan Penganggaran dan Standar
Biaya
Dalam penjelasan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, terdapat 3 (tiga) pilar yang
diperlukan dalam sistem penganggaran,
yaitu penganggaran terpadu (unified
budget), kerangka pengeluaran jangka
menengah (meduim term expenditure
framework) dan penganggaran berbasis
kinerja (performance based budgeting).
Dalam rangka mewujudkan PBK, sesuai PP
No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan
RKA K/L, diperlukan adanya 3 instrumen
yaitu: indikator kinerja, standar biaya, dan
evaluasi kinerja.
PBK merupakan suatu pendekatan
penganggaran yang bertujuan untuk
meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan
efektivitas dengan menekankan bahwa
setiap penggunaan uang negara
(anggaran) harus mempunyai nilai manfaat
yang terukur bagi peningkatan kehidupan
masyarakat (value of money). Dengan
demikian, setiap perencanaan anggaran
harus dapat dijelaskan hubungan antara
biaya yang dibutuhkan dengan ekspekasi
hasil yang akan dicapai dalam pengeluaran
pemerintah, yang mana kegiatan
(activities) yang dibiayai harus
menghasilkan keluaran (output). Pada
akhirnya, gabungan dari beberapa
keluaran kegiatan dalam suatu program
akan mendukung pencapaian hasil
(outcome) yang diinginkan.
Dalam mewujudkan PBK, sistem
penganggaran diimplementasikan melalui
RKA K/L terdiri dari program, kegiatan, dan
keluaran. Kontrak kinerja masing-masing
K/L diukur pada tataran keluaran kegiatan.
Pendekatan PBK diterapkan dengan cara
mengubah pola penganggaran dari
berbasis masukan (input based) ke
berbasis keluaran (output based) dan
berbasis hasil (outcome based). Sejalan
dengan hal itu, kebijakan standar biaya
keluaran yang difungsikan sebagai tulang
punggung penerapan PBK juga mengalami
beberapa perubahan, antara lain sebagai
berikut:
1. Pengalokasian anggaran berdasarkan
rencana pencapaian keluaran
(output)/sub keluaran (sub output)
kegiatan yang mempunyai keterkaitan
dengan pelaksanaan tugas dan fungsi
satuan kerja yang melekat pada
struktur organisasi K/L (money follow
function);
2. Fleksibilitas dalam memilih sumber
data guna mencapai efisiensi dengan
tetap menjaga akuntabilitas (let
manager manage);
3. Orientasi pada capaian keluaran
sesuai hasil yang diinginkan (output
and outcome oriented); dan
4. Fokus pada maksimalisasi hasil atas
penggunaan dana.
Di sisi lain, dalam penerapan PBK, SBK
memiliki beberapa manfaat diantaranya
adalah:
1. Memperbaiki kualitas perencanaan;
2. Mempercepat penyusunan dan
penelahaan RKA K/L; dan
3. Memudahkan pelaksanaan
monitoring dan evaluasi dalam
pencapaian keluaran (output).
1.2 Standar Biaya Keluaran (SBK)
SBK adalah besaran biaya uang
ditetapkan untuk menghasilkan keluaran
84
(output)/sub keluaran (sub output). SBK
dapat terdiri atas.
1. Indeks biaya keluaran yaitu SBK untuk
menghasilkan satu volume keluaran
(output), dan
2. Total biaya keluaran adalah SBK untuk
menghasilkan total volume keluaran
(output).
Penyusunan SBK dilakukan pada level
keluaran (output)/sub keluaran (sub
output) yang menjadi tugas dan fungsi K/L.
Keluaran (output)/sub keluaran (sub
output) yang dapat diusulkan menjadi SBK
mempunyai beberapa kriteria yaitu.
1. Bersifat berulang
2. Mempunyai jenis dan satuan yang
jelas serta terukur, dan
3. Mempunyai komponen/tahapan yang
jelas.
SBK dalam proses penganggaran
berfungsi sebagai.
1. Batas tertinggi yang besarannya tidak
dapat dilampaui,
2. Referensi penyusunan prakiraan maju,
3. Bahan penghitungan pagu indikatif
K/L, dan/atau
4. Referensi penyusunan SBK untuk
keluaran (output) sejenis pada K/L
yang berbeda.
Di sisi lain, dalam rangka pelaksanaan
anggaran, SBK berfungsi sebagai estimasi
yaitu prakiraan besaran biaya yang dapat
dilampaui, antara lain karena perubahan
komponen/tahapan dan/atau penggunaan
standar biaya yang dipengaruhi harga
pasar.
SBK berlaku untuk
beberapa/seluruh K/L yang penetapannya
oleh Menkeu dengan terlebih dahulu
berkoordinasi dengan K/L, atau juga
berlaku untuk satu K/L tertentu yang
penetapannya oleh Menkeu berdasarkan
usulan dari pimpinan K/L atau pejabat yang
berwenang dengan mengatasnamakan
pimpinan K/L. Dalam penyusunan SBK,
diperlukan adanya komponen/tahapan
dengan tujuan untuk mengetahui.
1. Proses pencapaian keluaran/sub
keluaran yang akan dihasilkan,
2. Relevansi terhadap pencapaian
keluaran/sub keluaran, baik terhadap
volume maupun kualitasnya,
3. Keterkaitan dan kesesuaian antar
tahapan dalam mendukung
pencapaian keluaran/sub keluaran.
Secara umum, komponen/tahapan dalam
pencapaian suatu keluaran/sub keluaran
menggambarkan pelaksanaan fungsi
manajemen yang terdiri dari.
1. Perencanaan (planning),
2. Pengorganisasian (organizing),
3. Pelaksanaan (actuating), dan
4. Monitoring, evaluasi, dan pelaporan
(controlling).
1.3 Konsep Monitoring dan Evaluasi
Disarikan dari Subarsono dalam
situs Sekretariat Kabinet, evaluasi
kebijakan adalah kegiatan untuk menilai
tingkat kinerja suatu kegiatan. Evaluasi
baru dapat dilakukan kalau suatu kebijakan
sudah berjalan cukup waktu. Sedangkan
monitoring dan evaluasi menurut Kusek
dan Rist (2004: 1) merupakan alat
manajemen publik yang dapat digunakan
oleh pembuat kebijakan dan pembuat
keputusan untuk mengetahui
perkembangan dan menunjukkan
pengaruh dari proyek, program, atau
kebijakan tertentu.
85
2. METODOLOGI PENELITIAN
Kajian ini disusun dengan
menggunakan metode kualitatif berupa
telaah pustaka, antara lain: peraturan
perundang-undang terkait dan sumber
lainnya yang relevan dengan materi kajian.
3. PEMBAHASAN
3.1 Aspek-Aspek dalam Monev SBK
Berdasarkan amanat PMK
No.71/PMK.02/2013, monev SBK meliputi
realisasi anggaran dan
komponen/tahapan. Selain itu, terdapat
aspek lain yang penting untuk dimonev
terkait dengan SBK yaitu aspek konsistensi
dan pelaksanaan SBK. Berikut akan
diuraikan hal-hal yang lebih rinci dari 4
aspek yang perlu dimonev dalam SBK.
1. Realisasi Anggaran
Aspek realisasi anggaran dalam
kaitannya dengan monev SBK ialah
membandingkan antara besaran SBK yang
ditetapkan, alokasi SBK dalam RKA K/L, dan
realisasi SBK. Berikut ilustrasi dari monev
yang terkait dengan aspek realisasi
anggaran (Gambar 1).
Gambar 1. Ilustrasi Monev SBK dari Aspek Realisasi Anggaran
Aspek ini penting untuk dimonev
dalam rangka untuk mengetahui antara
kebutuhan yang sebenarnya dari suatu SBK
yang telah ditetapkan. Di sisi lain, akan
diketahui beberapa perilaku biaya suatu
K/L terhadap kebijakan SBK dalam proses
perencanaan dan pelaksanaan
anggarannya. Ilustrasi sebagai berikut akan
memberikan beberapa analisis mengenai
perilaku K/L terkait SBK.
Contoh kasus:
PMK SBK telah ditetapkan satuan biaya
untuk menghasilkan 1 output A sebesar Rp
100juta. Pada RKA K/L, alokasi output A
adalah sama sebesar Rp 100juta, namun
pada suatu waktu, K/L tersebut melakukan
revisi anggaran yang menyebabkan sisa
dana untuk output A hanya sebesar Rp
50juta dan sisanya digeser untuk output
lainnya.
Berdasarkan ilustrasi tersebut di
atas, tentu saja terdapat pro dan kontra
terhadap hal tersebut. Analisis yang dapat
diperoleh dari kasus tersebut diantaranya
adalah.
a. Hal tersebut boleh dilakukan selama
output A telah tercapai. Selanjutnya
pada tahun berikutnya K/L tersebut
kembali mengajukan SBK dengan
besaran Rp 50juta untuk menghasilkan
1 output A,
b. Hal tersebut tidak boleh dilakukan
karena K/L ditengarai sengaja
mengambil kesempatan untuk
memperoleh alokasi anggaran yang
lebih besar padahal kebutuhannya tidak
sebesar yang telah ditetapkan dalam
PMK SBK, dan
c. Semakin tidak dibenarkan apabila
output A belum tercapai dan dana yang
dialokasikan telah terserap Rp 50juta
saja.
Sementara itu, jika terdapat kasus
yang sebaliknya dari ilustrasi di atas,
PMK SBK Alokasi RKA K/L Realisasi
86
apabila SBK yang ditetapkan dalam PMK
ternyata realisasinya lebih besar daripada
yang ditetapkan, hal ini menjadi bahan
review bagi penetapan SBK tahun
berikutnya. SBK yang diajukan pada tahun
berikutnya, dapat lebih tinggi dari tahun
sebelumnya, dengan tentu saja
memperhatikan realisasi SBK di tahun
sebelumnya dan beberapa rincian
komponen/tahapannya.
2. Komponen/Tahapan
Monev aspek komponen/tahapan
SBK adalah membandingkan antara
komponen/tahapan dalam menghasilkan
suatu output pada saat mengusulkan SBK
dengan alokasi dalam RKA K/L dan dengan
realisasi SBK. Aspek ini penting untuk
dimonev dalam rangka mengetahui
konsistensi dalam proses perencanaan
penganggaran K/L dan pelaksanaannya.
Selain itu, hasil monev komponen/tahapan
dapat menjadi acuan dalam melakukan
penelaahan SBK yaitu untuk menilai
kesesuaian suatu usulan
komponen/tahapan SBK dengan
membandingkan realisasi
komponen/tahapan SBK yang sama yang
telah dimonev.
Komponen/tahapan SBK memang
bukan merupakan bagian yang ditetapkan
dalam PMK tentang SBK, namun demikian
dalam proses pengajuan usulan SBK oleh
K/L kepada Kemenkeu harus menyertakan
pula rincian komponen/tahapan dengan
tujuan untuk mengetahui.
a. Proses pencapaian output/sub output
yang akan dihasilkan;
b. Relevansi teradap pencapaian
output/sub output, baik terhadap
volume maupun kualitasnya;
c. Keterkaitan dan kesesuaian antar
tahapan dalam mendukung
pencapaian output/sub output.
Maka dengan demikian, berikut ilustrasi
monev SBK dari aspek komponen/tahapan
(Gambar 2).
Gambar 2. Ilustrasi Monev SBK dari Aspek Komponen/Tahapan
3. Konsistensi
Aspek konsistensi memang bukan
merupakan salah satu aspek yang
diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan untuk dimonev terkait SBK,
namun hal ini dapat menjadi salah satu
pertimbangan untuk dijadikan salah satu
aspek yang penting untuk dimonev. Aspek
konsistensi di sini adalah membandingkan
antara SBK yang telah ditetapkan pada
tahun t dengan adanya usulan SBK pada
tahun t+1. Artinya, monev aspek
konsistensi bertujuan untuk mengetahui
konsistensi perilaku K/L dalam hal
mengusulkan SBK dari tahun ke tahun
dengan memperhatikan beberapa hal
lainnya. Selain itu, aspek konsistensi diukur
juga dengan tujuan untuk mengetahui
apakah SBK yang telah ditetapkan telah
digunakan dalam proses penganggaran.
Terdapat berbagai opini terkait
dengan SBK oleh K/L. Beberapa satker
merasakan bahwa dengan adanya SBK
akan mempermudah proses perencanaan
penganggaran pada satkernya. Di sisi lain,
justru terdapat satker yang merasa
bingung output apa yang bisa diusulkan
Komponen/Tahapan Usulan SBK
Komponen/Tahapan dalam RKA K/L
Realisasi Komponen/Tahapan
87
menjadi SBK. Hal ini mengindikasikan
beberapa hal yaitu.
a. K/L kurang memahami tusi dan
kewenangan unitnya yang tergambar
dari munculnya kebingungan dalam
merumuskan output yang sifatnya
berulang yang dapat diusulkan
menjadi SBK.
b. K/L kurang memahami pentingnya dan
manfaat dari SBK.
c. Kurang efektifnya transfer knowledge
yang dilakukan oleh pihak DJA terkait
SBK.
Beberapa hal tersebut di atas, dapat
menyebabkan diantaranya adalah terjadi
keengganan K/L untuk mengusulkan SBK.
Selain itu, adanya perubahan nomenklatur
atau pun informasi yang tidak sempurna
menjadi alasan lain bagi K/L yang tidak
mengajukan SBK.
Di sisi lain, hingga saat ini terdapat
pula K/L yang telah mengajukan SBK dan
ditetapkan dalam PMK namun tidak
digunakan dalam proses perencanaan
anggaran K/L tersebut. Alasan K/L
melakukan hal tersebut belum diketahui
namun dugaan sementara hanya untuk
memenuhi permintaan dari pihak
Kementerian Keuangan (Ditjen Anggaran)
untuk setidaknya setiap eselon satu
mengajukan 1 buah SBK.
Berdasarkan berbagai alasan
tersebut, monev SBK dari aspek konsistensi
bertujuan untuk menjaring informasi yang
lebih lengkap mengenai konsistesi K/L
dalam mengusulkan SBK. Pada akhirnya
hasil dari monev ini dapat menjadi
masukan bagi DJA untuk melakukan
berbagai perbaikan dalam proses bisnis
penyusunan PMK SBK di tahun berikutnya.
4. Pelaksanaan SBK
Tujuan dari monev SBK dari aspek
pelaksanaan adalah untuk menghimpun
berbagai opini terkait dengan kebijakan
SBK. Beberapa hal yang dipertanyakan
berupa pertanyaan terbuka mengenai
beberapa hal seperti proses bisnis, proses
penganggaran, penelaahan, persetujuan,
pelaksanaan, revisi, dan lain sebagainya.
4. Indikator Penilaian dalam Monev SBK
Sesuai dengan 4 aspek dalam
monev SBK sebagaimana disebutkan di
atas, terdapat masing-masing indikator
yang menjadi penilaian dalam monev SBK.
Pada dasarnya, setiap indikator dipilih
untuk membandingkan antara SBK yang
diusulkan dalam PMK dengan SBK yang
digunakan dalam proses perencanaan
anggaran dan pelaksanaannya. Berikut
uraian indikator dari setiap aspek
sebagaimana telah disebutkan di atas.
1. Indikator Realisasi Anggaran
Penghitungan yang digunakan dalam
monev aspek realisasi anggaran
menggunakan tehnik penghitungan
sederhana yaitu dengan melihat
selisih dari angka SBK antara PMK SBK,
alokasi SBK pada RKA K/L, dan realisasi
SBK. Berikut uraian singkatnya dan
dokumen yang dibutuhkan dalam
melakukan monev.
a. Perbandingan besaran PMK SBK
dengan alokasi pada RKA K/L
Indikator ini membandingkan
antara besaran SBK yang telah
ditetapkan pada PMK dengan
besaran SBK yang dialokasikan
dalam RKA K/L berkenaan. Maka
ilustrasinya adalah sebagai
berikut.
88
Tabel 1. Indikator 1 dari Aspek Realisasi Anggaran
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran Tahun XXXX
Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD A. Aspek Realisasi Anggaran Indikator: A.1. Perbandingan besaran PMK SBK dengan alokasi pada RKA K/L
No. Jenis SBK Besaran
Selisih Keterangan pada PMK SBK pada Alokasi
1. 2. Analisis SBK 1: Analisis SBK 2:
Pada tabel di atas ditunjukkan
bahwa pada indikator 1 aspek
realisasi anggaran yang menjadi
perhatian adalah selisih antara
besaran SBK pada PMK SBK dan
besaran SBK yang telah
dialokasikan pada RKA K/L. Hal ini
untuk mengetahui konsistensi
atau perilaku K/L dalam proses
perencanaan anggaran terkait
besaran SBK.
Dokumen yang digunakan
dalam melakukan monev ini
adalah PMK tentang SBK dan
Keppres tentang Rincian Anggaran
Belanja Pemerintah Pusat. Tahun
dari kedua dokumen tersebut
tentunya memiliki tahun anggaran
yang sama misalnya PMK tentang
SBK Tahun Anggaran 2015
dibandingkan dengan Keppres
tentang Rincian Anggaran Belanja
Pemerintah Pusat Tahun Anggaran
2015.
b. Perbandingan alokasi RKA K/L
dengan realisasi anggaran
Indikator ini membandingkan
antara besaran SBK yang
digunakan dalam alokasi RKA K/L
dengan SBK pada realisasi
anggaran K/L berkenaan. Maka
ilustrasinya adalah sebagai
berikut.
89
Tabel 2. Indikator 2 dari Aspek Realisasi Anggaran
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran Tahun XXXX
Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD A. Aspek Realisasi Anggaran Indikator: A.2. Perbandingan alokasi RKA K/L dengan realisasi anggaran
No. Jenis SBK Besaran
Selisih Keterangan pada alokasi pada realisasi
1. 2. Analisis SBK 1: Analisis SBK 2:
Pada tabel di atas ditunjukkan
serupa dengan yang terdapat pada
indikator 1 bahwa pada indikator
2 aspek realisasi anggaran yang
menjadi perhatian adalah selisih
antara besaran SBK yang
digunakan dalam alokasi anggaran
K/L dan besaran realisasi SBK. Hal
ini untuk mengetahui perbedaan
besaran SBK pada saat alokasi
anggaran K/L (proses
perencanaan anggaran) dengan
realisasinya (proses pelaksanaan
anggaran).
Dokumen yang digunakan
dalam melakukan monev ini
adalah Keppres tentang Rincian
Anggaran Belanja Pemerintah
Pusat dan dokumen realisasi
anggaran belanja K/L. Serupa
dengan yang terdapat pada
indikator 1, tahun dari kedua
dokumen tersebut tentunya
memiliki tahun anggaran yang
sama misalnya Keppres tentang
Rincian Anggaran Belanja
Pemerintah Pusat tahun anggaran
2015 dan dokumen realisasi
anggaran belanja K/L tahun
anggaran 2015.
2. Indikator Komponen/Tahapan
Terdapat 2 indikator dalam monev
aspek komponen/tahapan SBK. Pada
dasarnya untuk mengetahui
konsistensi K/L usulan
komponen/tahapan pada saat proses
pengajuan usulan SBK dengan
komponen/tahapan yang ditetapkan
dalam RKA K/L dan juga dengan
realisasi anggaran belanjanya.
a. Perbandingan usulan
komponen/tahapan dengan RKA
K/L
Pada indikator ini membandingkan
komponen/tahapan SBK yang
tertuang dalam dokumen usulan
SBK yang telah ditetapkan dengan
komponen/tahapan SBK yang
tertuang dalam dokumen
anggaran yang telah disahkan
dalam Perpres tentang Rincian
Anggaran Belanja Pemerintah
Pusat. Indikator ini bertujuan
untuk mengetahui konsistensi K/L
90
dalam mengajukan SBK dengan
proses perencanaan anggarannya.
Berikut ilustrasi monev SBK
dengan indikator perbandingan
usulan komponen/tahapan
dengan RKA K/L.
Tabel 3. Indikator 1 dari Aspek Komponen/Tahapan
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran Tahun XXXX
Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD B. Aspek Komponen/Tahapan Indikator: B.1. Perbandingan usulan komponen/tahapan dengan RKA K/L
No. Jenis SBK Komponen/Tahapan
Perbedaan Keterangan pada usulan SBK
pada RKA K/L
1. 2. Analisis SBK 1: Analisis SBK 2:
b. Perbandingan usulan komponen/
tahapan dengan realisasi
Pada indikator ini membandingkan
komponen/tahapan SBK yang
tertuang dalam dokumen
anggaran yang telah disahkan
dalam Perpres tentang Rincian
Anggaran Belanja Pemerintah
Pusat dengan komponen/tahapan
pada dokumen realisasi anggaran.
Indikator ini bertujuan untuk
mengetahui konsistensi K/L dalam
proses perencanaan anggaran
dengan proses pelaksanaannya.
Berikut ilustrasi monev SBK
dengan indikator perbandingan
usulan komponen/tahapan
dengan realisasi.
Tabel 4. Indikator 2 dari Aspek Komponen/Tahapan
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran Tahun XXXX
Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD B. Aspek Komponen/Tahapan Indikator: B.2. Perbandingan usulan komponen/tahapan dengan realisasi
No. Jenis SBK Komponen/Tahapan
Perbedaan Keterangan pada RKA K/L pada realisasi
1. 2. Analisis SBK 1: Analisis SBK 2:
91
3. Indikator Konsistensi
Pada indikator ini yang dimonev
adalah berkenaan dengan SBK dalam
proses pengajuan PMK hingga proses
perencanaan penganggaran. Namun
yang menjadi perhatian pada aspek ini
bukan besaran SBKnya tapi jumlah
SBK, jenis output/sub output, dan
penggunaan SBK dalam RKA K/L baik
dilihat dari jumlah yang dipakai
maupun jenis output/sub output.
Berikut beberapa uraian indikator dari
aspek konsistensi.
a. Perbandingan jumlah SBK dalam
PMK SBK berdasarkan waktu
Pada indikator pertama ini
membandingkan banyaknya SBK
suatu K/L yang telah ditetapkan
dalam PMK SBK pada tahun t
dengan jumlah SBK dari K/L yang
sama dalam PMK SBK di tahun t+1.
Berikut ilustrasi monev
perbandingan jumlah PMK SBK
berdasarkan waktu.
Tabel 5. Indikator 1 dari Aspek Konsistensi
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran
Tahun XXXX
Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD
C. Aspek Konsistensi
Indikator:
C.1. Perbandingan jumlah SBK dalam PMK SBK berdasarkan waktu
No
. Indikator
PMK SBK Perbedaan
Keteranga
n Tahun t Tahun t+1
1. Jumlah SBK
Analisis:
b. Perbandingan SBK berdasarkan
jenis output/sub output
Pada indikator kedua ini
membandingkan jenis output/sub
output yang diusulkan K/L pada
PMK SBK tahun t dengan PMK SBK
tahun t+1. Berikut ilustrasi monev
perbandingan SBK berdasarkan
jenis output/sub output.
92
Tabel 6. Indikator 2 dari Aspek Konsistensi
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran Tahun XXXX
Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD C. Aspek Konsistensi Indikator: C.2. Perbandingan SBK berdasarkan jenis output/sub output No
. Indikator
PMK SBK Perbedaan Keterangan
Tahun t Tahun t+1 1. Jenis output/sub
output a. SBK A b. SBK B c. ...
a. SBK A b. SBK C ...
Analisis:
c. Penggunaan SBK dalam RKA K/L
Indikator ini bertujuan untuk mengetahui perilaku K/L dalam hal penggunaan SBK
dalam proses perencanaan anggarannya. Indikator ini muncul karena terdapat
kenyataan bahwa SBK yang telah ditetapkan dalam PMK ternyata tidak digunakan K/L
dalam proses penyusunan dokumen anggarannya. Berikut ilustrasi monev
penggunaan SBK dalam RKA K/L.
Tabel 7. Indikator 3 dari Aspek Konsistensi
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran Tahun XXXX
Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD C. Aspek Konsistensi Indikator: C.3. Penggunaan SBK dalam RKA K/L No
. Indikator Jenis SBK Digunakan dalam RKA K/L Keterangan
1. Penggunaan SBK a. SBK A b. SBK B c. ...
a. Ya b. Tidak ...
Analisis:
d. Penggunaan jumlah SBK dalam
RKA K/L
Serupa dengan indikator 3 di atas,
indikator ini bertujuan untuk
mengetahui penggunaan SBK
dalam RKA K/L namun dalam
indikator ini yang menjadi
perhatian adalah antara jumlah
SBK yang ditetapkan dalam PMK
dengan banyak SBK yang
digunakan dalam RKA K/L. Berikut
93
ilustrasi monev penggunaan
jumlah SBK dalam RKA K/L.
Tabel 8. Indikator 4 dari Aspek Konsistensi
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran Tahun XXXX
Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD C. Aspek Konsistensi Indikator: C.4. Penggunaan jumlah SBK dalam RKA K/L
No.
Indikator Jumlah SBK
Perbedaan Keteranga
n Dalam PMK
Dalam RKA K/L
1. Penggunaan jumlah SBK dalam RKA K/L
Analisis:
5. Tahapan Monev SBK
Pada tahapan monev SBK ini akan
diuraikan pihak-pihak yang terlibat dan
beberapa aktivitas yang dilakukan dalam
pelaksanaan monev SBK. Beberapa pihak
yang terlibat tentu saja tidak berbeda
dengan pihak-pihak yang terlibat dalam
proses penyusunan SBK. Beberapa tahap
utama dalam pelaksanaan monev SBK
serupa dengan pelaksanaan monev lainnya
yaitu.
1. Persiapan,
Pada tahap persiapan ini, pihak-pihak
yang terlibat masih dalam lingkup
internal Direktorat Jenderal Anggaran
yaitu Direktorat Anggaran I, II, dan III
dan Direktorat Sistem Penganggaran.
Pada tahap awal Direktorat Sistem
Penganggaran melakukan bimbingan
teknis mengenai hal-hal penting
terkait monev SBK mulai dari tujuan
monev, manfaat monev, aspek-aspek
yang dimonev, indikator-indikator
yang diukur, data yang diperlukan, dan
bentuk pelaporannya. Dalam
kesempatan ini dilakukan internalisasi
secara maksimal agar pentingnya dan
manfaat dari monev SBK maupun SBK
sendiri dapat benar-benar dipahami
bersama oleh Direktorat Anggaran
mengingat yang akan melakukan
monev adalah Direktorat tersebut.
Selain itu, perihal monev SBK
juga perlu disampaikan pada beberapa
kesempatan sosialisasi kebijakan yang
diterbitkan oleh Direktorat Sistem
Penganggaran kepada K/L diantaranya
sosialisasi juknis RKA K/L dan
kebijakan standar biaya yang
disampaikan pada awal tahun
anggaran. Penyampaian informasi ini
dilakukan untuk memberi K/L
informasi terlebih dahulu di awal
tahun penganggaran agar K/L dapat
lebih mempersiapkan diri baik dalam
ketersedian waktunya, penyediaan
datanya, dan pelaporannya.
2. Pelaksanaan,
Pada tahap pelaksanaan, pihak-pihak
yang terkait sudah melibatkan 2 pihak
94
yaitu Direktorat Anggaran dan K/L
yang menjadi mitra kerjanya. Pada
tahap ini Direktorat Anggaran
menentukan satker K/L yang akan
dimonev. Selanjutnya Direktorat
Anggaran melakukan koordinasi awal
kepada setiap K/L bahwa akan
dilakukan monev SBK dengan berbagai
keperluan yang harus disiapkan. Pada
kesempatan selanjutnya, setiap K/L
diminta untuk menjawab berbagai
pertanyaan yang diajukan dalam
kuesioner monev SBK dan
menyampaikannya kepada Direktorat
Anggaran. Pada proses ini diharapkan
terdapat dukungan teknologi
informasi untuk membantu
kemudahan dan kelancaran monev.
Aplikasi monev diharapkan dapat
terintegrasi dengan aplikasi SBK yang
telah ada sehingga ke depannya
terdapat bank data SBK yang dapat
digunakan dalam rangka penelaahan
SBK dan penyusunan SBK tahun
berikutnya.
3. Pelaporan.
Pada tahap ini Direktorat Anggaran
melakukan analisis terhadap hasil
monev dari masing-masing K/L yang
menjadi mitra kerjanya. Hasil monev
selanjutnya disampaikan kepada pihak
eksternal DJA yaitu pimpinan K/L dan
juga pihak internal DJA yaitu Dirjen
Anggaran dengan tembusan ke
Direktorat Sistem Penganggaran. Hasil
monev selain dapat menjadi bahan
penelaahan atau penyusunan SBK
tahun berikutnya, juga dapat menjadi
bahan masukan dalam menyusun
kebijakan SBK di tahun yang akan
datang.
Berdasarkan uraian proses bisnis
pelaksanaan monev SBK di atas, berikut
ilustrasi proses bisnis tersebut yang
disajikan dalam bentuk flowchart
sederhana.
95
Gambar 3. Alur Sederhana Proses Bisnis Monev SBK
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan kajian di atas, dapat
beberapa kesimpulan yang dapat
diperoleh yaitu.
1. Tujuan dan manfaat dilakukannya
monev SBK adalah
a. Bahan penyusunan SBK bagi KL
maupun Kementerian Keuangan
dalam penelaahan SBK tahun
berikutnya,
b. Alat untuk mengetahui perilaku
biaya (cost behaviour) K/L
khususnya terkait dengan SBK,
dan
c. Memperoleh feedback dari K/L
dan mengetahui keinginan K/L
atas suatu kebijakan dan
pelaksanaan SBK.
2. Terdapat 4 aspek dalam monev SBK
diantaranya adalah.
a. Realisasi anggaran,
b. Komponen/tahapan,
c. Konsistensi, dan
d. Pelaksanaan.
3. Dari 4 aspek monev SBK tersebut,
terdapat indikator dari masing-masing
aspek yaitu.
a. Realisasi anggaran,
1) Perbandingan besaran PMK
SBK dengan alokasi pada RKA
K/L
2) Perbandingan alokasi RKA K/L
dengan realisasi anggaran
b. Komponen/tahapan,
1) Perbandingan usulan
komponen/tahapan dengan
RKA K/L
2) Perbandingan usulan
komponen/tahapan dengan
realisasi
c. Konsistensi, dan
1) Perbandingan jumlah SBK
dalam PMK SBK berdasarkan
waktu
Direktorat Anggaran menentukan K/L yang
akan dimonev dan melakukan persiapan
monev SBK
Direktorat Anggaran
melakukan monev ke K/L
Dirjen Anggaran mendapatkan
laporan hasil monev SBK
Direktorat Anggaran melakukan analisis atas hasil monev
SBK
DSP menerima tembusan laporan
monev SBK
Dirjen Anggaran menugaskan DSP
untuk melaksanakan monev SBK
DSP melakukan bimtek monev SBK kepada Direktorat
Anggaran
Persiapan Pelaksanaan Pelaporan
Pimpinan K/L mendapatkan
laporan hasil monev SBK
96
2) Perbandingan SBK berdasarkan
jenis output/sub output
3) Penggunaan SBK dalam RKA
K/L
4) Penggunaan jumlah SBK dalam
RKA K/L
d. Pelaksanaan.
Pada aspek ini hanya akan
terdapat beberapa pertanyaan
terbuka mengenai beberapa hal
seperti proses bisnis, proses
penganggaran, penelaahan,
persetujuan, pelaksanaan, revisi,
dan lain sebagainya.
4. Tahapan monev SBK dibagi menjadi 3
pokok kegiatan utama yaitu
a. Persiapan
Pada tahap kegiatan ini pada
dasarnya terdapat koordinasi
antara DSP dengan Direktorat
Anggaran yaitu DSP melakukan
bimtek kepada Direktorat
Anggaran mengenai monev SBK
dan Direktorat Anggaran mulai
melakukan identifikasi K/L yang
akan dimonev sesuai dengan
pembagian mitra kerjanya.
b. Pelaksanaan
Pada tahap ini Direktorat
Anggaran melakukan monev
kepada K/L dengan meminta K/L
mengisi beberapa kuesioner dan
melengkapi beberapa yang
diperlukan dalam pelaksanaan
monev.
c. Pelaporan
Pada tahap ini Direktorat
Anggaran melakukan analisis atas
hasil monev SBK yang dilengkapi
oleh K/L kemudian melaporkan
hasil monev kepada Pimpinan KL
dan Dirjen Anggaran dengan
tembusan kepada Direktorat
Sistem Penganggaran.
5.2 Saran
Dalam pelaksanaan monev SBK,
terdapat beberapa saran yang dapat
diberikan agar monev dapat dilaksanakan
secara lancar dan tujuan monev dapat
tercapai sesuai yang diharapkan.
1. Pentingnya peran SBK dalam proses
penganggaran diharapkan dapat
dipahami oleh semua pihak di
lingkungan Kementrian Keuangan
khususnya Direktorat Jenderal
Anggaran, mulai dari level pimpinan
yang tertinggi hingga pelaksana.
2. Dalam rangka mendukung kelancaran
pelaksanaan SBK, diperlukan
dukungan tehnologi informasi berupa
aplikasi atau hal lainnya sehingga
monev mudah dilaksanakan dan tidak
membebani DJA maupun K/L.
3. Metode monev SBK perlu ditetapkan
dalam bentuk peraturan perundang-
undangan sehingga dapat memiliki
kekuatan hukum yang tetap.
DAFTAR PUSTAKA
Kusek, Jody Zall Kusek dan Ray C. Rist. 2004. Ten Steps To A Results-Based Monitoring And Evaluation System : a handbook for development practitioners. World Bank. Washington DC.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun
2010 tentang Penyusunan Rencana
Kerja Anggaran Kementerian Negara
dan Lembaga
97
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
71/PMK.02/2013 tentang Pedoman
Standar Biaya, Standar Struktur
Biaya, dan Indeksasi dalam
Penyusunan RKA K/L
98
MEMADUKAN KONSEP STANDAR BIAYA KELUARAN UMUM RISET
DENGAN FLEKSIBILITAS PERTANGGUNGJAWABAN PENGGUNAAN
DANA
Niken Ajeng Lestari Email: [email protected]
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka penyusunan Standar
Biaya Keluaran yang bersifat umum atau
SBK yang berlaku di seluruh Kementerian
Negara dan Lembaga (SBKU), terdapat
perilaku ekonomi dari suatu kelompok
tertentu atau unit yang ditengarai akan
menunjukkan perilaku yang tidak
bertanggung jawab dalam melaksanakan
suatu kegiatan yang didanai dari anggaran
pemerintah. Kegiatan tersebut adalah riset
atau penelitian yang pengalokasian
dananya melalui SBK.
Perilaku yang diperkirakan akan
terjadi terkait kegiatan riset adalah
perilaku di ranah pertanggungjawaban
pelaksanaan kegiatan, dimana penerima
dana riset, secara sengaja atau tidak,
cenderung akan mencari-cari nota atau
tanda bukti pembayaran lainnya untuk
dijadikan lampiran pertanggungjawaban
dananya. Hal ini terjadi karena
berdasarkan pengalaman beberapa
peneliti, terdapat pengeluaran riset yang
tidak terduga baik dalam jumlah yang
besar maupun kecil dengan intesitas yang
cukup sering.
Berdasarkan dugaan tersebut,
pengalokasian dana melalui SBK justru
dinilai kurang efektif karena justru akan
mendorong perilaku yang kurang
bertanggung jawab. Atas permasalahan
tersebut, terdapat solusi yang ditawarkan
diantaranya adalah penerapan fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan dana
untuk SBKU riset sehingga dana yang
diberikan untuk kegiatan riset berlaku
selayaknya dana pengadaan barang/jasa
kepada pihak ketiga yang
pertanggungjawabnya berupa kontraktual
antara peneliti dan pemilik dana dengan
batas waktu tertentu.
Selain itu, fleksibilitas
pertanggungjawaban dana bagi SBKU riset
juga dilatarbelakangi oleh suatu
permasalahan yang dihadapi para peneliti
dalam melakukan pelaporan keuangan.
Permasalahan tersebut diungkapkan oleh
Kemenristekdikti dalam kajiannya
mengenai perbaikan manajemen anggaran
riset yaitu peneliti harus melaporkan
pertanggungjawaban keuangannya secara
individu. Hal ini cukup memberatkan
mengingat SPJ yang harus dilakukan adalah
mulai dari pengadaan barang dan jasa,
pemberian honor, pembayaran pajak, dan
perjalanan dinas. Penyusunan SPJ dirasa
lebih sulit daripada melakukan penelitian
itu sendiri. Di sisi lain, hal ini membuat
fokus peneliti terpecah dan pada akhirnya
dapat berefek pada rendahnya kualitas
riset yang dihasilkan.
Dilatarbelakangi oleh beberapa hal
tersebut, kajian ini disusun untuk mengkaji
99
lebih lanjut mengenai memadukan konsep
SBKU riset dengan fleksibilitas
pertanggungjawaban dananya. Analisis
akan dilakukan dengan metode kualitatif
dengan menguraikan terlebih dahulu
konsep dari fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan dana
SBKU riset, kemudian mengkajinya dari sisi
peraturan perundang-undangan, urgensi,
manfaat dan kendala dari konsep
fleksibilitas pertanggungjawaban dana
bagi SBKU riset.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Terdapat beberapa pertanyaan
yang ingin dijawab dari penyusunan kajian
ini, diantaranya adalah:
1. Bagaimana konsep fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan
dana SBKU riset?
2. Bagaimana kemungkinan dari sisi
peraturan perundang-undangan
mengenai fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan
dana bagi SBKU riset?
3. Apa urgensi dari penerapan
fleksibilitas pertanggungjawaban
penggunaan dana bagi SBKU riset?
4. Apa saja isu-isu yang muncul dengan
adanya fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan
dana bagi SBKU riset?
1.3 Tujuan penelitian
Berdasarkan beberapa pertanyaan
tersebut, penyusunan kajian ini bertujuan
untuk:
1. Menguraikan konsep SBKU riset yang
akan dibentuk.
2. Mengetahui kemungkinan dari sisi
peraturan perundang-undangan
mengenai fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan
dana bagi SBKU riset.
3. Mengetahui urgensi dari penerapan
fleksibilitas pertanggungjawaban
penggunaan dana bagi SBKU riset.
4. Mengetahui isu-isu yang muncul
dengan adanya fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan
dana bagi SBKU riset.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Standar Biaya Keluaran
SBK adalah besaran biaya uang
ditetapkan untuk menghasilkan keluaran
(output)/sub keluaran (sub output). SBK
dapat terdiri atas:
3. Indeks biaya keluaran yaitu SBK untuk
menghasilkan satu volume keluaran
(output), dan
4. Total biaya keluaran adalah SBK untuk
menghasilkan total volume keluaran
(output).
Penyusunan SBK dilakukan pada level
keluaran (output)/sub keluaran (sub
output) yang menjadi tugas dan fungsi K/L.
Keluaran (output)/sub keluaran (sub
output) yang dapat diusulkan menjadi SBK
mempunyai beberapa kriteria yaitu:
1. Bersifat berulang
2. Mempunyai jenis dan satuan yang
jelas serta terukur, dan
3. Mempunyai komponen/tahapan yang
jelas.
SBK dalam proses penganggaran
berfungsi sebagai.
1. Batas tertinggi yang besarannya tidak
dapat dilampaui,
2. Referensi penyusunan prakiraan maju,
3. Bahan penghitungan pagu indikatif
K/L, dan/atau
100
4. Referensi penyusunan SBK untuk
keluaran (output) sejenis pada K/L
yang berbeda.
Di sisi lain, dalam rangka pelaksanaan
anggaran, SBK berfungsi sebagai estimasi
yaitu prakiraan besaran biaya yang dapat
dilampaui, antara lain karena perubahan
komponen/tahapan dan/atau penggunaan
standar biaya yang dipengaruhi harga
pasar.
SBK berlaku untuk
beberapa/seluruh K/L yang penetapannya
oleh Menkeu dengan terlebih dahulu
berkoordinasi dengan K/L, atau juga
berlaku untuk satu K/L tertentu yang
penetapannya oleh Menkeu berdasarkan
usulan dari pimpinan K/L atau pejabat yang
berwenang dengan mengatasnamakan
pimpinan K/L. SBK yang berlaku untuk
beberapa K/L disebut sebagai Standar
Biaya Keluaran Khusus (SBKK) dan SBK yang
berlaku untuk seluruh K/L disebut sebagai
Standar Biaya Keluaran Umum (SBKU).
Dalam penyusunan SBK, diperlukan
adanya komponen/tahapan dengan tujuan
untuk mengetahui:
1. Proses pencapaian keluaran/sub
keluaran yang akan dihasilkan,
2. Relevansi terhadap pencapaian
keluaran/sub keluaran, baik terhadap
volume maupun kualitasnya,
3. Keterkaitan dan kesesuaian antar
tahapan dalam mendukung
pencapaian keluaran/sub keluaran.
Secara umum, komponen/tahapan dalam
pencapaian suatu keluaran/sub keluaran
menggambarkan pelaksanaan fungsi
manajemen yang terdiri dari:
1. Perencanaan (planning),
2. Pengorganisasian (organizing),
3. Pelaksanaan (actuating), dan
4. Monitoring, evaluasi, dan pelaporan
(controlling).
2.2 Pertanggungjawaban Penggunaan
Dana APBN
Dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara
Pelaksanaan APBN, penyelesaian tagihan
kepada negara atas suatu beban anggaran
belanja negara yang tertuang dalam APBN,
dilaksanakan berdasarkan hak dan bukti
yang sah untuk memperoleh pembayaran.
Pembayaran atas tagihan kepada negara
dilakukan secara langsung dari rekening
kas umum negara kepada yang berhak.
Berdasarkan tagihan kepada
negara, pejabat pembuat komitmen (PPK)
menerbitkan dan menandatangani surat
permintaan pembayaran (SPP) yang
selanjutnya diuji terlebih dahulu oleh
pejabat penandatangan surat perintah
membayar (PPSPM) sebelum diterbitkan
surat perintah membayar (SPM) yaitu
dokumen yang diterbitkan pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran
(PA/KPA) atau pejabat lain yang ditunjuk
untuk mencairkan dana yang bersumber
dari DIPA atau dokumen lain yang
dipersamakan. Pengujian SPP yang
dilakukan oleh PPSPM tersebut meliputi:
a. Pemeriksaan secara rinci kelengkapan
dokumen pendukung SPP,
b. Penelitian ketersediaan pagu anggaran
dalam dokumen isian pelaksanaan
anggaran (DIPA),
c. Pemeriksaan kesesuaian keluaran
antara yang tercantum dalam dokumen
perjanjian dengan keluaran yang
tercantum dalam DIPA,
d. Pemeriksaan kebenaran atas hak tagih,
paling sedikit meliputi:
101
1) Pihak yang ditunjuk untuk menerima
pembayaran,
2) Nilai tagihan yang harus dibayar, dan
3) Jadwal waktu pembayaran.
e. Pemeriksaan kesesuaian pencapaian
keluaran antara spesifikasi teknis yang
disebutkan dalam dokumen
penerimaan barang/jasa dan spesifikasi
teknis yang disebutkan dalam dokumen
perjanjian, dan
f. Pemeriksaan dan pengujian ketepatan
penggunaan klasifikasi anggaran.
Dalam hal hasil pengujian sebagaimana
dimaksud di atas tidak memenuhi
persyaratan, PPSBM wajib menolak
menerbitkan SPM.
2.3 Bagan Akun Standar
Bagan Akun Standar yang
selanjutnya disingkat BAS adalah daftar
kodefikasi dan klasifikasi terkait transaksi
keuangan yang disusun secara sistematis
sebagai pedoman dalam perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan
pelaporan keuangan pemerintah.
Kodefikasi ini digunakan dalam sistem yang
terintegrasi. Integrasi dilaksanakan dengan
penggunaan klasifikasi atau kode
pengukuran yang sama untuk setiap
tahapan dalam siklus pengelolaan
keuangan negara. Melalui penggunaan
klasifikasi yang sama pada tahapan
perencanaan, penganggaran hingga
pertanggungjawaban, Bagan Akun Standar
merupakan suatu pedoman dalam
pencatatan seluruh transaksi keuangan
pemerintah. Selain itu, Bagan Akun
Standar digunakan sebagai pusat aliran
data dari sistem pengelolaan keuangan,
alat pengendalian disiplin fiskal melalui
pengaturan pengendalian dan kerangka
struktur pelaporan, dan mendukung
proses pengambilan keputusan
pemerintah yang lebih baik.
Penetapan pengunaan Bagan Akun
Standar sebagai pedoman dalam
mekanisme pengelolaan keuangan negara
didahului dengan pembentukan suatu
kerangka dasar dalam bentuk single
framework Bagan Akun Standar. Dengan
adanya single framework ini, maka Bagan
Akun Standar memfasilitasi kebutuhan
klasifikasi para penggunanya. Bagan Akun
Standar tidak hanya menyajikan akun yang
secara umum digunakan untuk tujuan
pelaporan keuangan seperti akun aset,
kewajiban, modal, pendapatan, belanja,
pembiayaan, dan lain-lain, tetapi juga
meliputi klasifikasi lain yang digunakan
dalam perencanaan dan penganggaran.
Klasifikasi tersebut antara lain berupa kode
organisasi, tempat pembayaran, lokasi
kegiatan, program, kegiatan dan output
yang dihasilkan. Penggunaan klasifikasi
yang sama tersebut, memerlukan
kesepakatan dan komitmen antar
pengguna Bagan Akun Standar.
Komitmen para pengguna Bagan
Akun Standar baik dari Kementerian
Keuangan, maupun Kementerian
Negara/Lembaga sangat diperlukan guna
mewujudkan amanat reformasi keuangan
negara dan mendukung proses integrasi
pengelolaan keuangan negara. Untuk
memenuhi hal tersebut, maka dibutuhkan
pembaruan terhadap pengelolaan
keuangan Negara guna memenuhi prinsip-
prinsip good governance. Pemutakhiran
Bagan Akun Standar dilaksanakan secara
terpadu dengan mendasarkan pada single
framework tersebut. Selain itu,
penggabungan klasifikasi anggaran dan
klasifikasi akuntansi membentuk
102
kumpulan kode berupa struktur Bagan
Akun Standar.
Klasifikasi dalam BAS terdiri dari
segmen yang merupakan bagian dari BAS
berupa rangkaian kode sebagai dasar
validasi transaksi keuangan yang diakses
oleh sistem aplikasi. Segmen dalam BAS
terdiri dari 12 segmen yaitu segmen:
a. Satker merupakan kode satker dengan
atribut antara lain berupa kode bagian
anggaran dan kode eselon I yang
mencerminkan adanya unit yang
bertanggung jawab dalam pencatatan
transaksi,
b. KPPN merupakan kode KPPN dengan
atribut antara lain berupa kode Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan. Segmen ini
menunjukan adanya fungsi tempat
pemrosesan pembayaran melalui
kantor pelayanan perbendaharaan di
bawah Ditjen Perbendaharaan
Kementerian Keuangan,
c. Akun merupakan kode akun. Kode akun
atau juga dikenal sebagai klasifikasi
ekonomi, merupakan salah satu bagian
penting yang menunjukan transaksi dan
dampaknya pada laporan keuangan.
Kode akun ini akan mengalami
perubahan karena adanyapenerapan
akuntansi berbasis akrual sehingga
akun-akun yang ada akan menjadi akun
akrual. Dalam penerapan akuntansi
akrual, terdapat beberapa laporan yang
membutuhkan kode akun baru atau
juga terkait dengan mapping dengan
akun operasional berbasis kas yang
sudah ada,
d. Program merupakan kombinasi dari
kode bagian anggaran, kode eselon I,
dan kode program yang menunjukkan
penjabaran kebijakan Kementerian
Negara/Lembaga yang terdiri atas
beberapa kegiatan,
e. Output akan melekat pada pelaksanaan
dan pencapaian suatu kegiatan,
sehingga output merupakan kombinasi
dari kode kegiatan dan kode output,
dengan atribut antara lain berupa kode
fungsi dan kode sub fungsi,
f. Dana merupakan kombinasi dari kode
sumber dana, kode cara penarikan, dan
kode nomor register yang
mencerminkan adanya alokasi
pelaksanaan anggaran yangberasal dari
sumber dana tertentu dan memiliki cara
penarikan dana yangsesuai dengan
sumber dana tersebut,
g. Bank merupakan kombinasi dari kode
tipe rekening dan kode nomor rekening
dengan atribut antara lain berupa kode
KPPN yang mencerminkan penggunaan
rekening bank berbeda dalam
pengelolaan anggaran oleh pemegang
kas pemerintah yaitu Kuasa BUN yang
dalam hal ini dilakukan oleh Direktorat
Pengelolaan Kas Negara selaku Kuasa
BUN Pusat, dan KPPN selaku Kuasa BUN
Daerah,
h. Kewenangan merupakan kode
kewenangan sebagai cerminan terdapat
berbagai kewenangan dalam proses
pelaksanaan anggaran. Terdapat 6
kewenangan yaitu kewenangan kantor
pusat, kator daerah, dekonsentrasi,
tugas pembantuan, desentralisasi, dan
urusan bersama,
i. Lokasi merupakan kode Lokasi
menunjukkan tempat berlangsungnya
kegiatan dan/atau penerima dana.
Selain itu, dengan adanya kode lokasi,
maka terdapat pengendaliananggaran
atas alokasi pembagian Dana Bagi Hasil,
dan bertujuan untuk transparansi
103
pengalokasian dana dalam transaksi
pengelolaan keuangan daerah,
j. Anggaranmerupakan kode
anggaranyang menunjukkan beberapa
tahapan pencatatan transaksi keuangan
dalam siklus pengelolaan APBN.
Tahapan tersebut terdiri dari atas
transaksi APBN, DIPA, realisasi,
pengembalian realisasi, dan
penyesuaian akrual,
k. Antarentitasmerupakan kode
antarentitas yang berisi Ditagihkan
Kepada Entitas Lain (Due to) dan
Diterima Dari Entitas Lain (Due From)
sebagai lawan dari kode satker untuk
transaksi antar entitas, dan
l. Cadangan merupakan kodefikasi yang
disediakan jika nantinya dalam
pengembangan BAS ke depan akan
membutuhkan segmen baru yang
belum tertampung dalam segmen
kodefikasi BAS saat ini.
2.4 Pengajuan Riset kepada Kementerian
Riset, Teknologi, dan Perguruan
Tinggi
Pengajuan riset pada
Kemenristekdikti mengikuti pedoman
Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional
(SINas) yang berisi prosedur pengajuan
riset yang akan didanai dari APBN dan
kriteria-kriteria yang harus dipenuhi.
Berikut alur pengajuan riset yang dibiayai
oleh APBN melalui Kemenristekdikti.
Gambar 1. Prosedur Pengajuan Proposal Insentif Riset SINas pada Kemenristekdikti
Pada prosedur tersebut, proses
kerjasama riset serupa dengan proses
pengadaan barang dan jasa dilihat dari
kewajiban yang harus dipenuhi oleh
pengaju proposal. Berikut kewajiban yang
harus dipenuhi oleh pengaju proposal
insentif riset pada Kemenristekdikti yaitu
lembaga penerima berkewajiban untuk:
1. Mengembangkan organisasi dan
sistem manajemen yang efektif, dan
efisien serta accountable untuk
pelaksanaan kegiatan,
2. Melaksanakan rencana yang telah
disusun untuk mencapai sasaran dan
keluaran yang telah ditentukan, serta
memenuhi semua ketentuan yang
diatur di dalam kontrak kerjasama
dengan tim pengelola insentif riset
SINas,
104
3. Pelaksanaan insentif riset SINas
selama 10 (sepuluh) bulan kalender,
4. Bila terjadi keterlambatan
penyampaian pelaporan akhir atau
tidak selesai sesuai jangka waktu yang
telah ditetapkan akan dikenakan
denda sebesar 1‰ (satu per seribu)
untuk setiap hari keterlambatan atau
maksimum 5% (lima persen) dari nilai
kontrak dan atau sangsi lain sesuai
peraturan perundang yang berlaku.
5. Pencairan dana penyampaian laporan
(hardcopy dan file elektronik), yaitu:
a. Proposal untuk pencairan dana
termin 1 (30%). Dana diberikan
setelah menyampaikan proposal
hasil perbaikan sesuai anggaran
yang disetujui dan dokumen
administrasi keuangan.
b. Laporan Kemajuan Pertama untuk
penarikan dana termin 2 (50%).
Dana diberikan setelah
menyampaikan laporan kemajuan
teknis pertama setara dengan
pemanfaatan dana30%.
c. Laporan Kemajuan Kedua Untuk
penarikan dana Termin 3 (20%).
Dana diberikan setelah
menyampaikan laporan kemajuan
Teknis kedua setara dengan
pemanfaatan dana 50%.
d. Laporan akhir setara pemanfaatan
dana 100% Disampaikan saat
kontrak kerjasama berakhir yang
meliputi: (1) Laporan Akhir Teknis,
(2) Laporan Ringkas Hasil Litbang
Sesuai Lampiran 7, (3) Daftar Hasil
Litbang, (4) Surat Pernyataan Tidak
Membeli Alat/Barang Modal, (5)
Surat Pernyataan Setor Dana Sisa,
Dilengkapi dengan Bukti Setor Dana
Sisa (Bila ada), serta (6) Hasil
Evaluasi.
6. Membangun dan memantapkan
kemitraan dengan sejumlah lembaga
penelitian, perguruan tinggi, industri,
serta institusi lain yang terkait.
7. Mengamankan dan mengelola
teknologi yang dihasilkan melalui
perlindungan HKI meliputi: paten, hak
cipta, desain industri, rahasia dagang,
dan sebagainya.
8. Melakukan langkah promosi hasil
litbang potensial:
a. Mengembangkan mekanisme
transformasi teknologi dan
menyediakan dukungan teknis,
agar hasil litbang yang dibiayai
khususnya melalui Insentif Riset
SINas dapat diadopsi oleh
pengguna, industri atau
masyarakat secara maksimal.
b. Melaporkan kemajuan kegiatan,
hambatan dan penyimpangan yang
terjadi kepada Kementerian Riset
Dan Teknologi Secara periodik.
c. Menyediakan Informasi yang
diperlukan dalam rangka
monitoring dan evaluasi kinerja
Insentif Riset SINas.
d. Mengikuti pameran Iptek dan
seminar yang diselenggarakan
Kementerian Riset dan Teknologi.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan
dalam menyusun kajian ini adalah metode
kualitatif. Substansi yang dikaji diperoleh
melalui studi literatur mulai dari peraturan
perundang-undangan, kajian terdahulu,
serta berbagai literatur yang relevan
dengan tema kajian ini.
105
4. PEMBAHASAN
4.1 Konsep Fleksibilitas
Pertanggungjawaban Penggunaan
Dana SBKU Riset
Konsep fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan dana
untuk SBKU riset, adalah serupa dengan
penerapan pada akun belanja lain-lain.
Belanja lain-lain yaitu pengeluaran/belanja
pemerintah pusat yang sifat
pengeluarannya tidak dapat
diklasifikasikan ke dalam pos-pos
pengeluaran lainnya (pegawai, barang,
modal, pembayaran utang/kewajiban,
subsidi, hibah, dan bantuan sosial).
Pertanggungjawaban atas penggunaan
dana SBKU riset adalah
pertanggungjawaban yang berupa
penggunaan dana secara gelondongan dan
tidak perlu terdapat bukti-bukti
pembayaran suatu barang/jasa yang
digunakan seperti nota, kuitansi, dan struk.
Pertanggungjawaban atas
penggunaan dana riset hanya berupa
kesepakatan antara pihak-pihak yang
berkepentingan. Kesepakatan tersebut
berisi diantaranya progress penyelesaian
riset, persentase dana yang dapat
dicairkan per progress riset, waktu
penyelesaian riset, tenggat waktu
keterlambatan, konsekuensi apabila riset
terlambat diselesaikan atau tidak dapat
diselesaikan, dan hal lainnya yang
mengikat bagi penerima insentif riset.
Hal ini menimbulkan beberapa
pertanyaan atau isu yang memunculkan
pro dan kontra atas penerapan fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan dana
bagi SBKU riset. Isu-isu yang muncul akan
dibahas lebih lanjut pada subbab
berikutnya dan selanjutnya digunakan
untuk menilai seberapa layaknya
pembentukan akun khusus SBKU riset
dalam pengelolaan keuangan negara.
4.2 Analisis Penerapan Fleksibilitas
Pertanggungjaaban Penggunaan
Dana SBKU Riset
4.2.1 Aspek Hukum
Pada subbab ini, analisis penerapan
fleksibilitas pertanggungjawaban
penggunaan dana SBKU riset dilihat dari
sisi hukum atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Beberapa
peraturan yang berkaitan diantaranya
adalah peraturan yang berkenaan dengan
BAS, pelaksanaan APBN, dan peraturan
lainnya yang relevan.
Dimulai dari Pasal 65 ayat (1)
Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 2013
tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN,
dalam hal penyelesaian tagihan kepada
negara atas suatu beban anggaran belanja
negara yang tertuang dalam APBN,
dilaksanakan berdasarkan hak dan bukti
yang sah untuk memperoleh pembayaran.
Pada pasal tersebut, pertanggungjawaban
atas suatu penggunaan dana dari APBN,
tidak mensyaratkan dokumen yang sangat
rinci. Hanya dipersyaratkan hak dan bukti
yang sah untuk memperoleh pembayaran.
Beberapa hal yang perlu dipastikan
dalam pengajuan SPP diuraikan dalam
pasal 67 yaitu saat PPSPM menguji SPP
atas suatu tagihan tertentu, harus
melakukan pengujian yang meliputi
kelengkapan dokumen SPP, ketersediaan
pagu anggaran dalam DIPA, kesesuaian
keluaran antara dokumen perjanjian
dengan DIPA, kebenaran hak tagih,
kesesuaian keluaran antara dokumenn
106
penerimaan barang/jasa dengan dokumen
perjanjian, dan ketepatan penggunaan
klasifikasi anggaran.
Analisis lain dari sisi hukum
selanjutnya adalah analisis dengan
memperhatikan PMK
No.214/PMK.05/2013 tentang Bagan Akun
Standar. Peraturan ini juga perlu
diperhatikan karena pada penerapannya,
diharapkan dibentuk akun khusus bagi
SBKU riset sehingga dari sisi akuntansi akan
lebih akuntabel.
Pada pasal 5 PMK
No.214/PMK.05/2013 disebutkan bahwa
BAS dikelola oleh DJPB. Dalam rangka
pengelolaan BAS tersebut, DJPB dapat
melakukan pemutakhiran BAS yang
dilakukan atas dasar usulan dan/atau
penetapan kebijakan.
Berdasarkan hal tersebut, usulan
pemutakhiran BAS dapat berasal dari K/L
dan/atau unit eselon I di lingkungan
Kemenkeu. Usulan tersebut disampaikan
kepada DJPB/DJA/DJPU sesuai dengan
jenis segmen-segmennya. Selain itu,
pemutakhiran BAS atas dasar penetapan
kebijakan dapat disebabkan antara lain
karena perubahan peraturan perundang-
undangan dan/atau perubahan proses
bisnis pengelolaan keuangan.
Berdasarkan beberapa analisis dari
sisi hukum tersebut di atas, penerapan
fleksibilitas pertanggungjawaban
penggunaan dana untuk SBKU riset tidak
memiliki permasalahan yang berarti.
Hanya perlu terdapat koordinasi antara
pihak-pihak terkait terutama DJPB sebagai
pengelola BAS. Selain itu juga diperlukan
sosialisasi bagi seluruh pengelola
keuangan negara terkait hal ini mengingat
SBKU akan berlaku bagi seluruh KL. Di
samping itu, juga perlu terdapat
komunikasi intensif dengan aparat dan
pemeriksa agar memiliki cara pandang
yang sama pada saat melakukan audit atas
pelaksanaan kegiatan dalam rangka
pencapaian output riset.
4.2.2 Aspek Urgensi
Analisis selanjutnya mengenai
rencana penerapan fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan dana
bagi SBKU riset ialah dengan mengkaji
urgensi dari hal tersebut. Dengan adanya
pertanggungjawaban secara “global” atau
tanpa pertanggungjawaban yang sangat
rinci dari penggunaan dana insentif riset,
hal ini akan memudahkan para peneliti
dalam proses penyusunan risetnya.
Bentuk pertanggungjawaban
secara global akan mendukung kinerja
peneliti dalam melakukan riset baik dari
sisi kuantitas maupun kualitas riset yang
dihasilkan. Dengan fokus pada penyusunan
risetnya, hal ini mendorong para peneliti
untuk menyusun riset sebanyak-
banyaknya dan peneliti akan lebih fokus
pada kualitas risetnya daripada sibuk
menyediakan segala bentuk nota atau
kuitansi sebagai bentuk
pertanggungjawaban atas penggunaan
dana riset.
Berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut, dilihat dari
urgensinya, maka penerapan fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan dana
bagi SBKU riset dapat dilakukan. Namun
perlu ditekankan pada para peneliti bahwa
dengan konsep pertanggungjawaban
tersebut, harus tetap mengedepankan
asas pengelolaan keuangan negara
sebagaimana diungkapkan dalam UU
No.17 Tahun 2003 yaitu keuangan negara
107
dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan bertanggung
jawab dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.
4.2.3 Isu-Isu yang Muncul Pada Penerapan
Fleksibilitas Pertanggungjawaban
Penggunaan Dana SBKU Riset
Dari beberapa uraian di atas,
terdapat aspek lain yang perlu
diperhatikan dalam melakukan analisis
penerapan fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan dana
bagi SBKU riset. Aspek tersebut adalah
perlunya memperhatikan isu-isu yang
muncul dari penerapan fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan dana
yang tidak dapat diabaikan dan perlu
terdapat solusinya. Terdapat 3 isu yang
akan dibahas satu per satu dalam subbab
ini yaitu berkenaan dengan penentuan
besaran SBKU riset itu sendiri,
akuntabilitas, dan pengukuran kinerja.
a. Penentuan Besaran SBKU Riset
Pembahasan akan dimulai dari isu
bagaimana besaran SBKU riset itu disusun.
Isu yang muncul adalah apakah besaran
SBKU riset yang telah ditetapkan, sudah
dapat menjamin bahwa kebutuhan riset
telah dapat terpenuhi. Sementara itu, jenis
riset yang ada sangat beragam dan
membawa konsekuensi kebutuhan
dananya juga cukup beragam pula. Isu ini
mungkin tidak berhubungan langsung
dalam pertimbangan untuk menentukan
pembentukan akun khusus bagi SBKU riset,
namun hal ini menjadi penting untuk
memastikan besaran SBKU adalah angka
yang dinilai paling efisien dan optimal
sehingga pertanggungjawaban secara
global dari penggunaan dana ini tidak
terdapat pro-kontra lagi.
Berikut beberapa uraian mengenai
penentuan besaran SBKU riset. SBKU
ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan
berlaku bagi seluruh kementerian
dan/atau lembaga. Agak berbeda dengan
konsep penggunaan besaran SBM dan SBK
dalam perencanaan dan pelaksanaan
anggaran, khusus besaran SBKU riset,
dalam proses perencanaan dan
pelaksanaan adalah batas tertinggi yang
tidak dapat dilampaui. Artinya, alokasi
SBKU dalam proses perencanaan tidak
boleh melebihi besaran yang telah
ditetapkan dan dalam pelaksanaan
anggaran juga terdapat aturan tertentu
yang menetapkan bahwa tidak semua
alokasi SBKU riset diberikan bagi suatu
proposal riset yang diajukan.
Dalam menentukan besaran yang
paling efisien, besaran SBKU disusun
berdasarkan kebutuhan riset yang selama
ini telah dilakukan atau berdasarkan
proposal-proposal riset yang telah
diajukan. Dari kisaran besaran tersebut,
Kemenkeu c.q DJA melakukan exercise
penghitungan secara detail dari kebutuhan
penyusunan riset per tahapan riset yang
selanjutnya didiskusikan bersama-sama
baik dengan pihak internal maupun pihak
eksternal DJA. Berdasarkan penghitungan
secara detail tersebut, akan diperoleh
besaran tertentu dari SBKU riset yang
selanjutnya ditetapkan sebagai SBKU yang
menjadi lampiran dari Peraturan Menteri
Keuangan tentang Standar Biaya Keluaran.
Atas besaran SBKU tersebut, kebutuhan
dana riset yang telah disusun diharapkan
telah sesuai dengan kebutuhan dalam
penyusunan riset.
108
Di sisi lain, dibuat juga ketentuan-
ketentuan tertentu dalam rangka
pengajuan anggaran riset sebagai bentuk
kontrol dari pengelolaan keuangan negara.
Ketentuan tersebut diantaranya
ialahmenentukan grade riset dan besaran
SBKU yang diberikan berdasarkan grade
tersebut. Artinya, dari proposal riset yang
diajukan, proposal akan direview oleh
reviewerdan akan ditentukan grade
risetnya. Selanjutnya berdasarkan grade
yang telah ditentukan, akan diberikan
persentase besaran SBKU tertentu,
misalnya riset grade A memperoleh 35%
dari besaran SBKU riset, riset grade B
memperoleh 50% dari besaran SBKU riset,
dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, dilihat
dari proses penentuan besaran SBKU riset,
pertanggungjawaban dana secara global,
tidak akan menimbulkan pro kontra karena
besaran SBKU riset disusun dengan
metode yang cukup memadai sehingga
menghasilkan besaran SBKU yang dinilai
paling efisien. Informasi ini perlu
disosialisasikan pada seluruh K/L sehingga
memiliki persepsi yang sama atas SBKU
riset.
b. Akuntabilitas
Isu selanjutnya yang menjadi
perhatian adalah akuntabilitas dari
pertanggungjawaban penggunaan dana
riset secara global. Pertanggungjawaban
tanpa menyertakan bukti-bukti
pembayaran secara rinci akan
menimbulkan moral hazard atau perilaku
seseorang yang tidak peduli dengan suatu
risiko atau kerugian yang timbul. Artinya,
dengan adanya kebijakan ini, justru
dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk
mengambil keuntungan sebanyak-
banyaknya. Hal ini menyebabkan tidak
terjaminnya akuntabilitas dari
pertanggungjawaban dana riset.
Menjawab atas kekhawatiran
tersebut, setiap kebijakan tentu saja selalu
timbul moral hazard yang menyebabkan
kebijakan tersebut tidak berjalan secara
sempurna. Berkenaan dengan kebijakan
pertanggungjawaban dana riset secara
global, timbulnya moral hazard dapat
diminimalisirkan dalam proses persetujuan
suatu pengajuan dana riset melalui
reviewer atas proposal riset yang diajukan.
Selain itu, dari proses penetapan besaran
SBKU riset sendiri pun sudah dimulai
diantisipasi dengan menentukan besaran
SBKU yang dinilai paling efisien dan
optimal.
Dengan demikian, isu akuntabilitas
yang muncul akibat adanya
pertanggungjawaban secara global dari
penggunaan dana riset, sudah dapat
dimitigasi risikonya. Maka pembentukan
pertanggungjawaban dana secara global,
tidak akan menimbulkan pro kontra dari
sisi akuntabilitas. Hal ini juga penting untuk
diinformasikan kepada pihak pemeriksa,
sehingga terdapat pemahaman yang sama
dan tidak mempermasalahkan di masa
yang akan datang.
c. Pengukuran Kinerja
Isu terakhir yang muncul dari
adanya kebijakan penerapan fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan dana
bagi SBKU riset adalah hilangnya alat yang
dapat digunakan Menteri Keuangan
sebagai chief Financial Officer (CFO) dalam
mengukur efisiensi melalui analisis varian.
Analisis varian merupakan penghitungan
109
dengan membandingkan biaya output,
tahapan pencapaian output, dan detail
biaya pada saat perencanaan dan
pelaksanaannya. Analisis varian
merupakan salah satu alat yang digunakan
untuk menilai efisiensi yang
membandingkan biaya suatu output dari
dimensi antarwaktu, tempat, dan
pengguna anggaran sebagai pelaksana
pencapaian output.
Perhitungan dengan alat ini tidak
dapat dilakukan karena tidak ada informasi
detail mengenai komponen biaya yang
digunakan dari dana insentif riset yang
telah digunakan oleh peneliti. Hal ini
terjadi karena pertanggungjawaban yang
diberikan oleh peneliti hanya berupa
penggunaan dana global dengan capaian
penyusunan risetnya.
Atas permasalahan tersebut, solusi
yang dapat diberikan yaitu dengan tetap
mewajibkan para peneliti untuk
memberikan rincian komponen biaya atas
penggunaan dana insentif riset yang
diperolehnya. Rincian tersebut berupa
ringkasan penggunaan dana seperti untuk
pembiayaan perjalanan dinas, biaya ATK,
biaya pengadaan, dan lain sebagainya
namun tidak perlu menyertakan bukti-
bukti pembayaran atas pembelian barang
atau penggunaan jasa tertentu. Dengan
demikian, dengan adanya rincian biaya
tersebut, penghitungan efisiensi dapat
dilakukan dan selain itu, isu atas kurangnya
akuntabilitas penggunaan dana riset juga
dapat diminimalisir.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian di
atas, berikut kesimpulan yang dapat
diperoleh yaitu:
1. Konsep penerapan fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan
dana untuk SBKU riset adalah serupa
dengan pertanggungjawaban pada
akun belanja lain-lain. Dengan
demikian, pertanggungjawaban atas
penggunaan riset hanya berupa
penggunaan dana secara gelondongan
dan tidak perlu terdapat bukti-bukti
pembayaran suatu barang/jasa yang
digunakan seperti nota, kuitansi, dan
struk. Pertanggungjawaban atas
penggunaan dana riset hanya berupa
kesepakatan 2 pihak antara PPK
dengan penerima insentif riset
Pertanggungjawaban atas
penggunaan dana riset hanya berupa
kesepakatan 2 pihak antara PPK
dengan penerima insentif riset.
Kesepakatan tersebut berisi
diantaranya progress penyelesaian
riset, persentase dana yang dapat
dicairkan per progress riset, waktu
penyelesaian riset, tenggat waktu
keterlambatan, konsekuensi apabila
riset terlambat diselesaikan atau tidak
dapat diselesaikan, dan hal lainnya
yang mengikat bagi penerima insentif
riset.
2. Berdasarkan beberapa analisis dari
beberapa peraturan perundang-
undangan yaitu PP No.45 Tahun 2013
dan PMK No.214/PMK.05/2013,
penerapan fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan
110
dana untuk SBKU riset tidak memiliki
permasalahan yang berarti dari sisi
hukum. Hanya perlu terdapat
koordinasi antara pihak-pihak terkait
terutama DJPB sebagai pengelola BAS.
Selain itu juga diperlukan sosialisasi
bagi seluruh pengelola keuangan
negara terkait hal ini mengingat SBKU
akan berlaku bagi seluruh KL. Di
samping itu, juga perlu terdapat
komunikasi intensif dengan aparat dan
pemeriksa agar memiliki cara pandang
yang sama pada saat melakukan audit
atas pelaksanaan kegiatan dalam
rangka pencapaian output riset.
3. Dilihat dari urgensinya, penerapan
fleksibilitas pertanggungjawaban
penggunaan dana bagi SBKU riset
dapat dilakukan. Namun perlu
ditekankan pada para peneliti bahwa
dengan konsep pertanggungjawaban
secara global, harus tetap
mengedepankan asas pengelolaan
keuangan negara sesuai UU No.17
Tahun 2003 yaitu keuangan negara
dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan,
efisien, ekonomis, efektif, transparan,
dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan.
4. Terdapat 3 isu yang muncul dalam
penerapan fleksibilitas
pertanggungjawaban penggunaan
dana bagi SBKU riset yaitu penentuan
besaran SBKU riset, akuntabilitas, dan
pengukuran kinerja. Isu-isu tersebut
muncul akibat adanya kekhawatiran
bahwa adanya fleksibilitas justru akan
menimbulkan moral hazard dari para
peneliti untuk menggunakan dana
riset secara tidak bertanggung jawab,
kurangnya akuntabilitas, dan
hilangnya alat bagi Menkeu dalam
rangka menghitung efisiensi melalui
analisis varian. Namun demikian dari
setiap isu telah dapat mitigasi
risikonya sehingga diharapkan di masa
yang akan datang tidak lagi muncul
permasalahan
5.2 Saran
Atas beberapa kesimpulan yang
telah diambil tersebut, berikut saran yang
dapat diberikan yaitu:
6. Saat fleksibilitas terhadap
pertanggungjawaban penggunaan
dana SBKU riset direalisasikan, perlu
terdapat kontrol yang baik sehingga
akuntabilitas tetap terjaga.
7. Harus terdapat sosialisasi yang
dilakukan dalam memberikan
pemahaman yang tepat kepada
seluruh pihak yang terkait dengan
kebijakan ini. Beberapa pihak
diantaranya, pihak Kemenristekdikti,
JFA peneliti, pihak universitas atau
akademisi, pihak pemeriksa, BPK, Itjen,
dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan, agar terdapat
pemahaman yang sama sehingga
terjadinya moral hazard dapat
diminimalisirkan.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan
APBN
111
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
71/PMK.02/2013 tentang Pedoman
Standar Biaya, Standar Struktur
Biaya, dan Indeksasi Dalam
Penyusunan RKA K/L
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
214/PMK.05/2013 tentang Bagan
Akun Standar
112
PENGARUH KEBIJAKAN AT COST TERHADAP ALOKASI ANGGARAN
PERJALANAN DINAS
AA Nova Swandana Email: [email protected]
INTISARI
Kebijakan penerapan mekanisme at cost pada perjalanan dinas membawa dampak pro dan kontra. Sampai dengan saat ini belum ada penelitian yang berusaha membahas mengenai pengaruh penerapan at cost tersebut. Penelitian ini merupakan tipe penelitian
korelasional yang berusaha untuk menemukan pengaruh atas kebijakan tersebut pada alokasi anggaran perjalanan dinas dengan mengangkat variabel pagu anggaran, belanja barang, uang harian, dan transportasi. Jangkauan penelitan ini mulai dari tahun 2005 hingga 2011. Untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan, digunakan metodologi analisis uji beda dan regresi statistika. Analisis uji beda untuk menguji apakah terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah penerapan at cost, dan regresi statistika untuk mengetahui secara lebih mendetail hubungan antara variabel dengan mekanisme at cost. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa terdapat perbedaan alokasi pagu perjalanan dinas antara sebelum dan sesudah penerapan at cost. Sedangkan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap perjalanan dinas adalah: uang harian, pagu perjalanan dinas, dan pagu belanja barang. variabel-variabel tersebut mempengaruhi perjalanan dinas sebanyak 56%. Selain itu, terdapat variabel lainnya yang memberikan kontribusi pengaruh sebesar 44% terhadap perjalanan dinas.
Kata kunci: perjalanan dinas, at cost, lump sum, belanja negara, anggaran sektor publik
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Bicara mengenai perjalanan dinas
merupakan suatu hal yang menarik. Tidak
hanya di negara berkembang seperti
Indonesia, negara-negara maju pun
memiliki permasalahan dalam
mengefisienkan pengeluaran perjalanan
dinas. Di Indonesia, semangat
mengefisienkan belanja negara tercermin
dari dikeluarkannya PMK 45/PMK.05/2007
tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam
Negeri Bagi Pejabat Negara,Pegawai
Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap
(selanjutnya dalam tulisan ini disebut
perjalanan dinas saja) pada tanggal 25 April
2007. Salah satu latar belakang keluarnya
PMK tersebut adalah pertimbangan bahwa
pembiayaan untuk perjalanan dinas harus
sesuai dengan kebutuhan nyata dan
memenuhi kaidah-kaidah pengelolaan
keuangan negara. Karena itu perlu
dilakukan perubahan pada cara
pembayaran biaya perjalanan dinas, dari
sebelumnya diberikan secara gelondongan
(lumpsum) menjadi dihitung sesuai dengan
kebutuhan riil (at cost) khususnya pada
biaya transportasi dan penginapan.
Perubahan tersebut diharapkan
menunjang pelaksanaan anggaran yang
transparan dan akuntabel, dalam hal ini
untuk menghindari peluang terjadinya
praktek yang tidak sehat seperti
113
menambah jumlah hari perjalanan. Sistem
at cost dipercaya mampu memberikan
manfaat efisiensi, karena:
1. Semua kebutuhan dalam pelaksanan
perjadin difasilitasi
2. Pengeluaran benar-benar sesuai
kenyataannya untuk mendukung
pencapaian output
3. Meminimalisir tujuan untuk
menambah penghasilan sehingga
perjadin dilakukan benar-benar dalam
kerangka mencapai output
4. Memudahkan pelaksanaan
pemeriksaan karena terdapat bukti riil
Secara psikologis, penerapan
metode at cost yang sesuai dengan
kebutuhan nyata dianggap akan mampu
meningkatkan efisiensi perjalanan dinas
sekaligus menurunkan tendensi
melakukan perjalanan dinas untuk
menambah penghasilan. Kenyataan bahwa
pemerintahan daerah, pimpinan dan
anggota DPRD juga mulai mengadopsi
sistem at cost ini dengan terbitnya
Permendagri Nomor 16/2013 tentang
Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2013
telah menunjukkan bahwa at cost betul-
betul dipandang mampu meningkatkan
efisiensi perjalanan dinas.
Disisi lain, terdapat suara
penolakan terhadap penerapan at cost.
Arus penolakan terhadap kebijakan ini
mulai dari permintaan untuk kembali pada
metode lumpsum karena at cost ditengarai
mengurangi penghasilan sampai dengan
anggapan bahwa at cost justru membawa
konsekuensi lebih borosnya perjalanan
dinas yang dilakukan.
Kini telah genap 8 tahun semenjak
PMK 45/PMK.05/2007 diterbitkan,
ternyata belum ada satupun penelitian
yang berusaha menjawab apakah benar
penerapan at cost tersebut berpengaruh
terhadap alokasi anggaran.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah
memberikan gambaran tentang ada
tidaknya pengaruh pada alokasi anggaran
sebagai dampak dari penerapan
mekanisme at cost pada perjalanan dinas.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian ini adalah:
1. Adakah perbedaan pada alokasi
perjalanan dinas antara sebelum dan
sesudah penerapan at cost?
2. Variabel apakah yang paling
mempengaruhi perjalanan dinas?
1.4 Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penelitian ini berupaya memberi
jawaban ada tidaknya pengaruh
penerapan metode at cost pada alokasi
perjalanan dinas. Seluruh data perjalanan
dinas pada APBN terekam dalam data
server DJA, dan untuk mengaksesnya
diperlukan interface. Interface yang
dibangun oleh DJA sekarang hanya
memfasilitasi akses mulai dari tahun
anggaran 2005, sehingga data yang ideal
tidak dapat diperoleh, diantaranya adalah
volume perjalanan dinas. Selain itu,
beberapa perubahan yang terjadi terkait
perumusan output Kegiatan pada tahun
2009-2010 telah membuat beberapa
struktur data (diantaranya output) menjadi
berubah dan berbeda antar tahun.
Pokok dari penelitian ini adalah
penerapan at cost, karena itu diperlukan
titik kapan penerapan at cost tersebut
114
dilakukan. Meskipun semenjak PMK
45/PMK.05/2007 yang mengatur at cost
menyatakan berlaku pada saat PMK
tersebut diundangkan, pada penelitian ini
digunakan asumsi bahwa penerapan at
cost dilaksanakan pada tahun 2008 dengan
pertimbangan bahwa pada tahun 2007
fasilitas yang mendukung terlaksananya
mekanisme at cost belum tersedia dengan
baik, dan baru pada tahun 2008 bisa
dikatakan cukup baik.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori kebijakan
Menurut definisi KBBI, kebijakan
adalah :
Kebijakan/ke·bi·jak·an/ n 1 kepandaian;
kemahiran; kebijaksanaan; 2 rangkaian
konsep dan asas yg menjadi garis besar
dan dasar rencana dl pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak (tt pemerintahan, organisasi,
dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip,
atau maksud sbg garis pedoman untuk
manajemen dl usaha mencapai sasaran;
garis haluan:
Menurut Ealau dan Pewitt (1973)
kebijakan adalah sebuah ketetapan yang
berlaku,dicirikan oleh perilaku yang
konsisten dan berulang baik dari yang
membuat atau yang melaksanakan
kebijakan tersebut. Menurut Titmuss
(1974) mendefinisikan kebijakan sebagai
prinsip-prinsip yang mengatur tindakan
dan diarahkan pada tujuam tertentu dan
menurut Edi Suharto (2008:7) menyatakan
bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan
yang memuat prinsip-prinsip untuk
mengarahkan cara bertindak yang dibuat
secara terencana dan konsisten dalam
mencapai tujuan tertentu.
Dalam lingkup publik, dikenal
adanya kebijakan publik. Kebijakan publik
menurut Anderson (1975) adalah
kebijakan kebijakan yang dibangun oleh
badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah, di mana implikasi dari
kebijakan tersebut adalah: 1) kebijakan
publik selalu mempunyai tujuan tertentu
atau mempunyai tindakan-tindakan yang
berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan
publik berisi tindakan-tindakan
pemerintah; 3) kebijakan publik
merupakan apa yang benar-benar
dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan
merupakan apa yang masih dimaksudkan
untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang
diambil bisa bersifat positif dalam arti
merupakan tindakan pemerintah
mengenai segala sesuatu masalah
tertentu, atau bersifat negatif dalam arti
merupakan keputusan pemerintah untuk
tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan
pemerintah setidak-tidaknya dalam arti
yang positif didasarkan pada peraturan
perundangan yang bersifat mengikat dan
memaksa
2.2 Teori alokasi anggaran
Menurut definisi KBBI, alokasi
adalah: Alokasi/alo·ka·si/ n Ek 1 penentuan
banyaknya barang yg disediakan untuk
suatu tempat (pembeli dsb); penjatahan; 2
penentuan banyaknya uang (biaya) yg
disediakan untuk suatu keperluan:
Pemerintah memberi -- dana kpd tiap desa
untuk membangun gedung sekolah dasar;
3 Sos pembagian pengeluaran dan
pendapatan (di suatu departemen,
instansi, atau cabang perusahaan), baik dl
115
perencanaan maupun pelaksanaannya; 4
Man penentuan penggunaan sumber daya
secara matematis (msl tt tenaga kerja,
mesin, dan perlengkapan) demi
pencapaian hasil yg optimal;
Menurut Mardiasmo (2002:61):
”Anggaran merupakan pernyataan
mengenai estimasi kinerja yang hendak
dicapai selama periode waktu tertentu
yang dinyatakan dalam ukuran financial,
sedangkan penganggaran adalah proses
atau metoda untuk mempersiapkan suatu
anggaran.”
Untuk menyusun suatu anggaran,
organisasi harus mengembangkan lebih
dahulu perencanaan strategis. Melalui
perencanaan strategis terserbut, anggaran
mendapatkan kerangka acuan strategis. Di
sini, anggaran menjadi bermakna sebagai
alokasi sumber daya berupa keuangan
untuk mendanai berbagai program dan
kegiatan.
2.3 Perjalanan Dinas
Definisi perjalanan dinas menurut
KBBI:
Per·Ja·lan·an n 1 perihal (cara, gerakan,
dsb) berjalan: krn kakinya cacat, ~ nya tidak
sempurna; 2 kepergian (perihal bepergian)
dr suatu tempat dsb ke tempat dsb yg lain:
ia mendapat kecelakaan dl ~ ke Jakarta; 3
jarak (jauh) yg dicapai dng berjalan dl
waktu yg tertentu: jauhnya kira-kira dua
jam ~; 4 perbuatan; kelakuan; tingkah laku:
ia bertanya kpd saya bagaimana ~ pegawai
baru itu sebelum bekerja di sini;
Di·nas 1 n bagian kantor pemerintah yg
mengurus pekerjaan tertentu; jawatan: --
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya; 2 n
segala sesuatu yg bersangkutan dng
jawatan (pemerintah), bukan swasta: surat
--; pekerjaan --; 3 v cak bertugas, bekerja
(dl jawatan pemerintah): di mana kau --
sekarang?;
Berdasarkan definisi kedua kata
tersebut, dapat ditarik disimpulkan yang
dimaksud dengan perjalanan dinas adalah
perihal bepergian dari suatu tempat ke
tempat yang lain karena bekerja. Dalam
pelaksanaannya, karena perpindahan
tersebut memerlukan biaya-biaya maka
kepada pegawai diberikan fasilitas
perjalanan dinas berupa uang harian, uang
transportasi, dan penginapan (jika
diperlukan). Pada prinsipnya, fasilitas
tersebut merupakan biaya karena tidak
bersifat menambah penghasilan.
Pengaturan mengenai perjalanan
dinas itu diatur oleh Menteri Keuangan
selaku Chief Financial Officer dalam
Pemerintahan Republik Indonesia. Dalam
bentuk pengaturannya, Kewenangan
Menteri Keuangan tersebut didelegasikan
menjadi dua kewenangan yang diberikan
kepada Direktorat Jenderal Anggaran yang
mengatur mengenai besaran standar
biayanya, dan Direktorat Jenderal
Perbendaharaan yang mengatur mengenai
mekanisme perjalanan dinasnya. PMK
Nomor 45/PMK.02/2007 adalah terbitan
Direktorat Jenderal Perbendahaaran yang
bersifat mengatur mekanisme. Pada
perjalanannya, PMK tersebut melalui
beberapa kali revisi dan terakhir dicabut
dengan PMK No.113/PMK.05/2012 yang
tetap mempertahankan pengaturan
mekanisme at cost.
Terdapat dua klasifikasi perjalanan
dinas, yakni perjalanan dinas dalam negeri
dan perjalanan dinas luar negeri.
Perjalanan dinas dalam negeri diatur
dalam PMK Nomor 45/PMK.02/2007 jo.
116
PMK No.113/PMK.05/2012, Sedangkan
untuk Perjalanan Dinas Luar Negeri diatur
melalui Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 97/PMK.05/2010, Terdapat tiga
komponen dalam perjalanan dinas yaitu
uang harian, tranportasi, dan penginapan.
Perlu disampaikan bahwa, pengaturan at
cost dalam perjalanan dinas dalam negeri
adalah pada komponen transportasi (tiket)
dan hotel. Sedangkan pada perjalanan
dinas luar negeri, hanya transportasi yang
diberikan at cost karena uang penginapan
digabungkan dengan uang harian yang
diberikan secara lumpsum.
Menurut kedua peraturan
tersebut, Perjalanan Dinas Dalam Negeri,
didefinisikan sebagai: perjalanan ke luar
tempat kedudukan yang dilakukan dalam
wilayah Republik Indonesia untuk
kepentingan negara. Sedangkan
Perjalanan Dinas Luar Negeri, yang
didefinisikan sebagai: perjalanan baik
perseorangan maupun secara bersama
untuk kepentingan dinas/negara, dari
Tempat Bertolak di Dalam Negeri ke
Tempat Tujuan di Luar Negeri, dari Tempat
Kedudukan di Luar Negeri/ Tempat
Bertolak di Luar Negeri ke Tempat Tujuan
di Dalam Negeri, atau dari Tempat
Kedudukan di Luar Negeri/Tempat
Bertolak di Luar Negeri ke Tempat Tujuan
di Luar Negeri, yang dananya bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN).
Terdapat perbedaan antara
pengaturan perjalanan dinas yang
bersumber dari dana APBN dengan dana
APBD. Seorang analis anggaran
mengibaratkan keuangan negara sebagai
aliran sungai yang terbelah dua, menjadi
Anggaran Pusat dan anggaran Daerah.
Dalam UU Nomor 17 tahun 2003
disebutkan dalam pasal bahwa keuangan
daerah diserahkan kepada pemerintahan
daerah. Sebagai pembina keuangan daerah
dipegang oleh Kementerian Dalam Negeri.
Perjalanan dinas yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah, dan Pimpinan serta
Anggota DPRD diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia,
yang terakhir adalah Permendagri Nomor
37 Tahun 2014 yang (serupa dengan
pengaturan pada APBN) mengatur uang
transportasi dan penginapan dibayar
secara at cost dan uang harian secara
lumpsum.
Namun khusus untuk DPR yang
merupakan bagian dari
Kementerian/Lembaga, biarpun sama-
sama menggunakan dana APBN,
perjalanan dinas Pimpinan dan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia diatur tersendiri dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
1990 yang mengatur perjalanan dinas
untuk Pimpinan dan anggota DPR secara
lumpsum.
Terkait dengan sistem
penganggaran, perjalanan dinas
menempati pos akun belanja 524. Dalam
penganggaran di Indonesia dikenal adanya
pembagian Jenis Belanja yang terdiri dari:
(1) Aset; (2) Kewajiban (3) Ekuitas Dana (4)
Pendapatan; (5) Belanja; (6) Transfer untuk
daerah; (7) Pembiayaan. Dan (8) Non
Anggaran. Pengeluaran atau belanja dibagi
menjadi (51) Belanja Pegawai, (52) Belanja
Barang (Belanja Perjalanan terdapat pada
sub Belanja Barang dengan akun 524), (53)
Belanja Modal, (54) Pembayaran Utang
(55) Belanja Subsidi (56) Belanja Hibah (57)
Belanja Bantuan Sosial, dan (58) Belanja
117
lain-lain. Pengaturan sebagaimana
tersebut diatur melalui PMK Nomor
91/PMK.05/2007 jo. PMK No.
214/PMK.05/2013 tentang Bagan Akun
Standar. Bagan Akun Standar adalah daftar
kodefikasi dan klasifikasi terkait transaksi
keuangan yang disusun secara sistematis
sebagai pedoman dalam perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan
pelaporan keuangan pemerintah
Belanja Perjalanan dalam Negeri
mendapat kode akun 52411, dan Belanja
Perjalanan Luar Negeri mendapat kode
akun 52421 dengan sub akun 6 digit
sebagaimana berikut:
Tabel 1.1 Akun dan Kode Akun Perjalanan Dinas Dalam dan Luar Negeri Belanja perjalanan dinas dalam negeri 52411
524111 Belanja perjalanan dinas biasa
524112 Belanja perjalanan dinas tetap
524113 Belanja perjalanan dinas dalam kota
524114 Belanja paket
meeting dalam
kota
524119 Belanja paket
meeting luar kota
Belanja
perjalanan
dinas luar
negeri
52421
524211 Belanja perjalan
biasa – Luar
Negeri
524212 Belanja Perjalanan
dinas tetap – Luar
negeri
524219 Belanja Perjalanan
Lainnya –Luar
Negeri
Komponen yang diatur dalam
pengaturan PMK 45 jo PMK 113 adalah
terdapat dalam akun 524111 yang detilnya
terdiri dari Belanja Uang Harian, Belanja
Transportasi, dan Belanja Penginapan.
Kegiatan Paket meeting (berdasarkan
standar biaya terdiri dari paket yang
disediakan hotel untuk keperluan meeting
terdiri dari half day/paket setengah hari-5
jam, fullday-paket sehari 8 jam, dan
fullboard-paket termasuk menginap)
sebagai fasilitasi dari rapat, seminar, dan
sejenisnya yang dilaksanakan diluar kota
menggunakan akun 524119 Sesuai
Perdirjen Perbendaharaan No. PER-
22/PB/2013, dan Surat Dirjen PB No. S-
4599/PB/2013.
2.4 At cost dan Lumpsum
Salah satu latar belakang
dikeluarkannya PMK Nomor
45/PMK.05/2007 adalah pertimbangan
bahwa pembiayaan untuk perjalanan dinas
harus sesuai dengan kebutuhan nyata dan
memenuhi kaidah-kaidah pengelolaan
keuangan negara. Kebutuhan nyata/riil
yang dimaksud ada didalam mekanisme at
cost yang merupakan anti tesis dari
mekanisme lumpsum.
Mekanisme lumpsum itu sendiri
berarti pembiayaan yang diberikan
sekaligus kepada yang menjalankan tugas,
sedangkan mekanisme at cost berarti biaya
dibayarkan sesuai dengan pengeluaran
secara riil, dapat diberikan dimuka.
Berlawanan dengan mekanisme at cost
yang mana jika realisasi pengeluaran
kurang dari yang diberikan maka sisanya
harus dikembalikan, maka pada
mekanisme lumpsum jika pengeluaran
lebih kecil daripada pembiayaan yang
diberikan maka kelebihannya menjadi hak
yang menjalankan tugas.
Perjalanan dinas dan kesejateraan
pegawai merupakan isu sentral dari
penolakan atas pemberlakuan sistem at
118
cost. Merupakan rahasia umum bahwa
sistem lumpsum memberikan peluang
kepada pegawai untuk menabung
kelebihan uang yang diterimanya melalui
penghematan yang dilakukan. Misal,
daripada memilih tiket perjalanan yang
semestinya menggunakan tiket Garuda
sesuai standar perjalanan dinas, yang
bersangkutan lebih memilih menggunakan
maskapai penerbangan lain yang harga
tiketnya di bawah harga tiket Garuda untuk
dapat mengambil keuntungan dari selisih
harga tiket tersebut. Semenjak
pemberlakuan at cost, hal tersebut tidak
dapat dilakukan lagi yang mana hal
tersebut berimbas pada kesejahteraan
pegawai yang melakukan perjalanan dinas
karena secara otomatis tidak ada celah lagi
untuk melakukan penghematan
disebabkan yang dibayarkan sesuai dengan
harga tiket.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Menurut Kuncoro (2009, 10),
terdapat 5 jenis penelitian berdasarkan
metode yang dilakukan dalam penelitian
tersebut yaitu: penelitian historis;
deskriptif; korelasional; kausal komparatif;
dan eksperimental. Maka penelitian ini
termasuk dalam jenis penelitian
korelasional yaitu penelitian yang
bertujuan menentukan apakah terdapat
asosiasi antara 2 variabel atau lebih, serta
seberapa jauh korelasi yang ada di antara
variabel yang diteliti. Namun terdapat
suatu hal yang perlu diperhatikan, bahwa
penelitian korelasi tidak menjelaskan
sebab-akibat dari setiap variabelnya,
melainkan hanya menjelaskan ada atau
tidak adanya hubungan antara variabel
yang diteliti.
Jenis data yang digunakan dalam
studi ini ialah data panel berupa data
pooled yaitu kombinasi data yang memiliki
elemen runtun waktu dan crosssection
(Gujarati, 2004: 28). Data yang digunakan
terdiri dari 63 K/L dengan waktu penelitian
pada data anggaran tahun 2005 hingga
2011. Data panel dipilih karena beberapa
keunggulan di antaranya (Baltagi, 2005: 4-
6):
1. Data panel yang merupakan gabungan
dua jenis data cross-section dan time
series, mampu menyediakan data yang
lebih banyak sehingga memberikan
informasi yang lebih banyak, lebih
beragam, sedikit kolinearitas
antarvariabel, menghasilkan degree of
freedom lebih besar, dan lebih efisien;
2. Dengan mempelajari unit cross-section
yang berulang-ulang, maka
penggunaan data panel lebih baik
dalam mempelajari adanya perubahan
dinamis;
3. Dapat lebih baik mendeteksi dan
mengukur pengaruh suatu variabel
yang tidak diperoleh jika
mengobservasi dengan data murni
cross-section atau murni time series.
4. Memungkinkan peneliti untuk
mempelajari suatu model perilaku
yang lebih kompleks.
5. Secara sederhana, penggunaan data
panel dapat memperkaya analisis
empiris yang mungkin tidak dapat
ditemukan jika hanya menggunakan
data runtun waktu saja atau data cross-
section saja.
Data yang digunakan dalam kajian
ini diambil dari business inteligence (BI)
119
DJA, standar biaya masukan (SBM) untuk
besaran satuan biaya uang harian, satuan
biaya uang tiket, dan satuan biaya
penginapan. Data pagu yang digunakan
adalah data pagu Perpres.
3.2 Strategi identifikasi
Perjalanan dinas dari setiap K/L
merupakan hasil dari proses produksi
dengan memanfaatkan sumber daya yang
tersedia dari beberapa variabel yaitu pagu
K/L, belanja barang, dan uang harian. Maka
fungsi produksi dari perjalanan dinas
adalah:
Perjadin = f(PAGU, BBARANG, UHARIAN)
Keterangan:
PAGU = pagu anggaran K/L
(Rupiah)
BBARANG = belanja barang K/L
(Rupiah)
UHARIAN = besar uang harian sesuai
SBU/SBM (Rupiah)
Secara umum dengan
menggunakan data panel akan
menghasilkan intersep dan slope koefisien
yang berbeda pada setiap provinsi dan
setiap periode waktu. Dengan demikian,
dalam mengestimasi model data panel,
akan tergantung dari asumsi yang dibuat
tentang intersep, koefisien slope, dan
variabel gangguannya. Beberapa
kemungkinan yang muncul yaitu
(Widarjono, 2009):
1. Intersep dan slope tetap sepanjang
waktu dan provinsi. Maka perbedaan
intersep dan slope dijelaskan oleh
variabel gangguan.
2. Slope tetap dan intersep berbeda
antarprovinsi.
3. Slope tetap dan intersep berbeda baik
antarwaktu maupun antarprovinsi.
4. Slope dan intersep berbeda
antarprovinsi.
5. Slope dan intersep berbeda
antarwaktu dan antarprovinsi.
Terdapat beberapa metode yang
secara umum digunakan untuk
mengestimasi model regresi dengan data
panel yaitu:
1. Koefisien tetap antarwaktu dan
individu (common effect)
Pendekatan ini menggunakan
metode OLS biasa untuk mengestimasi
model data panel. Dalam pendekatan
ini tidak memperhatikan dimensi
individu maupun waktu. Diasumsikan
bahwa perilaku data antarprovinsi
sama dalam berbagai kurun waktu.
Bentuk model persamaan regresi
secara umum sebagai berikut:
Yit = β0+ β1Xit+ εit
Keterangan:
Yit = variabel dependen dari individu i
pada kurun waktu t
Xit = variabel independen dari individu
i pada kurun waktu t
εit = error term
2. Slope konstan dan intersep berbeda
antarindividu (fixed effect)
Asumsi pada common effect dinilai
tidak mencerminkan kondisi
sebenarnya. Karakteristik dari
beberapa individu (provinsi) jelas akan
berbeda. Salah satu cara paling
sederhana untuk mengetahui adanya
perbedaan adalah dengan
mengasumsikan bahwa intersep
berbeda antarindividu (provinsi)
sedangkan slopenya tetap sama
120
antarindividu (provinsi). Bentuk model
FE secara umum ialah:
Yit = β0i+ β1Xit+ εit
Keterangan:
Yit = variabel dependen dari individu i
pada kurun waktu t
Xit = variabel independen dari individu
i pada kurun waktu t
εit = error term
Pada model tersebut intersep β
diberikan subkrip i untuk menunjukkan
bahwa intersep dari seluruh individu
(provinsi) dimungkinkan berbeda.
Adanya perbedaan intersep dalam
model fixed effect, ditangkap dengan
penggunaan variabel dummy dalam
model estimasi. Tehnik ini dikenal
dengan tehnik least squares dummy
variables (LSDV). Penggunaan dummy
juga bertujuan untuk mewakili
ketidaktahuan peneliti tentang model
yang sebenarnya.
3. Random effect
Penggunaan variabel dummy
dalam model fixed effect (FE) membawa
konsekuensi berkurangnya derajat
kebebasan (degree of freedom) yang pada
akhirnya mengurangi efisiensi parameter.
Masalah ini dapat diatasi dengan
penggunaan variabel gangguan (error
terms) yang dikenal dengan metode
random effect (RE). Variabel gangguan dari
metode estimasi data panel ini, mungkin
saling berhubungan antarwaktu dan
antarindividu.
Asumsi yang digunakan adalah
intersepnya merupakan variabel random
atau stokastik. Maka model RE secara
umum ialah
Yit = β0i+ β1Xit+ εt
Keterangan:
Yit = variabel dependen dari individu i
pada kurun waktu t
Xit = variabel independen dari individu
i pada kurun waktu t
εt = error term
Dalam hal ini β0i tidak lagi tetap
tetapi bersifat random sehingga dapat
dituliskan kembali dalam persamaan
sebagai berikut:
β0i = �̅�0 + µi yaitu i = 1,….n
�̅�0 adalah parameter yang tidak diketahui
yang menunjukkan rata-rata intersep
populasi dan µ adalah variabel gangguan
yang bersifat random yang menjelaskan
adanya perbedaan perilaku provinsi secara
individu. Dalam hal ini, variabel gangguan
µi memiliki karakteristik sebagai berikut:
E(µi) = 0 dan var(µi) = 𝜎𝜇2
Sehingga E(β0i) = �̅�0 dan var(β0i) = 𝜎𝜇2
Maka persamaan RE menjadi:
Yit = (�̅�0 + µi) + β1Xit + eit
= �̅�0 + β1Xit + (eit + µi)
= �̅�0 + β1Xit + vit
Yaitu vit = eit + µi yang berarti bahwa
variabel gangguan vit terdiri dari dua
komponen berupa variabel gangguan
secara menyeluruh eit (kombinasi time
series dan cross section) serta variabel
gangguan secara individu µi. Variabel
gangguan µi adalah berbeda-beda
antarindividu tetapi tetap antarwaktu.
Dengan demikian model RE juga disebut
sebagai error component model (ECM).
Asumsi yang berkaitan dengan
variabel gangguan vit adalah sebagai
berikut:
a. Nilai harapan variabel gangguan nol
E(vit) = 0
121
b. Varian variabel gangguan
homoskedastisitas Var(vit) = 𝜎𝜇2 + 𝜎𝑒
2
c. Variabel gangguan dari provinsi yang
sama dalam periode yang berbeda
saling berkorelasi cov (vit, vis) = 𝜎𝜇2 (t ≠
s)
d. Variabel gangguan dari provinsi yang
berbeda tidak berkorelasi cov (vit, vjs) =
0 (i ≠ j).
Adanya korelasi antara variabel gangguan
dalam model RE menyebabkan metode
OLS tidak bisa digunakan untuk mendapat
estimator yang efisien. Metode yang tepat
digunakan untuk mengestimasi model RE
adalah generalized least squares (GLS).
Sebelum melakukan estimasi,
terlebih dahulu dilakukan uji akar unit (unit
root) dari masing-masing variabel. Pada
dasarnya, uji akar unit dilakukan pada data
panel untuk meningkatkan kekuatan dari
hasil estimasi (Baltagi, et al., 2007).
Pemilihan tehnik estimasi model
regresi data panel sebagaimana
disebutkan di atas, ditentukan dengan
beberapa uji statistik untuk menemukan
model terbaik yang digunakan untuk
mengestimasi model regresi. Maka
beberapa uji tersebut di antaranya:
1. Uji signifikansi FE
Keputusan untuk menambahkan
variabel dummy untuk mengetahui
bahwa intersep berbeda antarprovinsi
dengan metode FE dapat ditunjukkan
dengan uji F statistik. Uji F ini
merupakan uji perbedaan dua regresi
yang juga dikenal dengan uji Chow. Uji
F digunakan untuk mengetahui apakah
tehnik regresi data panel dengan FE
lebih baik dari model regresi data panel
tanpa variabel dummy. Hal ini
dilakukan dengan melihat residual sum
of squares (RSS) dari masing-masing
model. Adapun uji F statistiknya adalah
sebagai berikut:
𝐹 =(𝑅𝑆𝑆1 − 𝑅𝑆𝑆2) 𝑚⁄
(𝑅𝑆𝑆2) (𝑛 − 𝑘)⁄
Keterangan:
RSS1= residual sum of squares tehnik tanpa
variabel dummy
RSS2= residual sum of squares tehnik FE
dengan variabel dummy
m = jumlah restriksi atau pembatasan di
dalam model tanpa variabel dummy
n = jumlah observasi
k = jumlah parameter dalam model FE
dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 = common effect
H1 = fixed effect
Nilai statistik F hitung akan mengikuti
distribusi statistik F dengan derajat
kebebasan (df) sebanyak m untuk
numerator dan sebanyak n-k untuk
denumetor. Maka jika F hitung lebih besar
dari F statistik, maka menolak H0 yang
artinya model FE dengan tehnik LSDV
adalah model data panel yang lebih tepat
dibandingkan dengan common effect (CE).
2. Uji signifikansi RE
Selanjutnya perlu dilakukan pengujian lain
untuk memilih model data panel RE atau
CE yang sesuai untuk mengestimasi data
panel. Pengujian ini menggunakan uji
Lagrange multiplier (LM) yang
dikembangkan oleh Breusch Pagan. Uji ini
didasarkan pada nilai residual dari metode
OLS. Adapun nilai statistik LM dihitung
dengan formula sebagai berikut:
𝐿𝑀 =𝑛𝑇
2(𝑇 − 1)[∑ [∑ 𝑒𝑖�̂�
𝑇𝑡=1 ]𝑛
𝑖=12
∑ ∑ �̂�𝑖𝑡2𝑇
𝑡=1𝑛𝑖=1
− 1]
2
=𝑛𝑇
2(𝑇 − 1)[
∑ (𝑇�̂��̅�)𝑛𝑖=1
2
∑ ∑ �̂�𝑖𝑡2𝑇
𝑡=1𝑛𝑖=1
− 1]
2
122
Keterangan:
n = jumlah individu
T = jumlah periode waktu
e = residual metode OLS
dengan hipotesis:
H0 = common effect
H1 = random effect
Uji LM ini didasarkan pada distribusi chi-
squares dengan degree of freedom sebesar
jumlah variabel independen. Jika nilai LM
lebih besar daripada nilai statistik chi-
squares, maka H0 ditolak atau metode RE
merupakan metode yang tepat dalam
mengestimasi model regresi data panel
daripada metode OLS.
3. Uji signifikansi FE atau RE
Terdapat 2 pertimbangan dalam
menentukan pemilihan metode estimasi
data panel dengan FE atau RE, yaitu:
a. Keberadaan korelasi antara error terms
eit dan variabel independen X
Jika diasumsikan terjadi korelasi antara
eit dan variabel independen X, maka
model RE lebih tepat. Begitu juga
sebaliknya, jika tidak ada korelasi
antara eit dan variabel independen X,
maka model FE lebih tepat.
b. Jumlah sampel dalam penelitian
Jika sampel yang digunakan hanya
sebagian kecil dari populasi, maka akan
diperoleh error terms eit yang bersifat
random sehingga model RE lebih tepat.
Namun demikian, terdapat uji
formal yang dikembangkan oleh Hausman
mengenai uji statistik untuk memilih
menggunakan model FE atau RE. uji ini
didasarkan pada ide bahwa LSDV dalam
metode FE dan GLS adalah efisien,
sedangkan metode OLS tidak efisien. Oleh
karena itu, hipotesis nolnya adalah hasil
estimasi keduanya tidak berbeda sehingga
uji Hausman dapat dilakukan berdasarkan
perbedaan estimasi tersebut. Unsur
penting untuk uji ini adalah kovarian matrik
dari perbedaan vektor [�̂� − �̂�𝐺𝐿𝑆]:
𝑉𝑎𝑟[�̂� − �̂�𝐺𝐿𝑆] = 𝑉𝑎𝑟[�̂�] + 𝑉𝑎𝑟[�̂�𝐺𝐿𝑆] −
𝐶𝑜𝑣[�̂�, �̂�𝐺𝐿𝑆] −
𝐶𝑜𝑣[�̂�, �̂�𝐺𝐿𝑆]′
Hasil metode Hausman adalah bahwa
perbedaan kovarian dari estimator yang
efisien dengan estimator yang tidak efisien
adalah nol, sehingga:
𝐶𝑜𝑣[(�̂� − �̂�𝐺𝐿𝑆), �̂�𝐺𝐿𝑆]
= 𝐶𝑜𝑣[�̂�, �̂�𝐺𝐿𝑆]
− 𝑉𝑎𝑟[�̂�𝐺𝐿𝑆] = 0
𝐶𝑜𝑣(�̂�, �̂�𝐺𝐿𝑆) = 𝑉𝑎𝑟(�̂�𝐺𝐿𝑆)
Maka jika disubtitusikan, menghasilkan
kovarian matriks sebagai berikut:
𝑉𝑎𝑟[�̂� − �̂�𝐺𝐿𝑆] = 𝑉𝑎𝑟[�̂�] − 𝑉𝑎𝑟[�̂�𝐺𝐿𝑆]
= 𝑉𝑎𝑟(�̂�)
Selanjutnya mengikuti kriteria Wald, Uji
Hausman ini akan mengikuti distribusi Chi-
Squares sebagai berikut:
𝑚 = �̂�′𝑉𝑎𝑟(�̂�)−1�̂�
yaitu 𝑞 =̂ [�̂� − �̂�𝐺𝐿𝑆] dan 𝑉𝑎𝑟(�̂�) =
𝑉𝑎𝑟[�̂�] − 𝑉𝑎𝑟[�̂�𝐺𝐿𝑆] ,
dengan degree of fredom sebanyak k
jumlah variabel independen. Jika nilai
statistik Hausman lebih besar dari nilai
kritisnya, maka model yang tepat adalah
model FE.
Selanjutnya mengikuti kriteria
Wald, Uji Hausman ini akan mengikuti
distribusi Chi-Squares, dengan degree of
fredom sebanyak k jumlah variabel
independen. Jika nilai statistik Hausman
lebih besar dari nilai kritisnya, maka model
yang tepat adalah model FE. Sedangkan
jika sebaliknya, maka model yang tepat
adalah model RE. Beberapa hasil pengujian
123
pemilihan model data panel tersebut
dirangkum oleh Park (2011) yang diuraikan
pada tabel sebagai berikut.
Tabel 3.1 Pengujian Pemilihan Model Data Panel
3.3 Jenis data
Jenis data yang digunakan adalah
data sekunder berupa observasi terhadap
data anggaran kementerian
negara/lembaga pada server DJA yang
diakses melalui business intelligence. Data
anggaran yang ada di server DJA dimulai
dari TA 2005, meliputi pagu dan realisasi,
sampai dengan data terakhir (saat
penulisan ini) adalah data anggaran TA
2015 yang belum mencakup data realisasi.
Data tersebut berupa data kuantitatif yang
bersifat data rasio (berbentuk angka dalam
arti yang sesungguhnya). Data yang
diambil adalah data anggaran perjalanan
dinas dan total anggaran pada pagu
Keppres APBN.
3.4 Populasi/sampel
Populasi/sampel yang digunakan
adalah Kementerian Negara/lembaga yang
menggunakan dana APBN pada kurun
waktu 2005 s.d 2011 (jangka waktu 7
tahun). Namun terkait dengan beberapa
hal yang menjadikan beberapa data K/L
outlier sehingga perlu dikeluarkan dari
sampel, yaitu K/L yang tidak secara
konsisten muncul dalam rentang waktu 7
tahun tersebut.
Selain itu, terdapat pula K/L yang
sama sekali atau dalam rentang waktu
tertentu tidak memiliki biaya perjalanan
dinas, terhadap K/L seperti ini juga tidak
dijadikan sampel penelitian.
4. PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengolahan Data
Pengolahan data menggunakan Uji
Beda dan Regresi Statistika
4.1.1 Uji Beda
Untuk mengetahui adakah perbedaan
antara sebelum dan sesudah penerapan at
cost. Namun sebelumnya perlu dilakukan
uji normalitas untuk menilai bahwa
pengujian yang dilakukan dapat terlaksana
dengan baik, maka terlebih dahulu perlu
dilakukan pengujian berdasarkan uji
normalitas. Jika diperoleh normal maka
pengukuran untuk mengetahui adakah
perbedaan antara sebelum dan sesudah
penerapan at cost menggunakan uji T-test.
Jika hasil yang diperoleh tidak normal,
maka menggunakan metode Wilcoxon.
Hasil uji normalitas ditunjukkan
pada tabel 4.1. Hasil uji tersebut
menunjukkan hasil bahwa terdapat
anormalitas (tidak normal). Karena hasil uji
yang tidak normal, maka pengujian harus
dilakukan secara non parametrik
menggunakan metode Wilcoxon.
Pengukuran menggunakan metode
Wilcoxon memperoleh hasil sebagai pada
tabel 4.2. Dari tabel 4.2 dapat kita lihat
124
bahwa Asymp. Sig (2 tailed) lebih kecil dari
0.5% (0.00), yang menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan antara sebelum dan
sesudah penerapan at cost. Artinya,
penerapan at cost mempunyai pengaruh
terhadap perjalanan dinas.
Tabel 4.1 Tabel Hasil Uji Normalitas
Tabel 4.2 Tabel Hasil Uji Wilcoxon
4.1.3 Regresi Statistika
Berdasarkan hasil regresi yang
didapatkan, ternyata variabel biaya tiket
dan biaya hotel tidak secara signifikan
mempengaruh biaya perjalanan dinas
(hanya variabel tersebut yang lebih besar
dari 0,5%, poin signifikansi). Artinya,
seluruh variabel lain yaitu pagu perjalanan
dinas, belanja barang, dan uang harian,
memiliki pengaruh signifikan yang
mempengaruhi perjalanan dinas. Nilai R-sq
(R Square) within yang diperoleh adalah
sebesar 0.4647. nilai ini bermakna bahwa
variabel yang dilibatkan disini
mempengaruhi sebanyak 46% dari
keseluruhan perjalanan dinas. Hal ini
berarti terdapat faktor lain yang
mempengaruhi sisa 54% dari keseluruhan
biaya perjalanan dinas.
Lebih lanjut, dengan menggunakan
metode OLS dapat secara lebih mendetail
diketahui hubungan antara variabel
dengan mekanisme at cost. Hasil estimasi
perjalanan dinas K/L dengan metode OLS
ditunjukkan pada tabel 4.3.
125
Tabel 4.3 Tabel Hasil estimasi
Berdasarkan hasil estimasi tersebut
di atas, dapat dijelaskan korelasi antara
perjalanan dinas dengan variabel-variabel
independen yang mempengaruhinya yaitu:
a. Adanya perubahan 1 persen pada pagu
anggaran K/L, akan meningkatkan pagu
perjalanan dinas sebesar 0,0097
persen
b. Perubahan 1 persen belanja barang,
akan meningkatkan pagu perjalanan
dinas sebesar 0,1269 persen
c. Perubahan 1 rupiah uang harian, akan
meningkatkan pagu belanja sebesar Rp
21.100.000.000
d. Saat penerapan kebijakan at cost,
perjalanan dinas akan meningkat Rp
38.900.000.000.000 lebih besar
dibandingkan saat kebijakan lump-sum
e. Pada saat kebijakan at cost, jika uang
harian meningkat Rp 1, maka
perjalanan dinas akan menurun
sebesar Rp 120.000.000 lebih besar
dibandingkan saat kebijakan lump sum
diterapkan.
5. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Melalui pengukuran-pengukuran
sebagaimana dilakukan pada pembahasan,
diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan alokasi pagu
perjalanan dinas antara sebelum dan
sesudah penerapan at cost.
2. Variabel-variabel yang berpengaruh
terhadap perjalanan dinas adalah:
uang harian, pagu perjalanan dinas,
dan pagu belanja barang, dimana
variabel-variabel ini mempengaruhi
perjalanan dinas sebanyak 56%. Selain
itu, terdapat variabel lainnya yang
memberikan kontribusi pengaruh
sebesar 44% terhadap perjalanan
dinas.
5.2 Saran
1. Berdasarkan hasil sebagaimana
diperoleh sebelumnya, maka dalam
penelitian ini kami merekomendasikan
untuk tetap melanjutkan kebijakan
yang telah diambil, yaitu tetap
melanjutkan penerapan mekanisme at
cost pada perjalanan dinas.
2. Untuk pengembangan yang lebih baik,
maka perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai pengaruh at cost
dengan menggunakan data realisasi
perjalanan dinas, dan jika
memungkinkan untuk melihat sampai
sejauhmana tingkat efisiensi yang
dihasilkan dari perubahan mekanisme
tersebut, karena selama ini terdapat
anggapan bahwa penerapan at cost
berdampak pada meningkatnya
efisiensi perjalanan dinas.
126
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, James A. (1975). Public Policy Making: Basic Concept in Political Sciences. New York: Praeger University Series.
Baltagi, Badi H, Georges Bresson, dan Alain Pirotte. 2007. “Panel Unit Root Tests and Spatial Dependence.” Journal of Applied Econometrics, 22(2), 339-360.
Baltagi, BH., et al., 2007, Testing for Serial Correlation, Spatial Autocorrelation, and Random Effect using Panel Data, Journal of Econometrics, 140, 5-51.
Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit Andi Yogyakarta, 2002, 61-74
Park, Hun Myoung. 2011. Practical Guides to Panel Data Modeling: a step by step analysing using stata. Tersedia di: http://www.iuj.ac.jp/faculty/kucc625/method/panel/panel_iuj.pdf [2014, 8 Agustus].
Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata.2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.
Prof.Dr. Sugiyono.2008. Metode Penelitian Pendidikan.Bandung:Penerbit Alfabeta.
Rusdin Pohan, Metodologi Penelitian Pendidikan, Lanarka Publisher, Yogyakarta 2007.
Sarwo,jonathan.2006.Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif .Jogja:Graha Ilmu
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik.Bandung: Alfabeta
Tejoyuwono Notohadiprawiro dalam makalahnya: Metodologi Penelitian dan Beberapa Implikasinya dalam Penelitian Geografi, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta 1991.
Titmuss, Richard, 1974, Sociol Policy: An lntroduction, Alten and Unwin, London
Umi Proboyekti dalam makalahnya: Apa itu Research, Riset atau Penelitian?, Fakultas Teknik UKDW, Yogyakarta.
Widarjono, Agus. 2009. Ekonometrika: pengantar dan aplikasinya. Penerbit Ekonisia. Yogyakarta.
Top Related