BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG NOVEL KUBAH
KARYA AHMAD TOHARI
3.1 Latar Belakang Sosial
Ahmad Tohari dalam setiap karya sastranya tampak menonjolkan
permasalahan kehidupan yang dialami tokoh-tokoh yang tergolong "wong
cilik" atau orang kecil, baik di desa maupun di kota. Seperti halnya dalam
novel Kubah, Ahmad Tohari menggambarkan tokoh yang tidak berdaya
melawan arus kehidupan politik di sekitarnya sehingga terpaksa menjadi
korban sistem politik. Dengan diilhami kasus tragedy Nasional 30
September 1965, ia mengungkapkan sebuah fenomena sosial yang khas
dalam konteks politik di Indonesia.
Novel Kubah dimulai dengan gambaran keraguan tokoh Karman
untuk segera meninggalkan halaman Markas Komando Distrik Militer
sebagai tempat terakhir pembebasan dari pulau B. Kalau inisial itu
ditafsirkan sebagai pulau Buru, maka Karman adalah bekas tahanan politik
pulau Buru di wilayah Maluku, sebuah pulau yang sangat populer sebagai
tempat pengasingan orang-orang PKI atau yang terlibat dengan
penghianatannya pada 30 September 1965. Bagi masyarakat Indonesia,
pulau tersebut mengisyaratkan status terberat bagi yang pernah ditahan
disana, terlepas dari fakta yang sebenarnya dialami oleh setiap tahanan
politik. Tokoh Karman dalam novel Kubah dapat digambarkan sebagai
41
seorang tokoh yang penting dalam tubuh PKI, karena kalau hanya orang
biasa dalam PKI, mustahil ia sampai dikirim ke pulau Buru.
3.2 Biografi Ahmad Tohari
Ahmad Tohari dilahirkan di Desa Tinggarjaya, Kecamatan
Jatilawang, Banyumas tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya hanya
sampai SMAN II Purwokerto. Ia pernah memasuki beberapa fakultas di
universitas yang berbeda, seperti Fakultas Kedokteran Universitas Ibnu
Chaldun Jakarta dari tahun 1966 – 1969, Fakultas Ekonomi UNSUD mulai
tahun 1972 - 1973, dan FISIP UNSUD mulai tahun 1974 – 1975. Namun,
dari semua fakultas tersebut tidak satupun ia selesaikan. Bila dilihat dari
kemampuan Ahmad Tohari, ia tergolong pandai dengan teman-teman
sebayanya. Satu hal yang menjadikannya tidak menyelesaikan pendidikan
yaitu karena faktor ekonomi.
Sebelum terjun di dunia sastra, dia pernah bekerja di Majalah
Keluarga dan Amanah, juga pernah mengikuti International Writing
Program di Iowa City, Amerika Serikat pada tahun 1990. Pada tahun 1995
ia menerima hadiah Sastra ASEAN.
Ahmad Tohari mengarang sastra karena menyimpan kemarahan
atau kegelisahan terhadap pemimpin yang belum juga membuktikan
komitmennya kepada orang-orang kecil. Menurutnya, para pemimpin
menganggap kepemimpinan itu suatu keberuntungan yang datang dari atas
berupa wahyu, sehingga kekuasaannya ditafsirkan sebagai hak-hak istimewa
yang dampaknya muncul sebagai korupsi. Ini jelas sebuah kesalahan besar
yang harus diubah di tengah kehidupan sebuah negara. Akan tetapi, dia pun
42
sadar tidak memiliki kekuatan yang besar untuk mengubah keadaan
masyarakat. Oleh karena itu, disalurkanlah kemarahan dan kegelisahan itu
ke dalam karya sastra dengan harapan dapat memberikan semacam
pencerahan di kalangan masyarakat.
Ahmad Tohari harus menulis untuk memperoleh rezeki setelah
meninggalkan pekerjaan sebagai tenaga honorer BNI 1946 (1966-1967, staf
redaksi Majalah Keluarga (1978-1981) dan dewan redaksi Majalah Amanah
(1986-1993). Ia mengaku tidak betah tinggal di Jakarta yang sibuk dan pada
akhirnya memilih kembali ke kampung kelahirannya.
Di desa itulah Ahmad Tohari mengurus sebuah pesantren dan
membangun mahligai keluarga bersama istrinya Syamsiah, yang sehari-
harinya berdinas sebagai guru sekolah dasar. Bersama istrinya itulah Ahmad
Tohari mempunyai 5 orang putra.
Karya-karyanya dalam bentuk novel antara lain; Kubah (1990),
Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari, (1985),
Jentera Bianglala (1986), Di Kaki Bukit Cibadak (1986), Senyum Karyamin
(1989), Bekisar Merah (1993), dan Lingkar Tanah Lingkar Air (1995).
(Yudiono, 2003; 2-3)
Sedangkan karya-karyanya berbentuk cerpen antara lain : Senyum
Karyamin, Jasa-jasa buat Sanwirya, Minem Beranak Bayi, Surabanglus,
Tinggal Matanya Berkedip-kedip, Ah Jakarta, Mata yang Enak Dipandang,
Nyanyian Malam, Pencuri dan Penipu yang Keempat.
43
3.3 Kritik Ekstrinsik Terhadap Novel Kubah
Mengapresiasi suatu sastra, pada hakekatnya adalah menghargai,
memahami dan menghayati karya sastra. Untuk dapat berbuat demikian, kita
harus lebih dahulu mengetahui unsur yang membentuknya. Ada dua unsur
pokok yang membantu sebuah sastra, yaitu unsur intrinsik atau unsur dalam
dan unsur ekstrinsik atau unsur luar. Unsur intrinsik adalah unsur dalam
sastra yang ikut mempengaruhi terciptanya karya sastra, sedang unsur
ekstrinsik adalah unsur luar sastra yang ikut mempengaruhi terciptanya
karya sastra (Depdikbud, 1990 : 87).
Adapun unsur ekstrinsik dalam novel Kubah dapat penulis jabarkan
pada penjelasan berikut ini :
Novel Kubah (KB) diterbitkan pertama kali oleh PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta pada bulan Juni 1995 dan mengalami cetak ulang
pada bulan September 2001. Sebelumnya pernah diterbitkan oleh penerbit
Pustaka Jaya, Jakarta (1980) dan mendapat penghargaan yayasan Buku
Utama 1981. Buku Kubah terbitan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2001
berukuran 11 x 18 cm dengan ketebalan 190 halaman. Pada cetakan kedua
itu terdapat keterangan bahwa novel ini sudah diterbitkan dalam bahasa
Jepang. Hal ini merupakan bukti bahwa novel tersebut memiliki keunggulan
tertentu di tengah khazanah sastra Indonesia mutakhir. Kalau tidak, mustahil
diterbitkan dalam bahasa Jepang.
Novel ini terdiri dari 11 sub-judul dimana tiap sub-judul berisi cerita
dengan tema berbeda-beda dan langsung selesai. Tetapi cerita tiap sub-judul
44
masih berhubungan terus hingga akhir cerita. Setiap halaman dalam novel
ini rata-rata terdiri dari 6 sampai 19 baris.
Novel Kubah merupakan novel yang mempunyai ciri khas yang sama
dengan novel karya Ahmad Tohari lainnya, yakni menggambarkan
permasalahan hidup yang dialami oleh orang kecil. Walaupun ciri khasnya
sama, novel Kubah ini mempunyai keunikan tersendiri dengan novel-novel
lain. Seperti novel Jantera Bianglala, novel Kubah juga berlatar tragedy
nasional 30 September 1965. Namun, kedua novel karya Ahmad Tohari ini
berbeda bila dilihat dari segi kisahnya, novel Jantera Bianglala mengisahkan
penderitaan lahir batin tokoh Srintil akibat kebodohannya sendiri tentang
politik, sedangkan novel Kubah mengisahkan penderitaan lahir batin tokoh
Karman karena kesadarannya sendiri untuk berpihak pada PKI. Perbedaan
lainnya, pada akhir cerita Jantera Bianglala belum memberikan harapan
yang menggembirakan bagi tokoh Srintil yang harus dibawa ke rumah sakit
jiwa, sedangkan akhir cerita novel Kubah mengisyaratkan harapan yang
menyenangkan bagi Karman. Tokoh Karman merasa senang karena diterima
kembali oleh lingkungan yang dahulu dibencinya, bahkan dipercaya
membuat kubah yang megah di masjid desanya.
Sosok Ahmad Tohari yang tinggal di Desa Tinggarjaya sekitar 27
kilometer di sebelah selatan Purwokerto Kabupaten Banyumas, Jawa
Tengah yang berprofesi sebagai wartawan justru tidak dikenal sebagai
seorang pengarang yang karya-karyanya sudah mendunia. Di lingkungannya
dia dikenal sebagai seorang wartawan atau sebagai seorang santri dalam
kehidupannya sehari-hari menjadi tetap lugas dan tetap berjalan seperti apa
45
adanya meskipun kadang-kadang dirasakan menghambat kesempatannya
untuk mengarang. Hambatan non teknis itu berkaitan dengan kesibukannya
sebagai seorang warga masyarakat yang tidak terlepas dari kewajiban-
kewajiban sosial, namun sampai saat ini lingkungan desa itu justru
merupakan sumber inspirasi dan semangatnya mengarang. Oleh karena itu,
kehidupan orang desa dengan persoalan masing-masing tampak menonjol
dalam hampir seluruh karya Ahmad Tohari (Yudiono, 2003 : 8)
Ini terlihat hampir seluruh karyanya selalu dipengaruhi oleh realitas
kehidupan masyarakat dengan segala persoalannya. Ia percaya dan bahkan
yakin bahwa karya sastra merupakan pilihan untuk berdakwah atau
mencerahkan batin manusia agar senantiasa selalu membaca ayat Tuhan.
Dengan mengarang ia berharap dapat berperan dalam membangun moral
masyarakat dan bangsa sehingga berkembang menjadi masyarakat yang
beradab, yaitu masyarakat yang tidak suka berbohong.
Sebagai contoh, dalam novel Di Kaki Bukit Cibadak (1986) sebagai
cerita bersambung 1979), Ahmad Tohari menampilkan tokoh pemuda
Pambudi di dusun Tanggir, daerah Banyumas yang berniat melawan
kesombongan Pak Lurah Dirga. Pambudi yang sudah bekerja sebagai
pengurus koperasi desa yang sedang berkembang, justru memilih
mengundurkan diri setelah Pak Dirga terpilih sebagai lurah baru, karena
Pambudi tahu bahwa Pak Dirga adalah sosok pribadi yang angkuh, sombong
dan mudah mempermainkan masyarakat.
Pambudi yang memang merasa tidak nyaman lagi tinggal di desanya,
berangkat ke Yogyakarta untuk mencari pekerjaan. Di kemudian hari dia
46
berhasil menjadi mahasiswa dan bekerja sebagai wartawan yang kemudian
mengungkap kebobrokan manajemen koperasi desanya. Artikel-artikel
Pambudi mendapatkan perhatian Camat dan Bupati yang pada akhirnya
berkeputusan memberhentikan Pak Dirga dari jabatan lurahnya di Desa
Tanngir.
Pambudi yang ditampilkan sebagai protagonis dengan kejujuran dan
tanggung jawab yang besar itu gagal menikahi Sanis gadis sedesanya, tetapi
akhirnya berhasil merebut hati Mulyani, gadis keturunan cina di
Yogyakarta. Tampaknya akhirnya kisah tersebut tidak lebih penting
daripada persoalan mendasar yang berkisar pada perjuangan manusia
menegakkan kebenaran, kejujuran dan kasih sayang dengan latar kehidupan
desa yang memang dikenal betul oleh pengarang.
Tokoh "wong desa" yang kemudian populer dan melambangkan nama
pengarang Ahmad Tohari adalah Srintil dan Rasus dalam Trilogy Ronggeng
Dukuh Paruk. Sebagaimana disebutkan bahwa popularitas trilogy tersebut
tidak terbatas pada sambutan masyarakat sastra di Indonesia, tetapi diluar
negeri. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya karya Ahmad Tohari yang di
translate ke dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Jepang dan
Belanda.
Contoh lain dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Ahmad Tohari
menceritakan dua bocah (Srintil dan Rasus) Dukuh Paruk miskin dan buta
huruf yang berkembang dengan perjalanan nasib yang panjang, berliku,
pasang dan surut dalam konteks sosial politik.
47
Srintil tumbuh menjadi seorang penari ronggeng yang terkenal,
sedangkan Rasus menjadi seorang prajurit atau tentara setelah sekian tahun
membantu pasukan militer menumpas gerombolan pengacau keamanan di
daerah kelahirannya.
Dalam cerita tersebut digambarkan tentang proses kehidupan yang
dialami oleh Srintil, seorang bocah cilik dari desa yang buta huruf, yang
kemudian tumbuh dan berkembang mengikuti waktu dan budaya saat itu.
Perjalanan nasib merubah Srintil gadis desa itu, kondisi politik, sosial dan
budaya ikut mewarnai perjalanan Srintil yang memang penuh dengan liku-
liku. Karena situasi politik dan ia terlibat di dalamnya Srintil pun ikut
ditahan dalam kasus tersebut.
Namun setelah terjadi geger politik di akhir tahun 1965, Srintil ditahan
karena dianggap pendukung PKI lewat penampilannya meronggeng di
banyak keramaian yang diselenggarakan oleh orang-orang PKI. Setelah
dibebaskan Srintil berniat meninggalkan dunia ronggeng dan ingin hidup
sebagaimana perempuan pada umumnya sambil mengharap Rasus yang
makin jauh bertugas. Ternyata harapan itu berantakan karena lelaki yang
mengaku akan menikahinya tetap saja menganggapnya sebagai ronggeng
yang boleh ditawarkan kepada lelaki manapun. Akibatnya Srintil menjadi
gila dan harus mendekam dalam kerangkeng kotor di rumah kakeknya.
Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan apapun, kisah Srintil dan
Rasus telah membuktikan kepiawaian Ahmad Tohari merangkai cerita
dengan tokoh dan latar desa yang ternyata mampu mengungkapkan berbagai
48
persoalan kemanusiaan, seperti keikhlasan, cinta kasih, kejujuran,
kemunafikan, kesewenang-wenangan, ketertindasan, dan keterpaksaan.
Semua itu masih tampak jelas dalam novel-novel berikutnya seperti
Lingkar Tanah Lingkar Air, Bekisar Merah, Belantik, Orang-orang Proyek,
dan juga cerpen-cerpen yang terhimpun dalam nyanyian malam.
Terlepas dari masalah metode yang dipergunakan pengarang Ahmad
Tohari untuk menggali permasalahan, memilih tokoh, peristiwa, dan latar
ceritanya, yang tampak menonjol dalam hampir seluruh karya sastranya
adalah permasalahan kehidupan yang dialami tokoh-tokoh yang tergolong
"wong cilik" atau orang kecil, baik di desa maupun di kota.
3.4 Kritik Intrinsik
Unsur kedua yang membentuk novel adalah unsur intrinsik. Unsur
intrinsik adalah unsur dalam sastra yang ikut mempengaruhi terciptanya
karya sastra, sedang unsur ekstrinsik adalah unsur luar sastra yang ikut
mempengaruhi terciptanya karya sastra (Depdikbud, 1990 : 87).
Unsur intrinsik karya sastra bentuk novel pada dasarnya dibangun oleh
unsur-unsur : tema, amanat, penokohan, latar, alur, gaya bahasa, dan
synopsis (Depdikbud, 1990 : 88).
Novel Kubah yang merupakan salah satu karya sastra berbentuk novel
juga terdapat unsur-unsur dasar pembentuk novel. Adapun uraian unsur-
unsur tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tema
Pada umumnya, tema sebuah karya sastra tidak dikemukakan
secara jelas (eksplisit) baik dalam bentuk kata maupun kalimat. Tetapi
49
kebanyakan tema disampaikan secara tidak langsung (implisit) dan
menyusupi keseluruhan cerita. Hal inilah antara lain yang menyebabkan
tidak mudahnya menafsirkan tema. Penafsiran tema (tema) didasari oleh
pemahaman cerita secara keseluruhan. Ada kalanya dijumpai kalimat-
kalimat (alias /percakapan) tertentu yang dapat ditafsirkan mengandung
tema pokok. Pembaca dituntut ketajaman berfikir untuk menyimpulkan
apa yang terjadi tema dalam suatu cerita. (Sudiarga, 2000 : 35-36)
Tema pokok dari novel Kubah Karya Ahmad Tohari kembali
meyakini adanya Tuhan (taubat). Pengarang mengemukakan tema
tersebut melalui tokoh utamanya yaitu Karman.
Tokoh utama dalam novel ini pertama kali diceritakan terjadi
perubahan sikap dan pemikiran yang taat beragama menjadi lelaki yang
ateis atau komunis. Kemudian terjadi penderitaan lahir batin karena
kesadaran sendiri tokoh Karman untuk berpihak kepada PKI. Pada akhir
cerita tokoh Karman merasa senang karena diterima kembali oleh
lingkungan yang dahulu dibencinya, bahkan dipercaya membuat kubah
yang megah di masjid desanya.
2. Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang
ingin disampaikan pengarang kepada pembaca/pendengar. (Sudjiman,
1984: 5). Dalam novel Kubah pesan yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca adalah pesan-pesan yang menyangkut keagamaan
(dalam hal ini agama Islam). Sikap keagamaan tersebut yaitu pandangan
tentang nilai-nilai ketauhidan.
50
Amanat yang disampaikan dalam novel ini adalah mengajari
untuk bersikap kritis terhadap kemungkinan munculnya kembali benih-
benih komunisme di bumi Indonesia, bahkan juga bersikap kritis
terhadap ideologi apapun yang bertentangan dengan kodrat kehidupan
masyarakat yang religius. Amanat lain dari novel tersebut adalah
pemahaman dan pemaafan masyarakat terhadap pribadi yang telah
menyadari kesalahan atau ketersesatannya untuk mendapatkan kembali
harkat kemanusiaannya.
3. Penokohan
Aspek ini diawali dengan pertanyaan siapa tokoh utama kisah
ini ? tokoh utama di dalam fiksi dapat diketahui dengan cara mengikuti
sejauh mana posisi tokoh di dalam setiap peristiwa.
Berdasarkan pedoman di atas, karakter “Karman” disebut sebagai
tokoh utama karena karakter Karman-lah yang paling dominan dan
selalu mewarnai dari awal sampai akhir cerita. Selain itu, memang novel
ini intinya menceritakan perjalanan hidup Karman.
Penokohan tokoh utama dalam novel ini sudah memakai sistem
nama, sebagaimana dikemukakan oleh Wellek dan Warren yang dikutip
oleh Drs Jiwa Atmadja bahwa bentuk perwatakan yang paling sederhana
adalah pemberian nama dan setiap panggilan adalah semacam
penghidupan, pemberian nama/pribadi.(Atmaja, 1993 : 30)
Dalam novel ini tokoh Karman digambarkan sebagai seorang
pemuda yang teguh pendiriannya, pemberani, tulus, taat beragama dan
cenderung emosional. Sebagaimana dalam teks disebutkan :
51
"Karman tetap tertunduk. Ada kejujuran yang lambat laun mengembang dalam dirinya. Ia ingin mengaku dengan tulus, meskipun ia lama menjadi partai komunis, bahwa kehadiran Tuhan tetap terasa pada dirinya". (hlm. 26).
Selain Karman sebagai tokoh utama, ada beberapa tokoh
pendukung dalam novel ini. Haji Bakir misalnya, dalam novel ini Haji
Bakir merupakan seorang tokoh agama dan terkemuka di desanya. Ia
sesosok orang yang berbudi luhur, penolong, pemaaf. Tokoh Haji Bakir
tersebut seperti digambarkan pada teks berikut ini :
"Tetapi marilah, kita tetap berhubungan baik seperti dahulu, tanpa melalui ikatan perkawinan antara dirimu dengan Rifah. Aku percaya kau dapat menemukan calon istri lain" (hlm. 121).
Marni adalah istri Karman. Dia digambarkan sebagai sesosok istri
yang setia. Sifat Marni tersebut seperti digambarkan pada teks berikut ini :
"Betapapun, tekad Marni saat itu, ia akan menunggu suaminya kembali. Siapa tahu, suamiku masih hidup. Dan perasaanku mengatakan, entah kapan dia akan kembali".
Kapten Somad adalah perwira yang bertugas membina kehidupan
rohani para tawanan. Ia merupakan seorang yang pengertian, lapang
dada, simpatik. Dalam teks digambarkan sebagai berikut :
"Oh, baik, katakanlah. Aku akan senang mendengarnya. Siapa tahu aku dapat membantu meringankan perasaanmu" (hlm. 20).
Hasyim adalah paman Karman. Dia digambarkan sebagai sesosok
orang yang penyabar, pengertian, dan penolong. Dalam teks
digambarkan :
"Setelah diam beberapa saat untuk menciptakan suasana yang lebih sabar, Hasyim meneruskan bicaranya" (hlm. 99)
4. Latar
Disini latar tidak hanya sekedar sebagai tempat terjadinya
peristiwa/ lingkungan yang mengelilingi para pelaku tetapi juga sebagai
52
pelaku petunjuk untuk mengetahui sistem kehidupan sosial yang hendak
dilukiskan pengarang.(Pradobo , 1976: 37)
Istilah latar/setting dalam arti lengkap memang meliputi aspek
ruang dan waktu terjadinya peristiwa. Sekalipun demikian terdapat
perbedaan yang tidak mudah dilihat antara latar belakang sebagai bagian
dari teks dan hubungan yang mendasari suatu lakuan (action) sehingga
sekeliling latar tampak luas dari sekedar urutan lakuan dan ini tidak
hanya tergantung dari arti setiap peristiwa.
Aspek latar dari kisah ini adalah tragedi nasional 30 September
1965 di desa Pegaten Madiun.
5. Alur
Merupakan rangkaian kejadian yang disusun berdasarkan
hubungan sebab akibat atau keberadaan kualitas atau dapat dikatakan
alur adalah serangkaian kejadian dan perbuatan, hal-hal yang dia alami
dan dikerjakan pelaku di sepanjang cerita (Sudjiman, 1984 : 6).
Dalam novel ini, tokoh Karman yang paling banyak diceritakan
memang pantas disebut sebagai tokoh utama. Akan tetapi, ia tidak dapat
disebut penggerak peristiwa yang membangun alur karena
pengalurannya mengingatkan pembaca kepada model penceritaan
wayang kulit Jawa yang diperankan oleh dalang. Alurnya terputus-putus
karena dipergunakan untuk penyajian episode-episode yang seolah-olah
terpisah dari pokok cerita, tetapi kemudian bertautan pada titik tertentu.
Dengan model alur pewayangan itulah novel kubah yang terdiri dari
sepuluh bagian mengisahkan perjalanan tokoh Karman melalui episode-
53
episode yang tidak bersambungan secara ketat. Jika dilihat setiap
episodenya akan tampak sebagai berikut.
a. Bagian pertama (35 halaman) : kisah kepulangan Karman dari pulau B
b. Bagian kedua (17 halaman) : kisah pendek tentang gadis Tini (anak
Karman) yang bersiap menjemput Karman ditengah keluarga Gono
c. Bagian Ketiga (18 halaman) : kisah masa kecil Karman dalam
kaitannya dengan keluarga Haji Bakir.
d. Bagian Keempat (16 halaman) : kisah Margo dan Triman dalam
membina Karman sebagai calon kader partai.
e. Bagian Kelima (11 halaman) : kisah perdebatan Karman dengan
Paman Hasyim tentang ketidakadilan Haji Bakir
f. Bagian Keenam (16 halaman) : kisah upaya Karman menjumpai
Rifah dengan cara sembunyi-sembunyi, tetapi ditolak Rifah dengan
halus sehingga lelaki itu merasa malu
g. Bagian Ketujuh (13 halaman) : kisah perubahan situasi sosial di
daerah kecamatan Kokosan, termasuk perubahan sikap Karman
terhadap ibadah istrinya.
h. Bagian Kedelapan (13 halaman) : suasana Desa Pegaten menjelang
Oktober 1965 dan pelarian Karman yang ketakutan setelah terjadi
geger
i. Bagian Kesembilan (20 halaman) : kisah kehidupan Kastagethek
yang sederhana dan kelanjutan pelarian Karman sampai di sebuah
makam dan tertangkap
54
j. Bagian Kesepuluh (19 halaman) : kisah pertemuan Marni dengan
Karman di rumah Bu Mantri, dan 3 bulan kemudian Tini dilamar
Jabir, cucu Haji Bakir
k. Bagian Terakhir (3 halaman) : kisah pendek keberhasilan Karman
membuat sebuah kubah di masjid Haji Bakir.
Dari pemilihan itu tampak bahwa alur novel Kubah tidak lurus,
tetapi juga bermodel sorot balik. Akibatnya, tokoh Karman tidak selalu
menonjol dalam setiap episode. Dengan teknik penceritaan bermodel
wayang itu, maka tokoh Karman tidak berkedudukan utama dalam
setiap episode. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel Kubah
bukan novel tokohan, melainkan novel kisahan yang lebih
mengutamakan suasana untuk membangun struktur tema tentang
penemuan kembali harkat kemanusiaan yang telah hilang.
6. Gaya Bahasa
Teknik dan gaya penceritaan Ahmad Tohari selama ini terbilang
konvensional, tidak aneh-aneh, dan hasilnya boleh dimasukkan ke jalur
realis. Tokoh Karman dapat dibayangkan sebagai pribadi yang berada
ditengah kehidupan sehari-hari dengan segala persoalannya. Tentu saja
siapa pun dia itu harus tetap dipandang sebagai tokoh rekaan yang tidak
harus dicari-cari kebenarannya dalam kehidupan sosial, termasuk tidak
perlu diperdebatkan apapun kejanggalan yang tampak pada tokoh yang
tampilkan. Yang jelas, tokoh Karman tersebut telah mewakili dunia
gagasan pengarang yang fungsi dan tugasnya tentunya harus dipisahkan
55
dari ketentuan lain sebagai pemerhati masalah-masalah sosial dan
budaya.
Bila gaya bahasa dipandang sebagai salah satu aspek penting
dalam teknik penceritaan, maka gaya bahasa Ahmad Tohari dalam novel
ini tercatat gaya bahasa personifikasi mendominasi dalam teknik
penceritaannya yang telah dipilih sebagai cara yang tepat untuk
mendekati dan menegur alam. Dengan kata lain, gaya bahasa
personifikasi itu merupakan salah satu caranya bertasbih kepada Tuhan.
Jadi, tidaklah mengherankan jika bumi dan langit seisinya sering disapa
Ahmad Tohari dengan bahasa manusia atau dipersonifikasikan.
Misalnya, pada pertengahan novel ini digambarkan lukisan alam sebagai
berikut :
Suara puluhan ani-ani masih terdengar seperti bunyi serangga yang rakus. Semua orang seperti sedang berlomba adu cepat memainkan ani-ani demi bawon yang lebih banyak. Kemudian, mengapa tak seorangpun sadar bahwa pada saat yang sama kuasa Tuhan sedang menggerakkan seekor binatang kecil dibawah keteduhan pohon-pohon dadap itu. Seekor semut merah bergerak diantara hilang dan tampak, meraba-raba dengan sepasang sungut halus yang mencuat di kepalanya. Mula-mula serangga kecil itu merayap di atas permukaan daun kering yang luruh, lalu menyelinap di bawahnya. Sekarang sampailah ia pada ujung kain yang digelar Kinah. Sejengkal lebih jauh semut itu menemukan benda hidup yang baginya berukuran amat besar. Dengan sungutnya ia meraba-raba, lalu kembali menjauh. Ia menuruti hukum yang berlaku bagi semut sejenisnya; apabila menemukan mangsa yang besar ia harus mengundang sebanyak mungkin teman. (Tohari, 2005 : 68).
Lukisan lanskap itu secara sugestif menumbuhkan imajinasi
pembaca untuk mengenal kembali sepotong kehidupan alam desa di
musim panen. Kemudian pepohonan dan binatang yang dalam
kehidupan sehari-hari mungkin saja tidak berbicara apapun kepada
56
manusia, justru tampak seperti pribadi-pribadi yang penuh pesona dan
sepantasnya disapa dengan simpati yang segar. Tentu saja sekelumit
ilustrasi tersebut ditindaklanjuti dengan pembacaan yang menyeluruh
terhadap novel ini sehingga diperoleh kenikmatan dan pemahaman
makna literer yang akan memperkaya pengalaman batin pembaca.
7. Sinopsis
Sinopsis novel Kubah karya Ahmad Tohari secara umum dapat
penulis uraikan sebagai berikut :
Tidak mudah bagi seorang lelaki untuk mendapatkan kembali
tempatnya di masyarakat setelah 12 tahun tinggal dalam pengasingan di
Pulau B. Apalagi hati masyarakat memang pernah dilukai. Karman,
lelaki itu, juga telah kehilangan orang-orang yang dulu selalu hadir
dalam jiwanya. Istrinya telah menikah dengan lelaki lain, anaknya ada
yang meninggal, dan yang tersisa tak lagi begitu mengenalnya. Karman
memikul dosa sejarah yang amat berat dan dia hampir tak sanggup
untuk menanggungnya.
Karman terlibat dalam gerakan politik yang terlarang, ia termasuk
orang yang dicari dalam kasus Partai Komunis. Disaat itu Karman tidak
bisa membayangkan kalau akhirnya terjadi terhadap dirinya. Karman
harus mengasingkan diri, lari dari tempat kelahirannya dengan
menanggung segala resiko, termasuk Karman harus rela meninggalkan
istri (Marni) dan anaknya yaitu Tini.
Dalam pengasingannya Karman begitu menderita, ia harus
menanggung kesedihan yang mendalam karena jauh dari segalanya, ia
57
tidak lagi bisa melihat istri dan anaknya tercinta, dan bahkan Karman
kehilangan pegangan akan keyakinan yang dulu pernah terlintas dalam
hati kecilnya yaitu sentuhan nur Ilahi.
Setelah sekian lama dalam pengasingan Karman pun merasakan
bahwa dirinya benar-benar jauh dari segalanya, keterlibatannya dalam
partai Komunis mengantarkan Karman ke dalam penderitaan yang
begitu mendalam dan hampir tidak sanggup untuk menerima. Andaikan
Karman saat itu masih percaya dengan Tuhan mungkin tidak akan
terjadi hal seperti ini. Karman kehilangan seorang Istri dan anak
terakhirnya. Karena ditinggal dalam pengasingan istri Karman menikah
dengan orang lain, yaitu tetangga satu desanya, ditambah dengan
meninggalnya anak terakhir Karman.
Di tengah kehidupan yang hampir tertutup baginya, Karman
berusaha mencari secercah sinar sebagai obat batin dia. Di masyarakat ia
sudah dianggap sebagai orang yang tidak percaya dengan Tuhan,
mengingkari keberadaan Tuhan dalam hidup manusia karena
keterlibatan Karman dalam partai Komunis. Ditengah suasana yang
terjepit baik secara lahir dan batin Karman masih bisa menemukan
seberkas sinar kasih sayang, kasih sayang itu dari Pak Haji orang
terdekat Karman dulu, yang kemudian Dia dipercayai oleh Pak Haji,
orang terkemuka di desanya yang pernah dikhianatinya. Karman
berkhianat kepada Pak Haji karena dia sendiri berpaling dari Tuhan.
Kepulangan Karman dari pengasingan tidak menyebabkan Pak
Haji hilang kepercayaan terhadap Karman, meskipun sebagian
58
masyarakat sudah tidak simpati kepada Dia, termasuk istrinya.
Meskipun demikian Pak Haji masih menaruh kepercayaan pada dirinya,
yang dulu pernah mengkhianati. Kepercayaan itu kemudian diterima
oleh Karman, yaitu Karman disuruh untuk membangun kubah masjid di
desa itu. Dengan kepercayaan itu Karman merasakan menemukan jati
dirinya kembali, menemukan martabat hidupnya yang dulu pernah
hilang dan hampir menghancurkannya.
Berangkat dari kepercayaan itu, Karman mulai aktif melakukan
shalat, dzikir dan tafakkur yang dulu pernah diingkarinya. Dalam hening
malam Karman pun larut dalam tasbih semesta, bersama air kali Sikura
yang mengalir Karman pun melantunkan pujian-pujian terhadap Gusti
kang akarya jagat, Tuhan yang menciptakan alam semesta dan segala
puji bagi Nya.
Berkaitan dengan pembahasan skripsi ini yaitu mengetahui pesan
dakwah yang terkandung dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari yang
meliputi bidang aqidah, syari'ah dan akhlak. Dari hasil penelusuran
penulis, pesan dakwah yang terdapat dalam novel tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut :
Bagian pertama :
a. Bidang Aqidah :
"Karman tertunduk ; Tuhan. Yang dimaksud oleh Kapten Somad pastilah kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan" (hlm. 26)
"Namun apabila kamu percaya dan berserah diri kepada Tuhan, maka jalan keluar selalu tersedia" (hlm. 27)
59
b. Bidang Syari'ah
"Namun akhirnya seorang lelaki tua sambil berjalan menepuk pundak Karman. "Mari, Pak, sudah hampir ikamah!" (hlm. 29)
c. Bidang Akhlak
"Dia masih berdiri di pintu halaman. Suruh dia cepat meneruskan perjalanan. Atau berilah dia dua ratus rupiah, barangkali ia kehabisan bekal".(hlm.
Bagian kedua :
a. Bidang Aqidah :
"Tapi, Bu, siapa tahu Tuhan menghendaki Ibu kumpul lagi sama Ayah" (hlm. 44)
"Di Kamar pesalatan Marni berusaha mencari kesadaran tertinggi agar bisa berdekat-dekat dengan Tuhan" (hlm. 50)
b. Bidang Syari'ah
" Tini sudah selesai mandi kain batik dipinjungkan kemudian ia mengambil air sembahyang" (hlm. 39) "Beliau juga memuji bacaan Quranku. Dan Ibu tahu tentang kain kerudung yang berwarna biru, bukan ? (hlm. 45)
Bagian ketiga :
Bidang Syari'ah
"Mengapa sampai sejauh ini aku baru sadar ada dua anak yang wajib kusantuni?" keluhnya. "Seharusnya sejak dulu kuperhatikan kedua anak yatim ini" (hlm. 59) "Hayo, jangan bergurau. Bersucilah ! Matahari hampir terbit" (hlm. 64) Bagian keempat :
a. Bidang Aqidah :
"Tuhan Yang Mahakuasa yang mengatur segalanya. Oh ya, karena takdir Tuhan juga saya harus kembali menjadi petani" (hlm. 82)
60
b. Bidang Akhlak
"Triman melayani tamunya dengan ramah, …… " (hlm. 85)
"Kalau begitu saya hanya dapat menyampaikan rasa terima kasih," jawab Karman akhirnya. "Cukup, lebih dari cukup. Hanya itu yang perlu kauberikan kepadaku. Tidak berat?" (hlm. 86)
Bagian kelima :
a. Bidang Aqidah :
"…. aku minta kau kembali seperti semula. Kembali menjadi manusia yang menyadari siapa dirinya" (hlm. 95) "Turutilah nasehatku: kembalilah kau ke jalan semula. Paling tidak, kembalilah kepada Tuhanmu …. " (hlm. 99)
b. Bidang Syari'ah
"Dan jangan pungkiri kenyataan setiap panenan Haji Bakir membayar zakatnya" (hlm. 97)
"Tukar menukar itu sah karena telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan" (hlm. 98)
c. Bidang Akhlak
"Saat ketika Hasyim teringat : berwasiatlah dalam kebenaran dan kesabaran" (hlm. 100) Bagian keenam :
a. Bidang Syari'ah
"Seorang perempuan muda sedang duduk berdoa di atas sajadah yang digelar di lantai. Rifah masih dalam pakaian sembahyang" (hlm. 114)
b. Bidang Akhlak
"…. Tuhan hanya menyuruhku menghormati tamu yang datang dengan cara baik-baik. Bertamulah besok pagi kepada Ayah. Insya Allah aku akan menemuimu juga" (hlm. 116)
61
Bagian ketujuh :
Bidang Aqidah :
"Ia sudah dapat menerima ketentuan Tuhan dengan hati ikhlas. Ayahnya selalu berkata, "Takdir Tuhan adalah hal yang paling baik bagimu, betapapun getir rasanya. Bertakwa kepada-Nya akan embuat segala penderitaan ringan" (hlm. 118) Bagian kedelapan :
Bidang Syari'ah
"Tetapi Marni merasa bersyukur melihat perubahan suaminya. Bayangkan, Karman bersembahyang – satu hal yang telah lama sekali diinginkan Marni." (hlm. 137 Bagian kesembilan :
a. Bidang Aqidah :
"Tuhan yang mencipta semesta alam; Gusti, Engkaulah yang terpuji dan suci dari segala prakira dan syakwasangka". (hlm. 150)
b. Bidang Syari'ah
"Karman dapat memastikan bahwa ketenangan hidup Kasgethek berkaitan dengan shalatnya, dengan zikirnya, dengan tasbihnya" (hlm. 152)
Bagian kesepuluh :
Bidang Akhlak
"Di pintu Marni mengucapkan salam ……" (hlm. 174) "Maafkan aku, Karman, seperti dulu kau selalu berlaku demikian kepadaku. Maafkan aku" (hlm. 178) Bagian kesebelas :
a. Bidang Aqidah :
"Leher kubah dihiasi kaligrafi dengan terlir. Empat ayat terakhir dari surat al Fajr terbaca disana : Hai jiwa yang tentram, yang telah sampai kepada kebenaran hakiki. Kembalilah engkau kepada Tuhanmu. Maka masuklah engkau ke dalam barisan hamba-hamba-
62
Ku. Dan masuklah engkau ke dalam kedamaian abadi, di surga-Ku" (hlm. 189)
b. Bidang Akhlak
"Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu sebagai kesempatan yang istimewa. Sesen pun ia tak mengharapkan upah. Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya ingin memberi jasa" (hlm. 188).
Top Related