2
DAFTAR ISI
BAB I6
PENDAHULUAN6
1.1 Latar Belakang6
1.2 Tujuan7
1.3 Metodologi7
1.3.1 Desk Study7
1.3.2 Field Study8
1.4 Ruang Lingkup9
1.5 Kerangka Konseptual9
1.5.1 Badan Layanan Umum9
1.5.2 New Public Management11
1.5.3 Implementasi Kebijakan Publik13
1.5.4 Tata Kelola (Governance)15
1.5.5 Konsep Pariwisata Berkelanjutan di Kawasan Konservasi18
BAB II26
TEMUAN HASIL STUDI26
2.1. Peraturan Perundang-Undangan terkait Taman Nasional dan Badan Layanan
Umum26
2.2. Kondisi Pemenuhan Persyaratan menjadi BLU di Tiga Taman Nasional31
2.2.1. Persyaratan Substantif32
2.2.2. Persyaratan Teknis Error! Bookmark not defined.
2.2.3. Persyaratan Administratif77
BAB III90
A N A L I S I SError! Bookmark not defined.
3.1. Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait Dengan Taman Nasional
dan Badan Layanan Umum90
3.1.1. Regulasi yang Mendukung94
3.1.2. Regulasi yang Menghambat97
3.1.3. Regulasi yang Berpotensi Mendukung atau Menghambat98
3.2. Analisis Kondisi Pemenuhan Persyaratan Menjadi BLU di Tiga Taman
Nasional99
3.2.1 Analisis Kondisi Pemenuhan Persyaratan Menjadi BLU di TN-GGP99
3.2.2 Analisis Kondisi Pemenuhan Persyaratan Menjadi BLU di TN-GHS101
3.2.3. Analisis Kondisi Pemenuhan Persyaratan Menjadi BLU di TN-GHSError!
Bookmark not defined.
3
3.3. Analisis Peluang dan Tantangan TN Berstatus BLU102
3.3.1. Peluang TN Bertransformasi menjadi Satuan Kerja Berstatus BLU106
3.3.2. Tantangan TN Bertransformasi menjadi Satuan Kerja Berstatus BLU108
3.4 Merancang Masa Depan TN Berstatus BLU111
3.4.1. Desain TN Berstatus BLU: Pengelolaan TN secara kolaboratif112
3.4.2. Tahapan Pengembangan Pemanfaatan Potensi Taman Nasional Pasca Status
BLU114
BAB IV116
KESIMPULAN DAN REKOMENDASIError! Bookmark not defined.
4.1. KesimpulanError! Bookmark not defined.
4.2. RekomendasiError! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA132
4
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Peluang dan Tantangan Pengembangan Pariwisata di Kawasan Konservasi18
Tabel 2. Potensi Dampak Negatif Pariwisata Kawasan Konservasi Terhadap
Lingkungan dan Ekologi20
Tabel 3. Prinsip Pengelolaan Pariwisata di Kawasan Konservasi22
Tabel 4. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang Relevan dengan Taman
Nasional dan BLU26
Tabel 5. Peraturan Menteri yang Relevan dengan Taman Nasional29
Tabel 6. Gambaran Umum Pelayanan Taman Nasional34
Tabel 7. Layanan yang Disediakan Oleh TNGGP40
Tabel 8. Layanan yang Disediakan Oleh TNGHS49
Tabel 9. Layanan yang DIsediakan Oleh TNBTS57
Tabel 10. Deskripsi Persyaratan Teknis64
Tabel 11. Jumlah Pegawai Menurut Pendidikan67
Tabel 12. Realisasi Pendapatan PNBP 2016-201867
Tabel 13. Realisasi PNBP dan Realisasi Belanja Pegawai TNGGP68
Tabel 14. Tabel Realisasi PNBP dan Realisasi Belanja TNGGP68
Tabel 15. Komposisi, Jumlah, dan Tingkat Pendidikan Pegawai71
Tabel 16. Penerimaan PNBP TNGHS 2016-201972
Tabel 17. Tabel Realisasi PNBP dan Realisasi Belanja Pegawai TNGGP72
Tabel 18. Realisasi Anggaran 2016-201873
Tabel 19. Realisasi PNBP dan Realisasi Belanja TNGGP73
Tabel 20. Komposisi, Jumlah, dan Tingkat Pendidikan Pegawai75
Tabel 21. Pendapatan dari PNBP di TNBTS Tahun 2016-201876
Tabel 22. Realisasi PNBP dan Realisasi Belanja Pegawai TNBTS76
Tabel 23. Realisasi PNBP dan Realisasi Belanja TNBTS77
Tabel 24. Detil Persyaratan Administratif78
Tabel 25. Peta Dukungan Regulasi Terhadap Pengelolaan Taman Nasional90
Tabel 26. Skoring Pemenuhan Persyaratan99
Tabel 27. Skoring Pemenuhan Persyaratan101
Tabel 28. Gambaran Perbandingan Pengelolaan TN Sebelum dan Sesudah Berstatus
BLU104
Tabel 29. Kunjungan Wisatawan Nusantara dan Mancanegara 2010-2014107
Tabel 30. Jumlah Data Kunjungan Wisatawan Nusantara dan Mancanegara107
Tabel 31. Regulasi yang Mendukung TN Menjadi BLU116
Tabel 32. Pemenuhan Persyaratan Status BLU Tiga Taman Nasional122
5
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Capaian Kinerja TNGGP66
Grafik 2. Penilaian Kinerja 2016-201870
Grafik 3. Realisasi Anggaran TNBTS Tahun 2016-201877
6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem (Ditjen KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
bertanggung jawab dalam upaya penyelenggaraan konservasi sebagai mandat
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5/1990), Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta beberapa konvensi
internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Indonesia memiliki 27.140.384,04 ha kawasan konservasi dan 59,81% dari luas
tersebut, yaitu sebesar 16.232.132,17 ha merupakan area dari 54 Taman Nasional.
Saat ini, para pengelola kawasan konservasi menghadapi persoalan yang kompleks dan
beragam. Habitat alami mengalami kerusakan dan degradasi dalam skala besar,
terutama karena illegal logging dan praktik penggunaan lahan yang tidak tepat.
Ketidakefektifan pengelolaan kawasan konservasi sering kali disampaikan karena
kurangnya anggaran untuk mengelola habitat alam. Kebutuhan pendanaan konservasi
diestimasi sebesar USD 18,6 /ha/tahun pada periode 2010-2020. Sementara dari luas
kawasan konservasi sekitar 39 juta hektar, rata-rata anggaran yang diperoleh saat ini
USD 5, 1 /ha/tahun (acuan 1999). Dengan demikian, terdapat kesenjangan anggaran
sebesar USD 13,5 /ha/tahun (Jefferson, 2014 dalam Indonesian Biodiversity Strategy
and Action Plan /IBSAP, 2015-2020).
Taman Nasional (TN) memiliki potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang
cukup besar. Contohnya, TN Bromo Tengger Semeru pada tahun 2017 memiliki
realisasi pendapatan sebesar Rp. 22.108.571.261 atau lebih besar 134,82%
dibandingkan target pendapatannya yang sebesar Rp. 16.398.507.000. Selain itu, TN
juga memiliki peluang meningkatkan pendapatannya melalui kerja sama dengan pihak
ketiga maupun hibah. Sayangnya, potensi sumber-sumber pendapatan ini tidak dapat
dikelola langsung oleh TN, karena statusnya sebagai Satuan Kerja (Satker) yang
mengelola dananya berdasarkan mekanisme APBN, sehingga tidak dapat mengelola
PNPB yang diperolehnya secara langsung. Kondisi ini menyulitkan pengelola TN
untuk melakukan kreasi dan inovasi dalam pengelolaannya. Pola pembiayaan TN yang
berlaku saat ini, yaitu bersumber dari APBN dipandang belum optimal untuk
menjalankan tugas pokok dan fungsi seperti yang dimandatkan dalam UU No. 5/1990.
Sejak tahun 2006, Kementerian Kehutanan telah menginisiasi model Taman Nasional
Mandiri guna memperjelas arah pengelolaan TN di Indonesia. Rencana Strategis
Kementerian Kehutanan 2010-2014 telah menargetkan 12 TN menjadi Badan
Layanan Umum (BLU) sebagai indikator kinerja utama. Target ini tidak terealisasi,
karena adanya moratorium dari Kementerian Keuangan untuk penetapan BLU baru,
di luar layanan pendidikan dan kesehatan (Tohirin dan Muktaromin, 2013).
Moratorium yang dilakukan pada tahun 2013 itu merupakan upaya untuk
meminimalisir permasalahan yang terjadi dari pembentukan satker baru menjadi BLU,
7
karena Kementerian Keuangan perlu melakukan perbaikan kebijakan yang berkaitan
dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU). Perbaikan yang
dilakukan antara lain penataan regulasi, monitoring dan evaluasi terhadap satuan kerja
BLU, dan penyusunan road map bagi satuan kerja BLU (Waluyo, 2014). Pada tahun
2016, Kementerian Keuangan mengeluarkan PMK Nomor 180/PMK.05/2016 tentang
Penetapan dan Pencabutan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum Pada Satuan Kerja Instansi Pemerintah, sehingga penetapan BLU dapat
dilakukan kembali.
Sebagai kawasan konservasi, TN memiliki fungsi ekologis, ekonomi dan sosial budaya
yang perlu dilaksanakan secara seimbang agar kelestarian ekosistem dan
keanekaragaman hayati tetap terjaga serta dapat menjadi sumber penghidupan untuk
kesejahteraan masyarakat sekitar TN. Dalam rangka mengupayakan keseimbangan
antara fungsi ekologis, ekonomi dan sosial budaya, serta memperkuat kemandirian
dan peningkatan pelayanan TN, maka dipandang penting bagi TN untuk dapat
mengubah statusnya menjadi BLU. Dalam rangka mengetahui kesiapan TN
bertransformasi menjadi TN berstatus BLU, PATTIRO melalui dukungan BIJAK
Project melakukan penelitian yang bertajuk “Pembiayaan Berkelanjutan Taman
Nasional melalui Pembentukan Badan Layanan Umum”.
1.2 Tujuan
Studi ini bertujuan untuk:
1. Melakukan analisis kebijakan yang mendukung dan menghambat TN untuk
memperoleh status BLU, serta kebijakan yang dipandang perlu ada untuk
mendukung TN memperoleh status BLU.
2. Melakukan analisis kondisi di tiga TN (TN Gunung Gede Pangrango, TN
Gunung Halimun Salak, dan TN Bromo Tengger Semeru), yang mencakup tugas
dan fungsi, kinerja perencanaan penganggaran dan pelaksanaan anggaran, tata
kelola organisasi TN, potensi kawasan TN, pendanaan, dan hubungannya
dengan pemerintah pusat, daerah, pemerintah desa, swasta, dan masyarakat
sekitar TN.
3. Mendapatkan gambaran mengenai tantangan, peluang, dan kesiapan tiga TN
dalam memperoleh status BLU dengan mengidentifikasi kesenjangan (gap)
antara kondisi saat ini dengan persyaratan yang dibutuhkan untuk memperoleh
status BLU (persyaratan substantif, teknis, dan administratif).
1.3 Metodologi
Secara umum studi ini dilakukan dalam dua tahap kegiatan, yaitu:
1.3.1 Desk Study
Desk study dilakukan dalam upaya memperoleh gambaran mengenai peta dan analisis
kebijakan yang relevan dengan BLU dan TN, serta gambaran kondisi eksisting TN
(tugas dan fungsi, pendanaan, dan hubungan dengan berbagai pihak terkait), serta
mengidentifikasi kesiapan, peluang dan tantangan TN berstatus BLU. Desk Study yang
dilakukan meliputi:
8
1. Studi regulasi mengenai kawasan konservasi; TN; wisata di kawasan
konservasi; PNBP; dan BLU yang meliputi pengelolaan TN, persyaratan dan
tahapan menjadi BLU dan peluang dan tantangan TN bertransformasi menjadi
TN berstatus BLU. Regulasi yang diteliti meliputi Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri.
2. Studi literatur berupa publikasi hasil penelitian, buku dan artikel jurnal terkait
dengan sustainable tourism (termasuk best practice di Indonesia dan negara
lain), bisnis konservasi dan pengembangan potensi TN.
3. Studi dokumen yang terkait tiga TN yang menjadi objek studi, meliputi
dokumen perencanaan TN, laporan kinerja TN, data pengunjung, laporan
keuangan TN, dan dokumen pendukung lainnya.
Dari hasil desk study, diperoleh gambaran adanya kebijakan yang memberikan peluang
untuk mengoptimalkan potensi TN dalam rangka memberikan pelayanan kepada
masyarakat dan ekosistem yang ada di TN sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1990
dan peraturan turunan lainnya. Selain itu, pola pengelolaan keuangan BLU yang memberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan dipandang akan memberikan
kesempatan bagi TN untuk meningkatkan kinerjanya dalam menjalankan fungsi
ekologis, ekonomi dan sosial budayanya dengan menyelenggarakan pelayanan secara
efektif, efisien dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat bagi pengelolaan ekosistem
yang ada di kawasan TN.
1.3.2 Field Study
Field Study dilakukan dalam rangka menggali lebih lanjut informasi yang sudah
didapatkan dari desk study terutama untuk mengetahui kebijakan yang mendukung
dan menghambat TN berstatus BLU; kondisi pengelolaan TN yang dilakukan saat ini;
pemenuhan persyaratan TN berstatus BLU; serta peluang dan tantangan TN
berstatus BLU. Field Study dilakukan di tiga TN, yaitu TN Gunung Gede Pangrango
(TNGGP), TN Gunung Halimun Salak (TNGHS), dan TN Bromo Tengger Semeru
(TNBTS). Field study dilakukan melalui beberapa tahapan kegiatan, yaitu:
1. Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dalam studi ini dilakukan melalui wawancara
mendalam ke beberapa pemangku kepentingan, yaitu: pengelola TN,
pemerintah daerah, pemerintah desa dan masyarakat di sekitar kawasan,
akademisi dan perusahaan yang bekerjasama dengan TN. Pada tingkat
pemerintah pusat juga dilakukan wawancara dengan KLHK, Bappenas, dan
Kemenkeu. Proses pengumpulan data juga dilakukan melalui FGD yang
bertujuan untuk melakukan triangulasi atas studi dokumen dan wawancara
mendalam. Kegiatan FGD dilakukan di tiga lokasi TN yang menjadi obyek studi.
2. Pengolahan dan Analisis Data
Data dan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara serta FGD selanjutnya
diolah dengan melakukan proses kompilasi dan pengkodean informasi untuk
mendapatkan gambaran mengenai kebijakan yang mendukung dan menghambat
TN menjadi BLU; pemenuhan persyaratan TN menjadi BLU; serta potensi,
peluang dan tantangan TN menjadi BLU. Untuk meningkatkan akurasi data dan
informasi, dilakukan workshop triangulasi dengan stakeholder di tiga TN,
pemerintah daerah, akademisi dan pemerintah pusat.
9
Penilaian pemenuhan persyaratan BLU di tiga lokasi studi menggunakan metode
skoring.
3. Penyusunan Laporan
Dari hasil pengolahan data dan analisis yang dilakukan, kemudian disusun
laporan studi.
1.4 Ruang Lingkup
Studi ini memfokuskan pada pembahasan kondisi pengelolaan TN saat ini, persyaratan
TN berstatus BLU, potensi, peluang dan tantangan serta kebijakan yang mendukung
dan menghambat TN memperoleh status BLU.
1.5 Kerangka Konseptual
Studi tentang pembiayaan berkelanjutan TN melalui perubahan status menjadi BLU ini
didasarkan pada beberapa konsep yang dipandang relevan. Konsep dimaksud meliputi
badan layanan umum (BLU), pengelolaan sektor publik, khususnya new public
management, teori kebijakan, khususnya implementasi kebijakan, tata kelola, dan
sustainable tourism (pariwisata berkelanjutan).
1.5.1 Badan Layanan Umum
Badan Layanan Umum merupakan penerjemahan dari konsep Semi Autonomous
Revenue Authority (SARA), yang dapat didefinisikan sebagai “a governance model for revenue administration where traditional ministry of finance departments (tax and usually customs administrations) are established as an organization or agency with a degree of autonomy from government and independence from standard public service policies” (Kidd and Crandall, 2006). Konsep SARA merujuk pada kerangka
kelembagaan dan tata kelola organisasi yang memberikan otonomi yang lebih besar
daripada direktorat atau departemen pada umumnya (Kristiaji dan Pusoro, 2013).
Pemberian otonomi yang lebih besar bagi lembaga dimaksud bertujuan untuk
menghilangkan hambatan dalam menciptakan manajemen yang efektif, efisien dan
akuntabel. Timbulnya SARA ini, disebabkan pemerintah tidak puas dengan tingkat
pendapatan yang diperoleh atau dikumpulkan, terutama dalam menghadapi defisit
fiskal atau sebagai upaya untuk memperluas pemenuhan kebutuhan bagi belanja
publik.
Meski implementasi konsep SARA di berbagai negara berbeda, namun terdapat pola
yang relatif sama atau karakteristik umum dari SARA (Terkper, 2008), yaitu sebagai
berikut:
a. Status Kelembagaan. Berbadan hukum publik, bukan perusahaan swasta
atau BUMN.
b. Pengelolaan. Penetapan kebijakan dilakukan oleh Kementerian Keuangan,
sedangkan pengelolaan operasional dilakukan oleh kepala eksekutif dan
manajemen yang bertanggungjawab langsung atas pengelolaan SARA.
c. Pengawasan. Terdapat dewan pengawas (beberapa diantaranya perwakilan
sektor swasta dan pemerintah) yang ditunjuk oleh Kementerian Keuangan.
10
d. Akuntabilitas. SARA dapat menuntut dan dituntut secara hukum, memiliki
aset sendiri dan dapat meminjam atau berutang, diaudit secara teratur dan
melapor ke dewan pengawas (sebagian juga melapor ke Kementerian
Keuangan dan parlemen).
e. Fleksibilitas Anggaran. Memperoleh alokasi anggaran yang fleksibel,
kewenangan yang lebih besar dalam transfer dana dan dapat menggunakan
penerimaan yang diperoleh untuk dikelola lebih lanjut.
Di Indonesia, SARA diterapkan melalui Badan Layanan Umum (BLU) yang diatur
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum. Tujuan pembentukan BLU sendiri adalah untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan
keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktik
bisnis yang sehat. Instansi pemerintah yang berstatus BLU memiliki karakteristik yang
berbeda dari instansi lainnya, yaitu:
a. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah, bukan kekayaan negara yang
dipisahkan (BUMN);
b. Menyelenggaran pelayanan umum yang menghasilkan barang/jasa semi publik
(quasi public goods);
c. Tidak mengutamakan mencari keuntungan/laba;
d. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala bisnis;
e. Rencana kerja/anggaran dan pertanggungjawaban dikonsolidasikan pada
instansi induk;
f. Pendapatan BLU dapat digunakan langsung; dan
g. Pegawai terdiri dari dari PNS dan profesional non-PNS.
Berdasarkan jenis layanan yang diberikan, BLU dikelompokkan menjadi tiga bagian,
yaitu:
1. Penyedia layanan barang dan/atau jasa, misalnya pendidikan dan pelatihan,
kesehatan, penelitian dan pengembangan, serta penyiaran publik;
2. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu, misalnya otorita dan kawasan
pengembangan ekonomi terpadu; dan
3. Pengelolaan dana khusus, misalnya pengelola dana bergulir, rekening dana
investasi dan rekening pembangunan daerah.
Penetapan suatu instansi yang telah memenuhi persyaratan menjadi BLU dilakukan
oleh Menteri Keuangan. Sedangkan menteri teknis, sebagai contoh Menteri KLHK
bagi TN, bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan
umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan.
Suatu instansi pemerintah dapat menjadi BLU setelah memenuhi persyaratan dan
melalui proses pembentukan yang usulannya disampaikan oleh Menteri/Pimpinan
lembaga (di tingkat pusat) atau Kepala SKPD (di tingkat daerah) kepada Menteri
Keuangan (pusat) atau gubernur/ bupati/walikota (daerah). Penetapan BLU di tingkat
pusat dilaksanakan oleh Menteri Keuangan, sedangkan di tingkat daerah oleh
Gubernur/Bupati/Walikota. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi BLU
11
terdiri dari tiga, yaitu persyaratan substantif, teknis dan administratif. Mengingat BLU
dalam studi ini merujuk pada BLU di tingkat pusat, maka yang akan dibahas adalah
persyaratan menjadi BLU di tingkat pusat yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Persyaratan substantif untuk menjadi BLU, yaitu bila instansi pemerintah
menyelenggarakan pelayanan umum yang berhubungan dengan:
a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;
b. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan
perekonomian masyarakat atau layanan umum; atau
c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau
pelayanan kepada masyarakat.
Sedangkan persyaratan teknis terdiri dari:
a. kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga; dan
b. kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat
sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.
Sementara itu persyaratan administratif berupa penyajian dokumen sebagai berikut:
a. pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan
manfaat bagi masyarakat;
b. pola tata kelola;
c. rencana strategis bisnis;
d. laporan keuangan pokok;
e. standar pelayanan (minimum); dan
f. laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara
independen.
Instansi pemerintah yang berstatus BLU akan dievaluasi dua tahun sekali, dan bila
tidak memenuhi lagi persyaratan substantif, teknis dan administratif, atau berubah
statusnya menjadi badan hukum dengan kekayaan negara yang dipisahkan, seperti
BUMN, maka akan dicabut statusnya sebagai BLU.
1.5.2 New Public Management
Pengelolaan sektor publik, khususnya organisasi pemerintahan dan unit-unit organisasi
yang dikelola pemerintah dan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak atau
pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, keamanan dan pengelolaan sumber
daya alam mengalami perkembangan terus menerus. Sebelum tahun 1980,
pengelolaan sektor publik lebih bercirikan kepatuhan terhadap peraturan, hirarki
organisasi, berjalan dalam sistem tertutup dan keterlibatan masyarakat dibatasi.
Pengelolaan seperti itu dikenal dengan paradigma administrasi publik lama (Old Public Administration/OPA).
Sejak pertengahan tahun 1980-an, di beberapa negara Eropa, Amerika dan Australia,
berkembang paradigma baru yang disebut paradigma manajemen publik baru (New Public Management/NPM) yang dapat dikatakan merupakan antitesis terhadap OPA
12
yang dikritik menjadikan sektor publik terlalu birokratis, kaku dan tidak efisien.
Paradigma NPM ini digunakan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dalam
memberikan pelayanan publik (Ballesteros, 2012), dalam arti mengarah pada lembaga
yang lebih efisien dalam memberikan pelayanan publik, lebih ramping (right sizing),
lebih fleksibel dan lebih mampu melakukan koordinasi dan pengendalian aktifitas-
aktifitasnya.
Beberapa doktrin penting dari NPM adalah: 1) pemanfaatan manajemen profesional;
2) penggunaan indikator kinerja; 3) penekanan pada kontrol output; 4) pergeseran
kepada unit-unit yang lebih kecil (desentralisasi); 5) tingkat kompetisi yang lebih
tinggi; 6) penekanan pada gaya sektor privat/swasta; dan 7) penekanan pada
penghematan sumber daya. Hal ini terlihat dari orientasi organisasi kepada
pencapaian hasil, adanya pengukuran kinerja pegawai dan organisasi serta adanya
evaluasi program yang lebih sistematis melalui tiga prinsip, yaitu ekonomis, efisien dan
efektif. Ringkasnya NPM berusaha memastikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
seperti menjalankan perusahaan swasta (run government like a business).
Pendekatan NPM ini dianggap sukses dalam arti memberikan hasil nyata berupa: a)
terjadinya penghematan sumber daya; b) perbaikan proses kerja; c) perbaikan tingkat
efisiensi dan efektifitas; dan d) perbaikan sistem administrasi seperti peningkatan
kapasitas, fleksibilitas dan ketahanan organisasi.
Salah satu varian penting dari NPM adalah munculnya konsep pemerintah yang
berwirausaha yang dicetuskan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya
Reinventing Government (1991). Konsep Reinventing Government (RG) ini intinya
adalah transformasi mendasar terhadap sistem publik dan organisasi untuk
menciptakan peningkatan yang luar biasa terhadap efektivitas, efisiensi, adaptabilitas
dan kemampuan untuk berinovasi. Melalui RG, pemerintah siap terhadap tantangan
yang tidak dapat diantisipasi dan membentuk pemerintahan yang selalu mencari cara
untuk menjadi lebih efisien. Beberapa konsep penting RG adalah: a) akuntabilitas tidak
lagi dilihat dari ketaatan terhadap aturan, namun dari ketercapaian hasil; b)
mengutamakan masyarakat sebagai pelanggan (customers); c) mendorong
pemberdayaan pegawai (employee empowerment); dan d) efisiensi melalui
pemerintahan yang lebih baik.
Meski NPM dipandang memberikan hasil positif yang nyata, namun NPM juga dikritik,
karena sangat menekankan semangat privat. Akibatnya para elit birokrat cenderung
berkompetisi untuk kepentingan dirinya sendiri daripada untuk kepentingan umum.
Kritik lainnya adalah dipandang tidak mendorong terjadinya proses demokrasi;
pemerataan dan keadilan sosial sulit terwujud; dan bila tidak hati-hati justru akan
meningkatkan tindakan korupsi; serta munculnya orang-orang miskin baru yang tidak
dapat mengakses pelayanan publik.
Beberapa prinsip dari NPM tampak sejalan dengan pengelolaan organisasi yang
berstatus Badan Layanan Umum (BLU). Hal ini terlihat dari penyusunan Rencana
Strategis Bisnis, adanya indikator kinerja yang berorientasi pada hasil (output),
pengelolaan SDM/ketenagakerjaan yang lebih fleksibel, dalam arti tidak hanya Pegawai
Negeri Sipil (PNS), namun juga dapat mengangkat pegawai kontrak sesuai kebutuhan,
dan adanya penekanan pada efisiensi organisasi. Dengan kata lain, organisasi yang
berstatus BLU diharapkan mampu menyelenggarakan pelayanan publik dengan lebih
efisien dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan sektor swasta melalui NPM.
13
Bila dikaitkan dengan kelembagaan Taman Nasional, maka TN sebagai organisasi
publik yang mengelola sumber daya alam dan memberikan pelayanan kepada
masyarakat dituntut mampu memberikan pelayanan publik dan menjalankan fungsi
ekologis, sosial dan ekonomi sembari pada saat yang sama menerapkan NPM. Hal ini
berarti, pengelola TN harus mampu memaduserasikan antara fungsi dan peran
birokrasi pemerintahan dengan swasta dalam memberikan pelayanan publik secara
optimal.
1.5.3 Implementasi Kebijakan Publik
Secara umum, kebijakan publik, menurut Dye (2011) dapat didefinisikan sebagai
segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil
yang membuat sebuah kehidupan tampil berbeda (public policy is “whatever governments choose to do or not to do. Public policy is what government do, why they do it, and what difference it makes). Sedangkan Dunn (2000) menyatakan bahwa
kebijakan publik adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-piliihan
kolektif yang saling tergantung termasuk keputusan-keputusan untuk bertindak yang
dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Sementara itu, Nugroho (2012)
menyatakan bahwa kebijakan publik sebagai aturan yang mengatur kehidupan bersama
yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan
diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi
ditetapkan oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi. Kebijakan publik
disusun dan disepakati oleh para pejabat yang berwenang dan ketika rancangan
kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri,
maka berubah menjadi hukum yang harus ditaati. Dengan kata lain, kebijakan publik
ini mengatur perilaku, mengorganisir birokrasi, mendistribusikan manfaat dan menarik
pajak atau melakukan semuanya secara bersamaan.
Menurut Nakamura (1980) kebijakan publik dapat dilihat dari tiga lingkungan, yaitu: 1)
lingkungan perumusan kebijakan (formulation); 2) lingkungan penerapan kebijakan
(implementation); dan 3) lingkungan penilaian kebijakan (evaluation). Dari ketiga
lingkungan tersebut, implementasi kebijakan menempati posisi yang sangat strategis.
Mengapa? Karena suatu kebijakan hanya akan menjadi dokumen semata jika tidak
diimplementasikan. Oleh karena itu, kebijakan publik yang telah ditetapkan harus
diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh lembaga-lembaga publik, terutama instansi
pemerintah.
Beberapa pakar menjelaskan tentang implementasi kebijakan, diantaranya Lester and
Stewart (2000) yang menyatakan bahwa implementasi kebijakan sebagai alat
administrasi hukum dengan berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang
bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan
yang diinginkan. Jauh sebelumnya, Grindle (1980) menyatakan bahwa implementasi
kebijakan, sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme
penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur rutin lewat saluran
birokrasi, bahkan lebih daripada itu, yaitu menyangkut masalah konflik, keputusan dan
siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Sementara Afan Gaffar (2009)
menjelaskan bahwa implementasi kebijakan sebagai suatu rangkaian kegiatan dalam
rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat, sehingga kebijakan tersebut
dapat membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Rangkaian kegiatan itu mencakup
persiapan seperangkat peraturan lanjutan yang merupakan interpretasi dari kebijakan
14
tersebut. Misalnya dari sebuah undang-undang muncul sejumlah Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, maupun Peraturan Daerah; menyiapkan sumber
daya guna menggerakkan implementasi termasuk di dalamnya sarana dan prasarana,
sumber daya keuangan; siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan
tersebut; dan bagaimana mengantarkan kebijakan secara konkrit ke masyarakat.
Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya
dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan
Horn (Grindle, 1980) bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang
memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi
pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (policy stakeholders). Implementasi kebijakan tidak lepas dari berbagai kendala yang timbul
akibat proses yang rumit dan kompleks. Kendala tersebut menjadi penghambat dalam
keberhasilan suatu implementasi bahkan dapat menyebabkan gagalnya implementasi
tersebut. Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah
birokrasi yang memiliki peran besar dan dominan.
Beberapa pakar kebijakan telah memberikan analisis mengenai bagaimana agar
kebijakan publik dapat diimplementasikan secara efektif, antara lain Brian W.
Hogwood dan Lewis A. Gunn melalui top down approach-nya; Van Meter dan Van
Horn dengan model implementasi kebijakan-nya; serta George Edward III, yang
dikenal dengan pemikirannya mengenai faktor atau variabel kebijakan. George
Edward III dalam Nugroho (2014) menyatakan bahwa masalah utama dari
administrasi publik adalah lack of attention to implementation. Dikatakannya bahwa
without effective implementation, the decision of policymakers will not be carried out successfully. Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar
implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication, resource, disposition or attributes, dan bureaucratic structures.
Komunikasi (communication) berkenaan dengan bagaimana kebijakan
dikomunikasikan kepada organisasi dan atau publik dan sikap serta ketersediaan
sumberdaya pendukung (resource), khususnya SDM, dimana hal ini berkenaan dengan
kecakapan dari pelaksana kebijakan publik untuk melaksanakan (carry out) kebijakan
secara efektif.
Disposition berkaitan dengan kesediaan dari para implementor kebijakan untuk
melaksanakan (carry out) kebijakan publik tersebut. Kecakapan saja tidak mencukupi,
tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan.
Sedangkan struktur birokrasi (bureaucratic structures) berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik
dimaksud. Tantangannya adalah bagaimana menyusun struktur organisasi yang tepat
dan agar tidak terjadi fragmentasi birokrasi (bureaucratic fragmentation), karena ini
akan mengakibatkan proses implementasi menjadi jauh dari efektif.
Pemikiran George Edward III dipandang tepat untuk mengkaji kebijakan terkait TN,
karena untuk dapat melaksanakan kebijakan perubahan status TN dari satuan kerja
menjadi BLU diperlukan sejumlah prasyarat yang dipandang relevan dengan empat
faktor atau variabel kebijakan di atas.
15
1.5.4 Tata Kelola (Governance)
Konsep tata kelola (governance) mulai berkembang ditandai dengan adanya cara
pandang baru terhadap peran pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. Dalam
hal ini bukan hanya berarti urusan kepemerintahan saja, tapi juga mengacu pada arti
pengurusan, pengarahan, pengelolaan dan pembinaan penyelenggaraan. Jadi dalam
membahas governance tidak akan terlepas dari unsur government, karena perspektif
governance merupakan transformasi government secara bertahap. Keduanya berada
dalam pengertian yang berbeda. Government sangat identik dengan kekuasaan,
penguasaan, kewenangan, dominasi, dan pemusatan. Sementara governance adalah
berpikir mengenai bagaimana semua pihak mencapai tujuan bersama dalam konteks
hubungan sistem politik dengan lingkungannya. Konteks governance lebih
menekankan pada kerjasama yang seringkali memperlihatkan keefektifan daripada
melakukan sesuatu secara sendiri-sendiri dalam konteks government.
Menurut Schwab, Kubler & Walti (2001) governance dalam prosesnya melibatkan
aktor-aktor yang terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat dan sektor privat. Negara
(pemerintah) berperan dalam menciptakan situasi politik dan hukum yang kondusif;
sementara masyarakat dan sektor privat berperan dalam memfasilitasi interaksi
secara sosial dan politik yang memadai bagi mobilitas individu atau kelompok untuk
berpartisipasi dalam aktivitas sosial, ekonomi dan politik dalam proses bernegara dan
berbangsa. Sedangkan Ohmae (2005) menyatakan bahwa peranan pemerintah sebagai
penyedia tunggal kebijakan harus diubah menjadi anggota tim. Meskipun pemerintah
akan tetap memiliki peran penting dalam persoalan publik, sehingga tidak perlu takut
untuk membuka pelibatan pihak swasta.
Governance merupakan inovasi kebijakan untuk menyikapi kompleksitas dan
dinamika yang terjadi dalam kebijakan publik. Berbagai fakta menunjukkan bahwa
sejak era 1990-an, berbagai bentuk praktik governance telah menjadi solusi inovatif
dalam menjawab pertanyaan dari berbagai pihak, terutama berkaitan dengan
rendahnya akuntabilitas dan transparansi penyelesaian persoalan publik. Inovasi
pemerintahan melalui governance perlu dilakukan, karena permasalahan publik yang
dihadapi pemerintah semakin hari semakin kompleks dan dinamis. Penyelesaiannya
tidak dapat diselesaikan dengan model pemerintahan tradisional yang hierarkis dalam
era perubahan yang cepat (Eggers, 2008).
Ada dua sudut pandang mengenai paradigma governance, yaitu sudut pandang
deskriptif dan sudut pandang preskriptif (Chandhoke, 2003 dalam Shylendra, 2005:
217). Dilihat dari sudut pandang deskriptif, paradigma governance merupakan sebuah
fenomena yang muncul di negara maju dan negara berkembang untuk merespon
perubahan peran negara. Di negara-negara maju, konsep welfare state telah memudar
karena munculnya ideologi neo liberal Reagan-Thatcher. Sementara di negara-negara
berkembang, ada tekanan bagi pemerintah untuk melibatkan aktor lain dalam
program pembangunan. Hal tersebut dipengaruhi oleh globalisasi. Hasilnya, negara-
negara di dunia menjadi lebih plural dengan hadirnya berbagai aktor nonpemerintah
dari tingkat lokal sampai global. Aktor-aktor tersebut berupaya melengkapi peran
yang sudah dilakukan pemerintah, bahkan ada juga yang mulai menggantikan peran
pemerintah sebagai aktor tradisional dalam pembangunan. Ada konsekuensi yang
harus menjadi perhatian ketika pemerintah tidak lagi menjadi otoritas tunggal dalam
kebijakan publik, yaitu kemungkinan meningkatnya persoalan di internal pemerintah.
Selama ini, pemerintah masih menghadapi persoalan klasik di internal, yaitu
16
koordinasi dan ‘ego sektoral’. Apabila pemerintah melibatkan aktor/stakeholder lain,
maka pemerintah akan semakin sulit mengoordinasi aktivitas-aktivitas internal
mereka. Masing-masing organisasi bekerja guna mewujudkan tujuan masing-masing.
Koordinasi yang lemah di sektor publik menyebabkan penurunan efektivitas dan
efisiensi program publik, serta memperburuk citra pemerintah di masyarakat (Peters,
2010).
Dalam paradigma governance, ada tiga aktor yang berperan dalam pembangunan.
Secara tradisional, pemerintah merupakan aktor utama dalam pembangunan. Seiring
dengan pergeseran ke paradigma governance, pemerintah mulai mengikutsertakan
aktor nonpemerintah (sektor swasta dan masyarakat madani) dalam program
pembangunan. Kapasitas ketiganya dibutuhkan untuk saling melengkapi kapasitas
aktor lain.
Senada dengan pandangan tersebut, Kooiman (2003) memberikan pemahaman
governance sebagai suatu konsepsi yang berkaitan dengan interaksi dalam
memerintah, dimana proses interaksi yang berlangsung merupakan hubungan yang
saling menguntungkan antara aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Pemerintah
dimanapun akan menghadapi kompleksitas dan dinamika dalam penyelesaian
persoalan publik. Oleh karena itu, governance menjadi pilihan agar pemerintah lebih
efektif, sehingga mewujudkan hasil yang lebih baik bagi masyarakat ditengah
keterbatasan sumber daya. Kunci dari governance dalam penyelesaian persoalan
publik adalah adanya interaksi total antara aktor-aktor dengan lingkungannya, seperti
yang disampaikan oleh Kooiman (2003), Moore dan Hartley (2010), dan Moore
(1995).
Penerapan governance bukanlah proses yang mudah, sehingga untuk membangun
model governance, penting untuk memperhatikan dan memahami kondisi khas yang
ada di suatu negara atau wilayah. Karakteristik governance di negara maju tentu saja
berbeda dengan karakteristik di negara berkembang. Agere (2000) meyakini untuk
menerapkan governance dibutuhkan beberapa syarat: Pertama, pemerintah (negara)
yang efektif, yaitu yang mampu menciptakan lingkungan hukum dan politik untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi dan distribusi yang adil dan merata; Kedua,
masyarakat madani yang mampu memobilisasi kelompok dan masyarakat,
memfasilitasi interaksi sosial dan politik, meyakinkan adanya governance yang
partisipatif, membantu penciptaan modal sosial, dan percepatan kohesi sosial; dan
ketiga, sektor swasta yang produktif. Untuk merespons permasalahan kolektif melalui
governance yang baik, Agere (2000) menambahkan bahwa governance yang baik
mencerminkan partisipasi, transparansi, akuntabilitas, penegakan hukum, efektivitas,
dan keadilan.
Pemikiran mengenai governance kemudian berkembang, salah satunya adalah
munculnya pandangan mengenai collaborative governance. “Collaborative” dalam
konteks administrasi publik adalah kondisi ketika setiap pemangku kepentingan
bekerja sama dengan pemerintah untuk menyusun suatu kebijakan publik guna
menyelesaikan permasalahan publik (Purdy, 2012). Bila dikaitkan dengan konsep
governance, maka “Collaborative Governance”, menurut Purdy (2012) adalah “a processes that seek to share power in decision making with stakeholders in order to develop shared recommendations for effective, lasting solutions to public problems”.
Intinya adalah proses kolaborasi kekuasaan dari beberapa pemangku kepentingan
untuk menyusun solusi efektif yang berkelanjutan.
17
Praktik kolaboratif di beberapa negara sudah berhasil dilaksanakan terutama dalam
mengatasi berbagai masalah lingkungan, keamanan, pengelolaan air, yang melibatkan
banyak pemangku kepentingan serta bersifat lintas daerah administratif (Innes dan
Booher, 2010; Healey, 2007; Gunton dan Day, 2003). Inti praktik kolaboratif ini
ditandai dengan kesediaan para pemangku kepentingan untuk melakukan dialog dalam
suatu forum guna mengambil keputusan secara bersama dan komitmen untuk
melaksanakan secara bersama-sama juga.
Menurut Emerson, Tina dan Stephen (2011) ada tiga pihak yang terlibat dalam
collaborative governance yaitu sektor publik (public agencies and levels of government), sektor privat (private sector) dan masyarakat (civic spheres). Otoritas,
kekuasaan, dan sumber daya yang dimiliki setiap aktor yang terlibat dikolaborasikan
untuk mencapai suatu visi pemecahan masalah bersama. McDougall (2013)
menjelaskan bahwa pihak-pihak atau sektor tersebut dalam berkolaborasi
menunjukkan tiga ciri khas yaitu 1) secara sadar dan dengan nyata mendasarkan
penyusunan pengambilan keputusan pada pembelajaran sosial dan refleksi kritis
(consciously and explicitly base decision making in social learning and critical reflection); 2) mengedepankan inklusifitas dan kesetaraan antar pihak/aktor
(emphasize inclusion and equity in governance); dan 3) berorientasi pada
keseimbangan hubungan antar aktor yang bersifat strategis termasuk di dalamnya
mengatasi konflik secara efektif (strive for balanced and strategic relations with other actors or groups, including seeking to effectively manage conflict). Pihak masyarakat
(citizen) berperan dengan memberikan tuntutan perubahan atau solusi dari masalah
publik kepada sektor publik/pemerintah. Peran lainnya adalah dengan memberikan
umpan balik/masukan kepada pemerintah terkait dengan kebijakan yang ada.
Masyarakat juga dapat berperan dengan menuntut transparansi atau akuntabilitas
kepada pemerintah. Sektor privat dapat berperan dengan berkontribusi
mengalokasikan sumber dayanya, bantuan-bantuan finansial, dan kerja sama public-private-partnership (Ramadass, 2017). Kerja sama dan kolaborasi antar
aktor/stakeholders tersebut berpeluang besar membawa manfaat berupa solusi
efektif terhadap pemecahan masalah publik melalui penguatan kemitraan dan
kapasitas dari masing-masing aktor (Biddle dan Koontz, 2014). Collaborative Governance juga mendukung terbentuknya efisiensi program, karena mampu
menghindari adanya duplikasi solusi/kegiatan/kebijakan dari masing-masing aktor
(Hodges, et al, 2013). Efisiensi juga dapat tercapai dengan mendistribusi biaya/cost dari program/kegiatan/solusi yang dijalankan (Huxham, Johnson, Matterssich, Walter
dalam Hodges, et al, 2013).
Collaborative Governance ini dipandang oleh Ansell dan Gash (2017) sebagai strategi
mutakhir dalam pelaksanaan tata kelola modern. Kedua pakar ini menekankan enam
kriteria penting dari Collaborative Governance. Pertama, forum atau kolaborasi yang
terbentuk haruslah diinisiasi oleh agensi publik/sektor publik/lembaga pemerintah.
Kedua, anggota/partisipan yang ikut berkolaborasi harus melibatkan aktor/pihak/
organisasi di luar pemerintah. Ketiga, anggota/partisipan yang terlibat dalam
kolaborasi harus benar-benar terlibat secara langsung dalam pembuatan keputusan
(tidak hanya dihubungi untuk sebatas konsultasi). Keempat, forum/komunikasi yang terjadi atau dilakukan oleh para aktor yang berkolaborasi harus bersifat resmi dan
disusun secara kolektif. Kelima, setiap forum/komunikasi yang berlangsung antar
18
aktor yang berkolaborasi berorientasi untuk mencapai sebuah konsensus bersama.
Keenam, kolaborasi yang terjadi harus diarahkan atau difokuskan untuk memecahkan
masalah sosial/masalah publik/berkaitan dengan produksi kebijakan publik.
Pemikiran Ansell dan Gash ini dipandang tepat dalam pengelolaan TN, karena mampu
menggambarkan kondisi sosial budaya masyarakat di negara berkembang termasuk
Indonesia yang ditandai dengan rendahnya partisipasi, keterbatasan tingkat pendidikan
dan rendahnya kepercayaan masyarakat serta kecenderungan dominasi kekuasaan.
1.5.5 Konsep Pariwisata Berkelanjutan di Kawasan Konservasi1
Di seluruh dunia, pengelola kawasan konservasi dituntut untuk memberikan
pengalaman yang bermakna dan memberikan pendidikan konservasi kepada
pengunjung, mendapatkan penerimaan yang digunakan untuk mengelola kawasan
tanpa mengganggu integritas ekologis dan nilai konservasi dari kawasan serta
menjamin masyarakat terlibat dan mendapat manfaat dari kawasan . Dengan
demikian, mengelola pariwisata di kawasan konservasi membutuhkan keterampilan
dan pengetahuan tingkat tinggi.
Salah satu jenis fungsi pemanfaatan kawasan konservasi yang banyak dilakukan di
banyak negara adalah pemanfaatan dalam bentuk pariwisata alam. Pengembanganan
pariwisata di kawasan konservasi dihadapkan pada situasi adanya peluang dan
tantangan sebagaimana disajikan di dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Peluang dan Tantangan Pengembangan Pariwisata di Kawasan Konservasi
Peluang Tantangan
Membangun konstituensi dukungan untuk
pelestarian alam dan budaya di kawasan
konservasi dengan memberikan pengalaman luar
biasa yang menjelaskan nilai dan peran penting
dari kawasan konservasi
Kawasan konservasi hanya menjadi 'komoditas'
atau sumber daya yang akan dieksploitasi oleh
industri yang lebih mementingkan keuntungan,
akses, dan memberikan pengalaman baru
daripada mendukung konservasi.
Berkontribusi aktif untuk konservasi melalui
pelibatan pengunjung dalam tugas manajemen
dan kontribusi langsung dalam hal keuangan
(misalnya: tarif masuk, biaya konsesi, dll.) atau
dukungan dalam bentuk barang kepada
manajemen.
Kepentingan pariwisata secara aktif merongrong
pengelolaan yang baik dengan mendesak
penggunaan, manfaat atau akses yang merusak
tujuan konservasi atau budaya kawasan
konservasi.
Membenarkan dukungan politik dan pendanaan
yang lebih baik untuk pengelolaan dengan
mengakui pentingnya pariwisata kawasan
konservasi bagi ekonomi lokal dan regional.
Pentingnya pariwisata kawasan konservasi
mengarah pada dukungan politik untuk
pengembangan kawasan secara berlebihan di
atau sekitar kawasan konservasi.
Memperbaiki dampak pariwisata melalui
perencanaan infrastruktur yang sensitif,
remediasi kerusakan yang disebabkan, dan
teknik mitigasi dampak pengunjung (mis. Dengan
melakukan pengerasan jalur).
Dampak negatif terhadap lingkungan terjadi,
seperti polusi (misalnya, pembuangan limbah,
emisi karbon), penggunaan sumber daya yang
tidak berkelanjutan, dan kerusakan pada area
sensitif (misal. melalui pembangunan atau lokasi
infrastruktur yang kurang tepat).
1 Leung, Yu-Fai et. all, Tourism and visitor management in protected areas: Guideness for
sustainability, IUCN. 2018.
19
Meningkatkan manfaat sosial dan budaya dari
kawasan konservasi dengan mempromosikan
dan melestarikan daya tarik budaya mereka,
menampilkan budaya lokal (misal: dongeng
rakyat, kerajinan, desain, musik, makanan), dan
menyediakan layanan yang tepat dan peluang
belajar.
Dampak negatif terhadap masyarakat lokal
terjadi (misalnya: terjadi komodifikasi budaya,
adanya gangguan terhadap kehidupan tradisional,
kejahatan, meningkatkan kepadatan penduduk,
terjadinya perpindahan masyarakat lokal untuk
mengakomodasi pengembangan pariwisata,
hilangnya akses ke sumber daya tradisional,
kerusakan atau penodaan tempat-tempat suci,
tekanan yang disebabkan oleh tingginya tingkat
kunjungan); terjadinya inflasinya dan biaya hidup
yang tinggi dari pariwisata.
Memberikan insentif besar, melalui manfaat
sosial dan finansial secara langsung bagi
masyarakat di atau sekitar kawasan konservasi
untuk melindungi satwa liar dan mentolerir
beberapa dampak negatif dari kehidupan satwa
liar.
Tanpa adanya manfaat, penduduk miskin di
sekitar kawasan akan terus memburu satwa liar
untuk melindungi diri mereka sendiri atau untuk
properti atau untuk keuntungan mereka.
Mendorong ekonomi lokal melalui kepemilikan
lokal atas aset pariwisata, pengelolaan bisnis
pariwisata, pekerjaan, mata pencaharian
alternatif, dan kewirausahaan dalam rantai
pasokan pariwisata (misalnya: pemandu wisata,
kerajinan, makanan dan minuman, transportasi).
Rantai ekonomi positif gagal terwujud karena
kurangnya informasi, peluang, akses ke
keuangan, kebijakan yang memadai, atau
konsistensi.
Berdasarkan tabel diatas, peluang yang ada perlu dioptimalkan agar menghasilkan
dampak positif, sedangkan tantangan yang telah teridentifikasi perlu diatasi agar tidak
menghasilkan dampak negatif. Potensi dampak positif yang dapat dihasilkan dari
pariwisata di kawasan konservasi meliputi manfaat untuk lingkungan, manfaat
ekonomi maupun manfaat untuk masyarakat.
Potensi manfaat bagi lingkungan:
1. Menyediakan pendidikan publik tentang masalah dan kebutuhan konservasi;
2. Memberikan pemahaman dan apresiasi yang lebih besar terhadap nilai-nilai dan
sumber daya alam melalui pengalaman, pendidikan dan interpretasi;
3. Menciptakan kesadaran akan nilai sumber daya alam dan melindungi sumber
daya, yang bagi penduduk memiliki nilai yang kecil atau dianggap sebagai biaya
daripada manfaat;
4. Mendukung penelitian dan pengembangan praktik lingkungan yang baik dan
sistem manajemen untuk mempengaruhi operasi bisnis perjalanan dan
pariwisata, serta perilaku pengunjung di destiasipariwisata;
5. Mendukung pemantauan lingkungan dan spesies melalui relawan warga.
Potensi manfaat bagi ekonomi:
1. Menghasilkan manfaat ekonomi bagi suatu bangsa, wilayah atau komunitas
untuk memperkuat komitmen untuk melestarikan kawasan alam dan
margasatwanya;
2. Meningkatkan pekerjaan dan penghasilan bagi penduduk setempat;
3. Mendorong tumbuhnya perusahaan pariwisata baru dan mendiversifikasi
ekonomi lokal;
20
4. Meningkatkan fasilitas lokal, transportasi dan komunikasi dengan keberlanjutan
yang lebih besar;
5. Mendorong produksi dan penjualan barang lokal dan penyediaan layanan;
6. Membuk akses pasar yang baru dan valuta asing;
7. Menghasilkan penerimaan pajak daerah;
8. Memungkinkan karyawan untuk mempelajari keterampilan baru;
9. Memberikan dukungan finansial untuk kawasan konservasi melalui
pembayaran tarif.
Potensi manfaat bagi masyarakat:
1. Meningkatkan standar hidup bagi masyarakat setempat;
2. Mendorong masyarakat untuk menghargai dan bangga dengan budaya lokal
dan kawasan konservasi mereka;
3. Mendukung pendidikan lingkungan untuk pengunjung dan masyarakat
setempat, dan menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai-
nilai dan warisan budaya;
4. Membangun lingkungan yang menarik untuk destinasi untuk pengunjung, yang
dapat mendukung kegiatan baru yang terkait (misalnya: industri berbasis
produk atau layanan);
5. Meningkatkan pemahaman antar budaya melalui kontak social;
6. Mendorong pengembangan dan konservasi budaya, kerajinan tangan dan seni;
7. Mendorong orang untuk mempelajari bahasa dan budaya orang lain;
8. Mempromosikan nilai-nilai estetika, spiritual, kesehatan, dan lainnya yang
terkait dengan kesejahteraan;
9. Meningkatkan kesehatan fisik melalui olahraga rekreasi (misanya: berjalan,
bersepeda);
10. Berkontribusi pada kesehatan mental dengan mengurangi stres dan kelelahan;
11. Meningkatkan profil konservasi di tingkat lokal, nasional dan internasional;
12. Menyampaikan nilai-nilai, masalah konservasi dan masalah manajemen untuk
pengunjung.
Sedangkan potensi dampak negatif terdapat lingkungan yang dapat muncul sebagai
akibat dari pengembangan pariwisata di kawasan konservasi dapat dilihat dalam tabel
berikut ini:
Tabel 2. Potensi Dampak Negatif Pariwisata Kawasan Konservasi Terhadap Lingkungan dan
Ekologi
Area Dampak Aktivitas Pariwisata Contoh
Udara Transportasi dan listrik ▪ polusi air dan polusi suara dari kendaraan
▪ meningkatkan emisi karbon
Cahaya Pencahayaan di dan sekitar
fasilitas
polusi cahaya dapat mengganggu anak penyu tidak
menuju ke laut
Suara Pembangunan atau
penggunaan fasilitas
Polusi suara dari kendaraan dapat memengaruhi
keberhasilan pengembangbiakan burung
21
Air Pembuangan sampah ▪ Mineral, nutrisi, air limbah, limbah padat,
bensin dan racun ditambahkan ke lingkungan;
▪ Kontaminasi mengurangi kualitas air; dan
▪ Konsumsi air meningkat.
Geologi dan tanah Pengambilan, vandalisme
dan erosi
▪ Graffiti pada dan/atau menghilangkan mineral,
batu, fosil;
▪ Perubahan fisik dan kimia di tanah
Lanskap pembangunan Dampak visual dari pemukiman di lanskap
Habitat Pembersihan, penggunaan
sumber daya alam, polusi
▪ Fragmentasi habitat alami (misal: lahan
gambut);
▪ Persaingan antara spesies tanaman asli dan
invasif;
▪ Frekuensi kebakaran yang berubah yang
menyebabkan perubahan habitat (termasuk
dari kebakaran hutan);
▪ Penghancuran habitat dan pembukaan lahan
(misal: bakau);
▪ Penangkapan berlebih untuk memasok
makanan bagi pengunjung; dan
▪ Eutrofikasi dan sedimentasi
Pejalan kaki dan arus
kendaraan
Perubahan dalam pembentukan, pertumbuhan
dan reproduksi tanaman, yang mempengaruhi
keanekaragaman, komposisi, dan morfologi
(misal: melalui penginjakan)
Satwa Perburuan, memancing ▪ Perubahan komposisi spesies, reproduksi dan
perilaku;
▪ Pemusnahan hewan yang terhabituasi.
Polusi ▪ Stres psikologis, perubahan perilaku,
pengurangan produktivitas;
▪ Penggunaan area pembuangan limbah sebagai
sumber makanan;
▪ Eutrofikasi.
Pelecehan dari tontonan
dan fotografi
▪ Perubahan perilaku (misal: penghindaran,
pembiasaan atau ketertarikan pada manusia);
▪ Perubahan fisiologis (misal: detak jantung, laju
pertumbuhan, dan abundance);
▪ Perubahan spesies (misal: komposisi,
keragaman dan kelimpahan, distribusi dan
interaksi interspecific).
Jalan raya dan jalan
setapak di area alami
▪ Efek penghalang terhadap karnivora, tabrakan,
peningkatan aksesibilitas oleh pemburu liar;
▪ Meningkatnya spesies tanaman yang menyukai
matahari di koridor perjalanan;
▪ Satwa liar yang mati atau cacat (misal:
tertabrak); dan
▪ menguntungkan pemulung
Selain memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, pengelolaan pariwisata di
kawasan konservasi juga dampat memberikan dampak negatif terhadap kondisi sosial,
budaya dan ekonomi.
22
Agar dampak postif dapat dioptimalkan dan dampak negatif dapat diminimalisir,
pengelola kawasan konservasi perlu menggunakan konsep pariwisata berkelanjutan
(sustainable tourism).
Sustainable tourism, didefinisikan sebagai “tourism that takes full account of its current and future economic, social and environmental impacts, addressing the needs of visitors, the industry, the environment and host communities” (UNWTO & UNEP,
2005: 11–12).
Agar pariwisata di kawasan konservasi dapat berkelanjutan, maka pengelolaan
pariwisata perlu menggunakan sepuluh prinsip sebagaimana disajikan pada tabel
berikut ini.
Tabel 3. Prinsip Pengelolaan Pariwisata di Kawasan Konservasi
No Prinsip Deskripsi Aksi
1 Pengelolaan yang tepat
tergantung pada tujuan
dan nilai-nilai Kawasan
konservasi
▪ Tujuan dalam rencana
pengelolaan kawasan konservasi
memberikan pernyataan definitif
tentang hasil (outcome) yang
diinginkan dari pengelolaan
kawasan.
▪ Pengelola mengidentifikasi
kesesuaian tindakan manajemen
dengan sumber daya dan
kondisi sosial yang dapat
diterima.
▪ Pengelola melakukan evaluasi
keberhasilan tindakan
manajemen.
▪ Pastikan rencana
pengelolaan mencakup
tujuan yang jelas dan
tepat, dengan
konservasi yang utama
di atas segalanya.
▪ Menetapkan dan
menyetujui tujuan
melalui partisipasi
publik.
2 Perencanaan proaktif
untuk pariwisata dan
manajemen pengunjung
akan meningkatkan
efektivitas
▪ Manajemen proaktif dimulai
dengan mengartikulasikan nilai-
nilai kawasan konservasi dan
tujuan manajemennya. Kebijakan
dan keputusan manajemen yang
dapat dikaitkan dengan nilai-nilai
ini memiliki peluang yang lebih
baik untuk implementasi yang
efektif.
▪ Menggunakan cara berpikir jauh
ke depan akan meningkatkan
kesadaran yang lebih baik akan
peluang yang muncul untuk
kegiatan rekreasi dan pariwisata.
▪ Berikan peluang kepada
pengunjung untuk
belajar tentang nilai-nilai
kawasan konservasi
melalui informasi dan
program/paket wisata.
▪ Sadar akan aktivitas
pengunjung yang muncul
atau gunakan pola yang
mungkin memiliki
implikasi manajemen
3 Mengubah kondisi
penggunaan pengunjung
tidak dapat dihindari
dan mungkin
dibutuhkan
▪ Dampak, tingkat penggunaan, dan
ekspektasi kondisi yang tepat
cenderung bervariasi (Misal:
dampak perkemahan di pinggiran
vs pusat kawasan yang
dilindungi).
▪ Variabel lingkungan
mempengaruhi penggunaan
pengunjung dan tingkat dampak
(misal: topografi, vegetasi, akses).
▪ Gunakan zonasi secara
eksplisit untuk
mengelola berbagai
peluang rekreasi.
▪ Gunakan pengetahuan
tentang potensi
keanekaragaman
kawasan untuk
membuat keputusan
tentang minat pariwisata
di lokasi tertentu
23
(dengan memisahkan
keputusan dari aspek
teknis dengan yang
berdasarkan pada
judgment atas nilai
kawasan)
4 Dampak terhadap
kondisi sumber daya
dan sosial adalah
konsekuensi tak
terhindarkan sebagai
akibat dari penggunaan
pengunjung
▪ Setiap tingkat penggunaan
rekreasi menyebabkan beberapa
dampak; dalam kebanyakan
kasus, tingkat penggunaan awal
yang kecil menghasilkan dampak
terbesar per penggunaan unit.
Jika ada konflik antara konservasi
dan tujuan lain, kepentingan
konservasi harus diutamakan.
▪ Proses menentukan tingkat
dampak “yang dapat diterima”
sangat penting bagi semua
perencanaan dan manajemen
penggunaan pengunjung.
▪ Bukti dampak dapat digunakan
untuk pendidikan lingkungan bagi
pengunjung.
▪ Pengelola harus
bertanya: "Berapa
dampak yang dapat
diterima berdasarkan
pada nilai dan tujuan
kawasan konservasi?"
▪ Pengelola harus
bertindak dengan tepat
untuk mengelola tingkat
dampak yang dapat
diterima.
5 Pengelola diarahkan
untuk mempengaruhi
perilaku manusia
(pengunjung) dan
meminimalkan
perubahan yang
disebabkan oleh
pariwisata
▪ Kawasan konservasi sering
melindungi proses dan fitur
alami, sehingga pengelola
umumnya berorientasi pada
pengelolaan perubahan yang
disebabkan oleh manusia karena
hal itu menyebabkan sebagian
besar gangguan kawasan.
▪ Perubahan yang disebabkan oleh
manusia dapat menyebabkan
kondisi yang tidak diinginkan.
▪ Beberapa perubahan diinginkan
dan mungkin menjadi alasan
untuk pembentukan kawasan
konservasi. Misalnya, banyak
kawasan konservasi dibentuk
untuk menyediakan kesempatan
rekreasi dan pengembangan
ekonomi lokal.
Tindakan pengelola
menentukan tindakan apa
yang paling efektif dalam
memengaruhi jumlah, jenis,
dan lokasi perubahan.
6 Dampak dapat
dipengaruhi oleh
banyak faktor sehingga
membatasi jumlah
penggunaan hanyalah
salah satu dari banyak
opsi manajemen
▪ Banyak variabel selain tingkat
penggunaan mempengaruhi
hubungan penggunaan / dampak
di kawasan konservasi (misal:
perilaku pengunjung, metode
perjalanan, ukuran grup, musim,
dan kondisi biofisik).
▪ Dampak dari penggunaan
pengunjung atau kegiatan
manajemen dapat terjadi di luar
kawasan konservasi, atau tidak
terlihat sampai nanti (misal:
larangan penggunaan akan
memindahkan penggunaan itu ke
daerah lain; atau pengolahan air
Program pendidikan dan
informasi, serta peraturan
yang bertujuan membatasi
perilaku pengunjung,
mungkin diperlukan.
24
yang buruk dapat menyebabkan
pencemaran air di hilir).
▪ Perencana membutuhkan
pengetahuan substansial tentang
hubungan antara penggunaan dan
dampak untuk memprediksi
dampak di masa depan pada
berbagai skala dan waktu.
7 Pemantauan penting
untuk manajemen yang
profesional
▪ Pemantauan adalah langkah kunci
untuk semua kerangka kerja
manajemen adaptif atau proaktif,
untuk menghasilkan data tentang
kondisi sumber daya, sosial,
masyarakat dan ekonomi yang
akan digunakan untuk
pengambilan keputusan
manajemen.
▪ Pemantauan tidak perlu rumit
atau mahal. Seringkali ada
beberapa opsi yang
memungkinkan.
Tingkatkan keterlibatan
publik dan pendidikan
pengunjung dengan
mendorong keterlibatan
mereka untuk melakukan
pemantauan.
8 Proses pengambilan
keputusan harus
memisahkan deskripsi
aspek “teknis” dari
aspek “judgment” atas
nilai kawasan
Banyak keputusan pengelola
kawasan lindung bersifat teknis
(misal: lokasi jejak, desain pusat
pengunjung), tetapi yang lain
mencerminkan penilaian
berdasarkan “judgment” (misal:
keputusan tentang apakah dan
bagaimana membatasi penggunaan,
jenis fasilitas dan peluang pariwisata
yang disediakan).
Proses pengambilan
keputusan harus
memisahkan pertanyaan
'kondisi yang ada' dari
'preferred condition/kondisi yang
disukai'.
9 Kelompok yang terkena
dampak harus dilibatkan
karena konsensus dan
kemitraan diperlukan
untuk implementasi
Semua keputusan manajemen
mempengaruhi beberapa individu
dan kelompok. Kelompok-
kelompok ini harus diidentifikasi
sejak awal dalam proses
pengambilan keputusan.
▪ Pemegang hak dan
pemangku kepentingan
kawasan konservasi
harus dilibatkan dalam
mengidentifikasi nilai-
nilai kawasan konservasi
dan mengembangkan
indicator.
▪ Dengan pelatihan yang
sesuai, kelompok
pemegang hak dan
pemangku kepentingan
harus dapat terlibat
dalam pemantauan,
pengelolaan dan
pendidikan.
10 Komunikasi adalah
kunci untuk
meningkatkan
pengetahuan dan
mendukung
keberlanjutan
Komunikasi hasil dari pemantauan
dampak wisata terhadap konservasi
dan manfaatnya terhadap
masyarakat dapat menjelaskan
alasan keputusan manajemen.
Diperlukan strategi
komunikasi untuk
mendukung proses
manajemen yang proaktif
atau adaptif.
Sumber: Adapted from McCool, 1996; Borrie, et al., 1998; Eagles, et al., 2002; CBD, 2004; EUROPARC
Federation, 2012 dalam IUCN (2018)
25
Komitmen untuk menggunakan konsep pariwisata berkelanjutan dituangkan dalam
Peraturan Menteri Pariwisata No 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi
Pariwisata Berkelanjutan yang mendefinisikan pariwisata berkelanjutan adalah
pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan
masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat
setempat serta dapat diaplikasikan ke semua bentuk aktivitas wisata di semua jenis
destinasi wisata, termasuk wisata masal dan berbagai jenis kegiatan wisata lainnya.
Pedoman ini telah sesuai dengan UNWTO (United Nations World Tourism Organization) dan diakui pula oleh Global Sustainable Tourism Council (GSTC).
Pedoman berisi kriteria Destinasi Pariwisata Berkelanjutan yang meliputi: (i)
pengelolaan destinasi pariwisata berkelanjutan; (ii) pemanfaatan ekonomi untuk
masyarakat lokal; (iii) pelestarian budaya bagi masyarakat dan pengunjung; dan (iv)
pelestarian lingkungan. Masing-masing kriteria dijelaskan definisi, indikator dan bukti
pendukungnya.
Pedoman destinasi pariwisata berkelanjutan perlu dijadikan acuan oleh pengelola
Taman Nasional untuk memastikan pariwisata di kawasan konservasi memenuhi
standar internasional yang menekankan pada kelestarian kawasan, sehingga
diharapkan tercapai keseimbangan antara fungsi perlindungan, pengawetan dan
pemanfaatan dari kawasan konservasi sebagaimana dimandatkan oleh UU No 5
Tahun 1990.
26
BAB II
TEMUAN HASIL STUDI
2.1. Peraturan Perundang-Undangan terkait Taman Nasional dan
Badan Layanan Umum
Keanekaragaman budaya serta keindahan alam yang membentang dari Sabang sampai
Merauke merupakan potensi sumber daya alam yang sangat besar bagi Indonesia,
termasuk di dalamnya Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam
(KSA). Keberadaan kedua kawasan ini merupakan upaya untuk mengawetkan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa dalam rangka mencegah kepunahan spesies,
melindungi sistem penyangga kehidupan, dan pemanfaatan keanekaragaman hayati
secara lestari. Salah satu penyelenggara KPA adalah Taman Nasional (TN).
Penetapan TN sebagai KPA itu dilakukan melalui penerbitan UU No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan UU No 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kebijakan penting lainnya adalah UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mendorong
kawasan konservasi, termasuk TN, untuk melakukan perencanaan dan kegiatan
ekonomi, termasuk mengupayakan pendanaan dalam rangka menjaga keberlangsungan
hidupnya.
Terkait pendanaan ini, Pemerintah juga telah menerbitkan UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara yang mendorong pembentukan BLU pada unit kerja
pemerintah yang memiliki fungsi pelayanan. Pada TN, pembentukan BLU dapat
mendorong peningkatan pelayanan TN sebagai lokasi tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Berikut adalah deskripsi ringkas berbagai kebijakan yang relevan dengan TN
khususnya UU dan PP.
Tabel 4. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang Relevan dengan Taman
Nasional dan BLU
No Regulasi Deskripsi
1 UU No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
▪ UU ini memuat ketentuan mengenai konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya serta pembagian
Kawasan Perlindungan Alam (KPA) yaitu Taman
Wisata, Taman Nasional dan Taman Hutan Raya.
▪ Berdasarkan UU ini, TN sebagai salah satu kawasan
konservasi sumber daya alam hayati, dan KPA memiliki
fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.
▪ Tujuan pemanfaatan TN ini adalah untuk kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, budaya, dan wisata alam.
27
2 UU No 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan
▪ Mengatur tentang jenis hutan konservasi yang terdiri
dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan
pelestarian alam, dan taman buru.
▪ Mengatur bahwa pemanfaatan kawasan hutan dapat
dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan
cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman
nasional.
3 UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan
Negara
▪ Memuat tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara melalui kaidah-kaidah hukum
administrasi keuangan negara yang mengatur
perbendaharaan negara salah satunya adalah pengelolaan
Badan Layanan Umum (BLU).
▪ Memberikan gambaran bagi unit kerja yang menjadi BLU
wajib untuk menyusun Rencana Kerja dan Anggaran
(RKA) serta laporan keuangan. Sebagai pembina
keuangan adalah Kementerian Keuangan.
▪ Sumber pendapatan BLU dapat diperoleh dari hibah atau
sumbangan dari masyarakat atau badan lain.
4 UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan
Hidup
▪ UU ini memuat tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dan bertujuan untuk menjamin
kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem, menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
dan mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
lingkungan hidup melalui Rencana Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).
▪ RPPLH memuat antara lain rencana tentang pemanfaatan
dan/atau pencadangan sumber daya alam dan
pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan
pelestarian sumber daya alam, termasuk yang ada di TN.
5 PP No. 18 Tahun 1994
tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Zona
Pemanfaatan Taman
Nasional, Taman Hutan
Raya, dan Taman Wisata
Alam sebagaimana telah
direvisi dalam PP No 36
Tahun 2010.
▪ PP ini mengatur penyelenggaraan pengusahaan
pariwisata alam, termasuk jenis kegiatan pariwisata alam
yang bisa dilaksanakan di TN.
▪ Kawasan konservasi diberikan ruang sebesar 10% dari
zona pemanfaatan yang dimilikinya untuk dibangun usaha
pariwisata.
6 PP No. 7 Tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa
▪ Mengatur pengelolaan tumbuhan dan satwa yang berada
di dalam dan di luar habitat serta jenis tumbuhan dan
satwa yang dilindungi.
▪ Menyatakan TN sebagai tempat pengawetan flora dan
fauna (Pasal 3).
▪ Pelaksanaan kegiatan pengawetan flora dan fauna berupa
inventarisasi (survei dan pengamatan) menjadi kegiatan
yang bisa dilakukan oleh TN bersama masyarakat.
7 PP No. 8 Tahun 1999
tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar
Mengatur jenis kegiatan yang boleh dan tidak boleh
dilakukan terkait pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.
8 PP No. 6 Tahun 2007
sebagaimana telah direvisi
dalam PP No 3 Tahun 2008
tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana
▪ Mengatur mengenai tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan
kawasan hutan di kawasan hutan pelestarian alam seperti
TN.
28
Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan
▪ Mengatur tentang definisi pemanfaatan hutan, yaitu
kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan,
memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan
kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu
dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk
kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga
kelestariannya.
▪ Mengatur bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan
pada seluruh kawasan hutan sebagaimana yaitu kawasan;
(a)hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona
rimba, dan zona inti dalam taman nasional; (b) hutan
lindung; dan (c) hutan produksi.
9 PP No. 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan
Mengatur tentang penerapan prinsip-prinsip atau Standar
Akuntansi Pemerintahan (SAP) dalam menyusun Laporan
Keuangan BLU.
10 PP No. 28 Tahun 2011 jo
PP Nomor 108 Tahun 2015
tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam
▪ Mengatur mengenai pengelolaan Kawasan Suaka Alam
(KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
▪ TN sebagai KPA diberikan kewenangan untuk
melakukan inventarisasi potensi kawasan, penataan
kawasan; dan penyusunan rencana pengelolaan.
▪ Pasal 35 menjelaskan bahwa Taman Nasional dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan: (a) penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan; (b). pendidikan dan
peningkatan kesadartahuan konservasi alam; (c)
penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan
air, energi air, angin, panas matahari, panas bumi, dan
wisata alam; (d) pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar;
(e) pemanfaatan sumber Plasma Nutfah untuk penunjang
budidaya; dan (f) pemanfaatan tradisional oleh
masyarakat setempat.
11 PP No. 74 Tahun 2012
tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan
Umum
▪ Mengatur tentang persyaratan, penetapan dan
pencabutan BLU.
▪ PP ini menyatakan bahwa secara khusus unit kerja yang
diperbolehkan menjadi BLU adalah unit kerja yang
memiliki fungsi pelayanan umum, seperti pendidikan dan
kesehatan, pengelolaan wilayah/kawasan dan pengelolaan
dana khusus.
12 PP No 50 Tahun 2011
tentang Rencana Induk
Pembangunan
Kepariwisataan Nasional
Tahun 2010-2025
Pasal 2 menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan
yang berkelanjutan merupakan satu dari empat misi
pembangunan kepariwisataan nasional.
13 PP Nomor 12 Tahun 2014
tentang Jenis Dan Tarif Atas
Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Yang Berlaku
Pada Kementerian
Kehutanan.
▪ Mengatur Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
yang berlaku pada Kementerian Kehutanan yang
didalamnya meliputi barang dan jasa lingkungan di TN.
▪ Berbagai tarif yang dipungut TN mengacu pada PP ini.
Selain kebijakan di atas, KLHK juga telah menerbitkan kebijakan dalam bentuk Peraturan
Menteri dan kebijakan lainnya yang relevan dengan peran dan fungsi TN. Demikian juga
dengan Kemenkeu dan Kementerian Pariwisata seperti dapat dilihat berikut ini.
29
Tabel 5. Peraturan Menteri yang Relevan dengan Taman Nasional
No Regulasi Deskripsi
1 Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor
P.56/Menhut-II/2006 tentang
Pedoman Zonasi Taman
Nasional
▪ Mengatur tentang pengelolaan kawasan TN, termasuk
dalam melaksanakan penataan zona di kawasan TN
dalam rangka mewujudkan sistem pengelolaan yang
efektif dan optimal sesuai dengan fungsinya.
▪ Usaha penyediaan sarana pariwisata alam dapat
dikembangkan di TN sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan (Pasal 3 ayat 3).
▪ Usaha sarana pariwisata alam di TN dapat
mengoptimalkan luas kawasan yang dapat dimanfaatkan
untuk pembangunan sarana dan prasarana pariwisata
alam maksimum 10 % dari luas zona pemanfaatan TN
(Pasal 4).
2 Peraturan Menteri LHK
Nomor 43 Tahun 2017
tentang Pemberdayaan
Masyarakat di Sekitar KSA
dan KPA
▪ Mengatur tentang ruang lingkup Pemberdayaan
Masyarakat di sekitar KSA dan KPA yang bertujuan
untuk mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan
masyarakat di sekitar KSA dan KPA untuk mendukung
kelestarian KSA dan KPA.
▪ Taman Nasional dituntut untuk mandiri dan dapat
mensejahterakan masyarakat sekitar melalui keberadaan
KSA dan KPA. Peran yang bisa dilakukan oleh TN
seperti, pengusahaan pariwisata alam di zona
pengelolaan kawasan yaitu pemanfaatan.
3 Peraturan Menteri LHK
Nomor 44 Tahun 2017
tentang Perubahan atas
Permen Kehutanan Nomor
85 Tahun 2014 tentang Tata
Cara Kerja Sama
Penyelenggaraan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
▪ Mengatur mengenai kerja sama dalam rangka penguatan
fungsi KSA dan KPA serta konservasi keanekaragaman
hayati.
▪ Dalam pengelolaan Taman Nasional, pengelola diberikan
keleluasaan untuk melakukan kerjasama dengan pihak
lain, dalam rangka menjalankan peran pengawetan jenis
tumbuhan dan satwa yang dapat dilakukan TN.
4 Peraturan Menteri
Keuangan No.180 Tahun
2016 tentang Penetapan dan
Pencabutan Penerapan
Keuangan BLU pada Satuan
Kerja Instansi Pemerintah.
▪ Mengatur tentang persyaratan dan penetapan untuk
menjadi BLU serta pencabutan penerapan keuangan
BLU.
▪ Kebijakan ini merupakan pengganti dari Peraturan
Menteri Keuangan sebelumnya yaitu Nomor
119/PMK.05/2007. Tiga prasyarat penetapan BLU masih
menjadi dasar satker berstatus BLU yaitu substantif,
teknis dan administratif.
5 Peraturan Menteri
Pariwisata No14 Tahun
2016 tentang Pedoman
Destinasi Pariwisata
Berkelanjutan
Mengatur tentang kriteria, indikator dan bukti pendukung
destinasi pariwisata berkelanjutan.
6 Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor:
PER/02/M.PAN/1/2007
tentang Pedoman Organisasi
Satuan Kerja di Lingkungan
Instansi Pemerintah yang
▪ Mengatur tentang bagaimana menyusun struktur
organisasi untuk Satker yang menerapkan PPK-BLU.
▪ Pembentukan struktur organisasi BLU TN memerlukan
persetujuan dari Menteri PAN-RB.
30
Menerapkan PPK BLU
7 Peraturan Menteri LHK
Nomor 7/2016 tentang
Organisasi dan Tata Kerja
Unit Pelaksana Teknis TN
▪ Mengatur mengenai tatakelola organisasi, tugas dan
fungsi TN.
▪ Permen LHK ini tidak menyatakan secara eksplisit
adanya unit bisnis, namun demikian sebagian besar
uraian tugas dari struktur yang ada dapat dioptimalkan
untuk menjalankan pengelolaan BLU TN.
8 Peraturan Presiden No. 16
Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah
Mengatur tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah,
termasuk di TN.
9 Surat Sekretariat Kabinet
Nomor B
652/Seskab/Maritim/2015
tanggal 6 November 2015
perihal Arahan Presiden RI
mengenai Pariwisata dan
Arahan Presiden pada
Sidang Kabinet Awal Tahun
pada 4 Januari 2016
▪ Menetapkan 10 destinasi wisata. Salah satunya adalah
TN-BTS.
▪ Menetapkan bahwa seluruh area perbatasan dengan TN
akan dibuat pengembangan destinasi wisata. Kawasan itu
akan dikelola oleh badan otorita di bawah Kementerian
Pariwisata, yang juga diproyeksikan menjadi BLU.
10 Peraturan Menteri
Kehutanan No 36 Tahun
2014 tentang Tata Cara
Penetapan Rayon di Taman
Nasional, Taman Hutan
Raya, Taman Wisata Alam
dan Taman Buru dalam
Rangka Pengenaan PNBP
Bidang Pariwisata Alam
▪ Merupakan aturan turunan dari PP No 12 Tahun 2014
tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian
Kehutanan.
▪ Mengatur tentang kriteria penetapan Rayon, diantaranya
rayon untuk TN yang dibagi menjadi 3, yaitu rayon I
(tarif tertinggi), rayon II (tarif menegah) dan rayon III
(tarif terendah).
▪ Kriteria penetapan rayon terdiri dari 7 aspek, yaitu: (a)
kelembagaan, (b). informasi dan promosi; (c). potensi
obyek dan daya tarik wisata alam; (d). aksesibilitas; (e).
sarana prasarana; (f). pangsa pasar; dan (g). sosial
ekonomi masyarakat.
11 Surat Keputusan Dirjen
Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam No 133
Tahun 2014 tentang
Penetapan Rayon di Taman
Nasional, Taman Hutan
Raya, Taman Wisata Alam
dan Taman Buru dalam
Rangka Pengenaan PNBP
▪ Merupakan pelaksanaan dari Permenhut No 36 Tahun
2016 tentang Tata Cara Penetapan Rayon di Taman
Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam dan
Taman Buru dalam Rangka Pengenaan PNBP Bidang
Pariwisata Alam.
▪ Berisi antara lain daftar Taman Nasional beserta
kategori rayonnya. Berdasarkan SK ini, dua TN masuk
dalam kategori rayon II (yaitu TN Bromo Tengger
Semeru dan TN Bali Barat). Sedangkan TN yang lain,
termasuk TNGGP dan TNGHS masuk dalam kategori
rayon III.
12 Peraturan Menteri
Kehutanan No 81/2014
tentang Tata Cara
Pelaksanaan Inventarisasi
Potensi pada Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam
Pasal 4 menjelaskan bahwa inventarisasi potensi kawasan
meliputi:
1. Inventarisasi potensi ekologi;
2. Inventarisasi potensi ekonomi dan sosial budaya.
13 Peraturan Menteri No 37
Tahun 2014 tentang Tata
Cara Pengenaan,
Pemungutan dan Penyetoran
▪ Pasal 43 menjelaskan tentang pengenaan karcis masuk
kepada pengunjung atas dasar karcis menurut jenisnya
31
Penerimaan Negara Bukan
Pajak Bidang Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam
yang diberikan oleh petugas pemungut. Besarnya karcis
sesuai dengan peraturan pemerintah tentang PNBP.
▪ Menjelaskan tentang mekanisme monitoring penerimaan
melalui Berita Serah Terima Bonggol Karcis.
▪ Menjelaskan format karcis dari sisi ukuran dan warna
yang dibuat berbeda untuk wisatawan dalam negeri dan
luar negeri.
14 Peraturan Menteri LHK No
8 Tahun 2019 tentang
Pengusahaan Pariwisata
Alam di Suaka Margasatwa,
Taman Nasional,Taman
Hutan Raya, dan Taman
Wisata Alam (merupakan
revisi dari Peraturan
Menteri Kehutanan No
48/2010 dan Peraturan
Menteri Kehutanan No
4/2012
▪ Pasal 54 menjelaskan bahwa kerja sama usaha pariwisata
alam dapat dilakukan antara:
1. pengelola kawasan dengan pemegang IUPJWA
atau IUPSWA;
2. pemegang IUPJWA dengan pemegang IUPSWA;
atau
3. pengelola kawasan, pemegang IUPJWA atau
IUPSWA dengan pihak lain.
▪ Pasal 55 menjelaskan bahwa kerja sama usaha pariwisata
alam terdiri atas:
1. kerjasama teknis;
2. kerjasama pemasaran;
3. kerjasama permodalan; dan/atau
4. kerjasama penggunaan fasilitas sarana pariwisata
alam.
Dari tabel di atas tentang kebijakan yang berkaitan dengan TN, dapat dikatakan
bahwa TN diberikan kewenangan untuk mengelola potensi yang dimilikinya melalui
produk barang dan jasa yang bisa dikelola sebagai bentuk pelayanan TN kepada
masyarakat dan TN berhak untuk mengenakan tarif berdasarkan produk/jasa yang
dihasilkan. Sementara regulasi yang berkaitan dengan BLU memberikan gambaran
mengenai mekanisme pembentukan, penetapan dan pencabutan, dan tata cara
pelaporan keuangan bagi instansi BLU. Sedangkan regulasi terkait kriteria dan
indikator destinasi pariwisata berkelanjutan dapat menjadi acuan TN di dalam
mengelola jasa wisata yang merupakan bagian dari fungsi pemanfaatan TN.
Analisis mengenai posisi regulasi terhadap pengelolaan TN saat ini, proses pengajuan
TN berstatus BLU dan pengelolaan TN berstatus BLU akan disajikan di Bab III.
2.2. Kondisi Pemenuhan Persyaratan menjadi BLU di Tiga Taman
Nasional
Sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA), TN memiliki tiga fungsi yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2011 jo Nomor 108 Tahun 2015
tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Ketiga
fungsi tersebut adalah perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Ketiga fungsi ini
mendorong TN untuk menjalankannya melalui pemberian pelayanan terhadap
ekosistem yang ada dan berkembang di kawasannya. Dalam menjalankan fungsi
pemanfaatan TN, seperti pengusahaan pariwisata, diatur dalam PP Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, yang secara rinci diatur dalam
Peraturan Menteri LHK Nomor P.48/2010 jo Nomor P.4/Menhut-II/2012. Fungsi
pemanfaatan untuk pengusahaan wisata harus dilakukan berdasarkan asas konservasi
32
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Selain itu, peran yang dimiliki TN dalam
pelaksanaanya harus mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya
sebagaimana diatur dalam PP 108 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Kawasan KSA dan
KPA.
Dari tiga fungsi tersebut, TN memiliki peran untuk memberikan layanan dalam
bentuk barang dan jasa yang dimilikinya. TN juga perlu didorong untuk meningkatkan
produktivitas kinerja dalam menjalankan tiga fungsi utama tersebut, sehingga
manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat dan ekosistem yang ada.
Seiring reformasi di sektor keuangan, dan upaya meningkatkan pelayanan pemerintah
kepada masyarakat, maka TN memiliki peluang untuk diubah status menjadi BLU.
Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) mendorong
pengelola TN untuk meningkatkan pelayanan yang didasarkan pada prinsip efektifitas
dan efesiensi. Peralihan status dari Satuan Kerja (Satker) menjadi Satker berstatus
BLU harus memenuhi tiga persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 180 Tahun 2016 tentang Pencabutan dan Penetapan Badan
Layanan Umum. Adapun tiga syarat tersebut adalah substantif, teknis dan
administratif. Dari hasil studi di tiga TN, maka dapat digambarkan pemenuhan
terhadap tiga persyaratan untuk berstatus BLU, sebagaimana dipaparkan berikut ini.
2.2.1. Persyaratan Substantif
Persyaratan subtantif diatur dalam Pasal 3 PMK No. 180 Tahun 2016 tentang
Penetapan dan Pencabutan Penerapan Keuangan BLU pada Satuan Kerja Instansi
Pemerintah yang menyebutkan bahwa persyaratan substantif terpenuhi apabila Satker
menyelenggarakan pelayanan umum berupa: (a) penyediaan barang dan/atau jasa
pelayanan umum antara lain di bidang kesehatan, bidang pendidikan dan bidang
lainnya; (b) pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum antara lain badan pengusahaan
kawasan, otorita, dan kawasan pengembangan ekonomi terpadu; dan/atau (c)
pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan
kepada masyarakat antara lain lembaga/badan pengelolaan dan investasi. dana bergulir,
dan dana abadi pendidikan.
Sedangkan pelayanan umum yang dimaksud dalam syarat substantif adalah pelayanan
umum yang bersifat operasional kepada masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi
instansi pemerintah (satuan kerja) serta pelayanan umum yang menghasilkan
pendapatan.
Dari ketentuan tersebut, Taman Nasional masuk dalam kriteria persyaratan substantif
di poin b, yaitu sebagai pengelola kawasan konservasi yang melaksanakan mandat dari
UU N0 5 Tahun 1990 tentang Konservasi yang memiliki tiga fungsi utama, yaitu
perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Ketiga fungsi ini terkait dengan fungsi
ekologis, ekonomi dan sosial budaya yang dimiliki oleh TN.Dalam menjalankan
perannya sebagai pengelola kawasan, TN menghasilkan barang dan jasa yang
disediakan sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat, baik yang bersifat langsung
maupun tidak langsung.
Berdasarkan Permen LHK No 7 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis Taman Nasional, penyediaan layanan umum oleh TN disajikan dalam
tabel berikut ini. fungsi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan TN dijabarkan
33
dalam 11 fungsi yaitu: 1) inventarisasi potensi, penataan kawasan dan penyusunan
rencana pengelolaan; 2) perlindungan dan pengamanan kawasan; 3) pengendalian
dampak kerusakan sumber daya alam hayati; 4) pengendalian kebakaran hutan; 5)
pengembangan dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar untuk kepentingan
non komersial; 6) pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar beserta habitatnya serta
sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional di dalam kawasan; 7)
pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan; 8) penyediaan data dan informasi,
promosi dan pemasaran konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya; 9)
pengembangan kerjasama dan kemitraan bidang konservasi sumber daya alam dan
ekosistemnya; 10) pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi
sumberdaya alam dan ekosistemnya; dan 11) pemberdayaan masyarakat di dalam dan
sekitar kawasan.
Dalam menjalankan fungsinya, TN dikelola berdasarkan sistem zonasi pengelolaan,
yaitu zona inti, rimba, pemanfaatan dan zona lainnya yang disesuaikan dengan
keperluannya. Penetapan zonasi TN dilaksanakan berdasarkan Permen LHK No 6
Tahun 2016 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Kesebelas fungsi tersebut
menggambarkan bahwa TN memiliki fungsi untuk memberikan layanan kepada
masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Pelayanan secara langsung
disediakan bagi pengunjung TN maupun masyarakat sekitar TN. Sedangkan layanan
tidak langsung disediakan untuk masyarakat luas dan generasi yang akan datang dalam
bentuk perlindungan ekosistem kawasan dan pengawetan flora dan fauna. Sebagian
dari layanan TN menghasilkan pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) PMK No. 180 Tahun 2016.
34
Tabel 6. Gambaran Umum Pelayanan Taman Nasional
No Fungsi Kebijakan Contoh Layanan Manfaat Layanan Bagi Masyarakat
1 Inventarisasi potensi,
penataan kawasan dan
penyusunan rencana
pengelolaan
Pasal 13 PP No 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan KSA dan KPA menyebutkan bahwa
penyelenggaraan KSA dan KPA meliputi kegiatan:
a. Perencanaan;
b. Perlindungan;
c. Pengawetan;
d. Pemanfaatan; dan
e. Evaluasi kesesuaian fungsi.
Kemudian Pasal 14 merinci lebih lanjut ketentuan
Pasal 13 huruf a, bahwa perencanaan KSA dan
KPA mencakup:
a. inventarisasi potensi kawasan;
b. penataan kawasan;
c. penyusunan rencana pengelolaan.
Inventarisasi dilaksanakan dengan
menyusun rencana pengelolaan jangka
panjang (10 tahun dan dievaluasi setelah
5 tahun) dan rencana jangka pendek (1
tahun).
Melalui proses inventarisasi, kawasan akan dikelola
dengan mengoptimalkan potensi dan meminimalisir
ancaman kawasan. Kegiatan ini akan membawa
manfaat bagi dari sisi ekologis, ekonomi maupun
sosial budaya.
2 Perlindungan dan
pengamanan kawasan
Pasal 24 PP No 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan KSA dan KPA menyebutkan bahwa
perlindungan dilakukan melalui:
a. pencegahan, penanggulangan, dan
pembatasan kerusakan yang disebabkan
oleh manusia, ternak alam, spesies infasif,
hama, dan penyakit;
b. melakukan pengamanan kawasan secara
efektif;
▪ Patroli kawasan yang dilakukan oleh
jabatan fungsional polisi hutan;
▪ penyuluhan hutan yang dilaksanakan
oleh jabatan fungsional penyuluh
hutan.
Manfaat yang didapatkan oleh masyarakat
merupakan manfaat tidak langsung.
Melalui kegiatan ini, kawasan akan terjaga dari
berbagai ancaman kawasan, misalnya pembalakan
liar, perburuan terhadap satwa yang ada di kawasan,
penambangan ilegal. Kawasan yang terjaga akan
membawa manfaat bagi masyarakat (a) generasi saat
ini, yaitu terjaganya kelestarian kawasan sehingga
akan mencegah dari berbagai bencana alam,
tersedianya air dan udara yang berkualitas,
35
kelestarian flora dan fauna, terjaganya sumber
penghidupan masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan; dan (b) generasi mendatang dalam bentuk
warisan kekayaan flora dan fauna dan kelestarian
kawasan.
3 Pengendalian dampak
kerusakan sumber daya
alam hayati
Pasal 24 PP No 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan KSA dan KPA menyebutkan bahwa
perlindungan dilakukan melalui:
a. pencegahan, penanggulangan, dan
pembatasan kerusakan yang disebabkan
oleh manusia, ternak, alam, spesies infasif,
hama, dan penyakit;
b. melakukan pengamanan kawasan secara
efektif;
▪ Pemulihan ekosistem, melalui
mekanisme alam, rehabilitasi,
restorasi alam;
▪ Penutupan Kawasan.
Manfaat yang didapatkan oleh masyarakat
merupakan manfaat tidak langsung dalam bentuk
terjaganya kelestarian kawasan sehingga akan
mencegah dari berbagai bencana alam, tersedianya
air dan udara yang berkualitas, kelestarian flora dan
fauna, terjaganya sumber penghidupan masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan.
4 Pengendalian kebakaran
hutan
Pasal 24 PP No 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan KSA dan KPA menyebutkan bahwa
perlindungan dilakukan melalui:
a. pencegahan, penanggulangan, dan
pembatasan kerusakan yang disebabkan
oleh manusia, ternak, alam, spesies infasif,
hama, dan penyakit;
b. melakukan pengamanan kawasan secara
efektif;
▪ mencegah kebakaran hutan, antara
lain dengan melakukan patroli secara
reguler, pembentukan masyarakat
peduli api (MPA);
▪ menanggulangi kebakaran hutan.
Manfaat yang didapatkan oleh masyarakat
merupakan manfaat tidak langsung dalam bentuk
terjaganya kelestarian kawasan sehingga akan
mencegah dari berbagai bencana alam, tersedianya
air dan udara yang berkualitas, kelestarian flora dan
fauna, terjaganya sumber penghidupan masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan.
5 Pengembangan dan
pemanfaatan jenis
tumbuhan dan satwa liar
untuk kepentingan non
komersial
PP No 105 Tahun 2015 tentang Perubahan PP
No 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA dan
KPA mendefinisikan Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar adalah pemanfaatan jenis
tumbuhan dan satwa dengan memperhatikan
kelangsungan potensi, daya dukung, dan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.
▪ mengembangkan tanaman obat
(bioprospecting);
▪ penangkaran satwa.
Pada awalnya, manfaat yang didapatkan adalah
manfaat tidak langsung yaitu adanya hasil penelitian
mengenai tanaman yang berpotensi untuk
dikembangkan secara massal menajdi tanaman obat.
Pada tahap selanjutnya, manfaat bisa menjadi
manfaat langsung dalam bentuk:
a. Ketersediaan obat;
36
Pasal 35 ayat 1, poin d dan e menyebutkan bahwa
Taman nasional dapat digunakan untuk: (d)
pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; dan (e)
pemanfaatan sumber Plasma Nutfah untuk
penunjang budidaya.
b. Penyediaan lapangan kerja, yaitu
penanaman tanaman obat yang dapat
dilakukan dengan memberdayakan
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.
6 Pengawetan jenis
tumbuhan dan satwa liar
beserta habitatnya serta
sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional di
dalam kawasan
PP No 105 Tahun 2015 tentang Perubahan PP
No 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA dan
KPA mendefinisikan pengawetan (preservasi)
adalah upaya untuk menjaga dan memelihara
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di
luar habitatnya agar keberadaannya tidak punah,
tetap seimbang dan dinamis dalam
perkembangannya.
Pengawetan dilakukan melalui kegiatan
pengelolaan tumbuhan dan satwa beserta
habitatnya meliputi:
▪ identifikasi jenis tumbuhan dan
satwa;
▪ inventarisasi jenis tumbuhan dan
satwa;
▪ pemantauan;
▪ pembinaan habitat dan populasi;
▪ penyelamatan jenis; dan
▪ penelitian dan pengembangan.
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat, khususnya
bagi generasi mendatang dalam bentuk warisan
kekayaan flora dan fauna dan kelestarian kawasan.
7 Pengembangan dan
pemanfaatan jasa
lingkungan
PP No 105 Tahun 2015 tentang Perubahan PP
No 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA dan
KPA mendefinisikan Pemanfaatan Jasa Lingkungan
adalah pemanfaatan kondisi lingkungan berupa
pemanfaatan potensi: ekosistem, keadaan iklim,
fenomena alam, kekhasan jenis, dan peninggalan
budaya yang berada dalam KSA dan KPA, yang
diwujudkan dalam bentuk kegiatan wisata alam,
pemanfaatan air, energi air, penyimpanan dan/atau
penyerapan karbon, pemanfaatan panas.
Penyimpanan dan/atau penyerapan
karbon
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat dalam
bentuk penyerapan karbon dioksida yang akan
meningkatkan kualitas udara dan mencegah
pemanasan global.
Wisata alam Manfaat langsung bagi masyarakat:
a. Pengunjung dalam bentuk penyediaan
layanan rekreasi wisata alam. Dalam
pelaksanaannya, TN dalam bekerjasama
dengan pengusaha pariwisata;
b. Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
dalam bentuk penyediaan lapangan kerja di
sektor pariwisata yang akan meningkatkan
kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan
(contoh: menjadi guide, membuka warung
makanan, menjual cinderamata,
37
menyediakan penginapan, dan lain
sebagainya).
Pemanfaatan air Manfaat langsung bagi masyarakat dalam bentuk
penyediaan air minum:
a. Bagi masyarakat sekitar kawasan dalam
bentuk pemanfaatan air non komersial
melalui izin pemanfaatan;
b. Bagi masyarakat luas dalam bentuk
penyediaan air minum, baik PDAM maupun
air minum dalam kemasan melalui izin
pemanfaatan perusahaan air minum.
Energi air Manfaat langsung bagi masyarakat dalam bentuk
mikrohidro dan minihidro untuk memenuhi
kebutuhan listrik masyarakat.
Pemanfaatan panas matahari, angin, dan
pemanfaatan panas bumi untuk
memenuhi kebutuhan listrik.
Manfaat langsung bagi masyarakat dalam bentuk
penyediaan energi listrik.
8 Penyediaan data dan
informasi, promosi dan
pemasaran konservasi
sumber daya alam dan
ekosistemnya
PP No 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA
dan KPA
Penyediaan leaflet, pamflet, iklan layanan
masyarakat “Ayo ke Taman Nasional”
Manfaat langsung bagi masyarakat, yaitu pengunjung
wisata alam yang mendapatan informasi yang
memadai mengenai keunikan dari destinasi wisata
yang dikunjunginya.
9 Pengembangan kerjasama
dan kemitraan bidang
konservasi sumber daya
alam dan ekosistemnya
PP No 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA
dan KPA
Melakukan kerja sama dengan lembaga
lain di dalam melakukan konservasi
sumber daya alam.
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat, dalam
bentuk kawasan yang lestari, udara dan air tersedia
dengan baik, bencana alam bisa dicegah.
10 Pengembangan bina cinta
alam serta penyuluhan
konservasi sumberdaya
alam dan ekosistemnya
PP No 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA
dan KPA
TN memberikan penyuluhan kepada
masyarakat pentingnya menjaga
kelestarian sumber daya alam dan
ekosistemnya.
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat, dalam
bentuk kawasan yang lestari, udara dan air tersedia
dengan baik, bencana alam bisa dicegah.
38
11 Pemberdayaan masyarakat
di dalam dan sekitar
kawasan
Pasal 35 ayat (1) huruf f PP No 105 Tahun 2015
tentang Perubahan PP No 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan KSA dan KPA menyebutkan bahwa
taman nasional dapat digunakan untuk
pemanfaatan tradisional oleh masyarakat
setempat.
Kemudian Pasal 35 ayat (2) merinci pemanfaatan
tradisional berupa kegiatan pemungutan hasil
hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta
perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang
tidak dilindungi.
Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
dapat mengambil hasil hutan bukan kayu
(HHBK), budidaya tradisional, serta
perburuan tradisional terbatas untuk
jenis yang tidak dilindungi.
Manfaat langsung bagi masyarakat di dalam dan
sekitar kawasan untuk mencari sumber penghidupan
sehingga diharapakan akan meningkat
kesejahteraannya dan mengurangi tingkat
kemiskinan.
39
Berdasarkan Tabel 6 di atas, Taman Nasional memiliki keunikan dalam bentuk
menyediakan layanan yang memberikan manfaat langsung maupun tidak langsung.
Beberapa layanan dapat dikategorikan sebagai barang (misalnya: hasil hutan bukan
kayu) dan jasa (wisata alam, pemanfaatan air, panas bumi, angin ). Untuk beberapa
layanan, antara lain layanan yang terkait dengan pengamanan kawasan, perlindungan ekosistem,pengawetan tumbuhan dan satwa, serta apat dikategorikan sebagai jasa
“perlindungan lingkungan”. Beberapa jenis layanan ini telah menghasilkan pendapatan
dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan tarif sebagaimana
diatur di dalam PP No 12 Tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan.
Gambaran pemenuhan persyaratan substantif dari ketiga TN yang menjadi lokasi
studi akan dijelaskan berikut ini.
2.2.1.1 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TN-GGP)
TNGGP diumumkan melalui Deklarasi Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1982
nomor 736/Mentan/X/1982 dengan luas 15.196 ha. Pada Tahun 2003, TNGGP
mendapatkan perluasan kawasan dari hutan produksi yang dikelola oleh Perum
Perhutani berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 174/Kpts-
II/2003 tanggal 10 Juni 2003, sehingga luas TNGGP menjadi 21.975 ha. Pada Tahun
2009, melalui Berita Acara Serah Terima Kawasan Nomor: 002/BAST-
Hukamas/III/2009 tanggal 6 Agustus 2009 Perum Perhutani menyerahkan kawasan
seluas 7.665,030 ha, sehingga luas TNGGP menjadi 22.851,030 ha.
Kawasan TNGGP berada di 3 kabupaten di provinsi Jawa barat, yaitu Kabupaten
Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi dan memiliki 68 desa penyangga
di tiga kabupaten ini
Dalam kawasan TN-GGP terdapat enam zona, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona tradisional dan zona khusus. Zona pemanfaatan
merupakan zona yang saat ini dioptimalkan dalam memberikan pelayanan jasa wisata.
Dalam pengembangan kawasannya, TN-GGP membagi zonasi ke dalam ruang usaha
dan ruang publik, sebagaimana mengacu pada Perdirjen KSDAE Nomor P.3/IV-
SET/2011 tentang Desain Blok dan Desain Tapak. Pengelolaan kawasan di tingkat
tapak yang sudah dimanfaatkan dan menghasilkan PNBP baru dilaksanakan di resort
Mandalawangi, Situgunung, Selabintana, Cibodas, Bodogol dan Cimande.
Layanan yang dihasilkan oleh TNGGP dapat dilihat pada tabel berikut ini:
40
Tabel 7. Layanan yang Disediakan Oleh TNGGP
No Fungsi Layanan Manfaat Layanan Bagi Masyarakat
1 Inventarisasi potensi, penataan
kawasan dan penyusunan rencana
pengelolaan
Inventarisasi dilaksanakan dengan menyusun rencana
pengelolaan, yang mencakup:
▪ Rencana Strategis TNGGP 2015-2019;
▪ Rencana Kerja tahunan/Rencana Pengelolaan Jangka
Pendek (implementasi dari Renstra);
▪ Rencana Pengelolaan Taman Nasional 2019-2028
(rencana pengelolaan jangka panjang 10 tahun sebagai
pelaksanaan dari PP No. 28 Tahun 2011 jo PP Nomor
108 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam).
Bentuk layanan: kegiatan pendukung.
Melalui proses inventarisasi, kawasan akan dikelola dengan
mengoptimalkan potensi dan meminimalisir ancaman
kawasan. Kegiatan ini merpakan kegiatan pendukung bagi
layanan yang disediakan oleh TNGGP, baik layanan yang
memberikan manfaat langsung bagi pengunjung dan
masyarakat di sekitar kawasan maupun manfaat tidak
langsung bagi masyarakat Jabodetabek.
2 Perlindungan dan pengamanan
kawasan
▪ Patroli rutin kawasan yang dilakukan oleh jabatan
fungsional polisi hutan;
▪ Pembinaan dan penyuluhan hutan yang dilaksanakan
oleh jabatan fungsional penyuluh hutan;
▪ Pengamanan barang bukti (dokumentasi).
Layanan ini dilakukan untuk mencegah/menangani gangguan
kawasan yang terjadi dalam bentuk pencurian
kayu/penebangan liar, perambahan/ pemukiman liar,
perburuan liar, pencurian hasil hutan lainnya (bambu dan kayu
bakar). Dalam periode 2013-2017 terdapat 9 kasus pidana
yang telah divonis oleh pengadilan.
Layanan perlindungan dan pengamanan kawasan dilakukan
melalui kerjasama dengan pemangku kepentingan, antara lain:
Kejaksaan Negeri Sukabumi, Pesantren Markaz Syariah,
Yayasan Konservasi Alam Indonesia.
Manfaat yang didapatkan oleh masyarakat merupakan
manfaat tidak langsung.
Melalui kegiatan ini, kawasan akan terjaga dari berbagai
gangguan kawasan, Kawasan yang terjaga akan membawa
manfaat:
a. bagi masyarakat (generasi saat ini): terjaganya
kelestarian kawasan sehingga akan mencegah dari
berbagai bencana alam, tersedianya air dan udara yang
berkualitas, kelestarian flora dan fauna, terjaganya
sumber penghidupan masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan.
b. Generasi mendatang dalam bentuk warisan kekayaan
flora dan fauna dan kelestarian kawasan.
Kawasan TNGGP tercatat memiliki 58 sungai (Orde I) dan
1.075 anak sungai (Orde I dan Orde II) yang berhulu di
dalam kawasan. Sebagian besar sungai (52%) berada di
41
Bentuk layanan: jasa. wilayah Kabupaten Sukabumi (DAS Cimandiri), sedangkan
sisanya 33% terletak di wilayah Kabupaten Bogor (DAS
Cisadane dan Ciliwung) dan 15% di Kabupaten Cianjur (DAS
Citarum).
Hal ini menyebabkan kawasan ini mempunyai peranan
penting sebagai sistem penyangga kehidupan, yaitu dalam
penyediaan air permukaan maupun air bawah tanah. Sungai-
sungai tersebut mengalirkan air per tahun ± 213 milyar liter.
Kelestarian kawasan akan sangat bermanfaat bagi masyarakat.
3 Pengendalian dampak kerusakan
sumber daya alam hayati
▪ Pemulihan ekosistem, melalui: mekanisme alam,
rehabilitasi, restorasi alam;
▪ penutupan kawasan (dilakukan di bulan-bulan tertentu
yang mnegakibatkan tidak ada pendakian).
Layanan ini dilakukan oleh jabatan fungsional PEH (Pengendali
Ekosistem Hutan) bekerja sama dengan pemangku
kepentingan , antara lain PT. Tirta Fresindo Jaya (Mayora
Group), PT. Tirta Investama qq Plant Ciherang, Yayasan
Konservasi Alam Indonesia, Masyarakat Peduli Alam
Nusantara (Mapan).
Bentuk layanan: jasa.
Manfaat yang didapatkan oleh masyarakat merupakan
manfaat tidak langsung dalam bentuk terjaganya kelestarian
kawasan sehingga akan mencegah dari berbagai bencana
alam, tersedianya air dan udara yang berkualitas, kelestarian
flora dan fauna, terjaganya sumber penghidupan masyarakat
di dalam dan sekitar kawasan.
4 Pengendalian kebakaran hutan ▪ mencegah kebakaran hutan, antara lain dengan
melakukan patroli secara reguler, pembentukan
masyarakat peduli api (MPA).
▪ menanggulangi kebakaran hutan.
Melalui upaya pencegahan kebakaran hutan yang intensif,
kebakaran hutan berhasil ditekan 0% (tidak ada kebakaran)
pada tahun 2016-2017.
Bentuk layanan: jasa.
Manfaat yang didapatkan oleh masyarakat merupakan
manfaat tidak langsung dalam bentuk terjaganya kelestarian
kawasan sehingga akan mencegah dari berbagai bencana
alam, tersedianya air dan udara yang berkualitas, kelestarian
flora dan fauna, terjaganya sumber penghidupan masyarakat
di dalam dan sekitar kawasan.
42
5 Pengembangan dan pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwa liar
untuk kepentingan non komersial
▪ mengembangkan tanaman obat (bioprospecting);
▪ penangkaran satwa.
Bentuk layanan: barang.
Pada awalnya, manfaat yang didapatkan adalah manfaat tidak
langsung yaitu adanya hasil penelitian mengenai tanaman yang
berpotensi untuk dikembangkan secara massal menajdi
tanaman obat.
Pada tahap selanjutnya, manfaat bisa menjadi manfaat
langsung dalam bentuk:
a. Ketersediaan obat;
b. Penyediaan lapangan kerja, yaitu penanaman tanaman
obat yang dapat dilakukan dengan memberdayakan
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.
Saat ini manfaat ini masih belumterealisasikarena upaya
pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar belum optimal.
6 Pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa liar beserta habitatnya serta
sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional di dalam
kawasan
Pengawetan dilakukan melalui kegiatan pengelolaan tumbuhan
dan satwa beserta habitatnya meliputi:
a. identifikasi jenis tumbuhan dan satwa;
b. inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa;
c. pemantauan;
d. pembinaan habitat dan populasi;
e. penyelamatan jenis; dan
f. penelitian dan pengembangan.
Koleksi flora dan fauna yang dimiliki Kawasan TNGGP
meliputi:
1. Fauna
▪ Owa Jawa (Hylobates moloch);
▪ Elang Jawa (Nizaetus bartelsi);
▪ Macan Tutul (Panthera pardus melas);
▪ Surili (Presbytis comata);
▪ Lutung (Trachypitecus auratus);
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat, khususnya bagi
generasi mendatang dalam bentuk warisan kekayaan flora
dan fauna dan kelestarian kawasan.
43
▪ Kucing hutan (Felis bengalensis);
▪ Kucing Akar (Mustela flavigula);
▪ Anjing Hutan (Cuon alpinus javanicus);
▪ Sigung (Mydaus javanensis);
▪ Ekek Geleng (Cissa thalasina);
▪ Poksai kuda (Garrulax furrifrons);
▪ Jalak Putih (Sturnus melanopterus);
▪ Kijang (Muntiacus muntjak);
▪ Kancil (Tragulus javanicus);
▪ Jenis burung (aves) sebanyak 260 jenis terdiri dari
19 jenis dari 21 jenis burung endemik Pulau Jawa,
58 jenis burung dilindungi, seperti Celepuk
Gunung/burung hantu (Otus angelinae), Cerecet
(Psaltria exilis), burung endemik pulau Jawa, Burung
luntur gunung (Harpactes reinwardtii), Burung
tulung tumpuk, Burung kuda, Burung madu gunung;
▪ Reptilia sebanyak 75 jenis;
▪ Katak sebanyak 21 jenis seperti Kodok Bertanduk
(Megophrys monticola), katak Asia (Bufo melanostictus), Katak Titik Merah (Cacophryne cruentata);
▪ Serangga (insecta) lebih dari 300 jenis.
2. Flora
▪ Pohon-pohon tinggi seperti Altingia exelsa dan
Castanopsis argentea;
▪ Pohon berukuran kecil/sedang seperti Antidesma tetandrum dan Litsea sp.
▪ Pohon belukar/perdu seperti Ardisia fuliginosa dan
Dichora febrifuga;
▪ Lumut merah (Spagnum gedeanum);
44
▪ Jenis-jenis anggrek;
▪ Parasit raksasa langka (Castanopis acuminatissima);
▪ Rumput Isachne pangrangensis;
▪ Eidelweiss (Anaphalis javanica).
7 Pengembangan dan pemanfaatan
jasa lingkungan
Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon.
Bentuk layanan: jasa.
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat dalam bentuk
penyerapan karbon dioksida yang akan meningkatkan kualitas
udara dan mencegah pemanasan global.
Wisata Alam:
A. Wisata alam yang sudah dimanfaatkan
1. Rekreasi wisata alam
▪ Air terjun: Ciwalen, Cibeureum, Mandalawangi,
Batlem, Ciputri, Ciheulang, Goong (Cianjur);
Cibeureum Selabintana, Curug Sawer,
Cimanaracun, Curug Kembar, Curug Luhur
(Sukabumi); Cisuren, Cipadaranten. Cikaracak,
Curug Beret, Cikahuripan (Bogor).
▪ Air panas (bersumber dari kawah Gunung Gede).
▪ Danau/Telaga/Rawa: Telaga Biru, Rawa
Gayonggong (Cianjur); Situgunung (Sukabumi).
2. Bumi perkemahan: Bobojong, Mandalawangi,
Sarongge (Cianjur); Pondok Halimun, Situgunung
(Sukabumi); dan Barubolang (Bogor).
3. Pendakian: Gunung Gede, Gunung Pangrango, Kawah,
Alun-alun Surya Kencana, Alun-alun Mandalawangi
(Cianjur);
4. Canopy Trail;
5. Bird watching;
6. Loss Becak (potensi pendidikan Elang Jawa);
7. Wisata budaya: Festival Sarongge.
Manfaat langsung bagi masyarakat:
a. pengunjung dalam bentuk penyediaan layanan rekreasi
wisata alam;
b. Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan dalam bentuk
penyediaan lapangan kerja di sektor pariwisata yang
akan meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi
kemiskinan (contoh: menjadi guide, membuka warung
makanan, menjual cinderamata, menyediakan
penginapan, dan lain sebagainya).
45
Jumlah pengunjung yang terlayani mencapai 143.526
orang pengunjung dalam negeri (tahun 2017), 162.261
orang(tahun 2016) dan 155.285 orang (tahun 2015).
Pengunjung wisata dilindungi dengan asuransi jiwa,
kerja sama antara TNGGP dengan PT asuransi Jiwa
Syariah Amanahjiwa Giri Artha (PT. AJS AGA).
8. Wisata alam yang belum dimanfaatkan
▪ Wisata alam (Kandang badak di Cianjur, Curug
Andamas, Curug Tangga di Sukabumi);
▪ Air terjun (curug). Contoh: 17 curug di wilayah
Bogor yang belum dikembangkan;
▪ Treking, menjelajahi pemandangan dan hutan
tropis;
▪ Wisata olahraga air (arung jeram);
▪ Paket wisata patrol;
▪ Lomba lari lintas alam (trail running);
▪ Wisata spiritual (makam patilasan).
Bentuk layanan: jasa.
Terkait wisata alam, layanan telah disediakan dalam bentuk
pemberian izin: Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam
(IUPSWA) kepada: PT. Lido Nirwana Parahyangan (MNC
Land), PT. Eiger Multi Product Industri, PT. Santa Monica
Indonesia, PT. Fontis Aquam Vivam.
Pemanfaatan Air, berupa:
a. Pemanfaaatan air non komersial; dan
b. Pemanfaatan air komersial, yang dilaksanakan melalui MoU
dengan beberapa institusi, yaitu: Izin pemanfaatan air
untuk keperluan komersil oleh masyarakat, PDAM Kota
dan Kab. Sukabumi serta perusahaan swasta seperti PT
Manfaat langsung bagi masyarakat dalam bentuk penyediaan
air minum:
a. Bagi masyarakat sekitar kawasan dalam bentuk
pemanfaatan air non komersial melalui izin pemanfaatan;
46
Lestari Agribisnis Indonesia, PT. Cibadak Agri, dan PT
Djasulawagi.
Bentuk layanan: jasa.
b. Bagi masyarakat luas dalam bentuk penyediaan air minum,
baik PDAM maupun air minum dalam kemasan melalui
izin pemanfaatan perusahaan air minum.
Energi air, berupa:
a. Mikrohidro Cibodas
b. Mikrohidro Selabintanan
Bentuk layanan: jasa.
Manfaat langsung bagi masyarakat dalam bentuk mikrohidro
dan minihidro untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat.
Namun saat ini manfaat ini masih terbatas di internal
TNGGP.
Pemanfaatan panas matahari, angin, dan pemanfaatan panas
bumi untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Catatan: Saat ini, potensi ini belum teridentifikasi.
Manfaat langsung bagi masyarakat dalam bentuk penyediaan
energi listrik.
8 Penyediaan data dan informasi,
promosi dan pemasaran
konservasi sumber daya alam dan
ekosistemnya.
Promosi dan pemasaran dilakukan melalui berbagai kegiatan,
antara lain pameran, penyusunan buletin, promosi melalui
website, instagram, twitter.
Bentuk layanan: jasa.
Manfaat langsung bagi masyarakat, yaitu pengunjung wisata
alam yang mendapatan informasi yang memadai mengenai
keunikan dari destinasi wisata yang dikunjunginya.
9 Pengembangan kerjasama dan
kemitraan bidang konservasi
sumber daya alam dan
ekosistemnya.
Melakukan kerja sama dengan lembaga lain di dalam
melakukan konservasi sumber daya alam, antara lain:
a. Konsorsium Gede Pahala;
b. Yayasan Konservasi Alam Indonesia;
c. Mapan;
d. Beberapa perusahaan.
Bentuk layanan: kegiatan pendukung.
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat, dalam bentuk
kawasan yang lestari, udara dan air tersedia dengan baik,
bencana alam bisa dicegah.
10 Pengembangan bina cinta alam
serta penyuluhan konservasi
sumberdaya alam dan
ekosistemnya; dan
TN memberikan pendidikan konservasi dan penyuluhan
kepada masyarakat pentingnya menjaga kelestarian sumber
daya alam dan ekosistemnya.
Manfaat langsung: meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya melakukan konservasi alam.
47
TNGGP memiliki Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol,
Kegiatan juga telah dilakukan dalam bentuk school visit, Goes to Campus dan kemah konservasi.
Bentuk layanan: jasa.
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat, dalam bentuk
kawasan yang lestari, udara dan air tersedia dengan baik,
bencana alam bisa dicegah.
11 Pemberdayaan masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan
Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan dapat mengambil
hasil hutan bukan kayu (HHBK), budidaya tradisional, serta
perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak
dilindungi.
Pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk Desa Penyangga.
Bentuk layanan:
a. jasa untuk aspek pemberdayaan; dan
b. barang untuk Hasil Hutan Bukan Kayu (rotan, madu, dll)
Manfaat langsung bagi masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan untuk mencari sumber penghidupan sehingga
diharapakan akan meningkat kesejahteraannya dan
mengurangi tingkat kemiskinan.
Sumber: Renstra 2015-2019, Renja 2019, Laporan Kinerja 2018, Statistik TNGGP 2017 (diolah)
48
Dari berbagai layanan di atas, layanan langsung kepada pengunjung TNGGP telah
menghasilkan PNBP, yaitu Rp 3.621.891.500 (tahun 2016), Rp 3.621.891.500 (tahun
2017) dan Rp 4.947.696.500 (tahun 2018).
2.2.1.2 Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
Kawasan Gunung Halimun ditunjuk sebagai taman nasional melalui Surat Keputusan
Menteri Kehutanan nomor 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas
40.000 hektar. Dalam perkembangannya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
SK.628/Menlhk/Setjen/SETJEN/PLA.2/11/2017 tanggal 10 Nopember 2017 tentang
Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Kelompok Hutan
Gunung Halimun Salak, terletak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi,
Provinsi Jawa Barat dan di Kabupaten Lebak, Privinsi Banten Seluas 105.072 hektar,
yang terdiri dari:
a. Kawasan Taman Nasional seluas 87.699 hektar
b. Kawasan Hutan Lindung seluas 3.738 hektar c. Kawasan Hutan Produksi Terbatas seluas 9.477 hektar
d. Kawasan Hutan Produksi Tetap seluas 4.158 hektar
TNGHS memiliki 7 zona, meliputi: (1) zona inti seluas 36.189,33 ha; (2) zona rimba
seluas 19.228,40 ha; (3) zona pemanfaatan seluas 15.383,64 ha; (4) zona rehabilitasi
seluas 8.952,44 ha; (5) zona tradisional seluas 708,60 ha; (6) zona khusus seluas
7230,66 ha; dan (7) zona budaya seluas 5,93 ha.
Gambaran layanan yang disediakan oleh TNGHS dapat dilihat pada tabel berikut ini:
49
Tabel 8. Layanan yang Disediakan Oleh TNGHS
No Fungsi Layanan Manfaat Layanan Bagi Masyarakat
1 Inventarisasi potensi, penataan
kawasan dan penyusunan rencana
pengelolaan
Inventarisasi dilaksanakan dengan menyusun rencana
pengelolaan, yang mencakup:
▪ Rencana Strategis TNGHS 2015-2019;
▪ Rencana Kerja tahunan/Rencana Pengelolaan Jangka
Pendek (implementasi dari Renstra dalam jangka waktu
satu tahun).
▪ Rencana Pengelolaan Taman Nasional 2018-2027
(rencana pengelolaan jangka panjang 10 tahun sebagai
pelaksanaan dari PP No. 28 Tahun 2011 jo PP Nomor
108 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam).
Bentuk layanan: kegiatan pendukung.
Melalui proses inventarisasi, kawasan akan dikelola dengan
mengoptimalkan potensi dan meminimalisir ancaman
kawasan. Kegiatan ini merpakan kegiatan pendukung bagi
layanan yang disediakan oleh TNGHS, baik layanan yang
memberikan manfaat langsung bagi pengunjung dan
masyarakat di sekitar kawasan maupun manfaat tidak
langsung bagi masyarakat di tiga kabupaten, yaitu Bogor,
Sukabumi dan Lebak.
2 Perlindungan dan pengamanan
kawasan
▪ Patroli rutin kawasan yang dilakukan oleh jabatan
fungsional polisi hutan;
▪ Pembinaan dan penyuluhan hutan yang dilaksanakan oleh
jabatan fungsional penyuluh hutan;
▪ Pengamanan barang bukti (dokumentasi).
Gangguan kawasan yang ditangani di tahun 2017 terdiri dari:
(1) pencurian kayu sebanyak 473 kasus; (2) penambangan liar
1.807 kasus; (3) sawah/ladang/kebun liar sebanyak 64 kasus.
Di tahun 2017 terdapat satu kasus yang sudah divonis, yaitu
kasus pencurian 139 kayu manglid.
Manfaat yang didapatkan oleh masyarakat merupakan
manfaat tidak langsung.
Melalui kegiatan ini, kawasan akan terjaga dari berbagai
gangguan kawasan, Kawasan yang terjaga akan membawa
manfaat:
a. bagi masyarakat (generasi saat ini) : terjaganya
kelestarian kawasan sehingga akan mencegah dari
berbagai bencana alam, tersedianya air dan udara yang
berkualitas, kelestarian flora dan fauna, terjaganya
sumber penghidupan masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan.
b. Generasi mendatang dalam bentuk warisan kekayaan
flora dan fauna dan kelestarian kawasan.
3 Pengendalian dampak kerusakan
sumber daya alam hayati
▪ Pemulihan ekosistem, melalui mekanisme alam,
rehabilitasi, restorasi alam;
▪ penutupan kawasan (dilakukan di bulan-bulan tertentu
yang mengakibatkan tidak ada pendakian).
Manfaat yang didapatkan oleh masyarakat merupakan
manfaat tidak langsung dalam bentuk terjaganya kelestarian
kawasan sehingga akan mencegah dari berbagai bencana
alam, tersedianya air dan udara yang berkualitas, kelestarian
flora dan fauna, terjaganya sumber penghidupan masyarakat
di dalam dan sekitar kawasan.
50
Kawasan TNGHS memiliki manfaat sebagai daerah tangkapan
air, lebih dari 115 sungai dan anak sungai berhulu dari dalam
kawasan TNGHS. Di bagian utara Gunung Halimun Salak
terdapat 3 DAS penting, yaitu sungai Ciberang (Ciujung),
sungai Cidurian dan Cikaniki (Cisadane). Di bagian selatan
terdapat 9 DAS sungai penting, yaitu: Cimadur, Cihara,
Cisiih, Cibareno, Cisolok, Cimaja, Cikasomayang, Citepus
dan Cimandiri, (Cicatih/Citarik). Sungai-sungai ini mengalir
melintasi wilayah Bogor, Tangerang, Rangkasbitung,
Palabuhan Ratu dan Bayah.
Kelestarian kawasan TNGHS menjadi sangat penting agar
DAS terjaga dengan baik.
4 Pengendalian kebakaran hutan ▪ mencegah kebakaran hutan, antara lain dengan
melakukan patroli secara reguler, pembentukan
masyarakat peduli api (MPA);
▪ menanggulangi kebakaran hutan.
Manfaat yang didapatkan oleh masyarakat merupakan
manfaat tidak langsung dalam bentuk terjaganya kelestarian
kawasan sehingga akan mencegah dari berbagai bencana
alam, tersedianya air dan udara yang berkualitas, kelestarian
flora dan fauna, terjaganya sumber penghidupan masyarakat
di dalam dan sekitar kawasan.
5 Pengembangan dan pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwa liar
untuk kepentingan non komersial
▪ mengembangkan tanaman obat (bioprospecting);
▪ penangkaran satwa.
Di TNGHS terdapat banyak potensi tanaman obat, antara
lain:
▪ Potensi tanaman obat seperti Kantong Semar
(Nephentes) untuk bahan obat-obatan;
▪ Pengembangan Kumbang Bangbung, hewan ekspor ke
luar negeri;
▪ Pengembangan tanaman obat dari kayu Palahrar;
▪ Pengembangan jenis-jenis anggrek.
Pada awalnya, manfaat yang didapatkan adalah manfaat tidak
langsung yaitu adanya hasil penelitian mengenai tanaman yang
berpotensi untuk dikembangkan secara massal menajdi
tanaman obat.
Pada tahap selanjutnya, manfaat bisa menjaid manfaat
langsung dalam bentuk:
a. Ketersediaan obat;
b. Penyediaan lapangan kerja, yaitu penanaman tanaman
obat yang dapat dilakukan dengan memberdayakan
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.
Saat ini manfaat ini masih belum terealisasi.
6 Pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa liar beserta habitatnya serta
sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional di dalam
kawasan
Pengawetan dilakukan melalui kegiatan pengelolaan tumbuhan
dan satwa beserta habitatnya meliputi:
a. identifikasi jenis tumbuhan dan satwa;
b. inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa;
c. pemantauan;
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat, khususnya bagi
generasi mendatang dalam bentuk warisan kekayaan flora
dan fauna dan kelestarian kawasan.
51
d. pembinaan habitat dan populasi;
e. penyelamatan jenis; dan
f. penelitian dan pengembangan.
Koleksi flora dan fauna yang dimiliki TNGHS, meliputi:
A. Fauna
Jenis satwa yang hidup di kawasan TNGHS tercatat 70
jenis mamalia, 276 jenis burung, 30 jenis ampibia, 49 jenis
reptil, 50 jenis ikan dan berbagai jenis serangga. Daftar
satwa di kawasan TNGHS:
▪ Elang Jawa (Nasaetus bartelsi), ▪ Owa jawa (Hylobates moloch).
▪ Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas). ▪ Ciung-Mungkal Jawa (Cochoa azuruea)
▪ Celepuk Jawa (Otus Angelina)
▪ Lutur gunung (Harpactes reinwardtii). ▪ Kucing hutan (Prionailurus bengalensis) ▪ Surili (Presbytis comate),
▪ Monyet ekor panjang (Macac fascicukaris) ▪ Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) ▪ Lutung jawa (Trachypithecus auratus) ▪ Ajag atau Anjing hutan (Cuon alpinus javanicus), ▪ Sigung (Mydaus javanensis) ▪ Ekek Geleng (Cissa thalasina) ▪ Poksai kuda (Garrulax rufifrons) ▪ Jalak putih (Sturnus melanopterus) ▪ Rusa
▪ Mamalia (61 spesies)
▪ Burung (Pecuk Ular, Cangak, Kokokan, Alap-alap,
betet, dll)
▪ Amfibi (27 spesies)
▪ TNGHS memiliki Pusat Suaka Satwa Elang Jawa
(PSSEJ) Loji
B. Flora
TNGHS memiliki 700 spesies tumbuhan berbunga hidup
di kawasan TNGHS, yang meliputi 391 marga dari 119
suku. Daftar flora yang dimiliki, antara lain:
▪ Rasamala
52
▪ Hamerang
▪ Kecapi
▪ Ki Dage
▪ Teureup
▪ Ficu Pohon
▪ Culak Ketan
▪ Ki Terong
▪ Saninten
▪ Pasang
▪ Ki Haji
▪ Kokosan Monyet
▪ Mara bangkong
▪ Ki hiur
▪ Ki ronyok
▪ 700 spesies bunga yang meliputi 391 marga dan 119
suku
▪ Anggrek (261 spesies)
▪ Bambu (12 spesies: Bambu Cangkore, Bambu
Tamiang)
▪ Kantung Semar (Nepenthes) ▪ Palahrar (Dipterocarpus hasseltii) ▪ Rafflesia rochussenii
7 Pengembangan dan pemanfaatan
jasa lingkungan
Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon.
Catatan: belum ada data terkait hal ini.
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat dalam bentuk
penyerapan karbon dioksida yang akan meningkatkan kualitas
udara dan mencegah pemanasan global.
Wisata Alam.
A. Wisata alam yang sudah dimanfaatkan
1. Rekreasi wisata alam
2. Air terjun (Curug Ciporolak, Gunung Bunder, Curug
Nangka, Cigamea, Cisangku, Curug Cipiit, Cidahu,
Cimalati
3. Kawah Ratu
4. Curug (Curug Ciporolak,
5. Landscape perkebunan the (Curug Cicandra)
6. Hutan Tanaman campuran (Sukamantri)
Manfaat langsung bagi masyarakat:
a. pengunjung dalam bentuk penyediaan layanan
rekreasi wisata alam.
b. masyarakat di dalam dan sekitar kawasan dalam
bentuk penyediaan lapangan kerja di sektor
pariwisata yang akan meningkatkan kesejahteraan
dan mengurangi kemiskinan (contoh: menjadi guide,
membuka warung makanan, menjual cinderamata,
menyediakan penginapan, dan lain sebagainya)
53
7. Sungai (Sungai Tonjong, Sungai Cimantaja)
8. Air panas
9. Bumi Perkemahan
10. Upacara masyarakat adat (Kasepuhan Ciptagelar)
11. Pendakian: Gunung Halimun, Gunung Salak
12. Canopy Trail (Cikaniki)
13. Treking
14. Outbond, flying fox
15. Bird watching
16. Situs budaya: Situs Arcamodas, Situs Cipangantehan,
Pura Parahyangan Agung Jagatkarta
Jumlah pengunjung yang terlayani mencapai: (a) 97.239
orang di tahun 2014; (b) 130.370 orang di tahun 2015;
(c) 131.073 orang di tahun 2016; dan (d) 162.261 orang
di tahun 2017.
B. Wisata alam yang belum dimanfatkan
1. Camping ground;
2. Olahraga sepeda gunung;
3. Wisata olahraga air (arung jeram);
4. Wisata offroad;
5. Patroli kawasan.
Terkait dengan wisata alam, layanan izin telah diberikan
dalam bentuk:
a. Izin Usaha Penyedian Jasa Wisata Alam (IUPJWA),
contoh : CV. Pesona Malasari, PT. Bumi
Cangkuang Lestari, Koperasi Khalipa, Koperasi
Rizky Barokah Gunung Salak, CV. Rakasa Pratama,
Koperasi Nurul Falah,Koperasi Wana Lestari,
Koperasi Satria Rimba Athala, CV. Sabuk Gunung,
Koperasi Halimun.
b. Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam
(IUPSWA), contoh : PT. Bumi Cangkuang Lestari,
PT. Halimun Rimba Lestari, PT. Halimun Salak
Endah, PT. Anugrah Alam Lestari, PT. Halimun
54
Damai Gunung Salak, PT. Bocimi Halimun
Salak.(semua PT masih proses perizinan).
Pemanfaatan air
a. Pemanfaaatan air non komersial: layanan diberikan
dengan memberikan Izin Pemanfaatan Air (IPA) kepada
13 kelompok masyarakat, antara lain:
▪ Forum Pengguna Air Desa Kutajaya, Kecamatan
Cicurug, Sukabumil
▪ Forum Pengguna Air Desa Tugu Jaya, Kecamatan
Cigombong, Bogor;
▪ Forum Pengguna Air Desa Kujang Jaya, Kecamatan
Cibeber, Lebak.
b. Pemanfaatan air komersial, yang dilaksanakan melalui
pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Air (IUPA) kepada:
PT. Antam Tbk. (Persero) Gold Mining Business Unit
Manfaat langsung bagi masyarakat dalam bentuk penyediaan
air minum:
a. Bagi masyarakat sekitar kawasan dalam bentuk
pemanfaatan air non komersial melalui izin pemanfaatan;
b. Bagi masyarakat luas dalam bentuk penyediaan air
minum, baik PDAM maupun air minum dalam kemasan
melalui izin pemanfaatan perusahaan air minum.
Energi air
ayanan diberikan dalam bentuk pemberian izin, antara lain
kepada:
a. PT. Antamloka Halimun Energi untuk Pengembangan
Usaha Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTMH),
kapasitas produksi 5 Mega Watt;
b. PT. Hydro Alam Lestari untuk Pengembangan Usaha
Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTMH), kapasitas
produksi 7 Mega Watt, diperuntukkan untuk kontrak
perjanjian jual beli listrik dengan PT. PLN (Persero). Saat
ini sedang dalam proses perijinan di Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
c. PT Hydro Alam Cidurian, PT Halimun Banyu Energi dan
PT Antamora Teknik Makmur untuk pengembangan
PLTMH.
Manfaat langsung bagi masyarakat dalam bentuk mikrohidro
dan minihidro untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat.
Pemanfaatan panas matahari, angin, dan pemanfaatan panas
bumi untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Manfaat langsung bagi masyarakat dalam bentuk penyediaan
energi listrik.
55
Layanan untuk memanfaatkan panas bumi diberikan dalam
bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi
(IUPJLPB) kepada:
a. PT. PERTAMINA GEOTHERMAL ENERGI;
b. INDONESIA POWER.
8 Penyediaan data dan informasi,
promosi dan pemasaran
konservasi sumber daya alam dan
ekosistemnya
Promosi dan pemasaran dilakukan melalui berbagai kegiatan. Manfaat langsung bagi masyarakat, yaitu pengunjung wisata
alam yang mendapatan informasi yang memadai mengenai
keunikan dari destinasi wisata yang dikunjunginya.
9 Pengembangan kerjasama dan
kemitraan bidang konservasi
sumber daya alam dan
ekosistemnya
Melakukan kerja sama dengan lembaga lain di dalam
melakukan konservasi sumber daya alam.
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat, dalam bentuk
kawasan yang lestari, udara dan air tersedia dengan baik,
bencana alam bisa dicegah.
10 Pengembangan bina cinta alam
serta penyuluhan konservasi
sumberdaya alam dan
ekosistemnya
TN memberikan penyuluhan kepada masyarakat pentingnya
menjaga kelestarian sumber daya alam dan ekosistemnya.
TNGHS memiliki pusat Pendidikan konservasi alam.
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat, dalam bentuk
kawasan yang lestari, udara dan air tersedia dengan baik,
bencana alam bisa dicegah.
11 Pemberdayaan masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan
Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan dapat mengambil
hasil hutan bukan kayu (HHBK), budidaya tradisional, serta
perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak
dilindungi.
Beberapa potensi kegiatan untuk pemberdayaan masyarakat:
1. Pengembangan usaha sate rusa (satwa tidak dilindungi),
untuk supply ke rumah makan/ restoran;
2. Pengembangan kerajinan bambu;
3. Pengembangan gula aren dan jahe bagi masyarakat.
Manfaat langsung bagi masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan untuk mencari sumber penghidupan sehingga
diharapakan akan meningkat kesejahteraannya dan
mengurangi tingkat kemiskinan.
Sumber: Sumber: Renstra 2015-2019, Renja 2019, Laporan Kinerja 2018, Statistik TNGHS 2017 (diolah)
56
Dari layanan yang disediakan oleh TNGHS, PNBP yang dihasilkan sebesar Rp 758,67
juta di tahun 2014, Rp 1,43 miliar di tahun 2015, Rp 1,58 miliar di tahun 2016, Rp
1,19 miliar di tahun 2017 dan Rp 2,13 miliar di tahun 2018.
2.2.1.3 Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS)
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) ditunjuk melalui Pernyataan
Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/82 tanggal 14 Oktober 1982. Setelah melalui
beberapa kali penetapan,saat ini TNBTS mengelola 50.276,20 ha yang yang terbagi
menjadi tujuh zona, yaitu zona inti 17.028,67 ha, zona rimba 26.806,31 ha, zona
pemanfaatan 1.193,43 ha,zona rehabilitasi 2.139,19 ha, zona tradisional 3.041,86 ha,
zona khusus 61,56 ha dan zona religi 5,18 ha. TNBTS terletak di di Kabupaten
Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Malang Provinsi
Daerah Tingkat I Jawa Timur dan memiliki 68 desa penyangga. Dari ke-68 desa
penyangga yang ada di sekitar TNBTS, terdapat 2 desa penyangga yang berada di
dalam kawasan (desa enclave) yakni Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Kabupaten
Lumajang dan Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Kedua
desa tersebut ditempati oleh penduduk asli yakni masyarakat Tengger.
Terkait dengan zona pemanfaatan, TNBTS memiliki 10 lokasi zona pemanfaatan di
TNBTS yang sudah memiliki distribusi peruntukan sebagai ruang usaha dan ruang
publik. Pembagian ruang tersebut bagian dari pengembangan ekowisata pada zona
pemanfaatan seluas 1.193,43 ha (berdasarkan hasil revisi zonasi tahun 2016). Luasan
tersebut terbagi dua yaitu 1.143,61 ha merupakan lokasi pengembangan pariwisata
alam, dan 49,82 ha merupakan lokasi pemanfaatan jasa lingkungan air.
Layanan yang disediakan oleh TNBTS dapat dilihat di tabel berikut ini.
57
Tabel 9. Layanan yang DIsediakan Oleh TNBTS
No Fungsi Layanan Manfaat Layanan Bagi Masyarakat
1 Inventarisasi potensi, penataan
kawasan dan penyusunan rencana
pengelolaan
Inventarisasi dilaksanakan dengan menyusun rencana
pengelolaan, yang mencakup:
▪ Rencana Strategis TNBTS 2015-2019 (turunan dari
RPJMN dan Renstra KLHK 2015-2019);
▪ Rencana Kerja tahunan/Rencana Pengelolaan Jangka
Pendek (implementasi dari Renstra dalam jangka waktu
satu tahun);
▪ Rencana Pengelolaan Taman Nasional 2015-2024
(rencana pengelolaan jangka panjang 10 tahun sebagai
pelaksanaan dari PP No. 28 Tahun 2011 jo PP Nomor
108 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam).
Bentuk layanan: kegiatan pendukung.
Melalui proses inventarisasi, kawasan akan dikelola dengan
mengoptimalkan potensi dan meminimalisir ancaman
kawasan. Kegiatan ini merpakan kegiatan pendukung bagi
layanan yang disediakan oleh TNBTS, baik layanan yang
memberikan manfaat langsung bagi pengunjung dan
masyarakat di sekitar kawasan maupun manfaat tidak
langsung bagi masyarakat di Kabupaten Lumajang, Pasuruan,
Probololinggo dan Malang.
2 Perlindungan dan pengamanan
kawasan
▪ Patroli rutin kawasan yang dilakukan oleh jabatan
fungsional polisi hutan;
▪ Pembinaan dan penyuluhan hutan yang dilaksanakan oleh
jabatan fungsional penyuluh hutan;
▪ Pengamanan barang bukti (dokumentasi).
Layanan ini dilakukan untuk mencegah/menangani gangguan
kawasan yang terjadi dalam bentuk pencurian kayu, bambu,
kayu bakar, arang, pencurian hasil hutan lainnya
(kemlandingan, rebung).
Dalam periode 2014-2018 terdapat 8 kasus perburuan liar
satwa (burung, lutung jawa, kera, landak, kukang jawa), dengan
posisi penyelesaian 2 kasus diproses hukum, 5 kasus pelaku
melarikan diri, dan 1 kasus diselesaikan dengan cara
melakukan pembinaan dan meminta pelaku membuat surat
pernyataan tidak melakukan perbuatannya lagi.
Manfaat yang didapatkan oleh masyarakat merupakan
manfaat tidak langsung.
Melalui kegiatan ini, kawasan akan terjaga dari berbagai
gangguan kawasan, Kawasan yang terjaga akan membawa
manfaat:
a. bagi masyarakat (generasi saat ini) : terjaganya
kelestarian kawasan sehingga akan mencegah dari
berbagai bencana alam, tersedianya air dan udara yang
berkualitas, kelestarian flora dan fauna, terjaganya
sumber penghidupan masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan.
b. Generasi mendatang dalam bentuk warisan kekayaan
flora dan fauna dan kelestarian kawasan.
58
Gangguan kawasan yang terjadi dan ditangani selama tahun
2014-2018 adalah 82 kasus, baik mencakup pengambilanTSL,
perambahan, dll.
Bentuk layanan: jasa.
TN BTS mendukung dua DAS penting di Jawa Timur, yaitu
Brantas dan Sampean Madura yang mendukung kehidupan
sekitar 16 juta orang di empat kabupaten (Pride Paramitra
Executive Summary, 2008).
Sumber air TN BTS berupa sungai dan anak sungai tercatat
ada lebih dari 50 buah.
3 Pengendalian dampak kerusakan
sumber daya alam hayati
▪ Pemulihan ekosistem, melalui: mekanisme alam,
rehabilitasi, restorasi alam;
▪ Penutupan kawasan (dilakukan di bulan-bulan tertentu
yang mengakibatkan tidak ada pendakian).
TNBTS telah melakukan restorasi ekosistem Ranu dan lahan
di wilayah TN Bromo Tengger Semeru, difokuskan di areal
Ranu Pani dan Ranu Regulo dengan luasan 100 Ha dari 696 ha
luasan lahan kosong.
Bentuk layanan: jasa.
Manfaat yang didapatkan oleh masyarakat merupakan
manfaat tidak langsung dalam bentuk terjaganya kelestarian
kawasan sehingga akan mencegah dari berbagai bencana
alam, tersedianya air dan udara yang berkualitas, kelestarian
flora dan fauna, terjaganya sumber penghidupan masyarakat
di dalam dan sekitar kawasan.
4 Pengendalian kebakaran hutan ▪ mencegah kebakaran hutan, antara lain dengan
melakukan patroli secara reguler;
▪ menanggulangi kebakaran hutan.
Di periode 2014-2018, kebakaran yang ditangani meliputi :
2014 (7 kejadian), 2015 (16 kejadian), 2016(tidak ada
kejadian), 2017 (1 kejadian) dan 2018 (13 kejadian).
Bentuk layanan: jasa.
Manfaat yang didapatkan oleh masyarakat merupakan
manfaat tidak langsung dalam bentuk terjaganya kelestarian
kawasan sehingga akan mencegah dari berbagai bencana
alam, tersedianya air dan udara yang berkualitas, kelestarian
flora dan fauna, terjaganya sumber penghidupan masyarakat
di dalam dan sekitar kawasan.
5 Pengembangan dan pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwa liar
untuk kepentingan non komersial
▪ mengembangkan tanaman obat (bioprospecting);
▪ penangkaran satwa.
Beberapa potensinya adalah:
1. 16 jenis tanaman obat, beberapa jenis diantaranya
tergolong langka seperti sintok (Cinnamomum sintoc), dan Pronojiwo (Euchresta horsfieldii) dan Lumut Jenggot
(Usnea barbata), tanaman obat untuk memperbaiki
kekebalan tubuh.
Pada awalnya, manfaat yang didapatkan adalah manfaat tidak
langsung yaitu adanya hasil penelitian mengenai tanaman yang
berpotensi untuk dikembangkan secara massal menjadi
tanaman obat. Peoduksi massal bisa dilakukan melalui kerja
sama dengan lembaga lain (misal: perusahaan obat), sehingga
TN tetap menjalankan tugas untuk pengembangan dan
pemanfaatan TSL untuk kepentingan non komersial.
59
2. Potensi anggrek di area danau ranu darungan;
3. Kebun koleksi tanaman restorasi.
Bentuk layanan: jasa. Namun demikian, apabila sudah
diproduksi massal, maka layanan yang dihasilkan adalah
barang.
Pada tahap selanjutnya, manfaat bisa menjaid manfaat
langsung dalam bentuk:
a. Ketersediaan obat;
b. Penyediaan lapangan kerja, yaitu penanaman tanaman
obat yang dapat dilakukan dengan memberdayakan
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.
Saat ini manfaat ini masih belum terealisasi karena upaya
pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar belum optimal.
6 Pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa liar beserta habitatnya serta
sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional di dalam
kawasan
Pengawetan dilakukan melalui kegiatan pengelolaan tumbuhan
dan satwa beserta habitatnya meliputi:
a. identifikasi jenis tumbuhan dan satwa;
b. inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa;
c. pemantauan;
d. pembinaan habitat dan populasi;
e. penyelamatan jenis; dan
f. penelitian dan pengembangan.
Koleksi flora dan fauna yang dimiliki TNGHS, meliputi:
A. Flora
▪ Pohon-pohon berusia ratusan tahun seperti cemara
gunung
▪ Flora langka seperti jamuju,
▪ 130 jenis Anggrek diantaranya langka seperti Malaxis purpureonervosa (endemik Semeru Selatan),
Habenaria tosariensis (endemik TNBTS) dan Anggrek
tanah yang endemik yaitu Habenaria tosariensis.
▪ Tumbuhan obat (Glunggung, Ampet, Daun Jinten, dll)
▪ Flora endemik (Pakis Tengger, Barus)
▪ Edelweis (Anaphalis spp) berjenis Anaphalis javanica,
Anaphalis longifolia dan Anaphalis viscida.
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat, khususnya bagi
generasi mendatang dalam bentuk warisan kekayaan flora
dan fauna dan kelestarian kawasan.
60
▪ jenis tanaman obat, beberapa jenis diantaranya
tergolong langka seperti sintok (Cinnamomum sintoc),
dan Pronojiwo (Euchresta horsfieldii), lumut jenggot
(Usnea barbata)
B. Fauna
▪ 118 jenis burung seperti Elang Jawa (Nisaetus bertelsi).
▪ 18 jenis Mamalia seperti Macan Tutul Jawa (Panthera pardus), Lutung Jawa (Trachypithecus auratus)
▪ 11 Jenis Reptil seperti Ular Kobra Jawa (Naja sputatrix)
▪ 14 jenis insecta seperti Kupu-kupu Sayap Biru
(Graphium sarpedon).
▪ Fauna berstatus dekat terancam seperti Lebah Madu
Jawa
7 Pengembangan dan pemanfaatan
jasa lingkungan
Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon.
Kawasan TNBTS dapat dijadikan sebagai lokasi CDM (pada
kawasan yang tidak berhutan) yaitu Bidang Pengelolaan TN
Wilayah I, dan program REDD dikembangkan di kawasan
Bidang Pengelolaan Wilayah II.
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat dalam bentuk
penyerapan karbon dioksida yang akan meningkatkan kualitas
udara dan mencegah pemanasan global.
Wisata Alam.
A. Wisata alam yang sudah dimanfaatkan
1. Rekreasi wisata alam dan pendakian:
▪ Gunung Semeru, Ranu Kumbolo, Kalimati,
Arcopodo, Padang Rumput Jambangan, Oro-
Oro Ombo, Cemoro Kandang, Pangonan Cilik,
Kaldera Tengger, Gunung Bromo, Gua/Gunung
Widodaren, Gunung Batok, dan Gunung
Pananjakan.
▪ Tempat perkemahan: B 29 Argosari.
▪ Bukit Teletabis Bromo, Bukit Cinta, Bukit
Kingkong.
Manfaat langsung bagi masyarakat:
c. pengunjung dalam bentuk penyediaan layanan
rekreasi wisata alam.
d. masyarakat di dalam dan sekitar kawasan dalam
bentuk penyediaan lapangan kerja di sektor
pariwisata yang akan meningkatkan kesejahteraan
dan mengurangi kemiskinan (contoh: menjadi guide,
membuka warung makanan, menjual cinderamata,
menyediakan penginapan, dan lain sebagainya)
61
2. Wisata budaya suku Tengger:
▪ Upacara adat (Hari Raya Karo, Yadnya Kasad,
Unan-unan, upacara kelahiran, menikah,
kematian).
▪ Kesenian tradisional (seni tari Sodoran dan tari
Ujung).
▪ Tempat Suku Tengger: Desa Ngedes, Desa
Ngedas, Pura Agung Poten, Sumber air Suci
Goa Widodaren, Sumur Pitu/Gua Lava, Pura/
Pedanyangan Rondo Kuning, Prasasti Ranu
Kumbolo, Pura Ngada.
3. Penelitian
4. Wisata Pendidikan
5. Video shooting
6. Adventure trail
7. Jasa fotografi.
B. Wisata alam yang belum dioptimalkan:
1. Danau Ranu Pani-Regulo
2. Air terjun Coban Trisula
3. Hutan alam (Ledok Malang-Ireng-Ireng)
4. Ranu Darungan
5. Gua Heni
6. Blok Adasan
7. Air Terjun Tirtowening
Pengunjung dilindungi dengan Asuransi jiwa (dilakukan melalui
kerjasama antara TNBTS dengan Perusahaan Amanah Gita).
Jumlah pengunjung dalam negeri: 2014 (512.887 orang), 2015
(456.995 orang), 2016 (424.391 orang), 2017 (623.895 orang)
dan 2018 (800.130 orang). Dua tujuan utama dari pengunjung
adalah (1) rekreasi; dan (2) pendakian.
62
Kecelakaan pengunjung yang ditangani mencakup 16 orang
(tahun 2016), 17 orang (2017) dan 12 orang (tahun 2018).
Bentuk layanan: jasa.
Pemanfaatan air
a. Pemanfaaatan air non komersial, antara lain:
▪ HIPAM Dusun Manggungan Desa Blarang Kec Tutur
Ka bupaten Pasuruan;
▪ HIPAM Dusun Karangsuko Desa Taman Satriyan Kec
Tirtoyudo Kab.Malang;
▪ Masyarakat Dusun Darungan Desa Pronojiwo Kec.
Pronojiwo Kab. Lumajang.
b. Pemanfaatan air komersial, yang dilaksanakan melalui
MoU dengan beberapa perusahaan, yaitu: PDAM
Pasuruan dan PDAM Lumajang.
Bentuk layanan: jasa.
Manfaat langsung bagi masyarakat dalam bentuk penyediaan
air minum:
a. Bagi masyarakat sekitar kawasan dalam bentuk
pemanfaatan air non komersial melalui izin pemanfaatan;
b. Bagi masyarakat luas dalam bentuk penyediaan air
minum, baik PDAM maupun air minum dalam kemasan
melalui izin pemanfaatan perusahaan air minum.
Energi air
Belum teridentifikasi
Manfaat langsung bagi masyarakat dalam bentuk mikrohidro
dan minihidro untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat.
Pemanfaatan panas matahari, angin, dan pemanfaatan panas
bumi untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Saat ini, potensi ini belum teridentifikasi.
Manfaat langsung bagi masyarakat dalam bentuk penyediaan
energi listrik.
8 Penyediaan data dan informasi,
promosi dan pemasaran
konservasi sumber daya alam dan
ekosistemnya
Promosi dan pemasaran dilakukan melalui berbagai kegiatan.
Bentuk layanan: jasa.
Manfaat langsung bagi masyarakat, yaitu pengunjung wisata
alam yang mendapatan informasi yang memadai mengenai
keunikan dari destinasi wisata yang dikunjunginya.
9 Pengembangan kerjasama dan
kemitraan bidang konservasi
sumber daya alam dan
ekosistemnya
Melakukan kerja sama dengan lembaga lain di dalam
melakukan konservasi sumber daya alam.
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat, dalam bentuk
kawasan yang lestari, udara dan air tersedia dengan baik,
bencana alam bisa dicegah.
63
10 Pengembangan bina cinta alam
serta penyuluhan konservasi
sumberdaya alam dan
ekosistemnya
TN memberikan penyuluhan kepada masyarakat pentingnya
menjaga kelestarian sumber daya alam dan ekosistemnya.
Penyuluhan dilakukan di Desa penyangga.
Manfaat tidak langsung bagi masyarakat, dalam bentuk
kawasan yang lestari, udara dan air tersedia dengan baik,
bencana alam bisa dicegah.
11 Pemberdayaan masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan
Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan dapat mengambil
hasil hutan bukan kayu (HHBK), budidaya tradisional, serta
perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak
dilindungi.
TNBTS melakukan beberapa kegiatan antara lain
pembentukan Desa Konservasi (Desa Duwet Krajan dan Desa
Pronojiwo), pembentukan Desa Wisata Edelweis (di Desa
Wonokitri dan Desa Ngadisari ) pelatihan (budidaya lebah
madu, budidaya jamur tiram, pembuatan biogas,)yang
dilakukan sebanyak 16 kegiatan di kurun 2014-2018.
Manfaat langsung bagi masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan untuk mencari sumber penghidupan sehingga
diharapakan akan meningkat kesejahteraannya dan
mengurangi tingkat kemiskinan.
Sumber: Sumber: Renstra 2015-2019, Renja 2019, Laporan Kinerja 2018, Statistik TNBTS 2017 (diolah)
64
Dari layanan yang disediakan oleh TNBTS, PNBP yang dihasilkan sebesar Rp 15,171
miliar di tahun 2014, Rp 15,17 miliar di tahun 2015, Rp 18,12 miliar di tahun2016, Rp
21,99 miliar di tahun 2017 dan Rp 26,17 miliar di tahun 2018. PNBP terbesar
dihasilkan dari tiket masuk pengunjung maupun tiket bagi pendaki.
Berdasarkan ketiga kondisi TN sebagaimana dijelaskan diatas, terlihat bahwa ketiga
Taman Nasional ini memenuhi persyaratan substantif sebagai BLU sesuai dengan yang
disyaratkan oleh PMK No 180/2016, yaitu:
1. KetigaTN merupakan pengelola kawasan (persyaratan substantif poin b)
2. Ketiga TN menyediakan layanan yang bersifat operasional(bukan regulator)
kepada pengunjung wisata alam
3. Ketiga TN telah menghasilkan pendapatan (PNBP) dari jasa layanan yang
diberikan kepada pengunjung.
2.2.2. Persyaratan Teknis
Persyaratan teknis diatur dalam Pasal 5 dan 6 PMK No.180 Tahun 2016 tentang
Penetapan dan Pencabutan Penerapan Keuangan BLU pada Satuan Kerja Instansi Pemerintah yaitu apabila Satker memenuhi ketentuan: (i) kinerja pelayanan umum
layak dikelola dan dapat ditingkatkan pencapaiannya melalui penetapan sebagai BLU;
dan (ii) kinerja keuangan sehat. Kinerja pelayanan umum terkait dengan indeks
kepuasan masyarakat, peluang peningkatan kinerja layanan, kebijakan yang mendukung
peningkatan kinerja layanan, dan profesionalisme pengelola SDM. Sedangkan kinerja
keuangan dilihat dari realisasi PNBP dalam dua tahun terakhir atau proyeksi dalam
lima tahun ke depan; rasio realisasi atau proyeksi belanja pegawai dengan PNBP; serta
data dan realisasi atau proyeksi rasio keuangan.
Deskripsi persyaratan teknis dapat dilihat di tabel berikut ini:
Tabel 10. Deskripsi Persyaratan Teknis
No. Kriteria Persyaratan Teknis Deskripsi
1 Kinerja pelayanan umum layak
dikelola dan ditingkatkan
pencapaiannya melalui penetapan
sebagai BLU.
Persyaratan pertama ini dibuktikan dengan adanya
rekomendasi dari Menteri/ Pimpinan Lembaga yang
minimal memuat komponen:
1. indeks kepuasan masyarakat, sebagaimana diatur
dalam peraturan menteri yang bertanggung
jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara
dan reformasi birokrasi mengenai pedoman
umum penyusunan indeks kepuasan masyarakat;
2. peluang peningkatan kinerja pelayanan;
3. peraturan perundang-undangan dan kebijakan
yang ada kondusif atau mendukung bagi peluang
peningkatan kinerja layanan; dan
4. profesionalitas SDM.
2 Kinerja Keuangan sehat. Persyaratan kedua ini dibuktikan dengan adanya:
1. peningkatan realisasi PNBP dalam dua tahun
terakhir atau proyeksi PNBP lima tahun ke
depan;
65
2. rasio realisasi atau proyeksi belanja pegawai
dengan PNBP paling kurang tidak meningkat;
dan
3. data realisasi atau proyeksi rasio keuangan.
Gambaran pemenuhan persyaratan teknis di masing-masing TN lokasi studi akan
dijelaskan berikut ini.
2.2.2.1. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
a. Kinerja pelayanan umum
layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya
melalui penetapan sebagai
BLU.
a.1 Indeks kepuasan masyarakat, sebagaimana diatur dalam
peraturan menteri yang bertanggung jawab di
bidang pendayagunaan aparatur negara dan
reformasi birokrasi mengenai pedoman umum
penyusunan indeks kepuasan masyarakat
Saat ini penilaian kepuasan masyarakat dilakukan TNGGP secara informal, misalnya
dengan meminta pendapat dari pengunjung/pendaki setelah melakukan pendakiannya.
Selain itu, TNGGP telah membuka layanan pengaduan melalui call center dan media
online (WhatsApp dan Instagram). Layanan ini akan merespons permintaan dari
pengunjung ketika berada di area pendakian. Misalnya, pendaki yang mengalami cidera
meminta bantuan akan langsung direspon pengelola dengan mengirimkan tim
evakuasi yang terdiri dari perwakilan resort, relawan, dan perwakilan masyarakat.
Namun demikian, saat ini TNGGP belum melakukan survei kepuasan masyarakat
sebagaimana diatur dalam Permenpan RB No 14 Tahun 2017 tentang Pedoman
Penyusunan Survei Kepuasan Masyarakat.
a. Kinerja pelayanan umum layak dikelola
dan ditingkatkan pencapaiannya melalui
penetapan sebagai BLU.
a.2 peluang peningkatan kinerja pelayanan
Saat ini, setiap tahun, kinerja TNGGP dinilai dari perbandingan antara realisasi
dengan target Rencana Kerja (Renja) yang merupakan pelaksanaan dari Renstra
TNGGP 2015-2019. Sedangnya Renstra TN disusun berdasarkan pada RPTN dan
Renstra Ditjen KSDAE 2015-2019. Kinerja kegiatan TNGGP berdasarkan laporan
capaian kinerja 2015-2018, berada dalam kategori memuaskan. Kendati demikian,
penilaian 2017 dan 2018 lebih rendah dibanding tahun 2016. Penurunan ini
disebabkan karena adanya indikator kinerja yang belum sesuai target. Misalnya pada
tahun 2017 dan 2018 indikator kegiatan penanggulangan gangguan pada kawasan TN,
dan luas kawasan konservasi terdegradasi yang dipulihkan, belum mencapai target
kegiatannya. Upaya TN GGP untuk meningkatkan kinerjanya dilakukan melalui
pembagian tugas sesuai posisi pegawai. Capaian kinerja kegiatan organisasi
sebagaimana grafik di bawah ini:
66
Grafik 1. Capaian Kinerja TNGGP
Sumber: Laporan Kinerja TN-GGP 2015-2018.
Selain itu, TNGGP melaksanakan penilaian efektivitas pengelolaan kawasan dengan
menggunakan METT (Management Effectiveness Tracking Tool). Hasil penilaian tahun
2017, TNGGP mendapatkan nilai 80,81%. Hasil penilaian tersebut menunjukkan
pengelolaan kawasan di TNGGP cukup baik atau efektif2. Namun, TNGGP belum
memilki Standar Pelayanan Minimum(SPM), sehingga data capaian SPM belum
tersedia. Peluang peningkatan kinerja jika bertransformasi status menjadi BLU cukup
besar, yaitu dengan mengoptimalkan potensi kawasan sebagai termuat di dalam RPTN
TNGGP. Khusus untuk peningkatan layanan jasa wisata, peluang peningkatan kinerja
dapat diarahkan pada peningkatan layanan kepada pengunjung (baik pendaki maupun
pengunjung yang melakukan rekreasi).
a. Kinerja pelayanan umum
layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya
melalui penetapan sebagai
BLU.
a.3 peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ada
kondusif atau mendukung bagi peluang peningkatan kinerja
layanan,
Peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait konservasi dan pengelolaan TN
sangat mendukung bagi peluang peningkatan kinerja layanan TNGGP, terutama:
a. UU No 5 Tahun 1990 mendefinisikan Taman Nasional kawasan pelestarian
alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Dengan demikian,
pengembangan pariwisata dan rekreasi menjadi salah satu tujuan pemanfaatan
Taman Nasional.
b. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur bahwa
pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan
kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman
nasional.
c. PP No. 28 Tahun 2011 jo PP Nomor 108 Tahun 2015 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, pasal 35, yang
menjelaskan bahwa Taman Nasional dapat dimanfaatkan untuk kegiatan: (a)
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; (b). pendidikan dan
peningkatan kesadartahuan konservasi alam; (c) penyimpanan dan/atau
2 Kategorisasi efektivitas pengelolaan, Hal. 22, Pedoman Penilaian Efektivitas Pengelolaan
Kawasan Konservasi di Indonesia, KSDAE (2017)
1.00581.2204
1.01551.1631
0.00%
50.00%
100.00%
150.00%
2015 2016 2017 2018
Capaian Kinerja Balai Besar TNGGP Tahun 2015-2018
67
penyerapan karbon, pemanfaatan air, energi air, angin, panas matahari, panas
bumi, dan wisata alam; (d) pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; (e)
pemanfaatan sumber Plasma Nutfah untuk penunjang budidaya; dan (f)
pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.
a. Kinerja pelayanan umum
layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya
melalui penetapan sebagai
BLU.
a.4 profesionalitas SDM.
Pada tahun 2018, TNGGP memiliki 160 orang yang terdiri dari PNS 127 orang, dan
tenaga kontrak 33 orang. Jumlah pegawai tersebut menyebar di tiga bidang, wilayah
dan kantor Balai Besar. Komposisi pegawai laki-laki sebanyak 77,99% dan pegawai
perempuan 22,01%. Berikut komposisi pendidikan pegawai TNGGP.
Tabel 11. Jumlah Pegawai Menurut Pendidikan
Sumber: Laporan Kinerja TNGGP 2018
Berdasarkan tabel di atas, TNGGP memiliki SDM yang memadai untuk melakukan
pengelolaan BLU. Selain itu, berbagai pelatihan diadakan/diikuti oleh pegawai TNGGP.
Untuk mendukung peningkatan kinerja layanan pegawai, pengelola TNGGP
menerapkan e-kinerja, dimana pegawai memiliki kewajiban untuk melakukan pengisian
e-kinerja. Penerapan e-kinerja juga diikuti dengan penerapan sanksi berupa
pemotongan besaran tunjangan kinerja. Selain itu, dalam meningkatkan
profesionalisme pegawai dalam menyelesaikan target organisasi, pengelola TNGGP
menerapkan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP). Namun SKP ini belum berpengaruh
terhadap penghargaan/renumerasi kepada pegawai. Saat ini TNGGP masih melihat
tunjangan kinerja berdasarkan pada kehadiran.
b. Kinerja Keuangan sehat. b.1 Adanya peningkatan realisasi PNBP dalam dua tahun terakhir
atau proyeksi PNBP lima tahun ke depan
Realisasi PNBP TNGGP dalam periode 2016-2018 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 12. Realisasi Pendapatan PNBP 2016-2018
Tahun Realisasi Persentase
2016 3.621.891.500 -
2017 2.256.705.500 (37,69)
2018 4.947.696.500 119,24
Sumber: Data Ditjen KSDAE (diolah)
Uraian Pendidikan
Jml
S2 S1/D4 DIII SLTA SLTP SD
Struktur dan Fungsional
Umum 14 41 21 71 5 8 160
68
Dari data di atas, terlihat bahwa realisasi PNBP belum stabil, dimana realisasi PNBP
tahun 2017 turun sebesar 37,69 persen dibandingkan tahun 2016. Di tahun 2017
PNBP mengalami penurunan dimana menurut penjelasan pengelola TNGGP,
penurunan ini disebabkan oleh faktor banyaknya bencana alam yang terjadi di tahun
2017, sehingga berdampak pada penurunan PNBP khususnya dari pendakian.
Sedangkan realisasi PNBP di tahun 2018 meningkat signifikan sebesar 119,24 persen.
Pendapatan terbesar berasal dari kegiatan rekreasi dan pendakian. Kenaikan
pendapatan signifikan di tahun 2018 dipengaruhi adanya obyek wisata baru yaitu
jembatan Situ Gunung di Sukabumi. Pendapatan lain yang menjadi sumber penerimaan
PNBP berasal dari ijin jasa wisata, kemah, sewa bangunan, canopy trail, video
komersial, dan penelitian.
Sebagai catatan, bahwa ada perbedaan data realisasi PNBP antara data yang disajikan
di Laporan Kinerja TNGGP dengan data yang berasal dari Ditjen KSDAE, dimana
data di Laporan Kinerja nilainya lebih besar dari data Ditjen KSDAE.
b. Kinerja Keuangan sehat. b.2 Adanya rasio realisasi atau proyeksi belanja pegawai dengan
PNBP paling kurang tidak meningkat
Rasio realisasi belanja pegawai dengan PNBP di tahun 2016-2018 dapat dilihat pada
tabel berikut ini.
Tabel 13. Realisasi PNBP dan Realisasi Belanja Pegawai TNGGP
Tahun Realisasi PNBP Realisasi Belanja
Pegawai Rasio (%)
2016 3.621.891.500 13.899.000.000 384
2017 2.256.705.500 13.442.000.000 596
2018 4.947.696.500 14.584.000.000 295
Sumber: Data Ditjen KSDAE dan Data TNGGP (diolah)
Berdasarkan data di atas, TNGGP memiliki rasio realisasi belanja pegawai dengan
PNBP yang berfluktuasi. Namun secara umum, realisasi belanja pegawai jauh lebih
tinggi dibandingkan PNBP (PNBP rendah dan belum bisa digunakan untuk memenuhi
kebutuhan belanja pegawai).
Data realisasi rasio keuangan TNGGP periode 2016-2018 dalam bentuk rasio
realisasi PNBP dengan realisasi belanja dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 14. Tabel Realisasi PNBP dan Realisasi Belanja TNGGP
Tahun Realisasi PNBP Realisasi Belanja Rasio (%)
2016 3.621.891.500 23.464.370.000 15
2017 2.256.705.500 33.864.205.000 7
2018 4.947.696.500 25.789.384.000 19
Sumber: Data Ditjen KSDAE dan Laporan Kinerja TNGGP
b. Kinerja Keuangan sehat. b.3 Adanya data realisasi atau proyeksi rasio keuangan.
69
Dari tabel di atas, terlihat bahwa tren rasio realisasi PNBP dengan realisasi belanja di
tahun 2016-2018 terlihat naik turun (belum stabil).Selain itu,, rasio realisasi PNBP
dengan realisasi belanja terlihat rendah yang mengindikasikan bahwa kontribusi PNBP
dalam memenuhi kebutuhan belanja masih minim. Sebagai catatan, bahwa data yang
disajikan di tahun 2018 dalam tabel di atas adalah data yang tidak memasukkan
besaran alokasi yang berasal dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp
25 miliar.
2.2.2.2. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
a. Kinerja pelayanan umum
layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya
melalui penetapan sebagai
BLU.
a.1 indeks kepuasan masyarakat, sebagaimana diatur dalam
peraturan menteri yang bertanggung jawab di bidang
pendayagunaan aparatur negara dan reformasi
birokrasi mengenai pedoman umum penyusunan
indeks kepuasan masyarakat
Penilaian kepuasan pengunjung kawasan telah direncanakan akan dilakukan oleh
pengelola TNGHS, namun belum terealisasi. Sebagai unit layanan yang menjadi
tempat kunjungan masyarakat terhadap keberagaman ekosistem yang dimiliki. Dalam
tiga tahun terakhir (2016-2018) kunjungan wisatawan nusantara mengalami kenaikan
dari 131.073 orang sampai 193.033 orang. Namun hingga hingga saat ini, TNGHS
belum melakukan penilaian terhadap hasil kinerja layanan melalui kepuasaan
masyarakat. Pengelola TNGHS menjelaskan bahwa penilaian kepuasan pengunjung
belum dilakukan karena faktor kesibukan pegawai TNGHS.
a. Kinerja pelayanan umum
layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya
melalui penetapan sebagai
BLU.
a.2 peluang peningkatan kinerja pelayanan
Saat ini, setiap tahunnya, kinerja TNGHS dinilai dari perbandingan antara realisasi
dengan target Rencana Kerja (Renja) yang merupakan pelaksanaan dari Renstra
TNGHS 2015-2019. Sedangnya Renstra TN disusun berdasarkan pada RPTN dan
Renstra Ditjen KSDAE 2015-2019. Kinerja kegiatan TNGHS berdasarkan laporan
capaian kinerja 2015-2018, mengalami penurunan, dimana pada tahun 2017, TNGHS
mengalami penurunan persentase penyelesaian kinerja dari yang sebelumnya 135%
pada Tahun 2016 menjadi 122,36%. Di tahun 2018, penilaian kinerja turun mencapai
20,9 poin dibanding tahun 2017, hal ini disebabkan karena kecilnya persentase pada
target dua IKK, yaitu pemulihan ekosistem (17,78 %) dan peningkatan persentase
jumlah populasi tiga satwa kunci (39 %). Kinerja TNGHS disajikan dalam grafik
berikut ini.
70
Grafik 2. Penilaian Kinerja 2016-2018
Sumber: Laporan Kinerja TN-GHS 2018 (diolah)
Di sisi lain, TNGHS tahun 2018 menerima mandat KSDAE menjadi role model untuk
dua tema, yaitu role model penanganan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) dan
pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di kawasan eks Perum Perhutani.
Adapun capaian yang dicapai oleh role model penanganan PETI adalah sebesar 100% untuk pencapaian kinerja dan sebesar 99,61 untuk capaian realisasi anggarannya.
Sementara itu, pada role model pengelolaan HHBK di kawasan eks Perum Perhutani,
TNGHS berhasil mencapai capaian kinerja sebesar 59,5% dan capaian realisasi
anggaran sebesar 99,89% (Laporan Kinerja TNGHS 2018).
Pada hasil pengkajian efektifitas pengelolaan kawasan berdasarkan penilaian
Management Efectiveness Tracking Tool (METT), TNGHS mendapatkan nilai 77 yang
menunjukkan TNGHS dikelola secara efektif.
Namun, TNGGP belum memilki Standar Pelayanan Minimum(SPM), sehingga data
capaian SPM belum tersedia.
a. Kinerja pelayanan umum
layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya
melalui penetapan sebagai
BLU
a.3 peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ada
kondusif atau mendukung bagi peluang peningkatan kinerja
layanan,
Peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait konservasi dan pengelolaan TN
sangat mendukung bagi peluang peningkatan kinerja layanan TNGGP, terutama:
a. UU No 5 Tahun 1990 mendefinisikan Taman Nasional kawasan pelestarian
alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Dengan demikian,
pengembangan pariwisata dan rekreasi menjadi salah satu tujuan pemanfaatan
Taman Nasional.
b. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur bahwa
pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan
kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman
nasional.
c. PP No. 28 Tahun 2011 jo PP Nomor 108 Tahun 2015 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, pasal 35, yang
menjelaskan bahwa Taman Nasional dapat dimanfaatkan untuk kegiatan: (a)
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; (b). pendidikan dan
1.35 1.22361.0146
0%
50%
100%
150%
2016 2017 2018
Penilaian Kinerja
71
peningkatan kesadartahuan konservasi alam; (c) penyimpanan dan/atau
penyerapan karbon, pemanfaatan air, energi air, angin, panas matahari, panas
bumi, dan wisata alam; (d) pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; (e)
pemanfaatan sumber Plasma Nutfah untuk penunjang budidaya; dan (f)
pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.
a. Kinerja pelayanan umum
layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya
melalui penetapan sebagai
BLU.
a.4 profesionalitas SDM
Pegawai TNGHS pada Desember 2018 berjumlah 142 orang, terdiri dari PNS 88
orang dan sisanya non PNS. Komposisi tenaga struktural dan fungsional umum
sebanyak 21 orang, tenaga fungsional 67 orang yang terdiri dari polisi hutan 41 orang,
PEH sebanyak 17 orang dan Penyuluh 9 orang. Sementara sebanyak 54 orang adalah
tenaga honorer dan kontrak. Tingkat pendidikan pegawai di TNGHS sebagaimana
berikut:
Tabel 15. Komposisi, Jumlah, dan Tingkat Pendidikan Pegawai
Uraian
Pendidikan
Jumlah S3 S2
S1 DIII SLTA SLTP SD
K NK K NK K NK
Struktur dan
Fungsional
Umum
1 5 20 12 12 4 9 61 7 10 142
Sumber: Laporan Kinerja TN-GHS 2018
Penempatan pegawai berdasarkan tempat kerja adalah 46 orang atau 32,39% di
kantor balai; di Seksi Pengelola Taman Nasional Wilayah (SPTNW) I Lebak sebanyak 25 orang atau 17,61%; di SPTNW II Bogor sebanyak 39 orang atau 27,46%; dan di
SPTNW II, dan SPTNW III Sukabumi sebanyak 32 orang atau 22,54%. Dalam upaya
menjaga profesionalitas pegawai dalam menjalankan tugasnya, maka TNGHS
menetapkan 11 (Standard Operating Procedure/SOP) pada layanan yang diberikan.
Deskripsi mengenai SOP yang sudah dimiliki oleh TNGHS akan disampaikan pada
pembahasan persyaratan administasi.
Dalam upaya mencapai target kinerja, pengelola TNGHS menerapkan
penandatanganan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) kepada seluruh pegawai. SKP ini
akan dievaluasi di akhir tahun oleh kepala balai. Selain itu, upaya lain dalam
meningkatkan kinerja pegawai, TNGHS juga menerapkan e-kinerja sebagai bentuk laporan harian pegawai. SKP menjadi alat untuk melihat kinerja dari masing-masing
pegawai TN. Dalam SKP juga memuat kolom penilaian pimpinan/atasan pegawai yang
dinilai. Target kinerja layanan bagi kehati, ekosistem dan masyarakat menjadi
indikator kinerja bagi pengelola TNGHS, yang selanjutnya diturunkan ke SKP masing-
masing pegawai TN. Melalui penerapan e-kinerja dan SKP pengelola memberikan
reward kepada pegawai.
Hal ini dilakukan untuk memotivasi pegawai mencapai target kinerja yang telah
ditetapkan.
Peluang peningkatan kinerja jika bertransformasi status menjadi BLU cukup besar,
yaitu dengan mengoptimalkan potensi kawasan sebagai termuat di dalam RPTN
72
TNGHS. Khusus untuk peningkatan layanan jasa wisata, peluang peningkatan kinerja
dapat diarahkan pada peningkatan layanan kepada pengunjung (baik pendaki maupun
pengunjung yang melakukan rekreasi).
b. Kinerja Keuangan sehat
b.1 Adanya peningkatan realisasi PNBP dalam dua tahun terakhir
atau proyeksi PNBP lima tahun ke depan
Realisasi penerimaan PNBP selama tiga tahun terakhir mengalami peningkatan rata-
rata 11,88%. Pada tahun 2016, penerimaan PNBP sebesar Rp.1.583.856.300, atau
meningkat 10,27% dari tahun 2015. Pada tahun 2017 penerimaan sebesar
Rp.1.771.267.500, atau meningkat 11,83% dari sebelumnya. Berikut adalah tabel
realisasi penerimaan TNGHS.
Tabel 16. Penerimaan PNBP TNGHS 2016-2019
Tahun Realisasi Peningkatan
2016 1.583.856.300 10,27%
2017 1.771.267.500 11,83%
2018 2.082.133.500 17,55%
Sumber: Laporan Kinerja TNGHS 2018
Sumber penerimaan terbesar PNBP berasal dari tiket masuk rekreasi, pendakian,
berkemah, parkir kendaraan, penelitian dan izin usaha jasa wisata. Obyek wisata yang
berkontribusi terhadap PNBP diantaranya Kawah Ratu, Curug Nangka, Pusat Suaka
Satwa Elang Jawa di Loji, Bumi Perkemahan Sukamantri, Gunung Bunder dan Cikaniki.
Peluang pendapatan PNBP semakin besar bila dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan nusantara yang meningkat dalam tiga tahun terakhir, meski terjadi fluktuasi jumlah
kunjungan wisatawan mancanegara.
b. Kinerja Keuangan sehat. b.2 Adanya rasio realisasi atau proyeksi belanja pegawai dengan
PNBP paling kurang tidak meningkat,
Rasio realisasi belanja pegawai dengan PNBP di tahun 2016-2018 dapat dilihat pada
tabel berikut ini.
Tabel 17. Tabel Realisasi PNBP dan Realisasi Belanja Pegawai TNGGP
Tahun Realisasi PNBP Realisasi Belanja
Pegawai
Rasio
(%)
2016 1.583.856.300 9.704.156.199 16,3
2017 1.771.267.500 9.389.544.047 18,9
2018 2.082.133.500 9.912.150.369 21,0
Sumber: Laporan Kinerja TNGHS (diolah)
Berdasarkan data di atas, TNGHS memiliki rasio realisasi PNBP dengan belanja
pegawasi yang semakin meningkat karena kenaikan belanja pegawai lebih tinggi
dibandingkan kenaikan PNBP. Namun secara umum, realisasi belanja pegawai jauh
lebih tinggi dibandingkan PNBP (PNBP rendah dan belum bisa digunakan untuk
memenuhi kebutuhan belanja pegawai).
73
b. Kinerja Keuangan sehat. b.3 Adanya data realisasi atau proyeksi rasio keuangan.
Kinerja keuangan TNGHS jika dilihat dari laporan realisasi keuangan selama 2016-
2018 mengalami kenaikan dalam merealisasikan anggaran. Selama tiga tahun rata-rata
kenaikan mencapai 98,52%. Kondisi ini cukup baik bila dilihat dari penyerapan
TNGHS dalam mengoptimalkan kegiatan yang telah direncanakan. Adapun gambaran
mengenai realisasi anggaran sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel 18. Realisasi Anggaran 2016-2018
Tahun Anggaran Realisasi
Rp %
2016 Rp.17.525.733.000 17.450.578.455 99,57
2017 Rp.25.625.300.000 24.861.622.025 97,02
2018 Rp.26.421.300.000 26.187.634.253 99,12
Sumber: Laporan Kinerja TNGHS 2018
Sedangkan kinerja keuangan dalam bentuk rasio realisasi PNBP dengan realisasi
belanja dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 19. Realisasi PNBP dan Realisasi Belanja TNGGP
Tahun Realisasi PNBP Realisasi Belanja Rasio
2016 1.583.856.300 17.450.578.455 9,1
2017 1.771.267.500 24.861.622.025 7,1
2018 2.082.133.500 26.187.634.253 8,0
Sumber: Laporan Kinerja TNGHS 2018
Dari tabel diatas, terlihat bahwa tren rasio realisasi PNBP dengan realisasi belanja di
tahun 2016-2018 terlihat naik turun (belum stabil). Selain itu,, rasio realisasi PNBP
dengan realisasi belanja terlihat rendah yang mengindikasikan bahwa kontribusi PNBP
dalam memenuhi kebutuhan belanja masih minim.
2.2.2.3. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS)
a. Kinerja pelayanan umum
layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya
melalui penetapan sebagai
BLU.
a.1 indeks kepuasan masyarakat, sebagaimana diatur dalam
peraturan menteri yang bertanggung jawab di bidang
pendayagunaan aparatur negara dan reformasi
birokrasi mengenai pedoman umum penyusunan
indeks kepuasan masyarakat
Penilaian kepuasan masyarakat pengunjung telah dilakukan, namun belum optimal.
Selama tiga tahun terakhir (2016-2018) kunjungan masyarakat mengalami peningkatan
yang cukup signifikan. Tahun 2018, jumlah kunjungan wisatawan nusantara mencapai
800.130 orang, atau meningkat 28,24% dari tahun sebelumnya. Secara keseluruhan
wisatawan nusantara yang datang melebihi target yang telah ditetapkan oleh IKK yaitu
sebanyak 550.000 wisatawan. Dalam meningkatkan kinerja layanan, menurut
pengelola, TNBTS secara rutin melakukan evaluasi kepuasan masyarakat terhadap
layanan pendakian. Evaluasi dilakukan setelah pengunjung melakukan pendakian.
74
Metode yang digunakan adalah accidental sampling, yaitu pengunjung ditanya
mengenai pendapatnya mengenai pelayanan pendakian setelah selesai melakukan
pendakian. Hasilnya masukan bagi pengelola TN untuk peningkatan kinerja layanan
TNBTS kepada masyarakat. Penilaian yang dilakukan masih terbatas pada satu
kegiatan yang baru dilakukan oleh pengelola, yaitu pendakian. Namun demikian
penilaian kepuasan yang telah dilakukan belum sesuai dengan survei kepuasan
masyarakat sebagaimana diatur dalam Permenpan RB No 14 Tahun 2017 tentang
Pedoman Penyusunan Survei Kepuasan Masyarakat.
a. Kinerja pelayanan umum
layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya
melalui penetapan sebagai
BLU
a.2 peluang peningkatan kinerja pelayanan
Saat ini, setiap tahunnya, kinerja TNBTS dinilai dari perbandingan antara realisasi
dengan target Rencana Kerja (Renja) yang merupakan pelaksanaan dari Renstra
TNBTS 2015-2019. Sedangnya Renstra TN disusun berdasarkan pada RPTN dan
Renstra Ditjen KSDAE 2015-2019. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap kinerja
yang dimandatkan dalam tiga tahun terakhir, maka pencapaian target Indikator
Kinerja Kegiatan TNBTS berada dalam kategori sangat baik atau sangat berhasil.
Walaupun di tahun 2017 terjadi penurunan, namun penurunan ini masih di atas 100%
atau 102,02%. Sementara pada tahun 2018 sebesar 125,26% atau naik melampaui
penilaian pada tahun 2016 sebesar 112,53%. Dalam upaya meningkatkan kinerja
kegiatan organisasi terhadap pencapaian target kinerja kegiatan, maka TNBTS
memberikan penugasan kepada pegawai, baik struktural maupun fungsional
berdasarkan target KSDAE yang disesuaikan dengan posisi pegawai.
Sementara itu, berdasarkan hasil penilaian terhadap efektivitas pengelolaan kawasan,
TNBTS mendapatkan skor penilaian terakhir, yaitu pada tahun 2017 adalah 76%.
Penilaian ini menggunakan METT (Management Effectiveness Tracking Tool). Skor
penilaian yang diperoleh melebihi target yang dicanangkan dalam Renstra 2015-2019
sebesar 71%. Hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan di
TNBTS cukup baik atau efektif3. Kendati demikian, masih ada catatan untuk
ditindaklanjuti oleh TN-BTS yaitu masih adanya komplain dari masyarakat; belum
adanya pedoman pemanfaatan untuk zona tradisional; hasil penelitian yang belum
berdampak bagi pengelolaan kawasan; perlunya peningkatan kapasitas teknis dan non
teknis bagi SDM di TNBTS; dan belum optimalnya peran masyarakat dalam mengelola kawasan. Selain itu, TNBTS juga belum memilki Standar Pelayanan Minimum(SPM),
sehingga data capaian SPM belum tersedia.
Peluang peningkatan kinerja jika bertransformasi status menjadi BLU cukup besar,
yaitu dengan mengoptimalkan potensi kawasan sebagai termuat di dalam RPTN
TNBTS. Khusus untuk peningkatan layanan jasa wisata, peluang peningkatan kinerja
dapat diarahkan pada peningkatan layanan kepada pengunjung (baik pendaki maupun
pengunjung yang melakukan rekreasi) dann mengurangi dampak negatif mass tourism
3 Kategorisasi efektivitas pengelolaan, Hal. 22, Pedoman Penilaian Efektivitas Pengelolaan
Kawasan Konservasi di Indonesia, KSDAE (2017)
75
terhadap kelestarian kawasan.
a. Kinerja pelayanan umum
layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya
melalui penetapan sebagai
BLU.
a.3 peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ada
kondusif atau mendukung bagi peluang peningkatan kinerja
layanan,
Peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait konservasi dan pengelolaan TN
sangat mendukung bagi peluang peningkatan kinerja layanan TNBTS, terutama:
a. UU No 5 Tahun 1990 mendefinisikan Taman Nasional kawasan pelestarian
alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Dengan demikian,
pengembangan pariwisata dan rekreasi menjadi salah satu tujuan pemanfaatan
Taman Nasional.
b. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur bahwa
pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan
kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman
nasional.
c. PP No. 28 Tahun 2011 jo PP Nomor 108 Tahun 2015 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, pasal 35, yang
menjelaskan bahwa Taman Nasional dapat dimanfaatkan untuk kegiatan: (a)
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; (b). pendidikan dan
peningkatan kesadartahuan konservasi alam; (c) penyimpanan dan/atau
penyerapan karbon, pemanfaatan air, energi air, angin, panas matahari, panas
bumi, dan wisata alam; (d) pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; (e)
pemanfaatan sumber Plasma Nutfah untuk penunjang budidaya; dan (f)
pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.
a. Kinerja pelayanan umum
layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya
melalui penetapan sebagai
BLU.
a.4 profesionalitas SDM.
Saat ini, TNBTS memiliki pegawai sebanyak 173 orang terdiri dari 102 orang pegawai
ASN dan 71 orang tenaga kontrak (2018). Sebaran pegawainya yaitu 58 orang di
kantor Balai Besar; 69 orang di Bidang PTN Wilayah 1 Probolinggo, Malang, dan
Pasuruan; serta 46 orang di Bidang PTN Wilayah 2 Lumajang. Pegawai ASN di
TNBTS umumnya adalah lulusan SMA sebanyak 42 orang (41%), S1 sebanyak 32
orang (31%) dan S2 sebanyak 11 orang (11%). Adapun jumlah pegawai berdasarkan
pendidikan sebagaimana pada tabel di bawah ini:
Tabel 20. Komposisi, Jumlah, dan Tingkat Pendidikan Pegawai
Uraian Pendidikan
Jumlah S2 S1 DIII SLTA SLTP SD
Struktur dan Fungsional
Umum 11 32 7 42 6 4 102
Sumber: Laporan Kinerja TNBTS, 2018
76
Sebagaimana dua TN di atas. TNBTS juga menerapkan dokumen kinerja pegawai
yaitu Sasaran Kinerja Pegawai (SKP). Sebagai dokumen evaluasi pegawai, dokumen
tersebut akan menjadi alat dalam menilai kinerja pegawai. Penilaian tersebut akan
menentukan pemberian reward atau punishment kepada pegawai.
b. Kinerja Keuangan sehat b.1 Adanya peningkatan realisasi PNBP dalam dua tahun terakhir
atau proyeksi PNBP lima tahun ke depan
Bila dikaitkan dengan penerimaan PNBP, kinerja TNBTS mengalami peningkatan
dalam tiga tahun terakhir (2016-2018). Peningkatan PNBP ini diperoleh dari
optimalisasi zona pemanfaatan dengan luas 689,64 ha atau 1,37% dari total luas TN-
BTS. Sumber PNBP terbesar saat ini berasal dari pemanfaatan jasa lingkungan yaitu
wisata alam dengan objek wisata unggulan antara lain puncak gunung, yaitu Gunung
Bromo, Gunung Penanjakan, Cemoro Lawang, Laut Pasir, dan pendakian Gunung
Semeru. Jumlah PNBP yang disetorkan terus meningkat dari Rp 18,43 miliar pada
tahun 2016, naik menjadi Rp 21,99 miliar (2017), dan Rp 26,17 miliar (2018).
Prosentase kenaikan PNBP rata-rata per tahun berada di atas 19%. Kenaikan PNBP
ini dipengaruhi oleh semakin meningkatnya pengunjung dari dalam dan luar negeri
yang mencapai rata-rata 652.781 wisatawan pertahun.
Tabel 21. Pendapatan dari PNBP di TNBTS Tahun 2016-2018
Tahun PNBP Pertumbuhan (%)
2016 18,438,269,205 21,54%
2017 21,998,788,214 19,31%
2018 26,179,122,649 19,00%
Sumber: Laporan Kinerja TNBTS Tahun 2016,2017,2018
Pendapatan dari PNBP tidak hanya meningkat setiap tahunnya, namun juga melampaui
target yang ditetapkan dalam Rencana Kerja (Renja) TNBTS. Perbandingan antara
target dengan realisasi PNBP dalam dua tahun terakhir yaitu tahun 2017 mencapai
135,76% dan meningkat sebesar 156,19% di tahun 2018. Sebagai catatan, bahwa
kenaikan jumlah pengunjung yang signifikan telah menjadikan TNBTS mengalami
problem terkait mass tourism yang perlu segera diatasi agar fungsi perlindungan dan
pengawetan tetap berjalan secara seimbang dengan fungsi pemanfatan jasa wisata
alam.
b. Kinerja Keuangan sehat.
b.2 Adanya rasio realisasi atau proyeksi belanja pegawai dengan
PNBP paling kurang tidak meningkat,
Terkait tren rasio realisasi belanja pegawai dengan PNBP, dalam tiga tahun terakhir
(2016-2018), menurun sebagaimana disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 22. Realisasi PNBP dan Realisasi Belanja Pegawai TNBTS
Tahun Realisasi PNBP Realisasi Belanja Pegawai Rasio (%)
2016 18.310.000.000 11.392.000.000 62
2017 21.999.000.000 11.210.000.000 51
2018 26.179.000.000 11.554.000.000 44
Sumber: Laporan Kinerja TNBTS (diolah)
77
Berdasarkan data di atas, di periode tahun 2016 -2018, rasio realisasi belanja
pegawai dengan PNBP mengalami penurunan yang disebabkan besaran belanja
pegawai relatif tetap sedangkan besaran PNBP mengalami peningkatan tiap tahun.
Secara umum, realisasi belanja pegawai terhadap PNBP di bawah 100% yang
menunjukkan bahwa besaran PNBP yang ada mampu memenuhi kebutuhan belanja
pegawai. Dengan demikian,kinerja keuangan terkait rasio realisasi belanja pegawai
terhadap PNBP sangat baik.
b. Kinerja Keuangan sehat. b.3 Adanya data realisasi atau proyeksi rasio keuangan.
Selain meningkatnya PNBP dalam tiga tahun terakhir, Balai Besar TNBTS juga dapat
menyerap anggaran yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui DIPA Anggaran
Ditjen KSDAE dengan kategori baik. Sebagai contoh, realisasi anggaran TNBTS pada
tahun 2018 dari pagu sebesar Rp 31,639 Miliar dapat terserap sebesar Rp 30,899
Miliar atau 97,66% sebagaimana dapat dilihat dalam grafik berikut ini
Grafik 3. Realisasi Anggaran TNBTS Tahun 2016-2018
Sumber: Laporan Kinerja TNBTS (diolah)
Sedangkan kinerja keuangan dalam bentuk rasio realisasi PNBP dengan realisasi
belanja dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 23. Realisasi PNBP dan Realisasi Belanja TNBTS
Tahun Realisasi PNBP Total Belanja Rasio (%)
2016 18.310.000.000 18.438.000.000 99
2017 21.999.000.000 39.439.000.000 56
2018 26.179.000.000 30.898.000.000 85
Sumber: Laporan Kinerja
Dari tabel diatas, terlihat bahwa tren rasio realisasi PNBP dengan realisasi belanja di
tahun 2016-2018 terlihat naik turun .Selain itu,, rasio realisasi PNBP dengan realisasi
belanja terlihat tinggi yang mengindikasikan bahwa kontribusi PNBP dalam memenuhi
kebutuhan belanja cukup signifikan.
2.2.3. Persyaratan Administratif
Persyaratan administratif untuk menjadi BLU berdasarkan Pasal 8 PMK No.180
Tahun 2016 tentang Penetapan dan Pencabutan Penerapan Keuangan BLU pada
Satuan Kerja Instansi Pemerintah mencakup: (a) pernyataan kesanggupan untuk
18380.067
41299.2
31639.182
18309.63048
39438.56059
30897.96982
0.996167777
0.954947326
0.976572966
94.00%
95.00%
96.00%
97.00%
98.00%
99.00%
100.00%
-
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
45,000
2016 2017 2018
Mil
lio
ns
Realisasi Anggaran TNBTS Tahun 2016-2018
Anggaran Realisasi %
78
meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan dan masyarakat; (b) pola tata kelola; (c)
rencana strategis bisnis; (d) laporan keuangan pokok; (e) standar pelayanan minimum;
dan (f) laporan audit atau pernyataan bersedia diaudit secara independen. Pernyataan
kesanggupan satuan kerja untuk menjadi BLU tersebut akan dilihat dari tatakelola
organisasi dan keuangan serta rencana bisnis di masa mendatang. Detail persyaratan
administratif dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 24. Detil Persyaratan Administratif
Persyaratan administratif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan
dokumen:
a. Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi
masyarakat;
b. Pola tata kelola;
c. Rencana strategis bisnis;
d. Laporan keuangan pokok;
e. Standar pelayanan minimum; dan
f. Laporan audit terakhir atau peryataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Kriteria Persyaratan
Administratif Deskripsi
a Pernyataan kesanggupan
untuk meningkatkan kinerja
pelayanan, keuangan, dan
manfaat bagi masyarakat
Dibuktikan dengan menyertakan lembar pernyataan
kesanggupan sesuai format PMK 180/2016
b Pola tata kelola Peraturan internal yang antara lain menetapkan organisasi
dan tata laksana, akuntabilitas, dan transparansi.
b.1 Peraturan internal
terkait organisasi dan
tata laksana
▪ memuat struktur organisasi, serta pengangkatan dan
pemberhentian pejabat pengelola dan pegawai BLU.
▪ Struktur organisasi berpedoman pada ketentuan yang
ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di
bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi
birokrasi.
▪ pengangkatan dan pemberhentian pejabat pengelola dan
pegawai BLU yang diatur dalam peraturan internal paling
sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. pengangkatan pejabat pengelola mempertimbangkan
hasil penilaian atas kualifikasi, kompetensi, dan kinerja
dalam bentuk uji kelayakan dan kepatutan oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga;
b. pengangkatan pejabat keuangan BLU dilakukan setelah
mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan;
c. pengangkatan dan pemberhentian pejabat pengelola
dan pegawai BLU yang berasal dari pegawai negeri
sipil mengikuti ketentuan peraturan perundang
undangan di bidang kepegawaian;
d. jumlah dan komposisi pegawai BLU dari tenaga
profesional non pegawai negeri sipil ditetapkan setelah
mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan;
e. pejabat pengelola dari tenaga profesional non pegawai
negeri sipil diangkat dengan mekanisme kontrak untuk
masa jabatan paling lama 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan; dan
79
f. pejabat pengelola dari tenaga profesional non pegawai
negeri sipil dapat diberhentikan sewaktu waktu oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga atas inisiatif sendiri
dan/atau atas usulan Menteri Keuangan.
b.2 Akuntabilitas PMK 180/2016 tidak secara spesifik mengatur pola tata
kelola terkait akuntabilitas ini. Dengan demikian, akuntabilitas
yang dimaksud mengacu pada prinsip-prinsip tata kelola yang
baik yang diatur dalam regulasi perundang-undangan yang
ada, yang terdiri dari akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas
kinerja.
b.3 Transparansi PMK 180/2016 tidak secara spesifik mengatur pola tata
kelola terkait akuntabilitas ini. Dengan demikian, transparansi
yang dimaksud mengacu pada perundang-undangan yang ada,
yaitu UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik.
c Rencana strategis bisnis Rencana strategis bisnis meliputi:
a. visi yaitu suatu gambaran yang menantang tentang
keadaan masa depan yang memuat cita dan citra yang
ingin diwujudkan;
b. misi yaitu sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan
sesuai visi yang ditetapkan, agar tujuan organisasi dapat
terlaksana dan berhasil dengan baik;
c. program strategis untuk 5 (lima) tahun ke depan, yang
terdiri dari program, kegiatan, serta hasil/keluaran yang
terukur meliputi aspek pelayanan, keuangan, sumber
daya manusia, serta sarana dan prasarana dengan
memperhitungkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman/kendala yang ada atau mungkin timbul; dan
d. capaian kinerja yang terukur untuk tahun berjalan dan 2
(dua) tahun sebelumnya, yang meliputi:
▪ hasil/keluaran atas program/kegiatan yang dicapai,
baik dari aspek keuangan (realisasi/proyeksi),
pelayanan, sumber daya manusia, serta sarana dan
prasarana, disertai dengan analisis atas faktor-faktor
internal dan eksternal yang mempengaruhi capaian
kinerja.
▪ aspek keuangan (realisasi/proyeksi) pendapatan dan
belanja yang berasal dari PNBP dan/atau Rupiah
Murni dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara serta indikasi tarif layanan.
d Laporan keuangan pokok Laporan keuangan pokok terdiri atas:
a. laporan realisasi anggaran, yaitu laporan yang menyajikan
ikhtisar sumber, alokasi, dan pemakaian sumber daya
keuangan yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah,
yang menggambarkan perbandingan antara anggaran dan
realisasinya dalam satu periode pelaporan;
b. neraca, yaitu laporan yang menggambarkan posisi
keuangan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada
tanggal tertentu; dan
c. catatan atas laporan keuangan, yaitu dokumen yang
menyajikan informasi tentang kebijakan akuntansi,
penjelasan per pos laporan keuangan, baik berupa
penjelasan naratif, rincian, dan/atau grafik dari angka
yang disajikan dalam laporan realisasi anggaran dan
neraca, disertai informasi mengenai kinerja keuangan.
80
d. Laporan keuangan pokok yang dimaksud merupakan
laporan keuangan tahun terakhir sebelum pengusulan
untuk menerapkan PPK- BLU dan tahun berjalan.
e. Laporan keuangan disusun berdasarkan Standar
Akuntansi Pemerintahan.
e Standar pelayanan minimum a. Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud
merupakan ukuran pelayanan yang harus dipenuhi oleh
BLU dalam memberikan pelayanan umum kepada
masyarakat.
b. Standar pelayanan minimum disusun dengan
mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan, dan
kesetaraan layanan serta kemudahan memperoleh
layanan.
c. Standar pelayanan minimum bersifat sederhana, konkrit,
mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat
dipertanggungjawabkan, serta mempunyai batas waktu
pencapaian.
d. Standar pelayanan minimum disesuaikan dengan
perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan
keuangan serta kemampuan kelembagaan dan sumber
daya manusia BLU.
e. Penyusunan standar pelayanan minimum berpedoman
pada standar pelayanan minimum Kementerian
Negara/Lembaga/industri sejenis dan/atau peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai standar
pelayanan minimum.
f. Standar pelayanan minimum ditetapkan oleh Menteri/
Pimpinan Lembaga.
f Laporan audit terakhir atau
pernyataan bersedia untuk
diaudit secara independen
Dibuktikan dengan melampirkan laporan audit terakhir atau
pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Pada persyaratan administrasi, sebagai Unit Pengelola Teknis (UPT) di bawah Ditjen
KSDAE KLHK, maka kebijakan yang berkaitan dengan keorganisasian dilakukan oleh
KLHK dan Ditjen KSDAE. Secara umum, kebijakan yang menyangkut tata kelola TN
akan berkaitan dengan kebijakan Menteri LHK dan Ditjen KSDAE. Misalnya kebijakan
terkait organisasi dan tata laksana TN seperti struktur organisasi, prosedur kerja,
pengelompokkan fungsi yang logis, ketersediaan dan pengembangan SDM serta
efisiensi biaya diatur melalui Peraturan Menteri LHK Nomor
P.7/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana
Teknis Taman Nasional dan Peraturan Menteri LHK Nomor P.25./MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan
Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Fungsional Binaan Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan melalui Penyesuaian (inpassing). Sementara kebijakan teknis diatur
oleh Ditjen KSDAE seperti inventarisasi potensi kawasan, dan kemitraan kawasan
konservasi.
Sebagai Satker KLHK, tiga TN pada setiap tahunnya menyusun laporan keuangan TN
dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan PP No. 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan serta kaidah-
kaidah pengelolaan keuangan yang sehat dalam pemerintahan. Selain itu, ketiga TN
yang menjadi lokasi studi juga diaudit laporan keuangannya oleh Inspektorat Jenderal
KLHK.
81
Gambaran pemenuhan persyaratan administratif di tiga TN lokasi studi dijelaskan
berikut ini.
2.2.3.1. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
a. Pernyataan kesanggupan
untuk meningkatkan
kinerja pelayanan,
keuangan, dan manfaat
bagi masyarakat;
Dibuktikan dengan menyertakan lembar pernyataan kesanggupan
sesuai format PMK 180/2016
Komitmen Pengelola TNGGP untuk meningkatkan kinerja layanan dan keuangan.
Dalam rangka persiapan menjadi BLU, secara umum Pengelola TNGGP sudah
menyatakan komitmennya dan sanggup untuk meningkatkan kinerja layanan dan
keuangan. Hal ini disampaikan, karena Pengelola TNGGP merasa mampu
meningkatkan kedua hal itu. Komitmen dalam meningkatkan kinerja layanan yang saat
ini dilakukan oleh pengelola TNGGP adalah dalam mencapai indikator kinerja yang
ditargetkan.
b. Pola tata kelola
Peraturan internal yang antara lain menetapkan
organisasi dan tata laksana, akuntabilitas, dan
transparansi.
b.1 Peraturan internal
terkait organisasi
dan tata laksana
▪ memuat struktur organisasi, serta pengangkatan dan
pemberhentian pejabat pengelola dan pegawai BLU.
Pola tata kelola TNGGP, sebagaimana disampaikan pada bagian pendahuluan di atas,
bahwa terkait organisasi tata kelola diatur melalui kebijakan dari KLHK dan Ditjen
KSDAE. Berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor
P.7/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tanggal 29 Januari 2016 menetapkan TNGGP
sebagai Balai Besar termasuk Tipe A setingkat eselon II b. Struktur organisasinya
terdiri atas: Kepala Balai Besar TNGGP dibantu oleh dua pejabat eselon III b yang
berkedudukan di Kantor Balai Besar, yaitu Kepala Bagian Tata Usaha dan Kepala
Bidang Teknis Konservasi; tiga Pejabat eselon IV non teknis (Kepala Sub Bagian Umum, Kepala Sub Bagian Program dan Kerjasama, serta Kepala Sub Bagian Data,
Evaluasi, Pelaporan dan Kehumasan); dan dua Pejabat eselon IV teknis (Kepala Seksi
Pemanfaatan dan Pelayanan serta Kepala Seksi Perencanaan, Perlidungan dan
Pengawetan) di bawah Bidang Teknis. Di lapangan dibantu oleh tiga Pejabat eselon III
b di wilayah yaitu Kepala Bidang Pengelolaan TN Wilayah I Cianjur, Kepala Bidang
Pengelolaan TN Wilayah II Sukabumi dan Kepala Bidang Pengelolaan TN Wilayah III
Bogor; dan dua Pejabat eselon IV sebagai Kepala Seksi untuk masing-masing bidang
wilayah. Keberadaan struktur ini telah disesuaikan dengan fungsi yang dimandatkan
kepada TNGGP.
Sedangkan peraturan internal tentang pengangkatan dan pemberhentian pejabat pengelola dan pegawai BLU belum dimiliki.Namun demikian, persyaratan ini relatif
mudah dipenuhi sepanjang sudah ada komitmen pengubahan status TN menjadi BLU.
82
Dalam pengelolaan kawasan TNGGP memiliki peraturan internal dalam bentuk
Standard Operating Procedure (SOP) seperti SOP tentang Pelayanan Pendakian
berdasarkan Surat Keputusan Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango Nomor: SK.34/11-Tu/1/2010 Tentang Perubahan Surat Keputusan Kepala
Balai Besar Nomor Sk.84/11-Tu/1/2009 Tentang Petunjuk Teknis Pelayanan
Pendakian Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan SOP tentang
Pengelolaan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol dan Stasiun Penelitian
Bodogol (SPB). Dokumen SOP lainnya yang dimiliki oleh TNGGP adalah SOP
Pengendalian Kebakaran Hutan, SOP Pemadaman Kebakaran, SOP Sistem Peringkat
Bahaya Kebakaran Hutan, SOP Penanganan Kasus Pengamanan Hutan, SOP
Pemeriksaan Kesehatan dan SOP Pelayanan Pengunjung Jembatan Situgunung.
Meski telah memiliki SOP, namun hingga saat ini, TNGGP belum menetapkan standar
pelayanan yang menjadi acuan dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
Kendati demikian, menurut pengelolanya, TNGGP sudah mendapatkan penilaian ISO
untuk pelayanan wisata alam dan ISO 14001 untuk pelayanan pengunjung.
b.2 Akuntabilitas
▪ PMK 180/2016 tidak secara spesifik mengatur pola
tata kelola terkait akuntabilitas ini. Dengan demikian,
akuntabilitas yang dimaksud mengacu pada prinsip-
prinsip tata kelola yang baik yang diatur dalam
regulasi perundang-undangan yang ada, yang terdiri
dari akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas kinerja.
Terkait akuntabilitas keuangan, TNGGP telah memiliki mekanisme pengelolaan
keuangan, namun laporan keuangan masih menginduk kepada Laporan Keuangan
Ditjen KSDAE. Sedangkan untuk akuntabilitas kinerja mekanisme yang dimilik adalah
menyusun laporan kinerja.
b.3Transparansi
▪ PMK 180/2016 tidak secara spesifik mengatur pola
tata kelola terkait akuntabilitas ini. Dengan demikian,
transparansi yang dimaksud mengacu pada
perundang-undangan yang ada, yaitu UU No 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Transparansi dapat dilihat dari penyediaan statistik TNGGP yang disajikan di dalam
website. Selain itu, data-data lainnya juga dapat diakses melalui website.
c. Rencana strategis bisnis Rencana strategis bisnis meliputi:
▪ visi
▪ misi
▪ program strategis untuk 5 (lima) tahun ke depan,
▪ capaian kinerja yang terukur untuk tahun berjalan dan
2 (dua) tahun sebelumnya,.
▪ aspek keuangan (realisasi/proyeksi)pendapatan dan
belanja yang berasal dari PNBP dan/atau Rupiah
Murni dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
serta indikasi tarif layanan.
TNGGP telah memiliki dokumen perencanaan, baik yang bersifat jangka panjang
dalam bentuk RPTN untuk jangka waktu sepuluh tahun maupun perencanaan jangka
menengah dalam bentuk Renstra TNGGP. 2015-2019 telah menggambarkan rencana
pemanfaatan fungsi TN. Dokumen perencanaan juga telah memuat komponen yang
83
diperlukan, yaitu visi, misi program strategis maupun capaian kinerja. Namun
demikian, dokumen perencanaan belum secara detail menjelaskan tentang aspek
keuangan, termasuk indikasi tarif layanan. Dengan demikian, dokumen perencanaan
yang sudah ada dapat digunakan untuk memenuhi persyaratan ini, namun perlu
dilengkapi dengan narasi aspek keuangan.
d. Laporan keuangan
pokok
▪ Laporan keuangan pokok terdiri atas: laporan
realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas laporan
keuangan yaitu dokumen yang menyajikan informasi
tentang
▪ Laporan keuangan pokok yang dimaksud merupakan
laporan keuangan tahun terakhir sebelum pengusulan
untuk menerapkan PPK- BLU dan tahun berjalan.
▪ Laporan keuangan disusun berdasarkan Standar
Akuntansi Pemerintahan.
TNGGP telah melakukan pengelolaan keuangan, namun belum menghasilkan laporan
keuangan karena laporan keuangan masih menginduk pada Laporan Keuangan Ditjen KSDAE sebagai entitas akuntansi. Untuk memenuhi persyaratan ini, laporan keuangan
TNGGP yang telah dilaporkan kepada Ditjen KSDAE perlu diolah lebih lanjut untuk
menghasilkan Laporan Keuangan TNGGP sesuai Standar Akuntansi Pemerintah perlu
disusun
e. Standar pelayanan
minimum
▪ Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud
merupakan ukuran pelayanan yang harus dipenuhi
oleh BLU dalam memberikan pelayanan umum
kepada masyarakat.
▪ Standar pelayanan minimum disusun dengan
mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan, dan
kesetaraan layanan serta kemudahan memperoleh
layanan.
Terkait dengan standar layanan minimum, saat ini TNGGP belum memilikinya.
Dengan demikian, untuk memenuhi persyaratan ini, TNGGP perlu menyusun standar
pelayanan minimum.
f. Laporan audit terakhir
atau pernyataan
bersedia untuk diaudit
secara independen.
Dibuktikan dengan melampirkan laporan audit terakhir atau
pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Terkait dengan audit independen, pengelola TNGGP juga telah menyampaikan
kesediaannya untuk diaudit oleh auditor eksternal.
2.2.3.2. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
a. Pernyataan kesanggupan
untuk meningkatkan
kinerja pelayanan,
keuangan, dan manfaat
bagi masyarakat
Dibuktikan dengan menyertakan lembar pernyataan kesanggupan
sesuai format PMK180/2016
84
Kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan dan keuangan. Ketika ditanyakan
kesiapannya untuk menjadi BLU, Pengelola TNGHS telah menyatakan kesiapannya
untuk meningkatkan kinerja pelayanannya kepada masyarakat dan kinerja
keuangannya. Penyampaian kesiapan tersebut dibarengi dengan permintaan dukungan
dari KLHK untuk peningkatan jumlah dan kompetensi SDM TNGHS dalam
mempersiapkan perubahan status menjadi BLU.
b. Pola tata kelola
Peraturan internal yang antara lain menetapkan organisasi dan tata
laksana, akuntabilitas, dan transparansi.
b.1 Peraturan internal
terkait organisasi
dan tata laksana
▪ memuat struktur organisasi, serta pengangkatan dan
pemberhentian pejabat pengelola dan pegawai BLU.
Struktur organisasi TNGHS ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor
P.7/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tanggal 29 Januari 2016 yang menetapkan TNGHS
sebagai Balai Besar Tipe A. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, Balai TNGHS
dipimpin oleh seorang Kepala Balai Taman Nasional dibantu oleh Kepala Sub Bagian
Tata Usaha serta tiga Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional di Wilayah I Kab.
Lebak, Wilayah II Kab Bogor, Wilayah III Kab Sukabumi, dan Kelompok Jabatan
Fungsional.
Sedangkan peraturan internal tentang pengangkatan dan pemberhentian pejabat
pengelola dan pegawai BLU belum dimiliki.Namun demikian, persyaratan ini relatif
mudah dipenuhi sepanjang sudah ada komitmen pengubahan status TN menjadi BLU.
Dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya, Pengelola TNGHS telah
memiliki 11 SOP pelayanan kepada masyarakat, yaitu: 1) Kegiatan Perlindungan Hutan
dan Penanggulangan Kebakaran Hutan; 2) Penggunaan dan Pengamanan Senjata Api;
3) Penggunaan Alat Komunikasi; 4) Patroli; 5) Izin Memasuki Kawasan TNGHS; 6)
Izin Pengambilan atau Penangkapan Specimen Tumbuhan Dan Satwa Liar di TNGHS;
7) Pendakian Gunung Salak Dan Kawah Ratu TNGHS; 8) Protokol Sistem
Pengelolaan Data Dan Informasi TNGHS; 9) Penyusunan Rancangan dan Laporan
Kegiatan Lingkup Balai TNGHS; 10) Tata Persuratan Dinas Balai TNGHS; dan 11)
Penggunaan dan Pengembalian Kendaraan Dinas Operasional Balai TNGHS.
Meskipun demikian, Pengelola TNGHS belum menyusun standar pelayanan bagi
masyarakat ataupun bagi kehati yang ada di kawasan. Pengelolaan kawasan selama ini
dilakukan hanya berdasarkan SOP yang ada.
b.2 Akuntabilitas
▪ PMK180/2016 tidak secara spesifik mengatur pola
tata kelola terkait akuntabilitas ini. Dengan demikian,
akuntabilitas yang dimaksud mengacu pada prinsip-
prinsip tata kelola yang baik yang diatur dalam
regulasi perundang-undangan yang ada, yang terdiri
dari akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas kinerja,
yang tercermin dari berbagai peraturan internal
(SOP)
Terkait akuntabilitas keuangan, TNGHS telah memiliki mekanisme pengelolaan
keuangan, namun laporan keuangan masih menginduk kepada Laporan Keuangan
Ditjen KSDAE. Sedangkan untuk akuntabilitas kinerja mekanisme yang dimilik adalah
menyusun laporan kinerja.
85
b.3 Transparansi
▪ PMK180/2016 tidak secara spesifik mengatur pola
tata kelola terkait akuntabilitas ini. Dengan demikian,
transparansi yang dimaksud mengacu pada
perundang-undangan yang ada, yaitu UU No 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Transparansi dapat dilihat dari penyediaan data yang disajikan di dalam website.
Sayangnya, data yang disajikan kurang update.
c. Rencana strategis bisnis Rencana strategis bisnis meliputi:
▪ visi
▪ misi
▪ program strategis untuk 5 (lima) tahun ke depan,
▪ capaian kinerja yang terukur untuk tahun berjalan dan
2 (dua) tahun sebelumnya,.
▪ aspek keuangan (realisasi/proyeksi)pendapatan dan
belanja yang berasal dari PNBP dan/atau Rupiah
Murni dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
serta indikasi tarif layanan.
TNGHS telah memiliki dokumen perencanaan, baik yang bersifat jangka panjang
dalam bentuk RPTN untuk jangka waktu sepuluh tahun maupun perencanaan jangka
menengah dalam bentuk Renstra TNGHS. Renstra 2015-2019 telah menggambarkan
rencana pemanfaatan fungsi TN. Dokumen perencanaan juga telah memuat
komponen yang diperlukan, yaitu visi, misi program strategis maupun capaian kinerja.
Namun demikian, dokumen perencanaan belum secara detail menjelaskan tentang
aspek keuangan, termasuk indikasi tarif layanan. Dengan demikian, dokumen
perencanaan yang sudah ada dapat digunakan untuk memenuhi persyaratan ini,
namun perlu dilengkapi dengan narasi aspek keuangan.
Selain itu, sebagai turunan dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), TNGHS
juga telah memiliki Master Plan Wisata Alam Tahun 2017-2026 yang berisi tematik
tentang kondisi dan pengembangan wisata, pemberdayaan masyarakat di sekitar
kawasan dan pengelolaan keanekaragaman hayati. Perencanaan wisata tersebut
diimplementasikan dengan penyusunan desain tapak di obyek wisata TNGHS melalui
pembagian ruang usaha dan ruang publik. Saat ini sudah ada 14 objek wisata yang
sudah memiliki desain tapak.
d. Laporan keuangan
pokok ▪ Laporan keuangan pokok terdiri atas: laporan realisasi
anggaran, neraca, dan catatan atas laporan keuangan
yaitu dokumen yang menyajikan informasi tentang
▪ Laporan keuangan pokok yang dimaksud merupakan
laporan keuangan tahun terakhir sebelum
pengusulan untuk menerapkan PPK - BLU dan tahun
berjalan.
▪ Laporan keuangan disusun berdasarkan Standar
Akuntansi Pemerintahan.
TNGHS telah melakukan pengelolaan keuangan, namun belum menghasilkan laporan
keuangan karena laporan keuangan masih menginduk pada Laporan Keuangan Ditjen
KSDAE sebagai entitas akuntansi. Untuk memenuhi persyaratan ini, laporan keuangan
86
TNGHS yang telah dilaporkan kepada Ditjen KSDAE perlu diolah lebih lanjut untuk
menghasilkan Laporan Keuangan TNGHS sesuai Standar Akuntansi Pemerintah perlu
disusun
e. Standar pelayanan
minimum ▪ Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud
merupakan ukuran pelayanan yang harus dipenuhi oleh BLU dalam memberikan pelayanan umum
kepada masyarakat.
▪ Standar pelayanan minimum disusun dengan
mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan, dan kesetaraan layanan serta kemudahan
memperoleh layanan.
Terkait dengan standar layanan minimum, saat ini TNGHS belum memilikinya.
Dengan demikian, untuk memenuhi persyaratan ini, TNGHS perlu menyusun standar
pelayanan minimum.
f. Laporan audit terakhir
atau pernyataan
bersedia untuk diaudit
secara independen.
▪ Dibuktikan dengan melampirkan laporan audit terakhir atau
pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Terkait dengan audit independen, pengelola TNGHS juga telah menyampaikan
kesediaannya untuk diaudit oleh auditor eksternal.
2.2.3.3. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
a. Pernyataan kesanggupan
untuk meningkatkan
kinerja pelayanan,
keuangan, dan manfaat
bagi masyarakat;
▪ Dibuktikan dengan menyertakan lembar pernyataan
kesanggupan sesuai format PMK 180/2016
Komitmen dan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan dan keuangan.
Komitmen yang senada dengan TNGGP dan TNGHS juga disampaikan oleh Pengelola
TNBTS. Hal itu dinyatakan oleh Pengelola TNBTS pada saat wawancara studi ini
dilakukan. Komitmen terhadap kinerja juga tercermin dalam perjanjian kinerja yang
ditandatangani oleh Kepala TNBTS dengan Dirjen KSDAE yang berisi target
pelayanan yang harus dilaksanakan oleh TNBTS. Kesiapan pengelola TNBTS dalam
meningkatkan kinerja layanan ini juga terlihat dari inovasi-inovasi yang dilakukan
Pengelola TNBTS baik yang berasal dari anggaran TN maupun bekerjasama dengan
pihak ketiga seperti dalam menyediakan sarana dan prasarana serta menciptakan
inovasi layanan kepada masyarakat maupun kepada ekosistem yang ada di kawasan.
b. Pola tata kelola
Peraturan internal yang antara lain menetapkan
organisasi dan tata laksana, akuntabilitas, dan
transparansi.
b.1 Peraturan internal
terkait organisasi
dan tata laksana
▪ memuat struktur organisasi, serta pengangkatan dan
pemberhentian pejabat pengelola dan pegawai BLU.
87
Seperti halnya TNGGP dan TNGHS, struktur pengelolaan TNBTS juga ditetapkan
berdasarkan Permen LHK yang menetapkan TNBTS sebagai sebagai Balai Besar Tipe
A. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, Balai TNBTS dipimpin oleh seorang
Kepala Balai yang dibantu oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Bidang Teknis
Konservasi Taman Nasional serta Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional
(BPTN) Wilayah I dan II. Sedangkan jabatan di bawah Kepala Bidang Pengelola Taman
Nasional adalah Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN). Kepala SPTN
Wilayah I dan II berada di bawah Kepala BPTN Wilayah I dan Kepala SPTN Wilayah
III dan IV berada di bawah Kepala BPTN Wilayah II.
Sedangkan peraturan internal tentang pengangkatan dan pemberhentian pejabat
pengelola dan pegawai BLU belum dimiliki.Namun demikian, persyaratan ini relatif
mudah dipenuhi sepanjang sudah ada komitmen pengubahan status TN menjadi BLU.
Pengelola TNBTS sudah memiliki beberapa SOP, yaitu SOP Pendakian, SOP
Penatausahaan Karcis Masuk, SOP Patroli Pengamanan Hutan, dan SOP bagi Pekerja
Jasa Wisata maupun pengunjung TNBTS. Berbagai SOP tersebut ditetapkan melalui
Surat Keputusan Kepala Balai Besar TNBTS. Meski telah memiliki beberapa SOP,
namun TNBTS sendiri baru memiliki satu standar pelayanan yaitu Standar Pelayanan
Masyarakat pada Fasilitas Publik Kawasan Pariwisata Alam.
Pada tingkat resort, TNBTS menerapkan konsep Pengelolaan Berbasis Resort
(Resort Based Management). Konsep ini diimplementasikan dengan mengoptimalkan
seluruh informasi terkait data potensi dan permasalahan kawasan di masing-masing
resort. Konsep ini juga menjadi arah kebijakan TNBTS dalam Renstra 2015-2019.
Namun dalam implementasinya, pengelolaan resort masih terkendala jumlah dan
kompetensi SDM yang belum proporsional.
b.2 Akuntabilitas
▪ PMK 180/2016 tidak secara spesifik mengatur pola tata
kelola terkait akuntabilitas ini. Dengan demikian,
akuntabilitas yang dimaksud mengacu pada prinsip-prinsip
tata kelola yang baik yang diatur dalam regulasi
perundang-undangan yang ada, yang terdiri dari
akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas kinerja, yang
tercermin dari berbagai peraturan internal (SOP)
Terkait akuntabilitas keuangan, TNBTS telah memiliki mekanisme pengelolaan
keuangan, namun laporan keuangan masih menginduk kepada Laporan Keuangan
Ditjen KSDAE. Sedangkan untuk akuntabilitas kinerja mekanisme yang dimiliki adalah
menyusun laporan kinerja.
b.3 Transparansi ▪ PMK 180/2016 tidak secara spesifik mengatur pola tata
kelola terkait akuntabilitas ini. Dengan demikian,
transparansi yang dimaksud mengacu pada perundang-
undangan yang ada, yaitu UU No 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik
Transparansi dapat dilihat dari penyediaan statistik TNBTSyang disajikan di dalam
website. Selain itu, data-data lainnya juga dapat diakses melalui website.
c. Rencana strategis
bisnis
Rencana strategis bisnis meliputi:
▪ visi
▪ misi
88
▪ program strategis untuk 5 (lima) tahun ke depan,
▪ capaian kinerja yang terukur untuk tahun berjalan dan 2
(dua) tahun sebelumnya,.
▪ aspek keuangan (realisasi/proyeksi)pendapatan dan belanja
yang berasal dari PNBP dan/atau Rupiah Murni dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta indikasi tarif
layanan.
Pengelola TNBTS sudah memiliki Rencana Pengelolaan Taman Nasional 2015-2024.
Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) ini merupakan hasil review RPTN
Tahun 1995-2020. Review dilakukan untuk menindaklanjuti amanat PP No. 28 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang
membatasi jangka waktu RPTN selama 10 tahun. Dokumen RPTN kemudian
dijabarkan menjadi Rencana Strategis (Renstra) untuk 5 tahun dan Rencana Kerja
Tahunan sebagai acuan bagi pengelola dalam melaksanakan perannya sesuai potensi
dan karakeristik yang dimiliki oleh TNBTS. Dalam pelaksanaannya sebagai unit kerja
di bawah KSDAE, TN juga melaksanakan kegiatan untuk mencapai indikator kinerja
dari Ditjen KSDAE yang terkait dengan TN sebagai bagian dari pelaksanaan Renstra
Ditjen KSDAE.
Dengan telah disusunnya RPTN dan Renstra, maka TNBTS sudah dapat
mengembangkannya menjadi Rencana Strategis Bisnis (RSB) sebagai salah satu
persyaratan administratif untuk sebagai BLU. Selain itu, TNBTS juga memiliki
rencana pengelolaan jangka menengah dalam bentuk Renstra Tahun 2015-2019 yang
merupakan turunan dari Renstra Ditjen KSDAE 2015-2019. Dokumen ini mencakup
visi misi, arah kebijakan dan strategi (termasuk kegiatan, sasaran dan indikator kinerja
kegiatan), dan pendanaannya. Arah kebijakan TNBTS diantaranya pemanfaatan
potensi jasa lingkungan melalui pengembangan ekowisata dan peningkatan kunjungan
wisman dan pemanfaatan air. Dalam rangka pengembangan ekowisata, TNBTS
memiliki Master Plan Pengembangan Ekowisata yang sudah disahkan oleh KLHK.
Sebagai implikasinya, zona pemanfaatan di lokasi wisata seluas 1.143,61 ha yang
berada di 10 lokasi wisata sudah dibagi menjadi ruang usaha seluas 83,38 ha dan
ruang publik 1.056,27 ha.
d. Laporan keuangan
pokok
▪ Laporan keuangan pokok terdiri atas: laporan realisasi
anggaran, neraca, dan catatan atas laporan keuangan
yaitu dokumen yang menyajikan informasi tentang
▪ Laporan keuangan pokok yang dimaksud merupakan
laporan keuangan tahun terakhir sebelum pengusulan
untuk menerapkan PPK- BLU dan tahun berjalan.
▪ Laporan keuangan disusun berdasarkan Standar
Akuntansi Pemerintahan.
TNBTS telah melakukan pengelolaan keuangan, namun belum menghasilkan laporan
keuangan karena laporan keuangan masih menginduk pada Laporan Keuangan Ditjen
KSDAE sebagai entitas akuntansi. Untuk memenuhi persyaratan ini, laporan keuangan
TNGGP yang telah dilaporkan kepada Ditjen KSDAE perlu diolah lebih lanjut untuk
menghasilkan Laporan Keuangan TNBTS sesuai Standar Akuntansi Pemerintah perlu
disusun
89
e. Standar pelayanan
minimum
▪ Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud
merupakan ukuran pelayanan yang harus dipenuhi oleh
BLU dalam memberikan pelayanan umum kepada
masyarakat.
▪ Standar pelayanan minimum disusun dengan
mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan, dan
kesetaraan layanan serta kemudahan memperoleh
layanan.
Terkait dengan standar layanan minimum, saat ini TNBTS belum memilikinya. Dengan
demikian, untuk memenuhi persyaratan ini, TN-BTS perlu menyusun standar
pelayanan minimum.
f.Laporan audit terakhir
atau pernyataan bersedia
untuk diaudit secara
independen.
Dibuktikan dengan melampirkan laporan audit terakhir atau
pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Terkait dengan audit independen, pengelola TNBTS juga telah menyampaikan
kesediaannya untuk diaudit oleh auditor eksternal.
90
BAB III
A N A L I S I S
3.1. Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait Dengan Taman Nasional dan Badan Layanan Umum
Berbagai kebijakan terkait TN dan BLU yang telah dideskripsikan pada Bab II selanjutnya dianalisis bagaimana dukungannya terhadap pengelolaan
TN saat ini, pada saat proses transformasi status menjadi BLU maupun pasca berstatus BLU yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 25. Peta Dukungan Regulasi Terhadap Pengelolaan Taman Nasional
No Regulasi
Pengelolaan TN saat ini Proses TN bertransformasi
ke status BLU Pengelolaan BLU TN
Mendukung Menghambat Mendukung Menghambat Mendukung Menghambat
Undang-Undang
1 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya
✓ ✓ ✓
2 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ✓ ✓ ✓
3 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ✓ ✓ ✓
4 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
✓ ✓ ✓
Peraturan Pemerintah
5 PP No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata
Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan
Raya, dan Taman Wisata Alam sebagaimana telah direvisi
dalam PP No 36 Tahun 2010.
✓ ✓ ✓
91
6 PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa
✓ ✓ ✓
7 PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar
✓ ✓ ✓
8 PP No. 6 Tahun 2007 sebagaimana telah direvisi dalam PP
No 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
✓ ✓ ✓
9 PP No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan
✓ ✓ ✓
10 PP No. 28 Tahun 2011 jo PP Nomor 108 Tahun 2015
tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam
✓ ✓ ✓
11 PP No. 74 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum
Belum
digunakan
✓ ✓
12 PP No 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025
✓ ✓ ✓
13 PP Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Kementerian Kehutanan.
✓ ✓ ✓ (diskresi
menentukan
tarif di luar
PP ini)
Peraturan Menteri dan Kebijakan Lainnya
14 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006
tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional
✓ ✓ ✓
15 Peraturan Menteri LHK Nomor 43 Tahun 2017 tentang
Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar KSA dan KPA
✓ ✓ ✓
16 Peraturan Menteri LHK Nomor 44 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Permen Kehutanan Nomor 85 Tahun 2014
✓ (potensi
mendukung
✓ (berpotensi
menghambat)
✓ (potensi
mendukung
✓ (berpotensi
menghambat)
✓ (diskresi
tidak
92
tentang Tata Cara Kerja Sama Penyelenggaraan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
menggunakan
regulasi ini)
17 Peraturan Menteri Keuangan No.180 Tahun 2016 tentang
Penetapan dan Pencabutan Penerapan Keuangan BLU pada
Satuan Kerja Instansi Pemerintah.
Belum
digunakan
✓ ✓
18 Peraturan Menteri Pariwisata No14 Tahun 2016 tentang
Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan
✓ ✓ ✓
19 Peraturan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
PER/02/M.PAN/1/2007 tentang Pedoman Organisasi Satuan
Kerja di Lingkungan Instansi Pemerintah yang Menerapkan
PPK BLU
Belum
digunakan
Belum
digunakan
Belum
digunakan
Belum
digunakan
✓ (berpotensi
menghambat)
20 Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2016 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis TN
✓ ✓ ✓
21 Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah
✓ ✓ ✓ (diskresi
tidak
menggunakan
regulasi ini)
22 Surat Sekretariat Kabinet Nomor B
652/Seskab/Maritim/2015 tanggal 6 November 2015 perihal
Arahan Presiden RI mengenai Pariwisata dan Arahan
Presiden pada Sidang Kabinet Awal Tahun pada 4 Januari
2016
✓ ✓ ✓ (potensi
mendukung
✓ (potensi
menghambat)
23 Peraturan Menteri Kehutanan No 36 Tahun 2014 tentang
Tata Cara Penetapan Rayon di Taman Nasional, Taman
Hutan Raya, Taman Wisata Alam dan Taman Buru dalam
Rangka Pengenaan PNBP Bidang Pariwisata Alam
✓ ✓ ✓ (diskresi
menentukan
tarif di luar
PP 12/2014 )
24 Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam No 133 Tahun 2014 tentang Penetapan
Rayon di Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman
✓ ✓ ✓ (diskresi
menentukan
93
Wisata Alam dan Taman Buru dalam Rangka Pengenaan
PNBP
tarif di luar
PP 12/2014)
25 Peraturan Menteri Kehutanan No 81/2014 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Inventarisasi Potensi pada Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
✓ ✓ ✓ ✓
26 Peraturan Menteri No 37 Tahun 2014 tentang Tata Cara
Pengenaan, Pemungutan dan Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak Bidang Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam.
✓ ✓ ✓ (diskresi
menentukan
tarif di luar
PP 12/2014 )
27 Peraturan Menteri LHK No 8 Tahun 2019 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman
Nasional,Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam
(merupakan revisi dari Peraturan Menteri Kehutanan No
48/2010 dan Peraturan Menteri Kehutanan No 4/2012
✓ ✓ ✓ ✓
94
Berdasarkan tabel di atas, maka terlihat bahwa berbagai regulasi yang dapat
diindentifikasikan posisinya terkiat pengelolaan Taman Nasional, yang dikategorikan
menjadi tiga jenis, yaitu: (a) Regulasi yang mendukung; (b) Regulasi yang menghambat;
(iii) Regulasi yang berpotensi mendukung/menghambat. Penjelasan masing-masing
kategori disajikan di bawah ini.
3.1.1. Regulasi yang mendukung
Berdasarkan matriks peta regulasi terkait pengelolaan TN sebagaimana disajikan di
atas, terlihat bahwa bahwa sebagian besar peraturan perundang-undangan tersebut
berpeluang mendukung peningkatan peran dan kinerja TN, termasuk pada saat TN
telah berstatus BLU. Regulasi yang mendukung, yaitu:
1. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
▪ UU ini menetapkan TN sebagai KPA, yang salah fungsinya adalah pemanfaatan
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Penetapan sebagai KPA
memberikan kesempatan besar kepada TN untuk memperluas manfaat baik
secara ekologis maupun ekonomis dengan mengoptimalkan pelayanan bagi
masyarakat.
▪ Di kawasan TN dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam.
▪ Pengelola TN yang mampu memperluas manfaat TN dengan mengoptimalkan
kegiatan untuk kepentingan di atas, pada gilirannya akan dapat meningkatkan
PNPB.
▪ Pemerintah mengembangkan peran serta masyarakat dalam konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Hal ini akan “mengurangi beban”
TN dan mencegah terjadi kerusakan SDA.
2. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
▪ Mengatur tentang jenis hutan konservasi yang terdiri dari kawasan hutan
suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru.
▪ Mengatur bahwa pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua
kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba
pada taman nasional.
3. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
▪ Terkait dengan BLU, UU ini menjelaskan bahwa satuan kerja yang berstatus
BLU dapat menggunakan pendapatan yang diperolehnya untuk membiayai
belanja BLU yang bersangkutan.
▪ BLU juga dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau
badan lain untuk membiayai belanjanya. Hal ini dapat menjadi alternatif
keberlanjutan pembiayaan bagi kawasan konservasi, sehingga pelaksanaan
tugas TN dapat dilakukan secara optimal dengan dukungan dana/anggaran
yang memadai.
4. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
▪ UU ini mendorong kawasan konservasi, termasuk TN, untuk melakukan
95
perencanaan dan kegiatan ekonomi, termasuk mengupayakan pendanaan.
Melalui kegiatan ekonomi ini keberlangsungan hidup TN dapat terjaga karena
ada ketersediaan dana, sembari pada saat yang sama tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
▪ UU ini juga mengatur bahwa Pemerintah dan DPR serta Pemda dan DPRD
wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai: kegiatan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, TN dapat
bekerjasama dengan Pemda setempat untuk bersama-sama menangani
kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai wilayah dan
kewenangannya masing-masing.
5. PP No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan
Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam sebagaimana telah
direvisi dalam PP No 36 Tahun 2010
▪ PP ini memberikan ruang bagi pengelola TN untuk menggunakan 10% dari
zona pemanfaatan bagi penyelenggaraan pengusahaan pariwisata alam berupa
usaha sarana pariwisata alam.
▪ Setelah berakhirnya pengusahaan pariwisata alam, pengusaha menyerahkan
sarana dan prasarana kepariwisataan yang tidak bergerak yang berada di
dalam kawasan TN, sehingga menjadi milik Negara. Sarana dan prasarana itu
dapat dimanfaatkan lebih lanjut oleh pengelola TN.
6. PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
▪ Peraturan ini menunjang fungsi layanan TN terhadap flora dan fauna, karena sebagai lembaga konservasi, maka TN memiliki fungsi pengembangbiakan dan
atau penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan
kemurnian jenisnya.
▪ TN juga dapat memperluas manfaatnya dengan berfungsi sebagai tempat
pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan.
7. PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
▪ Taman Nasional sebagai lembaga konservasi diberikan kewenangan untuk
melakukan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dalam bentuk:
pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran; peragaan; pertukaran;
dan budidaya tanaman obat-obatan.
▪ Hal ini memperkuat fungsi layanan TN terhadap flora dan fauna.
8. PP No. 6 Tahun 2007 sebagaimana telah direvisi dalam PP No 3 Tahun 2008
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan
▪ Mengatur mengenai tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan di kawasan hutan
pelestarian alam seperti TN.
▪ Mengatur tentang definisi pemanfaatan hutan, yaitu kegiatan untuk
memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan
hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan
kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap
menjaga kelestariannya.
96
▪ Mengatur bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan
hutan sebagaimana yaitu kawasan; (a)hutan konservasi, kecuali pada cagar
alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional; (b) hutan lindung; dan
(c) hutan produksi
9. PP No. 28 Tahun 2011 jo PP Nomor 108 Tahun 2015 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
▪ TN sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA) diberikan kewenangan untuk
melakukan inventarisasi potensi kawasan, penataan kawasan; dan penyusunan
rencana pengelolaan. Melalui kewenangan yang diberikan, TN berpeluang
mengoptimalkan kinerja pelayanannya untuk mengembang-kan potensi
kawasan bersama masyarakat.
▪ TN dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, yaitu:
a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
c. penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi
air, panas, dan angin serta wisata alam;
d. pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar;
e. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya; dan
f. pemanfaatan tradisional.
Berbagai kegiatan tersebut berpeluang untuk semakin memperluas manfaat
pelayanan TN dan pada sisi lain dapat meningkatkan PNBP.
▪ Penyelenggaraan KPA (termasuk TN didalamnya) dapat dikerjasamakan dengan badan usaha, lembaga internasional, atau pihak lainnya dalam rangka
penguatan fungsi KPA; dan kepentingan pembangunan strategis yang tidak
dapat dielakan. Hal ini memberi peluang bagi TN untuk memperluas
manfaatnya dengan bersinergi melalui kerjasama dengan pihak lain.
10. PP No. 74 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
▪ Peraturan ini memberikan kewenangan kepada BLU untuk memungut biaya
kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan,
dalam bentuk tarif dengan mempertimbangkan aspek kontinuitas dan
pengembangan layanan; daya beli masyarakat; asas keadilan dan kepatutan;
dan kompetisi yang sehat. Melalui penetapan tarif ini, BLU berpeluang untuk
mampu memenuhi kebutuhannya dan memastikan bahwa tarif yang ditetapkan
wajar sesuai dengan aspek-aspek yang ditetapkan.
▪ BLU menyusun Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) Tahunan yang diajukan
kepada Menteri untuk disetujui disertai usulan standar pelayanan minimum
dan standar biaya. Melalui RBA Tahunan ini, BLU berpeluang untuk dapat
memenuhi SPM sesuai standar biaya, sehingga target kinerja dapat tercapai.
11. PP No 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional Tahun 2010-2025. Pasal 2 menyatakan bahwa pembangunan
kepariwisataan yang berkelanjutan merupakan satu dari empat misi pembangunan
kepariwisataan nasional
12. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman
Zonasi Taman Nasional. Pengaturan mengenai zonasi TN didasarkan pada potensi
97
dan fungsi kawasan dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial, ekonomi dan
budaya. Hal ini berpeluang bagi TN untuk mengotimalkan zona-zona yang ada
dalam rangka meningkatkan nilai manfaat TN dan jumlah PNBP. Peraturan ini juga
memberikan kesempatan kepada TN untuk mengembangkan pengusahaan
pariwisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan yang dapat meningkatkan
PNBP
13. Peraturan Menteri Keuangan No.180 Tahun 2016 tentang Penetapan dan
Pencabutan Penerapan Keuangan BLU pada Satuan Kerja Instansi Pemerintah.
Kebijakan ini memberikan peluang bagi TN untuk menjadi BLU, sepanjang dapat
memenuhi tiga persyaratan yang ditentukan, yaiitu substantif, teknis dan
administratif.
14. Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis TN. Regulasi ini mendukung dalam hal struktur organisasi TN
yang ada saat ini dapat dioptimalkan untuk pengelolaan TN jika berubah status
menjadi BLU. Namun demikian, fungsi pemanfaatan TSL dibatasi untuk“
kepentingan non komersial” sehingga berdasarkan hal ini TN tidak bisa melakukan
pemanfaatan TSL untuk diperdagangkan.
15. Peraturan Menteri LHK Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pemberdayaan
Masyarakat di Sekitar KSA dan KPA. Peraturan ini mendukung terlaksananya
pemberdayaan masyarakat di sekitar TN. Bila hal ini terlaksana dengan baik, maka
akan mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat di sekitar
kawasan TN untuk mendukung kelestarian kawasan TN.
16. Peraturan Menteri Kehutanan No 81/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Inventarisasi Potensi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Pasal 4 menjelaskan bahwa inventarisasi potensi kawasan meliputi: (a) Inventarisasi
potensi ekologi; dan (b) Inventarisasi potensi ekonomi dan sosial budaya.
17. Peraturan Menteri LHK No 8 Tahun 2019 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam
di Suaka Margasatwa, Taman Nasional,Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata
Alam (merupakan revisi dari Peraturan Menteri Kehutanan No 48/2010 dan
Peraturan Menteri Kehutanan No 4/2012.
▪ Pasal 54 menjelaskan bahwa kerja sama usaha pariwisata alam dapat dilakukan
antara: (a) pengelola kawasan dengan pemegang IUPJWA atau IUPSWA; (b)
pemegang IUPJWA dengan pemegang IUPSWA; atau (c)pengelola kawasan,
pemegang IUPJWA atau IUPSWA dengan pihak lain.
▪ Pasal 55 menjelaskan bahwa kerja sama usaha pariwisata alam terdiri atas: (a)
kerjasama teknis; (b) kerjasama pemasaran; (c) kerjasama permodalan; dan
atau (d) kerjasama penggunaan fasilitas sarana pariwisata alam.
▪ Pasal 54 dan 55 ini memberikan peluang bagi pengelola TN untuk bermitra
dengan pemegang IUPJWA dan IUPSWA di dalam mengembangkan jasa
wisataalamnya.
3.1.2. Regulasi yang menghambat
1. PP Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan.
98
Peraturan Pemerintah ini beserta turunannya saat ini menjadi penghambat bagi
TN karena: (i) terdapat daftar layanan beserta tarifnya mengakibatkan TN tidak
bisa dapat mengembangkan potensi kawasannya dengan mengembangkan berbagai
paket ekowisata untuk berbagai segmen pengunjung; (ii) Tarif masuk yang
ditetapkan sudah tidak sesuai dengan dinamika sosial ekonomi masyarakat
maupun jika dibandingkan dengan layanan sejenis yang disediakan oleh swasta.
Contoh: rendahnya tarif masuk pengunjung TN bagi wisatawan
nusantara/domestik yang hanya ditetapkan Rp 5.000/orang/hari untuk Rayon III,
bahkan bila rombongan pelajar/mahasiswa hanya Rp 3.000. Hambatan ini akan
terselesaikan jika TN berstatus BLU karena status BLU menjadikan TN memiliki
diskresi untuk mengajukan tarif layanan di luar yang telah ditetapkan oleh PP
12/2014. Usulan tarif layanan diajukan ke Kementerian Keuangan.
2. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah
Bagi TN yang masih Satker harus mengikuti proses pengadaan barang dan jasa
yang telah ditetapkan dalam Perpres, sementara kebutuhan TN terkadang
memerlukan proses pengadaan yang fleksibel, contohnya pengadaan barang dan
jasa untuk kebutuhan pengunjung dan pemadam kebakaran.
Jika sudah menjadi BLU, Peraturan ini memberikan keleluasaan kepada BLU dalam
rangka pengadaan barang dan jasa, karena dikecualikan dari proses pengadaan
barang dan jasa dalam Perpres ini. Cukup menggunakan Standar Operating
Procedure yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala BLU. Namun karena ditetapkan oleh kementerian lain, maka akna membutuhkan waktu sehingga hal ini
berpotensi untuk menghambat kelancaran operasionalisasi TN berstatus BLU.
3.1.3. Regulasi yang Berpotensi Mendukung atau Menghambat
1. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
PER/02/M.PAN/1/2007 tentang Pedoman Organisasi Satuan Kerja di Lingkungan
Instansi Pemerintah yang Menerapkan PPK BLU
Regulasi ini berpotensi mendukung dalam hal struktur organisasi TN, sehingga
jelas bagi pengelola TN dalam mengorganisir sumber daya yang ada. Selain itu,
TN juga dapat lebih meningkatkan efektifitas pengelolaannya. Namun, regulasi ini
berpotensi menghambat karena perubahan struktur ini diprediksi memerlukan
waktu untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi, pasca ada persetujuan dari
Kementerian Keuangan terkait perubahan status TN menjadi BLU. Potensi ini
perlu dimitigasi melalui proses komunikasi dan koordinasi sejak awal.
2. Peraturan Menteri LHK Nomor 44 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permen
Kehutanan Nomor 85 Tahun 2014 tentang Tata Cara Kerja Sama
Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Peraturan ini berpotensi mendukung dengan membuka peluang bagi TN untuk
melakukan kerja sama di berbagai bidang dalam rangka penguatan fungsi KPA dan
konservasi keanekaragaman hayati, yang meliputi kerja sama penguatan
kelembagaan; perlindungan kawasan; pengawetan flora dan fauna; pemulihan
ekosistem; pengembangan wisata alam; pemberdayaan masyarakat;
pemasangan/penanaman pipa instalasi air; dan kerja sama kemitraan konservasi.
99
Namun, saat ini peraturan ini juga berpoetnsi menghambat, khususnya pasal 24
yang mensyaratkan adanya persetujuan dari Dirjen, Hambatan yang terjadi
terutama dari sisi waktu persertujuan menjadi lebih lama karena ada keterbatasan
jumlah SDM di Ditjen KSDAE untuk mereview dan memproses persetujuan kerja
sama seluruh kawasan konservasi di seluruh Indonesia. Hal ini berbeda dengan
regulasi sebelumnya (Permenhut No 85/2014) yang memberikan kepercayaan
kepada pengelola TN untuk melakukan kerja sama (tanpa menunggu persetujuan).
Hambatan ini bisa diatasi jika TN berubah status menjadi BLU karena memiliki
otonomi untuk melakukan kerjasama secara langsung degan pihak lain.
3. Surat Sekretariat Kabinet Nomor B 652/Seskab/Maritim/2015 tanggal 6
November 2015 perihal Arahan Presiden RI mengenai Pariwisata dan Arahan
Presiden pada Sidang Kabinet Awal Tahun pada 4 Januari 2016
Peraturan ini berpotensi mendukung mendukung karena 10 Destinasi wisata yang
diprioritaskan beririsan dengan TN, termasuk TN Bromo Tengger Semeru. Hal
ini berpotensi meningkatkan sarana dan prasarana TN dimaksud, karena adanya
perintah Presiden kepada Menteri Pariwisata dan Menteri terkait, gubernur dan
bupati/walikota yang relevan untuk fokus pada perbaikan destinasi wisata.
Namun, peraturan ini berpotensi menghambat jika koordinasi antara lembaga
baru yang dibentuk (dalam bentuk badan otorita, yang juga berstatus BLU)
dengan pengelola TN kurang lancar karena berpotensi mengakibatkan terjadinya
“perebutan kewenangan” antara TN dengan badan otorita dimaksud. Potensi
masalah akan dapat diatasi jika pengelola TN proaktif melakukan komunikasi,
koordinasi dan sinergi, agar kinerja sebagai destinasi wisata dapat meningkat.
3.2. Analisis Kondisi Pemenuhan Persyaratan Menjadi BLU di Tiga
Taman Nasional
3.2.1 Analisis Kondisi Pemenuhan Persyaratan Menjadi BLU di TNGGP
Berdasarkan penjelasan mengenai kondisi eksisting pemenuhan persyaratan BLU
sesuai PMK 180/2016 yang telah disajikan di Bab 2, dengan mengunakan metode
skoring, hasil akhir pemenuhan persyaratan dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 26. Skoring Pemenuhan Persyaratan
Penjelasan atas masing-masing persyaratan dijelaskan berikut ini.
1. Pemenuhan Persyaratan Substantif:
a. Pemenuhan persyaratan substantif dilihat dari dua kriteria, yaitu adanya layanan
yang diberikan kepada masyarakat dan adanya pendpatan yang dihasilkan dari
layanan.
Aspek Persyaratan Nilai
Substantif LULUS
Teknis 70
Administratif 58
Total 64
100
b. TNGGP memenuhi persyaratan substantif karena merupakan unit pelaksana
teknis (bukan regulator) yang menyediakan layanan, baik layanan langsung
kepada pengunjung kawasan (baik untuk tujuan pendakian maupun untuk tujuan
rekreasi) maupun layanan langsung kepada masyarakat sekitar kawasan dalam
bentuk pemberdayaan masyarakat melalui berbagai kegiatannya
c. TNGGP memenuhi persyaratan substantif karena telah menghasilkan PNBP.
Data tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa TNGGP telah menghasilkan PNBP
sebesar rata-rata Rp 1, 8 milyar per tahun selama tiga tahu terakhir (2016-
2018).
2. Pemenuhan Persyaratan Teknis:
a. Pemenuhan persyaratan teknis dilihat dari dua kriteria, yaitu kinerja pelayanan
umum yang baik dan kinerja keuangan yang sehat.
b. Kinerja pelayanan umum yang baik dapat dilihat dari kinerja mencapai indikator
kinerja yang telah ditetapkan, capaian Standar Pelayanan Minimum dan adanya
indeks kepuasan masyarakat berdasarkan Permenpan RB.
c. Kinerja keuangan yang sehat dilihat dari kenaikan PNBP dalam dua tahun
terakhir
Beberapa kondisi yang menyebabkan skor tidak bisa maksimal (10) untuk masing-
masing kriteria adalah sebagai berikut:
a. Belum adanya Standar Pelayanan Minimum, sehingga kinerja layanan hanya
dinilai dari capaian indikator kinerja kegiatan dan ada/tidaknya indeks kepuasan
masyarakat
b. TN-GGP belum melaksanakan survei kepuasan masyarakat sesuai Permenpan
RB No 14 Tahun 2017.
c. Nilai PNBP berfluktuasi (belum stabil)
d. Rasio PNBP terhadap belanja pegawai masih rendah yang menunjukkan
kontribusi PNBP untuk mendanai belanja pegawai masih minim
3. Pemenuhan Persyaratan Administratif:
Pemenuhan persyaratan administratif dilihat dari ketersediaan beberapa dokumen,
antara lain pernyataan kesanggupan meningkatkan kinerja, adanya dokumen terkait
pola tata kelola (peraturan internal terkait struktur organisasi, SOP, sistem
akuntabilitas, transparansi), adanya dokumen rencana strategis bisnis, adanya
laporan keuangan pokok, adanya dokumen Standar Pelayanan Minimum, adanya
laporan audit atas laporan keuangan/pernyataan kesanggupan untuk diaudit.
Beberapa kondisi yang menyebabkan skor tidak bisa maksimal (10) untuk masing-
masing kriteria adalah sebagai berikut:
a. RPTN yang dapat dijadikan rencana strategis bisnis belum memiliki strategi
pengelolaan keuangan yang komprehensif, antara lain belum adanya rencana
arus kas, indikasi tarif layanan, proyeksi neraca, proyeksi laporan operasional,
dan sebagainya.
b. Belum adanya dokumen Standar Pelayanan Minimum, sehingga diberi skor nol,
padahal indikator inni memiliki bobot yang cukup besar, yaitu 20%.
c. SOP masih belum lengkap dan perlu di-update
101
d. Belum adanya dokumen laporan keuangan karena masih menginduk kepada
laporan keuangan Ditjen KSDAE
3.2.2 Analisis Kondisi Pemenuhan Persyaratan Menjadi BLU di TNGHS
Berdasarkan penjelasan mengenai kondisi eksisting pemenuhan persyaratan BLU
sesuai PMK 180/2016 yang telah disajikan di Bab 2, hasil akhir dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 27. Skoring Pemenuhan Persyaratan
Aspek Persyaratan Nilai
Substantif LULUS
Teknis 91
Administratif 58,7
Total 74,85
Penjelasan atas masing-masing persyaratan dijelaskan berikut ini.
1. Pemenuhan Persyaratan Substantif
a. Pemenuhan persyaratan substantif dilihat dari dua kriteria, yaitu adanya
layanan yang diberikan kepada masyarakat dan adanya pendpatan yang
dihasilkan dari layanan.
b. TNBTS memenuhi persyaratan substantif karena merupakan unit pelaksana teknis (bukan regulator) yang menyediakan layanan, baik layanan langsung
kepada pengunjung kawasan (baik untuk tujuan pendakian maupun untuk
tujuan rekreasi) maupun layanan langsung kepada masyarakat sekitar kawasan
dalam bentuk pemberdayaan masyarakat melalui berbagai kegiatannya.
c. TNBTS memenuhi persyaratan substantif karena telah menghasilkan PNBP.
Data tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa TNBTS telah menghasilkan
PNBP sebesar rata-rata Rp 22,2 miliar per tahun selama tiga tahun terakhir
(2016-2018). PNBP terbesar dihasilkan dari tiket masuk pengunjung maupun
tiket bagi pendaki.
2. Pemenuhan Persyaratan Teknis
a. Pemenuhan persyaratan teknis dilihat dari dua kriteria, yaitu kinerja
pelayanan umum yang baik dan kinerja keuangan yang sehat.
b. Kinerja pelayanan umum yang baik dapat dilihat dari kinerja mencapai
indikator kinerja yang telah ditetapkan, capaian Standar Pelayanan Minimum
dan adanya indeks kepuasan masyarakat berdasarkan Permenpan RB.
c. Kinerja keuangan yang sehat dilihat dari kenaikan PNBP dalam dua tahun
terakhir
Beberapa kondisi yang menyebabkan skor tidak bisa maksimal (10) untuk masing-
masing kriteria adalah sebagai berikut:
a. Belum adanya Standar Pelayanan Minimum, sehingga kinerja layanan hanya
dinilai dari capaian indikator kinerja kegiatan dan ada/tidaknya indeks
kepuasan masyarakat.
102
b. TNBTS belum melaksanakan survei kepuasan masyarakat sesuai Permenpan
RB No 14 Tahun 2017.
c. Banyaknya data kecelakaan dan seringnya frekuensi kebakaran hutan di
TNBTS.
Sedangkan data kinerja keuangan baik, yang ditunjukkan oleh:
a. Nilai PNBP meningkat.
b. Rasio PNBP terhadap belanja pegawai tinggi yang menunjukkan kontribusi
PNBP untuk mendanai belanja pegawai tinggi (PNBP telah mampu memenuhi
kebutuhan belanja pegawai
3. Pemenuhan Persyaratan Administratif:
Pemenuhan persyaratan administratif dilihat dari ketersediaan beberapa dokumen,
antara lain pernyataan kesanggupan meningkatkan kinerja, adanya dokumen terkait
pola tata kelola (peraturan internal terkait struktur organisasi, SOP, sistem
akuntabilitas, transparansi), adanya dokumen rencana strategis bisnis, adanya
laporan keuangan pokok, adanya dokumen Standar Pelayanan Minimum, adanya
laporan audit atas laporan keuangan/pernyataan kesanggupan untuk diaudit.
Beberapa kondisi yang menyebabkan skor tidak bisa maksimal (10) untuk masing-
masing kriteria adalah sebagai berikut:
a. RPTN yang dapat dijadikan rencana strategis bisnis belum memiliki strategi
pengelolaan keuangan yang komprehensif, antara lain belum adanya rencana
arus kas, indikasi tarif layanan, proyeksi neraca, proyeksi laporan operasional,
dan sebagainya. Namun demikian, TNBTS telah memiliki beberapa dokumen persyaratan menjadi BLU saat akan diajukan pada periode Renstra KLHK 2009-
2014.
b. Belum adanya dokumen Standar Pelayanan Minimum, sehingga diberi skor nol,
padahal indikator ini memiliki bobot yang cukup besar, yaitu 20%.
c. SOP masih belum lengkap dan perlu di-update
d. Belum adanya dokumen laporan keuangan karena masih menginduk kepada
laporan keuangan Ditjen KSDAE
Berdasarkan hasil skoring di ketiga Taman Nasional lokasi studi, dapat disimpulkan
bahwa TNBTS paling siap (peringkat pertama) dengan skor 74,85, diikuti oleh
TNGGP (peringkat kedua) dengan skor 66,25 dan TNGHS (peringkat ketiga) dengan
skor 61.
3.3. Analisis Peluang dan Tantangan TN Berstatus BLU
Saat ini, pengelola kawasan konservasi menghadapi banyaknya tantangan di dalam
melaksanakan mandat konservasi sesuai UU No 5 Tahun 1990. Wiratno (2018)
menjelaskan kondisi terkini tantangan pengelolaan kawasan konservasi, antara lain:
a. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)/ Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), HUMA dan mitra lainnya
mengusulkan wilayah adat seluas lebih kurang 1.640.264 hektare yang terdiri
dari 134 komunitas adat. Seluas 1.334.554 hektare atau 81% dari luas usulan
tersebut berada di taman nasional. Bedasarkan kajian Direktorat Pemolaan
103
dan Informasi Konservasi Alam (PIKA), 67% tutupan usulan wilayah adat,
masih berupa hutan primer.
b. Sejak era 1980-an telah terjadi perubahan penggunaan lahan akibat eksploitasi
hutan skala besar, yang kemudian terus berlanjut pada tahun 1990-an.
Terjadinya booming penggunaan lahan untuk keperluan monokultur pasar
global, terutama kopi, coklat, karet, jagung. Dengan berkembangnya
pengembangan pembangunan infrastruktur, lahirnya kota-kota baru, serta
mobilitas dan pertumbuhan penduduk telah menyebabkan perubahan besar
yang mengakibatkan kawasan konservasi mendapatkan tekanan semakin besar
dan kompleks.
c. Berdasarkan kajian dari Direktorat PIKA dan Direktorat Kawasan Konservasi,
diidentifikasi sebanyak 6.381 desa berada di sekitar kawasan konservasi. Telah ditelaah pula, terdapat areal terbuka (open area) seluas lebih kurang 2,2 juta
hektare atau 9,95% dari total 22.108.630 hektare luas kawasan konservasi
daratan.
d. Meningkatnya konflik satwa liar (gajah, harimau, beruang, tapir, dan jenis lain)
dengan manusia akibat hilangnya habitat, terputusnya koridor, overlapping daerah jelajah satwa liar dengan kegiatan manusia, meningkatnya perburuan
prey dan perdagangan satwa liar secara ilegal merupakan bukti semakin
menurunnya kualitas lingkungan. Di Kalimantan Tengah, dari 2,2 juta hektare
perkebunan sawit, 463.000 hektare atau 29,4 % diantaranya overlapping
dengan habitat orangutan (FORINA, 2017).
Di sisi lain, juga dijelaskan bahwa Kawasan konservasi menjadi penggerak ekonomi
wilayah, seperti Taman Nasional Gunung Gede Pangrango - yang mendorong
berkembangnya kawasan wisata pegunungan di Bopuncur; Taman Nasional Komodo
merubah wajah ekonomi Labuhan Bajo; Taman Nasional Bunaken pemicu ekonomi di
Menado, dan sebagainya. Tetapi dampak dari trend yang mengarah ke mass tourism
ini juga besar, seperti sampah gunung, sampah laut, yang berdampak pada kelestarian
ekosistem di gunung, mangrove, dan terumbu karang.
Berdasarkan kondisi ini, pengelola kawasan konservasi (termasuk pengelola Taman
Nasional ) membutuhkan terobosan solusi untuk mengoptimalkan potensi yang
dimiliki kawasan dan meminimalisir permasalahan yang terjadi.
Studi ini mengelaborasi sejauhmana peluang transformasi TN menjadi Satuan Kerja
dengan status Badan Layanan Umum akan menjadi salah satu alternatif terobosan yang
bisa dilakukan untuk mengelola Taman Nasional.
Badan Layanan Umum (BLU) merupakan salah satu reformasi dalam mendorong
pergeseran dari pengganggaran tradisional ke penganggaran berbasis kinerja. Melalui
penganggaran berbasis kinerja ini, mulai dirintis arah yang jelas bagi penggunaan dana
pemerintah, yaitu berpindah dari sekedar membiayai masukan (inputs) atau proses ke
pembayaran terhadap apa yang akan dihasilkan (outputs). Perubahan ini penting
dilakukan agar sumber daya yang dimiliki pemerintah dapat digunakan secara optimal,
mengingat tingkat kebutuhan dana yang makin tinggi, sementara sumber dana yang
tersedia terbatas. Orientasi pada output ini menjadi praktik yang makin banyak dianut
oleh pemerintahan di berbagai negara. Mewirausahakan pemerintah (enterprising government) sebagai salah satu bagian dari konsep Reinventing Government yang
104
dikemukakan Osborne dan Gaebler (1991) merupakan paradigma yang memberi arah
yang tepat bagi pengelolaan keuangan sektor publik. Dalam kaitan ini, Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara yang menekankan basis kinerja dalam penganggaran telah
memberi landasan yang penting bagi orientasi baru tersebut di Indonesia.
Pengelolaan kawasan konservasi oleh UPT dengan status BLU telah dipraktikan oleh
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat melalui pembentukan Badan Layanan Umum
Daerah (BLUD) pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kawasan Konservasi
Perairan (KKP). Status BLUD ini ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Raja
Ampat Nomor 61 Tahun 2014 tentang Penetapan UPTD KKP Raja Ampat menjadi
unit kerja yang menerapkan pola PPK-BLUD, dan keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia Nomor 36/Kepmen-KP/2014 tentang Kawasan
Konservasi Perairan Kepulauan Raja Ampat Kabupaten Raja Ampat Di Provinsi Papua
Barat. Terobosan pengelolaan kawasan konservasi juga dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi Jawa Barat dengan menerbitkan Peraturan Gubernur No 46 Tahun 2019
tentang Pola Tata Kelola Badan Layanan Umum Daerah Unit Pelaksana Teknis Daerah
Taman Hutan Raya Ir. H.Djuanda pada dinas Kehutanan Pemerintah Daerah Provinsi
Jawa Barat, yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2019.
Status BLU dipandang menjadi salah satu alternatif terobosan pengelolaan TN
terobosan dikarenakan manfaat yang akan diperoleh, yang dapat dilihat dari
perbandingan kondisi pengelolaan TN saat ini (kondisi sebelum status BLU)
dibandingkan kondisi sesudah status BLU, yang disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 28. Gambaran Perbandingan Pengelolaan TN Sebelum dan Sesudah Berstatus
BLU
Aspek Sebelum Status BLU Sesudah Status BLU
Fungsi 11 fungsi sesuai dengan Peraturan Menteri
LHK Nomor 7/2016 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis TN
11 fungsi sesuai dengan
Peraturan Menteri LHK Nomor
7/2016 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
TN
Struktur
Organisasi
Struktur sesuai dengan Peraturan Menteri
LHK Nomor 7/2016 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis TN
Struktur sesuai dengan Peraturan
Menteri LHK Nomor 7/2016
tentang Organisasi dan Tata Kerja
Unit Pelaksana Teknis TN dengan
melakukan penyesuaian:
▪ menambahkan struktur Dewan
Pengawas dan Satuan
Pemeriksaan Intern
▪ merevisi fungsi pemanfaatan
tumbuhan dan satwa liar, yaitu
dengan menghilangkan kata
“untuk kepentingan non
komersial”)
Pengelolaan
Kepegawaian
Sesuai dengan regulasi kepegawaian KLHK Sesuai dengan SOP kepegawaian
yang ditetapkan oleh Kepala BLU
TN berdasarkan persyaratan tata
kelola BLU
Kerjasama Sesuai dengan Peraturan Menteri LHK
Nomor 44 Tahun 2017 tentang Perubahan
Sesuai dengan SOP terkait kerja
sama yang ditetapkan oleh
105
atas Permen Kehutanan Nomor 85 Tahun
2014 tentang Tata Cara Kerja Sama
Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam.
Kepala BLU TN berdasarkan
persyaratan tata kelola BLU
Pengadaan Barang
dan Jasa
Sesuai dengan Perpres No 16/2018 Sesuai dengan SOP terkait
pengadaan barang dan jasa yang
ditetapkan oleh Kepala BLU TN
berdasarkan persyaratan tata
kelola BLU
Penyusunan
Program dan
Anggaran
Sesuai mekanisme tahapan penyusunan
APBN
Sesuai tahapan penyusunan APBN
Pelaksanaan
Anggaran
Sesuai mekanisme tahapan pelaksanaan
APBN
Sesuai mekanisme tahapan
pelaksanaan APBN, dengan
keleluasaan dapat langsung
menggunakan PNBP yang
diterimanya untuk operasional
TN
Tarif layanan Sesuai dengan PP No 12/2014 Sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan berdasarkan usulan dari
TN. Tarif layanan disesuaikan
dengan kondisi potensi dan
penyediaan layanan masing-masing
TN (bisa berbeda antar TN)
Renumerasi Sesuai dengan regulasi KLHK terkait
tunjangan kinerja
Sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan berdasarkan usulan dari
TN. Renumerasi disesuaikan
dengan kemampuan keuangan TN
dari PNBP yang dihasilkannya.
Laporan
Keuangan
- laporan keuangan menginduk ke Ditjen
KSDAE dan KLHK
-menghasilkan laporan keuangan
yang diserahkan ke Kemenkeu
- laporan keuangan menjadi
lampiran laporan keuangan KLHK
- laporan keuangan diaudit
Sumber: data peneliti (diolah)
Badan Layanan Umum (BLU) menjadi alternatif untuk meningkatkan produktivitas,
inovasi dan kreatifitas dalam pengelolaan TN, karena memiliki fleksibilitas pengelolaan
keuangan, antara lain dalam bentuk mengelola penerimaannya secara langsung untuk operasional TN, menentukan tarif TN BLU sesuai dengan potensinya, pengelolaan
piutang, perumusan standar, penyusunan kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan
keuangan. mengembangkan potensi dan aset yang dimiliki TN dalam rangka
meningkatkan kinerjanya serta dapat meningkatkan pendapatan melalui kerja sama
dengan pihak ketiga maupun hibah.
Dengan menjadi BLU, diharapkan TN dapat memacu kinerja pelayanan dan
memperkuat manajemen keuangannya berdasarkan prinsip ekonomi, produktifitas,
dan penerapan praktik bisnis yang sehat.
Dengan demikian, perubahan TN berstatus BLU diharapkan dapat lebih meningkatkan
produktivitas dan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya, mengingat prinsip yang
ditekankan oleh BLU adalah produktivitas dan efisiensi, bukan sekadar mencari
keuntungan. Hal ini searah dengan fungsi TN sebagai kawasan konservasi yang
106
dilekatkan pada fungsi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Sebagaimana
mandat UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya yang menyatakan bahwa konservasi sumber daya alam hayati
adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Pelaksanaan fungsi tersebut
dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pengelola kawasan juga
perlu memperhatikan keseimbangan antar fungsi yaitu fungsi ekologis, ekonomi dan
sosial budaya. Keseimbangan ketiga fungsi ini harus tercermin dalam pengelolaan
kawasan, dan program kerja TN dalam kerangka optimalisasi potensi yang dimilikinya.
3.3.1. Peluang TN Bertransformasi menjadi Satuan Kerja Berstatus BLU
Taman Nasional sebagai satuan kerja pemerintah dapat menerapkan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU), dengan mengikuti ketentuan yang diatur
dalam penerapannya. Ketentuan tersebut adalah terkait persyaratan menjadi BLU
yaitu: persyaratan substantif, teknis dan administratif. Syarat substantif berkaitan
dengan kapasitas instansi dalam menyelenggarakan layanan umum, seperti penyediaan
barang dan/atau jasa layanan umum, pengelolaan wilayah untuk tujuan meningkatkan
perekonomian masyarakat, dan pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan
ekonomi dan/atau pelayanan masyarakat. Syarat teknis berkaitan dengan kinerja
pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya, dan kinerja keuangan instansi yang bersangkutan. Sedangkan syarat administratif berkaitan dengan kesanggupan
meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat. Selain itu,
juga terkait tata kelola instansi, adanya rencana strategi bisnis, standar pelayanan
(minimum), dan laporan audit.
Berdasarkan hasil analisis temuan di tiga lokasi studi sebagaimana telah dijelaskan di
bagian 3.2 di atas , terlihat bahwa secara umum TN memiliki peluang besar untuk
menjadi BLU karena dapat memenuhi ketiga persyaratan sesuai PMK 180/2016.
Selain itu, peluang TN berstatus BLU juga didukung oleh:
a. regulasi terkait konservasi sebagaimana telah disajikan di bagian 3.1.
b. pembangunan pariwisata di RPJMN 2020-2024 tidak menggunakan indikator
jumlah wisatawan, namun devisa yang dihasilkan. Hal ini merupakan peluang
untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan dan memitigasi terjadinya
mass tourism di kawasan konservasi.
c. survei booking.com yang menyebutkan generasi milenial bersedia membayar
lebih untuk layanan yang lebih baik.
d. sudah tersedianya hasil inventarisasi potensi kawasan, yang perlu dilanjutkan
ke tahap implementasi pengembangan potensi kawasan.
Kondisi lain yang perlu dicermati adalah terjadinya tren kenaikan jumlah pengunjung
ke kawasan konservasi, sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut ini:
107
Tabel 29. Kunjungan Wisatawan Nusantara dan Mancanegara 2010-2014
Sumber: Paparan KSDAE, 22 Mei 2015
Pada periode berikutnya, buku Statistik KSDAE 2017 menunjukkan bahwa kunjungan
wisatawan ke kawasan Taman Nasional TN, Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman
Buru (TB) di tahun 2016 jumlahnya cukup signifikan. Total kunjungan wisatawan dalam dan luar negeri mencapai 7.275.687 orang, sebagaimana disajikan pada tabel di
bawah ini:
Tabel 30. Jumlah Data Kunjungan Wisatawan Nusantara dan MancanegaraTabel xx
Jumlah Data Kunjungan Wisatawan Nusantara dan Mancanegara 2017
Sumber: Statistik KSDAE 2017
Tabel di atas menunjukkan tingginya minat masyarakat, baik dari luar maupun dalam
negeri untuk berkunjung ke TN dalam rangka rekreasi, yang disusul dengan tujuan
pendidikan, penelitian dan lain-lain.
Terkait dengan tren kenaikan pengunjung, di satu sisi merupakan konsekuensi dari
penggunakan indikator “jumlah kunjungan wisatawan” yang ada di Renstra KSDAE
2015-2019. Namun, kenaikan jumlah pengunjung kurang dibarengi dengan kesiapan
108
pengelola TN, sehingga peluang ini telah berkembang menjadi menjadi tantangan
dalam bentuk mass tourism yang berpotensi mengancam kelestarian kawasan.
Dengan kondisi seperti ini, maka pengelola TN harus merespons perkembangan ini,
dengan mengoptimalkan potensi dan mencegah permasalahan yang terjadi. Oleh
karena itu, pengelola TN membutuhkan fleksibilitas pengelolaan dan status BLU
memberikan peluang lebih bagi pengelola TN untuk merespons perkembangan yang
ada karena fleksibilitas pengelolaan, termasuk fleksibilitas pengelolaan keuangan yang
dimiliki.
3.3.2. Tantangan TN Bertransformasi menjadi Satuan Kerja Berstatus
BLU
Tantangan yang akan dihadapi dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: (1) tantangan
pada saat memutuskan perlunya perubahan status TN menjadi BLU; dan (2) tantangan
pengelolaan TN pasca perubahan status TN menjadi BLU. Berikut ini akan diuraikan
masing-masing kategori tantangan tersebut.
1. Tantangan Pada Saat Memutuskan Perlunya Perubahan Status TN Menjadi BLU
Tantangan pada saat memutuskan perlunya perubahan status TN menjadi BLU di
beberapa TN, antara lain: yang dipandang membutuhkan. Tantangan yang muncul:
a. Menyamakan persepsi di internal Ditjen KSDAE. Menimbang manfaat dan
dampak negatif menjadi satu hal yang perlu dilakukan secara seksama.
b. Meyakinkan Menteri terkait pentingnya perubahan status TN menjadi BLU di
beberapa TN yang dipandang membutuhkan.
c. Menyiapkan dokumen pemenuhan persyaratan TN menjadi BLU.
Dari good practice pengusulan Balitbang Kementerian ESDM menjadi BLU4, dapat
diambil pelajaran bahwa komitmen pimpinan (baik Menteri maupun Dirjen)
menjadi faktor kunci kesuksesan. Waktu yang dibutuhkan oleh Balitbang
Kementerian ESDM untuk menjalankan proses pengubahan status menjadi BLU
adalah 1,5 tahun.
Beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan untuk memutuskan jadi/tidaknya
perubahan status TN menjadi BLU pada beberapa hal yang dipandang sudah siap
dan membutuhkan adalah sebagai berikut:
a. Adanya Inisiasi model Taman Nasional Mandiri sejak tahun 2006.
Kementerian Kehutanan telah menginisiasi melalui pembuatan 21 model TN,
berdasarkan Surat Keputusan (SK) Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam (PHKA) Nomor SK.128/IV‐Sek/HO/2006 tentang Perubahan Keputusan
Direktur Jenderal PHKA Nomor SK.69/IV-Set/HO/2006 tentang Penunjukan
Taman Nasional sebagai Taman Nasional Model. Inisiasi ini dalam rangka
mengembangkan fungsi TN dan kebermanfaatannya. Taman Nasional yang
menjadi model dalam SK ini adalah TN Gunung Leuser, TN Gunung Kerinci
Seblat, TN Way Kambas, TN Bukit Barisan Selatan, TN Ujung Kulon, TN
4 Disampaikan pada saat Workshop Triangulasi Studi, Agustus 2019
109
Kepulauan Seribu, TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Halimun Salak,
TN Bromo Tengger Semeru, TN Meru Betiri, TN Alas Purwo, TN Bali Barat,
TN Gunung Rinjani, TN Komodo, TN Kelimutu, TN Tanjung Puting, TN
Betung Kerihun, TN Wakatobi, TN Lore Lindu, TN Bunaken, dan TN Wasur.
b. Pembentukan BLU pada TN telah masuk dalam rencana strategis
Kementerian Kehutanan periode 2010-2014. Pada penyusunan Rencana
Strategis (Renstra) periode 2010-2014, Kementerian Kehutanan berupaya
mendorong pembangunan TN menjadi lebih mandiri untuk memperkuat
fungsi pemanfaatan dan perlindungan TN. Upaya tersebut dimunculkan untuk
target menjadikan TN melalui BLU. Dalam Renstra ini, Kementerian
Kehutanan menargetkan akan melakukan revitalisasi terhadap potensi TN
yang memiliki keanekaragaman hayatinya tinggi, terdapat spesies langka dan
flagship, atau mempunyai fungsi pelindung hulu sungai, dan atau memiliki
potensi wisata alam signifikan, sudah dapat mandiri membiayai seluruh atau
sebagian program pengembangan konservasi. Jumlah yang ditargetkan dalam
Renstra 2010-2014 sebanyak 12 TN. Dua belas TN merupakan indikator
kinerja utama dalam Renstra tersebut. Namun sampai saat ini, rencana ini
belum terealisasi. Salah satu penyebabnya adalah karena adanya kebijakan dari
Menteri Keuangan di tahun 2013 untuk melakukan moratorium penetapan
BLU karena Kementerian Keuangan menilai perlu melakukan perbaikan
kebijakan yang berkaitan dengan PPK-BLU. Dengan terbitnya PMK
180/PMK.05/2016 penetapan BLU bisa dilakukan kembali
c. Adanya ancaman mass tourism di beberapa TN, antara lain TN Komodo dan
TN Bromo Tengger Semeru. Untuk mencegah dampak negatif yang lebih
besar, kedua TN ini perlu dikelola dengan cara yang berbeda, yaitu dengan
menggunakan konsep pariwisata berkelanjutan. Konsep ini membutuhkan
fleksibilitas pengelolaan dan hal ini bisa dilakukan jika berubahn status menjadi
BLU.
2. Tantangan Pengelolaan TN pasca-Perubahan Status TN Menjadi BLU
Tantangan kedua adalah tantangan pengelolaan TN pasca perubahan status TN
menjadi BLU, yang antara lain mencakup:
a. Perlunya mengubah Mindset Lama menjadi Mindset Baru. Dalam
mempersiapkan persyaratan administratif, pengelola TN perlu meningkatkan
kapasitas dalam penyusunan rencana bisnis dan anggaran, Standar Pelayanan
Minimal (SPM) dan Pola Tata Kelola. Dalam penyiapan persyaratan
administratif diperlukan kapasitas yang memadai terutama dalam
mengembangkan rencana bisnis TN. Menurut Santi dan Irda (2009), kendala
utama dalam penerapan PPK-BLU adalah perubahan mindset lama ke mindset baru. Lebih lanjut Santi dan Irda menyatakan bahwa pengelolaan BLU
merupakan konsep baru dalam pengelolaan keuangan negara. Badan Layanan
Umum merupakan pola pengelolaan keuangan yang diterapkan kepada satuan
kerja (satker) yang memiliki fungsi pelayanan kepada masyarakat dan PNBP
yang timbul dari pelayanan tersebut. Meski tidak berorientasi keuntungan, BLU
menekankan pada peningkatan kinerja, beroperasi secara efisien dan memiliki
kinerja keuangan yang sehat. Hal ini berbeda jauh dengan mekanisme
pengelolaan saat ini yang mengedepankan serapan anggaran.
110
b. Ketersediaan, Penempatan dan pengembangan Sumber Daya
Manusia (SDM). Pengelolaan BLU membutuhkan SDM yang kompeten dan
berintegritas. SDM yang saat ini dimiliki meupakan modal dan perlu
dikembangkan agar bisa menjalankan komitmen TN meningkatkan
pelayanannya. Namun demikian, penilaian mengenai efektivitas pengelolaan
kawasan berdasarkan METT dimana rata-rata TN memperoleh nilai 75%-80%,
yang berarti dianggap pengelolaanya baik dapat menjadi modal uang mengelola
TN berstatus BLU.
c. Sistem Akuntabilitas. Status BLU TN membawa konsekuensi meningkatkan
otonomi pengelolaan TN. Kondisi ini memerlukan perbaikan pelaksanaan
sistem akuntabilitas pengelolaan keuangan maupun kinerja. Problem-problem
terkait “kebocoran” pendapatan harus dicegah. Pengelola TN menyadari
bahwa masih banyak potensi yang dapat dikelola, dimanfaatkan dan
dikembangkan, sehingga dapat menarik minat masyarakat untuk wisata,
rekreasi, penelitian atau lainnya. Pada gilirannya ini akan meningkatkan
pendapatan (PNBP). Sebagai satker, TN akan diminta untukmenyusun laporan
keuangan secara berkala menggunakan standar akuntansi pemerintah yang
telah ditetapkan. Hal ini menjadi tantangan yang perlu dimitigasi mengingat
selama ini TN belum menyusun laporan keuangan karena masih menginduk ke
laporan keuangan Ditjen KSDAE dan KLHK.
d. Komitmen Pengelola TN untuk meningkatkan kinerja. Tantangan lain
yang muncul pasca penetapan status BLU TN adalah memastikan pengelola melaksanakan komitmen peningkatan kinerja yang telah disepakati. Dari tiga
lokasi studi, secara cara umum responden pengelola TN menyampaikan
kesanggupannya untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan dan
memberikan manfaat bagi masyarakat. Kesanggupan ini juga disampaikan oleh
Kepala Balai TN-BTS dan TN-GHS. Terutama TN-BTS yang menjadi salah satu
TN yang pernah diusulkan menjadi BLU oleh KLHK pada tahun 2012.
Kesanggupan ini juga didorong oleh banyaknya potensi yang belum
dikembangkan dan tingginya kebutuhan akan pengelolaan TN. Namun
demikian kesanggupan di level pimpinan perlu dipahami dan didukung oleh
seluruh pegawai TN. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan sosialisasi dan
penguatan kapasitas pegawai TN. Hal ini perlu dilakukan diawal oleh pengelola
TN, sehingga bila terjadi perubahan sistem setelah berstatus BLU, pra pegawai
TN sudah siap beradaptasi sesuai dengan status barunya tersebut.
e. Pengelolaan BLU membutuhkan SDM yang kompeten dan berintegritas. SDM
yang saat ini dimiliki meupakan modal dan perlu dikembangkan agar bisa
menjalankan komitmen TN meningkatkan pelayanannya.
Tantangan lain yang muncul pasca penetapan status BLU TN adalah memastikan
pengelola melaksanakan komitmen peningkatan kinerja yang telah disepakati.
Dari tiga lokasi studi, secara cara umum responden pengelola TN menyampaikan
kesanggupannya untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Kesanggupan ini juga disampaikan oleh Kepala Balai TNBTS
dan TNGHS. Terutama TNBTS yang menjadi salah satu TN yang pernah diusulkan
menjadi BLU oleh KLHK pada tahun 2012. Kesanggupan ini juga didorong oleh
banyaknya potensi yang belum dikembangkan dan tingginya kebutuhan akan
pengelolaan TN. Namun demikian kesanggupan di level pimpinan perlu dipahami dan
111
didukung oleh seluruh pegawai TN. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan sosialisasi
dan penguatan kapasitas pegawai TN. Hal ini perlu dilakukan diawal oleh pengelola
TN, sehingga bila terjadi perubahan sistem setelah berstatus BLU, pra pegawai TN
sudah siap beradaptasi sesuai dengan status barunya tersebut.
3.4 Merancang Masa Depan TN Berstatus BLU
KLHK pernah memiliki rencana untuk membentuk TN Mandiri maupun TN model,
namun rencana ini belum terealisasi dengan baik. Belajar dari hal ini, dipandang
penting untuk dikembangkan desain TN berstatus BLU, yang didasarkan pada
beberapa pertimbangan berikut ini:
Pertama, a). sSebagai kawasan konservasi, TN memiliki fungsi perlindungan,
pengawetan dan pemanfaatan. Keberadaan TN di Indonesia sebagian besar memiliki
karakteristik pemanfaatan ganda. Selain menjalankan fungsi ekologi juga menjalankan
fungsi sosial budaya dan ekonomi bagi kehidupan komunitas lokal dan komunitas adat
(ekonomi-budaya). Fungsi utama dari keberadaan TN adalah fungsi perlindungan
terhadap keberlanjutan ekosistem kehidupan di sekitarnya. Peran TN yang cukup
besar tersebut dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan yang dihadapi oleh TN,
misalnya ketercukupan SDM yang profesional dan anggaran yang memadai. Pada sisi
lain, pengelola TN masih menghadapi berbagai tantangan terkait isu sosial budaya,
antara lain: hubungan yang belum harmonis dengan masyarakat di sekitar kawasan;
lemahnya dukungan secara nasional; konflik dengan instansi pemerintah lainnya;
ketidakkokohan dan ketidakcukupan anggaran; dan kecenderungan penduduk di
sekitar kawasan hutan yang lebih miskin (Wiratno et al. 2004; Basuni 2009).
Kedua, b). TN dikelola dengan menggunakan paradigma konservasi, bukan protection. Paradigma ini tercermin pada upaya untuk menyeimbangkan fungsi perlindungan,
pengawetan dan pemanfaatan untuk setiap sumberdaya yang ada dalam ekosistem atau
ada dalam lingkungannya (Fadeli, 2014). Penggunaan paradigma ini perlu disiapkan oleh
TN secara organisasi, sehingga dalam pengelolan kawasan dapat dioptimalkan. Fungsi
konservasi perlu dilaksanakan seiring sejalan antara perlindungan dan pemanfaatannya,
yaitu seimbang antara fungsi dari aspek ekologis, ekonomi dan sosial budaya yang
telah dijabarkan di dalam sebelas fungsi TN. Ketiga aspek ini perlu dilaksanakan secara
seimbang agar kelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati tetap terjaga serta
dapat menjadi sumber penghidupan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar TN. Untuk mencapai tujuan itu, TN memerlukan pola pengelolaan potensi kawasan yang
produktif, sehingga manfaat dan dampaknya bisa dirasakan oleh ekosistem dan
masyarakat baik di sekitar maupun di luar kawasan TN. Hal ini sejalan dengan PP
Nomor 28 Tahun 2011 tentang KPA dan KSA, terutama Pasal 35 yang menyatakan
bahwa pemanfaatan kegiatan seperti penelitian dan pengembangan,
penyimpanan/penyerapan karbon, pemanfaatan tumbuhan tumbuhan dan satwa, dan
lainnya.
Selain potensi wisata alam, pemanfaatan yang bersifat tradisional seperti pemungutan
hasil hutan bukan kayu, budidaya tanaman, termasuk bio prospecting dan
penangkaran satwa juga merupakan potensi yang dapat dikembangkan TN. Pengelola TN perlu didorong untuk meningkatkan produktifitas pengelolaannya, agar manfaatnya
dapat yang dirasakan oleh ekosistem dan masyarakat.
112
Ketiga, Ppenerapan BLU menjadi solusi dalam menghadapi tantangan yang selama ini
dihadapi oleh TN. Pendekatan yang dibangun melalui status BLU adalah mendorong
pengelola TN meningkatkan kinerja layanan dan kinerja organisasi. Satuan kerja yang
berstatus BLU diberikan fleksibilitas pada batas-batas tertentu, diantaranya jumlah
dana yang dapat dikelola langsung, pengelolaan barang, pengelolaan piutang,
perumusan standar, penyusunan kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan
keuangan. Sementara itu, fleksibilitas batas-batas tertentu yang berkaitan dengan
jumlah dana yaitu pembatasan penggunaan PNBP yang diperoleh dan tidak
diberikannya ambang batas belanja yang bersumber dari PNBP. Keberadaan potensi
dan kepemilikan fungsi TN terhadap ekonomi, ekologi dan sosial budaya ini
diharapkan dapat berkembang dan bermanfaat secara maksimal bagi masyarakat dan
ekosistem yang di sekitar kawasan. Oleh karena itu, upaya menjadikan TN berstatus
BLU yang memiliki fleksibilitas menjadi harapan agar TN dapat secara mandiri dapat
membiayai pengelolaannya.
3.4.1. Pengelolaan Desain TN Berstatus BLU: Pengelolaan TN secara
kolaboratif
Berdasarkan beberapa pertimbangan sebagaimana dijelaskan di atas, desain TN
berstatus BLU adalah TN yang dikelola secara kolaboratif5.
Keberadaan TN diharapkan dapat memberikan manfaat pada ekosistem di kawasan,
dan semua pihak yang bersentuhan langsung dengan keberadaan TN. Kendati TN
merupakan urusan pemerintah pusat, namun keberadaannya di wilayah provinsi dan
kabupaten/kota. Selain itu, keberadaan TN bersentuhan langsung dengan pemerintah
desa dan masyarakat yang ada di sekitar kawasan. Maka pengelolaan TN harus
terintegrasi dengan wilayah di sekitar kawasan TN, sehingga keberadaan TN yang di
dalamnya ada potensi (barang dan jasa) memberikan dampak pada wilayah dan
masyarakat di sekitarnya. Sehingga daerah di sekitar TN dapat berkembang dan TN
mendapat perhatian dari semua pihak.
Melalui tata kelola kolaboratif, TN menjadi magnet bagi semua pihak yang berada di
sekitar TN. Pendekatan kolaboratif dan lintas stakeholder diperlukan untuk
menyelesaikan masalah yang kompleks dihadapi oleh TN. Pengembangan fungsi
perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan penting diperhatikan oleh pengelola TN,
sehingga keberadaan TN dapat memberikan manfaat kelestarian ekosistem di
kawasan, dan semua pihak yang bersentuhan langsung dengan keberadaan TN.
Kendati TN merupakan urusan pemerintah pusat, namun keberadaannya di wilayah
provinsi dan kabupaten/kota sangat penting. Karena itu, sinergi dengan pemerintah
daerah menjadi penting untuk dilakukan.
5 Perumusan desain TN berstatus BLU dilakukan pada saat pelaksanaan workshop triangulasi studi
yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan di bulan Agustus 2019.
113
Perubahan status BLU pada TN
membawa sejumlah konsekuensi pada
desain kelembagaan dalam menjalankan
fungsi BLU. Status BLU menuntut
ditingkatkannya produktivitas dan
efesiensi pelayanan, dengan tetap
memperhatikan tujuan dan prinsip-prinsip
konservasi yang melekat pada fungsi
utama TN yaitu: pengawetan,
pemanfaatan, dan perlindungan, seperti
yang dinyatakan dalam PP Nomor 28
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam.
Lebih lanjut, peran TN berstatus BLU dapat diukur melalui kemampuan TN dalam
mengelola potensi yang dimiliki untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan untuk
masyarakat dan ekosistem yang ada di kawasan. Kemampuan tersebut ditandai oleh
peningkatan pelayanan kepada ekosistem dan masyarakat. Peningkatan pelayanan
kepada ekosistem diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan ekosistem yang
ada, sehingga menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk berkunjung ataupun dijadikan
nilai ekonomi bagi TN. Sementara peningkatan pelayanan kepada masyarakat
diharapkan dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan keingintahuan terhadap potensi-
potensi yang dimiliki oleh TN. Maka desain kelembagaan TN berstatus BLU perlu
mengakomodir bidang yang akan menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
Pengelolaan kolaboratif kawasan TN perlu dilakukan dengan melibatkan kepentingan
berbagai pihak dan berupaya mencapai berbagai tujuan. tidak hanya TN semata.
Melalui optimalisasi fungsi ekologis diharapkan kelestarian lingkungan hidup terjaga;
melalui optimalisasi fungsi ekonomi diharapkan pembiayaan TN dapat mengalami
keberlanjutan; dan melalui optimalisasi fungsi sosial budaya diharapkan kesejahteraan
masyarakat dapat tercapai atau meningkat.
Keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan konservasi, juga perlu
memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan, baik di ranah
pengelola TN maupun di ranah masyarakat melalui pemberian akses, partisipasi, dan
kontrol yang sama, sehingga manfaat keberadaan TN dapat dirasakan oleh semua
pihak. Dengan kolaborasi dan pembagian peran yang sama bagi semua kelompok
masyarakat baik laki-laki dan perempuan, diharapkan akan memperkuat fungsi TN
dalam aspek ekologis, ekonomi, dan sosial budaya.
Tata kelola yang kolaboratif (collaborative governance) bagi TN di masa mendatang
menjadi sebuah tuntutan, agar TN mampu bersinergi dalam mengelola wilayah yang
begitu luas dengan SDM yang terbatas. Melalui tata kelola yang kolaboratif, pengelola
TN bersama dengan pemangku kepentingan lainnya yaitu pemerintah daerah, pihak
swasta, akademisi dan masyarakat dapat duduk bersama menyusun pola komunikasi,
kerjasama dan penyelesaian konflik yang terjadi dalam pengelolaan kawasan TN. Hal
ini dipandang akan dapat mengoptimalkan peran TN dan meningkatkan kinerjanya
dalam melayani masyarakat dan ekosistemnya.
Taman Nasional
Kabupaten/ Kota
Provinsi
Perguruan Tinggi
Media
Perusahaan
Pemerintah Desa
Masyarakat
Kolaborasi dalam Pengelolaan TN
114
3.4.2. Tahapan pengembangan pemanfaatan potensi Taman Nasional
pasca-Status BLU
Taman Nasional sebagai kawasan konservasi memiliki fungsi perlindungan, pengawetan
dan pemanfaatan yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu, pemanfaatan potensi
Taman di dalam TN memiliki karakteristik sebagai berikut:
a) Keberlanjutan fungsi kawasan konservasi merupakan orientasi pokok (core business) yang menjadi tujuan utama pengelolaannya.
b) Orientasi pengelolaannya adalah pada kegiatan yang bersifat non-direct use,
pengembangan intangible benefits, dan memberikan kontribusi pengembangan
ekonomi bagi masyarakat dan daerah.
c) Kegiatan pemanfaatan fisik harus mempertimbangkan keseimbangan dan
kelestarian sumberdaya alam hayati beserta ekosistem yang dimanfaatkannya.
d) Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan daerah merupakan trade off pengelolaan kawasan terhadap kerusakan yang diperkirakan akan terjadi.
e) Taman nasional dikelola secara kolaboratif, sehingga implikasi terhadap benefit sharing (pembagian manfaat) harus jelas, transparan, adil, dan akuntabel.
Kekurangtepatan dalam pembagian manfaat ini dapat menimbulkan konflik
pengelolaan yang melibatkan banyak pihak.
f) Pengembalian biaya investasi (return of investment) sulit untuk dihitung akibat
keterbatasan kegiatan usaha bisnis yang dapat ditawarkan, sehingga kurang
menarik bagi investor, khususnya lembaga perbankan.
Berdasarkan kondisi ini, maka perlu dibuat tahapan pengembangan pemanfaatan
Taman Nasional agar realistis dilaksanakan, yang dapat dibagi menjadi tiga tahapan,
yaitu:
a. Tahap pertama: pengembangan sustainable tourism. b. Tahap kedua: pemanfaatan TSl, antara lain melalui bioprospecting. c. Tahap ketiga: perdagangan karbon.
Untuk menjaga agar pemanfaatan kawasan “tidak eksploitatif” dan tetap sejalan
dengan fungsi perlindungan dan pengawetan, maka dapat dikembangkan kriteria
pemanfaatan kawasan, antara lain:
(i) pengembangan usaha dilakukan di zona pemanfaaatan; (ii) pengembangan usaha
harus ramah lingkungan. Misalnya, untuk pengembangan jasa wisata alam, maka yang akan dikembangkan adalah sustainable tourism (pariwisata berkelanjutan) dan bukan
mass tourism, dimana pengunjung akan diedukasi mengenai aturan-aturan memasuki
kawasan konservasi; (iii) pengembangan usaha dilakukan secara kolaboratif dengan
masyarakat sehingga bisa mengatasi kemiskinan masyarakat di sekitar TN; (iv)
penyusunan tarif tiket dilakukan dengan memperhatikan kemampuan finansial berbagai
kelompok masyarakat untuk memastikan TN dapat dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat;
Transformasi status menjadi BLU merupakan salah satu alternatif terobosan
pengelolaan Taman Nasional. Melalui perubahan status menjadi BLU, maka TN
diharapkan menghasilkan kondisi akhir sebagai berikut:
115
Gambar kondisi akhir yang diharapkan dari status BLU
Kondisi di atas akan dapat tercapai, bila pengelolaan TN menerapkan prinsip
kolaboratif. Mengapa tata kelola kolabotif? Karena sejatinya pengelolaan kawasan TN
melibatkan kepentingan berbagai pihak dan berupaya mencapai berbagai tujuan. tidak
hanya TN semata. Melalui optimalisasi fungsi ekologis diharapkan kelestarian
lingkungan hidup terjaga; melalui optimalisasi fungsi ekonomi diharapkan pembiayaan
TN dapat mengalami keberlanjutan; dan melalui optimalisasi fungsi sosial budaya
diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai atau meningkat.
Berbagai tujuan itu akan dapat tercapai bila terdapat kerjasama/kolaborasi dan sinergi
antar pemangku kepentingan. Ringkasnya, tata kelola yang kolaboratif (collaborative governance) bagi TN di masa mendatang menjadi sebuah tuntutan, agar TN mampu
bersinergi dalam mengelola wilayah yang begitu luas dengan SDM yang terbatas.
Melalui tata kelola yang kolaboratif, pengelola TN bersama dengan pemangku
kepentingan lainnya yaitu pemerintah daerah, pihak swasta, akademisi dan masyarakat
dapat duduk bersama menyusun pola komunikasi, kerjasama dan penyelesaian konflik
yang terjadi dalam pengelolaan kawasan TN. Hal ini dipandang akan dapat
mengoptimalkan peran TN dan meningkatkan kinerjanya dalam melayani masyarakat
dan ekosistemnya.
Ekologis
Ekonomi
Sosial Budaya
Kelestarian terjaga
Keberlanjutan Pembiayaan
Masyarakat Sejahtera
116
BAB IV
KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
4.1. 4.1 Kesimpulan
4.1.1. Kebijakan yang mendukung dan menghambat TN untuk
memperoleh status BLU.
Berdasarkan matriks peta regulasi terkait pengelolaan TN sebagaimana disajikan di
bagian 3.1, maka posisi regulasi dapat dikategorisasi menjadi 3 (tiga), yaitu:
mendukung, menghambat, berpotensi mendukung/menghambat.
1. Regulasi yang mendukung
Berdasarkan matriks di bagian 3.1 terlihat bahwa bahwa sebagian besar peraturan
perundang-undangan tersebut berpeluang mendukung peningkatan peran dan kinerja
TN, termasuk pada saat TN telah berstatus BLU.
Regulasi yang mendukung, yaitu:
Tabel 31. Regulasi yang Mendukung TN Menjadi BLU
No Regulasi Deskripsi ringkasan
1. UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
UU ini menetapkan TN sebagai KPA, yang salah
fungsinya adalah pemanfaatan sumber daya alam hayati
dan ekosistem, memberikan kesempatan besar kepada
TN untuk memperluas manfaat baik secara ekologis
maupun ekonomis secara lestari. Sebagaimana dijelaskan
dalam psl 26, 29 ayat (1) huruf a, 30 dan 31)
2 UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
UU ini mengatur bahwa hutan konservasi terdiri dari
Kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian
alam, dan taman buru. Dan pemanfaatannya dapat
dilakukan di semua kawasan, kecuali pada hutan cagar
alam, serta zona inti dan zona rimba pada taman
nasional.
3. UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Dalam pasal 42 dan 43, peraturan ini mendorong
kawasan konservasi, termasuk TN, untuk melakukan
perencanaan dan kegiatan ekonomi, termasuk
mengupayakan pendanaan. Melalui kegiatan ekonomi ini
keberlangsungan hidup TN dapat terjaga karena ada
ketersediaan dana, sembari pada saat yang sama tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya.
4. UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara
UU ini memberikan peluang bagi TN untuk menjadi
BLU, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 68 dan 69.
Melalui perubahan status ini, maka TN berpeluang
memperoleh sumber pendapatan non APBN. Hal ini
bisa menjadi salah satu alternatif keberlanjutan
pembiayaan bagi kawasan konservasi.
117
5 PP No. 34 Tahun 2002 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan,
Pemanfaatan Hutan dan
Penggunaan Kawasan Hutan
PP ini terutama pasal 2, 5 dan 6, memberikan dukungan
kepada TN untuk melakukan penataan dan zonasi
kawasan untuk dikembangkan sebagai potensi untuk
peningkatan kinerja layanan yang merupakan salah satu
persyaratan teknis BLU.
6 PP No. 28 Tahun 2011 jo PP
Nomor 108 Tahun 2015 tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam
Melalui kewenangan yang diberikan kepada TN, pasal 35
dan 49 mendorong TN untuk mengembangkan potensi
kawasan bersama masyarakat. Kewenangan ini
merupakan peluang bagi peningkatan kinerja layanan
TN.
7 PP No. 74 Tahun 2012 tentang
Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun
2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum
Pasal 4 dalam PP ini telah membuka ruang bagi TN
sebagai wilayah kawasan yang untuk dijadikan BLU.
8 PP No 50 Tahun 2011 tentang
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Nasional Tahun
2010-2025
Pasal 2 menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan
yang berkelanjutan merupakan satu dari empat misi
pembangunan kepariwisataan nasional.
9 PP No. 71 Tahun 2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan
Kendati TN sudah terbiasa menggunakan SAP, dengan
menjadi BLU pembinaan keuangan langsung dilakukan
oleh Kemenkeu dan memastikan keuangan dikelola
secara transparan dan akuntabel. (pasal 4)
10 PP No. 18 Tahun 1994 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di
Zona Pemanfaatan Taman
Nasional, Taman Hutan Raya,
dan Taman Wisata Alam
sebagaimana telah direvisi dalam
PP No 36 Tahun 2010.
Kebijakan ini mengatur mekanisme dalam pemanfaatan
kawasan, termasuk TN sebagai fungsi pariwisata,
rekreasi, budaya dan pendidikan, di zona pemanfaatan.
Selain itu, TN juga dapat melakukan kerjasama dalam
pengusahaan pariwisata alam .
11 PP No. 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa
Pengaturan pada peraturan ini seluruhnya menunjang
fungsi layanan TN terhadap flora dan fauna, dan juga
sebagai tempat pendidikan dan penelitian.
12 PP No. 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan
Satwa Liar
Kebijakan ini memperkuat 11 fungsi TN unit kerja
layanan flora dan fauna dalam melakukan pemanfataan
tumbuhan dan satwa liar. Hal ini dapat dilakukan dalam
bentuk Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
Penangkaran; Perburuan; Perdagangan; Peragaan;
Pertukaran; Budidaya tanaman obat-obatan; dan
Pemeliharaan untuk kesenangan. Pada beberapa kegiatan
tadi perlu seijin menteri.
13 PP No 6 Tahun 2007
sebagaimana telah diubah dengan
PP No 3 Tahun 2008 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan,
serta Pemanfaatan Hutan
PP ini mengatur mengenai:
(a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan
hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan di kawasan hutan pelestarian alam seperti
TN;
(b) definisi pemanfaatan hutan, yaitu kegiatan untuk
memanfaatkan awasan hutan, memanfaatkan jasa
lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan
bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan
bukan kayu secara optimal dan adil untuk
kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga
kelestariannya; dan
(c) pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh
kawasan hutan sebagaimana yaitu kawasan; (i)
118
hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona
rimba, dan zona inti dalam taman nasional; (ii) hutan
lindung; dan (iii) hutan produksi.
14 Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.56/Menhut-II/2006
tentang Pedoman Zonasi Taman
Nasional
Peraturan ini menjelaskan tentang pengaturan zonasi
yang bisa dilakukan oleh TN dengan kriteria yang telah
ditentukan. Pasal 6 huruf c dan f memberikan
kesempatan kepada TN untuk mengembangkan usaha
sarana pariwisata alam yang dapat meningkatkan nilai
manfaat TN dalam mendapatkan pendapatannya.
15 Peraturan Menteri LHK Nomor
7/2016 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
TN
Permen ini ini mendukung dalam hal struktur organisasi
TN yang ada saat ini dapat dioptimalkan untuk
pengelolaan TN jika berubah status menjadi BLU.
Namun demikian, fungsi pemanfaatan TSL dibatasi
untuk“ kepentingan non komersial” sehingga
berdasarkan hal ini TN tidak bisa melakukan
pemanfaatan TSL untuk diperdagangkan.
16 Peraturan Menteri Kehutanan
No 81/2014 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Inventarisasi Potensi
pada Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam
Pasal 4 Permen ini mengatur bahwa, inventarisasi
potensi Kawasan meliputi: (a) potensi ekologi; dan (b)
potensi ekonomi dan sosial budaya.
17 Peraturan Menteri LHK No 8
Tahun 2019 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di
Suaka Margasatwa, Taman
Nasional,Taman Hutan Raya, dan
Taman Wisata Alam (merupakan
revisi dari Peraturan Menteri
Kehutanan No. 48/2010 dan
Peraturan Menteri Kehutanan
No 4/2012
Permen ini memberikan peluang bagi Taman Nasional
untuk bermitra dengan pemegang IUPJWA dan IUPSWA
dalam mengembangkan jasa wisata alamnya.
18 Peraturan Menteri LHK Nomor
44 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Permen
Kehutanan Nomor 85 Tahun
2014 tentang Tata Cara Kerja
Sama Penyelenggaraan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
Kebijakan ini mengatur bagi KSA dan KPA dalam
melakukan kerjasama dalam pengelolaan kawasan.
Kerjasama yang dilakukan bertujuan untuk mewujudkan
penguatan tata kelola pengelolaan kawasan dan
konservasi keanekaragaman hayati.
19 Peraturan Menteri Keuangan
No.180 Tahun 2016 tentang
Penetapan dan Pencabutan
Penerapan Keuangan BLU pada
Satuan Kerja Instansi Pemerintah.
Dalam pasal 3 ayat (1) huruf b secara khusus
memberikan perhatian kepada penyelenggara kawasan
seperti TN untuk bisa bertransformasi menjadi status
BLU. Dengan ketentuan dapat memenuhi tiga
persyaratan yang ditentukan, yaiitu substantif, teknis dan
administratif sebagaimana tercantum dalam pasal 2
peraturan ini.
20 Peraturan Menteri LHK Nomor
43 Tahun 2017 tentang
Pemberdayaan Masyarakat di
Sekitar KSA dan KPA
Kebijakan ini merupakan turunan dari PP 28 Tahun 2011
tentang pengelolaan KSA dan KPA. Kebijakan ini
mengatur lebih lanjut tentang upaya pemberdayaan
masyarakat di sekitar KSA dan KPA, dengan tujuan
untuk mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan
masyarakat di sekitar kawasan guna mendukung
kelestarian kawasan.
119
2. Regulasi yang menghambat
Beberapa regulasi yang dapat menghambat TN menjadi BLU, antara lain:
a. PP Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan.
b. Peraturan Pemerintah ini beserta turunannya saat ini menjadi penghambat bagi
TN karena: (i) terdapat daftar layanan beserta tarifnya mengakibatkan TN
tidak bisa dapat mengembangkan potensi kawasannya dengan mengembangkan
berbagai paket ekowisata untuk berbagai segmen pengunjung; (ii) Tarif masuk
yang ditetapkan sudah tidak sesuai dengan dinamika sosial ekonomi
masyarakat maupun jika dibandingkan dengan layanan sejenis yang disediakan
oleh swasta. Contoh: rendahnya tarif masuk pengunjung TN bagi wisatawan nusantara/domestik yang hanya ditetapkan Rp 5.000/orang/hari untuk Rayon
III, bahkan bila rombongan pelajar/mahasiswa hanya Rp 3.000.
c. Hambatan ini akan terselesaikan jika TN berstatus BLU karena status BLU
menjadikan TN memiliki diskresi untuk mengajukan tarif layanan di luar yang
telah ditetapkan oleh PP 12/2014. Usulan tarif layanan diajukan ke
Kementerian Keuangan.
d. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah.
e. Bagi TN yang masih Satker harus mengikuti proses pengadaan barang dan jasa
yang telah ditetapkan dalam Perpres, sementara kebutuhan TN terkadang
memerlukan proses pengadaan yang fleksibel, contohnya pengadaan barang
dan jasa untuk kebutuhan pengunjung dan pemadam kebakaran. Namun
demikian,
f. Jjika sudah menjadi BLU, Peraturan ini memberikan keleluasaan kepada BLU
dalam rangka pengadaan barang dan jasa, karena dikecualikan dari proses
pengadaan barang dan jasa dalam Perpres ini. Cukup menggunakan Standar
Operating Procedure yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala BLU. Namun
karena ditetapkan oleh kementerian lain, maka akna membutuhkan waktu
sehingga hal ini berpotensi untuk menghambat kelancaran operasionalisasi TN
berstatus BLU.
3. Regulasi yang berpotensi mendukung atau menghambat
Beberapa regulasi yang berpotensi mendukung atau menghambat, antara lain:
a. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
PER/02/M. PAN/1/2007 tentang Pedoman Organisasi Satuan Kerja di
Lingkungan Instansi Pemerintah yang Menerapkan PPK BLU. Regulasi ini
berpotensi mendukung dalam hal struktur organisasi TN, sehingga jelas bagi
pengelola TN dalam mengorganisir sumber daya yang ada. Selain itu, TN juga
dapat lebih meningkatkan efektifitas pengelolaannya. Namun demikian, regulasi
ini berpotensi menghambat karena perubahan struktur ini diprediksi
memerlukan waktu untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi, pasca ada
persetujuan dari Kementerian Keuangan terkait perubahan status TN menjadi
120
BLU. Potensi ini perlu dimitigasi melalui proses komunikasi dan koordinasi
sejak awal.
b. Peraturan Menteri LHK Nomor 44 Tahun 2017 tentang Perubahan atas
Permen Kehutanan Nomor 85 Tahun 2014 tentang Tata Cara Kerja Sama
Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Peraturan ini berpotensi mendukung dengan membuka peluang bagi TN untuk
melakukan kerja sama di berbagai bidang dalam rangka penguatan fungsi KPA
dan konservasi keanekaragaman hayati, yang meliputi kerja sama penguatan
kelembagaan; perlindungan kawasan; pengawetan flora dan fauna; pemulihan
ekosistem; pengembangan wisata alam; pemberdayaan masyarakat;
pemasangan/penanaman pipa instalasi air; dan kerja sama kemitraan
konservasi. Namun demikian, saat ini peraturan ini juga berpotensi
menghambat, khususnya Pasal 24 yang mensyaratkan adanya persetujuan dari
Dirjen, Hambatan yang terjadi terutama dari sisi waktu persertujuan menjadi
lebih lama karena ada keterbatasan jumlah SDM di Ditjen KSDAE untuk
mereview dan memproses persetujuan kerja sama seluruh kawasan konservasi
di seluruh Indonesia.Hal ini berbeda dengan regulasi sebelumnya (Permenhut
No 85/2014) yang memberikan kepercayaan kepada pengelola TN untuk
melakukan kerja sama (tanpa menunggu persetujuan).
c. Surat Sekretariat Kabinet Nomor B 652/Seskab/Maritim/2015 tanggal 6
November 2015 perihal Arahan Presiden RI mengenai Pariwisata dan Arahan
Presiden pada Sidang Kabinet Awal Tahun pada 4 Januari 2016. Surat ini berpotensi mendukung mendukung karena 10 Destinasi wisata yang
diprioritaskan beririsan dengan TN, termasuk TN Bromo Tengger Semeru.
Hal ini berpotensi meningkatkan sarana dan prasarana TN dimaksud, karena
adanya perintah Presiden kepada Menteri Pariwisata dan Menteri terkait,
gubernur dan bupati/walikota yang relevan untuk fokus pada perbaikan
destinasi wisata. Namun demikian, surat ini berpotensi menghambat jika
koordinasi antara lembaga baru yang dibentuk (dalam bentuk badan otorita,
yang juga berstatus BLU) dengan pengelola TN kurang lancar karena
berpotensi mengakibatkan terjadinya “perebutan kewenangan” antara TN
dengan badan otorita dimaksud.
d. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
PER/02/M.PAN/1/2007 tentang Pedoman Organisasi Satuan Kerja di
Lingkungan Instansi Pemerintah yang Menerapkan PPK BLU. Regulasi ini
berpotensi mendukung dalam hal struktur organisasi TN, sehingga jelas bagi
pengelola TN dalam mengorganisir sumber daya yang ada. Selain itu, TN juga
dapat lebih meningkatkan efektifitas pengelolaannya. Namun, regulasi ini
berpotensi menghambat karena perubahan struktur ini diprediksi
memerlukan waktu untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi, pasca ada
persetujuan dari Kementerian Keuangan terkait perubahan status TN menjadi
BLU. Potensi ini perlu dimitigasi melalui proses komunikasi dan koordinasi
sejak awal.
e. Peraturan Menteri LHK Nomor 44 Tahun 2017 tentang Perubahan atas
Permen Kehutanan Nomor 85 Tahun 2014 tentang Tata Cara Kerja Sama
Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Peraturan ini berpotensi mendukung dengan membuka peluang bagi TN untuk
melakukan kerja sama di berbagai bidang dalam rangka penguatan fungsi KPA
121
dan konservasi keanekaragaman hayati, yang meliputi kerja sama penguatan
kelembagaan; perlindungan kawasan; pengawetan flora dan fauna; pemulihan
ekosistem; pengembangan wisata alam; pemberdayaan masyarakat;
pemasangan/penanaman pipa instalasi air; dan kerja sama kemitraan
konservasi.
Namun, saat ini peraturan ini juga berpoetnsi menghambat, khususnya pasal 24
yang mensyaratkan adanya persetujuan dari Dirjen, Hambatan yang terjadi
terutama dari sisi waktu persertujuan menjadi lebih lama karena ada
keterbatasan jumlah SDM di Ditjen KSDAE untuk mereview dan memproses
persetujuan kerja sama seluruh kawasan konservasi di seluruh Indonesia.Hal
ini berbeda dengan regulasi sebelumnya (Permenhut No 85/2014) yang
memberikan kepercayaan kepada pengelola TN untuk melakukan kerja sama
(tanpa menunggu persetujuan) sehingga bersifat sentralistik. Hambatan ini bisa
diatasi jika TN berubah status menjadi BLU karena memiliki otonomi untuk
melakukan kerjasama secara langsung degan pihak lain.
f. Surat Sekretariat Kabinet Nomor B 652/Seskab/Maritim/2015 tanggal 6
November 2015 perihal Arahan Presiden RI mengenai Pariwisata dan Arahan
Presiden pada Sidang Kabinet Awal Tahun pada 4 Januari 2016
Peraturan ini berpotensi mendukung mendukung karena 10 Destinasi wisata
yang diprioritaskan beririsan dengan TN, termasuk TN Bromo Tengger
Semeru. Hal ini berpotensi meningkatkan sarana dan prasarana TN dimaksud,
karena adanya perintah Presiden kepada Menteri Pariwisata dan Menteri
terkait, gubernur dan bupati/walikota yang relevan untuk fokus pada perbaikan
destinasi wisata.
Namun, peraturan ini berpotensi menghambat jika koordinasi antara lembaga
baru yang dibentuk (dalam bentuk badan otorita, yang juga berstatus BLU)
dengan pengelola TN kurang lancar karena berpotensi mengakibatkan
terjadinya “perebutan kewenangan” antara TN dengan badan otorita
dimaksud.
Potensi masalah akan dapat diatasi jika pengelola TN proaktif melakukan
komunikasi, koordinasi dan sinergi, agar kinerja sebagai destinasi wisata dapat
meningkat.
Sebagian besar peraturan terkait TN dan BLU memberikan peluang bagi TN untuk
meningkatkan kinerjanya dengan berstatus BLU. Studi belum menemukan kebijakan
yang menghambat TN untuk menjadi BLU, yang ada adalah tantangan yang dihadapi
terkait kebijakan setelah TN berstatus BLU. yaitu kebijakan mengenai tarif dan
struktur organisasi TN status BLU. Hal ini karena memerlukan koordinasi dan
pembahasan antara KLHK dengan Kementerian Keuangan dan KemenPAN RB
dengan kewenangan penerbitan kebijakan berada pada kedua kementerian yang
disebut terakhir.
Adanya kebijakan nasional yang menargetkan 10 tempat destinasi wisata, dimana dua
diantaranya adalah yang berbatasan dengan TNBTS, dan TN Wakatobi, memerlukan
komunikasi yang intensif antara KLHK dan Kementerian Pariwisata. Hal ini terjadi,
karena daerah pinggir kawasan TN (destinasi wisata) akan dikelola oleh satuan kerja
yang berstatus BLU yang berada dalam pembinaan Kementerian Pariwisata.
122
Komunikasi dan koordinasi diperlukan agar tidak terjadi “perebutan kewenangan”
antara TN dengan badan otorita di dua wilayah TN di atas. Gambaran ini perlu
menjadi motivasi bagi KLHK dan pengelola TN untuk terus berbenah dan
mempersiapkan diri untuk menguatkan serta meningkatkan fungsinya dengan
pendekatan ekologi, ekonomi dan sosial budaya.
4.1.2. Kondisi Pemenuhan Persyaratan Menjadi BLU
Berdasarkan hasil analisis temuan di tiga lokasi studi sebagaimana telah dijelaskan di
bagian 3.2 di atas , terlihat bahwa secara umum TN memiliki peluang besar untuk
menjadi BLU karena dapat memenuhi ketiga persyaratan sesuai PMK 180/2016.
Tabel 32. Pemenuhan Persyaratan Status BLU Tiga Taman Nasional
No Persyaratan
TN
GGP
TN
GHS
TN
BTS
Check list
1 Substantif
Unit Penyedia Layanan
2 Teknis
2.1 Kinerja Pelayanan Umum
2.2 Kinerja Keuangan
Realisasi PNBP/Proyeksi
Realisasi/proyeksi belanja
pegawai dengan PNBP
Data realisasi/proyeksi rasio
keuangan
3 Administratif
3.1 Pernyataan kesanggupan
3.2 Pola tata kelola
3.3 Rencana Strategis Bisnis
3.4 Laporan keuangan pokok
3.5 Standar Pelayanan Minimum x x x
3.6 Laporan audit
Sumber: diolah peneliti, 2019.
4.1.3. Peluang, Tantangan, dan Kesiapan
Berdasarkan hasil skoring pemenuhan persyaratan menjadi BLU di ketiga Taman Nasional lokasi studi, dapat disimpulkan bahwa TN BTS paling siap (peringkat
pertama) dengan skor 74,85, diikuti oleh TN GGP (peringkat kedua) dengan skor
66,25 dan TN GHS (peringkat ketiga) dengan skor 61.
123
Tantangan yang akan dihadapi dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: (1) tantangan
pada saat memutuskan perlunya perubahan status TN menjadi BLU; dan (2) tantangan
pengelolaan TN pasca perubahan status TN menjadi BLU.
1. Tantangan pada saat memutuskan perlunya perubahan status TN menjadi BLU di
beberapa TN yang dipandang membutuhkan. Beberapa Ttantangan yang muncul,
antara lain:
a. menyamakan persepsi di internal Ditjen KSDAE. Menimbang manfaat dan
dampak negatif menjadi satu hal yang perlu dilakukan secara seksama;
b. meyakinkan Menteri terkait pentingnya perubahan status TN menjadi BLU di
beberapa TN yang dipandang membutuhkan; dan
c. menyiapkan dokumen pemenuhan persyaratan TN menjadi BLU.
Dari pembelajaran pengusulan Balitbang Kementerian ESDM menjadi BLU,6 dapat
diambil pelajaran bahwa komitmen pimpinan (baik Menteri maupun Dirjen)
menjadi faktor kunci kesuksesan. Waktu yang dibutuhkan oleh Balitbang
Kementerian ESDM untuk menjalankan proses pengubahan status menjadi BLU
adalah 1,5 tahun.
2. Tantangan pengelolaan TN pasca perubahan status TN menjadi BLU, antara lain
mencakup:
a. Perlunya mengubah mindset lama menjadi mindset baru.
Dalam mempersiapkan persyaratan administratif, pengelola TN perlu
meningkatkan kapasitas dalam penyusunan rencana bisnis dan anggaran,
Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Pola Tata Kelola. Dalam penyiapan
persyaratan administratif diperlukan kapasitas yang memadai terutama
dalam mengembangkan rencana bisnis TN. Menurut Santi dan Irda
(2009), kendala utama dalam penerapan PPK-BLU adalah perubahan
mindset lama ke mindset baru. Lebih lanjut Santi dan Irda menyatakan
bahwa pengelolaan BLU merupakan konsep baru dalam pengelolaan
keuangan negara. Badan Layanan Umum merupakan pola pengelolaan
keuangan yang diterapkan kepada satuan kerja (satker) yang memiliki
fungsi pelayanan kepada masyarakat dan PNBP yang timbul dari
pelayanan tersebut. Meski tidak berorientasi keuntungan, BLU
menekankan pada peningkatan kinerja, beroperasi secara efisien dan
memiliki kinerja keuangan yang sehat. Hal ini berbeda jauh dengan
mekanisme pengelolaan saat ini yang mengedepankan serapan anggaran.
b. Ketersediaan, Penempatan dan pengembangan Sumber Daya
Manusia (SDM). Pengelolaan BLU membutuhkan SDM yang kompeten
dan berintegritas. SDM yang saat ini dimiliki meupakan modal dan perlu
dikembangkan agar bisa menjalankan komitmen TN meningkatkan
pelayanannya. Namun demikian, penilaian mengenai efektivitas
pengelolaan kawasan berdasarkan METT dimana rata-rata TN
memperoleh nilai 75%-80%, yang berarti dianggap pengelolaanya baik
dapat menjadi modal uang mengelola TN berstatus BLU.
6 Disampaikan pada saat Workshop Triangulasi Studi, Agustus 2019
124
c. Sistem Akuntabilitas. Status BLU TN membawa konsekuensi
meningkatkan otonomi pengelolaan TN. Kondisi ini memerlukan
perbaikan pelaksanaan sistem akuntabilitas pengelolaan keuangan
maupun kinerja. Problem-problem terkait “kebocoran” pendapatan
harus dicegah. Pengelola TN menyadari bahwa masih banyak potensi
yang dapat dikelola, dimanfaatkan dan dikembangkan, sehingga dapat
menarik minat masyarakat untuk wisata, rekreasi, penelitian atau lainnya.
Pada gilirannya ini akan meningkatkan pendapatan (PNBP). Sebagai
satker, TN akan diminta untuk menyusun laporan keuangan secara
berkala menggunakan standar akuntansi pemerintah yang telah
ditetapkan. Hal ini menjadi tantangan yang perlu dimitigasi mengingat
selama ini TN belum menyusun laporan keuangan karena masih
menginduk ke laporan keuangan Ditjen KSDAE dan KLHK.
d. Komitmen Pengelola TN untuk meningkatkan kinerja.
Tantangan lain yang muncul pasca penetapan status BLU TN adalah
memastikan pengelola melaksanakan komitmen peningkatan kinerja yang
telah disepakati. Dari tiga lokasi studi, secara cara umum responden
pengelola TN menyampaikan kesanggupannya untuk meningkatkan
kinerja pelayanan, keuangan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Kesanggupan ini juga disampaikan oleh Kepala Balai TN BTS dan TN
GHS. Terutama TN BTS yang menjadi salah satu TN yang pernah
diusulkan menjadi BLU oleh KLHK pada tahun 2012. Kesanggupan ini juga didorong oleh banyaknya potensi yang belum dikembangkan dan
tingginya kebutuhan akan pengelolaan TN. Namun demikian kesanggupan
di level pimpinan perlu dipahami dan didukung oleh seluruh pegawai TN.
Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan sosialisasi dan penguatan
kapasitas pegawai TN. Hal ini perlu dilakukan diawal oleh pengelola TN,
sehingga bila terjadi perubahan sistem setelah berstatus BLU, pra
pegawai TN sudah siap beradaptasi sesuai dengan status barunya
tersebut.
e. menyamakan persepsi di internal Ditjen KSDAE. Menimbang
manfaat dan dampak negatif menjadi satu hal yang perlu dilakukan secara
seksama.
f. Meyakinkan Menteri terkait pentingnya perubahan status TN
menjadi BLU di beberapa TN yang dipandang membutuhkan
Menyiapkan dokumen pemenuhan persyaratan TN menjadi BLU.
Dari good practice pengusulan Balitbang Kementerian ESDM menjadi BLU7, dapat
diambil pelajaran bahwa komitmen pimpinan (baik Menteri maupun Dirjen) menjadi
faktor kunci kesuksesan. Waktu yang dibutuhkan oleh Balitbang Kementerian ESDM
untuk menjalankan proses pengubahan status menjadi BLU adalah 1,5 tahun.
Tantangan kedua adalah tantangan pengelolaan TN pasca perubahan status TN
menjadi BLU, yang mencakup:
7 Disampaikan pada saat Workshop Triangulasi Studi, Agustus 2019
125
Berdasarkan beberapa pertimbangan sebagaimana dijelaskan di atas, desain TN
berstatus BLU adalah TN yang dikelola secara kolaboratif, yaitu pengelolaan
TN harus terintegrasi dengan wilayah di sekitar kawasan TN, sehingga
keberadaan TN yang di dalamnya ada potensi (barang dan jasa) memberikan
dampak pada wilayah dan masyarakat di sekitarnya. Sehingga daerah di sekitar
TN dapat berkembang dan TN mendapat perhatian dari semua pihak.
Keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan konservasi,
juga perlu memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan,
baik di ranah pengelola TN maupun di ranah masyarakat melalui pemberian
akses, partisipasi, dan kontrol yang sama, sehingga manfaat keberadaan TN
dapat dirasakan oleh semua pihak. Dengan kolaborasi dan pembagian peran
yang sama bagi semua kelompok masyarakat baik laki-laki dan perempuan,
diharapkan akan memperkuat fungsi TN dalam aspek ekologis, ekonomi, dan
sosial budaya.
Tahapan pengembangan pemanfaatan potensi TN pasca berubah status
menjadi BLU dapat dilakukan dalam tiga tahap, yaitu:
Tahap pertama: pengembangan sustainable tourism. Tahap kedua : pemanfaatan TSl, antara lain melalui bioprospecting
Tahap ketiga ; perdagangan karbon
Untuk menjaga agar pemanfaatan kawasan “tidak eksploitatif” dan tetap sejalan
dengan fungsi perlindungan dan pengawetan, maka dapat dikembangkan
kriteria pemanfaatan kawasan, antara lain:
pengembangan usaha dilakukan di zona pemanfaaatan
pengembangan usaha harus ramah lingkungan. Misalnya, untuk
pengembangan jasa wisata alam, maka yang akan dikembangkan
adalah sustainable tourism (pariwisata berkelanjutan) dan bukan
mass tourism, dimana pengunjung akan diedukasi mengenai aturan-
aturan memasuki kawasan konservasi
pengembangan usaha dilakukan secara kolaboratif dengan
masyarakat sehingga bisa mengatasi kemiskinan masyarakat di
sekitar TN
penyusunan tarif tiket dilakukan dengan memperhatikan
kemampuan finansial berbagai kelompok masyarakat untuk
memastikan TN dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat;
126
Hasil yang diharapkan dari transformasi status menjadi BLU merupakan salah
satu alternatif terobosan pengelolaan Taman Nasional. Melalui perubahan
status menjadi BLU, maka TN diharapkan menghasilkan kondisi akhir sebagai
berikut:
4.2. Rekomendasi
Berdasarkan pemaparan hasil studi dan analisisa di atas, maka studi ini
merekomendasikan beberapa hal kepada KLHK, khususnya Ditjen KSDAE dan
Pengelola TN, sebagaimana berikut:
4.2.1 Ditjen KSDAE
1. Melakukan komunikasi dan koordinasi dalam rangka mendorong
TN berstatus BLU. Komunikasi dan koordinasi dilakukan dengan
melakukan komunikasi di internal Ditjen KSDAE, komunikasi di internal
KLHK, komunikasi dengan Kementerian Keuangan dan KemenPAN RB.
Komunikasi dan koordinasi dibutuhkan dalam rangka Memperlancar proses
perubahan status TN menjadi BLU.
2. Meningkatkan pembinaan dan pendampingan dalam upaya
optimalisasi peran TN, sebagaimana mandat UU Nomor 5 Tahun 1990
yang menyatakan pengelolaan sumber daya alam hayati yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya. Pembinaan dan pendampingan diharapkan
akan menguatkan efektifitas dan produktivitas peran TN sebagaimana tujuan
keberadaan TN. produktivitas yang dilakukan dengan tetap memperhatikan
aspek ekologis, ekonomis dan sosial budaya.
3. Memberikan dukungan terhadap TN yang dinilai sudah memenuhi persyaratan BLU. Dukungan diberikan berupa
pendampingan dan persiapan yang perlu dilakukan kepada TN. Berikut ini
tahapan yang harus dilakukan oleh KSDAE bersama pengelola TN untuk
mengusulkan perubahan status BLU, road map yang dilakukan sebagaimana
berikut ini:
Ekologis
Ekonomi
Sosial Budaya
Kelestarian terjaga
Keberlanjutan Pembiayaan
Masyarakat Sejahtera
127
(1). Penyepakatan peningkatan status TN menjadi BLU, kegiatan
ini merupakan persiapan untuk memastikan komitmen Dirjen dan
Kepala TN untuk mempersiapkan perubahan TN berstatus BLU.
Kegiatan ini selenggarakan oleh Dirjen KSDAE, dengan para pihak
yang terlibat adalah Direktur yang membidangi TN dan Kepala TN.
Keluaran kegiatan ini yaitu: 1) Instruksi Dirjen/Surat Edaran terkait
persiapan BLU, 2) Berita acara penyepakatan peningkatan status TN
menjadi BLU, dan 3). Surat Keputusan Dirjen tentang Tim Pengarah
dan Pengusul (TPP) TN berstatus BLU.
(2). Sosialisasi TN berstatus BLU, kegiatan dilakukan dalam rangka
penguatan informasi mengenai BLU termasuk persyaratan dan manfaat
BLU, tantangan dan peluang penerapannya kepada TN. Kegiatan ini
diselenggarakan oleh TPP kepada pengelola TN yang dinilai telah siap
untuk bertransformasi BLU. Kegiatan ini menghadirkan Direktur PPK-
BLU Kementerian Keuangan. Output dari kegiatan ini diharapkan
terbangun pemahaman dan komitmen dari pengelola TN untuk
bertransformasi menjadi BLU.
(3). Pembentukan Tim Kerja Pemenuhan Persyaratan TN
(TKPP-TN), kegiatan ini dilakukan oleh Kepala TN dengan
mengundang bidang dan bagian tata usaha. Kegiatan ini sebagai upaya
persiapan internal TN dalam mempersiapkan pemenuhan persyaratan
TN berstatus BLU. Keluaran dari kegiatan ini adalah Surat Keputusan
tentang Tim Kerja Pemenuhan Persyaratan TN berstatus BLU
(4). Pemenuhan Persyaratan BLU, Tim Kerja Pemenuhan Persyaratan
TN (TKPP-TN), melaksanakan kerja-kerja pemenuhan persyaratan,
yaitu:
a. substantif, TKPP-TN melakukan identifikasi potensi kawasan
yang dimiliki oleh TN baik aspek ekologis, ekonomi dan sosial
budaya. Output dari kegiatan ini adalah laporan identifikasi potensi
kawasan yang ada di TN berdasarkan aspek ekologi, ekonomi dan
sosial budaya, lama waktu pelaksanaan diperkirakan 1 bulan.
b. teknis, tahapan pemenuhan persyaratan ini dilaksanakan dengan
dua kegiatan, yaitu:
i. melakukan analisis beban kerja dan kebutuhan struktur
organisasi. Kegiatan ini untuk mengetahui sumber daya yang
diperlukan pada setiap bidang dan bagian berdasarkan tugas
dan fungsi masing-masing. Kegiatan ini Output dari kegiatan
ini adalah dokumen analisis beben kerja dan kebutuhan
organisasi. Kegiatan ini diperkirakan dilakukan selama 1
minggu.
ii. pengumpulan dan penyusunan dokumen kinerja keuangan dan
rencana pelayanan. Kegiatan ini merupakan kegiatan
pengumpulan dokumen persyaratan teknis. Output dari
kegiatan ini adalah 1). Data PNBP dalam (3) tiga tahun
terakhir, 2). Rencana peningkatan pelayanan setelah
ditetapkan menjadi BLU dan 3) Daftar kontrak dan potensi
kontrak TN dengan pihak ketiga
128
c. administratif, tahapan pemenuhan persyaratan ini, dilaksanakan
melalui penyusunan dan pengumpulan, yaitu:
i. Pernyataan kesanggupan, pengelola TN membuat pernyataan
kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan,
dan manfaat bagi masyarakat.
ii. Pola tata kelola, dengan mengumpulkan dokumen yang
berkaitan dengan dokumen peraturan internal yang
menetapkan tata kelola (struktur orgamsas1, serta
pengangkatan dan pemberhentian pejabat pengelola dan
pegawai BLU), transaparansi dan akuntabilitas.
iii. Rencana Strategis Bisnis (RSB), dengan menyusun dokumen
yang berisi a) visi dan misi TN, program strategis 5 tahun
kedepan, capaian kinerja yang terukur untuk dua tahun
berjalan dan dua tahun sebelumnya, b) realisasi/proyeksi
pendapatan dari rupiah murni dan atau PNBP serta indikasi
tarif layanan
iv. Laporan keuangan pokok, dengan menyusun dokumen yang
berisi realisasi keuangan, neraca keuangan, catatan atas
laporan keuangan dan laporan keuangan (format SAP) tahun
berakhir sebelum pengusulan menjadi PPK-BLU,
v. Standar Pelayanan, dengan menyusun dokumen standar
pelayanan umum yang akan diberikan kepada ekosistem
kawasan dan masyarakat yang berkunjung. Dokumen ini
ditetapkan oleh pimpinan lembaga,
vi. Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit
secara independen, dengan kegiatan menyusun dokumen
laporan yang sudah diaudit dan membuat surat pernyataan
kesediaan untuk diaudit secara independen,
(5). Pemberkasan Dokumen Persyaratan TN berstatus BLU,
TKPP-TN melakukan pendokumentasian terhadap dokumen
persyaratan yang telah disusun, untuk selanjutnya dilakukan verifikasi
terhadap pemenuhan persyaratan BLU, usulan organisasi, dan
dokumen persyaratan administratif
(6). Koordinasi TKPP-TN dengan Kepala TN dan pegawai,
kegiatan ini merupakan koordinasi internal di TN untuk
menyampaikan hasil verifikasi persyaratan BLU dan usulan organisasi
dan tata kerja. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan masukan
atas dokumen persyaratan. Output kegiatan ini adalah 1) hasil
verifikasi terhadap dokumen persyaratan substantif, teknis dan
administratif, dan 2) usulan organisasi dan tata kerja
(7). Koordinasi TKPP-TN dengan TPP, Kegiatan ini merupakan
pertemuan konsultasi antara TKPP-TN dengan TPP beserta Kepala
TN. kegiatan ini dilakukan bertujuan untuk mendapatkan masukan atas
dokumen persyaratan substantif, teknis dan administratif yang telah
diverifikasi diinternal sebelumnya. Output dari kegiatan ini adalah
dokumen yang sudah verifikasi TPP,
129
(8). Peningkatan kapasitas pengelola TN terkait BLU, kegiatan ini
merupakan kegiatan untuk peningkatan kapasitas bagi pengelola TN
dalam memahami lebih dalam mengenai BLU, tujuan, manfaat dan
target yang harus dicapai serta pola kolaborasi dengan stakeholder
yang bisa dilakukan untuk meningkatkan manfaat bagi TN. Kegiatan ini
akan menghadirkan Direktorat PPK-BLU Kemenkeu, dengan output
yang diharapkan adalah 1) meningkatnya pemahaman pengelola TN
terhadap BLU, terkait tujuan, manfaat dan upaya yang harus
dilakukan, 2) meningkatnya pemahaman pengelola TN terkait
managemen kolaborasi dalam pengelolaan TN bersattus BLU (pusat,
provinsi, kabupaten/kota, pengusaha dan masyarakat serta budaya
yang ada,
(9). Penyampaian berkas BLU oleh Kepala TN kepada Dirjen
KSDAE, kegiatan ini merupakan kegiatan penyampaian berkas
persyaratan TN berubah status BLU kepada Dirjen KSDAE. Kegiatan
ini melibatkan Dirjen KSDAE, TPP, Kepala TN, dan TKPP-TN. output
dari kegiatan ini berita acara penyerahan persyaratan TN berstatus
BLU dari Kepala TN ke Dirjen KSDAE,
(10). Penyampaian dokumen persyaratan TN berstatus BLU
kepada Menteri KLHK, yang disampaikan oleh Dirjen KSDAE.
Kegiatan ini menghasilakn 1) surat permohonan dari Menteri LHK
kepada Menteri Keuangan tentang usulan penetapan Satker/TN berstatus BLU (format PMK 180), 2) Hasil verifikasi Menteri LHK
mengenai pemenuhan persyaratan substantif, teknis dan administratif
(format PMK 180), dan 3) Penetapan organisasi dan tata kerja, dan 4)
Dokumen persyaratan administratif
(11). Penyampaian berkas usulan dan persyaratan TN berstatus
BLU oleh Menteri LHK kepada Menteri Keuangan. Output dari
kegiatan ini adalah berita acara penyerahan pengusulan TN berstatus
BLU kepada Menteri Keuangan.
4. Menyusun desain kelembagaan TN berstatus BLU sebagai upaya
menjawab kebutuhan organisasi TN berstatus BLU yang memiliki tujuan
produktivitas dan efesiensi pelayanan dan prinsip-prinsip konservasi yang
melekat pada fungsi utama TN yaitu: pengawetan, pemanfaatan, dan
perlindungan. Dengan memperhatikan aspek ekonomi, ekologi dan sosial
budaya. Desain yang disusun lebih mengedepankan fungsi-fungsi yang
dibutuhkan. Misalnya: fungsi pengawasan internal, sebagaimana diatur PMK
Nomor 200/PMK.05/2017 tentang Sistem Pengendalian Intern Pada Badan
Layanan Umum, berfungsi sebagai pengawasan intern untuk mencapai
efektivitas dan efesiensi kegiatan BLU, fungsi pemberdayaan masyarakat
untuk menjembatani kebutuhan komunikasi dan koordinasi TN dengan
pemerintah di wilayah setempat dan masyarakat dan fungsi penanganan
pengaduan untuk mekanisme pengendalian dan pembinaan petugas penyedia
layanan TN.
5. Melakukan monitoring dan review terhadap rencana penerimaan
target PNBP. Monitoring dilakukan dalam rangka mengoptimalkan
sumber penerimaan yang dapat diberikan oleh TN, dan memberikan catatan
atas kinerja TN dalam mengoptimalkan potensi dan fungsi yang dimilikinya.
130
6. Mendorong integrasi perencanaan antara TN dan daerah di
sekitarnya, dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan potensi
kawasan dan daerah melalui kolaborasi manajemen dalam pengelolaan
kawasan dan sekitarnya. Kolaborasi itu menggunakan pendekatan tata
kelola multisektoral (collaborative) dengan TN menjadi magnet bagi semua
pihak yang berada di sekitar TN.
7. Melakukan pendampingan pasca penetapan TN berstatus BLU.
Pendampingan yang diberikan berupa penyusunan kebijakan untuk
memperkuat operasionaliasi TN berstatus BLU. Kebijakan yang dibutuhkan
adalah: 1). Kebijakan mengenai keuangan BLU, 2). Kebijakan mengenai
perencanaan dan anggaran BLU, 3). Kebijakan mengenai SDM BLU, dan 4).
Kebijakan mengenai Renumerasi.
4.2.2 Pengelola Taman Nasional
4.2.2.1. Rekomendasi bagi pengelola TN yang ingin bertransformasi menjadi BLU
Secara umum rekomendasi bagi pengelola TN yang ingin bertransformasi
menjadi BLU, perlu melakukan pembenahan internal, yaitu:
a. melakukan identifikasi potensi kawasan berupa barang dan jasa yang dapat
menunjang fungsi kawasan dan dapat mengoptimalkannya melalui kegiatan
ekologi, ekonomi dan sosial budaya;
b. menyusun dan melakukan analisis dokumen kinerja dan rencana pelayanan
sebagai persyaratan teknis; dan
c. menyusun dan menyiapkan rencana strategis bisnis, laporan keuangan
pokok, standar pelayanan yang diterapkan dan laporan audit sebagai
persyaratan administratif
4.2.2.2. Rekomendasi khusus bagi 3 TN yang menjadi objek studi yaitu:
Beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan, antara lain:
a. menyiapkan Standar Pelayanan (SP) untuk setiap layanan yang diberikan. Hal
ini untuk dapat menjamin penyelenggara layanan TN dapat dicapai tingkat
kepuasan minimum oleh masyarakat maupun ekosistem yang ada di
kawasan. Melalui SPM diharapkan ada upaya terus perbaikan terhadap
layanan yang diberikan oleh unit kerja BLU, antara pemberi dan penerima
layanan atau tingkat capaian terhadap keanekaragaman hayati yang ada di
TN;
b. menyiapkan tim persiapan yang akan membantu dalam menyiapkan
persayaratan yang dibutuhkan melakukan langkah-langkah sebagaimana
dalam tabel road map pengusulan TN bersatus BLU; dan
c. pengelola TN perlu melakukan upaya proaktif dalam rangka
mengimplementasikan konsep kolaborasi agar mampu bersinergi dengan
pemangku kepentingan lainnya, seperti pemerintah daerah, sektor swasta,
termasuk pengelola biro wisata dan masyarakat sekitar TN. Hal ini dapat
dilakukan melalui forum dialog dan kerjasama kegiatan. Upaya kolaborasi ini
menjadi modal bagi TN pada saat menjadi BLU yang menuntut adanya
131
peningkatan pelayanan dan kerjasama dengan berbagai pihak. Pengelolaan
kawasan TN sendiri tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya, karena itu
penerapan tata kelola yang kolaboratif menjadi tuntutan yang harus dapat
dipenuhi oleh pengelola TN.
132
DAFTAR PUSTAKA
Ansell, Chris & Gash, Alison. 2007. “Collaborative Governance in Theory and
Practice”, Journal of Public Administration Research and Theory, 18, pp.
543-571.
Afan, Gaffar. 2009. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Biddle, Jennifer & Tom Koontz. “Goal Specificity: A Proxy Measure for
Improvements in Environmental Outcomes in Collaborative Governance”,
Journal of Environmental Management 145C:268-276, July 2014.
BTNKM, Briefing Paper No. 9: Pembiayaan Taman Nasional Berkelanjutan, tanpa
tahun.
Bappenas, 2016, Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-2020.
Dye, T. R. 2001.Top-Down Policymaking. New York: Chatham House.
Dunn, William N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terj). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Eggers, William & Tiffany Dovely. 2008. “Government 2.0’s Inauguration”.
Governing. www. governing.com/mgmt_insight.aspx?id=6062.
Emerson, Kirk, Tina Nabatchi, & Stephen Balogh. “An Integrative Framework for
Collaborative Governance”, Journal of Public Administration Research and Theory, Volume 22, Issue 1, January 2012, Pages 1–29.
Fandeli Chafid, 2014, Bisnis Konservasi Pendekatan Baru, Gajah Mada University Press, Cet II
Gunawan H, dkk, 2013, Model Bisnis Taman Nasional Mandiri Kasus Taman
Nasional Gunung Palung Kalimantan Barat, Jurnal Media Konservasi, Vol.18, No 1, Institut Pertanian Bogor.
Grindle, Merilee S. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third World. New Jersey: Princeton University Press.
Hodges, Sharon, et al. 2013. “Who’s in charge here? Structure for collaborative
governance in children’s mental health”, Administration in Social Work. 37
(4). 418-432.
Hartono, Ir. M.Sc, 2008, Mencari Bentuk Pengelolaan Taman Nasional Model. _________, 2008, “Taman Nasional Mandiri Telaah Singkat Kemungkinan
Pembuktikannya”, Makalah dalam Reuni Akbar dan Seminar Lustrum IX Fak
Kehutanan UGMKSDAE, Laporan Kinerja 2016-2018
Hani Aditya, Widyaningsih, Damayanti, 2014, “Potensi Dan Pengembangan Jenis-
Jenis Tanaman Anggrek Dan Obat-Obatan Di Jalur Wisata Loop-Trail
Cikaniki-Citalahab Taman Nasional Gunung Halimun-Salak”, Jurnal Ilmu Kesehatan, Volume 5 No. Universitas Gajah Mada.
Indriani, Desi, dkk, 2013, Penerapan Badan Layanan Umum Dan Implikasinya Bagi
Pengelolaan Taman Nasional Mandiri Yang Berkelanjutan, Jurnal IPB, diakses darI https://journal.ipb.ac.id/
index.php/konservasi/article/view/12835/9730
Kholis M, Setyowati A, Management Effectiveness Tracking Tools (METT) sebagai
Perangkat Untuk Menilai Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi,
Lestari Paper No. 2.
Kooiman, Jan. 2003. Governing as Governance. New Delhi: Sage Publications.
133
Kristiaji, Bawono B, & Adri A.L. Poesoro. “The Myths and Realities of Tax
Performance Under Semi-Autonomous Revenue Authorities”. Tax Law Design and Policy Series, No. 0213, August 2013.
KSDAE, Statistik 2017, Jakarta 2018
María García-Sánchez, Isabel, Beatriz Cuadrado-Ballesteros, José-Valeriano Frías-
Aceituno. “Determinants of E-Government Development: Some
Methodological Issues”, Journal of Management and Strategy, Vol. 3, No. 3,
June 2012.
McDougall, Cynthia L et al. “Engaging women and the poor: adaptive collaborative
governance of community forests in Nepal”, Agriculture and Human Values, 2013.
Nugroho, Riant. Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2012.
Nakamura, Robert T and Frank Smallwood. 1980. The Politics of Policy Implementation. New York: St. Martin Press.
Ohmae, Kenichi. 2005. The Next Global Stage: Tantangan dan Peluang di Dunia yang Tidak Mengenal Batas Wilayah (terj). Jakarta: Indeks.
Osborne, David and Gaebler, T. 1991. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector. New York:
Penguins Books.
Peters, B. Guy. “Bureaucracy and Democracy in the Modern State”, Public Administration Review, 2005.
Purdy, Jill M. “A Framework for Assessing Power in Collaborative Governance
Processes”, Public Administration Review, 2012.
Purnamanityas, Nining N, 2010, Studi Pembiayaan Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia, Master Thesis, Universitas Indonesia.
Purwanto, S A, 2005, Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat dan
Pembangunan Regional, Jurnal Antropologi, Volume 29 No. 3 Universitas
Indonesia
Ramadass, Shila Devi et al. “Critical factors in public sector collaboration in
Malaysia: Leadership, interdependence, and community”, International Journal of Public Sector Management, 30, 5 (487-502), 2017.
Santi E dan Rosita, 2009, Implementasi dan Kendala Penerapan Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum (BLU), Jurusan Akuntasi Volume 4 (hal 41-
54), Politeknik Negeri Padang
Schwab, Brigitte, Daniel Kübler and Sonja Wälti. “Metropolitan governance and
democracy in Switzerland: An attempt of operationalisation and an
empirical assessment”. Paper prepared for the Workshop 5: Governance
and Democratic Legitimacy at the 29th ECPR Joint Session of Workshops, Grenoble, 6-11 April 2001.
Shylendra, H.S & Bhirdikar, K. 2005. “Good Governance and Poverty Allevation
Programmes: A critical analysis of the Swarnajayanti Gram Swarozgar
Yojana, International Journal of Rural Management, 1,2, pp 203-221.
Terkper, Seth E. “Accounting Challenges for Semi-Autonomous Revenue
Agencies in Developing Countries”, IMF Working Paper No. 08/116, May.
2008.
TNBTS, Laporan Kinerja Tahun 2016-2018
TNGHS, Laporan Kinerja Tahun 2016-2018
TNGGP, Laporan Kinerja Tahun 2016-2018
134
Tohirin dan Muktaromin, Survey Opini Stakeholders Pengelolaan Keuangan BLU Bidang Pendidikan, Kemenkeu RI 2013
Utami Sri, 2017, Pengelolaan Kawasan Pariwisata (Studi di Balai Besar Taman
Nasional Bromo Tengger Semeeru), Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Vol.3,
No.1 Universitas Indonesia.
Wandojo Siswanto, 2017, Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia, GIZ,
Jakarta
Wahyuni H, 2015, Interactive Governance Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Berkelanjutan Pada Areal Taman Nasional, Doktor Thesis, Universitas
Indonesia.
Winara A, Mukhtar AS, 2010, Potensi Kolaborasi Dalam Pengelolaan Taman
Nasional Teluk Cenderawasih di Papua, Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Vol 8 No.3.
Lampiran Matriks Indikator Kinerja Ditjen KSDAE dan TN dalam Renstra KSDAE 2015-
2019
No
KSDAE Taman Nasional
Sasaran
Program/Kegiatan Indikator Kinerja Target
Sasaran
Kegiatan Indikator Kinerja Target
1 Meningkatnya
Penerimaan
Devisa dan PNBP
dari
Pemanfaatan Jasa
Lingkungan
Kawsan
Konservasi dan
Keanekaragaman
Hayati
Nilai ekspor
pemanfaatan satwa
liar dan tumbuhan
alam serta
bioprospecting
Rp.5 Triliun
Terjaminnya
efektivitas
pengelolaan
Taman
Nasional
Jumlah unit usaha pemanfaatan
pariwisata alam di kawasan
konservasi
bertambah sebanyak 100 Unit
dari baseline tahun 2013
20 unit
Jumlah pemanfaatan jasa
lingkungan air yang beroperasi di
kawasan
konservasi bertambah sebanyak
25 Unit
5 unit
Jumlah pemanfaatan energi air
dari kawasan konservasi untuk
keperluan
mini/micro hydro power plant
bertambah sebanyak minimal 50
unit
10 unit
Jumlah kunjungan
wisata ke kawasan
konservasi
(Mancanegara)
250.000 orang
Jumlah kunjungan wisata ke
kawasan konservasi minimal
sebanyak 1,5 juta
orang wisatawan mancanegara
250.000 orang
Jumlah kunjungan
wisata ke kawasan
konservasi
(wisatawan
nusantara)
4.000.000
orang
Jumlah kunjungan wisata ke
kawasan konservasi minimal
sebanyak 20 juta
orang wisatawan nusantara
4.000.000 orang
Jumlah kemitraan
pengelolaan kawasan
konservasi
26 unit
Jumlah kemitraan pemanfaatan
jasa lingkungan panas bumi yang
beroperasi
di kawasan konservasi sebanyak
minimal 5 unit.
1 Unit
Luas Kawasan Hutan Konservasi
pada zona tradisional yang
dikelola melalui
kemitraan dengan masyarakat
seluas 100.000 Ha
40.000 ha
Jumlah kerjasama pembangunan
strategis dan kerjasama
penguatan fungsi
pada kawasan konservasi
sebanyak 100 PKS
20 PKS
2
Meningkatnya
Efektivitas
Pengelolaan
Hutan Konservasi
dan Upaya
Konservasi
Keanekaragaman
Hayati
Nilai indeks
efektivitas
pengelolaan kawasan
konservasi minimal
70% (kategori baik)
50 Unit KK
Jumlah kawasan konservasi yang
ditingkatkan efektivitas
pengelolaannya
hingga memperoleh nilai indeks
METT minimal 70% pada 50 unit
taman
nasional di seluruh Indonesia
10 Unit
Persentase
peningkatan populasi
25 jenis satwa
terancam punah
prioritas (sesuai The
IUCN Red List of
Threatened Species)
2%
Persentase peningkatan populasi
25 species satwa terancam
punah prioritas
sesuai The IUCN Red List of
Threatened Species sebesar 10%
dari baseline data
tahun 2013
2%
Jumlah kawasan
ekosistem esensial
yang terbentuk dan
dioptimalkan
pengelolaannya
13 Unit
Jumlah pusat pengembangbiakan
dan suaka satwa (sanctuary)
spesies
terancam punah yang terbangun
sebanyak 50 unit.
10 unit
Luas kawasan konservasi
terdegradasi yang dipulihkan
kondisi ekosistemnya
seluas 100.000 Ha
30 ha
Jumlah ketersediaan
paket data dan
informasi
keanekaragaman
hayati yang
berkualitas di 7
wilayah biogeografi
(Sumatera, Jawa,
Kalimantan,
Sulawesi, Nusa
Tenggara, Maluku,
dan Papua)
7 paket data
Jumlah ketersediaan data dan
informasi sebaran
keanekaragaman spesies dan
genetik yang valid dan reliable
pada 7 wilayah biogeografi
7 paket data
Jumlah paket data dan informasi
kawasan konservasi yang valid
dan reliable
pada 50 unit taman nasional di
seluruh Indonesia
50 paket data
Top Related