CASE REPORT SESSION
HEAD INJURY
Oleh :
Shalahuddin Galih P. 1301-1214-0613
Marshel Budiarsa 1301-1215-0621
Pang Yi Heng 1301-1214-2531
Herza Fadlinda 1301-1214-0635
Yolanda Dwi O. 1301-1214-0622
Faradilla Chandra M. 1301-1215-0562
Joyce Phua Pau Fung 1301-1215-2529
Shamine A/P Parthipan 1301-1215-2519
Pembimbing :
Ahmad Fariedh, dr. Sp.BS, PhD
BAGIAN BEDAH SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HASAN SADIKIN
BANDUNG
2016
STATUS CASE REPORT
I. KETERANGAN UMUM
Nama : Tn. R.
Usia : 22 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Sekeloa, Coblong, Kota Bandung
Tanggal masuk RS : 8 Mei 2016
Tanggal Pemeriksaan : 8 Mei 2016
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri Kepala
Anamnesis Khusus :
± 2 jam SMRS, saat pasien sedang mengendarai motor di
daerah Pusdai karena pengaruh alkohol, pandangan pasien menjadi
gelap sehingga pasien jatuh ke sisi trotoar dan kepala pasien
membentur trotoar. Helm pasien telah terlepas, pasien sempat pingsan
dan muntah-muntah, terdapat perdarahan hidung, tidak terdapat
perdarahan mulut atau telinga.
Pasien dibawa ke IGD RS Santo Yusuf kemudian dirujuk ke
RSHS dengan alasan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut di RS
dengan fasilitas lebih lengkap.
Primary survey :
A : Clear
B : bentuk dan gerak simetris, VBS kiri = kanan
R : 22x/mnt
C : TD : 110/80 mmHg, N: 84x/mnt
D : GCS, E3M6V4 = 13
Pupil isokor d:3mm ; RC : +/+
Motorik : parese -/-
Secondary survey :
a/r Palpebra OD Inferior : VL ukuran 3 cm x 0,5 cm, dasar subkutis
a/r Frontal dextra : VL ukuran 1 cm x 0,3 cm
a/r Infranasalis : Multiple VE ukuran 1x1 cm dan 2x1 cm
a/r Nasal : Rhinorrhagia (+)
III. PEMERIKSAAN FISIK
A.1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2. Tanda vital : Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : afebris
B. Interna
Jantung : Bunyi jantung murni reguler
Paru-paru : VBS, sonor, kiri = kanan, normal
Abdomen : Datar, lembut, bising usus (+) normal
Hepar dan lien tidak teraba
C.Pemeriksaan Lokal
a/r Palpebra OD Inferior: VL ukuran 3 cm x 0,5 cm, dasar subkutis
a/r Frontal dextra : VL ukuran 1 cm x 0,3 cm
a/r Infranasalis : Multiple VE ukuran 1x1 cm dan 2x1 cm
a/r Nasal : Rhinorrhagia (+)
D.Pemeriksaan Neurologis
1. Kesadaran
GCS : Mata : 3
Gerakan : 6
Suara : 4
2. Tanda-tanda rangsang meningen
Kaku kuduk : tidak dilakukan
Brudzinsky I : tidak dilakukan
Brudzinsky II : tak ada
3. Saraf Otak
N. I : Pembauan : tak ada kelainan
N. II : Visus : OD : tidak dilakukan
OS : tidak dilakukan
Kampus : OD : temporal : sesuai pemeriksa
nasal : sesuai pemeriksa
atas : sesuai pemeriksa
bawah : sesuai pemeriksa
OS : temporal : sesuai pemeriksa
nasal : sesuai pemeriksa
atas : sesuai pemeriksa
bawah : sesuai pemeriksa
Fundus : tidak dilakukan
N. III, IV, VI :
Ptosis : (-)
Strabismus : (-)
Nistagmus : (-)
Gerakan Bola Mata : baik ke segala arah
Pupil :
Bentuk : Bulat
Isokor : Ø 3 mm
Rangsang cahaya : Direk +/+
Indirek +/+
N. V : Sensorik :
Rasa raba : dalam batas normal
Rasa nyeri : dalam batas normal
Rasa suhu : dalam batas normal
Motorik : dalam batas normal
M. masseter : tak ada kelainan
M. temporalis : tak ada kelainan
Nyeri tekan : tak ada kelainan
Supra orbital : tak ada kelainan
Infra orbital : tak ada kelainan
Mentalis : tak ada kelainan
Coroca refleks : tak ada kelainan
N. VII : Alis mata : tak ada kelainan
Lipatan hidung : tak ada kelainan
Angkat alis mata : tidak dilakukan
Sudut mulut : tak ada kelainan
Rasa kecap 2/3 lidah bagian depan : tidak dilakukan
Gerakan patologis : (-)
N. VIII : N. Cochlearis : dalam batas normal
N. Vestibularis : pasien merasa berputar
N. IX, X : Suara : tak ada kelainan
Kontraksi palatum : tak ada kelainan
Menelan : tak ada kelainan
N. XI : Angkat bahu : tidak dilakukan
Melihat ke kiri dan kanan : tidak dilakukan
N. XII : Keluarkan lidah : tidak dilakukan
Atrofi : (-)
Kontraksi fibrilair : (-)
Tremor : (-)
4. Motorik
Atrofi : (-)
Kontraksi : tak ada kelainan
Fasikulasi : (-)
Kekuatan kontraksi otot : 5/5
5/5
Tonus otot : tak ada kelainan
Gerakan involunter : (-)
5. Sensibilitas
Permukaan : Rasa raba : tak ada kelainan
Rasa nyeri : tak ada kelainan
Rasa suhu : tak ada kelainan
Dalam : Arah gerak : tak ada kelainan
Rasa tulisan : tak ada kelainan
Stereognosi : tak ada kelainan
Dermografi : tak ada kelainan
Romberg test : (+)
Vibrasi : tak ada kelainan
Tanda-tanda iritasi radiks : Kernig : (-)
Laseque : (-)
6. Koordinasi
Intensio tremor : tak ada kelainan
Tes telunjuk hidung : tak ada kelainan
Tes tumit lutut : tak ada kelainan
Ataksia : (-)
Disarthria : (-)
7. Saraf vegetatif
Miksi : tak ada kelainan
Defekasi : tak ada kelainan
8. Refleks-refleks :
Oculocephalic : Lengan : Biseps : +/+
Triseps : +/+
Ulna : +/+
Radiar : +/+
Kulit : Epigastrik : +/+
Mesogastrik : +/+
Hipogastrik : +/+
Tungkai : KPR : +/+
APR : +/+
Patologi : Hoffman Tromer : -/-
Babinsky : -/-
Clonus : Patella : -/-
Achilles : -/-
9. Liquor Cerebro Spinalis : tidak dilakukan
IV. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium :
- Darah rutin
- PT / APTT
- Ureum, Kreatinin
- Gula Darah Sewaktu
- Elektrolit Na, K, Ca, Mg
- AGD
- Urin rutin
2. Pemeriksaan Radiologis :
- Foto Polos Schedel AP – Lateral
- Foto Polos Cervical Lateral
- Foto Polos Thoraks
- CT-SCAN
V. DIAGNOSIS BANDING
- Moderate HI
VI. DIAGNOSIS KERJA
- Moderate HI
VII. PENATALAKSANAAN
Umum : Observasi GCS, TNRS
Head up 30o
IVFD NaCl 1500 cc/24 jam)
Khusus : ATS / TT
Ketorolac 2 x 30 mg i.v.
Ranitidin 3 x 50 mg i.v.
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
BASIC SCIENCE
PENDAHULUAN
Trauma kepala tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup
serius, sekalipun dengan adanya sistem pengobatan modern pada abad 21.
Kebanyakan pasien dengan trauma kepala (75-80 %) adalah trauma kepala ringan,
sementara sisanya terbagi secara merata antara sedang dan berat.
Hampir 100% dari orang-orang dengan trauma kepala berat dan sekitar
dua per tiga dari orang-orang dengan trauma kepala sedang akan mengalami
disability yang permanen, dan tidak akan kembali ke keadaan seperti sebelum
terjadi trauma.
Insidensi terjadinya trauma kepala di Amerika Serikat diperkirakan sekitar
180-220 kasus per 100.000 populasi (atau sekitar 600.000 kasus yang terjadi
setiap tahunnya), dan sekitar 10 % dari kasus-kasus tersebut adalah fatal, dan
memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
Banyak mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya trauma kepala,
dan penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas (seperti tabrakan,
pejalan kaki yang tertabrak motor, kecelakaan sepeda), jatuh, trauma ketika
berolahraga, dan trauma penetrasi. Pada daerah pinggiran (suburban atau rural),
kecelakaan kendaraan bermotor terjadi pada lebih dari setengah kasus trauma
kepala. Sementara untuk daerah dengan populasi lebih dari 100.000 penduduk,
jatuh dan luka penetrasi adalah penyebab yang paling umum. Sedangkan rasio
terjadinya trauma kepala antara pria dan wanita adalah 2:1, dan prevalensi
terbanyak ditemukan pada usia < 35 tahun.
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Trauma kepala mempunyai pengertian yang luas. Di dalam literatur
disebutkan ada beberapa pengertian tentang trauma kepala. Salah satunya menurut
Field (1976). Menyebutkan bahwa trauma kepala adalah trauma yang
menyebabkan beberapa resiko kerusakan otak. Klauber et al (1981) mengartikan
trauma kepala sebagai penderita yang mengalami trauma kepala yang
mengakibatkan fraktur tulang tengkorak, tidak sadar, amnesia, defisit neurologis
atau kejang.
2.2 Patofisiologi
Otak mempunyai beberapa hal yang membedakannya dengan sistem organ
lain. Perbedaan yang paling penting adalah bahwa otak dilapisi tulang tengkorak,
yang merupakan kontainer yang kaku dan tidak elastis. Karena otak dilapisi oleh
sebuah kontainer inelastis, hanya peningkatan yang kecil dari volume
kompartemen intrakranial yang masih dapat ditolerir sebelum tekanan akhirnya
meningkat secara dramatis. Konsep ini diperkenalkan oleh Monro-Kellie, yang
menyatakan bahwa volume intrakranial total adalah tetap karena adanya struktur
inelastik dari tulang tengkorak. Volume intrakranial (Vi/c) adalah sam dengan
jumlah dari seluruh komponennya, yaitu:
Vi/c = V (otak) + V (cairan serebrospinal) + V (darah)
Volume darah serebral intravaskuler adalah sekitar 10 %, dan cairan
serebrospinal adalah < 3 %. Ketika trauma kepala yang signifikan terjadi, edema
serebral seringkali muncul, yang akan meningkatkan volume relatif dari otak.
Karena volume intrakranial adalah tetap, tekanan dalam kompartemen ini akan
meningkat, kecuali terjadi beberapa mekanisme kompensasi, seperti penurunan
pada volume satu dari komponen intrakranial yang lain. Hal ini berhubungan erat
dengan konsep intracranial compliance, yang diartikan sebagai perubahan dari
tekanan karena perubahan volume.
Compliance = perubahan volume / perubahan tekanan
Compliance ini didasarkan atas indeks tekanan volume (PVI) pada
kompartemen intrakranial. PVI menggambarkan perubahan pada tekanan
intrakranial yang terjadi ketika sejumlah kecil cairan masuk ke dalam
kompartemen intrakranial. Secara singkat, otak mempunyai compliance yang
sangat terbatas dan tidak bisa mentolerir peningkatan volume yang signifikan
yang dapat berasal dari difusi edema serebral atau dari suatu lesi luas seperti
hematoma. Setiap pengobatan yang rasional terhadap trauma kepala adalah
berdasarkan konsep doktrin Monro-Kellie dan bagaimana intervensi tertentu
mempengaruhi compliance intrakranial. Ketika volume dari setiap komponen
intrakranial menurun, maka tekanan intrakranial pun akan menurun.
Konsep lain yang penting pada patofisiologi trauma kepala adalah konsep
tekanan perfusi serebral (CPP). CPP diartikan sebagai perbedaan antara tekanan
rata-rata arterial (MAP) dan tekanan intrakranial (ICP).
CPP = MAP – ICP
Pada prakteknya, CPP adalah tekanan pada pengiriman darah ke otak.
Pada individu yang menderita hipertensi jangka panjang dengan otak yang tidak
mengalami trauma, aliran darah serebral (CBF) adalah konstan pada kisaran MAP
50-150 mmHg. Hal ini terjadi karena autoregulasi dari arteriol, yang akan
berkonstriksi atau berdilatasi sesuai dengan kisaran tekanan darah untuk
mempertahankan jumlah aliran darah ke otak yang konstan.
Ketika MAP kurang dari 50 mmHg atau lebih dari 150 mmHg, arteriol
tidak sanggup untuk mengatur dan aliran darah menjadi sepenuhya bergantung
pada tekanan darah, disebut dengan pressure-passive flow. CBF tidak akan
konstan lagi tetapi bergantung dan proporsional terhadap CPP. Ketika MAP turun
hingga di bawah 50 mmHg, otak beresiko untuk terjadi iskemi karena insufisiensi
aliran darah, sementara jika MAP lebih besar dari 160 mmHg akan menyebabkan
peningkatan CBF yang akan menghasilkan peningkatan ICP. Sistem autoregulasi
bekerja dengan baik pada otak yang tidak traumatik, sementara pada otak yang
traumatik terjadi gangguan. Sebagai hasilnya, pressure-passive flow terjadi pada
dan di sekitar area yang mengalami trauma, dan mungkin, meluas ke otak yang
mengalami trauma.
Trauma kepala dibagi menjadi dua, trauma kepala primer dan trauma
kepala sekunder. Trauma kepala primer diartikan sebagai trauma awal pada otak
sebagai hasil langsung dari trauma. Hal ini merupakan trauma struktural awal
yang disebabkan oleh impact pada otak, dan seperti bentuk trauma neural yang
lain, pasien sembuh secara perlahan. Sedangkan trauma kepala sekunder adalah
trauma subsekuen apapun pada otak setelah terjadi kerusakan awal. Trauma
kepala sekunder ini dapat berasal dari hipotensi sistemik, hipoksia, peningkatan
ICP, atau sebagai hasil biokimia dari perubahan fisiologi yang diawali oleh
original traumanya. Pengobatan dari trauma kepala secara langsung adalah untuk
mencegah atau meminimalisasikan trauma kepala sekunder.
Peningkatan ICP mungkin berasal dari trauma otak awal atau dari trauma
sekunder terhadap otak. Pada orang dewasa, ICP normal adalah sekitar 0-15
mmHg. Sementara pada anak-anak, batas atas dari nilai normal ICP adalah lebih
rendah, sekitar 10 mmHg. Peningkatan ICP akan menghasilkan penurunan CPP
dan penurunan CBF, yang mana, jika cukup berat, akan berakibat pada iskemi
serebral. Peningkatan ICP yang berat adalah berbahaya, karena akan
meningkatkan resiko terhadap iskemi, dan ICP yang tidak terkontrol akan
menyebabkan herniasi. Herniasi melibatkan pergerakan dari otak melewati
struktur dural, yang akan berakibat pada trauma serebral yang fatal dan
ireversibel.
2.3 Keadaan Klinis
Trauma kepala bisa dibedakan menjadi 2 kategori besar, trauma kepala
tertutup dan trauma kepala penetrasi. Keadaan klinis dari pasien dengan trauma
kepala sangatlah bervariasi. Glasgow Coma Scale (GCS) yang dikembangkan
oleh Jennet dan Teasdale sering digunakan untuk menggambarkan tingkat
kesadaran pasien trauma kepala. GCS dibagi menjadi 3 kategori, pembukaan mata
(E), respon motorik (M), dan respon Verbal (V). Skor adalah merupakan hasil
penjumlahan dari ketiga kategori tersebut, dengan skor maksimum 15 dan skor
minimum 3.
Skor GCS = E + M + V
Glasgow Coma Scale
Eye Opening
Score ≥ 1 Year 0-1 Year
4 Spontaneously Spontaneously
3 To verbal command To shout
2 To pain To pain
1 No response No response
Best Motor Response
Score ≥ 1 Year 0-1 Year
6 Obeys command
5 Localizes pain Localizes pain
4 Flexion withdrawal Flexion withdrawal
3 Flexion abnormal (decorticate) Flexion abnormal (decorticate)
2 Extension (decerebrate) Extension (decerebrate)
1 No response No response
Best Verbal Response
Score > 5 Years 2-5 Years 0-2 Years
5 Oriented and converses Appropriate words Cries appropriately
4 Disoriented and converses Inappropriate words Cries
3 Inappropriate words; cries Screams Inappropriate crying/screaming
2 Incomprehensible sounds Grunts Grunts
1 No response No response No response
2.4. KLASIFIKASI TRAUMA KEPALA
Klasifikasi trauma kepala dibagi berdasarkan mekanisme trauma, beratnya
trauma, dan morfologi trauma.
1. Mekanisme:
Tumpul : kecepatan tinggi (kecelakaan lalu lintas) dan kecepatan
rendah (jatuh, dipukul)
Tembus/penetrasi : cedera peluru dan cedera tembus lainnya.
2. Beratnya:
Ringan (GCS 14-15)
Sedang (GCS 9-13)
Berat (GCS 3-8)
3. Morfologinya:
Fraktur tengkorak : kalvaria (linier/steleate, depresi/nondepresi,
terbuka/tertutup), basis kranii(dengan/tanpa kebocoran LCS,
dengan/tanpa parese CN VII).
Lesi intrakranial : fokal (epidural, subdural, intraserebral), difus
(komosio ringan, komosio klasik, cedera akson difus)
2.5 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
2.5.1 Anamnesis
I. Identifikasi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan)
II. Keluhan utama, dapat berupa :
- Penurunan kesadaran
- Nyeri kepala
III.Anamnesis tambahan :
- Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)
- Bagaimana mekanisme kejadian, bagian tubuh apa saja yang terkena,
dan tingkat keparahan yang mungkin terjadi)
Berdasarkan mekanismenya, trauma dibagi menjadi :
a. Cedera tumpul : - kecepatan tinggi (tabrakan)
- kecepatan rendah (terjatuh atau terpukul)
b. Cedera tembus (luka tembus peluru atau tusukan) adanya penetrasi
selaput dura menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus
atau cedera tumpul.
Komplikasi / Penyulit
1. Memakai helm atau tidak (untuk kasus KLL)
2. Pingsan atau tidak (untuk mengetahui apakah terjadi Lucid interval)
3. Ada sesak nafas, batuk-batuk
4. Muntah atau tidak
5. Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut
6. Adanya kejang atau tidak
7. Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)
8. Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya
9. Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)
Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita sudah
mendapat penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
1. Primary Survey
A. Airway, dengan kontrol servikal:
Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang
wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.
Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara - jalan nafas
bebas.
Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau
berkumur - ada obstruksi parsial.
Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.
Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan
tersebut definitif memerlukan pemasangan selang udara.
Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau
rotasi pada leher.
Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang
dengan multiple trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada
leher, sampai kemungkinan adanya fraktur servikal dapat disingkirkan.
B. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat
Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen
dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi
fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma.
Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan
jumlah pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan
kanan.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam
rongga pleura.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam paru-
paru
Gangguan ventilasi yang berat seperti tension pneumothoraks, flail chest,
dengan kontusio paru, dan open pneumothorasks harus ditemukan pada
primary survey.
Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio
paru harus dikenali pada secondary survey
Keterangan tambahan :
Gejala tension pneumothoraks :
Nyeri dada dan sesak nafas yang progresif, distress pernafasan. takikardi,
hipotensi, deviasi trakea ke arah yang sehat, hilang suara nafas pada satu
sisi, dan distensi vena leher, hipersonor, sianosis (manifestasi lanjut).
Gejala Flail Chest :
Gerak thorax asimetris (tidak terkoordinasi), palpasi gerakan pernafasan
abnormal, dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan.
Gejala Open pneumothorax:
Hipoksia dan hiperkapnia
Gejala hematothorax:
Nyeri dan sesak nafas
Pada inspeksi mungkin gerak nafas tertinggal atau pucat karena
perdarahan. Fremikus sisi yang terkena lebih keras dari sisi yang lain.
Pada perkusi, didapatkan pekak dengan batas dan bunyi nafas tidak
terdengar atau menghilang.
C. Circulation, dengan kontrol perdarahan
a. Volume darah
Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolumik sampai terbukti
sebaliknya.
Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran.
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan
ekstremitas, jarang dalarn keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan
dan ekstremitas yang dingin merupakan tanda hipovolemik.
Nadi
- Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama
- Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia
- Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik
- Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia
- Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda
diperlukan resusitasi segera.
b. Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara
penekanan pada luka
D. Disability
Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah
tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya
parese.
Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU
A : sadar (Alert)
V : respon terhadap suara (Verbal)
P : respon terhadap nyeri (Pain)
U : tidak berespon (Unresponsive)
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat
memperkirakan keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada
primary survey, GCS dapat diiakukan pada secondary survey.
Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :
a. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
- Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)
- Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)
- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala
- Tidak ada kriteria cedera sedang-berat
b. Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)
- Skor GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
- Konklusi
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
- Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)
- Skor GCS 3-8 (koma)
- Penurunan derajat kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak atau
trauma langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat
kesadaran penderita. Jika hipoksia dan hipovolemia sudah disingkirkan, maka
trauma kepala dapat dianggap sebagai penyebab penurunan kesadaran, bukan
alkohol sampai terbukti sebaliknya.
E. Exposure
Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan
evaluasi terhadap jejas dan luka.
2. Secondary Survey
Adalah pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination),
termasuk reevaluasi tanda vital. Pada bagian ini dilakukan pemeriksaan neurologis
lengkap yaitu GCS jika belum dilakukan pada primary survey. Dilakukan X-ray
foto pada bagian vang terkena trauma dan terlihat ada jejas.
2.6 Penanganan
Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan: (1)
Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; (2) Memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-
sel otak yang sakit.
Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan
aman. Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat berbahaya,
karena diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak
sering diperburuk oleh akibat cedera otak sekunder. Penderita cedera kepala
dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih banyak daripada tanpa
hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai
75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi kardiopulmoner harus
dilaksanakan secepatnya.
Faktor-faktor yang memperburuk prognosis antara lain :
- Terlambat penanganan awal/resusitasi
- Pengangkutan/transport yang tidak adekuat
- Dikirim ke RS yang tidak adekuat
- Terlambat dilakukan tindakan bedah
- Disertai cedera multipel yang lain
Penanganan di Tempat Kejadian
Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan
sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok,
hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC
(airway, breathing, dan circulation) dengan tidak melakukan manipulasi yang
berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh yang lain, seperti leher, tulang
punggung, dada dan pelvis.
Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam
brain shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan
refleks yang sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah,
serta otot-otot flaksid bahkan kadang-kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering
disalahtafsirkan bahwa penderita sudah mati, tetapi dalam waktu singkat tampak
lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya
hipoksemia, sehingga perlu segera bantua pernafasan.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika
penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan
adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang
dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat
fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi
vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi,
fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan
chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui
hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan
dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas
selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak
adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat
bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang
memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan
napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan
sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan
adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur
kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan
lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada
penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di
atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut
nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila
denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila
denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70
mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan
sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan
dengan penekanan pada luka. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat
atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan
ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap
cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat pemberian cairan yang
berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head
down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena
di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
2.7 Trauma Kepala Khusus
a. Patah Tulang Tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak.
Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan
darahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar
tengkorak bisa merobek meningens (selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan
yang beredar diantara otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga.
bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan
menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak. sebagian besar patah tulang
tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan
otak atau posisinya bergeser.
b. Gegar otak dan robekan otak
Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya
disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah
robekan pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang
nyata dan patah tulang tengkorak. Gegar otak dan robekan otak lebih serius
daripada konkusio. MRI menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan
atau bisa menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan
kebingungan atau bahkan koma.
Jika otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada
jaringan otak, pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak.
Pengobatan akan lebih rumit jika cedera otak disertai oleh cedera
lainnya,terutamacederadada.
c. Perdarahan Intrakranial
Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah
di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial
bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya
terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau
diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma
epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT SCAN
atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan
gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia
lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa
jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan
pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang
luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami
herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai
koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan
atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan
hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak
telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga
lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi
bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang,
tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya.
Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan,
pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada
ct scan darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat
lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga
dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.
Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa
saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma
subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan, selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil
pemeriksaan ct scan dan mri bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil
pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar,
yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
- sakit kepala yang menetap
- rasa mengantuk yang hilang-timbul
- linglung
- perubahan ingatan
- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.