Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
209
CORPORATE ENTREPRENEURIAL INTENTION DAN SELF-
EFFICACY TERHADAP ENTREPRENEURIAL INTENTION
PADA CITRALAND SURABAYA
Okto Aditya Suryawirawan
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya
ABSTRAK:
Kewirausahaan menjadi salah satu solusi utama di dalam menciptakan lapangan
kerja dan mengurangi tingginya angka pengangguran di Indonesia. Serangkaian
penelitian mengenai kewirausahaan telah banyak dilakukan dilingkungan sekolah
atau Akademisi, namun sangat jarang dilakukan di kalangan pekerja. Sedangkan
usia pekerja memiliki potensi yang lebih besar untuk lebih dulu menciptakan
lapangan kerja di kemudian hari. Terkait kewirausahaan di lingkungan kerja,
terdapat konsep yang dinamakan corporate entrepreneurial intention di mana
kewirausahaan terjadi di dalam perusahaan yang sudah berdiri. Dengan adanya
penelitian ini diharapkan perusahaan menemukan pentingnya pembinaan minat
berwirausaha di dalam perusahaan, dan bagaimana itu dapat menjadi bekal
mereka setelah pensiun. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh
corporate entrepreneurial intention yang terdiri dari innovativeness, risk taking,
dan proactive terhadap entrepreneurial intention yang dimoderasi oleh self-
efficacy di Citraland Surabaya. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dan sample
yang digunakan adalah karyawan dari berbagai Departemen di Citraland
Surabaya. Instrumen yang digunakan di dalam penelitian ini adalah kuesioner,
kemudian diuji hubungan antar variabelnya dengan partial least square, dengan
menggunakan software SmartPLS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh negatif tidak signifikan innovativeness terhadap
entrepreneurial intention, pengaruh negatif tidak signifikan risk taking terhadap
entrepreneurial intention, dan pengaruh negatif tidak signifikan proactiveness
terhadap entrepreneurial intention. Self-efficacy ditemukan tidak mampu
memoderasi pengaruh corporate entrepreneurial intention terhadap
entrepreneurial intention.
Kata kunci: kewirausahaan, corporate entrepreneurial intention, innovativeness,
risk taking, proactiveness, self-efficacy
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
210
ABSTRACT:
Enterprise became one of the main solutions to create jobs and reduce high
unemployment in Indonesia. A series of studies on entrepreneurship have been
carried out in the environment of the school or academics, but very rarely do
among workers. While working age have a greater potential to be used to create
jobs in the future. Related entrepreneurial work environment, there is a concept
called corporate entrepreneurial intention in which entrepreneurship occurs
within existing firms. Given this research expected the company discovered the
importance of fostering entrepreneurship interest in the company, and how it can
be equipped them after retirement. This study aims to examine the influence of
corporate entrepreneurial intention which consists of innovativeness, risk taking,
and proactive towards entrepreneurial intention moderated by self-efficacy in
Citraland Surabaya. This research is a quantitative and samples used are
employees of various Departments in Citraland Surabaya. The instrument used in
this study was a questionnaire, then tested the relationship between the variables
with partial least squares, using software SmartPLS. The results of this study
indicate that there are no significant negative effect on the innovativeness of
entrepreneurial intention, no significant negative effect on the risk-taking
entrepreneurial intention, and no significant negative influence proactiveness
towards entrepreneurial intention. Self-efficacy was found to be able to moderate
the influence of corporate entrepreneurial intention to entrepreneurial intention.
Key words: entrepreneurship, corporate entrepreneurial intention,
innovativeness, risk taking, proactiveness, self-efficacy
PENDAHULUAN
Indonesia pada Februari tahun 2013, memiliki 121,2 juta angkatan kerja,
dengan jumlah angkatan kerja sebesar itu, tingkat pengangguran terbuka pada
Februari tahun 2015 adalah sebesar 5,81%, yang berarti terdapat 7 juta angkatan
kerja yang masih menganggur di Indonesia (BPS, 2015). Dari pernyataan tersebut
terlihat bahwa lapangan kerja di Indonesia masih jauh dari cukup untuk
menampung tenaga kerja yang ada. Walaupun dengan jumlah penduduk Indonesia
yang besar kesempatan untuk mendirikan bisnis sebenarnya sangat terbuka lebar,
karena itu sangat penting untuk menumbuhkan minat kewirausahaan pada
penduduk di Indonesia. Sehingga, mereka khususnya angkatan kerja yang ada,
tidak hanya berorientasi untuk bekerja sebagai pegawai, tetapi juga menjadi
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
211
penyedia lapangan kerja, semakin banyak usaha baru yang berdiri. Semakin luas
pula lapangan kerja bagi angkatan kerja yang sangat tinggi tingkat penawarannya,
dibandingkan tingkat permintaannya.
Ciputra (2011) menyatakan bahwa ketertinggalan Indonesia dibandingkan
dengan Singapura dan Malaysia adalah karena jumlah Entrepreneur yang terlalu
sedikit, apabila Indonesia dipenuhi oleh Entrepreneur maka Indonesia akan
semakin sejahtera. Entreprenur ini akan membuka lapangan kerja yang lebih
banyak, mengolah kekayaan alam Indonesia sehingga memiliki nilai tambah yang
lebih besar dan dipasarkan ke seluruh dunia, dan keindahan alam dan budaya
Indonesia dari Sabang sampai Merauke akan menjadi sumber devisa bagi negara.
Phelps dalam Ciputra (2011) juga menyatakan bahwa entrepreneurship dan
insititusi ekonomi yang memfasilitasinya, akan memiliki dampak pada kehidupan
masyarakat dan juga aspek sosial seperti produktifitas nasional, tingkat gaji dan
pengangguran. Ciputra (2011) menyatakan bahwa kewirausahaan memiliki makna
kecakapan mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas, dan untuk mengubah
kotoran menjadi emas tersebut, diperlukan adanya perubahan yang kreatif dan
dramatis, selain itu kotoran dan rongsokan tersebut harus diubah menjadi sesuatu
yang bernilai dalam persepsi pasar, bukan hanya kreatif menurut penciptanya.
Kewirausahaan menurut Ciputra (2011) dapat menjadi sebuah strategi
utama bagi organisasi. Strategi kewirausahaan dapat mensejahterakan bangsa
dengan memberdayakan sebanyak mungkin rakyat untuk mampu menciptakan
pekerjaan bagi diri sendiri, mewujudkan pembangunan manusia Entrepreneur
melalui pendidikan, membuat kekuatan utama ekonomi nasional bertumpu pada
perusahaan kecil dan menengah yang inovatif, mengurangi kesenjangan sosial,
dan membuat rakyat Indonesia menjadi aktor dalam proses pembangunan
nasional. Pernyataan tersebut sejalan dengan pernyataan dari Timmons dan
Spinelli (2011), bahwa tidak ada proses institusional yang menawarkan
kesempatan untuk mencukupkan diri sendiri, meyakinkan diri sendiri, dan
meningkatkan ekonomi selain proses entrepreneurial. Kunci utama untuk
mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan sekaligus membangun
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
212
kesejahteraan bangsa adalah dengan memberdayakan sebanyak mungkin anak
bangsa untuk tidak menganggur, tidak jadi orang miskin, dan mampu mengelola
diri untuk menjadi sejahtera yang batasnya adalah cita-citanya sendiri.
Dengan melihat transisi individu dari karyawan menuju Entrepreneur
sebagai akibat dari adanya entrepreneurial orientation, terdapat konsep yang
dinamakan corporate entrepreneurial intention, di mana organisasi dapat
memfasilitasi entrepreneurial intention dari karyawan dengan mendirikan cabang
perusahaan yang baru, atau anak perusahaan yang baru (Mangematin et al. dalam
Fini, Grimaldi, Marzocchi, Sobrero, 2010). Keputusan apapun yang akan diambil
oleh karyawan melalui entrepreneurial intention atau perusahaan melalui
corporate entrepreneurial intention, tetap memiliki andil dalam usaha
peningkatan lapangan kerja demi menurunkan tingkat pengangguran, dengan
asumsi bahwa corporate entrepreneurial intention yang dapat didukung oleh
perusahaan mampu meningkatkan entrepreneurial intention. Finn et al. (2010)
menyatakan bahwa konsep corporate entreprenurial intention didasari oleh aspek
innovativeness, proactiveness, dan riskiness, sehingga dapat disimpulkan bahwa
konsep corporate entrepreneurial intention serupa dengan konsep entrepreneurial
orientation yang telah dipaparkan di atas.
Fishbein dan Ajzen dalam Boyd & Vozikis (1994) menyatakan bahwa
konsep intention adalah fungsi dari kepercayaan yang menciptakan hubungan
antara kepercayaan dengan perilaku yang berkaitan, di mana seseorang akan
membentuk sikap terhadap perilaku berdasarkan kepercayaan bahwa dengan
menunjukkan perilaku tersebut, akan dapat menghasilkan konsekuensi tertentu.
Hal inilah yang menjadi dasar dari konsep Birds dalam Boyd & Vozikis (1994),
yang menyatakan bahwa konsep self-efficacy terintegrasi dengan pengembangan
entreprenurial intentions dan entrepreneurial behavior. Self-efficacy adalah
tingkatan di mana seseorang merasa mampu untuk melakukan sesuatu (Krueger
dalam Boyd dan Vozikis, 1994). Bandura dalam Boyd & Vozikis (1994) juga
menyatakan bahwa konsep self-efficacy, yang diambil dari teori pembelajaran
sosial, memiliki peran penting dalam pengembangan entrepreneurial intention
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
213
dan entrepreneurial action. Tanpa adanya tingkatan tertentu dari self-efficacy
maka sangat tidak mungkin seorang calon entrepreneur akan termotivasi untuk
menjalankan proses pendirian perusahaan baru (Boyd dan Vozikis, 1994; Krueger
dan Brazeal, 1994; Markman et al., 2002; Zhao et al. dalam Hmieleski dan Baron,
2008).
Dari paparan di atas penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak
corporate entrepreneurial intention yang terdiri dari risk taking, innovativeness,
dan proactive personality terhadap entrepreneurial intention. Penelitian ini juga
melihat apakah self-efficacy mampu meningkatkan pengaruh corporate
entrepreneurial intention terhadap entrepreneurial intention.
KAJIAN PUSTAKA
Lumpkin dan Dess berdasarkan konsep dari Miller (1983) membagi dimensi
entrepreneurial orientation menjadi tiga, yaitu: innovativeness, risk taking, dan
proactive. Namun, innovativeness, risk taking, dan proactive dalam penelitian
Fini et al. (2010) digunakan untuk mendefinisikan konsep corporate
entrepreneurial intention. Serangkaian penelitian menyatakan bahwa istilah-
istilah lain seperti intrapreneuring (Pinchot dalam Antoncic dan Hisrich, 2001),
corporate entrepreneurship (Burgelman, 1983; Vesper, 1984; Guth and Ginsberg
1990; Hornsby et al. 1993, Stopford and BadenFuller 1994), corporate venturing
(MacMillan, 1986; Vesper dalam Antoncic dan Hisrich, 2001), dan internal
corporate entrepreneurship (Schollhammer, 1981, 1982; Jones dan Butler dalam
Antoncic dan Hisrich, 2001) telah digunakan untuk menjelaskan konsep
entrepreneurship didalan organisasi sebagai proses pengembangan sebuah
kesempatan untuk menciptakan nilai melalui inovasi dan mempertahankan
kesempatan tersebut terlepas keberadaan sumber daya atau lokasi dari
entrepreneur di sebuah perusahaan baik itu baru ataupun telah berdiri (Churchill
dalam Antoncic dan Hisrich, 2001).
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
214
Fini (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa corporate
entrepreneurial intention adalah sebuah niatan untuk menciptakan nilai melalui
tindakan yang innovative, risky, dan proactive, sehingga dengan melihat tujuan
dari penelitian ini, konsep tersebut yang akan digunakan. Burgelman (1983)
menyatakan bahwa corporate entrepreneurship adalah proses pada organisasi
yang besar dan kompleks, yang dimodifikasi melalui pengembangan internal.
Burgelman (1983) menyatakan bahwa organisasi membutuhkan keteraturan dan
keragaman dalam mempertahankan strategi entrepreneurial. Guth dan Ginsberg
(1990) menyatakan bahwa corporate entrepreneurship adalah entrepreneurship
yang terjadi di dalam sebuah organisasi. Corporate entrepreneurship menurut
Zahra (1991) mengacu pada aktifitas formal dan informal yang bertujuan
menciptakan bisnis baru pada perusahaan yang sudah berdiri melalui inovasi
produk dan proses serta pengembangan pasar. Aktifitas tersebut dapat terjadi di
dalam perusahaan, divisi, fungsional, atau proyek, dengan satu tujuan yaitu
meningkatkan posisi kompetitif perusahaan di dalam pasar dan juga performa
keuangan. Corporate entrepreneurship juga meliputi pembaharuan strategi dari
bisnis yang sudah ada. Sharma dan Chrisman (1999) mengartikan corporate
entrepreneurship sebagai proses di mana individu atau sekumpulan individu,
terkait dengan organisasi yang sudah ada, menciptakan organisasi atau
memunculkan inovasi baru di dalam organisasi tersebut. Saly (2001) menyatakan
bahwa corporate entrepreneurship adalah proses identifikasi dan penggunaan
kesempatan dengan menangani kombinasi sumber daya yang baru secara kreatif,
di dalam perusahaan yang telah berdiri.
Innovativeness menurut Robinson et al. dalam Ferreira et al. (2012) adalah
mempersepsikan dan melakukan aktifitas bisnis dengan cara yang baru dan unik.
Innovativeness adalah salah satu karakteristik psikologis yang dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan untuk mendirikan bisnis pada seorang
individu (McClelland, 1961; Brockhaus, 1980; Krueger dalam Ferreira et al.
(2012), namun innovativeness yang dipakai di dalam penelitian ini merefleksikan
tendensi perusahaan untuk mendukung ide baru, hal baru, eksperimen, dan proses
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
215
kreatif yang dapat menghasilkan produk, jasa, atau proses teknologi baru (Miller
dan Friesen dalam Lumpkin dan Dess, 1994). Serangkaian penelitian juga
menyatakan bahwa atribut psikologis seperti innovativeness dapat diperoleh dari
budaya yang ada di lingkungan individual, dalam hal ini perusahaan (Gibb dan
Ritchie, 1982; Vesper, 1990; Radu dan Redien-Collot, 2008; Wincent dan
Ortqvist, 2009). Schumpeter dalam Lumpkin dan Dess (1994) adalah salah satu
dari peneliti yang menekankan peran inovasi pada proses entrepreneurial.
Schumpeter dalam Lumpkin dan Dess (1994) menggambarkan proses ekonomi
yang dinamakan creative destruction, di mana kesejahteraan diciptakan ketika
struktur pasar yang ada terganggu oleh pengenalan barang dan jasa baru, yang
memindahkan sumber daya dari satu perusahaan yang telah berdiri ke perusahaan
baru yang akan menjadi tumbuh berkembang. Kunci dari siklus tersebut adalah
entrepreneurship, penciptaan kombinasi baru yang inovatif sebagai bentuk
kompetitifitas baru yang mendorong evolusi perekonomian yang dinamis.
Innovativeness merepresentasikan kemauan dasar untuk meninggalkan
teknologi dan praktek yang sudah ada dan bergerak ke arah keadaan yang lebih
maju (Kimberly dalam Lumpkin dan Dess, 1994). Inovasi adalah inti dari
entrepreneurship dan memiliki banyak bentuk, seperti pengenalan produk, proses,
teknologi, sistem, dan teknik yang baru (Covin dan Miles dalam Chow, 2006).
Kapasitas untuk melakukan inovasi memiliki dampak yang besar pada performa
bisnis dan dapat memberikan sumber keunggulan kompetitif. Karena itu
innovativeness kemudian menjadi faktor penting sebagai karakter dari
entrepreneurship. Innovativeness juga merefleksikan bagaimana perusahaan
mencari kesempatan-kesempatan baru (Lumpkin dan Dess, 1994).
Risk taking adalah tingkatan di mana seseorang bersedia untuk mengambil
keputusan yang besar dan beresiko berkenaan dengan sumber daya perusahaan,
yang dapat mengakibatkan adanya beban biaya tambahan apabila terjadi
kesalahan (Miller dan Friesen dalam Lumpkin dan Dess, 1994). Kuip dan Verheul
dalam Ferreira et al. (2012) menyatakan bahwa propensity to risk berhubungan
dengan sebuah aktifitas yang memiliki kemungkinan untuk sukses di bawah
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
216
100%. Cantillon dalam Lumpkin dan Dess (1994) menyatakan bahwa faktor
mendasar yang memisahkan antara Entrepreneur dengan karyawan adalah
ketidakpastian dan resiko dari self-employment. Serangkaian penelitian
menyatakan bahwa atribut psikologis seperti risk taking juga dapat diperoleh dari
budaya yang ada dilingkungan kerja individu (Gibb dan Ritchie, 1982; Vesper,
1990; Radu dan Redien-Collot, 2008; Wincent dan Ortqvist dalam Ferreira et al.,
2012).
Individu lebih berani mengambil resiko apabila hasil dari tindakan yang
dilakukannya bergantung pada keterampilan yang mereka miliki daripada
bergantung pada kesempatan (Heath dan Tversky, 1991; Camerer dan Lovallo,
1999; Vlek dan Stallen, 1981; Weinstein, 1984). Serangkaian Penelitian yang
dilakukan menunjukkan bahwa Entrepreneur memiliki sikap yang positif terhadap
resiko dibandingkan dengan mereka yang bukan Entrepreneur (Begley dan Boyd,
1987; Carland et al., 1995; Stewart et al. dalam Macko dan Tyszka, 2009).
Konsep risk taking sendiri telah dikaitkan dengan entrepreneurship sejak lama.
Definisi awal dari entrepreneurship berpusat pada kemauan Entrepreneur untuk
menjalankan bisnis dengan resiko yang telah diperkirakan (Brockhaus dalam
Kreiser et al., 2001). McClelland dalam Kreiser et al. (2001) menyatakan bahwa
semua ahli teori setuju bahwa entrepreneurship melibatkan pengambilan resiko
akan sesuatu. Begley dan Boyd dalam Kreiser et al. (2001) menemukan bahwa
risk taking memiliki hubungan dengan performa pada perusahaan entrepreneurial.
Organisasi dengan budaya yang mempertahankan ekspektasi yang positif bagi
hasil yang akan dicapai di masa depan, yang mau menghadapi stress dan
kegelisahan yang ditimbulkan oleh ketidakpastian, yang memberikan nilai
terhadap ambisi dan kesuksesan pribadi, akan cenderung menunjukkan tingkat
risk taking yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang lebih menghargai
kepastian dan perilaku yang lebih konservatif.
Proactiveness didefinisikan sebagai tindakan antisipasi masalah, kebutuhan,
atau perubahan yang mungkin muncul di masa depan (Webster’s Ninth New
Collegiate Dictionary dalam Lumpkin dan Dess (1994). Bateman dan Crant
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
217
dalam Crant (1996) mendefinisikan proactive personality sebagai seseorang yang
tidak merasa dibatasi oleh kekuatan situasional dan mempengaruhi proses
perubahan yang terjadi di dalam sebuah lingkungan. Proactive personality
melakukan identifikasi pada kesempatan dan menanggapi kesempatan tersebut,
orang yang memiliki kepribadian ini menunjukan inisiatif, mengambil tindakan,
dan mempertahankannya sampai mereka mencapai perubahan yang berarti. Sifat
yang proactive mengandung sebuah tendensi untuk melakukan dan
mempertahankan tindakan yang secara langsung mengubah lingkungan di sekitar
seseorang (Bateman dan Crant dalam Crant (1996). Proactivity adalah sebuah
sifat yang instrumental karena termasuk salah satu dari serangkaian perilaku yang
dapat berdampak kepada lingkungan yang ada di sekitar individu (Crant, 1996).
Konsep dari proactiveness mengacu pada bagaimana organisasi berusaha
memimpin daripada sekedar mengikuti kompetitor pada area bisnis yang utama
sebagai pengenalan produk dan jasa, teknologi, serta teknik administratif yang
baru (Covin dan Slevin dalam Antoncic dan Hisrich, 2001). Covin dan Slevin
dalam Antoncic dan Hisrich (2001) merasa bahwa hal tersebut terlihat dalam
kecenderungan perusahaan untuk bertindak secara agresif dan proaktif saat
berkompetisi dengan pesaing di dalam industri.
Perusahaan yang proactive cenderung mengambil resiko dengan melakukan
eksperimen (Stopford dan Baden-Fuller dalam Antoncic dan Hisrich, 2001),
perusahaan mengambil inisiatif (Lumpkin dan Dess dalam Antoncic dan Hisrich,
2001) dan teguh serta agresif dalam mengejar kesempatan (Covin dan Slevin
dalam Antoncic dan Hisrich, 2001). Orientasi yang proactive telah danggap
sebagai bagian dari proses entrepreneurship. Kecenderungan mengambil tindakan
dan inisiatif telah dinyatakan oleh Shapero dan Sokol dalam Crant (1996) sebagai
sikap yang proactive. Krueger dan Brazeal dalam Crant (1996) juga telah
menggambarkan konsep proactive sebagai propensity to act pada penelitian yang
mereka lakukan mengenai entrepreneurial intention dan entrepreneurial
potential. Bateman dan Crant dalam Crant (1996) menyatakan bahwa kepribadian
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
218
yang proactive memiliki implikasi terhadap pemilihan pekerjan, yang dalam hal
ini termasuk mendirikan sebuah usaha atau entrepreneurship.
Beberapa konsep menyatakan bahwa dimensi dari entrepreneurial
orientation atau dalam penelitian ini corporate entrepreneurial intention harus
dilihat bukan sebagai satu karakteristik, namun sebagai kerangka terpisah yang
saling berhubungan (Lumpkin dan Dess, 1996; Lyon et al. dalam Naldi et al.,
2007). Perusahaan dapat memiliki tingkatan innovativeness, proactiveness, dan
risk taking yang berbeda, sehingga mereka tidak dapat disejajarkan secara sama
antar tiap dimensi. Namun, dimensi tersebut memiliki hubungan yang positif
antara satu sama lain (Lumpkin dan Dess dalam Naldi et al., 2007), dan telah
dibuktikan secara empiris (Rauch et al. dalam Naldi et al., 2007).
Definisi entrepreneurship adalah penciptaan perusahaan baru (Low dan
MacMillan dalam Boyd dan Vozikis, 1994), sedangkan intention telah
dikonseptualisasi sebagai fungsi dari kepercayaan yang memberikan hubungan
antara rasa percaya dengan perilaku yang mengikutinya (Fishbein dan Ajzen
dalam Boyd dan Vozikis, 1994). Entreprenurial intention berarti sebuah
pemikiran yang mengarahkan dan membimbing tindakan dari Entrepreneur
menuju pengembangan dan implementasi dari konsep bisnis (Boyd dan Vozikis,
1994). Pernyataan ini berasal dari model yang dicetuskan oleh Bird (1988) tentang
entrepreneurial intentionality, yang diambil dari teori dasar psikologi kognitif
mengenai bagaimana menjelaskan atau memprediksi perilaku manusia. Bird
(1988) mendefinisikan entrepreneurial intention sebagai representasi kognitif dari
tindakan individu untuk mendirikan perusahaan sendiri atau menciptakan nilai
baru di dalam perusahaan yang sudah berdiri. Dalam proses pendirian sebuah
organisasi entrepreneurial intention adalah faktor yang sangat penting, karena
merupakan hal yang pertama kali terbentuk pada serangkaian tindakan pendirian
sebuah organisasi (Bird, 1988). Fishbein dan Ajzen dalam Lee, et al. (2011) juga
menyatakan bahwa niatan terhadap sebuah perilaku dapat menjadi indikator yang
kuat terhadap perwujudan perilaku tersebut.
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
219
Konsep self-efficacy di atas ditarik dari konsep theory of planned behavior
dari Ajzen dalam Boyd dan Vozikis (1994), yang mengacu pada suatu persepsi,
yang secara spesifik mengarah pada pencapaian sebuah perilaku atau tujuan dari
perilaku tersebut. Krueger (1993) menyatakan bahwa perceived feasibility, atau
tingkatan di mana seseorang merasa mampu untuk mencapai suatu tujuan, yang
dalam hal ini adalah memulai sebuah bisnis, adalah antecedent yang penting bagi
terbentuknya entrepreneurial intention, sehingga self-efficacy yang merupakan
perluasan dari konsep tersebut, adalah variabel yang dianggap mampu
menjelaskan besarnya entrepreneurial intention pada diri seseorang (Boyd dan
Vozikis, 1994).
Self-efficacy mengacu pada kepercayaan seseorang untuk menyelesaikan
pekerjaan tertentu (Bandura dalam Boyd dan Vozikis, 1994). Self-efficay
mempengaruhi kepercayaan seseorang mengenai apakah tujuan mereka dapat
terpenuhi. Bandura dalam Boyd dan Vozikis (1994) menyatakan bahwa pilihan,
aspirasi, usaha, dan ketahanan di mata seseorang adalah merupakan pengaruh dari
persepsi diri orang tersebut terhadap kemampuan mereka. Apabila sebuah
perilaku dipandang berada di luar kemampuan dari seseorang, maka ia tidak akan
mewujudkan perilaku tersebut.
Self-efficacy adalah sebuah perceived feasibility, atau tingkatan di mana
seseorang merasa mampu untuk mencapai tingkat performa tertentu (Bandura
dalam Poon dan Junit (2009), yang pada konteks entrepreneurial intention adalah
perasaan mampu untuk mendirikan sebuah bisnis. Hal tersebut merupakan faktor
penting dalam mendirikan sebuah bisnis baru (Krueger dalam Boyd dan Vozikis,
1994). Wood dan Bandura dalam Poon dan Junit (2009) menggunakan konsep
self-effficacy tersebut dan menyatakan self-efficacy sebagai kemampuan seseorang
untuk menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang
diperlukan untuk memenuhi permintaan tertentu.
Self-efficacy adalah penentu utama dari motivasi dan perilaku (Bandura
dalam Poon dan Junit (2009) dan telah diterapkan untuk meningkatkan performa
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
220
pada berbagai situasi yang beragam (Barling dan Beattie, 1983; Gist et al., 1989,
1991; Locke et al., 1984; Silver et al. dalam Poon dan Junit, 2009). Self-efficacy
juga variabel penting yang dapat menjelaskan kekuatan dari sebuah
entrepreneurial intention dan kemungkinan bahwa intention tersebut dapat
berwujud sebagai entrepreneurial action (Boyd dan Vozikis, 1994).
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, di mana penelitian
dengan menggunakan pendekatan kuantitatif menitikberatkan pada pengujian
hipotesis, data yang digunakan harus terukur, dan akan menghasilkan kesimpulan
yang yang dapat digeneralisasikan. Pendekatan kuantitatif ini menggunakan
statistik. Reliabititas dan validitas merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi
dalam menggunakan pendekatan ini karena kedua elemen tersebut akan
menentukan kualitas hasil penelitian dan kemampuan replikasi serta
generalisasi penggunaan model penelitian yang sejenis (Subiyanto, 2000).
Penilaian terhadap pernyataan responden diukur dengan menggunakan skala
yang telah dimodifikasi menjadi 4 tingkat untuk mengeliminasi kelemahan yang
dikandung oleh skala 5 tingkat, karena seringkali poin tengah atau poin netral
digunakan responden ketika mereka tidak yakin dengan pilihannya, serta untuk
menghindari central tendency sehingga dapat diketahui dengan jelas arah dari
jawaban responden (Kulas dalam Tsang, 2012). Adapun skala likert yang telah
dimodifikasi adalah sebagai berikut: 1 = Sangat tidak setuju, 2 = Tidak Setuju, 3
= Setuju, 4 = Sangat Setuju.
Batasan populasi dan sampel yang digunakan dalam penelitian ini antara
lain adalah karyawan dari berbagai Departemen, yang bekerja di Citraland
Surabaya. Melalui wawancara dengan salah satu Manajer dari Citraland Surabaya,
dapat disimpulkan bahwa seluruh karyawan memahami dengan baik budaya
entrepreneurship yang ditanamkan di dalam perusahaan dan mereka dapat dengan
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
221
mudah mendapatkan informasi mengenai aspek non-finansial terkait dengan
performa perusahaan.
Dalam penelitian ini, metode pengambilan sampel yang digunakan adalah
metode non-probability purposive sampling, yaitu kuisioner diberikan kepada
karyawan perusahaan Citraland Surabaya yang dianggap mengerti seluk beluk
perusahaan dan informasi mengenai performa perusahaan dari segi non-finansial.
Dalam sebuah penelitian, ukuran sampel yang dibutuhkan agar data terdistribusi
secara normal adalah 30 responden (Gosset dalam Zabel, 2008). Maka dari itu
peneliti memerlukan setidaknya 30 responden untuk melakukan pengujian.
Setelah memperoleh keseluruhan data, maka langkah selanjutnya adalah
melakukan analisis dari hasil yang diperoleh di lapangan. Penelitian ini
menggunakan alat analisis PLS dengan software SmartPLS.
Data dari penelitian ini diperoleh dari penyebaran kuesioner kepada
sampel/responden penelitian. Kuesioner yang disebarkan sebanyak 100 kuesioner
namun yang kembali berjumlah 54 kuisioner dan yang dapat digunakan pada
penelitian ini berjumlah 49 kuesioner. Kuesioner disebarkan pada seluruh
karyawan yang bekerja di Citraland Surabaya. Citraland Surabaya sendiri adalah
bagian dari perusahaan holding Ciputra group, yang merupakan cikal bakal core
bisnis dari perusahaan yang bergerak spesifik di bidang perumahan. Selain
perumahan kini Ciputra Group memiliki berbagai lini produk lainnya yang
diantaranya bergerak dibidang golf, pusat perbelanjaan, pendidikan dan taman
hiburan. Kuisioner dibagian ke seluruh karyawan terlepas dari posisi atau
departemen manapun karyawan tersebut bekerja.
Pada analisis outer model, terdapat analisis mengenai validitas dan
reliabilitas indikator dari PLS. Validitas indikator terdiri dari convergent validity
dan discriminant validity, sedangkan reliabilitas dapat dilihat dari composite
reliability atau cronbach alpha.
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
222
Pada Tabel 1 tampak bahwa dari indikator-indikator reflektif tiap-tiap
variable yang digunakan dalam penelitian ini I3, R2, dan S6 memiliki nilai T
statistik <1,96 sehingga ketiga indikator tersebut dieliminasi.
Semua akar AVE pada penelitian memiliki nilai yang lebih besar dari
korelasi antar konstruknya. Dengan demikian dapat disimpulkan model dalam
penelitian ini telah memiliki discriminant validity yang baik.
Nilai composite reliability untuk keseluruhan variabel pada penelitian ini
bernilai > 0.50. Dengan demikian, model penelitian ini dapat dikatakan reliabel
atau memenuhi kriteria composite reliability.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Terdapat hubungan negatif antara innovativeness (I) dengan entrepreneurial
intention (EI). Hal tersebut tampak pada nilai original sample I>EI sebesar -0,264.
Hubungan positif tersebut tidak signifikan dikarenakan nilai T Statistic I>EI
sebesar 1,253 atau < 1,96. Terdapat hubungan negatif antara risk taking (R)
dengan entrepreneurial intention (EI). Hal tersebut, tampak pada nilai original
sample R>EI sebesar -0.035. Hubungan positif tersebut tidak signifikan
dikarenakan nilai T Statistic R>EI sebesar 0.165 atau < 1,96. Terdapat hubungan
negatif antara proactiveness (I) dengan entrepreneurial intention (EI). Hal
tersebut tampak pada nilai original sample P>EI sebesar -0,230. Hubungan
negatif tersebut tidak signifikan dikarenakan nilai T Statistic P>EI sebesar 1,188
atau < 1,96. Secara statistik self-efficacy tidak mampu memperkuat pengaruh
innovativeness (I) terhadap entrepreneurial intention (EI). Hal tersebut tampak
dari nilai T Statistic Interaction Effect SE: I>EI sebesar 1,088 atau < 1,96 yang
menandakan tidak signifikan. Secara statistik Self-efficacy tidak mampu
memperkuat pengaruh risk taking (R) terhadap entrepreneurial intention (EI). Hal
tersebut tampak dari nilai T Statistic Interaction Effect SE: P>EI sebesar 0,602
atau < 1,96 yang menandakan tidak signifikan. Secara statistik Self-efficacy tidak
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
223
mampu memperkuat pengaruh proactiveness (P) terhadap entrepreneurial
intention (EI). Hal tersebut tampak dari nilai T Statistic Interaction Effect SE:
P>EI sebesar 0,682 atau < 1,96 yang menandakan tidak signifikan.
Hasil pengujian hubungan antara innovativeness dengan entrepreneurial
intention adalah negatif tidak signifikan. Hasil yang negatif tidak signifikan secara
statistik dapat dikarenakan karakteristik jawaban dari responden. Meskipun
melalui wawancara diketahui bahwa perusahaan sangat mendukung inovasi dari
karyawan, masih ada beberapa karyawan yang merasa bahwa perusahaan tidak
mendukung inovasi mereka di dalam perusahaan, pada pertanyaan seputar
dukungan terhadap cara baru dalam pemasaran atau merespon cara pesaing,
beberapa karyawan menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan tersebut,
demikian juga pada pertanyaan terkait solusi pemasaran dan membuahkan
pemikiran dan perilaku yang orisinil demi kemajuan perusahaan. Hal ini, dapat
disebabkan karena mayoritas lahan di Citraland sudah terpakai sehingga semakin
sedikit ruang untuk berkembang di dalam perusahaan.Hasil tersebut sejalan
dengan penelitian Ferreira et al. (2012) yang tidak menemukan pengaruh
signifikan innovativeness terhadap entrepreneurial intention, namun meskipun
begitu, pengaruh positif yang ada pada penelitian ini sejalan dengan serangkaian
penelitian yang menemukan pengaruh positif innovativeness terhadap
entrepreneurial intention (Koh, 1996; Bygrave, 1989; Robinson et al., 1991).
Hasil pengujian hubungan antara risk taking dengan entrepreneurial
intention adalah negatif tidak signifikan. Dari karakteristik jawaban responden,
dapat terlihat bahwa responden cenderung menjawab dengan tidak setuju dan
sangat tidak setuju pada pertanyaan seputar pengambilan keputusan yang sifatnya
tidak pasti, dan lebih dari setengah responden menjawab tidak setuju dan sangat
tidak setuju pada pertanyaan seputar pengambilan keputusan yang mampu
membahayakan karier mereka di dalam perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa
posisi mereka di dalam perusahaan sebagai karyawan masih memegang peranan
penting bagi mereka meskipun mereka memiliki kemauan yang besar untuk
berwirausaha. Hasil wawancara juga mengatakan bahwa semua pengambilan
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
224
keputusan yang beresiko akan ditampung dan didiskusikan resikonya secara
bersama-sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa sangat jarang terjadi situasi di
mana karyawan harus mengambil keputusan sendiri yang dapat berpotensi
membahayakan karier mereka di dalam perusahaan. Hudgens dan Fatkin (1985
dalam Powel dan Ansic, 1997) juga menyatakan bahwa wanita memiliki
preferensi yang lebih rendah mengenai risiko dibandingkan pria. Hal ini juga
dapat menjadi penyebab hasil yang bertentangan dengan landasan teori pada
penelitian ini, karena dari karakteristik jenis kelamin responden pada penelitian
ini, 67%-nya adalah wanita.
Hasil di atas sejalan dengan penelitian Ferreira et al. (2012) yang tidak
menemukan pengaruh signifikan risk taking terhadap entrepreneurial intention.
Hasil dari penelitian ini bertentangan dengan serangkaian penelitian yang
menemukan pengaruh positif risk taking terhadap entrepreneurial intention (Koh,
1996; Bygrave, 1989; Robinson et al., 1991), hal ini dapat disebabkan oleh
karakteristik jawaban responden pada pertanyaan seputar kemauan mereka dalam
mengambil resiko.
Hasil pengujian hubungan antara proactiveness dengan entrepreneurial
intention adalah negatif tidak signifikan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa
karyawan merasa bahwa perusahaan kurang memberi ruang bagi penelitian dan
pengembangan, pemanfaatan teknologi baru,dan penciptaan teknologi baru di
dalam perusahaan. Ragam produk atau jasa juga menurut sebagian karyawan tidak
banyak, dan tidak banyak perubahan terhadap proses penciptaan produk baru. Hal
tersebut dapat dikarenakan Citraland Surabaya sendiri sudah berdiri cukup lama
dan tidak banyak memiliki ragam produk baru. Hasil tersebut mungkin akan
sangat berbeda apabila diuji di proyek-proyek Citraland lain yang tergolong masih
baru, dimana masih banyak produk baru yang dapat ditawarkan dan masih banyak
ruang untuk penelitian, penerapan teknologi baru dan penciptaan inovasi baru.
Hasil dari penelitian ini tidak sejalan dengan serangkaian penelitian sebelumnya
mengenai pengaruh proactiveness terhadap entrepreneurial intention (Crant,
1996; Prabhu, 2013).
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
225
Berdasarkan hasil perhitungan di atas didapatkan hasil bahwa variabel self-
efficacy secara statistik bukanlah variabel yang dapat memoderasi hubungan
corporate entrepreneurial intention yaitu innovativeness, risk taking, dan
proactiveness dengan entrepreneurial intention. Secara statistik penelitian ini
membuktikan bahwa self-efficacy lebih sebagai variabel independen biasa
daripada sebagai variabel moderator. Hal ini dapat disebabkan karena
inkonsistensi pada karakteristik jawaban responden atas kuesioner yang dibagikan
pada penelitian ini. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, seseorang yang
memiliki self-efficacy yang tinggi akan menciptakan lingkungan kerja yang
menunjukkan perilaku innovative, proactive, dan risk taking (Bandura dalam
Poon dan Junit, 2009), namun sebagaimana yang sudah dipaparkan, sebagian
responden memiliki tingkat proactiveness dan risk taking yang rendah, namun
memiliki self-efficacy yang tinggi. Hal ini bertentangan dengan berbagai
pernyataan yang ada pada penelitian sebelumnya, yang menyatakan bahwa self-
efficacy mampu meningkatkan pengaruh innovativeness, proactiveness, dan risk
taking pada entrepreneurial intention (Boyd dan Vozikis, 1994).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas, Citraland Surabaya harus
mempertahankan ruang yang diberikan untuk inovasi dari karyawan perusahaan.
Kemauan untuk mengambil resiko dari karyawan yang rendah dikarenakan
memang budaya di Citraland Surabaya adalah menampung segala usulan dari
karyawan dan kemudian didiskusikan bersama, namun Citraland Surabaya tetap
harus meningkatkan risk taking dari karyawan dengan memberikan dukungan
agar karyawan lebih berani mengambil keputusan yang sifatnya tidak pasti untuk
mendukung budaya kewirausahaan yang ditanamkan dalam perusahaan. Bagi
sebagian karyawan, perusahaan kurang memberikan dukungan terhadap karyawan
untuk bersikap lebih proaktif, karena self-efficacy dari karyawan sebenarnya
sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Bandura dalam Poon dan
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
226
Junit (2009) yang mengatakan bahwa individu yang memiliki self-efficay yang
tinggi seharusnya memperlihatkan proactiveness yang tinggi juga.
Inti dari penelitian ini adalah memecahkan solusi tingginya tingkat
pengangguran di Indonesia. Hal tersebut dapat dicapai salah satunya adalah
dengan mencetak wirausaha-wirausaha baru yang dapat menyediakan lapangan
kerja yang lebih banyak bagi pengangguran tersebut. Ciputra (2011) juga
menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat Indonesia akan semakin meningkat
seiring dengan bertambahnya jumlah wirausaha di Indonesia. Melalui hasil
wawancara yang telah dipaparkan sebelumnya dalam penelitian ini, perusahaan
tidak harus takut karyawan akan keluar dari organisasi apabila mereka telah dibina
minat kewirausahaannya, Ciputra menangani masalah tersebut dan menciptakan
solusi berupa penugasan kepada mereka yang berprestasi kinerjanya dan sudah
terlihat potensi kewirausahaannya, sebagai pimpinan di cabang-cabang baru dari
perusahaan. Hal ini dapat dicontoh oleh perusahaan lain, karena metode tersebut
secara langsung dapat mengembangkan perusahaan dan secara tidak langsung
menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat di Indonesia. Pengembangan
kewirausahaan di dalam perusahaan seperti inilah yang menjadi inti dari konsep
corporate entrepreneurial intention seperti yang telah dipaparkan dalam
serangkaian penelitian sebelumnya (Fini, 2010; Burgelman, 1983; Guth dan
Ginsberg, 1990; Zahra, 1991; Sharma dan Chrisman, 1999; Saly, 2001).
Saran bagi Citraland adalah walaupun Citraland sangat mendukung inovasi
dari karyawan, karyawan melalui jawaban kuisioner yang telah dibagikan
menunjukkan bahwa keinginan mereka untuk berinovasi masih kurang difasilitasi
oleh perusahaan, karyawan juga merasa tidak diberi ruang untuk melakukan
tindakan yang proaktif, karena saat penelitian ini dilakukan memang terlihat tidak
banyak lagi ruang yang tersedia bagi karyawan untuk menunjukkan tindakan-
tindakan proaktif tersebut. Sehingga, sebagai tindakan yang lebih lanjut
perusahaan sebaiknya memberikan ruang yang lebih pada karyawan untuk
berinovasi, seperti dengan menugaskan karyawan tersebut ke cabang-cabang
perusahaan yang baru, yang masih menuntut banyak ruang dan membutuhkan
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
227
banyak masukan untuk lebih berkembang. Mengenai pengambilan resiko,
perusahaan diharapkan tetap mempertahankan metode yang hingga kini mereka
terapkan, karena dengan metode tersebut, karyawan tidak takut untuk
menunjukkan tindakan yang berpotensi memiliki resiko karena mereka percaya
bahwa perusahaan telah menerapkan manajemen resiko yang selain memfasilitasi
pengambilan resiko di perusahaan, juga tidak begitu saja membahayakan karir
mereka didalam organisasi. Jika perusahaan menerapkan hal ini, mereka akan
dapat meningkatkan performa organisasi dan ikut mendukung usaha peningkatan
lapangan kerja demi mengurangi tingginya tingkat pengangguran di Indonesia.
Bagi perusahaan lain, budaya entrepreneurship yang diterapkan oleh Citraland
dapat dijadikan pertimbangan untuk dicoba diterapkan di perusahaan sendiri,
karena telah terbukti mampu meningkatkan performa individu secara khusus dan
perusahaan secara umum. Perusahaan juga dapat ikut berpartisipasi dalam usaha
meningkatkan lapangan kerja demi mengurangi tingkat pengangguran di negara
ini.
Saran bagi Akademisi ini adalah saran untuk penelitian selanjutnya.
Penelitian ini hanya dilakukan pada salah satu lini dari Ciputra Group secara
keseluruhan yaitu Citraland, sehingga pada penelitian selanjutnya diharapkan
mampu dilakukan pada lebih banyak lini Ciputra Group seperti Ciputra Golf,
Dufan, Ciputra World dan lini yang lainnya karena dari sekian banyak perusahaan
di Indonesia, Ciputra adalah yang dengan sangat terang-terangan menerapkan
kewirausahaan di dalam perusahaannya. Sebagian besar variabel di dalam
penelitian ini meneliti tentang karyawan sebagai individu, namun memasukkan
performa pada tingkat organisasi, sehingga pada penelitian selanjutnya diharapkan
dapat memasukkan variabel performa pada tingkat individu. Penelitian ini juga
secara statistik tidak berhasil membuktikan moderasi dari self-efficacy pada
hubungan antara corporate entrepreneurial intention dengan entrepreneurial
intention seperti yang telah dikemukakan pada penelitian-penelitian sebelumnya,
sehingga pada penelitian yang akan datang diharapkan mampu untuk
membuktikan pengaruh moderasi tersebut.
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
228
DAFTAR PUSTAKA
Antoncic, B., Robert D. Hisrich. (2001). Intrapreneurship: Construct Refinement
and Cross-Cultural Validation. Journal of Business Venturing. Vol. 16:
495-527.
Badan Pusat Statistik. (2013). Berita Resmi Statistik. No. 35/05/Th. XVI
Bird, B. (1988). Implementing Entrepreneurial Ideas: The Case for Intention. The
Academy of Management Review. Vol. 13 (3): 442-453.
Boyd, N. G., G. S. Vozikis. (1994). The Influence of Self-Efficacy on the
Development of Entrepreneurial Intentions and Actions. Entrepreneurship
Theory and Practice.
Brockhaus, R.H. (1980). Risk Taking Propensity of Entrepreneurs. Academy of
Management Journal. Vol. 23 (3): 509-520.
Burgelman, R.A. (1983). Corporate Entrepreneurship and The Pursuit of
Competitive Advantage. Entrepreneurship Theory and Practice. Vol. 23 (3):
85-102.
Chow, I. H. (2006). The Relationship Between Entrepreneurial Orientation and
Firm Performance in China. S. A. M. Advanced Management Journal. Vol.
7 1(3): 11-21 .
Ciputra, A. Tanan, A. Waluyo. (2011). Ciputra Quantum Leap 2: Kenapa dan
Bagaimana Entrepreneurship mengubah masa depan Bangsa dan masa
depan Anda. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Crant, J.M. (1996). The Proactive Personality Scale as a Predictor of
Entrepreneurial Intentions. Journal of Small Business Management. Vol. 34
(3): 42-49.
Ferreira, J. J., et al. (2012). A model of Entrepreneurial Intention: an Application
of The Psychological and Behavioral Approaches. Journal of Small
Business and Enterprise Development. Vol. 19 (3): 424-440.
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
229
Fini, R., et al. (2010). The Determinant of Corporate Entreprenurial Intention
Within Small and Newly Established Firms. Entrepreneurship Theory and
Practices.
Ghozali, I. (2006). Statistik Nonparametrik. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Guth, W. D., A. Ginsberg. (1990). Guest Editors’ Introduction: Corporate
Entrepreneurship. Stratregic Management Journal. Vol. 11 (4): 5-15.
Hmieleski, K. M., R. A. Baron. (2008). When does Entrepreneurial Self-Efficacy
Enhance versus Reduce Firm Performance. Strategic Entrepreneurship
Journal. Vol. 2: 57-72.
Kaya, N. (2006). The Impact of Human Resource Management Practices and
Corporate Entrepreneurship on Firm Performance: Evidence From Turkish
Firms. International Journal of Human Resource Management. Vol. 17(12):
2074-2090.
Koh, H.C. (1996). Testing Hypoteses of Entrepreneurial Characteristic: A Study
of Hong Kong MBA Students. Journal of Managerial Psychology. Vol. 11
(3): 12-23.
Krueger Jr., N.F. D. V. Brazeal. (1994). Entrepreneurial Potential and Potential
Entrepreneurs. Entrepreneurship Theory and Practice. Vol. 18 (3): 91-104.
Lee, L. P, K. Wong, M. D. Foo, A. Leung. (2011). Entrepreneurial Intentions:
The Influence of Organizational and Individual Factors. Journal of Business
Venturing. Vol. 26: 124-136.
Lumpkin, G. T., G. G. Dess. (1996). Clarifying The Entrepreneurial Orientation
Construct and Linking it to Performance. Academy of Management
Review. Vol. 21 (1): 135-172.
Macko A., T. Tyszka. (2009). Entrepreneurship and Risk Taking. Applied
Psychology: An International Review. Vol. 58 (3): 469-487.
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
230
Naldi, L., et al. (2007). Entrepreneurial Orientation, Risk Taking, and
Performance in Family Firms. Family Business Review. Vol. 20 (1): 33-47.
Poon, J. M. L., Raja Azimah Ainuddin, Sa’Odah Haji Junit. (2006). Effects of
Self-Concept Traits and Entrepreneurial Orientation on Firm Performance.
International Small Business Journal. Vol. 24 (1): 61-82.
Rauch, A., et al. (2009). Entrepreneurial Orientation and Business Performance:
An Assessment of Past Research and Suggestions for the Future.
Entrepreneurship Theory and Practice. Vol. 33 (3): 761-787.
Saly, A.W. (2001). Corporate Entrepreneurship. Tinbergen Institute Research
Series. Erasmus University of Rotterdam.
Schumpeter, J.A. (1934). The Theory of Economic Development: an Inquiry Into
Profits, Capital, Credit, Interest, and the Business Cycle. Amerika Serikat:
Transaction Pulishers.
Schumpeter, J.A. (1942). Capitalism, Socialism and Democracy. New York:
Routledge.
Sharma, P. J. J. Chrisman. (1999). Towards a Reconciliation of the Definitional
Issues in The Field of Corporate Entrepreneurship. Entrepreneurship:
Theory and Practice. Vol. 23 (3): 11-270.
Timmons, J.A., Stepthen Spinelli. (2011). New Venture Creation:
Entrepreneurship for the 21st Century. Amerika Serikat: McGraw-
Hill/Irwin
Tsang, K. K. (2012). The Use of Midpoint on Likert Scale: The Implication for
Educational Research. Hong Kong Teachers’ Centre Journal. Vol. 11: 121-
130
Zahra, S. A. (1991). Predictors and Financial Outcomes of Corporate
Entrepreneurship: An Exploratory Study. Journal of Business Venturing.
Vol. 6(4): 259-285.
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
231
AVE Akar AVE
EI 0.766 0.875
I 0.801 0.895
P 0.710 0.843
R 0.719 0.848
SE 0.539 0.734
LAMPIRAN
Tabel 1. Indikator Reflektif
Original
Sample
Sample
Mean
Standard
Error T Statistic
I1 0.981 0.788 0.328 2.989
I2 0.800 0.656 0.328 2.440
I3 0.489 0.438 0.396 1.235
P1 0.707 0.637 0.263 2.689
P2 0.865 0.777 0.246 3.512
P3 0.94 0.862 0.269 3.488
R1 0.831 0.670 0.331 2.513
R2 0.412 0.628 0.335 1.227
R3 0.722 0.647 0.325 2.226
R4 0.889 0.702 0.328 2.708
EI1 0.892 0.897 0.049 18.215
EI2 0.859 0.874 0.078 11.064
EI3 0.874 0.857 0.069 12.719
S1 0.742 0.635 0.257 2.888
S2 0.807 0.687 0.267 3.022
S3 0.751 0.636 0.272 2.763
S4 0.598 0.561 0.240 2.496
S5 0.782 0.670 0.258 3.031
S6 0.224 0.273 0.347 0.646
S7 0.728 0.655 0.219 3.326
S8 0.598 0.536 0.244 2.450
S9 0.759 0.632 0.267 2.839
S10 0.785 0.674 0.255 3.076
S11 0.649 0.591 0.231 2.809
S12 0.712 0.650 0.218 3.260
Tabel 2. Discriminant Validity
Jurnal EKSEKUTIF Volume 13 No. 2 Desember 2016
232
Original Sample Sample Mean Standard Error T Statistic
I>EI -0.264 -0.179 0.211 1.253
P>EI -0.230 -0.254 0.194 1.188
R>EI -0.035 0.065 0.212 0.165
SE>IE 0.381 0.435 0.280 0.173
Interaction Effect SE: I>EI 0.289 0.204 0.265 1.088
Interaction Effect SE: P>EI -0.195 -0.053 0.285 0.682
Interaction Effect SE: R>EI 0.143 0.021 0.237 0.602
EI I P R SE
EI
I 0.219
P 0.388 0.822
R 0.147 0.277 0.167
SE 0.257 0.181 0.273 0.217
EI 0.908
I 0.889
P 0.879
R 0.884
SE 0.927
Composite Reliability
Tabel 3. Composite Reliability
Tabel 4. Reliability
Tabel 5. Uji Signifikansi
Top Related