BAB 18
INTERAKSI ANTARA OBAT DAN NUTRISI
Victoria Haken, MS, RD, CNSD
Uraian Bab
Farmakologi dasar: Aspek nutrisi
Fase dari kerja obat
Faktor resiko dari interaksi obat dan nutrisi
Efek obat pada status nutrisi dan persyaratannya
Efek makanan dan nutrisi terhadap terapi obat
Medikasi dan inkompatibilitas nutrisi enteral
-----------------
Kata kunci
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Agonis – substansi kimia yang dapat mengaktivasi reseptor untuk menginduksi respon
farmakologi
Antagonis – obat yang meniadakan efek dari obat lain
Antivitamin – substansi inaktif dari vitamin atau menghambat sintesis dari vitamin
Bioavailabilitas – tingkat atau derajat dari obat atau substansi lain untuk mencapai sirkulasi
sistemik dan mampu mencapai target organ atau jaringan
Biotransformasi - merupakan reaksi metabolisme dari obat seperti oksidasi, reduksi,
hidrolisis, atau konjugasi
Interaksi obat-nutrisi – hasil dari aksi atau kerja antara obat dan nutrisi yang tidak dapat
terjadi antara nutrisi atau obat sendiri
Efek luminal – aksi atau kerja dari obat yang bertempat di lumen dari usus
Sistem fungsi oksidasi campuran (MFOS) – sistem beberapa enzim di dalam hati yang
bertanggung jawab untuk memetabolisme berbagai macam senyawa asing dan obat
Naringenin – flavonoid dari jus buah anggur yang bertanggungjawab untuk menghambat
oksidasi dari obat yang terjadi secara bersamaan dengan pencernaan jus buah anggur
Farmakodinamik – ilmu yang mempelajari tentang fisiologi dan efek biokimia dari obat
atau kombinasi dari obat dan mekanisme aksinya
Farmakokinetik – aksi dari obat di dalam tubuh termasuk absorpsi, distribusi, metabolisme,
dan eliminasi
Tiramin – vasoaktif amina yang ditemukan pada jaringan hewan yang telah membusuk, keju
matang dan makanan lainnya
Vasoaktif amina - senyawa organic yang terdiri atas nitrogen yang menyebabkan
vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah kecil
Manajemen dari berbagai penyakit memerlukan waktu yang cukup lama dalam
perawatan dan pemberian terapi obat, seringnya memerlukan penggunanan beberapa obat.
Interaksi antara obat dan nutrisi pada umumnya meningkat dari aspek pemberian resep oleh
dokter. Efek terapi dan efek samping dari pengobatan pada akhirnya dapat mengurangi status
nutrisi, dengan kata lain, status nutrisi dari pasien dapat menurun karena efikasi obat atau
meningkatkan efek toksisitasnya.
Kehilangan efek terapi terjadi ketika substansi makanan memperlambat atau merusak
absorpsi obat, mempercepat metabolisme obat, atau menghambat efek obat dengan beberapa
interaksi farmakodinamik. Reaksi toksisitas akut, termasuk ketidaksesuaian makanan dan
obat dan efek dari antagonis vitamin, mempunyai hasil klinik yang signifikan. Hal tersebut
juga memberikan efek jangka panjang dari obat yang berhubungan dengan nutrisi yang
menghasilkan perubahan pada nafsu makan, rasa, pencernaan yang tidak sesuai, absorpsi
yang tidak merata, dan penurunan mineral dan vitamin dari kehilangan urin dan efeknya pada
obat dalam katabolisme nutrisi. Semua mekanisme ini dapat berujung pada rusaknya status
nutrisi.
Situasi yang seperti ini dapat menjadi interaksi serius antara obat dan nutrisi yang
dapat terjadi pada keadaan:
1. Obat diminum bersamaan dengan makanan
2. Obat diminum bersamaan dengan suplemen nutrisi
3. Obat diminum bersamaan dengan alcohol
4. Obat digunakan untuk mencapai interaksi obat dan nutrisi
5. Obat diminum secara bersama-sama dengan beberpa obat lain yang lebih dari
satu obat yang menghasilkan efek yang berlawanan karena interaksinya
dengan makanan
6. Obat yang menyebabkan penurunan nutrisi yang diminum dalam jangka waktu
yang lama
The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organization (JCAHO) secara
jelas menjelaskan interaksi antara obat dan nutrisi yang signifikan dan dipublikasikan dalam
1997, Comprehensive Accreditation Manual for Hospitals. Termasuk dalam sesi edukasi
yakni Standart PF.1.5: “Pasien diedukasikan tentang interaksi antara obat dan nutrisi secara
potensial dan sediakan konseling nutrisi dan modifikasi diet”. Oleh karena itu, sangat penting
untuk para dietitian dan perawat untuk memonitor terapi obat di rumah sakit, sebaik mungkin
medikasi, dan sediakan intervensi yang sesuai. Lihat di website www.fda.gov untuk makanan
dan adminitrasi obat.
FARMAKOLOGI DASAR: ASPEK NUTRISIta
Obat digambarkan seperti berbagai senyawa kimia yang digunakan untuk mencegah
atau mengobati sesuatu. Untuk memahami interaksi antara diet dan obat, diperlukan
gambaran parameter yang mempengaruhi dalam menentukan efek dari obat dan bagaimana
obat memperngaruhi dietnya. Kerja obat terjadi dalam tiga tahap: 1) Tahap pharmaceutical
(dilusi dan disintegrasi obat); 2) Tahap farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan
eliminasi obat); 3) Tahap farmakodinamik (fisiologi tubuh atau respon psikologi terhadap
obat atau kombinasi obat). Karena hal tersebut sangat sulit untuk dipelajari, interaksi
farmakodinamik makanan dan obat telah diuji lebih sedikit daripada interaksi farmakokinetik.
FASE DARI KERJA OBAT
Banyak faktor yang memperngaruhi farmakokinetik obat. Absorpsi obat dapat dijaga
dalam bentuk dosis, solubilitas saat absorpsi, derajat ionisasi, dan rute administrasi (oral,
tube-fed, dan intravena). Distribusi obat dalam tubuh biasanya didistribusikan dalam bentuk
konsentrasi tinggi ke jantung, hati, ginjal, dan otak. Sisanya, didistribusikan ke otot, kulit dan
jaringan lemak. Obat yang memasuki sistem syaraf pusat biasanya terbatas. Biotransformasi
obat bergantung pada sistem enzim seperti sistem fungsi oksidasi campuran (MFOS). (lihat
12-1). Komponen dari sistem ini (sitokrom p-450, nicotinamide-adenine-dinucleotide-
phosphate [NADPH] -reduktasi sitokrom p-450, dan phosphatidylcholine) menggunakan
NADPH dan oksigen untuk mengkatalisa oksidasi dari beberapa senyawa. Fungsi dari sistem
enzim ini bergantung dari beberapa nutrient dan dapat berkurang pada defisiensi protein,
asam amino esensial, asam askorbid, tocopherol, dan retinol. Organ yang berfungsi untuk
ekskresi seperti ginjal dan paru-paru, mengeliminasi obat yang tidak mengalami perubahan
atau yang termetabolisme. Metabolisme obat yang terjadi di hati, dapat juga terekskresi
melalui duktus atau feses. Banyak faktor yang mempengaruhi ekskresi obat seperti protein
atau diet yang mengandung serat, dan pH urin.
Mekanisme farmakodinamik atau mekanisme obat dapat berefek pada kecepatan aksi
dan meningkatkan fungsi tubuh. Obat mungkin dapat menggunakan aktivitas agonis atau
antagonis, yang berarti dapat meningkatkan atau mengganggu metabolisme normal dan
fungsi fisiologis. Biasanya, penggunaan obat dikombinasikan dengan reseptor yang spesifik
yang sesuai dengan level seluler. Obat biasanya tidak menghasilkan satu efek, tetapi berbagai
macam efek yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Potensi terakhir dari obat
ditentukan dari absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi, dan kemampuannya untuk
berkombinasi dengan reseptor.
FAKTOR RESIKO DARI INTERAKSI OBAT DAN NUTRISI
Obat yang menyebabkan malnutrisi umumnya terjadi pada pengobatan jangka
panjang penyakit kronik. Para lanjut usia memiliki resiko yang tinggi karena peningkatan
konsumsi obat untuk mengobati kondisi kesehatan yang kronik, menurunkan efikasi dari
absorpsi nutrisi, dan meningkatkan resiko konsumsi diet yang berkurang. Pasien yang kurang
memenuhi nutrisi dan resep dari dokter yang berlanjut menyebabkan resiko yang lebih
menyulitkan. Perkembangan fetus, infant, dan wanita hamil juga merupakan resiko tinggi
terjadinya interaksi obat dan nutrisi, sejak syarat nutrisi yang harus dipenuhi meningkat.
Adanya malnutrisi juga dapat terjadi pada orang yang memiliki resiko terhadap
interaksi antara nutrisi dan obat. Obat pada umumnya diberikan pada pasien yang
membutuhkan, termasuk yang mengalami penyakit neoplasma aktif dengan anoreksia, dan
terbuang. Selain itu, pemberian obat yang kurang sesuai dapat berefek pada perubahan
saluran pencernaan, seperti muntah, diare, hipoklordiria, atrofi mukosa, dan perubahan
motilitas. Perubahan protein dan komposisi dalam tubuh sekunder dapat menyebabkan
malnutrisi dapat mempengaruhi obat yang tidak sesuai dengan mengubah ikatan protein dan
volume distribusi. Kecepatan oksidasi obat dapat normal atau meningkatkan malnutrisi dari
rendah hingga sedang, tetapi pada umumnya rusak ketika edema atau tanda lain dari
malnutrisi berat muncul. Untuk ikatan protein yang tinggi, obat yang menurunkan
ekskresinya di ginjal, “half-life” nya dapat memendek ketika hipoalbuminemia cukup parah
karena obat tereliminasi lebih cepat karena kurangnya ikatan dengan protein dalam plasma.
Defisiensi nutrisi yang spesifik dapat mempengaruhi metabolisme obat dengan
mempengaruhi MFOS. Defisiensi besi meningkatkan aktivitas sitokrom p-450-dependent
MFOS, sedangkan defisiensi magnesium menurunnya (Strobel et al, 1983). Selenium dan
kromium masuk dalam mekanisme dengan detoksifikasi senyawa asing glutathione (Relling,
1989). Zink juga dapat berperan penting dalam fungsi yang sesuai terhadap enzim spesifik
yang berhubungan dengan biotransformasi obat.
Komposisi tubuh merupakan pertimbangan penting dalam menentukan respon obat.
Distribusi dari obat larut lemak meningkat pada obesitas dan pasien lanjut usia, yang proporsi
jaringan adiposa meningkatkan massa tubuh. Akumulasi berlebihan dari obat dan
metabolitnya di jaringan adipose dapat berefek pada klirens yang memanjang dan
meningkatkan toksisitasnya.
EFEK OBAT PADA STATUS NUTRISI DAN PERSYARATANNYA
Hampir semu status nutrisi berpotensi mempengaruhi obat. Kalsium, folat, piridoksin,
dan vitamin A cukup penting karena untuk memberikan pengaruh dari penggunaan obat
secara umum, asupannya sering tidak mencukupi.
Obat yang memperngaruhi asupan diet
Penurunan asupan nutrisi dapat dipengaruhi oleh asupan obat secara primer maupun
sekunder, diinginkan maupun yang tidak diinginkan (table 18-1). Beberapa jumlah obat
seperti methylpenidate (Ritalin), yang bekerja pada sistem syaraf pusat, menurunkan nafsu
makan. Senyawa ini diresepkan karena efeknya untuk menenangkan anak yang hiperaktif.
Pengunaan obat jangka panjang dapat menyebabkan retardasi, diikuti dengan “catch-up
growth” ketika pengobatan ini dihentikan (lihat bab 10).
Pasien kanker memiliki prevalensi tertinggi mengalami malnutrisi dari kelompok
pasien yang ada di rumah sakit. Adanya tumor sendiri dapat mengurangi asupan berbagai
nutrisi dan dari pengobatan seperti kemoterapi dan radiasi dapat menyebabkan gangguan
nutrisi yang berkelanjutan (Henriks-son et al, 1991). Cisplatin dan agen sitotoksik lainnya
umumnya menyebabkan mual, muntah, dan penurunan asupan makanan. Spesialis kanker,
bagaimanapun mengalami modifikasi diet seperti makanan tidak berwarna dan berbau (keju
cottage, saos apel, dan eskrim) untuk meningkatkan asupan makanan secara total dan
menurunkan rasa mual dan muntah (Menashran et al, 1992).
Tabel 18-1 Contoh obat yang dapat menyebabkan berkurangnya nafsu makan
Sulfasaline (Azulfidine)
Colchicine
Ternazepam (Restroril)
Tylenol dengan kodein
Tamoxifen
Digitalis
Amphogel
Diabenese
Furosemide (Lasix)
Hydrochlorthiazide (HydroDUIRIL)
Hydralazine (Apresoline)
Fluphenazine (Prolixin)
Carbamazepin (Tegretol)
Tabel 18-2 Contoh obat yang dapat mengubah atau mengganggu persepsi rasa
Acetyl Sulfasalicylic acid
Allopurinol
Amphetamine
Amphotericin B
Ampicillin
Amylocaine
Benzocaine
Captropil
Chlorpheniramine maleate
Clofibrate
Diltiazem
Dinitrophenol
5- Fluorouracil
Flurazepam (Dalmane)
Griseofulvin
Lidocaine
Lithium carbonate
Meprobamate
Mathilcillin sodium
Methylthiouracil
Metronidazole
Nifedipine
D-penicillamine
Phenindione
Phenytoin
Probucol
Sulfasalazine
Triazolam (Halcion)
Selain itu, yang menyebabkan anoreksia, penicillamine, agen logam kelat, dapat
menurunkan kadar zink dan besi, yang dapat menyebabkan hypogeusia dan dysgeusia. Pasien
dengan defisiensi dan berpotensi mengalami defisiensi mineral ini harus diberikan suplemen.
Rasa dan bau makanan juga merupakan hal yang penting dalam memenuhi status
nutrisi yang adekuat. Obat dapat menyebabkan gangguan terhadap sensasi rasa (dysgeusia),
mengurangi keakuratan sensasi rasa (hupogeusia), atau rasa yang tidak enak, dan keadaan ini
dapat mempengaruhi asupan makanan (table 18-2). Mekanisme obat dalam merusak sensasi
rasa tidak sepenuhnya dapat dijelaskan. Obat mungkin mengganggu sel dari indra perasa atau
merusak mekanisme transduksi dari sel indra perasa. Obat juga mungkin merusak
neurotransmitter pada sistem syaraf pusat yang berfungsi memproses informasi kemosensori
(Schiffman, 1994). Obat-obat umum yang menyebabkan dysgeusia termasuk antimikroba
amphotericin B dan ampisillin, obat hipoglikemi glipizide, dan obat antiepilepsi fenitoin.
Agen anoreksia digunakan untuk terapi pada obesitas yang menginginkan efek untuk
mengurangi nafsu makan. Dua kategori utama untuk obat obesitas adalah secara sentral
mengaktifkan agen adrenergic dan serotonin. Obat-obat ini mengurangi nafsu makan,
meningkatkan kepuasan, dan meningkatkan pengeluaran energy. Amfetamin adalah agen
adrenergic yang menstimulasi sekresi norepinefrin dari sistem syaraf pusat terminal dan
menurunkan asupan makanan. Karena obat tersebut berpotensi untuk disalahgunakan, obat ini
tidak secara rutin diresepkan oleh dokter (Atkinson, 1997).
Obat-obat serotonin, seperti fenfluramine dan dexfenfluramine, menawarkan tujuan
lain. Obat ini beraksi dengan menghambat reuptake serotonin, sehingga meningkatkan
kepuasan dan menurunkan asupan makanan. Bagaimanapun, obat ini memiliki efek yang
merugikan yang menjadi perhatian utama, termasuk perubahan biokimia otak (Atkinson et al,
1995) dan hipertensi pulmonal primer (Abenhaim et al, 1996). Pada penemuan baru
diperkirakan 30% yang menggunakan obat ini juga menunjukan hasil ekokardiogram yang
abnormal yang mengindikasikan adanya gangguan pada katup jantung. Pada 1997, The Food
and Drug Administration (FDA) meminta perusahaan fenfluramine dan dexfenfluramine
secara sukarela untuk menarik obat dari pasaran. FDA tidak meminta untuk menarik
phentermine, obat lain yang secara luas digunakan untuk obesitas.
Sibutramine dan Orlistat adalah dua obat baru yang saat ini disetujui atau ada
dibawah pertimbangan FDA untuk terapi obesitas. Sibutramine adalah antidepresan
monoamina yang dapat menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Percobaan klinik
menunjukan penurunan berat badan sekitar 10 kg (Bray et al, 1996). Efek yang merugikan
dari obat ini adalah meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah. Orlistat menurunkan
absorpsi lemak denga ikatan lipase dalam intestine dan menghambat kerjanya (Drent and van
der veen, 1995). Konsekuensinya, ekskresi lemak fekal meningkat, sehingga faktor yang
mengkontribusikan penolakan saluran cerna yang berhubungan dengan obat. Orlistat
memiliki keuntungan secara sentral mengaktifkan agen adrenergic dan serotonin,
bagaimanapun, karena hal itu berefek secara perifer dan diharapkan tidak ada efek lain yang
merugikan fungsi kardiovaskuler. Saat ini, pencapaian secara inovatif untuk mempengaruhi
leptin dan reseptornya sedang berkembang. Penelitian tentang obesitas juga focus pada
substansi biologi yang dianggap dapat mempengaruhi kepuasan, seperti bombesin,
kolesitokinin, dan neuropeptide Y (Lihat bab 1 dan 23).
Peningkatan asupan kalori sebagai hasil dari terapi obat dapat menghasilkan efek
yang tidak diinginkan dari peningkatan berat badan (table 18-3). Beberapa obat
antidepressant dapat menginduksi peningkatan berat badan hingga 20 kg selama beberapa
bulan terapi. Inhibitor monoamina oksidasi muncul menyebabkan penurunan berat badan
daripada antidepresan trisiklik (pijl and Meinders, 1996). Antikonvulsan, seperti asam
valproate, menyebabkan peningkatan berat badan dalam pertimbangan presentasi pasien. Hal
itu juga jelas terdokumentasikan bahwa terapi dengan kortikosteroid mempunyai hubungan
dengan ketergantungan dosis terhadap peningkatan berat badan pada beberapa pasien.
Tabel 18-3 Beberapa obat umum yang digunakan untuk meningkatkan nafsu makan
Antikejang
Carbamazepine
Asam Valproat
Antihistmanin
Cyproheptadine hydrochloride (Penactin)
Obat Psikotropika
Chlordiazepoxide hydrochloride (Librium)
Diazepam (Valium)
Chlorpromazine hydrochloride (Thorazine)
Meprobamate (Equanil)
Amitriptyline hydrochloride (Elavil)
Trifluoperazine
Kortikosteroid
Kortison
Prednisone
Propofal baru-baru ini telah diperkenalkan sebagai agen sedative bagi penderita akut.
Formulasinya mencakup 10% minyak kedelai (emulsi lipid), sehingga memberikan kontribusi
1,1 kcal/mL. Ketika menanamkan dosis lebih dari 9 mg/kg/jam pada pasien dengan berat
badan 70 kg, sebagai contoh dapat menyumbangkan tambahan 1663 kcal/hari sebagai emulsi
lipid. Larazepam, morfin, dan pancuronium mungkin dapat menurunkan pengeluaran energy
tetapi membuktikan penurunan kalori (Mirenda and Broyles, 1995).
Saat ini, pilihan farmakologi untuk terapi kakheksia pada pasien dengan AIDS dan
kanker menjadi menarik. Syndrom membuang kontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas
dari AIDS dan kanker (lihat bab 39). Kakheksia muncul pada banyak pasien kanker sebelum
meninggal dan merupakan satu dari banyak hal yang dapat muncul pada pasien AIDS
berdasarkan kondisi klinis (lihat bab 40).
Pencapaian terapi bagi kakheksia pada pasien kanker termasuk steroid anabolic,
kortikosteroid, cyprocepthadine, dronabinol, hydrazine sulphate, medroxyprogresterone
acetate, megestrol acetate, dan pentoxyfylline (Herrington et al, 1997). Steroid anabolic
nandrolone decanoate telah diuji pada tikus yang mengalami sarcoma dan menunjukan
peningkatan berat badan, 85% peningkatan ditujukan karena retensi air (Lyden et al, 1995).
Kortikosteroid dan cyproheptadine mengalami beberapa percobaan dan gagal menghasilkan
peningkatan berat badan yang signifikan. Dronabinol baru-baru disetujui oleh FDA untuk
mengobati mual karena kemoterapi, tetapi percobaan control placebo menunjukan
keuntungan pada beberapa pasien tidak ada.
Medroxyprogresterone acetate, yang juga disebut megestrol acetate, adalah derivate
sintetik dari progresterone yang sangat berguna untuk terapi hormone pada kanker payudara
dan endometrium. Hal itu berhubungan dengan peningkatan nafsu makan dan asupan
makanan sehingga terjadi peningkatan berat badan. Penelitian secara acak membandingkan
dosis pada pasien dengan kanker menunjukan bahwa sekitar 45% dari pasien yang diterapi
terjadi peningkatan berat badan setelah 35 hari (Gebbia et al, 1996). Ketika obat diuji pada
anak-anak dengan tumor, peneliti menuliskan peningkatan berat badan pada partisipan adalah
jaringan adipose primer daripada massa lemak bebas (Azcona et al, 1996). Perdebatan masih
berlangsung mengenai berapa dosis medroxyprogesterone acetate yang paling aman dan
paling efek efektif.
Megesterol acetate juga telah menunjukan efeknya dalam peningkatan berat badan
pada pasien denga AIDS. Dalam penelitian 100 pasien dengan AIDS yang mengalami
penurunan berat badan 10% lebih, rata-rata asupan kalori sehari-sehari meningkat 608 kcal
(Oster et al, 1994).
Regimen terapi yang hampir meningkatkan asupan energy tidak secara stabil
mengganti sel tubuh pada pasien dengan AIDS yang mengalami sindrom wasting. Karena
terapi dengan hormone pertumbuhan manusia menyebabkan retensi nitrogen pada pasien
katabolic yang menjalani operasi, saat ini terapi digunakan pada pasien dengan AIDS. Terapi
jangka pendek dengan hormone pertumbuhan meningkatkan tidak hanya anabolisme protein
tetapi juga oksidasi lipid protein-sparing, yang dapat meningkatkan massa sel tubuh
(Schambelan et al, 1996). Bagaimanapun, peerbaikan kualitas hidup masih kontroversi.
Oxandrolone, agen anabolic yang mirip dengan testosterone, telah digunakan untuk
meningkatkan berat badan setelah operasi, trauma, atau pada pasien dengan AIDS yang
mengalami sindrom wasting. Penelitian menunjukan bahwa peningkatan berat badan yang
signifikan pada dosis 15mg/hari (Berger et al, 1996).
Obat yang mempengaruhi absorpsi nutrisi
Karena sebagian obat dan nutrisi terabsorpsi di usus halus dan interaksi antara obat dan
nutrisi umumnya terjadi di usus halus. Efek yang spesifik menunjukan hubungan yang
menyulitkan yang bergantung pada dosis obat, tipe dan jumlah makanan, waktu, dan adanya
penyakit atau malnutrisi.
Secara umu, obat dapat menyebabkan gangguan absorpsi dengan memberikan
pengaruh pada lumen usus atau merusak kemampuan absorpsi dari mukosa saluran cerna.
Banyak obat yang menyebabkan gangguan absorpsi karena beberpa mekanisme.
Efek Luminal
Obat dapat menurunkan absorpsi nutrisi dengan merusak efek luminal. Efek yang
dipengaruhi termasuk waktu peralihan antara makanan dan nutrisi dalam saluran cerna. Agen
katartik dan laxatives dapat mengurangi waktu peralihan dan dapat menyebabkan
stetatorrhea, dan dapat berdampak kehilangan kalsium dan potassium. Diare osmotic juga
dapat menyebabkan pengurangan waktu peralihan dan absorpsi. Hal ini dapat diinduksi oleh
bermacam-macam obat yang mengandung sorbitol, seperti larutan teofilin yang digunakan
pada pasien yang mengalami penyakit kritis (Hill et al, 1991).
Beberapa obat mempengaruhi aktivitas asam empedu, yang berefek pada absorpsi dari
lemak, vitamin yang larut lemak, karoten, dan kolesterol. Kolesteramin, digunakan untuk
menurunkan absorpsi kolesterol, dan neomisin digunakan untuk mengurangi flora usus,
termasuk asam empedu dan menghambat pencernaan lemak dan absorpsinya. Untungnya,
kolesteramin tidak mempengaruhi vitamin D, kalsium, kadar fosfor dalam plasma, walaupun
setelah penggunaan jangka panjang (7-10 tahun) (Hoogwerf et al, 1992).
Penggunaan kronik minyak mineral seperti laxatives tidak mempengaruhi
absorpsidari vitamin larut lemak seperti vitamin A dan E tetapi menurunkan kadar serum
beta-karoten (Clark et al, 1987).
Obat juga mempengaruhi absorpsi dengan mengubah lingkungan saluran cerna.
Simetidin, digunakan untuk tukak lambung, menghambat sekresi asam lambung dan
menghambat absorpsi vitamin B 12 dengam menurunkan kadar pemecahannya dari sumber
makanan. Simetidin adalah antagonis reseptor H-2 yang juga menurunkan sekresi faktor
intrinsic, yang juga dapat menjadi masalah bagi absorpsi vitamin B 12 setelah penggunaan
beberapa tahun (Force and Nahata, 1992).
Antasida juga mengubah lingkungan saluran cerna dengan mengubah pH dari
lambung dan membentuk kelat dengan mineral untuk mencegah absorpsinya. Peningkatan pH
lambung menjadi lebih basa menurunkan absorpsinya terhadap kalsium, besi, magnesium,
dan zink.
Beberapa obat digunakan untuk menghambat enzim pada usus halus, seperti
antihiperglikemia, akarbose. Kerja obat tersebut menyebabkan gangguan dan menurunkan
peningkatan kadar gula darah post pandrial dan respon insulin plasma (Coniff et al, 1995).
Efek yang paling merugikan dari alfa-glukosidase inhibitor, seperti akarbose, adalah toleransi
saluran cerna terhadap efek osmotic dan fermentasi bakteri dari karbohidrat yang tidak
dicerna pada usus besar.
Efek mukosa
Obat dengan efek yang paling tinggi terhadap absorpsi nutrisi adalah obat yang merusak
mukosa saluran cerna. Menyebabkan gangguan pada vili dan mikrovili sehingga menghambat
enzim brush border dan sistem transport saluran cerna yang berpengaruh pada absorpsi
nutrisi.
Hal tersebut dapat menyebabkan gangguan absorpsi secara umum atau spesifik dengan
berbagai tingkatan. Penyalahgunaan laxative kronik sering menyebabkan steatorea yang
cukup parah. Dalam 6 jam administrasinya, neomisin dapat menyebabkan perubahan secara
histologi dalam mukosa saluran cerna yang pada akhirnya mempengaruhi absorpsi lemak,
protein, natrium, potassium, dan kalsium secara reversible. Sebagai contoh, obat yang
menyebabkan gangguan mukosa adalah efek dari aspirin dan obat asam lainnya, yang mampu
mempengaruhi kemampuan saluran cerna untuk mengabsorpsi mineral, khususnya zat besi
dan kalsium. Gangguan pada mukosa saluran cerna juga umumnya disebabkan oleh agen
kemoterapi dan penggunaan antibiotic jangka panjang.
Obat anti inflamasi non steroid (NSAID) dapat menyebabkan efek yang merugikan
bagi usus besar dengan menyebabkan colitis non spesifik atau memperburuk penyakin kolon
yang belum muncul (Faucheron and Parc, 1996). Pasien dengan terapi NSAID dan
mengalami colitis, muncul dengan gejala diare berdarah, penurunan berat badan, dan anemia
defisiensi besi. Pathogenesis dari colitis ini masih kontroversi. Efek local maupun sistemik
dari NSAID pada mukosa dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas saluran cerna.
Obat yang berefek pada mekanisme transport saluran cerna termasuk (1) kolsikin,
obat antiinflamasi untuk terapi asam urat; (2) pasa-aminosalicylic acid (PASA), obat
antituberkulosis; (3) sulfasaline, obat untuk ulcer colitis; (4) trimethoprim dan pirimetamin,
yang merupakan antibacterial dan antiprotozoal. Dua obat pertama mempengaruhi absorpsi
vitamin B 12, sedangkan lainnya secara kompetitif menghambat mekanisme transport asam
folat.
Obat yang mempengaruhi metabolisme dan ekskresi nutrisi
Antivitamin
Beberapa obat dalam bentuk antivitamin, menghambat sintesa enzim secara spesifik dengan
cara berkompetisi untuk vitamin dan metabolit vitamin yang dibutuhkan untuk strukturnya.
Kemoterapi pada kanker menggunakan prinsip ini. Dua macam antivitamin yang umum
adalah antagonis metrotreksat (MTX), digunakan untuk mengobati leukimia dan rematoid
artritis, dan pyrimetamine, digunakan untuk mengobati malaria dan toksoplasmosis ocular.
Asam folat digantikan dari reduktase enzim dihidrofolat dengan obat ini, dan asam folat yang
tidak berikatan kemudian diekskresikan. Tanpa asam folat, sintesis DNA dihambat, replikasi
sel dapat dihentikan, dan sel akan mati.
Baru-baru ini penelitian menunjukan adminitrasi dari suplemen asam folat sehari-hari
dapat menurunkan toksisitas tanpa mempengaruhi efeknya pada pasien yang mengalami
rematoid artritis yang mendapat terapi MTX dosis rendah (Morgan et al, 1990)
Obat dapat juga terbentuk komplek dengan nutrisi, menyebabkan obat tersebut tidak
dapat digunakan dalam tubuh. Isoniazid (INH) berfungsi dengan cara tersebut. Obat ini
digunakan pada terapi jangka panjang tuberculosis, bentukan yang komplek dengan
piridoksin, mempengaruhi metabolismenya pada beberapa poin dan menyebabkan defisiensi
vitamin B 12 pada beberapa pasien. Beberapa obat yang bekerja antagonis pada vitamin B6
adalah hidralazin, penisilamin, L-dopa, dan sikloserin.
Obat lain yang berfungsi sebagai antivitamin adalah antikoagulan coumarin, yang
digunakan secara intensif sebagai antagonis vitamin K. karena obat tersebut menciptakan
defisiensi parsial dari bentuk aktif vitamin K, obat tersebut mengurangi resiko abnormal
pembekuan darah. Banyak pasien yang diberi saran untuk menghindari makanan yang
mengandung vitamin K ketika terapi dan berhati-hati pada pasien yang diberi asupan harian
lebih dari 250 μg. Kemudian jumlah dari antikoagulan yang dibutuhkan harus seimbang
dengan asupan vitamin K (Harris, 1995). Hasil ini untuk menghindari sayuran hijau dan
peterseli, dan membatasi bayam, brokoli, tauge menjadi setengah cangkir sehari. Semua
makanan lainnya yang dikonsumsi berdasarkan pola makan pasien seperti biasa. Pasien
harusnya diberi saran untuk menghindari suplemen dosis tinggi dari vitamin A, D, dan E,
yang dapat meningkatkan resiko pendarahan abnormal. Penyakit kronik, penggunaan alcohol
yang berat juga dapat memberikan efek pada hati yang merugikan sistem koagulasi.
Inhibitor oksidasi monoamina
Contoh interaksi obat dan makanan yang cukup dikenal mempengaruhi inhibitor oksidasi
monoamine (MAOIs) dan menekan amina dalam makanan. Dua kelompok amina aktif adalah
(1) psikoaktif amina (neurotransmitter), termasuk norepinefrin dan dopamine, dan (2) amina
vasoaktif (pressor), yang termasuk tiramin, serotonin, dan histamine. Amina aktif secara
normal terdapat dalam beberapa makanan, tetapi sangat jarang menyebabkan resiko yang
berbahaya karena diaminasikan sangat cepat oleh monoamina dan oksidasi diamina.
Bagaimanapun, aktivitas dari oksidasi ini menghambat obat antidepresan, antimikroba,
antihipertensi, dan antineoplasma (table 18-4). Oleh karena itu, toleransi dari vasoaktif amina
(seperti, tiramin) dalam makanan rendah. Adanya pressor amina yang tidak teroksidasi
menyebabkan konstriksi pembuluh darah dan peningkatan tekanan darah. Gejalanya termasuk
takikardi, nyeri dada, dan sakit kepala yang berat. Pada kasus yang berat, krisis ini dapat
menyebabkan pendarahan intracranial, aritmia jantung, dan gagal jantung. Menghindari
makanan yang mengandung tiramin sangat memberikan manfaat (table 18-5).
Survey yang dilakukan pada pasien psikiatri menunjukan konsumsi makanan yang
beresiko mengandung keju dengan frekuensi tinggi (Sweet et al, 1995). 90% dari pasien
dilaporkan yang secara rutin setiap hari atau setiap minggu mengkonsumsi makanan yang
mengandung keju, produk fermentasi, daging yang lama, kacang-kacangan, hanya
mengkonsumsi 50% setiap bulan. Secara individu, penilaian diet dan edukasi merupakan
komponen yang sangat penting dalam terapi pada pasien ini.
Golongan antidepresan lain dengan terapi efek yang dipertimbangkan yang
mengandung inhibitor oksidasi monoamina secara reversible (RIMA). Moclobemide adalah
contoh dari RIMA. Obat ini tidak menyebabkan hepatotoksik dan potensi rendah dalam
menghasilkan efek tiramin pressor dibandingkan ireversibel inhibitor MAO klasik (DaPrada
et al, 1990). Rata-rata dosis yang dari tiramin oral dan dipertimbangkan dapat meningkatkan
tekanan darah sistolik 30 mmHg adalah 15 mg. Rata-rata dosis tiramin yang menghasilkan
respon klinis pada subjek yang diterapi dengan moclobemide adalah 240 mg (Simpson and
Grata, 1992). Walaupun obat ini beresiko lebih rendah menyebabkan reaksi hipertensi,
konsumsi bersamaan dengan makanan yang kaya akan tiramin, diduga dapat menyebabkan
efek yang sama dengan asupan makanan yang mengandung tiramin tinggi (Livingston dan
Livingstoon, 1996).
Tabel 18-4 Obat yang menghambat kerja oksidasi monoamina dan diamina
Antidepressan
Phenelzine sulphate (Nardil)
Tranylcypromine sulphate
Isocarboxazide (Marplan)
Moclobemide (Aurorix)
Selegiline (Deprenyl)
Clorgiline
Toloxatone
Antimikroba
Furazolidine (Furoxone)
Antineoplasma
Procarbazine (Matulane)
Isoniazid (INH)
Tabel 18-5 Diet pembatasan tiramin
Makanan yang harus dihindari Makanan yang dimakan
dengan hati-hati
Makanan yang belum
terbukti harus dibatasi
Keju
Ikan asap atau ikan yang
diasamkan
Daging yang tidak segar, hati
Wine chianti atau vermouth
Kacang
Kulit pisang
Ekstrak daging
Ekstrak ragi atau bir
Saus kering
Asinan kubis
Bird an ale
Avokat
Rasberi
Kecap
Coklat
Anggur merah dan
anggur putih
Air sulingan
Kacang
Yogurt dank rim dari
susu yang tidak
terpasteurisasi
Ikan segar
Ara kalengan
Jamur
Mentimun
Jagung manis
Nanas segar
Saus Worcestershire
Bumbu salad
Roti ragi
Buah anggur
Jus tomat
Bubuk kare
Root bir
Susu kental asam
Telur rebus
Coca cola
Kue kering (biscuit
Inggris)
Keju cottage
Keju krim
Ekskresi Nutrisi
Obat yang bekerja meningkatkan ekskresi nutrisi dengan mengganti vitamin dari ikatannya
dengan protein plasma. Vitamin yang tidak berikatan disaring melalui ginjal dan
diekskresikan. P-penisilamin digunakan untuk mengobati keracunan logam berat, wilson’s
disease, sisteinuria, atau rematoid artritis dengan membentuk kelat bersama logam. Pada saat
yang bersamaan, obat tersebut juga membentuk kelat pada logam yang lain seperti zink dan
meningkatkan ekskresi logam dalam urin. EDTA, diberikan secara intravena untuk
mengobati keracunan, juga dapat menyebabkan ekskresi zink dalam urin meningkat.
Vitamin K dapat berkurang jika diberikan dengan antibiotic, seperti sefalosporin
(cefotetan, cephalexin), menyebabkan pemanjangan protrombin time. Vitamin K intravena
diperlukan untuk mengkoreksi defisiensi yang berhubungan dengan tipe terapinya.
Obat yang menginduksi perubahan elektrolit
Obat juga dapat meningkatkan ekskresi dari nutrisi dengan mengganggu reabsorpsinya pada
ginjal. Obat diuretic oral seperti furosemide, asam etacinik, dan triamterene, dapat
memproduksi hipercalsiuria dengan menurunkan reabsorpsi kalsium, memang pemberian
furosemide digunakan sementara untuk mengontrol gejala dari hiperkalsemia. Karena diuretic
meningkatkan ekskresi kalium, magnesium, dan zink pada ginjal, penggunaannya secara
kronik dapat menyebabkan penurunan mineral tersebut.
Penggunaan tambahan tiazid sebagai loop diuretic juga meningkatkan penurunan
natrium dalam urin. Diuretic hemat kalium meningkatkan pembuangan natrium dalam urin
yang disebabkan oleh loop atau tiazid, tetapi membatasi atau mencegah kehilangan kalium
dan magnesium (Nicholls, 1990). Kadar serum elektrolit harus dimonitor secara ketat selama
terapi, dan seringnya kalium tetap disuplementasikan.
Komplikasi lain yang diketahui dari kemoterapi adalah perkembangan dari
hipomagnesemia akut karena pemberian cisplatin. Magnesium utamanya dalam kation
intraseluler. Adanya magnesium tidak dapat ditunjukan dalam kadar plasma, untuk itulah
konsentrasi eritrosit digunakan untuk penelitian penilaian. Penurunan yang signifikan
biasanya dimanifestasikan setelah tiga kali kemoterapi. Selain pembuangan magnesium pada
ginjal, metabolisme magnesium dipengaruhi oleh cisplatin pada level sel. Suplemen
magnesium oral digunakan selama kemoterapi dapat mencegah penurunan magnesium tanpa
menunjukan hipermagnesemia pada pasien yang mengalami gagal ginjal akut karena cisplatin
(Sartori et al, 1993). Lampiran 33 dan 34 adalah daftar lain dari obat terhadap status nutrisi.
Penyalahgunaan obat
Penyalahgunaan obat secara umum termasuk senyawa legal seperti kopi, tobako, dan alcohol,
dan yang illegal seperti mariyuana, kokain. Hal itu juga termasuk senyawa yang digunakan
dalam medis dengan tujuan non medic (seperti, barbiturate dan amfetamin, untuk mencari
efek kesenangan). Walaupun efek utama dari obat tidak bernutrisi, obat tersebut dapat
menyebabkan gangguan nutrisi, yang secara langsung menurunkan asupan makan selama
penggunaan, atau secara tidak langsungmenurunkan sumber finansial untuk kebutuhan
makanan (table 18-6).
Tabel 18-6 Efek beberapa penyalahgunaan obat terhadap nafsu makan
Amfetamine
Kokain
Kodein
Marijuana
Metadhone
Menurunkan nafsu makan, menunda rasa lapar (walaupun terjadi
toleransi), mekanismenya menghambat uptake katekolamin
Kehilangan nafsu makan
Kehilangan nafsu makan jika pemakaian kronik
Dilaporkan dapat meningkatkan nafsu makan, tetapi tidak semua
penelitian setuju, pengguna cenderung kehilangan nafsu makan dan
berat badan
Kehilangan nafsu makan jika pemakaian kronik
Hubungan beberapa kerja nutrisi terhadap obat-obatan umum
Antikejang
Antikejang seperti fenitotin, fenobarbital, dan pirimidone, dibuktikan telah menginduksi
biokimia dan defisiensi klinis dari folat, biotin, atau vitamin D. Dalam kasus terakhir,
mekanismenya diduga mengganggu konversi hepar terhadap cholecalciferol terhadap 25-
OHD3. Klinis riketsia dan osteomalasia adalah komplikasi yang tidak umum dari antikejang,
bagaimanapun, hasil umum dari terapi antikejang seperti peningkatan pigmentasi kulit dan
ketidaktahan terhadap cahaya matahari.
Penggunanan kronik fenitoin juga banyak dihubungkan dengan defisiensi asam folat,
dan anemia megaloblastik juga ditunjukan dengan presentasi yang kecil pada pasien yang
diterapi dengan antikejang. Hal tersebut telah diprediksikan bahwa perubahan pH dalam
saluran cerna juga berhubungan dengan pencernaan fenition yang bertanggungjawab terhadap
penurunan asupan folat, baik dengan efek langsung dengan menghambat transport folat
dalam mukosa saluran cerna, ataupun menghambat aktivitas konjugasi folat.
Asam folat dan fenitoin memiliki struktur yang hampir sama dan juga berkompetisi
satu sama lain untuk mencapai reseptor yang sama. Muncul kontroversi mengenai suplemen
asam folat sebagai kompetitif dalam reseptor sel otak dapat mengontrol kejang. Suplemen
yang mengandung asam folat mencegah defisiensi, tetapi juga mengubah farmakokonetik
fenitoin. Penelitian baru-baru ini, mendemonstrasikan keadaan saling ketergantungan antara
keduanya (Berg, 1995). Fenitoin menurunkan kadar serum folat sedangkan suplemen asam
folat memperbaiki farmakokinetik fenitoin. Pemberian suplemen asam folat selama terapi
fenitoin dapat mencegah kemungkinan teratogenik, seperti defek saluran syaraf, dan
seharusnya dipertimbangkan bagi wanita hamil dengan epilepsy.
Dermatitis dan ataksia, adalah manifestasi klinis dari defisiensi biotin, yang juga
sebagai efek samping dari terapi antikonvulsan. Konsentrasi sirkulasi vitamin A, ikatan
protein retinol, besi, dan seruplasmin lebih tinggi dari rata-rata pada pasien dengan terapi
antikonvulsan. Penjelasan signifikan dari kejadian masih belum diketahui.
Kontrasepsi Oral
Rendahnya kontrasepsi oral estrogen secara umum tidak menyebabkan gangguan status
nutrisi yang sama dengan asupan tinggi estrogen pada jaman dulu. Sebelumnya, diperikirakan
wanita yang mengkonsumsi kontrasepsi oral meningkatkan kebutuhan vitamin B6 secara
signifikan, tetapi ini bukan masalah. Beberapa wanita yang menggunakan kontrasepsi oral
terjadi penurunan serum dan kadar sel darah merah folat, dengan peningkatan ekskresi
formiminoglutamic acid (FIGLU), metabolit asam folat dalam urin. Penggunaan suplemen
selama kontrasepsi oral bagaimanapun tidak bisa diputuskan baik untuk kesehatan wanita
(Mooij ey al, 1992). Wanita dengan kebiasaan diet yang buruk atau peningkatan kebutuhan
folat, atau yang berantisipasi untuk kehamilan, suplemen multivitamin yang mengandung
asam folat sangat direkomendasikan (liat apendiks 51).
Wanita yang menggunakan oral kontrasepsi yang mengandung estrogen memiliki
konsentrasi vitamin darah yang meningkat. Dalam hewan coba, oral kontrasepsi yang
mengandung estrogen menstimulasi sintesis hati terhadap beberapa nutrisi spesifik transport
protein, menghasilkan konsentrasi nutrisi sirkulasi yang tinggi. Konsentrasi vitamin yang
tinggi ini dapat menyebabkan penurunan penyimpanan vitamin A, pada wanita yang secara
parsial kronik mengalami kekurangan gizi. Kadar serum besi pada pengguna kontrasepsi oral
juga lebih tinggi dibandingkan yang tidak menggunakan, selain itu, tidak ada perbedaan yang
tercatat terkait parameter hematologic (Mooij et al, 1992).
Obat antiinflamasi
Glukokortikoid sangat berguna sebagai terapi pada banyak kelainan klinis karena efeknya
sebagai anti-inflamasi, imunosepresan, dan sitotoksik. Obat tersebut mungkin diresepkan
untuk eczema, asma, eritema lupus sistemik, dan rematoid artritis. Sayangnya, obat ini
mempunya efek samping yang tidak diinginkan yang membatasi kegunaannya dalam
pengobatan klinis. Efek ini termasuk obesitas, hiperglikemia, hipertensi, penyembuhan luka
yang tidak sempurna, dan kerapuhan tulang. Perkembangan osteoporosis sangat kritis dan
terjadi setidaknya 50% dari semua pasien yang menggunakan terapi glukokortikoid jangka
panjang (Lukert and Raisz, 1990). Penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi
kalsium selama 8 sampai 10 hari sejak obat dikonsumsi. Penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan kerapuhan tulang pada dewasa dan pertumbuhan retardasi pada anak-anak.
Masalah ini diduga karena rendahnya asupan kalsium yang menjadi ciri pada wanita yang
dimulai pada usia 10 sampai 11 tahun (lihat bab 28).
Bermacam-macam metabolit vitamin D baru-baru masih dalam tahap percobaan
untuk mencegah efek glukokortikoid yang menyebabkan osteopenia. Hasil terbaik pada
percobaan eksperimen hewan coba didapatkan bahwa kombinasi dari 1-alpha-(OH)-D3 (yang
meningkatkan absorpsi kalsium dalam saluran cerna) dan 24,25(OH)2D3 (yang bekerja pada
tulang untuk menguatkan bentuk dan mineral tulang) (Turnquist et al, 1992). Rekomendasi
yang berasalan bagi pasien yang mendapat terapi glukokortikoid dengan masa paruh yang
pendek dengan dosis serendah mungkin, monitor aktivitas fisik, asupan vitamin D dan
kalsium yang adekuat, dan natrium restriksi.
Pada suatu penelitian, kalsitriol dan kalsium digunakan secara profilaksis untuk
mencegah osteoporosis karena kortikosteroid (Sambrook et al, 1993). Penyebab kerapuhan
tulang yang dapat menyebabkan patah tulang yang sering dikarenakan penggunaan obat ini,
umumnya terjadi pada tulang belakang, pinggul, dan tulang rusuk. Pemberian profilaksis
kalsitriol dan kalsium, dengan atau tanpa kalsitonin, kerapuhan tulang pada tulang belakang
dapat diturunkan secara signifikan. Tambahan terapi kalsium ini dapat memberikan
keuntungan pada pasien yang diharuskan melanjutkan terapi dengan kortikosteroid dosis
tinggi.
Antihipertensi
Pasien dengan hipertensi seringnya menggunakan diuretic yang dapat merugikan dan berefek
pada metabolisme mineral. Defisiensi kaliummerupakan salah satu faktor resiko pada pasien
ini, terutama pada pasien yang juga memiliki asupan kalium yang rendah karena penggunaan
laxatives. Penurunan kalsium, magnesium, dan zink juga dapat terjadi pada pasien yang
menggunakan terapi diuretic jangka panjang.
50% dari pasien yang menggunakan glukotiazid mengalami hipokalemia dan semua
pasien seharusnya dimonitor secara ketat tentang kondisinya. Bagaimanapun, 50% yang
mangalami hipokalemia juga mengalami hipomagnesium. Karena magnesium mempunyai
peran yang penting dalam menyimpan kalium dala sel, sehingga tidak mungkin kalium dapat
terisi kembali jika terjadi defisiensi magnesium. Untuk itulah, pasien yang menerima terapi
dengan obat ini seharusnya diterapi juga dengan magnesium seperti menterapi kaliumnya.
Penggunaan jangka panjang obat bebas kalium, formula makanan dengan tabung pada
lanjut usia yang menggunakan diuretic dapat menyebabkan penurunan natrium.
Hipernaterimia lebih sering muncul pada lanjut usia, karena kekurangan logam tersebut
merupakan gejala simptomatis dari penurunan natrium yang diduga karena sindrom organic
otak atau kepikunan.
Obat beta blocker yang digunakan juga untuk menurunkan tekanan darah dapat
menyebabkan peningkatan serum trigliserida dan menurunkan konsentrasi HDL. Beta blocker
juga dapat mengganggu toleransi glukosa dan menurunkan respon pada pasien diabetes
terhadap obat hipoglikemia.
Medikasi yang digunakan pada infeksi Human immunodeficiency virus (HIV)
Sejak 1981, ketika The Center for Disease Control (CDC) pertama kali mengenalkan AIDS,
banyak obat ang ditawarkan untuk mengobati virus HIV dan kemungkinan infeksi AIDS.
Kekurangan nutrisi menjadi komponen penting pada AIDS dan menjadi penyebab utama
pada pasien yang mengalami masalah klinis (lihat bab 40). Beberapa keadaan menyebabkan
kekurangan protein yang meningkatkan kebutuhan metabolisme, menurunkan asupan
makanan (secara sekunder menyebabkan anoreksia, mual, muntah) dan diare, sering terjadi
bersamaan dengan malnutrisi. Banyak obat digunakan untuk mengobati infeksi AIDS dan
kanker memiliki efek samping yang dapat memperburuk keadaannya dan menyebabkan
gangguan nutrisi yang lebih berat.
Azidothymidine (zidovudine, retrovir) yang digunakan untuk menghambat replikasi
HIV, umumnya menyebabkan mual, muntah, dan anemia megaloblastik sekunder (bukan
karena nutrisi) yang berat yang menurunkan eritropoeis. Penelitian klinis telah menunjukan
kombinasi eritripoetin manusia efektif untuk mengkoreksi anemia pada pasien yang diterapi
dengan zidovudine dengan memproduksi peningkatan kadar hematokrit, dan menurunkan
kebutuhan untuk transfuse darah (Phair et al, 1993). Bactrim, digunakan untuk terapi
pneumocystis carinii pneumonia, sering menyebabkan mual, muntah, dan anoreksia, dan
anemia megaloblastik karena defisiensi folat. Jika anemia megaloblastik muncul, pemberian
suplemen asam folat harus dipertimbangkan. Pentamidine, juga digunakan untuk menterapi
pneumonia P. carinii, sering menyebabkan hipoglikemia dan hipomagnesia dengan
pembuangan magnesium melalui ginjal (Shah et al, 1990). Kadar serum dari nutrisi ini harus
dimonitor dan suplemen harus diberikan jika perlu. Obat yang digunakan untuk mengobati
toxoplasmosis, seperti pyrimetamine, menyebabkan anemia megaloblastik dengan
menghambat reduktasi dihidrofolat. Para peneliti merekomendasikan pemberian asam folat
(5-20 mg/hari) secepatnya ketika ditemukan sitopenia (Niyangabo et al, 1991). Amphotericin
B, pengobatan antijamur digunakan untuk menterapi kriptokosis, histoplasmosis, dan
kandidiasis, menyebabkan nefrotoksik dan peningkatan kadar kreatinin dan hipokalemia pada
60% hingga 80% pasien (Cruz et al, 1992). Kadar serum elektrolit seharusnya dimonitor
secara ketat dan pemberian suplemen tambahan jika perlu.
EFEK MAKANAN DAN NUTRISI TERHADAP TERAPI OBAT
Efek terhadap absorpsi dan avaibilitas obat
Adanya makanan dan nutrisi dalam usus dapat menurunkan dosis terapi obat dengan
memperlambat dan menurunkan absorpsi. Sebagai hasilnya. Obat mungkin tidak akan
mencapai kadar efektivitasnya dalam darah atau efeknya akan semakin panjang, dengan
penurunan absorpsi pada obat sustain-release.
Efek dari makanan dan volume cairan pada rute dan meningkat pada pemberian obat
oral menyebabkan gangguan absorpsi, hanya ditelitia dalam waktu yang pendek. Absorpsi
mungkin adalah mekanisme umum yang bertanggung jawan terhadap interaksi antara
makanan dan obat karena sebagian obat masuk melalui mulut. Berdasarkan tipe dan derajat
interaksi, absorpsi obat dapat menurun, tertunda, meningkat, atau menjadi tidak berefek
karena perubahan fisiologi yang terjadi dalam saluran cerna when ada makanan. Absorpsi
obat dapat mempengaruhi pH lambung dan usus, motilitasnya, adanya material dalam usus,
kapasitas absorpsi oleh sel dan aliran darah organ.
Rasio pengosongan lambung dipengaruhi oleh tipe makanan yang dicerna.
Pengosongan lambung dapat terhambat karena konsumsi makanan berserat tinggi dan larutan
berviskositas tinggi (Roe, 1986). Obat-obat dasar baik diabsorpsi ketika pengosongan
lambung tertunda karena memiliki paparan yang lebih lama terhadap asam dalam lambung.
Nitrofurantoin dan hydralazine adalah contoh dari obat tersebut. Bagaimanpun, obat asam,
dengan waktu yang lebih lama berada dalam lambung, didegradasi dan diinaktivasi sebelum
mencapai situsnya dalam usus halus. L-dopa, penicillin G, dan digoxin adalah contoh dari
obat yang efektivitasnya berkurang karena penundaan pengosongoan lambung.
Walaupun transport aktif, pinositosis, dan absorpsi limfatik merupakan rute absorpsi
laobat yang mungin, sebagian besar obat ditransportasikan melewati epitel saluran cerna ke
dalam pembuluh darah dengan difusi pasif. Proses ini bergantung pada pH saluran cerna dan
hasil ionisasi dari obat. Karena pH merupakan faktor yang penting, situasi apapun yang
membuat pH lambung berubah, seperti achlorhidria atau hiprklorhidria, dapat menurunkan
absorpsi obat. Contohnya, interaksi kegagalan ketokonazol untuk menghilangkan infeksi
jamur pada pasien dengan HIV dikarenakan tingginya prevalensi aklorhidria pada populasi
ini yang menyebabkan gangguan absorpsi obat (Welage et al, 1995). Saquinavir adalah
inhibitor protease yang digunakan untuk menterapi HIV yang memiliki reaksi yang
berlawanan. Memang, konsentrasi plasma maksimal meningkat karena konsumsi sarapan
yang berat (Muirhead et al, 1992). Peningkatan bioavaibilitas dari saquinavir karena
makanan telah menandakan bagian dari peningkatan solubilitas karena peningkatan pH
lambung.
Beberapa nutrisi tertentu mempengaruhi absorpsi dari obat. Karena kalsium
membentuk kelat jika bersamaan dengan tetrasiklin, maka untuk mencegah absorpsinya,
turunan dari tetrasiklin tidak bisa diberikan bersamaan dengan susu, produk susu, atau
suplemen kalsium. Susu juga mempengaruhi absorpsi dengan meningkatkan pH lambung,
dan menyebabkan tablet enteric hancur dalam lambung yang juga berpotensi menyebabkan
iritasi lambung.
Mineral lain dalam makanan dapat membentuk bentukan yang komplek dengan obat,
yang mempengaruhi lingkungan saluran cerna dengan mempengaruhi efek normal dari
absorpsi obat dan mineral. Besi sekarang adalah mineral yang masih dibawah pengawasan.
Perncernaan bersama besi dapat menurunkan beberapa bioavaiblitas obat termasuk
tetrasiklin, penisilamin, metildopa, karbidopa, kaptopril, dan tiroksin (Sartori, 1993).
Mekanisme utama dari interaksi obat ini adalah pembentukan komplek obat dan zat besi.
Table 18-7 adalah daftar dari efek beberapa makanan dalam absorpsi dan kadar serum dari
beberapa obat.
Fenitoin memiliki afinitas protein yang tinggi, sehingga absorpsinya menurun jika ada
makanan yang mengandung protein. Sebaliknya, asupan tinggi lemak meningkatkan absorbs
dari griseofulvin, yang meningkatkan solubilitas lipid, sehingga memungkinkan stimulasi
sekresi dari empedu.
Suspense dan larutan lebih berefek rendah terhadap makanan dan nutrisi. Hal ini
dikarenakan suspense dan larutan tidak bergantung pada rasio dilusi dan dapat berjalan dari
lambung menuju usus halus dengan mudah.
Baru-baru ini,diet rendah natrium ketika dalam masa terapi obat membutuhkan
perhatian khusus (Bennett, 1997). Efeknya sangat umum terjadi ketika asupan natrium
berkurang. Pembatasan natrium menyebabkan keadaan yang mengakibatkan absorpsi
beberapa obat pada tubular ginjal meningkat sehingga meningkatkan kadar dalam darah yang
bersifat toksik. Beberapa antagonis kalsium dapat juga menyebabkan perubahan efek ketika
diresepkan pada pasien dengan asupan natrium yang normal dan tidak berefek ketika pasien
mengalami pembatasan natrium. Sehingga, walaupun pembatasan natrium berpotensi sebagai
antihipertensi dalam diuretic, beta-bloker, dan angiotensin-converting enzim (ACE) inhibitor,
hal tersebut dapat memberikan efek yang berlawanan pada pasien yang menggunakan
antagonis kalsium, seperti nifedipin dan verapamil. Ini adalah tanggungjawab tenaga medis
untuk membatasi resep bagi pasien yang memerlukan medikasi.
Beberapa obat didemonstrasikan secara signifikan dengan bioavabilitas yang lebih
baik ketika diberikan bersama jus anggur. Mekanisme yang dominan untuk meningkatkan
bioavaibilitas ini adalah dengan menghambat oksidasi dari metabolisme obat pada usus halus
(Ameer dan Weintraub, 1997). Komponen dari jus jeruk yang bertanggungjawab dalam
fenomena ini tidak dapat diidentifikasi secara jelas. Berdasarkan banyaknya flavonoid
naringenin dalam anggur dan kemampuannya untuk menghambat enzim metabolisme,
menjadi kunci utama. Baru-baru ini, quercetin (yang juga ditemukan dalam stroberi) dan
komponen lain yang telah diidolasi dari jus anggur telah ditemukan untuk menghambat
oksidasi obat pada manusia (Fukuda et al, 1997). Struktur dari senyawa ini telah
diidentifikasikan dalam turunan furocoumarin. Untuk memastikan interaksi jus jeruk dengan
siklosporon telah diteliti secara lebih intensif dibandingkan obat lain. Peringatan untuk
menghindari jus anggur ketika meminum siklosporin oral sudah diisukan untuk mengurangi
toksisitasnya. Obat-obat utama lain yang perlu diperhatikan termasuk kalsium channel bloker,
seperti felodipine, nifedipine, dan verapamil, yang dapat meningkatkan bioavaibilitas 1,2 fold
hingga 2,8 fold. Obat Antihistamin terfenadine, obat hormone ethybil estradiol, obat sedative
midazolam, antivirus saquinor, dan obat imunosupresan siklosporin juga dapat berefek
(Feldman, 1997). Pemberian dalam kadar yang berbeda dengan jus anggur, sangat sulit
memprediksikan interaksi klinisnya. Baru-baru ini, belum ada consensus bahwa pasien harus
menghindari jus anggur ketika menggunakan obat-obat ini.
Tabel 18-7 Efek dari beberapa jenis makanan dan minuman terhadap kerja obat
Makanan atau minuma Obat Efek
Minuman
Kopi, teh, dan minuman
lain yang mengandung
kafein
Jus jeruk
Serat
Dedak
Pectin
Makanan secara umum
Teofilin
Neuroleptika
Quinidine
Digoksin
Acetaminophen
Chlorotiazide
Propranolol
Nitrofurantion
Simetidin
Aspirin
Antimokroba
(celphalexin,
penicillin G,
Meningkatkan efek samping obat
(grogi, insomnia)
Meningkatkan intake dan dapat
menyebabkan beberapa keadaan
berbeda pada konsentrasi plasma obat
dan menurunkan efektivitasnya
Meningkatkan intake dan kadar obat
dalam darah (urin menjadi basa)
Menurunkan absorpsi obat
Menurunkan absorpsi obat
Meningkatkan absorpsi obat
Meningkatkan absorpsi obat
Meningkatkan bioavaibilitas obat
Menunda absorpsi sehingga
menguntungkan pasien dengan
maintenance konsentrasi darah antara
obat dan makanan
Menurunkan rasio absorpsi dan
absorpsi obat
Menurunkan absorbsi obat
Makanan tinggi lemak
Makanan tinggi protein
Licorice
Susu dan produk susu
Protein dan daging yang
dipanggang dengan
arang
Makanan asin, garam
natrium
Sayuran
Bawang rebus atau
bawang goring
Brokoli, lobak hijau,
selada, kubis
eritromisin,
penicillin V,
tertrasiklin)
Griseofulvin
Levodopa,
methyldopa
Antihipertensi,
diuretic
Digoksin
Tetrasiklin
Teofiline
Lithium
Warfarin
Warfarin
Meningkatkan absorpsi obat
Asam amino dari makanan
menghambat absorpsi obat
Asam glycyrhizic dalam licorice
alami dapat menginduksi hipokalemia
dan retensi natrium, menggunakannya
dalam jumlah besar dapat
memperburuk terapi antihipertensi
Licorice menginduksi hipoglikemi
yang bisa meningkatkan aksi dari
digitalis dan toksisitas obat
Kalsium menghambat absorpsi obat
Diet tinggi protein atau rendah
karbohidrat atau pencernaan dari
daging yang dipanggang dengan arang
dapat menurunkan paruh waktu
plasma dari obat
Meningkatkan uptake natrium dapat
menurunkan respon terapi dari obat,
diet rendah garam dapat
meningkatkan aktivitasnya
Meningkatkan aktivitas fibrinolitik
dari obat
Sayuran kaya akan vitamin K dapat
menghambat respon hipoprotrombin
terhadap antikoagulan oral
Efek metabolisme obat
Metabolisme obat dapat terpengaruh pada keadaan defisiensi nutrisi atau manipulasi nutrisi
karena aktivitas dari MFOS hati yang mempengaruhi jumlah protein secara spesifik,
karbohidrat, dan lipid. Hasil penelitian menyarankan penyalahgunaan komponen diet dapat
menjadi bagian klinis yang signifikan pada kondisi tertentu, seperti peningkatan protein pada
beberapa program penurunan berat badan, regimen perbaikan tubuh, atau pasca operasi yang
menggunakan glukosa intravena. Defisiensi nutrisi (protein, tocoperol, retinol, asam lemak
esensial, zink, besi, selenium, dan kalium) dapat menyebabkan sistem metabolisme obat
menjadi kurang efektif, yang juga menyebabkan penurunan biotransformasi dari obat.
Peningkatan biotransformasi menyebabkan energy, tiamin, dan besi berlebih, karena itulah,
nutrisi ini dapat berkurang. Kelebihan asupan dari vitamin lain dapat memberikan efek yang
merugikan kerja obat. Contohnya, peningkatan asupan piridoksin bersama terapi levodopa
dapat meningkatkan metabolismenya dan menurunkan efek terapinya.
Albumin adalah protein primer yang berinteraksi dengan obat, bagaimanapun bentuk
yang tidak berikatan dengan obat dapat berdifusi melalui dinding kapiler dan mendesak efek
farmakologinya. Dalam beberapa keadaan tertentu, seperti malnutrisi atau penyakit hati,
kadar serum albumin menurun dan menyebabkan peningkatan kadar obat dan efek
farmakologinya. Tingginya ikatan obat dan protein, seperti fenitoin dan warfarin, adalah yang
paling berefek. Situasi lainnya, yang mempengaruhi ikatan obat terhadap albumin adalah
makanan tinggi lemak dan puasa, keduanya dapat meningkatkan kadar serum dari asam
lemak bebas yang akan berkompetisi dengan obat karena ikatannya dengan albumin. Efek
lainnya pada obat bebas, peningkatan efek farmakologi, dan potensi toksisias.
Banyak contoh dari absorpsi obat dan metabolismenya yang dipengaruhi oleh
komposisi dari logam. Bioavaibilitas dari propranolol meningkat ketika diberikan bersama
makanan tinggi protein. Diet tinggi protein dapat mempercepat metabolisme dari obat dengan
meningkatkan aktivitas MFOS. Metabolisme dari teofilin, sebagai bronkodilator yang
digunakan untuk terapi asma, juga mengalami metabolisme yang lebih cepat jika diminum
bersamaan dengan makanan tinggi protein, tetapi obat ini juga mempunyai efek negative
yakni pengeluaran dari darah yang secara cepat (Anderson, 1992).
Baru-baru ini, banyak perhatian yang difokuskan pada terapi levodopa, yang
digunakan pada penyakit perkinson. Obat ini secara signifikan mengurangi disabilitas dan
meningkatkan ekspektasi hidup pasien yang menderita penyakit ini. Bagaimanapun, fluktuasi
respon motoric muncul pada pasien yang diterapi levodopa jangka panjang. Saat ini, hasil
yang menggembirakan telah dilaporkan dengan penggunaan bersama-sama pembatasan
protein dan diet redistribusi protein (Duarte et al, 1993). Diet ini memerlukan total
pembatasan protein 50 hingga 60 g/hari, dengan konsumsi protein terbanyak ketika makan
malam dan sangat sedikit ketika makan pagi dan makan siang (8 g/meal). Sebagian pasien
menunjukan perubahan dalam respon motoric, sehingga menunda peningkatan dosis L-dopa.
Selain itu, pada penelitian berskala besar yang dibutuhkan saat diet dapat direkomendasikan
pada semua pasien yang mendapat terapi L-dopa. Diet tinggi serat yang tidak larut juga
diteliti hubungan positifnya pada konsentrasi L-dopa dan fungsi motoric pada penyakit
Parkinson (Astarloa et al, 1992). Mekanisme dari asupan serat dan bioavaibilitas yang tinggi
dari L-dopa tidak sepenuhnya dapat dijelaskan.
Jumlah senyawa meningkat karena aktivitas MFOS, yang dapat menyebabkan
peningkatan metabolisme dari obat. Hidrokarbon aromatic polisiklik dalam lingkungan dan
pemanggangan makanan dengan arang, sama seperti senyawa dalam sayuran seperti
kecambah dan kubis, dapat menginduksi aktivitas MFOSdalam hati dan usus, dan
menurunkan waktu aktif dari obat.
Faktor lain yang memperngaruhi metabolisme obat termasuk rasio absorpsi dalam
usus dan penghantaran obat ke hati, adanya penyakit lain termasuk malnutrisi, status dari
fungsi hati, dan administrasi bersamaan dengan obat lain yang dapat meningkatkan atau
menurunkan metabolisme dari obat pertama.
Efek dari ekskresi obat
Asupan makanan dan nutrisi dapat mempengaruhi ekskresi obat dengan mengubah pH urin.
Obat yang memerlukan asam lemah diekskresikan lebih cepat pada keadaan urin yang basa
(lihat bab 38 untuk makanan yang dapat mengasamkan urin). Obat mineral, seperti litium
karbonat, mempengaruhi level mineral dalam tubuh daripada mineral lain. Penurunan natrium
menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium dan litium karbonat dan meningkatkan potensi
toksisitas litium. Ekskresi litium meningkat dengan suplemen natrium atau asupan cairan.
Efek nutrisi pada ekskresi ginjal terhaap obat sebagian besar terjadi pada obat dengan jarak
terapi pendek.
Faktor diet yang umum yang mempengaruhi ekskresi obat termasuk kemampuan dari
diet tinggi protein untuk meningkatkan ekskresi ginjal dari barbiturate, teofilin, dan fenitoin
(Lamy, 1982). Asupan tinggi serat dapat meningkatkan ekskresi dari senyawa lemak yang
larut. Makanan yang menyebabkan urin menjadi asam meningkatkan klirens dari obat-obat
basa. Seperti amfetamin. Makanan yang menyebabkan urin bersifat basa, meningkatkan
ekskresi obat asam, seperti fenobarbital.
Interaksi alcohol
Alcohol diklasifikasikan sebagai obat, tetapi secara luas digunakan sebagai makanan
tambahan. Interaksi etil alcohol dengan beberapa macam obat umum. Konsekuensinya
bergantung dari efek farmakologi dari obat, dosis dan rute administrasi dari obat, dan jumlah
konsumsi alcohol. Secara akut, dosis substansial dari konsumsi alkohol dalam waktu singkat
dapat menghambat metabolisme obat sehingga meningkatkan efeknya. Bagaimanapun,
konsumsi alcohol secara kronik dapat mempercepat metabolisme beberapa obat tertentu
karena konsumsi alcohol secara kronik menginduksi sistem oksidasi etanol mikrosmal dari
metabolisme obat, sehingga efek dari sistem metabolisme obat dalam mirkrosom hati,
menyebabkan percepatan metabolisme obat. Para alkoholik umumnya menunjukan toleransi
metabolic obat, sehingga menurunkan aksi obat (Mattila, 1990). Sebagai contoh dari situasi
paradoksal ini adalah obat fenitoin. Peminum alcohol akut menurunkan klirens dari fenitoin
karena keduanya berkompetisi pada sistem oksidasi hati, bagaimanapun, peminum alcohol
kronik, rasio klirens dari fenitoin meningkat selama periode.
Aksi dari beberapa golongan obat memiliki kombinasi efek dengan alcohol (Lieber,
1994). Penggunaan bersamaan etanol dan obat sedative sebagai contoh, dapat menyebabkan
gangguan psikomotor dibandingkan obat dikonsumsi tanpa etanol. Efek ini terjadi karena
kombinasi dari aksi depresi sistem saraf pusat, gangguan degradasi dari obat sedative, dan
metabolisme obat tersebut yang diubah oleh etanol. Situs internet tentang alcohol dan obat
adalah www.health.org.
Reaksi disulfiram (antabuse) muncul ketika alkoholik meminum obat ini bersamaan
dengan alcohol. Gejalanya meliputi, memerah, sakit kepala, dan muntah yang muncul dalam
15 menit sejak alcohol dikonsumsi. Karena gejala ini tidak menyenangkan, obat ini
digunakan untuk mencegah alkoholik kembali kecanduan alcohol. Tanda dan gejala terjadi
karena peningkatan asetaldehid dalam tubuh. Obat lain yang dapat menyebabkan sindrom
asetaldehid adalah metronidazole, griseofulvin, dan procarbazine.
MEDIKASI DAN INKOMPATIBILITAS NUTRISI ENTERAL
Inkompatibilitas fisik
Memberikan makan tambahan secara enteral adalah metode efektif untuk memberikan
nutrisi pada pasien yang tidak dapat makan secara adekuat (lihat bab 22). Bagaimanapun,
penggunaan selang makanan untuk adminitrasi obat dapat menjadi masalah. Ketika cairan
medikasi bercampur dengan makanan, inkompatibilitas dapat terjadi. Tipe inkompatibilitas
fisik meliputi granulasi, pembentukan jel, dan pemisahan. Hasil yang sering antara selang
makanan dan dapat dapat mengganggu pemberian nutrisi pada pasien. Contoh obat yang
dapat menyebabkan granulasi dan pembentukan jel adalah mellaril, thorazine, feosol,
Dimetapp elixir, robitussin expectorant, dan pseudophedrine (Sudafed Cough Syrup).
Kerusakan emulsi juga umumnya muncul ketika asam sirup farmasekal ditambahkan pada
formula enteral. Reaksi ini lebih umum pada asupan protein dan tidak umum dengan
hidrolisis protein atau asam amino bebas (Burns et al, 1988; Thomson and Rollins, 1991).
Dua obat tersebut memproduksi efek kaopektat dan robitusin.
Inkompatibilitas Farmasekal
Inkompatibilitas farmasekal dapat terjadi sebagai hasil dari perubahan rute obat ataupun
perubahan formula makanan yang menyebabkan perubahan potensi dan efektivitasny.
Persiapan obat dengan potensinya seperti tablet enteric, sustain-release, dan sublingual
seharusnya tidak boleh bercampur. Untuk menghindari inkompatibilitas farmasekal,
penggunaan dosis larutan atau pemilihan rute adminitrasi alternative. Dosis mungkin perlu
diubah jika kerja obat berbeda dari bentuk obat (seperti padat dan cair), terutama untuk obat
seperti teofilin atau fenitoin. Selang makanan seharusnya dibersihan dengan air 15 sampai 30
ml jika akan digunakan untuk medikasi (Miller dan Miller, 1995). Cairan yang membuat
iritasi atau cairan yang kental harus diencerkan dengan air 15 sampai 100 ml, tablet
seharusnya dihancurkan menjadi bubuk dan dicampur dengan 15 sampai 100 ml air.
Pengobatan seharusnya tidak dikombinasikan, walaupun pemberiannya dipisah jika selang
dialirkan air diantara pemberian obat.
Inkompatibilitas fisiologis
Inkompatibilitas fisiologi didefinisikan sebagai aksi non farmakologi obat yang mengubah
toleransi terhadap dukungan nutrisi. Pemberian medikasi dengan hipertonik umumnya
dihubungkan dengan intoleransi pemberian makanan secara enteral. Deposisi dari larutan
hyperosmolar ke dalam wadah kecil menghasilkan perubahan yang hebat antara elektrolit dan
air dalam lumen usus. Ketika kapasitas absorpsi dari usus halus berlebihan, menyebabkan
peningkatan osmolaritas dan diare (Dickerson and Melnick, 1988). Osmolaritas rata-rata dari
persiapan formula larutan berkisar antara 450 sampai 10.950 mOsm/kg. Untuk mencegah
diare, medikasi seharusnya dilarutkan dalam air sebelum diberikandan selang seharusnya
diirigasi sebelum dan setelah pemberian. Sorbitol dalam beberapa medikasi juga
menyebabkan diare pada pasien yang menggunakan selang makanan.
Baru-baru ini, osmolaritas dari medikasi umumnya digunakan pada perawatan intensif
neonates sedang diteliti (Jew, 1997). Sebagian analisa medikasi memiliki kelebihan
osmilaritas 2000 mOsm/kg. Sebagian formula pada infant memiliki osmilaritas rekomendasi
dari American Academy of Pediatri (400 mOsm/L). Osmolaritas akhir dari infant seharusnya
diukur atau dikalkulasikan ketika medikasi ini diperlukan dan ketika konsentrasi kalori
berlebihan 24 kcal/oz. Persamaan untuk menghitung osmolaritas akhir dengan
menggabungkan campuran dari obat dan formula seperti di bawah ini (Ernst et al, 1983).
Od (Vd) + Of (Vf)
Osm = Vd + Vf
Dimana Osm adalah osmolaritas dari obat dan formula, Od adalah osmolaritas obat, Of
adalah osmolaritas formula, Vd adalah volume obat dalam liter, dan Vf adalah volume
formula dalam liter (lihat bab 6).
__________________________________________________________________________
FOKUS PADA: Nutrisi, Interaksi Obat, dan Lanjut Usia
Banyak faktor yang mempunyai peran dalam interaksi makanan dan obat, walaupun
tidak semua pasien memiliki derajat yang salam terhadap interaksi obat dan nutrisi. Pada
pasien yang lanjut usia resikonya meningkat berdasarkan perubahan patofisiologi yang
berhubungan dengan usia, disfungsi endokrin, dan pencernaan umum dari pembatasan diet.
Sebagai dampaknya dari berbagai macam penyakit yang berhubungan dengan penuaan, para
lanjut usia umumnya mengkonsumsi lebih banyak obat daripada pasien yang lebih muda.
Pasien yang lanjut usia juga harus meminum lebih dari satu jenis obat seperti laksatif dan
antasida. Efek yang merugikan dari obat dapat mengganggu hasil dari terapi dengan
mempengaruhi status nutrisi dari pasien geriatric.
Kepedulian terhadap monitor level vitamin A (dalam diet oral, suplemen, atau
makanan enteral) ketika aluminium hydroxide, kolesteramin, minyak mineral, atau warfarin
digunakan. Fenitoin mengganggu level serum dari asam folat, kalsium, dan vitamin B 6.
Alcohol digunakan dalam berbagai macam sirup dan larutan, menurunkan absorpsi
magnesium, kalium, dan zink. Asupan tinggi protein yang bersamaan dengan levodopa dapat
menurunkan efektivitas obat.
Semua faktor ini membuat terapi pada pasien lanjut usia yang sering mendapat
banyak obat setiap hari, membutuhkan tim yang disiplin, yang termasuk physician, farmasi,
perawat, dan dietarian, yang harus bekerja bersama-sama untuk merancanakan dan
mengkoordinasi regimen obat untuk memastikan kemungkinan kadar terbaik dari nutrisi
tanpa membahayakan tujuan terapi pada pasien. Obat yang tidak berguna untuk pasien lanjut
usia harus ditinjau ulang dan dikurangi bila memungkinkan, walaupun hanya untuk
sementara.
Inkompatibilitas farmakokinetik
Inkompatibilitas farmakokinetik muncul ketika formula enteral mengubah bioavaibilitasm
distribusi, metabolisme, atau eliminasi dari obat. Perubahan pada diet protein dan lipid telah
ditunjukan untuk memberikan efek pada metabolisme obat dalam hati dan usus manusia
maupun hewan. Untuk itulah penelitian saat ini melihat pada efek dari protein, lemak, dan
karbohidrat dalam formula makanan enteral. Penemuan dugaan terhadap komposisi dari
formula makanan enteral dapat memberikan hasil yang signifikan pada fungsi hati, terutama
adanya lipid seperti pada persiapan mungkin penting untuk memonitor kadar normal dari
metabolisme obat dalam hati (Knodell, 1990).
Mungkin pada sebagian penelitian bentuk obat dari makanan enteral adalah obat
antikejang fenitoin. Banyak laporan yang memggambarkan interaksinya dengan makanan
enteral yang telah dipublikasikan sejak 1982. Karena rentang terapi obat fenitoin,
interaksinya sulit muncul. Beberapa faktor telah dilaporkan yang mempengaruhi absorpsi
fenitoin termasuk, (1) besarnya dosis; (2) terapi antasida; dan (3) pemberian bersamaan
dengan makanan ataupun makanan enteral. Bagaimanapun, peran dari faktor-faktor ini pada
subjek masih kontroversial. Dalam penelitian tentang pemberian fenitoin pada subjek sehat,
menunjukan tidak adanya gangguan antara makanan enteral dan absorpsi fenitoin (Marvell
and Bertino, 1991; O’Hagan et al, 1994). Kemungkinan faktor lain harus dipertimbangkan
seperti rendahnya konsentrasi serum, seperti ikatan obat pada tabung nasogastric,
hipoalbuminemia, atau uremia. Beberapa penelitian mengindikasikan reaksi dari
ketergantungan pH. Hal ini muncul sebagai jebakan fisik dari banyaknya partikel suspense
ketika protein dalam larutan enteral berdenaturasi pada pH rendah (Splinter et al, 1990).
Selain itu, kehilangan fenitoin yang ireversibel telah diobservasi pada kadar pH yang rendah
sebagai hasil dari tabung nasogastric, yang menyebabkan penurunan absorpsi fenitoin
(Fleischer et al, 1990). Pencapaian yang hati-hati dalam pemberian fenitoin kepada pasien
yang mendapat makanan enteral adalah menghentikan makanan enteral 1 sampai 2 jam
sebelum dan setelah pemberian obat, dan membersihkan selang dengan air steril. Alternative
lainnya adalah dengan pemberian obat secara intravena.
Konseling nutrisi
Sebelum pasien berkonsultasi tentang interaksi antara obat dan makanan, semua pengobatan
harus ditinjau kembali kemungkinan efeknya (Lihat teori tentang “Fokus pada: Nutrisi,
interaksi obat, dan lanjut usia”). Hubungan riwayat diet terhadap pengobatan juga seharusnya
diperoleh, memastikan konsumsi alcohol, suplemen vitamin dan mineral, dan suplemen
lainnya. Pasien harus ditanya tentang adanya perubahan rasa, perubahan berat badan, nafsu
makan, mual, diare, dan munculnya gejala mulut kering. Ketika menentukan adanya interaksi
antara obat dan makanan, sangat penting juga untuk mempertimbangkan usia, dosis obat, dan
lama terapi pada medikasi tertentu (gambar 18-1)
Bermacam-macam strategi telah digunakan pada fasilitas kesehtan untuk mencapai
ketentuan JCAHO tentang konseling interaksi obat dan makanan. Beberapa peraturan
digunakan dalam masalah ini dan deskripsi prosedur tentang tahapan yang harus diambil
untuk menuruti peraturan yang telah dibuat. Contoh dari peraturannya adalah “Pelepasan
pasien dalam modifikasi diet harus menerima instruksi tertulis dan konseling individual
sebelum pelepasan, termasuk konseling interaksi antara obat dan makanan jika sesuai”.
Materi edukasi tentang interaksi obat dan makanan harus dikembangkan di setiap fasilitas
dengan mengkolaborasikan tim dari farmasi dan deiterian untuk mendistribusikannya pada
pasien. Dokumentasi dalam rekam medis juga harus disyaratkan ketika instruksi telah
diberikan, termasuk penilaian terhadap pemahaman pasien dan kemampuannya untuk
mengikuti instruksi.
Gambar 18-1 Peningkatan potensi
terserang penyakit karena usia
lanjut, lansia sering memerlukan
banyak obat, termasuk peresepan
dan persiapan pada konter obat. Ini
menempatkan mereka pada resiko
tinggi terhadap interaksi antara
obat-obat dan obat-nutrisi
Top Related