BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANESTESI UMUM (GENERAL ANESTESI)
Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Trias anestesi
1. hipnotik
2. analgesik
3. relaksasi
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan dalam
anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu
sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan kunjungan pra anestesi
adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan.
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan premedikasi
yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya :
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
3. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah
4. Mengurangi isi cairan lambung
5. Membuat amnesia
6. Memperlancar induksi anestesi
7. Meminimalkan jumlah obat anestesi
8. Mengurangi reflek yang membahayakan
B. OBAT PREMEDIKASI
a. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik
Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi
efek bronchial dan kardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau
1
anestesikum maupun tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek lainnya adalah
melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme gastrointestinal. Perlu diingat
bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya laringospame yang berkaitan dengan anestesi umum.
Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam dosis terapeutik ada perasaan
kering dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur. Karena itu sebaiknya obat ini tidak digunakan
untuk anestesi regional atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan suhu
diatas normal dan pada penderita dengan penyakit jantung khususnya fibrilasi aurikuler.
Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.
Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk
dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk anak-anak.
b. Hipnoz 2 mg (Midazolam) : obat penenang(transquilaizer)
Midazolam
Midazolam telah mendominasi menggantikan diazepam pada penggunaannya sebagai
medikasi preoperative dan sedasi sadar. Bahan-bahan psikokimia dari obat itu berguna untuk
kelarutannya dalam air dan metabolisme cepat. Sedangkan dengan benzodiazepin lain,
midazolam menghasilkan anxiolysis, sedasi, dan amnesia. Ini 2 sampai 3 kali lebih poten
daripada diazepam karena peningkatannya pada reseptor benzodiazepun. Dosis biasa
intramuskuler adalah 0,05-0,1 mg/kg dan titrasi 1,0-2,5 mg pada intravena. Tidak ada iritasi atau
phlebitis dengan injeksi midazolam. Insidensi efek samping setelah masuknya obat rendah,
meskipun depresi ventilasi dan sedasi dapat lebih dari yang diharapkan, terutama pada pasien tua
atau ketika obat dikombinasikan dengan depresan system saraf pusat lain. Ada onset yang cepat
pada kerja dan absobrsi yang diperkirakan setelah injeksi intramuskular midazolam daripada
diazepam. Waktu onset setelah injeksi intramuskuler 5-10 menit, dengan efek puncak muncul
setelah 30-60 menit. Onset setelah masuknya intravena sebesar 5 mg diperkirakan muncul
setelah 1-2 menit. Ditambahkan onset yang lebih cepat, penyembuhan lebih cepat muncul setelah
masuknya midazolam dibandingkan dengan diazepam. Hal ini mungkin sebagai hasil kelarutan
midazolam pada lemak dan distribusi yang cepat pada jaringan perifer dan biotransformasi
metabolic.
Atas alasan ini, midazolam biasanya diberikan dalam waktu 1 jam induksi. Midazolam
dimetabolisme dengan enzim mikrosomal hepatic untuk mencapai metabolisme hidroksilasi yang
inaktif. Reseptor H2 antagonis tidak mempengaruhi metabolisme. Eliminasi waktu paruh
2
midazolam kira-kira 1-4 jam dan dapat memanjang pada orang tua. Percobaan menunjukkan
fungsi mental biasanya kembali ke normal dalam 4 jam masuknya obat. Setelah masuknya 5 mg,
amnesia berakhir dari 20-32 menit. Masuknya obat intramuskuler dapat menghasilkan periode
amnesia lebih panjang. Hilangnya ingatan dapat diakibatkan oleh masuknya skolpolamin
berkelanjutan. Obat-obatan midazolam membuat hal ini ideal untuk prosedur yang pendek.
Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan pernafasan,
umumnya hanya sedikit
Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur dan keadaan
pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. pada orang tua dan pasien lemah dosisnya 0,025-0,05
mg/kgBB.
Antiemetik
c. Cedantron 4 mg (Ondansentrone)
.Suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan
pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping berupa ipotensi, bronkospasme, konstipasi
dan sesak nafas. Dosis dewasa 2-4 mg.
d. Antagonis Receptor Histamin (H2)
Cimetidin, Ranitidin, Famotidin and Nizatidin mengurangi sekresi asam gaster. Mereka
memblok kemampuan histamine untuk menginduksi sekresi asam gaster dengan konsentrasi ion
hydrogen yang tinggi. Oleh karena itu antagonis reseptor histamin meningkatkan pH gaster.
Antagonisme dari reseptor histamine terjadi dalam cara yang selektif dan kompetitif. Penting
untuk mengingat bahwa obat-obatan ini tidak dapat diperkirakan tergantung dari volume gaster.
Dibanding dengan premedikasi, mereka relatif memiliki efek samping yang lebih sedikit. Karena
efek sampingnya yang relatif sedikit dan karena banyak pasien elektif memiliki resiko aspirasi
pneumonitis, beberapa anesthesiologists menyarankan penggunaan antagonis reseptor H2.
Regimen dosis mulitipel dapat lebih efektif dalam meningkatkan pH gaster dibanding
dosis tunggal sebelum operasi pada hari operasi. Antagonis H2 juga dapat diberikan pada pasien
alergi.
Ranitidin 50 mg
3
Ranitidin lebih poten,spesifik, dan kerja lebih lama dibanding cimetidin. Dosis oaral
biasanya 50-200 mg. Ranitidin 50-100 mg yang diberikan parenteral,akan menurunkan pH cairan
gaster dalam 1 jam. Sama efektifnya dengan cimetidin dalam mengurangi jumlah pasien yang
memiliki resiko aspirasi gaster dan memiliki sedikit efek samping terhadap kardiovaskular dan
SSP. Efek dari ranitidine berlangsung sampai 9 jam. Oleh karena itu, ranitidine lebih superior
dari cimetidin pada prosedur jangka panjang dalam mengurangi resiko aspirasi pneumonitis
selama keadaan bahaya dari anestesi dan extubasi trakea.
C. OBAT INDUKSI
1. RECOFOL 80 mg (Profofol)
Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter recovery
anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Profofol merupakan cairan emulsi minyak-
air yang berwarna putih yang bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah
larut dalam lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA.
Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu
30 detik.
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse. Dosis sedasi 25-
100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang berumur diatas 55 tahun dosis untuk induksi
maupun maintanance anestesi itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien dewasa
dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan bolus intravena atau secara kontinu
melalui infus, namun kecepatan pemberian harus lebih lambat daripada cara pemberian pada
oranag dewasa di bawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan ASA III-IV dosisnya lebih rendah
dan kecepatan tetesan juga lebih lambat
2. PETIDIN
Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan
morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia
petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.3
Farmakodinamik
Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti
halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas
4
dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah
dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5
jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik.
Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat
dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat
konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari
10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan
takikardia.
4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih
ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada
hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Farmakokinetik
Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi
kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma
biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah
pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama,
kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma
terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami
hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin
dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin
ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.
Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan
intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk
kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.
5
Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan
klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik,
untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena
menyebabkan depresi nafas pada janin.
Dosis dan sediaan
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50
mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan
dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.
Efek samping
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat,
euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,
sinkop dan sedasi.
3. ATRACURIUM Tracrium 20 mg : nondepolarisasi
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan
reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi
asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya selama 20-45 menit
dan dapat meningkat menjadi 2 kali lipat pada suhu 250 C, kecepatan efek kerjanya 1-2 menit.
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot
mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang
paling sring digunakan ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08 mg/kgBB) atau obat
antikolinergik lainnya. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi,
keringatan, bradikardia, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur, sehingga
pemberiannya harus disertai obat vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau
glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,2-0,3 mg/kgBB pada dewasa.
D. MAINTAINANCE
a. N2O
6
N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) diperoleh dengan memanaskan
ammonium nitrat sampai 240°C (NH4 NO3 à 2H2O + N2O)
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar, dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%.
Gas ini bersifat anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi
dikombinasi dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan sebaagainya. Pada akhir anestesi
setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi
pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi,
berikan O2 100% selama 5-10 menit.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 yaitu 60% :
40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20%
: 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila
digunakan pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan
timpanoplasti.
b. Obat Anestetik inhalasi
Halothan/fluothan
Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak berwarana yang mudah
menguap dan berbau harum. Pemberian halothane sebaiknya bersama dengan oksigen atau
nitrous okside 70%-oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi
untuk halothane agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah dikendalikan. Pada nafas
spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada nafas kendali sekitar 0,5-1 vol % yang
tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Kelebihan dosis menyebabkan depresi
pernafasan, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardia, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Paska pemberian halothane
sering menyebabkan pasien menggigil
Sifat
Tidak berwarna, mudah menguap
Tidak mudah terbakar/meledak
Berbau harum tetapi mudah terurai cahaya
7
Efek:
Tidak merangsang traktus respiratorius
Depresi nafas pada stadium analgetik
Menghambat salivasi
Nadi cepat, ekskresi airmata
Hipnotik kuat, analgetik kurang baik, relaksasi cukup
Mencegah terjadinya spasme laring dan bronchus
Depresi otot jantung Þ aritmia (sensitisasi terhadap epinefrin)
Depresi otot polos pembuluh darah Þ vasodilatasi Þ hipotensi
Vasodilatasi pembuluh darah otak
Sensitisasi jantung terhadap katekolamin
Meningkatkan aktivitas vagal vagal refleks
Pemberian berulang (1-3 bulan) kerusakan hepar (immune-mediated hepatitis)
Menghambat kontraksi otot rahim
Absorbsi & ekskresi obat oleh paru, sebagian kecil dimetabolisme tubuh
Dapat digunakan sebagai obat induksi dan obat maintenance
Keuntungan
Cepat tidur
Tidak merangsang saluran napas
Salivasi tidak banyak
Bronkhodilator obat pilihan untuk asma bronkhiale
Waktu pemulihan cepat (1 jam post anestesi)
Kadang tidak mual & tidak muntah, penderita sadar dalam kondisi yang enak
Kerugian
Overdosis
Perlu obat tambahan selama anestesi
Hipotensi karena depresi miokard & vasodilatasi
Aritmia jantung
8
Sifat analgetik ringan
Cukup mahal
Dosis dapat kurang sesuai akibat penyusutan
Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak berwarana yang mudah
menguap dan berbau harum. Pemberian halothane sebaiknya bersama dengan oksigen atau
nitrous okside 70%-oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi
untuk halothane agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah dikendalikan. Pada nafas
spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada nafas kendali sekitar 0,5-1 vol % yang
tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Kelebihan dosis menyebabkan depresi
pernafasan, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardia, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Paska pemberian halothane
sering menyebabkan pasien menggigil
E. INTUBASI
Setelah dilakukan induksi anestesia yaitu tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi dapat
dilakukan secara intrvena, intramuskular, inhalasi dan rektal. Sebelum dilakukan induksi
sebaiknya disiapkan terlebih dahulu peralatan dan obat-obatan yang diperlukan. Untuk persiapan
induksi sebaiknya kita ingat STATICS:
S = Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope
T = Tubes Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon (cuffed)
A = Airway Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring) yang digunakan
untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menymbat jalan napas
T = Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I = Intro Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah dimasukkan
C = Connec Penyambung pipa dan perlatan anestesia
S = Suction Penyedot lendir dan ludah
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran
trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta
9
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan
intubasi endotrakheal (Anonim, 1986) :
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b.Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernafasan.
c.Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
g. Obat.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan
lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker
nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di
arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial
toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal
antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk
dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada
beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga
sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer Arif et.al., 2000)
biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
10
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mental
symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan depresi rahang
bawah yang lebih lebar selama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
d. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi
temporomandibuler, spondilitis servical spine.
e. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi kepala pada leher
di sendi atlantooccipital.
f. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi leher.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan
antara lain :
a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol
infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada
dalam satu garis lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi
dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka
dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan
terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan
kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan
tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak
keputihan berbentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan
mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa
asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak
dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan
11
dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan
dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri
sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi
endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas
kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas
terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai
ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah
epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin
membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan
oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi.
BAB II
12
LAPORAN KASUS
A. Anamnesis
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. Y
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 43 th
Alamat : Padang
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
No. RM : 294177
Tanggal Operasi : 23 Juni 2012
2. Diagnosis: Carcinoma Mammae Dekstra
3. Riwayat Penyakit Yang Dapat Menjadi Penyulit Anestesi
Riwayat Asma : tidak ada
Riwayat Diabetes Melitus : tidak ada
Riwayat Hipertensi : tidak ada
4. Riwayat Obat-Obatan Yang Pernah Atau Sedang Digunakan
Obat antihipertensi : tidak ada
Obat antidiabetik : tidak ada
Obat penyakit jantung (ex. Aspilet) : tidak ada
5. Riwayat Operasi dan Anestesi Sebelumnya
Tahun 2011 biopsi tumor mammae → tidak ada ada komplikasi anestesi (General
Anesthesi)
6. Kebiasaan Buruk Sehari-hari yang mempersulit operasi
Merokok : tidak ada
Konsumsi alcohol : tidak ada
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
13
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis Cooperatif
Berat Badan : 78 kg
Tinggi Badan : 160 cm
BMI : 30,46 kg/m2
2. Vital sign
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Nafas : 22 x/menit
Suhu : 37 ºC
3. Status Generalisata
a) Kepala
Mata
o Konjungtiva : anemis -/-
o Sklera : ikterik -/-
Mulut
o Gigi palsu : tidak ada
o Gigi tonggos : tidak ada
o Trismus : tidak ada
o Rahang bawah maju : tidak ada
o Mallampati : 1
b) Leher : pendek
c) Thoraks
Paru
o Inspeksi : simetris, ketinggalan gerak (-), deformitas (-)
o Palpasi : fremitus taktil kanan sama dengan kiri
o Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
o Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
o Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
14
o Palpasi : iktus kordis tidak teraba
o Perkusi : batas jantung dalam batas normal
o Auskultasi: bunyi jantung I-II regular, murmur (-)
d) Abdomen
Inspeksi : tampak cekung, lebih rendah dari dada, simetris
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : massa (-), NT (+), supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
e) Ekstremitas
Akral : hangat
Perfusi : baik
4. Status Lokalis
Regio Mammae
Inspeksi : massa (+) di mammae dekstra, retraksi pupil (+), peau d’orange (+),
discharge (-)
Palpasi : teraba massa di mammae dekstra dengan konsistensi padat, batas tidak
tegas, permukaan rata, lengket ke diding dada, ukuran 10 cm x 10 xm x 5
cm
C. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium : Tanggal 22 Juni 2012
Pemeriksaan darah lengkap
Hemoglobin (Hb) : 14,9 g/dl Normal : 13-16 g/dl
Leukosit : 5230 /ul Normal : 5000-10000/ul
Hematokrit (Ht) : 42 % Normal : P 40-48; W 37-43 %
Eritrosit : 5,5 jt/ul Normal : P 4,5-5,5; W 4-5 jt/ul
Trombosit : 197.000/uI Normal : 150000-400.000/ul
PT : 16,6 detik Normal : 10,6-14,4
APTT : 40,1 detik Normal : 24-36
Pemeriksaan Kimia Klinik
Ureum : 21,1 mg/dl Normal : 10-50 mg/dl
Kreatinin : 0,63 mg/dl Normal : 0,7-1,2 mg/dl
15
GDS : 97 mg/dl Normal : ≤ 200
D. Kesimpulan
Status Fisik ASA II (obesitas)
E. Laporan Anestesi
Diagnosa pra bedah : Carcinoma Mammae Dekstra
Diagnosa pasca bedah : Post. Eksisi carsinoma Mammae dekstra
Jenis pembedahan : Eksisi
Penatalaksanaan anastesi (Tanggal 23 Juni 2012)
Jenis anesthesi : General Anestesi
Premedikasi : Ranitidin 50 mg
Ondansentron 4 mg
Fentanyl 175 ug
Fortanes 5 mg
Medikasi : Propofol 100 mg + propofol 40 mg
Roculax 40 mg
Phetidyn 30 mg + phetydin 20 mg
Maintenance : O2 2,0 L/mnt
N20 2,0 L/menit
Sevofluran 3%
teknik anestesi : SCCS, intubasi dengan ETT no. 7,5 cuff (+), guedel (+),
maintenance O2, N2O, Sevofluran
Respirasi : CR
Posisi : Supine
Infus durante operasi : RL I kolf tangan kiri
Keadaan akhir anestesi : TD 121/60, nadi 63 x/menit, sadar (+), mual (-),muntah (-)
Laporan durante operasi :
Mulai anastesi : 11.15 WIB
Mulai operasi : 11.30 WIB
Selesai operasi : 13.30 WIB
Selesai anestesi : 13.45 WIB
16
Cairan yang masuk durante operasi : RL II kolf, Nacl 50 cc, Hess I kolf
Tekanan darah dan frekuensi nadi
Waktu Keterangan HR
(x/menit)
Tensi
(mmHg)
SpO2
10.15 Anestesi mulai
65 120/80 100
10.20 Operasi mulai
71 130/75 100
12.20 Operasi selesai
68 118/89 100
12.30 Anestesi selesai
63 121/60 100
Perdarahan : ± 100 cc
Urin tampung : ± 150 cc
Persiapan Alat dan Obat Anestesi Umum
Mempersiapkan mesin anestesi, sirkuit anestesi, face mask, monitor, tensimeter,
saturasi serta mengecek tabung O2, N2O, Sevoflurane, dan Isoflurane
Mempersiapkan stetoskop, laringoskop (lampu menyala dan terang), tape,
oropharingeal tube (guedel) ukuran 3 dan 4, ETT jenis non-kinking ukuran 6,5; 7;
dan 7,5, dan suction.
Mempersiapkan fortanest, propofol, fentanyl, roculax, phetidyn, ranitidin, dan
ondansentron.
Premedikasi
Ranitidin 50 mg
Ondansentron 4 mg
Fentanyl 175 ug
Fortanes 5 mg
Induksi Anestesi
17
- Akses IV: Memasukkan ranitidin 50 mg, ondansentron 4 mg, fentanyl 175 ug, fortanes 5
mg Propofol 100 mg cek refleks bulu mata, jika telah (-) pasang face mask
dan mulai ambu O2 3 L/menit, N2O 3 L/menit dan Isoflurane 2 vol % (sambil tetap
memompa sampai airway bagus) Roculax 40 mg setelah obat mulai bekerja + 3
menit, perhatikan pergerakan dada naik dan simetris segera lakukan intubasi
- Intubasi : Lepas face mask, pegang laringoskop dengan tangan kiri, masukkan
laringoskop dari sisi mulut bagian kanan geser ke kiri (dapat meminta bantu pada
asisten untuk membuka mulut pasien dan melakukan chin lift), tangan kanan
melakukan head tilt, telusuri lidah pasien sampai pangkal lidah, terlihat epiglotis, di
belakang epiglotis tampak plica vokalis, lalu segera masukkan ETT no.7,5 sampai
batas garis hitam pada ETT.
- Sambungkan ujung ETT dengan selang mesin anestesi, pompa balon, pastikan ETT
sudah masuk ke trakea dan cek suara napas kanan = kiri, lalu isi balon ETT dengan
15 cc udara, fiksasi ETT dengan plester/tape, ambu O2 3 L/menit, sevoflurane 2 vol
% dan N2O 3 L/menit.
Ekstubasi
- Memastikan pasien telah bernapas spontan
- Melakukan suction slem pada airway pasien
- Menutup Isoflurane dan N2O, tinggikan O2 sampai ± 8 L/menit
- Mengempiskan balon, pastikan bahwa pasien sudah bangun (biasanya pasien akan
mulai batuk-batuk). Melepaskan plester/tape. Cari waktu yang tepat dan segera
cabut ETT. Segera pasang face mask dan pastikan airway lancar dengan triple
manuver. Setelah pasien benar-benar bangun, pasien dipindahkan ke RR.
Instruksi Post OP di RR
- Awasi tekanan darah, nadi, nafas dan saturasi
- Oksigenasi dengan O2 3-4 L/menit
Instruksi Post OP di Ruangan
- Awasi vital sign
- Oksigenasi dengan O2 3-4 L/menit hingga 2 jam post operasi
- Puasa hingga bising usus (+)
- Analgetik post op
18
- Cairan rumatan RL 16-20 gtt/i
- Lain-lain sesuai kebutuhan pasien
F. Terapi Cairan
BB : 78 kg
Puasa selama 12 jam
Lama operasi : 120 menit
Jumlah perdarahan : ± 100 cc
Pre operasi : Cairan maintenance
: 4 cc/kgBB I/jam + 2 cc/kgBB II/jam + 1
cc/kgBB III/jam
: 40 cc + 20 cc +58 cc
: 118 cc/jam
Durante operasi
Puasa : 12 jam x maintenance
: 12 jam x 118 cc/jam
: 1416 cc
Stress operasi : Operasi sedang
: 6 cc/kg BB/jam
: 6 cc x 78/jam
: 468 cc/jam
Pemberian cairan
Jam I : ½ puasa + maintenance + strees operasi
: (½.1416) + 118 cc/jam + 468 cc/jam
: 708 cc + 118 cc/jam +468 cc/jam
: 1294 cc
Jam II : ¼ puasa + maintenance + stress operasi
: (¼.1416) + 118 cc/jam + 468 cc/jam
: 354 + 118 cc/jam + 468 cc/jam
: 940 cc
Perdarahan : ± 100 cc
19
Urin output : ± 150 cc
Jadi total kebutuhan cairan : Jam I + jam II + perdarahan + urin output
: 1294 + 940 cc + 100 cc +150 cc
: 2484 cc
Jumlah pemberian cairan : RL II = II x 500 = 1000 cc
: Hes I = I x 500 = 500 cc
: NaCl 50 cc
Jadi sisa kebutuhan : 2484 cc – 1550 cc
: 934 cc
Persiapan Pre-Anestesi dan Pre-Operatif
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis mencakup antara lain riwayat tentang apakah penderita pernah
mendapat anestesi sebelumnya. Hal ini menjadi hal yang penting karena untuk
mengetahui apakah penderita mengalami alergi atau sesak nafas pasca bedah. Selain hal
yang berhubungan dengan riwayat anestesi dan riwayat bedah sebelumnya, anamnesis
juga diperlukan untuk mengetahui apakah penderita memiliki riwayat penyakit sistemik
lain seperti diabetes melitus, asma, atau hipertensi. Karena penderita dengan penyakit
tersebut harus mendapatkan perhatian khusus.
Pemeriksaan fisik yang penting untuk diperhatikan adalah keadaan gigi-geligi,
keadaan mulut (mallampati). Hal-hal tersebut sangatlah penting karena untuk
memprediksi apakah tindakan laringoskopi akan mengalami kesulitan atau tidak.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Rekomendasi pada persiapan pemeriksaan laboratorium sebelum operasi antara
lain: pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, leukosit, trombosit) , PT, APTT, fungsi hati
(SGOT, SGPT), fungsi ginjal (ureum, kreatinin). Pemeriksaan ini dilakukan atas indikasi
pasien yang diperkirakan menderita anemia, pasien dengan penyakit jantung, ginjal,
saluran napas atau infeksi.
3. Puasa pre operasi
20
Pengosongan lambung sebelum anestesi penting untuk mencegah aspirasi isi
lambung karena regurtasi dan muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung
dilakukan dengan puasa. Pada pasien dewasa puasa selama 8 jam sedangkan pada anak-
anak puasa selama 4 jam. Pada pasien ini puasanya selama 12 jam dikarenakan jadwal
operasi jam 10 pagi sehingga saat telah 8 jam pasien diberikan cairan untuk mencegah
dehidrasi.
4. Premedikasi
Pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dengan tujuan untuk melancarkan
induksi, rumatan, dan bangun dari anastesi. Tujuan premedikasi adalah
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Mengurangi mual-muntah pasca operasi
Menciptakan amnesia
Menguras isi lambung
Obat-obatan yang digunakan untuk premedikasi pada pasien ini antara lain:
Ondancentron 4 mg/iv
Ranitidine 50 mg/iv
Midazolam 5 mg/iv
Fentanyl 175 ug/iv
5. Induksi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar
sehingga memungkinkan dimulainya anastesi dan pembedahan. Induksi anastesi dapat
dikerjakan dengan cara intravena, inhalasi, intramuskular, intra rectal. Setelah diberikan
induksi dilanjutkan dengan pemeliharaan anastesi sampai tindakan pembedahan selesai.
Selama induksi anastesi tanda-tanda vital pasien harus diperhatikan.
Obat-obatan yang digunakan pada pasien ini saat induksi adalah :
Propofol 100 mg
Roculax 40 mg pukul 11.15
Phetidin 30 mg
21
Propofol 40 mg pukul 11.20
Phetidin 20 mg
Maintenance secara inhalasi berupa O2 1L, N2O 1L, Sevoflurane 3L. Sedangkan
gas yang biasa digunakan adalah
Halotan 0.5%
Isofluran
Sevofluran
Enfluran
G. Pembahasan
Sebelum dilakukan operasi, kondisi penderita tersebut termasuk dalam ASA I
karena penderita merupakan pasien usia 43 tahun dan kondisi pasien tersebut sehat
organik (selain penyakit definitive), fisiologik, psikiatrik dan biokimia. Rencana jenis
anestesi yang akan dilakukan yaitu anestesi umum dengan teknik semi closed.
Pemilihan teknik semi closed karena pada waktu inspirasi gas campuran yang
masuk lagi ke dalam pernapasan tidak banyak dan pada waktu ekspirasi katup sistem
pernapasan akan terbuka karena dorongan udara ekspirasi sehingga udara dari paru-paru
langsung menuju atmosfir dan tidak akan kembali ke dalam paru-paru, setelah udara
ekspirasi habis katup tersebut akan tertutup kembali.
Cara anestesi pada kasus ini adalah penggunaan general anestesi dengan intubasi.
Penggunaan intubasi dikarenakan operasi yang dilakukan relatif lama.
Ondansetron 4 mg/2 ml diberikan sebagai premedikasi. Ondansetron merupakan
suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan
dan pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus dapat
merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya.
Ondansetron diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan muntah yang bisa
menyebabkan aspirasi. Sediaan injeksi 4mg dan 8mg. Sedangkan pemberian pada kasus
ini adalah 4 mg dan untuk pemberiannya adalah maksimal 8mg/hari.
22
Penggunaan ranitidine juga diberikan sebagai pengobatan premedikasi pada
general anesthesia pada kasus pasien ini. Obat ini diharapkan akan mengurangi produksi
asam lambung.
Midazolam adalah obat hipnotik-sedatif. Obat ini merupakan turunan
benzodiazepine. Midazolam menjadi obat hipnotik sedatif pilihan karena kerjanya cepat,
waktu paruhnya pendek, memiliki amnesia anterograde yang menguntungkan, tidak
mengiritasi. Obat golongan sedatif adalah obat-obatan yang menghilangkan kecemasan,
mengurangi ketegangan dan menimbulkan ketenangan. Sedangkan efek obat golongan
Hipnotika adalah obat-obat sedatif yang ditingkatkan dosisnya yang mendepresi susunan
saraf pusat sehingga menyebabkan tidur. Oleh sebab itu maka midazolam dipilih sebagai
premedikasi pada kasus ini. Dosis Midazolam (Fortanest) diberikan 0,05 – 0,2 mg/kgBB
iv memberikan 60-96% amnesia, pada pasien ini adalah sebesar 5 mg.
Pemberian fentanyl yang termasuk digunakan sebagai analgesi opioid. Setelah
suntikan intravena, ambilan dan distribusi Fentanyl secara kualitatif hampir sama dengan
morfin, tetapi sebagian besar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Dosis
analgesi 1-3 g/kgBB intravena untuk lama kerja 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan bukan untuk pasca bedah. Pada pasien ini
dosis fentanyl yang diberikan yaitu 175 ug.
Penggunaan induksi pertama adalah penggunaan propofol. Propofol dengan dosis
2-3 mg/kg BB diberikan secara bolus intravena sebagai induksi. Propofol dikemas dalam
cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1%.
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
sebaiknya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg secara intravena. Dosis bolus untuk induksi
2-3 mg/kgBB, dosis rumatan untuk anestesi intravena total adalah 4-12 mg/kgBB/jam
dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kgBB. Pengenceran propofol hanya
boleh dengan dekstrosa 5%. Pada pasien ini penggunaan propofol adalah sebesar 140 mg
yang dibagi pemberiannya, 100 mg dan 40 mg.
Sebagai muscle relaxant digunakan roculax atau rocuronium bromida dengan
dosis 40 mg. Roculax diharapkan dapat memudahkan proses intubasi.
23
Pada pasien ini, juga diberikan phetidin dengan dosis 50 mg terbagi menjadi 30
mg dan 20 mg. Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia,
sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam.
Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi
analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin
lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. Efek samping phetidine yang diharapkan pada
pasien ini adalah hipotensi karena tekanan darahnya meningkat saat dilakukan induksi.
Sebagai analgetik digunakan Ketorolac sebanyak 1 ampul (1 ml) berisi 30 mg/ml,
disuntikan iv untuk terapi pasca operasi. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi
(AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan
rasa nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara dengan
50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama serta
lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada efek depresi nafas pada percobaan
klinis.
Analgetik tramadol 1 ampul (100 mg) dicampur dengan RL 500 cc didrip dengan
tetesan 20 tetes/menit. Terapi mengurangi nyeri pasca bedah.
Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan
baik. Hingga kondisi penderita stabil dan tidak terdapat kendala-kendala yang berarti,
penderita kemudian dibawa ke bangsal untuk dirawat dengan lebih baik.
BAB III
KESIMPULAN
1. Jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu anestesi umum dengan teknik semi closed.
Pemilihan teknik semi closed karena pada waktu inspirasi gas campuran yang masuk lagi
24
ke dalam pernapasan tidak banyak dan pada waktu ekspirasi katup sistem pernapasan
akan terbuka karena dorongan udara ekspirasi sehingga udara dari paru-paru langsung
menuju atmosfir dan tidak akan kembali ke dalam paru-paru, setelah udara ekspirasi
habis katup tersebut akan tertutup kembali.
2. Obat-obatan yang digunakan dalam premedikasi adalah ondensantron, ranitidine,
fentanyl, dan midazolam, sedangkan untuk medikasi meliputi propofol, roculax, dan
phetidine. Post operasi pasien dirawat di ruangan untuk dimonitoring stabilitas pasien
post operasi sampai keadaan umumnya membaik yang kemudian dapat dipulangkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kuwajerwala NK. Perioperative medication management; Available at:
http://www.emedicine.com/MED/ topic3158.htm.
25
2. Stier GR. Preoperative evaluation and testing. In: Hines RL, editor. Adult perioperative
anesthesiathe requisites in anesthesiology. Philadelphia: Elsevier; 2004.p.3-82.
26