SIKAP BUNUH DIRI PADA REMAJA DITINJAU DARI KARAKTERISTIK KEPRIBADIAN
SKRIPSI
Oleh:
GALIH EKANTO SULISTYO ADI NIM : 02.40.0055
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG 2007
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................ ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................... iii
HALAMAN MOTTO ........................................................................ iv
HALAMAN UCAPAN TERIMAKASIH .......................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... xii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Tujuan ..................................................................................... 8
C. Manfaat ................................................................................... 8
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 10
A. Sikap Bunuh Diri Pada Remaja …………………………….. 10
1. Pengertian Sikap Bunuh Diri Pada Remaja …………….. 10
2. Komponen Sikap ………….……………………………. 15
3. Faktor-faktor Sikap ...................................………………. 17
4. Ciri-ciri Sikap ..................................................................... 19
5. Macam-macam Bunuh Diri ................................................ 21
6. Faktor-faktor Penyebab Bunuh Diri ................................... 23
7. Karakteristik Bunuh Diri .................................................... 27
8. Ciri-ciri Bunuh Diri ........................................................... 28
9. Aspek-aspek Bunuh Diri .................................................... 28
viii
10. Rentang Usia Remaja ........................................................ 29
B. Karakteristik Kepribadian Neurotism, Extraversion, Openness,
Agreeableness, dan Conscientiousness ………………………. 34
1. Pengertian Kepribadian ………….……………………... 34
2. Faktor-faktor Kepribadian ……………………………….. 35
3. Facet-facet Dalam Kepribadian ………………………….. 39
C. Hubungan Karakteristik Kepribadian Neurotism, Extraversion,
Openness, Agreeableness, dan Conscientiousness Dengan Sikap
Bunuh Diri Pada Remaja …………………………………….. 44
D. Hipotesis …………………………………………………….. 49
1. Hipotesis Mayor …………………………………………. 50
2. Hipotesis Minor …………………………………………. 50
BAB III : METODE PENELITIAN ……………………………….... 51
A. Metode Penelitian yang Digunakan ………………………… 51
B. Identifikasi Variabel Penelitian ……………………………... 51
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian …………………… 52
1. Sikap Bunuh Diri Pada Remaja …………………………. 52
2. Karakteristik Kepribadian Neurotism, Extraversion, Openness,
Agreeableness, dan Conscientiousness ............................. 52
D. Subyek Penelitian .....................................………………….. 55
1. Populasi ………………………………..……………….. 55
2. Teknik Pengambilan Sampel ……………………………. 55
E. Metode Pengumpulan Data …………………………………. 56
1. Skala Sikap Bunuh Diri Pada Remaja …………………… 57
2. Skala NEO PI R ………………………………………… 58
ix
F. Validitas dan Reliabilitas ……………………………………. 62
1. Validitas Alat Ukur ……………………………………. 62
2. Reliabilitas ……………………………………………… 63
G. Metode Analisis Data ……………………………………….. 63
BAB IV : LAPORAN PENELITIAN ................................................. 65
A. Orientasi Kancah Penelitian ………………………………… 65
B. Persiapan Penelitian ………………………………………… 66
1. Persiapan Perijinan ……………………………………... 67
2. Penyusunan Alat Ukur ………………………………….. 67
a. Skala Sikap Bunuh Diri Pada Remaja ………………. 67
b. Skala NEO PI R ……………………………..………. 68
3. Pelaksanaan Uji Coba Alat Ukur ………………..……… 70
C. Pelaksanaan Penelitian ……………………………………… 72
BAB V : HASIL PENELITIAN ………………………..………....... 74
A. Uji Asumsi …………………………………………………… 74
1. Uji Normalitas ………..………….……………………... 74
2. Uji Linearitas ……………………………………………. 74
B. Analisis Data ……….………………………………………… 75
C. Pembahasan …………………………………………………. 76
BAB VI : PENUTUP ………………………………………………… 82
A. Kesimpulan ………………………………………………….. 82
B. Saran ........................................................................................ 83
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 85
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................. 88
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Ciri-ciri Kepribadian The Big Five ....................................... 38
Tabel 2 Blue Print Sikap Bunuh Diri Pada Remaja ........................... 58
Tabel 3 Inventory Skala NEO PI R .................................................... 61
Tabel 4 Sebaran Item Skala Sikap Bunuh Diri Pada Remaja ............ 68
Tabel 5 Sebaran Item Skala NEO PI R .............................................. 69
Tabel 6 Sebaran Item Valid dan Gugur Skala Sikap Bunuh Diri Pada
Remaja ................................................................................ 71
Tabel 7 Sebaran Item Baru Skala Sikap Bunuh Diri Pada Remaja .... 72
Tabel 8 Hasil Uji Normalitas Sebaran ............................................... 74
Tabel 9 Uji Linearitas ......................................................................... 75
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Data Uji Coba ............................................................... 88
Lampiran B Uji Coba Skala Bunuh Diri ............................................. 93
Lampiran C Skala Penelitian .............................................................. 97
Lampiran D Data Penelitian ................................................................ 100
D-1: Data Variabel Bunuh Diri .................................................. 100
D-2: Data Variabel NEO PI R ................................................... 102
Lampiran E Uji Asumsi ..................................................................... 115
E-1: Uji Normalitas Sebaran ...................................................... 115
E-2: Uji Linearitas Hubungan ................................................... 116
Lampiran F Analisis Data …….......................................................... 131
Lampiran G Surat Penelitian .............................................................. 135
G-1: Surat Ijin Penelitian ........................................................... 135
G-2: Surat Keterangan Penelitian .............................................. 135
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap peristiwa bunuh diri selalu menimbulkan kesan tragis, karena
cara mati maupun motif yang melatarbelakanginya. Orang barang kali
boleh berkomentar,”begitu saja kok bunuh diri”. Kenyataannya justru
jumlah orang mati karena bunuh diri menjadi semakin meningkat akhir-
akhir ini. Badan kesehatan dunia WHO bahkan telah memprediksikan akan
terjadinya peningkatan dalam 20 tahun mendatang. Pada tahun 1998 bunuh
diri merupakan penyebab kematian ke 12 yang merenggut sekitar 948.000
jiwa manusia. (Kedaulatan Rakyat, 2004). Bunuh diri sudah menjadi
masalah nasional di Amerika Serikat, bahkan tiap 18 menit ada orang
meninggal karena bunuh diri. Statistik bunuh diri di Jepang bahkan telah
meningkat cukup signifikan karena faktor kesulitan ekonomi secara
nasional. Saat ini di Indonesia memang belum banyak catatan yang rapi
mengenai data bunuh diri. Kecenderungan meningkatnya bunuh diri
memang diakui sementara pihak yang selama ini cukup perduli dan dapat
pula terpantau melalui pemberitaan media massa. Tentu saja hal tersebut
tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena
banyaknya peristiwa yang tidak tercatat (Susetyo, 2004, hal. 1).
Mengapa orang bunuh diri? Menurut Susetyo (2004, h. 1), banyak
literatur mengatakan bahwa penyebab utamanya adalah menghentikan rasa
sakit yang tidak tertahankan. Rasa sakit tersebut bisa bersifat fisik
1
2
(misalnya karena penyakit kronis) dan lebih sering dipicu oleh sakit
emosional yang disebabkan oleh banyak kasus.
Setiap manusia ketika berada dalam keadaan yang sangat kritis, dan
dimana tidak menemukan satu jalan keluarpun untuk mengatasi masalah
yang dihadapinya yang dirasa sangat berat, maka akan terbetik keinginan
untuk bunuh diri. Manusia pada dasarnya tidak semua berani mengambil
keputusan untuk melakukan bunuh diri. Hanya manusia yang sudah tidak
dapat dikendalikan lagi oleh pemikiran-pemikiran yang wajar dan norma-
norma kehidupan yang dipegang teguh yang mau dan berani melakukan
bunuh diri (Bali Post, 2003, h. 1).
Akhir-akhir ini bunuh diri menjadi sangat menarik perhatian karena
adanya berita bunuh diri yang dilakukan anak-anak yang menginjak remaja.
Berita tersebut dapat dibaca dari koran mengenai pemicu dari tindakan
tersebut. Pemicu yang dikatakan sepele bisa dipersepsi sebagai penyebab
bunuh diri sehingga semakin menimbulkan keingintahuan mengapa bunuh
diri?
Bunuh diri bukan hanya merupakan tindakan tragis tetapi juga hal
yang mengherankan serta membingungkan. Meskipun mengetahui alasan-
alasan tindakan mereka ,tetapi praktek bunuh diri tersebut tidak pernah
yakin mengapa mereka membunuh dirinya sendiri. Mengapa mereka secara
sadar dan sengaja mengakhiri hidupnya? Penjelasan mudah dan yang sering
disampaikan adalah bahwa mereka yang membunuh dirinya menderita
gangguan mental. Dulu dalam teks psikologi abnormal bunuh diri seringkali
didiskusikan bersamaan dengan gangguan suasana hati (mood disorder),
namun perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa penjelasan seperti
3
itu terlalu sederhana (Hadriami, 2004, h. 1). Bunuh diri memiliki banyak
sebab dan orang membunuh dirinya sendiri karena berbagai alasan. Diskusi
mengenai kematian, makna bunuh diri dan hak untuk mengakhiri hidup
semakin terbuka. Bahkan ada langkah terlalu jauh yaitu adanya advokasi
untuk hak bunuh diri. Tindakan tersebut harus selalu disadari bahwa bunuh
diri adalah pilihan yang tidak bisa diubah lagi. Tidak ada lagi pertimbangan
atau penundaan tindakan, tidak ada jalan kembali.
Menurut Hadriami (2004, h. 4), bunuh diri pada anak-anak sangat
jarang terjadi. Motivasi mereka bunuh diri tidak jauh beda dengan para
orang dewasa, namun ada beberapa perbedaan. Anak-anak sudah mengerti
tentang bunuh diri dari berbagai media, hanya mereka tidak atau belum
sepenuhnya mengerti konsekuensinya bahwa mati itu final. Seringkali
karena ketidaktahuannya itu mereka menggunakan lethal weapon yang
sekaligus akan membuat mereka benar-benar tidak tertolong lagi. Selain itu
seperti halnya para remaja, anak-anak ini juga impulsive dan menggunakan
apa saja yang terjangkau untuk alat bunuh diri. Kejadian fatal sering terjadi
karena anak-anak kurang memahami kalau mereka tidak akan pernah bisa
kembali.
Contoh kasus bunuh diri yang dialami oleh Aman Muhammad Soleh
yang berusia 14 tahun, siswa kelas VI SDN Karangasih 04, Cikarang Utara,
Kabupaten Bekasi. Ia mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri dan
juga minum racun tikus pada awal Juni 2004. Saat ditanya alasan ia
melakukan usaha bunuh diri, Aman yang setelah dirawat beberapa lama di
rumah sakit dapat sehat kembali seperti sediakala, mengaku malu. Pasalnya
orangtuanya tidak dapat menyediakan uang sebesar Rp 150.000,00 untuk
4
membayar ujian akhir, biaya perpisahan, dan menebus ijazah (Kompas,
2004).
Pada hari Selasa tanggal 7 Maret 2006 di Purwokerto, seorang
pedagang minuman keras bernama Tarso yang berumur 40 tahun yang
tinggal di Desa Kebocoran RT 5 RW 1, Kecamatan Kedungbanteng,
Banyumas, sekitar pukul 14.00, ditemukan tewas gantung diri dirumahnya.
Tarso nekat mengakhiri hidupnya dengan menjerat lehernya menggunakan
tali plastik pada kusen pintu kamarnya. Diduga, korban mengalami depresi
setelah dagangannya digerebek polisi pada hari Sabtu tanggal 4 Maret 2006
(Suara Merdeka, 2006). Contoh peristiwa tersebut juga merupakan salah
satu sampel potret bunuh diri di kalangan orang miskin di Indonesia.
Mereka yang didera kemiskinan tak mampu melepaskan diri dari jeratan
kesengsaraan hidup yang tak tertahankan. Darmaningtyas (dalam Susetyo,
2004, h. 2) menengarai kebanyakan kasus bunuh diri dipicu oleh persoalan
ekonomi masyarakat miskin. Melalui penelitian yang dilakukannya,
Darmaningtyas juga berhasil membongkar mitos bahwa bunuh diri di
Gunung Kidul bukan disebabkan oleh pulung gantung, melainkan karena
adanya tekanan sosial ekonomi. Akibatnya kekeringan dan ketandusan
wilayah tempat tinggalnya, warga Gunung Kidul didera keputusasaan yang
mendalam dan akut dalam menghadapi sulitnya hidup.
Yusuf (Suara Merdeka, 2004) menyatakan bahwa bunuh diri yang
sudah menjadi tren atau model penyelesaian masalah, lebih banyak
menimpa orang dalam taraf ekonomi yang kurang. Seseorang dalam taraf
ekonomi yang kurang, mengambil jalan pintas karena kesulitan hidup,
himpitan ekonomi, atau akumulasi kekecewaan. Yusuf juga mengatakan
5
bahwa permasalahan bunuh diri yang sering dilakukan masyarakat ekonomi
lemah sudah dianggap suatu hal yang wajar seperti halnya aksi tawuran
antar kampung, dan penjahat yang dipukuli apabila tidak diantisipasi oleh
berbagai pihak. Bunuh diri terjadi karena kesejahteraan yang tidak
terpenuhi baik secara ekonomi atau sosial.
Tidak semua kasus bunuh diri merupakan cerminan dari buruknya
ekonomi masyarakat. Erich Fromm (dalam Susetyo, 2004, h. 2) justru
menengarai tingginya angka bunuh diri di banyak negara maju di Eropa dan
Amerika Serikat sebagai cerminan dari kesehatan masyarakat yang semakin
memburuk. Dikatakannya bahwa tingkat bunuh diri yang tinggi dalam suatu
masyarakat tertentu merupakan cerminan dari kurangnya stabilitas
kesehatan mental masyarakat tersebut. Hal ini jstru banyak dijumpai di
negara-negara maju. Di negara-negara yang miskin secara ekonomi justru
menunjukkan angka bunuh diri yang lebih rendah.
Bunuh diri merupakan suatu bentuk kegawatdaruratan dalam bidang
Psikiatri. Bunuh diri sendiri merupakan tindakan pengakhiran hidup yang
dilakukan secara sengaja. Bahkan tindakan ini juga dikatakan sebagai
bentuk pembinasaan diri yang dilakukan secara sadar. Bunuh diri bukanlah
merupakan tindakan yang acak maupun tidak bertujuan. Tindakan ini erat
hubungannya dengan keinginan yang dihalangi ataupun tidak terpenuhi,
rasa tidak berdaya dan tidak berguna, adanya konflik, ambivalensi antara
keinginan untuk bertahan dengan ketidakmampuan menangani stress,
dihadapi pada pilihan yang semakin sempit, dan adanya keinginan untuk
lari dari masalah.
6
Bunuh diri pada remaja erat kaitannya dengan kekacauan dalam
keluarga yang berkepanjangan, kekerasan (verbal, motorik, dan emosional)
dalam keluarga, penolakan anak oleh orangtua serta ketidakmampuan
orangtua mengembangkan keterampilan anak dalam mengatasi berbagai
masalah stresor. Anak dan remaja berisiko lebih besar untuk bunuh diri bila
dibanjiri oleh situasi yang kacau, penganiayaan dan pengabaian. Hasil dari
exposure menunjukkan bahwa penganiayaan dan kekerasan pada anak dan
remaja secara terus menerus dapat menampilkan perilaku agresif,
mencederai diri dan perilaku bunuh diri. Ide-ide bunuh diri bukan
merupakan fenomena yang statis dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
Keputusan untuk bunuh diri dapat muncul tiba-tiba tanpa banyak dipikirkan
terlebih dahulu dan merupakan puncak dari kesulitan atau kebingungan
yang berkepanjangan.
Sikap seseorang untuk melakukan praktik bunuh diri juga tidak lepas
dari karakteristik kepribadian. Penelitian kepribadian bukan hanya satu-
satunya sub-bidang psikologi yang paling ambisius, tetapi juga yang paling
tua. Ada banyak karakteristik kepribadian menurut para ahli. Antara lain
salah satu teori yang dikatakan oleh seorang ahli psikologi Inggris yang
bernama Hans Eysenck yang menggunakan teori faktor-analitik yang
mengemukakan ada dua tipe kepribadian yang utama yaitu introversi dan
ekstraversi, dimana tipologi introversi dan ekstraversi adalah pendekatan
tipologis yang saat ini banyak digunakan (Atkinson, 1993, h. 265).
Pendekatan tipologi introversi dan ekstraversi mula-mula
dikembangkan oleh Carl Gustav Jung (1875-1961), yang dalam bukunya
yang berjudul Psychological Types mengatakan bahwa kepribadian manusia
7
dapat dibagi menjadi dua kecenderungan ekstrim berdasarkan reaksi
individu terhadap pengalamannya. Pada kutub ekstrim pertama adalah
kecenderungan introversi, yaitu menarik diri dan tenggelam dalam
pengalaman-pengalaman batinnya sendiri. Orang yang mempunyai
kecenderungan ini biasanya tertutup, tidak terlalu memperhatikan orang
lain, dan agak pendiam. Kutub ekstrim yang lain adalah ekstraversi yaitu
membuka diri dalam kontak dengan orang-orang, peristiwa-peristiwa, dan
benda-benda di sekitarnya (Irwanto, dkk, 1991, h. 232).
Pada tahun 1949 Donald Fiske mempelopori ide adanya konsep
mengenai lima trait utama dalam struktur kepribadian, hal ini lebih banyak
dari tiga tipe yang dikemukakan oleh Eysenck, yaitu Psychoticism,
intraversion-extraversion, dan emotional-stability. Hal ini karena para ahli
berpendapat bahwa lima faktor ini lebih tepat untuk menggambarkan
organisasi kepribadian seseorang. Konsep ini selanjutnya oleh teoritisi
kepribadian dinamakan “The Big Five” (factor). Menurut Costa dan
McCrae (dalam Widyorini, dkk, 2003, h. 7-8), selama dekade terakhir ini
berkembang suatu konsensus di antara para psikolog kepribadian bahwa
kepribadian mempunyai lima dimensi dasar, atau disebut The five-factor,
yaitu kelima faktor tersebut adalah : I-Extraversion (ekstraversi), lebih
banyak disebut demikian daripada extraversion-introversion. Ekstraversi
adalah dimensi kepribadian yang mengungkap kuantitas dan intensitas
interaksi interpersonal, tingkat aktivitas, dan kebutuhan akan stimuli yang
bila seseorang berada pada sisi yang ekstrim menunjukkan respon sosial
yang tinggi, banyak bicara, asertif, dominan, dan aktif. Bila pada sisi yang
lain, maka menunjukkan sifat yang sangat pemalu. II-Agreeableness
8
mengungkap kualitas interpersonal seseorang sehubungan dengan pikiran,
perasaan, persahabatan dan tindakan; III-Conscientiousness mengungkap
tingkat individu dalam mengorganisasi, mendisiplin diri, motivasi,
bertanggungjawab dan teliti; IV-Emotional Stability (neuroticism)
mengungkap kestabilan emosi, mengidentifikasi kecenderungan untuk
tertekan psikologis dan respon penyesuaian diri; dan V-Openness
mengungkap sejauhmana individu tersebut secara aktif mengeksplorasi,
memiliki rasa ingin tahu dan toleran terhadap sesuatu yang baru.
Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara sikap bunuh diri pada remaja ditinjau dari karakteristik
kepribadian Neurotism, Extraversion, Openness, Agreeableness, dan
Conscientiousness.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan atau
dengan sikap bunuh diri pada remaja yang ditinjau dari karakteristik
kepribadian neurotism, extraversion, openness, agreeableness, dan
conscientiousness.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberi sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi, khususnya
pada bidang Psikologi Klinis dan Psikologi Perkembangan dalam hal
hubungan antara karakteristik kepribadian neurotism, extraversion,
openness, agreeableness, dan conscientiousness terhadap sikap bunuh
diri pada remaja.
9
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi serta
acuan untuk mencegah atau mengurangi penyebab sikap bunuh diri pada
remaja yang dikelompokkan dalam karakteristik kepribadian neurotism,
extraversion, openness, agreeableness, dan conscientiousness.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Sikap Bunuh Diri Pada Remaja
1. Pengertian Sikap Bunuh Diri Pada Remaja
Dalam studi kepustakaan mengenai sikap diuraikan bahwa sikap
merupakan produk dari proses sosialisasi di mana seseorang bereaksi
sesuai dengan rangsang yang diterimanya (Mar’at, 1984, h. 9).
Selanjutnya sikap diartikan juga sebagai suatu konstruk untuk
memungkinkan terlihatnya suatu aktivitas.
Sikap menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap
kategori stimulus tertentu dan dalam penggunaan praktis, sikap
seringkali dihadapkan dengan rangsang sosial dan reaksi yang bersifat
emosional. Menurut Newcomb (Mar’at, 1984, h. 11), sikap merupakan
suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan akhirnya
berintegrasi ke dalam pola yang lebih luas.
Menurut Thurstone dan Osgood (Azwar, 1988, h. 3), sikap adalah
suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap
objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) ataupun
perasaan tidak mendukung (unfavorable) objek tersebut (Berkowitz,
1972). Formulasi oleh Thurstone sendiri mengatakan bahwa sikap
adalah derajat afek positif atau afek negatif yang dikaitkan dengan suatu
objek psikologis (Azwar, 1988, h. 3).
Ahli yang lain, seperti Allport, mempunyai konsepsi tentang
sikap yang lebih kompleks. Menurut Allport (Azwar, 1988, h. 3), sikap
10
11
merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap sesuatu objek
dengan cara-cara tertentu. Agaknya tidak keliru bila menafsirkan
kesiapan dalam definisi ini sebagai suatu kecenderungan potensial untuk
bereaksi apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang
menghendaki adanya respon.
Menurut Azwar (1988, h. 5), sikap dikatakan sebagai respon.
Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu
stimulus yang menghendaki timbulnya reaksi individual. Respon
evaluatif berarti bahwa bentuk respon yang dinyatakan sebagai sikap itu
didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu, yang memberi
kesimpulan nilai terhadap stimulus dalam bentuk baik atau buruk –
positif atau negatif – menyenangkan atau tidak menyenangkan – suka
atau tidak suka, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi
terhadap objek sikap.
Sikap (attitude) secara umum diartikan oleh Gerungan
(Mappiare, 1982, h. 58), sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap
sesuatu hal. Lebih terperinci lagi, sikap dapat diartikan sebagai
kecenderungan yang relatif stabil yang dimiliki seseorang dalam
mereaksi (baik reaksi yang positif maupun negatif) terhadap dirinya
sendiri, orang lain, benda situasi/kondisi sekitarnya. Pengertian terakhir
ini jelas membedakan antara sikap dengan perasaan/emosi.
Perasaan/emosi meliputi rasa senang-tidak senang, rasa benci-rasa
sayang, rasa suka-tidak suka, dan sebagainya yang relatif cepat berubah.
Berdasarkan bermacam-macam pendapat tersebut, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa sikap itu merupakan produk dari proses
12
sosialisasi di mana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsang yang
diterimanya sebagai suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi
dan akhirnya berintegrasi ke dalam pola yang lebih luas sehingga
menjadi semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap sesuatu objek
dengan cara-cara tertentu. Lebih terperinci lagi, sikap dapat diartikan
sebagai kecenderungan yang relatif stabil yang dimiliki seseorang dalam
mereaksi (baik reaksi yang positif maupun negatif) terhadap dirinya
sendiri, orang lain, benda situasi/kondisi sekitarnya.
Kamus Umum Bahasa Indonesia (1983, h. 169) mengartikan
bahwa bunuh diri adalah sengaja mematikan diri sendiri. Menurut Keliat
(1995, h. 1), bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri
sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan
kedaruratan psikiatri karena klien berada dalam keadaan stres yang
tinggi dan menggunakan coping yang maladaptif. Selain itu, bunuh diri
merupakan tindakan merusak integritas diri atau mengakhiri kehidupan.
Keliat (1995, h. 4) juga berpendapat bahwa bunuh diri adalah
tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk mengakhiri
kehidupan. Keadaan ini didahului oleh respon maladaptif seperti tidak
berdaya, putus asa, apatis atau acuh tak acuh terhadap lingkungan
sendiri, gagal dan kehilangan, ragu-ragu, sedih, depresi, dan kemudian
bunuh diri. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari
individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Menurut Susetyo (2004, hal. 4), bunuh diri ternyata tidak selalu
termotivasi oleh beban penderitaan dan ketidakbermaknaan hidup.
Bunuh diri terkadang merupakan ekspresi dari mengisi hidup menjadi
13
lebih bermakna. Susetyo (2004, h. 2), lebih menjelaskan lagi bahwa
bunuh diri dapatlah dikatakan sebagai ekspresi dari makna hidup yang
terdevaluasi sampai pada titik terendah, yaitu ketika manusia tidak lagi
memiliki pegangan untuk melanjutkan hidup.
Menurut Yayasan Harapan Permata Hati Kita (2003, h. 1), bunuh
diri adalah masalah yang kompleks dimana tidak ada satu sebab, satu
alasan. Hal tersebut dihasilkan dari interaksi yang kompleks secara
biologi, genetik, psikologi, sosial, budaya dan faktor lingkungan. Sangat
sulit untuk menerangkan mengapa beberapa orang memutuskan untuk
bunuh diri padahal orang lain yang dalam situasi mirip atau mungkin
lebih parah tidak berusaha bunuh diri.
Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa bunuh diri adalah tindakan yang sengaja untuk
mematikan diri sendiri. Bunuh diri adalah tindakan agresif yang
merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri adalah
tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari
individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Bunuh diri adalah masalah yang kompleks dimana tidak ada satu
sebab, satu alasan. Hal tersebut dihasilkan dari interaksi yang kompleks
secara biologi, genetik, psikologi, sosial, budaya dan faktor lingkungan.
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere
(kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti
“tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Bangsa primitif – demikian
pula orang-orang zaman purbakala – memandang masa puber dan masa
14
remaja tidak berbeda dengan periode-periode lain dalam rentang
kehidupan; anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu
mengadakan reproduksi (Hurlock, 1999, h. 206).
Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini,
mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental,
emosional, sosial, dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh Piaget
(Hurlock, 1999, h. 206) dengan mengatakan secara psikologis, masa
remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat
dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-
orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama,
sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat
(dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan
dengan masa puber, termasuk juga perubahan intelektual yang
mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja
ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial
orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari
periode perkembangan ini.
Lazimnya masa remaja dianggap mulai pada saat anak secara
seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang
secara hukum. Penelitian tentang perubahan perilaku, sikap dan nilai-
nilai sepanjang masa remaja tidak hanya menunjukkan bahwa setiap
perubahan terjadi lebih cepat pada awal masa remaja dari pada tahap
akhir masa remaja, tetapi juga menunjukkan bahwa perilaku, sikap dan
nilai-nilai pada awal masa remaja berbeda dengan pada akhir masa
15
remaja. Dengan demikian secara umum masa remaja dibagi menjadi dua
bagian, yaitu awal masa dan akhir masa remaja (Hurlock, 1999, h. 206).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa remaja adalah usia di mana individu tumbuh menjadi dewasa,
berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi
merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada
dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Berdasarkan keseluruhan dari uraian di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa sikap bunuh diri pada remaja adalah suatu proses
reaksi yang dilakukan remaja untuk melakukan tindakan agresif guna
merusak diri sendiri dan sengaja untuk mematikan diri sendiri.
2. Komponen Sikap
Menurut Mar’at (1984, h. 13), sikap memiliki tiga komponen
penting, yaitu :
a. Komponen kognisi, komponen yang berhubungan dengan
keyakinan, ide dan konsep.
b. Komponen afeksi, komponen yang menyangkut kehidupan
emosional seseorang.
c. Komponen konasi, komponen yang merupakan kecenderungan
bertingkah laku.
Walgito (2004, h. 111), menyatakan bahwa sikap mengandung
tiga komponen, yaitu :
a. Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang
berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal
16
yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap
obyek sikap.
b. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang
berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap obyek
sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedang rasa tidak
senang merupakan hal yang negatif.
c. Komponen konatif (komponen perilaku), yaitu komponen yang
berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap obyek
sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu
menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau
berperilaku seseorang terhadap obyek sikap.
Sears (1994, h. 138) menyebutkan, bahwa komponen sikap terdiri
dari kognitif, afektif, dan perilaku.
a. Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki
seseorang mengenai obyek sikap tertentu, fakta, pengetahuan, dan
keyakinan tentang obyek.
b. Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang
terhadap obyek, terutama penilaian.
c. Komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi
atau kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek.
Menurut Travers, Gagne, dan Cronbach (dalam Ahmadi, 1999, h.
164-165), sikap melibatkan tiga komponen yang saling berhubungan,
yaitu :
17
a. Komponen kognitif, yaitu berupa pengetahuan, kepercayaan atau
pikiran yang didasarkan pada informasi, yang berhubungan dengan
obyek.
b. Komponen afektif, yaitu menunjuk pada dimensi emosional dari
sikap, yang berhubungan dengan obyek. Obyek disini dirasakan
sebagai menyenangkan atau tidak menyenangkan.
c. Komponen behavior atau konatif, yaitu melibatkan salah satu
predisposisi untuk bertindak terhadap obyek. Komponen ini
berhubungan dengan kecenderungan untuk bertindak.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
komponen-komponen dalam sikap meliputi tiga hal, yaitu : komponen
kognisi, komponen yang berhubungan dengan keyakinan, ide dan
konsep; komponen afeksi, komponen yang menyangkut kehidupan
emosional seseorang; komponen konasi, komponen yang merupakan
kecenderungan bertingkah laku.
3. Faktor-faktor Sikap
Walgito (2004, h. 115), mengelompokkan faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan sikap menjadi dua faktor, yaitu :
a. Faktor internal, meliputi faktor fisiologis (kesehatan, jenis kelamin)
dan faktor psikologis.
b. Faktor eksternal, berwujud situasi yang dihadapi individu,
pengalaman, norma-norma yang ada dalam masyarakat, hambatan-
hambatan atau pendorong dalam masyarakat.
Azwar (1988, h. 30-31) menjabarkan berbagai faktor yang
mempengaruhi pembentukan sikap, yaitu :
18
a. Pengalaman pribadi
Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi
tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan
akan pengalaman akan lebih mendalam dan akan lebih membekas.
b. Pengaruh orang lain
Keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari
konflik dengan orang lain.
c. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan di mana kita tinggal, yang dapat berupa norma-norma
dan adat istiadat turut mempengaruhi pembentukan sikap, baik sadar
maupun tidak sadar.
d. Media massa
Peran media massa sangat besar pengaruhnya bagi pembentukan
sikap, karena mengandung pesan-pesan yang berisi sugesti yang
dapat mengarahkan seseorang.
e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Keduanya sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam
pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pada
pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
f. Pengaruh emosional
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang, kadang suatu bentuk sikap
merupakan pernyataan yang disadari oleh emosi yang berfungsi
sebagai penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme
pemahaman ego. Sikap demikian merupakan sikap yang sementara
19
dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang, akan tetapi dapat pula
merupakan sikap yang lebih konsisten dan bertahan lama.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain :
a. Faktor internal, meliputi faktor fisiologis dan faktor psikologis.
Faktor fisiologis dipengaruhi oleh kesehatan dan jenis kelamin,
sedangkan faktor psikologis dipengaruhi oleh pengalaman pribadi
dan pengaruh emosional.
b. Faktor eksternal, berwujud situasi, pengalaman, norma-norma,
hambatan atau pendorong dalam masyarakat yang meliputi pengaruh
orang lain, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan
dan lembaga agama.
4. Ciri-ciri Sikap
Sikap merupakan faktor yang ada dalam diri manusia yang dapat
mendorong atau menimbulkan perilaku tertentu. Sikap juga mempunyai
segi-segi perbedaan dengan pendorong-pendorong lain yang ada dalam
diri manusia itu. Untuk membedakan sikap dengan pendorong-
pendorong yang lain, ada beberapa ciri atau sifat dari sikap tersebut.
Adapun ciri-ciri sikap menurut Walgito (2004, h. 113), adalah :
a. Sikap itu tidak dibawa sejak lahir
Ini berarti bahwa manusia pada waktu dilahirkan belum membawa
sikap-sikap tertentu terhadap sesuatu objek, karena sikap tidak
dibawa sejak individu dilahirkan, ini berarti bahwa sikap itu
terbentuk dalam perkembangan individu yang bersangkutan. Sikap
itu terbentuk atau dibentuk, maka sikap itu dapat dipelajari, dan
20
karenanya sikap itu dapat berubah. Sikap itu mempunyai
kecenderungan adanya sifat yang agak tetap. Sikap tidak dibawa
sejak lahir, maka sikap sebagai daya dorong akan berbeda dengan
motif biologis yang juga sebagai daya dorong, karena yang akhir ini
telah ada sejak individu dilahirkan sekalipun motif tersebut dalam
manifestasinya mengalami perubahan-perubahan.
b. Sikap itu selalu berhubungan dengan objek sikap
Oleh karena itu sikap selalu terbentuk atau dipelajari dalam
hubungannya dengan objek-objek tertentu, yaitu melalui proses
persepsi terhadap objek tersebut. Hubungan yang positif atau negatif
antara individu dengan objek tertentu, akan menimbulkan sikap
tertentu pula dari individu terhadap objek tersebut.
c. Sikap dapat tertuju pada satu objek saja, tetapi juga dapat tertuju
pada sekumpulan objek-objek
Bila seseorang mempunyai sikap yang negatif pada seseorang, orang
tersebut akan mempunyai kecenderungan untuk menunjukkan sikap
yang negatif pula kepada kelompok di mana seseorang tersebut
tergabung di dalamnya. Terlihat di sini adanya kecenderungan untuk
menggeneralisasikan objek sikap.
d. Sikap itu dapat berlangsung lama atau sebentar
Kalau sesuatu sikap telah terbentuk dan telah merupakan nilai dalam
kehidupan seseorang, secara relatif sikap itu akan lama bertahan
pada diri orang yang bersangkutan. Sikap tersebut akan sulit
berubah, dan kalaupun dapat berubah akan memakan waktu yang
relatif lama. Sebaliknya bila sikap itu belum begitu mendalam ada
21
dalam diri seseorang, maka sikap tersebut secara relatif tidak
bertahan lama, dan sikap tersebut akan mudah berubah.
e. Sikap itu mengandung faktor perasaan dan emosi
Ini berarti bahwa sikap terhadap sesuatu objek tertentu akan selalu
diikuti oleh perasaan tertentu yang dapat bersifat positif (yang
menyenangkan), tetapi juga dapat bersifat negatif (yang tidak
menyenangkan) terhadap objek tersebut. Sikap juga mengandung
motivasi, ini berarti bahwa sikap itu mempunyai daya dorong bagi
individu untuk berperilaku secara tertentu terhadap objek yang
dihadapinya.
5. Macam-macam Bunuh Diri
Durkheim (dalam Pancasiwi, 2004, h. 3), berpendapat bahwa
pada titik ekstrim, perubahan sosial (atau tanpa ada perubahan sama
sekali) akan membawa efek bagi perubahan perilaku individu.
Perubahan sosial yang sangat cepat akan bisa membawa efek yang
kurang baik bagi individu tertentu. Mereka akan berada dalam situasi
anomic karena perubahan ini tidak serta merta dibarengi dengan norma-
norma yang mengatur masyarakat. Akibatnya, masyarakat cenderung
menjadi chaotic karena ketiadaan norma-norma (normlessness) baru
yang bisa mengatur masyarakat yang berubah cepat. Keadaan seperti ini
bisa menggiring individu menjadi stres, depresif dan pada gilirannya
dorongan untuk bunuh diri muncul. Bunuh diri seperti ini disebut
anomic suicide.
Pada titik ekstrim sebaliknya, jika masyarakat mengalami
stagnasi yang nyaris sempurna, artinya hampir tidak ada perubahan
22
sama sekali dalam masyarakat, maka individu akan mengalami efek
kurang lebih sama, yaitu stres, depresi, dan lain-lain. Keadaan seperti ini
dianggap fatalistic dan juga bisa mendorong orang untuk melakukan
bunuh diri. Jenis bunuh diri ini disebut fatalistic suicide.
Durkheim (dalam Pancasiwi, 2004, h. 4), juga berpendapat
bahwa solidaritas sosial pada titik-titik ekstrim memiliki pengaruh yang
cukup signifikan terhadap angka bunuh diri. Ketika seseorang merasa
tidak memiliki (atau sangat lemah) ikatan dengan komunitasnya, dia
akan merasa terisolasi dan terasing yang pada gilirannya bisa
menyebabkan stres dan depresif. Tidak mustahil orang semacam ini
akan terdorong melakukan bunuh diri yang oleh Durkheim disebut
egoistic suicide.
Pada titik ekstrim lain, jika seseorang terlalu kuat terintegrasi ke
dalam kelompoknya, maka orang seperti itu tidak akan segan-segan rela
mengorbankan dirinya demi kebaikan kelompoknya tersebut. Tindakan
bunuh diri semacam ini disebut sebagai altruistic suicide.
Berbagai penelitian menggambarkan (Hadriami, 2004, h. 3),
bahwa pelaku bunuh diri mengalami depresi menjelang mereka
melaksanakan keputusannya. Depresi tidak dapat dikatakan sebagai
penyebab bunuh diri karena meskipun sangat berkaitan namun banyak
orang depresi tetapi tidak melakukan bunuh diri. Orang depresi pada
umumnya memiliki ide bunuh diri (suicidal ideation) dan ini berbeda
dengan tindakan percobaan bunuh diri (suicidal attempt). Pada orang
depresi berat, mereka akan mengalami kemalasan motorik dan
merosotnya energi sehingga mereka tidak akan mampu melakukan
23
percobaan maupun tindakan bunuh diri. Pada umumnya setelah muncul
kembali semangatnya, pada saat secara fisik mereka pulih kembali,
maka sering diambil keputusan untuk bunuh diri.
6. Faktor-Faktor Penyebab Bunuh Diri
Menurut Hadriami (2004, h. 4), banyak teori psikologi tentang
bunuh diri, namun ada dua pendekatan besar yaitu :
a. Pendekatan demografis sosiologis yang berusaha mengevaluasi
sebab-sebab bunuh diri dari tataran tingkat sosial dengan spekulasi
bagaimana karakteristik sosial menentukan makna bunuh diri.
b. Pendekatan fenomenologis yang berusaha melihat karakter makna
bunuh diri dalam konteks kehidupan pribadi individu.
1) Dalam pendekatan ini, teori psikoanalisis menekankan peran
ketidaksadaran dan memandang bunuh diri sebagai pemindahan
agresi atau agresi yang tertuju ke diri sendiri.
2) Teori psikodinamika menganggap depresi sebagai introyeksi
kemarahan karena hilangnya objek cinta.
Jadi kemungkinan bunuh diri merupakan kemarahan yang
ditujukan ke diri sendiri setelah kehilangan dan keinginan balas dendam
yang ditujukan ke diri sendiri; dalam faktor kepribadian neurotisme
biasa disebut dengan angry hostility (rasa permusuhan), yaitu
menunjukkan suatu kecenderungan untuk marah dan berhubungan rasa
frustasi dan kebencian.
Beberapa penelitian mengenai pelaku bunuh diri menunjang apa
yang dikemukakan teori ini yaitu mereka memiliki latar belakang
kehilangan orang yang dicintai dimasa kanak-kanak (orang tua),
24
diabaikan, situasi keluarga yang kacau yang menyebabkan adanya
gangguan kejiwaan dan miskinnya ketrampilan coping.
Dalam teori cognitive behavioral (Handriami, 2004, h. 5)
dijelaskan bahwa keputusasaan memiliki peran penting diambilnya
keputusan bunuh diri. Orang yang mempunyai pandangan selalu pesimis
terhadap masa depan, pesimis dalam menyelesaikan masalah akan
cenderung membesarkan masalah, pola berpikirnya kaku, dan melihat
bunuh diri sebagai satu-satunya jalan keluar.
Faktor lain yang juga bisa mendorong orang melakukan bunuh
diri yaitu tidak adanya dukungan sosial dan peran yang bermakna di
lingkungannya. Kalau seseorang memiliki masalah berat dan dia merasa
sendirian, tidak ada yang menghiraukan dan dia takut meraih perhatian
orang lain karena merasa kecil dan tidak berharga, maka jalan ke arah
bunuh diri akan dekat. Adanya relasi dalam keluarga atau perkawinan
yang berkualitas baik akan sangat membantu menghindarkan tindakan
bunuh diri (Hadriami, 2004, h. 5).
Menurut Keliat (1995, h. 5), faktor penyebab seseorang
melakukan bunuh diri, yaitu :
a. Kegagalan untuk adaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.
b. Perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal atau gagal melakukan hubungan yang berarti.
c. Perasaan marah atau bermusuhan. Bunuh diri dapat merupakan
hukuman pada diri sendiri.
d. Cara untuk mengakhiri keputusasan, dan
e. Tangisan minta tolong.
25
Menurut teori Barat (Bali Post, 2003), banyak faktor yang
mempengaruhi tindakan bunuh diri. Faktor sosiologis dibagi menjadi
tiga kelompok bunuh diri, yaitu :
a. Egoistic
Dimana mereka tidak mempunyai ikatan yang kuat dengan
kelompok sosialnya.
b. Altruistic
Dimana bunuh diri menjadi bagian dari integrasi untuk berkembang.
c. Anomic
Dimana integrasi ke dalam masyarakat terganggu sehingga terjadi
penyimpangan dari perilaku normal.
Faktor psikologis memandang adanya fantasi dimana termasuk di
dalamnya harapan untuk melakukan balas dendam, kekuatan, kontrol
atau hukuman, bersatu dengan mereka yang telah meninggal, atau
memperoleh kehidupan yang baru. Fantasi ini pada umumnya terjadi
karena kehilangan akan objek cinta atau suatu bentuk narsistik. Sudut
fisiologis memandang adanya faktor genetik dan gangguan
keseimbangan pada sistem neurotransmitter, defisiensi serotonin (Bali
Post, 2003).
Adanya faktor genetik ikut berperan dalam perilaku bunuh diri
dibuktikan dengan penelitian anak kembar satu telur (monozigotik) dan
dua telur (dizigotik). Selain itu diketahui pula bahwa risiko untuk bunuh
diri pada remaja juga tinggi pada gangguan mental. Penelitian
neurotransmister memperlihatkan adanya tumpang tindih antara orang
agresif dan impulsif dengan bunuh diri. Kadang serotonin dan
26
metabolitnya (5 HIAA) yang rendah ditemukan dalam otak orang yang
meninggal karena bunuh diri. Kadar serotonin yang rendah di dalam
cairan serebrospinal juga dijumpai pada penderita depresi yang
melakukan percobaan bunuh diri dengan cara kekerasan (Pikiran
Rakyat, 2005).
Menurut Yayasan Harapan Permata Hati Kita (2003), faktor
bunuh diri banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain :
a. Tekanan hidup
1) Masalah interpersonal atau masalah pribadi seperti bertengkar
dengan pasangan, keluarga, atau teman.
2) Ditolak teman atau keluarga.
3) Kejadian merugikan seperti: perusahaan bangkrut atau rugi
secara finansial.
4) Masalah keuangan, kehilangan pekerjaan, pensiun, kesulitan
finansial.
5) Perubahan yang terjadi di masyarakat seperti: perubahan drastis
dalam politik atau ekonomi.
b. Tekanan lainnya yang disebabkan oleh rasa malu atau ancaman
akibat berbuat salah.
Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor penyebab bunuh
diri dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
a. Faktor internal, meliputi faktor fisiologis dan faktor psikologis.
Faktor fisiologis dipengaruhi oleh genetik, kesehatan dan jenis
kelamin, sedangkan faktor psikologis dipengaruhi oleh kepribadian
dan pengaruh emosional.
27
b. Faktor eksternal, meliputi pengaruh lingkungan, dukungan sosial,
pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan
lembaga agama.
7. Karakteristik Bunuh Diri
Menurut Yayasan Harapan Permata Hati Kita (2003),
karakteristik pemikiran dari orang yang yang ingin bunuh diri adalah
a. Ambivalensi
Kebanyakan orang yang ingin bunuh diri memiliki perasaan yang
campur aduk tentang bunuh diri itu sendiri. Keinginan untuk hidup
dan mati beradu dalam orang tersebut, ada keinginan untuk lari dari
rasa sakit dan ada juga hasrat untuk hidup. Kebanyakan dari mereka
tidak ingin mati, mereka hanya tidak senang dengan hidup mereka.
b. Impulsivitas
Bunuh diri adalah merupakan tindakan impulsif, dan sama seperti
tindakan impulsif lainnya, dorongan ini bisa bertahan lama atau
hanya beberapa menit atau beberapa jam saja. Biasanya dipicu oleh
kejadian-kejadian negatif. Menolak krisis-krisis tersebut dengan
lebih banyak bermain dengan waktu, keinginan untuk bunuh diri
dapat di kurangi atau dicegah.
c. Rigiditas
Apabila orang ingin bunuh diri, pemikiran, perasaan dan tindakan
mereka terbatasi. Mereka berpikir untuk bunuh diri secara konstan
dan tidak mampu menerima jalan keluar dari masalah. Cara berpikir
mereka sangat ekstrim.
28
8. Ciri-ciri Bunuh diri
Anak dan remaja yang mempunyai risiko bunuh diri (Pikiran
Rakyat, 2005), umumnya mempunyai profil atau ciri-ciri, di antaranya :
a. Dikenal lingkungannya sebagai anak "baik".
b. Memiliki tuntutan kemampuan yang tinggi.
c. Punya minat dan keinginan tinggi.
d. Memiliki karakter perfeksionis atau selalu harus sempurna.
e. Kesulitan untuk dapat menerima kekurangan diri.
f. Prestasi akademik mulai kurang sampai di atas rata-rata.
9. Aspek-aspek Bunuh Diri
Menurut Gardner (2004, h. 76), seseorang yang berencana atau
berniat melakukan bunuh diri memiliki aspek-aspek sebagai berikut :
a. Mengucapkan komentar semacam “Aku ingin mati saja” atau “Saya
ingin lenyap untuk selamanya”.
b. Minat atau ketertarikan yang tiba-tiba dan menggebu-gebu terhadap
senjata api, pisau, pil tidur, dan sarana-sarana pembunuh lainnya,
maupun suatu obsesi mengenai orang yang telah mati akibat bunuh
diri.
c. Menyerahkan kepada orang lain benda-benda istimewa miliknya
tanpa sebab yang jelas, dan mengatakan bahwa hidupnya akan
berakhir segera.
d. Kesedihannya amat mendalam dan tangisannya penuh duka dan
kepedihan.
e. Selalu mengucilkan diri sendiri, padahal sebelumnya dia lebih suka
bersama-sama dengan orang-orang di sekitarnya.
29
f. Minat dan perhatiannya selalu terfokus pada musik dan lagu-lagu
depresif (yang liriknya memuja kematian atau bunuh diri), juga
buku-buku serta ilustrasi yang menonjolkan cerita kematian atau
bunuh diri.
g. Sekurang-kurangnya dalam dua minggu terakhir telah
memperlihatkan lima atau lebih gejala-gejala berikut :
1) perasaannya tertekan,
2) tidak menaruh minat terhadap apapun,
3) berat badannya turun drastis,
4) tidur terus-menerus atau tidak tidur terus-menerus,
5) gerak-geriknya amat lamban atau sebaliknya serba cepat dan
tergesa-gesa,
6) selalu keletihan,
7) bersikap menyerah atau merasa sangat bersalah,
8) dan tidak mampu mengkonsentrasikan pikirannya.
Kesimpulan dari aspek-aspek bunuh diri diatas yaitu : putus asa
yang menimbulkan pemikiran bunuh diri, merasa bersalah yang
menciptakan keinginan bunuh diri dan tidak berdaya atau tidak
mempunyai minat terhadap apapun sehingga memicu keinginan bunuh
diri.
10. Rentang Usia Masa Remaja
Beberapa pendapat tentang rentangan usia dalam masa remaja di
kemukakan oleh dua golongan di bawah ini (Mappiare, 1982, h. 23),
antara lain :
30
a. Pendapat golongan pertama
Bigot, Kohnstam dan Palland, ahli-ahli psikologi
berkebangsaan Belanda mengemukakan pembagian masa kehidupan
(dalam Simanjutak, 1979, h. 65) sebagai berikut :
1) Masa bayi dan kanak 0 ; 0 – 7 ; 0 :
Masa bayi : 0 ; 0 – 1 ; 0
Masa kanak : - masa vital : 1 ; 0 – 2 ; 0
- masa estitis : 2 ; 0 – 7 ; 0
2) Masa sekolah/intelektuil : 7 ; 0 – 13 ; 0
3) Masa sosial : 13 ; 0 – 21 ; 0
a) masa pueral : 13 ; 0 – 14 ; 0
b) masa prae pubertas : 14 ; 0 – 15 ; 0
c) masa pubertas : 15 ; 0 – 18 ; 0
d) masa adolescence : 18 ; 0 – 21 ; 0
Dalam kutipan di atas, jelas pula nampak bahwa masa
pubertas berada dalam usia antara 15;0 – 18;0 tahun, dan masa
adolescence (masa remaja) dalam usia antara 18;0 – 21;0 tahun;
tetapi, terdapat petunjuk bahwa usia antara 15;0 – 21;0 tahun disebut
pula sebagai masa pubertas. Dalam hal ini, nampak Bigot, dkk.
sesekali menyamakan arti antara pubertas dan adolescence. Hal ini
berarti pula bahwa usia remaja menurutnya adalah 15;0 – 21;0
tahun.
Jersild, dkk. (dalam Mappiare, 1982, h. 23), dalam salah satu
buku mereka, tidak memberikan batasan pasti rentangan usia masa
remaja. Mereka membicarakan remaja (adolescence) dalam
31
rentangan usia sebelas tahun sampai usia duapuluhan-awal. Ditulis
antara lain bahwa masa remaja melingkupi periode atau masa
bertumbuhnya seseorang dalam masa transisi dari masa kanak-kanak
ke masa dewasa. Secara kasarnya, masa remaja dapat ditinjau sejak
mulainya seseorang menunjukkan tanda-tanda pubertas dan
berlanjut hingga dicapainya kematangan seksual, telah dicapai tinggi
badan secara maksimum, dan pertumbuhan mentalnya secara penuh
yang dapat diramalkan melalu pengukuran tes-tes inteligensi.
Dengan pembatas semacam itu, para ahli ini lebih lanjut ada
menyebut masa preadolescence, early adolescence, middle and late
adolescence.
Hurlock (1968, h. 12), menulis bahwa jika dibagi berdasarkan
bentuk-bentuk perkembangan dan pola-pola perilaku yang nampak
khas bagi usia-usia tertentu, maka rentangan kehidupan terdiri atas
sebelas masa, yaitu :
a. Prenatal
Saat konsepsi sampai lahir.
b. Masa neonatus
Lahir sampai akhir minggu kedua setelah lahir.
c. Masa bayi
Akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
d. Masa kanak-kanak awal
Dua tahun sampai enam tahun.
e. Masa kanak-kanak akhir
Enam tahun sampai sepuluh atau sebelas tahun.
32
f. Pubertas/preadolescence
Sepuluh atau 12 tahun sampai 13/14 tahun.
g. Masa remaja awal
13/14 tahun sampai 17 tahun.
h. Masa remaja akhir
17 tahun sampai 21 tahun.
i. Masa dewasa awal
21 tahun sampai 40 tahun.
j. Masa setengah baya
40 sampai 60 tahun
k. Masa tua
60 tahun sampai meninggal dunia
Dalam pembagian rentangan usia menurut Hurlock di atas,
terlihat jelas rentangan usia remaja antara 13 – 21 tahun; yang dibagi
pula dalam masa remaja awal usia 13 – 14 tahun sampai 17 tahun,
dan remaja akhir 17 sampai 21 tahun.
b. Pendapat golongan kedua
Golongan kedua dalam hal ini adalah ahli-ahli Indonesia,
yang telah berusaha memberikan batasan rentangan usia masa
remaja. Beberapa ahli di Indonesia dalam menentukan rentangan
usia remaja, langsung maupun tidak, banyak dipengaruhi oleh
pendapat Hurlock di atas. Prayitno (dalam Mappiare, 1982, h. 25),
membahas masalah kenakalan remaja dari segi agama Islam
menyebutkan rentangan usia 13 – 21 tahun sebagai masa remaja.
Gunarsa dan Gunarsa (1981, h. 15-16), walaupun menyatakan
33
bahwa ada beberapa kesulitan menentukan batasan usia masa remaja
di Indonesia, akhirnya mereka pun menetapkan bahwa usia antara 12
– 22 tahun sebagai masa remaja. Susilowindradini (1981, h. 1),
untuk menghindari salah paham, berpatokan pada literatur Amerika
dalam menentukan masa pubertas (11/12 – 15/16 tahun).
Selanjutnya beliau menguraikan tentang masa remaja awal atau
Early Adolescence (13 – 17 tahun) dan remaja akhir atau Late
Adolescence (17 – 21 tahun).
Surachmad (1977, h. 41-44), setelah meninjau banyak
literatur luar negeri, menulis usia 12 – 22 tahun adalah masa yang
mencakup sebagian terbesar perkembangan Adolescence, sedangkan
Kwee Soen Liang (1980, h. 11), membagi masa pubertiet sebagai
berikut :
a. Prae Puberteit, laki-laki : 13 – 14 tahun (fase negatif)
wanita : 12 – 13 tahun (Sturm und drang)
b. Puberteit, laki-laki : 14 –18 tahun (Merindu)
Wanita : 13 – 18 tahun (Puja)
c. Adolescence, laki-laki : 19 – 23 tahun
Wanita : 18 – 21 tahun
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa rentangan usia remaja berada dalam usia 12
tahun sampai 21 tahun bagi wanita, dan 13 tahun sampai 22 tahun
bagi pria. Jika dibagi atas remaja awal dan remaja akhir, maka
remaja awal berada dalam usia 12/13 tahun sampai 17/18 tahun, dan
remaja akhir dalam rentangan usia 17/18 tahun sampai 21/22 tahun.
34
Periode sebelum masa remaja ini disebut sebagai ambang pintu masa
remaja atau sering disebut sebagai Periode Pubertas; pubertas jelas
berbeda dengan masa remaja, meskipun bertumpang-tindih dengan
masa remaja awal.
B. Karakteristik Kepribadian Neurotism, Extraversion, Openness,
Agreeableness, dan Conscientiousness
1. Pengertian Kepribadian
Secara umum psikologi memandang kepribadian sebagai suatu
pola yang unik dalam karakteristik psikologis dan perilaku yang dapat
dilakukan oleh setiap orang. Hall dan Lindzey (dalam Widyorini, dkk.,
2003, h. 4), berpendapat bahwa kepribadian adalah sesuatu yang
memberikan tata tertib dan keharmonisan terhadap segala macam
tingkah laku yang berbeda-beda tiap individu.
Pengertian kepribadian menurut McMartin (dalam Widyorini,
dkk., 2003, h. 4), lebih merujuk pada karakteristik psikologis individu
yang meliputi emosi, mental dan spiritual yang pada seseorang yang
secara konsisten berbeda pada tiap individu. Menurutnya kepribadian
merupakan sistem pengembangan emosi, kognitif dan spiritual.
Menurut Breinstein (dalam Widyorini, dkk., 2003, h. 5),
sejumlah teoritisi memberi tekanan pada fungsi kepribadian dalam
berhubungan dengan penyesuaian diri individu. Kepribadian mencakup
usaha-usaha penyesuaian diri yang bersifat individu, maka biasanya
penelitian mengenai kepribadian seringkali berfokus pada konsistensi
pola-pola kognisi, emosi, dan perilaku yang membuat seseorang berbeda
satu dengan yang lain.
35
Uraian di atas dapat dikatakan bahwa kepribadian adalah suatu
sistem karakteristik psikologis, emosi, kognitif, dan spiritual yang secara
konsisten berbeda pada setiap orang.
2. Faktor-faktor Kepribadian (The Five-factor Model )
The Big-Five atau The Five-factor Model (dalam Widyorini, dkk.,
2003, h. 6), merupakan suatu pendekatan disposisional, yang
memandang kepribadian sebagai suatu kombinasi karakteristik internal
yang stabil, yang memberi arti pada seseorang dan memotivasinya untuk
bertingkah laku dengan cara tertentu. The Big Five ini merupakan
pendekatan disposisional yang berfokuskan pada trait bukan merupakan
tipe kepribadian. Pada pendekatan dengan tipe kepribadian, maka
seseorang akan masuk kategori tipe tertentu, dan selanjutnya ia berada
pada tipe tersebut. Sebaliknya dengan trait, merupakan kualitas yang
kontinyu, individu memiliki trait pada kadar yang berbeda, seseorang
dapat memiliki banyak atau sedikit pada beberapa trait. Jadi pada
pendekatan ini tiap kepribadian dapat digambarkan sebagaimana kuat
variasi trait-trait tertentu.
Menurut McCrae dan Costa (dalam Widyorini, dkk., 2003, h. 9-
15), kelima faktor tersebut adalah :
a. Neurotism
Kecenderungan umum untuk mengalami emosi negatif,
seperti rasa takut, kesedihan, malu, rasa bersalah, dan rasa muak
sebagai inti dari faktor ini. Neurotism meliputi kerentanan terhadap
distress psikologis.
36
b. Extraversion
Kecenderungan untuk mempunyai kemampuan sosial tinggi
(sociable), tetapi sosiabilitas bukan hanya satu trait dalam domain
atau faktor ini, seperti kesukaan terhadap orang lain dan menyukai
kelompok besar dan pertemuan-pertemuan, tetapi extraversion
meliputi juga asertivitas, aktivitas, dan talkactive. Mereka menyukai
stimulasi dan hal-hal yang menakjubkan dan cenderung gembira,
energik, dan optimistis.
Sebaliknya Introversion dapat dipandang sebagai tidak
adanya trait ekstraver daripada sebaliknya (berlawanan). Jadi
Introversion sebagai suatu trait yang unfriendly, mandiri daripada
pengikut, emosinya datar. Introversion dapat dikatakan bahwa
mereka pemalu daripada diartikan bahwa mereka lebih suka
sendirian, tidak diliputi social anxiety, meskipun mereka bukan
orang yang tidak bahagia atau pesimistik. Jadi teori Extraversion
dalam NEO PI R tidak sama dengan konsep-konsep dalam teori
Jung.
c. Openness
Elemen-elemen dalam Openness adalah imaginasi aktif,
sensitivitas, estetika, perhatian pada inner feeling, menyukai variasi,
ingin tahu intelektual, dan kemandirian dalam berpikir. Individu
yang Opennessnya tinggi adalah orang yang rasa ingin tahu tentang
inner dan outer world tinggi, hidup mereka penuh percobaan atau
eksperimental. Mereka bersedia memasukkan ide-ide baru dan nilai-
nilai yang tidak konvensional. Mereka juga mengalami emosi positif.
37
Bila Openness rendah cenderung bertingkah laku
konvensional, mereka menyukai novel-novel pop, respon emosinya
datar; meskipun Openness dan Closedness dipengaruhi bentuk
defence psikologis yang digunakan, tidak ada bukti bahwa
Closedness itu merupakan reaksi defensi umum. Orang yang tertutup
mempunyai wawasan yang sempit, juga dalam hal intensitas minat.
Serupa, meskipun mereka cenderung lebih sosial dan konservatif.
Closedness bukan implikasi dari kekejaman, tidak toleran atau
agresif.
d. Agreeableness
Kecenderungan individu dalam melakukan interpersonal
dengan orang lain. Orang yang Agreeableness adalah mempunyai
dasar altruistik. Ia simpatik pada orang lain dan mudah menolong
orang lain dan percaya bahwa orang lain dapat menolong dirinya
pula, sedangkan orang yang disagreeableness adalah orang yang
antagonistik, egosentrik, skeptikal pada maksud baik orang lain,
lebih bersifat kompetitif daripada kooperatif.
Sisi Agreeableness pada faktor ini adalah lebih sosial dan
lebih sehat secara psikologis, oleh karena itu mereka lebih populer
dari pada individu yang antagonik. Sisi lain kesiapan seseorang
untuk berusaha melawan terhadap minat seringkali menguntungkan,
dan agreeableness tidak tepat untuk bertempur. Skeptikal dan
berpikir kritis mempunyai kontribusi untuk analisis yang akurat
dalam keilmuan.
38
e. Conscientiousness
Sebagian teori kepribadian, khususnya psikodinamika
mempunyai perhatian pada kontrol impuls. Individu dengan
Conscientiousness lebih bertujuan, berkemauan kuat dan teratur.
Seseorang tidak akan berhasil dalam suatu bidang kerja bila tidak
disertai trait ini.
The Big Five mendominasi pandangan pada penelitian psikologi
terbaru. Salah satu alasan mengapa faktor-faktor tersebut sangat penting,
karena mereka menggambarkan aspek-aspek kepribadian yang
konsisten, khususnya diantara orang dewasa. Faktor tersebut biasanya
diukur dengan menggunakan laporan kuesioner pribadi NEO Inventori
Kepribadian (NEO PI R) (Costa dan Mc Crae dalam Ewen, 1992).
Setiap orang dapat mencapai level manapun, mulai dari yang rendah ke
tingkat rata-rata sampai yang paling tinggi. Adapun ciri-ciri dari The Big
Five adalah sebagai berikut :
Tabel 1 Ciri-ciri Kepribadian The Big Five
Faktor Nilai Rendah pada Faktor
Nilai Tinggi pada Faktor
Extraversion Penyendiri, pemalu, pendiam
Suka bergaul, banyak bicara, penyayang
Neuroticism Tenang, aman, puas dengan diri sendiri
Cemas, gelisah, khawatir
Agreeableness Curiga, tidak kooperatif, kejam
Percaya, membantu, berhati lembut
Conscientiousness Malas, tidak dapat dipercaya, ceroboh
Pekerja keras, dapat dipercaya, terjadwal
Opennes Konvensional, rendah hati
Tidak patuh pada norma-norma, kreatif, imaginatif
39
3. Facet-facet dalam Kepribadian
Menurut McCrae dan Costa (dalam Widyorini, dkk., 2003, h. 9-
15), kelima faktor tersebut masing-masing di dalamnya memiliki facet-
facet, yaitu :
a. Neurotism
Facet Neurotism meliputi :
1) Anxiety (kecemasan), yaitu kekhawatiran, takut, gelisah, tegang,
dan gugup.
2) Angry Hostility (rasa permusuhan), menunjukkan suatu
kecenderungan untuk marah dan berhubungan rasa frustasi dan
kebencian.
3) Depression (depresi), yaitu kecenderungan untuk mengalami
perasaan depresi.
4) Self-Consciousness. Inti dari facet ini adalah bentuk emosi malu
dan perasaan tidak enak. Individu yang self-consciousness tinggi
adalah perasaan tidak enak berada di antara orang lain, peka
terhadap ejekan, dan mudah merasa rendah diri.
5) Impulsiveness, adalah ketidakmampuan untuk mengontrol
keinginan dan kepentingannya. Kesenangan (seperti; makan,
rokok, memilih barang) dirasakan sebagai sesuatu yang sangat
kuat yang tidak bisa diredakan, meskipun ia nanti kemudian
menyesali.
6) Vulnerability. Facet ini mengungkap tingkat kemudahan
seseorang mengalami stress, menggambarkan perasaan tidak
40
mampu melakukan coping terhadap stress, menjadi tergantung,
mudah putus asa, atau panik dalam situasi darurat.
b. Extraversion
Extraversion meliputi enam facet, yaitu :
1) Warmth. Hangat adalah sisi extraversion yang banyak
berhubungan dengan masalah keintiman interpersonal. Orang
yang hangat adalah ramah dan bersahabat. Mereka benar-benar
menyukai dan mudah akrab dengan orang lain.
2) Gregariousness. Inti facet ini adalah menunjukkan kesukaan
individu untuk bergabung dengan orang lain. Orang yang
gregariousnessnya rendah diartikan sebagai orang yang
menyukai kesendirian dan menyukai stimulasi sosial.
3) Assertiveness. Adanya dominasi, kekuatan yang tinggi, serta
adanya asertivitas. Mereka berbicara tanpa ragu-ragu dan sering
menjadi ketua kelompok.
4) Activity. Tingginya facet aktivitas dipandang sebagai orang yang
mempunyai gerakan cepat, gita, penuh semangat, dan menyukai
kesibukan. Aktivitas yang rendah menunjukkan mempunyai
tempo yang lebih santai dan relaks, meskipun mereka tidak
malas.
5) Excitement-Seeking. Skala ini menunjukkan bahwa individu
sangat menyukai dan membutuhkan stimulasi dan kegembiraan.
6) Positive Emotions. Kecenderungan untuk mencari emosi positif,
seperti kegembiraan, kebahagiaan, dan stimulasi. Tinggi pada
41
facet ini menandakan individu mudah dan sering tertawa,
gembira, serta optimistik.
c. Openness
Facet yang ada dalam faktor ini adalah :
1) Fantacy. Kesukaan untuk berfantasi, berkhayal, bukan sebagai
pelarian, tetapi sebagai cara bagi dirinya untuk memperhatikan
inner world. Mereka menjelaskan, menjabarkan, dan
mengembangkan fantasinya dan percaya bahwa imaginasi
memberikan kontribusi bagi kekayaan dan kreativitas kehidupan.
2) Aesthetics. Facet ini menunjukkan minat yang tinggi pada seni,
kesenian, dan keindahan. Mereka suka puisi, dan musik. Mereka
tidak perlu menjadi seorang artis.
3) Feelings. Keterbukaan pada perasaan yang dialami dan evaluasi
terhadap emosi sebagai bagian yang penting dalam kehidupan.
Bila facet ini rendah, menunjukkan individu tidak peduli pada
perasaan yang dialami dan tidak percaya bahwa perasaan-
perasaaan yang dialami mempunyai arti yang dalam dan berarti
penting.
4) Actions. Keterbukaan dipandang sebagai perilaku untk mencoba
aktivitas-aktivitas yang berbeda, pergi ke tempat-tempat baru,
atau mencoba makan makanan-makanan bar. Facet ini
menggambarkan individu menyukai hal-hal yang baru dan
bervariasi, mereka terikat dalam hobi yang berbeda.
5) Ideas. Keinginan tahu secara intelektual sebagai aspek Openness
yang terbuka pada pemikiran-pemikiran baru.
42
6) Values. Keterbukaan pada nilai-nilai berarti kesiapan untuk
menguji kembali nilai-nilai sosial, politik, dan religius.
Ketertutupan individu terhadap otoritas dan hal-hal tradisional.
Keterbukaan pada nilai berkebalikan dengan dogmatisme.
d. Agreeableness
Agreeableness meliputi enam facet, yaitu :
1) Trust. Facet ini berintikan kepercayaan. Skor yang tinggi di facet
ini menunjukkan individu memiliki disposisi untuk percaya
bahwa orang lain adalah jujur dan berniat baik pada dirinya. Bila
facet ini rendah berarti ada kecenderungan bersikap sinis dan
skeptis, dan mempunyai pikiran bahwa orang lain tidak jujur atau
berbahaya bagi dirinya.
2) Straighforwardness. Facet ini di dalamnya berintikan berterus
terang. Skor yang tinggi menunjukkan kecenderungan individu
untuk jujur, tulus hati, dan sederhana, serta berterus terang.
3) Altruism (sifat mementingkan orang lain). Menunjukkan
mempunyai perhatian yang besar pada orang lain, mempunyai
kesediaan untuk membantu orang yang butuh pertolongan,
sedangkan skor yang rendah menggambarkan adanya self
centered dan kurang perduli pada permasalahan yang dihadapi
orang lain.
4) Compliance (kerelaan untuk mengalah), facet ini meliputi reaksi
terhadap konflik interpersonal. Bila facet ini rendah berarti
adanya kecenderungan agresivitas, tidak bisa bekerjasama, tidak
enggan mengekspresikan kemarahan pada orang lain.
43
5) Modesty (sederhana atau rendah hati). Skala ini menggambarkan
rasa rendah hati dan cenderung melupakan diri sendiri, namun
bukan berarti kurang percaya diri.
6) Tender-Mindedness (ramah, baik hati). Mengukur sikap simpati
dan perhatian pada orang lain. Modesty yang tinggi
menggambarkan adanya kebutuhan akan adanya orang lain dan
tumbuhnya rasa kemanusiaan, sedang skor yang rendah
menunjukkan keras kepala dan tidak tergerak untuk bersikap
kasih sayang pada orang lain. Mereka melihat dirinya secara
realis, yaitu orang yang berpendapat rasional berdasarkan pada
logika yang dingin.
e. Conscientiousness
Facet-facet dalam faktor ini adalah :
1) Competence (mampu). Facet ini untuk mengungkap suatu
keyakinan pada dirinya, perasaan mampu, berpikir sehat,
bijaksana, dan efektif. Bila skor di sini tinggi berarti ia merasa
bahwa hidupnya baik.
2) Order. Bila facet ini tinggi menunjukkan adanya well-organized,
rapi, mereka meletakkan segala sesuatunya di tempatnya.
3) Dutifulness (kepatuhan). Skala ini menunjukkan ketaatan pada
prinsip-prinsip etika dan sangat hati-hati pada nilai-nilai moral.
4) Achievement Stricving. Facet ini mengungkapkan tingkat aspirasi
tinggi dan bekerja keras untuk mencapai tujuan mereka. Mereka
tekun dan bertujuan, dan punya keyakinan bahwa ia dapat
mengarahkan hidupnya.
44
5) Self Discipline. Kemampuan untuk memulai tugas dan
mengerjakan tanpa kejemuan dan gangguan lain. Facet ini
menunjukkan adanya kemampuan untuk memotivasi diri untuk
menyelesaikan tugas.
6) Deliberation (berhati-hati), adanya kecenderungan untuk berpikir
sungguh-sungguh sebelum bertindak.
C. Hubungan Karakteristik Kepribadian Neurotism, Extraversion,
Openness, Agreeableness, dan Conscientiousness Dengan Sikap
Bunuh Diri Pada Remaja
Pengertian kepribadian menurut McMartin (dalam Widyorini, dkk.,
2003, h. 4), lebih merujuk pada karakteristik psikologis individu yang
meliputi emosi, mental dan spiritual yang pada seseorang yang secara
konsisten berbeda pada tiap individu. Menurutnya kepribadian merupakan
sistem pengembangan emosi, kognitif dan spiritual.
Menurut McCrae dan Costa (dalam Widyorini, dkk., 2003, h. 9),
kepribadian manusia secara garis besar dapat digambarkan berdasarkan
model faktor lima kepribadian. Antara lain Neurotism, Extraversion,
Openness, Agreeableness, dan Conscientiousness.
Sikap bunuh diri pada remaja merupakan produk dari proses
sosialisasi di mana remaja bereaksi sesuai dengan rangsang yang
diterimanya sebagai suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan
akhirnya berintegrasi ke dalam pola yang lebih luas sehingga menjadi
semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap sesuatu objek dengan cara-cara
tertentu. Fenomena ini dapatlah dikatakan sebagai ekspresi dari makna
hidup yang terdevaluasi sampai pada titik terendah, yaitu ketika remaja
45
tidak lagi memiliki pegangan untuk melanjutkan hidup dan merupakan
masalah yang kompleks dimana tidak ada satu sebab, satu alasan. Hal
tersebut dihasilkan dari interaksi yang kompleks secara biologi, genetik,
psikologi, sosial, budaya dan faktor lingkungan.
Ketika seorang individu telah menginjak masa remaja, maka ia akan
dihadapkan pada dunia yang penuh dengan permasalahan yang sangat
kompleks sehingga remaja dituntut untuk dapat memecahkan masalahnya
dengan baik. Remaja yang dapat memecahkan masalahnya dengan baik,
maka ia akan tumbuh menjadi remaja yang matang dan memiliki
keterampilan coping yang baik pula untuk menghadapi masalah
selanjutnya.
Permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh remaja akan
berdampak munculnya rasa putus asa yang menimbulkan stres. Remaja
yang tidak mampu mengatasi stres dapat dikatakan rentan. Stres adalah
faktor utama penyebab seseorang mengalami depresi dan merupakan gejala
dari gangguan Neurotism. Dalam keadaan depresi, remaja akan cenderung
tidak berdaya dan tidak menaruh minat terhadap apapun. Contohnya adalah
tidak mau makan, tidur terus menerus atau tidak tidur terus menerus,
bahkan tidak menutup kemungkinan tidak menaruh minat untuk
meneruskan kelangsungan hidupnya.
Salah satu bentuk dari kerentanan seseorang adalah depresi. Keliat
(1995, h. 4) mengatakan bahwa banyak teori yang menjelaskan tentang
depresi, dan semua sepakat keadaan depresi merupakan indikasi terjadinya
bunuh diri.
46
Masa remaja adalah masa yang penuh dengan ketidakpastian dimana
remaja selalu dihadapkan pada suatu permasalahan yang belum pernah
dialami sebelumnya sehingga mengakibatkan remaja merasa tertekan.
Remaja yang memiliki kepribadian ke arah Extraversion bila merasa
tertekan cenderung akan mengungkapkan emosinya secara terbuka atau
menggabungkan diri dengan orang banyak sehingga individualitasnya
berkurang. Remaja yang memiliki kepribadian Extraversion tinggi, akan
memiliki sifat mudah bergaul dan memiliki teman-teman yang dekat
dengannya untuk dijadikan tempat mencurahkan isi hatinya
Ketika remaja dihadapkan pada suatu permasalahan yang berat,
maka remaja akan meminta bantuan teman-temannya untuk ikut campur
dalam memecahkan permasalahan yang membelitnya, sehingga remaja
tersebut merasa punya teman senasib sepenanggungan, sehingga remaja
akan terhindar dari rasa tertekan dan putus asa.
Faktor kepribadian Extraversion merupakan kecenderungan
kepribadian dengan keadaan emosional yang positif. Remaja yang memiliki
kecenderungan ke arah kepribadian Extraversion akan mempunyai
kemampuan sosial tinggi, seperti kesukaan terhadap orang lain dan
menyukai kelompok besar dan pertemuan-pertemuan, meliputi juga
asertivitas, aktivitas, dan talkactive. Remaja tersebut juga akan menyukai
stimulasi dan hal-hal yang menakjubkan serta cenderung gembira, energik,
dan optimistis.
Remaja yang kepribadian Extraversionnya cenderung tinggi akan
selalu menjaga kondisi emosionalnya agar selalu dalam keadaan positif,
47
sehingga dapat meningkatkan hubungan interpersonal yang baik dengan
orang disekitarnya.
Emosi yang positif pada remaja akan menghindarkan mereka pada
perasaan yang tidak berdaya, sehingga remaja tidak akan mengalami
kesulitan dalam memecahkan masalah hidupnya. Remaja yang kepribadian
Extraversionnya tinggi akan terhindar dari stres yang akan menimbulkan
depresi dan perasaan untuk mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.
Keadaan emosi yang positif tersebut akan menunjang remaja untuk
melakukan aktivitas yang berguna bagi dirinya seperti memenuhi rasa ingin
tahu mereka yang sangat besar tentang inner dan outer world, serta bersedia
memasukkan ide-ide baru dan nilai-nilai yang tidak konvensional.
Remaja yang selalu dalam keadaan emosi positif, Opennesnya
cenderung tinggi, sehingga remaja tersebut memiliki imaginasi aktif,
sensitivitas, estetika, perhatian pada inner feeling, menyukai variasi, ingin
tahu intelektual, dan kemandirian dalam berpikir.
Openness yang tinggi cenderung terbuka pada perasaan yang dialami
dan evaluasi terhadap emosi sebagai bagian yang penting dalam kehidupan.
Bila Opennessnya rendah, menunjukkan remaja tidak peduli pada perasaan
yang dialami dan tidak percaya bahwa perasaan-perasaaan yang dialami
mempunyai arti yang dalam dan berarti penting, sehingga remaja dapat
terhindar dari pikiran untuk mengakhiri hidupnya.
Elemen Openness yang tinggi pada remaja mempunyai arti kesukaan
untuk berfantasi, berkhayal, bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai cara bagi
dirinya untuk memperhatikan inner world. Mereka menjelaskan,
menjabarkan, dan mengembangkan fantasinya dan percaya bahwa
48
imaginasi memberikan kontribusi bagi kekayaan dan kreativitas. Mereka
juga menunjukkan minat yang tinggi pada seni, kesenian, dan keindahan.
Mereka suka puisi, dan musik. Mereka tidak perlu menjadi seorang artis.
Bila Openness rendah, remaja akan cenderung bertingkah laku
konvensional, respon emosinya datar, meskipun Openness dan Closedness
dipengaruhi bentuk defence psikologis yang digunakan, tidak ada bukti
bahwa Closedness itu merupakan reaksi defensi umum. Remaja yang
tertutup mempunyai wawasan yang sempit, juga dalam hal intensitas minat.
Pergaulan remaja selalu dikaitkan dengan hubungan interpersonal
dengan orang lain, hal ini disebut Agreeableness. Remaja yang
Agreeableness adalah mempunyai dasar altruistik. Ia simpatik pada orang
lain dan mudah menolong orang lain dan percaya bahwa orang lain dapat
menolong dirinya pula, sedangkan remaja yang disagreeableness adalah
remaja yang antagonistik, egosentrik, skeptikal pada maksud baik orang
lain, lebih bersifat kompetitif daripada kooperatif.
Remaja yang memiliki Agreeableness tinggi menunjukkan
kecenderungan untuk jujur, tulus hati, dan sederhana, serta berterus terang.
Agreeableness tinggi menunjukkan perhatian yang besar pada orang lain,
mempunyai kesediaan untuk membantu orang yang butuh pertolongan,
sedangkan remaja yang Agreeablenessnya rendah menggambarkan adanya
self centered dan kurang perduli pada permasalahan yang dihadapi orang
lain, adanya kecenderungan agresivitas, tidak bisa bekerjasama, tidak
enggan mengekspresikan kemarahan pada orang lain serta pada kondisi
terburuknya mereka dapat menyakiti diri sendiri seperti mengakhiri
hidupnya.
49
Remaja yang tidak dapat mengelola emosinya dengan baik, maka ia
akan tumbuh menjadi remaja yang tidak sehat. Remaja yang sehat adalah
remaja yang memiliki suatu keyakinan pada dirinya, perasaan mampu,
berpikir sehat, bijaksana, dan efektif.
Remaja yang memiliki tujuan hidup dan berkemauan kuat adalah
remaja yang Conscientiousnessnya tinggi, yang berarti ia merasa bahwa
hidupnya baik.
Kepribadian Conscientiousness yang tinggi pada remaja
menunjukkan adanya well-organized, rapi, mereka meletakkan segala
sesuatunya di tempatnya, ketaatan pada prinsip-prinsip etika dan sangat
hati-hati pada nilai-nilai moral, tingkat aspirasi tinggi dan bekerja keras
untuk mencapai tujuan mereka. Mereka tekun dan bertujuan, dan punya
keyakinan bahwa ia dapat mengarahkan hidupnya.
Pada remaja yang memiliki kepribadian Conscientiousness rendah
akan cenderung mengalami kejemuan, motivasi untuk mengerjakan tugas
kurang, adanya kecenderungan untuk berpikir kurang sungguh-sungguh
sebelum bertindak, serta gangguan lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara
karakteristik kepribadian Neurotism, Extraversion, Openness,
Agreeableness, dan Conscientiousness dengan sikap bunuh diri pada
remaja.
D. Hipotesis
Berdasarkan studi kepustakaan tersebut, maka dapat ditarik hipotesis
yaitu:
50
1. Hipotesis Mayor
Ada hubungan antara karakteristik kepribadian dengan sikap bunuh diri
pada remaja.
2. Hipotesis Minor
a. Ada hubungan positif antara karakteristik kepribadian neurotism
dengan sikap bunuh diri pada remaja. Dimana semakin tinggi
faktor kepribadian neurotism pada remaja, maka akan semakin
positif pula sikap bunuh diri pada remaja.
b. Ada hubungan negatif antara karakteristik kepribadian
extraversion dengan sikap bunuh diri pada remaja. Dimana
semakin tinggi faktor kepribadian extraversion pada remaja, maka
akan semakin negatif sikap bunuh diri pada remaja.
c. Ada hubungan negatif antara karakteristik kepribadian openness
dengan sikap bunuh diri pada remaja. Dimana semakin tinggi
faktor kepribadian openness pada remaja, maka akan semakin
negatif sikap bunuh diri pada remaja.
d. Ada hubungan negatif antara karakteristik kepribadian
agreeableness dengan sikap bunuh diri pada remaja. Dimana
semakin tinggi faktor kepribadian agreeableness pada remaja,
maka akan semakin negatif sikap bunuh diri pada remaja.
e. Ada hubungan negatif antara karakteristik kepribadian
conscientiousness dengan sikap bunuh diri pada remaja. Dimana
semakin tinggi faktor kepribadian conscientiousness pada remaja,
maka akan semakin negatif sikap bunuh diri pada remaja.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian yang Digunakan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Menurut Azwar
(1998, h. 5) pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data –
data numerikal (angka) yang diolah dengan metoda statistika. Pada
dasarnya, pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian yang dilakukan
dalam rangka menguji hipotesis dan menyandarkan kesimpulan hasilnya
pada suatu probabilitas kesalahan penolakan hipotesis nihil. Dengan metode
kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan kelompok atau
signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti. Pada umumnya,
penelitian kuantitatif merupakan penelitian sampel besar.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah objek yang akan diselidiki (Hadi, 2000, h.
4), atau apa yang menjadi perhatian sesuatu penelitian (Arikunto, 1993, h.
9). Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi :
1. Variabel tergantung : sikap bunuh diri pada remaja.
2. Variabel bebas : karakteristik kepribadian neurotism, extraversion,
openness, agreeableness, dan conscientiousness.
51
52
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Sikap bunuh diri pada remaja
Sikap bunuh diri pada remaja adalah suatu proses reaksi yang
dilakukan remaja untuk melakukan tindakan agresif guna merusak diri
sendiri dan sengaja untuk mematikan diri sendiri.
Sikap bunuh diri pada remaja diungkap melalui skala yang berisi
komponen-komponen sikap dan aspek-aspek bunuh diri. Komponen
sikap terdiri dari komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen
konatif. Aspek bunuh diri antara lain putus asa yang menimbulkan
pemikiran bunuh diri, merasa bersalah yang menciptakan keinginan
bunuh diri, dan tidak berdaya atau tidak mempunyai minat terhadap
apapun sehingga memicu keinginan bunuh diri. Semakin tinggi skor
yang diperoleh, mengindikasikan sikap bunuh diri pada remaja yang
semakin positif, dan sebaliknya.
2. Karakteristik Kepribadian Neurotism, Extraversion, Openness,
Agreeableness, dan Conscientiousness
NEUROTISM (N)
Adalah kecenderungan umum untuk mengalami emosi negatif,
seperti rasa takut, kesedihan, malu, rasa bersalah, dan rasa muak sebagai
inti dari faktor N ini. N meliputi kerentanan terhadap distress psikologi,
mungkin karena emosi yang negatif ini mengganggu individu dalam
melakukan adaptasi. Seseorang dengan N yang tinggi juga cenderung
untuk memiliki pikiran irasional, tidak bisa mengontrol impuls-impuls
dan mempunyai coping yang jelek terhadap stres.
53
Neurotism diungkap dengan menggunakan skala NEO-PI R
seperti skala kepribadian yang lain mengukur suatu dimensi pada
kepribadian yang normal. Skor tinggi pada faktor N mengindikasikan
kerentanan terhadap distress psikologi serta emosi yang negatif pada
remaja, sedangkan skor rendah mengindikasikan emosional remaja yang
stabil dan mampu menghadapi situasi penuh stres tanpa menjadi kesal
atau marah.
EXTRAVERSION (E)
Adalah kecenderungan untuk mempunyai kemampuan sosial
tinggi (sociable), tetapi sosiabilitas bukan hanya satu trait dalam domain
atau faktor E ini, seperti kesukaan terhadap orang lain dan menyukai
kelompok besar dan pertemuan-pertemuan, tetapi extraversion meliputi
juga asertivitas, aktif dan talkactive. Mereka menyukai stimulasi dan
hal-hal yang menakjubkan dan cenderung gembira. Mereka energik, dan
optimistis.
Extraversion diungkap dengan menggunakan NEO-PI R. Skor
tinggi pada faktor E mengindikasikan subjek memiliki asertivitas tinggi,
aktif, dan talkactive, dan sebaliknya.
OPENNESS (O)
Elemen-elemen dalam O adalah imaginasi aktif, sensitivitas,
estetika, perhatian pada inner feeling, menyukai variasi, ingin tahu
intelektual, dan kemandirian dalam berpikir. Individu yang
Opennessnya tinggi adalah orang yang rasa ingin tahu tentang inner dan
outer world tinggi, hidup mereka penuh percobaan atau eksperimental.
Mereka bersedia memasukkan ide-ide baru dan nilai-nilai yang tidak
54
konvensional. Mereka juga mengalami emosi positif dan negatif secara
lebih teliti daripada orang lain.
Openness diungkap dengan skala NEO-PI R. Skor openness yang
tinggi mengindikasikan rasa ingin tahu yang besar tentang inner dan
outer world.
AGREEABLENESS (A)
Faktor utama A adalah kecenderungan individu dalam melakukan
interpersonal dengan orang lain. Orang A adalah mempunyai dasar
altruistik. Ia simpatik pada orang lain dan mudah menolong orang lain
dan percaya bahwa orang lain dapat menolong dirinya pula, sedangkan
orang yang disagreeableness adalah orang yang antagonistik,
egosentrik, skeptikal pada maksud orang lain, lebih bersifat kompetitif
daripada kooperatif.
Sisi Agreeableness pada faktor ini diungkap dengan skala NEO-
PI R. Skor tinggi pada faktor A mengindikasikan subjek lebih sosial dan
lebih sehat secara psikologis, oleh karena itu mereka lebih popular
daripada individu yang antagonik.
CONSCIENTIOUSNESS (C)
Sebagian teori kepribadian, khususnya psikodinamika
mempunyai perhatian pada kontrol impuls. Selama perkembangannya
kebanyakan individu belajar bagaimana mengatur keinginan-
keinginannya dalam ketidakmampuan untuk meredakan impuls-impuls
dan dorongan-dorongan secara umum dapat dilihat dari tingginya N,
tetapi kontrol diri juga sama seperti suatu proses yang lebih aktif dalam
55
perencanaan, organisir, menyelesaikan tugas, dan perbedaan individu
dalam kecenderungan sebagai dasar dalam C.
Conscientiousness akan diungkap dengan NEO-PI R. Skor
semakin tinggi mengindikasikan keyakinan pada dirinya, perasaan
mampu, berpikir sehat, bijaksana, dan efektif. Skala ini menunjukkan
ketaatan pada prinsip-prinsip etika dan sangat hati-hati pada nilai-nilai
moral.
D. Subyek Penelitian
1. Populasi
Menurut Azwar (1998, h. 77), populasi didefinisikan sebagai
kelompok subyek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian.
Sebagai populasi, kelompok subyek ini harus memiliki ciri-ciri atau
karakteristik-karakteristik yang membedakannya dari kelompok subyek
lain.
Populasi yang akan digunakan oleh peneliti adalah siswa-siswi
kelas XII SMA Sint Louis Semarang.
Mengingat keterbatasan waktu dan biaya, maka tidak seluruh
populasi dikenakan dalam penelitian.
2. Teknik Pengambilan Sampel
Sampel penelitian adalah sejumlah individu dari sebagian
populasi (Hadi, 2000, h. 70). Karena sampel merupakan bagian dari
populasi, tentulah sampel harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki
populasinya. Representasi sampel terhadap populasi sangat tergantung
pada sejauhmana karakteristik sampel itu sama dengan karakteristik
populasinya. Kesimpulan yang diperoleh pada sampel akan
56
digeneralisasikan pada populasi penelitian, sehingga sangatlah penting
untuk memperoleh sampel yang representatif bagi populasinya (Azwar,
1998, h. 77).
Teknik pengambilan sampel penelitian yang digunakan pada
penelitian ini adalah cluster random sampling. Cluster random sampling
adalah cara mengambil sampel untuk memperoleh satu kelas secara
acak, dimana setiap kelas memiliki satu kesempatan yang sama untuk
terpilih.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode skala. Metode skala adalah suatu metode penelitian yang
menggunakan daftar pernyataan atau pertanyaan yang harus dijawab dan
dikerjakan atau daftar isian yang harus diisi oleh sejumlah subyek.
Berdasarkan jawaban atau isian tersebut, peneliti mengambil kesimpulan
mengenai subyek yang diteliti (Suryabrata, 1990, h. 15-16).
Dalam penelitian ini, bentuk skala yang digunakan adalah skala
langsung, yaitu skala diisi langsung oleh subyek yang diteliti. Bentuk
pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala
tertutup, yaitu skala yang jawabannya dibatasi atau sudah ditentukan
sehingga subyek tidak dapat memberikan respon atau jawaban seluas-
luasnya (Suryabrata, 1990, h. 79).
Adapun skala yang digunakan untuk pengambilan data adalah
sebagai berikut :
57
1. Skala Sikap Bunuh Diri Pada Remaja
Dalam penelitian ini, skala sikap bunuh diri pada remaja disusun
berdasarkan komponen sikap bunuh diri pada remaja, yaitu:
Komponen-komponen sikap, antara lain :
a. Komponen kognitif, yaitu yang berhubungan dengan gejala
mengenal pikiran. Ini berarti berwujud pengolahan, pengalaman, dan
keyakinan serta harapan-harapan individu tentang obyek atau
kelompok obyek tertentu.
b. Komponen afektif, berwujud proses yang menyangkut perasaan-
perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati dan
sebagainya yang ditujukan kepada obyek-obyek tertentu.
c. Komponen konatif, berwujud proses tendensi atau kecenderungan
untuk berbuat sesuatu terhadap obyek, misalnya kecenderungan
memberi pertolongan atau menjauhkan diri.
Skala ini terdiri dari 18 item favourable dan 18 item
unfavourable serta berbentuk skala tertutup. Skala ini terdiri dari empat
pilihan jawaban yang harus dipilih oleh subjek, yaitu : Sangat Sesuai
(SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS).
Pada butir pernyataan yang favourable, subyek akan memperoleh
skor empat (4) untuk jawaban Sangat Sesuai (SS), skor tiga (3) untuk
jawaban Sesuai (S), skor dua (2) untuk jawaban Tidak Sesuai (TS), dan
skor satu (1) untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS). Sedangkan
pada butir pernyataan unfavourable, subyek akan memperoleh skor
empat (4) untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS), skor tiga (3) untuk
jawaban Tidak Sesuai (TS), skor dua (2) untuk jawaban Sesuai (S), dan
58
skor satu (1) untuk jawaban Sangat Sesuai (SS). Rancangan item skala
sikap bunuh diri pada remaja dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Blue Print Sikap Bunuh Diri Pada Remaja
Aspek Sikap Bunuh Diri Pada Remaja
Favourable Unfavourable Jumlah
Aspek Kognitif 6 6 12 Aspek Afeksi 6 6 12 Aspek Konasi 6 6 12
Jumlah 18 18 36
2. Skala NEO-PI R
Skala NEO-PI R disusun berdasarkan aspek-aspek atau facet-
facet yang terdapat dalam masing-masing faktor kepribadian tersebut,
yaitu:
Neurotism
Facet Neurotism meliputi :
a. Anxiety (kecemasan).
b. Angry Hostility (permusuhan).
c. Depression (depresi).
d. Self-Consciousness (kesadaran diri).
e. Impulsiveness (impulsivitas).
f. Vulnerability (kerentanan).
Extraversion
Extraversion meliputi enam facet, yaitu :
a. Warmth (kehangatan).
b. Gregariousness (kesukaan bergaul).
c. Assertiveness (asertivitas).
59
d. Activity (aktivitas).
e. Excitement-Seeking (mencari kesenangan).
f. Positive Emotions (emosi positif).
Openness
Facet yang ada dalam faktor ini adalah :
a. Fantacy (fantasi).
b. Aesthetics (estetika).
c. Feelings (perasaan).
d. Actions (tindakan).
e. Ideas (gagasan).
f. Values (nilai).
Agreeableness
Agreeableness meliputi enam facet, yaitu :
a. Trust (kepercayaan).
b. Straighforwardness (keterus-terangan).
c. Altruism (altruisme).
d. Compliance (kerelaan).
e. Modesty (kesederhanaan).
f. Tender-Mindedness (kelembutan hati).
Conscientiousness
Facet-facet dalam faktor ini adalah :
a. Competence (kompetensi).
b. Order (ketertiban).
c. Dutifulness (kepatuhan).
d. Achievement Stricving (pencapaian prestasi).
60
e. Self Discipline (disiplin diri).
f. Deliberation (pertimbangan).
Skala ini terdiri dari 139 item favourable dan 101 item
unfavourable serta berbentuk skala tertutup. Skala ini terdiri dari empat
pilihan jawaban yang harus dipilih oleh subjek, yaitu : Sangat Sesuai
(SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS).
Pada butir pernyataan yang favourable, subyek akan memperoleh
skor empat (4) untuk jawaban Sangat Sesuai (SS), skor tiga (3) untuk
jawaban Sesuai (S), skor dua (2) untuk jawaban Tidak Sesuai (TS), dan
skor satu (1) untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS). Sedangkan
pada butir pernyataan unfavourable, subyek akan memperoleh skor
empat (4) untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS), skor tiga (3) untuk
jawaban Tidak Sesuai (TS), skor dua (2) untuk jawaban Sesuai (S), dan
skor satu (1) untuk jawaban Sangat Sesuai (SS). Rancangan item skala
NEO-PI R dapat dilihat pada tabel 3.
61
Tabel 3 Inventory Skala NEO-PI R
Butiran No Aspek-aspek
Favourable Unfavourable
Jumlah
1. Neurotism N1 (Kecemasan) 4 4 8 N2 (Rasa Permusuhan) 5 3 8 N3 (Depresi) 6 2 8 N4 (Kesadaran Diri) 5 3 8 N5 (Impulsivitas) 4 4 8 N6 (Kerentanan) 4 4 8 2. Extraversion
E1 (Kehangatan) 5 3 8 E2 (Kesukaan Bergaul) 4 4 8 E3 (Asertivitas) 6 2 8 E4 (Aktivitas) 5 3 8 E5 (Mencari Kesenangan) 6 2 8 E6 (Emosi Positif) 4 4 8 3. Openness
O1 (Fantasi) 3 5 8 O2 (Estetika) 5 3 8 O3 (Perasaan) 5 3 8 O4 (Tindakan) 3 5 8 O5 (Gagasan) 5 3 8 O6 (Nilai) 3 5 8 4. Agreeableness
A1 (Kepercayaan) 5 3 8 A2 (Keterus-terangan) 3 5 8 A3 (Altruisme) 5 3 8 A4 (Kerelaan) 3 5 8 A5 (Kesederhanaan) 5 3 8 A6 (Kelembutan Hati) 6 2 8 5. Conscientiousness
C1 (Kompetensi) 5 3 8 C2 (Ketertiban) 5 3 8 C3 (Kepatuhan) 6 2 8 C4 (Pencapaian Prestasi) 5 3 8 C5 (Disiplin Diri) 4 4 8 C6 (Pertimbangan) 5 3 8 Jumlah 139 101 320
62
F. Validitas dan Reliabilitas
Sejauh mana kepercayaan dapat memberikan pada kesimpulan
tergantung antara lain pada akurasi dan kecermatan data yang diperoleh.
Akurasi dan kecermatan data hasil pengukuran tergantung pada validitas
dan reliabilitas alat ukurnya (Azwar, 1998, h. 105).
1. Validitas Alat Ukur
Instrumen penelitian dikatakan valid apabila instrumen itu benar-
benar mengukur apa yang hendak diukur dan mampu mengukur sejauh
hal yang hendak diukur (Ancok, 1987, h. 13).
Uji validitas instrumen penelitian ini menggunakan uji validitas
konstruk, untuk mengukur kesahihan (validitas) instrumen dengan jalan
mengkorelasikan skor yang diperoleh dari setiap butir item dengan
jumlah skor seluruh item. Rumus yang digunakan adalah korelasi
Product Moment dari Karl Pearson dan dioperasikan dengan
menggunakan program SPSS versi 13.
Menurut Ancok (1987, h. 17), hasil korelasi yang diperoleh
dengan menggunakan rumus Product Moment perlu dikoreksi lagi
mengingat adanya kelebihan bobot pada koefisien relasi tersebut.
Kelebihan bobot terjadi karena nilai item yang dikorelasikan dengan
nilai total masih ikut sebagai komponen nilai total sehingga
menyebabkan koefisien relasi menjadi lebih besar.
Rumus yang digunakan untuk mengkoreksi rumus tersebut
adalah rumus Part Whole yang dioperasikan dengan menggunakan
program SPSS versi 13.
63
2. Reliabilitas
Setelah dilakukan uji validitas instrumen selanjutnya dilakukan
reliabilitas instrumen dengan tujuan agar data yang diperoleh dapat
mencerminkan variabel penelitian, maka alat pengumpul data yang akan
digunakan harus reliabel.
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana alat
ukur dapat dipercaya atau diandalkan (Ancok, 1987, h. 19). Dengan
demikian reliabilitas (keterandalan) suatu instrumen merupakan syarat
dalam proses pengumpulan data, sehingga dapat secara konsisten
memberi hasil yang sama meskipun digunakan berulangkali pada waktu
yang berbeda.
Uji reliabilitas instrumen penelitian ini menggunakan rumus
Alpha Cronbach yang dioperasikan dengan menggunakan program
SPSS versi 13. Alasan penggunaan Alpha Cronbach karena koefisien
alpha memberikan harga yang lebih kecil atau sama besar dengan
reliabilitas yang sebenarnya, sehingga ada kemungkinan reliabilitas tes
lebih tinggi daripada koefisien alpha, koefisien alpha bersifat fleksibel
karena dapat digunakan untuk butir dikotomi maupun non dikotomi,
hasil yang diperoleh lebih murni dan hasil reliabilitas dengan
menggunakan teknik ini akan lebih cermat karena dapat mendekati hasil
yang sebenarnya. (Azwar, 1998, h. 28).
G. Metode Analisis Data
Analisis data adalah cara yang digunakan dalam mengolah data yang
diperoleh, sehingga didapatkan suatu kesimpulan. Teknik analisis data yang
digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan
64
menggunakan dua teknik. Untuk menguji hipotesis mayor akan
menggunakan teknik Analisis Regresi Lima Prediktor, sedangkan untuk
menguji hipotesis minor menggunakan product moment yang keduanya
dioperasikan dengan menggunakan program SPSS versi 13
BAB IV
LAPORAN PENELITIAN
A. Orientasi Kancah Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Sint
Louis Semarang yang beralamat di Jalan Dr. Wahidin Nomor 110
Semarang Kode Pos 50254 Telepon (024) 8315361-8501719. SMA Sint
Louis Semarang berdiri dan diresmikan oleh Drs. R.M Soepeno pada tahun
1979, dengan surat keputusan SK:022/I.034/SWT/M.81-1 Des.1981. SMA
Sint Louis Semarang merupakan sekolah swasta dibawah organisasi
penyelenggara yayasan PAK dengan status akreditasi A berdasarkan SK.
Dinas Pendidikan No. 420.i/021 tanggal 2 Januari 2002.
SMA Sint Louis Semarang merupakan kelompok sekolah inti
dengan bangunan milik sendiri. Sekolah ini memiliki 17 ruang kelas yang
terbagi dalam 6 ruang kelas X, 6 ruang kelas XI dan 5 ruang kelas XII serta
memiliki 6 ruang laboratorium yang terdiri dari laboratorium fisika, kimia,
biologi, komputer, bahasa dan ruang audio/visual. Jumlah seluruh siswa
SMA Sint Louis Semarang adalah 518 siswa yang terdiri dari 190 siswa
kelas X, 175 siswa kelas XI dan 153 siswa kelas XII dengan tenaga
pengajar sebanyak 31 guru dan 4 karyawan staf tata usaha.
SMA Sint Louis melaksanakan program pendidikan meliputi: (1)
program pengajaran umum, yaitu program pendidikan yang bersifat umum,
sebagai landasan untuk pendidikan lebih lanjut dan dasar untuk menempuh
pengajaran khusus, (2) program pengajaran khusus, yaitu program
pendidikan yang bersifat akademis dan profesional tertentu dalam bentuk
65
66
program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan program Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS), (3) program pendidikan ekstra kurikuler, yaitu program
pendidikan untuk mengembangkan minat dan bakat di bidang non
akademis, seperti: paduan suara, pecinta alam, leadership, olahraga, bela
diri, seni dan band.
Penentuan kancah penelitian tersebut didasarkan pada pertimbangan
sebagai berikut:
a. Jumlah dan ciri-ciri subyek yang akan diteliti memenuhi syarat guna
tercapainya tujuan penelitian.
b. Di lokasi penelitian belum pernah dilakukan penelitian dengan tema
“Hubungan antara sikap bunuh diri pada remaja ditinjau dari
karakteristik kepribadian Neurotism, Extraversion, Openness,
Agreeableness, dan Conscientiousness”.
c. Pihak sekolah bersedia dijadikan tempat penelitian.
d. Lokasi penelitian mudah dijangkau oleh peneliti sehingga
mempermudah pelaksanaan penelitian.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka
diadakanlah penelitian di SMA Sint Louis Semarang. Penelitian ini
difokuskan pada siswa kelas XII SMA Sint Louis Semarang.
B. Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian diawali dengan melakukan persiapan
administrasi atau perijinan penelitian, penyusunan alat ukur atau skala dan
uji coba alat ukur.
67
1. Persiapan Perijinan
Sebelum pelaksanaan penelitian, terlebih dahulu penulis meminta
informasi dan kesediaan dari SMA Sint Louis Semarang, selanjutnya
sesuai prosedur penulis mengajukan surat permohonan ijin penelitian
dari Dekan Fakultas Psikologi UNIKA Soegijapranata yang dikeluarkan
pada tanggal 29 Mei 2007 dengan nomor surat 693/B.7.3/FP/V/2007
yang ditujukan kepada Kepala Sekolah SMA Sint Louis Semarang.
Surat ijin penelitian tersebut selanjutnya diserahkan kepada Kepala
Sekolah SMA Sint Louis Semarang.
2. Penyusunan Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala yang
terdiri dari skala sikap bunuh diri dan skala NEOPI-R. Uraian lebih
lanjut dari kedua skala tersebut adalah sebagai berikut:
a. Skala Sikap Bunuh Diri Pada Remaja
Skala sikap bunuh diri pada remaja disusun berdasarkan
komponen sikap bunuh diri pada remaja, yaitu: kognitif, afeksi dan
konasi. Jumlah item skala sikap bunuh diri pada remaja adalah 36
item, yang terdiri dari 18 item favourable dan 18 item unfavourable.
Sebaran item skala sikap bunuh diri pada remaja dapat dilihat pada
tabel 4 berikut ini:
68
Tabel 4 Sebaran Item Skala Sikap Bunuh Diri pada Remaja
Aspek Sikap Bunuh Diri pada
Remaja
Favourable Unfavourable Jumlah
Aspek Kognitif 1, 7, 13, 19, 25, 31 2, 8, 14, 20, 26, 32 12 Aspek Afeksi 3, 9, 15, 21, 27, 33 4, 10, 16, 22, 28, 34 12 Aspek Konasi 5, 11, 17, 23, 29, 35 6, 12, 18, 24, 30, 36 12
Jumlah 18 18 36
b. Skala NEOPI-R
Skala NEOPI-R adalah alat ukur kepribadian yang banyak
digunakan di seluruh dunia. Skala NEOPI-R dalam penelitian ini
merupakan hasil terjemahan dan adaptasi (untuk anak usia remaja) di
Indonesia dibawah supervisi Dr. McCrae dan telah mendapat lisensi
dari PAR (Psychological Assesment Resources). Skala NEOPI-R
disusun berdasarkan aspek-aspek atau facet-facet yang terdapat
dalam masing-masing faktor kepribadian.
Jumlah item pada skala NEOPI-R adalah sebanyak 240 item,
yang terdiri dari 139 item favourable dan 101 item unfavourable.
Sebaran item skala NEOPI-R dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini:
69
Tabel 5 Sebaran Item Skala NEOPI-R
Butiran No Aspek-aspek Favourable Unfavourable
Jumlah
1 Neurotism N1 (Kecemasan) 31, 91, 151, 211 1, 61, 121, 181 8 N2 (Rasa Permusuhan) 6, 66, 126, 156, 216 36, 96, 156 8 N3 (Depresi) 41, 101, 131, 161,
191, 221 11, 71 8
N4 (Kesadaran Diri) 16, 76, 136, 196, 226 46, 106, 166 8 N5 (Impulsivitas) 51, 111, 171, 201 21, 81, 141, 231 8 N6 (Kerentanan) 26, 86, 146, 206 56, 116, 176, 236 8
2 Extraversion E1 (Kehangatan) 2, 62, 122, 152, 212 32, 92, 182 8 E2 (Kesukaan
Bergaul) 37, 97, 157, 217 7, 67, 127, 187 8
E3 (Asertivitas) 12, 72, 132, 162, 192. 222
42, 102 8
E4 (Aktivitas) 47, 107, 167, 197, 227 17, 77, 137 8 E5 (Mencari
Kesenangan) 22, 82, 142, 172, 202,
232 52, 112 8
E6 (Emosi Positif) 57, 117, 177, 237 27, 87, 147, 207 8 3 Openness O1 (Fantasi) 3, 63, 123, 33, 93, 153, 183, 213 8 O2 (Estetika) 38, 98, 158, 188, 218 8, 68, 128 8 O3 (Perasaan) 13, 73, 133, 193, 223 43, 103, 163 8 O4 (Tindakan) 48, 108, 168 18, 78, 138, 198, 228 8 O5 (Gagasan) 23, 83, 143, 203, 233 53, 113, 173 8 O6 (Nilai) 58, 118, 178 28, 88, 148, 208, 238 8
4 Agreeableness A1 (Kepercayaan) 34, 94, 154, 184, 214 4, 64, 124 8 A2 (Keterus-terangan) 9, 69, 129 39, 99, 159, 189, 219 8 A3 (Altruisme) 44, 104, 164, 194, 224 14, 74, 134 8 A4 (Kerelaan) 19, 79, 139 49, 109, 169, 199, 229 8 A5 (Kesederhanaan) 54, 114, 174, 204, 234 24, 84, 144 8 A6 (Kelembutan Hati) 29, 89, 149, 179, 209,
239 59, 119 8
5 Conscientiousness C1 (Kompetensi) 5, 65, 125, 185, 215 35, 95, 155 8 C2 (Ketertiban) 40, 100, 160, 190, 220 10, 70, 130 8 C3 (Kepatuhan) 15, 75, 135, 165, 195,
225 45, 105 8
C4 (Pencapaian Prestasi)
50, 110, 170, 200, 230 20, 80, 140 8
C5 (Disiplin Diri) 25, 85, 145, 235 55, 115, 175, 205 8 C6 (Pertimbangan) 60, 120, 180, 210, 240 30, 90, 150 8 Jumlah 139 101 240
70
3. Pelaksanaan Uji Coba Alat Ukur
Sebelum melakukan pengumpulan data yang sesungguhnya,
terlebih dahulu dilakukan uji coba skala dengan tujuan untuk
mengetahui validitas dan reliabilitas skala yang digunakan.
Pengumpulan data untuk uji coba dilaksanakan pada tanggal 13 Juni
2007. Subjek yang terlibat dalam uji coba adalah siswa-siswi kelas XII
IPS2 dan kelas XII IPS3 SMA Sint Louis yang berjumlah sebanyak 56
siswa. Data uji coba selengkapnya dapat dilihat pada lampiran A.
Selanjutnya, dilakukan pengujian validitas dan reliabilitas
terhadap data uji coba dengan menggunakan bantuan komputer
Program SPSS (Statistical Product and Service Solutions) versi 13
untuk mengetahui kualitas alat ukur yang digunakan.
a. Skala Sikap Bunuh Diri pada Remaja
Berdasarkan uji validitas terhadap skala sikap bunuh diri pada
remaja yang terdiri 36 item diperoleh 31 item valid dan lima item
tidak valid (gugur). Koefisien validitas skala sikap bunuh diri pada
remaja berkisar diantara 0,310 sampai 0,707. Hasil uji reliabilitas
terhadap skala sikap bunuh diri pada remaja diperoleh koefisien
Alpha Cronbach sebesar 0,886. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
skala sikap bunuh diri pada remaja bersifat reliabel. Hasil
perhitungan validitas dan reliabilitas selengkapnya dapat dilihat pada
lampiran B. Adapun rincian sebaran item valid dan tidak valid
(gugur) pada skala sikap bunuh diri pada remaja dapat dilihat pada
tabel 6 berikut:
71
Tabel 6 Sebaran Item Valid dan Tidak Valid (Gugur)
Skala Sikap Bunuh Diri pada Remaja
Favourable Unfavourable Aspek Sikap Bunuh Diri pada Remaja Valid Gugur Valid Gugur Aspek Kognitif 1, 7, 13, 19,
25, 31 - 8, 14, 20, 26,
32 2
Aspek Afeksi 9, 15, 21, 27, 33
3 4, 10, 16, 22, 28, 34
-
Aspek Konasi 5, 17, 23, 35 11, 29 6, 12, 18, 24, 36
30
Jumlah 15 3 16 2
b. Skala NEOPI-R
Dikarenakan skala NEOPI-R tidak diujicobakan, maka
pengujian validitas dan reliabilitas skala NEOPI-R mengadopsi hasil
penelitian yang dilakukan oleh Endang Widyorini, Kristiana dan
Yang Roswita (2003). Berdasarkan hasil penelitian Widyorini,
Kristiana dan Yang Roswita (2003, h. 44) secara jelas
mempresentasikan bahwa NEOPI-R berbahasa Indonesia adalah
cukup reliabel dan valid. Koefisien kelima model faktor kepribadian
ini dapat digeneralisasikan pada sampel di Indonesia. Alat ukur ini
mengungkap kelima faktor (neurotism, extraversion, openness,
agreeableness, dan conscientiousness) dengan Eigenvalue untuk
kelima faktor yang merupakan unrotated factors adalah 6,68; 4,85;
3,27; 2,33; 2,12. Koefisien congruence kelima faktor tersebut adalah
0,92; 0,91; 0,88; 0,90; 0,93 dengan total koefisien congruence 0,92.
Berdasar pada koefisien congruence antara faktor solutions
Indonesian samples dan data normatif US, NEOPI-R versi Indonesia
72
dapat dikategorikan bagus dan mendekati versi yang asli, yaitu yang
berbahasa Inggris.
C. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian meliputi satu kali pengambilan data. Adapun
sebaran item baru (item valid) untuk skala sikap bunuh diri pada remaja
yang digunakan untuk pengambilan data penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 7 Sebaran Item Baru Skala Sikap Bunuh Diri pada Remaja
Aspek Sikap Bunuh Diri Pada
Remaja
Favourable Unfavourable Jumlah
Aspek Kognitif 1(1), 5(7), 10(13), 16(19), 22(25), 26(31)
6(8), 11(14), 17(20), 23(26), 27(32) 11
Aspek Afeksi 7(9), 12(15), 18(21), 24(27), 28(33)
2(4), 8(10), 13(16), 19(22), 25(28), 29(34) 11
Aspek Konasi 3(5), 14(17), 20(23), 30(35)
4(6), 9(12), 15(18), 21(24), 31(36) 9
Jumlah 15 16 31 Keterangan: Nomor dalam kurung adalah nomor skala uji coba
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 18 Juni 2007. Subjek yang
terlibat dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMA Sint Louis yang
dipilih secara cluster random sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah
siswa-siswi kelas XII IPA1 dan XII IPA2. Adapun jumlah sampel penelitian
ini adalah 47 orang.
Dalam pelaksanaannya, pengambilan data dilakukan oleh peneliti
sendiri dan dibantu dua orang teman dari peneliti. Sebelum penelitian
dimulai, peneliti memperkenalkan diri terlebih dahulu kepada calon
responden, kemudian membagikan skala. Selanjutnya peneliti memberikan
penjelasan tentang cara pengerjaan skala kepada responden serta memberi
73
contoh untuk memudahkan pengisian. Kemudian responden diminta untuk
mengisi jawaban pada lembar yang telah tersedia dengan diberi waktu
selama 45 menit. Selama jalannya penelitian, peneliti memberi kesempatan
kepada subjek penelitian untuk menanyakan hal-hal yang kurang dipahami
sehingga penelitian dapat berlangsung baik.
Setelah dilakukan pengambilan data, selanjutnya dilakukan
pemeriksaan dan penskoran terhadap skala yang telah kembali dan tabulasi
skor mentah untuk selanjutnya dilakukan analisis data. Data yang telah
dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup data tentang sikap bunuh diri
pada remaja dan data karakteristik kepribadian neurotism, extraversion,
openness, agreeableness, dan conscientiousness. Data penelitian
selengkapnya dapat dilihat pada lampiran D.
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Uji Asumsi
Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan uji
normalitas dan uji linearitas terhadap data penelitian yang telah diperoleh
untuk memenuhi asumsi dasar analisis regresi.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui bahwa data
berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan teknik
Kolmogorov–Smirnov Z menggunakan program komputer teknik SPSS
versi 13.
Hasil uji normalitas sebaran pada seluruh variabel penelitian
dapat dilihat pada tabel 8 dan hasil perhitungan selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran E-1
Tabel 8 Hasil Uji Normalitas Sebaran
Variabel KS-Z p Keterangan Sikap bunuh diri pada remaja 0,721 > 0,05 Distribusi Normal Neurotism 0,734 > 0,05 Distribusi Normal Extraversion 0,835 > 0,05 Distribusi Normal Openness 1,048 > 0,05 Distribusi Normal Agreeableness 0,827 > 0,05 Distribusi Normal Conscientiousness 0,543 > 0,05 Distribusi Normal
2. Uji Linearitas
Selain uji normalitas, asumsi yang harus dipenuhi dalam teknik
korelasi adalah uji linearitas. Uji linearitas dilakukan dengan teknik uji F
menggunakan program komputer teknik SPSS versi 13.
74
75
Hasil uji linearitas hubungan antara masing-masing variabel
bebas dan variabel tergantung dapat dilihat pada tabel 9. Hasil
perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E-2.
Tabel 9 Uji Linearitas
Hubungan antar Variabel Flinear p Keterangan Neurotism dengan sikap bunuh diri pada remaja
8,94 < 0,05 Hubungan Linear
Extraversion dengan sikap bunuh diri pada remaja
6,08 < 0,05 Hubungan Linear
Openness dengan sikap bunuh diri pada remaja
7,21 < 0,05 Hubungan Linear
Agreeableness dengan sikap bunuh diri pada remaja
2,76 > 0,05 Hubungan Kuadratik
Conscientiousness dengan sikap bunuh diri pada remaja
2,30 > 0,05 Hubungan Cenderung Linear
B. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik Analisis
Regresi Lima Prediktor dengan menggunakan program komputer teknik
SPSS versi 13.
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh koefisien korelasi Rx12345y =
0,538 dengan p < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara simultan
ada hubungan yang signifikan antara karakteristik kepribadian neurotism,
extraversion, openness, agreeableness, dan conscientiousness dengan sikap
bunuh diri pada remaja. Dengan demikian, hipotesis mayor yang diajukan
diterima.
Selanjutnya, dari perhitungan analisis data diperoleh hasil sebagai
berikut:
1. Diperoleh koefisien korelasi rx1y = 0,407 dengan p < 0,01. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan sangat signifikan antara
76
neurotism dengan sikap bunuh diri pada remaja. Dengan demikian,
hipotesis minor yang pertama diterima.
2. Diperoleh koefisien korelasi rx2y = -0,345 dengan p < 0,01. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan negatif dan sangat
signifikan antara extraversion dengan sikap bunuh diri pada remaja.
Dengan demikian, hipotesis minor yang kedua diterima.
3. Diperoleh koefisien korelasi rx3y = -0,372 dengan p < 0,01. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan negatif dan sangat
signifikan antara openness dengan sikap bunuh diri pada remaja.
Dengan demikian, hipotesis minor yang ketiga diterima.
4. Diperoleh koefisien korelasi rx2y = -0,240 dengan p > 0,05. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
agreeableness dengan sikap bunuh diri pada remaja. Dengan demikian,
hipotesis minor yang keempat tidak diterima.
5. Diperoleh koefisien korelasi rx2y = -0,221 dengan p > 0,05. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
conscientiousness dengan sikap bunuh diri pada remaja. Dengan
demikian, hipotesis minor yang kelima tidak diterima.
Hasil analisis data (analisis regresi lima prediktor) selengkapnya
dapat dilihat pada lampiran F.
C. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara karakteristik
kepribadian neurotism, extraversion, openness, agreeableness, dan
conscientiousness dengan sikap bunuh diri pada remaja. Hal ini dapat
77
dilihat dari koefisien korelasi Rx12345y = 0,538 dengan p < 0,05. Besarnya
pengaruh karakteristik kepribadian neurotism, extraversion, openness,
agreeableness, dan conscientiousness terhadap sikap bunuh diri pada
remaja tampak pada sumbangan efektifnya sebesar 20,3%.
Dengan demikian, hipotesis mayor dalam penelitian ini terbukti,
yaitu ada hubungan antara karakteristik kepribadian dengan sikap bunuh
diri pada remaja. Menurut Erich Fromm (dalam Susetyo, 2004, h. 2) bahwa
tingkat bunuh diri yang tinggi dalam suatu masyarakat tertentu merupakan
cerminan dari kurangnya stabilitas kesehatan mental masyarakat tersebut.
Allport (dalam Irwanto, 1991, h.227) mengatakan bahwa kepribadian
seseorang bisa berubah-ubah, dan antar berbagai komponen kepribadian
terdapat hubungan yang erat. Hubungan-hubungan itu terorganisir
sedemikian rupa sehingga secara bersama-sama mempengaruhi pola
perilakunya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Sikap bunuh diri pada remaja merupakan produk dari proses
sosialisasi di mana remaja bereaksi sesuai dengan rangsang yang
diterimanya sebagai suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan
akhirnya berintegrasi ke dalam pola yang lebih luas sehingga menjadi
semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap sesuatu objek dengan cara-cara
tertentu. Fenomena ini dapatlah dikatakan sebagai ekspresi dari makna
hidup yang terdevaluasi sampai pada titik terendah, yaitu ketika remaja
tidak lagi memiliki pegangan untuk melanjutkan hidup dan merupakan
masalah yang kompleks dimana tidak ada satu sebab, satu alasan. Hal
tersebut dihasilkan dari interaksi yang kompleks secara biologi, genetik,
78
psikologi, sosial, budaya dan faktor lingkungan. (Yayasan Harapan Permata
Hati Kita, 2003, h. 1)
Sikap bunuh diri pada remaja dipengaruhi oleh banyak faktor, salah
satunya adalah karakteristik kepribadian. Breinstein (dalam Widyorini,
dkk., 2003, h. 5) mengatakan sejumlah teoritisi memberi tekanan pada
fungsi kepribadian dalam berhubungan dengan penyesuaian diri individu.
Kepribadian mencakup usaha-usaha penyesuaian diri yang bersifat
individu, maka biasanya penelitian mengenai kepribadian seringkali
berfokus pada konsistensi pola-pola kognisi, emosi, dan perilaku yang
membuat seseorang berbeda satu dengan yang lain. Dalam penelitian ini,
model karakteristik kepribadian yang digunakan adalah model yang
dikembangkan oleh Costa dan McCrae (dalam Widyorini, dkk, 2003, h. 7-
8) yang selanjutnya dinamakan “The Big Five”, yaitu karakteristik
kepribadian neurotism, extraversion, openness, agreeableness, dan
conscientiousness.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan
signifikan antara neurotism dengan sikap bunuh diri pada remaja. Hal ini
dapat dilihat dari rx1y = 0,407 dengan p < 0,05, sehingga semakin tinggi
neurotism maka semakin tinggi pula sikap bunuh diri pada remaja, dan
sebaliknya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan
penyesuaian diri seorang remaja atau kepribadian dengan keadaan
emosional yang tidak stabil sangat berpengaruh pada sikap bunuh diri pada
remaja. Permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh remaja akan
berdampak munculnya rasa putus asa yang menimbulkan stres. Stres adalah
faktor utama penyebab seseorang mengalami depresi dan merupakan gejala
79
dari gangguan neurotism. Dalam keadaan depresi, remaja akan cenderung
tidak berdaya dan tidak menaruh minat terhadap apapun. Contohnya adalah
tidak mau makan, tidur terus menerus atau tidak tidur terus menerus,
bahkan tidak menutup kemungkinan tidak menaruh minat untuk
meneruskan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya hasil penelitian juga menunjukkan ada hubungan negatif
dan signifikan antara extraversion dengan sikap bunuh diri pada remaja
yang dapat dilihat dari koefisien korelasi rx2y = -0,345 dengan p < 0,05,
sehingga semakin tinggi extraversion maka semakin rendah sikap bunuh
diri pada remaja, dan sebaliknya. Seseorang yang memiliki kepribadian
extraversion cenderung terhindar dari stres yang akan menimbulkan depresi
dan perasaan untuk mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri. Hal ini
dikarenakan seseorang yang memiliki kepribadian extraversion akan selalu
menjaga kondisi emosionalnya agar selalu dalam keadaan positif. Emosi
yang positif pada remaja akan menghindarkan mereka pada perasaan yang
tidak berdaya, sehingga remaja tidak akan mengalami kesulitan dalam
memecahkan masalah hidupnya. Selain itu, remaja yang memiliki
kecenderungan ke arah kepribadian extraversion akan mempunyai
kemampuan sosial tinggi, seperti kesukaan terhadap orang lain dan
menyukai kelompok besar dan pertemuan-pertemuan, meliputi juga
asertivitas, aktivitas, dan talkactive, sehingga ketika remaja dihadapkan
pada suatu permasalahan yang berat, maka remaja akan meminta bantuan
teman-temannya untuk ikut campur dalam memecahkan permasalahan yang
membelitnya, sehingga remaja tersebut merasa punya teman senasib
80
sepenanggungan, sehingga remaja akan terhindar dari rasa tertekan dan
putus asa.
Hasil penelitian juga menunjukkan ada hubungan negatif dan
signifikan antara openness dengan sikap bunuh diri pada remaja yang dapat
dilihat dari koefisien korelasi rx3y = -0,372 dengan p < 0,05. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa semakin tinggi openness seorang remaja maka sikap
bunuh dirinya akan cenderung rendah dan sebaliknya. Remaja yang
memiliki opennesnya tinggi cenderung memiliki imaginasi aktif,
sensitivitas, estetika, perhatian pada inner feeling, menyukai variasi, ingin
tahu intelektual, dan kemandirian dalam berpikir. Remaja dengan openness
yang tinggi cenderung terbuka pada perasaan yang dialami dan evaluasi
terhadap emosi sebagai bagian yang penting dalam kehidupan, sehingga
remaja dapat terhindar dari pikiran untuk mengakhiri hidupnya.
Hasil penelitian tidak menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan untuk variabel agreeableness dengan sikap bunuh diri pada
remaja (rx2y = -0,240 dengan p > 0,05) dan tidak ada hubungan yang
signifikan antara conscientiousness dengan sikap bunuh diri pada remaja
(rx2y = -0,221 dengan p > 0,05). Hal ini dikarenakan variabel agreeableness
cenderung hanya mengungkapkan sisi kualitas interpersonal saja,
sehubungan dengan pikiran, perasaan, persahabatan dan tindakan dalam
hubungannya dengan orang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa seorang
yang kualitas interpersonalnya rendah belum tentu memiliki kecenderungan
untuk mengakhiri hidupnya. Sementara itu, variabel conscientiousness
mengungkap tingkat individu dalam mengorganisasi, mendisiplin diri,
motivasi, bertanggungjawab dan teliti. Variabel conscientiousness berkaitan
81
erat dengan suatu bidang kerja pada seseorang. Variabel ini tidak mengupas
lebih dalam mengenai keadaan emosi seseorang, hanya mengungkap
mengenai sifat-sifat kemampuan, kepatuhan dan kedisiplinan seseorang.
Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1. Kemungkinan adanya pengaruh social desirability, yaitu keinginan
subyek penelitian memberikan jawaban yang sesuai dengan norma-
norma yang berlaku dan tidak sesuai dengan keadaan diri yang
sebenarnya.
2. Terbatasnya waktu yang disediakan oleh pihak sekolah mengakibatkan
banyaknya responden tergesa-gesa dalam pengisian skala mengingat
jumlah item dalam skala NEO PI-R relatif banyak sehingga
mempengaruhi jawaban responden.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan:
1. Ada hubungan antara karakteristik kepribadian dengan sikap bunuh diri
pada remaja. Sumbangan efektif variabel karakteristik kepribadian
terhadap sikap bunuh diri pada remaja sebesar 20,3%. Dengan
demikian, hipotesis mayor yang diajukan diterima.
2. Ada hubungan positif antara neurotism dengan sikap bunuh diri pada
remaja. Semakin tinggi neurotism pada remaja maka semakin positif
pula sikap bunuh diri pada remaja, dan sebaliknya. Dengan demikian,
hipotesis minor yang pertama diterima.
3. Ada hubungan negatif antara extraversion dengan sikap bunuh diri pada
remaja. Semakin tinggi extraversion pada remaja maka semakin negatif
sikap bunuh diri pada remaja, dan sebaliknya. Dengan demikian,
hipotesis minor yang kedua diterima.
4. Ada hubungan negatif antara openness dengan sikap bunuh diri pada
remaja. Semakin tinggi openness pada remaja maka semakin negatif
sikap bunuh diri pada remaja, dan sebaliknya. Dengan demikian,
hipotesis minor yang ketiga diterima.
5. Tidak ada hubungan antara agreeableness dengan sikap bunuh diri pada
remaja. Dengan demikian, hipotesis minor yang keempat tidak diterima.
82
83
6. Tidak ada hubungan antara conscientiousness dengan sikap bunuh diri
pada remaja. Dengan demikian, hipotesis minor yang kelima tidak
diterima.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, ada beberapa
saran yang ditujukan kepada beberapa pihak. Saran-saran tersebut sebagai
berikut:
1. Bagi Remaja
Remaja diharapkan untuk mengurangi kecenderungan neurotism
yang ada dalam dirinya dengan jalan meningkatkan kemampuan untuk
menenangkan diri sendiri dan meningkatkan kesabaran sehingga dengan
demikian dapat terhindar dari perasaan cemas, marah, dan frustrasi yang
dapat memicu terjadinya stres, depresi, dan keinginan untuk mengakhiri
hidup. Kepercayaan diri juga sangat penting untuk ditumbuhkan pada
diri remaja karena dengan memiliki rasa percaya diri yang tinggi secara
tidak langsung akan meningkatkan mentalitas remaja yang dapat
menghilangkan rasa rendah diri, tidak berharga, putus harapan, dan
keinginan untuk mengakhiri hidup.
Selain itu diharapkan pada remaja untuk lebih mengembangkan
faktor extraversionnya dengan cara meningkatkan jalinan hubungan baik
dengan orang lain sehingga remaja akan lebih memiliki perasaan
bahagia, cinta kasih, kegembiraan, kesenangan dan terhindar dari
keinginan untuk mengakhiri hidup. Di samping itu remaja juga
diharapkan dapat lebih bersikap positif dan selalu mencari aktivitas atau
84
kesibukan sehingga rasa kejenuhan, stres, depresi, dan munculnya
perasaan ingin mengakhiri hidup dapat dihindari.
Disarankan pula kepada remaja untuk meningkatkan faktor
opennesnya dengan jalan peduli pada perasaan yang dialaminya dan
percaya bahwa perasaan-perasaaan yang dialami mempunyai arti yang
dalam dan berarti penting, sehingga remaja dapat terhindar dari pikiran
untuk mengakhiri hidupnya. Selain itu, remaja diharapkan untuk
meningkatkan imaginasinya, sensitivitas, estetika, perhatian pada inner
feeling, lebih menyukai variasi, meningkatkan intelektual dan
kemandirian dalam berpikir.
2. Bagi Penelitian Selanjutnya
Bagi penelitian tentang sikap bunuh diri pada remaja yang
selanjutnya, disarankan untuk melibatkan faktor lain selain lima faktor
yang telah digunakan dalam penelitian ini, misalnya: jenis kelamin,
kecerdasan emosional, dukungan sosial, kebudayaan, faktor lingkungan,
media massa dan tingkat religiusitas, sehingga dapat diketahui faktor
mana yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap sikap bunuh diri
pada remaja. Selain itu, diharapkan lebih dapat mengembangkan secara
lanjut penelitian dengan memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
----------. 2002. Mengapa Remaja Bunuh Diri? www.pikiran-rakyat.com/cetak/0604/13/hikmah/konsultasi.htm (Fri, 8 April 2005).
Ahmadi, A. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta : Rineka Cipta
Ancok, D. 1987. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Arikunto, S. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
PT. Rineka Cipta. Atkinson, R. L; Atkinson, R. C; Hilgard, E. R. 1993. Pengantar Psikologi.
Edisi 8, jilid 2. Alih Bahasa: Taufiq, N. Jakarta: Erlangga. Azwar, S. 1988. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta:
Liberty. Azwar, S. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Bali Post. 2003. Bunuh Diri. Surat Kabar Harian, 11 Mei 2003. Bali. Ewen, RB. 1998. Personality A Topical Approach. Lawrence Erlbaum
Associates, Inc. Mahwah, New Jersey. Gardner, L. 2004. Bertumbuh dan Berkembang dalam Ceria. Bandung: CV
Pionir Jaya. Gunarsa, S. D. 1981. Psikologi Remaja. Jakarta: BPK. Gunung Mulia. Hadi. 2000. Metode Penelitian. Yogyakarta: ANDI Offset. Hadriami, E. 2004. Aku Ingin Mati. Seminar. Semarang: Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Soegijapranata. Hurlock, E. B. 1968. Developmental Psychology. (Edisi ketiga). Mc Graw
Hill Book Company, New York.
85
86
Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Ed.5. Jakarta: Erlangga.
Irwanto. 1991. Psikologi Umum. Cet 2. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. Kedaulatan Rakyat. 2004. Bunuh Diri. Surat Kabar Harian, 14 Maret 2004. Keliat, B.A. 1995. Tingkah Laku Bunuh Diri. Cet.2. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC. Liang, K. S. 1980. Masa Remaja dan Ilmu Jiwa Pemuda. Bandung:
Jenmars. Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional. Mar’at. 1984. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Jakarta :
Ghalia Indonesia. Pancasiwi, H. H. 2004. Perubahan Sosial dan Kecenderungan Bunuh Diri;
Tinjauan Sosiologis. Seminar. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.
Prinantyo, A. 2004. Mengapa Bunuh Diri Makin Sering Terjadi. Dalam
Kompas. Surat Kabar Harian, 16 Juni 2004. Sears, D. O; Freedman, J. L; Peplau, L. A. 1994. Psikologi Sosial : Jilid 1.
Edisi Kelima. Alih Bahasa : Michael Adryanto dan Savitri Soekisno. Jakarta : Erlangga
Simanjutak, B. 1979. Latar Belakang Kenakalan Remaja. Bandung. Suara Merdeka. 2006. Pedagang Miras Tewas Gantung Diri. Surat Kabar
Harian, 8 Maret 2006. Surachmad, W. 1977. Psikologi Pemuda. Bandung: Jenmars. Suryabrata, S. 1990. Metodologi Penelitian. Jakarta : Rajawali Susetyo, D.P.B. 2004. Bunuh Diri Sebuah Tragedi Atau Pilihan. Seminar.
Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.
87
Susilowindradini. 1981. Psikologi Perkembangan II. Fakultas Pendidikan IKIP Malang.
Tim Penyusun. 1983. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. Walgito, B. 2004. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta :
Andi. Widyorini, E; Kristiana; Roswita, M. Y. 2003. Adaptasi Inventori
Kepribadian “Neurotism Extraversion Openness Personality Inventory Revised”. Hasil Penelitian. Semarang: Laboratorium Psikodiagnostik Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata (tidak diterbitkan).
Yayasan Harapan Permata Hati Kita. 2003. Bunuh Diri. PT. Globalinter
Netura. Yusuf. 2004. Kasus Anak Gantung Diri: Di Sekolah, Sembodo Anak Rajin.
www.suaramerdeka.com/harian/0407/24/x_nas.html (Sat, 24 July 2004).
Nama :
Usia :
Tanda tangan :
PETUNJUK
Pada lembar-lembar berikut terdapat pernyataan yang membutuhkan
tanggapan anda. Pilihlah salah satu tanggapan yang anda anggap paling sesuai
dengan keadaan diri anda dan jangan terpengaruh dengan pendapat orang lain.
Skala ini bukan suatu tes. Tidak ada jawaban benar atau salah, dan anda
tidak perlu menjadi seorang ahli untuk mengisi kuestioner ini. Deskripsikan diri
anda dengan jujur dan nyatakan pendapat anda seakurat mungkin. Semua
tanggapan yang diberikan, baik dan benar apabila dikerjakan oleh anda sendiri
dan sesuai dengan keadaan anda.
Anda diminta membuat tanda ( √ ) pada kolom yang tersedia di samping
pernyataan. Alternatif jawaban yang dipilih adalah:
STS : Jika pernyataan Sangat Tidak Sesuai dengan kondisi anda.
TS : Jika pernyataan Tidak Sesuai dengan kondisi anda.
S : Jika pernyataan Sesuai dengan kondisi anda.
SS : Jika pernyataan Sangat Sesuai dengan kondisi anda.
Apabila anda ingin membetulkan jawaban, lingkari jawaban yang kurang
tepat, kemudian berilah tanda ( √ ) pada jawaban yang benar.
Selamat Mengerjakan dan Terima Kasih atas kerjasamanya
SKALA I
No. Pernyataan STS TS S SS 1 Menurut saya, bunuh diri dapat meniadakan
masalah-masalah yang dihadapi.
2 Saya takut berdosa jika mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
3 Ketika mendapat masalah, saya ingin segera mengakhiri hidup supaya terbebas dari masalah tersebut.
4 Seberat apapun kesulitan yang sedang saya tanggung, saya tidak akan melakukan bunuh diri.
5 Mengakhiri hidup dengan bunuh diri akan mengurangi beban yang sedang saya tanggung.
6 Menurut saya, orang yang bunuh diri menandakan orang yang lemah.
7 Saya merasa senang membaca berita-berita tentang bunuh diri.
8 Saya akan sangat kecewa jika menyia-nyiakan hidup yang cuma sekali ini.
9 Saya akan mencari jalan keluar lain selain mengakhiri hidup ketika menghadapi kesulitan.
10 Dengan mengakhiri hidup, segala rasa malu dapat segera hilang.
11 Bunuh diri tidak akan menghilangkan perasaan malu yang sedang ditanggung.
12 Saya senang menyiksa diri untuk melupakan kekurangan saya.
13 Saya selalu merasa gembira karena tidak pernah berpikir untuk bunuh diri.
14 Saya tidak ingin melanjutkan hidup ketika masalah yang saya hadapi tidak kunjung selesai.
15 Masalah dan kesulitan tidak akan memudarkan semangat hidup saya.
16 Bunuh diri adalah jalan keluar mengatasi sulitnya hidup.
17 Bunuh diri bukan merupakan jalan keluar melainkan jalan kesesatan.
18 Ada kepuasan tersendiri jika mengatasi masalah dengan menyiksa diri sendiri.
19 Saya sangat sayang dengan hidup saya sendiri.
20 Seandainya saya tidak lulus ujian sekolah, saya berharap lekas mati daripada menanggung malu di sekolah.
21 Meskipun menanggung rasa malu, saya tidak pernah berpikir untuk mengakhiri hidup.
22 Betapapun beratnya beban yang sedang ditanggung, akan hilang dengan sendirinya bersama kematian.
23 Bunuh diri merupakan hal yang sangat bodoh untuk dilakukan.
24 Saya sangat senang mempelajari cara-cara bunuh diri.
25 Saya akan menyesal jika sampai melukai diri sendiri.
26 Bunuh diri adalah salah satu cara menyelesaikan masalah yang mudah dari pada harus memikirkannya terus-menerus.
27 Bunuh diri tidak akan menyelesaikan permasalahan, hanya akan menambah beban dan aib saja.
28 Saya merasa puas dapat menghukum diri sendiri ketika melakukan kesalahan.
29 Saya membenci orang-orang yang melakukan perbuatan bunuh diri.
30 Saya akan menghukum diri sendiri bila melakukan kesalahan.
31 Ketika sedang menghadapi persoalan, saya senantiasa berdoa pada Tuhan agar dijauhkan dari pikiran untuk mengakhiri hidup ini.
Nama :
Usia :
Tanda tangan :
PETUNJUK
Pada lembar-lembar berikut terdapat pernyataan yang membutuhkan
tanggapan anda. Pilihlah salah satu tanggapan yang anda anggap paling sesuai
dengan keadaan diri anda dan jangan terpengaruh dengan pendapat orang lain.
Skala ini bukan suatu tes. Tidak ada jawaban benar atau salah, dan anda
tidak perlu menjadi seorang ahli untuk mengisi kuestioner ini. Deskripsikan diri
anda dengan jujur dan nyatakan pendapat anda seakurat mungkin. Semua
tanggapan yang diberikan, baik dan benar apabila dikerjakan oleh anda sendiri
dan sesuai dengan keadaan anda.
Anda diminta membuat tanda ( √ ) pada kolom yang tersedia di samping
pernyataan. Alternatif jawaban yang dipilih adalah:
STS : Jika pernyataan Sangat Tidak Sesuai dengan kondisi anda.
TS : Jika pernyataan Tidak Sesuai dengan kondisi anda.
S : Jika pernyataan Sesuai dengan kondisi anda.
SS : Jika pernyataan Sangat Sesuai dengan kondisi anda.
Apabila anda ingin membetulkan jawaban, lingkari jawaban yang kurang
tepat, kemudian berilah tanda ( √ ) pada jawaban yang benar.
Selamat Mengerjakan dan Terima Kasih atas kerjasamanya
SKALA I
No. Pernyataan STS TS S SS 1. Menurut saya, bunuh diri dapat meniadakan
masalah-masalah yang dihadapi.
2. Bunuh diri adalah perbuatan dosa besar. 3. Saya menaruh simpati pada orang yang berani
bunuh diri.
4. Saya takut berdosa jika mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
5. Ketika mendapat masalah, saya ingin segera mengakhiri hidup supaya terbebas dari masalah tersebut.
6. Seberat apapun kesulitan yang sedang saya tanggung, saya tidak akan melakukan bunuh diri.
7. Mengakhiri hidup dengan bunuh diri akan mengurangi beban yang sedang saya tanggung.
8. Menurut saya, orang yang bunuh diri menandakan orang yang lemah.
9. Saya merasa senang membaca berita-berita tentang bunuh diri.
10. Saya akan sangat kecewa jika menyia-nyiakan hidup yang cuma sekali ini.
11. Ketika sedang sakit (parah), saya ingin tidur yang sangat lama.
12. Saya akan mencari jalan keluar lain selain mengakhiri hidup ketika menghadapi kesulitan.
13. Dengan mengakhiri hidup, segala rasa malu dapat segera hilang.
14. Bunuh diri tidak akan menghilangkan perasaan malu yang sedang ditanggung.
15. Saya senang menyiksa diri untuk melupakan kekurangan saya.
16. Saya selalu merasa gembira karena tidak pernah berpikir untuk bunuh diri.
17. Saya tidak ingin melanjutkan hidup ketika masalah yang saya hadapi tidak kunjung selesai.
18. Masalah dan kesulitan tidak akan memudarkan semangat hidup saya.
19. Bunuh diri adalah jalan keluar mengatasi sulitnya hidup.
20. Bunuh diri bukan merupakan jalan keluar melainkan jalan kesesatan.
21. Ada kepuasan tersendiri jika mengatasi masalah dengan menyiksa diri sendiri.
22. Saya sangat sayang dengan hidup saya sendiri. 23. Seandainya saya tidak lulus ujian sekolah, saya
berharap lekas mati daripada menanggung malu di sekolah.
24. Meskipun menanggung rasa malu, saya tidak pernah berpikir untuk mengakhiri hidup.
25. Betapapun beratnya beban yang sedang ditanggung, akan hilang dengan sendirinya bersama kematian.
26. Bunuh diri merupakan hal yang sangat bodoh untuk dilakukan.
27. Saya sangat senang mempelajari cara-cara bunuh diri.
28. Saya akan menyesal jika sampai melukai diri sendiri.
29. Saya kehilangan semangat hidup ketika sedang menghadapi persoalan hidup.
30. Ketika mengetahui ada kekurangan pada saya, saya tidak akan mencari cara untuk menyiksa diri hanya sekedar melupakan kekurangan tersebut.
31. Bunuh diri adalah salah satu cara menyelesaikan masalah yang mudah dari pada harus memikirkannya terus-menerus.
32. Bunuh diri tidak akan menyelesaikan permasalahan, hanya akan menambah beban dan aib saja.
33. Saya merasa puas dapat menghukum diri sendiri ketika melakukan kesalahan.
34. Saya membenci orang-orang yang melakukan perbuatan bunuh diri.
35. Saya akan menghukum diri sendiri bila melakukan kesalahan.
36. Ketika sedang menghadapi persoalan, saya senantiasa berdoa pada Tuhan agar dijauhkan dari pikiran untuk mengakhiri hidup ini.