Download - Bulan bahasa dan sastra

Transcript
Page 1: Bulan bahasa dan sastra

Bulan Bahasa dan Sastra

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki keragaman etnik dan budaya. Salah satu di antaranya adalah keragaman bahasa dan sastra. Keragaman bahasa dan sastra di Indonesia menjadi kekayaan yang tidak ternilai harganya. Peta Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia (2008) telah mengidentifikasi 442 bahasa daerah di Indonesia. Bertolak dari keragaman itu, bangsa Indonesia menjadi lebih paham akan arti persatuan. Meskipun beragam latar bahasanya, bangsa Indonesia terhubung melalui bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Meskipun penggunaan bahasa Indonesia cenderung tergusur oleh pemakaian bahasa asing, bahasa Indonesia masih tetap memegang fungsinya sebagai sarana komunikasi yang menyatukan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pengutamaan bahasa Indonesia sebagai identitas nasional bukan hanya tugas Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB), melainkan  juga tugas seluruh rakyat Indonesia. Kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan setiap tahun adalah upaya BPPB untuk membina dan mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia, serta bertekad memelihara semangat dan meningkatkan peran serta masyarakat luas dalam menangani masalah bahasa dan sastra itu.

Kegiatan yang dilaksanakan dalam acara Bulan Bahasa dan Sastra terdiri dari beberapa kegiatan. Ada kegiatan yang diadakan sebagai ajang berkarya atau berekspresi, ada kegiatan yang diadakan sebagai ajang peningkatan kualitas berbahasa Indonesia, dan ada kegiatan yang diadakan sebagai ajang perlombaan.

Bulan Bahasa dan Sastra melibatkan masyarakat luas, tidak hanya siswa, mahasiswa, guru, dan dosen, tetapi juga orang asing yang berada di luar negeri (lomba keterampilan berbahasa Indonesia bagi peserta BIPA).

Bulan Oktober seakan menjadi bulan spesial bagi bangsa Indonesia. Mungkin tidak banyak yang tahu kalau bulan Oktober adalah hari di mana bangsa Indonesia secara de jure mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Tentunya kita tidak lupa dengan sepotong kalimat ini, “Kami putra-putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia”. Kalimat itu merupakan sepenggal dari tiga poin yang terdapat dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Singkat, namun merupakan suatu tonggak baru, bahwa bangsa Indonesia sudah mempunyai “tali” yang menyatukan ratusan suku bangsa dengan ratusan bahasa itu: bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia merupakan salah satu varian bahasa Melayu dan telah digunakan di Nusantara sejak berabad-abad yang lalu. Dalam bukunya, Collins (2005:8) menulis bahwa teks tertua dalam bahasa Melayu selesai ditulis di atas sebuah batu di Sumatera bertanggal 682. Hal ini juga menunjukkan bahwa bahasa Melayu telah digunakan di Nusantara jauh sebelum masa itu. Ramainya pedagang asing yang datang dari China, Portugis, Spayol, Belanda, Inggris, dan lain-lain, memaksa mereka untuk mencari bahasa pengantar agar bisa berkomunikasi satu sama lain. Karena itu, mereka menggunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang mereka gunakan ini merupakan cabang bahasa lisan yang dengan sendirinya terus berubah dan berkembang berdasarkan perubahan-perubahan historisnya. Bahasa Melayu lisan inilah yang kemudian dikenal sebagai bahasa Melayu Pasar atau bahasa Melayu Rendah. Adapun bahasa Melayu tulis hanya dikenal di lingkungan pengguna bahasa Melayu itu sendiri, dan lazim disebut sebagai bahasa Melayu Riau atau bahasa Melayu Tinggi (Sumardjo, 2004:253).

Untuk melihat perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, diperlukan periodisasi perkembangan bahasa Melayu. Kridalaksana menggunakan pendekatan sejarah, yaitu bukti-bukti tertulis untuk membagi perkembangan bahasa Melayu ke dalam beberapa periode. Kridalaksana (1991:5) membagi periodisasi sejarah bahasa Melayu atas:

1) bahasa Melayu Kuna yang meliputi kurun abad ke-7 sampai abad ke-14

Page 2: Bulan bahasa dan sastra

2) bahasa Melayu Tengahan yang mencakup bahasa Melayu Klasik dalam kurun waktu abad ke-14 sampai abad ke-18

3) bahasa Melayu Peralihan yang mencakup kurun abad ke-19

4) bahasa Melayu Baru yang dipergunakan sejak awal abad ke-20.

Seiring dengan meluasnya pengaruh dan penggunaan bahasa Melayu di Tanah Air, rasa persatuan dan persatuan penduduk di Nusantara pun tumbuh. Melihat itu, para pemuda Indonesia lalu berinisiatif secara sadar menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Tak hanya itu, bahasa Indonesia juga dijadikan bahasa persatuan yang digunakan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang mengiikrarkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yang semuanya dengan nama Indonesia.

Isi Sumpah Pemuda adalah sebagai berikut:

1.Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia.

2.Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

3.Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Demikian, bahasa Indonesia tidak hanya digunakan sebagai bahasa persatuan, tapi juga sebagai bahasa resmi, bahasa pemerintahan, dan bahasa pengantar pendidikan. Tak hanya itu, bahasa Indonesia juga digunakan sebagai bahasa pergaulan, di mana bahasa Indonesia bersifat terbuka. Artinya, bahasa Indonesia bisa dan sanggup menerima pengaruh dari bahasa lain, antara lain Arab, Belanda, Portugis, Inggris, bahkan Yunani. Contohnya: musyawarah dan doa (Arab); internet dan telepon (Inggris), kulkas (Belanda), Minggu (Portugis).

Namun sayang, penghargaan akan bahasa Indonesia kini semakin pudar. Ketertarikan terhadap bahasa dan kesusastraan Indonesia makin menipis. Kini tak banyak lagi generasi muda tahu novel-novel lawas yang dulu pernah berjaya di Tanah Air, sebut saja Layar Terkembang, Siti Nurbaya, dan Bumi Manusia. Karya sastra asing seperti aneka novel chicklit atau teenlit mendominasi deretan terdepan rak toko buku.

Tak hanya itu, dengan banyaknya sekolah berlabel “internasional”, bahasa Indonesia kini tidak lagi menjadi bahasa pengantar di institusi pendidikan lagi. Bahasa Inggris kini menjadi “raja” dengan iming-iming bahasa pergaulan global bagi para pelajar.

Menguasai bahasa asing memang baik, tapi alangkah baiknya bila bahasa dan sastra Indonesia tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri sehingga penghargaan atas bahasa Indonesia tetap terjaga. Selamat bulan bahasa!!

Page 3: Bulan bahasa dan sastra

Saudaraku semuanya, sebelum berbicara lebih jauh, ingin rasanya saya bercerita tentang satu pertanyaan yang mengusik saya beberapa hari yang lalu, berkenaan dengan perayaan Bulan Bahasa kali ini. Mengapa tanggal 28 Oktober? Mengapa bukan tanggal yang lain? Ya, mungkin sebagian dari saudara – saudara yang hadir di sini mampu memberikan jawaban yang signifikan, bahwasanya pada tanggal itulah, 83 tahun yang lalu, putera dan puteri Indonesia yang tergabung dari berbagai suku dan etnis bersatu dan mengikrarkan Sumpah Pemuda

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa IndonesiaKami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Namun, Saudara – Saudaraku sekalian, masih saja tersisa sebersit pertanyaan berkecamuk di dalam diri saya sebagai salah satu dari apa yang dinamakan putera dan puteri Indonesia ini : Masihkah jiwa dan ruh dari semangat persatuan itu berpijar di dalam diri kita, Putera dan Puteri Ibu Pertiwi, Indonesia? Masihkah tersisa bara api Sang Binatang Jalang Chairil Anwar, misalnya, yang menghantam nurani kita dengan raungannya,“SEKALI BERARTI, SUDAH ITU MATI” memenuhi relung hati kita semua? Di sini, di panggung ini? Di ruang – ruang kelas? Di SMA Negeri 1 Rendang ? Di Bali? Di bumi Indonesia?

Saya skeptis, Saudara – saudara... Ijinkanlah saya mengutarakan alasannya berdasarkan fakta dan realita, dan bukan karena pendapat maupun opini saya pribadi. Ya, di dalam hati saya ragu, misalnya, karena sekarang kita menitikberatkan kepada bahasa sebagai media pemersatu bangsa, sudahkah kita memberi arti kepada Sumpah untuk berbahasa dengan baik dan benar? Satu contoh sederhana saja, Masihkah sebagian besar dari kita, ketika berpidato, mengawali sambutan dengan mengatakan “Yang Terhormat”, alih – alih mengatakan “Kepada yang Terhormat” karena “kepada” yang digabungkan dengan “yang Terhormat” menjadi frase yang mubazir?

Masih seringkah kita mendengarkan para guru kita menyuruh kita ‘maju!’ atau ‘ke depan!’ dan bukannya ‘maju ke depan!’... karena yang maju pasti ke depan, dan yang ke depan pasti maju? Kita berhadapan dengan ambiguitas berbahasa semacam ini dari waktu ke waktu, namun luput dari perhatian kita, seperti juga kita keliru mengatakan ‘mengejar ketertinggalan’ ketika seharusnya kita mengatakan ‘mengejar kemajuan.’ Mengatakan ‘Saya’ untuk menunjukkan orang pertama tunggal dan bukannya mengatakan ‘Kami’. Anda lihat, saya berdiri di sini, hari ini, di panggung ini berkata “ Ijinkanlah SAYA menyampaikan beberapa patah – kata” dan bukannya “Ijinkanlah KAMI menyampaikan beberapa patah kata,” karena saya orang pertama tunggal, bukannya kumpulan orang – orang!

Saudara – saudaraku, itulah sedikit gambaran betapa menyedihkannya keberbahasa-Indonesia-an kita setelah sekian kali kita merayakan Bulan Bahasa. Sepertinya bara api yang pernah dikobarkan para pemuda kita itu tergerus oleh waktu.

Hilang bentuk. Remuk.

Page 4: Bulan bahasa dan sastra

Kemudian,hadirin sekalian, pada era sekarang ini, problematika berbahasa Indonesia yang baik dan benar ini makin diperparah lagi dengan trend – trend prokem serta pengacak – acakan unsur – unsur bahasa, hingga ke dalam tata – bahasa, bahkan kata – kata. Anak muda sekarang merasa bangga bisa mengaplikasikan jargon “So what gitu loh”, “Sesuatu banget..”, “E.G.P”, dan dengan tanpa perasaan bersalah mengubah fungsi angka 4 menjadi huruf A, angka lima menjadi huruf S, dan seterusnya... sehingga “SAYA PERGI KE SEKOLAH” menjadi “54Y4 P312G1 K3 S3K0L4H”. Kita berkilah itulah bahasa gaul, bahasa yang menunjukkan identitas pemuda – dan pemudi moderen, kreatif dan panjang akal. Tanpa kita sadari, kita telah memperkosa bahasa sendiri, melecehkan sumpah yang diliputi oleh rasa kebanggan sebagai satu kesatuan Nusantara. Perjuangan para pelopor rasa kebangsaan itu menjadi sia – sia. Mereka meratap memanggil sayup – sayup:

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debuKenang, kenanglah kamiKami sudah coba apa yang kami bisaTapi kerja belum selesai, belum apa-apaKami sudah beri kami punya jiwa(Kutipan dari puisi “Kerawang – Bekasi”, karya Chairil Anwar)

Hadirin yang saya hormati, kiranya tidaklah berlebihan bila saya menghimbau kepada seluruh pemuda – pemudi Indonesia, sebagai harapan bangsa mulai memaknai Bulan Bahasa kali ini dengan cara yang sebaik – baiknya dan sebenar – benarnya, seperti juga di dalam berbahasa hendaklah baik dan benar. Peribahasa mengatakan “Bahasa menunjukkan bangsa.” Apalah artinya suatu bangsa tanpa bahasa yang baik dan benar? Tinggal wilayah hampa tanpa harga diri dan kebanggaan, di mata dunia maupun di mata anak – cucu kita nanti.

Semoga Tuhan senantiasa menyertai langkah kita, khususnya para pemuda – ppemudi, pelajar serta mahasiswa dalam menegakkan kebudayaan berbahasa yang baik dan benar. Semoga Bahasa Indonesia bertambah jaya, bertambah perkasa dalam mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa, negara, masyarakat dan juga keluarga. Amin!