-Pandangan Pakar-
Dalam hal JKN, perlu perbaikan secara mendasar dan sistimatis yang menyangkut: 1. Peran dan tata hubungan antar pemangku kepentingan utama yaitu BPJS, Presiden (Pemerintah/Kemkes), Dewan pengawas, pemberi pelayanan kesehatan (RS, Puskesmas, dokter dll), peserta dan daerah, 2. Kepesertaan terutama sektor informal harus diupayakan dengan pendekatan berbeda, 3. Penyempurnaan cara pembayaran pada fasilitas Kesehatan di sesuaikan dengan harga keekonomian, 4. Perbaikan proses monitoring dan evaluasi yang ketat melibatkan banyak pihak untuk menghindari fraud. 5. Peningkatan sosialisasi dan edukasi yang masif
kesemua pihak. Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, Ph.D
Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Semangat akademik yg pantang menyerah dan berbasiskan pada kebebasan intelektual adalah kunci pembuka innovasi-innovasi baru. Ini akan
membuka kemandirian yg sejati dalam swasembada bahan baku obat. Prof. Umar Anggara Jenie, Apt. M.Sc. Ph.D
Kepala LIPI (2002-2010), Anggota AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), Anggota KIN (Komite Inovasi Nasional)
Masalah pemerataan kesehatan saat ini menjadi poin penting dalam
pembangunan kesehatan di Indonesia, khususnya dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan pencapaian MDG’s. Diperlukan komitmen dan keseriusan pemerintah untuk menciptakan keadilan dan pemerataan kesegatan bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanah
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes
Direktur Administrasi dan Keuangan di Gadjah Mada Medical Centre
Goresan Pena yang Kami Persembahkan untuk Indonesia
Dari Kampus Kerakyatan
Goresan Pena yang Kami Persembahkan untuk Indonesia
Dari Kampus Kerakyatan
Desain cover dan layout:
Ahmad Jauhar Hilmy
i
PENGANTAR
Membaca sepak terjang mahasiswa tentu tak bisa dilepaskan
dengan karakter asasi yang mereka miliki. Di belahan daerah
Indonesia manapun, mahasiswa tampil memukau sebagai ruh
pembaharu dan memainkan narasi istimewa sejarah bangsa dari waktu
ke waktu. Ya, mahasiswa Indonesia sejak kemunculannya senantiasa
memberi respon terhadap problematika yang hadir di tengah
masyarakat. Hal itulah yang kemudian memberangkatkan kami aktivis
mahasiswa gadjah mada, untuk bergerak mengawal isu kepemimpinan
nasional, khususnya Pemilihan Presiden 2014.
Selain sebagai satu upaya untuk memelihara semangat
pergerakan mahasiswa di atas, “Buku Emas” karya Serikat Mahasiswa
Kerakyatan (Semarak) UGM ini merupakan bentuk komitmen kami
mempertahankan tradisi intelektual mahasiswa yang perlahan padam.
Sebetulnya hasrat untuk membukukan tulisan aktivis mahasiswa
gadjah mada, telah terwujud dalam beberapa kurun belakangan.
Namun, hal itu tak menguncupkan semangat kami untuk menyajikan
kompilasi gagasan sebab tema “sensitif” tahun ini; Pemilihan Presiden
2014. Agenda besar bangsa ini memang menjadi momen indah untuk
menyuarakan dan terlibat ide secara intelektual ala aktivis mahasiswa,
terhadap apa yang akan terjadi pada bangsa minimal lima tahun
kedepan.
ii
Relasi atas banyak hal di atas, buku ini menyajikan karya
suntingan dengan beragam tajuk sektoral yang kami pilih dan
kumpulkan. Sumber tulisan tak lain dipetik dari hasil tempat kami
menyemai dan meninginternalisasi gagasan, baik diskusi publik
maupun kajian bidang. Tulisan yang terkumpul merentang dalam
waktu singkat, tidak lebih dari dua bulan. Itu yang kemudian membuat
kami berkejar dengan waktu pada tahap perampungan-nya.
Akhirnya, seiring mobilitas negara yang tengah bersiap
menyongsong fase baru melalui presiden baru pasca Pemilu 2014,
adalah satu keniscayaan untuk semakin mengokohkan “iklim peduli”
kepada masyarakat Indonesia melalui “Prakata” ini. Serta secara
sederhana, kami berharap “Buku Emas” Semarak UGM mampu
menjadi referensi siapapun presiden terpilih nanti dalam berbagai
sektoral dan bidangnya. Dan tentunya menjalankan amanah sebagai
“imam” negara sebagaimana solusi yang kami tawarkan dalam buku
ini dan banyak pihak.
Yogyakarta, 3 Juli 2014
Serikat Mahasiswa
Kerakyatan (Semarak) UGM
1
DAFTAR ISI
PENGANTAR ........................................................................................i
DAFTAR ISI ............................................................................................ii
Kajian Tertulis BEM/DEMA/LM Fakultas
Arah Prioritas Pembangunan Indonesia
BEM Fakultas Geografi .................................................................... 1
Menggagas Kedaulatan Nuklir di Indonesia 2014-2019
Kajian Strategis BEM KM Fakultas MIPA ....................................... 18
Koperasi Energi: Menyongsong Optimalisasi Energi Terbarukan
Indonesia Berlandaskan Ekonomi Kerakyatan yang
Berkedaulatan
Kajian Strategis BEM KM UGM ...................................................... 31
Suara Teknik Untuk Presiden
BEM KM Fakultas Teknik ................................................................ 41
Quo Vadis Perjalanan Hukum di Indonesia ?
Kajian Strategis Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum .. 67
Korupsi: Permasalahan Klasik yang Menjadi Modern
“Quo Vadis Pemberantasan Korupsi Modern ?”
Ketua Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum……………... 80
2
Surat Cinta Untuk Presiden
BEM Fakultas Ekonomika dan Bisnis ............................................... 88
ASEAN Vision 2020: Bersatu dalam Kepentingan
Ketua Bidang Kajian Intelektual & Hubungan Eksternal BEM FEB 93
Problematika Perubahan Kurikulum Pendidikan Indonesia
Lembaga Mahasiswa Fakultas Psikologi ......................................... 98
JKN Untuk Indonesia Sehat
BEM Fakultas Kedokteran ............................................................... 108
Solusi Problema Maldistribusi Tenaga Kesehatan Berkaitan
Dengan Globalisasi Sektor Kesehatan: Usulan Langkah
Strategis Bagi Pasangan Presiden-Wakil Presiden Terpilih
BEM KM Fakultas Kedokteran Gigi .............................................. 118
Pembangunan Negara Melalui Industri Farmasi Terintegrasi
dan Swasembada Bahan Baku Obat
BEM KM Fakultas Farmasi ........................................................... 136
Melawan Hegemoni (Industri) Rokok: Jalan Terjal Menuju
Indonesia Sehat (Analisis Kebijakan Rokok di Indonesia)
Mahasiswa Fisipol, Kepala Kastrat & Advokasi 9cm…………... 142
Menggagas Kedaulatan Biodiversitas dan Kearifan Lokal
Indonesia Indonesian Movement for Biodiversity (I-Mob),
BEM Fakultas Biologi ................................................................... 157
Melawan Asap Riau
BEM Fakultas Biologi…………………………………………….. 168
Polemik dan Potensi Implementasi Program Swasembada
3
Daging
BEM Fakultas Peternakan & BEM Fakultas Teknologi Pertanian
.......................................................................................................... 176
Referensi ....................................................................................... 184
4
5
Arah Prioritas Pembangunan Indonesia
BEM Fakultas Geografi
Pendahuluan
Indonesia merupakan daerah yang kaya akan sumber daya
alamnya dan sumber daya manusianya. Kekayaan di Indonesia
tersebut meliputi kekayaan hayati dan non hayati. Potensi tambang di
Indonesia Indonesia berdasarkan data Indonesian Mining Asosiation
menduduki peringkat ke-6 terbesar untuk negara yang kaya akan
sumber daya tambang. Cadangan batubara Indonesia hanya 0,5% dari
cadangan dunia, namun produksi Indonesia posisi ke-6 sebagai
produsen dengan jumlah produksi mencapai 246 juta ton, peringkat 25
sebagai negara dengan potensi minyak terbesar yaitu sebesar 4.3
milyar barrel. cadangan emas Indonesia berkisar 2,3% dari cadangan
emas dunia. Cadangan emas Indonesia berkisar 2,3% dari cadangan
emas dunia. Menduduki peringkat ke-7 yang memiliki potensi emas
terbesar didunia. Menduduki peringkat ke-6 dalam produksi emas di
dunia sekitar 6,7%. Menduduki peringkat ke-5 untuk cadangan timah
terbesar di dunia sebesar 8,1% dari cadangan timah dunia dan juga
menduduki peringkat ke-2 dari sisi produksi sebesar 26% dari julah
produksi dunia. Peringkat ke-7 untuk cadangan tembaga dunia sekitar
4,1% dan peringkat ke-2 dari sisi produksi sebesar 10,4% dari
produksi dunia. Peringkat ke-8 cadangan nikel dunia (cadangan nikel
Indonesia sekitar 2,9% dari cadangan nikel dunia), dengan peringkat
6
ke-4 dunia dari sisi produksi sebesar 8,6% (Association Of Indonesian
Environmental Observers, 2005).
Hanya saja fakta yang ada, Indonesia tidak mampu mengolah
sumber daya alam yang ada ini dikarenakan sumber daya manusianya
yang kurang mampu. Masalah kependudukan yang berkait dengan
kualitas sumberdaya manusia atau SDM bisa ditelaah dari berbagai
segi. Dalam hal ini yang akan diuraikan adalah dari sisi indeks
pembangunan manusia (IPM), tingkat pendidikan, tingkat kematian
bayi, kemiskinan dan pengangguran. Laporan dari United Nations
Development Program (2012) menunjukkan IPM Indonesia Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia sangat rendah. Pada tahun 2011
IPM Indonesia berada di urutan 124 dari 187 negara yang disurvei,
dengan skor 0,617. Hal ini cukup menghawatirkan karena urutan ini
turun dari peringkat 108 pada tahun 2010. Posisi ini tidak bergeser di
kawasan ASEAN. Peringkat pertama IPM adalah Singapura dengan
nilai 0,866 dan disusul Brunei dengan nilai IPM 0,838, disusul
Malaysia (0,761), Thailand (0,682,) dan Filipina (0,644). Indonesia
hanya unggul dari Vietnam yang memiliki nilai IPM 0,593, Laos
dengan nilai IPM 0,524, Kamboja dengan nilai IPM 0,523, dan
Myanmar dengan nilai IPM 0,483, katanya. Hal yang menarik untuk
diungkapkan adalah rendahnya IPM Indonesia ini menunjukkan
pengaruh alokasi 20 persen anggaran sektor pendidikan dari APBN
belum signifikan. Kondisi gambaran IPM di atas sekaligus
menunjukkan kemampuan daya saing SDM Indonesia. Data terakhir
7
menunjukkan peringkat daya saing SDM Indonesia merosot tajam dari
44 pada tahun 2011 menjadi 46 pada tahun 2012 (UNDP dalam
Puzzleminds).
Melimpahnya kekayaan di Indonesia yang tidak diiringi oleh
penngkatan kualitas SDM yang baik, akan menimbulkan ketidak
jelasan pangolahan sumber daya alam yang ada. Secara umum, SDA
yang ada akan mampu menjadi fasilitator pergerakan masyarakat
dalam memajukan bangsa ini. Sudah tercantum jelas pada amanat
UUD 1945 pasal 33 ayat 3, yakni: bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara berkembang dan
berada pada zaman tinggal landas yang ditandai dengan transisi zaman
agraris ke era industri memerlukan kebijakan pengembangan untuk
mengiringi perubahan zaman yang ada. Hanya saja, ketidak jelasan
kemana bangsa ini muncul mau di bawa kemana bangsa ini, karena
tambang tidak jelas majunya, industri juga tidak tau pergerakankan,
atau agraris dan maritim yang juga sudah entah kemana. Maka dari
itu, perlunya mengkaji permasalahna yang ada dengan kemabali
kepada kesadaran geopolitik dan geostrategi bangsa ini dengan
menggunaka metode persebaran spasial data permaslahan yang ada
untuk membantu perencanaan pembangunan negara.
Analisis dan Pandangan
8
Keadaan diatas dapat di uraikan dari beberapa asumsi yang
dapat di kaji untuk menemukan strategi penyelsaiannya. Keterkaitan
antara SDA, kualitas SDM, kasus korupsi yang ada, serta fakta
persebaran derah tertinggal dapat di uraikan secara komprehensif.
Secara tidak langsung tetap akan menuju kualitas SDM negara ini
dalam pengelolaan melalui kebijakan-kebijakan yang ada. Hanya saja
kabijakan saat ini, tidak berpihak untuk kemajuan dan kesejahteraan
rakyat akibat dari tidak mampunya SDA dalam menghadapi arus
globalisasi. Maka dari itu, untuk mengawali pemerintahan baru ini,
perlu adanya pandangan baru mengenai strategi untuk memperkokoh
ketahanan negra secara merata pada masyarakatnya dan perangkat
pemerintahannya.
Realita dan Arah Prioritas Pembangunan
1. Keterkaiatan potensi sumberdaya dengan data persebaran
daerah tertinggal
Secara teori, daerah yang memilik SDA tinggi,mampu menjadi
daerah yang maju dengan diiringi SDM yang tinggi. Permasalahan di
atas juga terkait dengan pembangunan daerah (otonomi daerah).
Pengembangan suatu daerah perlu dilakukan secara terus-menerus
dan berkesinambungan. Hal tersebut melibatkan berbagai potensi
sumber daya yang dimiliki dan dapat menjadi sentra yang akan
memberikan kontribusi bagi perkembangan daerah-daerah sekitarnya.
Potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber pengembangan antara
9
lain: sumber daya alam (natural resources), sumber daya manusia
(human resources). Sumber daya alam (SDA). Di samping itu juga
perlu memperhatikan keterlibatan pemerintah – masyarakat/lembaga
swadaya masyarakat – pihak swasta dalam mendukung
pengimplementasian kebijakan perencanaan pengembangan daerah
yang dimaksudkan. Hal ini dilakukan dalam upaya membangun
sinergisitas untuk mencapai hasil yang optimal.
Potensi sumberdaya manusia adalah potensi yang dimiliki oleh
penduduk yang menempati wilayah tertentu. Potensi sumberdaya
diambil dari angka ketergantungan tiap wilayah yaitu angka yang
diambil dari membandingkan banyaknya usia kerja (15-64 tahun)
dengan usia non-kerja (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas). Unit analisis
potensi sumberdaya adalah dalam lingkup provinsi yang dalam hal ini
Indonesia dibagi menjadi 33 provinsi. Kategori potensi sumberdaya
ini dalam kata lain ditentukan dari kuantitasnya karena untuk kualitas
mengukurnya cukup sulit dan umumnya bersifat perkiraan.
10
Dari 33 Provinsi yang ada di Indonesia, telah terkategorikan
daerah yang memiliki potensi sumberdaya manusia rendah dengan
Rasio Ketergantungan lebih tinggi dari 55,95% sebanyak 9 Provinsi
yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku
dan Maluku Utara. Provinsi yang memiliki potensi sumberdaya
manusia sedang dengan Rasio Ketergantungan antara 49,64% hingga
55,95% sebanyak 14 Provinsi yaitu, Provinsi Riau, Jambi, Sumatera
Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah,
Gorontalo, Papua dan Papua Barat. Sedangkan, potensi sumberdaya
manusia tinggi dengan Rasio Ketergantungan < dari 49,64%
sebanyak 10 Provinsi yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Bangka
11
Belitung, Banten, DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali,
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara (BPS,
2010).
Beragamnya kondisi yang dialami setiap daerah dalam hal
rasio ketergantungan tentu memberikan dampak terhadap
kesejahteraan penduduk di daerah tersebut. Kesejahteraan penduduk
yang rendah merupakan salah satu indikator dalam menentukan
apakah daerah tersebut tergolong sebagai daerah yang maju atau justru
tertinggal. Berikut adalah gambaran spasial terkait maju atau
tertiggalnya kondisi kesejahteraan suatu daerah yang cenderung
tersebar pada daerah di luar Jawa.
Idealnya, dengan rasio ketergantungan yang rendah, potensi
penduduk untuk melakukan strategi penghidupan akan semakin
12
meningkat bila dibandingkan daerah lain, sehingga kesejahteraan
dalam pembangunan pun akan turut terdorong. Namun yang terjadi
terdapat Provinsi yang memilki rasio ketergantungan yang tinggi
sehingga mengakibatkan pembangunan berlangsung lesu. Provinsi
yang tercatat memilki rasio ketergantungan penduduk yang tinggi dan
tergolong sebagai daerah tertinggal di antaranya adalah Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan
Maluku Utara.
Mengacu pada data rasio ketergantungan di atas, dapat
disimpulkan pada daerah dengan SDM yang rendah selalu diiringi
dengan fakta bahwa daerah tersebut merupakan daerah tertinggal. Hal
ini menyatakan bahwa peran SDM dalam pembangunan sangatlah
penting. Tingginya rasio ketergantungan penduduk perlu diatasi
dengan upaya peningkatan produktivitas penduduk sehingga beban
penduduk usia produktif untuk mensejahterakan anggota keluarganya
dapat diringankan. Upaya peningkatan produktivitas penduduk
terjabarkan dalam rangkaian solusi yang kami tawarkan sebagai
berikut.
Solusi
1. Membangun kembali kesadaran geopolitik dan geostrategi
Indonesia
Hal ini dapat dilakukan dengan pengenalan wilayah dan
kekayaan Indonesia kepada masyarakat Indonesia itu sendiri dari
13
berbagai kalangan. Hal ini dapat didukung dengan ilmu geografi
lingkungan dan sosial yang di kembangkan sesuai penerapannya.
2. Mengatur strategi meningkatan kualitas penduduk lewat
pendidikan dan kesehatan. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengacu pada data persebaran spasial tingkat pendidikan, ratio
umur ketergantungan, dan keadaan geografis setiap daerah,
terutama di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sualawesi Barat,
Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara.
3. Mewujudkan upaya peningkatan produktivitas penduduk.
Kebijakan ini dapat dilakukukan dengan membuka peluang
pekerjaan seluas-luasya maupun dengan mengoptimalkan usaha
kecil menengah dari masyarakat. Hal tersebut dinilai cukup
ampuh dalam mengurangi jumlah pengangguran dari penduduk
usia produktif, sehingga beban ketergantungan dapat berkurang.
2. Keterkaitan antara kekayaan SDA dan peluang korupsi
dengan faktor rendahnya kualitas SDM
Tindakan korupsi merupakan permasalah yang sudah mengakar
di Indonesia. Banyak faktor yang melatar belakangi tindakan ini.
Salah satunya adalah kelimpahan sumber daya alam di suatu daerah
tidak seimbang dengan proses peningkatan kualitas sumber daya
manusia di daerah tersebut. Data pemetaan persebaran kasus korupsi
dan nilai SDA dapat di ketahui fakta yang terjadi diatas. Secara
umum, apabila suatu daerah memiliki SDA tinggi, maka suatu daerah
14
tersebut mampu menjadi daerah yang maju dan SDM yang ada
semestinya memilki kualitas yang baik. Hanya saja hasil pengolahan
SDA yang ada tidak teralokasikan dengan baik untuk pembangunan
daerah. Sehingga tidak heran apabila fakta yang terjadi seperti di
daerah Papua maupun dimana pada daerah tersebut merupakan daerah
tertinggal dengan SDA melimpah.
Potensi SDA yang menjadi dasar pemetaan merupakan
sumberdaya yang memilki pengaruh besar terhadap pendapatan
daerah dan keberlangsungan lingkungakan hidup. Sumberdaya Alam
tersebut meliputi luas hutan produktif dan hasil tamabang yang
diterima dari setiap provinsi di Indonesia. Berikut adalah peta potensi
kekayaan SDA yang dimilki setiap provinsi.
15
Indonesia memang negara yang melimpah SDA-nya. Hanya
saja, kelimpahan tersebut tidak memberikan dampak yang seharusnya
baik bagi SDM-nya. Pemetaan data SDA dan SDM menunjukkan
pada daerah yang memiliki SDA melimpah tidak menunjukkan
kualitas SDM yang tinggi. Hal tersebut menjadi salah satu indikasi
tersendiri pada kasus korupsi dalam pengelolaan SDA maupun proses
pembangunan di daerah tersebut. Misalnya pada Provinsi Papua,
secara gamblang, dapat kita ketahui bahwa Papua merupakan daerah
dengan sumber daya tambang sangat melimpah dan luas hutan yang
begitu besar. Ironisnya, Papua merupakan daerah tertinggal dengan
kualitas SDM rendah. Padahal, hasil dari SDA yang ada apabila di
kelola dengan baik dan benar akan mampu membiayai pembangunan
daerah di segala sektor/bidang dengan baik dan fasilitas infrastruktur
yang sangat memadahi. Bukankah sangat disayangkan apabila
masyarakat yang memilki SDA tidak dapat menikmati hasilnya secara
layak. Memang kondisi riil di lapangan, SDA yang ada belum mampu
diurus oleh SDM dalam negri secara optimal. Hanya saja paling tidak
dalam pengembalian manfaat SDA layak bagi masyarakat sekitar dan
mampu meningkatan kualitas SDM-nya dan menjadikan daerah
tersebut sebagai daerah maju.
16
Banyaknya kekayaan alam yang tersedia, mampu menjadi
sumber dana dalam pembangunan daerah seluruh negeri. Hanya saja
kualitas SDM dalam pengeloaan kekayaan melimpah tersebut juga
turut ambil bagian dalam mempertanggung jawabkan wujudnya di
lapangan. Sebab sudah terlihat fakta dari data yang di dapat, kasus
korupsi di daerah dengan SDA melimpah memiliki intensitas tinggi.
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalah Keterkaitan antara
kekayaan SDA dan peluang korupsi dengan faktor rendahnya kualitas
SDM, terdapat beberapa solusi yang kami tawarkan:
Solusi
1. Pembentukan aparatur pemerintahan yang bersih dan ahli di
bidangnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan
mekanisme pembentukan aparatur yang terbebas dari KKN
17
terutama pada daerah yang jauh dari pengawasan pemerintah
pusat dan rentan untuk terjadi tindakan korupsi seperti Provinsi
Papua, Papua Barat, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, NAD, dan Sumatera Utara.
2. Penegakan hukum yang tegas pada setiap tindak pidana korupsi.
Kebijakan ini diberlakuakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku tanpa pandang bulu kepada setiap
pemangku kepentingan yang ada.
3. Perumusan kebijakan yang mengarah kepada bagi hasil
pengelolaan kekayaan SDA yang berkeadilan. Dengan demikian,
pemerintah daerah tidak perlu membatasi dalam mendatangkan
para investor asing, namun yang dibutuhkan adalah penegakan
hukum sehingga pemerintah tetap dapat melakukan kontrol
penuh terhadap setiap hasil dari pengelolaan SDA. Hasil
pengelolaan tersebut dapat dijadikan sebagai sumber pembiayaan
pembangunan untuk peningkatan kualitas SDM, perbaikan
infrastruktur, dan lain sebagaianya.
14
15
16
17
18
Sektor Energi dan Infrastruktur
Menggagas Kedaulatan Nuklir di Indonesia 2014-2019
Kastrat BEM KM Fakultas MIPA
Energi Nuklir menjadi Energi yang menjadi perhatian besar
bagi dunia dengan efisiensi yang dihasilkan dari Nuklir terhadap
supply kebutuhan energi masyarakat. Belgia, Bulgaria, Republik
Ceko, Finlandia, Perancis, Hungaria, Jepang, Korea Selatan, Slovakia,
Slovenia, Swedia, Swiss dan Ukraina semua mendapatkan 30% atau
lebih dari listrik dari reaktor nuklir. Amerika Serikat memiliki lebih
dari 100 operasi reaktor, memasok 20% dari listrik. Perancis
mendapat tiga perempat dari listrik dari uranium. Lebih dari 14% dari
listrik dunia dihasilkan dari uranium dalam reaktor nuklir.
Program Nuklir Indonesia merupakan program Indonesia
untuk membangun dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi nuklir baik di bidang non-energi maupun di bidang energi
untuk tujuan damai. Pemanfaatan non-energi di Indonesia sudah
berkembang cukup maju. Sedangkan dalam bidang energi
(pembangkitan listrik), hingga tahun 2011 Indonesia masih berupaya
mendapatkan dukungan publik, walaupun sudah dianggap kalangan
internasional bahwa Indonesia sudah cukup mampu dan sudah saatnya
menggunakannya.
Indonesia memiliki beberapa alasan untuk membangun reaktor
tersebut:
19
1. Konsumsi energi Indonesia yang besar dengan jumlah
penduduk 237 juta (sensus 2010).
2. Nuklir akan mengurangi ketergantungan akan petroleum.
3. Jika konsumsi energi dapat disediakan dengan nuklir,
Indonesia dapat memproduksi lebih banyak minyak bumi.
4. Memproduksi energi yang dapat diperbaharui lainnya, seperti
angin dan tenaga matahari lebih mahal.
5. Jepang, seperti Indonesia, sering terkena gempa bumi, tetapi
memiliki reaktor nuklir.
6. Emisi gas dapat dikurangi.
Kedaulatan Energi Nuklir di Indonesia seakan menjadi
dilema, keresahan akan fenomena yang terjadi di Chernobyl, Ukraina,
dan Fukushima, Jepang menjadi hantu yang membuat takut
masyarakat Indonesia akan dibangunnya reactor nuklir dan kebijakan
pemerintah tentang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir.
Kondisi pembangunan PLTN di Indonesia
1. Rencana Pembangunan PLTN di Bangka Belitung
Kepala Bidang Pengkajian Kelayakan Tapak PLTN Pusat
Pengembangan Energi Nuklir (PPEN) BATAN Kurnia Anzhar
menyebutkan studi kelayakan calon tapak PLTN di Bangka Barat dan
Bangka Selatan telah dilaksanakan selama tiga tahun dan berakhir
pada tahun 2013. Studi tersebut meliputi berbagai kajian seperti
meteorologi, seismografi, oseanografi, demografi dan kependudukan
20
serta berbagai aspek lainnya yang merupakan syarat layak atau
tidaknya suatu lokasi menjadi calon tapak PLTN. Menurutnya hasil
resmi studi kelayakan calon tapak akan segera diumumkan dalam
waktu dekat. Setelah selesai kegiatan studi calon tapak PLTN ini,
seluruh fasilitas akan diserahkan kepada BATAN untuk dikelola dan
dilakukan monitoring secara berkala langsung oleh BATAN, seperti
halnya lokasi calon tapak sebelumnya di Semenanjung Muria (Pusat
Diseminasi IPTEK Nuklir, 2013). Menurut Kepala BATAN, Djarot S.
Wisnubroto, kesimpulan sementara studi tapak yang dilakukan
BATAN, di Pulau Bangka cukup layak untuk dibangun PLTN. Selain
geografis daerah yang cukup stabil, juga mempertimbangkan
permintaan energy (demand) di wilayah tersebut. Djarot
menambahkan, masa pembangunan PLTN sekitar 8 hingga 10 tahun
Untuk investasi pembangunan PLTN berkapasitas 150 MW mencapai
sekitar Rp 10 triliun. Mantan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir
(Bapeten), As Natio Lasman mengatakan, terkait perizinan PLTN, ada
5 tahap perizinan. Antara lain, site (lokasi/tapak), konstruksi,
commissioning (uji coba), operasi dan decommissioning. "Selain dari
Bapeten, perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup sebagai
syarat utama pembangunan," ujarnya (RR/SK, 2013).
Manajer Studi Kelayakan PT. Surveyor Indonesia, Ilman
Bustaman, menyatakan bahwa hasil survei menunjukkan kapasitas
dari tapak berdasarkan geografi dapat didirikan 10 unit reaktor nuklir,
tetapi masih menunggu keputusan dari Bapeten.Daerah yang
21
berpotensi adalah Kab. Bangka Selatan (Basel) dan Kab. Bangka
Barat (Babar) layak dibangun PLTN dengan kapasitas 6 unit di Babar
dan 4 unit di Basel. Hal tersebut berdasarkan aspek Geografi.
Meskipun demikian yang berhak memeberikan izin adalah Bapeten
(RL, 2013). masing-masing unit berkapasitas 1.000 MegaWatt
sehingga total 10.000 MegaWatt (ea/EA/bd-ant, 2013). Selain studi
fisik tapak, setiap tahun pihak BATAN juga melakukan jajak pendapat
untuk mengetahui trend penerimaan masyarakat terhadap PLTN
sebagai pemasok listrik nasional. Jajak yang dilakukan lembaga survei
independen PT Iconesia Solusi Prioritas (ISP) pada akhir 2013
menyimpulkan sebanyak 60,4% masyarakat menyetujui pembangunan
PLTN. Suvei ini menurut Direktur PT ISP, Suhermin Ari Pujiati,
melibatkan 3000 responden tingkat nasional dan 1000 responden di
Jawa, Madura, dan Bali dengan menggunakan metode “Multistage
Cluster Random Sampling” (ea/EA/bd-ant, 2013). Gusti Hatta,
Menteri Riset dan Teknologi, mengaku bahwa sebelumnya hamper 65
persen warga mendukung pembangunan PLTN, namun karena adanya
kejadian PLTN Fukushima Jepang, ternyata berdampak pada
menurunnya dukungan warga masyarakat terhadap rencana pendirian
PLTN (IDB, 2013).
Di sisi lain, Koordinator Laskar Barisan Tolak Nuklir dan
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (BETON) Bangka, Kurnia Mulya,
mengatakan bahwa selama ini banyak warga Bangka menolak
pembangunan PLTN di wilayahnya. Penolakan juga datang dari
22
penduduk di Kabupaten Bangka Barat yang menjadi lokasi tapak
PLTN tersebut. Bahkan, menurut survei BETON, sekitar 70%
penduduk menolak pembangunan PLTN di Bangka. Laskar BETON
meminta pemerintah bersama-sama dengan masyarakat Bangka
menyelenggarakan kembali survei persetujuan PLTN secara
transparan dan terbuka. Hal ini dimaksudkan agar hasil survei dapat
benar-benar mencerminkan secara objektif pendapat penduduk
Bangka, terutama Kabupaten Bangka Barat. Menurut Kurnia, alasan
penolakan pembangunan PLTN di Bangka disebabkan tingginya
ancaman dari nuklir. Apalagi lokasi tapak tak terlalu jauh dari
permukiman padat penduduk sehingga dapat mengancam kehidupan
warga. Hal ini berarti mengancam hak
masyarakat untuk hidup bebas dari ancaman (Sarwindaningrum, I.,
dan Aziz, N., A., 2012).
2. Rencana Pembangunan PLTN di Kalimantan Barat
Kartius, Asisten Administrasi dan Umum Sekretaris Daerah
Kalbar, menyatakana bahwa seluruh gubernur di Kalimantan telah
melakukan rapat kordinasi dengan Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral (ESDM) di Jakarta pada 2011 yang membahas
pentingnya kehadiran PLTN di Kalimantan. Kementerian ESDM
kemudian merekomendasikan tahap pertama PLTN akan dibangun di
Kalbar, kendati pun tidak ditentukan tahun berapa mulai dibangun.
23
Pemerintah Kalbar telah menetapkan dua lokasi PLTN, yakni
di Ngabang, Ibukota Kabupaten Landak, dan di Nanga Pinoh, Ibukota
Kabupaten Melawi. Berkaitan dengan persiapan teknis, Pemprov
Kalbar telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU)
dengan BATAN di Jakarta pada 2012. Tindak lanjut dari MoU
Pemprov Kalbar-BATAN, kemudian digelar seminar: “Skenario
Kebijakan Energi Indonesia Menuju Tahun 2050” di Pontianak, 22
Februari 2013. Seminar digelar Dewan Energi Nasional, bekerjasama
dengan Pemprov Kalbar dan BATAN. Menurut Prof. Dr. Ismail
Yusuf, Pakar Fisika Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura,
pembangunan PLTN di Kalbar mendesak, karena Sungai Kalan,
Kecamatan Ellahilir, Kabupaten Melawi, memiliki cadangan uranium
yang sangat baik. Cadangan terukur uranium sebagai bahan baku
reaktor PLTN di Sungai Kalan mencapai 900 ton, cadangan
terindikasi 6.961 ton, cadangan tereka 1.734 ton, sedangkan cadangan
hipotetik 14.517 ton dengan total cadangan keseluruhan 24.112 ton
(Aju, 2013).
3. Rencana Pembangunan PLTN di Serpong
Mentri Riset dan Teknologi, Gusti Muhammad Hatta,
mengatakan bahwa akan dibangun PLTN 30 MW di Serpong, Banten
pada tahun 2014 yang akan digunakan sebagai pembangkit listrik di
wilayah setempat (Maruli, A., 2014).
24
Analisis dan Pandangan
Setelah memperoleh informasi mengenai perkembangan
pembangunan PLTN di Indonesia saat ini, kami menganalisa bahwa
beberapa masalah yang timbul pada rencana pembangunan PLTN di
Bangka Belitung diantaranya adalah ketidaksesuaian hasil survei yang
dilaksanakan oleh BATAN melalui PT Inconesia Solusi Prioritas
(ISP) dengan hasil survei Laskar BETON. Hal ini disebabkan kurang
tepatnya survei yang dilakukan oleh Pemerintah melalui PT ISP.
Menurut kami yang seharusnya disurvei adalah setuju/tidaknya
masyarakat apabila dibangun PLTN di Bangka Belitung, bukan
setuju/tidaknya masyarakat apabila dibangun PLTN secara umum.
Selain itu, responden yang harus diutamakan adalah masyarakat yang
tinggal di daerah Bangka Belitung dan sekitarnya, bukan masyarakat
nasional secara umum dan yang tinggal di daerah yang berjauhan dari
Bangka Belitung, seperti Jawa, Bali, dan Madura. PLTN yang akan
dibangun berlokasi di Bangka Belitung. Mengingat PLTN yang
hendak dibangun lokasinya di Bangka Belitung, seharusnya yang
diutamakan adalah suara masyarakat Bangka Belitung itu sendiri
karena merekalah yang hidup langsung di daerah tersebut. Mereka
yang akan merasakan hidup tidak terlalu jauh dengan PLTN. Jika
survei dilaksanakan dengan respondennya adalah seluruh masyarakat
se-Indonesia namun PLTN yang hendak dibangun adalah di Bangka
Belitung, hal itu akan menyebabkan suara yang dihasilkan tidak
25
mewakili suara masyarakat Bangka Belitung yang nantinya akan
merasakan hidup tidak jauh dari PLTN.
Dukungan masyarakat tentang dibangunnya PLTN akan
berbeda-beda tergantung kondisi yang mereka akan alami nantinya.
Masyarakat yang berada di Jakarta bisa saja lebih mendukung
dibangunnya PLTN di Bangka Belitung karena mereka tidak begitu
khawatir akan dampaknya apabila terjadi suatu masalah yang
ditimbulkan PLTN Bangka dikarenakan lokasi Jakarta yang cukup
jauh dari Bangka Belitung. Oleh karena itu juga, masyarakat Jakarta
mungkin akan lebih memperhatikan keunggulan yang akan dihasilkan
PLTN Bangka nantinya daripada mengkhawatirkan resikonya. Akan
tetapi, beda halnya dengan masyarakat Bangka Belitung. Meskipun
sesungguhnya masyarakat Bangka Belitung telah mengetahui
keunggulan PLTN, mereka pasti akan lebih khawatir dengan
pembangunan PLTN di daerahnya karena apabila terjadi masalah yang
disebabkan PLTN tersebut, maka mereka akan lebih rawan terkena
masalah tersebut dibandingkan masyarakat yang ada di Jakarta. Oleh
karena itu dirasa perlu dilakukan survei kembali dengan respondennya
adalah hanya masyarakat Bangka Belitung.
Untuk dapat membangun PLTN di Indonesia, harus ada
keadilan. Kita boleh melihat keunggulan PLTN dibandingkan
pembangkit listrik tenaga lain karena memang faktanya PLTN lebih
efisien, sedikit emisi, dan berumur panjang. Namun kenyamanan dan
ketentraman menjadi alasan untuk belum menerima nuklir. Batas
26
tindakan yang dapat diambil Pemerintah adalah melakukan sosialisasi
mengenai kebermanfaatan dan keamanan PLTN. Jika sudah dilakukan
sosialisasi namun masyarakat tetap keberatan apabila dibangun PLTN
di daerahnya, Pemerintah harus mencari lokasi lain. Jadi, apabila
dilakukan survey kembali kepada masyarakat Bangka Belitung dan
hasilnya masyarakat Bangka Belitung setuju dengan pembangunan
PLTN di Bangka Belitung, barulah BATAN dan jajarannya dapat
membangun PLTN dengan tenang tanpa ada kesalahpahaman lagi.
Jika ternyata masyarakat Bangka Belitung tidak setuju, BATAN dan
jajarannya hendaknya mencari lokasi lain yang dari awalnya
masyarakat di daerah tersebut menerima apabila di daerahnya akan
dibangun PLTN.
Tujuan dibangunnya PLTN adalah untuk menyejahterakan
rakyat Indonesia. Namun, hal itu akan percuma apabila kesejahteraan
secara nasional meningkat akan tetapi masyarakat di suatu daerah
menjadi hidup terancam dan tidak tenang. Kita harus bisa mengambil
solusi yang tidak merugikan pihak manapun.
Solusi
Dari hasil diskusi dan kajian kami menemukan beberapa
Solusi yang dapat dilakukan BATAN ataupun lembaga lainnya yang
terlibat dalam pembangunan PLTN di Indonesia untuk mengatasi
masalah pembangunan PLTN di Bangka Belitung terutama dalam hal
sosialisasi, Lembaga survey yang dipilih Pemerintah bersama dengan
27
Laskar BETON seharusnya melakukan survey bersama mengenai
setuju atau tidaknya masyarakat Bangka Belitung apabila akan
dibangun PLTN di Bangka Belitung. Respondennya cukup dari
masyarakat Bangka Belitung. Jika memang mayoritas masyarakat
Bangka Belitung setuju dengan pembangunan PLTN di Bangka
Belitung, BATAN dan jajarannya meneruskan pembanguan PLTN di
Bangka Belitung. Akan tetapi, apabila mayoritas masyarakat Bangka
Belitung tidak setuju dengan pembangunan PLTN di Bangka
Belitung, BATAN dan jajarannya hendaknya menghentikan proses
pembangunan PLTN di Bangka Belitung dan mencari daerah lain
yang dari awalnya masyarakat daerah tersebut telah setuju untuk
dibangun PLTN di daerahnya.
Solusi yang dapat dilakukan Pemerintah melalui BATAN dan
jajarannya untuk melancarkan pembangunan PLTN di Indonesia
secara umum adalah :
1. melakukan pendataan terlebih dahulu daerah-daerah mana
saja yang menurut analisis secara kasar berpotensi untuk
dijadikan lahan PLTN.
2. melakukan sosialisasi mengenai kebermanfaatan dan
keamanan PLTN khusus kepada masyarakat yang tinggal di
daerah-daerah yang berpotensi tersebut.
3. melakukan survei dengan respondennya adalah hanya
masyarakat yang tinggal di daerah-daerah berpotensi tersebut
28
mengenai setuju atau tidaknya masyarakat daerah tersebut
apabila dibangun PLTN di daerah mereka.
4. melakukan pendataan daerah-daerah berpotensi mana saja
yang masyarakatnya setuju apabila dibangun PLTN di daerah
tersebut.
5. melakukan pengujian kelayakan secara langsung ke daerah-
daerah yang dimaksud pada point keempat di atas.
6. melakukan pembangunan PLTN di daerah-daerah, yang
berdasarkan pengujian pada poin kelima di atas, merupakan
daerah yang cocok untuk dibangun.
Tawaran Kedaulatan Nuklir untuk Capres-Cawapres 2014-2019
Kami mengajukan permohonan kepada Capres Cawapres
Indonesia 2014 apabila terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia untuk masa jabatan 2014-2019 segera
mewujudkan :
1. Survei objektif yang dilaksanakan oleh Lembaga Survey
pilihan Pemerintah dan Laskar Barisan Tolak Nuklir dan
Pembangkit Tenaga Nuklir (BETON) dengan respondennya
adalah hanya masyarakat Bangka Belitung mengenai setuju
atau tidaknya masyarakat Bangka Belitung apabila dibangun
PLTN di lokasi PLTN Bangka Belitung yang telah ditetapkan.
29
2. Sosialisasi potensi kebermanfaatan dan keamanan PLTN
kepada masyarakat yang tinggal di daerah Ngabang, Ibukota
Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
3. Survei objektif yang dilaksanakan oleh Lembaga Survey
pilihan Pemerintah dengan respondennya adalah hanya
masyarakat yang tinggal di daerah Ngabang, Ibukota
Kabupaten Landak, Kalimantan Barat mengenai setuju atau
tidaknya masyarakat Ngabang apabila dibangun PLTN di
Ngabang.
4. Sosialisasi potensi kebermanfaatan dan keamanan PLTN
kepada masyarakat yang tinggal di daerah Nanga Pinoh,
Ibukota Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.
5. Survei objektif yang dilaksanakan oleh Lembaga Survey
pilihan Pemerintah dengan respondennya adalah hanya
masyarakat yang tinggal di daerah Nanga Pinoh, Ibukota
Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat mengenai setuju atau
tidaknya masyarakat Nanga Pinoh apabila dibangun PLTN di
Nanga Pinoh.
6. Sosialisasi potensi kebermanfaatan dan keamanan PLTN
kepada masyarakat yang tinggal di daerah Serpong.
7. Survei objektif yang dilaksanakan oleh Lembaga Survey
pilihan Pemerintah dengan respondennya adalah hanya
masyarakat yang tinggal di daerah Serpong mengenai setuju
30
atau tidaknya masyarakat Serpong apabila dibangun PLTN di
Serpong.
8. Sosialisasi potensi kebermanfaatan dan keamanan PLTN
kepada masyarakat
yang tinggal di daerah yang menurut analisa scara kasar layak
untuk dijadikan PLTN
9. Survei objektif yang dilaksanakan oleh Lembaga Survey
pilihan Pemerintah dengan respondennya adalah hanya
masyarakat yang tinggal di daerah yang dimaksud pada saran
nomor 8 di atas mengenai setuju atau tidaknya masyarakat
daerah tersebut apabila dibangun PLTN di daerah tersebut.
31
Koperasi Energi: Menyongsong Optimalisasi Energi Terbarukan
Indonesia Berlandaskan Ekonomi Kerakyatan yang
Berkedaulatan
Kastrat BEM KM UGM
Indonesia Menuju Titik Nadir Kedaulatan Energi
Perjalanan panjang Indonesia sejak memproklamasikan diri
menjadi bangsa yang merdeka sudah mencapai usia 68 tahun. Selama
itu pula bangsa Indonesia jatuh bangun mempertahankan
kedaulatannya termasuk dalam hal ini, kedaulatan energi. Barangkali
lazim untuk mempertanyakan kembali, apakah Indonesia telah meraih
kedaulatan energi-nya? Atau justru semakin menjauh dari kedaulatan?
Hal ini merupakan suatu urgensi mengingat salah satu prasyarat
kedaulatan bangsa berada ditangan kedaulatan energinya.
Segepok data yang kami peroleh, satu per satu mencoba
menjawab pertanyaan tersebut. Dari aspek kebutuhan energi, Outlook
Energi Indonesia 2013 memaparkan kebutuhan energi Indonesia
dalam rentang 2011-2030 diperkirakan akan meningkat rata-rata
sebesar 4,7% per tahun. Hal itu berarti proyeksi kebutuhan energi
Indonesia akan mengalami peningkatan 94% sampai tahun 2030. Lalu,
sektor dengan laju pertumbuhan konsumsi energi per tahun (2000-
2011) terbesar adalah transportasi 6,47% (26,6% total konsumsi 2011)
diikuti komersial 4,32% (3,2% total konsumsi 2011), industri 3.05%
(37,2% total konsumsi 2011), rumah tangga 0,7% (30,7% total
32
konsumsi 2011), dan lainnya -1,47% (2,4% total konsumsi 2011).
Pemenuhannya masih didominasi oleh bahan bakar fosil seperti
minyak bumi, gas, dan batu bara. Kontributor terbesar ialah minyak
bumi yang notabene produksi nasional terus menurun sehingga
Indonesia telah menjadi nett importer sejak tahun 2004. Penyebabnya
antara lain peningkatan secara masif kepemilikan kendaraan bermotor
berbahan bakar minyak, dan aspek pengelolaan sumber daya energi
yang lemah. Menurut Ketua KPK Abraham Samad, 70% blok migas
yang beroperasi di Indonesia dikuasai oleh kepemilikan asing. Selain
itu, BBM (Bahan Bakar Minyak) menjadi penyumbang terbesar
subsidi energi yang totalnya 20% dari APBN 2014 dan
mengakibatkan defisit anggaran. Sedangkan dari aspek ketersediaan,
berdasarkan pernyataan sekretaris SKK Migas yaitu Gde Pradnyana,
cadangan minyak bumi Indonesia sendiri (tanpa eksplorasi)
diperkirakan akan habis dalam jangka waktu 12 tahun lagi.
Kebutuhan energi akan terus meningkat pesat sedangkan
ketergantungan yang masih sangat tinggi terhadap minyak bumi
ditambah produksi yang terus menurun dan cadangan yang semakin
menipis menjadi ancaman. Kondisi tersebut merupakan sebuah lampu
kuning bagi Indonesia agar memperhatikan secara serius solusi
pemenuhan energinya. Walaupun pemerintah telah menyetujui RPP
Kebijakan Energi Nasional, namun belum terlihat langkah yang jelas
untuk mencapai target diversifikasi energi. Jika dibiarkan terus
berlarut-larut, dapat diasumsikan Indonesia akan semakin mendekati
33
titik nadir kedaulatan energi. Padahal, Indonesia merupakan negara
megabiodiversitas yang secara otomatis memiliki potensi sumber daya
energi yang sangat besar, khususnya energi terbarukan.
Energi Terbarukan: Sebuah Harapan
Dalam definisi yang terdapat dalam RPP Energi Baru dan
Energi Terbarukan, energi terbarukan adalah energi yang berasal dari
sumber terbarukan mencakup energi terbarukan hayati dan non-hayati.
Biomass, bioethanol, biogas, biodiesel, dan biooil termasuk bentuk
energi terbarukan hayati. Sedangkan yang termasuk bentuk energi
terbarukan non-hayati yaitu panas bumi, angin, energi surya, tenaga
air, serta gerakan dan perbedaan suhu air laut.
Potensi energi terbarukan di Indonesia dapat dikatakan tidak
terbatas dan sangat besar. Berdasarkan data dari Ditjen EBTKE
Kementrian ESDM tahun 2013 yang dipresentasikan dalam Indonesia
EBTKE CONEX 2013, Indonesia memiliki potensi tenaga air sebesar
75.000 MW sedangkan kapasitas yang terpasang baru mencapai 7.059
MW, mini-mikro hidro memiliki potensi sebesar 769,7 MW
sedangkan kapasitas terpasang 512 MW, potensi panas bumi sebesar
16.502 MW kapasitas terpasang baru 1.341 MW, potensi biomassa
untuk kelistrikan sebesar 13.662 Mwe kapasitas yang terpasang ke
grid baru 75.5 Mwe, begitu pula dengan tenaga surya dan angin yang
memiliki potensi cukup tinggi yaitu 4,8 KWh/m2/hari dan kecepatan
angin 3-6 m/s sedangkan kapasitas terpasang masing-masing baru
34
42,78 MW dan 1,33 MW. Secara garis besar, potensi energi
terbarukan belum dioptimalkan pemanfaatannya.
Sebagai negara maritim, potensi energi terbarukan terbesar
Indonesia adalah tenaga air yaitu 75 GW tetapi potensi yang
dimanfaatkan belum mencapai 10%. Adapun permasalahan lain yang
berkaitan yaitu pemenuhan pasokan energi listrik dimana belum
terjangkaunya daerah-daerah terpencil oleh jaringan PLN. Statistik
PLN 2012 memaparkan rasio elektrifikasi telah mencapai 76% secara
nasional tetapi masih terjadi ketimpangan elektrifikasi. Masih terdapat
daerah-daerah pedesaan dan pedalaman yang memiliki rasio
elektifikasi di bawah 5% bahkan 0%. Kondisi itu menyebabkan
pengelolaan sumber daya alam di daerah pedesaan tidak optimal dan
menyebabkan penjualan dalam bentuk bahan mentah yang belum
memiliki nilai tambah. Hal ini menyebabkan pertumbuhan
perekonomian pedesaan juga tidak optimal. Padahal, daerah pedesaan
kaya akan sumber energi terbarukan untuk menghasilkan listrik
khususnya tenaga air yang berasal dari sungai-sungai. Plus, potensi
energi tersebut belum dioptimalisasikan secara komersil. Ini adalah
sebuah harapan dan kesempatan untuk meraih kembali momentum
kedaulatan energi dengan mengoptimalkan energi terbarukan yang
belum dimanfaatkan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan, seperti
koperasi.
35
Koperasi: Secercah Harapan
Wacana menghidupkan kembali koperasi dalam
perekonomian nasional telah mencuat belakangan ini. Hal itu karena
sistem ekonomi kapitalisme-liberal yang membumi di Indonesia
menyebabkan kesenjangan semakin melebar. Maka dari itu perlu
adanya sistem ekonomi kerakyatan yang melindungi pemodal-
pemodal kecil agar dapat bersaing dengan kapitalis negeri ini.
Koperasi sebagai bentuk badan hukum usaha adalah usaha yang
disusun bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan. Koperasi
merupakan secercah harapan dalam problematika ketimpangan kelas
ekonomi dalam masyarakat Indonesia. Salah satu pendiri republik ini,
Dr. Drs. H. Mohammad Hatta, telah melihat koperasi menjadi sebuah
solusi perekonomian bangsa jauh sebelum kapitalisme menyerang
Indonesia. Koperasi merupakan bagian penting dari sistem ekonomi
kerakyatan yang sangat membela kepentingan rakyat dan tentu saja
hal ini sangat baik dan tepat dikembangkan di Indonesia.
Koperasi Energi: Sebuah Solusi
Pengembangan energi terbarukan di Indonesia saat ini masih
terhambat dengan beberapa permasalahan seperti kebijakan dari
pemerintah dan kurang berminatnya investor untuk mengembangkan
energi terbarukan karena masih murahnya bahan bakar fosil di
Indonesia sehingga para investor takut untuk mengembangkan EBT
(Energi Baru dan Terbarukan) di Indonesia karena takut kalah
36
bersaing oleh bahan bakar fosil. Lebih lagi, optimalisasi sumber daya
energi fosil yang telah terjadi di Indonesia tidak mencerminkan
manifestasi dari pelaksanaan pasal 33 UUD 1945. Yang terjadi adalah
optimalisasinya tidak dimanfaatkan sebesar-besar untuk kemakmuran
rakyat, tidak berdasarkan atas azas kekeluargaan, dan tidak
berkedaulatan. Mengikuti pernyataan Abraham Samad, sumber-
sumber migas di Indonesia 70% telah dikuasai oleh kepemilikan
asing. Hal tersebut merupakan bukti bahwa optimalisasi sumber daya
energi tidak memperhatikan aspek demokrasi ekonomi dimana
ekonomi kerakyatan seharusnya menjadi fondasi keekonomian.
Optimalisasi berdasarkan sistem kapitalistik liberal terbukti
menggerus kedaulatan energi bangsa Indonesia yang sangat
merugikan seluruh rakyat.
Oleh karena itu, menghidupkan koperasi sebagai solusi utama
pengoptimalisasian basis-basis sumber energi terbarukan yang
menjadi harapan pemenuhan kebutuhan energi di masa mendatang
adalah suatu hal yang mendesak untuk menyelamatkan kedaulatan
energi. Jargon kapitalistik “yang punya modal yang menguasai
kapita” sudah saatnya diubah menjadi “yang punya kapita yang
menguasai modal” agar kedaulatan energi dan kesejahteraan rakyat
terwujud. Koperasi energi harus segera diwujudkan untuk
mengamankan optimalisasi energi terbarukan demi kepentingan
masyarakat.
37
Koperasi Energi: Tonggak Optimalisasi Energi Terbarukan yang
Berkedaulatan
Di beberapa negara, koperasi energi menjadi pilihan untuk
mengembangkan energi terbarukan. Di Amerika misalnya, terdapat
900 koperasi yang mengusahakan listrik dan menerangi lebih dari 43
juta penduduk di 49 negara bagian. Sementara di Indonesia koperasi
energi masih sulit untuk ditemukan dan pengembanganya masih
lambat. Hal ini dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah koperasi
yang mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro
(PLTMH) untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah pedesaan dan
daerah terpencil. Sejauh ini hanya ada 9 koperasi, terdata pada tabel1
di bawah ini, yang berkecimpung pada pengembangan PLTMH.
1 Diambil dari Website Kementrian KUKM,
http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=
1425:pembangkit-listrik-tenaga-mikro-hidro-tingkatkan-ekonomi-
masyarakat&catid=50:bind-berita&Itemid=97, diakses pada 21 Juni 2014
38
Nama Wilayah Provinsi
Gempoeng Pucuk Pidie Nangroe Aceh Darussalam
Sabana Sumbawa NTB
Betteng Enrakang Sulawesi Selatan
Liki Solok Sumaetra Barat
Napajoring Tobasa Sumaetra Utara
Apui Alor NTT
Rondowoing Manggarai NTT
Marsiurupan Angkola-
Mandailing Sumatera Utara
Pepana Mamasa Sulawesi Barat
Perkembangan koperasi dalam pengembangan energi dapat
membuat dampak yang baik bagi suatu negara karena koperasi energi
lebih banyak mengembangkan energi terbarukan daripada energi fosil.
Hal ini disebabkan pengembangan energi terbarukan masih terjangkau
oleh biaya dari koperasi, seperti contoh pengembangan PLTMH
memakan biaya 20 juta rupiah/KW dengan masa operasi selama 9
tahun. Di beberapa koperasi yang ada di Indonesia seperti
pembangunan PLTMH Sabana di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat,
mampu menerangi sekitar 80 rumah tangga dan pelaku usaha mikro
dan kecil tarif per bulan dikenakan sebesar Rp 20.000,- dan bagi
rumah tangga yang menggunakan televisi lebih besar, yakni Rp
39
30.000,- sementara di PLTMH Betteng di Enrekang, Sulawesi Selatan
berhasil mengaliri sebanyak 115 rumah tangga dengan kapasitas 200
watt, sedangkan tarif yang diberlakukan antara Rp 15.000,- hingga Rp
30.000,-. Hasil produksi di desa Betteng adalah kopi sehingga mampu
meningkatkan aktivitas usaha masyarakat UMK (ESDM, 2014). Hal
tersebut selain menguntungkan bagi kesejahteraan anggota koperasi
juga menguntungkan daerah di sekitar koperasi karena daerah di
sekitar koperasi energi menjadi memiliki sumber energi listrik yang
dapat didistribusikan ke lingkungan sekitarnya. Koperasi energi
diperuntukan untuk memberi manfaat dari listrik bagi daerah yang
terisolir dan terpencil serta membantu masyarakat sekitar
menikmatinya dengan tarif yang murah.
Pemerintah melalui kerja sama antara Kementrian ESDM dan
Kementrian KUKM telah menandatangani MoU mengenai
kesepakatan pengembangan energi baru dan terbarukan pada tanggal
17 Juni 2014. Dengan munculnya kesepakatan ini, pemerintah
berupaya untuk lebih meningkatkan pengembangan EBT di Indonesia
sekaligus menggandeng koperasi sebagai mitra pelaksana dan sistem
pengembangan. Hal ini tentu saja sangat baik bagi keberlangsungan
EBT terutama pengembangan PLTMH di Indonesia dan lebih jauh
lagi akan meningkatkan ketahanan energi nasional. Namun hal yang
paling penting adalah adanya sosialisasi dari pemerintah melalui
kepala daerah masing-masing kepada desa-desa berpotensi agar
program ini dapat terlaksana dengan baik.
40
Sosialisasi merupakan hal sangat perlu dilakukan oleh
pemerintah, namun apakah kita hanya akan diam saja? Sebagai civitas
akademika, pengabdian masyarakat merupakan hal pokok yang harus
kita lakukan. Kita tidak boleh hanya menjadi penonton dan pengkritik
atas apa yang dilakukan pemerintah. Melalui program yang sangat
baik ini, marilah kita semua turut berperan melalui berbagai cara,
salah satunya adalah penyebarluasan informasi. Sangat penting bagi
kita untuk berpikir, mendampingi, dan mengkritisi program EBT ini,
namun hal yang lebih penting adalah apa tindakan yang kita lakukan
untuk bersama-sama mengembangkan program ini.
Penutup
Peran kerjasama antara pemerintah ,masyarakat,dan mahasiswa sangat
diperlukan untuk pengembangan koperasi energi.Mahasiswa dapat
menggunakan sarana pembelajaran seperti KKN (Kuliah Kerja Nyata)
untuk mengembangkan koperasi energi,masyarakat dapat membantu
mensosialisasikan koperasi energi lewat pelatihan atau pengarahan di
desa sekitar, dan pemerintah dapat membuat program-program yang
dapat menunjang pengadaan koperasi energi. Jadi, kerjasama antara
pemerintah, masyarakat, dan mahasiswa diharapkan dapat
mewujudkan kedaulatan energi Indonesia melalui pembangunan dan
pengembangan EBT melalui koperasi energi.
41
Suara Teknik Untuk Presiden
BEM KM Fakultas Teknik
Rangkaian pentas demokrasi Indonesia telah dimulai.
Pemilihan umum legislatif telah dilaksanakan 9 April 2014 lalu.
Beberapa hari lagi nasib Bangsa Indonesia akan ditentukan
dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Satu dari dua
pasang calon presiden dan wakilnya akan menjadi pemimpin
tertinggi di Indonesia. Berbagai strategi, kunjungan, kegiatan,
kampanye telah dilancarkan oleh masing-masing kubu untuk
mendapatkan suara dari seluruh lapisan masyarakat di
Indonesia, termasuk dari kalangan mahasiswa.
Mahasiswa adalah barisan intelektual yang
berkedudukan di tengah dan memiliki peran strategis yaitu
mampu turun ke bawah mengumpulkan aspirasi yang ada di
masyarakat dan bisa menaikkan aspirasi tersebut ke pihak
pemerintah. Termasuk juga Mahasiswa Teknik Universitas
Gadjah Mada yang memiliki tanggung jawab untuk mengawal
jalannya pemilihan presiden 2014. Bentuk dari pengawalan
tersebut adalah kajian dan diskusi Mahasiswa Teknik UGM dan
selanjutnya dirumuskan suatu harapan dan solusi untuk presiden
yang terpilih.
42
Fakultas Teknik UGM sendiri terdiri atas delapan
jurusan dengan dua belas program studi yang kemudian
dikelompokkan ke dalam tiga klaster yaitu infrastruktur,
manufaktur, dan energi. Setiap klaster memiliki permasalahan
yang berbeda dengan prioritas yang beragam pula. Berdasarkan
hal tersebut, kami menguraikan masalah tersebut dalam rilis
kajian umum keluarga mahasiswa dan atau himpunan
mahasiswa teknik, “Suara Teknik untuk Presiden”
Infrastruktur
Jika dibuat skala prioritas terhadap masalah yang
dihadapi indonesia mendatang dalam kacamata keteknikan,
masalah infrastruktur adalah masalah yang paling urgent karena
berkaitan dengan pemerataan pembangunan seluruh wilayah
NKRI dan keutuhan kedaulatan Negara.
Dalam bidang ini ada enam sub pokok permasalahan
utama yang kami paparkan yang harus dapat diselesaikan
presiden mendatang, yaitu :
1. Batas teritorial Negara harus dipertegas
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan memiliki
wilayah lautan yang sering menimbulkan konflik masalah batas
wilayah dengan negara tetangga yang mengakibatkan wilayah
Indonesia lepas seperti konflik Ambalat, Sipadan, Ligitan, dan
43
sebagainya. Posisi geografisnya yang berdekatan dengan negara
lain, Indonesia memiliki klaim maritim yang tumpang tindih
dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia,
Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia
dan Timor Leste (Arsana, 2014).
Penyegeraan proses delimitasi atau penetapan batas
maritim merupakan salah satu solusi untuk mempertegas batas
teritorial negara ini. Tanpa proses delimitasi, maka tidak ada
gunanya suatu negara menyerukan sebuah klaim terhadap suatu
wilayah maritim. Delimitasi batas maritim dilakukan secara
bilateral melalui negosiasi, mediasi, arbitrasi atau melalui
pengadilan internasional seperti International Court of Justice
(ICJ) atau International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS)
(Arsana, 2014).
Mengenai wilayah Indonesia memanglah harus
mendapatkan perhatian pula agar tidak terulang kasus-kasus
yang pernah terjadi. Tidak sekedar masalah perebutan wilayah,
hal ini dapat juga menjadi celah bagi negara lain untuk
memanfaatkan wilayah tersebut baik sumber daya alamnya
maupun manusianya bahkan yang lebih buruk lagi bisa-bisa hal
tersebut menjadi celah negara lain untuk menyerang Indonesia.
44
2. Nasionalisasi perusahaan tambang (Renegosiasi Kontrak
yang Merugikan Negara)
Indonesia berdasarkan data Indonesia Mining Asosiation
(dalam situs www.hpli.org/tambang.php) menduduki peringkat
ke-6 terbesar untuk negara yang kaya akan sumber daya
tambang. Namun, potensi tambang yang sedemikian besar
tersebut 75% dikuasi oleh asing seperti yang diungkapkan
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI)
Faisal Yusra, dalam seminar Menegakan Kedaulatan Energi
Nasional, di Wisma Antara, Jakarta, Rabu (20/2/2013).
(Akhir,2013) “Penguasaan cadangan migas oleh perusahaan
asing masih dominan. Dari total 225 blok migas yang di kelola
Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) non-Pertamina, 120
blok dioperasikan perusahaan asing, 28 blok dioperasikan
perusahaan nasional serta sekira 77 blok dioperasikan
perusahaan patungan asing dan nasional.”
Selain penguasaan asing terhadap dunia pertambangan
Indonesia, kontrak yang mereka lakukan cenderung memberikan
keuntungan yang kecil untuk negara, misalnya pada kasus
Freeport. Dalam kasus Freeport, akhir Juni lalu pemerintah telah
melakukan renegosiasi dan membuat sebuah MoU baru dengan
45
Freeport. Berikut adalah rangkuman isi MoU terbaru pemerintah
dengan Freeport dalam bentuk tabel,
Hasil Renegosiasi Pemerintah dan Freeport
Klausul strong>Sebelumnya strong>Kesepakatan
1. Luas Lahan 212.950 ha 125.000 ha
2. Pembangunan
smelter Tak bersedia
Bersedia bersama
Newmont
3. Divestasi
Saham 20 persen 30 persen
4. Perpanjangan
Kontrak 2021 2041
5. Pemenuhan
kandungan lokal 100 persen 100 persen
6. Royalti 1 persen 3,75 persen
Sumber: Wawancara dan Kementerian ESDM
Sumber : tabel “Hasil Renegosiasi Pemerintah dan Freeport” diakses http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/06/0809471/Freeport.Akhir
nya.Setuju.Melepas.30.Persen.Saham pada 3 Juli 2014.
Tidak hanya Freeport yang menjadi perusahaan asing
penikmat sumber daya alam Indonesia, masih ada banyak lagi
perusahaan asing yang bergerak dibidang minyak dan gas yang
berada di Indonesia dan bahkan merugikan Indonesia karena
menunggak pajak. Berikut 33 perusahaan migas penunggak
pajak dan besar utang pajak yang belum dibayar:
1. VICO (US$ 42,9)
2. BP West Java Ltd (US$ 35,12)
46
3. Total E&P Indonesie (US$ 4.245)
4. Star Energy (US$ 17.095)
5. Petrichina International Indonesia Ltd Block Jabung
(US$ 62.9)
6. ConocoPhillips South Jambi Ltd US$ (3.45)
7. Chevron Makassar Ltd Blok Makassar Strait.(US$ 16.7)
8. JOB Pertamina-Golden Spike Indonesia Ltd (US$ 11.45)
9. Chevron Pacific Indonesia- Blok MFK (US$ 185.699,97)
10. Exxon Mobil Oil Indonesia Inc. (US$ 41.763)
11. Mobil Exploration Indonesia Inc. Nortg Sumatera
Offshore Block. (US$ 59.9)
12. Premier Oil Sea BV (US$ 9.278)
13. CNOOC SES Ltd (US$ 94.23)
14. BOB PT BSP-Pertamina Hulu (US$ 1.523)
15. CPI (Area Rokan) (US$ 4.145)
16. Kondur Petroleum (Area Malacca Strait) (US$ 165.334)
17. Conocophillips (Grissik) Area Corridor-PSC
(US$ 84.774)
18. JOB PSC Amerada Hess (area Jambi Merang)
(US$ 480.648)
47
19. JOB PSC Golden Spike (Area Raja Pendopo)
(US$ 628.162)
20. JOB (PSC) Petrochina Int'l (Area Tuban) (US$ 7.679)
21. JOB (PSC) Talisman-OK (Area Ogan Komering)
(US$ 233.425)
22. JOA (PSC) KODECO (Area West Madura) (US$ 6.229)
23. Chevron Ind (Area East Kalimantan) (US$ 8.703)
24. Kalrez Petroleum (Area Bula Seram) (US$ 290.000)
25. Petrochina Int'l Bermuda Ltd
(Area Salawati Basin, Papua) (US$ 2.961)
26. JOB PSC Medco E&P Tomori
(Area Senoro Toili, Sulawesi) (US$ 1.863)
27. PT Pertamina EP (Area Indonesia) (US$ 16.921)
28. BOB PT BSP Pertamina Hulu (Area CPP) (US$ 1.206)
29. Premier Oil (Area Natuna Sea) (US$ 38.368)
30. Phe Ogan Komering -JOB P TOKL (US$ 2.105)
31. BP Berau Ltd (Area off Berau Kepala Burung Irian Jaya)
(US$ 4.619)
32. BP Muturi Ltd (Area Ons Off Murturi, Irian Jaya)
(US$ 19.376)
48
33. BP Wiriagar Ltd (Area Wiriagar, Papua) (US$ 501.451)
(sumber: ICW mengutip audit BPK dalam Republika Online , 2011)
Oleh karena itu negara seyogyanya menasionalisasi
perusahaan tersebut untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Proses
nasionalisasi tidaklah mudah sehingga kita tidak bisa langsung
menguasai seluruh saham perusahaan tersebut, Pemerintah bisa
memulainya dengan negosiasi ulang kontrak yang sudah ada untuk
memperbaiki kontrak tersebut sehingga memberikan banyak
keuntungan bagi Negara Indonesia, lalu adanya ketegasan pemerintah
untuk menjalankan undang – undang dan konstitusi yang telah
ditetapkan, seperti kasus pada perusahaan Freeport dan Newmount
yang hangat sekarang ini.
Misalnya menurut Perpres Nomor 24 Tahun 2012 Pasal 97
ayat 1 menyatakan bahwa “Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka
penanaman modal asing, setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi
wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga
pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51% (lima puluh
satu persen) dimiliki peserta Indonesia.” Ada juga UU dan konstitusi
lain yang seharusnya ditaati dalam pembuatan kontrak terhadap
perusahaan asing. Sekali lagi kami tidak mengharamkan kerja sama
dengan asing, melainkan tidak mengapa bekerja sama dengan asing
asalkan tidak merugikan bangsa ini.
49
3. Ketegasan kepemilikan tanah di Indonesia
Masalah ini penting karena banyak kasus dan konflik di
masyarakat yang berkaitan dengan masalah kepemilikan tanah yang
berkelanjutan menghambat pembangunan Indonesia seperti masalah
jalan layang ring road, Jombor, Yogyakarta yang terhambat karena
masalah tanah.
Sumber data: Deputi Sengketa Konflik Perkara - BPN RI (s/d
September 2013). Diakses melalui: http://www.bpn.go.id/Publikasi-
/Data-Pertanahan/Kasus-Pertanahan/Nasional pada 2 Juli 2014
50
Dari tabel tersebut terlihat bahwa kasus yang terselasaikan
baru menyentuh sekitar 50% dari kasus yang terjadi. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa tingkat penyelesaian kasus sengketa ini masih
belum optimal.
4. Kepastian dan Transparansi proyek Pembangunan
Program pembanguan jembatan selat Sunda terkesan jalan di
tempat. Diperlukan suatu kepastian tegas dari pemerintah tentang
proyek ini. Selain itu, masalah transparansi program pembangunan
Jembatan Selat Sunda atau program infrastruktur lainnya juga menjadi
poin penting karena akan menjadi kontrol bagi rakyat dan pemerintah
mengenai perkembangan dan kendala-kendala yang menyebabkan
pembangunan tersebut tidak sesuai rencana.
Dalam hal ini, seharusnya birokrasi untuk program
pembangunan Infrastruktur jangan berlapis-lapis karena itu akan
mempersulit kemajuan-kemajuan program dan memperlama waktu
pengerjaan. Pemerintah juga perlu melakukan monitoring dan evaluasi
secara berkala pada pengerjaan proyek-proyek infrastruktur dengan
menjunjung tinggi nilai kejujuran sehingga tidak terjadi tindakan
korupsi yang dapat menguntungkan pihak-pihak elite.
Adapun contoh kasus korupsi yang berkenaan dengan
pembangunan infrastruktur, ACC (Anti Corruption Committee)
Sulawesi menyebutkan ada 54 kasus korupsi mandek di Kejaksaan
Sulawesi.
51
Press release acara Diskusi Publik USAID-KPPOD-SEADI
yang berjudul “Korupsi Menggerus Anggara Belanja Infrastruktur
Daerah” (diakses melalui, stranasppk.bappenas.go.id) menyebutkan
terdapat temuan pokok yang menyatakan bahwa Peningkatan
anggaran daerah tidak mampu meningkatkan kualitas infrastruktur di
daerah. Hal tersebut dibuktikan dengan Dalam kurun waktu 2007 dan
2010 anggaran belanja Pemda di kabupaten/kota di Indonesia untuk
pembangunan infrastruktur berkisar antara 11% - 13%. Namun
ternyata peningkatan pada sisi anggaran tidak secara signifikan
menyebabkan peningkatan kualitas infrastruktur (khususnya jalan),
bahkan malah semakin tinggi tingkat kerusakannya. Hal tersebut dapat
dijadikan indikasi adanya anggaran dana yang tak sampai pada proyek
pembangunan yang akan dilaksanakan.
Selain masalah korupsi, pemerataan pembangunan di
Indonesia juga perlu diperhatikan. Pembangunan di wilayah timur
Indonesia sangatlah lambat dikarenakan pembangunan hanya terpusat
di kota-kota besar khususnya di pulau Jawa yang hingga mencapai
80%. Seharusnya pemerintah dapat melaksanakan pembangunan
sarana dan prasarana publik yang merata di daerah-daerah dan
mengembangkan sektor ekonomi sehingga daerah tersebut dapat
mandiri dalam mengembangkan perekonomian daerah mereka melalui
prinsip otonomi daerah.
5. Pembangunan transportasi untuk menghubungkan
kepulauan Indonesia diperjelas
52
Pembanguan jembatan yang menghubungkan antar pulau di
Indonesia akan memakan biaya yang fantastis yang seyogyanya bisa
digunakan untuk memperbaiki sektor lain seperti kesehatan,
pendidikan dan lain-lain. Seperti pembangunan jembatan suramadu
yang memakan biaya 4,5 Triliun. Sebaiknya untuk membuat jalur
transportasi seluruh wilayah di Indonesia lebih baik dengan
menggunakan sistem transportasi udara.
Dilihat dari segi biaya, untuk membuat jembatan antar pulau
dan apabila dibandingkan dengan biaya pembuatan transportasi
udara, jelas akan lebih murah menggunakan transportasi udara
mengingat wilayah indonesia kepulauan tentu perlu berapa jembatan
untuk menghubungkan itu semua.
Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut di
atas, harus ada suatu skala prioritas yang ditetapkan oleh Pemerintah
sehingga rencana pembangunan ini tidak terbentur karena terbatasnya
anggaran dana. Selain itu pemerintah juga harus tepat dalam
membentuk regulasi dan mengambil kebijakan, sehingga
pembangunan Infrastruktur dan masalah teritorial kedaulatan negara
dapat terselesaikan untuk menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia.
Manufaktur
Manufaktur di negara Indonesia sebenarnya hanya memiliki
satu masalah utama yakni masalah produk lokal dan nasional. Namun
masalah pokok tersebut terbagi menjadi dua fokus permasalahan yaitu
53
1. Sistem Distribusi
Sistem distribusi di Indonesia yang terlalu panjang
menyebabkan kesenjangan harga antara produsen primer dengan
konsumen akhir dimana produsen akan menjual dengan harga rendah
dan pembeli akan membeli dengan harga tinggi. Selain itu wilayah
geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang terkendala dalam
hal sarana dan prasarana transportasi juga menyebabkan aksesibilitas
suatu daerah sangat minim. Sehingga, karena sulitnya aksesibilitas
suatu daerah tersebut menyebabkan biaya transportasi yang tinggi
yang akan berdampak langsung pada kenaikan harga barang-barang
disana. Contohnya terdapat kesenjangan harga barang-barang
kebutuhan pokok di Papua, Sumatera, Sulawesi, dll.
Penyebab yang lain adalah karena pemerintah kurang
memaksimalkan potensi-potensi daerah untuk memenuhi kebutuhan
daerah tersebut. Hal itu disebabkan karena adanya kesenjangan
pembangunan antar daerah di Indonesia. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) meyatakan bahwa kegiatan
ekonomi Indonesia terpusat di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera.
Wilayah tersebut menyumbang lebih dari 82 persen dalam
perekonomian nasional tahun 2010. Tidak hanya itu, dalam distribusi
investasi wilayah Jawa-Bali menyumbang 84 persen PMDN
(Penanaman Modal Dalam Negeri) dan 88 persen PMA (Penanaman
Modal Asing). Sedangkan berdasarkan data riset Ekonomi Kebijakan
Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan data dan Informasi
54
Sekretarian Jenderal DPR RI menyebutkan bahwa pembangunan
industri manufaktur yang didirikan di Indonesia lebih dari 80%
berlokasi di Jawa, sekitar 12%-13% di Sumatera dan sisanya yang
kurang dari 10% berada di wilayah lainnya. Sehingga adanya
ketergantungan yang mendasar antara daerah-daerah lain terhadap
pasokan dari pulau Jawa yang menyebabkan kesenjangan harga bahan
pokok di daerah tersebut menjadi sangat drastis. Untuk menyelesaikan
permasalahan ini, pemerintah dapat lebih mengembangkan koperasi
sebagai kontrol sistem dari pemerintah untuk menjaga harga tetap
stabil dan juga sebagai sarana untuk memberikan added-value dari
produk yang berasal dari pengusaha kecil.
2. Tahap riset produk
2.1 Pendanaan Riset yang Minim
Pendanaan riset untuk mendukung sistem inovasi di Indonesia
menjadi salah satu isu yang krusial. Saat ini anggaran belanja litbang
terhadap PDB di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan
beberapa Negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan
Brunei Darussalam yang memiliki dana riset di atas 1% dari PDB.
(sumber: “Pendanaan Riset di Indonesia Masih Minim”-
beritasatu.com, Kamis 12 September 2013, diakses pada 2 Juli 2014)
Negara Malaysia mengeluarkan anggaran untuk litbang sudah
di atas 0.5% yang berbeda kondisinya dengan Indonesia dengan
anggaran belanja litbang terhadap PDB berada di angka 0.08%. Hal
ini sangat berbeda jauh dari rekomendasi Conference on the
55
Application of Science and Technology for Development of Asia I
(CASTASIA I) di New Delhi pada tahun 1968 yang telah
merekomendasikan belanja litbang terhadap GDP untuk negara Asia
minimal 1%. Perbandingan belanja litbang terhadap PDB di Indonesia
dengan negara lainnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 1. Anggaran Belanja Litbang terhadap PDB
(Sumber: UNESCO 2012, dalam Jurnal “Kaji Ulang Sistem
Pendanaan Riset Pemerintah untuk Mengurai Stagnasi Inovasi di
Bidang Kesehatan” oleh Dini Oktaviyanti,dkk dari Pusat Penelitian
Perkembangan Iptek-LIPI, Hal.3)
56
Pada dasarnya anggaran untuk iptek termasuk didalamnya
untuk belanja litbang haruslah berbanding lurus dengan pertumbuhan
ekonomi. Berikut gambar grafik anggaran belanja litbang pemerintah
Indonesia yang dibagi berdasarkan kementerian dari tahun 2006-2009.
Gambar 2. Belanja Litbang Pemerintah Berdasarkan Kementerian
(Sumber: Kementerian Keuangan, 2010, dalam Jurnal “Kaji Ulang
Sistem Pendanaan Riset Pemerintah untuk Mengurai Stagnasi Inovasi
di Bidang Kesehatan” oleh Dini Oktaviyanti,dkk dari Pusat Penelitian
Perkembangan Iptek-LIPI, hal.4)
Dapat dilihat bahwa anggaran belanja litbang pemerintah pada
LPNK dan Ristek jumlahnya masih sedikit.
57
Pendanaan riset di Indonesia saat ini hampir 80% berasal dari
pemerintah, namun jumlahnya hanya 0,08 % dari PDB. Indonesia
menargetkan anggaran riset 1% di tahun 2014, namun dikhawatirkan
hal itu sulit tercapai. Diperkirakan anggaran di 2014 hanya Rp 4
triliun sampai Rp 5 triliun dari total APBN yang mencapai Rp 1.000
triliun lebih. Di Finlandia, alokasi dana riset mencapai 3,9 persen dari
produk doomestik bruto. Sedangkan Australia mencapai dua persen.
(Sumber: “Pendanaan Riset di Indonesia Masih Minim”-
beritasatu.com, Kamis 12 September 2013, diakses pada 2 Juli 2014).
Menurut Profesor Yudi Pawitan dari Karo-linska Institutet
Stock holm Swedia, dalam sebuah sarasehan ilmiah untuk para
mahasiswa Indonesia di negeri itu pada akhir 2011, menunjukkan
bahwa jumlah anggaran research and development (RnD) sebuah
negara berbanding lurus dengan jumlah paten yang dihasilkan. Jepang
adalah negara dengan penghasil paten terbanyak pada tahun 2008
dengan lebih dari 500 ribu aplikasi paten. Anggaran RnD yang
disediakan negeri itu mencapai sekitar US$ 144 miliar disusul oleh
Amerika Serikat dengan jumlah paten lebih dari 400 ribu aplikasi, dan
anggaran RnD lebih dari US$ 400 miliar USD. Sedangkan Indonesia
hanya memiliki anggaran RnD US$ 0,72 miliar dan hanya
menghasilkan aplikasi paten sebanyak 23 buah saja. Jumlah ini jauh
tertinggal dibanding dengan negara tetangga Malaysia yang
menghasilkan 1.312 paten, dengan anggaran RnD US$ 2,3 miliar,
ataupun Thailand sebanyak 986 aplikasi paten, dengan anggaran RnD
58
US$ 1,46 miliar. (Sumber : “Riset dan Daya Saing Bangsa”-
ristek.go.id, Hari Susanto Profesor Riset Ekonomi Regional pada
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jumat 15 Juni 2012,
diakses pada 2 Juli 2014).
Pada tahun 2012 dana sebesar Rp 670 miliar diberikan pada
LIPI, 40% digunakan untuk kegiatan riset dan teknologi, sementara
60% lainnya untuk anggaran rutin. Ini berarti dana untuk anggaran
riset ilmu pengetahun dan teknologi di Indonesia hanya 0,03% dari
PDB Indonesia yang mencapai Rp 6.300 triliun, atau terbesar ke 16 di
dunia. Dari angka tersebut, Indonesia berada di peringkat bawah dunia
dalam hal riset dan teknologi. Padahal, di negara-negara berkembang
lainnya, seperti Tiongkok, anggaran riset sudah lebih dari 1% dan
menargetkan 2% dari PDB di tahun-tahun mendatang. Anggaran riset
Jepang jelas jauh di atas Tiongkok, dan kini menjadi nomor dua di
bawah AS. Begitu pula Korea, yang mencapai 3% untuk anggaran
riset ilmu pengetahuan dan teknologi dan akan meningkatkan menjadi
4% di tahun mendatang. (Sumber : “Riset dan Daya Saing Bangsa”-
ristek.go.id, Hari Susanto Profesor Riset Ekonomi Regional pada
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jumat 15 Juni 2012,
diakses pada 2 Juli 2014)
2.2 Proses Pendanaan Riset yang Birokratis
Pendanaan riset lembaga riset pemerintah belum terintegrasi
dengan baik sehingga banyak potensi yang tidak tergali lebih jauh.
Belanja litbang pemerintah adalah realisasi anggaran pemerintah yang
59
dibelanjakan untuk membiayai kegiatan litbang. Berdasarkan laporan
survei Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KRT, 2007), pada
tahun 2003 total belanja litbang di sektor pemerintah berjumlah Rp.
1.164,2 miliar meningkat menjadi Rp. 1.829,8 miliar pada tahun 2006
(KRT, 2007). Dari total belanja litbang sebanyak ini, sebanyak 76,8%
adalah belanja litbang di lembaga penelitian kementerian (LPK) dan
sisanya (21%) adalah belanja litbang di lembaga penelitian non
kementerian (LPNK), dan belanja litbang di Balitbangda (2,1%).
Dilihat dari jenis kegiatannya, pada tahun 2003 litbang sektor
pemerintah sebagian besar ditujukan untuk penelitian terapan
(67,48%) menurun menjadi 46,03% pada tahun 2005 dan meningkat
kembali menjadi 57,41% pada tahun 2006. Penegmabangan
eksperimental cenderung naik, pada tahun 2003 berjumlah 20,46%
menjadi 43,04% pada tahun 2005 dan 32,93% tahun 2006. Sedangkan
untuk penelitian dasar pada tahun 2003 menyerap belanja sebesar
11,2% meningkat menjadi 15,2% tahun 2006 (indikator iptek LIPI,
2011).
Dari catatan diatas dapat terlihat bahwa pendanaan masih
didominasi oleh pemerintah, namun ketika penelitian di lapangan
birokrasi yang ada untuk mendapatkan bantuan dana tersebut
sangatlah sulit. Sedangkan pendanaan yang ideal adalah adanya
keseimbangan antara proporsi pendanaan dari pihak pemerintah,
perguruan tinggi, maupun industri. (Sumber: Jurnal “Kaji Ulang
Sistem Pendanaan Riset Pemerintah untuk Mengurai Stagnasi Inovasi
60
di Bidang Kesehatan” oleh Dini Oktaviyanti,dkk dari Pusat Penelitian
Perkembangan Iptek-LIPI, Hal.9)
Berikut ini merupakan beberapa masalah yang muncul akibat
keterlambatan pendanaan riset karena proses pendanaan yang
birokratis:
a. ITD UNAIR – Pengembangan Sel Punca (Stem Cell)
Pendanaan riset sel punca ini ditujukan untuk melakukan riset
mulai tahap clinical trial. Pihak UNAIR bersama-sama dengan mitra
internasional membuat proposal bersama untuk mendapatkan
pendanaan riset, seperti kepada KNAW dan kerajaan/pemerintah
Belanda, atau industri. Pendanaan tersebut dipergunakan untuk riset
bersama maupun untuk pendidikan. Pendanan yang terkait dengan
pemerintah biasanya sulit dan tidak utuh. Seperti misalnya yang
terjadi di ITD UNAIR ketika mengajukan pendanaan riset kepada
pemerintah birokrasinya dipersulit, dan turunnya dana pun terbagi-
bagi menjadi beberapa tahun dengan persyaratan yang menyukitkan.
Ketika mengajukan dana ke Ristek dananya lebih jelas dibandingkan
dengan mengajukan pendanaan terhadap Dikti. Keterlambatan
pendanaan adalah salah satu implikasi yang kadang terjadi.
b. UNHAS – Pencegahan Penyakit Malaria
Pendanaan riset ini adalah contoh pendanaan riset pada tahap
clinical trial. Pendanaan didapatkan melalui pengajuan proposal
kepada beberapa lembaga pendanaan riset, termasuk kepada yayasan
Gates disamping pendanaan dari mitra riset yakni Novartis (90%
61
dana). Diharapkan melalui pengajuan pendanaan terhadap sumber-
sumber dana lainnya ini bisa menambah pembiayaan untuk riset agar
lebih dinamis. Kesulitan mendapatkan dana pendamping dari institusi
maupun pemerintah mendorong UNHAS mencari dana kepada pihak
asing. Mengapa pihak asing? Pihak peneliti melihat bahwa pendanaan
yang diberikan oleh pihak asing lebih bersifat fleksibel berupa grant
sehingga tidak membutuhkan proses pertanggungjawaban yang
berbelit-belit. Berbanding terbalik dengan kondisi pendanaan di
Indonesia, sehingga peneliti Unhas merasa tidak fokus dengan
penelitian karena disibukkan dengan persyaratan administrasi.
c. Biofarma dalam Pengembangan Vaksin
Pada dasarnya Biofarma telah menggulirkan konsep tripple
helix dalam melakukan riset menuju inovasi. Namun Biofarma
menilai beberapa hal tetap harus diperhatikan terutama terkait dengan
birokrasi pada level pemerintahan. Dalam hal ini lembaga pemerintah
yang terkait langsung adalah Dikti dan Bappenas. Sistem
penganggaran di Biofarma sangatlah fleksibel, bahkan mereka telah
menyediakan dana hingga ratusan milyar untuk menyokong proses
inovasi dari hulu hingga ke hilir. Namun hal ini kembali terbentur
dengan sistem pendanaan riset di lembaga litbang pemerintah yang
tidak dapat bergerak fleksibel sehingga menyulitkan industri untuk
bergerak ketika dilakukan kerjasama. Permasalahan terjadi ketika
mereka ingin menjalin kerjasama dengan pemerintah adalah terbentur
dengan sistem penganggaran pemerintah yang sangat birokratis dan
62
tidak fleksibel. Seperti dikatakan sebelumnya, untuk mencapai inovasi
dibutuhkan waktu yang sangat panjang, untuk menghasilkan vaksin
saja misalnya membutuhkan waktu paling sedikit 12 tahun. (Sumber:
Jurnal “Kaji Ulang Sistem Pendanaan Riset Pemerintah untuk
Mengurai Stagnasi Inovasi di Bidang Kesehatan” oleh Dini
Oktaviyanti,dkk dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek-LIPI,
Hal.8-9).
Dari kedua hal diatas dapat diambil poin pentingnya yaitu
pemerintah harus melakukan kontrol terhadap stabilitas harga dan
mendukung riset-riset yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas
produk lokal dan nasional sehingga dapat bersaing dengan produk-
produk asing yang mulai menjamur di pasar Indonesia. Selain itu juga
harus ada ketegasan dari pemerintah untuk menjaga pasar produk
lokal dan nasional sehingga kita tidak terjajah oleh perusahaan-
perusahaan asing yang memasarkan produk mereka di negara kita.
Energi
Dalam bidang energi, banyak sekali masalah pelik yang
menjadi tantangan Negara Indonesia karena kekayaan sumber daya
alam Indonesia yang menyimpan sumber daya energi yang sangat
melimpah. Namun, pengelolaan sumber daya energi tersebut menjadi
terhambat karena regulasi dari Pemerintah yang tidak tepat dalam
mengelola energi tersebut dan minimnya kualitas sumber daya
manusia yang ada. Diantara berbagai masalah tersebut, ada dua
63
masalah yang mendesak yang harus menjadi salah satu fokus bagi
Presiden dan kepemrintahan yang akan datang. Diantaranya :
1. Inovasi energi terbarukan yang belum dapat
menyelesaikan permasalahan energi tak terbarukan
yang stoknya mulai minim
Inovasi ini dianggap penting karena sumber-sumber energi
tak terbarukan seperti minyak dan gas yang sudah dieksplorasi dan
dieksploitasi puluhan tahun sudah barang pasti akan habis jika
dieksplorasi terus-menerus dengan jumlah yang meningkat setiap
tahunnya. Padahal pembentukan sumber-sumber energi tersebut
memerlukan waktu jutaan tahun. Dalam hal ini pemerintah harus
mengembangkan energi-energi lain yang dapat dimanfaatkan selain
minyak bumi dan gas, yaitu dengan program “Energy
Diversification”. Energy Diversification atau dalam Bahasa Indonesia
Diversifikasi Energi, menurut Perpres Nomor 5 Tahun 2006 Bab I
Pasal I Ayat 6, adalah penganekaragaman penyediaan dan
pemanfaatan berbagai sumber energi dalam rangka optimasi
penyediaan energi. Sumber energi lain di Indonesia ada beberapa
macam misalnya nuklir, geothermal dan inovasi energi terbarukan
lainnya.
Untuk program nuklir sendiri, pemerintah seharusnya tidak
menunggu minyak bumi dan gas benar-benar habis untuk memulai
pengembangan nuklir. Diversifikasi Energi memberikan peluang
kepada Pemerintah untuk mengembangkan nuklir beriringan dengan
64
eksplorasi minyak bumi dan gas sehingga kebutuhan energi nasional
dapat terpenuhi dan stok sumber energi dapat terkontrol.
Dalam Perpres Nomor 5 tahun 2006 tersebut juga dijelaskan
mengenai porsi bauran energi yang harus dicapai pada tahun 2025
sebagai rencana jangka panjang pemerintahan. Berikut adalah porsi
bauran energi 2025 yang kami sajikan dalam bentuk tabel,
JENIS BAHAN BAKAR PORSI DALAM BAURAN
ENERGI
1 Minyak Bumi < 20%
2 Gas Bumi > 30%
3 Batu Bara > 33%
4 Biofuel > 5%
5 Panas Bumi > 5%
6 Energi Baru dan Energi
Terbarukan
> 5%
7 Batu Bara yang dicairkan > 2%
65
Sumber: Tabel Konsumsi energi final per jenis, Outlook Energi Indonesia
2013, BPPT, H.13
Untuk pengembangan energi terbarukan ini diperlukan riset
yang terus berkembang, penelitian lebih lanjut dan komersialisasi
hasil riset tersebut. Hal riset inilah yang juga akan menjadi bagian dari
permasalahan kedua dalam bidang energi ini. Selain itu diperlukan
pula konsistensi pengembangan yang berkelanjutan tiap tahunnya agar
pada 2025 nantinya target pemerintah tersebut dapat tercapai dan tidak
menjadi sekedar wacana belaka.
2. Perkembangan teknologi dalam ekplorasi minyak bumi
dan gas yang masih tertinggal dengan negara-negara lain.
Perkembangan teknologi yang dipakai dalam eksplorasi
minyak bumi dan gas sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas
hasil eksplorasi tersebut. Faktanya, teknologi di Indonesia belum
66
cukup canggih untuk mengelola eksplorasi tersebut. Sehingga pihak
swasta dianggap lebih mampu mengelola sumber daya energi tersebut.
Di sektor hulu, dari sekitar 137 perusahaan migas di indonesia,
perusahan nasional hanya sebanyak 20(14,6%), sisanya perusahaan
multinasional. Hal ini merupakan hambatan bagi perusahaan nasional
untuk berkontribusi dalam pengelolaan migas nasional. Hal tersebut
tidak terlepas dari lemahnya dukungan sektor perbankan nasional
terhadap kegatan migas di dalam negeri. Selain terkait pendanaan,
perijinan (pembebasan lahan).
Itulah yang menjadi alasan mengapa pemerintah harus
mendukung penuh riset-riset yang dilakukan oleh kaum cendekia di
Indonesia dan memperbaiki sumbr daya manusia melalui program
pendidikan yang tepat. sehingga dengan adanya teknologi yang
canggih dan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi akan
mengurangi ketergantungan energi kita dengan perusahaan-
perusahaan swasta asing.
Dari kedua masalah diatas, dapat diambil suatu fokus bagi
kinerja pemerintah yaitu mensukseskan program Energi
Diversification dan pengembangan riset dan teknologi untuk
pengelolaan eksplorasi sumber daya energi di Indonesia. Selain
mengembangkan, pemerintah juga harus dapat mengoptimalkan
program-program tersebut sehingga mencapai pembangunan yang
merata dan berkelanjutan.
67
Berdasarkan uraian masalah dari tiga klaster yaitu
infrastruktur, manufaktur, dan energi di atas dapat kita kerucutkan lagi
fokus-fokus permasalahan yang harus diselesaikan presiden dan
jajaran kabinetnya yaitu :
1. Pengembangan dan realisasi dana riset untuk produk lokal
dan teknologi energi,
2. Keseriusan dalam program diversifikasi energi dan
pengembangan energi terbarukan,
3. Investasi di bidang energi khususnya eksplorasi migas dan
renegosiasi kontrak-kontrak yang merugikan bangsa,
4. Perbaikan birokrasi pemerintah dalam proyek
pembangunan dan ketegasan dalam pelaksanaan Undang-
Undang dalam pembentukan kerja sama dengan pihak
luar,
5. Ketegasan pemerintah dalam batas teritorial dan
kepemilikan tanah,
6. Pemberdayaan koperasi lebih optimal dan merata,
7. Transparansi dana pembangunan,
8. Pemberdayaan sumber daya manusia melalui pendidikan.
Muncul sebuah pertanyaan karena beragamnya masalah diatas
dan APBN kita yang terbatas, yaitu permasalahan manakah yang
harus menjadi prioritas? Jawaban adalah pembangunan infrastruktur.
Karena hal itu terkait dengan akses pendidikan, transportasi,
pelayanan kesehatan dan pendukung sektor ekonomi dari masing-
68
masing daerah. Dengan infrastruktur yang optimal, kesejahteraan
penduduk di daerah-daerah akan juga akan optimal. Hal itulah yang
menjadi dasar dari pembangunan yang merata dan berkelanjutan.
Dalam kurun waktu lima tahun mendatang, program-program
pembangunan jalan, bandara dan pelabuhan seharusnya dapat
diselesaikan. Dengan tetap ada kontrol atas penggunaan APBN untuk
pembangunan tersebut sehingga pembangunan dapat sesuai rencana
dan uang negara yang digunakan benar-benar tepat sasaran.
Kita sebagai mahasiswa juga harus turut andil mendampingi
dan membantu pemerintah dalam mewujudkan program-program
pembangunan tersebut diatas. Pemerintah diharapkan dapat lebih
melibatkan mahasiswa dalam perumusan-perumusan kebijakan
sehingga pemerintah dan mahasiswa dapat bergerak secara sinergis
untuk mensukseskan program pembangunan. Selain itu mahasiswa
diharapkan juga berkontribusi dengan cara peka terhadap
permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah, mencari tahu data yang
tepat, menganalisis permasalahan dan memberikan solusi yang tepat
bagi kemajuan bangsa dan negara. Karena kita, mahasiswa wajib
berkontribusi untuk tanah air kita, untuk Indonesia lebih baik
69
Sektor Hukum
Quo Vadis Perjalanan Hukum di Indonesia ?
Kastrat Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum
Menurut Sajipto Rahardjo dalam teorinya yaitu “Progresivitas
Hukum” menyatakan bahwa “hukum harus berkembang mengikuti
zaman”, oleh karena hal tersebut kebutuhan akan perubahan-
perubahan dalam sistem hukum di Indonesia sangat dibutuhkan guna
menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin modern seiring
perkembangan zaman. Hukum yang selalu berkembang (progresif)
dapat membuktikan bahwa hukum tidak selalu tertinggal dengan
peristiwanya seperti yang dikatakan ahli-ahli hukum di masa lampau
dimana dahulu hukum atau aturan selalu muncul setelah terjadi suatu
peristiwa tertentu. Fungsi hukum yang konserfatif sudah seharusnya
dirubah, pada masa modern seperti saat ini hukum seharusnya bisa
dugunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara demi
menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Melihat betapa pentingnya hukum dalam mewujudkan
pemerintahan Indonesia yang lebih baik ke depannya, maka diharap
calon Presiden kita ke depan dapat membuat pondasi-pondasi hukum
yang progresif guna menjawab tantangan yang dihadapi bangsa ini.
Sebuah berita positif dapat kita dengar dimana kedua calon Presiden
kita sama-sama memberikan gambaran tentang visi dan misi tentang
70
hukum yang dapat dibilang cukup memberikan angin harapan untuk
mewujudkan Indonesia yang lebih baik ke depannya.
Dalam penyampaian visi misi yang dapat kita akses di website
resmi KPU dapat di lihat bahwa ada suatu irisan tentang hal-hal apa
yang akan kedua calon Presiden ini lakukan guna memperbaiki
masalah di bidang hukum. Terdapat point-point yang hampir serupa
dan hanya penjabarannya saja yang sedikit berbeda gaya. Walaupun
fokus yang diangkat masih terkesan klasik, namun cukup bisa
diacungi jempol bila memang benar dapat diimplementasikan dengan
baik. Menurut penulis ada tiga fokus utama yang sama-sama diangkat
yaitu perbaikan penegakan, pemberantasan korupsi, dan reformasi
birokrasi.
Melihat kebutuhan masyarakat tentang hukum yang semakin
tinggi, maka apa yang menjadi fokus pembenahan kedua calon
presiden ini belumlah cukup untuk menjawab kebutuhan. masih perlu
suatu penjabaran-penjabar dan pengkonkritan sehingga fokus-fokus
pembenahan tersebut dapat direalisasikan. Dalam hal ini penulis
memberikan pandangan bahwa setidaknya ada 5 fokus penting di
bidang hukum yang harus dibenahi, yaitu Penegakan hukum dan
perlindungan HAM, Reformasi Birokrasi, Modernisasi Pengadilan,
Legalisasi peraturan perundang-undangan, efisiensi lembaga-lembaga
negara, pemberantasan korupsi.
71
1. Penegakan Hukum dan Perlindungan HAM
Sejatinya, dalam konstitusi telah ditegaskan bahwa Indonesia
adalah negara hukum yang kedaulatannya berada di tangan rakyat
berdasarkan Undang-Undang Dasar (pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD
NRI 1945). Bangsa ini sudah cukup mengalami pasang-surut
pemerintahan yang tidak sedikit telah mengambil hak sipil dan hak
politik warga negaranya. Bahkan sampai sekarang, masih banyak
terjadi diskriminasi terhadap golongan tertentu yang kemudian
mengkebiri hak-hak dari orang yang berada dalam golongan tersebut.
“Bagai pedang yang ujungnya tumpul”, itulah ungkapan yang
sering orang-orang ucapkan ketika menggambarkan bagaimana
penegakan hukum di Indonesia saat ini. Ungkapan tersebut ternyata
bukan hanya pepesan kosong belaka, hal tersebut telah terjadi nyata
dalam beberapa kasus hukum yang terjadi di Indonesia. Ambil saja
contoh kasus nenek minah ataupun kasus bocah yang dihukum karena
hanya mencuri sandal padahal pejabat kita yang mencuri kekayaan
negara dan mencuri hak – hak rakyat justru terkadang dihukum sangat
ringan. Banyak yang mengatakan “enak ya jadi gayus” dimana
korupsi hingga milyaran namun dihukum ringan bahkan bisa plesiran
ke Bali, ditambah hukuman ganti rugi yang tidak sepadan sehingga
dimungkinkan setelah bebas nanti tetap bisa menikmati hasil uang
korupsinya. Belum lagi jika menengok penegakan hukum di Indonesia
yang berkaitan dengan HAM. Banyak kasus pelanggaran yang belum
72
terselesaikan. Oleh karena banyak orang atapun aktivis yang berteriak
“menolak lupa”.
a. Rekruitmen
Tidak bisa dipungkiri bahwa permasalahan penegakan hukum
timbul karena para penegak hukum sendirilah yang belum memiliki
kesadaran hukum dalam menjalankan tugasnya. SDM aparat penegak
hukum sangat berpengaruh dalam proses penegakan hukum. Semakin
rendah SDM aparat penegak hukum maka akan semakin rendah nilai
mental dan moral yang dimilikinya. Akibatnya aparat penegak hukum
kita sering dipertanyakan integritas dan kredibelitasnya. Salah satu
upaya dalam meningkatkan SDM aparat penegak hukum kita adalah
dengan memperbaiki sistem rekruitmennya. Sistem rekruitmen yang
selama ini tertutup dan masalah nepotisme sering kali membuat terjadi
kecurangan-kecurangan dalam proses rekruitmennya. Sistem
rekruitmen harus terbuka dan transparan dimana publik harus tahu
bagaimana prosedur pendaftarannya sampai berapa biaya yang harus
dikeluarkan untuk pendaftaran.
b. Pendidikan
Selain rekruitmen yang dipenuhi praktek kecurangan, sistem
pendidikan karir yang dijalani aparat penegak hukum juga
bermasalah. Kita lihat saja Akademi Kepolisian (AKPOL), dimana
sering kali kita mendengar bahwa untuk bisa menempuh pendidikan di
AKPOL haruslah mengeluarkan biaya tinggi dan harus punya orang
dalam yang berpangkat tinggi baru bisa masuk dengan mudah. Itulah
73
yang menyebabkan sistem pendidikan calon aparat penegak hukum
kita bermasah. Sekali lagi letak permasalahan ada pada rekruitmen,
baik rekruitmen ketika menjadi aparat penegak hukum bahkan
maupun rekruitmen ketika akan menempuh pendidikan sebagai calon
aparat penegak hukum.
c. Kesejahteraan
Selain masalah rekruitmen dan pendidikan, masalah
kesejahteraan aparat penegak hukum juga perlu kita cermati. Salah
satu faktor penyebab aparat kita menjadi curang ataupun korupsi
adalah karena alasan ekonomi yang klasik, yaitu kesejahteraannya
masih kurang. Salah satu cara meningkatkan kesejahteraan adalah
dengan mekanisme penggajian yang lebih layak dan memenuhi
tunjangan-tunjangan yang diperlukan. Maka apabila kesejahteraan ini
dapat dipenuhi maka secara perlahan perilaku curang ataupun korup
akan hilang. Pola remunerasi yang selama ini telah diterapkan harus
diperbaiki lagi sehingga benar-benar bisa menjadi penunjang bagi
pegawai negeri yang memiliki semangat dalam membangun bangsa.
2. Modernisasi Pengadillan
Masih berkaitan dengan fokus yang pertama yaitu penegakan
hukum, trobosan selanjutnya untuk dapat memperbaiki hukum di
Indonesia adalah dengan melakukan Modernisasi Pengadilan.
Modernisasi disi adalah melalui penggunaan teknologi terapan dalam
proses pengadilan. Dengan sifat peradilan yang sifatnya terbuka oleh
74
umum maka setiap orang harus mengetahui bagaimana proses atau
prosedur tata cara berperkara di pengadilan dengan benar secara
transparan. Kemudian penggunaan teknologi seperti “onlinenisasi”
juga sangat dapat membantu mempercepat proses peradilan sekaligus
dapat memberikan kesan bahwa setiap orang dapat mengawasi proses
peradilan yang ada. Selama ini proses pengadilan kita terkesan lama
karena segala hal diurus secara manual. Walaupun sekarang sudah
mulai digunakan alat-alat yang dapat membantu di pengadilan, namun
juga harus ditingkatkan. Sehingga pengadilan kita semakin modern
dan terhormat. Hal yang paling diharapkan adalah agar proses
peradilan kita menjadi cepat. Selama ini proses beracara di pengadilan
yang lama dipercaya menimbulkan celah bagi mafia peradilan untuk
saling berbuat curang seperti suap-menyuap. Dengan modernisasi
yang dapat mempercepat proses peradilan maka asas yang selama ini
dipercaya bahwa peradilan kita harus “sederhana, cepat,dan bebiaya
murah” dapat benar-benar tercapai. Pengadilan yang modern,
transparan, dan proses cepat maka diharap mafia-mafia pengadilan
dapat diberantas.
3. Reformasi Birokrasi
“Kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?”, itulah pameo
yang sering diungkapkan orang terhadap birokrasi di Indonesia.
Birokrasi yang berbelit-belit dan lama telah mengakar di sistem
birokrasi kita. Dengan berbagai alasan seperti demi keteraturan
75
administrasi, laporan pertanggung jawaban, dll membuat seolah
birokrasi yang berbelit dan lama mendapat alasan pembenar ataupun
pemaaf. Padahal hal sedemikian dapat diatasi dan diobati jika seluruh
elemen birokrasi mau berbuat lebih. Sebagai negara yang menjunjung
sistem welfare maka seharusnya birokratlah yang harus berbuat dan
bekerja keras guna menjamin kenyamanan masyarakatnya bukan
justru masyarakatnya yang harus dipersulit. Yang terjadi masyarakat
malah dioper kesana-kemari, harus dilempar kesana-kemari guna
mengurus birokrasi. Birokrasi yang buruk diduga menjadi alasan
mengapa korupsi di Indonesia tumbuh subur bak jamur yang tumbuh
di musim penghujan.
Indonesia butuh payung hukum yang komprehensif dan
berkesinambungan guna melakukan reformasi birokrasi. Perlu usaha
yang luar biasa guna memperbaiki sistem birokrasi. Salah satu usaha
luar biasa itu adalah dengan melalui modernisasi birokrasi. Dengan
sistem yang lebih modern dan transaparan diharap birokrasi menjadi
lebih efektif. Dengan modernisasi upaya pemangkasan birokrasi dapat
dilakukan. Birokrasi yang lama dapat dipercepat dengan penggunaan
database elektronik. Penggunaan sarana online diyakini dapat
mempermudah masyarakat, selain itu layanan satu atap yang
terintegrasi dengan instansi-instansi pemerintah juga diyakini dapat
semakin mempermudah masyarakat dalam mengurus birokrasi.
Dengan reformasi dan modernisasi birokrasi maka ranta-ranta korupsi
dapat diputus.
76
4. Efesiensi lembaga-lembaga negara
Berkaitan dengan reformasi birokrasi, yang mengakibatkan
kurang efisiennya sistem birokrasi kita adalah banyaknya lembaga-
lembaga negara yang saling bersinggungan dalam menjalankan
tugasnya. Salah satu contoh adalah masalah terhadap perokok anak
jalanan. Dimana terdapat beberapa instansi yang saling berkaitan,
seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial bukannya saling kerjasama
yang ada adalah saling lempar tanggung jawab. Begitu pulalah yang
terjadi dalam lembaga-lembaga negara kita. Belum lagi kasus cicak vs
buaya yang sempat membuat rakyar prihatin. Lembaga-lembaga ini
saling berbenturan tugas dan fungsinya tanpa ada aturan hukum yang
jelas yang dapat digunakan sebagai separator atau pemisah terhadap
tugas pokok dan fungsi masing-masing
Tumbuhnya lembaga-lembaga negara baru tidak dibarengi
dengan aturan mengenai integrasi dan kerja sama antar lembaga. Yang
tejadi adalah tumpang tindih kebijakan dan ketidak efisienan dalam
bertugas, belum lagi jika saling lempar tanggung jawab. Semakin
banyak lembag negara maka semakin besar pula pengeluaran negara
dalam membiayai lembaga –lembaga negara tersebut. Oleh karena itu
perlu direncanakan ulang bahkan direformasi lembag-lembaga negara
kita agar lebih efisien dalam melayani masyarakat.
77
5. Legalisasi Perundang-Undangan yang Berkualitas
Menengok lemahnya produktifitas DPR kita pada tahun ini
atapun tahun-tahun sebelumnya, dapat mengisyaratkan bahwa proses
legislasi di lembaga legislatif kita yaitu DPR tidak bisa dikatan baik-
baik saja. Anggota DPR yang merupakan representatif dari rakyat
melalui mekanisme PEMILU seharusnya dapat lebih produktif dalam
melakukan legislatif mengingat kebutuhan masyarakat akan kepastian
hukum juga tinggi. Tidak hanya produktifitas saja yang perlu
dicermati namun dari kualitas legislasinyalah yang merupakan sasaran
utama dari pembenahan. DPR boleh kurang produktif secara kuantitas
namun harus mengedepankan kualitas dalam membuat UU.
Legislasi atau kita sebut pembuatan UU yang baik haruslah
melalui mekanisme yang baikn pula. UU harus dibuat berdasarkan
kebutuhan masyarakat dan untuk sebesar-besarnya manfaat bagi
rakyat. UU harus bersumber pada nilai dan norma yang ada dalam
masyarakat. Pembuatan UU harus dijauhkan dari kepentingan bisnis
para kaum kapitalis. Jangan sampai UU kita memberikan legalisasi
bagi pihak tertentu untuk melakukan perbuatan yang merugikan
negara. Contoh UU yang syarat kepentingan bisnis misalnya UU
Minerba, ataupun UU lain yang mengalami berbagai hambatan dalam
pengundangannya karena terhambat dela-deal dari pihak lain.
Kongkalikong dalam pembuatan UU adalah salah satu jenis
kejahatan moral terbear yang dapat mengakibatkan runtuhnya rule of
law. UU ataupun pasal-pasal pesanan yang acapkali terselip
78
mengakibatkan kerugian negara namun menguntungkan pihak lain.
kualitas legislasi yang buruk mungkin akibat kurang baiknya
pendidikan politik kita. Dimana orang-orang berbondong-bondong
ingin menjadi anggota DPR dengan hanya mengincar keuntungan
materiil saja. Seringkali ketika menjabat mereka lupa dengan tugasnya
dan hanya mementingkan kepentingan pribadi saja. Hanya sedikit
anggota DPR yang mengerti bagaimana seharusnya hakekat hukum,
mereka hanya memikirkan hakekat dan kepentingan politik yang
notabene politik itu tidak boleh menciptakan hukum.
6. Pemberantasan korupsi
Pemberantasan korupsi adalah menu klasik yang selalu
digembor-gemborkan calon pemimpin kita, begitu pula kedua calon
presiden kita. Hal yang dibutuhkan untuk pemberantasan korupsi
sebenarnya sudah terbahas baik dari poin 1 sampai poin 5 pembahasan
diatas. Dimana ketika lima poin tersebut dilaksanakan maka kecil
kemungkinan korupsi bisa diloakukan dengan mudah di negara kita.
Jika ke 5 poin tersebut terlaksana secara apik dan komprehensif –
integral maka pemberantasan korupsi akan semakin mudah dilakukan.
Namun demikian ada sebagian hal yang harus dipenuhi agar
pemberantasan korupsi bisa berjalan. Paling penting adalah
optimalisasi lembaga penegak hukum sebagai garda terdepan
pemberantasan korupsi. KPK, Polisi dan Kejaksaan adalah lembaga
yang harus diperkuat dalam pemberantasan korupsi. Survei Kompas
79
pada tahun 2013 masih menunjukan bahwa Kepolisian dan Kejaksaan
masih memiliki tingkat kepercayaan publik yang rendah. KPK tidak
bisa optimal dalam melakukan pemberantasan korupsi jika tidak
diimbangi dengan lembaga yang lain dalam hal ini adalah Kejaksaan
dan Kepolisian karena tidak semua kasus korupsi diselesaikan oleh
KPK.
Permasalahan korupsi tidak hanya cukup dengan diberantas
namun juga dicegah. Dalam konsteks inilah seharusnya KPK
memaksimalkan peran pencegahan bagi masyarakat untuk menekan
tindak korupsi yang ada di Indonesia. Salah satunya dapat dilakukan
dengan cara pendidikan anti korupsi dan integritas diri yang
dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dasar maupun
pendidikan tinggi. Dengan pencegahan dini maka akan berdampak
juga pada pemberantasan korupsi.
80
Korupsi: Permasalahan Klasik yang Menjadi Modern
“Quo Vadis Pemberantasan Korupsi Modern ?”
Yuris Rezha Kurniawan
(Ketua Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum UGM)
“Sejatinya, dalam konstitusi telah sangat nyata bahwa
Indonesia adalah negara hukum yang kedaulatannya berada di
tangan rakyat. Tuntutan rakyat pada Reformasi 1998 menyatakan
bahwa supremasi hukum harus ditegakkan, penghormatan hak asasi
manusia, serta pemberantasan korupsi. Namun sejumlah persoalan
belum terselesaikan, bahkan si pembuat persoalan baru adalah
mereka yang dulu gencar meneriakkan tuntutan. Siapapun pemimpin
bangsa ini, pekerjaan rumah yang sangat berat sedang menanti
anda!”
Permasalahan korupsi adalah permasalahan klasik yang
belum terselesaikan. Bahkan korupsi bukan lagi virus yang
menggerogoti masalah sektoral namun menjadi virus yang telah
merusak tatanan global. Kaum pesimisme akan mengatakan bahwa,
tidak ada ladang yang tumbuh tanpa korupsi. Dulu, korupsi banyak
diidentikan dengan sistem kekuasaan, otoritarian dan sentralistik.
Reformasi kemudian dianggap sebagai antivirus permasalahan
korupsi yang banyak terjadi pada masa orde baru. Namun faktanya,
pasca reformasi hingga kini ternyata demokrasi belum ampuh
melawan korupsi karena yang terjadi adalah metamorfosa dari
81
korupsi sentralistik menjadi korupsi desentralistik, korupsi terang-
terangan menjadi korupsi tahu sama tahu, korupsi untuk satu
golongan menjadi korupsi yang dilakukan oleh golongan-golongan.
Apa masalahnya ?
Berdasarkan survey Transparency Internasional, pada tahun
2012 Indonesia memiliki skor indeks persepsi korupsi 32 dan berada
pada peringkat 118 dari 177 Negara. Jauh dibawah negara tetangga
yaitu Singapura (5) dan Malaysia (54). Pada tahun 2013, meskipun
naik 4 peringkat namun skor Indonesia masih stagnan dan masih
berada dibawah Thailand (102). Temuan Global Corruption
Barometer 2013 (GCB 2013) menempatkan parlemen dan partai
politik sebagai lembaga yang korup dalam persepsi dan pengalaman
masyarakat. Parlemen menduduki peringkat kedua terkorup (setelah
Kepolisian) dari 12 lembaga publik yang dinilai. Sementara partai
politik berada pada peringkat ke-4 terkorup.
Perilaku koruptif, sebagai bibit dari tindakan korupsi
semakin mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Pertama,
karena degradasi nilai-nilai sosial yang menempatkan kepentingan
pribadi atau golongan disbanding kepentingan umum. Kedua, sistem
yang tidak transparan dan akuntabel senantiasa menggiring manusia
untuk masuk dalam kubangan korup. Yakinlah, negara ini tidak akan
bertahan lama tanpa revitalisasi dan restrukturisasi lahir maupun
batin.
Reformasi birokrasi untuk menutup celah korupsi
82
Kita ingat bahwa tahun 1997 Indonesia mengalami krisis
yang tidak terelakkan. Dalam waktu sekejap negara ini goyah dan
tidak berdaya. Pada dasarnya pada saat seperti inilah sistem birokrasi
diuji. Pemenuhan hak masyarakat melalui pelayanan publik yang
baik adalah hal utama demi membangkitkan bangsa ini dari
reruntuhan perekonomian negara.
Harus diakui bahwa peralihan dari sistem otoritarian ke
sistem demokratik dewasa ini merupakan periode yang sangat sulit
bagi proses reformasi birokrasi. Perpindahan kekuasaan dari sentral
menuju ke daerah menyebarkan perilaku korup dan penyalahgunaan
wewenang pada birokrasi pemerintahan bahkan hingga ke pelosok.
Pemerintah sendiri telah memiliki grand design reformasi
birokrasi dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 81
Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
Dari Perpres tersebut terdapat lima agenda besar yang ditargetkan
tercapai pada tahun 2014. Lima agenda tersebut adalah,
pemerintahan yang bebas dari KKN, SDM yang berintegritas,
mengurangi penyalahgunaan kewenangan dalam pelayanan publik,
meningkatkan mutu pelayanan publik dan meningkatkan efisiensi
dalam pelaksanaan tugas. Namun, agenda tersebut masih belum
mencapai sasaran yang maksimal. Hasil Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instanti Pemerintah (LAKIP) menunjukan jumlah instansi di
Indonesia yang mendapatkan nilai A dan B baru 32,2 persen. Hasil
laporan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
83
tahun 2012, yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian baru
27 persen dari total 415 LKPD yang diaudit.
Reformasi birokrasi harus dimulai dari tiga hal yaitu
transparansi, profesionalisme dan akuntabilitas. Setiap lembaga
pelayanan publik harus memilki tiga poin penting tersebut. Pola
rekruitmen yang baik bagi calon pelayan publik menjadi kunci
penting. Keboborokan dalam rekruitmen berdampak buruk karena
birokrat yang ada adalah hasil dari nepotisme, penyuapan dll.
sehingga mereka bukanlah pelayan publik yang bisa diandalkan.
Didalam sistem, oknum birokrat dengan rekruitmen jalur belakang
akan cenderung memikirkan kepentingan pribadi daripada
kepentingan melayani masyarakat.
Selain itu, perbaikan dalam pelayanan publik harus
ditingkatkan mengingat korupsi dapat semakin berkembang akibat
dari sistem birokrasi yang ruwet dan “syarat amplop”. Pemerintah
Daerah terutama harus segera dibekali dengan konsep pelayanan
publik yang cepat, transparan dan professional seperti misalnya
menggunakan pelayanan satu atap atau sistem yang saling
terintegrasi. Kemudahan yang diberikan tersebut akan mengurangi
potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan
Optimalisasi lembaga penegak hukum
Penegakkan hukum menjadi upaya represif bagi para pelaku
tindak pidana korupsi. Kepolisian, Kejaksaan dan Kekuasaan
Yudikatif atau badan peradilan yang independen merupakan pilar
84
utama penegakan hukum di Indonesia. Sejak dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002 menambah daya
gedor bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pemberantasan korupsi harus dilakukan oleh penegak
hukum dengan mengintegrasikan kebijakan penindakan, pencegahan
dan partisipasi publik. Selain itu integrasi antar lembaga penegak
hukum juga diperlukan mengingat fakta yang terjadi saat ini adalah
banyaknya kasus penegak hukum yang bermasalah. Padahal sebagai
negara hukum, para penegak hukum tidak sekedar menjadi alat
pengadil bagi hukum itu sendiri namun juga menciptakan
kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
Tindak pidana korupsi adalah kejahatan teroganisir dan
bersifat transnasional. Pelakunya selalu berkembang diikuti dengan
pola modus operandinya. Berdasarkan analisis dari Bambang
Widjojanto (Wakil Ketua KPK RI) pada seminar pemberantasan
korupsi dan penegakkan hukum di Indonesia, setidaknya ada tiga
tantangan besar yang dihadapi oleh lembaga penegak hukum.
Pertama, perlawanan dari para koruptor sangat besar dengan
melibatkan jaringan yang telah meluas. Sehingga tidak jarang aparat
penegak hukum yang seharusnya menjadi tulang punggung utama
memberantas koruptor jatuh dalam gelimang suap dan gratifikasi.
Kedua, teknologi yang berkembang pesat menjadikan modus
operandi yang digunakan semakin canggih. Konsolidasi kejahatan
semakin solid dengan menggabungkan uang, kekuasaan dan jaringan
85
sumber daya yang lain. Tanpa disadari, koruptor juga melakukan
“pengkaderan”, infiltrasi dan proses hegemoni. Ketiga, politisasi
penanganan kasus sering menjadi hambatan bagi penegak hukum
untuk bekerja dengan optimal. Kasus yang menyangkut anggota
dewan dianggap sebagai upaya “pembusukan” partai tertentu
sedangkan penegak hukum selalu ditekan untuk menangani kasus
tertentu yang menyangkut kelompok partai tertentu
(Survei Kompas 2009-2013)
Survei yang dilakukan oleh Kompas selama tahun 2009-
2013 menunjukan pengelolaan opini publik penegak hukum kasus
tindak pidana korupsi. Berdasarkan survey tersebut menunjukan
bahwa lembaga selain KPK yaitu Kejaksaan, Kepolisian dan
Kehakiman masih belum mencapai 50% kepercayaan publik. Dalam
pemberantasan korupsi, KPK tidak bisa sendiri. Perlu adanya
optimalisasi lembaga lain sehingga pemberantasan korupsi di
Indonesia semakin bertaring. Kita tahu bahwa KPK tidak bisa
menangani seluruh kasus korupsi di Indonesia, sehingga peran
kejaksaan sebagai penyidik kasus korupsi di daerah-daerah menjadi
sangat penting. Hakim pengadilan tipikor di setiap provinsi juga
harus diperhatikan dengan cara pemantauan yang ketat sehingga
menutup celah untuk berbuat korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi tidak akan selesai hanya
dengan menangkap koruptor. Peran pencegahan dan pengawasan
kepada masyarakat juga harus dioptimalkan. KPK sebagai lembaga
86
yang memiliki fungsi pencegahan seharusnya lebih bisa menekan
lahirnya koruptor baru dari masyarakat.
Pendidikan sebagai basis membangun integritas
Praktik-praktik korupsi yang kian masif memerlukan itikad
kolaboratif dari Pemerintah beserta segenap pemangku kepentingan.
Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah pencegahan perilaku
koruptif berkembang dalam masyarakat. Mengingat bahwa aspek
pemberantasan korupsi salah satunya terdiri dari partisipasi publik.
Pemberantasan korupsi akan berhasil apabila menyentuh
akar permasalahannya. Upaya untuk menanamkan nilai-nilai dan
budaya integritas kepada masyarakat luas adalah salah satu cara
pemberantasan korupsi melalui pencegahan. Ditengah krisis moral
yang dialami bangsa ini, pendidikan berbasis integritas menjadi
tawaran solutif untuk mengembalikan pendidikan yang bermartabat.
Perubahan sosial perlu dicapai oleh segenap bangsa
Indonesia. Perubahan sosial tersebut akan mencapai tujuan sebagai
berikut pertama, tumbuhnya semangat integirtas pada setiap individu
akan mematikan akar dari perilaku korupsi sehingga membentuk
budaya dan karakter yang sesuai dengan cita-cita bangsa. Kedua,
akan tumbuh kesadaran dalam masyarakat bahwa upaya
pemberantasan korupsi tidak bisa hanya dilakukan oleh penegak
hukum tetapi upaya ini menjadi tanggungjawab bersama sebagai
masyarakat bangsa Indonesia.
87
Secara normatif, pendidikan di Indonesia melalui Undang-
Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
telah menegaskan landasan moral pendidikan untuk membangun
manusia Indonesia secara utuh baik aspek akademik maupun moral.
Namun dilihat dari fakta yang terjadi saat ini, sistem pendidikan
masih belum menyentuh ranah moral. Pendidikan hanya dielu-
elukan sebagai penggojlokan intelektual akademik tanpa
memperhatikan pendidikan moral dan nilai. Dengan demikian tak
jarang ditemui adalah proses komersialisasi sampai dengan
industrialisasi lembaga pendidikan yang ujungnya hanya
menghasilkan buruh-buruh yang akan menyokong para elit kapital di
bangsa ini.
Pakar pendidikan, Mochtar Buchori pendidikan nilai bukan
memupuk kemahiran beretorika tentang nilai atau ideologi. Namun
yang jauh lebih penting adalah ketaatan terhadap nilai untuk
memupuk kemampuan membimbing bangsa ke pembaruan cara
hidup sesuai realitas yang ada serta aspirasi tentang masa depan
yang masih hidup dalam diri bangsa.
Maka dari itu penting adanya penanaman nilai-nilai
integritas dalam sistem pendidikan formal di Indonesia. Dengan
penanaman nilai tersebut maka manusia akan akan diarahkan untuk
kebal terhadap korupsi. Manusia akan sadar betul tentang sanksi
sosial karena korupsi adalah proses pemiskinan yang memerosotkan
kemanusiaan dan bangsa Indonesia.
88
Sektor Ekonomi
Surat Cinta untuk Presiden
BEM Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Kepada Bapak Capres dan Bapak Cawapres,
Terlintas di pikiran kami bahwa Indonesia masih memiliki
berbagai macam permasalahan. Kami pun berkumpul untuk
mendiskusikan apa saja yang masih belum sempurna di negara kita
tercinta ini. Apa saja yang masih harus dicapai bersama, oleh
masyarakat dan pemerintah. Banyaknya permasalahan yang ada
membuat kami sepakat untuk hanya membahas empat topik untuk
kami persembahkan kepada Bapak. Perdagangan, inklusi keuangan,
pembangunan manusia, dan APBN pun menjadi hal-hal yang akan
kami persembahkan kepada Bapak. Berikutlah sedikit isi hati kami
untuk Bapak.
Sudah siapkah kita untuk bersaing secara global di pasar bebas
ASEAN? Apakah di tahun 2015 nanti kita akan menjadi pemain atau
hanya menjadi lahan permainan asing? Pertanyaan-pertanyaan itu
muncul disaat kami memikirkan mengenai ASEAN Economic
Community (AEC) tahun depan, terlebih lagi untuk menghadapi
ASEAN Vision 2020. Masyarakat banyak yang belum tau apa itu
AEC dan ASEAN Vision, tapi mereka harus menghadapi kedua hal
tersebut. UMKM, sebagai salah satu pilar perekonomian kita, sudah
siapkah mereka? Apakah Bapak mampu mempersiapkan kami, calon
89
rakyatmu, untuk kedua hajatan besar di ASEAN? Butuh daya saing
yang tinggi untuk mampu menjadi pemain dalam kedua hajatan besar
tersebut. Kualitas produk UMKM butuh untuk distandardisasi agar
kualitasnya terjamin, agar masyarakat percaya akan produknya dan
mau membeli. Tenaga kerja terlatih juga perlu difasilitasi agar mampu
memiliki daya saing yang tinggi. Dan permasalahan-permasalahan
perdagangan Indonesia dengan negera lain: masalah impor
holtikultura dengan AS, masalah CPI di Eropa dan Malaysia, masalah
pertambangan, dan beberapa masalah penetapan harga komoditas
ekspor unggulan, yang kami rasa solusinya tidak hanya pada
penyusunan substansi tetapi dapat dicapai dengan maksimal dengan
negosiasi.
Kami juga mengkhawatirkan mengenai akses masyarakat
terhadap lembaga keuangan. Pada survey yang dilakukan Bank
Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 62% rumah tangga
Indonesia tidak memiliki tabungan sama sekali. Pengetahuan
masyarakat juga masih minim Pak, menurut survey OJK bulan
November lalu, hanya sekitar 21,84 persen penduduk Indonesia yang
memiliki pengetahuan tentang lembaga serta produk jasa keuangan.
Pemerintah seharusnya lebih mengedukasi masyarakat mengenai
lembaga keuangan serta produk jasanya ini. Untuk menjangkau
lapisan masyarakat menengah kebawah, diperlukan pula optimalisasi
kinerja bank daerah, bank tani, bank pasar, dan koperasi yang lebih
dapat menjangkau mereka. Bank kelas menengah kebawah ini akan
90
lebih baik jika dikonsolidasikan ataupun diakuisisi oleh bank besar
agar layanannya benar-benar sehat dan terpercaya, sehingga tidak
menimbulkan ketakutan masyarakat untuk menggunakan produk jasa
keuangan. Selain itu, kami juga mengharapkan akses UMKM menuju
kredit usaha dipermudah Pak, agar UMKM mampu berkembang.
Namun, Bapak juga membantu bank melalui pengelolaan profil resiko
nasabah, sehingga bank pun terhindar dari terjadinya gagal bayar.
Hal lain yang kami khawatirkan adalah mengenai pembangunan
manusia. Akses terhadap pendidikan di negara kita ini masihlah
minim, Pak. Masih banyak pula terjadi diskriminasi di kalangan
masyarakat kita. Berdasarkan laporan UNESCO 2011, tingginya putus
sekolah menyebabkan angka Indeks Pembangunan Manusia
rendah.Faktor utama penyebab putus sekolah adalah tingginya biaya
pendidikan. Pemerintahtelahmemberikan subsidi untuk bidang
pendidikan, namun subsidi tersebut dirasa kurang terdistribusi dengan
baik. Anak yang benar-benar tidak mampu tidak mendapatkan
keringanan, namun anak yang mampu mendapatkan keringanan.
Perlupendataan yang tepat untuk subsidi pendidikan. Selain itu,
kurikulum kita yang terus berubah, belum menunjukkan keberhasilan
yang signifikan. Kita terus mencontoh negara asing yang telah sukses
dengan kurikulumnya, tapi mengapa tidak berhasil di negara kita?
Kami pun berpendapat bahwa bangsa ini memiliki karakter tersendiri.
Jadi sesuatu yang baik untuk bangsa lain belum tentu baik untuk kami.
Kurikulum yang sesuai dengan karakter kami lah yang kami butuhkan.
91
Seiring dengan perkembangan jaman pula, pendidikan karakter tidak
hanya terjadi di rumah, namun di sekolah. Bahkan, untuk mereka yang
orang tuanya bekerja, PAUD ataupun TK menjadi sarana paling
penting pendidikan karakter. Dibutuhkan pengawasan khusus untuk
PAUD dan TK agar mampu memfasilitasi pendidikan karakter. Selain
itu, terjadi juga pergeseran peran politeknik dan universitas di negara
kita ini, Pak. Universitas yang seharusnya menghasilkan ilmuan-
ilmuan, malah mengambil peran politeknik, yaitu menghasilkan
pekerja. Perlunya pendidikan vokasional untuk para calon pekerja ini,
membuat Indonesia seharusnya membangun lebih banyak politeknik.
Selain dari bidang pendidikan, pembangunan manusia juga dapat
dilihat dari gizinya. Penjaminan hasil pangan akan berpengaruh pada
tingkat gizi dan kesehatan masyarakat. Dengan teknologi yang
berkembang, masyarakat mampu memenuhi kebutuhan nasional
dengan mengurangi impor, distribusi pangan yang baik, produksi dan
pengolahan di Indonesia akan lebih optimal sehingga dapat
mengurangi angka kemisikinan.
Hal terakhir yang kami khawatirkan adalah mengenai APBN.
APBN negara kita cenderung mengikuti APBN tahun-tahun
sebelumnya, ini kami rasa kurang tepat karena kurang sesuai dengan
keadaan di tahun tersebut. APBN kita juga masih bersifat teknokratis
Pak, belum bersifat ideologis, sehingga pembelanjaan ini tidak
memiliki pencapaian jangka panjang yang konkrit. Masa penyusunan
APBN yang singkat juga kami anggap tidak cukup untuk mampu
92
mengoreksi ketidaktepatan yang ada. Otorisator dan ortodinator
APBN kita juga merupakan badan yang sama, yaitu Kementerian
Keuangan. Hal ini tentunya rawan penyelewengan karena satu badan
melakukan tugas pengawasan sekaligus pelaksanaan. Masalah lain
adalah penerimaan APBN kita yang masih lebih besar bersumber dari
pajak dibandingkan dari sumber daya alam. Padahal, pengeluaran
untuk membayar bunga utang dan belanja pemerintah lebih besar
dibandingkan pembangunan infrastruktur. Menurut INDEF, dengan
sistem yang seperti itu, APBN ini masih kurang pro rakyat. Kami
mengharapkan APBN kita dapat lebih responsif terhadap trend
masalah yang ada di Indonesia, tidak hanya sekedar berkaca dari
APBN tahun sebelumnya. Penerimaan pemerintah juga harus lebih
digencarkan lagi dari sumber daya alam maupun dari sektor jasa agar
tidak membebankan belanja pemerintah kepada masyarakat. Dengan
begitu, pajak bukan sumber pendapatan utama kita.
Suara kami ini hanya mencakup sedikit dari banyaknya
permasalahan di negeri kita tercinta ini Pak. Kami berharap Bapak
mampu untuk menyelesaikan satu per satu permasalahan di negeri ini
bersama kami, rakyat Bapak kelak. Kami akan selalu ada untuk
membantu Bapak mewujudkan Indonesia yang sejahtera, adil, dan
makmur, sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Balaslah surat
kami ini dengan bukti nyata kinerja Bapak. Terimakasih.
93
ASEAN Vision 2020: Bersatu dalam Kepentingan
Putu Yunartha P. P
(Ketua Bidang Kajian Intelektual & Hubungan Eksternal BEM FEB)
Sepuluh negara ASEAN semakin didekatkan pada pencapaian
visi integrasi regional pada tahun 2020. Berlangsungnya ASEAN
Economic Community (AEC) 2015 adalah salah satu mid-point dari
perjalanan impelementasi ASEAN Vision 2020. Pembangunan
ekonomi yang seimbang antar negara dan pengurangan kesenjangan
sosial adalah poin visi yang terdapat dalam deklarasi dan rencana aksi
yang telah dibuat satu dekade lalu. Arus bebas barang, jasa, dan modal
adalah agenda-agenda penting yang merupakan bagian dari visi
tersebut. Pasar bebas yang berbasis produksi diharapkan tidak
membatasi negara-negara dengan letak geografis berbeda untuk
mengoptimalkan potensi dan peluang pertumbuhan ekonomi yang
lebih baik. Indonesia yang merupakan negara dengan puluhan ribu
pulau dapat memanfaatkan peluang ini dengan menjadi negara yang
dilalui oleh arus pasokan dan lalu lintas barang. Tentu saja prinsip
efektivitas dan efisiensi adalah kondisi wajib yang harus dipenuhi
sebelum mengambil keuntungan dan mengantisipasi ancaman dari
diberlakukannya program-program pada visi ASEAN 2020.
Integrasi ekonomi adalah salah satu poin penting yang
dinyatakan dalam Visi ASEAN 2020. Pembangunan ekonomi,
infrastruktur, teknologi, dan sumber daya manusia oleh sepuluh
94
negara ASEAN tidak semata-mata dilakukan untuk kepentingan
regional, namun juga peningkatan kesejahteraan negara-negara
anggota. Pemerintahan baru yang akan terpilih pada tahun 2014 ini
harus memperhatikan dan fokus terhadap pembangunan ekonomi yang
diikuti dengan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh warga negara.
Sektor industri dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
harus mampu bergerak seimbang dan dapat menjadi tonggak
perjalanan bangsa yang bermatabat di kancah global.
Pertumbuhan industri dan UMKM terdiri dari beberapa sektor
yang pertumbuhannya dipantau oleh Pemerintah. Sektor agrikultur,
manufaktur, dan pelayanan jasa adalah fondasi-fondasi industri dan
usaha yang ikut menopang pendapatan utama masyarakat Indonesia
saat ini. Investasi yang dilakukan pelaku usaha baik berupa tenaga
kerja dan modal belum berjalan secara optimal. Tenaga kerja yang ada
cenderung tidak dibekali dengan pelatihan dan peningkatan skill
sehingga efisiensi yang diharapkan pelaku usaha menjadi terhambat.
Modal yang digunakan oleh pelaku usaha dan industri juga tidak
ditempatkan sesuai potensi perkembangan usaha. Tantangan untuk
calon RI 1 5-6 tahun ke depan adalah bagaimana menyeimbangkan
pertumbuhan usaha yang berlandaskan efisiensi disaat harga-harga
barang komoditas juga dapat terkendalikan. Menyalahkan tingkat
konsumsi masyarakat yang tinggi tidak akan memecahkan masalah
disaat peningkatan produksi barang-barang dan jasa berkualitas tidak
diupayakan.
95
Produksi barang dan jasa tidak pernah lepas dari kebijakan
nasional yang turut mengatur fase-fase yang terjadi sebelum
melakukan ekspor dan impor. Kebijakan yang dibuat Pemerintah
seharusnya dapat disesuaikan dengan inovasi teknologi yang ikut
mendukung pertumbuhan dan penguatan industri dan usaha di sektor-
sektor penopang devisa nasional. Dukungan atas penemuan dan
penelitian teknologi yang bermanfaat sangat dibutuhkan mengingat
motivasi inovator dan pengusaha juga dipengaruhi oleh insentif dan
penghargaan atas karya-karya anak bangsa. Produksi barang final
maupun dalam olahan Indonesia seperti metal goods di industri
manufaktur masih jauh tertinggal dari beberapa negara tetangga yang
menaruh perhatian khusus pada pengembangan teknologi dan
informasi. Jaringan internasional untuk produksi barang dan jasa pada
negara berkembang harus bisa seimbang sehingga gap yang ada pada
setiap negara bisa berkurang.
Pembangunan suatu negara khususnya yang sedang
berkembang dan memiliki daya saing menengah hingga tinggi
memerlukan aspek medasar yang dijadikan indikator dan arah
pencapaiannya. Kelompok-kelompok produksi dalam negeri juga ikut
dipengaruhi oleh tenaga kerja yang terampil dalam merancang
maupun menciptakan barang dan jasa. 7 tahun sejak ditetapkannya
visi ASEAN 2020, tenaga kerja tidak terampil yang bekerja di
lingkungan usaha dan industri di Indonesia mencapai angka 50,8%
(Un Comtrade Database, diperoleh dari Narjoko, Dionisius, dan
96
Wicaksono, 2009). Global Competitiveness Index (GCI) yang sering
dijadikan pedoman setiap negara juga memiliki aspek penilaian
terhadap kemajuan sumber daya manusia yang bekerja di setiap
sektor. Tingginya jumlah tenaga kerja tidak terampil di negara
berkembang yang diikuti demografi penduduk dengan usia produktif
tinggi akan menjadi ancaman bagi pemerataan kesejahteraan dalam
jangka panjang. Hal inilah yang membutuhkan perencanaan matang
dari Pemerintahan yang diberi amanah untuk membuat sebuah grand
design pengembangan sumber daya manusia yang berbasis skill.
Sumber daya manusia terampil bukanlah sebuah alat standar untuk
menentukan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa,
melainkan merupakan hak dasar yang harus diperoleh oleh seluruh
masyarakat Indonesia. Hal ini telah tercantum dengan jelas pada
amanah UUD 1945 yang harus dijunjung dan dicapai.
Sebuah visi integrasi regional seperti dua sisi mata uang.
Peluang dan keuntungan bisa saja didapat ketika ancaman mampu
diantisipasi dan dicegah dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah yang
tepat. Pemerintahan baru 5 tahun ke depan tidak seharusnya
melepaskan perencanaan jangka panjang yang telah ditetapkan, namun
menyesuaikannya dengan program-program inovatif yang memiliki
pengaruh terhadap kemajuan bangsa. Menggambarkan sebuah visi
adalah tidak sulit untuk negara-negara region dengan kemiripan di
setiap bagian. Hal yang paling sulit adalah pada tataran implementasi,
97
ketika sebuah visi ditetapkan dan tuntutan keberhasilan dibatasi oleh
berbagai kepentingan.
98
Sektor Pendidikan
Problematika Perubahan Kurikulum Pendidikan Indonesia
Lembaga Mahasiswa Fakultas Psikologi
Telah 68 tahun lamanya bangsa yang besar ini telah lepas dari
belenggu penjajahan. Sebagai bangsa yang cukup lama merdeka,
permasalahan-permasalahan yang mendasar tak kunjung lepas dari
kemelut bangsa ini. Permasalahan korupsi, asset negara yang dikuasai
asing, banyaknya masyarakat yang masih hidup dibawah garis
kemiskinan, degradasi moral, & pendidikan yang belum optimal,
menjadi permasalahan yang seakan berlarut-larut tak tertuntaskan.
Semua permasalahan ini ketika ditarik benang merah akan terlihat
bahwa masalah utamanya adalah bangsa Indonesia mengalami
disorientasi. Padahal telah jelas termaktub pada pembukaan UUD
1945 bahwa kesejahteraan, kemerdekaan (dari belenggu asing.red),
mencerdaskan kehidupan bangsa, & keadilan sosial, merupakan tujuan
dari terbentuknya pemerintahan bangsa Indonesia. Namun pada
nyatanya permasalahan yang telah jelas di tuliskan sebelumnya masih
juga tak menemui jalan akhir.
Permasalahan disorientasi disebabkan karena adanya masalah
pada proses orientasi pembentukan bangsa. Proses orientasi yang
dimaksud di sini tidak lain tidak bukan yaitu pendidikan bangsa.
Pendidikan merupakan proses pembentukan orientasi yang akan
menentukan arah pembentukan bangsa pada generasi setelahnya. Apa
99
yang dihasilkan pada masyarakat usia produktif sekarang adalah hasil
pendidikan pada masa sebelumnya. Ketika muncul budaya korup,
kualitas sumber daya manusia rendah, dan berbagai masalah pada
masyarakat usia produktif lainnya , maka itu disebabkan dari hasil
pendidikan generasi sebelumnya. Sehingga bisa kita ambil kesimpulan
bahwa permasalahan mendasar bangsa Indonesia yang tak kunjung
menemui jalan akhir, hal itu disebabkan karena pendidikan yang
membentuk orientasi dan kualitas sumber daya manusianya.
Dalam pendidikan terdapat beberapa hal yang menjadi
komponen, yaitu peserta didik, tenaga pendidik, sarana prasarana
pendidik, serta yang paling penting adalah kurikulum. Kurikulum
merupakan sebuah perangkat pendidikan yang menjadi pedoman
proses untuk mencapai tujuan dari pendidikan. Kurikulum menjadi
arah yang menentukan wajah pendidikan bangsa. Ketika sebuah
kurikulum tidak dirancang dengan baik dan matang maka akan
menyebabkan permasalahan yang global dan sistemik pada sumber
daya manusia bangsa Indonesia. Sumber daya manusia yang
diharapkan dapat melanjutkan perkembangan pembangunan bangsa,
akan menjadi tidak optimal ketika salah dalam penerapan
kurikulumnya. Ketika kurikulum tidak mengedepankan aspek nilai,
maka yang didapati adalah sumber daya manusia yang tidak memiliki
orientasi yang jelas, tidak berkarakter, dan cenderung pragmatis.
Sedangkan ketika kurikulum tidak memperhatikan aspek psikomotor,
maka yang terjadi adalah terbentuknya sumber daya manusia yang
100
kurang berkualitas secara teknis, dan tidak dapat bersaing dengan
bangsa lain.
Sejarah Perkembangan Kurikulum Pendidikan Indonesia
Dalam sejarah perkembangan pendidikan bangsa Indonesia
perubahan kurikulum menjadi seperti hal yang lumrah dilakukan.
Tercatat sejak kemerdekaan bangsa Indonesia perubahan kurikulum
telah mencapai 11 kali, yaitu tahun 1947, 1952, 1964, 1968,
1975,1984, 1994, 1999, 2004 , dan 2006, serta terakhir pada tahun
2013.
Kurikulum pertama yaitu kurikulum Rancana Pelajaran pada
tahun 1947, adalah sistem kurikulum pertama yang digunakan. Pada
masa itu belum dikenal istilah kurikulum, sehingga menggunakan kata
Rentjana Pelajaran. Kurikulum Rencana Pelajaran mengubah orientasi
pendidikan belanda menjadi ke arah kepentingan nasional. Pada
kurikulum tersebut masih berfokus pada pembentukan karakter
masyarakat Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan sejajar dengan
bangsa lain.
Setelah kurikulum Rencana Pelajaran, 5 tahun kemudian,
tahun 1952, kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan yang
kemudian diberi nama Rentjana Pembelajaran Terurai. Kurikulum ini
menekankan pada rencana pelajaran yang memperhatikan isi pelajaran
yang dhubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
101
Pada akhir era Soekarno, pemerintah kembali mengubah
rencana pendidikan menjadi Rencana Pendidikan 1964. Kurikulum ini
menekankan pada konsep pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif,
dan produktif, yang membuat anak terampil dalam melakukan
pemecahan permasalahan. Kurikulum ini juga menitik beratkan pada
pengembangan daya cipta , rasa, karsa, karya, dan moral, yang
selanjutnya dikenal dengan Pancawadhana.
Empat tahun kemudian, tahun 1968, kurikulum kembali diubah
strukturnya dari pendidikan pancawardhana menjadi pembinaan jiwa
pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968
adalah wujud dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945.
Disamping itu ternyata perubahan kurikulum kali ini dilandasi latar
belakang politik dimana untuk mengganti Rencana Pendidikan 1964
yang dicitrakan produk orde lama.
Setelah memasuki masa Orde Baru , arah gerak kurikulum
berubah dari rencana pelajaran menuju kurikulum berbasis pada
pencapaian tujuan. Kurikulum 1975 pun kembali dibuat atas dasar
berbagai latar belakang seperti lajunya pembangunan nasional pada
era Suharto, adanya kebijaksanaan permerintah di bidang pendidikan
yang dituangkan dalam GBHN, adanya analisis dari Diknas untuk
meninjau ulang pendidikan nasional, serta keluhan dari masyarakat
terhadap mutu lulusan pendidikam sebelumnya.
Selama hampir sekitar 8 tahun kurikulum 1975 dijalankan,
kurikulum ini dianggap tak mampu lagi memenuhi kebutuhan
102
masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
diperkuat dengan sidang umum MPR 1983 yang tertuang dalam
GBHN yang menghendaki kurikulum 1975 diubah menjadi kurikulum
1984. Disamping itu secara teknis perubahan kurikulum ini
disebabkan oleh beberapa hal seperti, terlalu padatnya isi kurikulum,
kesenjangan antara kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah.
Kurikulum 1984 menekankan pada kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pada tahun 1994 kurikulum 1984 kembali disempurnakan
dalam rangka melaksanakan UU no. 2 tahun 1989 tentang sistem
pendidikan nasional. Pada kurikulum 1994 pembagian waktu belajar
diubah dari yang awalnya menggunakan sistem semester, kemudian
diganti menggunakan sistem catur wulan yang membagi satu tahun
menjadi tiga tahap.
Evaluasi dari kurikulum 1975-1994 adalah terbentuknya
lulusan yang lebih dominan menguasai aspek kognitif dibanding
aspek keterampilan. Hal ini menyebabkan banyak lulusan yang tidak
memiliki yang bersifat aplikatif. Sehingga sejak saat itulah arah
kurikulum diubah menjadi kearahyang holistik. Pada tahun 2004
muncullah kurikulum baru yang popular disebut dengan KBK
(kurikulum berbasis kompetensi) yang lahir sebagai respon atas
tuntutan reformasi yang tertuang pada UU no 2 tahun 1999, UU no 25
tahun 2000, dan Tap MPR no IV/MPR/1999. KBK berfokus pada
sejauh mana peserta didik mencapai kompetensi yang diharapkan.
103
Pada tahun 2003 terbentuk UU no 20 tentang sistem
pendidikan nasional yang mengamanatkan agar terbentuknya
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang kemudia sering dikenal
dengan KTSP. KTSP mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL).
Permasalahan
Jika kita melihat sejarah perubahan kurikulum di atas dapat
kita jumpai permasalahan-permasalahan yang mendasar dalam proses
perubahannya. Pertama, pemerintah terlalu mudah mengubah sebuah
kurikulum yang menyangkut arah pembelajaran ratusan juta peserta
didik dan tenaga pendidik di seluruh Indonesia. Perubahan itu
sebagian besar disebabkan karena perubahan arus politik dan ideologi
yang dituangkan dalam landasan yuridis, serta proses penyempurnaan
dan evaluasi dari kurikulum sebelumnya. Dapat kita lihat pada
kurikulum 1950, 1975, 1994, 2004 , 2006 lahir dari tuntutan karena
perubahan undang-undang atau GBHN. Selain itu juga terdapat
perubahan kurikulum dalam rangka penyempurnaan atau penyesuaian
seperti pada kurikulum 1958, 1964, 1984.
Permasalahan kedua, setiap pergantian tidak berdasarkan pada
kepada basis evaluasi dan penelitian yang jelas dan matang. Seperti
yang tertulis sebelumnya perubahan kurikulum sebagian besar
disebabkan adanya perubahan undang-undang/GBHN dan dalam
rangka penyempurnaan. Padahal sebagai kaum terdidik, kita
104
menyadari betapa pentingnya evaluasi yang berbasis penelitian dalam
mengambil kebijakan. Ketika pemerintah tidak melakukan penelitian,
maka yang terjadi yang dijadikan bahan penelitian adalah peserta
didik itu sendiri yang harus merasakan percobaan perubahan
kurikulum yang berulang-ulang.
Dampak
Pada kesempatan ini juga akan kami sampaikan dampak dari
perubaham kurikulum yang terlalu sering dan ditambah rentang waktu
yang terlalu dekat.
Permasalahan pertama, adalah masalah penyesuaian dan
angkatan percobaan. Ketika kurikulum baru diterapkan maka yang
terjadi adalah akan ada sebuah angkatan yang menjadi angkatan yang
diujikan pertama kali untuk menjalankan kurikulum tersebut. Hal itu
menyebabkan angkatan tersebut akan mendapatkan kualitas
pengajaran yang tidak optimal, dikarenakan masih dalam proses
penyesuaian dari pihak pengajar sendiri. Selain itu akan terdapat
kesenjangan dengan angakatan setelahnya yang memakai kurikulum
yang sama, karena angkatan selanjutnya tentu telah melakukan
evaluasi dan penyesuaian dalam penerapan kurikulum baru tersebut.
Hal ini sangatlah merugikan peserta didik pada angkatan percobaan
karena dia akan menanggung beban beratnya menyesuaikan
kurikulum baru.
105
Permasalahan kedua, adalah beratnya proses penyesuaian
tenaga pendidik dan buku terutama pada seluruh wilayah di Indonesia.
Mirip halnya dengan masalah yang pertama, namun pada kesempatan
kali ini lebih menekankan pada tenaga pendidik dan sarana prasarana.
Ketika kurikulum baru diterapkan tentu tidak hanya siswa yang perlu
menyesuaikan, melainkan juga yang paling penting adalah guru.
Dalam penyesuaiannya tentu guru perlu memahami lebih dalam
kurikulum seperti apa yang dibawa, mulai dari tujuan dari kurikulum,
hingga materi kurikulum. Sehingga oleh karena itu perlu sosialisasi
yang komprehensif agar guru mampu mengajar dengan baik. Kendala
selanjutnya adalah memastikan tenaga pendidik di seluruh wilayah
mendapatkan hal yang sama . Tentu ketika ini tidak dipenuhi akan
terjadi kesenjangan pendidikan di berbagai wilayah di Indonesia.
Permasalahan terakhir yang masi berkaitan adalah, setelah tenaga
pendidik tentu sarana prasarana yaitu buku yang sesuai dengan
kurikulum. Sering kali ditemukan di beberapa wilayah ada sekolah
yang masih menggunakan buku kurikulum lama, padahal kurikulum
baru sudah dijalankan.
Terakhir secara umum dapat kita simpulkan perubahan
kurikulum yang terlalu sering akan membuat masyarakat Indonesia
tidak mengetahui tujuan utama dari bangsa Indonesia sendiri. Ketika
pada suatu kurikulum menekankan pada aspek moral, lalu pada
kurikulum lain diubah kepada aspek kompetensi ilmiah, maka para
106
pelajar akan tidak dapat mengetahui arah tujuan dari pendidikan
bangsa yang sebenarnya.
Dari berbagai macam permasalahan dan dampak dari
perubahan kurikulum diatas, kami menyampaikan tuntutan agar sistem
kurikulum di Indonesia diperbaiki berdasarkan :
1. Keajegan kurikulum atau perubahan kurikulum yang tidak
signifikan
2. Pengambilan kebijakan pergantian atau penyempurnaan kurikulum
berdasarkan penelitian yang valid reliabel, dan representatif
3. Kebijakan penerapan kurikulum yang tepat sasaran dan mampu
diimplementasikan di seluruh Indonesia
4. Proses sosialisasi kurikulum yang komprehensif dan merata agar
kurikulum dapat dijalankan dengan optimal di seluruh wilayah
Penjelasan:
1. Kami menuntut agar kurikulum dibuat, ajeg dan tidak mudah
diubah hanya karena perubahan arus politik atau landasan
yuridis. Jikapun ada proses penyesuaian ataupun
penyempurnaan maka tidak dilakukan secara signifikan
hingga harus mengubah kurikulum secara keseluruhan.
2. Kami menuntut agar pengambilan kebijakan pergantian atau
penerapan kurikulum berdasarkan penelitian yang valid,
reliabel, dan representatif. Agar kurikulum yang diterapkan
benar-benar kurikulum yang terbaik dan memiliki visi jangka
107
panjang. Hal ini berkaitan dengan tuntutan pertama karena
agar kurikulum tidak perlu diganti terlalu sering maka
solusinya adalah dengan diterapkannya kurikulum yang
benar-benar matang, berdasar penelitian, dan memiliki visi
jangka panjang.
3. Kami menuntut agar kurikulum yang diterapkan bisa tepat
sasaran baik secara jenjang pendidikan dan juga tepat
diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia. Sehingga oleh
karena itu tentu perlu penelitian yang representatif yang dapat
menggambarkan kondisi pendidikan di seluruh wilayah di
Indonesia.
4. Kami menuntut kurikulum baru di sosialisasikan secara
komprehensif di seluruh wilayah di Indonesia. Sosialisasi
merupakan hal yang penting karena hal tersebut akan
menentukan apakah tenaga pendidik mampu menjalankan
kurikulum sesuai dengan yang diinstruksikan kementerian
pendidikan. Ketika sosialisasi tidak dilaksanakan dengan baik
ke semua daerah maka yang terjadi adalah akan terdapat
daerah-daerah yang belum menjalankan kurikulum baru.
108
Sektor Kesehatan
JKN Untuk Indonesia Sehat
BEM KM Fakultas Kedokteran
Kesehatan merupakan salah satu permasalahan yang
memerlukan perhatian yang lebih dari pemerintah. Di Indonesia
kesehatan merupakan salah satu hak yang harus didapatkan oleh setiap
Warga Negara Indonesia karena falsafah dan dasar negara Pancasila
terutama sila ke-5 mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini
juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur
dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 yang kemudian diganti dengan UU
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam UU Nomor 36
Tahun 2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang
sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan
dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut
serta dalam program jaminan kesehatan sosial. Tidak hanya di
Indonesia yang menjamin hak kesehatan atas warga negaranya pada
tataraan internasional, dalam sidang ke-58 tahun 2005 di Jenewa,
World Health Assembly (WHA) menggarisbawahi perlunya
pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin
tersedianya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan
memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan.
WHA ke-58 mengeluarkan resolusi yang menyatakan bahwa
109
pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui Universal Health
Coverage diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan
sosial. WHA juga menyarankan kepada WHO agar mendorong
negara-negara anggota untuk mengevaluasi dampak perubahan sistem
pembiayaan kesehatan terhadap pelayanan kesehatan ketika mereka
bergerak menuju Universal Health Coverage.
Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas,
pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan
masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi
kesehatan perorangan. Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis
pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial
di bidang kesehatan, di antaranya melalui PT Askes (Persero) dan PT
Jamsostek (Persero) yang melayani pegawai negeri sipil, penerima
pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan
tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan
Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih
terfragmentasi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit
terkendali.
Dalam pelaksanaannya yang sudah berjalan selama enam bulan
ini masih banyak sekali bahan evaluasi yang harus diperbaiki untuk ke
depannya. JKN merupakan sistem yang bersifat sentralisasi, yang
merupakan produk dari Kementerian Kesehatan dan bergerak atas
perintah dari pusat. Sementara Indonesia yang dengan sistem
110
desentralisasi, tidak bekerja atas perintah pusat. Sehingga,
pelaksanaan JKN dalam sistem desentralisasi masih banyak
mengalami kendala. Menurut Rozuli (2008) dalam konteks
masyarakat, ada beberapa mekanisme sistem pelayanan publik yang
perlu diperhatikan dalam era otonomi daerah. yaitu:
(i) Perlu standar pelayanan publik.
(ii) Sanksi bagi pejabat publik yang tidak mampu memenuhi
standar pelayanan.
(iii) Peningkatan profesionalisme pejabat publik.
(iv) Rakyat berhak mengajukan keluhan atas pelayanan publik yang
buruk.
(v) Rakyat melakukan kontrol terhadap penyelesaian atas keberatan
yang diajukan.
(vi) DPRD melakukan pengawasan atas pelayanan publik dan
keberatan yang diajukan rakyat.
(vii) Rakyat mengajukan keberatan kepada DPRD dan pemerintah
daerah atas perbaikan keluhan yang dilakukan pemerintah
daerah.
Pelaksanaan JKN dalam era otonomi daerah dinilai belum
memenuhi mekamisme sistem pelayanan publik dalam masyarakat.
Dalam pelaksanaan JKN yang baru berjalan 6 bulan ini, belum terlihat
adanya keterlibatan dari dinas kesehatan daerah sebagai pemegang
otoritas utama dalam pengaturan pelayanan kesehatan daerah.
Sehingga dibutuhkan adanya kerja sama antar pelaksana BPJS-JKN
111
dan Dinkes Daerah dalam regulasi serta monitoring dan evaluasi
pelaksanaan JKN di daerah sehingga sesuai dengan tujuan utama dari
desentralisasi kesehatan dan JKN.
Selain itu, dalam memajukan kesehatan daerah, perlu adanya
kerja sama antara daerah dan pusat dalam pemberian bantuan dana.
Daerah tertinggal harus lebih diutamakan daripada kota-kota besar di
Indonesia. Dalam hal ini, kami berbicara tentang beberapa daerah
dengan fasilitas kesehatan yang minim dan anggaran APBD yang
rendah. Untuk mencapai keadilan antar daerah, pemerintah pusat
seharusnya ikut membantu dan menyokong daerah-daerah yang
tertinggal tersebut agar mampu mengembangkan dan memberdayakan
daerahnya. Hal ini dapat dilakukan denga cara sebagai berikut.
(i) Pembangunan infrastruktur di daerah – daerah yang terpencil.
(ii) Pembangunan rumah sakit yang dilengkapi dengan fasilias
kesehatan yang memadai.
(iii) Persebaran tenaga medis yang merata, dan
(iv) Jaminan terhadap kesejahteraan tenaga medis yang berada di
daerah Indonesia yang masih terpencil agar dapat bekerja secara
maksimal aman, nyaman, dan membantu masyarakat sekitar
agar tetap sehat, sehingga tercapai kesehatan dan kesejahteraan
nasional.
Bahan evaluasi lain yang menjadi permasalahan dalam
pelaksanaan JKN adalah masalah kepesertaan. Seperti yang
ditargetkan oleh pemerintah, pada tahun 2019 diharapkan seluruh
112
Warga Negara Indonesia telah masuk ke dalam sistem ini. Namun
pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang bingung untuk
menjadi peserta JKN, bahkan masih ada sebagian masyarakat yang
tidak mengetahui tentang program ini.
Sebenarnya pemerintah telah membuat sistem pengurusan data
melalui website sehingga masyarakat dapat dengan mudah mendaftar
dan membayar iuran melalui bank. Namun umumnya masyarakat
Indonesia tidak terbiasa melakukan hal-hal seperti ini akibat
keterbatasan akses internet, kemampuan yang tidak dimiliki, dan
sebagainya. Selain itu pemahaman atau persepsi masyarakat terhadap
manfaat dari sistem JKN ini masih kurang, khususnya masyarakat
kalangan menengah ke bawah yang tidak tergolong ke dalam
Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan diharuskan untuk membayar iuran.
Mereka memilih tidak ingin tergabung dalam sistem JKN karena
menurut mereka lebih penting membeli makanan atau kebutuhan
pokok lainnya daripada harus membayarkan iuaran untuk JKN.
Melihat kondisi di lapangan saat ini, pemerintah perlu
melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara lebih massive.
Sosialisasi harus dilakukan hingga ke pelosok – pelosok daerah di
seluruh wilayah Indonesia, bila perlu dilakukan sosialisasi dan survei
dari rumah ke rumah untuk dapat mengontrol siapa saja yang dapat
menjadi peserta PBI ataupun Non-PBI. Sejauh ini, peserta yang telah
banyak mendaftar adalah masyarakat golongan swasta, PNS, TNI,
POLRI yang sebelumnya telah tergabung dalam jaminan kesehatan
113
seperti ASKES, JAMSOSTEK dan sebagainya serta masyarakat yang
dapat mengakses informasi dengan mudah lewat pemberitaan media
dan juga dikarenakan faktor sakit. Mayoritas pendaftar ini adalah
mereka yang sakit berat. Dalam sistem JKN ini, seluruh fasilitas
diberikan selama sebulan. Obat juga diberikan dan bisa diambil di
rumah sakit atau pelayanan tingkat primer seperti puskesmas atau
dokter keluarga. Peserta dengan penyakit berat kronis yang
membutuhkan perawatan dan pengobatan intensif tentunya merasa
diuntungkan dengan sistem ini karena mereka hanya membayar
sedikit namun mendapatkan fasilitas yang lengkap. Padahal anggaran
pemerintah untuk peserta swasta Non-PBI ini hanya sekitar 7 triliun,
sedangkan untuk PBI 19 triliun dan PNS, TNI, POLRI sebesar 13
triliun. Jika dilihat dari pembagian alokasi dana tersebut, dapat
menjadi sebuah pertanyaan besar melihat fakta di lapangan bahwa
penggunaan terbanyak dilakukan untuk pasien dengan subsidi yang
kecil yaitu peserta Non-PBI yang memeliki riwayat penyakit berat
kronis. Padahal mereka menghabiskan banyak uang untuk
pembiayaan perawatan dan penyembuhan penyakitnya. Hal ini
tentunya harus ditindaklanjuti lebih jauh agar terjadi keadilan
sehingga tidak merugikan negara dan masyarakat.
Masalah yang juga perlu mendapatkan perhatian dari
pemerintah maupun pihak penyelenggara JKN atau Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah penggunaan sistem INA
CBG’s (Indonesia Case Based Groups) dalam proses pembayaran
114
JKN. INA CBG’s adalah sistem case mix, yaitu sistem yang
mengklasifikasikan pasien-pasien yang mempunyai karakter penyakit
yang sama (dan ciri-ciri pribadi yang sama/mirip) dalam satu episode
pelayanan kesehatan yang dikaitkan dengan biaya pelayanan yang
akan dikeluarkan. Kekurangan dari sistem INA CBG’s sebagai
metode pembayaran JKN sendiri cukup banyak dikarenakan oleh
beberapa hal, seperti penipuan oleh pihak Penyedia Pelayanan
Kesehatan (PPK) sendiri dan problematika sistem kapitasi BPJS
dimana para tenaga medis merasa tidak diperlakukan dengan adil.
Kapitasi adalah metode pembayaran untuk pelayanan kesehatan
dimana penyedia layanan dibayar dalam jumlah tetap per pasien tanpa
memperhatikan jumlah atau sifat layanan yang sebenarnya diberikan.
Tarif kapitasi tersebut dihitung berdasarkan jumlah peserta terdaftar
tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang
diberikan. Sistem kapitasi yang diberlakukan untuk dokter layanan
primer yang menandatangani kontrak dengan BPJS Kesehatan saat ini
membuat pendapatan para dokter tersebut akan bergantung pada sisa
biaya kapitasi yang diberikan. Tindakan ini sebenarnya secara tidak
langsung, mencoba untuk memberlakukan paradigma sehat dimana
tindakan preventif lebih baik dibandingkan tindakan kuratif. Namun
Jika jumlah pasien banyak, maka biaya kapitasi tersebut akan banyak
digunakan untuk melakukan pengobatan sehingga sisanya yang bisa
diberikan untuk jasa medik dokter makin sedikit. Oleh karena itu,
diharapkan BPJS dapat memperbaiki sistem agar para tenaga medis
115
mendapatkan pendapatan yang sesuai tanpa mengurangi kualitas
layanan kesehatan terhadap pasien. IDI mengusulkan agar pemerintah
bisa memberi insentif kepada para tenaga medis tersebut agar
menghindari kekhawatiran mereka.
Penipuan yang dilakukan oleh PPK diakibatkan kurangnya
fungsi badan audit di dalam BPJS. Badan audit tersebut hanya bekerja
dengan memantau apakah jumlah paket sebuah PPK pakai sesuai
dengan uang yang akan mereka terima dari pemerintah. Tetapi badan
tersebut tidak memantau apakah paket yang PPK tersebut pakai sesuai
dengan keadaan pasien sesungguhnya atau tidak sehingga pemerintah
bisa mengalami kerugian yang besar. Ini dikarenakan badan tersebut
belum mempunyai cukup pelatihan, sehingga staf badan tersebut
sungkan untuk berhadapan dengan penangungh jawab INA CBG’s RS
yang banyak punya latar belakang dokter dan dokter spesialis. Pihak
RS dengan mudah dapat mempengaruhi bahwa semua tindakan pada
klaim RS adalah sudah benar dan sesuai dengan standar pelayanan
medis. Hal ini membuat badan audit BPJS sulit untuk
mempertanyakan atau berdebat dengan pihak RS karena pada posisi
inferior baik pengetahuan dan skill. Ada beberapa jenis fraud yang
dilakukan rumah sakit yang melakukan pelanggaran seperti ini tetapi
tujuan tetap satu yaitu dengan mengelabui pemerintah.
Sistem INA CBG’s di JKN juga tidak tanpa cela. Menurut para
pengamat, INA CBG’s ini hanya mengkategorikan penyakit
berdasarkan gejalanya saja. INA CBG’s menyebabkan penanganan
116
pasien didasari oleh penyembuhan abnormalitas yang terdeteksi,
bukan bertujuan untuk menyembuhkan penyakit tersebut secara
keseluruhan (dari awal sampai sembuh), padahal hal seperti inilah
yang kita harapkan.
Sistem JKN ini harus lebih dievaluasi lagi untuk perbaikan dan
meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia. Dan kami
berharap agar calon pemimpin selanjutnya dapat lebih memperhatikan
kesehatan masyarakat Indonesia dan segera melakukan tindakan untuk
membenahi masalah kesehatan yang ada di Indonesia. Karena ketika
sesorang itu sakit seketika itu pula orang akan menjadi miskin, atau
dengan kata lain sakit adalah alat yang paling cepat untuk
memiskinkan. Sehat adalah kunci pertumbuhan ekonomi bangsa untuk
menuju masyarakat yang sejahtera.
Masyarakat sangatlah menaruh harapan besar terhadap system
ini sehingga meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Harapan
yang juga disampaikan oleh Wakil Menteri Kesehatan RI Prof. dr. Ali
Ghufron Mukti, M.Sc, Ph.D. adalah dalam hal JKN perlu perbaikan
secara mendasar dan sistematis yang menyangkut :
1. Peran dan tata hubungan antarpemangku kepentingan utama
yaitu BPJS, Presiden, (Pemerintah/Kemenkes), Dewan
Pengawas, pemberi pelayanan kesehatan (RS, Puskesmas,
dokter, dll), peserta dan daerah.
2. Kepesertaan terutama sektor informal harus diupayakan dengan
pendekatan berbeda.
117
3. Penyempurnaan cara pembayaran pada fasilitas kesehatan
disesuaikan dengan harga keekonomian.
4. Perbaikan proses monitoring dan evaluasi yang ketat serta
melibatkan banyak pihak untuk menghindari fraud
(kecurangan/penipuan).
5. Peningkatan sosialisasi dan edukasi yang massive kepada semua
pihak.
Suatu sistem yang baru diterapkan pastilah dibutuhkan adaptasi.
Oleh karena itu pembenahan ke arah yang lebih baik harus selalu
diupayakan. Semoga Jaminan Kesehatan Nasional ini benar-benar bisa
menjamin tersedianya akses masyarakat Indonesia terhadap pelayanan
kesehatan dan memberikan perlindungan kepada mereka terhadap
risiko keuangan.
118
Solusi Problema Maldistribusi Tenaga Kesehatan Berkaitan
Dengan Globalisasi Sektor Kesehatan: Usulan Langkah Strategis
Bagi Pasangan Presiden-Wakil Presiden Terpilih 2014
BEM KM Fakultas Kedokteran Gigi
Jelang pesta demokrasi terbesar di negara ini, yakni pemilihan
umum presiden dan wakil presiden Republik Indonesia 2014, sebagian
besar dari masyarakat kita masih dihadapkan pada dilema dalam
menentukan pemimpin pilihannya. Di sisi lain, masyarakat juga
menaruh harapan besar pada kedua pasangan calon presiden dan wakil
presiden lima tahun ke depan agar dapat menuntaskan krisis
multidimensional yang sedang dihadapi bangsa ini. Salah satu krisis
terjadi pada sektor vital yang sayangnya terkesan masih dianaktirikan
yaitu sektor kesehatan. Tak bisa dipungkiri, sektor ini menyimpan
banyak problematika yang tak kunjung terselesaikan dan berakibat
pada ketertinggalan kualitas kesejahteraan sumber daya manusia jika
dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Apabila kita cermati, visi dan misi yang diusung oleh kedua
pasangan calon belum mengakomodir sektor kesehatan sebagai salah
satu isu utama yang diangkat sebab sektor ini seolah “hanya”
dicantumkan sebagai kata derivasi dalam misi peningkatan kualitas
sumber daya manusia yang sama-sama disusung kedua pasangan
calon. Padahal, sebagaimana kita ketahui, kesehatan adalah prasyarat
119
utama bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat, disamping
pendidikan dan ekonomi.
Permasalahan utama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia
adalah adanya penyebaran kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan
yang tidak merata. Berdasarkan data Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan SDM Kesehatan Kementerian Kesehatan, jumlah SDM
kesehatan yang terdata sampai saat ini sebanyak 891.897 orang.(2)
Namun sebaran SDM kesehatan per wilayah masih terdapat
ketimpangan antar pulau seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut:
Sumber: http://bppsdmk.depkes.go.id/sdmk/
Ditinjau dari asal penyebabnya, permasalahan ini muncul
karena pantikan dari dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal berupa minimnya upaya pemerintah dalam menitik
beratkan dalam sektor kesehatan, minimnya infrastruktur pelayanan
dan pendidikan kesehatan, susahnya akses menuju pelayanan
kesehatan, rendahnya jaminan kesejahteraan dari pemerintah bagi
tenaga kesehatan di wilayah cilgaltas (terpecil, tertinggal dan
120
perbatasan) serta belum stabilnya JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).
Faktor internal ini berpotensi menimbulkan keengganan tenaga
kesehatan untuk mengabdi di pelosok. Sedangkan faktor eksternal
sendiri berangkat dari adanya globalisasi yang menyebabkan
tantangan profesionalisme dalam jangka panjang.
FAKTOR INTERNAL
Salah satu permasalahan dalam negeri yang menyebabkan
terjadinya ketidakmerataan tersebut adalah karena rendahnya upaya
pemerintah dalam melakukan pengangkatan dan penempatan tenaga
kesehatan. Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan kebijakan
untuk mengatasi masalah distribusi dokter dan dokter gigi dengan
pengangkatan dan penempatan dokter dan dokter gigi. Kebijakan yang
diambil oleh pemerintah adalah dengan mendorong peningkatan
jumlah lulusan pendidikan dokter dan dokter gigi serta menetapkan
kebijakan Dokter Inpres sejak tahun 1974 sampai dengan 1992
berdasarkan Instruksi Presiden. Pada periode tersebut, sebagian besar
lulusan dokter dan dokter gigi diangkat sebagai Dokter Inpres dengan
status Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan diharuskan bekerja di
Puskesmas untuk jangka waktu 3 sampai dengan 5 tahun.
Pada tahun 1992, pemerintah mengubah kebijakan
Pengangkatan Dokter Inpres dengan status Pegawai Negeri Sipil
(PNS) dan menggantinya dengan kebijakan pengangkatan dokter dan
dokter gigi dengan status Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang ditetapkan
121
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 37 tahun 1991 tentang
Pengangkatan Dokter Sebagai Pegawai Tidak Tetap Selama Masa
Bakti.(5) Namun, seiring perkembangan politik, ekonomi, teknologi
dan informasi, maka kebijakan pengangkatan Dokter dan Bidan
sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) dalam perjalanannya telah banyak
mengalami berbagai perubahan pendekatan. Pendekatan kebijakan
yang dilakukan adalah pendekatan geografis dan pendekatan
motivasional. Pendekatan geografis dilakukan dengan penempatan
dokter pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan kriteria terpencil dan
sangat terpencil serta penempatan Bidan di desa. Sementara itu,
pendekatan motivasional dilakukan dengan menyediakan insentif dan
pengurangan lama penugasan.
Perubahan kebijakan terakhir tertuang dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 683/Menkes/SK/III/2011 tentang Pedoman
Pengangkatan dan Penempatan Dokter Spesialis/Dokter Gigi
Spesialis/Dokter/Dokter Gigi/Bidan sebagai Pegawai Tidak tetap.(6)
Beberapa masalah muncul sehubungan dengan kebijakan ini antara
lain kesinambungan pelaksanaan program kesehatan berkaitan dengan
penetapan lama penugasan bagi dokter PTT selama 1 tahun di seluruh
fasilitas pelayanan kesehatan kriteria terpencil dan sangat terpencil,
belum adanya pedoman terkait seleksi pengangkatan Bidan PTT,
beban administrasi, dan efektivitas pelayanan kesehatan di tempat
penugasan. Sebagai upaya menyempurnakan hal tersebut, pemerintah
kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
122
Indonesia Nomor 7 tahun 2013 tentang Pedoman Pengangkatan dan
penempatan Dokter dan Bidan sebagai Pegawai Tidak tetap.(12)
Dengan regulasi PTT yang sudah berjalan beberapa tahun
belakangan ini, masih banyak hal yang perlu dievaluasi terutama
terkait kesejahteraan para dokter dan dokter gigi yang diangakat
sebagai Pegawai Tidak Tetap.(7) Sebagaimana telah menjadi rahasia
umum, status sebagai Pegawai Tidak Tetap di daerah terpencil dengan
tunjangan yang sedikit, serta fasilitas dan perlindungan keamanan di
daerah perifer yang minim, menjadi kondisi dilematis yang harus
dijalani para dokter dan dokter gigi muda. Selain itu, tidak sedikit dari
dokter dan dokter gigi yang menjalani pengabdian sebagai PTT di
daerah mengeluhkan pembayaran tunjangan yang seringkali tidak
tepat waktu. Meskipun berstatus sebagai profesi yang bergerak pada
bidang pelayanan, para dokter dan dokter gigi tentulah memiliki
kebutuhan pribadi yang harus tercukupi. Pemerintah seharusnya bisa
memberikan jaminan kesejahteraan kepada dokter dan dokter gigi
PTT di daerah.
Kedua, terkait infrastruktur pelayanan kesehatan di Indonesia
yang masih minimal dan tidak merata. Seperti kita ketahui, jumlah
instalasi kesehatan primer terutama di daerah cilgaltas masih sangat
minim, rasio perjumlah penduduk maupun perluas area pun mayoritas
sangat rendah. Ditambah lagi dengan susahnya akses menuju ke
instalasi tersebut dari wilayah tempat tinggal penduduk maupun dari
pusat kota. Hal tersebut menyebabkan tenaga kesehatan enggan
123
mengabdi di sana karena susahnya mendapatkan akses ke pusat obat
maupun alat-alat yang dibutuhkan. Supplier alat kesehatan indonesia
dihrapkan mampu menjadi penopang laju perekonomian di Indonesia.
Sayangnya, impor industri alat kesehatan di Indonesia masih cukup
tinggi. Sehingga industri alat kesehatan yang diharapkan mendukung
terciptanya banyak lapangan pekerjaan di Indonesia kurang
maksimal.(1) Dalam peningkatan kesehatan Indonesia dipengaruhi juga
kualitas laboratorium (contoh : lab rontgent, cek darah, dll) yang
memadai untuk meningkatkan kualitas pelayanan dari seluruh sumber
daya yang ada, Oleh karena itu, selayaknya pemerintah memenuhi
kewajibannya dalam memberikan hak kesehatan masyarakat dengan
memaksimalkan infrastruktur dan mempermudah akses instalasi
kesehatan yang ada. Pemerintah pusat sebaiknya berkoordinasi dengan
pemerintah daerah agar mengefektifkan program kesehatan daerahnya
dalam segi infrastruktur maupun akses.
Ketiga, jumlah perguruan tinggi dengan pendidikan
kedokteran di Indonesia yang masih terpusat di pulau Jawa dan
Sumatera. Pendidikan kedokteran di wilayah timur masih terhitung
rendah dalam segi kuantitas maupun kualitas. Seperti kita ketahui ,
jumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta di wilayah Indonesia
timur masih sangat sedikit dan dengan nilai akreditasi yang belum
maksimal . Selain itu , program pendidikan dokter/dokter gigi
spesialis di wilayah timur pun masih sangat minim, bahkan tidak ada.
Sedangkan banyak mahasiswa dengan domisili Indonesia timur yang
124
menempuh pendidikan kesehatan di Jawa enggan untuk kembali
mengabdi ke daerah asalnya karena sudah nyaman dengan lingkungan
di Jawa. Menanggapi hal tersebut, pemerintah seharusnya
berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan, Kementerian
Kesehatan, Pemerintah Daerah dan organisasi profesi terkait untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas perguruan tinggi dengan fakultas
kedokteran/ kedokteran gigi dengan program spesialis. Uji sertifikasi,
uji kompetensi, pelatihan, magang, tugas lapangan dan lainnya yang
sudah ada dapat digunakan sebagai alat pengukur seberapa jauh
kualitas dan kompetensi tenaga kesehatan. Dengan dilaksanakannya
hal tersebut, diharapkan makin banyak lulusan tenaga kesehatan
terampil dan kompeten serta memiliki dedikasi tinggi pada daerah
asalnya. Pemberian beasiswa bagi anak daerah untuk menempuh
pendidikan kesehatan-pun sebaiknya disertai dengan persyaratan
wajib mengabdi di daerah asal selama jangka waktu tertentu.
Keempat, dilema tenaga kesehatan untuk mengabdi di daerah
pelosok / perifer kemungkinan besar dapat disebabkan oleh rendahnya
jaminan kesejahteran ekonomi maupun sosial dari pemerintah . Kita
ambil contoh, seorang dokter pemerintah yang di tempatkan di satu
daerah terpencil di daerah Sanggau, Kaimantan Barat. Dimana
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri menetapkan gaji pokok
yang sama untuk dokter atau dokter gigi yang berstatus PTT yakni Rp
1,752.500 per bulan. Ditambah dengan tunjangan untuk daerah
terpencil sebesar Rp 3.250.000 per bulan dan daerah sangat terpencil
125
mencapai Rp 5.800.000, sehingga total penghasilan berkisar antara Rp
5 – 7,5 juta per bulan.(13) Hal ini akan berbeda dengan daerah yang
ditempati. Cukup atau tidaknya tergantung dari medan yang ditempuh
di masing- masing daerah. Medan di Kalimantan tentu berbeda dengan
Papua atau NTT. Jika dengan penghasilan yang sama, seorang tenaga
kesehatan di Papua pasti akan merasa sangat kurang tercukupi karena
biaya yang harus dikeluarkan untuk transportasi jauh lebih tinggi. Jika
dibandingkan dengan tenaga kerja yang bekerja di perusahaan-
perusahaan besar (contoh : Freeport) di daerah terpencil seperti papua,
para pelamar bahkan berlomba-lomba bekerja disana karena gaji yang
ditawarkan sangatlah besar ditambah lagi dengan fasilitas-fasilitas
yang diberikan walaupun mereka hanya bekerja sebagai buruh asing.
Menanggapi permasalahan kesejahteraan, pemerintah
seharusnya dapat mengutip dari apa yang dilakukan negara lain
misalnya Australia, mereka membedakan gaji antara dokter yang
diperkotaan dengan daerah terpencil. Kebijakan disana, barangsiapa
yang mau bekerja di daerah akan diberikan gajinya dua kali lipat
dibanding yang bekerja di perkotaan.(12) Sehingga di Australia tidak
punya masalah dengan para dokter yang ditempatkan di daerah
terpencil. Dengan begitu, diharapkan para tenaga medis tidak khawatir
dan mau bekerja di daerah terpencil dan persebaran tenaga kesehatan
di Indonesia bisa merata.
Kelima, berkaitan dengan sistem Perundang-Undangan yang
mengatur persebaran lulusan tenaga kesehatan. Terpusatnya tenaga
126
kesehatan hanya pada Pulau Jawa dan kurangnya jumlah tenaga
kesehatan pada daerah perifer sedikit banyak juga turut dipengaruhi
oleh ketiadaan Undang-Undang atau peraturan yang mengatur
mengenai kewajiban tenaga kesehatan untuk mengabdi pada daerah
perifer. Sebelumnya, tenaga kesehatan dibebaskan untuk membuka
praktik dimana saja setelah mereka lulus dari institusinya dan
mendapatkan STR serta SIP. Hal ini tentu membuat tenaga kesehatan
yang baru lulus memilih untuk membuka praktik ditempat yang lebih
mudah aksesnya, baik dari sisi transportasi maupun sarana-prasarana
lain. Hingga pada tahun 2010, Kementrian Kesehatan menetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan No 299 Tahun 2010 yang mengatur
mengenai program internship bagi dokter umum yang baru lulus.
Undang-Undang ini mewajibkan dokter baru untuk menjalankan
program internship selama 1 tahun di puskesmas dan rumah sakit
dengan pengawasan dokter pendamping sebagai syarat untuk
mendapatkan STR dan SIP. Bila dokter baru tidak menjalankan
program internship, maka STR dan SIP nya tidak akan terbit. (15)
Pemberlakuan Peraturan Menteri Kesehatan ini kemudian
diperbarui dengan disahkannya Undang-Undang No. 20 Tahun 2013
tentang Pendidikan Kedokteran. Undang-Undang ini selain bertujuan
untuk memperbaiki sistem pendidikan kedokteran dari sisi biaya
pendidikan kedokteran dan sarana-prasarana sebagai syarat pengadaan
pendidikan, juga mengatur pemerataan persebaran lulusan.(15) Namun
efektivitas Undang-Undang ini masih dipertanyakan. Di satu sisi,
127
Undang-Undang ini dipandang mampu mengatasi masalah persebaran
lulusan dokter dan dokter gigi dengan diwajibkannya program
internship bagi dokter umum dan dokter gigi baru. Hal ini tidak
menimbulkan masalah bagi dokter umum baru karena program
internship ini sama seperti program internship yang telah mereka
jalankan sesuai Permenkes tahun 2010.(4) Namun bagi lulusan
pendidikan dokter gigi, dilaksanakannya program internship setelah
mahasiswa kedokteran gigi lulus dengan gelar dokter gigi yaitu
setelah menempuh pendidikan profesi/co-ass dirasa tidak efektif
karena pendidikan profesi dokter gigi telah diberi kewenangan untuk
menangani pasien, berbeda dengan pendidikan profesi bagi dokter
umum.
Keenam, pemberlakuan Jaminan Kesehatan Nasional. Sampai
saat ini, program JKN yang dijalankan oleh BPJS telah berlangsung
selama satu semester namun masih terdapat berbagai kendala dan
kekurangan di berbagai sektor. Hal ini bisa dicermati dengan kurang
memadainya infrastruktur serta permasalahan tarif maupun
pemerintah daerah yang masih belum mampu untuk bergabung.
Padahal dengan diberlakukannya skema universal health coverage
dalam sistem kesehatan Indonesia yang dijalankan oleh BPJS ini
mampu untuk melindungi baik pasien maupun tenaga kesehatan yang
mau untuk bekerjasama dalam mengantisipasi arus globalisasi. Hal ini
bisa dicermati karena dengan adanya BPJS mampu menjadi barrier
karena telah meng-cover seluruh pelayanan kesehatan primer bagi
128
Warga Negara Indonesia, sehingga tentunya masyarakat sudah tidak
perlu lagi untuk pergi berobat pada tingkat primer ke klinik individu
kecuali menginginkan untuk membayar biaya tambahan secara
mandiri. Selain itu, dengan skema rujukan berjenjang mampu
melayani kebutuhan pasien secara utuh, meskipun ada beberapa
batasan yang tidak dijamin oleh JKN. Bagi tenaga kesehatan, dengan
adanya JKN maka akan memberikan keuntungan berupa terhindar dari
persaingan bebas dalam memperebutkan pasien, hal ini tentu karena
setiap dokter maupun dokter gigi telah memiliki jatah untuk
menanggung sejumlah pasien secara langsung dengan dibayar secara
kapitasi.(9)
Tentu dengan dilangsungkannya JKN ini memberikan beragam
keuntungan, namun dalam pelaksanaannya yang terhitung sejak 1
Januari 2014 lalu , masih ada beberapa kendala dan kekurangan
sehingga masih belum berjalan optimal. Diantaranya adalah kapitasi
bagi dokter gigi yang sampai saat ini baru mencapai Rp 2.000, tentu
ini masih beelum ideal. Selain itu, sistem kapitasi juga belum mampu
menjamin honor dokter secara tetap untuk setiap bulannya, karena
mekanismenya diserahkan pada tingkat utilisasi pasien, sehingga perlu
adanya evaluasi dan kontrol ketat terhadap tingkat utilisasi pasien
terhadap pelayanan dokter maupun dokter gigi. BPJS juga diharapkan
mampu meningkatkan infrastruktur pada Pusat Pelayanan Kesehatan
tingkat Pertama, misalnya Puskesmas untuk menjadi lebih baik lagi.
Bahkan, Menteri Kesehatan senantiasa mendorong agar Puskesmas ini
129
mampu berkembang menjadi Rumah Sakit Tipe D. Dalam hal
distribusi tenaga kesehatan, BPJS diharapkan juga mampu dan
memiliki wewenang penuh untuk menempatkan tenaga kesehatan
secara merata pada daerah – daerah yang masih kekurangan dan
sangat membutuhkan. Sehingga, tentu mendukung dalam upaya
pemerataan serta mempermudah akses kesehatan bagi seluruh lapisan
masyarakat.
Keenam faktor tersebut merupakan permasalahan membumi
yang selayaknya harus segera diformulasi solusinya. Kebijakan-
kebijakan yang riil dan efektif perlu dilaksanakan sebelum
permasalahan ketidak merataan kuantitas serta kualitas tenaga
kesehatan semakin dihadang dengan permasalahan dari eksternal.
FAKTOR EKSTERNAL
Jika ketidakmerataan persebaran kuantitas dan kualitas tenaga
kesehatan dari faktor internal tidak segera dirumuskan dan
direalisasikan kebijakannya, dalam jangka panjang dikhawatirkan
akan muncul ancaman baru berupa tantangan profesionalisme dalam
sektor kesehatan akibat adanya globalisasi. Program globalisasi
terdekat adalah ASEAN Community 2015 yang mulai diberlakukan
pada 1 Januari 2015. ASEAN Community 2015 akan menjadi sejarah
bagi negara-negara ASEAN dengan ‘berbagi halaman’ untuk berbagai
sektor yang dicakup dalam tiga pilar utama ASEAN Community 2015,
yaitu Asean Political-Security Community, Asean Economic
130
Community, dan Asean Socio-Cultural Community.(3) Setelah
memasuki Asean Community 2015, nantinya batas-batas antarnegara
menjadi imajiner sehingga arus yang mengalir di sektor-sektor yang
telah disebut diatas akan semakin bebas.
Dapat diperkirakan bahwa dengan adanya Asean Community
2015, Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN akan
menjadi ‘pasar’ yang sangat menggiurkan bagi para tenaga kesehatan
asing untuk kemudian membuka praktik di Indonesia. Dengan
penambahan tenaga kesehatan dari luar negeri, rasio tenaga kesehatan
per jumlah penduduk dipastikan akan meningkat. Di satu sisi , hal
tersebut mestinya dapat menjadi peluang untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, di sisi lain, muncul
tantangan lain yang harus segera dirumuskan solusinya , di antaranya
adalah :
1. Tenaga kesehatan asing dikhawatirkan akan semakin
memperkuat episentrum kesehatan di Pulau Jawa sehingga
persebaran tenaga kesehatan di wilayah Indonesia akan semakin
tidak merata.
2. Tenaga kesehatan dalam negeri dikhawatirkan kalah dalam
persaingan dengan tenaga medis asing dalam bidang pendidikan
dan teknologi . Berdasarkan data Centre for Internasional
Trade Thailand (2012), kualitas tenaga medis masih Indonesia
ditempatkan pada kualitas menengah. Adapun dalam hal
teknologi, pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi di
131
Indonesia dapat dikatakan tertinggal dibandingkan dengan
Malaysia, Filipina dan Singapura. Yang menjadi kendala adalah
dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk meningkatkan
teknologi yang ada sementara pemerintah hanya
mengalokasikan 2,2 % dari total health expenditure, jauh
tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Filipina
bahkan Vietnam yang telah mengalokasikan dana sebesar
6,6%.(8) Hal ini menjadi tantangan bagi sektor jasa praktisi
medis untuk mengupayakan level kompetensi dokter Indonesia
yang setara dengan dokter / dokter gigi / perawat/ perawat gigi
dari negara tetangga/ASEAN lainnya.
3. Belum masifnya sosialisasi dari pemerintah (khususnya
Indonesia) kepada tenaga medis ( dokter/ dokter gigi / dokter
spesialis / dokter gigi spesialis/ perawat / perawat gigi ) dalam
negeri mengenai adanya ASEAN Community 2015 . Jika hal ini
tidak segera ditangani, dikhawatirkan baik tenaga kesehatan
maupun calon tenaga kesehatan akan tertinggal jauh dalam
persiapan menghadapi ASEAN Community 2015.
Dalam menjawab tantangan diatas, ada beberapa hal yang idealnya
dapat dilakukan presiden dan wakil presiden yang terpilih. Pertama,
akses masuk untuk tenaga kesehatan asing dalam hal ini dari wilayah
Asia Tenggara harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Portal
masuk hanya dibuka untuk tenaga kesehatan spesialis (dokter dan
dokter gigi spesialis), bukan General Practitioners. Selain itu, tenaga
132
kesehatan asing yang masuk harus dipusatkan di wilayah perifer
terutama daerah Indonesia Timur untuk meningkatkan status
kesehatan masyarakat Indonesia di wilayah perifer ke level yang lebih
baik dan untuk melindungi tenaga kesehatan dalam negeri dengan
mempertimbangkan stigma bahwa secara hakiki, pelayanan medis
bertumpu pada kesehatan pasien. Peningkatan jumlah tenaga
kesehatan di daerah perifer secara mutlak perlu disertai dengan
peningkatan infrastruktur serta akses pelayanan kesehatan. Pengisian
posisi oleh tenaga kesehatan asing-pun seharusnya perlu dilakukan
adanya penawaran oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan lokal ,
apakah mau mengisi posisi tersebut . Jika iya, maka posisi tersebut
diutamakan untuk tenaga kesehatan lokal . Jika tidak , posisi tersebut
ditawarkan pada tenaga asing.
Kedua, maksimalisasi efektivitas pelaksanaan JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) mutlak perlu dilaksanakan . Ketika sistem ini berjalan dengan
baik , JKN dapat menjadi suatu selective barrier bagi masuknya
tenaga kesehatan asing. Jika sistem ini berjalan maksimal , general
practitioner asing yang ingin bekerja di Indonesia dan dijamin
pemerintah harus mengikui prosedur registrasi dan sistem pembayaran
sesuai dengan tarif yang ditentukan oleh JKN . Sedangkan untuk
tenaga kesehatan spesialis , dapat membuka praktik pribadi setelah
memenuhi perizinan dan persyaratan dari Konsil serta organisasi
profesi terkait . (5) Menurut Dr. drg. Julita Hendrartini , M.Kes. , efek
133
jangka panjang yang mungkin akan paling terasa akibat Asean
Community 2015 ini adalah meningkatnya persaingan antara tenaga
kesehatan spesialis di kota-kota besar . Menanggapi ancaman tersebut
, perlu adanya regulasi dan pengawasan yang ketat pada tenaga
kesehatan spesialis asing . Hal ini dapat diwujudkan dengan
mempertegas dan memperjelas Mutual Recognition Arrangement.
MRA masih harus disertai dengan harmonisasi kebijakan antarnegara
anggota ASEAN serta transparan memaparkan kualifikasi yang harus
dipenuhi.
Ketiga, terkait perlunya peningkatan daya saing tenaga medis
Indonesia melalui peningkatan standar kompetensi sehingga terlahir
tenaga medis yang berkualitas, profesional dan kompetitif. Dalam hal
ini, pasangan presiden – wakil presiden terpilih harus
menginstruksikan adanya koordinasi antara IDI, PDGI, PPGI,
Kemenkes, Kemendiknas dan stakeholders lainnya agar terbentuk
regulasi yang memadai untuk standar kompetensi tenaga medis
Indonesia. Diperlukan sistem kurikulum dengan standar baku secara
nasional bagi institusi pendidikan tenaga medis di Indonesia yang
mampu menghasilkan lulusan baru dengan kualitas tinggi, profesional
dan siap bersaing secara kompetitif di dunia internasional.
Keempat, pemberian sosialisasi secara luas dan menyeluruh
kepada seluruh tenaga kesehatan dan masyarakat melalui media
massa, media sosial maupun secara langsung sebagai langkah awal
persiapan dalam menghadapi ASEAN Community 2015 yang sudah
134
semakin dekat pelaksanaanya, tetapi sejauh ini masih belum masif
sosialisasinya.
Bagaimanapun status kesiapan Indonesia, Asean Community 2015
tetap akan menjadi babak baru yang harus kita masuki dan harus kita
hadapi. Keempat tawaran solusi di atas hanyalah tolak awal bagi
siapapun pasangan presiden dan wakil presiden terpilih nantinya,
untuk memajukan kesehatan Indonesia dalam upaya peningkatan
kesejahteraan Indonesia.
Usaha perlindungan tenaga kesehatan lokal sebagai salah satu
komponen untuk mencapai ratio persebaran yang merata demi
terciptanya keadaan masyarakat Indonesia yang sehat dan merata
wajib terus dilakukan, karena pada dasarnya kesehatan merupakan hak
seluruh rakyat. Hal tersebut dengan pasal 5 Undang-Undang No 36
Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa semua orang berhak untuk
mendapatkan akses dan pelayanan kesehatan yang aman , bermutu dan
terjangkau . Kemudian Pasal 16 menegaskan bahwa pemerintah
bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan
yang adil dan merata.(14)
Kami titipkan mandat kami pada calon pasangan presiden-wakil
presiden yang selanjutnya akan mengambil peran eksekutif negara .
Harapan kami , mungkin dari strategi ini sektor kesehatan tidak akan
lagi menjadi bidang yang terkesan di-anaktirikan demi pemerataan
kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan serta kualitas kesehatan.
135
“Masalah pemerataan kesehatan saat ini menjadi poin penting
dalam pembangunan kesehatan di Indonesia , khususnya dalam
implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan pencapaian
MDG’s. Diperlukan komitmen dan keseriusan pemerintah untuk
menciptakan keadilan dan pemerataan kesegatan bagi seluruh rakyat
Indonesia sesuai amanah Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan”
Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes.
Dosen bagian Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan dan Ilmu Kesehatan
Gigi Masyarakat FKG UGM
Direktur Administrasi dan Keuangan di Gadjah Mada Medical Centre
136
Pembangunan Negara Melalui Industri Farmasi Terintegrasi
dan Swasembada Bahan Baku Obat
BEM KM Fakultas Farmasi
Pasal 34 ayat 2
Negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan
Pasal 34 ayat 3
Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak
Indonesia negara menyimpan ribuan potensi untuk menjadi
negara yang maju sepertinya masih harus terseok-seok hingga saat ini.
Negara ini bahkan bak singa yang tengah terantai yang bahkan untuk
menangkap seekor kelinci pun tak mampu. Negara yang 68 tahun
silam harus berjuang menjadikan dirinya sebagai sebuah negara yang
berdaulat seperti dihujam oleh berbagai permasalahan lama yang
berlarut-larut dan hingga saat ini belum mampu teratasi. Salah satu
masalah yang kompleks saat ini adalah masalah kesehatan di negeri
ini. Kita ketahui sebuah negara yang berdaulat wajib menjamin
kesehatan seluruh rakyatnya, hal tersebut telah tercantum pula dalam
Undang-undang Dasar 1945 pasal bahwa seluruh warga negara
Indonesia.
137
Kesehatan yang notabene merupakan hak setiap warga negara
memiliki berbagai unsur yang harus dipenuhi untuk menunjangnya,
salah satunya adalah obat-obatan. Saat ini obat-obatan yang beredar di
pasaran Indonesia kita ketahui 70 sampai 80 % komponen biaya itu
digunakan untuk bahan baku, sementara 20 % sisanya untuk biaya
manufaktur (tenaga kerja, listrik, bahan bakar, dll). Jadi bahan baku
obat sangat menentukan harga suatu obat di pasaran. Namun apakah
sahabat semua tahu, bahwa di negeri makmur ini 95 % bahan baku
obat diimpor dari negara lain. Hal ini dikarenakan walaupun sebagian
besar kebutuhan obat sudah dapat dipenuhi oleh perusahaan yang
berada di Indonesia, namun ketergantungan terhadap bahan baku
impor masih sangat tinggi sekitar 95%. Penggunaan BBO di Indonesia
meningkat sekitar 10-12% pertahunnya. Pasar BBO di Indonesia pada
akhir tahun 2012 diperkirakan sebesar 11,4 T (ISFI,2007). Bahan baku
yang digunakan tersebut 60% diimpor dari China, 30% dari India dan
sisanya dari Eropa. Berarti ada sekitar 90% lebih bahan baku obat
yang masih di Import oleh Indonesia (Anonim, 2011).
Bahan Baku Obat sebenarnya mampu dibuat oleh Indonesia
sendiri, namun produksi BBO harus ditopang oleh industri hulu
seperti industri Kimia dasar yang kuat. Namun pada kenyataannya di
Indonesia sangat rendah minat investor pada industri kimia yang ada
di Indonesia. Rendahnya minat investor dalam menanamkan modal di
bidang industri Kimia Hulu Karena tidak terlalu besarnya nilai
keuntungan yang ditawarkan pada industri ini, selain itu berbagai
138
macam kendala sering ditemui investor ketika hendak menanamkan
modalnya dalam industri kimia hulu. Hal ini semakin sulit ketika
harga bahan baku akan berubah akibat kurs mata uang rupiah,
sehingga tidak dapat diprediksikan kenaikan maupun penurunan dari
bahan baku tersebut. Padahal ketika kita melihat bila kita mampu
eksis dalam sistem BBO ini, maka pangsa pasar yang cukup
menjanjikan telah menanti di pasar Internasional. Hal ini mengapa
demikian, karena saat ini pasar internasional BBO masih didominasi
oleh 2 negara yakni india dan Cina. Bahkan hanya BBO dari India
saja yang menjadi suplai utama kebutuhan BBO di Eropa dan
Amerika. Melihat hal tersebut seharusnya Indonesia tidak hanya
berbenah tapi juga harus bersiap-siap menjadi power baru dalam pasar
BBO.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar untuk
menjadi the new power dalam pasar BBO, kita lihat saja Indonesia
saat ini menduduki posisi kedua keanekaragaman biodiversity setelah
Brazil, dan tidak bisa dipungkiri lagi hal tersebut selain itu mulai
tumbuhnya industri-indusrti dan cukup stabilnya ekonomi Indonesia
yang dilansir oleh world bank dimana tetap terjadi pertumbuhan
ekonomi di Indonesia di atas 6% saat Eropa dan Amerika mengalami
krisis 2012 (Anonim, 2012). Selain itu munculnya industri-industri
baru yang mulai tumbuh merupakan sebuah angin segar di
perindustrian Indonesia. Melihat dari aspek tersebut memang
Indonesia memiliki potensi besar dalam bersaing di pasar BBO.
139
Angin segar ini seharusnya dibarengi dengan kualitas penelitian
dan birokrasi yang baik antara Induri farmasi dan penopangnya,
Perguruan Tinggi Farmasi, dan Pemerintah sebagai pengambil
kebibjakan. Langkah strategis ini harus kita kita lihat sebagai sebuah
momentum kebangkitan industry kefarmasian di Indonesia. Namun
menilik dari aspek tersebut masih perlu banyak pembenahan yang
harus kita lakukan yakni salah satunya saja tentang masih minimnya
penelitian dan jumlah jurnal publish di Indonesia yang hanya
mencapai 0,8%. Hal ini perlu kita pandang sebagai masalah bersama
mengapa peneliti Indonesia ataupun kaum intelektual kita terlihat
sangat lesu dalam mengeksplorasi kekayaan kita. Sistem birokrasi ini
seharusnya tidak terlalu rumit, namun tetap transparan karena
penelitian tersebut berbeda dengan sebuah kegiatan non penelitian.
Penelitian tersebut memiliki kemungkinan yang gagal yang sangat
tinggi sehingga bila tidak memiliki modal yang kuat, akan sulit untuk
mampu melakukan penelitian baru. Di sinilah letak strategis
pemerintah dalam membuat kebijakan yang dapat mengakomodasi
kelemahan itu.
Sistem yang cepat dan transparan dalam sistem penanganan
penelitian dapat didesain oleh pemerintah karena memajukan
penelitian merupakan langkah awal dalam menarik minat investor
untuk menanamkan modal di Indonesia. Semakin kuat dukungan
research dari pemerintah akan membuat semakin tinggi minat peneliti
dalam mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan. Kerja sama ini
140
dapat melibatkan sistem 2 pintu antara perguruan tinggi dalam hal ini
APTFI (untuk kefarmasian) dan Pemerintah. Diamana terjadi saling
sinergis dan saling memahami keperluan dan kelemahan dari masing-
masing pihak. Selain mendesain sebuah sistem yang membangkitkan
minat peneliti, di sini akan terbentuk pula calon-calon peneliti baru
yang telah di buat oleh sistem pendidikan yang ada. Tentunya hal ini
bukan merupakan sebuah hal dengan skala waktu yang singkat, namun
butuh kerja yang berkala dan berkelanjutan. Di sini perlu konsistensi
kedua belah pihak dalam membangun grand design Industri Farmasi
Indonesia (Novian, 2012).
Selain melihat dari aspek negara dan Perguruan tinggi, kita
sangat membutuhkan andil dari swasta sebagai pembantu modal dan
aplikasi desaim yang telah di buat dan digodog oleh pemerintah serta
perguruan tinggi. Kerjasama antar tiap sistem ini semakin
memperkokoh pondasi swasembada bahan baku obat. Semakin
dilibatkannya peneliti dan perguruan tinggi dalam pengambilan
kebijakan yang terkait akan mempermudah analisi masalah yang
dihadapi oleh sistem penelitian kita. Hal ini akan semakin
meningkatkan penelitian yang ada di Indonesia, hal ini juga akan
berdampak pada kemampuan Indonesia dalam bersaing di pasar BBO
internasional.
Hal ini akan menjadi sebuah sistem domino effect dimana ketika
kita mampu memegang swasembada obat, maka akan membuat
fluktuasi harga obat yang ada di Indonesia hilang, selain itu pengaruh
141
perubahan kurs mata uang dan biaya impor yang dibutuhkan dapat di
tekan sehingga harga obat yang stabil akan dapat menopang sistem
kesehatan Indonesia. Memang hal ini tidak boleh hanya sekedar
wacana saja, hal ini butuh implementasi yang kongkret dan sistem
yang kuat. Perlu komitmen dari setiap elemen yang ada agar hal ini
dapat terwujud dan tidak hanya idealisme semata. Semakin gencarnya
desakan kebutuhan kita akan swasembada BBO akan menyebabkan
semakin cepatnya implementasi ini dapat terwujud.
142
Melawan Hegemoni (Industri) Rokok:
Jalan Terjal Menuju Indonesia Sehat
Analisis Kebijakan Rokok di Indonesia
Satria Triputra W.
(Mahasiswa Fisipol, Kepala Kastrat & Advokasi 9cm )
Kebijakan mengenai rokok di Indonesia masih menjadi salah
satu isu yang dominan diantara masyarakat kesehatan, masyarakat
tembakau dan industri rokok. Walaupun titik puncak dominasi isu ini
hanya terjadi dalam satu tahun sekali yaitu pada tanggal 31 Mei, Hari
Tanpa Tembakau se-dunia, namun dampak dari bahaya rokok ini
dirasakan oleh seluruh masyarakat dimanapun berada di setiap hari
dalam satu tahun. Ketimpangan puncak dominasi dengan dampak
yang dirasakan setiap hari oleh masyarakat ini tidak lain karena
adanya kepentingan industri yang dinilai jauh lebih besar dari sekedar
inginnya masyarakat mendapatkan udara yang baik.
Hal ini terlihat jelas dalam kebijakan yang masih menjadi
perdebatan, terutama dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor
109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat
Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang sudah sah dan
masih dalam proses implementasi, serta hadirnya RUU Pertembakuan
yang saat ini masuk dalam daftar Prolegnas urutan ke 51. Untuk yang
terakhir, dalam proses pengajuannya menjadi sebuah RUU masih
memiliki banyak catatan yang dinilai cacat prosedur.
143
Dua produk kebijakan di atas semakin menguatkan adanya
penilaian bahwa pemerintah tidak pernah serius dalam mengurusi
kebijakan ini. Pertama, peraturan apapun dalam negeri ini baik
undang-undang, peraturan pemerintah hingga peraturan daerah
senantiasa akan diberlakukan sejak peraturan tersebut diketok palu.
Namun PP No 109 Tahun 2012 ini unik, baru diberlakukan dua tahun
sejak diputuskannya kebijakan ini. Kedua, sejak tahun 2006
diperjuangkannya RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau
oleh aktivis-aktivis kesehatan namun pada tahun 2013 ini dirubah
menjadi RUU Pertembakauan oleh industri-industri rokok yang penuh
dengan cacat prosedural dalam pengajuannya menjadi RUU, terlepas
dari tuduhan yang mengatakan bahwa RUU ini merupakan titipan dari
industri rokok.
PP No. 109 Tahun 2012 ini memunculkan pro dan kontra.
Kelompok yang pro terhadap peraturan ini jelas mengangkat tema
mengenai kesehatan warga negara, bagaimana negara harus hadir
memastikan kesehatan warga negaranya termasuk dari bahaya asap
rokok. Karena dalam PP ini, kelompok yang pro memiliki harapan
untuk kebijakan rokok yang lebih baik dan memihak kepada
kesehatan masyarakat. Sementara kelompok yang kontra selalu
mengambil perspektif ekonomi dan budaya, bagaimana tembakau ini
telah menghidupi banyak elemen masyarakat dan rokok telah menjadi
budaya bangsa ini, misalkan rokok kretek. Perspektif ekonomi akan
selalu memiliki argumen bahwa dalam industri ini telah menghidupi
144
banyak orang dan memberikan pajak yang sangat besar kepada
negara, namun perspektif ini akan senantiasa redup jika dibandingkan
dengan jumlah pengeluaran negara bagi para korban rokok. Dalam
perspektif budaya, kelompok ini mempertahankan rokok dengan
argumen kebudayaan yang mengklaim bahwa rokok kretek
merupakan budaya asli Indonesia, namun perspektif inipun akan
memicu banyak perdebatan utamanya dalam pendefinisian arti dari
kebudayaan. Dalam RUU ini pun ada dugaan dari kelompok kontra
bahwa peraturan tersebut merupakan pesanan asing karena regulasi
yang ada di dalamnya memang berpotensi membuka impor tembakau
seluas-luasnya dan menutup potensi tembakau lokal serapat-rapatnya.
Merencanakan Kebijakan Rokok
Analisa agenda setting dalam kebijakan ini perlu adanya
menggunakan logika politis yang mengimani model analisa tiga arus
Kingdon sebagai metode untuk memunculkan isu ini menjadi isu
publik yang urgent untuk segera diselesaikan oleh pemerintah. Analisa
tiga arus ini terdiri dari arus problematika, arus politik dan arus
kebijakan. Dari setiap arus yang ada nantinya akan mengkonfirmasi
ciri-ciri dari analisa kebijakan dengan logika politis yang secara
konsisten digunakan. Pada aspek pertama yaitu arus problematika,
tidak dapat dipungkiri lagi bahwa merokok merugikan kesehatan
seluruh elemen masyarakat dan jelas mengancam kesehatan generasi
muda yang notabene menjadi generasi yang memastikan jalannya
negara di masa yang akan datang. Tidak perlu memperdebatkan lagi
145
mengenai benda yang mengandung 4000 zat kimia, 69 diantaranya
adalah karsinogenik (pencetus kanker) dan beberapa zat berbahaya
yang terkandung dalam rokok antara lain tar, sianida, arsen, formalin,
karbon monoksida dan nitrosamin (TCSC-IAKMI, 2012), kiranya
semua orang telah bersepakat dalam hal ini. Sementara sudah sangat
jelas bahwa tugas paling dasar sebuah negara yang dijalankan oleh
pemerintah adalah memastikan kesehatan warga negaranya dapat
terjaga dengan baik. Pelayanan dasar ini setara dengan pelayanan
dasar seperti pendidikan dan juga keamanan.
Tentu masih ingat dalam ingatan ketika Lampung menjadi
sorotan dunia, namun yang menjadi keprihatinan dan miris bagi
negara ini adalah bukan karena wisata atau sumber daya alamnya,
namun karena terdapat perokok paling terkenal di dunia yaitu perokok
balita yang sudah sangat fasih menggunakan jari-jemarinya untuk
memelintir dan memeragakan berbagai jenis teknik merokok. Menurut
pemberitaan yang ada, dalam sehari ia mampu menghabiskan dua pak
rokok yang ketika hal itu tidak dapat dipenuhi maka ia akan merengek
seharian.
Tentu kejadian di atas hanyalah puncak gunung es dari
permasalahan rokok yang ada di negara ini. Balita ini hanya delegasi
dari permasalahan rokok yang muncul di permukaan, hanya masalah
umurnya-lah yang menjadikannya begitu masif menjadi basis
perlawanan gerakan anti rokok. Mari argumen ini diturunkan menjadi
data-data spesifik, menurut data Riskesdas pada tahun 2007,
146
prevalensi merokok warga negara ini telah mencapai setengah lebih
dari jumlah warga laki-laki di negara ini, yaitu 65,6% dan perempuan
menyentuh angka 5,2%. Sementara pada penelitian GATS pada tahun
2011 yang meneliti pada kisaran umur 15 tahun ke atas menemukan
data yang lebih memprihatinkan bahwa 67% laki-laki merokok dan
2,7% perempuan merokok (TCSC-IAKMI).
Selain itu, dampak permasalahan yang jauh lebih serius
terletak kepada bagaimana bangsa ini mempersiapkan generasi
penerusnya jika 68,8% anak sekolah usia 13-15 tahun terpapar asap
rokok di dalam rumah, 78,1% terpapar di luar rumah dan 72,4%
mempunyai orang tua yang merokok (GYTS : 2009). Sungguh
menjadi hal yang sangat miris ketika generasi penerus ini memiliki
masalah kesehatan nantinya di saat umur-umur produktif
berkontribusi bagi bangsa. Tidak hanya sekedar permasalahan
kesehatan, berbicara mengenai aksesibilitas, anak-anak usia sekolah
13-15 tahun sangat mudah mendapatkan rokok di toko/warung
sebanyak 51,1% dan 59% dapat membeli tanpa penolakan dari penjual
(GYTS : 2009). Hal ini semakin memperumit keadaan karena kondisi
ini jelas menjadi lingkungan yang tidak baik dengan permisif terhadap
hal-hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Data-data di atas
setidaknya telah memberi gambaran dan deskripsi singkat bagaimana
masalah rokok ini merupakan permasalahan serius yang menguatkan
argumen dari advokat-advokat pembela kesehatan.
147
Pada arus politik yang membicarakan permasalahan aktor-
aktor yang terlibat di dalamnya sebenarnya akan merujuk kepada
aktor-aktor pemilik modal industri rokok dengan para pembela
generasi masa datang yang senantiasa menyuarakan keberlanjutan dan
kesehatan generasi mendatang. Kekuatan industri rokok telah
menghegemoni kehidupan dalam masyarakat, bagaimana industri ini
telah merasuki ke seluruh elemen masyarakat. Hal ini diperparah
dengan regulasi negara ini yang masih sangat permisif dengan iklan
rokok, tidak seperti negara tetangga Laos dan Selandia Baru yang
sudah melarang segala bentuk rupa iklan rokok. Dengan adanya
regulasi yang sangat permisif ini, berbagai bentuk rupa iklan rokok
merebak di masyarakat, mulai dari iklan di media elektronik, cetak
dan baliho yang memenuhi segala ruang publik yang ada. Bahkan,
untuk memperluas jangkauan pengaruh, industri rokok masuk dalam
bentuk sponsor berbagai kegiatan masyarakat dan pemerintah.
Kegiatan tersebut mulai dari tingkat lokal desa, hiburan rakyat
seperti dangdut dan kompetisi sepak bola antar kampung hingga
festival prestisius tingkat internasional seperti turnamen bulu tangkis
internasional. Pernah seorang dokter yang menuliskan event-event
yang disponsori rokok pada tahun 1994 pada bulan November,
1. Lucky Strike International Motocross Championship 1994
di Cibubur, tanggal 12-13 November (Catatan : tanggal 12
November adalah Hari Kesehatan Nasional)
148
2. Bentoel Super Motocross Worldclass Action di Surabaya,
tanggal 10-11 November (Catatan : tanggal 10 November
adalah Hari Pahlawan)
3. Djarum Kretek Dutch Super Football, TP tiap hari
Minggu
4. Marlboro World Championship Bike Contest 1994. TV, 6
dan 20 November
5. Liga Dunhill. Mulai 27 November
6. Alfred Dunhill’s Master Golf Tournament, Bali 7
November
7. Wismilak Ladies Open Tennis Tournament, Surabaya, 6
November
8. Ardath National Badminton Championship 1994,
Denpasar 28 November (Hutapea, 2013)
Dari data di atas mencerminkan betapa mengerikannya
hegemoni rokok dalam negara ini yang memberikan peluang begitu
besar bagi cengkeraman industri yang lebih luas.
Tidak hanya berkutat pada aktor yang menghegemoni, namun
juga berkutat kepada pertentangan isu dimana isu rokok ini kemudian
diperluas dengan isu kebudayaan yang menganggap kretek sebagai
budaya. Hal ini tergambar jelas dengan berdirinya Komite Nasional
Penyelamat Kretek (KNPK) yang dengan sangat getol mengajukan
RUU Pertembakuan (Tempo, 2013). Perdebatan rokok yang pada
awalnya berkutat kepada permasalahan ekonomi dan kesehatan,
149
nampaknya industri rokok telah menyadari habisnya argumentasi
ekonomi ketika dibenturkan dengan anggaran negara yang begitu
besar untuk korban rokok sehingga mengambil perspektif alternatif
melalui kebudayaan. Kretek diciptakan oleh H. Djamhari di Kudus
pada tahun 1880 yang bereksperimen memberikan cengkih pada
lintingan rokoknya ternyata sangat disukai oleh para perokok. Rokok
yang dibakar dan berbunyi “kretek.. kretek...” yang kemudian menjadi
cikal bakal nama rokok ini memiliki TAR yang sangat tinggi dan
sangat berbahaya bagi kesehatan. Jenis rokok inilah yang dianggap
oleh KNPK sebagai sebuah kebudayaan bangsa Indonesia. Namun
para aktivis anti rokok menentangnya dengan berbagai definisi
kebudayaan yang tidak tepat disematkan dalam jenis rokok ini.
Sekiranya inilah agenda setting paling besar saat ini yang dimiliki oleh
industri rokok.
Dua agenda setting besar industri rokok di atas sekiranya
dapat diredam dengan arus kebijakan dengan hadirnya dinamika
kebijakan yang ada di daerah. Ada harapan bagi penyelesaian
permasalahan ini di dalam daerah yang dapat menjadi acuan bagi
kebijakan rokok di tingkat nasional. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) yang mulai masif di Yogyakarta dengan hadirnya Peraturan
Daerah Kabupaten Kulonprogo Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Kawasan Anti Rokok ini telah mendapat apresiasi yang luar biasa dari
kalangan dalam negeri dan bahkan dunia, seperti dalam pemberitaan
terakhir, WHO yang hadir khusus ke Kulonprogo untuk mendukung
150
kebijakan ini (ROL, 2014). Dampak dari hadirnya Perda ini benar-
benar dapat dirasakan dengan ditunjuknya Bupati Kulonprogo, Hasto
Wardoyo menjadi Ketua Aliansi Bupati dan Walikota untuk
mengembangkan Kawasan Tanpa Rokok di seluruh Indonesia. Perda
inipun juga mengatur larangan kegiatan apapun yang disponsori oleh
industri rokok dan larangan berbagai macam iklan rokok dalam
bentuk apapun di Kabupaten Kulonprogo.
Selain itu, pada arus kebijakan yang lain, hal yang menjadi
dasar bagi pergerakan anti rokok adalah hadirnya Framework
Convention of Tobacco Control (FCTC) yang merupakan kerangka
kerja bagi negara di seluruh dunia dalam pengendalian tembakau..
Indonesia merupakan negara satu-satunya di kawasan Asia Pasifik
yang belum meratifikasi maupun mengaksesi Konvensi ini. Hal ini
sekali lagi menunjukkan adanya kelemahan negara dalam berhadapan
dengan industri rokok yang seharusnya merupakan kewajiban dasar
negara menyediakan ruang yang sehat bagi warganya. Hal ini menjadi
konsen di negara-negara tetangga, selain Laos dan Selandia Baru,
Australia telah menunjukkan keseriusannya dalam gerakan anti rokok
ini dengan mengeluarkan peraturan tampilan bungkus rokok yang
harus menampilkan penyakit-penyakit akibat rokok.
Agenda setting kebijakan sebenarnya dapat mengikuti agenda
FCTC yang berarti telah sepakat dalam meleburkan bersama gerakan
anti rokok seluruh dunia. Sehingga akan semakin menguatkan
perlawanan terhadap rokok dengan berjejaring seluruh negara yang
151
ada di dunia. Selain itu, kebijakan-kebijakan anti rokok luar negeri
seperti di atas dapat menjadi rujukan bagi pertimbangan dalam meng-
agenda setting-kan kebijakan rokok di Indonesia ini.
Rumusan Kebijakan
Mencari kebijakan rokok di Indonesia dan dimanapun berada
senantiasa berada dalam posisi yang sangat sulit, dihadapkan pada dua
kepentingan besar yaitu industri dan kesehatan. Dua kepentingan
inilah yang senantiasa ada dan paling berkepentingan dalam isu ini.
Formulasi kebijakan yang akan diambil tidak dapat menafikan dua
kepentingan tersebut dan senantiasa menyadari dua kekuatan besar
yang hadir dalam proses perumusan kebijakan ini. Analisa di atas
membantu untuk memetakan dua kutub besar kepentingan yang ada,
namun proses perumusan kebijakan tidak mungkin mengadopsi pola
pikir rational comprehensive. Hal ini dikarenakan banyaknya
kepentingan dan konteks pemahaman besarnya kekuatan ekonomi
industri rokok. Sehingga akan menjadi sangat kontekstual ketika
proses perumusan dan pengambilan kebijakan ini menggunakan
model mixed scanning.
Model yang membangun kompromi antara substansi rasional
dari proses kebijakan dengan konteks anarkis yang meliputi proses
kebijakan ini dipandang sebagai sebuah bingkai untuk mengarahkan
proses tawar menawar, adaptasi, akomodasi, yang terjadi secara terus-
menerus dalam proses kebijakan (Santoso, 2010:120). Model ini tepat
dengan hadirnya dua kepentingan besar yang ada yaitu kesehatan dan
152
industri. Hal pertama yang perlu dipetakan untuk mengambil
keputusan ini adalah menemukan substansi rasional dari tiap
kepentingan. Kedua, menemukan titik negosiasi dan tawar-menawar.
Ketiga, merumuskan kebijakan yang paling tepat bagi kedua
kepentingan ini.
Substansi rasional dari aspek kesehatan adalah adanya
kepastian jaminan kesehatan bagi seluruh warga negara tanpa
terkecuali. Jaminan kesehatan di sini adalah bersifat kontemporer dan
futuristik. Kontemporer dalam hal tersedianya udara yang sehat bagi
warga negara dan bersifat futuristik adalah dengan terselamatkannya
generasi muda dari bahaya merokok. Hal ini diperkuat dengan
argumentasi industri rokok yang mengatakan bahwa “remaja hari ini
adalah calon pelanggan tetap hari esok karena mayoritas perokok
memulai merokok ketika remaja. Pola merokok remaja sangatlah
penting bagi Philip Morris” (Morris, 1981). Hal inilah yang dengan
sangat jelas ditentang oleh para kelompok pro kesehatan. Sementara
substansi rasional dari perspektif industri adalah bagaimana kelompok
ini terus berjuang agar industri ini tetap bertahan untuk mendapatkan
keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Walaupun kepentingan ini
selalu bersembunyi dibalik alasan ekonomi berupa tenaga kerja dan
sumbangan devisa negara.
Titik negosiasi dari kedua argumen ini adalah terletak pada
derajat perwujudan dari masing-masing kepentingannya. Untuk saat
ini hal itulah yang paling mungkin dapat terwujud, bagaimana
153
hadirnya ruang-ruang yang mampu mengakomodasi dari dua
kepentingan tersebut. Ruang yang dapat mewujudkan udara yang baik
dengan tanpa ancaman untuk merokok, namun di sisi lain tidak
langsung secara radikal membunuh industri rokok. Kebijakan yang
dapat diambil adalah dengan jalan mewujudkan kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok (KTR). KTR menurut Peraturan Bersama Menteri
Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 2011 adalah
kawasan yang terbebas dari rokok, bebas dari asap rokok, tidak ada
penjualan rokok, tidak ada iklan rokok, tidak ada promosi rokok dan
tidak ada sponsor rokok. Kawasan ini merupakan kawasan yang steril
dari perihal apapun bentuk dari rokok. Tujuan hadirnya dari KTR ini
adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat rokok,
meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas
udara yang sehat dan bersih,bebas dari asap rokok, menurunkan angka
perokok dan mencegah perokok pemula serta mewujudkan generasi
muda yang sehat.
Dari pengertian KTR di atas telah mampu memenuhi
substansi rasional dari kepentingan kesehatan yang bersifat
kontemporer dan futuristik. Hadirnya KTR ini disertai dengan
kewajiban pemerintah untuk menyediakan kawasan khusus merokok,
menurut PP No. 109 Tahun 2012, kawasan khusus merokok adalah
tempat khusus untuk merokok yang merupakan ruang terbuka yang
berhubungan langsung dengan udara luar. Di sinilah letak negosiasi
itu muncul, bagaimana substansi rasional dari kepentingan industri
154
tetap terakomodasi walaupun dipersempit. Hal ini pula yang
meyakinkan kelompok pembela kepentingan kesehatan bahwa
optimisme untuk mewujudkan generasi muda yang sehat tanpa asap
rokok dapat terwujud dengan cara mempersempit ruang gerak industri
rokok.
Analisa untuk Kebijakan
Selayaknya analysys for policy, analisa ini akan tetap
memberikan sebuah usulan kebijakan yang didorong untuk dapat
segera diwujudkan. Hadirnya KTR telah mampu mewujudkan
optimisme kelompok pro kesehatan untuk membebaskan Indonesia
dari asap rokok. Namun hingga saat ini, hanya beberapa daerah yang
konsen terhadap perwujudan KTR ini. Sepanjang sepengetahuan
penulis, hanya di Yogyakarta yang memiliki semangat untuk segera
mewujudkan hadirnya KTR. Penunjukan bupati Kulonprogo sebagai
Ketua Aliansi Bupati dan Walikota untuk mengembangkan Kawasan
Tanpa Rokok di seluruh Indonesia telah memastikan adanya
sekelompok orang yang menjaga dan merawat semangat perlawanan
terhadap rokok. Hal yang harus ditindaklanjuti berikutnya adalah
perumusan strategi mengembangkan KTR di seluruh Indonesia.
Ada banyak sumber daya yang dapat digunakan dalam strategi
pengembangan KTR ini. Dalam analisa ini dapat menggunakan
metode optimalisasi kekuatan untuk mendapatkan kesempatan atau
yang lazim disebut sebagai maximizing gain. Kekuatan yang dimiliki
adalah semakin banyaknya aktor yang mulai konsen terhadap isu ini
155
baik aktor swasta maupun masyarakat. Sementara kesempatan yang
dimiliki dalam konteks ini adalah munculnya PP No.109 Tahun 2012
yang mewajibkan pemda untuk mewujudkan KTR serta munculnya
potensi kerjasama antar daerah. Pada titik inilah maximizing gain itu
dapat diwujudkan, daerah-daerah di Yogyakarta menjalin kerjasama
untuk mewujudkan KTR secara bersama-sama. Kerjasama dalam
pendirian KTR selain untuk mewujudkan kewajiban daerah, di sisi
lain mampu melakukan efektivitas dan efisiensi kebijakan dengan
adanya role model kebijakan KTR di daerah yang lainnya untuk dapat
dipelajari dan diterapkan di daerah satunya. Selain itu, menjalin
kerjasama antar pemerintah, pemerintah-swasta, maupun pemerintah-
masyarakat dengan persyaratan KTR di dalamnya. Hal ini merupakan
strategi yang efektif dalam pertukaran sumber daya untuk
mewujudkan kepentingan kesehatan.
Pun dalam hal ini dapat meminjam strategi yang lazim dalam
militer, yaitu strategi lompat kodok. Strategi yang membayangkan
adanya beberapa daerah yang dikuasai untuk mengapit daerah yang
belum dikuasai sehingga daerah yang diapit itu dapat dikuasai dengan
mudah. Pemda yang telah menerapkan KTR menjalin kerjasama
dengan satu atau beberapa daerah disekitarnya untuk mengapit daerah
yang sulit mewujudkan KTR, sehingga dengan hal ini daerah tersebut
akan mengalami ketertutupan akses kerjasama yang kemudian
memaksa daerah tersebut untuk menerapkan KTR demi keberlanjutan
kerjasama yang telah dijalin untuk kepentingan daerahnya. Hingga
156
pada akhirnya tetaplah political will dari para pemimpin ini yang akan
memegang kunci pembuka bagi hadirnya kebijakan rokok yang
berpihak kepada kesehatan masyarakatnya.
157
Sektor Lingkungan
Menggagas Kedaulatan Biodiversitas dan
Kearifan Lokal Indonesia
Indonesian Movement for Biodiversity (I-Mob), BEM Fakultas
Biologi
Hingga saat ini, Indonesia masih terkenal sebagai negara
dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa setelah Brazil dan
Zaire. Predikat sebagai negara mega biodiversitas yang terletak di
zamrud khatulistiwa begitu melekat pada bangsa Indonesia
(Wahyuningsih et al., 2008; Dewi, 2011). Sebagai negara kepulauan,
Indonesia menyimpan kekayaan hayati yang melimpah baik di darat
maupun di lautnya. Kekayaan tersebut begitu beragam dan tersebar
dengan luas dari Sabang sampai Merauke. Tidak berhenti di
biodiversitas, negara dengan luas wilayah mencapai 1.904.569 km2 ini
juga memiliki kekayaan yang luar biasa berupa kebudayaan
masyarakat daerah. Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia
memiliki ciri khas yang menjadikannya unik dan berbeda dari suku-
suku yang lain. Keunikan tersebut berasal dari pengalaman hidup yang
didasarkan dari tempat dimana mereka berada. Itulah yang seringkali
kita sebut dengan local wisdom atau kearifan lokal. Kearifan lokal
menurut Nurma Ali Ridwan adalah nilai-nilai yang berlaku dalam
suatu masyarakat (Suripto, 2010).
158
Baik biodiversitas maupun kearifan lokal yang dimiliki
Indonesia merupakan komoditas yang sangat potensial untuk
dikembangkan dan dikonservasi. Sesuai dengan amanat konstitusi
sebuah negara, bahwa sebagai pemegang status negara mega
biodiversitas Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan apa yang ada
di tanah nya untuk mensejahterakan negara dan rakyat Indonesia.
Mengapa demikian? Saat ini sumber daya hayati memiliki prospek
yang sangat tinggi. Keberadaan sumber daya hayati yang dimiliki oleh
Indonesia dapat diolah menjadi berbagai macam produk baik di
bidang pangan, pertanian, farmasi, peternakan, kosmetik dan lain
sebagainya. Nilai dari sumber daya hayati Indonesia tersebut bahkan
bisa mencapai 3,8 trilliun USD. Nilai tersebut bahkan lebih tinggi dari
nilai penjualan minyak bumi yang ada di Indonesia (RAFI/Rural
Advancement Foundation International, 2001).
Pada dasarnya sejak dulu masyarakat Indonesia telah
melakukan eksplorasi terhadap biodiversitas yang ada di sekeliling
mereka namun hal tersebut belum tertuliskan sehingga belum banyak
yang menyadari bahwa pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan
yang sangat mahal harganya. Pada tahun 2000 sebuah perusahaan di
Jerman memproduksi obat herbal yang berasal tumbuhan geranium
(Pelargonium sidoides) yang memiliki khasiat menyembuhkan
bronchitis dan penyakit pernapasan. Obat tersebut mendapat paten dan
perusahaan tersebut memperoleh keuntungan yang signifikan dari
penjualan obat herbal tersebut. Padahal penduduk lokal di Afrika
159
Selatan sudah menggunakan geranium untuk menyembuhkan penyakit
tersebut sejak berabad-abad silam. Namun perusahaan tersebut tidak
memberikan pembagian keuntungan pada penduduk lokal di Afrika
Selatan tersebut. Pada tahun 2010, paten atas obat herbal tersebut
dicabut atas permohonan dari African Centre for Biosafety di Afrika
Selatan (Anonim, 2013).
Apa kabar biodiversitas dan local wisdom di Indonesia?
Pemerintah sepertinya tidak menjadikan sains dan teknologi sebagai
fokus utama pembangunan Indonesia. Boleh dibilang di bidang sains
kita belum memiliki kedaulatan secara penuh. Hal ini terbukti dari
belum terkelolanya semua data penelitian dan penemuan yang ada.
Kalaupun data tersebut ada sifatnya masih menyebar dan belum
terintegrasi menjadi satu sistem data yang sifatnya terpusat. Selain itu,
banyak sekali peneliti asing yang dengan sedikit “modal” dapat
melakukan eksplorasi terhadap alam Indonesia dan melakukan
serangkaian riset selama puluhan tahun. Tidak sedikit penelitian
kolaboratif antara peneliti asing dan peneliti Indonesia yang telah
ditelurkan; tetapi dapat dipastikan lebih banyak lagi sampel
biodiversitas Indonesia yang telah diambil secara diam-diam oleh
peneliti asing untuk dikembangkan di negaranya. Beberapa
“kecolongan” itu mungkin baru terkuak, seperti kasus Prof. Rosichon
Ubaidillah mengenai penemuan spesies tawon baru Megalara garuda
di Mekongga, Sulawesi Tenggara (JPNN, 2012; Kompas, 2012)
ataupun kasus Dr. Siti Fadilah Supari mengenai penemuan vaksin
160
virus flu burung (H5N1) oleh WHO yang sampelnya berasal dari
Indonesia tetapi tidak mencantumkan kontribusi Indonesia (Detik,
2008; Kompasiana, 2012). Salah satu penyebab banyaknya penelitian
kolaborasi di bidang penelitian biodiversitas, baik secara morfo-
ekologis maupun genetik di Indonesia adalah minimnya perhatian
pemerintah untuk menggalakkan penelitian di bidang inventarisasi
keanekaragaman hayati atau studi biodiversitas dari berbagai
perspektif. Hal ini terbukti dengan “tidak lakunya” proposal-proposal
penelitian untuk biodiversitas di ranah hibah penelitian dalam negeri.
Kearifan lokal yang tertanam dalam jiwa masyarakat Indonesia
sebenarnya memegang peran penting dalam upaya penjagaan dan
konservasi sumber daya hayati. Layaknya sebuah konsep Natural
Resources Triangle Security (NRTS) peranan masyarakat, pemerintah
setempat, dan pemerintah pusat tidak dapat dipisahkan. Ketiganya
harus saling bersinergi dan memiliki sistem terintegrasi, yang pada
akhirnya mampu menjaga dan mempertahankan kedaulatan hayati
negeri ini. Menurut Rahyono (2009), pembelajaran kearifan lokal
mempunyai posisi yang strategis. Posisi strategis itu, antara lain (1)
kearifan lokal salah satu pembentuk identitas, (2) kearifan lokal bukan
merupakan sebuah nilai yang asing bagi pemiliknya, (3) keterlibatan
emosional masyarakat dalam penghayatan kearifan lokal kuat, (4)
kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri, dan (5) kearifan lokal
mampu meningkatkan martabat bangsa dan negara. Jika hal ini
diterapkan dalam konservasi, tentu posisi strategis itu tidak hanya
161
berdampak pada masyarakat pemilik budaya tetapi dapat juga
berdampak pada pembelajarnya.
Banyak masyarakat lokal berinisiatif melindungi komunitas
hayati di sekitar mereka baik hutan, sungai dan pantai beserta
kehidupan keseharian mereka. Di dalam masyarakat lokal upaya
perlindungan lingkungannya adalah dengan dasar agama dan agama.
Sedangkan pemerintah dan organisasi konservasi dapat membantu
upaya perlindungan sekitar engan memberikan kepemilikan legal
terhadap wilayah tersebut, serta memberikan akses penelitian dan
bantuan dana untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan. Upaya
yang berasal dari masyarakat ini disebut juga sebagai community
based intiatives (Indrawan dkk. 2012). Dari hal ini terlihat bahwa
konservasi adalah ilmu yang interdisipliner yang membutuhkan
pengetahuan dan pergerakan dari berbagai bidang untuk terciptanya
lingkungan yang sustainable.
Berdasar hasil kajian, diskusi, serta survei yang telah kami
lakukan, kami memberikan beberapa rekomendasi kepada Capres dan
Cawapres 2014. Berikut rekomendasi dari kami :
Perkuat Database dan Penelitian
Dalam National Report on the Implementation Convention on
Biological Diversity, Indonesia telah menunjuk Kementrian
Lingkungan Hidup sebagai National Focal Point keanekaragaman
hayati. Dalam implementasinya, NFP kemudian akan bekerjasama
dengan institusi utama, yaitu:
162
1. Kementrian Kehutanan (Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan & Konservasi Alam)
2. Kemetrian Pertanian (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian dan Komisi Nasional Sumber Daya Genetik)
3. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) - bertugas untuk
mengembangkan database keanekaragaman hayati nasional
4. Universitas – Pendidikan dan Penelitian
Dapat kita lihat bahwa pemain utama dalam implementasi
Protokol Nagoya adalah institusi pemerintah dan pendidikan. Kedua
sektor ini sudah sepantasnya menggaet masyarakat dalam upaya
penjagaan biodiversitas dan kearifan lokal Indonesia mengingat
biodiversitas dan kearifan lokal di Indonesia sangatlah melimpah dan
tersebar dengan luas sedangkan jumlah mahasiswa maupun peneliti
sangat terbatas.
Database dalam hal ini tidak hanya bicara keanekaragaman
hayati dalam lingkup jenis spesies tapi juga bisa terkait database
genetik, senyawa bioaktif bahkan pengolahan tradisional dalam kajian
etnobotani. Sebagai contoh konkret, kita dapat meniru negara-negara
tetangga yang wilayah geografisnya dekat dengan Indonesia. India,
Pemerintahnya telah menerbitkan TDKL (Traditional Knowledge
Digital Library) sejak tahun 2005 yang dapat diakses langsung dari
situsnya di www.tdkl.res.in yang memuat 250.000 juta resep medis
tradisional yang terdaftar secara resmi dan terdapat perlindungan
hukum dan memiliki hak paten. Filipina, dalam situs
163
http://www.grain.org/docs/philippines-ipra-1999-en.pdf merupakan
The Indigenous Peoples’ Rights Act yang bertujuan melindungi
kekayaan intelektual penduduk lokal Filipina dan diinjeksi dalam
hukum Filipina sejak 1997.
Perkuat SDM dan Teknologi
Kualitas SDM dan Teknologi perlu ditingkatkan sebagai upaya
untuk mengatasi kasus biopiracy. Peningkatan kualitas pendidikan
dapat dicapai dengan pemerataan pendidikan di seluruh wilayah
Indonesia, sedangkan peningkatan teknologi dapat dicapai melalui
peningkatan dana riset dan penelitian. Selain pemerataan pendidikan
bagi masyarakat umum, peningkatan pendidikan juga diberikan
kepada para pemegang kekuasaan di Indonesia, seperti Kementrian
Kehutanan, Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA),
Pengolahan dan Pemasaran hasil Perikanan (P2HP), serta Badan
Standardisasi Nasional (BSN) agar senantiasa mengkawal pelaksanaan
UU No 11 tahun 2013 serta meningkatkan penjagaan sumber daya
alam di Indonesia.
Q: “Bagaimana mungkin kualitas sumber daya manusia
Indonesia bisa ditingkatkan jika sekolah pun belum terjamin untuk
semua anak Indonesia?”
H: “Indonesia kan punya banyak sekali sumber daya alam.
Harusnya SDA itu yang dimanfaatkan sebaik mungkin untuk
kemajuan otak manusianya”
164
Pada dasarnya segala percepatan harus berjalan secara
beriringan, tidak saling tunggu satu sama lain. Sebagai contoh adalah
dalam hal teknologi. Sekarang ini ternyata banyak komunitas-
komunitas kreatif yang tumbuh di masyarakat namun sayangnya
kreatifitas tersebut kurang dilihat oleh pemerintah sebagai inovasi
yang sangat potensial untuk dikembangkan. Do-It-Yourself Biology
(DIYbio) dan Do-It-With-Others (DIWO) merupakan alternatif
pengembangan penelitian yang sangat cocok diterapkan di Indonesia.
Keduanya merujuk pada konsep “Open Source”, dimana tiap orang
dapat mempelajari dan saling berbagi teknologi secara gratis.
Komunitas Hackteria (www.hackteria.org) telah berhasil membuat
beberapa produk DIY dengan harga yang sangat murah seperti
mikroskop, spektrofotometer, nanodrop, sentrifuge, thermocycler,
hingga Laminar Air Flow (LAF) buatan tangan yang dapat dibuat
dengan murah dan mudah, dengan seluruh petunjuk tersedia secara
Open Source. Hal ini memungkinkan seseorang untuk dapat
melakukan riset molekuler di dapur rumah (Kera, 2013; Ledford,
2010). Dengan adanya inovasi ini diharapkan tidak akan ada lagi
sumpah serapah teradap mundurnya teknologi dibidang riset di
Indonesia. Teknologi murah ini harus dikembangkan untuk
memfasilitasi kebutuhan riset Indonesia dengan tanpa bergantung
pada pihak asing yang mungkin saja berkepintingan khusus terhadap
sumber daya genetik dan kearifan lokal Indonesia.
Perkuat Kelembagaan
165
Kelembagaan menjadi sangat penting, karena kita berdiri di
negara hukum sehingga tata kelola sumber daya hayati harus diatur
secara hukum. Kelembagaan tersebut harus melibatkan berbagai pihak
dari mulai petani, sumber materi genetik, pembentukan koperasi,
penanganan hama penyakit, institusi pendidikan dan instansi
penelitian serta disokong penuh dari segi dana. Jika kita melihat
contoh di negara tetangga seperti Taiwan, Thailand dan Malaysia,
mereka dapat menjadi negara yang maju dalam pengelolaan sumber
daya hayati, misal: anggrek, karena kelembagaannya sangat
terintegrasi antara berbagai pihak sehingga biaya produksi bisa
ditekan. Penelitian untuk persilangan baru, peningkatan waktu
pertumbuhan dan produksi, penanganan hama penyakit juga terkelola
dengan baik oleh instansi penelitian maupun institusi pendidikan, serta
pemerintah dan lembaga swasta yang senantiasa mendorong dari segi
pendanaan.
Perkuat Regulasi dan Tata Kelola
Seringkali peneliti Indonesia karena terlalu senangnya dengan
tawaran kerjasama penelitian tidak lagi memikirkan perjanjian hitam
di atas putih terkait hasil penelitian dan kreditnya. Banyak penelitian
kolaboratif yang tidak memiliki Memorandum of Understanding
(MoU) atau kontrak mengikat ataupun Material Transfer Agreement
(MTA) untuk pengambilan sampel ke luar negeri. Akibatnya saat hak
peneliti Indonesia tersebut dirampas, tidak ada bukti otentik yang
dapat menguatkan posisi peneliti tersebut.
166
Pernahkah tersiar kabar bahwasanya salah seorang peneliti LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) berang dengan IBRC
(Indonesian Biodiversity Research Center). Sebuah institusi riset yang
dikelola oleh beberapa Universitas di Indonesia dan satu universitas di
Amerika serta Smithsonian Museum yang berdomisili di Bali. Konflik
tersebut bermula dari sampel spesimen yang dibawa ke luar negeri
untuk diteliti material genetiknya, hal ini dikhawatirkan oleh peneliti
LIPI tersebut akan berpotensi untuk terjadinya biopiracy. Padahal
selama ada material transfer agreement yang dapat diawasi dengan
ketat maka kekhawatiran tersebut tidak perlu terjadi. Secara garis
besar implementasi UU No.11 tahun 2013 memang belum benar-
benar dapat diimplementasikan secara utuh sehingga di lapangan
banyak ditemukan misunderstanding, bahkan di tingkatan internal
negara sendiri. Di dunia pendidikan kode etik penelitian serta
pengetahuan-pengetahuan umum mengenai perlindungan biodiversitas
dan kearifan lokal Indonesia pun masih jarang diberikan. Hal ini
berpotensi menimbulkan kebodohan dan kesalahan yang sama dengan
apa yang sekarang terjadi.
Libatkan Masyarakat dan Kenalkan pada Citizen Science
Pelajar dan mahasiswa masuk golongan masyarakat yang harus
dilibatkan dalam penjagaan biodiversitas dan kearifan lokal Indonesia.
Keduanya merupakan SDM yang murah dan berkualitas yang siap
menjadi agen penjagaan kedaulatan Indonesia khususnya penjagaan
sumber daya hayati dan kearifan lokal Indonesia. Sudah waktunya
167
keduanya dirangkul untuk memasifkan perannya sebagai intelektual
muda dengan penelitiannya, sebagai innovator, agen penyebaran virus
“self-preventer” kepada masyarakat dan sesama intelek muda, serta
yang terakhir bergerak sebagai inspirator bagi masyarakat.
Dan kenapa harus citizen science? Indonesia terlalu luas untuk
dieksplor dan dikonservasi oleh pelajar dan mahasiswa yang
jumlahnya hanya sekitar 2% dari total penduduk Indonesia. Citizen
science yang dipadukan dengan fasilitas berupa citizen laboratorium
merupakan trobosan yang dinilai mampu mempercepat proses
pendataan, pemanfaatan, dan pengkonservasian sumber daya genetik
di Indonesia.
“Gagasan ini kami persembahkan untuk Kedaulatan
Biodiversitas dan Kearifan Lokal Indonesia”
168
Melawan Asap Riau
BEM Fakultas Biologi
Indonesia adalah pemilik hutan hujan tropis terluas ke-3 di
dunia, setelah Brasil dan Kongo dengan luas hutan sekitar 115.507
ribu hektar (2012). Tapi dari luasan hutan yang tersisa itu, hampir
setengahnya terdegradasi karena sejak tahun 1970 marak terjadi
penggundulan hutan di Indonesia. Tahun 1997-2000, laju kehilangan
dan kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,8 juta hektar/tahun dan
tahun 2009 diperkirakan luas hutan alam yang tersisa hanya 28%.
Provinsi di Indonesia dengan kebakaran hutan tertinggi adalah
Riau. Riau terdiri dari 2 kota dan 11 kabupaten dengan tingkat
kebakaran terbesar adalah kabupaten Bengkalis. Bencana asap yang
telah terjadi di Riau mengakibatkan banyak aktivitas masyarakat
terganggu terutama di bidang pendidikan. Sekolah TK hingga SMA
sering diliburkan hingga beberapa minggu karena adanya kebakaran
hutan. Bandara di Pekanbaru lumpuh berhari-hari, diikuti dengan
provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Jambi yang terpapar
asap dari Riau. Kualitas udara memburuk di Riau, rata-rata di atas 300
PSI masuk kategori sangat berbahaya, bahkan Riau tidak layak huni
lagi. Presiden SBY kemudian memberi ultimatum kepada Pemerintah
Provinsi Riau untuk mengatasi darurat kabut asap akibat kebakaran
hutan dan lahan ini, dan siap mengambil alih jika daerah tak mampu.
169
Kelompok masyarakat sipil dan warga memberikan tekanan melalui
media sosial untuk melindungi jutaan warga di Sumatera.
Bulan Februari 2014, dalam catatan koalisi pegiat pemantauan
deforestasi di Riau, Eyes on the Forest, ada 6937 titik panas (hotspot)
yang terdeteksi dari satelit milik NASA Modis Fires. Akumulasi terus
bertambah pada bulan Maret. Selayaknya hutan gambut tidak boleh
dibuka, namun izin telah digelontorkan untuk mengkonversi ratusan
ribu hektar hutan di Riau baik untuk perkebunan kayu bubur kertas,
perkebunan sawit, maupun industri kayu.
Riau adalah provinsi di Indonesia dengan lahan gambut
tertebal di dunia. Adanya kebakaran hutan di Riau merupakan hal
biasa apabila dilihat dari segi manajemen hutan, karena dengan
adanya kebakaran hutan akan mendukung suksesi hutan. Namun
apabila volume kebakaran berlebih maka akan menimbulkan bahaya
bagi aktivitas dan kesehatan manusia. Hutan di Riau diprediksi tersisa
sekitar 2 juta hektar, mungkin saja jauh di bawah angka itu. Sisa hutan
alam yang tersisa hanya pada kawasan lindung dan konservasi, itupun
sudah digerogoti oleh perambahan berkedok masyarakat namun yang
memberi modal adalah cukong. Pembuatan surat ijin kepemilikan
lahan hanya membutuhkan 3,5 juta/hektar, merupakan nominal yang
sangat kecil bagi pengusaha untuk selanjutnya membuka lahan sawit.
Peraturan Kementerian yang membatasi kepemilikan lahan hingga
50.000 hektar per grup di setiap provinsi, fakta di lapangan saat ini
satu grup saja bisa menguasai 1 juta hektar lahan konsesi dan rata –
170
rata kebun yang dimiliki tiap individu mencapai 50 hektar, jauh lebih
besar daripada yang dimiliki oleh petani. Hal ini mengindikasikan
bahwa pemilik lahan adalah orang yang bermodal besar. Artinya
pembukaan lahan gambut berkontribusi besar bagi kejahatan kabut
asap dan pembunuhan masal terhadap anak-anak, orang tua, dan
warga di Sumatera umumnya.
Sebenarnya kebakaran tidak hanya di Riau namun juga di
Sumatra Barat. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau
bertahun-tahun dalam sengketa kepentingan, sehingga belum juga bisa
dipaduserasikan. Akibatnya, konflik lahan dan tumpang tindih konsesi
menjadi cerita lazim di provinsi Riau. Oleh karena itu media lebih
banyak memberitakan pembakaran hutan di Riau.
WALHI menyatakan bahwa keuntungan pembukaan hutan
untuk lahan sawit mencapai 3,3 Trilyun setiap tahunnya. Mirisnya,
bencana asap yang terjadi di Riau saat ini ditangani hanya dengan 1,
sekian Milyar. Tidak lebih dari 0,1% dari keuntungan yang didapat
oleh pemerintah dari lahan sawit tersebut. Penanaman kelapa sawit
secara intensif akan menyerap nutrien dari tanah kemudian dijual ke
daerah lain dalam bentuk olahannya. Nutrien tanah terus menerus
terambil sehingga tanah menjadi tidak subur. Dengan kondisi tanah
yang seperti itu akan mendorong penanaman kelapa sawit terus
menerus karena tanaman ini dapat tumbuh di tanah yang miskin
nutrien. Indonesia tanpa disadari telah menukar nutrien tanah berupa
Nitrogen, Phospor, Karbon, dan hara tanah lainnya ke negara lain
171
bernilai trilyunan rupian dengan membuat rakyat Riau mengidap ISPA
karena bisnis ini bertahun – tahun.
Banyak lahan sawit illegal ditengah Taman Nasional Tesso
Nilo Riau. Taman nasional seharusnya diperuntukkan bagi
perlindungan satwa dan flora yang ada di dalamnya. Kebun kelapa
sawit di Taman nasional ini dikelola oleh 524 orang yang
mendominasi 73% (26.298 Ha) dari total perambahan yang telah
dikonversi menjadi lahan sawit, sementara sisanya dikelola oleh 20
kelompok. Dari beberapa provinsi di Indonesia sebagai penghasil
kelapa sawit, Riau merupakan provinsi penyumbang kelapa sawit
yang terbanyak. Riau merupakan provinsi sentra penghasil kelapa
sawit pada tahun 2012 mencapai 6.421.228 ton per tahun.
Riau memiliki lahan gambut terbesar di Indonesia. Gambut
merupakan tumpukan dari banyak materi, terdapat jenuh air dibawah
gambut tersebut karena proses pendekomposisian di lahan gambut
yang lambat, sehingga gambut akan tebal karena tumpukan materi
yang sulit terdekomposisi tersebut. Adanya saluran kanal air ditengan
hutan yang merupakan lahan gambut akan membuat jenuh air yang
terjebak dibawah gambut mengalir di kanal tersebut. Kanal tersebut
dialirkan keluar dari hutan. Apabila gambut kehilangan airnya akan
kering dan ekosistem gambut yang dibuka untuk konversi semakin
mengering dan melepaskan karbon sehingga sangat mudah terbakar.
Ground fire, api di atas hutan tampak padam, namun api dibawah
masih membakar dikarenakan karakteristik lahan gambut ini. Api
172
yang ada dibawah ini akan membakar akar tumbuhan yang lainnya
sehingga hutan akan habis. Kebakaran di lahan gambut ini pasti akan
terus terjadi, dengan cuaca kering apalagi disertai minimnya turun
hujan, memadamkan api dan asap menjadi sesuatu yang hampir
mustahil, kecuali menunggu hujan turun.
Indonesia merupakan negara terbesar penghasil kelapa sawit
di dunia yaitu mencapai 28%. Malaysia adalah negara kedua dengan
27%. Hanya selisih 1%. Namun pernahkah kita mendengar terjadi
kebakaran hutan di Malaysia? Atau luaskah lahan kelapa sawit di
Malaysia? Tidak. Malaysia mencapai negara kedua penghasil kelapa
sawit terbesar didunia karena bahan baku berasal dari Indonesia yang
selanjutnya diolah di negaranya.
Bahan baku minyak yang diperoleh dari minyak nabati ada
pada minyak kelapa sawit belum dapat tergantikan. Bahan baku
minyak dapat diperoleh dari minyak hewani pada hewan – hewan.
Tetapi tidak mungkin kita memanfaatkan hewan dalam jumlah yang
besar untuk pemenuhan kebutuhan akan minyak. Oleh karena itu
minyak kelapa sawit belum dapat digantikan. Produk turunan dari
minyak kelapa sawit sangat banyak diantaranya sabun, materian
kertas, margarin, minyak dan lain – lain. Namun sebenarnya ada
alternatif pengganti yaitu minyak dari kulit pinus dan minyak akasia.
Namun pinus dan akasia merupakan gymnospermae yang
mengandung resin, suatu senyawa yang JUGA rawan terbakar.
173
Dunia seakan dibuat bergantung kepada kelapa sawit. Namun
yang disayangkan adalah mengapa penanaman kelapa sawit di
Indonesia harus di lahan gambut. Lahan gambut merupakan karbon
sink yaitu penyimpan karbon. Ini berasal dari hasil fotosintesis
tumbuhan yang mengandung karbon didalam prosesnya, selanjutnya
tanaman ini akan mati, karena proses dekomposisi sulit maka banyak
karbon yang tersimpan. Apabila terjadi kebakaran hutan pada lahan
gambut maka banyak sekali karbon yang dilepaskan ke udara. Negara
Indonesia, yang telah menyetujui komitmen REDD untuk mengurangi
emisi hingga 26%, sementara lahan gambutnya terus dibakar. 74%
dari total emisi gas rumah kaca Indonesia (tahun 1994) dihasilkan dari
kegiatan penebangan dan kebakaran hutan.
Menurut riset pemerintah, lahan gambut tidak masalah apabila
ditanami kelapa sawit. Karena setelah 3 tahun emisi yang dihasilkan
kelapa sawit akan semakin kecil. Namun data dari WWF, penelitian
yang dilakukan goverment scientist bahwa memang penanaman
kelapa sawit setelah 3 tahun emisi akan turun, dengan catatan apabila
kelapa sawit ditanam di hutan biasa. Apabila kelapa sawit ditanam di
lahan gambut, yang terjadi adalah sebaliknya. Laju emisi yang
dihasilkan oleh kelapa sawit akan terus meningkat setiap tahunnya.
Hai ini karena terjadi oksidasi organik oleh organisme yang
menghasilkan CO2. Emisi lahan gambut yang baru akan menambah
emisi di lahan gambut yang ada di bawahya. Emisi yang dihasilkan
kelapa sawit yang telah mencapai umur lebih dari 25 tahun akan
174
mencapai 10 kali lipat dari emisi sebelum berumur 25 tahun. Apabila
emisi ini terjadi terus menerus akibatnya adalah climate change,
global warming, hujan di bukan musimnya, kemarau berkepanjangan
di beberapa daerah, dan lain – lain.
Kelapa sawit memiliki banyak produk turunan yang
bermanfaat bagi kehidupan sehari – hari manusia. Namun sangat tidak
disarankan ditanam dilahan gambut. Penyebab penanaman di lahan
gambut Riau mungkin dikarenakan lahan gambut apabila ditanami
tanaman yang lain sulit subur, air yang berasal dari daerah dekat lahan
gambut bau dan berwarna kemerahan. Hal itulah yang mungkin
menjadi alasan penggunaan lahan gambut untuk menaman kelapa
sawit. Seharusnya yang dipikirkan bangsa Indonesia bukan hanya soal
profit saat ini untuk memanfaatkan lahan gambut dengan kondisi
seperti diatas, namun kebermanfaatan seterusnya bahkan kerugian
yang akan ditimbulkan di masa depan.
Masalah hutan di Riau tidak hanya masalah pembakaran hutan
untuk lahan kelapa sawit, namun juga adanya ilegal logging yang
tinggi, tidak berbeda dengan Kalimantan. Ilegal logging sebenarnya
juga merupakan sarana untuk pembukaan lahan karena pengusaha
tidak mau merugi banyak. Solusi yang dapat dilakukan dalam
penganganan kabut asap:
1. Stop perijinan untuk pembukaan lahan sawit baru.
2. Rewatering : pengembalian air di lahan gambut dengan pengaliran
air kembali.
175
3. Stop pembuatan kanal air sebagai saluran irigasi.
4. Reboisasi hutan dengan spesies tumbuhan asli hutan – hutan di Riau.
5. Alokasikan dana lebih untuk penanggulangan bencana saat ini.
Perlu adanya badan usaha pengolah kelapa sawit milik
Indonesia sehingga kita tidak melulu di eksploitasi oleh negara lain.
Perbaiki gaya hidup dengan menghemat penggunaan kertas,
meminimalisir penggunaan produk kelapa sawit seperti sampo, sabun,
dan kosmetik lainnya. Gunakan secara efisien barang – barang yang
berbahan pokok dari hutan.
Salam, hidup mahasiswa Indonesia ! hidup rakyat Indonesia ! –emil-
176
Sektor Pangan
Polemik dan Potensi Implementasi Program Swasembada Daging
BEM Fakultas Peternakan dan BEM Fakultas Teknologi Pertanian
Bagi kami, tahun 2014 ini bukan hanya sekadar tahun pemilu.
Bahkan mungkin, Pemilu 2014 hanya kami anggap sebagai intermezo
pelipur lara. Intermezo untuk sekadar mencoba menstimulus asa,
mencari harapan kembali lewat pemimpin baru ditengah semua
polemik yang mendera Republik ini.
Demokrasi kita adalah lima tahun kedepan. Bukan lima menit
ketika kita berada di bilik suara. Pemimpin bangsa kedepan kami
yakin akan dihadapkan pada banyak permasalahan. Ini bukan tahun
untuk menghabiskan semua konsentrasi untuk ikut mengurusi tetek
bengek pemilu. Masih banyak peer yang musti dirampungkan
Republik ini untuk sektor pangan, khususnya subsektor peternakan.
Lewat tulisan ini kami ingin menyajikan pandangan kami terkait
program utama pembangunan peternakan di republik ini Program
Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PPSDSK) 2014.
Pencapaian 14 tahun Program Swasembada Daging
Tahun ini hasil rilis pemerintah akan kita simak bersama
mengenai capaian Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau
(PPSDSK) 2014. Capaian tentang harapan 90% pemenuhan daging
nasional dari dalam negeri. Namun, ada hal yang patut kita simak
177
bersama bahwa kondisi dilapangan saat ini masih jauh dari harapan.
Menurut rilis BPS per September 2013, Populasi sapi dan kerbau 2013
sebanyak 14,2 juta ekor, turun dibandingkan dengan hasil Pendataan
Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 sebanyak 16,7 juta
ekor[3].
Itu artinya tahun ini kita dihadapkan pada ancaman kondisi
kegagalan pencapaian program ini (lagi). Sama seperti yang terjadi
pada tahun 2005 dan 2009 lalu. Terhitung sejak pertama kali program
ini dicanangkan pada tahun 2000. Tahun ini bukan hanya sekadar
tahun politik. Sisihkanlah konsentrasi untuk ikut berperan
mengevaluasi dan memberi solusi untuk program ini.
Salah satu program penunjang pencapaian PPSDKS 2014
adalah munculnya aturan pelarangan pemotongan sapi betina
produktif. Dasar hukum larangan pemotongan sapi betina produktif
adalah Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan pasal 18ayat (2) bahwa ternak ruminansia betina
produktif dilarang disembelih karena merupakan penghasil ternak
yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan atau untuk
keperluan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan[2].
Dalam dokumen Blue Print PSDS 2014 dinyatakan bahwa
penyembelihan sapi betina produktif (SBP) di Indonesia telah
mencapai tingkat yang membahayakan bagi keberlangsungan
pengembangan populasi sapi nasional, yaitu sekitar 150-200 ribu
ekor/tahun yang terjadi terutama di NTT, NTB, Bali, dan Jawa.
178
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan RI juga menunjukkan
data bahwa penyembelihan SBP pada tahun 2010 telah mencapai
204.196 ekor atau 11,8 % dari jumlah sapi yang disembelih secara
nasional[6].
Fakta tersebut seakan membawa kami pada sebuah hipotesa
awal. Program ini (pelarangan pemotongan sapi betina produktif)
tidak efektif untuk dijalankan kembali untuk kedepannya. Tidak
efektif bukan dari segi cita-citanya namun lebih kepada
pelaksanaannya. Program ini seakan hanya memberikan larangan
(punishment), namun tidak memberikan reward yang kongkrit bagi
peternak yang tidak melakukan pemotongan sapi betina produktif.
Bagaimanapun juga, permintaan daging dipasaran yang selalu
meningkat pada akhirnya membawa peternak kita pada pilihan untuk
melakukan pemotongan sapi besar-besaran termasuk sapi betina
produktif.
Kewenangan impor
Polemik swasembada memberi multiplier effect terhadap
sektor lain di Republik ini. Mari kita coba simak kembali kasus impor
daging sapi yang terjadi beberapa saat lalu. Kasus tersebut disinyalir
akibat rendahnya tata kelola koordinasi antar Kementerian. Khususnya
antara Kementerian Pertanian pemberi kuota impor dan Kementerian
Perdagangan selaku pelaksana impor. Menurut Rilis BPK per April
2013, pada periode sejak Oktober 2011 Menteri Perdagangan telah
179
menerbitkan 2 (dua) Surat Persetujuan Impor (PI) yang melebihi dari
rekomendasi Menteri Pertanian, yaitu :
1) Surat PI No. 04.PI-52.12.0130 a.n. PT. Bina Mentari Tunggal
dengan kuantitas 260 ton padahal. Surat Rekomendasi Persetujuan
Impor (RPP) hanya 240 ton sehingga kelebihan sebanyak 20 ton;
2) Surat PI No. 04.PI-52.12.0255 a.n PD. Dharma Jaya dengan
kuantitas 369 ton padahal RPP hanya 110 ton sehingga kelebihan
259 ton [1].
Namun pada akhirnya kami tidak ingin memberi kesimpulan
apapun terhadap pertanyaan diawal. Kami hanya akan coba
memberikan stimulus terhadap isu ini. Agar isu ini tidak hanya
menjadi milik orang-orang yang bergerak di sektor peternakan.
Harapannya semua orang tahun dan ikut memikirkan gagasan terbaik
terhadap isu ini. Kedepan mekanisme koordinasi antar kementerian
harus kembali diperbaiki. Pelangsingan kabinet atau menambah unit
kementerian baru adalah wewenang penuh presiden kedepan. Namun
yang pasti, hal ini harus segera disikapi secara serius.
Polemik dan potensi tata guna lahan peternakan
Pengembangan sektor peternakan di Indonesia erat kaitannya
dengan masalah ketersediaan lahan yang berorientasi kepada
penyediaan hijauan pakan ternak. Belum teraturnya tata ruang maupun
tata guna lahan yang terjadi di Indonesia sering kali mengakibatkan
alih fungsi lahan pertanian karena alasan ekonomi jangka pendek.
180
Alih fungsi lahan tersebut lebih menuju kearah pemanfaatan lahan
untuk pertambangan, hutan industri, pemukiman atau perkebunan[2].
Pergeseran fungsi lahan dari padang penggembalaan umum
dan atau lahan pertanian yang menghasilkan hasil samping atau
limbah pakan ternak, pada akhirnya akan berdampak pada masalah
menurunnya kapasitas daya tampung ternak dan ketersediaan pakan.
Ketersediaan hijauan pakan di Indonesia merupakan tema utama yang
menjadi pembatas perkembangan pembibitan sapi, karena hijauan
merupakan bahan pakan utama (>80% dari total bahan kering) untuk
usaha pembibitan.
Perbincangan masalah ketersediaan lahan ini juga pada 2013
lalu direspon oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan dengan sebuah
gagasan “kontroversial”, membeli perusahaan dengan 1 juta hektar
lahan pertanian di Australia hanya khusus untuk melahirkan atau
melakukan pembibitan sapi[9]. Sebuah ironi, melihat luas daratan
yang dimiliki oleh Indonesia saat ini seakan masih belum cukup untuk
memberikan ketersedian lahan untuk pengembangan peternakan.
Alih fungsi lahan di wilayah kantong ternak
Pada dasarnya Indonesia sudah memiliki road-map tata kelola
lahan untuk sektor peternakan dengan mencanangkan beberapa daerah
sebagai wilayah kantong ternak. Wilayah-wilayah tersebut kemudian
diorientasikan untuk pengembangan padang penggembalaan untuk
mencukupi ketersediaan lahan ternak. Wilayah kantong ternak ini
181
meliputi antara lain NTB, NTT, dan sebagian wilayah Sulawesi
(Sulawesi Selatan).
Namun disisi lain, seakan mengingkari harapan, beberapa data
menampilkan penurunan fungsi atau alih fungsi lahan yang terjadi di
wilayah-wilayah kantong ternak tersebut. Misalnya di Sulawesi
Selatan tercatat terjadi penurunan 23,13% selama kurun waktu 10
tahun (1996-2005) dari luas 236.434 ha menjadi hingga 192.008
ha[2]. Selain itu di NTT, luas padang penggembalaan di NTT pada
tahunn 1998 tercatat 1,8 juta ha[7]. Namun pada tahun 2002 mencatat
luasan 793.000 ha dengan rata-rata kapasitas tampung ternak kurang
dari 0,25 – 1,0 ST/ha/tahun[4]. Seakan kembali menambah debu di
salah satu bagian kaca yang sudah coba dibersihkan. Kondisi alih
fungsi lahan yang seyogyanya sebagai wilayah kantong ternak ini
pada akhirnya hal tersebut akan menyebabkan penurunan kapasitas
daya tampung populasi ternak dan ketersediaan pakan hijauan.
Integrasi Sapi-Sawit belum optimal
Selain potensi wilayah kantong ternak yang terdapat
dibeberapa daerah, Industri kelapa sawit di Indonesia juga ikut
memberi peluang yang besar bagi pengembangan komoditas
peternakan sapi potong. Tahun 2011 luas areal kelapa sawit mencapai
8.908.399 ha, memberikan daya dukung pakan (vegetasi bawah
tanaman sawit dan pelepah sawit) sejumlah 9.987.429 ton BKC
(bahan kering tercerna)/tahun. Selanjutnya dapat dihitung bahwa daya
182
dukung tersebut dapat memberikan pakan yang cukup bagi 7.823.176
ST (satuan ternak) atau sekitar 11.175.966 ekor sapi dewasa[5].
Namun realitanya tidak demikian, upaya pengembangan di
atas dihadapkan pada berbagai masalah sehingga aras idealita tidak
sejalan dengan aras realita. Salah satu kendalanya adalah belum cukup
terlibatnya masyarakat yang ada di sekitar kebun. Masyarakat ini
sebenarnya sudah lama memelihara ternak sapi potong dengan
memanfaatkan rumput/tumbuhan alami di bawah pohon kelapa sawit,
walaupun belum mendapatkan izin resmi dari pemilik kebun.
Umumnya pihak perkebunan kelapa sawit melarang masyarakat
sekitar menggembalakan ternak mereka di kebun kelapa sawit dengan
alasan sekuritas terhadap kebun sawit[5]. Kembali pada akhirnya
membuat sistem integrasi sapi-sawit ini dirasa oleh beberapa pihak
belum berjalan maksimal.
Epilog
Belum banyak hal yang bisa diuraikan dalam tulisan ini.
Namun, paling tidak lewat tulisan ini kami ingin coba menyajikan
evaluasi dan hitung-hitungan potensi yang dimiliki oleh Republik ini
terkait pengembangan sektor peternakan dari sudut pandang kajian
pelaksanaan PPSDSK 2014 dan deret angka potensi lahan peternakan.
Banyak yang bilang bahwa Indonesia saat ini sedang
mengalami serangan penyakit. Ibarat manusia, Indonesia mungkin
sedang mengalami sejenis penyakit kanker atau jantung yang terkenal
183
mematikan. Semakin lama semakin mengganas. Akibat dari penyakit
yang diderita sudah terlanjur kronis, bahkan hanya untuk sekedar
membuka mulut menunjukkan taringnya pun bangsa ini tidak mampu.
Dampaknya, bangsa ini terkesan lamban untuk bergerak, dan
sulit untuk menjadi bangsa yang mandiri. Potensi adalah fitrah yang
melekat pada republik ini. Namun, masih banyak hal yang harus kita
lakukan bersama untuk sekedar membangun asa untuk Republik ini.
Semoga tahun ini bukan seperti anggapan kami sebagai intermezo
untuk sekadar mencoba menstimulus asa, mencari harapan kembali
lewat pemimpin baru ditengah semua polemik yang mendera Republik
ini.
184
REFERENSI
Aju, 2013, Indonesia Jangan Gentar Bangun PLTN. Diakses dari
http://sinarharapan.co/index.php/news/read/24134/indonesia-
jangan-gentarbangun-pltn.html pada 27-5-2014
Akhir, D. J, 2013, 75% Sektor Pertambangan RI Dikuasai Asing.
Diakses dari http://economy.okezone.com/read/2013-
/02/20/19/764574/75-sektor-pertambangan-ri-dikuasai-asing
Anonim, 2011, Impor Bahan Obat Tembus Rp 11 T. Diakses dari
http://www.kemenperin.go.id/artikel/2808/Impor-Bahan-Obat-
Tembus-Rp-11-T
Anonim, 2012, Dari Riset Menghasilkan Inovasi. Diakses dari
http://wapresri.go.id /index/preview/berita/2471
Anonim, 2012, Pertumbuhan Ekonomi 2012 Hanya 6.23 Persen.
Diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/-
02/05/12192140/Pertumbuhan.Ekonomi.2012.Hanya6.23Persen
Anonim, 2013, Tiga Masalah Penyerap APBN Terbanyak. Diakses
dari http://m.liputan6.com/bisnis/read/518416/3-masalah-
penyerap-apbn-terbanyak
Badan Pemeriksa Keuangan, 2013, Siaran Pers: Hasil Pemeriksaan
BPK Semester II Tahun 2012 Atas Program Swasembada
Daging Sapi Tahun 2010 s.d. 2012
______, 2012, Ikhtisar Hasil Pemerikasaan Semester II Tahun 2011,
Jakarta
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), 2012, Teknologi
Dukung Kemandirian Bahan Baku Obat Antibiotik. Diakses
185
dari http://w1.bppt.go.id/index.php/home/56-bioteknologi-
dan-farmasi/1154-kembangkan-teknologi-ciptakan-
kemandirian-bahan-baku-obat-antibiotik
Badan Pusat Statistik, 2010, Dependency Ratio Menurut Provinsi.
Diakses dari http://bps.go.id/tab_sub/view.php?-
kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12¬ab=13
______, 2013, Hasil Sensus Pertanian 2013 (Angka Sementara). No.
62/09/ Th. XVI, 2 September 2013
Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006, Panduan Penyusunan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan
Dasar dan Menengah, BSNP, Jakarta
Bappenas, 2012, Pembangunan Daerah dalam Angka, Jakarta
Darjono, 2009, Pengalaman Penegakan Hukum yang Berkaitan
dengan Kebakaran di Areal Perkebunan dan HTI Rawa
Gambut
Dennis, R, 1999, Tinjauan Projects Kebakaran Indonesia. Pusat
Penelitian Kehutanan Internasional, Bogor
Departemen Kehutanan, 2002, Rekalkulasi Penutupan Lahan Pada
Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain. Departemen
Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2003, Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Depdiknas, Jakarta
______, 2004, Manajemen Berbasis Sekolah Jakarta, Dirjen
Dikdasmen, Jakarta
186
Dimyati, V., 2013, Bahan Baku Obat Masih Impor. Jurnal Nasional,
22 Maret 2013 hlm 11. [Internet]. Diakses dari
http://www.jurnas.com/halaman/11/2013-03-22/237487
Fischer, R. and Nail E, 2000, Molecular Farming in Pharmaceutical
Proteins. Transgenic Research 9: 279–299
Hafil, M dan Arief, J, 2011, Ini Dia 33 Perusahaan Migas Asing
Penunggak Pajak, Rugikan Negara Rp 6 Triliun. Diakses
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/07/
18/loix8j-ini-dia-33-perusahaan-migas-asing-penunggak-
pajak-rugikan-negara-rp-6-triliun
Harefa, M, Kebijakan Pembangunan dan Kesenjangan Ekonomi
Antarwilayah. Diakses dari http://berkas.dpr.go.id/-
pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-16.pdf
Hariyanti, D, 2011, Bahan Baku Obat Melimpah, Perusahaan Farmasi
Masih Suka Mengimpor. Jurnal Nasional, 30 November
2011, [Internet]. Diakses dari http://www.jurnas.com
/news/46539
HPLI, 2005, Indonesian Oil Reserves-Resources. Diakses dari
http://www.hpli.org/tambang.php
Ibrahim, Tatang M, 2013, Sapi - Sawit: Kok Bisa Lelet Sih?-
Agroinovasi, Litbang Pertanian. Edisi 21 - 27 Juli 2013
No.3520 Tahun XLIII
ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Strategi Pengembangan
Bahan Baku Obat Indonesia, Naskah Akademis Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia, disampaikan kepada Menteri Negara
Hortikultura dan Obat, 2007
187
Kemenegpdt, 2012, Daftar 183 Daerah Tertinggal di Indonesia.
Diakses dari http://www.kemenegpdt.go.id/hal/300027/183-
kab-daerah-tertinggal
Kemenhut, 2013, Statistik Kehutanan Indonesia 2012, Kementerian
Kehutanan Indonesia, Jakarta
Kementerian Pertanian, 2010, Blue Print Pedoman Umum Program
Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014 (Peraturan
Menteri Pertanian Nomor: 19/Permentan/OT.140/2/2010
Tanggal: 5 Pebruari 2010)
Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia, 2006, Buku
Putih Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Bidang Kesehatan dan Obat
2005 -2025, Jakarta
_______, 2013, Pedoman Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional
(SINas) Tahun 2014, Jakarta
Mikail, B., 2012, Kemandirian Bahan Baku Obat Terus Ditingkatkan,
Kompas, 4 Mei 2012. [Internet]. Diakses dari
http://health.kompas.com/read/2012/05/04/17434182Kemandi
rian.Bahan.Baku.Obat.Terus.Ditingkatkan
Mulyasa, E, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Suatu
Panduan Praktis, PT Remaja Rosdakary, Bandung
Nullik, J, dan A. Bamualim, 1998, Pakan Ruminansia Besar di Nusa
Tenggara. BPTP, Naibonat dan EIVSP AusAID, Kupang
Potter, L. and Lee, J, 1998, Kelapa Sawit di Indonesia: Peranan
Konversi dan Kebakaran hutan 1997/1998, Laporan WWF-
Indonesia, Jakarta
188
Pusat Diseminasi IPTEK Nuklir, 2013, Jurnalis Media Nasional
Pelajari Calon Tapak PLTN. http://www.batan.go.id/-
view_news.php?idx=2434&Jurnalis%20Media%20Nasional%
20Pelajari%20Calon%20Tapak%20PLTN. Diakses pada 27-
5-2014
Rustiarini, Wayan, N, Gama, S, Wahyudi, A., 2012, Modal Intelektual
dan Kinerja Perusahaan: Strategi Menghadapi Asean
Economic Community. Diakses dari http://eprints.unisbank.-
ac.id/
Sarwindaningrum, I., dan Aziz, N., A., 2012, Pernyataan Menristek
Soal PLTN Dipertanyakan. http://nasional.kompas.com-
/read/2012/04/24/21332577/Pernyataan.Menristek.soal.PLTN.
Dipertanyakan. Diakses pada 27-5-2014
Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia. Diambil dari
http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Revisi_Ba
han_Ajar_Cetak/BAC_Pengkur_SD/UNIT-4_PERKEM-
BANGAN_KURIKULUM_.pdf. Diakses pada 30 Juni 2014
Sudjana, N, 1989, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di
Sekolah Kejuruan, PT SInar Baru, Bandung
______, 1989, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, PT Sinar Baru,
Bandung
Sutrisno, J., 2012, Standardisasi produk usaha mikro kecil dan
menengah dalam menghadapi pasar bebas. Infokop Vol. 21 pp.
131—158, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK,
Jakarta
189
Yulianti, Tya Eka – detikfinance, 2013, Ide Dahlan Iskan Beli 1 Juta
Hektar Lahan Peternakan di Australia. Diakses dari
http://finance.detik.com/read/2013/09/11/123506/2355604
/4/1/ide-dahlan-iskan-beli-1-juta-hektar-lahan-peternakan-di-
australia pada 04 April 2014
Zein, Novian. 2012, Pengembangan Bahan Baku Obat Dan Obat
Tradisional Di Indonesia. Disampaikan pada Seminar
Nasional 2012 “Menuju Kemandirian Bangsa Indonesia dalam
Bidang Kefarmasian melalui Swasembada Bahan baku Obat”
Yogyakarta, 17 November 2012
Lembaran Negara
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan
Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan
Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006
tentang Standar Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan
Peraturan Menteri Pendidikan nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan
Menengah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan
Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan
190
Top Related