RREEVVIISSII RREENNCCAANNAA TTAATTAA RRUUAANNGG WWIILLAAYYAAHH
PPRROOPPIINNSSII SSUULLAAWWEESSII SSEELLAATTAANN
RR EE NN CC AA NN AA ((BBUUKKUU IIVV))
PPEEMMEERRIINNTTAAHH PPRROOPPIINNSSII SSUULLAAWWEESSII SSEELLAATTAANN
11999999//22000000
i
KATA PENGANTAR
Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Propinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan
merupakan salah satu dokumen perencanaan pembangunan yang sangat
strategis dalam mewujudkan wajah ruang Sulawesi Selatan yang diinginkan
dalam 15 tahun mendatang. Sebagai matra ruang dari Garis Besar Haluan
Pembangunan Daerah (GBHD), RTRWP berisi arahan pemanfaatan ruang
dari kebijakasanaan pembangunan yang digariskan dalam GBHD.
Sebagai suatu hasil keputusan publik yang disahkan dengan Peraturan
Daerah Propinsi Sulawesi Selatan Nomor 44 Tahun 2001, maka RTRWP ini
bukan hanya milik pemerintah, tetapi juga milik semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan di Sulawesi Selatan.
Diharapkan dokumen perencanaan ini dapat digunakan untuk
memanfaatkan potensi sumber daya alam yang dimiliki sekaligus sebagai
alat pengendali pemanfaatan ruang wilayah.
Kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusinya dalam
penyelesaian RTRWP ini, diucapkan terima kasih.
Makassar, Januari 2002
Gubernur Sulawesi Selatan
H.Z.B Palaguna
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii DAFTAR TABEL iv DAFTAR PETA v
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Masalah Pemanfaatan Ruang 2 1.3 Tujuan 4 1.4 Sasaran 4 1.5 Fungsi 4
BAB 2 KEDUDUKAN DAN PROSES PENYUSUNAN 2.1 Kedudukan RTRWP 6 A. Lingkup Nasional 6 B. Lingkup Propinsi 6 C. Lingkup Kabupaten/Kota 7 2.2 Proses Penyusunan 8
BAB 3 RONA WILAYAH 3.1 Kependudukan 10 3.2. Pemanfaatan Lahan 10 3.3. Ekonomi Wilayah 11 A. Struktur Ekonomi 11 1. PDRB Sulawesi Selatan 11 2. PDRB Per Kawasan Andalan 13 3. Strukktur Tenaga Kerja Sulawesi Selatan 14 4. Struktur Tenaga Kerja Per Kawasan Andalan 14 B. Pertumbuhan Ekonomi 15 1. Pertumbuhan PDRB Sulawesi Selatan 15 2. Pertumbuhan PDRB Per Kawasan Andalan 15 3. Ekspor dan Impor 18
BAB 4 ARAHAN PEMANFAATAN RUANG 19
4.1 Konsepsi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi 19 4.2 Arahan Pengelolaan Kawasan 20 A. Arahan Pengelolaan Kawasan Lindung 20
iii
1. Arahan Pengelolaan Kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya
21
2. Arahan Kawasan Perlindungan Setempat 22 3. Arahan Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam
dan Benda Cagar Budaya 24
4. Arahan Kawasan Rawan Bencana Alam 27 B. Arahan Pengelolaan Kawasan Budidaya 29 1. Arahan Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi 30 2. Arahan Pengelolaan Kawasan Pertanian 31 3. Arahan Pengelolaan Kawasan Pertambangan 32 4. Arahan Pengelolaan Kawasan Perindustrian 32 5. Arahan Pengelolaan Kawasan Pariwisata 32 6. Arahan Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut 33 4.3 Arahan Pengembangan Kawasan 33 A. Arahan Pengembangan Kawasan Budidaya 33 1. Arahan Pengembangan Kawasan Hutan
Produksi 34
2. Arahan Kawasan Pertanian 34 3. Arahan Pengelolaan Kawasan Pertambangan 36 4. Arahan Pengelolaan Kawasan Perindustrian 37 5. Arahan Pengelolaan Kawasan Pariwisata 37 B. Arahan Pengelolaan Kawasan Pesisir, Laut, Danau
dan Kepulauan 39
C. Arahan Pengembangan Kawasan Andalan 40 D. Arahan Pengembangan Kawasan Penunjang
Pertahanan 41
E. Arahan Pengembangan Sistem Kota-kota 42 F. Arahan Pengembangan Prasarana Wilayah 42 1. Prasarana Transportasi 43 2. Prasarana Irigasi 46 3. Prasarana Energi Listrik 47 4. Prasarana Telekomunikasi 47 5. Prasarana Air Bersih 47 4.4 Kebijaksanaan Tata Guna Tanah dan Tata Guna Air 48
iv
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
3.1. Persentase Perubahan Luas Penggunaan Lahan Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 1995 dan 1998
11
3.2. PDRB Sulawesi Selatan Tahun 1994 - 1998 12
3.3. PDRB Per Kawasan Andalan 1994 - 1998 (%) 13
3.4. Struktur Tenaga Kerja Per Kawasan Andalan (%) 15
3.5. Pertumbuhan PDRB Sulawesi Selatan Tahun 1994 - 1998 16
3.6. Pertumbuhan PDRB Per Kawasan Andalan Tahun
1994/1998 17
3.7. Pertumbuhan Ekspor Impor Periode Tahun 1994 - 1998 18
4.1. Luas Hutan Lindung per Kabupaten/Kota 22
4.2. Kawasan Cagar Alam di Sulawesi Selatan 25
4.3. Kawasan Suaka Marga Satwa di Sulawesi Selatan 25
4.4. Taman Wisata Alam dan Taman Buru di Sulawesi Selatan 26
4.5. Kawasan Benda Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan 27
4.6. Ruas Jalan Fungsi Kolektor Primer di Sulawesi Selatan 45
v
DAFTAR GAMBAR
1. Peta Administrasi
2. Peta Rencana Arahan Pengelolaan Kawasan Lindung
3. Peta Rencana Arahan Pengembangan Kawasan Rawan
Bencanai
4. Peta Rencana Arahan Pengembangan Kawasan Hutan
Produksi
4. Peta Rencana Arahan Pengembangan Kawasan
Pertanian
5. Peta Rencana Arahan Pengembangan Kawasan
Perkebun
6. Peta Rencana Arahan Pengembangan Kawasan
Perikanan
7. Peta Rencana Arahan Pengembangan Kawasan
Pertambangan
8. Peta Rencana Arahan Pengembangan Kawasan Industri
9. Peta Rencana Arahan Pengembangan Kawasan
Pariwisata
10. Peta Rencana Arahan Pengembangan Kawasan Andalan
11. Sistem Kota-Kota
12. Peta Rencana Arahan Pengembangan Sistem
Jaringan Transportasi Darat
13. Peta Rencana Arahan Pengembangan Sistem Jaringan
Kereta Api
14. Peta Rencana Arahan Pengembangan Sistem Jaringan
Transportasi Laut
15. Peta Rencana Arahan Pengembangan Sistem Pelabuhan
Penyebrangan
16. Peta Rencana Arahan Pengembangan Jaringan
Transportasi Udara
17. Daerah Aliran Sungai Utama
1
Bab 1 PPeennddaahhuulluuaann 1.1 Latar Belakang
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan yang diperdakan dengan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 1994 dan kemudian disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 101 Tahun 1995, diakui oleh banyak
kalangan sudah tidak dapat dijadikan pedoman perencanaan pemanfaatan ruang wilayah. Adanya perubahan lingkungan strategis dan kebijaksanaan pembangunan yang terjadi baik di lingkup regional, nasional maupun propinsi berimplikasi terhadap
perubahan jenis aktifitas pembangunan dengan kebutuhan ruang yang berbeda. Lahirnya Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) pada tahun 1997
menjadikan arahan kebijaksanaan ruang pembangunan nasional semakin jelas. Posisi Sulawesi Selatan sebagai pusat pelayanan dalam lingkup Kawasan Pulau Sulawesi maupun di Kawasan Timur Indonesia semakin strategis dalam banyak hal,
misalnya sebagai pusat pelayanan perdagangan dan jasa serta pusat pelayanan koleksi dan distribusi lalu lintas angkutan udara di Kawasan Timur Indonesia.
Adanya Kesepakatan antara keempat Gubernur se Sulawesi pada tahun 1998 yang menginginkan adanya suatu kerjasama antar keempat daerah dalam berbagai bidang, misalnya kerjasama di bidang pertanian, transportasi dan pariwisata dalam
kerangka pengembangan wilayah terpadu Pulau Sulawesi. Dengan adanya peran baru yang dibebankan kepada setiap wilayah tentunya akan mempengaruhi pola kebijaksanaan pembangunan yang berimplikasi terhadap perubahan arahan
pemanfaatan ruang di dalamnya. Diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diikuti
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 menjadikan wewenang propinsi lebih dititikberatkan pada masalah yang bersifat lintas wilayah kabupaten/kota. Berdasarkan wewenang yang baru ini, maka arahan pemanfaatan ruang wilayah
yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi menjadi lebih terbatas pada masalah-masalah strategis yang bersifat lintas wilayah.
2
Melalui pendekatan pembangunan wilayah saat ini yang lebih menekankan pada sinergi pengembangan kawasan andalan dan ditindaklajuti dengan upaya identifikasi
potensi dan fungsi yang lebih akurat melalui kegiatan Program Pengembangan Kawasan Andalan menyebabkan di beberapa aspek peran dan fungsi setiap kawasan andalan dalam konstelasi pengembangan wilayah Sulawesi Selatan sebagaimana
tercantum dalam RTWP tahun 1994 harus disesuaikan kembali. Dengan adanya perubahan kebijakan pembangunan tersebut yang memberikan
implikasi yang cukup signifikan terhadap arahan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, maka sudah selayaknya RTRWP yang disusun pada tahun 1992 tersebut direvisi agar tetap dapat menjadi pedoman/acuan penyusunan program
pembangunan daerah. 1.2 Masalah Pemanfaatan Ruang
Beberapa masalah utama pemanfaatan ruang di wilayah Sulawesi Selatan yang menjadi perhatian sekaligus dasar dalam penyusunan RTRWP kali ini antara lain adalah :
1. Terjadinya alih fungsi lahan dalam luasan yang cukup besar secara tidak terkendali, khususnya perubahan kawasan hutan menjadi kegiatan pertanian atau perkebunan dan kawasan pertanian lahan basah beririgasi menjadi kawasan
perkebunan atau perikanan Infilltrasi kegiatan pertanian atau perkebunan ke dalam kawasan hutan, khususnya hutan lindung seperti di wilayah Kabupaten Mamuju dan Luwu Utara menyebabkan luas hutan berkurang dengan cepat dari
tahun ke tahun tanpa terkendali. Salah satu dampak kenaikan harga yang sangat tinggi untuk beberapa jenis
komoditi perkebunan dan perikanan yang berorientasi ekspor sejak terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia beberapa tahun terakhir menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dari pertanian lahan basah beririgasi menjadi
perkebunan atau pertambakan.
2. Belum adanya koordinasi yang mantap pada pemanfaatan ruang yang berada
dalam sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) dan meliputi lebih dari satu kabupaten menyebabkan kegiatan pembangunan atau aktifitas penduduk di daerah hulu banyak merugikan kegiatan pembangunan dan aktifitas masyarakat di daerah
hilirnya. Contohnya akibat pemanfaatan lahan yang tidak terkendali di daerah hulu DAS Saddang menyebabkan terjadinya erosi yang cukup besar yang berdampak pada penurunan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Air Bakaru di Kabupaten
Pinrang akibat proses sedimentasi yang sangat besar di muka pintu utamanya.
3
Fenomena serupa terjadi di DAS Bila yang menyebabkan pendangkalan muka air Danau Tempe di Kabupaten Wajo dan Soppeng yang sangat cepat.
3. Aksesibilitas antar daerah di dalam maupun keluar propinsi masih rendah,
khususnya untuk mencapai daerah yang memiliki potensi besar untuk
berkembang. Hal ini menjadikan “high cost economy” dalam pemanfataan sumber daya yang ada. Misalnya aksesibilitas kawasan dari kawasan pengembangan di Mamuju, Luwu Utara dan Selayar ke Makassar/Pare-pare atau ke luar propinsi
seperti ke Kalimantan, Sulawesi Tengah/Tenggara dan ke Nusa Tenggara Timur. 4. Akibat proses urbanisasi yang cukup
tinggi dalam dasawarsa terakhir menyebabkan jumlah penduduk perkotaan di Sulawesi Selatan pada
tahun 1998 telah mencapai lebih kurang 2,3 juta jiwa atau 29 % dari total penduduk. Kecenderungannya
jumlah ini akan terus meningkat khususnya di Kawasan Metropolitan Mamminasata dan diperkirakan dalam
15 tahun mendatang jumlah penduduk perkotaan di Sulawesi Selatan menjadi dua kali lipat (double).
5. Adanya perubahan orientasi pemanfaatan sumber daya alam dari daratan ke
kawasan pesisir dan laut, khususnya di kawasan Pantai Barat Sulawesi Selatan
menyebabkan degradasi potensi sumber daya pesisir dan laut seperti berkurangnya luas hutan bakau di kawasan pesisir dan luas terumbu karang yang sangat cepat akibat kegiatan eksploitasi yang tidak memperhatikan aspek
lingkungan. 6. Pemanfaatan potensi sumber daya alam, seperti bahan tambang Golongan A
yang cukup banyak dimiliki wilayah Sulawesi Selatan belum dilakukan secara maksimal bagi pengembangan kegiatan industri.
7. Pengolahan potensi sumber daya lahan belum optimal sehingga pengembangan kegiatan agroindustri dan agribisnis yang diharapkan menjadi kegiatan utama untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian belum berkembang secara
maksimal.
0
1000000
2000000
3000000
4000000
5000000
6000000
1999 2004 2009 2014
Jumlah Penduduk Perkotaan
4
8. Dukungan pelayanan prasarana penunjang wilayah, seperti jaringan listrik, telepon dan air bersih yang masih terbatas, khususnya di daerah perkotaan
Kawasan Mamminasata dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Parepare.
1.2 Tujuan
Beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi adalah : 1. terselenggaranya pemanfaatan ruang wilayah propinsi Sulawesi Selatan yang
berwawasan lingkungan yang berlandaskan pada Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
2. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Sulawesi Selatan untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya.
3. tercapainya pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Sulawesi Selatan yang
berkelanjutan. 1.3 Sasaran
Untuk mewujudkan tujuan tersebut diatas, maka perlu dicapai beberapa sasaran, yaitu : • Terciptanya pengelolaan kawasan lindung yang mantap sehingga fungsi
lindungnya dapat optimal. • Adanya arahan pengelolaan dan pengembangan kawasan budidaya yang
dapat mengakomodasi kebutuhan pengembangan seluruh sektor
pembangunan yang potensial secara optimal dalam beberapa kawasan andalan
• Terciptanya sistem pusat permukiman di setiap kawasan andalan yang
berfungsi sebagai pusat pelayanan daerah hinterlandnya. • Terciptanya sistem prasarana wilayah terpadu yang dapat mendukung
pengembangan sektor ekonomi dan sosial masyarakat
• Tersedianya kebijaksanaan pembangunan yang menyangkut tata guna tanah, tata guna air dan tata guna sumber daya alam serta kebijaksanaan penunjang pemanfaatan ruang lainnya.
1.4 Fungsi
Sebagai pedoman untuk menyusun program pemanfaatan ruang wilayah, secara rinci
RTRWP berfungsi : a. sebagai matra ruang Garis-Garis Besar Haluan Pembangunan Daerah (GBHD)
Propinsi Sulawesi Selatan.
5
b. memberikan kebijaksanaan pokok tentang arahan pemanfaatan ruang di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan sesuai dengan kondisi wilayah dan berazaskan
pembangunan yang berkelanjutan dalam 15 Tahun mendatang. c. sebagai bahan rujukan bagi penyusunan rencana/program pembangunan Lima
Tahun dan rencana/ program Tahunan daerah.
d. untuk mewujudkan keterkaitan dan kesinambungan perkembangan antar wilayah di dalam Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan.
e. sebagai rujukan/referensi kabupaten/kota dalam penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
6
Bab 2 Kedudukan dan Proses Penyusunan 2.1 Kedudukan RTRWP
Sejalan dengan semangat otonomi daerah, kedudukan RTRWP sebagai dokumen perencanaan pembangunan propinsi dalam sistem dokumen perencanaan nasional dan daerah adalah sebagai berikut :
a. Lingkup Nasional
GBHN merupakan strategi dan kebijaksanaan umum pembangunan nasional jangka
panjang. Strategi dan kebijaksanaan ini diterjemahkan oleh RTRWN menjadi strategi pemanfaatan ruang di lingkup nasional. Sedangkan Propenas menterjemahkan isi GBHN dan RTRWN tersebut ke dalam program pembangunan nasional 5 tahunan
dan kemudian dijabarkan ke dalam Repeta untuk program tahunan. Sebagai pedoman pembangunan jangka menengah RTRWP merupakan penjabaran dari strategi pemanfaatan ruang nasional yang direkomendasikan oleh oleh RTRWN ke
dalam arahan pemanfaatan ruang di wilayah propinsi.
b. Lingkup Propinsi
Seperti halnya GBHN di lingkup nasional, GBHD juga berisikan strategi dan kebijaksanaan umum jangka panjang propinsi. RTRWP berfungsi menjabarkan strategi dan kebijaksanaan pembangunan propinsi tersebut ke dalam arahan pemanfataan ruang wilayah propinsi untuk jangka waktu 15 tahun. Arahan ini akan membentuk struktur ruang wilayah propinsi yang meliputi ruang kawasan lindung dan budidaya dan sistem prasarana wilayah yang bersifat lintas kabupaten/kota. Dalam
proses penyusunan arahan tersebut, strategi pemanfaatan ruang RTRWN dan RTRW Kab/Kota tetap menjadi referensi. Kemudian Propeda Propinsi menterjemahkan kebijaksanaan pembangunan dalam GBHD dan arahan pemanfaatan ruang dalam
RTRWP menjadi program pembangunan 5 tahunan. Untuk program pembangunan tahunan dijabarkan dalam Repeta Propinsi.
7
c.Lingkup Kabupaten/Kota
RTRW Kabupaten/Kota menterjemahkan GBHD Kabupaten/Kota ke dalam alokasi pemanfataan ruang wilayah kabupaten/kota untuk jangka waktu 10 tahunan.
Dengan adanya otonomi daerah dan pembagian wewenang pemerintah propinsi dan kabupaten, maka RTRWP hanya membahas hal-hal strategis yang bersifat lintas kabupaten/kota. Arahan dalam RTRWP tetap menjadi referensi utama dalam
penyusunan RTRW Kabupaten/Kota. Mengacu kepada RTRW Kab./Kota, Pemda Kabupaten/Kota menyusun Propeda dan Repeta untuk program lima tahun dan tahunan. Untuk rencana tata ruang yang lebih rinci, RTRWK dijabarkan ke dalam
RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) dan RTR (Rencana Teknik Ruang).
RTRWP
Propeda
KKeedduudduukkaann RRTTRRWWPP ddaallaamm SSiisstt eemm DDookkuummeenn PPeerreennccaannaaaann PPeemmbbaanngguunnaann
RTRWK
RTR
GBHD Kab/Kota
GBHN GBHD Propinsi
Propeda Propenas
Acuan Referensi
Repeta Repeta
RTRWN
RDTR
Repeta
8
2.2 Proses Penyusunan
Sesuai dengan pendekatan perencanaan pembangunan saat ini yang lebih menekankan pada perencanaan dari bawah (Bottom up Planning) dan berorientasi
pada proses dari pada hasil (out put) serta pelibatan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders), maka Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan bersama konsultan pelaksana telah mencoba sejauh mungkin mengawinkan ketiga pendekatan tersebut
dalam proses penyusunan RTRWP 2000 ini melalui beberapa tahap yakni : 1. Melakukan Review terhadap RTRWP Sulawesi Selatan tahun 1994 untuk melihat
sejauhmana penyimpangan yang terjadi untuk dibandingkan dengan kondisi saat
ini. Review ini menjadi masukan dalam proses penyusunan Revisi RTRWP yang akan dilakukan;
2. Mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan melalui survei instansi di
lingkup propinsi maupun kabupaten/kota dan observasi lapangan di beberapa kawasan strategis, seperti Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (KAPET) Pare-pare, Kawasan Industri dan lain-lain. Selain itu untuk juga dilakukan
wawancara langsung dengan beberapa pakar dan tokoh masyarakat yang dianggap memiliki kompetensi terhadap kebijaksanaan pembangunan di Sulawesi Selatan.
3. Pengkajian terhadap beberapa dokumen perencanaan pembangunan nasional. regional dan daerah, yang antara lain yaitu : a. Garis-garis Besar Haluan Pembangunan Daerah (GBHD)
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, c. Konsep Rencana Tata Ruang Pulau Sulawesi d. RTRW Kab/Kota
4. Untuk mendapatkan umpan balik terhadap konsep sementara yang telah dihasilkan oleh Tim Konsultan, maka dilakukan serangkaian seminar dan lokakarya, yaitu :
a. Seminar Konsep Rencana Awal yang dihadiri oleh aparat pemerintah dari lingkup propinsi dan dari 24 kabupaten/kota yang terkait.
b. Salah satu rekomendasi Seminar Konsep Awal adalah belum
terakomodasinya isu-isu dan kebijaksanaan pembangunan, khususnya yang bersifat lintas kabupaten/kota. Oleh karena itu dilakukan suatu lokakarya selama 1 minggu yang dihadiri oleh aparat pemerintah terkait dari 24
kabupaten/kota. Untuk mendapat isu dan kebijaksanaan yang diharapkan, maka para peserta dikelompokkan menurut Kawasan Andalan.
c. Seminar Konsep Rencana Akhir yang dihadiri kembali oleh aparat yang sama
pada saat Seminar Konsep Awal ditambah beberapa LSM.
9
5. Tahap terakhir, yaitu pada proses legalisasi yang dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sulawesi Selatan selama lebih kurang 1 bulan telah dilakukan konsultasi dan konfirmasi terhadap materi rencana tata ruang yang
telah disusun kepada seluruh instansi pemerintah (sipil dan militer) terkait di lingkup pemerintah propinsi dan para wakil pemerintah kabupaten/kota
Review Kebijakan Makro : • RTRWN • Regional Sulawesi • GBHD Sulsel
Review • RTRW Kab/Kota • Lokakarya Identifikasi
Potensi & Masalah ruang lintas Kab/kota
Survei Sekunder
Rona Wilayah
Analisis Rona Wilayah
(Fisik, Ekonomi dan Sosial)
Rumusan Potensi dan Masalah
Pemanfaatan Ruang Wilayah
Arahan Pengelolaan dan
Pengembangan Kawasan
DATA
ANALISIS
RENCANA
PERDA Nomor 44 Tahun 2002 TTG RTRWP
SULSEL
Konfirmasi Pansus DPRD Sulsel dengan : • Kodam • Bupati/Walikota • Instansi Teknis Prop
Proses Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
Sulawesi Selatan
Seminar dan Diskusi dengan Stakehoilder
10
Bab 3 RRoonnaa WWiillaayyaahh 3.1 Kependudukan
Jumlah penduduk Sulawesi Selatan pada tahun 1998 adalah sebesar 7.838.777 jiwa
dengan tingkat pertumbuhan rata-rata pada periode 1994–1998 mencapai 1,53 persen per tahun. Hanya saja, tingkat penyebaran dari setiap daerah tidak merata terutama dilihat dari tingkat pertumbuhan dan kepadatan penduduknya yang
bervariasi antar kabupaten/kota. Persentase tingkat pertumbuhan ini masih berada di bawah tingkat pertumbuhan penduduk nasional, yaitu 1,65 persen per tahun.
Penyebaran pendudukan yang tidak merata antara lain disebabkan oleh derasnya arus urbanisasi pada kawasan perkotaan pada dasa warsa terakhir, khususnya di Kawasan Metropolitan Mamminasata. Total penduduk perkotaan pada tahun 1998
lebih kurang sebesar 2,3 juta jiwa atau 29 % total penduduk Sulawesi Selatan dan hampir 57 % diantaranya berada di Kawasan Metropolitan Mamminasata.
Sementara itu, komposisi penduduk menurut umur pada tahun 1998 menunjukkan bahwa kelompok umur penduduk usia 10–14 tahun memiliki persentase terbesar terhadap jumlah penduduk secara keseluruhan yakni sebesar 11,82 persen (926.891
jiwa), sedangkan persentase terkecil adalah pada kelompok usia 60 tahun ke atas sebesar 7,23 persen (567.492 jiwa)
3.2 Pemanfaatan Lahan
Luas Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan adalah 6.236.171 ha dan 55,5 % dari luas
tersebut (3.461.527 ha) digunakan oleh sektor kehutanan. Sedangkan penggunaan
lahan yang paling kecil adalah jenis penggunaan lainnya (prasarana jalan, saluran
sungai, dan irigasi) seluas 36.546 ha atau 0,586 persen.
Berdasarkan data penggunaan lahan tahun 1995 dan 1998 terjadi perubahan
proporsi penggunaan lahan di Propinsi Sulawesi Selatan. Luas sawah tadah hujan
11
dan sawah beririgasi desa mengalami pengurangan, sedangkan luas empang atau
kolam bertambah (lihat Tabel 3.1)
Tabel 3.1 Persentase Perubahan Luas Penggunaan Lahan Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 1995 dan 1998
Jenis Penggunaan Lahan 1995 (%)
1998 (%)
Lahan Sawah 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7
Irigasi Teknis Irigasi Setengah Teknis Irigasi Sederhana Irigasi Desa/Non-PU Tadah Hujan Pasang Surut Lebak/Polder
2,6 0,7 0,0 2,7 4,3 0,01 0,00
2,7 0,8 0,8 1,8 4,0 0,0 0,0
Lahan Kering 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9
2.10 2.11 2.12
Pekarangan Tegal/Kebun Ladang/Huma Penggembalaan/Padang Rumput Sementara tidak diusahakan Ditanami Pohon/Hutan Rakyat Hutan Negara Perkebunan Rawa-rawa ditanami) Tambak Kolam/Empang Lain-lain
2,8 8,2 2,4 4,7 3,8 8,7 37,1 7,8 0,9 1,8 0,4 10,5
2,9 8,4 2,2 4,5 3,2 8,1
37,5 8,7 0,5 1,8 0,1
11,4
Total 100 100 Sumber : BPS, 1998 setelah disesuaikan dengan data RTRWP Sulawesi Selatan
3.3 Ekonomi Wilayah
A. Struktur Ekonomi
1. PDRB Sulawesi Selatan
Berdasarkan harga berlaku pada tahun 1994, PDRB Sulawesi Selatan adalah Rp. 16.822.349,73 (juta) dengan nilai tambah bruto terbesar disumbangkan oleh sektor
pertanian. Sedangkan pada tahun 1998 PDRB Sulawesi Selatan mengalami peningkatan sebesar 3.846.789,06 (juta) sehingga mencapai Rp. 20.669.138,798 (juta).
12
Pada tahun 1994, sektor pertanian memberikan kontribusi yang terbesar terhadap PDRB Propinsi Sulawesi Selatan yaitu sebesar 38,10 persen. Bahkan pada tahun
1998 meningkat menjadi 48,31 persen. Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi terkecil adalah listrik, gas, dan air yaitu 1,03 persen pada tahun 1994 dan mengalami penurunan pada tahun 1998 menjadi 0,99 persen. Khusus untuk sektor
keuangan kontribusinya dari tahun 1994 –1998 mengalami penurunan, namun kontribusinya masih tergolong besar (lihat Tabel 3.2)
Tabel 3.2
PDRB Sulawesi Selatan Periode 1994 – 1998 (Harga Berlaku)
SEKTOR 1994 % 1998 % Nasional 1998 (%)
§ Pertanian § Pertambangan dan
Penggalian § Industri Pengolahan § Listrik, Gas, dan Air § Bangunan § Perdagangan, Hotel
dan Restoran § Angkutan dan
Komunikasi § Keuangan § Jasa
6.409.785,09 610.187,49
2.044.315,70
173.572,70 913.939,89
2.687.856,90
985.183,06 1.063.521,51 1.933.987,39
38,10 3,63
12,15 1,03 5,43
15,97
5,85
6,32 11,49
9.985.786,8 1.267.967,94
681.983,126
205.866,16 964.290,11
2.952.371,62
1.833.487,83
884.514,47 1.892.870,74
48,31 6,13
3,29 0,99 4,66
14,28
8,87
4,27 9,15
18,84 12,86
26,23 1,17 5,44 14,90
5,42
8,23 6,91
Jumlah 16.822.349,73 100 20.669.138,79 100 100 Sumber : PDRB Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, tahun 1994 – 1998
Struktur Ekonomi Sulsel 1998
Industri3%
Perlisba12%
Jaskeu13%
Angper23%
Pertanian49%
Keterangan
Perlisba : Perdagangan, Listrik dan Bangunan
Jaskeu : Jasa dan Keuangan
Angper : Angkutan dan
Pertambangan
13
2. PDRB Per Kawasan Andalan
Di Kawasan Andalan Bulukumba dan sekitarnya, sektor pertanian memberikan andil terbesar terhadap struktur PDRB. Hal ini dapat dilihat pada tahun 1994 sebesar 57,42 persen pada tahun 1998 sebesar 66 persen. Pada tahun 1994 sektor listrik, gas, dan air bersih ternyata memberikan kontribusi terkecil sebesar 0,42 persen. Demikian juga pada tahun 1998 sebesar 0,34 persen.
Pada Tabel 3.3 terlihat bahwa pada tahun 1998 sektor yang memberikan kontribusi terbesar di Kawasan Andalan Makassar adalah sektor industri pengolahan (22,63 persen). Hal ini dapat dimengerti karena infrastruktur yang menunjang perkembangan sektor tersebut tersedia di kawasan ini. Selain sektor industri pengolahan, sektor yang juga memberikan kontribusi besar terhadap struktur PDRB di kawasan ini adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran dan sektor pertanian (20,51 persen).
Seperti halnya kawasan andalan lainnya, Kawasan Andalan Watampone Dan Sekitarnya pada tahun 1998 juga mengandalkan struktur PDRB nya dari sektor pertanian (61,35 persen). Sedangkan sektor yang terendah dalam struktur PDRB di kawasan ini adalah listrik, gas, dan air bersih (0,43 persen).
Pada Kawasan Andalan Parepare Dan Sekitarnya, sektor pertanian juga memberikan kontribusi terbesar terhadap struktur PDRB kawasan ini, baik pada tahun 1994 (51,76 persen) maupun pada tahun 1998 (59,26 persen). Bahkan terlihat bahwa struktur PDRB sektor ini tetap mengalami peningkatan dari tahun 1994-1998, sedangkan sektor lainnya ternyata mengalami penurunan.
Di Kawasan Andalan Palopo Dan Sekitarnya selain sektor pertanian ternyata sektor pertambangan dan penggalian juga mengalami peningkatan struktur PDRB dari tahun 1994-1998. Kedua sektor ini memberikan kontribusi terbesar terhadap struktur PDRB di kawasan ini. Selain sektor tersebut di atas, sektor lainnya ternyata rata-rata mengalami penurunan struktur PDRB dari tahun 1994-1998. Sektor yang mengalami penurunan yang sangat tajam adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran (lihat Tabel 3.3)
Sektor pertanian pada tahun 1998 ternyata tetap menduduki peringkat tertinggi dalam struktur PDRB di Kawasan Andalan Mamuju dan sekitarnya ini sebesar 53,87 persen. Sektor lain yang juga mengalami peningkatan adalah angkutan dan komunikasi (1998, sebesar 24,79 persen) bahkan sektor ini mengalami peningkatan yang sangat tajam sebesar 405,9 persen (1994-1998).
14
Tabel 3.3 Struktur PDRB Per Kawasan Andalan 1994 – 1998 (%)
SEKTOR
Bulukumba DSK
ParePare DSK
Makassar DSK
Watampone DSK
Mamuju DSK
Palopo DSK
1994 1998 1994 1998 1994 1998 1994 1998 1994 1998 1994 1998
§ Pertanian 57,42 66 51,76 59,26 18,91 19,89 57,55 61,35 50,89 53,87 42,24 50,45
§ Pertambangan dan Penggalian
0,64
0,54
1,08
0,81
1,41
0,78
0,66
4,75
0,97
0,44
20,88
27,24
§ Industri Pengolahan
4,93 3,99 5,04 4,26 20,36 22,63 8,36 6,97 7,47 4,32 4,25 3,43
§ Listrik, Gas dan
Air Bersih
0,42
0,39
0,78
0,63
1,77
1,84
0,43
0,43
0,32
0,21
0,36
0,37
§ Bangunan 3,92 3,26 5,80 4,92 6,68 6,22 4,45 3,38 5,07 2,54 3,67 2,33
§ Perdagangan, Hotel
& Restoran
11,02
10,11
14,16
13,55
21,13
20,51
11,50
9,95
14,14
6,34
11,42
6,36
§ Angkutan 4,08 3,31 5,53 5,22 7,95 10,45 4,20 3,71 4,90 24,79 3,24 2,04
§ Keuangan 5,16 2,92 5,62 3,53 8,32 5,74 3,87 2,84 5,53 2,56 4,90 2,93
§ Jasa-jasa 12,40 9,05 10,22 7,78 13,47 11,90 8,99 6,58 10,70 5,30 5,53 4,80
Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber : BPS 1994/1998
33.. Struktur Tenaga Kerja Sulawesi Selatan
Tingkat penyerapan tenaga kerja terbesar adalah di sektor pertanian yaitu sebesar 55,85 persen dari jumlah angkatan kerja yang bekerja pada tahun 1998. Sementara itu, sektor lain yang juga banyak menyerap tenaga kerja adalah perdagangan dan jasa masing-masing sebesar 16,38 persen dan 13,44 persen (lihat Tabel 3.4). 4. Struktur Tenaga Kerja Per Kawasan Andalan
Pada tahun 1998, penyerapan tenaga kerja terbesar di Kawasan Andalan Bulukumba berada pada sektor pertanian, yaitu sebesar 70,1 %. Sektor jasa dan sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor kedua dan ketiga terbesar menyerap tenaga, yaitu sebesar 9,87 % dan 9,66 %. Sedangkan sektor listrik, gas, dan air adalah sektor terkecil menyerap tenaga (0,01 persen). Pada Kawasan Andalan Parepare, tahun 1994 sektor pertanian menyerap tenaga
kerja terbesar, yaitu 61,26 persen. Sejalan dengan perubahan struktur perekonomian masyarakat, maka penyerapan tenaga pertanian di sektor pertanian pada tahun 1998 menurun menjadi 57,91 persen. Sementara itu sektor-sektor yang kecil penyerapan
tenaga kerjanya adalah sektor keuangan dan sektor listrik, gas.
15
Kawasan Andalan Makassar yang berfungsi sebagai Pusat Pelayanan Nasional menyerap tenaga kerja masih cukup besar dalam sektor Pertanian (37,68 persen). Hanya saja tidak menjadi dominan dalam hal ini dan terbagi secara merata dalam sektor lain, seperti Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 20,03 persen dan sektor jasa sebesar 24,81 persen. Struktur tenaga kerja di Kawasan Andalan Watampone memperlihatkan bahwa pada tahun 1994, persentase penyerapan tenaga kerja yang terbesar ada pada sektor pertanian yaitu 61,04 persen. Kondisi ini menurun pada tahun 1998 menjadi 55,84 persen. Sektor dengan persentase penyerapan tenaga kerja terkecil pada tahun 1994 yaitu sektor keuangan (0,15 persen), begitu pula pada tahun 1998 yaitu sebesar 0,04 persen. Penyerapan tenaga kerja yang persentasenya meningkat untuk periode 1994-1998 yaitu Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan kenaikan sebesar 5,62 persen.
Tabel 3.4 Struktur Tenaga Kerja Per Kawasan Andalan 1998 (%)
SEKTOR Bulukumba DSK
Parepare DSK
Makassar DSK
Watampone DSK
Mamuju DSK
Palopo DSK
§ Pertanian
§ Pertambangan
dan Penggalian
§ Industri
Pengolahan
§ Listrik, Gas, dan Air
§ Bangunan
§ Perdagangan,
Hotel & Restoran
§ Angkutan
§ Keuangan
§ Jasa
70,15
0,10
3,78
0,01
2,02
9,66
4,18
0,19 9,87
57,91
0,38
4,07
0,34
2,17
15,53
3,50
0,36 15,69
30,79
0,33
7,70
0,41
6,31
27,23
6,06
1,19 19,94
55,84
0,27
9,88
0,07
1,44
17,05
3,27
0,04 12,12
66,36
0,16
7,55
0,14
2,57
11,74
2,26
0,22 8,95
75,5
1,17
2,58
0,17
1,92
1,77
1,74
0,41 8,7
Jumlah 100 100 100 100 100 100
33..44 Pertumbuhan Ekonomi
11.. Pertumbuhan PDRB Sulawesi Selatan
Berdasarkan harga konstan 1993, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan pada periode tahun 1994 –1998 mengalami peningkatan sebesar 2,93 persen. Laju pertumbuhan PDRB yang paling tinggi adalah sektor listrik,
16
gas dan air sebesar 11,31%. Sedangkan yang mengalami penurunan adalah sektor
keuangan (lihat Tabel 3.5). 2. Pertumbuhan PDRB Per Kawasan Andalan
Kawasan andalan dengan pertumbuhan PDRB paling tinggi adalah Kawasan Andalan Mamuju dan sekitarnya (4,63 persen) sedangkan yang paling rendah adalah Kawasan Andalan Watampone dan sekitarnya yaitu sebesar 2,94 persen (lihat Tabel
3.6).
Tabel 3.5. Pertumbuhan PDRB Sulawesi Selatan Tahun 1994 - 1998
Berdasarkan Harga Konstan (Juta Rp)
SEKTOR 1994 1998 %
§ Pertanian
§ Pertambangan dan
Penggalian
§ Industri Pengolahan
§ Listrik, Gas, dan Air
§ Bangunan
§ Perdagangan, Hotel
dan Restoran
§ Angkutan
§ Keuangan
§ Jasa
3.015.325,47
272.573,69
914.960,95
86.664,91
454.011,34
1.303.425,88
488.808,88
510.674,96
987.448,31
3.055.915,54
362.346,18
1.170.981,18
133.029,74
476.327,01
1.588.078,1
687.470,17
446.393,03
1.095.868,08
0,33
7,38
6,36
11,31
1,21
5,06
8,90
- 3,31
2,64
Jumlah 8.033.894,61 9.016.409,03 2,93
Sumber : PDRB Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan 1994 – 1998, BPS 1994/1998
Pertumbuhan PDRB Per Kawasan Andalan
0
1
2
3
4
5
B u l u k u m b aDSK
Pare-PareDSK
MakassarDSK
W a t a m p o n eDSK
Mamuju DSK Palopo DSK
17
Tabel 3.6
Pertumbuhan PDRB (Harga Konstan) Kawasan Andalan Tahun 1994/1998 (Juta Rp)
PERUBAHAN (%) KAWASAN ANDALAN 1994 1998 1994 – 1998
Bulukumba DSK Bulukumba
Bantaeng Jeneponto
Selayar
Sinjai
291.714,58
118.012,96 172.427,83
85.233.67
183.605,72
331.863,37
145.222,80 226.391,51
105.795,26
193.534,47
3,28
5,32 7,04
5,55
1,33
Jumlah 850.994,76 1.002.807,41 4,19
Parepare DSK Barru Sidrap
Pinrang
Enrekang Parepare
136.580,38 245.399,02
344.136,98
107.261,33 122.384,87
150.332,92 277.282,73
394.350,15
122.929,12 150.775,23
2,43 3,10
3,46
3,47 5,35
Jumlah 955.762,58 1.095.670,15 3,47
Makassar DSK Gowa
Maros
Makassar Pangkep
Takalar
391.173,05
286.187,46
2.157.699,44 324.783,22
183.571,19
470.192,18
313.803,14
2.589.506,89 381.053,61
213.665,77
4,71
2,31
4,67 4,08
4,52
Jumlah 3.343.414,36 3.775.922,39 3,09
Watampone DSK Bone
Soppeng Wajo
713.483,41
208.415,20 437.303,43
772.791,58
243.275,14 510.411,86
2,02
3,94 3,94
Jumlah 1.359.202,04 1.526.478,58 2,94 Mamuju DSK
Polmas
Majene
Mamuju
301.782,51
128.143,71
151.585,65
359.281,98
141.952,51
195.701,62
4,46
2,59
6,59
Jumlah 581.511,87 696.936,11 4,63
Palopo DSK Tana Toraja
Luwu
235.101,73
753.145,72
283.480,36
877.549,81
4,79
3,90
Jumlah 988.247,45 1.161.030,17 4,11
SSuummbbeerr :: PPDDRRBB KKaabbuuppaatteenn//KKoottaa ddii SSuullaawweessii SSeellaattaann 11999944 –– 11999988,, BBPPSS 11999944//11999988..
18
3. Ekspor dan Impor
Pada tahun 1994 volume ekspor Sulawesi Selatan sebesar 0,61 juta ton dengan nilai
US$ 638,31 juta, sedangkan pada tahun 1998 volume ekspor sebesar 1,01 juta ton
dengan nilai ekspor US$ 549,13 juta. Ini berarti pertumbuhan ekspor sebesar 13,48
persen per tahun. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7 Pertumbuhan Ekspor Impor Periode 1994 – 1998
1994 1998 EKSPOR/
IMPOR Volume (000 Ton)
Nilai (Juta US $)
Volume (000 Ton)
Nilai (Juta US $)
Rate %
Ekspor
Impor
609,06
768,61
638,31
241,63
1.010,10
749,72
549,13
330,36
13,48
-0,62
Surplus/Defisit 369,68 218,77
Sumber : Indikator Ekonomi Sulsel 1998, BPS 1998
Pada tahun 1994 volume impor sebesar 768.610 ton dengan nilai impor 241,63 juta US $, sedangkan pada tahun 1998 volume impor sebesar 749.720 ton dengan nilai impor US $ juta 330,36.
19
Bab 4 AArraahhaann PPeemmaannffaaaattaann RRuuaanngg
Bab ini menjelaskan materi utama rencana pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 15 tahun mendatang. Perlu digaris bawahi
bahwa rencana pemanfaatan wilayah ruang yang dimaksud hanya bersifat sebagai arahan pemanfaatan ruang, tidak atau belum dapat dijadikan dasar bagi pemberian izin lokasi. Titik berat rencana diletakkan pada upaya/ pembentukan struktur tata
ruang agar wilayah Propinsi Sulawesi Selatan mampu berartikulasi secara optimal terhadap kebijaksanaan/kegiatan-kegiatan pembangunan secara berkelanjutan.
Arahan yang dimaksud adalah a) arahan pengelolaan kawasan lindung, b) arahan pengelolaan kawasan budidaya, c) arahan pengembangan kawasan budidaya, d) arahan pengembangan kawasan andalan, e) arahan pengembangan kawasan
penunjang pertahanan, f) arahan pengembangan sistem kota-kota, g) arahan pengembangan prasarana wilayah dan h) kebijaksanaan tataguna tanah, tataguna air, dan tataguna sumber daya alam lainnya.
4.1 Konsepsi Penataan Ruang
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) merupakan suatu rencana publik
yang mewadahi arahan pokok pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Sulawesi Selatan untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan dalam jangka panjang (15 tahun). RTRWP menjadi pedoman perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang
dalam mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah (kabupaten/kota) serta keserasian antar sektor dan pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah atau masyarakat.
Sehubungan perubahan kewenangan pemerintah propinsi dengan berlakunya otonomi daerah di kabupaten/ kota, maka peran dan muatan suatu RTRWP dalam
pengembangan wilayah juga harus menyesuaikan dengan kewenangan pemerintahan propinsi. RTRWP hanya mengatur pemanfaatan ruang yang bersifat lintas wilayah kabupaten/kota baik dilihat dari segi fisik maupun fungsinya.Oleh
karena itu, penyusunan RTRWP Sulawesi Selatan berpedoman kepada 2 undang-undang, yaitu Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang untuk
20
menentukan substansi/ muatannya dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dikombinasikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 200 tentang Kewenangan Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Kabupaten Kota untuk menyesuaikan status, kedudukan dan kedalaman
rencananya. 4.1 Arahan Pengelolaan Kawasan
Arahan pengelolaan kawasan terdiri atas arahan pengelolaan kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan pesisir dan laut.
A. Arahan Pengelolaan Kawasan Lindung
Kawasan lindung adalah kawasan yang berfungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, nilai
sejarah, dan budaya bangsa untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan. Pemanfaatan kawasan lindung untuk kegiatan budidaya dapat dilakukan secara
terbatas sepanjang kegiatan yang dimaksud memenuhi persyaratan yang dijabarkan pada Tabel 4.1.
Sasaran utama yang ingin dicapai dengan adanya pengelolaan kawasan lindung adalah : • meningkatkan fungsi terhadap konservasi tanah, air, pengendalian iklim,
tumbuhan, dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa. • mempertahankan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, tipe ekosistem, dan
keunikan alam.
Dalam upaya mencapai sasaran diatas, maka arahan umum pengelolaan kawasan lindung di Sulawesi Selatan adalah :
• pemantapan batas dan status kawasan lindung sehingga keberadaannya menjadi lebih jelas, baik secara fisik maupun hukum.
• pemanfaatan kawasan lindung dapat dilakukan sejauh tidak mengurangi fungsi
lindungnya. • Mengikutsertakan masyarakat lokal dalam pemeliharaan kawasan lindung • pengelolaan kawasan lindung yang meliputi lebih dari satu wilayah adminstrasi,
baik dari segi fisik maupun fungsional dibawah koordinasi pemerintah propinsi. • kerjasama antar daerah kabupaten/kota menjadi salah satu pendekatan utama
dalam pengelolaan kawasan lindung yang meliputi lebih dari satu wilayah
administrasi.
21
Menurut fungsi lindungnya, kawasan lindung terdiri atas 4 jenis yaitu :
• kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahnya • kawasan perlindungan setempat • kawasan suaka alam dan cagar budaya
• kawasan rawan bencana. 1. Arahan Pengelolaan Kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan
bawahannya.
Kawasan lindung yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahnya terdiri dari kawasan hutan lindung, kawasan resapan air. a. Kawasan Hutan Lindung
Berdasarkan hasil paduserasi (Tata Guna Hutan Kesepakatan) TGHK dan RTRWP tahun 1999 diperoleh luas kawasan hutan lindung di Sulawesi Selatan adalah 1.928.597 ha yang berlokasi tersebar di semua wilayah kabupaten/kota, kecuali
Kota Makassar. Wilayah yang memiliki luas hutan lindung yang cukup besar antara lain adalah Kabupaten Luwu, Mamuju, Polmas, Tana Toraja, dan Enrekang. Rincian luasan kawasan hutan lindung tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1. Kawasan hutan lindung dikelola berdasarkan ketentuan atau tata cara pemanfaatan
hutan lindung yaitu pemanfaatan semaksimal mungkin untuk kepentingan masyarakat, dengan tetap memperhatikan aspek perlindungannya pada kawasan budidaya yang ada di bawahnya. b. Kawasan Resapan Air
Kawasan resapan air meliputi sebaran air tanah yang terdiri atas endapan sebaran alluvial sungai dan tanah. Secara keseluruhan, kawasan resapan air tersebar di semua wilayah kabupaten/ kota di Sulawesi Selatan.
Air tanah berpotensi baik terletak di Kabupaten Polmas, Pinrang, Luwu, dan Luwu Utara. Isian/imbuhan air tanah terdapat hampir di seluruh kabupaten/kota. Air tanah
batuan gunung api terdapat di Kota Parepare, cekungan artesis dan akuifer sungai tua di Kabupaten/Kota Parepare, Barru, Soppeng, Wajo, dan Sidrap. Air tanah daerah Karts (kapur) di sebagian Kabupaten Takalar, Bulukumba, Maros, Pangkep,
Enrekang, dan Tator. Air tanah 1-3 akuifer di Kota Makassar, sebagian pesisir pantai Parepare, Wajo, Polmas, Mamuju, serta di wilayah daratan Kabupaten Luwu Utara. Endapan alluvial sungai dan pantai di sebagian pesisir pantai Kabupaten/ Kota Makassar, Gowa, Takalar, Bulukumba, Majene, dan Polmas. Sedangkan daratan
22
pegunungan dengan akuifer terdapat di wilayah daratan Kabupaten Bone, Luwu, dan
Luwu Utara. Pengelolaan dan pemanfaatannya tetap diperbolehkan selama tidak mengganggu fungsi utamanya.
Tabel 4.1. Luas Hutan Lindung per Kabupaten/Kota
Kabupaten/ Kota
Luas Wilayah (Ha)
Luas Hutan Lindung (Ha)
%
Luwu
Tator Enrekang
Pinrang
Polmas Majene
Mamuju
Wajo Sidrap
Pare Pare
Barru Pangkep
Maros
Bone Soppeng
Gowa
Takalar Jeneponto
Bantaeng
Bulukumba Sinjai
Selayar
Makassar
1. 779.413
320.577 178.604
196.177
478.153 94.784
1.105.781
250.619 188.325
9.933
147.471 111.229
161.912
455.900 135.944
188.332
56.651 73.764
39.583
115.167 81.996
90.996
17.577
728.061
138.101 72.755
46.782
181.640 51.117
436.601
2.541 43.729
1.068
49.801 21.631
25.817
32.612 33.359
24.226
86 8.932
2.773
3.538 11.794
11.633
-
40,9
43 40,7
23,8
37,9 53,9
39,4
1 23,2
10,7
33,7 19,4
15,9
7,1 24,5
12,8
0 12,1
7
3 14,4
12,7
0
Sulawesi Selatan 6.237.171 1.928.597 30,9
2. Arahan Pengelolaan Kawasan Perlindungan Setempat
Kawasan perlindungan setempat menurut jenisnya meliputi : kawasan sempadan pantai, kawasan sempadan sungai, kawasan sempadan danau, kawasan konservasi ekologis, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan benda cagar budaya serta kawasan rawan bencana.
23
a. Kawasan Sempadan Pantai
Kawasan pantai diarahkan pada kawasan sepanjang pantai wilayah daratan dan kepulauan yang termasuk dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Arahan pengelolaan sempadan pantai diarahkan untuk melindungi wilayah pantai yang berada pada kawasan minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat dari aktifitas yang dapat merusak ekosistemnya. b. Kawasan Sempadan Sungai
Pengelolaan sempadan sungai diarahkan untuk melindungi sungai dari kegiatan yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai dan kondisi fisik tepi dan dasar sungai.
Secara umum Kawasan sempadan sungai dibagi menurut ukuran sungai, yaitu sungai besar seperti Sungai Saddang, Bila, Walanae, Jeneberang, Larona, dan
Maros diberi sempadan 100 meter di kiri kanannya yang diukur dari tepi sungai. Sedangkan sungai kecil diberi sempadan 50 meter di kiri dan kanannya. Khusus untuk sungai yang melalui daerah perkotaan (permukiman), sempadan sungainya
cukup 10 – 15 meter kiri kanannya. Dengan perlakukan tertentu melalui intervensi teknologi yang tepat seperti
pembangunan tanggul beton sehingga fungsi lindungnya dapat disetarakan dengan kawasan sempadan diatas, maka ketentuan jarak sempadan sungai seperti tersebut diatas dapat lebih kecil.
Pengelolaan kawasan sempadan sungai yang bersifat lintas kabupaten, yaitu sungai Jeneberang, Saddang, Bila, Walanae, Siwa, Awo, Gilirang, Minralang, Tangka, Kelara, Tallo, Kariango, Mambi, Mandar, Maloso, Bialo, Pappa, Tamanroya dibawah
koordinasi Pemerintah Propinsi.
Kegiatan budidaya yang dapat dilakukan di kawasan sempadan sungai sepanjang tidak mempengaruhi fungsi lindungnya terhadap ekosistem sungai tersebut, antara
lain adalah budidaya pertanian tanaman tahunan. c. Kawasan Sempadan Danau
Pengelolaan sempadan danau diarahkan untuk melindungi danau dari kegiatan yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air dan kondisi fisik tepi dan dasar danau.
Kawasan sempadan danau diarahkan di kawasan tepi Danau Matano, Mahalona, Towoti, Tempe, Sidenreng, Masapi, Wowantor, Baya, Ujung Lampulung, dan
24
Lampako. Kawasan sempadan danau adalah antara 50 – 100 meter dari titik
permukaan air tertinggi ke arah darat. Tata cara penetapan garis sempadan danau diberlakukan pula untuk kawasan
sekitar waduk yang telah ada dan yang direncanakan, seperti untuk Waduk Bili-Bili, Mong, Bontosunggu, Baliase, Gilireng, Kelara, Karangloe, Kalola dan lain-lain.
Kegiatan budidaya yang diperbolehkan berada di kawasan sempadan danau sepanjang tidak mengganggu ekosistem danau, yaitu pertanian tanaman tahunan atau budidaya tanaman kehutanan. 3. Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Benda Cagar Budaya
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam meliputi taman wisata alam, cagar alam, taman buru, suaka margasatwa, dan taman nasional, dengan luas
kawasan sebesar 795.284,25 ha.(lihat Tabel 4.2). a. Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam meliputi cagar alam, taman nasional, suaka margasatwa, taman wisata alam dan taman buru.
• Cagar Alam
Sebagai upaya untuk melestarikan beberapa kondisi alam beserta spesies tumbuhan yang ada di dalamnya maka perlu ditetapkan kawasan cagar alam. Jumlah kawasan cagar alam di wilayah Sulawesi Selatan adalah 11 kawasan yang lokasinya tersebar
beberapa kabupaten, diantaranya terdapat di wilayah kabupaten Maros, Luwu dan Luwu Utara.
• Taman Nasional
Berdasarkan kekhasan ekosistem terumbu karang beserta flora dan fauna laut yang
dimiliki sehingga perlu dijaga kelestarianya, maka kawasan Taman Laut Takabonerate di wilayah kabupaten Selayar bagian selatan ditetapkan sebagai Taman Nasional. Taman laut ini dikenal sebagai salah satu taman laut terindah di
dunia.
• Taman Hutan Raya
Dalam upaya mempertahankan kelestarian kawasan hutan yang berada di wilayah administrasi Kota Parepare, maka kawasan ini ditetapkan sebagai taman hutan raya dengan nama Taman Hutan Raya Alita.
25
Tabel 4.2
Kawasan Cagar Alam di Sulawesi Selatan NO NAMA
LOKASI
(KAB/KOTA) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Cagar Alam Bantimurung Cagar Alam Karaenta Cagar Alam Bulusaraung Cagar Alam Faruhumpenai Cagar Alam Kalaena Cagar Alam Ponda-Ponda Cagar Alam Gunung Mambuliling Cagar Alam Sumarorong Cagar Alam Nanggala I dan II Cagar Alam Pegunungan Latimojong Cagar Alam Sumpangbita
Maros Maros Gowa Luwu Utara Luwu Utara Luwu Utara Polewali Mamasa Polewali Mamasa Tana Toraja Luwu Pangkep
• Suaka Marga Satwa
Dalam upaya melestarikan beberapa jenis species binatang yang terdapat di Sulawesi Selatan, maka ditetapkan 12 kawasan suaka margasatwa yang tersebar beberapa kabupaten, diantaranya berada di wilayah kabupaten Takalar, Polewali Mamasa dan Selayar (lihat tabel 4.3).
Tabel 4.3
Suaka Marga Satwa di Sulawesi Selatan NO NAMA
LOKASI (KAB/KOTA)
1
2
3 4
5
6 7
8
9 10
11
12
Suaka Margasatwa Ko’mara
Suaka Margasatwa Bonto Bahari
Suaka Margasatwa Mampie dan Lampoko Suaka Margasatwa Kanan Massupu
Suaka Margasatwa Jolle
Suaka Margasatwa Tappalang Suaka Margasatwa Pegunungan Takkekale
Suaka Margasatwa Danau Tempe
Suaka Margasatwa Maiwa Suaka Margasatwa Pulau Kakabia
Suaka Margasatwa Lambego Kalao
Suaka Margasatwa Pulau Togo-Togo
Takalar
Bulukumba
Pomas Polmas
Soppeng
Mamuju Majene
Wajo dan Soppeng
Enrekang Selayar
Selayar
Pangkep
• Taman Wisata Alam dan Taman Buru
Berdasarkan keunikan alam dan ekosistem yang dimiliki dan dapat dijual sebagai salah satu obyek wisata, beberapa kawasan pulau dan pegunungan dan danau di Sulawesi Selatan dapat dijadikan Taman Wisata Alam, seperti Pulau Kapoposang, Pulau Samalona, Pegunungan Malino dan Danau Matano (lihat tabel 4.4).
26
Beberapa kawasan yang memiliki jenis satwa yang dapat dijadikan sebagai obyek perburuan telah ditetapkan sebagai Taman Buru. Untuk mempertahankan keberadaan satwa di dalam kawasan tersebut, maka lingkungan kawasan ini juga perlu dijaga dan dipelihara. Beberapa kawasan yang ditetapkan sebagai taman buru antara lain adalah Taman Buru Ko’mara dan Taman Buru Rampi (lihat tabel 4.4). • Kawasan Benda Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan
Dalam upaya menjaga dan melestarikan benda-benda peninggalan masa lalu, serta adat istiadat, kebiasaan dan tradisi suku masyarakat Sulawesi Selatan, beserta lingkungannya, maka beberapa kawasan ditetapkan sebagai kawasan benda cagar budaya dan ilmu pengetahuan. Beberapa diantaranya adalah Kawasan Gua Leang-leang, Perkampungan Suku Kajang dan lokasi pembuatan perahu Phinisi (lihat tabel 4.5).
Tabel 4.4
Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Buru
NO
NAMA
LOKASI (KAB/KOTA)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
TWA Kapoposang TWA Lembah Tirasa TWA Taka Pulau Badi TWA Pulau Bone Batang TWA Pulau Kodingareng TWA Pulau Bone Pute TWA Pulau Samalona TWA Pulau Larearea TWA Pulau Sanrobengi TWA Pulau Kamarrang TWA Barukku TWA Kepulauan Balabangan TWA Buttu Mapongka TWA Pulau Namboh Laki TWA Ulu Anambi terletak TWA Mirring terletak TWA Malino terletak TWA Bantimurung TWA Lejja TWA Danau Matano, Towuti dan Mahalona TWA Jompie Taman Buru Ko’mara Taman Buru Maccondang Taman Buru Butu Nepo-Nepo Taman Buru Rampi Taman Buru Tana Malona Taman Buru Tangkuliya
Pangkajene Kepulauan Pinrang Pangkajene Kepulauan Makassar Makassar Makassar Makassar Sinjai Takalar Pinrang Sidenreng Rappang Mamuju Tana Toraja Selayar Polewali Mamasa Polewali Mamasa Gowa Maros Soppeng Luwu Utara Pare-Pare Takalar Soppeng Sidenreng Rappang Luwu Utara Selayar Selayar
27
Tabel 4. 5
Kawasan Benda Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan NO
NAMA
LOKASI (KAB/KOTA)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Gua Leang-leang Balla Lompoa Jera Lompoe Gojeng Benteng Tellu Lempoe Kuburan Batu Benteng Rotterdam Benteng Somba Opu Ujung Batu Mesjid Tua Katangka Mesjid Tua Palopo Bola Soba Goa Mampu Kawasan Adat Kajang Kawasan Adat Budaya Kaluppini Pembuatan Perahu Phinisi
Maros Gowa Soppeng Sinjai Sinjai Tana Toraja Makassar Gowa Barru Gowa Luwu Bone Bone Bulukumba Enrekang Bulukumba
4. Kawasan Rawan Bencana Alam
Berdasarkan kejadian bencana alam yang pernah terjadi di Sulawesi Selatan dan diperkirakan akan terjadi kembali pada masa yang akan datang pada lokasi yang
sama atau di sekitarnya, maka beberapa kawasan ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana. Penetapan kawasan ini bertujuan untuk meniadakan/ mengurangi dampak dan kerugian yang pernah ditimbulkan atau yang diperkirakan akan muncul
apabila bencana sejenis terjadi di masa datang. Sesuai dengan bentuk kejadian bencana alamnya, maka kawasan rawan bencana
terdiri dari : kawasan rawan gempa, gerakan tanah, potensi tsunami, rawan longsor dan aliran pasir.
Pemanfaatan ruang di kawasan tersebut diarahkan pada kegiatan masyarakat yang diperkirakan tidak akan menimbulkan kerugian materi yang berarti atau korban jiwa apabila bencana alam terjadi. Kawasan permukiman tidak disarankan untuk berlokasi
di kawasan ini, sedangkan bangunan yang mungkin dibangun adalah bangunan konstruksi semi permanen dan temporer atau bangunan dengan konstruksi yang dapat bertahan terhadap bencana yang mungkin timbul.
28
a. Kawasan Pusat Gempa Kawasan yang potensial menjadi pusat kejadian gempa adalah : • daerah Taccipi Kabupaten Bone • sekitar kota Watampone
• sekitar pantai Kabupaten Pinrang • sekitar Kabupaten Majene • sekitar Kabupaten Polmas
• sekitar Kabupaten Tana Toraja • sekitar Kabupaten Luwu • sekitar Kabupaten Mamuju
b. Wilayah Pengaruh Kegempaan Kawasan yang potensial menjadi wilayah pengaruh kegempaan (zona seismik) yang
cukup berat, yaitu dengan nilai koefisien 2,11 adalah di wilayah Kabupaten Pinrang, Polmas, Majene, Tana Toraja, Enrekang, Luwu dan Mamuju.
c. Potensi Tsunami Kawasan yang berpotensi untuk terjadinya tsunami adalah kawasan pantai kabupaten Majene, Polmas dan Pinrang serta kawasan pantai bagian utara
kabupaten Mamuju. d. Gerakan Tanah Kawasan yang memiliki potensi gerakan tanah adalah di Kabupaten Luwu, Mamuju, Tator, Polmas, Majene, Enrekang, Sidrap, Soppeng, Barru, Maros, Sinjai dan Bone.
e. Longsor bahan Rombakan (Debris Slide) Lokasi kawasan yang memiliki potensi Longsor bahan rombakan (debris slide) adalah di Kabupaten Majene, Tator, Sidrap, Soppeng, Gowa dan Jeneponto.
f. Longsor Bongkah
Lokasi Kawasan yang memiliki potensi untuk Longsor bongkah adalah di Kabupaten
Majene, Pinrang dan Enrekang.
g. Runtuhan batu (Rock fall)
Lokasi kawasan yang memiliki potensi untuk Runtuhan batu (rock fall) adalah di Kabupaten Pinrang dan Maros.
29
h. Aliran Pasir (Sand run)
Lokasi kawasan yang memilki potensi untuk Aliran Pasir (sand run) di Kabupaten Enrekang.
Secara umum pemanfaatan kawasan rawan bencana dapat dilihat pada Lampiran II.
B. Arahan Pengelolaan Kawasan Budidaya
Kawasan budidaya dapat diartikan sebagai wilayah yang dapat dibudidayakan dan difungsikan untuk kepentingan pembangunan dalam bentuk kegiatan usaha berbagai
sektor atau sub sektor pembangunan yang terkait. Kriteria kawasan budidaya adalah ukuran yang meliputi daya dukung, aspek-aspek yang mempengaruhi sinergi antar kegiatan dan kelestarian lingkungan. Penetapan kawasan budidaya dapat
dikelompokkan ke dalam dua kriteria, yaitu kriteria sektoral dan kriteria ruang. Kriteria teknis sektoral kawasan budidaya adalah suatu kegiatan dalam kawasan yang memenuhi ketentuan-ketentuan teknis seperti daya dukung, kesesuaian lahan,
bebas bencana, dan lain-lain. Sedangkan kriteria ruang kawasan budidaya menentukan pemanfaatan ruang kegiatan budidaya yang menghasilkan nilai sinergi terbesar untuk kesejahteraan masyarakat dan tidak bertentangan dengan kelestarian
lingkungan. Pengelolaan kawasan budidaya adalah suatu pendekatan dalam mengelola
kawasan-kawasan di luar kawasan lindung agar pemanfaatannya dilakukan secara optimal, selaras, dan serasi dengan kawasan lindung dalam mewujudkan pembangunan daerah.
Penetapan suatu kawasan budidaya dengan fungsi utama tertentu, selain mengacu pada kriteria harus mempertimbangkan faktor-faktor lain, yaitu :
a. Lingkungan buatan, sosial, dan interaksi antar wilayah b. Tahapan, pembiayaan, dan pengelolaan pembangunan serta pembinaan
kemampuan kelembagaan
c. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi budidaya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya serta fungsi pertahanan dan keamanan
Berdasarkan fungsinya, kawasan budidaya dikelompokkan ke dalam kawasan hutan produksi, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, danau, pesisir laut dan kepulauan. Suatu kawasan budidaya dengan fungsi utama tertentu dapat dilakukan
30
kegiatan budidaya yang lainnya sepanjang memenuhi persyaratan pemanfaatan
seperti tertera Lampiran IV. 1. Arahan Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi
Pengelolaan hutan produksi dilakukan dengan pemanfaatan hutan dan pelestarian hasil (kayu dan non kayu), sehingga diperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan ekologi yang maksimal bagi masyarakat yang tinggal atau di sekitar kawasan hutan.
Orientasi pengelolaan hutan produksi ke depan adalah pengelolaan hutan produksi melalui peningkatan investasi dan daya saing yang dilakukan oleh badan usaha atau koperasi.
Prinsip pengelolaan hutan produksi adalah suistainable yield management, partisipatif dan tetap memperhatikan aspek lingkungan secara berkesinambungan.
Selain itu, kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan sudah bergeser dari bobot utama timber management menjadi konsep yang mengarah pada bobot multi purpose forest management.
Total luas kawasan hutan produksi mencapai 1.014.911 ha, terbagi atas tiga jenis, yaitu hutan produksi terbatas (828.255 ha), hutan produksi biasa (186.666 ha), dan
hutan produksi yang dapat dikonversi (102.073 ha). a. Hutan Produksi Terbatas
Hutan produksi terbatas adalah hutan produksi yang hanya dapat dieksploitasi dengan cara tebang pilih. Hutan produksi terbatas tersebar di semua kabupaten
kecuali di Kabupaten Takalar. Proporsi luasan terbesar terdapat di Kabupaten Mamuju (258.570 ha), Kabupaten Luwu (244.621 ha), Kabupaten Polmas (55.265 ha), dan Kabupaten Bone (91.161 ha). b. Hutan Produksi Biasa
Hutan produksi biasa adalah hutan produksi yang dapat dieksploitasi baik secara tebang pilih maupun tebang habis. Hutan produksi biasa terdapat di Kabupaten Mamuju (62.600 ha), Kabupaten Luwu (39.611 ha), Kabupaten Maros (25.765 ha),
dan Kabupaten Gowa (22.109 ha). c. Hutan Produksi Konversi
Hutan produksi konversi adalah hutan produksi bebas yang dapat diubah untuk kepentingan di luar bidang kehutanan seperti transmigrasi, pertanian, perkebunan,
31
industri, dan permukiman. Hutan produksi konversi terdapat di Kabupaten Mamuju
(78.433 ha) dan Kabupaten Luwu (23.630 ha).
2. Arahan Pengelolaan Kawasan Pertanian
Pengelolaan kawasan pertanian diarahkan pada pembangunan kawasan sentra produksi yang dapat memadukan pembangunan pertanian dan pembangunan
industri. Agar suatu kawasan pertanian dapat tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan dan berkelanjutan sebagai suatu sentra produksi sehingga dapat diandalkan sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi daerah dan peningkatan
pendapatan masyarakat maka harus memenuhi persyaratan wilayah yang dijadikan kriteria sentra produksi, yaitu : • Wilayah yang memiliki potensi dan kemampuan daya dukung untuk menunjang
fungsi kawasan sebagai sentra produksi. Ketersediaan luas dan kualitas lahan dapat mendukung kegiatan pembangunan secara menyeluruh dalam kawasan. Potensi fisik dan agroklimat dapat sesuai untuk mendukung fungsi pembentukan
kawasan. • Ketersediaan fasilitas infrastruktur dan aksesibilitas kawasan untuk mendukung
peningkatan produksi kawasan secara berkelanjutan.
• Ketersediaan fasilitas pengadaan air bersih/air baku untuk menunjang kelangsungan pembangunan kawasan dalam jumlah yang sesuai kebutuhan jangka waktu tertentu.
• Ketersediaan fasilitas drainase, sistem drainase yang dapat mengelola limbah menjadi bahan yang tidak menganggu lingkungan.
• Kesiapan dan ketersediaan sumberdaya manusia sebagai pelaku pelaksana
pembangunan dalam hal ini kesiapan petani dalam penguasaan teknologi pembudidayaan, pengolahan, dan pemasaran.
• Kondisi serta kepastian beruasaha berupa perlindungan bagi pengembangan
bisnis dan industri yang terkait dengan fungsi kawasan secara luas. • Kemudahan dan keterbukaan bagi pengembangan lembaga permodalan dan
lembaga ekonomi dalam mendukung kawasan secara mikro maupun makro
secara berkelanjutan. Pendekatan sektoral dalam pengelolaan kawasan pertanian diupayakan untuk
meningkatkan optimasi penggunaan ruang dan sumberdaya wilayah dalam hubungannya dengan pemanfaatan, produktifitas, dan kelestarian lingkungan.
32
3. Arahan Pengelolaan Kawasan Pertambangan
Pemanfaatan sumberdaya tambang secara bijaksana dan berkelanjutan telah dapat menyediakan bahan baku untuk berbagai jenis industri dalam negeri. Potensi sumberdaya tambang baik energi maupun mineral di wilayah Sulawesi Selatan cukup
besar namun masih banyak yang belum dimanfaatkan atau dikelola secara optimal baik yang telah dieksplorasi maupun yang sedang dieksploitasi.
Pengelolaan hasil tambang seyogyanya didukung oleh industri yang maju yang berorientasi pada pemanfaatan teknologi agar mampu meningkatkan nilai tambah penerimaan daerah, disamping tetap meng-upayakan perladangan dan pembinaan
terhadap usaha/pertambangan sekala kecil dan pengelolaan bahan galian yang tidak vital dan tidak strategis dalam rangka perluasan lapangan kerja.
Pendayagunaan sumberdaya mineral dilakukan secara berencana, rasional, optimal, bertanggung jawab, memperhatikan kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat setempat dan senantiasa memenuhi persyaratan AMDAL, UPL, dan UKL sehingga
kelestarian kualitas dan fungsi lingkungan hidup dapat terus dijaga. 4. Arahan Pengelolaan Kawasan Perindustrian
Pembangunan industri dimaksud untuk memperkuat ekonomi wilayah dengan berkembangnya keterkaitan yang kuat dan saling mendukung antar sektor. Pembangunan agroindustri, pengolahan berskala kecil, dan menengah telah
berperan dalam mendukung program pengwilayahan komoditas, menciptakan lapangan kerja, sekaligus menjadi salah satu penggerak utama dalam pembangunan daerah.
Pembangunan industri diarahkan untuk memperkuat struktur industri, khususnya industri yang terkait dengan sektor pertanian (agroindustri), industri kecil, dan
menengah, serta industri kerajinan dan industri rumah tangga yang dilakukan dengan mengembangkan iklim investasi yang kondusif dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi dan kualitas lingkungan hidup.
5. Arahan Pengelolaan Kawasan Pariwisata Arahan pengelolaan pariwisata adalah pengembangan kawasan wisata terpadu yang
bersifat lintas wilayah dan sektor pembangunan dengan mengandalkan obyek wisata budaya, alam dan bahari yang memiliki keunikan dan kekhasan dalam lingkup propinsi, nasional maupun internasional.
33
Sesuai dengan peran pemerintah propinsi dalam era otonomi daerah, maka kegiatan
promosi yang dilaksanakan lebih ditujukan pada obyek/kawasan wisata yang telah memiliki citra (image) di lingkup propinsi, nasional maupun internasional. Pengelolaan obyek/kawasan wisata bersifat lokal menjadi tanggung jawab
pemerintah kabupaten/kota terkait. 6. Arahan Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut
Wilayah pesisir dan laut didefinisikan sebagai daerah pertemuan (interface) antara lingkungan daratan dan laut yang ke arah laut sampai sejauh pengaruh lingkungan
darat masih dijumpai dan sebaliknya ke arah darat sampai sejauh pengaruh lingkungan laut masih dijumpai/dirasakan.
Sesuai dengan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka wilayah laut yang menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi hanya yang berada antara 4 hingga 12 mil dari daratan.
Konsep dasar pengelolaan wilayah pesisir dan laut Daerah Propinsi Sulawesi Selatan diarahkan pada Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Terpadu dan
Berkelanjutan (Integrated Coastal Zone Management and Planning), hal ini dilakukan untuk mewujudkan keserasian, kolaborasi harmonis, dan sinergis, antara kepentingan ekonomi (economic sight), pemberdayaan masyarakat (community
empowerment) serta pemeliharaan lingkungan hidup (enviromental conservation) dalam suatu kelembagaan yang terpadu (institution integrated).
4.3 Arahan Pengembangan Kawasan
Arahan pengembangan kawasan meliputi arahan pengembangan kawasan budidaya,
arahan pengembangan kawasan pesisir dan laut, arahan pengembangan kawasan andalan dan kawasan penunjang pertahanan, system kota-kota dan arahan pengembangan prasarana wilayah.
A. Arahan Pengembangan Kawasan Budidaya Arahan pengembangan kawasan budidaya diarahkan untuk kegiatan produksi, yang
meliputi pengembangan kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan pertambangan, kawasan perindustrian, kawasan pariwisata dan kawasan danau, pesisir, laut dan kepulauan.
34
1. Arahan Pengembangan Kawasan Hutan Produksi Pengembangan kawasan hutan produksi dapat meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan daerah, akan tetapi harus tetap mem-perhatikan fungsi dan kelestarian lingkungan hidup. Keterlibatan masyarakat setempat, rehabilitasi, dan reboisasi
hutan yang harus dilaksanakan secara optimal. Meskipun pemanfaatannya secara umum dikuasai oleh negara khususnya pemerintah daerah, tetapi pengembangannya harus tetap memperhatikan kepentingan masyarakat setempat.
Pengembangan kawasan hutan produksi adalah peningkatan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan rehabilitasi hutan, khususnya pada areal tidak produktif
dan bekas kebakaran. Selain itu, diversifikasi produk hutan harus terus ditingkatkan. Sasaran akhir yang ingin dicapai dari pengembangan kawasan hutan produksi
adalah terciptanya hutan yang lestari dengan prioritas ecolabel terhadap produksi hasil hutan. Pengembangan kawasan hutan produksi berdasarkan jenisnya di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan diarahkan yaitu :
a. Hutan Produksi Terbatas, ke wilayah kabupaten Gowa, Maros, Jeneponto,
Bantaeng, Selayar, Sinjai, Bone, Soppeng, Barru, Pare-pare, Sidenreng
Rappang, Pinrang, Polewali Mamasa, Majene, Enrekang, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu, Mamuju dan Pangkajene Kepulauan.
b. Hutan Produksi Biasa, ke wilayah kabupaten Gowa, Maros, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Selayar, Bone, Soppeng, Wajo, Bulukumba, Luwu Utara,Enrekang, Luwu, Mamuju dan Pangkajene Kepulauan.
c. Hutan Produksi yang dapat dikonversi, ke wilayah Kabupaten Luwu Utara, dan
Mamuju
2. Arahan Pengembangan Kawasan Pertanian
Pengembangan kawasan pertanian perlu ditingkatkan terutama dalam bidang
pangan. Pada tahun 2003 diperkirakan kebutuhan akan beras mencapai 32.3 juta ton sementara kemampuan produksi juga diperkirakan 32.3 juta ton (Agenda 21, 1999). Hal ini dapat diantisipasi dengan peningkatan dan penganekaragaman hasil
pertanian. Orientasi pengembangan kawasan pertanian adalah tercapainya swasembada di
semua komoditas pertanian. Namun hal ini sangat berat terutama pada pencapaian
35
produksi pertanian daripada peningkatan yang seimbang atas pendapatan
masyarakat petani yang sebagian besar di pedesaan. Upaya-upaya yang dilakukan pada garis besarnya berupa pengembangan sentra-
sentra komoditas pertanian unggulan pada kawasan yang sesuai secara agro-ekologis dengan luas areal yang memenuhi skala ekonomi. Penetapan sentra-sentra pengembangan dilakukan tanpa memperhatikan batas administrasi kabupaten.
Selain itu, terdapat peluang pasar lokal, antar pulau dan ekspor, memiliki keunggulan komparatif dan tersedianya sarana dan prasarana penunjangnya.
Sentra-sentra pengembangan komoditas pertanian yang meliputi komoditi pertanian perkebunan, peternakan, dan perikanan, ditentukan berdasarkan perwilayahan komoditas dan Grateks-2 yang disesuaikan dengan kondisi agroklimat masing -
masing daerah. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka pengembangan sentra-sentra pertanian diarahkan menurut jenis dan komoditinya, yaitu : a. Kawasan sentra pengembangan pertanian lahan sawah diarahkan pada
wilayah lahan sawah di kabupaten Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Luwu, Luwu Utara, Gowa, Maros dan Takalar.
b. kawasan sentra pertanian lahan kering untuk dataran rendah diarahkan pada
kawasan yang terletak di kabupaten, Takalar, Bantaeng, Jeneponto, Bulukumba, Sinjai, sedangkan untuk dataran tinggi di wilayah Kabupaten Gowa, Tana Toraja dan Enrekang.
c. kawasan sentra perkebunan, khususnya pengembangan komoditi unggulan, yaitu : § Kopi : diarahkan ke wilayah kabupaten Mamuju, Majene,
Polewali Mamasa, Enrekang, Gowa dan Tana Toraja. § Kakao : diarahkan ke wilayah kabupaten Majene, Mamuju,
Polewali Mamasa, Luwu dan Luwu Utara.
§ Lada dan Vanili : diarahkan ke wilayah kabupaten Sinjai, Bulukumba dan Bantaeng, Enrekang
§ Kelapa Sawit : diarahkan ke wilayah kabupaten Mamuju dan Luwu
Utara § Cengkeh : diarahkan ke wilayah kabupaten Luwu, Wajo,
Sidenreng Rappang, Enrekang, Tana Toraja, Bone,
Sinjai, Bulukumba dan Bantaeng. § Kapas : diarahkan ke wilayah kabupaten Gowa, Takalar,
Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai Bone,
Soppeng dan Wajo.
36
§ Jambu Mete : diarahkan ke wilayah kabupaten Maros, Pangkajene
Kepulauan, Barru, Sidenreng Rappang dan Selayar
d. kawasan sentra kawasan peternakan (ternak besar) diarahkan di Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Majene, Polewali Mamasa, Wajo, Sidenreng
Rappang, Pinrang, Bulukumba, Sinjai, Bone, Barru, Selayar, Soppeng, Enrekang, Maros dan Tana Toraja.
e. kawasan sentra perikanan diarahkan ke : § kawasan perikanan tangkap di kabupaten Polewali Mamasa, Majene,
Mamuju, Bone, Sinjai, Bulukumba, Selayar dan Pangkajene Kepulauan.
§ kawasan perikanan budidaya air payau ke kabupaten Pinrang, Polewali Mamasa, Mamuju, Takalar, Bulukumba, Wajo, Luwu, Bone, Luwu Utara, Maros, Pangkajene Kepulauan dan Jeneponto.
§ kawasan perikanan air tawar diarahkaan ke kabupaten Gowa, Tana Toraja, Enrekang, Soppeng, Sidenreng Rappang dan Wajo.
§ kawasan perikanan budidaya laut diarahkan ke kabupaten Barru, Pare-
Pare, Takalar, Jeneponto, Selayar, Mamuju dan Polewali Mamasa.
3. Arahan Pengembangan Kawasan Pertambangan
Sektor pertambangan terbagi atas dua menurut jenis dan sumberdayanya, yaitu energi dan sumberdaya mineral. Arahan pengembangan kedua jenis tambang
tersebut adalah sebagai berikut : a. Energi • pertambangan gas alam di daerah Gilireng kabupaten Wajo • pertambangan minyak bumi di Pasangkayu kabupaten Mamuju, Selayar, dan
Luwu Utara
• pertambangan batubara di kabupaten Mamuju, Soppeng, Enrekang, Bone, Pangkajene Kepulauan, Barru, Maros.
• pertambangan panas bumi di kabupaten Tana Toraja, Polewali Mamasa,
Sidenreng Rappang dan Sinjai.
b. Sumberdaya Mineral
• pertambangan besi terletak di Larona kabupaten Luwu Utara, Maros dan pasir besi di kabupaten Takalar, Jeneponto dan Selayar.
• pertambangan nikel terletak di Soroako kabupaten Luwu Utara
• pertambangan tembaga terletak di Sangkaropi dan Sasak kabupaten Tana Toraja
37
• pertambangan emas terletak di kecamatan Bastem kabupaten Luwu, kecamatan
Kalumpang dan Pasangkayu kabupaten Mamuju, Sasak dan Uluwai di Kabupaten Tana Toraja, Pulau Tanah Jampea kabupaten Selayar dan kecamatan Tompobulu, Bungaya kabupaten Gowa.
• pertambangan mangan terletak di kecamatan Tanete Riaja kabupaten Barru, kecamatan Ponre, kecamatan Libureng dan kecamatan Bontocani kabupaten Bone.
• pertambangan marmer terletak di kecamatan Bantimurung kabupaten Maros, kecamatan Bungoro dan kecamatan Balocci kabupaten Pangkajene Kepulauan, Bone, Barru, Enrekang dan Luwu Utara.
• pertambangan khromit di daerah Komara, Lasitae, B. Mareno kecamatan Barru dan kecamatan Tanete Riaja kabupaten Barru.
• pertambangan belerang di Balantung kabupaten Sinjai
• pertambangan timah hitam terletak di kabupaten Gowa, Tana Toraja, dan Mamuju.
• pertambangan pasir kuarsa di kabupaten Maros, Pangkajene Kepulauan, Barru,
Bone, Pinrang dan Sidenreng Rappang. • pertambangan batu kapur dan tanah liat di kecamatan Bungoro kabupaten
Pangkajene Kepulauan dan kecamatan Bantimurung kabupaten Maros.
4. Arahan Pengembangan Kawasan Perindustrian
Pengembangan kawasan perindustrian dibagi menjadi 5 kawasan perindustrian, yaitu industri hasil pertanian, industri hasil pertambangan, industri pengolahan, industri maritime/perahu layar, industri garam. Arahan pengembangan kelima jenis kawasan perindustrian tersebut adalah sebagai berikut : • kawasan industri pertanian (agroindustri) di kota Pare-pare, kabupaten Luwu,
Bone, Mamuju,Wajo, Soppeng, Enrekang dan Bulukumba. • kawasan industri hasil pertambangan di wilayah-wilayah yang potensial sebagai
kawasan pertambangan
• kawasan industri pengolahan di kota Makassar, Gowa, Maros dan kota Parepare • kawasan industri maritim/perahu layar di kabupaten Bulukumba, Majene, dan kota
Makassar,
• kawasan industri garam di kabupaten Jeneponto
5. Arahan Pengembangan Kawasan Pariwisata
Dimasa yang akan datang pariwisata masih merupakan sektor unggulan yang diharapkan memberikan kontribusi yang berarti bagi perekonomian di wilayah Sulawesi Selatan. Jenis wisata yang dapat dijadikan andalan adalah wisata budaya,
alam dan bahari.
38
Mengingat peran pemerintah propinsi dalam era otonomi lebih ditiikberatkan pada kegiatan promosi dan mendukung obyek-obyek wisata yang potensial, maka arahan pengembangan obyek/kawasan wisata adalah mengembangkan obyek/kawasan
wisata yang telah memiliki citra (image) baik dalam lingkup propinsi, nasional maupun internasional. Obyek/kawasan wisata yang prioritas dikembangkan dikelompokkan dalam 4 kawasan, yaitu :
• Kawasan Wisata Makassar, yang meliputi obyek wisata di wilayah kota Makassar, kabupaten Gowa, Maros dan Pangkajene Kepulauan. Obyek andalan yang ditawarkan dalam kawasan ini antara lain adalah Benteng Rotterdam,
Benteng Somba Opu, Malino, TWA Pulau Kapoposang, Pulau Samalona, Gua Leang-leang bersama gua-gua bersejarah lainnya di pegunungan kapur sepanjang wilayah Kabupaten Maros Pangkajene Kepulauan serta wisata MICE
(Meeting, Insentive, Conference dan Exebition) di gedung/hotel di kota Makassar.
• Kawasan Wisata Tana Toraja, yang meliputi obyek wisata di wilayah kabupaten Tana Toraja, Enrekang, Luwu dan Polewali Mamasa. Obyek andalan di kawasan
ini antara lain adalah upacara kematian, kuburan batu dan keindahan alam di Tana Toraja, keindahan alam Enrekang dan Mamasa serta bangunan bersejarah di kota Palopo.
• Kawasan Wisata Bulukumba, yang meliputi obyek wisata di wilayah kabupaten Bulukumba. Obyek andalan antara lain adalah Pantai Bira, Kawasan Adat Masyarakat Kajang dan Pembuatan Perahu Phinisi.
• Kawasan wisata Selayar, yang meliputi obyek wisata di wilayah kabupaten Selayar dengan obyek andalan adalah Taman Laut Takabonerate.
Obyek/kawasan wisata lainnya diharapkan dapat berkembang dengan adanya kegiatan promosi wisata di keempat kawasan diatas. Diharapkan wisatawan yang datang dapat memperpanjang waktu kunjungannya di setiap kawasan wisata
tersebut diatas untuk menikmati obyek wisata lainnya. Perencanaan dan pengembangan kawasan pariwisata diharapkan dapat
diformulasikan dengan menitikberatkan pada pendekatan partisipatif terhadap masyarakat lokal sehingga kepentingannya sejauh mungkin dapat terakomodasi dan dapat memperoleh kesempatan terlibat dalam implementasinya.
39
B. Arahan Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Danau dan Kepulauan
Secara umum arahan pengembangan kawasan pesisir, laut, danau dan kepulauan di Sulawesi Selatan adalah :
• mengembangkan kawasan danau, pesisir, laut dan kepulauan secara terpadu dengan kawasan daratannya.
• memanfaatkan potensi sumber daya danau, pesisir, laut dan kepulauan dengan
memperhatikan aspek lingkungan. • mengikutsertakan masyarakat lokal dalam pemeliharaan kekayaan kawasan
danau, pesisir, laut, dan kepulauan.
• pengembangan kawasan danau, pesisir dan laut diarahkan untuk kegiatan budidaya air payau, air tawar, budidaya laut dan kawasan pariwisata.
Secara khusus, kawasan pesisir dan laut diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki melalui kegiatan budidaya pesisir dan laut
dengan teknologi yang tepat sehingga dapat menunjang fungsi kawasan, dan penyediaan sarana dan prasarana serta kelembagaan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Kawasan pengembangan kawasan pesisir dan laut meliputi dua jenis kawasan, yaitu : 1) kawasan budidaya pesisir dan laut dan 2) kawasan perikanan tangkap.
Kegiatan budidaya pesisir dan laut diarahkan untuk : (i) meningkatkan produksi hasil budidaya, (ii) meningkatkan kontribusi budidaya pesisir dan laut terhadap
pembangunan daerah, (iii) meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir, dan (iv) meminimalkan konflik dalam hal pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Kegiatan budidaya pesisir dan laut yang dapat dikembangkan adalah budidaya pertambakan (aquaculture area) dengan udang sebagai komoditas unggulan dan
budidaya laut dengan rumput laut sebagai komoditas unggulannya. Pengembangan komoditi udang berada di wilayah Kabupaten Pinrang, Polmas, Bulukumba, Selayar, Sinjai, Bone, Luwu dan Luwu Utara. Sedangkan pengembangan rumput laut berada
di wilayah laut kabupaten Takalar, Mamuju, Majene dan Polmas. Pengembangan kawasan untuk kegiatan perikanan tangkap sesuai dengan arahan
pengembangan kawasan perikanan (lihat butir 4.3 A.2).
Pengembangan kawasan danau termasuk bendungan diarahkan sebagai lokasi budidaya ikan air tawar dan pariwisata. Danau dan bendungan yang berpotensi
40
dikembangkan adalah Danau Tempe, Danau Matano dan Towuti serta Bendungan
Bilibili. Khusus Danau Tempe yang terkait langsung dengan wilayah Kabupaten Wajo dan Soppeng dan tidak langsung dengan wilayah Kabupaten Sidrap dan Enrekang, maka pengembangannya dilakukan secara terpadu dalam sistem Daerah Aliran
Sungai (DAS) Bila dan Walanae. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan kepulauan,
khususnya kepulauan terpencil di wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan dan Selayar, pengembangan kawasan pulau-pulau terpencil diarahkan melalui peningkatan aksesibilitas ke daerah daratan, tidak hanya aksesisbilitas fisik tetap
juga aksesibilitas perdagangan, peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya di bidang pendidikan, kesehatan dan pelayanan air bersih. C. Pengembangan Kawasan Andalan
Salah satu strategi pengembangan wilayah untuk mempercepat peningkatan
pertumbuhan pembangunan adalah dengan menetapkan 6 (enam) kawasan andalan yang diharapkan dapat saling bersinergi dalam mendukung pencapaian tujuan pengembangan wilayah secara keseluruhan, yaitu :
a. Kawasan Andalan Makassar dan sekitarnya
Kawasan andalan Makassar dan sekitarnya merupakan kawasan yang memiliki tingkat perkembangan paling tinggi di Sulawesi Selatan. Pengembangan kawasan ini
berada dalam satu sistem pengembangan yang meliputi kota Makassar sebagai pusat pelayanan dan wilayah kabupaten Maros, kabupaten Gowa, kabupaten Takalar dan kabupaten Pangkajene Kepulauan. Berdasarkan potensinya, maka
pengembangannya diarahkan dengan fungsi utama kawasan sebagai pusat pengembangan jasa, perdagangan, industri, pendidikan dan pariwisata.
b. Kawasan Andalan Parepare dan sekitarnya.
Kawasan ini merupakan kawasan pengembangan Ajatappareng yang meliputi kota Pare-pare kabupaten Barru, Sidenreng Rappang, Pinrang, dan Enrekang dengan pusat pelayanan berada di kota Pare-pare. Pengembangan kawasan ini
dititikberatkan pada kegiatan pertanian, khususnya tanaman pangan, perkebunan, peternakan, agro industri dan jasa perdagangan. Dalam konteks pengembangan wilayah nasional dikenal dengan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
(KAPET) Pare-pare.
41
c. Kawasan Andalan Bulukumba dan sekitarnya.
Kawasan ini merupakan kawasan pengembangan wilayah bagian selatan yang meliputi kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Sinjai dan Selayar dengan pusat pelayanan berada di kota Bulukumba. Sesuai dengan potensinya, maka
pengembangannya dititikberatkan pada kegiatan pengembangan tanaman perkebunan, agro industri, industri maritim/ perahu layar, serta pariwisata.
d. Kawasan Andalan Watampone dan sekitarnya
Kawasan ini merupakan kawasan pengembangan wilayah sebelah timur yang meliputi kabupaten Bone, Soppeng dan Wajo dengan pusat pelayanan berada di Kota Watampone. Berdasarkan potensinya, maka titikberat pengembangan kawasan
adalah tanaman pangan, agro industri, perikanan darat dan perikanan laut serta jasa/perdagangan. Kawasan ini dikenal dengan Kawasan BOSOWA.
d. Kawasan Andalan Mamuju dan sekitarnya
Kawasan ini merupakan kawasan pengembangan wilayah utara bagian barat yang meliputi kabupaten Mamuju, Majene dan Polewali Mamasa dengan pusat pelayanan berada di kota Mamuju. Berdasarkan potensinya, maka titikberat pengembangan
kawasan adalah kegiatan agro industri, industri pengolahan kayu, hasil hutan lainnya, perkebunan dan perikanan laut. Kawasan ini dikenal dengan Kawasan POLEMAJU.
e. Kawasan Andalan Palopo dan sekitarnya.
Kawasan ini merupakan kawasan pengembangan wilayah utara bagian timur yang meliputi kabupaten Luwu, Luwu Utara, Tana Toraja dengan pusat pelayanan berada di kota Palopo. Berdasarkan potensinya, maka titikberat pengembangan kawasan
pengembangan komoditi pertanian tanaman pangan, perkebunan, pariwisata, agro industri serta industri pengolahan kayu dan hasil hutan lainnya.
D. Kawasan Penunjang Pertahanan
Dalam rangka mewujudkan sistem pertahanan negara di wilayah Sulawesi Selatan,
pihak militer, khususnya Tentara Nasional Indonesia telah memiliki rencana tata ruang yang menetapkan beberapa kawasan untuk kegiatan yang berkaitan dengan pertahanan wilayah, antara lain yaitu kawasan pertempuran, kawasan pendaratan,
kawasan latihan, dan lain-lain. Berdasarkan sifatnya yang sangat strategis tersebut, maka sosialisasi rencana tata
ruang pertahanan sangat terbatas, tetapi dalam hal pemanfaatan ruang kawasan
42
penunjang pertahanan tetap berkoodinasi dengan aparat pemerintah kabupaten/kota
terkait Adapun arahan umum pengembangan kawasan pertahanan :
a. berdasarkan kepentingan pertahanan, maka ditetapkan beberapa kawasan yang disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Pertahanan.
b. pemanfaatan ruang kawasan pertahanan dikoordinasikan kepada pihak yang
berwenang/ berkompeten. c. kawasan yang dimaksud dalam butir a ditetapkan dengan Surat Keputusan
Gubernur.
E. Pengembangan Sistem Kota-Kota
Mengingat kondisi pertumbuhan perkotaan yang meningkat cukup cepat dalam dasa warsa terakhir serta adanya peran masing-masing kota terhadap wilayah sekitarnya (hinterland), maka kota-kota di Sulawesi Selatan harus dapat meningkatkan peran
dan fungsinya sekaligus membentuk sistem kota-kota yang solid. Arahan pengembangan sistem kota-kota adalah :
a. memperkuat fungsi kota sebagai Pusat Pelayanan Nasional (PPN) untuk kota Makassar, Pusat Pelayanan Antar Wilayah (PPAW) untuk kota Parepare, Watampone, Palopo, Bulukumba dan Mamuju.
b. mengembangkan interaksi positif diantara kota-kota tersebut pada butir a dan dengan wilayah perdesaan sekitarnya sebagai suatu sistem pengembangan wilayah.
c. mengembangkan kota dengan prinsip layak huni, memiliki nilai kompetisi tinggi dan memiliki nilai ekonomi tinggi
d. mengembangkan wilayah dalam kawasan metropolitan MAMMINASATA sebagai
suatu sistem pembangunan perkotaan dibawah koordinasi pemerintah propinsi.
F. Arahan Pengembangan Prasarana Wilayah
Prasarana wilayah adalah seluruh prasarana dasar yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah Sulawesi Selatan. Prasarana
wilayah terdiri dari prasarana transportasi, pengairan, energi, telekomunikasi dan air bersih.
43
1. Prasarana Transportasi
Pengembangan sistem prasarana transportasi diarahkan untuk meningkatkan aksesibilitas penduduk dan hasil kegiatan pembangunan, pelaku pembangunan dan pelaku ekonomi terhadap pusat-pusat kegiatan produksi dan pemasaran, baik yang
berada di dalam maupun di luar wilayah Propinsi Sulawesi Selatan yang dilakukan dengan meningkatkan dan mengembangkan prasarana transportasi darat, laut dan udara.
Selain tujuan diatas, pengembangan transportasi diarahkan untuk meningkatkan aksesibilitas antar propinsi dalam kerangka perwujudan sistem pengembangan
wilayah Pulau Sulawesi. a. Transportasi Darat
Prasarana transportasi darat merupakan suatu sistem prasarana wilayah yang terdiri atas jaringan jalan, terminal bis dan terminal penyeberangan yang memungkinkan
terwujudnya sistem pelayanan transportasi darat terpadu. (i) Jaringan Jalan
Arahan pengembangan jaringan jalan dilakukan dengan menetapkan fungsi ruas jalan yang mendukung pergerakan internal dan eksternal barang dan manusia di wilayah Sulawesi Selatan. • Jalan Arteri Primer Jaringan jalan ini berfungsi menghubungkan ibukota propinsi dengan ibukota propinsi lainnya di Pulau Sulawesi. Jaringan jalan yang mendukung fungsi ini adalah :
§ Makassar – Pare-pare - Mamuju – Palu (Sulteng) § Makassar – Pare-pare – Siwa - Palopo- Poso (Sulteng) § Makassar – Pare-pare – Siwa – Palopo – Malili - Kolaka (Sultra)
§ Makassar – Watampone – Bajoe – Kolaka (Sultra) § Makassar – Bulukumba – P. Selayar – Reo (NTT) § Makassar – Bulukumba – Bau-bau (Sultra)
• Jalan Kolektor Primer
Jalan kolektor primer berfungasi menghubungkan antar kota dalam wilayah yang
meliputi lebih dari satu kabupaten/Kota. Jaringan jalan yang berfungsi sebagai kolektor primer di Sulawesi Selatan tercantum dalam tabel berikut 4.6.
44
Tabel 4.6
Ruas Jalan Fungsi Kolektor Primer
JALUR JALAN § Sungguminasa –Tondong – Sinjai
§ Bulukumba – Tanete – Tondong
§ Palangga – Sapaya – Malakaji – Jeneponto
§ Boro - Loka – Bantaeng
§ Sinjai – Bojo – Watampone
§ Bojo – Ujung Lamuru – Takalala
§ Tanabatue – Sanrego
§ Pekkae – Takalala – Cabbenge – Soppeng
§ Soppeng – Pangkajene – Rappang –
Pinrang
§ Cabbenge – Salonro – Pompanua
§ Watampone – Ulugalung – Sengkang
§ Sengkang – Impa Impa – Tarumpakae
§ Impa Impa – Anabanua
§ Polewali – Mamasa – Makale
§ Malauwe – Surakan – Tuppu
§ Bangkae – Rappang – Enrekang
§ Enrekang – Makale – Palopo
§ Palopo – Bastem – Sidrap
§ Malili – Towuti – Luwuk Banggai
§ Kalukku – Batuisi – Rantepao
§ Mamuju - Limbong – Sabbang
§ Tanete – Tanaberu
§ Kajang – Sinjai
§ Solo – Peneki – Kulampu
§ Tongke tongke – Borong borong -
Appatana
(ii) Prasarana Terminal Angkutan Umum Bis/Non Bis
Terminal angkutan umum, khususnya terminal regional, merupakan prasarana pendukung pergerakan penduduk di dalam maupun keluar daerah. Sesuai dengan
fungsinya sebagai tempat koleksi dan distribusi barang dan penumpang angkutan regional, maka lokasi Terminal Regional (Tipe A) diletakkan pada Kota Makassar, Parepare, Mamuju, Palopo Watampone dan Bulukumba. Sedangkan untuk terminal
tipe B dan C yang melayani pergerakan lokal, menjadi tanggung jawab kabupaten/kota masing-masing. (iii). Prasarana Pelabuhan Penyeberangan
Pelabuhan penyeberangan merupakan bagian dari rangkaian sistem transportasi darat, baik yang melayani pergerakan penyeberangan dalam propinsi maupun ke luar propinsi.
• Penyeberangan antar propinsi :
§ BajoE - Kolaka (Sultra)
§ Mamuju – Balikpapan (Kaltim)
§ Bira – Baubau (Sultra)
§ Parepare – Banjarmasin (Kalsel)
45
§ Selayar (Appatana) – Reo (NTT)
§ Siwa – Batunong (Sultra)
§ Makassar – Surabaya (Jatim)
• Penyeberangan dalam propinsi :
§ Bulukumba – Selayar
(iv) Jaringan Kereta Api
Dalam upaya meningkatkan pelayanan angkutan jarak jauh yang lebih ekonomis, khususnya angkutan barang berupa hasil produksi pertanian, perkebunan dan
pertambangan, kereta api merupakan salah satu alternatif yang dapat dikembangkan. Rencana jangka panjang ini tidak hanya mempertimbangan kebutuhan aksesibilitas di wilayah propinsi Sulawesi Selatan semata, tetapi juga
dalam rangka meningkatkan aksesibilitas kelima propinsi di Pulau Sulawesi Pengembangan jaringan kereta api juga akan diperuntukkan bagi peningkatan
pelayanan angkutan umum massal (mass transport) antar kota di Kawasan Metropolitan Mamminasata.
Rencana jalur kereta api yang akan dibangun adalah :
§ Makassar – Parepare – Mamuju – Palu (Sulteng)
§ Makassar – Parepare – Palopo – Palu (Sulteng)
§ Makassar – Takalar – Bulukumba – Bone
§ Antar Kota di Kawasan Metropolitan MAMMINASATA
b. Transportasi Laut
Arahan pengembangan prasarana transportasi laut menitikberatkan pada
peningkatan pelayanan pelabuhan laut yang telah ada. Pelabuhan yang dimaksud
adalah sebagai berikut :
• Pelabuhan Makassar (Pelabuhan Soekarno-Hatta) sebagai pelabuhan
Internasional dan pelabuhan Nasional sebagai pelabuhan utama sekunder dan
pelabuhan utama tersier.
• Pelabuhan Pare-pare sebagai pelabuhan Nasional yang merupakan pelabuhan
utama tersier.
46
• Pelabuhan Belang-Belang (Mamuju), pelabuhan Palopo, Sinjai dan Bulukumba
sebagai pelabuhan regional yang merupakan pelabuhan penumpang primer.
• Pelabuhan laut lokal yang melayani angkutan laut lokal yang tersebar di semua
kabupaten yang mempunyai pesisir.
c. Transportasi Udara
Pengembangan bandar udara ditujukan bagi peningkatan aksesibilitas ibukota propinsi dengan beberapa daerah tertentu di dalam wilayah propinsi Sulawesi Selatan dan peningkatan aksesibilitas Sulawesi Selatan dengan wilayah lain di
Kawasan Timur khususnya maupun Indonesia bahkan internasional.
Bandar udara yang perlu ditingkatkan pelayanannya di masa depan adalah sebagai berikut : a. bandar udara Hasanuddin Maros - Makassar sebagai bandar udara
internasional dan domestik dengan status bandar udara pusat penyebaran. b. bandar udara Pongtiku (Tana Toraja), Tampa Padang (Mamuju), Aroepala
(Selayar), Andi Jemma, Soroako, Seko dan Rampi (Luwu Utara), Karang-karangan (Luwu) sebagai bandar udara domestik yang melayani rute :
§ Makassar - Tana Toraja – Sulawesi Tenggara
§ Makassar – Selayar – Nusa Tenggara Timur § Makassar – Luwu Utara – Sulawesi Tengah § Makassar – Mamuju – Kalimantan Timur
§ Makassar – Luwu – Sulawesi Tengah
2. Prasarana Irigasi
Dalam menunjang pengembangan kegiatan pertanian sebagai sektor yang menjadi andalan Sulawesi Selatan, khususnya pertanian lahan basah dan pertambakan,
maka pengembangan prasarana irigasi menjadi salah satu prasarana wilayah yang harus mendapat perhatian. Sesuai dengan fungsinya, maka pengembangan prasarana irigasi dikelompokkan menjadi :
1. Irigasi sawah yang meliputi 2 sistem wilayah : • Sistem irigasi yang melayani wilayah kabupaten Bone, Soppeng, Wajo,
Sidenreng Rappang, Pinrang, Luwu dan Luwu Utara
• Sistem irigasi diluar wilayah kabupaten di atas ada diprioritaskan pada kegiatan rehabilitasi dan pengembangan irigasi kecil.
2. Irigasi tambak yang meliputi kabupaten Bone, Jeneponto, Luwu, Mamuju, Maros,
Pinrang, Polewali Mamasa, Takalar, Bulukumba, Luwu Utara, Pangkajene Kepulauan dan Wajo.
47
3. Prasarana Energi Listrik
Dalam upaya meningkatkan pelayanan distribusi energi listrik di Sulawesi Selatan dan untuk mewujdkan sistem jaringan listrik interkoneksi Pulau Sulawesi, maka
arahan pengembangan prasarana energi listrik adalah : • mengoptimalkan kapasitas pembangkit tenaga listrik yang telah ada, khususnya
PLTA Bakaru.
• peningkatan pelayanan listrik untuk seluruh kawasan andalan, khususnya kawasan metropolitan MAMMINASATA dan KAPET Parepare
• penambahan daya listrik dengan pembangunan pembangkit tenaga listrik baru
melalui kerjasama dengan swasta. • Perluasan jaringan transmisi tenaga listrik (jaringan tegangan tinggi) dari pusat
pembangkit menuju pusat-pusat beban dengan pola sistem interkoneksi.
4. Prasarana Telekomunikasi
Arahan pengembangan prasarana telekomunikasi di Sulawesi Selatan dititikberatkan pada perluasan jaringan, jenis dan peningkatan kualitas pelayanan melalui : • peningkatan jumlah satuan sambungan telepon di setiap kawasan andalan • peningkatan pelayanan fasilitas telekomunikasi pada kawasan wisata Makassar,
Tana Toraja, Bulukumba dan Selayar. • kerjasama dengan sektor swasta dalam perluasan jaringan dan peningkatan
pelayanan di bidang telekomunikasi
5. Prasarana Air Bersih
Dalam mewujudkan pelayanan air bersih yang dapat menjangkau seluruh penduduk, khususnya di daerah perkotaan, maka pengembangan air bersih dimasa depan harus dikelola dengan manajemen secara lebih profesional. Tanpa melupakan fungsi
sosialnya melayani kelompok masyarakat miskin, pertimbangan bisnis sudah harus menjadi factor utama perusahaan dalam memberikan pelayanan air bersih kepada masyarakat.
Arahan pengembangan air bersih adalah : • pengembangan sistem pelayanan air baku dan air bersih secara terpadu.
• peningkatan pelayanan air bersih dengan penambahan kapasiatas produksi air • peningkatan pelayanan air bersih melalui kerjasama antar daerah dan kerjasama
dengan swasta, khususnya untuk kawasan metropolitan MAMMINASATA.
48
4.4 Kebijaksanaan Tata Guna Tanah dan Tata Guna Air
Sejalan dengan perkembangan pembangunan, permintaan terhadap sumber daya alam, khususnya sumber daya tanah semakin besar, sementara itu potensinya semakin terbatas. Luas tanah yang dapat dimanfaatakan untuk kegiatan seperti
pertanian dan perkebunan semakin berkurang. Disamping kuantitasnya yang berkurang, pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan kemampuannya menyebabkan munculnya lahan-lahan kritis di Sulawesi Selatan, seperti di hulu DAS.
Kebijaksanaan tata guna tanah ditujukan untuk mengoptimalkan nilai lahan sesuai dengan potensi dan fungsi lahan melalui :
• perencanaan penggunaan lahan yang mempertimbangkan aspek fisik, ekonomi, sosial dan lingkungan
• mengurangi luas lahan kritis
• memanfaatkan lahan-lahan tidur bagi kepentingan rakyat. Sumber daya air merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Sama halnya
dengan sumber daya tanah, potensi sumber daya ini semakin berkurang dari tahun ke tahun akibat kesalahan pemanfaatannya. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah kesalahan manusia dalam memanfaatkan lahan, khususnya di hulu daerah
aliran sungai. Disamping kuantitasnya, kualitas air selalu menjadi masalah utama di daerah perkotaan yang membutuhkan air bersih dan memenuhi standar kesehatan.
Oleh karena itu kebijaksanaan tata guna air ditujukan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan air bersih dan irigasi bagi penduduk dan aktifitasnya melalui : • pengelolaan lahan terpadu di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan pesisir
sebagai suatu ekosistem. • pengelolaan lahan dalam Daerah Aliran Sungai yang meliputi 2 (dua) wilayah
kabupaten atau lebih, yaitu Jeneberang, Saddang, Bila, Walanae, Siwa, Awo,
Gilirang, Minralang, Tangka, Kelara, Tallo, Kariango, Mambi, Mandar, Maloso, Bialo, Pappa, Tamanroya berada di bawah koordinasi pemerintah propinsi.
• meminimalkan pencemaran air, baik di darat maupun di laut, termasuk dampak
negatif dari penambangan bahan galian golongan C di sungai. • mengembangkan pola kerjasama dua atau lebih daerah yang berada di satu
Daerah Aliran Sungai dalam hal pemanfaatan lahan di hulu dan hilir.
LAMPIRAN