7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
1/84
Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Air adalah unsur terpenting bagi hidup manusia. Kualitas air yang baik dan
kuantitas yang cukup sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia.
Begitu pentingnya air, telah menjadikan akses terhadap air bersih sebagai hak
asasi manusia1. Akses terhadap air bersih juga menjadi salah satu target dari
Millenium Development Goals (MDGs)2 yang harus tercapai pada tahun 2015, yang
ditandatangani oleh 189 negara termasuk Indonesia pada tahun 2000.
Bagi Indonesia, banyak tantangan yang dihadapi untuk merealisasikan hal
tersebut. Salah satunya adalah meningkatnya kebutuhan air bersih akibatpeningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan seperti
pertanian dan industri. Pada sisi yang lain, ketersediaan air bersih secara kuantitas
semakin langka akibat kondisi daerah tangkapan air dan daerah retensi air yang
semakin kritis serta secara kualitas pun ketersediaan air bersih mengalami
pengurangan karena pencemaran air permukaan dan air tanah.
Tantangan lain yang dihadapi adalah masih terbatasnya kemampuan
penyedia layanan air bersih untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Beberapa laporan dari lembaga-lembaga internasional menunjukkan kondisi
akses masyarakat terhadap air bersih. World Health Organization (2003),menyatakan bahwa dari 217 juta penduduk Indonesia dengan komposisi sekitar
44% tinggal di perkotaan dan 56 % tinggal di pedesaan, 78% penduduk memiliki
akses atas air dari sumber yang aman (improved water), tetapi hanya 17% rumah
tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Di wilayah perkotaan, sekitar 89%
penduduk memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 31% rumah tangga di
perkotaan yang tersambung dengan PDAM. Sedangkan untuk wilayah pedesaan
sekitar 69% memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 5% rumah tangga
yang memiliki sambungan ke PDAM. Data SUSENAS dengan kategori akses
terhadap air minum yang dikutip oleh Bank Dunia (2004), mengindikasikan bahwa
dari penduduk yang memiliki akses atas air bersih, sekitar 52% memiliki sumber
air pribadi (pompa, sumur, dan lainnya), 25% memiliki akses terhadap sumber air
yang dimiliki bersama (hidran air umum) dan hanya 15 % yang bergantung pada
utilitas publik3.
Pada tahun 2006, akses rumah tangga terhadap air perpipaan di daerah
perkotaan baru mencapai 30,8%, sedang di pedesaan sebesar 9% (Laporan
1General Comment No.15 yang diadopsi secara menyeluruh pada November 2002 oleh Committee on Economics, Social and
Cultural Rights menyatakan : The human right to water entitles to sufficient, safe, acceptable, physically accessible andaffordable water for personal and domestic use.2
MDGs Target 10: Mengurangi separuh dari proporsi penduduk tanpa akses terhadap air minum dan sanitasi dasar pada tahun2015 (to halve by 2015, the proportion of people without sustainable access to safe drinking water and basic sanitation)3
Fabby Tumiwa, Menjamin Hak Rakyat Atas Air: Alternatif Sumber dan Mekanisme Pembiayaan Infrastruktur Air di Indonesia,2006, www.kruha.org
1
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
2/84
Indonesia
Pencapaian Pembangunan Millenium, 2007). Cakupan pelayanan PDAM pada
tahun 2006, mencapai 30,6% dengan rata-rata tingkat kebocoran sebesar
41,31%4. Dari ukuran pelanggan, lebih dari 85% PDAM memiliki pelanggan kurang
dari 10.000 dan hanya 4 % yang memiliki pelanggan di atas 50.000, sedangkandari aspek kesehatan finansial, berdasarkan data dari 260 PDAM pada tahun 2007,
hanya 18% PDAM yang berada dalam kondisi sehat, sisanya berada dalam kondisi
kurang sehat dan tidak sehat.5 Selain cakupan pelayanan yang masih rendah,
beberapa permasalahan umum yang dihadapi oleh PDAM di Indonesia adalah
kualitas air dan pelayanan yang semakin menurun terutama setelah krisis
ekonomi, yang diakibatkan tertundanya perbaikan dan perawatan untuk
memotong pengeluaran operasi. Effisiensi operasi dan keuangan PDAM
mengindikasikan bahwa PDAM belum mengoptimalkan asset yang mereka miliki
yang berakibat pada rendahnya efisiensi dan kinerja usahanya.
Tantangan selanjutnya yang dihadapi Indonesia untuk dapat menjamin
akses masyarakat terhadap air bersih adalah keterbatasan pembiayaan yang
dimiliki oleh Pemerintah. Dalam upaya mencapai target MDGs pada tahun 2015,
dibutuhkan investasi sebesar Rp 43 triliun, sedangkan kemampuan pembiayaan
pemerintah pusat sebesar Rp 500 milyar/tahun6.
Gambaran situasi di atas, sedikit banyak menunjukkan bahwa dibutuhkan
kerja keras bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap
air bersih. Proposal yang telah diajukan yang mencakup strategi pencapaian
target 10 MDGs adalah melakukan intervensi-intervensi yang mencakup perluasanakses air bersih baik di perkotaan maupun pedesaan, peningkatan kualitas
layanan, memperkenalkan teknologi baru dan memperluas partisipasi sektor
swasta (private sector participation/PSP).
Dalam kerangka inilah kemudian PSP menjadi perdebatan. Pro dan kontra
terhadap keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan layanan air bersih terus
mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Perdebatan yang terjadi tidak hanya
terjadi pada tataran ideologi, namun juga terjadi pada tataran praktis termasuk
perdebatan tentang terminologi yang digunakan. Kelompok pendukung PSP
berpendapat bahwa partisipasi sektor swasta berbeda dengan privatisasi, karenaPSP tidak bertujuan untuk mengambil alih asset perusahaan publik kepada swasta.
Selain itu kelompok pendukung PSP juga meyakini bahwa dengan PSP akan
meningkatkan efektifitas dan efisiensi layanan air bersih termasuk mengatasi
keterbatasan pembiayaan yang dimiliki oleh pemerintah melalui investasi yang
ditanamkan oleh sektor swasta.
4Presentasi Basah Hernowo (BAPPENAS) dalam Diskusi Terbatas Pembiayaan Air Bersih di Indonesia; Peluang dan Tantangan
Yang Dihadapi, yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), 29 Agustus 20075
Presentasi Direktorat Permukiman dan Perumahan, Bappenas, dalam Diskusi Pembiayaan Air Minum yang diadakan olehIndonesia Water Dialogue, 24 Juli 20086
Presentasi BPP SPAM dalam Diskusi Terbatas Pembiayaan Air Bersih di Indonesia; Peluang dan Tantangan Yang Dihadapi, yangdiselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), 29 Agustus 2007
2
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
3/84
Indonesia
Di lain pihak, kelompok penentang PSP berpendapat bahwa PSP merupakan
bagian dari skema global untuk menerapakan resep-resep ekonomi neoliberal. PSP
dipandang akan menghilangkan kedaulatan negara dan rakyat, pengambil alihan
asset kepada Multinational Corporations (MNCs), dan pengalihan tanggung jawabpenyediaan layanan dasar dari sektor publik kepada sektor swasta. Para
penentang juga berpendapat bahwa PSP tidak berbeda dengan privatisasi dan
pada tingkatan praktis tidak ada bukti yang signifikan bahwa pengelolan air oleh
swasta akan lebih baik jika dibandingkan dengan pengelolaan air oleh publik.
Bahkan pengelolaan air oleh swasta dipandang akan semakin menjauhkan akses
masyarakat terhadap air.
Situasi perdebatan seperti inilah yang mendorong terbitnya buku ini. Buku
ini merupakan konsolidasi dari beberapa literatur yang membahas tentang PSP
baik yang pro maupun kontra dan data-data yang terkait dengan PSP serta tidakbermaksud untuk mencari siapa yang paling benar dalam konteks perdebatan
PSP tersebut.
Secara umum uraian dalam buku ini akan terbagi dalam empat bab. Bab
pertama merupakan pengantar umum terhadap situasi penyediaan air bersih di
Indonesia dan perdebatan umum PSP di sektor air bersih. Bab kedua merupakan
uraian terhadap kontroversi PSP di sektor air, latar belakang yang mendasari
kontroversi tersebut, dan bukti-bukti empiris mengenai PSP di sektor air bersih
serta berbagai isu penting seputar PSP. Bab ketiga menguraikan berbagai fakta
seputar PSP di Indonesia, termasuk sejarah keterlibatan swasta dalam penyediaanair minum di Indonesia, regulasi terhadap keterlibatan swasta tersebut, tinjauan
atas kerjasama swasta dan PDAM serta bagaimana keterlibatan swasta lokal dan
masyarakat dalam hal penyediaan air minum. Bab keempat merupakan penutup
yang akan merangkum berbagai pandangan terhadap PSP di dalam National
Working Group on PSP Review dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan kunci
bagi kajian lebih lanjut.
3
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
4/84
Indonesia
BAB II
KONTROVERSI di SEPUTAR PSP
2.1. Air: Barang Publik atau Barang Ekonomi ?
Pada Januari 1992, berlangsung International Conference on Water and
Environment di Dublin Irlandia. Konferensi tersebut menghasilkan empat butir
prinsip - yang kemudian dikenal dengan Dublin Principles -, yang salah satunya
adalah water has an economic value in all its competing uses and should be
recognized as an economic good. Within this principle, it is vital to recognize first
the basic right of all human beings to have access to clean water and sanitation atan affordable price. Past failure to recognize the economic value of water has led
to wasteful and environmentally damaging uses of the resources. Managing water
as an economic good is an important way of achieving efficient and equitable
use, and of encouraging conservation and protection of water resources.
Cara pandang baru terhadap air menjadi awal pertarungan paradigma
tentang siapa yang memiliki air, bagaimana memahami fungsi air dan
pengunaannya. Terlebih setelah banyak organisasi internasional memberikan
dukungannya terhadap cara pandang baru terhadap air, seperti yang dikatakan
oleh Budds dan McGranahan (2003), In the wake of Dublin, many internationalorganizations realigned their position in the water sector, and the World Bank
came to play a central role in developing and promoting new approaches
consistent with its interpretation of the Dublin Principles, in particular the
treatment of water as an economic good. Bilateral development agencies also
started to promote private sector participation in their recipient countries,
including DFID and USAID
Bagi kelompok penentang privatisasi, memberlakukan air sebagai barang
ekonomi dipandang akan memperluas keterlibatan swasta dalam penyediaan
layanan air bersih. In the years following Dublin, the concept of water as an
economic good has been used to challenge traditional approaches to government
provision of basic water services. Economist seized upon the idea to argue that
water should be treated as a private good, subject to corporate control, financial
rule, market forces, and competitive pricing. Kelompok penentang juga
berpendapat bahwa secara turun temurun air diperlakukan sebagai hak asasi
hak yang muncul dari kodrat manusia, kondisi historis, kebutuhan dasar atau
gagasan tentang keadilan (Shiva, 2002), sehingga keterlibatan swasta di sektor air
akan mengancam hak asasi atas air.
Pada sisi yang lain, kelompok pendukung privatisasi berpendapat bahwa
jika suatu produk tersedia gratis, maka fungsi pasar yang seharusnya
4
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
5/84
Indonesia
mengalokasikan sumber-sumber daya secara efisien tidak akan tercapai. Artinya
tidak ada jaminan ketersediaan air sebanding dengan tingkat konsumsi yang
dilakukan. Orang cenderung untuk memanfaatkan air secara berlebihan. Cara
yang bisa dilakukan oleh Pemerintah untuk mengendalikan hal tersebut adalahdengan membatasi penggunaannya melalui peraturan, pajak, atau dengan
memberlakukannya sebagai private good yaitu barang yang bersifat excludable
dan rival (Mankiw, 2001). Pendukung privatisasi juga berpendapat banyak
kejadian dimana pengelolaan oleh publik cenderung menerapkan harga rendah
sehingga tidak mampu mempertahankan kualitas layanan jaringan yang ada,
apalagi meningkatkan jangkauan pelayanan (Gray, 2000). Meskipun harga rendah
yang dikatakan bermanfaat bagi penduduk miskin, dalam kenyataannya tidak
membantu penduduk miskin karena mereka belum terlayani sehingga harus
mencari sumber lain dengan harga yang jauh lebih mahal (Walker dkk, 2000).
Menariknya, diantara pro kontra tentang keterlibatan swasta dalam
penyediaan layanan air bersih, terdapat kelompok yang mencoba bersikap lebih
pragmatis terhadap kehadiran swasta dalam penyediaan air bersih. Kelompok ini
berpendapat bahwa air tidak bisa secara murni diperlakukan sebagai barang
publik. Air membutuhkan biaya untuk pengadaannya, sehingga juga harus
diberlakukan sebagai barang ekonomi yang harus dikelola sesuai dengan hukum-
hukum ekonomi. Seperti yang diungkapkan oleh Budds dan McGranahan (2003)
In debating the appropriate role of the private and public sectors, recognizing
water as an economic good can seem to support a strong private sector role. This
is not strictly correct, and depends on how the term economic good which is
not widely used in economics is interpreted. If economic good are taken to
mean the sort of goods idealized in economic theories of perfect markets, then
the case for private provision of economic goods is strong. But urban water
services are not economic goods in this sense any more than they are pure
public goods (and in any case, water utilities rarely operated in a competitive
market). Alternatively, if economic goods are simply taken to be goods that have
an economic value, and to which economic principles apply, then this would also
apply to public goods, and is largely irrelevant to the case for private provisioning
Dalam situasi kontroversi tersebut, Savenije (2001) mencoba
memberikan sedikit gambaran tentang karakteristik air minum, yaitu:
Air minum adalah kebutuhan dasar. Tidak ada kehidupan tanpa
air, tanpa air tidak ada proses produksi, tanpa air tidak ada lingkungan. Tidak
akan ada kegiatan manusia yang tidak tergantung pada air. Air merupakan
sumber daya penting. Hal ini membuat air menjadi khusus tetapi tidak unik.
Sama halnya dengan lahan, dan makanan.
Air minum terbatas. Jumlah air terbatas. Hanya sebagian kecil saja
air yang dapat dikonsumsi.
5
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
6/84
Indonesia
Air minum adalah barang publik. Air minum tidak dapat dimiliki
secara pribadi dan ketergantungan sosial terhadap air minum sangat tinggi.
Hal ini merupakan konsekuensi dari sifat air minum yang penting dan tidak
dapat disubstitusi. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan air minumtetapi pemerintah tidak bertanggung jawab menyediakan air secara gratis
sebagaimana sering disalahpahami.
Meskipun air mengalir tetapi sebenarnya dibatasi oleh lokasi dan
sistem tertentu. Akibatnya, air minum sering menjadi sumber perseteruan
politik antar daerah.
Terdapat biaya produksi dan biaya transaksi yang besarbahkan
jika pengaliran air menggunakan sistem gravitasi.
Pasar air minum tidak homogen. Sebagian pengguna mempunyai
kemampuan membayar yang tinggi dan mengkonsumsi dalam jumlah sedikit
(pengguna domestik dan industri), lainnya mempunyai kemampuan
membayar rendah dan menggunakan air dalam jumlah besar (petani), bahkan
lainnya tidak mempunyai kemampuan membayar (lingkungan dan penduduk
miskin). Semuanya tidak dapat digabung dalam satu pasar. Meskipun air
minum yang dibutuhkan merupakan benda yang sama tetapi karakter
permintaan berbeda. Pertukaran diantara kepentingan yang berbeda ini
sebaiknya diselesaikan melalui jalur politis dan bukan pasar.
Terdapat ketergantungan ekonomi makro antara aktivitaspengguna air. Air digunakan oleh pertanian mempengaruhi industri. Akibatnya
hubungannya menjadi rumit.
Selalu terdapat ancaman kegagalan pasar dalam penyediaan air
minum. Untuk mencapai skala ekonomi, dibutuhkan investasi besar yang
mengarah ke monopoli alamiah.
Air minum mempunyai nilai tertentu yang seringkali tidak dapat
dinilai dengan uang.
Menurut Ouyahia (2006), karakteristik dari air bersih adalah high
investment specificity, natural monopoly features of the sector, buried asset,
externalities involving public health and environment, the need for universal
provision, and location-specific. Karakteristik lain adalah 70-80 percent of water
and wastewater assets are underground (Infrastructure Canada, 2004). Hence
obtaining accurate information about them can be costly and there is generally a
lack reliable information about the condition of existing infrastructure.
6
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
7/84
Indonesia
7
Kotak 1.1Sejarah Sistem Penyediaan Layanan Air Minum
Sistem penyediaan layanan air bersih memiliki sejarah yang cukup panjang.Menurut Swyngedouw (2003), system penyediaan layanan air bersih dapat dibagidalam empat tahapan perkembangan. Tahap pertama, berlangsung sampai
pertengahan kedua abad ke-19, dimana sistem penyediaan layanan air minumdilakukan oleh perusahaan swasta kecil. Layanan yang diberikan hanya untuksebagian kecil kota khususnya daerah-daerah kaya perkotaan.
Tahapan selanjutnya adalah pada periode munisipalisasi. Menurunnyakualitas lingkungan dan munculnya kesadaran akan sanitasi lingkungan menjadipendorong utama periode ini. Periode ini juga diwarnai dengan kesadaran terhadaptanggung jawab daerah dalam penyediaan layanan dasar yang mendasar yang jikaperlu diikuti oleh subsidi tarif yang tinggi di kebanyakan negara Eropa. Pada periodeini, sistem air bersih yang pada awalnya dibangun oleh perusahaan swasta,kemudian diambil alih oleh pemerintah daerah (munisipal) di hampir semuanegara-negara Eropa, termasuk Inggris. Hanya di Perancis yang perusahaan airmilik swastanya dapat bertahan, dan karena itu satu-satunya perusahaan swasta air
raksasa di dunia adalah milik Perancis: Suez (dulunya Lyonnaise des Eaux) danVeolia (tadinya Vivendi dan the Compagnie Generale des Eaux) yang sudah berdirisejak tahun 1853. Namun proses munisipalisasi jauh lebih cepat terjadi di AmerikaSerikat ketimbang di Eropa: pada tahun 1897, sudah 82% kota-kota besar diAmerika Serikat terlayani oleh operator publik tingkat daerah.
Tahapan ketiga dimulai setelah perang dunia I, ketika air bersama denganlayanan publik lainnya seperti telekomunikasi dan listrik menjadi perhatian nasionalnegara. Pemerintah pusat dengan beragam intensitas kendali, regulasi daninvestasinya mengambil alih peran daerah pada sektor air minum. Investasi dalampengembangan infrastruktur juga menjadi bagian penting usaha mendorongpertumbuhan ekonomi dan sekaligus meredam keresahan sosial melalui kebijakanredistribusi aset dalam hal ini layanan air minum. Pada periode ini meskipunmanajemen air minum masih ada yang di tangan daerah namun pemerintah pusatpunya peranan yang besar khususnya pada pembiayaan proyek-proyekinfrastruktur dan juga intervensi peraturan. Pada periode ini mulai dibentukberbagai badan pengatur untuk berbagai kepentingan seperti kepentingan sosial,ekonomi, kualitas, dan lingkungan yang biasanya bersifat nasional.
Periode keempat, periode terakhir, dimulai saat terjadi resesi global tahun1970-an, sebuah periode yang ditandai dengan menurunnya peran negara dalammendorong pertumbuhan ekonomi. Anggaran yang terbatas dari pemerintah pusatberakibat pada berkurangnya pengeluaran untuk kesejahteraan publik dandukungan terhadap program pengembangan investasi infrastruktur. Tarif air yangrendah, investasi yang disubsidi, infrastruktur yang mulai menua, ditambahtingginya permintaan terhadap layanan air minum, memperparah tekanan terhadapanggaran pemerintah pusat. Hal ini menjadi masalah akut yang sulit dipecahkan
khususnya bagi negara berkembang. Tekanan negara pemberi hutang untukmengamankan hutangnya melalui berbagai program seperti Structural AdjustmentProgram (SAP) dan tekanan untuk memperbaiki daya saing melalui peningkatanefisiensi mendorong munculnya berbagai program pemotongan anggaran biayalayanan publik, program privatisasi dan deregulasi.
Sedangkan di negara berkembang memiliki sejarah perkembangan yangberbeda. Pada masa kolonial, negara imperialis memfokuskan penyediaan air dinegara koloninya hanya khusus untuk elit kolonial. Bahkan di Kampala (Uganda),
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
8/84
Indonesia
8
Kotak 1.2
Structural Adjustment Program (SAP)
Structural Adjustment Program (SAP) diperkenalkan pada awal tahun 1980-an olehBank Dunia (di bawah kepemimpinan Robert McNamara). Pinjaman Bank Duniadiberikan untuk periode beberapa tahun melalui program untuk mendukung secaralangsung reformasi kebijakan dan tidak lagi terkait dengan salah satu programinvestasi dalam bentuk proyek. Sejak saat itu pinjaman yang memuat komponen
SAP mendominasi portofolio pinjaman baik dari Bank Dunia maupun IMF. BankDunia mempraktekkan SAP dari sisi persediaan ekonomi, sedangkan IMFmemfokuskan diri pada sisi permintaan melalui kebijakan-kebijakan stabilisasi.
Pada tahun 1989, John Williamson ekonom dari Institute of International Economics(IIE) Washington DC, mencetuskan Washington Concensus yang berisi sepuluhrekomendasi kebijakan untuk mengatasi krisis ekonomi di Amerika Latin. Dalamperkembangannya rekomendasi tersebut diterima secara luas oleh ekonom diAmerika Serikat termasuk Depatemen Keuangan, Bank Dunia dan IMF, yangkemudian dijadikan standar kebijakan mereka. Konsensus Washingtonmenganjurkan stabilisasi ekonomi lewat kendali penyediaan mata uang danperluasan pertumbuhan dengan seperangkat ukuran demi terwujudnyapeningkatan aktifitas sektor swasta, kebijakan privatisasi pun menjadi standar Bank
Dunia dan IMF serta bank-bank pembangunan regional seperti ADB, Inter AmericaDevelopment Bank dan lainnya. Pada tahun 1990-an, SAP mengimplementasikanbeberapa prinsip Konsensus Washington dalam berbagai bentuk program yangdidanai oleh lembaga-lembaga tersebut. Secara keseluruhan, tujuan yang ingindicapai oleh lembaga-lembaga keuangan internasional melalui privatisasi adalah (i)tujuan ekonomi, yaitu meningkatkan efisiensi seluruh sektor ekonomi,meningkatkan efisiensi, produktifitas dan keuntungan perusahaan, meningkatkankualitas produk dan pelayanan, dan menarik investasi swasta; (ii) tujuan fiskal,yaitu menghapus subsidi pemerintah pada badan usaha milik negara; memperolehtambahan dana dari penjualan kepemilikan negara atas badan usaha sertameningkatkan pendapatan pajak dari badan usaha swasta; (iii) tujuan sosial politik,yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempromosikan kepemilikanbadan usaha oleh swasta nasional; meningkatkan kepemilikan properti kelas
menengah, meningkatkan pemanfaatan tenaga kerja, dan mengurangi korupsiserta penyalahgunaan di kantor publik.
Instrumen untuk mempengaruhi kebijakan dilakukan melalui mekanisme pinjamanbaik program atau proyek yang senantiasa diikuti dengan pelbagai persyaratan.Karena kebanyakan negara-negara berkembang pada umumnya sangatmembutuhkan dana pinjaman dari Bank Dunia dan IMF - selain bank-bank regionallainnya untuk menutupi defisit anggaran atau membiayai program pembangunan,maka persyaratan yang diajukan pun pada akhirnya mendapat dukungan signifikan
banyak dalam sistem air bersih dibandingkan negara-negara utara. Lebih terdorongoleh kemerdekaan dan bukan oleh industrialisasi, negara-negara ini tidak memilikidaerah yang kuat ataupun masyarakat setempat kelas menengah yang kuat,sehingga kepemilikan di tingkat pusat untuk perusahaan air bersih lebih banyakterjadi dibanding di negara-negara Utara. Di Sri Lanka, sebuah negara dengan
sejarah pembangunan yang hebat di bidang kesehatan dan pendidikan, air bersihmerupakan tanggung jawab primer Badan Usaha Milik Negara (parastatal)pemerintah pusat. Di Argentina, perluasan jaringan air di seluruh negeri dilakukanoleh penyedia layanan air milik pemerintah pusat. Namun, kesemuanya lambat launmulai terkikis, ketika Lembaga Keuangan Internasional mensyaratkan untukmelakukan privatisasi kepada negara-negara tersebut.
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
9/84
Indonesia
2.2. Privatisasi, Private Sector Participation (PSP) atau Public Private
Partnership (PPP)
Beberapa literatur menyebutkan bahwa konsep privatisasi masih belumterklarifikasi. Seperti yang diungkapkan Bailey (1987), one of the concepts in
vogue is privatization. Although the concepts itself is unclear, it might be
tentatively defined as general effort to relieves the disincentives toward efficiency
in public organizations by subjecting them to the incentives of the private
market. There are in fact several different concepts of privatization. Demikian
juga menurut Kay dan Thompson (1986) privatization is term which is used to
cover several distinct, and possibly alternative means of changing the
relationships between the government and private sector.
Namun, beberapa literatur yang lain mencoba mendefinisikan konsepprivatisasi dengan lebih jelas. Menurut Subagjo (1996) secara umum definisi
privatisasi dapat dirangkum sebagai berikut: (i) perubahan bentuk usaha dari
perusahaan negara menjadi perusahaan berbentuk perseroan terbatas, (ii)
pelepasan sebagian (besar/kecil) atau seluruh saham dari suatu perusahaan yang
dimiliki negara kepada swasta, (iii) pelepasan hak atau aset milik negara atau
perusahaan yang sahamnya dimiliki negara pada swasta, baik pelepasan untuk
selamanya (antara lain melalui jual beli, hibah atau tukar guling) maupun
pelepasan untuk sementara waktu (termasuk dengan cara Build Operate Transfer),
(iv) pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang usaha tertentu
yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah, (v) pembuat usaha patungan
9
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
10/84
Indonesia
atau kerjasama dalam bentuk lain dengan memanfaatkan aset pemerintah, serta
(vi) membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat dalam dunia usaha.
Dalam pasal 1 ayat 12 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), privatisasi adalah penjualan saham Perserobaik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan
kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat
serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.
Sedangkan Savas (1987) mendefinisikan privatisasi sebagai tindakan
mengurangi peran pemerintah, atau meningkatkan peran swasta, dalam sebuah
aktifitas atau pemilikan aset. Privatisasi dapat berbentuk umum (dikontrakkan ke
swasta atau LSM dan penyediaan sukarela) dan khusus (food stamps, housing
vouchers, and volunteer fire departments). Lebih lanjut Savas menyatakan bahwa
ada beragam tekanan atau alasan yang mendorong privatisasi. Alasan inidikelompokkan sebagai (i) pragmatis, ketika masyarakat mendefinisikan
kebutuhan akan pelayanan pemerintah yang lebih baik, (ii) ideologis, ketika
terdapat keinginan mengurangi peran pemerintah; (iii) komersil, ketika swasta
melihat kesempatan mendapatkan keuntungan dari melakukan pelayanan publik;
(iv) populis, ketika masyarakat melihat privatisasi sebagai cara menuju kondisi
masyarakat yang lebih baik.
Diana Carney dan John Farrington (1998) menyatakan bahwa privatisasi
bisa diartikan secara luas sebagai proses perubahan yang melibatkan sektor privat
untuk ikut bertanggung jawab terhadap kegiatan yang semula dikendalikan secaraeksklusif oleh sektor publik. Privatisasi termasuk di dalamnya pengalihan
kepemilikan aset produktif dari sektor publik ke swasta atau hanya sekedar
memberikan ruang kepada sektor privat untuk ikut terlibat dalam kegiatan
operasional seperti contracting outdan internal markets.
Seperti yang ditulis oleh Tumiwa dan Santono, ...dalam konteks ekonomi
politik, privatisasi adalah sebuah cara untuk memperbaiki pengelolaan dan kinerja
badan usaha serta sektor publik lainnya, termasuk mengurangi beban negara.
(Globalisasi Menghempas Indonesia: hal 137). Privatisasi bertujuan untuk
mencapai efisiensi ekonomi mikro, mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligusmengurangi kebutuhan pinjaman publik akibat defisit anggaran belanja dengan
cara mengurangi subsidi negara yang diberikan kepada BUMN7. Sedangkan
menurut Stiglitz, keuntungan ekonomi privatisasi sesungguhnya berasal dari
ketidakmampuan pemerintah dalam menyusun sejumlah komitmen , khususnya
berkompetisi dan tidak memberi subsidi8.
Dalam tulisannya yang berjudul The New Economy of Water; The Risks and
Benefits of Globalization and Privatization of Fresh Water, Gleick menyatakan
7 Lihat, Eytan Shesinski dan Luis F Lopez-Calva, Privatization and Its Benefits: Theory and Evidence, dalam CESifo EconomicsStudies, No.3, Vol.49, 20038
Lihat, Joseph E Stiglitz, Whither Socialism (Massachusetts: MIT Press, 1994)
10
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
11/84
Indonesia
privatization in the water sector involves transferring some or all of the assets or
operations of public water system into private hands.There are numeorus ways to
privatize water, such as the transfer of the responsibility to operate a water
delivery or treatment system, a more complete transfer of system ownership andoperation responsibilities, or even the sale of publicly owned water rights to
private companies. Alternatively, various combinations are possible, such as
soliciting private investment in the development of new facilities, with transfer of
those facilities to public ownership after investors have been repaid". Sedangkan
Budds dan McGranahan (2003) menyatakan Private-sector participation is used
in the literature to cover a wide range of arrangements between a government
agency and a non-public institution, but usually refers to a contractual agreement
involving a public agency and a formal (often multinational) private company. The
term privatization is also widely used but can refer to two rather different things.
It is sometimes used as a generic term to refer to increasing private sector
involment, but also specifically to the model of divesture. Public-private
partnership is common term but is rarely explicitly defined. In the water and
sanitation sector, it tends to be used to refer to contractual agreements in which
private companies assume greater responsibility and/or risk, especially through
concession contracts. Lebih lanjut Budds and McGranahan mengatakan bahwa
There are several models of private sector involvement in water and sanitation
utilities, with numerous variations, depending on the legal and regulatory
frameworks, the nature of the company and the type of contract.
Dalam Policy Briefyang diterbitkan oleh OECD (April, 2003), menyatakan
bahwa Public-Private Partnerships refer to any form agreement (partnership)
between public and private parties. They should not be misunderstood as
privatization, where the management and ownership of the water infrastructure
are transferred to the private sector. Lebih lanjut, dinyatakan Some options
keep the operations (and ownership) in public hands, but involve the private
sector in the design and constructions of the infrastructure. Other options involve
private actors in the management, operation and/or the financing asset.
Pendapat lainnya disampaikan oleh McDonald dan Ruiters, yangmenyatakan bahwa More properly known as private sector participation or as
will be used in this chapter public private partnerships, these institutional
arrangements are nevertheless a form of privatization. There is a clear transfer of
crucial decision making responsibilities from the public to the private sector and
an effective transfer of power over assets to a private company, with qualitatively
and quantitatively different rules and regulations guiding the decision that are
made and how citizens are able to access information.
Dalam perkembangannya, terdapat dua model keterlibatan swasta di sektor
air. Pertama berupa model UK yang diterapkan di Inggris dan Wales dimanakepemilikan dan pengelolaan utilitas air dilakukan oleh sektor swasta. Kedua
11
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
12/84
Indonesia
adalah model Perancis, dimana kepemilikan di tangan publik sedangkan
pengelolaannya dilakukan oleh publik atau private. Perbedaan lain dari kedua
model tersebut adalah di UK dibentuk Office of Water Services (OFWAT) sebagai
badan pengatur independen, sedangkan di Perancis economic regulatordiperankan oleh pemerintah daerah9.
Secara umum, keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air minum
dapat berbentuk:
(i) Kontrak Jasa (service contracts) .
Aspek individual dari penyediaan infrastruktur (pemasangan dan pembacaan
meteran air, operasi stasiun pompa dan sebagainya) diserahkan kepada
swasta untuk periode waktu tertentu (6 bulan sampai 2 tahun). Kategori ini
kurang memberi manfaat bagi penduduk miskin. Kontrak jasa dipergunakan
di banyak tempat seperti di Madras (India), dan Santiago (Chile).
(ii) Kontrak Manajemen .
Manajemen swasta mengoperasikan perusahaan dengan memperoleh jasa
manajemen baik seluruh maupun sebagian operasi. Kontrak bersifat jangka
pendek (3 sampai 5 tahun) dan tidak terkait langsung dengan penyediaan
jasa sehingga lebih fokus pada peningkatan mutu layanan daripada
peningkatan akses penduduk miskin. Kontrak manajemen dilaksanakan di
Mexico City, Trinidad, dan Tobago.
(iii) Kontrak Sewa-Beli (lease contracts).
Perusahaan swasta melakukan lease terhadap aset perusahaan pemerintah
dan bertanggung jawab terhadap operasi dan pemeliharaannya. Biasanya
kontrak sewa berjangka 10-15 tahun. Perusahaan swasta mendapat hak dari
penerimaan dikurangi biaya sewa beli yang dibayarkan kepada pemerintah.
Menurut Panos (1998), perusahaan swasta tersebut memperoleh bagian dari
pengumuman pendapatan yang berasal dari tagihan pembayaran. Konsep
enhanced lease diperkenalkan karena di negara berkembang dibutuhkan
investasi pengembangan sistem distribusi, pengurangan kebocoran, dan
peningkatan cakupan layanan. Perbaikan kecil menjadi tanggungjawab
operator dan investasi besar untuk fasilitas pengolahan menjadi
tanggungjawab pemerintah. Kontrak sewa-beli banyak digunakan di
Perancis, Spanyol, Ceko, Guinea, dan Senegal.
(iv) Bangun-Operasi-Alih (Build-Operate-Transfer/BOT) .
BOT dan beragam variasinya biasanya berjangka waktu lama tergantung
masa amortisasi (25-30 tahun). Operator menanggung risiko dalam
mendesain, membangun dan mengoperasikan aset. Imbalannya adalah
9 Lihat, OECD Policy Brief, Public-Private Partnerships in Urban Water Sector, April 2003,http://www.oecd.org/dataoecd/31/50/2510696.pdf
12
http://www.oecd.org/dataoecd/31/50/2510696.pdfhttp://www.oecd.org/dataoecd/31/50/2510696.pdf7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
13/84
Indonesia
berupa jaminan aliran dana tunai. Pada akhir masa perjanjian, pihak swasta
mengembalikan seluruh aset ke pemerintah. Terdapat beragam bentuk BOT.
Pelaksanaan BOT terdapat di Australia, Malaysia, dan Cina. Di bawah prinsip
BOT, pendanaan pihak swasta akan digunakan untuk membangun danmengoperasikan fasilitas atau sistem infrastruktur berdasarkan standar-
standar performance yang disusun oleh pemerintah. Masa periode yang
diberikan memiliki waktu yang cukup panjang untuk perusahaan swasta
guna mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan dalam membangun
konstruksi beserta keuntungan yang akan didapat yaitu sekitar 10 sampai 20
tahun. Pemerintah tetap menguasai kepemilikan fasilitas infrastruktur dan
memiliki dua peran sebagai pengguna dan regulator pelayanan infrastruktur
tersebut.
(v) Konsesi.
Konsesi biasanya berjangka waktu 25 tahun yang berupa pengalihan seluruh
tanggung jawab investasi modal dan pemeliharaan serta pengoperasian ke
operator swasta. Aset tetap milik pemerintah dan operator swasta
membayar jasa penggunaannya. Tarif mungkin dibuat rendah dengan
mengurangi jumlah modal yang diamortisasi, yang dapat menguntungkan
penduduk miskin jika mereka menjadi pelanggan. Konsesi dengan target
cakupan yang jelas mengarah pada layanan bagi seluruh penduduk dapat
menjadi alat yang tepat dalam memanfaatkan kemampuan swasta
meningkatkan investasi, memberikan layanan yang baik, dan menetapkantarif yang memadai. Melalui cara ini, pemerintah tetap mengatur tarif
melalui sistem regulasi dan memantau kualitas layanan. Konsesi mempunyai
sejarah panjang di Perancis, kemudian berkembang di Buenos Aires
(Argentina), Macao, Manila (Pilipina), Malaysia, dan Jakarta.
Dalam konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab dan pengelolaan
penuh kepada kontraktor (konsesioner) swasta untuk menyediakan
pelayanan infrastruktur dalam sesuatu area tertentu, termasuk dalam hal
pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan manajemennya. Konsesioner
bertanggung jawab atas sebagian besar investasi yang digunakan untukmembangun, meningkatkan kapasitas, atau memperluas sistem jaringan,
dimana konsesioner mendapatkan pendanaan atas investasi yang
dikeluarkan berasal dari tarif yang dibayar oleh konsumen. Sedangkan peran
pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan standar kinerja dan
jaminan kepada konsesioner.
(vi) Divestiture .
Kategori ini merupakan bentuk paling ekstrim dari privatisasi, yang berupa
pengalihan aset dan operasi ke swasta, baik keseluruhan maupun sebagian
aset. Pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap regulasi. Tidak banyak
13
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
14/84
Indonesia
contoh dari divestiture, hanya Inggris dan Wales melakukan dalam skala
besar (Weitz, 2002; Stottmann, 2000).
Tabel 1.
Pembagian Tanggungjawab dalam Beragam Bentuk Partisipasi Swasta
Kontrakjasa(Servicecontract)
KontrakManajemen
(Managementcontract)
Sewa-Beli
(Lease)
Konsesi(Concession)
TipeBOT
PengalihanPenuh(Divestiture)
Kepemilikan
Aset
Publik Publik Publik Publik Swasta/
publik
Private
Investasi
Modal
Publik Publik Publik Swasta Swasta Private
Resiko
komersial
Publik Publik Berbagi Swasta Swasta Private
Operasi/pe-
meliharaan
Swasta/
Publik
Swasta Swasta Swasta Swasta Private
Lama
Kontrak
1-2 tahun 3-5 tahun 8-15
tahun
25-30 tahun 20-30
tahun
Selaman
ya
Sumber: Stottman, Walter (2000) dalam Budds and McGranahan, 2003 Are Debates on WaterPrivatizations Missing The Points? Experiences from Africa, Asia and Latin America
14
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
15/84
Indonesia
15
Kotak 1.3
Komersialisasi, Privatisasi, dan Komodifikasi
Komersialisasi mengacu pada proses dimana mekanisme pasar dan praktek pasardiperkenalkan pada pengambilan keputusan operasi dari pelayanan publik, misalnyamaksimalisasi keuntungan, pemulihan biaya, dan lain-lain (McDonald andRuiter,2005).
Komodifikasi adalah proses merubah barang atau layanan yang sebelumnyamerupakan subyek yang mengikuti aturan sosial non-pasar menjadi suatu subyek
yang mengikuti aturan pasar (Gleick, 2002).
Bentuk institusi yang populer dari komersialisasi adalah korporatisasi, dimanapelayanan dibatasi menjadi unit bisnis yang berdiri sendiri yang dimiliki dandioperasikan oleh negara tetapi dijalankan dengan prinsip-prinsip pasar. Lalubagaimana kaitan antara korporatisasi dengan privatisasi?
1. Pertama dan yang terutama adalah perubahan dalam etos pengelolaan denganfokus
pada penyempitan dan pertambahan prinsip dasar keuangan jangka pendek.Sehingga perubahan budaya pengelolaan terjadi jika penyedia jasa dan pelayananyang dimiliki dan dioperasikan secara penuh oleh negara akan menjadi lebihkomersial dibandingkan dengan mitra swasta mereka, dimana manager secaraagresif mempromosikan dan menerapkan pemulihan biaya dan prinsip-prinsippasar lainnya.
2. Korporatisasi sering mempromosikan kontrak pihak ketiga (outsourcing) sebagaistrategi operasi dan cara lain dari pemotongan biaya mereka. Kondisi operasiyang kompetitif, pada akhirnya membutuhkan deregulasi (atau regulasi kembali)terhadap kendali monopoli dari pelayanan dan memperbolehkan berbagaipenyedia layanan untuk berkompetisi dengan unit khusus untuk menyediakanlayanan tertentu dengan harga yang memadai (misalnya: pembacaan meter).
3. Korporatisasi bisa menjadi pintu masuk bagi investasi langsung sektor swasta,kepemilikan atau kendali dengan membuat pelayanan publik menjadi lebih
atraktif bagi sektor swasta. Meskipun begitu perusahaan swasta tidak tertarikuntuk membeli pelayanan yang mempunyai struktur yang rumit/atau subsidisilang tersembunyi, prosedur pengambilan keputusan yang tidak fleksibel danterintegrasi secara politis atau budaya pengelolaan yang anti pasar.
Untuk dapat menjalankan privatisasi dan komersialisasi, air harus diberlakukansebagai komoditas. Seperti yang diungkapkan oleh Gleick (2002), The processes of
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
16/84
Indonesia
2.3 Pro-Kontra PSP
Perdebatan mengenai keterlibatan swasta dalam penyediaan air terjadi di
banyak negara seperti di Bolivia, India, Philipina, Korea Selatan, Brazil, Afirica
Selatan, Indonesia dan sebagainya. Tidak jarang perdebatan tersebut memicu
perlawanan dari LSM, Serikat Pekerja dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk
menentang keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air bersih. Bahkan
beberapa kelompok masyarakat sipil di Eropa sudah meminta kepada pemerintah
mereka untuk menghentikan dukungannya terhadap keterlibatan swasta dalam
penyediaan air bersih seperti yang terjadi di Norwegia.
Sepanjang dekade 1990, keterlibatan swasta didorong menjadi agenda
kebijakan air dan sanitasi bagi negara berkembang sebagai cara mencapai tingkat
efisiensi lebih baik dan peningkatan cakupan air dan sanitasi. Terdapat
kesepakatan umum bahwa perusahaan publik menjadi lemban dalam
meningkatkan akses layanan dan tidak efisien dan menjadi sarang korupsi10.
10Budds and McGranahan, 2003, Are the debates on water privatization missing the point? Experiences from Africa, Asia and
Latin America, Environment and Urbanization, Vol.15, No. 2 October
16
Kotak 1.4
Terlucutnya Peran Negara
Menurunnya kepercayaan terhadap kebijakan intervensi negara dalampembangunan ekonomi mulai terjadi sejak tahun 1970-an, akibat melonjaknyaharga minyak, menurunnya harga komoditas ekspor sedangkan harga barang impormeningkat, yang berdampak pada krisis utang luar negeri yang berujung padadefisit anggaran. Dominasi negara atas aktivitas ekonomi di negara berkembang,mengakibatkan kinerja sektor publik terutama badan usaha milik negara menjadiperhatian utama dalam rangka mengatasi kemerosotan ekonomi. Sedangkan dinegara yang menganut konsep negara kesejahteraan, serangan terhadap kebijakan
intervensi negara dilakukan menjelang akhir tahun 60-an dan awal 70-an. Berbagaikajian terus bermunculan yang menggugat dominasi negara dalam aktivitasekonomi dan terutama kinerja badan usaha yang dipandang sebagai sumberketidakefisienan dan stagnannya ekonomi di negara berkembang.Ketidakpercayaan terhadap kebijakan negara semakin berkembang setelah Inggrisdan AS (di bawah kepemimpinan Thatcher dan Reagan) dinobatkan sebagaipelopor kebijakan menolak negara.
Kebijakan menolak negara atau emoh negara (meminjam istilah I. Wibowo)semakin mendapat tempat di banyak negara berkembang termasuk Indonesia,ketika negara seolah berasosiasi dengan segala keburukan. Dalam berbagai sektor,ekonomi misalnya negara berkonotasi dengan kolusi, ketidakefisienan dannepotisme. Dalam politik, negara berkonotasi dengan berbagai pelanggaran hakasasi manusia dan di dalam birokrasi negara berdampingan dengan korupsi.Reputasi buruk yang memberikan legitimasi bagi pelucutan peran negara.
Tidak aneh, jika kemudian (dan di bawah tekanan lembaga keuangan internasional)kebijakan publik yang dihasilkan adalah pencabutan dan pengurangan berbagai
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
17/84
Indonesia
Kelemahan dan ketidakmampuan negara (yang juga didukung oleh
berbagai teori ekonomi) menjadi dasar terbentuknya sintesa privatisasi ataupun
keterlibatan swasta yang membangun argumentasi mendukung kepemilikan
swasta daripada publik11.
Argumen dari pendukung privatisasi menyatakan bahwa perusahaan swasta
cenderung lebih efisien dibandingkan dengan pemerintah dalam hal skala
ekonomis, produktivitas pegawai yang tinggi serta sedikitnya aturan yang
membatasi. E.S. Savas dan Elliot Sclar dalam bukunya menyalahkan pelayanan
jasa yang dilakukan oleh pemerintah karena seringkali menerapkan sistemmonopoli dan ketidakmampuan pemerintah dalam menanggapi kebutuhan warga
negaranya atau masyarakat serta seringnya terjadi ketidakefisienan dalam
pelayanan
Johnson dkk (1995), Peraita dan Benson (1995) berpendapat sektor swasta
dapat menyediakan modal dan pengalaman untuk memastikan pengelolaan dan
penggunaan air yang efisien. Pendukung privatisasi pun menyatakan bahwa
meningkatnya keterlibatan swasta akan menguntungkan penduduk yang belum
terjangkau khususnya penduduk miskin (Finger dan Allouche, 2002). Selain itu,
sektor publik dipandang tidak efisien, kelebihan pegawai, korupsi, terbuka bagiintervensi politisi, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan konsumen. Tarif rendah
tidak menjamin keterjangkauan bagi penduduk miskin, yang ada malah
mengabaikan penduduk miskin. Pendukung keterlibatan swasta menyatakan
swasta lebih efisien, apolitis dan tanggap kebutuhan. Regulasi yang independen,
pemberian konsesi melalui proses yang kompetitif, akan menghalangi
penyalahgunaan kewenangan.
Di lain pihak, tidak sedikit pula pihak yang menolak dilakukannya privatisasi
air bersih. Argumen yang mendasarinya adalah bahwa sifat pelayanan yang
dilakukan oleh pemerintah memang tidak cocok apabila dilakukan olehswasta/privatisasi. Mereka menganggap bahwa kontrak yang dilakukan swasta
dapat menimbulkan hidden-cost karena kurangnya informasi, perlunya
pengawasan serta lelang yang sering bersifat terbatas. Terdapat juga kondisi yang
tidak memungkinkan untuk menciptakan kompetisi bagi pelaksanaan oleh pihak
ketiga, sehingga privatisasi menjadi lebih rumit dari yang dibayangkan. Tidak ada
indikasi bahwa perusahaan swasta lebih akuntabel. Justru, hal sebaliknya yang
lebih cenderung terjadi. Privatisasi tidak memiliki track record keberhasilan. Yang
dimiliki privatisasi hanya risiko/bahaya dan kegagalan. Perusahaan swasta
11Beberapa sintesa tersebut antara lain adalah teorema property rights, principal-agents, methodological individualism, dan
public choice. Lebih lanjut lihat Globalisasi Menghempas Indonesia hal 133-140, Perkumpulan Prakarsa, 2006.
17
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
18/84
Indonesia
seringkali tidak memenuhi standar operasi, namun mengeksploitasi harga tanpa
banyak menanggung konsekuensi.
Sepanjang abad 20, pemahaman yang diterima publik adalah bahwa
penyediaan air minum bersifat monopoli alamiah dan memberi manfaat bagikesehatan masyarakat. Namun perlu diwaspadai bahwa monopoli swasta akan
meningkatkan beban biaya dan mengabaikan kepentingan kesehatan publik.
Sektor publik harus memegang kendali untuk menghindari penggunaan kekuasaan
sewenang-wenang oleh swasta.
Penentang keterlibatan swasta juga mengkritisi bahwa penyediaan
kepentingan publik yang diberikan pada swasta tetapi cenderung bersifat
monopoli alamiah akan mengarah pada penerapan tarif tinggi dan pelayanan
terfokus hanya pada penduduk yang dapat membayar. Selain itu, dikatakan
bahwa air minum adalah hak asasi, sehingga tidak tepat jika swasta mendapat
keuntungan dari penyediaan air minum bagi penduduk miskin. Lebih ekstrim
dikatakan bahwa perusahaan swasta mencuri air dunia (Barlow dan Clarke, 2003).
2.4. Fakta Empiris PSP di Sektor Air Minum
18
Kotak 1.5
Perlawanan terhadap Kebijakan Privatisasi Air di Indonesia
Pada tanggal 9 Juni 2004, sekelompok organisasi masyarakat sipil dan individumengajukan gugatan uji materil (judicial review) terhadap UU No.7 Tahun 2004tentang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).Gugatan ini merupakan bagian dari proses perlawanan (pada saat masih menjadiRUU, beberapa kelompok masyarakat sipil di Indonesia, sudah melakukanserangkaian advokasi, lobby dan kampanye untuk menentang diundangkannya UUNo.7 tahun 2004) terhadap reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia yangdisusun melalui WATSAP (Water Resources Sector Adjustment Program), yangdidanai dari pinjaman Bank Dunia sebesar US $ 300 juta. Penggugat berpendapatbahwa UU Sumberdaya Air bertentangan dengan UUD 1945 dan dirancang sebagailegitimasi atas kebijakan privatisasi air di Indonesia.
Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 19 Juli 2005 MKRI memutuskan menolakpermohonan uji materil tersebut. Tujuh dari sembilan hakim MKRI menolakpermohonan penggugat sedangkan dua hakim lainnya menerima permohonanpenggugat.
Menariknya, meskipun MKRI menolak gugatan para penggugat, namun MKRImemberikan kesempatan conditionally constitutional jika dalam pelaksanaannyaUU Sumberdaya Air bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan MKRI.Bagaimanapun, hal ini merupakan sesuatu yang baru dimana biasanya keputusan
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
19/84
Indonesia
Menarik untuk disimak, seberapa besar keterlibatan sektor swasta di sektor
air minum. Menurut World Bank12, dalam kurun waktu 1990-2006 terdapat 524
proyek (dalam berbagai model) keterlibatan swasta di sektor air di 58 negara.
Tabel 2.Indikator Penting
Indikator, 1990-2007 Value
Jumlah Negara dengan keterlibatanswasta
60
Proyek yang terlaksana 584
Wilayah dengan porsi investasi terbesar Asia Timur dan Pasifik (48%)
Tipe keterlibatan swasta berdasar porsiinvestasi terbesar
konsesi (68%)
Tipe keterlibatan swasta berdasar porsijenis proyek terbesar
konsesi (40%)
Proyek dibatalkan atau dalam masalah53 yang menunjukkan 29% dari total
investasi
Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4
Dari tabel di atas, terlihat bahwa sebagian besar keterlibatan swasta dalam
sektor air baik dari sisi investasi maupun proyek adalah model konsesi. Namun,
dalam 5 tahun terakhir (2003-2007) keterlibatan sektor swasta di sektor air lebih
banyak dilakukan dalam greenfield project13, meskipun dari sisi nilai investasi
dalam kurun waktu tersebut masih lebih besar model konsesi (tabel 3)
Tabel 3.
Jumlah Proyek Berdasar Bentuk Keterlibatan Swasta
TahunAnggaran
Konsesi Divestiture GreenfieldProject
KontrakManjemendan Lease
Total
1991 1 0 0 1 2
1992 2 0 2 2 6
1993 6 0 3 2 11
12Lihat, http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4
13Greenfield project: A private entity or a public-private joint venture build and operates a new facility. This category includes
build-operate-transfer and build-own-operate contracts as well as merchant power plants,http://ppi.worldbank.org/book/216Housk-10-23.pdf
19
http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4http://ppi.worldbank.org/book/216Housk-10-23.pdfhttp://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4http://ppi.worldbank.org/book/216Housk-10-23.pdf7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
20/84
Indonesia
TahunAnggaran
Konsesi Divestiture GreenfieldProject
KontrakManjemendan Lease
Total
1994 8 0 5 1 14
1995 9 1 3 5 18
1996 7 1 9 7 24
1997 16 2 9 12 39
1998 18 1 11 2 32
1999 13 7 8 10 38
2000 28 1 5 5 39
2001 12 1 13 14 40
2002 24 3 8 9 44
2003 12 1 21 10 44
2004 27 0 21 5 53
2005 18 0 32 11 61
2006 15 2 27 13 57
2007 20 5 30 7 62
Total 236 25 207 116 584
Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4
Dari sekian banyak proyek swasta di sektor air, dalam kurun waktu 2001-
2004 terdapat lima perusahaan terbesar yang memiliki lebih dari 50 proyek
penyediaan air di seluruh dunia (tabel 4). Namun menurut Izzaguirre dan Hunt(2005), Sponsors from developed countries still accounted for a large share of
investment flows. But they limited their investment to selected developing
countries and sought to exit underperforming contracts. RWE Thames announced
that it would withdraw from most regions while focusing on Central and Eastern
Europe, Veolia Environment that it would concentrate on selected Asian countries,
and Suez that it would pull out of Asia and Latin America. The retrenchment by
global sponsors in some cases facilitated greater activity by local and regional
sponsors. Selain itu Izzaguirre dan Hunt menyatakan ...local companies with
little or no operational experience entered the water business. One example is the
Russian investment conglomerate Interros, which won the lease contract for the
20
http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=47/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
21/84
Indonesia
water utility in Siberias Perm City. In Chile local investors (Grupo Solari, Consorcio
Financiero, Grupo Luksic, and Icafal) won five of the six water contract in 2004...
Tabel 4.
Lima Besar Perusahaan Air dan Air Limbah
Skema Partisipasi Swasta di Negara Berkembang (2001-2004)
Perusahaan
Proyek
Investasi
(US$juta)
Proyek per Wilayah
AsiaTimurdanPasifik
EropadanAsiaTengah
Amerika LatindanKaribia
TimurTengah danAfrikaUtara
AsiaSelatan
Sub-SaharaAfrika
SuezEnvironment
17 1,053 9 2 1 2 0 3
VeoliaEnvironment
16 1,088 8 6 0 0 0 2
New WorldInfrastructure
7 292 7 0 0 0 0 0
RWEThames
6 762 3 1 2 0 0 0
BerlinwasserInternational
6 135 3 2 0 0 0 1
Total 52 3,330 30 11 3 2 0 6
Sumber: Bank Dunia, PPI Project Database
Situasi ini, coba dijelaskan oleh Ducci (2007)14 dengan mengambil kasus pada
negara-negara Amerika Latin, Many of international water operators, which were
operating water and sewerage services in Latin America, withdrew from the region
during the first five years of the new millennium. The study examines the causes
and consequences of the withdrawal international water operators in 14 cases in
five countries (Argentina, Bolivia, Chile, Uruguay, and Venezuela) as well as in
Brazil, Colombia, and Mexico. The study finds different reasons explained the
departure. For some international water operators, the withdrawal was driven by
14Lihat, http://ppi.worldbank.org/resources/ppi_otherresources.aspx?resourceId=6
21
http://ppi.worldbank.org/resources/ppi_otherresources.aspx?resourceId=6http://ppi.worldbank.org/resources/ppi_otherresources.aspx?resourceId=67/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
22/84
Indonesia
their refocusing in their local and regional markets. In these cases, the exit was
planned with investments sold to local investors. In other cases, the exit resulted
from changes in sectoral policies or social and political conflicts caused by tariff
increases, perception of lack of transparency in the biddings, among otherproblems. The study indicates that it is unlikely that international operators return
to the region in the short term, but local and regional operators are emerging and
filling the gap.
Menurut Hall dan Lobina, satu alasan kunci untuk hal ini adalah karena
negara-negara berkembang tidak dapat memberikan tingkat pengembalian (rate
of return) yang dibutuhkan oleh pemilik modal dari luar negeri. Sebuah studi yang
dilakukan Bank Dunia menunjukkan bahwa tingkat pengembalian investasi
infrastruktur di negara-negara berkembang, termasuk di air bersih, berada
dibawah biaya modal.
Secara keseluruhan, penyediaan layanan air bersih oleh swasta jumlahnya
kecil. Menurut Stephenson (2005) dalam Ouyahia (2006) menyatakan bahwa Of
the total of the world population of 6 billion, only about 5 percent are served by
private companies. Of (these) 290 million people, 126 million are in Europe, 72
million in Asia and Oceania, 48 million in North America, 21 million in South
America, and 22 million in other countries. Lebih lanjut Stephenson mengatakan
bahwa the water market represents about US$ 400 billion per year
internationally, compared to US$ 1,000 billion per year for electricity .
Meskipun mengalami peningkatan cukup signifikan sejak tahun 1990-an,
namun keterlibatan sektor swasta di sektor air tetap kecil jika dibandingkan
dengan sektor publik. Only 3 percent of the population in poor or emerging
countries is supplied through fully or partially private operators (Winpenny, 2003) .
Hall dan Lobina (2006) menyatakan bahwa kota-kota besar yang berada di negara-
negara berpendapatan kecil atau menengah penyediaannya didominasi oleh
sektor publik. Lebih dari 90% layanan air di kota-kota tersebut dilakukan oleh
sektor publik yang populasinya lebih dari 1 juta jiwa
Tabel 5.
Porsi Kerjasama Pemerintah-Swasta di Pasar Air Perkotaan Negara OECD
(dalam % dari penduduk yang terlayani)
Negara Manajemen Publik Manajemen Swasta
Jerman 96 4
Perancis 20 80
Inggris 12 88
22
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
23/84
Indonesia
Belanda 100 -
Amerika
Serikat
85 15
Sumber: BIPE (2001), dalam Public-Private Partnerships in the Urban Water Sector, Policy Brief
OECD, April 2003
Tabel 5 menjelaskan perbandingan penyediaan layanan yang dilakukan
oleh sektor publik dan swasta di negara-negara OECD. Dari tabel tersebut terlihat
bahwa Perancis dan Inggris merupakan negara dengan sebagian besar penyediaanlayanan airnya dilakukan oleh sektor swasta. Cukup menarik adalah Belanda yang
100% penyediaan layanan airnya dilakukan oleh sektor publik, namun pada sisi
lain Belanda merupakan salah satu negara yang mendorong keterlibatan swasta
dalam penyediaan air terutama di negara-negara berkembang.
Lebih spesifik studi-studi yang terkait keterlibatan swasta dalam di sektor
air menunjukkan hasil yang beragam. Ouyahia (2006) menyatakan studi-studi
yang telah dilakukan menggunakan pendekatan yang berbeda. Lebih lanjut
Ouyahia, mengutip Renzetti dan Dupont (2004) menyatakan bahwa studi-studi
yang sudah dilakukan (Morgan; 1977, Crain dan Zardkoohi; 1978) menunjukkanbahwa utilitas air swasta secara rata-rata memiliki biaya yang lebih rendah.
Namun studi lain (Bruggink;1982, Feigenbaum dan Teeples;1983, Teeples dan
Glyer;1987) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan biaya antara publik dan
swasta atau utilitas publik memiliki biaya yang lebih rendah.
Studi lain menggunakan pendekatan produktivitas seperti yang dilakukan
oleh Saal dan Parker (2001) (dalam Ouyahia, 2006). Keduanya mengukur kinerja
industri air dan air limbah di Inggris sebelum dan sesudah privatisasi dengan
menggunakan indikator tenaga kerja dan total factor productivity. Keduanya
menemukan bahwa meskipun produktifitas tenaga kerja meningkat namun totalfactor productivity menurun yang berarti bahwa privatisasi menghasilkan
pengganti. Keduanya juga menemukan bahwa privatisasi menghasilkan
keuntungan yang lebih tinggi tetapi keuntungan efisiensinya sedikit.
Orwin (1999) dan Houstma (2003)15, keduanya menunjukkan bahwa secara
rata-rata perusahaan swasta menetapkan harga yang lebih tinggi dibanding publik
baik di Perancis maupun California. Studi yang dilakukan oleh Ballance dan Taylor
15Orwin, A 1999. Privatization of Water and Wastewater Utilities: An International Survey. Toronto: Environment Probe dan
Houstma, J. 2003. Water Supply in California: Economic of Scale, Water Charge, Efficiency, and Privatization. Mimeo, MountAllison University.
23
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
24/84
Indonesia
(2005)16 yang melakukan survei terhadap 5000 municipal dan mencakup 68%
penduduk di Perancis, menunjukkan bahwa ...on average, water delivered by
private companies is 27% more expensive than that delivered by public
operators....Studi lain dilakukan oleh ECLAC (1998) yang mencoba membandingkan
kesuksesan dan kegagalan pendekatan privatisasi di Meksiko, Venezuela, dan
Chile, menyimpulkan bahwa kegagalan di Venezuela disebabkan kurangnya
pemahaman terhadap sistem privatisasi sehingga menghasilkan kebijakan yang
kurang sesuai. Selain itu, sektor publik tidak mempunyai kapabilitas memadai
untuk mengawasi swasta. Pemantauan ketat yang dibutuhkan untuk memastikan
swasta memenuhi kewajibannya tidak dilaksanakan. Sebaliknya, keberhasilan di
Chile disebabkan penerapan standar baku dan badan regulasi independen. Pada
kasus Meksiko, keberhasilan ditunjang oleh minat dan keterlibatan industri swastadalam penyediaan air dan sekaligus mempertahankan ketersediaan air bagi
kebutuhan industri masing-masing
Cabrera (2003) berdasarkan pengamatannya terhadap privatisasi di
Aguascalientes, Mexico menemukan beberapa kesimpulan diantaranya (i) pada
beberapa aspek, keterlibatan swasta menguntungkan khususnya dalam bentuk
peningkatan efisiensi dan akses, (ii) pada aspek keberlanjutan kurang mendapat
perhatian seperti meningkatnya kesenjangan pendapatan. Khususnya dalam
kondisi monopoli, dan keterbatasan sumber air, besar kemungkinan penduduk
miskin akan mengalami kesulitan.
Surjadi (2003) yang melakukan studi terhadap privatisasi air di Jakarta
menyatakan One effect of privatization, which our interviews highlighted, is two
years after the implementation of the PSP, the majority of the respondents
perceive the flow and the quality of drinking water to be the same as before
privatisation...These data indicate that expectation of the improvement of flow of
the drinking quality of the water is still high but has yet to be fulfilled. Pada studi
yang membandingkan kinerja 50 perusahaan penyedia air minum di negara
berkembang Asia dan Pasifik ditemukan bahwa perusahaan swasta lebih efisien
(Estache, 1999). Namun dalam publikasi selanjutnya Estache menyimpulkanbahwa The results show that efficiency is not significantly different in private
companies than in public ones17.
Studi-studi lain mencoba melihat latar belakang keterlibatan swasta dalam
penyediaan layanan air bersih. Dalam salah satu kesimpulannya, Shofiani (2003)
menyatakan bahwa Financial difficulties and low level of service delivery as a
motives to privatise Jakarta water utility is proved inaccurate. PAM Jaya in fact had
a status of self reliance. The Jakarta water privatisation is related to IFIs
16 Ballance,T. and A.Taylor.2005. Competition and Economic Regulation: The Future of the European Water Industry. IWAPublishing, London UK17
Lihat, Hall dan Lobina, The Relative Efficiency of Public and Private Sector, PSIRU, 2005
24
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
25/84
Indonesia
involvement, i.e ADB, IMF and the World Bank. The IFIs provide loans on water
sector reformation that give limited room for domestic policy choices.. Ouyahia
menyatakan In Latin America, privatization was launched mainly because of
heavy political control of public utilities in more countries and govermentcorruption. Privatization and decentralization have been at the centre of the
structural reform process over the last 20 years. Sedangkan Finger dan Allouche
(2002) menyatakan Because of financial pressure, more than 30 African countries
have decided to let the private sector operate and invest in their water
infrastructure.
2.5 Beberapa Isu Penting terkait dengan PSP
2.5.1 PSP dan Kemiskinan
Kehadiran PSP dalam penyediaan layanan air bersih sering dikaitkan
dengan pengurangan kemiskinan. Sektor swasta dipandang sebagai sosok yang
paling pantas atas keterbatasan dana investasi, peningkatan kualitas dan
perluasan akses layanan, termasuk memberikan layanan terhadap kelompok
masyarakat miskin untuk mendapatkan air.
Dari kacamata ekonomi makro, Estache (2002) menjelaskan bahwa terdapat
tiga cara privatisasi sehingga mempunyai dampak pada kesejahteraan penduduk
miskin. Pertumbuhan ekonomi. Pertama, investasi infrastruktur merupakan faktor
penting dalam pertumbuhan ekonomi, yang kemudian menjadi pendorong utamabagi pengurangan kemiskinan. Kedua, pengurangan pegawai. Langkah pertama
privatisasi adalah peningkatan efisiensi dan keuntungan melalui pengurangan
pegawai. Dalam jangka panjang langkah ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, realokasi pengeluaran publik. Secara konvensional, infrastruktur
menyerap dana pemerintah dalam jumlah besar untuk menutup subsidi dan
membiayai pembangunan. Privatisasi mengurangi pengeluaran pemerintah pada
kegiatan yang tadinya dibiayai pemerintah sehingga tersedia dana untuk
membiayai kegiatan lain.
Lebih lanjut menurut Estache (2002), dari perspektif ekonomi mikro,privatisasi mempengaruhi penduduk miskin dalam dua hal yaitu:
(i) Akses.
Pengaruh terhadap akses melalui hal-hal berikut:
a. Peningkatan biaya sambungan.
Biaya sambungan ditingkatkan sampai mencapai tingkatan yang
sewajarnya setelah sebelumnya dipatok pada biaya yang minimum. Oleh
karena itu, biaya sambungan kemungkinan tidak terjangkau oleh
penduduk miskin kecuali disediakan pilihan membayar bertahap.
25
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
26/84
Indonesia
b. Pengurangan insentif.
Penduduk miskin biasanya berlokasi di daerah yang sulit dijangkau (padat,
akses rendah, tak aman) sehingga biaya layanan lebih tinggi, sementara
konsumsi air rendah dan sering tidak membayar. Hal ini mengurangikeinginan swasta melayani penduduk miskin.
(ii) Keterjangkauan.
Terdapat berbagai cara privatisasi dapat meningkatkan keterjangkauan.
a. Peningkatan tarif.
Sebelum privatisasi, tarif selalu lebih rendah dari biaya operasi sehingga
perlu ditingkatkan agar dapat menutup biaya operasi. Ketika produksi
telah efisien dan regulasi telah diterapkan dengan baik, terdapat
kemungkinan tarif akan menurun setelah beberapa waktu.
b. Pembayaran diformalkan.
Perusahaan pemerintah cenderung membiarkan penunggakan dan
sambungan liar. Perusahaan swasta berlaku sebaliknya. Akibatnya,
banyak penduduk miskin kemudian mulai membayar sesuai dengan
pemakaiannya. Hal ini bukan sesuatu yang buruk dengan
mempertimbangkan bahwa sambungan liar cenderung tidak stabil,
bahkan membayar lebih mahal pada mafia air.
c. Peningkatan kualitas.
Kondisi ini membutuhkan biaya besar yang kemudian dibebankan pada
konsumen, yang kemungkinan membebani penduduk miskin.
Namun dalam kenyataannya, kehadiran PSP tidak selalu seperti yang
digambarkan oleh Estache. Perusahaan swasta, cenderung melakukan cherry
picking, dimana perusahaan swasta hanya akan hadir pada area yang
menjanjikan keuntungan dan menghindari area yang tidak menguntungkan
seperti area kumuh, pedesaan, dimana secara topografi sulit, konsumsi air perkapitanya rendah, dan pendapatan masyarakatnya juga rendah. Meskipun
terdapat dalam kontrak, sangat jarang ada perusahaan swasta yang mampu
memenuhi kewajiban kontrak ini (Swyngedouw, 2003 dan Castro, 2004:342),
kecuali jika terdapat insentif yang cukup besar seperti dalam bentuk pembayaran
kompensasi, pemberian subsidi dari pemerintah, pengurangan atau pembebasan
pajak (Hardoy dan Schusterman, 2000: 68). Estache sendiri, memahami ini
dengan mencoba melihat privatisasi dalam kacamata ekonomi mikro dengan
menyebutnya sebagai pengurangan insentif dimana penduduk miskin biasanya
berlokasi di daerah yang sulit dijangkau (padat, akses rendah, tak aman)sehingga biaya layanan lebih tinggi, sementara konsumsi air rendah dan sering
26
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
27/84
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
28/84
Indonesia
dan 2,1 milyar orang untuk sanitasi18. Dalam kerangka tersebut, investasi yang
dibutuhkan diperkirakan berkisar antara US$ 51 milyar sampai dengan US$ 102
milyar untuk air bersih dan US$ 24 milyar sampai dengan US$ 42 milyar untuk
sanitasi19
.
Tabel 6.
Jumlah Penduduk yang Perlu Mendapat Akses
Sesuai Target Air dan Sanitasi MDGs Tahun 2015
Wilayah
Jumlah Penduduk yangMemperoleh Akses Air Minum
(juta)
Jumlah Penduduk yangMemperoleh Akses Sanitasi
Dasar (juta)
Perkotaan Perdesaan Total
Perkotaan
Perdesaan
Total
Sub-SaharaAfrika
175 184 359 178 185 363
Timr Tengahdan AfrikaUtara
104 30 134 105 34 140
Asia Selatan 243 201 444 263 451 714
Asia Timur danPacifik
290 174 465 330 376 705
America Latindan Karibia
121 20 141 132 29 161
Eropa Tengahdan Timur
27 0 27 24 0 24
Total 961 609 1.570
1.032 1.076 2.108
Sumber: UN Millenium Project (2005), dalam Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the
Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, World Development Movement,
2006
Besarnya investasi yang dibutuhkan, membuat banyak pihak percaya
bahwa partisipasi swasta menjadi penting dalam penyediaan layanan air. Menurut
Braadbaart (2001) There are two arguments for privatizations: the fiscal
argument that privatization will relieve government of the burden of investment
18 Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, WorldDevelopment Movement, 200619
Ibid
28
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
29/84
Indonesia
financing and the efficiency argument taht performance will improve under private
ownership. Pendapat lain disampaikan oleh Palmer dkk (2003), why do we need
the private sector to be involved at all ? Government and government-controlled
para-statals rarely deliver services cost-efectively for the reasons noted earlier.Nor can governments usually raise the finance needed to expand the service
provision. Involvement of the international water companies (on an appropriate
basis) can serve to facilitate cost-effective delivery of services. It can also facilitate
mobilising long-term finance. Participation on a risk sharing basis of the
international water companies enhances the confidence of the providers of finance
that investment programmes will be implemented eficiently.
Keniscayaan atas keterlibatan sektor swasta sebagai juru selamat atas
persoalan pembiayaan air bersih, menempatkan kebijakan PSP menjadi mantera
wajib terutama di banyak negara berkembang. Seperti yang dikatakan oleh ClareShort (2002) Privatization is the only way to get the investment that (poor)
countries need in things like banking, tourism, telecommunications and services
such as water under good regulatory arrangements. Sedangankan Hilary Benn
(2006) mengatakan bahwa Clearly there needs to be significantly increased
public investment (in order to meet the MDGs) making water and sanitation a
priority of national plans in developing countries. There needs to be a recognition
private sector investment may have a role too.
Menurut data Bank Dunia, total investasi swasta di berbagai proyek air
minum dalam kurun waktu 1991-2006 adalah US$ 57.159 juta, dengan puncaknyaterjadi pada tahun 1997 (tabel 7). Meskipun setelah tahun 1997, investasi swasta
terus menurun (ditandai dengan banyaknya perusahaan swasta terutama MNCs
yang menarik diri), namun menurut Izaguirre dan Marin (2006), situasi ini tidak
berarti aktivitas swasta di sektor air bersih telah berakhir. Masuknya pemain baru
yang berasal dari perusahaan nasional dan regional dipandang sebagai
kecenderungan positif dari keterlibatan swasta dalam layanan air bersih. Lebih
lanjut Izaguirre dan Marin, mengatakan So what we are seeing today is not a
backlash but a natural maturation of the market following an initial boom. Now
more aware of the benefits and risks involved, stakeholders are looking forcontractual arrangements best suited to each countrys situation.
Tabel 7.
Jumlah Investasi berdasar Tipe Keterlibatan Swasta (US$ Juta)
TahunInvestasi Konsesi
Jual Penuh(Divestiture)
Greenfieldproject
Pengelolaandan KontrakSewa-Beli Total
1991 75 0 0 0 75
29
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
30/84
Indonesia
TahunInvestasi Konsesi
Jual Penuh(Divestiture)
Greenfieldproject
Pengelolaandan KontrakSewa-Beli Total
1992 284 0 0 0 284
1993 6.465 0 164 0 6.629
1994 966 0 380 0 1.346
1995 1.563 20 228 13 1.823
1996 122 36 1.125 20 1.304
1997 9.164 499 333 166 10.161
1998 1.676 266 385 0 2.327
1999 1.684 4.313 347 27 6.372
2000 7.134 456 633 7 8,229
2001 1.138 51 937 17 2.143
2002 1.032 323 232 1 1.589
2003 804 43 554 92 1.494
2004 3.341 210 1.041 180 4.772
2005 697 0 974 331 2.001
2006 1.152 383 405 737 2.677
2007 1.323 498 1.422 2 3.245
Grand Total 38.618 7.099 9.161 1.593 56.471
Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4
Pendapat lain disampaikan oleh Hall dan Lobina (2006), dalam publikasinya
yang diterbitkan oleh PSI dan World Development Movement (WDM)20, dimana:
1. Sebagian besar kontrak swasta untuk kontrak manajemen dan lease tidak
melibatkan investasi badan usaha swasta sama sekali untuk perluasan
sambungan untuk rumah yang belum tersambung pada jaringan air bersih.
20 Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, WorldDevelopment Movement, 2006
30
http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=47/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
31/84
Indonesia
2. Kontrak konsesi melibatkan investasi badan usaha swasta untuk perluasan
jaringan. Tetapi komitmen investasi yang telah disepakati mengalami
perubahan, dibatalkan atau tidak mencapai target.
3. Untuk sebagian kontrak privatisasi, pembiayaan publik atau jaminan daripemerintah atau bank pembangunan menjadi hal yang terpenting untuk
mendatangkan investasi swasta yang nyata, khususnya menyambung
jaringan air bersih untuk komunitas miskin.
4. Perusahaan air swasta tidak membawa sumber dan volume pembiayaan
investasi tetapi mereka juga sangat bergantung pada sumber yang sama
dengan sektor publik.
Pembiayaan air oleh sektor swasta juga diragukan, sektor swasta pada dasarnyajuga menggunakan sumber pembiayaan yang sama dengan sektor publik. Hal ini
terjadi karena sektor swasta beranggapan bahwa terlalu beresiko untuk
berinvestasi di negara berkembang dengan tingkat pendapatan masyarakat yang
rendah. Dalam tulisannya, Prasad N (2005) mengatakan bahwa To overcome
some of these insufficiencies, the private sector prefers to rely on subsidies, soft
loans, and a renegotiation of the contractual agreement in order to provide service
to the poor. In other words, the private sector is using the same sources of funds
as the public sector, such as loans from bilateral and multilateral donors, aid
money, and money from customers through tariffs. In general, and as evidencesuggest, it is public funds that supports the private sector in providing services to
the poor.
31
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
32/84
Indonesia
BAB III
Fakta Sekitar PSP di Indonesia
3.1. Sejarah Keterlibatan Swasta dalam Penyediaan Air Minum di
Indonesia
Seperti negara berkembang lainnya, sistem penyediaan air minum di
Indonesia kebanyakan merupakan warisan kolonial. Sebagai contoh PDAM Kota
Semarang yang didirikan pada tahun 1911, PDAM Kota Solo yang didirikan pada
tahun 1929, PDAM Kota Salatiga tahun 1921, dan PAM Jaya yang sudah berdiri
sejak tahun 1843. Tahapan selanjutnya cikal bakal PDAM ini menjadi bagian dariDinas Pekerjaan Umum dan baru pada sekitar tahun 60-an dan 70-an berubah
menjadi PDAM.
Sejak awal tahun 1970 an sampai dengan tahun 1990 an (khususnya
selama Pelita III 1979-1984 dan Pelita IV 1984-1989), pemerintah pusat
memegang peran aktif dalam pembangunan infrastruktur bidang air minum secara
luas di seluruh Indonesia. Targetnya adalah memenuhi kebutuhan dasar air minum
60 liter/orang/hari dengan cakupan layanan 60% di daerah perkotaan.
Pembangunan infrastruktur pemerintah pusat tersebut dimaksudkan sebagai
modal awal yang pada tahap selanjutnya diharapkan dapat dikembangkan olehPDAM dan Pemerintah Daerah setempat .
Selama Pelita III pemerintah mulai melakukan kerja sama dengan lembaga
keuangan internasional dalam bentuk pinjaman luar negeri untuk melakukan
investasi di sektor air minum perkotaan. Model pendekatan pembangunan dan
standar teknis pengelolaan dirumuskan oleh pemerintah pusat. Pembangunan
prasarana dan sarana air minum dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum.
Untuk kota kecil dengan penduduk kurang dari 50.000 jiwa pengelolaannya
dilakukan dengan membentuk BPAM (Badan Pengelola Air Minum) yang bersama-
sama dengan pemerintah daerah diharapkan dapat dikembangkan menjadi PDAM.
Keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan air bersih di Indonesia, mulai
terjadi pada tahun 90-an, seiring dengan semakin menurunnya peran pendanaan
dari pemerintah pusat. Proyek PSP pertama adalah BOO Serang Utara pada tahun
1993, kemudian kontrak konsesi di Pulau Batam oleh PT. Aditia Tirta Batam (ATB)
pada tahun 1996. Pada tahun 1998, pekerjaan serupa dilakukan oleh PT Palyja di
Jakarta bagian barat dan PT Thames PAM Jaya (TPJ) di Jakarta bagian timur.
Meskipun sudah berlangsung sejak tahun 1990-an, namun pada saat itu
kerangka hukum yang mengatur keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan
air bersih belum mencukupi. Peraturan perundangan yang mengatur keterlibataan
32
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
33/84
Indonesia
swasta pada saat itu hanyalah UU Penanaman Modal Asing dalam Pasal 6 Undang-
Undang PMA No 1/1967i jo Undang-Undang No. 11/1970 yang mengatur secara
tegas bahwa kegiatan ekonomi yang sifatnya menyangkut hajat hidup orang
banyak, termasuk air minum tidak diperkenankan dikelola dengan modal laintermasuk modal asing dan Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1994 tentang
Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman
Modal Asing.
Baru pada tahun 2000, pengaturan yang lebih jelas tentang keterlibatan
swasta dalam penyediaan air bersih disusun melalui Keputusan Presiden (Keppres)
No. 96 tahun 200021 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang
Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal, dimana
dumungkinkan bagi modal asing untuk melakukan usaha dalam bidang yang
tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak termasukair minum dimana pemilik modal asing dimungkinkan untuk memiliki 95% saham
dari perusahaan tersebut- dalam perkembangannya Keppres No.96 tahun 2000 ini
dirubah menjadi Keppres No.118 tahun 2000.
Pada tahun 2004, pemerintah mengesahkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air, yang merupakan salah satu hasil dari reformasi kebijakan
sumberdaya air di Indonesia (lihat kotak 3.1). Dengan adanya UU ini, keterlibatan
swasta di sektor air semakin dipertegas.
21Dalam konteks ini pada dasarnya terjadi kerancuan regulasi dimana pada tingkatan UU (UU No.II tahun 1970) mengatur secara
tegas bahwa kegiatan ekonomi yang sifatnya menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk air minum tidak diperkenankan
dikelola dengan modal lain termasuk modal asing. Namun, pada PP No.20 Tahun 1994 dan Keppres No.96 Tahun 2000dimungkinkan bagi modal asing untuk melakukan usaha dalam bidang yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajathidup orang banyak khususnya dalam hal ini air minum dimana pemilik modal asing dimungkinkan untuk memiliki 95% sahamdari perusahaan tersebut.
33
Kotak 3.1.Krisis Ekonomi dan Reformasi Sektor Sumberdaya Air
Pada saat hampir bersamaan dengan mulainya keterlibatan swasta, sektorsumberdaya air di Indonesia sedang mengalami tekanan luar biasa, akibatketidakmampuan mempertemukan akibat meningkatnya pertumbuhan danberbagai permintaan akibat meningkatnya jumlah penduduk. Paradigma kebijakansumberdaya air di Indonesia juga dipandang sudah kadaluwarsa, sehingga padatahun 1993 muncul draft Rencana Aksi Kebijakan Sumberdaya Air Nasional (1994-2020) yang merupakan hasil studi yang disponsori oleh FAO dan UNDP. Tanpasebab yang jelas, draft rencana aksi ini menguap begitu saja, sampai kemudianpembahasan terhadap reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia dimulai
kembali pada sekitar tahun 1997.
Melalui rangkaian seminar dan diskusi yang diinisiasi oleh Bappenas dihasilkansejumlah visi pengelolaan sumber daya air yang terkait dengan perubahanpendekatan, yakni dari pendekatan sisi pasokan menjadi sisi permintaan;perubahan cara pandang terhadap air, yakni air tidak hanya dilihat sebagai barang
7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum
34/84
Indonesia
34
Kotak 3.1.Krisis Ekonomi dan Reformasi Sektor Sumberdaya Air
Krisis ekonomi tahun 1997, memaksa Indonesia untuk berada di bawah programpenyehatan yang dipimpin IMF, dan melaksanakan kerangka kerja dan kebijakanekonomi makro yang tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial Policiesdalam perjanjian Letter of Intent (LoI), yang kali pertama ditandatangani pada tanggal31 Oktober 1997 antara Pemerintah Indonesia dan IMF. Sejumlah agenda reformasikebijakan dan institusional dilaksanakan berdasarkan: a) manajemen ekonomi makro;b) restrukturisasi finansial dan sektor bisnis; c) proteksi terhadap kaum miskin; dan d)reformasi institusi ekonomi. Strategi dan program untuk melaksanakan agendatersebut dimatangkan sepanjang tahun 1998 bekerja sama denganBank Dunia, ADBdan sejumlah kreditor bilateral. Bank Dunia pun mengeluarkan Policy Reform SupportLoan (PRSL) pada bulan Juni 1998, kemudian disusul dengan PRSL II yangmencantumkan rencana untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya air Indonesia,sebagaimana tertera dalam Matrix of Policy Actions PRSL II.
Rencana perbaikan pengelolaan sumber daya air tersebut muncul pada akhir 1997.Ketika itu sebuah tim kerja sektoral Bank Dunia menyimpulkan bahwa Bank Duniatidak dapat memberikan bantuan lebih lanjut untuk sektor sumber daya air dan irigasiIndonesia, jika tidak ada perombakan besar-besaran pada sektor tersebut. Perlunyaperombakan ini sebenarnya sudah diidentifikasi oleh pihak Bank Dunia saat dialogsektoral antardepartemen yang diadakan Bappenas pada 1997 dalam rangkapenyusunan Repelita VII. Dengan terjadinya krisis ekonomi, pada bulan April 1998,Bank Dunia menawarkan kepada Pemerintah Indonesia sebuah pinjaman programuntuk merestrukturisasi sektor sumber daya air, yaitu WATSAL. Pinjaman program inimenjadi bagian dari keseluruhan pinjaman untuk mereformasi kebijakan ekonomimakro Indonesia yang sifatnya cepat dicairkan supaya dapat menutupi defisitneraca pembayaran, seperti juga tertera dalam dokumen Country Assistance
Strategy(CAS) Progress Reportuntuk Indonesia, Juni 1999.
Dokumen ini merupakanrevisi dari CAS Indonesia yang dikeluarkan Juni 1997, ketika Indonesia mulai dilandakrisis ekonomi.
Tawaran tersebut diterima oleh Pemerintah Indonesia. Bappenas kemudianmembentuk sebuah tim khusus terdiri dari sejumlah staf pemerintah dan organisasinonpemerintah untuk menyusun sebuah matriks kebijakan bersama dengan tim dariBank Dunia. Tim ini, melalui Keputusan Menteri tertanggal 2 November 1998, resmimenjadi Tim Pengarah Nasional Program Pembangunan Bidang Sumber Daya Air(Task Force for Reform of Water Resources Sector Policy) yang berada di bawahBappenas dan Kementrian Infrastruktur dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil). Timyang lebih dikenal sebagai Kelompok Kerja WATSAL ini, bersama dengan dirjen-dirjenterkait dan Tim Koordinasi Pemerintah/Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air,menandatangani Letter of Sector Policy yang mencakup matriks kebijakan yangdisusun oleh Kelompok Kerja WATSAL. Selain itu, Kelompok Kerja WATSAL jugamembuat sebuah Rencana Implementasi WATSAL yang berisi tahapan proses danjadwal dari masing-masing rencana restrukturisasi dalam Matriks Kebijakan.Rancangan itu diserahkan kepada Bank Dunia pada 29 Maret 1999 sebagai panduanmereka dalam mengawasi perkembangan pelaksanaan restrukturisasi.
Surat perjanjian pinjaman sebesar US$ 300 juta
Top Related