HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
20
BAB III
SKRINING BAYI BARU LAHIR
A. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Pada Bayi Baru Lahir
1. Gejala gangguan pendengaran pada bayi dan anak Gejala gangguan pendengaran pada bayi sulit diketahui mengingat
ketulian tidak terlihat. Biasanya keluhan orangtua adalah bayi tidak memberi respons terhadap bunyi. Umumnya orangtua melaporkan sebagai terlambat bicara (delayed speech), tidak memberi respons saat dipanggil atau ada suara/bunyi. Dapat pula sebagai keluhan perkembangan kosakata yang tidak sesuai dengan usia anak, berbicara tidak jelas, atau meminta sesuatu dengan isyarat.
Gangguan pendengaran dibedakan menjadi : - tuli sebagian (hearing impaired) yaitu penurunan fungs pendengaran tetapi
masih bisa berkomunikasi dengan atau tanpa alat bantu dengar; - tuli total (deaf) adalah gangguan fungs pendengaran yang sedemikian
terganggu sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat pengerasan bunyi.
2. Perkembangan sistem pendengaran
Pada usia gestasi 9 minggu, mulai terbentuk ketiga lapisan pada gendang telinga, dan pada minggu ke-20 sudah terjadi pematangan koklea dengan fungsi menyamai dewasa dan dapat memberi respons terhadap suara. Pada saat yang sama, bentuk daun telinga sudah menyerupai daun telinga orang dewasa walaupun masih terus berkembang sampai usia 9 tahun. Pada usia gestasi 30 minggu terjadi pneumatisasi dari timpanum, demikian juga dengan liang telinga luar yang terus berkembang sampai usia 7 tahun.
Perkembangan auditorik berhubungan erat dengan perkembangan otak. Neuron dibagian korteks mengalami pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan hal tersebut, maka upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran sampai habilitasi
dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung.
2.a. Perkembangan mendengar
Usia Kemampuan Auditorik
0 4 bulan
Bila diberikan stimulus bunyi, respon mendengar yang terjadi masih bersifat refleks (behavioral responses) seperti: - Refleks auropalpebral (mengejapkan mata) - Heart rate meningkat - Eye widening (melebarkan mata) - Cessation (berhenti menyusu) - Grimacing (mengerutkan wajah) - Startle ( paling konsisten )
4 7 bulan
4 bulan : memutar kepala pada arah horizontal; masih lemah (belum konsisten)
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
21
7 bulan : memutar kepala pada arah horizontal dengan cepat; namun pada arah bawah masih lemah
7 - 9 bulan Memutar kepala dengan cepat; mengidentifikasi sumber bunyi dengan tepat
9 - 13 bulan
12 bulan : keingintahuan terhadap bunyi lebih besar; mencari sumber bunyi yang berasal dari arah atas
13 bulan : dapat mengidentifikasi bunyi dari semua arah dengan cepat
2.b. Perkembangan Bicara dan Bahasa Perkembangan bicara seorang anak sejalan dengan pertambahan usianya
dan perkembangan mendengar.
Usia Kemampuan
Neonatus menangis ,suara mendengkur (cooing),suara berkumur (gurgles)
2 - 3 bulan tertawa dan mengoceh tanpa arti (babbling) : aaa, ooo
4 - 6 bulan mengeluarkan suara kombinasi vokal dan konsonan. - ocehan bermakna (true babling) atau lalling (pa..pa.., da..da) - memberi respons terhadap suara marah atau bersahabat - belajar menangis dengan suara yang bervariasi sesuai kebutuhan
7 - 11 bulan menggabungkan kata/suku kata yang tidak mengandung arti, seperti bahasa asing (jargon); usia 10 bulan : mampu meniru suara (echolalia) - mengerti kata perintah sederhana : kesini - mengerti nama obyek sederhana : sepatu, cangkir
12 - 18 bulan
- menjawab pertanyaan sederhana - mengerti instruksi sederhana, menunjukkan bagian tubuh
dan nama mainan
24 - 35 bulan
- kata yang diucapkan antara 150 -300 kata - volume dan pitch suara belum terkontrol -mengenali warna, mengerti konsep besar - kecil, sekarang -
nanti
36 - 47 bulan
- jumlah kata yang diucapkan mencapai 900 1.200 kata -memberi respons pada 2 kalimat perintah yang tidak
berhubungan seperti:ambil sepatu, letakkan gelas di atas meja
- mulai bertanya kenapa dan bagaimana?
3. Etiologi dan Faktor Resiko
Gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan saat terjadinya yaitu : Masa Prenatal Dibagi menjadi genetik dan nongenetik seperti gangguan/kelainan masa kehamilan, kelainan struktur anatomi (atresia liang telinga, aplasia koklea), dan kekurangan zat gizi (misal : defisiensi Iodium).
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
22
Yang paling penting adalah trimester I kehamilan, misalnya akibat infeksi bakteri atau virus (TORCHS). Disamping itu, beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi menyebabkan gangguan pendengaran.
Masa Perinatal Prematur , berat badan lahir rendah (< 2500 gram), hiperbilirubinemia, dan asfiksia.
Masa Postnatal Adanya infeksi bakteri atau virus (rubela, campak, parotitis, infeksi otak), perdarahan telinga tengah, trauma tulang temporal yang mengakibatkan tuli saraf atau tuli konduktif.
Gangguan pendengaran pada masa prenatal dan perinatal biasanya adalah tuli sensorineural bilateral derajat berat/sangat berat.
Faktor faktor risiko yang perlu dipertimbangkan dan telah ditetapkan oleh
American Joint Committe on Infant Hearing pada tahun 2000 : Usia 0 28 hari :
- Menjalani perawatan di NICU selama 48 jam - Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang mempunyai
hubungan dengan tuli sensorineural atau tuli konduktif, misalnya sindroma Rubela;
- Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural yang menetap
sejak masa anak-anak; - Kelainan kraniofasial termasuk kelainan morfologi pinna (daun telinga)
atau liang telinga; - Infeksi intra uterin, seperti TORCHS (toksoplasma, rubella,
sitomegalovirus, herpes dan sifilis).
Usia 29 hari 2 tahun : - Kecurigaan orangtua/pengasuh terhadap gangguan pendengaran,
keterlambatan bicara, afasia atau keterlambatan perkembangan lain; - Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap masa
anak-anak;
- Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural, tuli konduktif atau gangguan fungsi tuba Eustachius;
- Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural, termasuk meningitis bakterialis;
- Infeksi intra uterin seperti TORCHS (toksoplasma, rubela, sitomegalovirus, herpes, sfilis);
- Adanya faktor risiko tertentu pada masa neonatus, terutama hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal yang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya yang membutuhkan ECMO (extra corporeal membrana oxygenation);
- Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang progresif seperti sindroma Usher, neurofibromatosis dan lain-lain;
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
23
- Adanya kelainan neurodegeneratif seperti sindroma Hunter dan kelainan neuropati sensomotorik (Friederichs ataxia, sindroma Charcot - Marie Tooth)
- Trauma kapitis; - Otitis media yang berulang atau menetap disertai efusi telinga tengah
minimal 3 bulan.
4. Skrining gangguan pendengaran pada bayi baru lahir
4.1. Tujuan Menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin pada bayi baru lahir agar dapat segera dilakukan habilitasi pendengaran yang optimal sehingga dampak negatif cacat pendengaran dapat dibatasi.
4.2. Prinsip dasar skrining pendengaran pada bayi Skrining pendengaran dilakukan dengan maksud membedakan populasi bayi menjadi kelompok yang tidak mempunyai masalah gangguan pendengaran (Pass/lulus) dengan kelompok bayi yang mungkin mengalami gangguan pendengaran (Refer/tidak lulus).
Skrining pendengaran bukan diagnosis pasti karena selain kelompok Pass/lulus dan kelompok Refer/tidak lulus masih ada 2 kelompok lain, yaitu kelompok positif palsu (hasil refer namun sebenarnya pendengaran normal) dan negatif palsu (hasil pass tetapi sebenarnya ada gangguan pendengaran).
Hasil skrining pendengaran harus diterangkan dengan jelas kepada pihak orangtua untuk mencegah kecemasan yang tidak perlu.
Hasil skrining pendengaran yang telah dilakukan oleh suatu
unit/kelompok masyarakat atau fasilitas kesehatan (RS, puskesmas, praktik dokter, klinik, balai kesehatan ibu dan anak/BKIA) harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang memiliki sarana pemeriksaan pendengaran yang lengkap dan mampu melaksanakan habilitasi pendengaran dan wicara.
Pemeriksaan pendengaran yang lengkap bertujuan menentukan status
pendengaran bayi dan anak berdasarkan prinsip :
Ear spesific
Frequency specific (penentuan ambang dengar pada setiap frekuensi)
Kapan kita curiga ada gangguan pendengaran ?
12 bulan -- belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru 18 bulan -- tidak dapat menyebut 1 kata berarti
24 bulan -- perbendaharaan kata kurang dari 10 kata 30 bulan -- belum dapat merangkai 2 kata
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
24
Berdasarkan fasilitas yang tersedia, skrining gangguan pendengaran dapat dikelompokkan menjadi : I. Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital based
hearing screening) II. Skrining gangguan pendengaran pada komunitas (community based
hearing screening)
Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital based hearing screening) dikelompokan menjadi :
1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS) 2. Targeted Newborn Hearing Screening
1.Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)
Dilakukan pada semua bayi baru lahir (dengan atau tanpa faktor risiko terhadap gangguan pendengaran). Skrining awal dilakukan dengan pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE) sebelum bayi keluar dari rumah sakit (usia 2 hari). Bila bayi lahir pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki sarana OAE, paling lambat pada usia 1 bulan telah melakukan pemeriksaan OAE di tempat lain. Bayi dengan hasil skrining Pass (lulus) maupun Refer (tidak lulus) harus menjalani pemeriksaan BERA (atau BERA otomatis) pada usia 1 3 bulan.
Pada usia 3 bulan, diagnosis harus sudah dipastikan berdasarkan hasil pemeriksaan: OAE, BERA, timpanometri (menilai kondisi telinga tengah). Untuk bayi yang telah dipastikan mengalami gangguan pendengaran sensorineural, perlu dilakukan pemeriksaan ASSR (Auditory Steady State Response) atau BERA dengan stimulus tone burst, agar diperoleh informasi ambang dengar pada masing-masing frekuensi; hal ini akan membantu proses pengukuran alat bantu dengar yang optimal. Khusus untuk bayi yang tidak memiliki liang telinga (atresia) diperlukan pemeriksaan tambahan berupa BERA hantaran tulang (bone conduction).
Berdasarkan tahapan waktu tersebut di atas, habilitasi pendengaran sudah harus dimulai pada usia 6 bulan.
Kriteria UNHS: 1. Mudah dikerjakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi sehingga kejadian refer minimal. 2. Tersedia intervensi untuk habilitasi gangguan pendengaran. 3. Skrining, deteksi dan intervensi yang dilakukan secara dini akan
menghasilkan outcome yang baik. 4. Cost-effective. Kriteria keberhasilan : cakupan (coverage) 95 %, nilai refferal : < 4 %
2.Targeted Newborn Hearing Screening
Skrining pendengaran yang dilakukan hanya pada bayi yang mempunyai faktor risiko terhadap gangguan pendengaran (Gambar 10). Kelemahan metode ini adalah sekitar 50 % bayi yang lahir tuli tidak
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
25
mempunyai faktor risiko. Model ini biasanya dilakukan di NICU (Neonatal ICU) atau ruangan Perinatologi.
Gambar 10. Klasifikasi skrining pendengaran bayi baru lahir
4.3. Pemeriksaan skrining pendengaran
Sampai saat ini pemeriksaan pendengaran yang terbaik adalah audiometri karena dapat memberikan informasi ambang pendengaran yang bersifat spesific frequency. Kelemahan pemeriksaan audiometri adalah besarnya faktor subyektif dan membutuhkan kerja sama (pasien kooperatif) dan membutuhkan respons yang dapat dipercaya dari pasien; akibatnya pemeriksaan audiometri tidak dapat dilakukan pada pasien berusia dibawah 6 bulan.
SKRINING PENDENGARAN
BAYI BARU LAHIR
Hospital
based
Community
based
UNIVERSAL NEWBORN HEARING SCREENING
(UNHS) Semua bayi
TARGETED NEWBORN HEARING SCREENING
Hanya bayi dengan faktor risiko
Baku emas pemeriksaan skrining pendengaran pada bayi
(1) Otoacoustic Emission(OAE) (2) Automated ABR ( BERA Otomatik)
U.S Joint Committee on Infant Hearing Screening (JCIH 2000)
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
26
Pemeriksaan objektif (Elektrofisiologis)
Pemeriksaan subyektif (Behavioral)
OAE (mulai 2 hari)
Behavioral Observation Test
Behavioral Observation Audiometry (0 6 bulan)
Visual Reinforcement Audiometry (7 -30 bulan)
Conditioned Play Audiometry (30 bulan 5 tahun)
BERA
Otomatis ( 3 bulan)
Click ( 3 bulan)
Tone burst ( 3 bulan)
Bone conduction
Timpanometri
ASSR
Tes Daya Dengar /TDD modifikasi
a. Pemeriksaan obyektif
a.1.Otoacoustic Emission (OAE)
Menilai integritas telinga luar dan tengah serta sel rambut luar (outer hair cells) koklea. OAE bukan pemeriksaan pendengaran karena hanya memberi informasi tentang sehat tidaknya koklea. Pemeriksaan ini mudah, praktis, otomatis, noninvasif, tidak membutuhkan ruangan kedap suara maupun obat sedatif.
Hasil pemeriksaan mudah dibaca karena dinyatakan dengan kriteria Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan keadaan koklea baik; sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan koklea sehingga dibutuhkan pemeriksaan lanjutan berupa AABR atau BERA pada usia 3 bulan.
Hasil OAE dipengaruhi oleh gangguan (sumbatan) liang telinga dan
kelainan pada telinga tengah (misalnya cairan). Untuk skrining pendengaran, digunakan OAE skrining (OAE screener)
yang memberikan informasi kondisi rumah siput koklea pada 4 - 6 frekuensi. Sedangkan untuk diagnostik digunakan OAE yang mampu memeriksa lebih banyak lagi frekuensi tinggi.
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
27
a.2. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) atau Auditory
Brainstem Response (ABR)
BERA menilai perubahan potensial listrik di otak yang timbul setelah pemberian stimulus suara. ABR berfungsi untuk menilai integritas saraf sepanjang jalur pendengaran.
Pemeriksaan BERA yang dilakukan umumnya menggunakan stimulus suara jenis click, pemeriksaan ini tidak frequency spesific artinya hanya diketahui ambang respons pada frekuensi rata-rata (2000 - 4000 Hz). Agar dapat memperoleh ambang pada masing-masing frekuensi harus ditambahkan pemeriksaan BERA dengan stimulus tone burst. Pemeriksaan BERA sebaiknya dilakukan pada ruang kedap suara. Pada
Gambar 11.
OAE Skrining 6 frekuensi
Persiapan pemeriksaan OAE
1. Pemeriksaan dilakukan pada bayi baru lahir yang berusia > 24 jam. 2. Lingkungan dan bayi harus tenang. 3. Liang telinga harus bersih dari kotoran (serumen) maupun cairan. 4. Menggunakan probe yang sesuai dengan ukuran telinga bayi. Pada bayi
usia kurang dari 6 bulan digunakan probe khusus yang bergerigi (tree tip) untuk mencegah kolaps liang telinga.
5. Posisi probe mengarah ke membran timpani.
6. Bila hasil Refer, sebaiknya diulang beberapa kali sampai dipastikan memang hasilnya Refer.
Gambar 12. OAE Diagnostik
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
28
bayi diperlukan sedatif untuk mencegah internal noise. Bila digunakan BERA otomatis, karena waktunya singkat dapat dilakukan tanpa sedatif.
Respons neural terhadap stimulus bunyi yang diterima akan direkam komputer melalui elektroda pemukaan (surface electrode) yang ditempelkan pada kepala (dahi dan prosesus mastoid). Parameter yang dinilai berdasarkan morfologi gelombang, amplitudo dan masa laten. Hasil penilaian adalah intensitas stimulus terkecil (desibel/dB) yang masih memberikan gelombang BERA. Ada 5 gelombang BERA yang dapat dibaca, masing masing menggambarkan respons dari bagian-bagian jaras auditorik mulai dari nervus akustikus sampai kolikulus inferior. Pada bayi yang paling mudah diidentifikasi adalah gelombang V (kolikulus inferior).
Perlu diperhatikan agar pemeriksaan BERA pada bayi dibawah usia 3 bulan atau bayi lahir prematur, mungkin terjadi pemanjangan masa laten sehingga didapat kesan adanya tuli konduktif, pada kasus seperti ini perlu dilakukan BERA ulangan pada saat usia lebih dari 3 bulan dan dilakukan koreksi usia (pada prematur).
Pemeriksaan BERA Otomatis (Automated ABR)
Merupakan pemeriksaan BERA otomatis sehingga tidak diperlukan analisis gelombang evoked potential karena hasil pencatatan mudah dibaca, berdasarkan kriteria pass atau refer (tidak lulus). Pemeriksaan ini sama dengan BERA konvensional yaitu menggunakan elektroda permukaan dengan pemberian stimulus click, mudah dilakukan, praktis, tidak invasif dan hanya dapat menggunakan intensitas 30 40 dB. Umumnya digunakan untuk keperluan skrining pendengaran.
Pemeriksaan pendengaran secara obyektif juga perlu dilakukan dan
disesuikan dengan usia anak. Apabila terdapat kelainan maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut yang disesuaikan dengan alur HTA (Health Technology Assesment) skrining pendengaran bayi 2006.
Gambar 15.
BERA Otomatis
Gambar 13. BERA Click
Gambar 14.
BERA tone burst
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
29
Pemeriksaan Timpanometri Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai keadaan telinga tengah (normal, tekanan negatif, cairan) dan fungsi tuba Eustachius. Pada bayi berusia kurang dari 6 bulan digunakan timpanometri frekuensi tinggi (High Frequency Tympanometry) dengan pertimbangan pada usia tersebut liang telinga masih lentur/ kolaps sehingga menghalangi stimulus suara yang masuk.
Auditory Steady State Response (ASSR)
Dengan ASSR dapat dibuat prediksi atau estimasi audiometri (predicting audiometry) atau evoked potential audiometry karena dapat memberikan gambaran audiogram pada bayi dan anak. Hal ini dimungkinkan karena ASSR memberikan informasi ambang pendengaran pada frekuensi spesifik secara otomatis dan simultan, yaitu pada frekuensi 500, 1.000, 2.000 dan 4.000 Hz. Bila perlu dapat di setting untuk frekuensi lainnya.
Stimulasi berupa bunyi modulasi yang kontinu berupa AM (Amplitude Modulation) dan FM (Frequency Modulated) melalui insert phone. Intensitas stimulus dapat mencapai 127 dB HL. Selain dapat memberikan informasi ambang pendengaran, ASSR sangat bermanfaat untuk fitting alat bantu dengar pada bayi dan menilai sisa pendengaran sebagai pertimbangan untuk implantasi koklea.
Gambar 17. Auditory Steady State Response
Gambar 16.Timpanogram
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
30
b. Pemeriksaan Subyektif
Bila sarana pemeriksaan yang bersifat obyektif atau elektrofisiologis tidak tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan subyektif yang mengandalkan respons behavioral sebagai reaksi bayi terhadap stimulus bunyi, antara lain pemeriksaan Behavioral Observation Test (BOT) atau Behavioral Observation Audiometry (BOA), Visual Reinforcement Audiometry (VRA) dan Conditioned Play Audiometry (CPA). Namun bila memungkinkan, tetap dianjurkan untuk mengkonfirmasi hasilnya dengan pemeriksaan obyektif. b.1. Pemeriksaan Behavioral Pemeriksaan pendengaran yang subyektif karena respon dari bayi dan anak tidak konsisten. Namun demikian pemeriksaan behavioral memiliki kemampuan frequency spesific. Tentu saja, nilai sensitivitas dan spesifitasnya kurang dibandingkan pemeriksaan obyektif seperti OAE dan BERA. Idealnya dilakukan di ruang kedap suara, bila tidak tersedia dapat di ruangan biasa tetapi cukup tenang.
Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lebih obyektif, dapat dimanfaatkan untuk bayi dibawah 6 bulan misalnya pemeriksaan Behavioral Observation Test (BOT) atau Behavioral Observation Audiometry (BOA).
Pada anak usia 6 bulan atau lebih pemeriksaan behavioral juga dapat dilakukan untuk konfirmasi pemeriksaan obyektif yang telah dilakukan, terutama bila menghadapi kendala untuk memperoleh pemeriksaan yang bersifat frequency spesific.
Behavioral Observation Audiometry (BOA)
Tujuan : menentukan ambang pendengaran berdasarkan unconditioned responses terhadap bunyi; misalnya refleks behavioral. Untuk menilai bayi/anak 0 6 bulan. Frekuensi stimulus : range speech frequency.
Persyaratan
Pemeriksaan di ruang kedap suara/cukup tenang
Respon bayi dinilai oleh 2 orang pemeriksa
Stimulus berjarak 1 meter dari dari telinga, di belakang garis lapang pandangan
Stimulus : Audiometer + loud speaker
Intensitas stimulus dikalibrasi dengan sound level meter
Respon yang dinilai : respon behavioral /refleks( unconditioned
response):
- mengejapkan mata (refleks auropalpebral)
- ritme jantung bertambah cepat - berhenti meyusu (cessation reflex) - mengerutkan wajah (grimacing)
- terkejut (refleks Moro)
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
31
Prosedur Pemeriksaan BOA Bayi dipangku dalam kondisi siap memberi respons/setengah tidur Dapat sambil menyusu Bila tidur nyenyak; bangunkan. Bila ketakutan : tunda. Orangtua tidak ikut mambantu respons Respons harus konsisten dan dapat diulang Pada saat terjadi respons, catat intensitas Bila respon (-) catat intensitas paling besar
Keterbatasan : tidak menentukan threshold (ambang pendengaran). Prosedur Behavioral Obsevation Test sama dengan BOA, tetapi menggunakan stimulus yang tidak terukur frekuensi dan intensitasnya( misalnya bertepuk tangan). Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
Tujuan : Menentukan ambang pendengaran bayi 7 -30 bulan dengan menilai conditioned response (respons yang telah dilatih terlebih dahulu). Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menentukan ambang pendengaran. Keterbatasan : karena stimulus berasal dari pengeras suara (loudspeaker), maka ambang yang diperoleh menunjukkan kondisi telinga yang lebih baik.
Cara Pemeriksaan
Bayi dilatih terlebih dahulu untuk memberikan respons khusus (misal memutar kepala) terhadap stimulus bunyi dengan kekerasan bunyi (intensitas) tertentu. Bila bayi memberikan respons, berikan hadiah berupa cahaya lampu. Kemudian pemeriksaan diulang dengan intensitas yang lebih rendah sampai tercapai ambang dengar yaitu stimulus terkecil
yang masih menghasilkan respons.
Conditioned Play Audiometry (CPA)
Tujuan : Menilai ambang pendengaran berdasarkan respons yang telah dilatih (conditioned) melalui kegiatan bermain terhadap stimulus bunyi. Stimulus bunyi diberikan melalui ear phone sehingga dapat diperoleh
Gambar 18. Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
Keterangan Gambar 8
S : Speaker; VR : Visual reinforcer; P : Orang tua( memangku bayi); I : Bayi; A : Pemeriksa; TA : Observer
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
32
ambang pada masing masing frekuensi (frequency-specific) dan masing-masing telinga (ear specific). Dengan teknik ini, dapat ditentukan jenis dan derajat ganggguan pendengaran. Dilakukan untuk anak usia 30 bulan 5 tahun. Prosedur Pemeriksaan Terlebih dahulu anak dilatih memberikan respons melalui kegiatan bermain, misalnya memasukkan sebuah balok ke dalam kotak; bila anak mendengar suara dengan intensitas (kekerasan bunyi) tertentu. Selanjutnya intensitas diturunkan sampai diperoleh intensitas terkecil di mana anak masih memberikan respons terhadap bunyi. Bila suara diganti dengan ucapan (kata-kata) dapat juga ditentukan speech reception threshold (SRT).
b.2. Tes Daya Dengar (Modifikasi) Merupakan pemeriksaan subyektif untuk deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi dan anak dengan menggunakan kuesioner berisikan pertanyaan- pertanyaan ada tidaknya respons (daya dengar) bayi atau anak terhadap stimulus bunyi. Pertanyaan berbeda untuk 8 kelompok usia. Untuk tiap kelompok usia, daftar pertanyaan terbagi menjadi 3 kelompok penilaian kemampuan; (1) Ekspresif, (2) Reseptif dan (3) Visual; masing-masing terdiri dari 3 pertanyaan dengan jawaban Ya atau Tidak. Daftar pertanyaan Tes Daya Dengar (modifikasi) dapat dilihat pada lampiran 2. Cara penilaian 1. Bila semua pertanyaan (3 buah) dijawab Ya berarti tidak terdapat
kelainan daya dengar (Kode N/normal). 2. Bila terdapat minimal 1 (satu) jawaban Tidak berarti kita harus hati-
hati terhadap kemungkinan gangguan daya dengar (Kode HTN/Hati-hati Tidak Normal). Tes harus diulang 1 (satu) bulan lagi.
3. Bila semua jawaban adalah Tidak mungkin terdapat gangguan lain dengan atau tanpa kelainan daya dengar (ada gangguan lain dan tidak normal).
4. Bila semua jawaban pada kemampuan ekspresif dan reseptif adalah Tidak dengan kemampuan visual normal berarti ada kelainan pada daya dengar (Kode TN/Tidak Normal).
Anak dengan kode HTN, GTN, dan TN dicatat pada kemampuan mana anak tidak bisa mengerjakan; dan bila dilakukan tes dibawah kelompok usianya, sampai usia mana anak bisa mengerjakan tes tersebut.
4.4. Tindak Lanjut setelah Skrining Pendengaran Bayi yang tidak lulus skrining tahap kedua harus dirujuk untuk pemeriksaan audiologi lengkap termasuk pemeriksaan OAE,ABR dan Behavioral Audiometry, sehingga dapat dipastikan ambang pendengaran pada kedua telinga dan lokasi lesi auditorik. Diagnosis pasti idealnya telah selesai dikerjakan pada saat bayi berusia 3 bulan.
Berdasarkan alur skrining pendengaran bayi HTA 2006 (Lampiran 1), bayi yang gagal pada skrining awal, dilakukan pemeriksaan timpanometri,
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
33
DPOAE dan AABR pada usia 3 bulan. Bila tetap tidak lulus, segera dilakukan pemeriksaan BERA stimulus click + tone burst 500 Hz atau ASSR, sedangkan BERA bone conduction diperiksa bila ada pemanjangan masa laten (gangguan pendengaran konduktif).
Sebaiknya pemeriksaan tersebut diatas dikonfirmasi dengan Behavioral Audiometry. Terhadap bayi yang lulus skrining awal, tetap dilakukan pemeriksaan DPOAE dan AABR pada usia 3 bulan. Bila tidak lulus, segera dilanjutkan dengan pemeriksaan audiologi lengkap. Untuk bayi yang lulus skrining namun mempunyai faktor risiko terhadap gangguan pendengaran, dianjurkan untuk follow up sampai anak bisa berbicara.
5. Diagnosis Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT, pemeriksaan pendengaran baik secara subyektif maupun obyektif, pemeriksaan perkembangan motorik, kemampuan berbicara serta psikologis.
6. Tatalaksana Apabila ditemukan adanya gangguan pendengaran sensorineural harus dilakukan habilitasi berupa amplifikasi pendengaran, misalnya dengan alat bantu dengar (ABD). Selain itu, bayi/anak juga perlu mendapat habilitasi wicara berupa terapi wicara atau terapi audioverbal (AVT) sehingga dapat belajar mendeteksi suara dan memahami percakapan agar mampu berkomunikasi dengan optimal.
Rekomendasi dari American Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) yang ditetapkan berdasarkan banyak penelitian menyatakan bahwa bila skrining pendengaran pada bayi telah dimulai pada usia 2 hari, kemudian diagnosis dipastikan pada usia 3 bulan sehingga habilitasi yang optimal dapat dimulai pada usia 6 bulan; maka pada usia 36 bulan kemampuan wicara anak tidak berbeda jauh dengan anak yang memiliki pendengaran normal.
Dalam hal pemasangan ABD harus dilakukan seleksi ABD yang tepat dan proses fitting yang sesuai dengan kebutuhan sehingga diperoleh amplifikasi yang optimal. Proses fitting ABD pada bayi/anak jauh lebih sulit dibandingkan orang dewasa. Akhir-akhir ini ambang pendengaran yang spesifik pada bayi dapat ditentukan melalui teknik Auditory Steady State Response (ASSR), yang hasilnya dianggap sebagai prediksi audiogram, sehingga proses fitting ABD bayi lebih optimal. Bila ternyata ABD tidak dapat membantu, salah satu alternatif adalah implantasi koklea.
7. Pencegahan Mengingat tingginya angka infeksi yang dapat terjadi pada ibu hamil dan anak maka perlu dilakukan imunisasi misalnya untuk rubela, sehingga pemeriksaan kehamilanpun dianjurkan untuk dilakukan secara teratur. Apabila diketahui kemungkinan adanya faktor genetik , maka dianjurkan untuk konseling genetik.
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
34
REKOMENDASI HTA
1. Skrining pendengaran dilakukan pada semua bayi baru lahir dengan atau tanpa faktor risiko. (Rekomendasi B LoE IIb)
2. Skrining dilakukan sebelum bayi meninggalkan RS pada bayi yang lahir di RS dan sebelum usia satu bulan pada bayi yang lahir selain di RS. (Rekomendasi C LoE IV)
3. Diagnosis gangguan pendengaran ditegakkan sebelum usia tiga bulan dan dilanjutkan dengan tatalaksana sebelum usia enam bulan. (Rekomendasi B LoE IIb)
4. Skrining pendengaran di Indonesia dilaksanakan dengan alur sebagai berikut: (terlampir dalam lampiran 2).
5. Departemen THT meningkatkan kerjasama dengan cabang ilmu terkait yaitu Departemen Ilmu Kesehatan Anak (Perinatologi dan Neurologi), Kebidanan dan Kandungan, Rehabilitasi Medik, Psikiatri, dan ahli audiologi dalam hal penatalaksaan pasien.
6. Departemen Kesehatan RI berdasarkan asupan dari PERHATI-KL menyusun
kebijakan penyediaan fasilitas skrining pendengaran pada bayi dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi setempat.
7. Institusi pendidikan dan PERHATI-KL menyelenggarakan kursus, pelatihan, dan bimbingan teknologi untuk meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM berkaitan dengan skrining pendengaran pada bayi baru lahir.
Daftar Pustaka
1. Joint Committee on infant hearing. Year 2000 Position Statement: Principles and Guidelines for Early Hearing Detection and Intervention Programs. Pediatrics 2000;106:789-817.
2. Suwento R. Zizlavsky S, Hendarmin H. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 31-42
3. Rehm HL, Willianson RE, Keana MA, Corey DP, Korf BR. Understanding the genetics of deafness, a guide for parents and families. Harvard Medical School Center for hereditary deafness. Diunduh dari: http://hearing.harvard.edu. Diakses tanggal 10 April 2004.
4. Stach BA. Causes of hearing impairment. Dalam: Stach BA. Clinical Audiology: An introduction. San Diego: Singular Publishing Group; 1998. h. 117-61.
5. Fatmawaty. Peranan Tes Daya Dengar (TDD) untuk deteksi dini gangguan pendengaran pada anak dengan keterlambatan wicara. Tesis S2 Departemen IKA FKUI/ RSCM.2006
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
35
B. Skrining Hipotiroid Kongenital
Definisi Hipotiroid kongenital (HK) merupakan kelainan pada bayi sejak lahir yang
disebabkan defisiensi sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid, dan berkurangnya kerja hormon tiroid pada tingkat selular.1
HK merupakan salah satu penyebab terjadinya retardasi mental pada anak. HK merupakan suatu penyakit bawaan yang dapat disembuhkan secara total jika pengobatan dilakukan sejak dini. Di antara penyebab-penyebab retardasi mental yang dapat dicegah yang dapat dikenali melalui uji saring pada bayi baru lahir (BBL), HK merupakan penyebab yang tersering, sementara penyebab lain misalnya phenylketonuria (PKU) lebih jarang.1
Epidemiologi
Angka kejadian HK di dunia adalah sekitar 1:3.500.2 Di Indonesia dengan populasi 200 juta penduduk dan angka kelahiran 2% berarti ada 4.000.000 bayi dilahirkan setiap tahunnya. Berdasarkan data tersebut setiap tahun di Indonesia diperkirakan lahir 1.143 bayi dengan HK. Di RSCM pada tahun 1992-2004 terdapat 93 kasus dengan perbandingan perempuan terhadap laki-laki adalah 57:36 (61%:39%). Prevalensi HK di Jawa Barat adalah 1:3.885.3 Dalam suatu penelitian deskriptif retrospektif ditemukan 30 kasus HK di Poli Endokrinologi Anak dan Remaja FKUI/RSCM pada tahun 1992-2002 yang terdiri dari 9 anak laki-laki (30%) dan 21 anak perempuan (70%). Pada saat datang pertama kali didapatkan 53,3% kasus berumur 1-5 tahun. Hanya 3 kasus HK yang terdiagnosis di bawah umur 3 bulan.4
Etiologi
Etiologi yang spesifik bervariasi pada berbagai negara, yang tersering menurut Bourgeois yaitu:5
1. Tiroid ektopik (25-50%) 2. Agenesis tiroid (20-50%) 3. Dishormogenesis (4-15%) 4. Disfungsi hipotalamus pituitari (10-15%)
Manifestasi klinis
Sebagian besar BBL dengan HK adalah asimtomatik karena adanya T4
transplasenta maternal. Pada sejumlah kasus defisiensi tiroid dapat menunjukkan gejala yang berat yang tampak pada minggu-minggu pertama kehidupan dan pada derajat defisiensi yang ringan gangguan baru bermanifestasi setelah usia beberapa bulan.6
Hipotiroid kongenital memberikan menifestasi klinis sebagai berikut: 1. Gangguan makan (malas, kurang nafsu makan, dan sering tersedak pada
satu bulan pertama) 2. Jarang menangis, banyak tidur (somnolen), dan tampak lamban6 3. Konstipasi 4. Tangisan parau (hoarse cry) 5. Pucat5,7 6. Berat dan panjang lahir normal, lingkar kepala sedikit melebar 7. Ikterus fisiologis yang memanjang 8. Lidah besar (makroglosia) sehingga menimbulkan gangguan pernafasan
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
36
9. Ukuran abdomen besar dengan hernia umbilikalis 10. Temperatur tubuh subnormal, seringkali
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
37
surge;3 skrining dilakukan sebelum pemulangan dari rumah sakit atau sebelum transfusi. Hasil false negative dapat terjadi pada bayi dengan kondisi sakit berat atau setelah mendapat transfusi.10
Tetesan darah ditempelkan pada kertas saring Schleicher & Schuell #903TM (S & S 903). Setelah dibiarkan kering selama 3-4 jam, dapat dikirimkan perpos dalam amplop surat.8
Dengan demikian hasil bisa cepat diperoleh dan pada kasus positif memungkinkan pengobatan sebelum bayi berumur 1 bulan. Pada bayi prematur atau bayi yang sakit berat, pengambilan darah bisa ditangguhkan, tetapi tidak melebihi umur 7 hari.8
Deteksi dini HK akan mencegah keterlambatan perkembangan neurologis dan retardasi mental akibat HK yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.11
Cara pengambilan spesimen diperlihatkan dalam gambar berikut:
Sumber: Rustama DS
Gambar 23.
Spesimen dibungkus
dalam amplop
Gambar 19.
Lokasi tusukan tumit
Gambar 22. Spesimen dikeringkan selama
3-4 jam pada suhu kamar
Gambar 21.
Cara meneteskan darah
pada kertas saring
Gambar 20.
Cara pengambilan
spesimen
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
38
Kriteria skrining Nilai TSH neonatus diperkirakan dengan metode ELISA menggunakan
peroksidase yang dilabeli dengan monoclonal antibody antiTSH ke dalam micro well yang kemudian diukur kadarnya dengan menghitung tingkat absorpsinya. Nilai TSH yang mencapai 10 mIU/l dianggap normal, 10-20 mIU/L dianggap sebagai nilai batas dan >20 mIU/L dianggap abrnormal.12
Nilai tersebut dapat bervariasi, tergantung pada reagen yang digunakan. Tes uji saring dilakukan dengan pengukuran TSH IRMA, dengan double antibody radioimmunoassay, dan pemeriksaan T4 dengan coated tube radioimmunoassay. Reagen yang digunakan dalam bentuk kit (contoh kit Skybio Ltd dan DPC). Bila nilai TSH 20 mIU/L. dianggap abnormal dan perlu pemeriksaan lebih lanjut. Bila
kadar TSH > 50 IU/L perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan TSH dan T4 serum. Bila kadar TSH tinggi, > 50 mIU/L; dan T4 rendah, < 6 g/dL, bayi diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis. Semua bayi dengan kadar TSH diatas nilai cut-off dipanggil kembali/recall (Gambar 24).8
Mayoritas bayi hipotiroidisme primer mempunyai nilai TSH >80 IU/mL. Beberapa kondisi hipotiroidisme nonprimer yang berhubungan dengan nilai T4 rendah misalnya hipotiroidisme sekunder, thyroid binding globulin (TBG) rendah, terapi maternal (dengan lithium, iodida), prematuritas, penyakit berat, hipotiroidisme sementara yang idiopatik, dan tiroiditis maternal. Sebagian besar kelainan ini biasanya bersifat sementara. Frekuensi hipotiroidisme sekunder diperkirakan 1:60.000 dan sebagai akibat kelainan hipofisis atau hipotalamus. Nilai T4 yang rendah dengan TSH normal atau sedikit meningkat ditemukan pada bayi berat lahir rendah kemudian akan menjadi normal setelah status nutrisinya diperbaiki.13
Gambar 24. Algoritma skrining hipotiroid kongenital8
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
39
Follow up hasil skrining Follow up jangka pendek dimulai dari hasil laboratorium (hasil positif) dan
berakhir dengan pemberian terapi hormon tiroid (tiroksin). Follow up jangka panjang diawali sejak pemberian obat dan berlangsung seumur hidup pada kelainan yang permanen.
Hasil tes positif membutuhkan penilaian oleh klinisi dan petugas laboratorium yang kompeten dan menjamin diagnosis yang tepat dan akurat. Pada bayi dengan hasil tes positif, harus segera dipanggil kembali untuk pemeriksaan TSH dan T4 serum. Bayi dengan hasil TSH tinggi ( 50 mIU/L) dan T4 rendah (< 6 g/dL), harus dianggap menderita HK sampai diagnosis pasti ditegakkan.
Penatalaksanaan selanjutnya adalah sebagai berikut : Anamnesis pada ibu, apakah ada penyakit tiroid pada ibu atau keluarga,
atau mengkonsumsi obat antitiroid; Anamnesis tentang bayi; Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda dan gejala HK (Tabel 2);
Tabel 2. Daftar isian pemeriksaan fisis follow up hasil skrining8
Gejala Ya Tidak Tanda Ya Tidak
Letargi Kulit burik Konstipasi Ikterus
Kesulitan
minum (sering
tersedak)
Hernia
umbilikalis
Kulit teraba dingin
Makroglosi
Fontanel melebar
Perut buncit
Tangisan serak
Kulit kering
Refleks lambat Refleks lambat
Bila memungkinkan, lakukan pemeriksaan penunjang : Sidik tiroid (dengan 123I atau TC99m). Pencitraan, pemeriksaan pertumbuhan tulang (sendi lutut dan
panggul). Tidak tampaknya epifisis pada lutut menunjukkan derajat hipotiroid dalam kandungan.
Pemeriksaan anti tiroid antibodi bayi dan ibu, bila ada riwayat penyakit autoimun tiroid.
Penjelasan/penyuluhan kepada orangtua bayi mengenai : penyebab HK dari bayi mereka, pentingnya diagnosis dan terapi dini untuk mencegah hambatan
tumbuh kembang bayi, cara pemberian obat tiroksin, pentingnya pemeriksaan secara teratur sesuai jadwal yang dianjurkan
dokter.
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
40
Skrining untuk fasilitas terbatas Untuk tingkat pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas, dapat
dipergunakan neonatal hipotyroid index untuk skrining HK (Tabel 3). Skrining ini didasarkan pada penilaian terhadap klinis bayi; diagnosis HK ditentukan
jika skor 4; bayi normal jika skor 2 kemudian diperiksa nilai FT4 & TSHs. Pemeriksaan ini tidak valid setelah bayi berusia > 6 bulan.
Tabel 3. Neonatal hypotiroid index 0
Manifestasi klinis Skor
1.Gangguan makan 1
2. Konstipasi 1
3. Bayi tidak aktif 1
4.Hipotonia 1
5.Hernia umbilikalis (>0.5cm) 1
6.Makroglosia 1
7.Cutis marmorata 1
8.Kulit kering 1.5
9.Large fontanelle (>0.5cm) 1.5
10.Typical Fascies 3
Total 13
Sumber : Letarte, Garagorri (1989)
Pengobatan Setelah dikonfirmasi, terapi dengan hormon tiroid pada penderita HK
harus diberikan secepat mungkin. Target terapi adalah mencapai kadar T4 normal dalam 2 minggu dan TSH dalam 1 bulan.10
Bayi baru lahir biasanya membutuhkan dosis 8-15 g/kg/hari; tujuan
terapi adalah menormalisasi kadar TSH sesegera mungkin. Terapi untuk bayi cukup bulan dimulai dengan 50 g/hari selama 1-2 minggu, kemudian dosis diturunkan menjadi 37.5 g/hari (p.o.). Tablet levothyroxine sintetis dilarutkan dalam 5-10 ml air dan diminumkan kepada bayi dengan spuit pada awal menyusu untuk memastikan seluruh obatnya terminum dengan baik.11
Dianjurkan untuk memberikan selang waktu minimal 1 jam antara terapi dengan konsumsi susu formula yang mengandung kedelai atau suplementasi besi dan serat.10,11 Pemberian ASI dapat dilanjutkan.10
Sebagai tanda bahwa bayi mendapatkan terapi yang mencukupi, kadar T4 harus segera mencapai nilai normal. Untuk mencapai kecukupan obat, dianjurkan selama pengobatan, nilai T4 berada diatas nilai tengah rentang kadar T4 normal, yaitu 130-206 nmol/L (10-16 g/dL) dan nilai TSH < 5 mIU/L (0.5-2.0 mIU/L); FT4 18-30 pmol/L (1.4-2.3 ng/dL). Kondisi ini
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
41
dipertahankan terus selama terapi sampai bayi berusia 3 tahun. Dianjurkan memberikan dosis awal tidak kurang dari 10 ug/kg/hari, agar tercapai IQ mendekati normal.8,10
Setelah terapi, diharapkan kadar T4 meningkat mencapai > 10 g/dL; FT4 > 2 ng/dl dalam 2 minggu pascaterapi inisial. TSH diharapkan normal dalam 1 bulan pascaterapi inisial. Pemeriksaan FT4 pada 1 minggu pascaterapi inisial dapat mengkonfirmasi peningkatan konsentrasi T4 serum. Dosis tiroksin harus disesuaikan dengan klinis bayi, serta konsentrasi FT4 serum dan TSH.10
Tujuan terapi adalah mencapai tumbuh kembang normal dengan mempertahankan konsentrasi total T4 dan FT4 serum dalam nilai tengah rentang normal sepanjang 1 tahun pertama kehidupan bayi, dengan konsentrasi TSH serum yang optimal (0.5-2.0 mIU/L). Kegagalan mencapai target konsentrasi FT4 serum tersebut dalam 2 minggu pascaterapi dan atau kegagalan menurunkan nilai TSH sampai < 20 mIU/L dalam 4 minggu pascaterapi harus dipikirkan bahwa bayi tidak mendapat dosis terapi yang adekuat.10
Segala upaya terapi untuk mencapai target tersebut, tetap harus mempertimbangkan efek samping dari pengobatan yang berlebihan terhadap bayi, serta harus dilakukan pemantauan konsentrasi FT4 serum secara berkala. Kondisi hipertiroidisme yang berkepanjangan akibat terapi, terkait dengan kejadian premature craniosynostosis.10
Pada umumnya dosis tiroksin bervariasi tergantung berat badan dan disesuaikan respons masing-masing anak dalam menormalkan kadar T4. Sebagai pedoman, dosis yang umum dipergunakan adalah :
0 6 bulan 25-50 g/hari atau 8-15 g/kg/hari 6 12 bulan 50-75 g/hari atau 7-10 g/kg/hari 1 5 tahun 50-100 g/hari atau 5-7 g/kg/hari 5 10 tahun 100-150 g/hari atau 3-5 g/kg/hari
> 10 12 tahun 100-200 g/hari atau 2-4 g/kg/hari
Pemantauan Pemantauan fungsi tiroid dengan pemeriksaan TSH dan T4 atau FT4
dilakukan :
Setelah pemberian tiroksin Tiap 2 minggu, sampai kadar
T4 normal
1-12 bulan Tiap 2 bulan
1-2 tahun Tiap 3 bulan
2 3 tahun Tiap 4 bulan
> 3 tahun Tiap 6 bulan
Sebaiknya T4 dan TSH diperiksa setelah 2 minggu perubahan dosis tiroksin.
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
42
Pemantauan lainnya meliputi : Pertumbuhan Perkembangan Fungsi mental dan kognitif Gejala kekurangan/kelebihan dosis tiroksin Tes pendengaran Umur tulang
Gambar 25. Alur follow up hasil skrining hipotiroid kongenital Sumber : Pedoman Umum Pelaksanaan Skrining Hipotiroid Kongenital
(Pokjanas Hipotiroid Kongenital Kementrian Kesehatan)
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
43
Daftar Pustaka
1. Rustama DS, Fadil MR, Harahap ER, Primadi A. Newborn screening in Indonesia. Dalam: David-Padilla C, Abad L, Silao CL, Therell BL. Southeast Asian J Tropical Med and Public Health 2003; 34 Suppl 3:76-9.
2. Satyawirawan FS. Penapisan hipotiroid congenital. Dalam : Suryaatmadja M. Pendidikan berkesinambungan patologi klinik 2005. Jakarta: Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005. H. 95-104.
3. Pulungan AB. Hipotiroid kongenital (HK). UKK Endokrinologi IDAI, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jakarta.
4. Deliana M, Batubara JR, Tridjaja B, Pulungan AB. Hipotiroidisme
kongenital di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta, tahun 1992-2002. Sari Pediatri 2003; 5(2):79-84. (Level of Evidence IIB, Grade of Recommendation B)
5. Bourgeois MJ. Congenital hypothyroidism. Department of Pediatrics, Division of Pediatric Endocrinology and Metabolism, Texas Tech University School of Medicine; 2004. h.1-13.
6. LaFranchi S. Thyroid function in preterm infant. Thyroid 1999; 9: 71-8 7. Newborn S. Prog 8. Komite Nasional Skrining Hipotiroid Kongenital. Pedoman Umum
Pelaksanaan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK). Departemen Kesehatan; 2005.
9. (Deliana) 10. National Guideline Clearinghouse. Update of newborn screening and
therapy for congenital hypothyroidism (2006). 11. Murray MA. Primary TSH screen for congenital hypothyroidism. Summer
2009;1(2):1-5. 12. (Devi) 13. (Satyawirawan FS.)
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
44
C. Skrining Retinopathy of Prematurity
Definisi Retinopathy of Prematurity (ROP) adalah suatu kelainan retina dari bayi
prematur berat badan lahir rendah (BBLR) yang dapat berpotensi mengakibatkan kebutaan.
Epidemiologi
Prevalensi ROP pada studi di Panti Netra di Indonesia melaporkan prevalensi ROP sebesar 1.1 %.1,2 Namun dengan meningkatnya harapan hidup bayi prematur dengan berat badan lahir sangat rendah di negara berkembang akibat kemajuan teknologi perawatan neonatus, ROP berkembang menjadi suatu masalah yang berarti.1
Faktor risiko
Beberapa keadaan dilaporkan sebagai faktor risiko berkembangnya ROP pada bayi prematur/BBLR. Studi yang dilakukan Karna, dkk (2004) terhadap faktor risiko terjadinya ROP, dikatakan bahwa jenis kelamin, sindroma distress respiratori, terapi 36 minggu usia pasca konsepsi dan penggunaan steroid prenatal tidak menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap ROP berat. Kejadian ROP menurun pada usia kehamilan 26-28 minggu (OR:4.12, 95% IK: 1.0516.11) dibandingkan pada usia kehamilan 25 minggu (OR:11.27, 95% IK: 2.61 48.66). Dilaporkan juga bahwa pemberian oksigen lebih dari 2 minggu meningkatkan insidens ROP berat (OR:4.09, 95% IK: 1.5211.03).3 Shah VA (2005) menyatakan insidens ROP diantara bayi dengan berat lahir sangat rendah sebesar 29.2%. Terdapat hubungan bermakna antara ROP dan bayi dengan berat badan yang semakin rendah, semakin muda (imatur), atau sakit. Usia median untuk onset ROP adalah 35 minggu (dari 31-40 minggu) usia postmenstrual. Bayi dengan usia gestasi < 30 minggu dan atau bayi dengan berat lahir < 1.000 g merupakan ambang batas risiko ROP. Faktor risiko utama untuk terjadinya hal tersebut antara lain preeklamsia maternal, berat lahir, dan kejadian perdarahan pulmonal, durasi ventilasi dan ventilasi tekanan positif yang berlanjut. Untuk mencegah ROP, diperlukan pencegahan terhadap kejadian prematuritas, mengontrol preeklamsia, serta menggunakan ventilasi dan terapi oksigen secara bijaksana.4
Skrining Pada bayi aterm retina berkembang sempurna, dan ROP tidak dapat
terjadi. Namun, pada bayi prematur, perkembangan retina yang berjalan dari papil nervus optikus ke anterior selama masa gestasi berlangsung secara tidak lengkap, dengan tingkat imaturitas retina bergantung terutama pada derajat prematuritas saat lahir.
Perhatian dan perawatan yang efektif diperlukan, dimana bayi prematur yang berisiko mendapatkan pemeriksaan retina yang terjadwal baik. Pemeriksaan ini dianjurkan dilakukan oleh seorang spesialis mata yang terlatih dalam skrining ROP pada bayi prematur. Demikian juga spesialis anak yang merawat bayi prematur dengan risiko ini menyadari akan pengaturan jadwal ini.
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
45
a. Tujuan skrining Tujuan suatu program skrining yang efektif adalah untuk
mengidentifikasi bayi prematur yang memerlukan terapi ROP (ROP threshold, ROP prethreshold), tapi juga dengan meminimalisasi sejumlah pemeriksaan yang penuh stres ini bagi si bayi sakit.
ROP merupakan kelainan yang berpotensi menyebabkan kebutaan, namun sebetulnya kebutaannya dapat dicegah. Identifikasi dini dilanjutkan dengan terapi yang dilakukan dalam kerangka waktu yang tepat, akan dapat mencegah kebutaan.
Walaupun tanpa terapi, 85% kasus ROP dapat mengalami regresi spontan, dan dari 15% yang mengalami progresi , 85% di antaranya berespon baik dengan terapi laser ataupun krioterapi.
b. Pedoman skrining
Pedoman Skrining ROP ditetapkan pada banyak negara. Perlu diingat bahwa parameter skrining ini dapat berbeda antar negara yang satu dengan lainnya.
Komite/Pokja Nasional ROP yang dibentuk pada Indonesia National ROP Workshops bulan Januari 2009 di Jakarta merekomendasikan beberapa hal berkaitan dengan bayi prematur dan ROP, diantaranya adalah Parameter Skrining ROP pada bayi prematur sebagai berikut:5
- Bayi dengan berat lahir
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
46
Regresi tanpa terapi dengan pemeriksaan yang stabil
e. Penundaaan skrining: Apabila keputusan untuk melakukan penundaan skrining dibuat atas
alasan klinis, maka hal tersebut haruslah merupakan keputusan bersama antara dokter mata dengan tim dokter perinatologi dengan mempertimbangkan risiko penundaan tersebut. Keputusan tersebut harus ditulis dalam catatan medik bayi dengan menjelaskan secara jelas alasan ditundanya skrining dan pemeriksaan harus dijadwalkan kembali dalam segera setelah waktu pemeriksaan yang seharusnya.
Klasifikasi ROP
The International Classification of ROP (ICROP) mengklasifikasikan kelainan pada ROP berdasarkan : 7
lokasi keterlibatan retina berdasarkan zona (zona 1-3);
stadium atau beratnya retinopati pada persambungan retina vaskuler dan avaskuler (stadium 1-5);
luasnya keterlibatan retina berdasarkan arah jarum jam;
ada/tidaknya dilatasi vena serta lekukan pembuluh darah polus posterior. (Gambar klasifikasi ROP, lihat lampiran)
Gambar 26. Klasifikasi Zona ROP
Sumber: Kuschel C, Dai S. Retinopathy of Prematurity.
Newborn Services Clinical Guideline. 2007.
Catatan penting: - Kerjasama yang baik antara spesialis mata dan neonatologis/spesialis anak
sangat penting untuk mendapatkan hasil yang baik - Buatlah perencanaan jadwal yang baik untuk pemeriksaan follow-up pada
saat pasien akan dipulangkan:
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
47
Dokter spesialis anak (neonatologis) dan dokter spesialis mata perlu membuat rencana follow-up pasien.
Sebaiknya tunda pemulangan pasien apabila follow-up mata belum dijadwalkan.
Buatlah pasien menyadari tanggung jawabnya untuk membawa bayinya pada pemeriksaan follow-up mata seperti dijadwalkan.
Tatalaksana
Observasi8
Scleral Buckle
Vitrektomi
Cryotherapy8
Laser8 Komplikasi
Katarak
Glaukoma
Kerusakan kornea
Atrofi nervus optikus
Kerusakan pigmen fovea
Miopia8
Strabismus8
Ablasi retina8
REKOMENDASI HTA 1. Bayi dengan berat lahir
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
48
Daftar pustaka
1 Sitorus RS, Abidin MS, Lorenz B, Prihartono. Prevalence of ROP in Indonesia:
results from School for the Blind studies in Java island. Acta Medica Lithuanica 2006;13:204-6
2 Sitorus RS, Abidin MS, Prihartono J. Causes and temporal trends of childhood blindness in Indonesia: study at schools for the blind in Java. Br J Ophthalmol. 2007 Sep;91(9):1109-13
3 Karna P, Muttineni J, Angell L, Karmaus W. Retinopathy of prematurity and risk factors:a prospective cohort study. BMC Pediatrics 2005, 5:18.
4 Shah VA. Incidence, Risk Factors of Retinopathy of Prematurity Among Very
Low Birth Weight Infants in Singapore. Ann Acad Med Singapore 2005;34:169-78.
5 Indonesia National Committee on ROP. Report on The first National ROP Workshops. Jakarta, 2009.
6 International Committee for the Classification of Retinopathy of Prematurity. The international classification of retinopathy of prematurity revisited. Arch Ophthalmol 2005; 123(7):991-999.
7 International Committee for the Classification of Retinopathy of Prematurity. The international classification of retinopathy of prematurity revisited. Arch Ophthalmol 2005; 123(7):991-999.
8 The Early Treatment for Retinopathy of Prematurity Comparative Group. The Early Treatment for Retinopathy of Prematurity Study: structural findings at age 2 years. Br J Ophthalmology 2006;90:1378-82.doi: 10.1136/bjo.2006.098582.
Top Related