Bed Side Teaching
Konjungtivitis Vernal
Disusun Oleh:
Rana Zara Athaya 1110313069
Rizki Ismi Arsyad 1110313014
Preseptor :
dr. Getry Sukmawati, Sp.M (K)
BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2016
1
BAB I
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 14 tahun
Alamat : Bukittinggi
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 14 tahun datang ke poli RSUP M. Djamil Padang.
Dilakukan anamnesis dan didapatkan :
Keluhan Utama : Kedua mata merah dan berair sejak 1 bulan yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
- Kedua mata semakin merah dan berair sejak 1 bulang.
- Awalnya mata mulai merah dan berair ketika umur 3 tahun.
- Mata semakin merah, berair, perih setelah terpapar debu.
- Riwayat gatal pada mata (+)
- Riwayat kotoran mata yang banyak pagi hari (+)
- Riwayat mata kabur (-)
- Riwayat gatal gatal pada kulit (-)
- Fotofobia (-)
Riwayat Pengobatan :
2
- Pasien berobat ke dokter mata pada umur 8 tahun dan kemudian dilakukan
pemeriksaan alergi
- Tahun 2014, pasien berobat di bukittinggi dan diberikan obat tetes mata, tetapi
pasien lupa dengan merek obat apa yang diberikan. Pasien juga melakukan test
imunologi
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat alergi makanan (-)
- Riwayat bersin-bersin dan keluar ingus encer pada pagi hari (-)
- Riwaya operasi mata sebelumnya (-)
- Riwayat penyakit mata yang lain (-)
- Riwayat penyakit asma (-)
- Riwayat trauma pada kedua bola mata (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Ayah pasien menderita alergi pada bagian kulit dan sering mengeluhkan gatal ketika
memakanan udang dan ikan
- Kakak pasien menderita asma
PEMERIKSAAN FISIK
3
STATUS
OFTALMOLOGI
OKULO DEKSTRA OKULO SINISTRA
Visus tanpa koreksi 5/5 5/5
Visus dengan koreksi - -
Reflek fundus (+) (+)
Silia / Supersilia Trikiasis (-)
Madarosis (-)
Trikiasis (-)
Madarosis (-)
Palpebra superior Edema (-) Edema (-)
Palpebra inferior Edema (+)
Hiperemis
Edema (+)
Hiperemis
Margo palpebral Entropion (-)
Ektropion (-)
Entropion (-)
Ektropion (-)
Aparat lakrimalis Normal Normal
Konjungtiva tarsalis Hiperemis (-)
Folikel (+)
Papil (+)
Sikatrik (-)
Hiperemis (-)
Folikel (+)
Papil (+)
Sikatrik (-)
Konjungtiva fornics Hiperemis (-)
Folikel (-)
Papil (-)
Sikatrik (-)
Hiperemis (-)
Folikel (-)
Papil (-)
Sikatrik (-)
Konjungtiva bulbi Hiperemis (+), Hiperemis (+)
4
injeksi siliar(-) injeksi siliar(-)
Sklera Putih Putih
Kornea Bening Bening
Kamera okuli anterior dalam dalam
Iris Coklat
Rugae (+)
Coklat
Rugae (+)
Pupil Bulat (+)
Ø 3 mm
Rf. cahaya +/+
Bulat (+)
Ø 3 mm
Rf. cahaya +/+
Lensa Jernih Jernih
Korpus vitreum Jernih Jernih
Funduskopi :
• Media
• Papil optic
• A/V retina
• Makula
• Retina
Bening
Bulat, batas tegas
Aa: vv = 2:3
Reflek fovea (+)
Perdarahan (-)
Bening
Bulat, batas tegas
Aa: vv = 2:3
Reflek fovea (+)
Perdarahan (-)
Tekanan bulbus oculi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Posisi bola mata Ortho Ortho
Gerakan bulbus okuli Bebas Bebas
5
Gambar
DIAGNOSIS KERJA
Konjungtivitis vernal ODS
DIAGNOSIS BANDING
TINDAKAN PENGOBATAN
Non famakologi
- Hindari menggosok mata
- Menggunakan kaca mata penutup yang berwarna hitam
- Hindari kasur berlapuk dan penggunaan karpet
- Hindari alergen
6
- Kompres air dingin di daerah mata untuk mengurangi keluhan
Farmakologi
- Tear film sesering mungkin
- Asetilsistein 10-20% eye drop
- Prednisolon topical, fosfat 1% 6-8 x/hari (1 minggu)
- Dexamethasone 2-3 tablet 4 x/hari (1-2 minggu)
- Antihistamin topical (cendoconal) 1-2 tts/hari
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva yang secara klasik ditandai
dengan konjungtiva yang hiperemis yang berkaitan dengan mata berair, keluarnya
sekret yang mukoid, mukopurulen, maupun purulen.1,2
Konjungtivitis Alergi adalah peradangan pada konjungtiva akibat alergi atau
reaksi hipersensitivitas yang mungkin segera (humoral) atau tertunda (seluler).
Konjungtiva sepuluh kali lebih sensitif terhadap alergi dibandingkan kulit.1,2
Konjungtivitis alergi dapat dibagi berdasarkan waktu munculnya reaksi alergi
tersebut, yaitu 1,2 :
1. Reaksi hipersensitivitas humoral (segera)
a. Konjuntivitis Alergi
- Konjungtivitis ‘Hay Fever’
Merupakan radang pada konjungtiva yang bersifat non-spesifik
ringan, reaksi musiman (serbuk sari dari bunga), dan di cuaca
tertentu yang ditandai dengan gatal, hiperemis dan berair. Biasanya
menyertai rinitis alergi.
- Konjungtivitis ‘Parennial’
Merupakan radang pada konjungtiva yang reaksinya terjadi
sepanjang tahun tidak bergantung pada musim, misalnya terhadap
debu rumah, bulu binatang peliharaan.
8
b. Keratokonjungtivitis Vernal
Keratokonjungtivitis vernal yang disebut juga ‘Catarrh musim semi’
atau ‘konjungtivitis musiman’. Reaksi hipersensitivitas tyoe I dan IV.
Biasanya bersifat berulang dan bilateral, jarang, dan terjadi secara
periodik yaitu pada musim kemarau. Gejala mereda bia pindah
daerah Ditandai dengan keluhan rasa gatal dan kotoran mata yang
berserat-serat.
c. Keratokonjungtivis Atopik
Peradangan pada konjungtiva yang biasanya menyertai dermatitis
atopik. Ditandai dengan adanya sensasi terbakar, sekret mukoid,
mata merah, dan fotofobia.
d. Konjungtivitis Papilar Raksasa
Peradangan pada konjungtiva yang ditandai dengan terbentuknya
papila yang berukuran sangat besar (Giant Papillary).
2. Reaksi hipersensitivitas selular (lambat)
a. Fliktenulosis
Peradangan pada konjungtiva yang merupakan respons hipersensitif
tipe lambat terhadap protein mikroba, termasuk protein basil
tuberkel, Staphilococcus sp, Candida albicans, Coccidiodes immitis,
Haemophilus aegyptius, dan Chalmidia trachomatis serotipe L1, L2,
L3.
b. Konjungtivitis ringan sekunder akibat blefaritis kontak
9
Merupakan reaksi peradangan yang muncul yang disebabkan oleh
atropine, neomycin, antibiotik spektrum-luas, dan obat topikal yang
menimbulkan hiperemis, hipertrofi papilar ringan, sekret mukoid
ringan, dan sedikit iritasi.
2.2 Anatomi 3
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang tipis dan transparan yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva tarsalis), permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbi). Pertemuan antara konjungtiva tarsalis dan
konjungtiva bulbi disebut konjungtiva forniks.
Konjungtiva tarsalis atau palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata,
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke
posterior (di forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi
konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi melekat longgar ke septum orbital di forniks dan melipat berkali-
kali. Adanya lipatan-lipatan tersebut memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Selain itu, konjungtiva bulbi melekat
longgar pada kapsul tenon dan sklera di bawahnya, kecuali di limbus.
Lipata konjungtiva bulbi yang tebal, lunak, dan mudah bergerak terletak di kantus
internus. Struktur epidermoid kecil semacam daging (caruncula) menempel secara
superfisial ke bagian dalam plica semilunaris dan merupakan zona transisi yang
mengandung elemen kulit maupun mukosa.
10
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis.
Kedua arteri tersebut beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan
venakonjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya. Pembuluh life konjungtiva
tersusun dalam lapisan superfisial dan profunda yang bergabung dengan pembuluh
limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari
percabangan pertama nervus V. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.
Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel
epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Sel- sel epitel superfisial mengandung
sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus yang diperlukan untuk dispersi air
mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat
mengandung pigmen. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid
(superfisialis) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung
jaringan limfoid dan tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan.
Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus
dan tersusun longgar pada mata.
11
Gambar 2.2.1. Anatomi Konjungtiva
Gambar 2.2.2. Pendarahan Konjungtiva
12
2.3 Epidemiologi
Konjungtivitis ‘Hay Fever’umumnya menyertai rinitis alergika. Biasanya terjadi
pada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan,
dan sebagainya.1
Pada keratokonjungtivitis vernal biasanya terjadi pada tahun-tahun prapubertas dan
berlangsung seelama 5-10 tahun. Penyakit ini lebih banyak mengenai laki-laki daripada
perempuan berusia 4-20 tahun. Penyakit ini terjadi di daerah beriklim hangat, jarang
pada daerah beriklim sedang, dan hampir tidak ada di daerah dingin. Paling banyak
ditemukan di daerah Afrika sub-Sahara dan Timur Tengah.1,2
Keratokonjungtivitis atopik biasanya menyertai penyakit dermatitis atopik.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia muda hingga dewasa, cenderung kurang aktif
saat pasien telah berusia 50 tahun, dan lebih dominan pada wanita1,2.
Keratokonjungtivitis papilar raksasa dapat dijumpai pada pasien pengguna lensa kontak
atau mata buatan dari plastik.1
Fliktenulosis terdistribusi di seluruh dunia. Namun, insidennya lebih tinggi pada
ngera-negara berkembang. Biasanya terjadi pada usia 3-15 tahun dimana insiden pada
perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Selain itu, biasa terjadi pada anak
dengan gizi kurang, lingkungan yang padat dan tidak higienis, lebih sering terjadi pada
musim panas dan semi.
2.4 Etiologi
Etiologi dari konjungtivitis alergi adalah 1,2 :
1. Konjungtivitis ‘Hay Fever’
13
Merupakan radang konjungtiva non-spesifik ringan yang umumnya menyertai rinitis
alergi. Terdapat riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan, dll.
2. Keratokonjungtivitis Vernal
Dipertimbangkan adanya reaksi hipersensitivitas terhadap beberapa alergen
eksogen, seperti serbuk sari rumput. Keratokonjungtivitis Vernal dianggap sebagai
alergi atopik di banyak kasus, di mana mekanisme IgE-mediated memainkan
peranan penting. Pasien memiliki riwayat atopik baik pribadi maupun keluarga.
Terdapat riwayat alergi terhadap jerami, demam, asma, atau eksim dan hasil
pemeriksaan darah menunjukkan eosinofilia dan peningkatan serum kadar IgE.
3. Keratokonjungtivitis Atopik
Pada keratokonjungtivitis atopik terdapat riwayat alergi pada pasien atau
keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis atopik sejak bayi.
4. Konjungtivitis Papilar Raksasa
Pada konjungtivitis papilar raksasa terjadi respon alergi lokal dipermukaan baik
secara fisik atau terdeposit karena pemakan lensa kontak, prosthesis, tertinggalnya
jahitan nilon. Kemungkinan hal tersebut merupakan pemicu terjadinya reaksi
sensitivitas.
5. Fliktenulosis
Fliktenulosis diyakini sebagai hipersensitivitas tertunda (Type IV) sebagai respon
terhadap protein endogen mikroba. Alergen penyebabnya dapat berupa :
a. Protein TB yang sebelumnya dianggap sebagai penyebab yang paling umum.
b. Protein Staphylococcus yang sekarang dianggap sebagai penyebab untuk
sebagian besar kasus.
14
c. Alergen lain yang mungkin adalah protein Moraxella Axenfeld bacillius dan
parasit tertentu (cacing)
6. Konjungtivitis Ringan Sekunder akibat Blefaritis Kontak
Merupakan hipersensitivitas tertunda (tipe IV) yang merupakan respon terhadap
kontak lama dengan bahan kimia dan obat-obatan. Beberapa obat tetes mata topikal
umum dikenal menyebabkan konjungtivitis ringan sekunder adalah atropin,
penisilin, neomisin, soframycin, dan gentamisin.
2.5 Patogenesis dan Patofisiologi
Konjungtiva adalah bagian dari MALT (mucossa associated lymphoid tissues) yang
melibatkan banyak jaringan mukosa dalam tubuh dimana imunitas humoral dalam
konjungtiva sebagian besar melibatkan IgA, dan imunitas seluler didominasi oleh CD4
dan sel T.4
Kondisi patologis pada konjungtivitis alergi disebabkan oleh interaksi antara
berbagai sel-sel sistem kekebalan tubuh, yang dimediasi oleh zat aktif fisiologis
(histamin dan leukotrien), sitokin, dan kemokin. Eosinofil adalah sel-sel efektor utama
dalam konjungtivitis alergi. Berbagai protein sitotoksik dilepaskan dari eosinofil dapat
mengakibatkan infiltrasi lokal ke dalam konjungtiva yang diduga menyebabkan
gangguan keratoconjunctival seperti pada Keratokonjungtivitis Atopi dan
Keratokonjungtivitis Vernal yang berat. Tipe reaksi immunologi yang didapatkan pada
konjungtivitis alergi berupa reaksi hipersensitivitas tipe 1 (tipe cepat) yang berlaku
apabila individu yang sudah tersentisisasi sebelumnya berkontak dengan antigen yang
spesifik. 2,5
15
Selain itu juga terjadi infiltrasi CD4, sel T helper (Th) dan IgE memproduksi sel-sel
B ke konjungtiva. Pada tunika konjungtiva propia yang normal, ada CD4, sel T dan
CD8, sel T. Pada konjungtiva pasien Keratokonjungtivitis Atopi, Th1 dan Th2 mungkin
menjadi kompetitif, hal ini juga didukung bahwa sel-sel keratoconjunctival atopi
mungkin terlibat dalam etiologi konjungtivitis alergi oleh produksi sitokin yang
dirangsang kemokin seperti eotaksin dan TARC (Thymus and Activation Regulated
Chemokine), yang menyebabkan eosinofil dan sel Th2 migrasi dari sirkulasi masing-
masing.5 Reaksi hipersensitivitas tipe IV, terjadi karena sel limfosit T yang telah
tersensitisasi bereaksi secara spesifik dengan suatu antigen tertentu, sehingga
menimbulkan reaksi imun dengan manifestasi infiltrasi limfosit dan monosit (makrofag)
serta menimbulkan indurasi jaringan pada daerah tersebut. Setelah paparan dengan
alergen, jaringan konjungtiva akan diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma, eosinofil dan
basofil. Bila penyakit semakin berat, banyak sel limfosit akan terakumulasi dan terjadi
sintesis kolagen baru sehingga timbul nodul-nodul yang besar pada lempeng tarsal.
Aktivasi sel mast tidak hanya disebabkan oleh ikatan alergen IgE, tetapi dapat juga
disebabkan oleh anafilatoksin, IL-3 dan IL-5 yang dikeluarkan oleh sel limfosit.
Selanjutnya mediator tersebut dapat secara langsung mengaktivasi sel mast tanpa
melalui ikatan alergen IgE. Reaksi hiperreaktivitas konjungtiva selain disebabkan oleh
rangsangan spesifik, dapat pula disebabkan oleh rangsangan non spesifik, misal
rangsangan panas sinar matahari, angin.
16
Gambar.2.5.1 Patogenesis Konjungtivitis Alergi.5
2.6. Manifestasi Klinis dan Diagnosis
17
Gambar. 2.6.1. Algoritma diagnosis Konjungtivitis Alergi.5
1. Simple Allergic Konjungtivitis
Manifestasi Klinis.1,2
Gejala
Mata merah
Rasa gatal dan panas pada mata
Mata berair
Mata seakan-akan “tenggelam dalam jaringan sekitarnya”
Tanda
18
Injeksi konjungtiva
Khemosis
Udem palpebra
Konjungtivitis Papiler
Diagnosis.2,6
Diagnosis ditegakkan dengan :
Munculan gejala dan tanda
Adanya riwayat alergi
Flora normal pada konjungtiva
Tes alergi
Ditemukan eosinofil dalam kerokan konjungtiva (sulit ditemukan)
Gambar. 2.6.2 Khemosis pada konjungtivitis Hay Fever.7
2. Keratokonjungtivitis Vernalis
Manifestasi Klinis. 1,2,6
19
Gejala
Sensasi panas dan gatal
Fotofobia ringan
Lakrimasi
Sekret kental dapat ditarik seperti benang
Kelopak mata terasa berat
Tanda
Tipe Palpebra.2
o Biasanya terdapat pada palpebra superior dan inferior, dengan munculan
papil-papil besar/raksasa yg tersusun seperti batu bata (Cobble Stone
Apparance).
Gambar. 2.6.3.Cobble Stone Apparance.7
Tipe Bulbar.2
Ditandai dengan :
o Bendungan bulbar konjungtiva berbentuk segitiga dengan warna merah
kehitaman pada daerah palpebra
20
o Adanya diskret keputihan (Horner-Tranta Spot)
Gambar. 2.6.4.Gambaran tipe bulbar.
Tipe Campuran
Diagnosis.
Diagnosis ditegakkan dengan :1
Munculan gejala dan tanda
Giemsa : terdapat banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas
3. Keratokonjungtivitis Atopik
Manifestasi Klinis. 2
Gejala
Mata terasa gatal, nyeri dan kering
Adanya tahi mata
Fotofobia atau pandangan kabur
Tanda. 2
21
Peradangan pada tepi kelopak mata
Konjungtiva tarsus tampak putih seperti susu
Gambar. 2.6.5. Gambar Atopic Keratokonjungtivitis.5
Diagnosis.
Diagnosis ditegakkan dengan : 1,2,6
Munculan gejala dan tanda
Menderita Dermatitis atopi
Ditemukan eosinofil pada kerokan kojungtiva (tidak sebanyak
Keratokonjungtivitis Venalis)
4. Giant Papillary Conjungtivitis
Manifestasi Klinis 2
Gejala
Mata teras gatal
Mata berair
Tanda
22
Hipertrofi Papil
Gambar. 2.6.6. Giant Papillary Conjungtivitis2
Diagnosis.
Diagnosis ditegakkan dengan :1,2
Munculan gejala dan tanda
Riwayat pemakaian lensa kontak
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan sel eosinofil, sel plasma, limfosit, dan
basofil yang meningkat. Dapat juga dilakukan pemeriksaan tes alergi untuk mengetahui
penyebab dari alerginya itu sendiri. Beberapa jenis konjungtivitis alergi yang memiliki
hasil laboratorium yang khas antara lain1
Konjungtivitis Hay Fever
Eosinofil sulit ditemukan pada kerokan konjungtiva
Keratokonjungtivitis vernal
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak eosinofil dan
granula eosinofilik bebas.
23
Keratokonjungtivitis atopic
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak yang terlihat
sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal.
2.8 Penatalaksanaan
Penanganan dari konjungtivitis alergi adalah berdasar pada identifikasi antigen
spesifik dan eliminasi dari pathogen spesifik. Pengobatan suportif seperti lubrikan dan
kompres dingin dapat membantu meredakan gejala yang dirasakan oleh pasien. Obat-
obatan yang menurunkan respon imun juga digunakan pada kasus konjungtivitis alergi
untuk menurunkan respon imun tubuh dan meredakan gejala inflamasi.
Obat –obat berikut ini berguna dalam mengobati konjungtivitis alergi:
Steroid topikal.
Kortikosteroid menghambat proses inflamasi (misalnya, edema, dilatasi kapiler, dan
proliferasi fibroblast). Obat tersebut juga membatasi migrasi makrofag dan neutrofil
untuk daerah meradang serta memblokir aktivitas fosfolipase A2 dan selanjutnya
induksi asam arakidonat cascade. Obat ini digunakan dalam pengobatan penyakit mata
akut alergi, steroid efektif dalam mengurangi gejala alergi akut, namun, penggunaannya
harus dibatasi karena potensi efek samping dengan biala lama digunakan. Penggunaan
kortikosteroid topikal jangka panjang dapat menyebabkan komplikasi: katarak
subkapsular posterior dan peningkatan tekanan intraokular (TIO).
Vasokonstriktor topikal / antihistamin.
24
Agen ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah, dan mengurangi mata gatal-gatal dengan memblokir histamin H1
receptors
Antihistamin topikal. Anithistamines kompetitif terikat dengan reseptor histamin dan
dapat mengurangi gatal dan vasodilatasi. Levocabastine hidroklorida 0,05%, sebuah H1
selektif topikal antagonis reseptor histamin, efektif dalam mengurangi tanda-tanda dan
gejala alergi lain conjunctivitis. H1 selektif antagonis, azelastine hidroklorida 0,05%,
efektif dalam mengurangi gejala yang terkait dengan alergi, difumarate 0,05%, suatu
antagonis H1 selektif, mungkin lebih efektif dibandingkan levocabastine dalam
mengurangi chemosis, kelopak mata bengkak,dan tanda-tanda dan gejala yang
berhubungan dengan konjungtivitis alergi musiman pada pasien dewasa dan anak.
Non-steroid anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) topikal.Obat ini menghambat
aktivitas siklooksigenase, salah satu yang bertanggung jawab untuk konversi asam
arakidonat ke enzim prostaglandins. Ketorolac trometamin 0,5% dan diklofenak
natrium 0,1% efektif dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala berhubungan dengan
konjungtivitis alergi, meskipun Makanan dan Drug Administration (FDA) telah
menyetujui hanya ketorolac untuk pengobatan konjungtivitis alergi.
Stabilisator sel mast topikal. Agen ini menghambat degranulasi sel mast, sehingga
membatasi pelepasan inflamasi mediator, termasuk histamin, neutrofil dan eosinofil
factor chemotactic, dan platelet-activating factor.
25
Imunosupresan. Siklosporin A adalah agen imunosupresan sistemik ampuh digunakan
untuk mengobati berbagai immunemediated kondisi. Sistemik diberikan siklosporin A
dapat menjadi pengobatan yang efektif untuk pasien dengan keratokconjugtiviits atopik
yang berat.
Antihistamin sistemik. Agen ini berguna dalam kasus-kasus tertentu respon alergi
dengan edema, dermatitis, rinitis, atau sinusitis. Mereka harus digunakan dengan hati-
hati karena penenang yang dan efek antikolinergik dari beberapa antihistamin generasi
pertama obat- obatan. Pasien harus memperingatkan efek samping potensial.
Antihistamin baru yang jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menyebabkan sedasi,
tetapi penggunaannya dapat mengakibatkan kekeringan okular meningkat
permukaan.8,9,10
Penanganan khusus untuk konjungtivitis vernal berupa :
a. Terapi lokalis
- Steroid topical
penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis vernal, tetapi harus hati-hati
kerana dapat menyebabkan glaucoma. Pemberian steroid dimulai dengan pemakaian
sering (setiap 4 jam) selama 2 hari dan dilanjutkan dengan terapi
maintainance 3-4 kali sehari selama 2 minggu. Steroid yang sering dipakai adalah
fluorometholon, medrysone, betamethasone, dan dexamethasone. Fluorometholon dan
medrysone adalah paling aman antara semua steroid tersebut.11
- Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2%
26
- Antihistamin topical
- Acetyl cysteine 0,5%
- Siklosporin topical 1%
b. Terapi sistemik
- Anti histamine oral untuk mengurangi gatal
- Steroid oral untuk kasus berat dan non responsive
c. Terapi lain dan pencegahan
- Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid supratarsal atau
dieksisi. Eksisi sering dianjurkan untuk papil yang sangat besar.
- Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan,
karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis dari mediator -
mediator sel mast. Di samping itu, juga untuk mencegah super infeksi yang pada
akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya glaukoma sekunder dan katarak.
- Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa serbuk sari
dan hindari penyebab dari alergi itu sendiri.
- Kaca mata gelap untuk fotofobia dan untuk mengurangi kontak dengan alergen di
udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru harus dihindari karena lensa kontak
akan membantu retensi allergen.
- Kompres dingin dapat meringankan gejala.
27
- Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata juga berfungsi
protektif karena membantu menghalau allergen.
- Pasien dianjurkan pindah ke daerah yang lebih dingin yang sering juga diseb
sebagai climato-therapy.
2.10 Komplikasi
Pada dasarnya konjungtivitis adalah penyakit ringan, namun pada beberapa kasus
dapat berlanjut menjadi penyakit yang serius jika tidak ditangani dengan cepat dan
benar. Pada umumnya konjungtivitis tidak menimbulkan komplikasi melainkan efek
terhadap kualitas hidup penderita. Iritasi pada mata menyebabkan penderita susah untuk
keluar rumah pada waktu tertentu. Konjungtivitis juga dapat mengganggu konsentrasi
sewaktu bekerja ataupun di sekolah.2,11
2.11 Prognosis
Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat sembuh
spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi apabila tidak
ditangani dengan baik.8,10
28
BAB III
PENUTUP
Konjungtiva merupakan membran yang tipis dan transparan yang melapisi
bagian anterior dari bola mata (konjungtiva bulbi), serta melapisi bagian posterior dari
palpebral (konjungtiva palpebrae). Oleh karena letaknya yang paling luar itulah
29
sehingga konjungtiva sering terpapar terhadap banyak mikroorganisme dan faktor
lingkungan lain yang mengganggu. Salah satu penyakit konjungtiva yang paling sering
adalah konjungtivitis.
Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih
mata dan bagian dalam kelopak mata. Adapun, salah satu penyebab dari konjungtivitis
adalah alergi. Konjungtivitis alergi itu sendiri juga dibagi dalam klasifikasi dan salah
satunya termasuk konjungtivitis vernal.
Penanganan yang diberikan berupa steroid dan antihistamin topikal serta yang
sistemik. Biasanya konjungtivitis alergi dapat sembuh sendiri, namun bila terlalu berat
perlu diberi pengobatan secara benar. Jika penanganan tidak baik, maka akan timbul
suatu komplikasi. Oleh karena itu, perlu pencegahan sebelum terjadi konjungtivitis
alergi berupa hindari dari penyebab alergen tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Konjungtiva. Dalam: Whitcher JP,
Riordan-Eva P, editors. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:
EGC; 2007. h 115-7.
30
2. Khurana AK. Diseases of the conjunctiva. Dalam : Khurana AK, editor.
Comprehensive Ophtalmology Fourth Edition. New Delhi: New Age; h51-88.
3. Riordan-Eva, P. 2010. Anatomi dan Embriologi Mata dalam Oftamologi Umum.
Edisi 17. Jakarta : EGC.
4. American Academy of Ophtalmology. Patterns of immune-mediated ocular
disease : Cornea. San Fransisco: American Academy of Ophtalmology; 2012. h
180-1.
5. Takamura E, Uchio E, Ebihara N, Ohno S, Ohashi Y, Okamoto S, et al. Japanese
guideline for allergic conjunctival diseases. Allergology International. 2011;60:191-
203. Accesed 20th February 2014.
6. American Academy of Ophtalmology. Clinical approach to immune-related
disorders of the ecxternal eye in External Disease and Cornea. San Fransisco:
American Academy of Ophtalmology; 2012. hal 186-95.
7. Lang, Gerhard K. Non Infectious Conjungtivitis in Ophthalmology : A Pocket
Textbook Atlas. Stuttgart : Georg Thieme Verlag. 2nd ed. 2006. hal. 96-101.
8. Scott, IU. Alergy Conjunctivitis. 2011. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#showall.
9. Greg M., Peter M. Classifying and Managing Allergic Conjunctivitis. Medicine
Today.Volume 8, Number 11.
10. Ventocillia M, Roy H. Allergic Conjunctivitis. 2012. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview#a0104.
31
11. Ilyas S. Mata merah dengan penglihatan normal. Ilyas S, editor. Dalam: Ilmu
Penyakit Mata Edisi ke-3. Jakarta: FKUI; 2009. h116-46.
32
Top Related