konjungtivitis referat
-
Author
welly-husain -
Category
Documents
-
view
949 -
download
231
Embed Size (px)
description
Transcript of konjungtivitis referat

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian
putihmata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan
timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah.
Konjungtivitis dapatdisebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan
benda asing, misalnya kontak lensa.
Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis
ini,mata sangat berair. Kotoran mata ada, namun biasanya sedikit. Konjungtivitis
bakteri biasanya mengenai kedua mata. Ciri khasnya adalah keluar kotoran mata
dalam jumlah banyak, berwarna kuning kehijauan. Konjungtivitis alergi juga
mengenaikedua mata. Tandanya, selain mata berwarna merah, mata juga akan
terasa gatal.Gatal ini juga seringkali dirasakan dihidung. Produksi air mata juga
berlebihansehingga mata sangat berair. Konjungtivitis papiler raksasa adalah
konjungtivitisyang disebabkan oleh intoleransi mata terhadap lensa kontak.
Biasanya mengenaikedua mata, terasa gatal, banyak kotoran mata, air mata
berlebih, dan kadang muncul benjolan di kelopak mata. Konjungtivitis virus
biasanya tidak diobati, karena akansembuh sendiri dalam beberapa hari.
Walaupun demikian, beberapa dokter tetap akanmemberikan larutan astringen
agar mata senantiasa bersih sehingga infeksi sekunder oleh bakteri tidak terjadi
dan air mata buatan untuk mengatasi kekeringan dan rasatidak nyaman di mata.
Obat tetes atau salep antibiotik biasanya digunakan untuk mengobati
konjungtivitis bakteri. Antibiotik sistemik juga sering digunakan jika ada infeksi
di bagian tubuh lain. Pada konjungtivitis bakteri atau virus, dapat dilakukan
kompres hangat di daerah mata untuk meringankan gejala. Tablet atau tetes mata
antihistamincocok diberikan pada konjungtivitis alergi. Selain itu, air mata buatan
juga dapatdiberikan agar mata terasa lebih nyaman, sekaligus melindungi mata
dari paparanalergen, atau mengencerkan alergen yang ada di lapisan air mata.
Untuk konjungtivitis papiler raksasa, pengobatan utama adalah menghentikan

paparandengan benda yang diduga sebagai penyebab, misalnya berhenti
menggunakan lensakontak. Selain itu dapat diberikan tetes mata yang berfungsi
untuk mengurangi peradangan dan rasa gatal di mata.
Pada dasarnya konjungtivitis adalah penyakit ringan, namun pada
beberapa kasus dapat berlanjut menjadi penyakit yang serius. Untuk itu perlu
penanganan yang tepat dalam penatalaksanaannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan
dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus.
Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks
superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva
bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan, 2010).
Gambar 3.1. Anatomi konjungtiva
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan – bersama dengan banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikut i pola arterinya – membentuk
jaringjaringvaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva

tersusundalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan
pembuluhlimfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik)
nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi, dengan
mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, akt ivitaslakrimasi,
dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupaekanisme
imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada
mukosatersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.
Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua
grup besar yaitu :
1. Penghasil musina.
Sel goblet, terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan
pada daerahinferonasal.
Crypts of Henle, terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva
tarsalissuperior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva
tarsalis inferior.
Kelenjar Manz, mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar
Krause dan kelenjar Wolfring. Kedua kelenjar ini terletak dalam
dibawah substansi propria.
Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun
karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai
darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain
itu, air mata bukan merupakan medium yang baik.
B. Histologi
Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima
lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal (Junqueira, 2007). Sel-
sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi

mukus yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih
pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung pigmen (Vaughan,
2010). Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid
dan tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan
fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus
dan tersusun longgar pada mata (Vaughan, 2010).
C. Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini
adalah penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva
terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang
mengganggu (Vaughan, 2010). Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia
ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret
purulen kental (Hurwitz, 2009). Jumlah agen-agen yang pathogen dan dapat
menyebabkan infeksi pada mata semakin banyak, disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan oat-obatan topical dan agen imunosupresif sistemik, serta
meningkatnya jumlah pasien dengan infeksi HIV dan pasien yang menjalani
transplantasi organ dan menjalani terapi imunosupresif (Therese, 2002).
Gambar 1.
Tipe Hiperemi

Berdasarkan penyebabnya konjungtivitis di klasifikasikan menjadi :
I. Konjungtivitis Bakteri
I.1. Definisi
Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh
bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata
merah, sekret pada mata dan iritasi mata (James, 2005).
I.2. Etiologi dan Faktor Resiko
Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut,
akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan
oleh N gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut
biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan Haemophilus aegyptyus.
Penyebab yang paling sering pada bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H
influenza dan Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi
pada konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus
nasolakrimalis (Jatla, 2009). Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu
mata kemudian mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar
ke orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak
dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi (Marlin, 2009).
I.3. Patofisiologi
Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti
streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada
mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut
dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal dapat terjadi
karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun
melalui aliran darah (Rapuano, 2008). Penggunaan antibiotik topikal jangka
panjang merupakan salah satu penyebab perubahan flora normal pada jaringan
mata, serta resistensi terhadap antibiotik (Visscher, 2009). Mekanisme pertahanan
primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi konjungtiva sedangkan
mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang berasal dari

perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air
mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan
atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada
konjungtiva (Amadi, 2009).
I.4. Gejala Klinis
Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai
injeksi konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu sekret pada
kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada konjungtivitis jenis lain,
dan pada kasus yang ringan sering dijumpai edema pada kelopak mata (AOA,
2010). Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada
konjungtivitis bakteri namun mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan
debris pada lapisan air mata, sedangkan reaksi pupil masih normal. Gejala yang
paling khas adalah kelopak mata yang saling melekat pada pagi hari sewaktu
bangun tidur. (James, 2005).
I.5. Laboratorium
Pada kebanyakan kasus konjungtivitis bakterial, organisme dapat diketahui
dari pemeriksaan mikroskopik terhadap kerokan konjungtiva yang dipulas dengan
Gram atau Giemsa dan dapat ditemukan neutrofil polimorfonuklear. Kerokan
konjungtiva disarankan pada semua kasus dan diharuskan pada penyakit yang
purulen, bermembran, atau pseudomembran. Uji sensitivitas antibiotik juga abaik,
namun sebaiknya harus dimulai terapi antibiotik empirik.
I.6. Komplikasi
Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali
pada pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva
paling sering terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan
menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini dapat mengurangi komponen
akueosa dalam film air mata prakornea secara drastis dan juga komponen mukosa
karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka parut juga dapat mengubah bentuk

palpebra superior dan menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu mata
dapat menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea
(Vaughan, 2010).
I.7. Penatalaksanaan
Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen
mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum
luas. Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan oleh
diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi topical dan sistemik. Pada
konjungtivitis purulen dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus dibilas
dengan larutan saline untuk menghilangkan sekret konjungtiva (Ilyas, 2008).
II. Konjungtivitis Virus
II.1. Definisi
Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh
berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan
cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung
lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan, 2010).
II.2. Etiologi dan Faktor Resiko
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi
adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan
herpes simplex virus yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga
dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster, picornavirus (enterovirus 70,
Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency virus (Scott, 2010).
Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan
penderita dan dapat menular melalu di droplet pernafasan, kontak dengan benda-
benda yang menyebarkan virus (fomites) dan berada di kolam renang yang
terkontaminasi (Ilyas, 2008).
II.3. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap
jenis konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya (Hurwitz, 2009).
Mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada etiologi.
II.4. Gejala Klinis
Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan
etiologinya. Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus
biasanya dijumpai demam dan mata seperti kelilipan, mata berair berat dan
kadang dijumpai pseudomembran. Selain itu dijumpai infiltrat subepitel kornea
atau keratitis setelah terjadi konjungtivitis dan bertahan selama lebih dari 2 bulan
(Vaughan & Asbury, 2010). Pada konjungtivitis ini biasanya pasien juga
mengeluhkan gejala pada saluran pernafasan atas dan gejala infeksi umum lainnya
seperti sakit kepala dan demam (Senaratne & Gilbert, 2005).
Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes simpleks
(HSV) yang biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi unilateral, iritasi,
sekret mukoid, nyeri, fotofobia ringan dan sering disertai keratitis herpes.
Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya disebabkan oleh enterovirus dan
coxsackie virus memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia, sensasi benda asing,
hipersekresi airmata, kemerahan, edema palpebra dan perdarahan subkonjungtiva
dan kadang-kadang dapat terjadi kimosis (Scott, 2010).
II.5. Laboratorium
Tidak ditemukan bakteri didalam kerokan atau dalam biakan. Jika
konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama monokuler. Namun jika
pseudomembran reaksinya terutama polimorfonuklear akibat kemotaksis dari
tempat nekrosis. Virus mudah diisolasi dengan mengusapkan sebuah aplikator
berujung kain kering diatas konjungtiva dan memindahkan sel-sel terinfeksi ke
jaringan biakan.

II.6. Komplikasi
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran,
dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul
vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).
II.7. Penatalaksanaan
Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang
dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi, namun
antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea
(Scott, 2010). Pasien konjungtivitis juga diberikan instruksi hygiene untuk
meminimalkan penyebaran infeksi (James, 2005).
III. Konjungtivitis Alergi (Vernal)
III.1. Definisi
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan
disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem
imun (Cuvillo et al, 2009). Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat
pada alergi di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Majmudar, 2010).
III.2. Etiologi dan Faktor Resiko
Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis
Alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya
dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis
atopik dan konjungtivitis papilar raksasa (Vaughan, 2010).
Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai
dengan subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan
tumbuhtumbuhan biasanya disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu
hewan, dan disertai dengan rinitis alergi serta timbul pada waktu-waktu tertentu.
Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma, eksema dan rinitis
alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan riwayat

dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada pengguna lensa
kontak atau mata buatan dari plastik (Asokan, 2007).
III.3. Gejala Klinis
Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan
subkategorinya. Pada
Konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-tumbuhan keluhan utama adalah
gatal, kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva, dan sering ditemukan
kemosis berat. Pasien dengan keratokonjungtivitis vernal sering mengeluhkan
mata sangat gatal dengan kotoran mata yang berserat, konjungtiva tampak putih
susu dan ditemukan giant papil di konjungtiva palpebra inferior. Dapat ditemukan
gambaran seperti renda pada limbus (Horner trantas dots). Sensasi terbakar,
pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia merupakan keluhan yang paling
sering pada keratokonjungtivitis atopik. Ditemukan juga tepian palpebra yang
eritematosa dan konjungtiva tampak putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman
penglihatan menurun, sedangkan pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai
tanda dan gejala yang mirip konjungtivitis vernal (Vaughan, 2010).
Horner Trantas Dots Giant’s Papilae
III.4. Laboratorium
Pada kerokan konjungtiva di daerah tarsus atau limbus didapatkan sel-sel
eosinofil dan basofil.

III.5. Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea
dan infeksi sekunder (Jatla, 2009).
III.6. Penatalaksanaan
Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin
topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka
pendek untuk meredakan gejala lainnya (Vaughan, 2010).
IV. Konjungtivitis Klamidia (Trachoma)
IV.1. Definisi
Keradangan konjungtiva yang akut, subakut atau kronik disebabkan oleh
Chlamydia trachomatis.
IV.2. Etiologi dan Faktor Resiko
Iklim yang kering dan berdebu memiliki prevalensi yang lebih tinggi
dalam menyebabkan trachoma. Usia bayi dan anak lebih rentan terkena infeksi.
Namun yang paling banyak terjadi adalah dikarenakan kondisi higienis,
kebersihan air, peralatan yang bersih dan memadai dan edukasi tentang penyakit
ini. Di indonesia yang mayoritas islam biasanya dikarenakan cara berwudhlu
dalam air yang tidak mengalir sehingga menularkan Chlamydia trachomatis.
IV.3. Gejala Klinis
Trachoma mulanya adalah konjungtivitis folikuler menahun pada masa
kanak-kanak yang berkembang sampai pembentukan parut konjungtiva. Pada
kasus berat, pembalikan kelopak mata kedalam (entropion) dan bulu mata
kedalam (trikiasis) terjadi pada masa dewasa muda sebagai akibat parut
konjungtiva berat. Abrasi terus-menerus oleh bulu mata yang membalik itu dan
gangguan film air mata berakibat parut pada kornea yang disertai neovaskularisasi
(pannus), umumnya setelah berusia 50 tahun. Masa inkubasi rata-rata 7 hari

namun bervariasi dari 5-14 hari. Pada bayi atau anak biasanya diam-diam, dan
penyakit ini dapat sembuh dengan sedikit atau tanpa komplikasi pada orang
dewasa sering akut dan subakut dan kompliksai cepat berkembang. Sering mirip
konjungtivitis bakterial, gejalanya mata berair, fotofobia, sakit, eksudasi, edema
palpebra, kemosis konjungtiva bulbi, hiperemia, hipertropi papiler, folikel tarsal
dan limbal, nyeri tekan, pembentukan panus. Semua tanda trakoma lebih berat
pada konjungtiva dan kornea bagian atas daripada bagian bawah. Untuk
memastikan trakoma endemik dikeluarga atau masyarakat, harus ada sekurang-
kurangnya 2 tanda berikut: lima atau lebih folikel pada konjungtiva tarsal rata
pada palpebra superior mata, parut konjungtiva khas dikonjungtiva tarsal
superior, folikellimbus dan sekuelenya, perluasan pembuluh darah keatas kornea
paling jelas dilimbus atas.
Folikel Trachoma Entropion-Trikiasis
IV.4. Laboratorium
Inklusi klamidia dapat ditemukan pada kerokan konjungtiva yang dipulas
dengan giemsa tampak masa sitoplasma biru atau ungu gelap halus menutupi inti
dari sel epitel, namun tidak selalu ada. Pulasan antibodi fluorescein dan tes
imuno-assay enzim tersedia dipasaran dan banyak dipakai dilaboratorium klinik,
yang terbaru adalah isolasi agen klamidia dalam biakan sel.
IV.5. Komplikasi
Panus totalis dikonjungtiva adalah komplikasi yang sering terjadi pada
trakoma dan dapat merusak duktuli kelenjar lakrimal dan menutupi muara

kelenjar lakrimal. Hal ini akan mengurangi komponen air dalam film air mata
pre-kornea, dan mungkin hilangnya sebagian sel goblet. Luka parut akan
menyebabkan trikiasis atau entropion, sehingga bulu mata terus menerus
menggesek kornea menyebabkan ulserasi kornea, infeksi, dan parut kornea.
IV.6. Penatalaksanaan
Perbaikan klinik mencolok umumnya dicapai dengan tetracyclin 1-1.5
g/hari/oral dalam empat dosis selama 3-4 minggu. Doxycyclin 100 mg per os 2
kali sehari selama 3 minggu, eritromycin 1 g/hari per os dibagi 4 dosis selama 3-4
minggu. Tetracyclin sistemik jangan diberikan pada anak dibawah 7 tahun atau
wanita hamil. Karena tetracyklin mengikat kalsium pada gigi yang berkembang
dan tulang yang tumbuh sehingga gigi menjadi kuning dan kelainan rangka. Salep
atau tetes topikal termasuk sulfonamid, tetracyclin, eritromycin, rifampisin empat
kali sehari selama 6 minggu sama efektifnya.
V. Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan
merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya
bercak putih dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan
sistem imun yang terganggu. Selain Candida sp, penyakit ini juga dapat
disebabkan oleh Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides
immitis walaupun jarang (Vaughan, 2010).
VI. Konjungtivitis Parasit
Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia
californiensis, Loa loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis,
Schistosomahaematobium, Taenia solium dan Pthirus pubis walaupun jarang
(Vaughan, 2010).

VII. Konjungtivitis kimia atau iritatif
Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh
pemajanan substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis.
Substansisubstansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis dan dapat
menyebabkan konjungtivitis, seperti asam, alkali, asap dan angin, dapat
menimbulkan gejalagejala berupa nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan
blefarospasme. Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat
topikal jangka panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain
dengan bahan pengawet yang toksik atau menimbulkan iritasi. Konjungtivitis ini
dapat diatasi dengan penghentian substansi penyebab dan pemakaian tetesan
ringan (Vaughan, 2010).
VIII. Konjungtivitis lain
Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit,
konjungtivitis juga dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit
autoimun seperti penyakit tiroid, gout dan karsinoid. Terapi pada konjungtivitis
yang disebabkan oleh penyakit sistemik tersebut diarahkan pada pengendalian
penyakit utama atau penyebabnya (Vaughan, 2010). Konjungtivitis juga bisa
terjadi sebagai komplikasi dari acne rosacea dan dermatitis herpetiformis ataupun
masalah kulit lainnya pada daerah wajah. (AOA, 2008).

BAB III
RANGKUMAN
1. Diagnosis konjungtivitis adalah berdasarkan kondisi pasien. Diagnosis dapat dibuat pada pasien dengan keluhan mata merah dan terdapat discharge hanya pada visus normal dan tidak mempunyai gejala dari keratitis, iritis, atau glaucoma.
2. Konjungtivitis dibedakan menjadi konjungtivitis infeksius (bakteri atau virus) atau non infeksius (alergi, toxic, dryness dan lainya).
3. Paling banyak infeksi konjungtivitis mungkin adalah karena virus, meskipun konjungtivitis bacterial lebih umum pada anak-anak daripada dewasa.
4. Konjungtivitis virus dan bakteri mempunyai resiko menular sangat tinggi.5. Semua etiologi dari konjungtivitis mempunyai gejala mata tidak dapat
dibuka atau terekat pada pagi hari. 6. Diagnosis konjungtivitis bakterial dapat dibuat dari pasien dengan tanda
secret atau discharge purulen dan berlangsung dalam beberapa hari. Discharge dapat menyeluruh pada mata atau hanya pada sudut mata saja. Konjungtivitis bakterial biasanya unilateral tetapi dapat juga bilateral.
7. Spesies Neisseria biasanya menyebabkan konjungtivitis bacterial hiperakut dan mengancam penglihatan, maka perlu segera dilakukan pengobatan mata.
8. Jenis konjungtivitis virus memperlihatkan adanya injeksi, secret serous atau mukoid, dan perasaan panas, seperti berpasir, dan berawal hanya pada satu mata.
9. Infeksi virus melibatkan pada mata kedua dalam 24-48 jam, meskipun hanya unilateral dan tidak memperlihatkan suatu proses infeksi virus. Dan mempunyai secret mukoid, mata susah dibuka, merah pada sudut mata. Biasanya memperlihatkan air mata yang mengandung secret. Pada konjungtiva tarsal mempunyai tampilan folikel-folikel yang besar. Dan biasanya disertai dengan penyakit common cold. Gejala tampak setelah 3 sampai 5 hari, dan penyakit berangsur-angsur mengalami perbaikan dalam dua minggu dan total pada tiga minggu.
10. Konjungtivitis alergi mempunyai tipikal merah pada kedua mata, berair, dan gatal. Gatal adalah tanda alergi, panas, atau iritasi.
11. Pasien konjungtivitis alergi mempunyai riwayat atopi, alergi bersifat musiman, atau alergi spesifek (seperti makanan dll).
12. Konjungtivitis non infeksi lainya memperlihatkan mata merah dan discharge mukoid. Biasanya akibat proses kimia, atau kurang produksi air mata.
13. Konjungtivitis jamur infeksi yang jarang terjadi disebabkan oleh Candida spp, Sporothrix schenckii, Rhinosporidium seeberi, Coccidioides immitis umumnya tampak sebagai bercak putih. Keadaan ini dapat timbul pada pasien diabetes atau pasien terganggu kekebalannya.

14. Selain macam-macam konjungtivitis diatas masih ada jenis konjungtivitis yang lain seperti konjungtivitis Rickettsia, parasit atau cacing, konjungtivitis akibat penyakit autoimun, konjungtivitis kimia atau iritatif, konjungtivitis yang tidak diketahui penyebabnya, konjungtivitis pada dakriosistisis atau kanalikulitis, dan konjungtivitis yang berhubungan dengan penyakit sistemik.

DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Opthalmology. External Disease and
Cornea. Section11. San Fransisco: MD Association, 2005-2006
2. Ilyas DSM, Sidarta,. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 1998
3. Ilyas, H. Sidarta Prof. dr. SpM. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta:
FKUI; 2003,hal 2, 134.4.James, Brus, dkk. Lecture Notes
Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005
4. PERDAMI,. Ilmu Penyakit Mata Untuk dokter umum dan
mahasiswakedokteran. Jakarta. 2002
5. Vaughan, Daniel G. dkk. Oftalmologi Umum. Widya Medika.
Jakarta. 2000
6. Wijaya N. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI; 1983