PENGEMBANGAN PEMBUATAN STARTER UNTUK INDUSTRI
MODIFIED CASSAVA FLOUR
Enny Hawani Loebis, MSi
Yuliasri Ramadhani Meutia, STP, MSi
BALAI BESAR INDUSTRI AGRO
BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM DAN MUTU INDUSTRI
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
LITBANG UNGGULAN 2011
2
ABSTRAK
Tepung mokaf atau yang berasal dari kata mocaf (modified cassava flour) merupakan produk antara yang merupakan hasil modifikasi ubi kayu yang memiliki karakteristik fisik lebih baik daripada tepung ubi kayu dalam hal warna, aroma, dan tekstur. Tepung mokaf dapat dimanfaatkan untuk mengolah berbagai macam pangan seperti pada industri bakery, mi, cookies, kue basah, dan gorengan. Proses pembuatan tepung mokaf melibatkan tahap fermentasi yang melibatkan mikroba. Agar proses produksi tepung mokaf berjalan dengan cepat perlu dilakukan penambahan starter siap pakai secara eksternal. Selama ini ketersediaan/ supply starter berupa bakteri asam laktat untuk produksi tepung mokaf masih terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pembuatan starter untuk kebutuhan industri tepung mokaf. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mempelajari pembuatan starter untuk pembuatan tepung mokaf dan memperoleh sediaan starter untuk pembuatan tepung mokaf. Penelitian ini terdiri dari tahap isolasi dan identifikasi bakteri, uji aktivitas bakteri, pembuatan starter mokaf, dan penerapan / implementasi starter dalam pembuatan tepung mokaf. Pada penelitian ini dilakukan juga karakterisasi tepung ubi kayu yang difermentasi secara spontan untuk melihat apakah proses fermentasi spontan ubi kayu dapat menghasilkan karakteristik tepung sesuai persyaratan mutu tepung mokaf. Dipelajari juga bakteri yang terisolasi pada fermentasi spontan ubi kayu dalam hal jenis, aktivitas selulolitik dan pektinolitiknya. Pada penelitian ini juga dikembangkan teknologi proses pembuatan starter mokaf beserta karakteristik produk tepung mokaf yang dihasilkan oleh starter tersebut. Analisis tepung mokaf implementasi starter tersebut antara lain analisis proksimat, total asam, kadar HCN, sifat amilografi, kekuatan gel, derajat putih, dan uji organoleptik dari tepung yang dihasilkan.
Pada penelitian ini dilakukan 5 kombinasi starter mokaf yang melibatkan isolat-isolat hasil fermentasi spontan ubi kayu dan kultur BAL Lactobacillus plantarum ATCC 8014 dan Lactococcus lactis subsp. lactis ATCC 11454. Beberapa bahan pengisi digunakan dalam pembuatan starter dan terpilih tepung beras sebagai bahan pengisi terbaik. Teknologi proses starter mokaf pada penelitian ini dapat menghasilkan tepung mokaf yang memiliki derajat putih yang tinggi (91,36% - 94,55%). Viskositas maksimum dari tepung mokaf hasil implemenasi starter pada penelitian ini berkisar antara berkisar antara 1807 sampai dengan 2000 BU. Nilai viskositas ini lebih tinggi dibandingkan tepung ubi kayu (850 BU) dan tepung mokaf dari Trenggalek (1000 BU). Dari 5 jenis starter yang digunakan, tepung mokaf yang difermentasi dengan starter 2 (Mosta 2) memiliki viskositas maksimum tertinggi. Kekuatan gel tepung mokaf hasil implementasi starter juga dilakukan untuk melihat seberapa besar rigiditas dari tepung mokaf tersebut dan Mosta 1 memiliki kekuatan gel tertinggi yaitu dengan rata-rata rigiditas sebesar 17,78 gf/mm.
3
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan pangan berkembang dengan pesat sejalan dengan pertumbuhan
penduduk, sehingga mendorong pemerintah bersama-sama dengan petani dan industri
pangan perlu merancang strategi untuk mencapai swasembada pangan, agar mampu
mencukupi kebutuhan pangan lokal. Salah satunya adalah peningkatan pemanfaatan
umbi-umbian lokal, misalnya ubi kayu (Manihot esculenta, Crantz). Kebutuhan pangan
suatu wilayah dalam keadaan tertentu sering tidak terpenuhi karena adanya berbagai
masalah. Untuk menghindari hal tersebut diperlukan suatu strategi yang sesuai untuk
memenuhi kebutuhan pangan lokal. Salah satu produk antara yang dapat memenuhi
kebutuhan pangan adalah Modified Cassava Flour atau tepung mokaf yang merupakan
produk turunan dari ubi kayu. Tepung mokaf mempunyai prinsip modifikasi sel ubi kayu
melalui proses fermentasi yang menghasilkan karakteristik khas.
Tepung mokaf mempunyai peluang untuk digunakan sebagai bahan baku
industri, khususnya sebagai bahan pensubstitusi terigu, seperti pada industri bakery,
mi, cookies, hingga industri makanan semi basah. Tepung mokaf yang diharapkan
menjadi bahan baku industri tentu saja harus berdaya saing dan berstandar mutu baik,
serta terjamin ketersediaannya sehingga pemanfaatannya akan terus berlanjut.
Perbedaan antara proses pembuatan tepung mokaf dengan produk olahan ubi
kayu pada umumnya adalah proses fermentasi pada tahap awal pengolahan. Proses
fermentasi mengubah karakteristik dari tepung ubi kayu pada rasa, aroma, dan
penampakan. Mikroba yang tumbuh akan menghasilkan enzim pektinolitik dan
sellulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel ubikayu sedemikian rupa sehingga
terjadi liberasi granula pati. Proses liberalisasi ini akan menyebabkan perubahan
karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi,
daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Selanjutnya granula pati tersebut akan
mengalami hidrolisis yang menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk
menghasilkan asam-asam organik. Senyawa asam ini akan terperangkap dalam bahan,
dan ketika bahan tersebut diolah akan dapat menghasilkan aroma dan cita rasa khas
yang dapat menutupi aroma dan citarasa ubi kayu yang cenderung tidak
4
menyenangkan konsumen. Aroma alami ubi kayu hampir hilang sehingga terjadi
peningkatan dalam penerimaan sensorinya. Selama proses fermentasi terjadi pula
penghilangan komponen penimbul warna, seperti pigmen (khususnya pada ketela
kuning), dan protein yang dapat menyebabkan warna coklat ketika pemanasan.
Dampaknya adalah warna tepung mokaf yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan
dengan warna tepung ubi kayu biasa. Selain itu, proses ini akan menghasilkan tepung
yang secara karakteristik dan kualitas hampir menyerupai tepung dari terigu. Sehingga
produk tepung mokaf sangat cocok untuk menggantikan bahan terigu untuk kebutuhan
industri makanan (Subagio, 2007).
Agar proses produksi tepung mokaf berjalan dengan cepat perlu dilakukan
penambahan starter siap pakai secara eksternal. Selama ini ketersediaan/ supply
starter berupa bakteri asam laktat untuk produksi tepung mokaf masih terbatas. Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian pembuatan starter untuk kebutuhan industri
modified cassava flour.
Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk: 1) Mempelajari pembuatan starter untuk pembuatan
tepung mokaf; dan 2) Memperoleh sediaan starter untuk pembuatan tepung mokaf.
Sasaran
Sasaran dari penelitian ini adalah tersedianya suatu teknologi proses pembuatan
starter mokaf yang diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan industri
pembuatan tepung mokaf melalui transfer teknologi pembuatan starter mokaf.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini antara lain:
1) Persiapan bahan baku dan bahan penolong
2) Isolasi dan identifikasi bakteri
3) Uji aktivitas bakteri
4) Pembuatan starter mokaf
5) Penerapan / implementasi starter dalam pembuatan tepung mokaf
6) Analisis tepung mokaf
5
Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah satu jenis starter yang terbaik
untuk produksi tepung mokaf dan kondisi pertumbuhan optimumnya.
Tinjauan Pustaka
A. Tepung Mokaf
Tepung modifikasi ubi kayu atau Edible Modified Cassava Flour (EMCF)
adalah produk tepung dari ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) yang diproses
menggunakan prinsip memodifikasi sel ubi kayu secara fermentasi. Mikroba yang
tumbuh menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa
naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut.
Mikroba juga menghasilkan asam-asam organik, terutama asam laktat yang akan
terimbibisi dalam bahan, dan ketika bahan tersebut diolah akan dapat menghasilkan
aroma dan citarasa khas yang dapat menutupi aroma dan citarasa ubi kayu yang
cenderung tidak menyenangkan konsumen. Selama proses fermentasi terjadi pula
penghilangan komponen penimbul warna, dan protein yang dapat menyebabkan
warna coklat ketika pengeringan. Dampaknya adalah warna tepung yang dihasilkan
lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung ubi kayu biasa. Perbedaan
komposisi kimia tepung mokaf dengan tepung ubi kayu biasa dapat dilihat pada
Tabel 1.
Dilaporkan bahwa semakin lama fermentasi pada pembuatan tepung mokaf
maka viskositas pasta panas dan dingin akan semakin meningkat, karena selama
fermentasi tersebut mikroba mendegradasi dinding sel sehingga pati dalam sel
keluar dan mengalami gelatinisasi bila dipanaskan. Dibandingkan dengan pati
tapioka, viskositas tepung mokaf lebih rendah. Dengan lama fermentasi 72 jam akan
didapatkan produk tepung mokaf yang mempunyai viskositas mendekati tapioka.
Tepung mokaf menghasilkan aroma dan citarasa khas yang dapat menutupi aroma
dan citarasa ubi kayu sehingga cenderung lebih disukai konsumen bila diolah
menjadi produk. Adonan dari tepung mokaf akan lebih baik bila dibuat dengan air
hangat (Subagio et al.,2008).
6
Tabel 1. Perbedaan Komposisi Tepung mokaf dengan Tepung Ubi Kayu
Tepung mokaf dapat digunakan sebagai bahan baku dari berbagai jenis
makanan, mulai dari mie, bakeri, cookies hingga makanan semi basah. Kue
brownis, kue kukus dan sponge cake dapat dibuat dengan berbahan baku tepung
mokaf sebagai campuran tepungnya hingga 80%. Tepung mokaf juga dapat menjadi
bahan baku beragam kue kering, seperti cookies, nastar, dan kastengel. Untuk kue
basah, tepung mokaf dapat diaplikasikan pada produk yang umumnya berbahan
baku tepung beras, atau tepung terigu dengan ditambah tapioka. Namun demikian,
produk ini tidak sama persis karakteristiknya dengan tepung terigu, beras atau yang
lainnya. Sehingga dalam aplikasinya diperlukan sedikit perubahan dalam formula,
atau prosesnya sehingga akan dihasilkan produk yang bermutu optimal. Untuk
produk berbasis adonan, tepung mokaf akan menghasilkan mutu prima jika
menggunakan proses sponge dough method, yaitu penggunaan biang adonan.
Disamping itu, adonan dari tepung mokaf akan lebih baik jika dilakukan dengan air
hangat (40-60oC). Teknologi pengolahan tepung mokaf cukup sederhana dan bisa
dilakukan dalam skala kecil.
No. Parameter Tepung mokaf Tepung
Singkong
1. Kadar Air (%) Maks 13 Maks 13
2. Kadar Protein (%) Maks 1,0 Maks 1,2
3. Kadar Abu (%) Maks 0,2 Maks 0,2
4. Kadar Pati (%) 85 - 87 82 - 85
5. Kadar Serat (%) 1,9 3,4 1,0 4,2
6. Kadar Lemak (%) 0,4 0,8 0,4 0,8
7. Kadar HCN (mg/kg) tidak terdeteksi tidak terdeteksi
7
B. Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat (BAL) adalah bakteri yang memproduksi asam laktat,
termasuk golongan bakteri Gram positif, tidak membentuk spora, sel berbentuk
batang atau bulat, baik tunggal, berpasangan atau berantai, dan kadang-kadang
berbentuk tetrad. BAL merupakan sebutan umum untuk bakteri yang
memfermentasi gula seperti laktosa atau glukosa untuk menghasilkan sejumlah
besar asam laktat. BAL diklasifikasikan berdasarkan morfologi, cara fermentasi
glukosa, suhu pertumbuhan yang berbeda, bentuk produksi asam laktat yang
dihasilkan, kemampuannya untuk tumbuh pada konsentrasi garam yang tinggi, serta
ketahanannya terhadap asam dan alkali yang berbeda-beda (Mitsuoka, 1989).
BAL bersifat tidak motil atau sedikit motil, bersifat mikroaerofilik sampai
anaerob, bersifat kemoorganotropik dan kompleks, serta bersifat mesofilik atau
menyukai suhu 10 40o C. BAL termasuk golongan osmotoleran yang mempunyai
aw (water activity) minimal 0.95 untuk pertumbuhannya, tetapi beberapa mampu
bertahan pada aw 0.93. Kandungan garam dalam media akan menurunkan nilai aw.
Nilai aw minimum untuk berbagai genus BAL bervariasi. Lactobacillus, Pediococcus,
dan Enterococcus dapat tumbuh pada kadar aw yang lebih rendah, yaitu pada kadar
garam sekitar 6,5% dan 18%, sedangkan Lactococcus, Leuconostoc, dan
Streptococcus membutuhkan aw lebih tinggi (Salminen, 2004).
BAL bersifat katalase negatif, tidak mempunyai sitokrom, aerotoleran,
anaerobic hingga mikroaerofilik, membutuhkan nutrisi yang kompleks seperti asam-
asam amino, vitamin (B1, B6, B12, dan biotin), purin, dan pirimidin. Secara umum
niasin dan asam pantotenat esensial bagi pertumbuhan bakteri asam laktat. Bakteri
Lactococcus mesofil dan Lactobacilli membutuhkan Fe, Mg, Mo, Se, dan Mn.
Lactococcus cremoris membutuhkan riboflavin dan biotin untuk pengikatan CO2
dalam mensintesis asam aspartat dan asam lemak. Streptococcus thermophilus
memerlukan asam panthotenat, tiamin, niasin, biotin, dan vitamin B6, sedangkan
Lactobacillus memerlukan asam panthotenat, niasin, dan vitamin lainnya (Ono,
1992).
BAL dapat memproduksi asam laktat dari metabolism glukosa dan dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Produk akhir
8
dari proses homofermentatif sebagian besar berupa asam laktat sedangkan produk
akhir dari proses heterofermentatif adalah asam laktat, etanol, asam asetat, dan
CO2. Salminen (2004) mengklasifikasikan BAL ke dalam 9 genus yaitu Aerococcus,
Carnobacterium, Enterococcus, Lactococcus sensu stricto, Oenococcus,
Streptococcus sensu stricto, Tetragenococcus, Vagococcus, dan Weisella. Sisa
genus BAL yaitu Lactobacillus dan Pediococcus membentuk kluster khusus BAL,
yang dapat dibagi menjadi dua sub kluster dimana memungkinkan untuk
membentuk status genus tersendiri. Pembagian genus BAL tersebut dilakukan
berdasarkan pengkajian secara filogenetik.
Secara fisiologis dan berdasarkan aktivitas metabolismenya, BAL
dikelompokkan ke dalam dua sub grup, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif.
BAL homofermentatif melibatkan jalur Embden Meyerhof, yaitu glikolisis,
menghasilkan asam laktat, 2 mol ATP dari 1 molekul glukosa/heksosa dalam kondisi
normal, tidak menghasilkan CO2 dan menghasilkan biomassa sel dua kali lebih
banyak daripada BAL heterofermentatif. Sedangkan BAL heterofermentatif
melibatkan jalur 6-fosfoglukonat/ fosfoketolase yang selain menghasilkan asam
laktat juga menghasilkan etanol, CO2, asam asetat, senyawa citarasa, mannitol,
serta 1 mol ATP dari heksosa dan tidak memiliki enzim aldolase (Salminen, 2004).
Genus terbesar dari BAL adalah Lactobacillus (Axxelson, 1998) di dalam
Salminen (2004). Genus Lactobacillus bersifat Gram positif dan tidak membentuk
spora, bersifat fakultatif anaerob, tumbuh optimum pada kisaran suhu 30 40oC
namun dapat juga tumbuh pada kisaran suhu 5 35o C. Lactobacillus tumbuh
optimum pada pH 5.5 5.8, namun secara umum dapat tumbuh pada pH kurang
dari 5 (Batt, 1997). Lactobacillus banyak terdapat pada produk makanan fermentasi
seperti produk-produk susu fermentasi seperti yogurt, keju, yakult, produk-produk
fermentasi daging seperti sosis fermentasi, dan produk fermentasi sayuran seperti
pikel dan sauerkraut. Lactobacillus berkontribusi untuk pengawetan, ketersediaan
nutrisi, dan flavor pada produk fermentasi tersebut.
Menurut De Vuyst dan Vandamme (1994) keuntungan penggunaan BAL
untuk industri adalah sifatnya yang non-patogenik, tidak membentuk toksin/
memproduksi toksin, mikroaerofilik, dan aerotoleran sehingga membutuhkan proses
9
fermentasi yang sederhana, dapat tumbuh dengan cepat, dapat memfermentasi
berbagai jenis substrat yang murah, dan pertumbuhannya mampu mencegah
pembusukan dan kontaminasi oleh mikroba lain, serta dapat memproduksi
bakteriosin.
C. Fermentasi Ubi Kayu oleh Bakteri Asam Laktat
Fermentasi ubi kayu umumnya banyak dilakukan di daerah tropis karena
proses fermentasi merupakan salah satu cara yang dapat mencegah terjadinya
kebusukan umbi dengan cepat setelah proses pemanenan. Umbi ubi kayu bersifat
lebih mudah rusak dibandingkan umbi-umbian lainnya. Fermentasi ubi kayu melalui
proses perendaman (retting) dapat mereduksi toksin cyanogen yang terdapat
secara indigenus pada berbagai konsentrasi (300 hingga 500 ppm), dan
meningkatkan palatibilitas umbi tersebut untuk proses lebih jauh. Fermentasi alami
ubi kayu dilakukan dengan pencelupan ubi kayu pada air selama 3 hingga 4 hari.
Dengan proses fermentasi tersebut, umbi menjadi lunak, cyanogenik glikosida
indigenus (linamarin dan lotaustralin) akan terdegradasi (Ayarnor, 1985), dan akan
terbangun karakteristik flavor (Ampe et al. 1994 dan Oyewole, 1990).
Proses fermentasi ubi kayu di Afrika Tengah dikenal proses perendaman ubi
kayu untuk diproses lebih jauh menjadi foo-foo (tepung ubi kayu) atau chickwangue
(roti ubi kayu atau stik ubi kayu). Produk-produk tersebut menyediakan hampir 50%
asupan kalori dari populasi (Treche and Massamba, 1995 Di dalam Brauman et al.
1996). Sebagian besar publikasi yang membahas tentang fermentasi ubi kayu
berfokus pada detoksifikasi senyawa cyanogenik glikosida selama fermentasi atau
pengaruh inokulasi bakteri terhadap flavor foo-foo dan pelembutan umbi (Brauman
et al. 1996).
Suatu studi menyebutkan dari aspek mikrobiologis pada fermentasi foo- foo
(Okafor et al. 1984) atau produk fermentasi ubi kayu lainnya (Oyewole dan Odunfa,
1992), terisolasi mikroorganisme yang bersifat aerob atau toleran terhadap oksigen
(air-tolerant), namun mikroorganisme yang bersifat obligat anaerob tidak terdapat
pada produk fermentasi ubi kayu tersebut (Brauman et al. 2006).
10
Studi kinetik pada fermentasi ubi kayu yang dilakukan oleh Brauman et al.
(2006) menunjukkan bahwa tahap fermentasi ubi kayu merupakan suatu proses
mikrobial yang komplek dimana sejumlah kecil BAL secara cepat menggantikan
mikroflora epifitik pada ubi kayu dan mendominasi proses fermentasi umbi ubi kayu.
Proses fermentasi ini dapat dijelaskan dari beberapa faktor; (i) Sebagai bakteri yang
bersifat fakultatif anaerob BAL dapat membangun proses fermentasi, dimana
oksigen masih terdapat pada media, dengan laju pertumbuhan BAL yang cepat
dengan banyak terdapatnya gula-gula yang dapat difermentasi (sukrosa, glukosa,
dan fruktosa), fermentasi tersebut dapat mendukung tumbuhnya flora lainnya; (ii)
BAL memproduksi sejumlah besar asam laktat sehingga dapat menurunkan pH
dengan cepat hingga sekitar 4.5, dengan demikian lingkungan pertumbuhannya
menjadi bersifat selektif terhadap mikroorganisme yang tidak bersifat toleran
terhadap asam, sebagaimana terjadi pada proses pembuatan sauerkraut; (iii) Galur
BAL dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang bersifat toksik,
sebagaimana BAL bersifat resisten terhadap konsentrasi tinggi (100 ppm) dari
sianida bebas yang biasanya dapat menghambat mikroba lain; (iv) Sebagai
tambahan, Lactococcus lactis yang terisolasi selama proses fermentasi
menunjukkan produksi bakteriosin yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lainnya.
Sebanyak tiga tahap suksesi mikroorganisme terjadi selama proses
fermentasi ubi kayu. Mikroflora homofermentatif yang terdapat pada ubi kayu secara
cepat digantikan posisinya oleh Lactococcus lactis kemudian didominasi oleh
Leuconostoc mesenteroides yang mendominasi proses. Pada akhirnya Lactobacillus
plantarum mendominasi pada akhir masa fermentasi (Brauman et al., 2006).
Produksi etanol dan asetat secara bersamaan pada tahap dominasi oleh
Leuconostoc mesenteroides menjadikan tahap fermentasi heterofermentatif
merupakan tahap yang penting pada tahap fermentasi ini (Oyewole, 1990).
Dominasi oleh BAL heterofermentatif (Leuconostoc mesenteroides) selama
fermentasi ubi kayu terhadap laktobasili homofermentatif menjadi suatu fitur pada
fermentasi materi tumbuh-tumbuhan (Daeschel et al., 1987). Pertumbuhan yang
cepat dari Lactococcus lactis pada tahap awal fermentasi akibat sifat resistensinya
11
yang tinggi terhadap sianida terkait dengan aktivitas linamarase bakteri tersebut.
Pertumbuhan Lactobacillus plantarum yang relatif lambat dan terbatasi oleh pH
internal serta kemampuannya untuk mempertahankan pH gradient pada konsentrasi
asam organik yang tinggi berkontribusi pada kemampuannya untuk mengakhiri
proses fermentasi ini. Selain itu, karena laju pertumbuhan Lb.plantarum lebih rendah
daripada mikroflora yang terdapat pada ubi kayu menyebabkan bakteri ini tidak
terdapat pada tahap awal proses fermentasi (McDonald et al. 1990).
Pada proses fermentasi ubi kayu dengan perendaman, dimana sukrosa,
glukosa, dan fruktosa terkandung secara simultan, maka BAL akan lebih memilih
sukrosa sebagai substratnya. Pertumbuhan BAL pada campuran sukrosa dengan
salah satu dari glukosa atau fruktosa menunjukkan bahwa terjadi penghambatan
glukosa atau fruktosa tersebut oleh sukrosa. Seperti observasi sebelumnya bahwa
pertumbuhan Lactococcus lactis pada campuran laktosa-galaktosa menunjukkan
bahwa laktosa terdegradasi sebelum galaktosa pada saat laktosa ditransportasikan
melalui sistem fosfotransferase (Thompson et al., 1978).
Suatu studi menunjukkan adanya produksi produk fermentasi tipikal (butirat
dan sejumlah kecil propionat) serta terisolasinya bakteri Clostridium spp (Lodder,
1970). Berlawanan dengan fermentasi sayuran lainnya, dimana adanya bakteri
Clostridium penghasil asam butirat merupakan indikasi terjadinya kebusukan,
namun pada perendaman ubi kayu, organisme ini berkontribusi pada pembentukan
flavor pada produk fermentasi ubi kayu. Bakteri Clostridium ini juga mempunyai
peranan penting dalam perusakan dinding sel tanaman, sebagaimana telah
terisolasi galur yang mempunyai aktivitas pektinolitik. Seperti laporan sebelumnya
yang mengindikasikan adanya Clostridium pada fermentasi linen flax dan hemp
(Chesson, 1978) serta pada tahap akhir fermentasi zaitun oleh BAL (Gilliland dan
Vaughn, 1946) namun tidak terdapat pada proses perendaman ubi kayu. Clostridia
seperti C. butyricum dapat bertahan pada kondisi asam selama fermentasi,
sebagaimana galur Clostridia penghasil asam yang dapat tumbuh pada kondisi pH
rendah (pH 4,5) dengan terdapat sebanyak 5 g butirat atau asetat per liter
(Crabbenham et al. 1985). Butirat, propionat, dan etanol dapat menjadi suatu
senyawa karakter dari proses fermentasi dengan perendaman, karena senyawa-
12
senyawa tersebut tidak ditemukan pada proses fermentasi ubi kayu lainnya, seperti
yang digunakan pada preparasi gari (Steinkraus, 1983).
Khamir akan muncul pada akhir proses fermentasi dengan perendaman dan
berperan penting pada perpanjangan umur simpan. Namun, khamir tidak berperan
signifikan pada proses fermentasi. Fermentasi dengan perendaman dapat
mengeliminasi 90% komponen sianida endogenus yang tedapat pada umbi ubi
kayu. Pengeliminasian ini sebagian besar terjadi setelah 48 jam, pada saat
linamarase endogenus pada ubi kayu mencapai optimum pada pH 5.5 (Cooke et al.
1978). Linamarase pada BAL berperan pada proses degradasi, dan bakteri
pektinase juga ditunjukkan membantu dalam proses ini (Amped dan Brauman,
1995). Proses pereduksian linamarin selama fermentasi dengan perendaman lebih
lambat daripada yang diamati pada fernentasi ubi kayu menjadi gari, dimana
komponen sianogen tereliminasi kurang dari 5 jam (Giraud, 1993 di dalam Brauman,
2005). Pada preparasi gari, pemarutan lebih dahulu kontak dengan linamarase,
yang terdapat pada dinding sel tanaman, dan substratnya (linamarin) terdapat pada
vakuola sel (Mkpong et al. 1990). Selain itu penurunan pH yang lambat
dibandingkan dengan proses produksi gari menyebabkan penguraian sianohidrin
menjadi sianida bebas yang lebih besar, suatu proses yang terhambat pada pH di
bawah 5,5 (Cooke et al. 1978).
Produk fermentasi adonan ubi kayu lainnya adalah Agbli Maw yang
terdapat pada Afrika Barat. Di Ghana produk fermentasi tersebut dinamakan
aglebima. Proses fermentasi berkontribusi pada sifat visko-elastis dari pasta yang
dihasilkan, dimana produk tersebut dikonsumsi sebagai saus seperti lem.
Mikroorganisme yang terlibat pada proses produksi Agbli Maw adalah
Lactobacillus plantarum yang bersifat fakultatif heterofermentatif , Lactobacillus
brevis dan Leuconostoc mesenteroides yang bersifat obligat heterofermentatif
(Amoa-Awua et al. 1996 di dalam Nout dan Sarkar, 1999). Studi tentang suksesi
BAL pada tahapan fermentasi ubi kayu dilaporkan juga oleh Oyewole dan Odunfa
(1992) bahwa Lb.plantarum terkandung secara dominan pada 3 hari fermentasi.
Gambar 1 memperlihatkan tahapan suksesi BAL pada proses fermentasi ubi kayu.
13
Waktu fermentasi (hari) 0 1 2 3 4
Lb. coprophilus Lb.cellobiosus Lb.salivarus spp.bulgaricus Leuc. lactis Lb. lactis Lb.brevis Leuc. mesenteroides Lb.plantarum
Gambar 1. Suksesi BAL pada proses fermentasi bubur ubi kayu (diadaptasi dari
Oyewole dan Odunfa 1992)
Beberapa peneliti melaporkan bahwa galur Lactobacillus plantarum dapat
mendegradasi linamarin (Oyewole dan Odunfa, 1992). Degradasi linamarin pada 2
tahapan proses dikatalisasi oleh -glukosidase (linamaringlucose + acetone
cyanohidrine ), diikuti dengan enzim hydroxynitrile lyase (cyanohidrin acetone +
HCN). Pengaruh positif BAL terhadap kualitas sensori pada fermentasi ubi kayu
adalah perbaikan flavor dan sifat visko-elastik pada pasta panas produk fermentasi
ubi kayu. Komponen aroma dari aglebima adalah alkohol berberat molekul rendah,
1-propanol, isoamil alkohol, 3-metil-1 butanol, etil asetat, dan asetoin (Amoa-Awua
et al., 1996 di dalam Nout dan Sarkar, 1999).
Kemampuan pembengkakan pati ubi kayu yang terjadi tidak dipengaruhi oleh
fermentasi asam laktat. Diduga sifat tersebut adalah akibat aktivitas enzim amilolitik,
enzim depolimerisasi dari pati native, atau ekstraksi amilosa dari pati native yang
terlibat pada galur amilolitik Lb.plantarum dan Lb. manihotivorans (Morlon-Guyot et
al., 1998 di dalam Nout dan Sarkar, 1999). Sebuah studi tentang efek fermentasi
asam laktat pada karakteristik fisiko kimia pati ubi kayu menunjukkan bahwa
fermentasi dan pengeringan ringan tidak mempengaruhi kristalinitas dari tepung
atau sifat gelatinisasinya (Mestres dan Rouau, 1997 di dalam Nout dan Sarkar,
1999). Namun Numfor et al., (1995) di dalam Nout dan Sarkar (1999) mengamati
penurunan yang signifikan pada kekerasan, gumminess, dan kelengketan
(kekakuan) pada produk fermentasi ubi kayu yang dimasak. Diduga perusakan dan
14
degradasi enzimatik oleh amilosa dari pati native berperan penting. Bakteri asam
laktat amilolitik dapat meningkatkan efek ini.
Proses pelembutan pada pada proses fermentasi ubi kayu dikaitkan juga
dengan adanya aktivitas pektinase yang tinggi bersamaan dengan hilangnya
xylanase dan selulase yang mengindikasikan bahwa aktivitas pektinase
bertanggungjawab terhadap proses pelembutan (softening). Dilaporkan terdapatnya
pektin metilesterase pada fermentasi dengan perendaman tradisional (Oyewole dan
Odunfa, 1992) dan fermentasi dengan menginokulasikan Corynebacterium spp
(Okafor et al., 1984). Seperti yang terjadi untuk rami linen (Morvan et al., 1985),
pelembutan (softening) ubi kayu dapat dicirikan dengan disosiasi serat selulosa dari
pektin pada rami linen tersebut karena aksi enzim, seperti hidrolase dan lyase, pada
keterkaitan glikosidik pektin. Terisolasinya bakteri Clostridium spp. pektinolitik pada
tahapan fermentasi memperkuat hipotesis ini. Brauman et al., (1996) menyimpulkan
bahwa fermentasi ubi kayu secara spontan dapat dilihat sebagai kombinasi dari
fermentasi heterolaktik alami pada materi tanaman, seperti pada fermentasi pikel
atau sauerkraut, dan pelembutan spontan menyerupai proses pada rami linen.
D. Produksi Kultur Starter Bakteri Asam Laktat
Metode produksi starter untuk keperluan produksi secara tradisional biasanya
dilakukan dengan mentransfer dari kultur stok baik dalam bentuk cair maupun kering
beku, atau bekuan yang disimpan dalam nitrogen cair (-196oC) dan dibuat kultur
induk kira-kira sebanyak 100 ml untuk ditransfer tiap hari ke dalam 3 botol atau
lebih, dipilih satu botol terbaik untuk kemudian diinokulasikan sebanyak 1% ke
dalam media starter yang lebih besar jumlahnya atau intermediate, untuk kemudian
diinokulasikan ke dalam media fermentasi. Meskipun perbanyakan starter
membutuhkan banyak waktu, memerlukan keahlian operator dan rawan
kontaminasi, tetapi cara ini banyak digunakan oleh industri (Surono, 2004).
Hal penting diperlukan dalam mentransfer kultur starter adalah sub-kultur,
yaitu transfer berkali-kali dapat memicu terbentuknya galur yang termutasi yang
dapat mengubah sifat starter. Terlalu sering mentransfer akan mengakibatkan
hilangnya fungsi plasmid tertentu seperti Lac+, suatu plasmid yang berperan dalam
15
produksi asam laktat (McKay, 1983; Davidson et al. 1995), produksi bakteriosin dan
resistensinya (Klaenhammer, 1993), atau Prt+, yaitu suatu plasmid yang
bertanggung jawab atas resistensi terhadap fage dan pemanfaatan sitrat (McKay,
1983).
Preservasi kultur starter terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu starter
cair, yaitu menumbuhkan starter ke dalam susu skim 10 12% (untuk produk
fermentasi susu), starter kering dengan pengeringan vakum, spray drying, kering
beku atau freeze drying, dan starter bekuan yaitu dengan membekukan kultur starter
pada suhu sub-zero (-30 sampai -40oC), atau suhu pembekuan ultra rendah (-
196oC) dalam nitrogen cair. Starter cair harus dipelihara dan disimpan dalam lemari
es dan sebaiknya disub-kultur hanya sebanyak 15 20 kali secara berurutan
(Surono, 2004).
Porubcan dan Sellars (1979), Gilliland (1985), Tamine dan Robinson (1985)
mendeskripsikan tahap-tahap yang dilakukan dalam memproduksi starter
konsentrat BAL yaitu preparasi inokulum, preparasi media, fermentasi pada pH
konstan, pemanenan kultur, penambahan cryoprotectant, pembekuan, pengeringan
beku (freeze drying), pengemasan dan penyimpanan.
Penggunaan kultur starter kering bertujuan untuk mengurangi pekerjaan
pemeliharaan kultur sebagaimana pada kultur cair. Kultur kering beku atau freeze
dried yang paling banyak digunakan dibandingkan dengan jenis kultur starter
lainnya, mengingat jumlah bakteri hidup relatif stabil pada kultur kering beku. Namun
demikian, dibutuhkan biaya investasi yang sangat mahal mengingat harga
pengering beku yang tinggi (Surono, 2004).
Secara tradisional, mikroba yang diperlukan untuk fermentasi makanan telah
terdapat pada bahan mentah atau peralatan yang digunakan dalam pengolahan
makanan fermentasi. Sumber inokulum seperti ini masih mendasari kebanyakan
fermentasi makanan. Ada pendapat bahwa penggunaan flora alami merupakan
langkah yang ideal, karena produk makanan yang dihasilkan memiliki karakteristik
flavor yang khas dan kompleks yang tidak dapat diperoleh melalui cara lain. Tetapi
inokulum alami dapat bervariasi tergantung pada keadaan lingkungannya.
Penggunaan inokulum yang bervariasi ini dapat menyebabkan proses fermentasi
16
dan mutu produk selalu berubah-ubah, sehingga tidak dapat diterapkan secara
industri Karena alasan tersebut maka industri pengolahan makanan fermentasi
menerapkan metode dan prosedur pengolahan dimana bahan mentah diinokulasi
dengan spesies mikroba yang diinginkan. Dengan demikian penyediaan inokulum
menjadi bagian yang penting dalam industri fermentasi makanan (Rahman, 1989).
E. Media Fermentasi
Secara umum media fermentasi menyediakan semua nutrien yang
dibutuhkan oleh mikroba untuk memperoleh energi, pertumbuhan, bahan
pembentuk sel dan biosintesis produk-produk metabolisme. Tergantung pada jenis
mikroba dan produk yang akan diproduksi setiap fermentasi memerlukan media
tertentu karena media yang idak sesuai dapat menyebabkan perubahan jenis
produk dan perubahan rasio di antara berbagai produk hasil metabolisme mikroba
selama fermentasi berlangsung. Senyawa-senyawa sumber karbon dan nitrogen
merupakan komponen terpenting dalam media fermentasi karena sel- sel mikroba
dan berbagai produk fermentasi sebagian besar terdiri dari unsur karbon dan
nitrogen. Di samping itu medium fermentasi juga mengandung air, garam-garam
organik dan beberapa vitamin (Rahman, 1989).
Media padat atau semi padat menggunakan partikel substrat padat seperti
jagung giling, bekatul gandum, dan tepung biji kapas dengan atau tanpa
penambahan larutan substrat padat tersebut. Salah satu kelemahan media padat
atau semi padat adalah pemakaian substrat yang tidak efisien. Karena itu
khususnya dalam fermentasi aerobik, sifat porositas media padat dan semi padat
menjadi faktor yang penting. Media padat atau semi padat dengan sifat porositas
yang baik memungkinkan penetrasi udara ke bagian dalam media sehingga
pertumbuhan dapat terjadi di seluruh bagian media (Rahman, 1989).
F. Mikroenkapsulasi Sel Bakteri Asam Laktat
Teknik mikroenkapsulasi telah dimanfaatkan secara luas untuk melindungi sel
atau jaringan dari mikroorganisme terhadap pengaruh lingkungan dan degradasi
fisiologis (Krasaekoopt et al. 2003). Dari beberapa teknik imobilisasi sel yang ada,
17
teknik pemerangkapan (entrapment) dengan Ca Alginat adalah yang biasa
digunakan untuk mengimobilisasi sel BAL (Chandramouli et al. 2004). Alginat
merupakan heteropolisakarida linier yang diekstrak dari berbagai tipe alga, yang
mempunyai dua unit struktur asam D-mannunorat dan asam L-gulunorat. Ca Alginat
digunakan pada enkapsulasi sel BAL dengan kisaran konsentrasi 0,5 4%
(Krasaekoopt et al., 2004).
Alginat mempunyai beberapa keuntungan antara lain mudah membentuk
matriks gel pada sel bakteri, bersifat non-toksik terhadap sel yang diimobilisasi,
murah, membutuhkan kondisi proses yang ringan (misalnya suhu), dapat dengan
mudah dipreparasi, penangannya mudah, dapat dengan mudah melarut dan
membebaskan sel-sel yang terperangkap (Mortazavian et al. 2007). Selain itu
alginat telah diterima sebagai aditif pada makanan (Prevost dan Divies, 1992).
Alginat juga memiliki beberapa kekurangan yaitu pada kondisi asam akan
mengalami keretakan dan kehilangan stabilitas mekaniknya pada kondisi lingkungan
yang mengandung asam laktat (Mortazavian et al., 2007). Selain itu karena gel
alginat terbentuk dengan adanya ion kalsium, integritasnya terdeteriorisasi pada
saat diaplikasikan dengan ion monovalen atau chelating agent yang menyerap
kalsium seperti fosfat, laktat, dan sitrat (Mortazavian et al., 2007). Kekurangan
lainnya adalah sulitnya diaplikasikan pada skala industri karena kesulitannya untuk
di-scale up terkait dengan keretakan dan pembentukan pori-pori pada permukaan
gel, kapsulnya dapat mendifusi kelembaban dan cairan lainnya dengan cepat
sehingga menurunkan sifat ketahanannya terhadap faktor lingkungan (Gouin, 2004).
Kekurangan-kekurangan tersebut dapat secara efisien dengan mengkombinasikan
alginat dengan komponen polimer lainnya, melapisi (coating) kapsulnya dengan
komponen lain, serta modifikasi struktur alginat dengan menggunakan berbagai
aditif (Krasaekoopt et al., 2003).
Gelatin, suatu turunan protein dari kolagen terdenaturasi yang mengandung
hidroksiprolin, prolin, dan glisin dalam jumlah besar, yang dapat digunakan sebagai
gelling agent untuk proses enkapsulasi yang bersifat reversible bila diproses secara
termal. Karena sifatnya yang amfoterik, gelatin dinyatakan sebagai kandidat yang
18
baik untuk diaplikasikan bersama-sama polisakarida anionik seperti alginat
(Krasaekoopt et al. 2003).
Selama proses pengeringan, survival mikroorganisme dapat ditingkatkan
dengan penambahan media protektif. Disakarida trehalose berperan sebagai
protecting agent yang kritikal pada membran untuk sel khamir selama kondisi stres
dari lingkungan seperti perlakuan panas, pengeringan, pembekuan, dan confers
viabilitas sel yang lebih tinggi dengan adanya etanol konsentrasi tinggi (Zayed dan
Roos, 2004). Untuk meningkatkan efektifitasnya, Trehalose harus ditambahkan dan
diasimilasikan pada media pertumbuhan. Cho et al. (2006) juga melaporkan bahwa
karbohidrat berperan sebagai protective agent pada kondisi stress seperti suhu
tinggi, pembekuan, pengeringan, dan tekanan osmosis yang tinggi.
Xiaoyan dan Xiguang (2009) melakukan mikroenkapsulasi sel BAL dengan
alginat dan gelatin dengan penambahan trehalose sebagai aditif dengan metode
ekstrusi dan dikeringkan pada suhu 4oC. Dilaporkan bahwa trehalose sebagai
sumber karbohidrat pada kultur media dapat menurunkan produksi asam dan
mempertahankan sel BAL agar tidak berploriferasi. Selain itu trehalose memberikan
pengaruh positif pada ketahanan sel BAL terhadap kondisi stress dari lingkungan
seperti keasaman dan pengeringan. Trehalose dengan konsentrasi sebesar 0,15
mol/L media dapat melindungi sel BAL pada penyimpanan suhu 4oC serta
mempertahankan viabilitas selnya hingga lebih dari 107 CFU/g setelah 8 minggu
penyimpanan. Pelepasan sel BAL dari kapsul dapat dilakukan pada kondisi asam
(pH 1,2) hingga kondisi netral (pH 6,8). Namun dipaparkan bahwa pelepasan sel
BAL pada media netral terjadi lebih cepat dan lebih besar dibandingkan pada
kondisi asam. Imobilisasi sel BAL dengan kombinasi alginat, gelatin, dan trehalose
disimpulkan dapat meningkatkan ketahanan sel yang diekspos pada media asam
(pH 1,2) dengan laju survival sebesar 76%, sehingga metode imobilisasi ini dapat
diaplikasikan pada farmasi dan industri pangan (Xiaoyan dan Xiguang, 2009).
19
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi ubi kayu, kultur bakteri
asam laktat (BAL), dekstrin, tepung tapioka, tepung beras, dan tepung ubi kayu. Bahan
kimia yang digunakan antara lain deMann Rogosa Sharpe (MRS) Broth (Oxoid), MRS
Agar (Oxoid), Gliserol, API 50CH (Biomiereux), API 50 CHL Medium (McFarland),
Citrus pectin (Sigma P9135), ZnSO4, MgSO4, NaOH, Buffer kalium asetat, CMC, Asam
3,5-dinitro salisilat, CaCl2, Alginat, Gelatin, KH2PO4 untuk Phosphate Buffer Saline
(PBS), Natrium Chlorida (NaCl), spiritus, serta bahan-bahan kimia untuk analisis
lainnya. Bahan-bahan penolong yang digunakan antara lain cawan petri, jarum ose,
tabung reaksi, rak tabung reaksi, botol pengemas, mikro tips, lampu spiritus,
Erlenmeyer, toples plastik, box plastik, plastik pengemas, kain saring, baskom plastik,
pisau stainless steel, aluminium foil, gelas piala, dan kapas.
Peralatan yang digunakan antara lain pipet mikro, autoklaf, oven, inkubator,
spektrofotometer, refrigerated sentrifuse, pH meter, Brabender visco-amylograph, alat
pemarut, pengepres, spinner, pengayak, dan pengemas.
Prosedur Kerja
1. Persiapan Fermentasi Spontan Ubi Kayu
Sebanyak 2 kg ubi kayu dikupas dan dicuci bersih, kemudian diparut hingga
menjadi bubur ubi kayu. Kemudian ditambahkan 2 liter air hingga ubi kayu
terendam. Bubur ubi kayu dibiarkan terendam selama 24 jam hingga terjadi
fermentasi ubi kayu secara spontan. Setelah 24 jam dilakukan pembilasan dan
penambahan air baru sampai ubi kayu kembali terendam kemudian didiamkan
kembali selama 24 jam. pH rendaman ubi kayu sebelum dan sesudah dibilas diukur
dengan menggunakan pH meter. Tahap perendaman dan pembilasan ini dilakukan
hingga hari ke-4. Perubahan sifat fisiko kimia tepung fermentasi spontan ubi kayu
diamati melalui analisis proksimat, karakteristik gelatinisasi, derajat putih, dan
penampakan granula pati di bawah mikroskop polarisasi.
20
2. Isolasi dan Identifikasi Bakteri
Isolasi bakteri juga dilakukan pada rendaman ubi kayu yang difermentasi
secara spontan untuk mengidentifikasi bakteri yang tumbuh dominan pada ubi kayu
yang difermentasi secara spontan (tanpa penambahan kultur bakteri). Isolasi
dilakukan pada hari ke-1 hingga hari ke-4 perendaman ubi kayu. Sebanyak 5 ml
rendaman ubi kayu dilarutkan dalam 45 ml media MRSB steril, kemudian diinkubasi
pada suhu 37 oC selama 24 jam. Setelah terlihat adanya pertumbuhan bakteri
dilakukan penggoresan pada media MRSA steril dengan goresan kuadran dengan
menggunakan jarum ose, kemudian diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 24 48
jam.
Goresan koloni bakteri pada cawan petri diambil dan disuspensikan ke dalam
1 ml larutan NaCl 0.85% steril, selanjutnya suspensi dimasukkan ke dalam 10 ml
API 50 CHL Medium (McFarland), kemudian dipipet ke dalam 50 buah sumur kecil
pada kit API 50 CH. Setiap sumur yang berisi berbagai macam gula dan
oligosakarida ditutup dengan mineral oil. Hasil analisis dengan API 50 CH diolah
dengan software apiweb untuk mengidentifikasi karakteristik fermentasi
karbohidrat oleh bakteri tersebut. Selain dari rendaman fermentasi spontan ubi kayu,
isolasi juga dilakukan pada beberapa enzim dari beberapa industri tepung mokaf.
3. Uji Aktivitas Bakteri
a. Kurva Pertumbuhan Bakteri
Isolat BAL yang telah terisolasi diamati kurva pertumbuhannya melalui
pengamatan dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm
pada interval waktu 3 jam selama 30 jam.
b. Aktivitas Selulolitik (Miller 1959, diacu dalam Tri Panji 1999)
Sebanyak 0,5 ml kultur bakteri, 0,5 ml buffer kalium asetat pH 5,5 dan
0,05 g CMC dimasukkan ke dalam tabung reaksi berulir steril secara aseptik.
Campuran lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 jam. Selanjutnya ke dalam
campuran tersebut ditambahkan larutan asam 3,5-dinitro salisilat sebanyak 3 ml
dan 6 ml akuades. Campuran lalu divorteks selama 3 menit dan dididihkan
21
dalam air dengan suhu 100oC selama 15 menit. Campuran lalu didinginkan
selama 30 menit dan dibaca serapannya pada panjang gelombang 550 nm. Nilai
konsentrasi glukosa yang dihasilkan dikonversi dari nilai absorban yang terbaca
dengan perhitungan:
A standar = [glukosa standar ]
A sampel [glukosa sampel]
Satu unit aktivitas enzim adalah banyaknya mol glukosa yang dihasilkan
pada penambahan 1 ml enzim pada substrat (selulosa) per menit waktu inkubasi,
dengan perhitungan:
AE = [Glukosa sampel pada topt] [ Glukosa sampel pada tnol ] x fp
Waktu inkubasi (menit) x BM glukosa
c. Aktivitas Pektinolitik (Soares dan Gomez, 1999)
Secara kuantitatif aktivitas pektinolitik diukur melalui aktivitas
pektinesterase. Sebanyak 20 ml larutan pektin 1% (citrus pectin) dalam 0,1 N
NaCl diatur menjadi pH 7,5 dengan menggunakan 0,5 M NaOH. Ke dalam
larutan pektin tersebut kemudian ditambahkan 5 ml larutan kultur dan pH
ditetapkan kembali menjadi 7,5 dengan penambahan NaOH 0,5 M sedikit demi
sedikit.
Campuran diinkubasi selama 1 jam pada suhu 27 28oC, kemudian
dititrasi dengan NaOH 0,02 M hingga pH menjadi 7,5 kembali. Aktifitas
pektineserase dinyatakan sebagai :
A = a / t
Dimana, A = aktivitas pektinesterase
a = volume titran sampel (ml)
t = waktu inkubasi (detik)
4. Pembuatan Starter
Isolat bakteri yang memiliki aktivitas selulolitik dan pektinolitik diimobilisasi
sehingga menjadi sediaan kultur starter yang dapat digunakan untuk memproduksi
22
tepung mokaf. Tahapan imobilisasi sel bakteri diawali dengan penumbuhan bakteri
pada 500 ml media MRSB kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Sel
dipanen dengan sentrifugasi pada kecepatan 3000xg selama 10 menit dan dibilas
sebanyak dua kali dengan buffer fosfat (pH 7,4). Seluruh larutan yang akan
digunakan untuk imobilisasi sel, termasuk alginat dan CaCl2, sebelum digunakan
disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.
Bakteri diimobilisasi dengan alginat dan gelatin dengan perbandingan 2 : 1.
Sel bakteri dicampurkan dengan materi karier. Campuran sel bakteri dan materi
pembawa (karier) diinjeksikan dengan menggunakan jarum syringe ke dalam arutan
CaCl2 (dengan jarak sekitar 10 cm). Granula sel yang terimobilisasi dibiarkan
selama 1 jam hingga mengeras dan dipindahkan ke dalam botol steril untuk
disimpan (Xiaoyan & Xiguang, 2009). Granula sel yang telah dibuat kemudian
dicampurkan dengan bahan pengisi (filler) berupa maltodesktrin, maizena, tepung
ubi kayu, dan tepung beras dengan perbandingan 1 : 3. Dari keempat jenis tepung
tersebut akan dipilih satu jenis bahan pengisi yang terbaik. Viabilitas inokulum
starter setelah 1 bulan penyimpanan dihitung dengan metode pemupukan
menggunakan media MRSA dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam.
Selain itu dibuat juga inokulum yang dikeringkan dengan alat kristalisasi
berupa pengering vakum berkompresor. Alat kristalisasi tersebut mempunyai
spesifikasi sebagai berikut:
Kompresor dingin panas :0,3 HP
Pompa vakum : 0,5 HP
Suhu dingin : -10oC ~ -+20oC
Suhu panas : 30oC 60oC
Kapasitas tabung dingin : 2 L
Kapasitas tabung panas : 2L
Inokulum yang dibuat dengan alat kristalisasi ini dibandingkan dengan
inokulum yang dibuat tanpa alat kristalisasi.
23
5. Implementasi Starter dengan Pembuatan Tepung Mokaf
Proses pembuatan tepung mokaf diawali dengan penyiapan starter.
Sebanyak 3 kg ubi kayu dikupas, dicuci bersih, diparut, dan dipres untuk diambil
airnya. Air perasan digunakan untuk menumbuhkan kultur starter dan media. Media
dan kultur starter dari masing-masing perlakuan ditimbang dengan perbandingan 1 :
1, kemudian dimasukkan ke dalam air perasan ubi kayu. Kultur starter dan media
dibiarkan selama 24 jam. Pembuatan tepung mokaf dilakukan dengan
menggunakan ubi kayu dalam bentuk chips. Ubi kayu ditambahkan dengan air,
starter, dan asam sitrat, kemudian difermentasi selama 24 jam. pH cairan sebelum
dan sesudah difermentasi diamati.
Setelah 24 jam, fermentasi dihentikan dengan menggunakan NaCl.
Kemudian ditambahkan air baru dan dilakukan pemerasan dan pembuangan air
dengan menggunakan spinner. Setelah itu dilakukan , pengeringan oven pada suhu
50oC selama 20 jam, penepungan, dan pengayakan.
6. Analisis Tepung Mokaf
Analisis yang dilakukan pada tepung mokaf meliputi kadar air, kadar HCN,
kadar serat kasar, total asam, kadar pati, kadar abu, derajat putih, kekuatan gel, dan
sifat amilografi dari tepung mokaf hasil implementasi starter pada penelitian ini.
Selain itu dilakukan uji organoleptik yang menguji tingkat kesukaan konsumen
terhadap warna, tekstur, dan bau pada tepung mokaf yang dibuat dengan starter
yang dibuat pada penelitian ini, tepung mokaf dari industri mokaf yang sudah ada,
dan tepung mokaf yang dibuat menggunakan enzim/starter dari industri pengolah
tepung mokaf yang sudah sebelumnya. Pengamatan dilakukan dengan skala
hedonik bernilai satu sampai lima, dimana 1 menunjukkan sangat tidak suka, 2
menunjukkan tidak suka, 3 menunjukkan sedikit suka (netral), 4 menunjukkan suka,
dan 5 menunjukkan sangat suka.
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
A. Fermentasi Spontan Ubi Kayu
Proses pembuatan starter tepung mokaf diawali dengan isolasi bakteri asam
laktat pada enzim atau inokulum pembuat mokaf dari industri tepung mokaf, isolasi
dari bakteri yang tumbuh pada fermentasi spontan ubi kayu pada hari ke-1 hingga
hari ke-4, serta dari rendaman ubi kayu yang tidak dibilas selama 4 hari.
Pembentukan asam telah terjadi sejak hari pertama perendaman yang dapat diamati
melalui penurunan pH, hingga hari ke-4 perendaman. Penurunan asam terjadi
akibat terbentuknya asam laktat hasil metabolisme bakteri asam laktat yang tumbuh
spontan pada rendaman ubi kayu. Hasil pengukuran pH rendaman ubi kayu dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengamatan Keasaman Selama Fermentasi Spontan Ubi Kayu
Perendaman hari ke- pH
Sebelum Pembilasan Setelah Pembilasan
1 6,50 -
2 4,78 4,96
3 4,60 4,90
4 4,90 4,90
Berdasarkan hasil pengukuran pH dan penampakan hasil fermentasi
spontan ubi kayu dapat dilihat bahwa asam laktat merupakan metabolit tunggal
yang terdapat pada rendaman ubi kayu tersebut. Secara visual dapat diamati
dengan tidak terbentuknya gelembung gas pada rendaman ubi kayu tersebut.
Hal ini menandakan bahwa bakteri asam laktat jenis homofermentatif yang
dominan tumbuh pada proses fermentasi spontan ini. Produk akhir dari proses
fermentasi BAL homofermentatif sebagian besar berupa asam laktat sedangkan
produk akhir dari proses heterofermentatif adalah asam laktat, etanol, asam
25
asetat, dan CO2 (Salminen, 2004). Penampakan rendaman ubi kayu setelah
difermentasi dapat dilihat pada Gambar 2.
(a) (b) (c)
Gambar 2. Penampakan rendaman ubi kayu pasca fermentasi spontan (a) fermentasi
hari ke-2; (b) fermentasi hari ke-3; (c) fermentasi hari ke-4.
Ubi kayu yang difermentasi spontan dianalisis setiap harinya selama 4
hari yang meliputi analisis proksimat, kadar serat kasar, kadar pati, kadar HCN,
total asam, derajat keputihan, karakteristik gelatinisasi, dan ukuran lolos ayakan.
Selain itu juga dilakukan isolasi BAL yang tumbuh dominan setiap hari pada 4
hari fermentasi tersebut. Isolat yang diperoleh setelah difermentasi selama 1
hari, 2 hari, 3 hari, dan 4 hari berturut-turut dinamakan FSb1, FSb2, FSb3, dan
FSb4. Selama proses fermentasi spontan ubi kayu terjadi perubahan sifat
amilografi yang diukur dengan menggunakan Alat Brabender Visco Amylograph
seperti dapat dilihat pada Tabel 3. Metode uji amilografi tepung dapat dilihat
pada Lampiran 1.
Tabel 3. Perubahan Sifat Amilografi Tepung Hasil Fermentasi Spontan Ubi Kayu
Kode sampel Suhu awal gelatinisasi
(SAG)
Suhu Puncak
Gelatinisasi (SPG)
Viskositas
maksimum
Tepung ubi
kayu
30 + (24 x 1.5) = 66.0 oC 30 + (28 x 1.5) = 87.0oC 850 BU
FSb1 30 + (26 x 1.5) = 69C 30 + (39 x 1.5) = 88.5C 1780 BU
FSb2 30 + (26 x 1.5) = 69C 30 + (44 x 1.5) = 96C 1760 BU
FSb3 30 + (25 x 1.5) = 67.5C 30 + (43 x 1.5) = 94.5C 2287 BU
26
Kode sampel Suhu awal gelatinisasi
(SAG)
Suhu Puncak
Gelatinisasi (SPG)
Viskositas
maksimum
FSb4 30 + (25 x 1.5) = 67.5C 30 + (40 x 1.5) = 90C 2300 BU
Tepung
mokaf
30 + (28 x 1.5) = 72.0 oC 30 + (43 x 1.5) = 94.5oC 1000 BU
Sifat amilografi pati diukur berdasarkan peningkatan viskositas pati pada
proses pemanasan dengan menggunakan Brabender Amylograph. Selama
pemanasan terjadi peningkatan viskositas yang disebabkan oleh pembengkakan
granula pati. Pengamatan sifat amilografi meliputi suhu awal gelatinisasi, suhu
puncak gelatinisasi, dan viskositas maksimum. Suhu awal gelatinisasi adalah
suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Suhu awal gelatinisasi
merupakan suatu fenomena sifat fisik pati yang komplek yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain ukuran molekul serta rasio amilosa dan amilopektin.
Viskositas maksimum atau yang disebut juga viskositas puncak merupakan titik
maksimum viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasa dan pada
saat itu dicapai suhu akhir gelatinisasi. Pada suhu ini granula pati telah
kehilangan sifat birefringence-nya. Viskositas maksimum dari tepung fermentasi
spontan ubi kayu ini berkisar antara 1780 sampai 2300 BU (Brabender Unit).
Nilai viskositas ini lebih tinggi dibandingkan tepung ubi kayu (850 BU) dan
tepung mokaf dari Trenggalek (1000 BU). Menurut Tan et al. (2009) viskositas
maksimum berkorelasi negatif dengan amilosanya. Viskositas maksimum yang
tinggi akan berpengaruh terutama pada tekstur produk yang diaplikasikan,
karena semakin besar derajat viskositasnya maka tekstur yang dihasilkan akan
semakin kuat dan tidak mudah rapuh.
Berdasarkan karakterisasi sifat amilografi tepung fermentasi ubi kayu
dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan viskositas maksimum dari tepung dengan
bertambahnya waktu fermentasi. Berdasarkan Tabel 3, bila dibandingkan
dengan tepung ubi kayu sebagai kontrol negatifnya, terjadi peningkatan suhu
gelatinisasinya pada tepung fermentasi spontan ubi kayu. Suhu gelatinisasi
tepung fermentasi ubi kayu mendekati suhu gelatinisasi tepung mokaf dari
27
Trenggalek sebagai kontrol positifnya. Demikian juga dengan viskositas
maksimum tepung fermentasi spontan ubi kayu semakin meningkat dengan
bertambahnya waktu fermentasi. Hal ini diduga karena aktivitas dari bakteri
asam laktat yang bersifat selulolitik yang menyebabkan terdegradasinya dinding
selulosa pada tepung sehingga tepung lebih mudah tergelatinisasi. Selain itu
pada proses fermentasi terjadi penyerangan bagian amilopektin (bagian yang
renggang) dari tepung tersebut sehingga struktur amorphous dari pati akan
meningkat, kandungan amilosa akan meningkat, dengan demikian tepung
memiliki indeks glikemik yang rendah.
Fermentasi spontan ubi kayu juga dapat mengubah kekuatan gel tepung
fermentasi spontan tersebut dibandingkan dengan kekuatan gel pada tepung ubi
kayu tanpa fermentasi. Pengamatan kekuatan gel tepung fermentasi spontan ubi
kayu dibandingkan dengan tepung ubi kayu dan tepung mokaf dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Data Kekuatan Gel Tepung Ubi Kayu yang Difermentasi Spontan
Kode Isolat Force (g) Distance (mm) Rigiditas
(g/mm)
Tepung ubi
kayu
147,5 14,984 9,84
145,6 14,785 9,85
FSb1 252,9 15,000 16,86
253,9 14,943 16,99
FSb2 250,6 14,970 16,74
252,2 14,930 16,89
FSb3 295,0 14,892 19,81
285,2 14,993 19,02
FSb4 259,4 14,990 17,30
273,5 14,990 18,31
Tepung mokaf 139,0 7,563 18,38
143,0 9,310 15,68
28
Tepung ubi kayu yang difermentasi mengalami kenaikan kekuatan gel
dibandingkan dengan tebung ubi kayu tanpa fermentasi. Kekuatan gel tepung
fermentasi spontan ubi kayu juga mendekati bahkan sedikit lebih besar daripada
tepung mokaf yang sudah komersial. Kenaikan kekuatan gel tepung tersebut
disebabkan oleh aktivitas selulolitik dan pektinolitik BAL pada saat fermentasi
yang menyebabkan semakin meningkat rigiditas dari adonan tepung.
Derajat putih tepung hasil fermentasi spontan ubi kayu juga diuji dengan
menggunakan Whiteness meter. Data derajat putih tersebut dapat dilihat pada
Tabel 5. Selain tepung hasil fermentasi spontan ubi kayu, dilakukan juga
pengujian derajat putih pada tepung ubi kayu.
Tabel 5. Derajat Putih Tepung Fermentasi Spontan Ubi Kayu
Kode Sampel Ulangan Derajat Putih
Skala (0 110) Persen (%)
Tepung ubi kayu (kontrol) 1 90,8 82,55
2 90,4 82,18
FSb1 1 91,2 82,91
2 91,4 83,09
FSb2 1 91,0 82,73
2 90,0 82,64
FSb3 1 93,0 84,55
2 92,7 84,27
FSb4 1 89,8 81,64
2 89,6 81,45
Berdasarkan pengamatan derajat putih, fermentasi spontan ubi kayu
dapat sedikit meningkatkan derajat putih pada tepung dibandingkan dengan
kontrolnya berupa tepung ubi kayu, namun peningkatan yang terjadi tidak terlalu
signifikan, bahkan pada fermentasi hari ke-4 (FSb4) derajat putih tepung lebih
rendah. Hal ini diduga karena pada hari ke-4 fermentasi mulai terbentuk
29
mikroorganisme lain yang menghasilkan metabolit lain yang diduga
mempengaruhi penampakan warna tepung. Secara sensori teramati pada saat
fermentasi hari ke-4 timbul aroma selain asam laktat yang menandakan
dimulainya proses peragian. Hal ini diperkuat dengan terisolasinya khamir yang
diduga merupakan Saccharomyces cerevisiae pada hari ke-4 fermentasi ini.
Penampakan khamir yang terisolasi pada fermentasi hari ke-4 dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Khamir yang terisolasi pada fermentasi spontan hari ke-4
Hasil analisis komposisi kimia tepung fermentasi spontan ubi kayu dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Analisis Tepung Fermentasi Spontan Ubi Kayu
Parameter Kode Tepung
FSb1 FSb2 FSb3 FSb4 FStb4
Air 8,99 % 8,96 % 7,24 % 6,29 % 8,26 %
Abu 0,89 % 0,37 % 0,41 % 0,50 % 0,68 %
Protein
(Nx6,25)
1,31 % 0,90 % 0,83 % 0,88 % 0,89 %
Lemak 1,20 % 1,13 % 0,80 % 1,14 % 0,60 %
Serat kasar 2,28 % 2,40 % 2,10 % 2,25 % 1,73 %
Karbohidrat 87,6 % 88,6 % 90,7 % 91,2 % 91,4 %
Derajat asam* 3,29 2,36 2,64 2,73 3,01
30
Parameter Kode Tepung
FSb1 FSb2 FSb3 FSb4 FStb4
HCN < 3
mg/kg
< 3 mg/kg < 3
mg/kg
< 3
mg/kg
< 3
mg/kg
Pati 74,9 % 76,2 % 74,2 % 64,2 % 39,9 %
Keterangan: * satuan untuk derajat asam adalah ml NaOH 1N/100 gram
Berdasarkan data, dapat dilihat bahwa komposisi kimia tepung ubi kayu
yang difermentasi spontan mendekati syarat mutu tepung mokaf pada RSNI
tepung mokaf (dapat dilihat pada Tabel 11). Kadar pati yang rendah diduga
karena banyaknya pati yang terbuang pada saat pemerasan/ pembilasan bubur
ubi kayu yang dibuat. Dengan demikian dapat disimpulkan juga bahwa
fermentasi ubi kayu dalam bentuk bubur di satu sisi dapat berlangsung dengan
baik karena luas permukaannya yang lebih besar, namun di sisi lain kadar pati
dari tepung fermentasi tersebut sangat rendah karena banyaknya pati yang
terbuang selama proses pemerasan, hal ini juga terkait rendemen yang
dihasilkan yang lebih rendah.
Penampakan perubahan kristal pati pada tepung fermentasi spontan ubi
kayu dapat dilihat pada Gambar 4.
FSb1 FSb2
31
FSb3 FSb4
Gambar 4. Pengamatan Kristal Pati pada Tepung Fermentasi Spontan Ubi Kayu
Hari ke-1 (FSb1), hari ke-2 (FSb2), hari ke-3 (FSb3), dan hari ke-4
(FSb4).
Berdasarkan pengamatan mikroskop polarisasi, granula pati tepung
fermentasi ubi kayu memiliki bentuk poligonal, bulat, dan lonjong dengan ukuran
granula yang beragam. Granula pati memiliki karakteristik birefringent yaitu
berbentuk kristal dengan pengamatan di bawah mikroskop polarisasi karena suhu
pemanasan pada pembuatan tepung fermentasi ubi kayu berada di bawah suhu
awal gelatinisasinya. Secara kualitatif dapat dilihat bahwa seiring dengan
bertambahnya waktu fermentasi maka akan semakin banyak rantai amilopektin
(struktur lebih bercabang) pada pati yang terbuka menjadi struktur yang lebih
terbuka, sehingga terjadi peningkatan water holding capacity (kemampuan
menangkap air) pada tepung ubi kayu yang difermentasi spontan.
B. Isolasi dan Identifikasi Bakteri
Tahapan isolasi diawali dengan penumbuhan pada media cair MRSB
kemudian diinkubasi selama 24 48 jam pada suhu 37oC. Setelah itu digoreskan
pada media agar MRSA secara kuadran hingga terbentuk koloni tunggal. Inkubasi
MRSA dilakukan selama 24 48 jam pada suhu 37oC. Media MRSB sebelum dan
sesudah adanya pertumbuhan BAL dapat dilihat pada Gambar 5.
32
Gambar 5. Media MRSB sebelum ditumbuhi BAL (kiri) dan setelah ditumbuhi BAL
(kanan)
Pertumbuhan BAL pada media MRSB ditandai dengan terbentuknya kekeruhan.
Media MRS baik yang berbentuk broth maupun agar bersifat spesifik terhadap
pertumbuhan bakteri asam laktat karena kandungan gulanya yang tinggi. Koloni tunggal
BAL yang tumbuh di MRSA kemudian dimurnikan kembali dengan melakukan
penggoresan ulang pada media MRSA yang kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 24 48 jam. Pertumbuhan BAL pada media MRSA dapat dilihat pada Gambar
6. Untuk mengawetkan BAL yang telah terisolasi, BAL digoreskan pada agar miring
MRSA kemudian disimpan pada suhu 4o C. BAL yang ditumbuhkan pada agar miring
MRSA perlu disegarkan setiap bulan untuk memelihara viabilitasnya.
Isolasi BAL dilakukan pada ubi kayu yang difermentasi spontan hari ke-1, ke-2,
ke-3, dan ke-4 dengan pembilasan yang dilakukan setiap hari (isolat FSb1, FSb2,
FSb3, dan FSb4); isolasi pada ubi kayu yang difermentasi spontan selama 4 hari tanpa
dilakukan pembilasan (isolat FSb4); isolasi pada enzim mokaf dari industri mokaf di
Pati (isolat EnDr); isolasi pada enzim mokaf dari industri mokaf di Magelang (EnMgl);
serta isolasi pada enzim mokaf dari industri mokaf di Trenggalek (EnSbg).
Gambar 6. Isolat BAL yang digoreskan pada MRSA.
33
Isolat-isolat yang berhasil diisolasi diidentifikasi berdasarkan sifat
fenotipiknya menggunakan perangkat API 50 CH yang mengidentifikasi BAL
berdasarkan karakteristik fermentasinya terhadap beberapa gula sederhana dan
karakteristik biokimia lainnya. Penampakan hasil pengujian API 50 CH dapat
dilihat pada Lampiran 3. Data diolah dengan software apiweb (Lampiran 4 )
dan identifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7. Hasil Identifikasi Isolat BAL dengan Menggunakan API 50 CH
Kode Isolat Hasil Identifikasi
FSb1 Lactobacillus plantarum
FSb2 Lactobacillus plantarum
FSb3 Lactobacillus delbrueckii ssp delbrueckii
FSb4 Lactococcus lactis ssp lactis 2
FStb4 Lactococcus lactis ssp lactis 1
EnDr Lactococcus lactis ssp lactis 1
EnMgl Lactobacillus plantarum 2
EnSBg Lactobacillus delbrueckii subsp. delbrueckii
Berdasarkan hasil identifikasi dapat dilihat bahwa Lactobacillus plantarum
(Lb. plantarum) mendominasi hari-hari pertama fermentasi spontan ubi kayu. Hal
ini berlawanan dengan hasil penelitian McDonald et al. (1990) yang menyatakan
bahwa Lb.plantarum tidak terdapat pada tahap awal proses fermentasi ubi kayu
karena laju pertumbuhannya yang rendah dibandingkan mikroflora lain yang
terdapat pada ubi kayu. Namun galur BAL yang terdapat pada tahap awal
fermentasi sama dengan galur BAL yang terisolasi dari enzim mokaf dari
industri pengolahan tepung mokaf di Magelang. Studi tentang suksesi BAL pada
tahapan fermentasi ubi kayu dilaporkan juga oleh Oyewole dan Odunfa (1992)
bahwa Lb.plantarum terkandung secara dominan selama 3 hari fermentasi.
34
BAL yang terisolasi pada fermentasi ubi kayu hari ke-3 (FSb3) teridentifikasi
sebagai Lb. delbrueckii ssp delbrueckii. Galur BAL yang terisolasi pada hari ke-3
fermentasi tersebut sama dengan galur BAL yang terisolasi dari enzim mokaf dari
Trenggalek. Berdasarkan hasil survey, enzim mokaf Trenggalek menggunakan 4
jenis kultur BAL. Diduga galur Lb.delbrueckii ssp delbrueckii merupakan salah satu
isolat yang digunakan dalam pembuatan enzim mokaf.
Pada ubi kayu yang difermentasi selama 4 hari, BAL yang tumbuh
teridentifikasi sebagai Lc. lactis ssp lactis baik yang dibilas setiap hari maupun yang
difermentasi tanpa pembilasan (FSb4 dan FStb4). Isolat yang teridentifikasi ini sama
dengan isolat yang diperoleh dari enzim yang diperoleh dari industri mokaf di
daerah Pati (EnDr).
C. Uji Aktivitas Bakteri
a. Kurva Pertumbuhan Isolat
Kurva pertumbuhan bakteri menunjukkan pola pertumbuhan bakteri yang
meliputi fase lag atau fase adaptasi, fase logaritmik, fase stasioner, dan fase
kematian. Kurva pertumbuhan isolat BAL pada penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 7.
Gambar 7. Kurva Pertumbuhan Isolat BAL
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ab
sorb
ansi
Waktu inkubasi (jam)
FSb1 FSb2 FSb3 FSb4
FStb 4 EnDr EnMgl EnSbg
35
00.00020.00040.00060.0008
0.0010.00120.00140.00160.0018
Bakteri asam laktat mulai membentuk metabolit-metabolitnya pada akhir
fase logaritmik, sehingga waktu optimal untuk memulai proses fermentasi adalah
pada akhir fase logaritmik tersebut. Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa
rata-rata akhir fase logaritmik untuk tiap isolat adalah 24 jam, sehingga
mikroenkapsulasi dilakukan setelah isolat berumur 24 jam.
b. Aktivitas Selulolitik
Aktivitas selulolitik isolat-isolat yang diperoleh dapat dilihat pada
Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa aktivitas selulolitik BAL
yang terisolasi pada fermentasi spontan ubi kayu berbeda-beda. Selulolitik
merupakan aktivitas bakteri dalam perombakan selulosa dengan bantuan enzim
selulase. Enzim selulolitik dibentuk oleh sebagian besar mikroorganisme, salah
satunya adalah BAL. Tingginya aktivitas selulolitik ditemukan dalam filtrat pada
awal fase stasioner pertumbuhan BAL dan enzim ini dilepaskan secara otomatis
dengan adanya substrat. Degradasi selulosa yang terdapat pada ubi kayu lebih
efisien ketika kontak secara langsung antara sel BAL dengan substrat.
Gambar 8. Aktivitas selulolitik Isolat BAL yang diperoleh dari fermentasi spontan ubi
kayu, dari enzim mokaf, dan Isolat Murni BAL.
36
Aktivitas selulolitik pada isolat-isolat yang tumbuh pada fermentasi spontan
ubi kayu berbeda-beda sesuai dengan lingkungan tempat pertumbuhan BAL.
Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa aktivitas selulolitik semakin meningkat
seiring dengan lamanya fermentasi, kecuali pada hari ke-3 fermentasi. Pada
aktivitas selulolitik yang tinggi diduga karena isolat yang diperoleh memiliki daya
adaptasi yang cukup tinggi, dan isolat tersebut menghasilkan enzim selulase secara
lengkap. Sedangkan isolat yang memiliki daya adaptasi rendah, karena belum
mendekomposisikan bahan selulosa yang diberikan disebabkan karena kondisi
media selulosa cair masih cukup mengandung glukosa untuk pertumbuhannya,
sehingga isolat-isolat tersebut belum menghidrolisis bahan selulosa yang diberikan
sebagai sumber energi dan karbonnya. Isolat yang memiliki aktivitas selulolitik
tertinggi adalah isolat dari hasil fermentasi spontan ubi kayu hari ke-4 (FStb4).
c. Aktivitas Pektinolitik
Aktivitas pektinolitik dari isolat BAL yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Pengamatan Aktivitas Pektinolitik yang Diamati Sebagai Aktivitas
Pektinesterase
Kode
Isolat
Volume titran
(ml)
Waktu inkubasi
(detik)
Aktivitas
pektinesterase
FSb1 6,00 60 0,100
FSb2 5,85 60 0,0975
FSb3 5,90 60 0,098
FSb4 2,35 60 0,039
FStb4 2,60 60 0,043
EnMgl 2,25 60 0,0375
EnDr 1,60 60 0,026
EnSbg 1,75 60 0,029
37
Aktivitas pektinolitik dihitung sebagai aktivitas pektinesterase.
Pektinesterase adalah enzim golongan pektinase yang mampu menghidrolisis
senyawa pektin. Enzim ini bekerja secara spesifik pada gugus metoksi dari
residu 6-karboksil pada rantai utama senyawa galakturonan. Hasil dari degradasi
senyawa pektin ini adalah asam pektik, methanol, dan proton (Poliana and
MacCabe, 2007). Karena itulah semakin banyak asam pektik yang dihasilkan
maka akan semakin banyak NaOH yang dibutuhkan dalam mentitrasi larutan
pektin. Semakin banyak volume titran (NaOH) menunjukkan semakin tinggi
aktivitas pektinolitik isolat. Pada isolat hasil fermentasi spontan, isolat FSb1
memiliki aktivitas pektinolitik tertinggi. Hal ini diduga karena kandungan pektin
pada ubi kayu sebelum fermentasi cukup tinggi sehingga bakteri yang dapat
tumbuh adalah yang mempunyai aktivitas pektinolitik terbaik. Isolat yang
diperoleh dari fermentasi hari ke-2 sampai hari ke-4 memiliki aktivitas pektinolitik
semakin rendah, hal ini diduga karena kandungan pektin pada hari ke-2
fermentasi dan seterusnya sudah mengalami degradasi sehingga bakteri yang
tumbuh adalah yang memiliki aktivitas pektinolitik lebih rendah, sesuai dengan
substrat yang tersedia pada rendaman ubi kayu tersebut.
Enzim pendegradasi pektin biasanya digunakan untuk meningkatkan
stabilitas jus buah dan wine. Selain itu enzim pektinolitik ini digunakan untuk
pelembutan serat alami serta ekstraksi minyak dari sayur-sayuran dan kulit jeruk
sitrus (Soares et al. 1999).
D. Pembuatan Starter
Seluruh isolat BAL yang diisolasi dari fermentasi spontan ubi kayu diawetkan
dengan cara diliofilisasi sebagai kultur stok BAL sebelum pembuatan inokulum untuk
starter. Starter dibuat dengan 5 kombinasi isolat BAL seperti dapat dilihat pada
Tabel 9.
38
Tabel 9. Kombinasi Isolat BAL yang Digunakan untuk Starter Tepung Mokaf
Kode Starter Jenis Isolat
Starter 1 Lactobacillus plantarum ATCC 8014
Starter 2 Lactococcus lactis subsp.lactis ATCC 11454
Starter 3 Lactobacillus plantarum ATCC 8014 + Lactococcus lactis
subsp.lactis ATCC 11454
Starter 4 Lactobacillus plantarum (FSb1) + Lactococcus lactis
subsp.lactis (FStb4)
Starter 5 Lactobacillus plantarum (FSb1) + Lactobacillus delbrueckii
subsp. delbrueckii (FSb3) + Lactococcus lactis subsp.lactis
(FStb4)
Inokulum starter dipersiapkan dengan mengimobilisasi sel dengan alginat
dan gelatin (2:1) sebagai karier dengan pre-treatment menggunakan sodium
sitrat dan penambahan suplemen berupa trehalose. Kultur yang terimobilisasi
kemudian ditambahkan dengan berbagai bahan pengisi dengan beberapa
perbandingan untuk selanjutnya dikeringkan pada pengering vakum
berkompresor. Pengering vakum berkompresor tersebut dapat dilihat pada
Gambar 9. Bahan pengisi yang digunakan antara lain tepung ubi kayu
(cassava), maizena, tepung beras, dan maltodekstrin. Perbandingan yang
digunakan ditetapkan berdasarkan trial dan error kemampuan bahan pengisi
membentuk tekstur starter yang homogen dengan kultur terimobilisasi.
39
Gambar 9. Alat pengering vakum berkompresor
Bahan pengisi terbaik yang digunakan untuk membuat inokulum starter
adalah tepung beras dengan perbandingan antara kultur terimobilisasi dan
bahan pengisi sebesar 1:2, dikeringkan dengan pengering vakum berkompresor
pada suhu 36 38oC selama 3 4 jam. Gambar 10 menunjukkan penampakan
beberapa inokulum yang dibuat dengan menggunakan bahan pengisi tepung
cassava, maltodekstrin, dan tepung beras.
(a) (b) (c)
Gambar 10. Penampakan inokulum starter dengan berbagai bahan pengisi. (a)
bahan pengisi tepung cassava; (b) bahan pengisi maltodektrin; dan
(c) bahan pengisi tepung beras.
Bahan pengisi yang terpilih digunakan untuk membuat seluruh kombinasi
starter seperti pada Tabel 9. Seluruh kombinasi starter diuji melalui implementasi
kemampuan starter tersebut untuk memfermentasi ubi kayu menghasilkan
tepung mokaf yang memenuhi syarat mutu tepung mokaf. Pengamatan hasil
jumlah BAL yang hidup pada starter dapat dilihat pada Tabel 10.
40
Tabel 10. Data Viabilitas Starter Mokaf
Kode starter Jumlah BAL awal
(koloni/gram)
Starter 1 1,50 x 106
Starter 2 3,48 x 107
Starter 3 1,97 x 108
Starter 4 2,68 x 107
Starter 5 1,91 x 108
Berdasarkan data viabilitas pada Tabel 10, maka dapat diketahui bahwa
jumlah BAL yang hidup pada starter yang dibuat pada penelitian ini berkisar
pada 106 sampai 108 koloni/gram. Jumlah BAL yang terdapat pada starter pada
penelitian ini cukup tinggi. Hal ini karena perlakuan imobilisasi pada pembuatan
starter dapat melindungi sel atau jaringan dari BAL terhadap pengaruh
lingkungan dan degradasi fisiologis (Krasaekoopt et al. 2003). Jumlah BAL awal
pada starter penelitian ini lebih tinggi dibandingkan jumlah BAL pada starter
mokaf dari industri yang masih baru (104 koloni/gram). Viabilitas BAL yang tinggi
diharapkan dapat memperpanjang umur pakai dari starter mokaf tersebut. Dari
kelima starter yang dibuat pada penelitian ini, starter 3 menunjukkan viabilitas
paling tinggi. Namun tingginya jumlah BAL pada starter ini juga dipengaruhi oleh
kondisi pertumbuhan BAL sebelum kultur diimobilisasi.
E. Implementasi Starter dengan Pembuatan Tepung Mokaf
Masing-masing starter (starter 1 sampai dengan 5) diimplementasikan untuk
membuat tepung mokaf. Starter yang dinyatakan terbaik adalah starter yang dapat
menghasilkan sifat fisiko kimia yang dapat memenuhi syarat mutu tepung mokaf,
dan memiliki karakteristik gelatinisasi yang baik.
41
Syarat mutu tepung mokaf yang terdapat pada Rancangan Standar Nasional
Indonesia (RSNI) tepung mokaf dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Syarat Mutu Tepung Mokaf
No Kriteria uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
1.1 Bentuk - serbuk halus
1.2 Bau - normal
1.3 Warna - putih
2 Benda asing - tidak ada
3 Serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak
- tidak ada
4 Kehalusan
4.1 Lolos ayakan 100 mesh (b/b) % min. 90
4.2 Lolos ayakan 80 mesh (b/b) % 100
5 Kadar air (b/b) % maks. 13
6 Abu (b/b) % maks. 1,5
7 Serat kasar (b/b) % maks. 2,0
8 Derajat putih (MgO = 100) - min. 87
9 Belerang dioksida (SO2) g/g Negatif
10 Derajat asam mL NaOH 1 N / 100 g
maks. 4,0
11 HCN mg/kg maks. 10
12 Cemaran logam
12.1 Kadmium (Cd) mg/kg maks. 0,2
12.2 Timbal (Pb) mg/kg maks. 0,3
12.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0
12.4 Merkuri (Hg) mg/kg maks. 0,05
13 Cemaran arsen (As) mg/kg maks. 0,5
14 Cemaran mikroba
14.1 Angka lempeng total koloni/g maks. 1 x 106
14.2 Escherichia coli APM/g maks. 10
14.3 Bacillus cereus koloni/g < 1 x 104
14.4 Kapang koloni/g maks. 1 x 104
42
Pengujian pada tepung mokaf hasil implementasi starter pada penelitian ini
hanya dilakukan pada sifat fisiko kimia tepung mokaf tersebut. Rendaman ubi kayu
pada pembuatan tepung mokaf dalam tahap implementasi ini dapat dilihat pada
Gambar 11.
Gambar 11. Perendaman chips ubi kayu dengan air dan starter mokaf
Pengukuran pH rendaman ubi kayu sebelum dan sesudah fermentasi dapat
dilihat pada Tabel 12. Tepung mokaf yang dihasilkan selain diuji komposisi kimia nya
juga dilakukan pengujian terhadap kekuatan gel (gel strength), sifat amilografi, dan
derajat putihnya.
Tabel 12. Hasil Pengukuran pH Rendaman Ubi Kayu pada Pembuatan Tepung Mokaf
Sebelum dan Sesudah Fermentasi Berlangsung
Starter yang Digunakan pH awal pH setelah fermentasi
Starter 1 7.0 4.5 5.0
Starter 2 7.0 4.5 5.0
Starter 3 7.0 4.5 5.0
Starter 4 7.0 4.5 5.0
Starter 5 7.0 4.5 5.0
Penurunan pH pada saat pembuatan tepung mokaf menunjukkan bahwa proses
fermentasi telah berlangsung dengan menurunnya pH hasil pembentukan asam laktat
43
starter yang digunakan. Keadaan bau rendaman ubi kayu menggunakan mokaf adalah
normal dengan artian tidak ada bau yang tidak diharapkan (off flavor).
F. Analisis Tepung Mokaf
Hasil analisis komposisi kimia tepung mokaf hasil fermentasi menggunakan
starter pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil analisis Tepung Mokaf yang Dibuat Dengan Starter Pada Penelitian
ini
Parameter Kode Tepung
Mosta 1 Mosta 2 Mosta 3 Mosta 4 Mosta 5
Air 6,41 % 8,53 % 5,60% 8,75 % 6,19 %
Abu 0,68 % 0,58 % 0,57 % 0,42 % 0,55 %
Protein
(Nx6,25)
0,89 % 0,87 % 1,00 % 1,70 % 0,99 %
Lemak 0,60 % 1,60 % 0,87 % 1,40 % 0,77 %
Serat kasar 1,73 % 1,36 % 3,06 % 1,31 % 2,64 %
Karbohidrat 91,4 % 87,1 % 88,9 % 86,4 %
Derajat
asam
3,01 ml
NaOH/100
g
1,88 ml
NaOH/ 100
g
2,50 ml
NaOH/
100g
2,05 ml
NaOH/100g
2,47 ml
NaOH/100
g
HCN Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Pati 76,7 % 76,7 % 76,7% 76,4 % 77,2 %
Keterangan: Mosta 1 = Tepung mokaf yang dibuat dengan starter 1
Mosta 2 = Tepung mokaf yang dibuat dengan starter 2
Mosta 3 = Tepung mokaf yang dibuat dengan starter 3
Mosta 4 = Tepung mokaf yang dibuat dengan starter 4
Mosta 5 = Tepung mokaf yang dibuat dengan starter 5
44
Berdasarkan data pada Tabel 13, komposisi kimia dari tepung mokaf yang dibuat
dengan starter pada penelitian ini dapat memenuhi syarat mutu yang tertera pada RSNI
tepung mokaf. Kadar air maksimum yang ditetapkan pada standar adalah 13%,
sedangkan pada tepung mokaf yang dibuat dengan starter pada penelitian ini berada
pada kisaran 8%. Kadar air merupakan salah satu titik kritis pada tepung mokaf karena
bila kadar air melebihi 13% dapat mempersingkat umur simpan dari tepung mokaf
tersebut, karena merupakan kondisi ideal untuk tumbuhnya mikroba. Kadar abu semua
tepung mokaf (mosta 1 sampai mosta 5) memenuhi syarat mutu tepung mokaf yaitu di
bawah 1,5 %.
Kadar lemak tepung mokaf hasil implementasi berkisar antara 0,6 1,6 %. Kadar
lemak tidak dipersyaratkan dalam RSNI, namun kadar lemak yang tinggi berkorelasi
dengan penurunan kejernihan pasta pati (sebagaimana pada serealia) dan menekan
pembengkakan butiran pati (Kasemsuwan et al. 1998).
Kadar serat kasar mokaf hasil implementasi starter tidak semuanya memenuhi
persyaratan kandungan serat kasar pada RSNI karena persyaratan serat kasar yang
ditetapkan adalah 2 %, sedangkan pada Mosta 3 terlihat kadar serat kasarnya adalah
3,06 %. Namun kandungan serat kasar ini tidak terlalu signifikan dalam menentukan
kualitas starter karena diduga kadar serat kasar yang sedikit melebihi standar ini terkait
dengan proses pengayakan tepung mokaf ini, karena serat kasar merupakan bagian
yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam atau basa. Berdasarkan hasil studi banding di
lapangan (pada industri tepung mokaf), kadar serat kasar sebesar 3% masih masuk ke
dalam spesifikasi mutu tepung mokaf. Spesifikasi mutu yang digunakan oleh industri
tepung mokaf tersebut yang tercantum pada Certificate of Analysis (CoA) yang
dikeluarkan oleh Universitas Jember dapat dilihat pada Lampiran 5.
Pengamatan derajat putih tepung mokaf yang dibuat dengan starter pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 14.
45
Tabel 14. Data Analisis Derajat Putih Tepung Mokaf Hasil Implementasi Starter Pada
Penelitian Ini
Kode Tepung Ulangan Derajat Putih
Skala 0 - 110 Persen (%)
Mosta1 1 102,8 93,45
2 102,7 93,36
3 102,8 93,45
Mosta 2 1 101,9 92,64
2 102,0 92,73
3 101,9 92,64
Mosta 3 1 100,6 91,45
2 100,5 91,36
3 101,0 91,82
Mosta 4 1 103,7 94,27
2 103,9 94,45
3 104,0 94,55
Mosta 5 1 101,8 92,55
2 101,8 92,55
3 101,5 92,27
Nilai derajat putih contoh diukur dengan membandingkan nilai derajat
putih yang terbaca pada alat Whiteness Meter dengan nilai derajat putih barium
sulfat standar yaitu sebesar 110,8. Syarat mutu tepung mokaf diukur
berdasarkan refleksi sinar contoh dengan standar MgO yaitu sebesar 87. Maka
untuk tepung mokaf implementasi starter ini dibandingkan dengan derajat putih
tepung mokaf dari Koperasi Loh Jinawi Trenggalek yang diuji dengan Whiteness
Meter yang dapat dilihat pada Tabel 15 berikut.
46
Tabel 15. Pengukuran Derajat Putih Tepung Mokaf dari Koperasi Gemah Ripah Loh
Jinawi Trenggalek
Sampel Ulangan Derajat putih
Skala 0 - 110 Persen (%)
Tepung mokaf 1 88,8 80,73
2 88,9 80,82
3 88,6 80,55
Berdasarkan perbandingan antara Tabel 13 dan Tabel 14, tepung mokaf hasil
implementasi starter pada penelitian ini memiliki derajat putih lebih tinggi dibandingkan
tepung mokaf yang sudah beredar di pasaran. Derajat putih dari tepung mokaf
ditentukan oleh kondisi fermentasi yang berlangsung. Bila penanganan selama
fermentasi berlangsung baik, maka akan menghasilkan derajat putih yang baik. Derajat
putih merupakan salah satu faktor penentu dalam standar mutu tepung mokaf. Dari
hasil implementasi starter pada penelitian ini, mosta 4 atau tepung moka yang
difermentasi dengan starter 4 memiliki derajat putih yang paling tinggi atau rata-rata
94,42%.
Selain derajat putih, sifat amilografi dan kekuatan gel tepung mokaf juga diuji
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 16 dan Tabel 17 berikut.
Tabel 16. Pengamatan Sifat Amilografi Tepung Mokaf Hasil Implementasi Starter
Kode
Tepung
Suhu awal gelatinisasi
(SAG)
Suhu Puncak Gelatinisasi
(SPG)
Viskositas
maksimum
Mosta 1 50oC+(13x1,5oC) = 69,5oC 50oC+(19x1,5oC) = 78,5oC 1920 BU
Mosta 2 50oC+(12x1,5oC) = 68oC 50oC+(21x1,5oC) = 81,5oC 2000 BU
Mosta 3 50oC+(14x1,5oC) = 71oC 50oC+(23x1,5oC) = 84,5oC 1807 BU
Mosta 4 50oC+(12x1,5oC) = 68oC 50oC+(22x1,5oC) = 83 oC 1850 BU
Mosta 5 50oC+(13x1,5oC) = 69,5oC 50oC+(23x1,5oC) = 84,5oC 1860 BU
47
Sifat fungsional pati dari tepung sangat berpengaruh terhadap viskositas
dan elastisitas adonan. Sifat fungsional pati meliputi rasio amilosa dan
amilopektin serta sifat amilografi pati. Pati mengandung fraksi linier berupa
amilosa dan fraksi bercabang berupa amilopektin. Amilosa adalah faktor
terpenting yang mempengaruhi kekuatan dan kekenyalan adonan pati karena
asosiasi, retrogradasi, dan interaksi yang tepat dengan lemak membentuk
komplek heliks dan dengan amilopektin membuat ikatan gel yang kuat (Jane and
Chen, 1992). Pada proses fermentasi tepung mokaf terjadi perpecahan sel,
karena dilakukan penyerangan enzim terhadap struktur amilopektin dari pati,
sehingga struktur menjadi merenggang karena terjadi peningkatan amilosa pada
pati mokaf tersebut. Dengan meningkatnya kadar amilosa pengembangan pati
cenderung terbatas dan kekentalan pasta panas lebih stabil (Richana dan
Widaningrum, 2009). Karena itulah terjadi peningkatan viskositas tepung ubi
kayu yang difermentasi menjadi tepung mokaf seperti yang dapat dilihat pada
Tabel 16.
Sifat amilografi pati diukur berdasarkan peningkatan viskositas pati pada
proses pemanasan dengan menggunakan Brabender Amylograph. Selama
pemanasan terjadi peningkatan viskositas yang disebabkan oleh pembengkakan
granula pati. Pengamatan sifat amilografi meliputi suhu awal gelatinisasi, suhu
puncak gelatinisasi, dan viskositas maksimum. Suhu awal gelatinisasi adalah
suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Suhu awal gelatinisasi
merupakan suatu fenomena sifat fisik pati yang komplek yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain ukuran molekul serta rasio amilosa dan amilopektin.
Viskositas maksimum atau yang disebut juga viskositas puncak merupakan titik
maksimum viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan dan
pada saat itu dicapai suhu akhir gelatinisasi. Pada suhu ini granula pati telah
kehilangan sifat birefringence-nya. Viskositas maksimum dari tepung mokaf hasil
implemenasi starter pada penelitian ini berkisar antara berkisar antara 1807
sampai dengan 2000 BU. Nilai viskositas ini lebih tinggi dibandingkan tepung ubi
kayu (850 BU) dan tepung mokaf dari Trenggalek (1000 BU). Dari 5 jenis starter
yang digunakan, tepung mokaf yang difermentasi dengan starter 2 (Mosta 2)
48
memiliki viskositas maksimum tertinggi. Menurut Tan et al. (2009) viskositas
maksimum berkorelasi negatif dengan amilosanya. Viskositas maksimum yang
tinggi akan berpengaruh terutama pada tekstur produk yang diaplikasikan,
karena semakin besar derajat viskositasnya maka tekstur yang dihasilkan akan
semakin kuat dan tidak mudah rapuh.
Kekuatan gel tepung mokaf hasil implementasi starter juga dilakukan
untuk melihat seberapa besar rigiditas dari tepung mokaf tersebut (Tabel 17).
Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa Mosta 1 memiliki kekuatan gel
tertinggi yaitu dengan rata-rata rigiditas sebesar 17,78 gf/mm.
Tabel 17. Data Kekuatan Gel (Gel Strength) Tepung Mokaf Implementasi Starter
Kode
Tepung
Kekuatan Gel
(gf)
Jarak (mm) Rigiditas
(g/mm)
Rata-rata
Rigiditas (g/mm)
Mosta 1 275,7 15,000 18,38 17,78
250,8 15,000 16,72
273,1 14,958 18,26
Mosta 2 247,6 14,980 16,53 16,64
252,6 14,980 16,86
247,9 14,988 16,54
Mosta 3 179,1 11,328 15,81 16,41
183,9 11,113 15,81
212,2 12,040 17,62
Mosta 4 251,3 14,940 16,82 16,29
242,0 15,000 16,13
238,7 14,985 15,93
Mosta 5 239,9 14,917 16,08 15,84
Top Related