BAHAN AJAR
KARAKTER ILMU HUKUM
PENYUSUN
Dr. I KETUT WIRAWAN., SH.,MHum
I NYOMAN BAGIASTRA, S.H., M.H.
UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS HUKUM
DENPASAR
2016
2
IDENTITAS MATA KULIAH
Program Studi : Sarjana (S1) Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Udayana.
Nama mata kuliah/Kode : Penalaran dan Argumentasi Hukum
WHI 7269
Jumlah SKS : 2
Pengajar : Dr. I KETUT WIRAWAN., SH., MHum
I NYOMAN BAGIASTRA., SH., MH.
3
Capaian Pembelajaran : mahasiswa diharapkan memahami karakter ilmu hukum, logika bahasa
hukum, penafsiran hukum (interpretasi), konstruksi hukum dan kesesatan dalam hukum. Kemudian
setelah memahami hal tersebut maka mahasiswa diharapkan dapat melakukan pengkajian terhadap
hukum yang berlaku melalui kasus-kasus dan fenomena hukum dalam masyarakat dengan
menggunakan metode-metode tersebut.
Mata kuliah Prasyarat : -
Deskripsi mata Kuliah : Substansi mata kuliah Penalaran dan Argumentasi Hukum mencakup
pengertian ilmu hukum, logika, bahasa, penafsiran hukum (interpretasi), konstruksi hukum dan
kesesatan.
Dalam pengertian ilmu hukum akan diuraikan secara gramatikanya yaitu meliputi pengertian dari
kata ilmu dan kata hukum termasuk karakter ilmu hukum itu sendiri. Kemudian logika menjelaskan
tentang cara berpikir lurus untuk mencapai suatu kebenaran dalam hukum. Bahasa yang digunakan
disini yaitu bahasa hukum dan/atau bahasa undang-undang. Dalam penafsiran hukum dapat dibagi
menjadi beberapa macam penasiran antara lain penafsiran gramatika, penafsiran autentik, penafsiran
sosiologis dan lain-lain. Penafsiran ini dilakukan apabila oleh hakim pengadilan dalam menangani
suatu perkara ditemukan adanya norma kabur, sedangkan dalam konflik norma hukum, hakim dapat
menggunakan salah satu dari beberapa asas yaitu asas lex specialis derogat legi generali, asas lex
superior derogat legi priori dan lex posterior derogat legi inferiori. Kemudian apabila terjadi
kekosongan norma maka hakim dapat melakukan konstruksi hukum, hakim pengadilan dapat
menempuh beberapa metode untuk menemukan hukum yaitu dengan argumentum a contrario,
argumentum per analogiam dan penghalusan hukum dan jika terjadi kesesatan dilakukan dengan
beberapa metode. Pengkajian dalam penalaran hukum ini selain mengacu pada ketentuan peraturan
4
perundang-undangan juga mengacu pada hukum yang tidak tertulis. Hakim dalam menangani suatu
perkara apabila hukumnya tidak ada maka hakim dapat menggali nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.
karakter ilmu hukum, logika bahasa hukum, penafsiran hukum (interpretasi), konstruksi
hukum dan kesesatan dalam hukum.
PENDAHULUAN
1. Adapun tujuan dari mata kuliah ini yaitu mahasiswa diharapkan memahami karakter ilmu
hukum.
2. mahasiswa diharapkan memahami karakter ilmu hukum, logika bahasa hukum, penafsiran
hukum (interpretasi), konstruksi hukum dan kesesatan dalam hukum. Kemudian setelah
memahami hal tersebut maka mahasiswa diharapkan dapat melakukan pengkajian terhadap
hukum yang berlaku melalui kasus-kasus dan fenomena hukum dalam masyarakat dengan
menggunakan metode-metode tersebut.
3. Mahasiswa akan lebih mudah memahami materi bahan ajar ini apabila mahasiswa telah
memiliki capapai pembelajaran atas bahan ajar mengenai memahami metode penelitian hukum.
4. Capaian pembelajaran atas bahan ajar ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa, mahasiswa
diharapkan mampu memahami dan memecahkan persoalan-persoalan penalaran dan
argumentasi hukum.
5. Sistematika penyajian atas bahan ajar ini adalah sebagai berikut:
1. Pendahuluan.
Karakter normatif dari hukum.
5
Petunjuk Belajar:
a. Perkuliahan dilaksanakan dengan tatap muka, diskusi dan pemecahan masalah. Materi
kuliah dan bahan bacaan wajib diinformasikan pada awal perkuliahan. Untuk menambah
pemahaman materi kuliah, mahasiswa diberikan tugas-tugas berupa tugas terstruktur, tugas
mandiri dan presentasi kelompok.
b. Mahasiswa melakukan self study, melakukan penelusuran sumber belajar paling kurang
yang sudah dicantumkan dan digunakan dalam bahan ajar ini. Membaca bahan ajar ini
dan melakukan pengayaan berdasarkan hasil bacaan dari sumber belajar.
c. Membuat rangkuman atas bahan ajar ini dan mencatat hasil membaca sumber belajar.
d. Berdiskusi – bertanya kepada dosen yang memberikan kuliah atas substansi yang
dianggap belum jelas dalam bahan ajar ini.
e. Membentuk kelompok kecil yang terdiri dari paling banyak 10 orang. Berdiskusi di
dalam kelompok dan membuat laporan hasil diskusi.
6
PENALARAN DAN ARGUMENTASI HUKUM
KARAKTERISTIK ILMU HUKUM
Untuk mendapatkan pengertian ilmu hukum, perlu diingat ungkapan lama qour homines, tot
sententiae. Dalam bahasa Inggris, ilmu hukum disebut jurisprudence. Beberapa penulis berbahasa
Inggris ada yang menyebut ilmu hukum sebagai the science of law atau legal science. Salmond,
misalnya menyatakan : “If we use the term science in its widest permssible sense as incluiding the
systematized knowledge of any subject of intellectual enquiry we may define jurisprudence as the
science of civil law”. Begitu juga Keaton. Menurutnya, “the science of jurisprudence arragement
of the general principles of law”. Sama halnya Roscoe Pound menyatakan “jurisprudence is the
science of law, using the term law in the judicial sense, as denoting the body of principles
recognized or enforced by public or regular tribunals in the administratiton of justice”.
Di dalam Wabster Dictonary, kata science berarti knowledge or a system ofknowledfe
covering general truths or the operation of general laws especially as obtained and tasted trough
scientific method. Selanjutnya, kamus itu menyatakan bahwa such knowledge or such a system of
knowledge concerned with the physial world and its phenomena : NATURAL SCIENCE. Dengan
berpegangan kepada kamus itu, tidak dapat disangkal bahwa katascience memang merujuk kepada
tidak lain daripada ilmu alamiah. Jenis ilmu ini hanya dapat diperoleh melalui metode ilmiah
atau scientific method. Sedangkan mengenai scientific method, Webster mendefinisikan
sebagaiprinciples and procedures for the systematic persuit of knowledge involving the recognition
and formulation of a problem, the collection of data through observation and experiment, and the
formulation and testing of hypothese.
7
Francis Bacon adalah orang yang pertama kali memformulasikan metode ilmiah. Meskipun
dilakukan beberapa perbaikan, rumusan Bacon itu dapat diterima oleh para ilmuwan sejak abad
XVII. Para ilmuwan mulai dengan melakukan eksperimen yang tujuannya untuk mengamati gejala
– gejala secara cermat dan teliti. Selanjutnya, para ilmuwan itu merekam apa yang mereka
temukan, menganalisanya, dan mempublikasikannya. Dengan berjalannya waktu, mereka bekerja
sama dengan para koleganya dari bidang itu sebagai data yang dapat dipercaya. Dalam suatu situasi
semacam itu, para ilmuwantidak mulai dengan menyusun hipotesis, melainkan mereka mulai
dengan melakukan observasi.
Semakin banyak data terkumpul, semakin banyak gejala ilmiah terungkap. Niat para
ilmuwan adalah menjelaskan gejala – gejala alamiah secara ilmiah. Kegiatan semacam ini dimulai
dengan menyusun hipotesis dan bukan dengan melakukan pengamatan terhadap gejala – gejala
yang ada. Hipotesis adalah suatu praduga yang bersifat tentarif yang dibuat utuk menarik
kesimpulan dan menguji sesuatu yang bersifat empiris. Dalam hipotesis, seorang peneliti
mengajukan dua proporsi yang berhubungan secara kasual, yaitu adanya suatu gejala disebabkan
oleh suatu faktor tertentu. Untuk membuktikan benar tidaknya suatu hipotesis, diperlukanlah data
empiris. Hal ini jelas menunjukkan bahwa aktivitas semacam itu tidak dimulai dengan observasi
sebagaimana yang dilakukan oleh para ilmuwan pada masa mula – mula dikembangkannya metode
ilmiah seperti yang dikemukakan oleh Bacon. Aktivitas ilmiah dimulai dengan penyusunan
hipotesis. Menyusun hipotesis merupakan pemikiran deduktif-logis. Konstruksi pemkiran harus
diverifikasikan melalui data empiris. Verivikasi empiris inilah yang merupakan batas damarkasi
antara ilmiah. Akibatnya, tidak dapat dielakkan adanya pandangan bahwa yang namanya ilmu
hanya merujuk kepada ilmu – ilmu alamiah.
8
Tidak dapat disangkal bahwa aktivitas ilmiah semacam itu hanya mungkin dilakukan untuk ilmu –
ilmu alamiah. Perkembangan ilmu – ilmu alamiah telah mencapai tingkat yang bergengsi dan
mempengaruhi metode ilmiah, padaabad XIX, bidang – bidang studi lainnya mulai mengikuti jejak
ilmu – ilmu alamiah untuk menemukan kebenaran empiris. Yang pertama kali menggunakan
metode yang dipakai oleh ilmu – ilmu alamiah untuk menerangkan evolusi sosial adalah seorang
ahli matematika dan filsuf Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857) dalam bukunya Cours de
Philosophie Positive (1830-1832).
Auguste Comte dipandang sebagai pendiri positivme. Ia membedakan tiga tahap besar
evolusi pemikiran manusia. Tahap pertama adalah tahap theologis. Pada tahap ini semua gejala
diterangkan dengan merujuk kepada kausa yang bersifat supra natural dan campur tangan sesuatu
yang ilahi. Tahap kedua adalah tahap merafisika. Di dalam tahap ini pikiran dikembalikan kepada
prinsip – prinsip dan gagasan – gagasan yang mendasar yang dipandang berada di bawah
permukaan yang membentuk kekuatan nayata dalam evolusi manusia. Tahap ketiga, yaitu tahap
terakhir adalah tahap positif. Tahap ini menolak semua konstruksi hipotesis yang ada dalam filsafat
dan membatasi diri kepadaobservasi empiris dan hubungan di anatara fakta melalui metode yang
digunakan dalam ilmu – ilmu alamiah.
Sejak paruh kedua abad XIX, positivisme yang dikemukan oleg August Comte menjadi
suatu pola ilmu – ilmu sosial. Sebagai seorang pengagum ilmu – ilmu alamiah, John Smart Mill
percaya bahwa ada hukum kausalitas yang mengatur manusia dalam hidup bermasyarakat sama
halnya dengan dunia fisika, Dlam bukunya A system of logic(1843), ia menerapakan sesuatu yang
pertama kali terjadi diterapkannya metode untuk ilmu – ilmu alamiah kepada ilmu – ilmu sosial.
Oleh karena itulah tepatlah kalau dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Mill tersebut
disebut“naturalistic” sosial science.
9
Jika positivisme begitu kuat mempengaruhi Mill dalam bidang ilmu sosial, pada ilmu
hukum, pengaruh tersebut telah mempengaruhi John Austin (1790-1859). John Austin dipandang
sebagai pendiri legal positivisme. Dalam karyanya “Essays on Equality, Law, and Education”,
John Stuart Mill menulis tentang Austin : “No writer whom we know had more of the qualities
needed for initiating and disciplining other minds in the difficult art of precise thought”. Setelah
mempelajari hukum Romawi dan betapa kacaunya Hukum Inggris. Ia kemudian membuat
perbedaan yang tajam antara jurisprudence dan the science of ethics. Ia menyatakan bahwa “the
science of jurisprudence is concerned with positive laws, or with laws strictly so called, as
considered without regard to their goodness and badness.” Yuris, menurut Austin hanya
berhubungan dengan hukum sebagaimana adanya. Sebaliknya, legislator dan filsuf etika
berhubungan dengan hukum yang seharusnya, Hukum positif, menurut Austin tidak berkaitan
dengan hukum yang ideal atau adil.
Legal positivism didirakan sebagai suatu jawaban akan tuntutan ilmu pengetahuan modern
dalam semangat anri metafisika. Doktrin hukum yang bersifat tradisional dianggap diselimuti oleh
kabut metafisika. Ilmu pengetahuan modern, sebaliknya, memerlukan pengatuhuan yang objektif,
suatu pengetahuan objektif adalah suatu pernyataan mengenai suatu gejala yang harus diverivikasi
dan eksistensinya harus didasarkan pada faktanya yang dapat diobservasi dan dikontrol. Austin
mendeskripsikan hukum sebagai gejala yang dapat diamati. Dalam pandangan Austin, hukum
terdiri dariperintah – perintah dan sanksi – sanksi yang diberikan oleh pengusaha dan dipatuhi oleh
setiap anggota masyarakat. Aspek normatif hukum dinyatakan dengan merujuk kepada aturan –
aturan tingkah laku lahirlah. Bagi Austin, evaluasi terhadap aturan hukum merupakan sesuatu yang
lain. Dengan demikian, Austin menulis tentang hukum dari psrspektif sosiologi yang bebas nilai.
10
Dengan menerapkan metode yang digunakan untuk ilmu – ilmu sosial, kaum positivis
secara empiris itulahy yang dikatakan sebagi pengetahuan sejati. Mereka menolak semua gejala
yang berada di dalam kategori nilai – nilai. Kaum positivis hanya berpegang kepada induksi, yaitu
dengan mengamati fakta empiris untuk memverivikasi hipotesis yang diajukan, melakukan
inferensi, dan akhirnya menhasilkan teori eksplanatoris. Prosedur unvis dianggap telah
menghasilkan hukum – hukum ilmiah yang bersifat umum dan seragam.
Menurut Bernard Barber, prosedur semacam itu dapat diterapkan untuk imnu – ilmu sosial.
Ia menyatakan “Science a unity, wheatever the class of empirical materials to which it is apphed,
and therefore, natural and social science belong together in principle”. Lebih lanjut ia
mengemukakan bahwa perbedaan anatara ilmu – ilmu sosial terletak pada tingkat
perkembangannya dan tidak bersifat fundamental. Barber, kemudian mengemukakan adanya lima
disiplin yang dapat dikategorikan ke dalam ilmu – ilmu sosial, yaitu ilmu ekonomi, ilmu politik,
psikologi, sosiologi, dan antropologi, Menurut Barber, suatu karakter yang esensial dalam semua
ilmu sosial adalah ilmu – ilmu itu berkaitan dengan hubungan sosial di antara manusia, yaitu
mereka berinteraksi satu dengan yang lain bukan hanya secara fisik melainkan juga atas dasar
makna – makna yang di sepakati bersama.
Namun demikian, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan metode yang
digunakan untuk ilmu – ilmu alamiah kepada ilmu – ilmu sosial. Pertama gejala yang dihadapi oleh
ilmuwan sosial tidak sama dengangejala yang dihadapi oleh ilmuwan dalam ruang lingkup ilmu –
ilmu alamiah. Objek telaahnya berbeda, yaitu ilmu – ilmu alamiah berkaitan dengan materi
sedangkan ilmu – ilmu alamiah berkaitan dengan materi sedangkan ilmu – ilmu sosial mengenai
manusia. Materi bereaksi terhadap rangsangan. Materi tidak mempunyai keinginan subjektif.
Materi tidak mempunyai makna sampai ilmuwan menjadikannya sesuatu untuk diperhatikan. Untuk
11
memahami logika perilaku materi, seseorang harus mengamatinya. Sebaliknya perilaku masyarakat
itu. Masyarakat menetapkan situasi mereka dan bertindak dengan cara – cara tertentu dalam
mencapai tujuannya. Dalam melakukan hal itu mereka membangun suatu dunia sosial. Kehidupan
sosial mempunyai kehidupan internal yang harus dipahami oleh ilmuwan sosial. Sebaliknya,
ilmuwan dalam ruang lingkup ilmu – ilmu alamiah dapat menetapkan logika eksternal terhadap
data yang ia peroleh. Pemahaman mengenai maksud subjektif manusia memerlukan pemahaman
interpretatif dari teoritisi yang mengalami makna subjektif tersebut. Kedua, ilmuwan sosial tidak
dapat mengalami pengalaman orang lain. Pengalaman pribadinya membuatnya memberi warna
terhadap apa yang terjadi. Suatu contoh yang dapat ditemukan di sini adalah prepesi Clifford
Geerzt tentang dikhotomi masyarakat jawa menjadi kaum santri dan abangan. Perspektif semacam
ini tentu saja dipengaruhi oleh budaya di tempat ia dibesarkan. Sama halnya bukan orang Jawa
yang lalu mengambil kesimpulan bahwa orang Jawa suka perang.
Didirikanya Law and Society Association dan jurnalnya Law & Society Review tahun
1960-an telah menyulut studi – studi hukum dari perspektif ilmu sosial. Sejak itu literatur – literatur
mengenai hukum dan masyarakat berkembang dengan pesat. Objek 0objek penelitian acap kali
diarahkan pada topik – topik dampak hukum terhadap masyarakat terntentu, kepatuhan hukum
masyarakat tertentu terhadap suatu aturan hukum tertentu, efektivitas aturan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat \, dan hukum dan perubahan sosial. Hal ini telah mengubah pendekatan
dari pendekatan tradisional yang berbicara mengenai doktrin – doktri hukum ke arah pendekatan
prilaku dengan cara menyoroti putusan – putusan pengadilan terbaru dalam rangka menjawab
masalah – masalah dampak hukum terhadap masyarakat secara keseluruhan. Masalah pokok dalam
penelitian semacam itu adalah menyelidiki lubang antara yang di gagas oleh hukum dan apa yang
terjadi di alam empiris. Hal itu berarti menjadikan studi hukum menjadi studi sosial. Menurut para
12
pengikut pandangan itu, tugas ilmu hukum adalah menyelesaikan masalah – masalah sosial yang
berkaitan dengan hukum dan bukan untuk menelaah hukum itu sendiri secara lebih mendalam.
Dalam melaksanakan hal itu, tentu saja perlu dilakukan verifikasi empiris. Konsekuensinya,
penelitian perlu diadakan untuk menyelesaikan masalah itu.
Kecendrungan semacam itu amat dipengaruhi oleh ilmuwan sosial yang melakukan studi hukum
dari spektif mereka sendiri. Implikasi dari hal itu adalah di perlukannya prosedur standar untuk
melakukan studi hukum yang dipolakan menurut pola ilmu sosial. Dalam pengembangan ilmu
hukum, sudah barang tentu juga harus mengikuti metode yang digunakan oleh ilmu sosial, yaitu
melalui penelitian yang lazim digunakan daalm penelitian sosial. Dalam hal demikian, penelitian
hukum dimaksudkan tidak lebih untuk memperoleh kebenaran empiris atau lebih tepat dikatakan
sebagai keniscayaan. Inti dari penelitian semacam ini adalah untuk menguji sejauh mana teori
hukum dapat diterapkan dalam suatu masyarakat dan apakah aturan – aturan hukum tertentu
dipatuhi oleh anggota – anggota masyarakat. Apabila pengembangan ilmu hukum dilakukan
dengan melakukan penelitian semacam ini, tidak dapat dielakan bahwa ilmu hukum telah dibawa
untuk menjadi studi perilaku yang hal ini bertentangan dengan hakikat ilmu hukum itu sendiri.
Di samping itu, meskipun para sarjana yang melakukan studi – studi semacam itu tidak –
studi semacam itu tidak secara terbuka menyatakan dalam menetapkan konsep hukum yang ia
gunakan untuk bekerja, tidak dapat dibantah bahwa mereka berpegang kepada konsep Austinian.
John Austin memandang hukum semata – mata sebagai perintah penguasa. Oleh karena itulah
hukum dipandang sebagai perintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
perbuatan tertentu yang didukung oleh paksaan fisik yang akan dijatuhkan kepada siapa yang tidak
menaati ketentuan itu. Pandangan itu tidak dapat menerangkan ketentuan yang tidak bersifat
perintah atau larangan, seperti misalnya ketentuan mengenai usia cukup umur. Sebenarnya, sanksi
13
bukan merupakan unsur yang esensial dalam hukum. Sanksi merupakan unsur tambahan. Ada
beberapa hukum yang tidak dilekati dengan sanksi. Ketentuan mengenai usia cukup umur yang
telah ditemukan adalah suatu contoh ketentuan yang tidak diberi sanksi. Unsur yang esensial dalam
hukum adalah penerimaan masyarakat terhadap aturan hukum itu, sehingga aturan itu mempunyai
kekuatan mengikat. Konsep hukum sebagai suatu perintah yang didukung oleh paksaan fisik
merupakan konsep yang sangat diwarnai oleh hukum pidana. Konsep semacam itu dengan
sendirinya mengabaikan bidang bidang hukum lainnya. Oleh karena itulah dapat dikatakan bahwa
pendekatan sosial terhadap hukum yang berpangkal pada pandangan Austinam sejak semula sudah
keliru.
Terlepas dari penerapan metode ilmu – ilmu alamiah terhadap ilmu – ilmu sosial, kedua
ruas ilmu merupakan ilmu – ilmu yang bersifat deskriptif. Pada fisika, misalnya air mendidih pada
100 Celsius. Tanpa perlu dikomando, jika temperatur sudah mencapai 100 Celcius, air itu
mendidih. Begitu pula tidak ada seorang pun yang dapat melarang air mendidih. Begitu pula tidak
ada seorang pun yan dapat melarang air untuk mendidih apabila temperatur telah mencapai 100.
Pernyataan dalam suatu ilmu deskriptif adalah mengenai apa yang terjadi. Pernyataan tentang fakta.
Baik ilmu – ilmu alamiah maupun ilmu – ilmu sosial hanya berhubungan dengan gejala yang dapat
diamati secara empiris. Apa yang ingin dicapai oleh ilmu – ilmu deskriptif adalah
keniscayaan (truth). Konsekuensinya, sistem nilai, yaitu sesuatu yang bersifat seyogianya atau
seharusnya (should atau ought) dan gagasan yang bersifat preskriptif tidak masuk bilangan ilmu
sosial maupun ilmu alamiah.
Oleh karena itulah dapat dikemukakan bahwa istilah science of law tidak tepat. Secara
etimologis, kata “law” dalam bahasa Inggris mempunyai dua pengertian. Pertama
kata “law” diartikan sebagai serangkaian pedoman untuk mencapai keadilan. Yang kedua,
14
kata “law” merujuk kepada seperangkat aturan tingkah laku untuk mengatur ketertiban masyarakat.
Yang pertama dalam bahasa latin disebut ius, bahasa Perancis droit, bahasa Belanda recht, dan
dalam bahasa Jerman Recht. Yang kedua, dalam bahasa Perancis loi, dalam bahasa Belanda wet,
dan dalam bahasa Jerman Gesetz. Perbedaan rujukan terhadap pengertian “law” akan
menghasilkan perbedaan dalam pendekatan secara teoretis terhadap hukum. Istilah “law” yang
secara umum dipakai dalam bahasa Inggris secara etimologis berasal dari kata “lagu”, suatu kata
dalam gari lex dan bukan garis ius, yang digunakan untuk menyebut aturan – aturan yang
dikondifisikan oleh raja – raja Anglosaxon.
Untuk menbghindari ketidaksepakatan, dalam bahasa Inggris digunakanlah
istilah jurisprudence dan bukan the science of law untuk suatu disiplin yang pokok bahasanya
adalah hukum. Istilah jurisprudence berasal dari bahasa latin iuris, yang merupakan bentuk jamak
dari ius, yang artinya hukum yang dibuat oleh masyarakat dan kebiasaan dan bukan perundang –
undangan dan prudentia, yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Jurisprudence, dengan
demikian berarti kebijaksanaan yang berkaitan dengan hukum atau pengetahuan hukum. Sudah
barang tentu hal ini tidak bersangkut paut dengan gejala yang dapat diamati secara empiris.
Mengingat science diidentifikasikan sebagai studi empiris, Jan Gijssels and Mark van
Hoecke menghindari menerjemahkan kata bahasa Belanda Rechtswetenschap menajdi legal
science. Ia secara tepat menganjurkanRechtswetenschap menjadi jurisprudence. Dalam hal
ini jurisprudence di definiskan sebagai suatu pengetahuan yang sistematis dan terorganisir
mengenai gejala hukum, struktur kekuasaan, norma – norma, hak – hak dan kewajiban – kewajiban.
Jurisprudence dapat didefinisikan secara luas sebagai semua yang bersifat teoritis tentang
hukum. Jurisprudence juga berarti metode studi hukum dalam arti umum. Studi tersebut bukan
mengenai suatu negara pada suatu waktu tertentu. Di samping jurisprudence sebenarnya bukan
15
sekadar studi hukum melainkan lebih dari itu merupakan studi tentang hukum. Hari Chand secara
tepat membandingkan apa yang dipelajari oleh mahasiswa hukum dan mahasiswa kedokteran yang
akan mempelajari anatomi tubuh manusia, juga harus belajar kepala, telinga, mata, dan semua
bagian tubuh dalam struktur, hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain, serta faal.
Sama halnya, mahasiswa hukum, yang mempelajari hukum harus juga mempelajari konsep hukum,
gagasan yang ada di belakang hukum, struktur dan fungsi hukum. Lebih lanjut ia mengemukakan
bahwa disamping mempelajari tubuh manusia secara keseluruhan, mahasiswa kedokteran juga
mempelajari faktor – faktor eksternal yang ada kaitanna dengan tubuh manusia, seperti misalnya
apakah pengaruh panas, dingin, air, kuman, serangga, virs, dan lain – lain, terhadap tubuh manusia.
Begitu juga mahasiswa hukum perlu mempelajari faktor – faktor eksternal yang mempengaruhi
tubuh manusia tidak mungkin mampu mendiagnosis penyakit tanpa menguasai keahlian, teknik,
dan prosedur standar prosedur diagnosis, demikian juga mahasiswa hukum tidak akan mampu
melakukan telaah hukum tanpa memiliki standar, nilai – nilai, keahlian dan teknik hukum, gagasan
– gagasan hukum, metode yang harus diikuti yang semuanya merupakan bidang kajian ilmu
hukum. Validitas aturan hukum, keadilan, prosedur standar penerapan hukum dan masalah –
masalah internal hukum merupakan bagian yang esensial darijurisprudence.
Dengan demikian, dapat dilakukan bahwa titik anjak dalam mempelajari hukum adalah
memahami kondisi intrinsik aturan – aturan hukum. Hal inilah yang membedakan antara ilmu
hukum dengan disiplin – disiplin lain yang objek kajiannya juga hukum. Disiplin – disiplin lain
tersebut memandang hukum sebagai gejala sosial. Dengan melihat kondisi intrisik aturan hukum,
ilmu hukum mempelajari gagasan – gagasan hukum yang bersifat mendasar, universal, umum, dan
teoritis serta landasan pemikiran yang mendasarinya. Landasan pemikiran itu berkaitan dengan
berbagai macam konsep mengenai kebenaran, pemahaman dan makna, serta nilai – nilai atau
16
prinsip – prinsip moral. Dalam bidang yang fundamental ini, beberapa pertanyaan esensial dapat
bersifat positif atau deskritif ataukah bersifat preskriptif atau normatif. Pertanyaan – pertanyaan
tersebut misalnya apakah seseorang mempunyai kehendak bebas ? Apakah hukum pada dasarnay
merupakan pencerminan dari kepentingan kelompok sosial yang berkuasa ? Apakah masyarakat
selalu membuat putusan berdasarkan kepentingan pribadi mereka ? Haruskah masyarakat membuat
putusan berdasarkan kepentingan mereka sendiri ? Dapatkahdan haruskah hukum menjadi agensi
untuk memperbaiki pedoman moral yang mendasar ? Tugas lmu hukum dalam hal
ini jurisprudenceadalah menemukan prinsip – prinsip umum yang menjelaskan bangunan dunia
hukum.
SEJARAH TIMBULNYA ILMU HUKUM
Timbulnya ilmu hukum tidak dapat dipisahkan dari tradisi peradaban Barat. Berbeda
dengan peradaban Timur seperti Tiongkok, India, Jepang, dan Afrika yang tidak menempatkan
hukum sebagai faktor sentral, dalam pedaban Barat hukum dipandang sebagai prinsip sentral
kehidupan, hal itu dapat dilacak dari sejarah pedaban tersebut.
Peradaban Barat bersembur kepada peradaban Yunani. Pada tahap – tahap yang menentukan dalam
sejarah yunani, negara terotorial merupak suatu organisasi politik yang sangat penting. Negara
dipandang lebih penting dari semua organisasi yang dibuat oleh manusia. Oleh orang Yunani, dunia
dapat diterangkan melalui hukum – hukum alam.
Diajadikannya hukum sebagai prinsip sentral dalam kehidupan tidak lama setelah tahun
1200 SM yaitu bermula sejak Dorian yang datang dari Utama menduduki pusat kedudukam Mysia.
Para pengungsi menyebrangi Aegea untuk menetap diujung Asia kecil, mereka tidak nmembawa
serta pola pemerintahan mereka. Meraka menciptakan seperangkat hukum dan sistem pemerintahan
17
yang kuat untuk menjamin kerjasama pemukiman baru. Mereka lalu mendirikan negara – negara
kota yang dalam bahasa Yunani disebuti police.
Police tersebut berukuran kecil dan penduduknyapun sedikit. Oleh klarena itulah orang
dapat berpartisipasi dam kehidupan politik. Tidak heran kalau orang Yuanani berhasil mengatasi
persoalan – persoalan lahiria. Akan tetapi untuk masalah – masalah Batinia mereka p4erlu belajar
lebih banyak lagi. Mereka lalu menengok ketimur. Namun ketika mereka berunding dengan ahli
yang mempunyai kedudukan sebagai pemuka Agama, mereka lalu menari hal – hal Bainia itu
dengan cara mereka sendiri. Mereka kemudian mebgemukakan dan menjelaskan fenpomena
dengan menggunakan penalaran yang bersifat imajinatif dengan menggunakan penalaran, mereka
menolak adanya pandangan yang menyatakan bahwa dewa – dewa merupakan penguasa alam
semesta. Sebagai gantinya mereka kemuduan mengembangkan hukum alam untuk menjelaskan
fenomoena alam.
Penuturan telaah surya Prakash Sinha, ada empat tahapan pengembangan fikitran Yunani
yaitu fikiran Heoris, Pikiran Visioner, Pikiran Teoretis dan Pikiran Rasional. Pikiran Heoris
mendasarkan pemikiran pada pengalaman konkret secara fisik dan memperkayanya dengan
fantastic dan mitos seperti yang terdapat pada karya Homerus. Pemikiran Visioer menjadi seiring
dengan pembentukan Polci, yaitu dengan cari sesuatu yang dapat membuat tertib melalui
mengabungan antara dunia gagasan dan dunia indera. Hal itu terungkapnya melalui puisi dan drama
yang dituliskan oleh Pindar, Aeschylus, dan Sophoeles. Pikiran Teoritis didorong oleh timbulnya
Athena sebagai metropolis. Pikiran Teoritis menggunakan kekuatan analis untuk melihat sesuatu
dibawah permukaan. Pikiran Rasional merujuk kepada tertib akal sebagaiman yang dikemukakan
oleh Plato (429-348SM.). dan Aristoteles (384-322SM.). Dalam pikiran rasional dikonsepsikan
adanya logos yaitu Instrumen untuk mendapatkan keniscayaan dan keadilan. Dengan cara
18
memikiran dan mendisikusikan issue dan aretam yaitu nilai manusia sebgai mahluk berfikir,
meteron, yaitu konsep ukuran dan proporsi untuk menghindari hubris atau sesuatu yang melampaui
batas.
Dengan ketiga hal tersebut manusia memilik kemampuan untuk befikir, kebebasan memilih
dan kemampuan untuk membuat kepurusan, Ia hidup untuk untuk dirinya sendiri, hukum untuk
orang lain atau kekuatan supranatural. Disinilah mulai timbul individualisme, Konsekuensi politis
dan Individualisme ini adalah adanya independence negara yang warganya memilik hak – hak cara
hukum dan politik yang tertuang didalam the rule of law. Hukum, dengan demikian, menyediakan
sarana bagi pelaksanaan hak – hak tersebut. Oleh karena itulah hukum memjadi prinsip central
dalam organisasi sosial.
Dominasi atena ternyata kemudian di paparka oleh sapta 404SM. Selanjutnya, makedonia
melaksanakan sapra tahun 338SM. Penaklukan oleh Makedonia ini telah melenyapkan kedaulatan
police lokal. Raja – raja makadonia menganut Hellenisme. Akan tetapi, pada tahun 146 Yunani dan
Makadonia jatuh ke tangan Romawi. Pada masa pemerintahan Romawi Hellensime tersebar ke
Itali. Meskipun bahasa latin merupakan bahasa yang berlaku pada intlektul diantaranya Cicero
(106-43SM.). Manusia mengamat filsafat Yunani, merupan Cicero pemerintah berasal dari
perjanjian sukarela diantara warga negara dan hukum harus merupakan prinsip pemerintah
tertinggi. Gagasan ini menghasilkan timbulnya Hukum Romawi, yang merupaka trik anjak yang
signifikan dalam telaah ini.’
Apa yang dikemukan oleh Surya Prakash Sinha ini merupakan kebenaran sejarah yang
dapat dilacak dan dibuktikan. Hal ini dapat dibedakan dengan Teori Perjanjian Masyarakat yang
bersifat Spekulatif yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke (1632-1704),
19
dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778), oleh karena itulah study yang dilakukan oleh Surya
Prakash Sinha ini mempunyai arti penting dalam pembahasan epistemologi Hukum.
Hukum Romawi yang menjadi acuan hukum Barat sebenarnya bersumber pada Corpus laris
Civilis, hasil kondifikasi kaisar Justinianus. Guarnerius yang menurut sejarah disebut irnerius telah
melakuakan studi yang sistematis terhadap hukum Romawi sebagai suatu sarana untuk
menghilangkan kebingungan dalam hukum lokal Eropa. Ia mulai mengajar di Universitas Bologna
di Itali pada tahun 1087. Saat itu dipandang sebagai saat timbulnya studi hukum secara sistematis
sebagai suatu pengetahuan. Hal ini disebabkan pada saat itu hukum diajarkan sebagai sesuatu
terpisah dari politi dan agama. Pada saat itu, aturan – aturan dan keputusan – keputusan mengenai
sengketa di pelajaaran dan diterangkan dalam kerangka prinsip – prinsip umum. Para lulusan
universitas yang telah mengenyam pendidikan ini kemudian bekerja sebagi konsultan, hakim,
Alvocad, administrator dan perancang undang – undang. Mereka menerapkan apa yang mereka
pelajari untuk membangun dan membuat koherensi norma – norma hukum yang terakumulasi
secara masal. Dengan demikian mengukir sistem hukum baru yang lain dari hukum yang telah ada
yang tidak dipisahkan dari kebiasaan Politik dan Agama.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa sejak diajarkannya hukum secra sistematis di
universitas – universitas di Eropa, hukum dipisahkan dari politi, kebiasaan masyarakat dan Agama.
Hal ini hanya menimbulkan pertanyaan oleh pengajar tersebut. Apakah mungik mereka
mengajarekan hukum terpisah dari kebiasaan masyarakat Politik, Agama, sedangkan hukium pada
saat itu masih tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan dan pratis – pratis Agama, Politik, Ekonomi
dan Sosial lainnya.
Ternyata yang diajarkan secara sistematis untuk pertama kalinya untuk di universitas –
universitas itu bukan hukum yang berlaku di dunia Barat saat itu yang diajarkan adalah hukum
20
yang tetuang dalam naskah kuno yang terdapat diperpustakaan Itali dan dapat digunakan untuk
mengatrur hubungan dalam hidup bermasyarakat dan menghadapi masalah – masalah yang terjadi
pada akhir abad sebelas. Naskah itu merupakan salinan dari koleksi yang hebat bahan – bahan
hukumk yang dikompilasi oleh Kaisar Romawi Iustinianus sekitar tahun 543 Masehi.
Hukum Romawi yang dikomplikasikan oleh Kaisar Romawi Iustinianus di Konstantinopel
merupakan suatu hukum yang sangat berkembang dengan hukum rakyat Germany. Perlu
dikemukakan disini pada tahun 476 Masehi. Kasisar Romawi Barat terakhir terdepak. Akan tetapi
jauh sebelumnya peradaban Romawi telah ditaklukan oleh dan didominasi oleh pedaban suku –
suku primitif seperti suku pranca, pandal, saksa, dan gorh di bagian timur kekaisaran Rowai tetap
berjaya dengan sebutan Byzantinum. Kaisar konstantin mendirikan ibukota baru Byantinum dan
merubah nama ibukota itu menjadi konstantinopel. Kaisar konstantin inilah yang menetapkan
agama kristen sebagai agama negara. Selanjutnya Kaisar Theodosius melarang agama lain selain
kristen. Kekaisaran Romawi Timur ini meliputi juga itali selatan. Berapa aturan dan konsep –
konsep hukum yang dikembvangkan di Romawi Timur kadang – kadang muncul dalam penetapan
– penetpan di Bagian Barat maupun tertuang di dalam kebiasaan – kebiasaan masyarakat yang
menghuni daerah saat ini disebut Prancis dan Itali Utara begitu juga masalah berkuasanya disnati
Carolingus dan sesudahnya berkuasa di Prancis, prinsip – prinsip hukum Romawi juga digalakkan.
Koleksi yang agak longgar terhadap aturan – aturan dan prinsip – prinsip hukum Romawi
iundangankan oleh raja – raja Germany.
Akan tetapi hukum Romawi sebagai suatu sistem, berlakunya sangat terbatas di Eropa
Barat. Ketika karya Iustinianus itu ditemukan di Itali, yang berlaku saat itu adalah hukum yang
dibuat oleh raja – raja Germany dan franca. Hukum Romawi merupakan suatu sistem hukum yang
mereferensikan suatu peradaban yang tinggi enam abad sebelumnya. Oleh karena itu dapat
21
dipahaami kalau Hukum Romawi itu kemuduian menjadi studi hukum sistematis yang pertama
kali.
Perlu untuk dikemukakan disini bahwa para yuris yang mempelajari naskah kuno iti percaya
bahwa peradaban mereka yaitu peradaban Kaisar Romawi, tetap ada baik di Timur maupun di
Barat. Peradaban itu tetap hidup dalam bentuk baru. Lebih dari itum mereka percaya bahwa prinsip
– prinsip itu bersifat parlemen dan Universal. Mereka memandang hukum Iustinianus bukan
sebagai hukum yang berlaku di Byanzantium melainkan senagai hukum yang berlaku sepanjang
waktu dan disemua tempat. Sebagai contoh, apa yang tertulis di dalam kompilasi Iustinianus
tentang kepemilikan tanah tidak ada sangkut pautnya dengan pengaturan hak milik feodal yang
berlaku tahun 1100 di Tuscania dan Normandia, tidak berarti bahwa yang tertuang di dalam karya
Iustinianus itu bukan hukum. Sebaliknya, ketentuan itu benar – benar hukum yang merupakan hasil
penalaran, lagipula Tuscania dan Normandia di pandang senagai kelanjutran dari Roma
sebagaimana gereja dan kekeristenan di pandang sebagai kelanjutan dari Israel.
Di samping diketemukannya kaya Iustiniansu sekitar tahun 1080, terdapat 2 unsur lagi yang
perlu dalam studi hukum secara sistematis, yang pertama kali. Adalah menggunakan metode
Analisis dan simetris yang ditetapkan kepada naskah – naskah hukm. Metode ini, sat ini biasanya
disebut sebagai metode Scolastic yang kedua, adalah adanya pengajaran di Universitas yang
menggunakan metode itu, Ketiga unsur ini merupakan akar dalam studi hukum. Tidak dapa
disangkal bahwa hukum Romawi merupak Khasanah hukum kepada semua negara Eropa termasuk
Inggris. Sedangkan metode Scolactis masih digunakajn.Yang diajarkan pada masa yang mula –
mula di Bologna adalah teks – teks hukum Romawi yang dikompilasi oleh Iustinianus abad IV
sebenarnya, fakultas hukum universitas bologna di dirikan untuk mempelajari teks – teks
Iustinianus tersebut.
22
Naskah Iustinianus terdiri dari empat bagian, yaitu Caudex, yaitu aturan – aturan dan
putusan – putasan yang dibuat oleh para kaisar sebelumnya Iustinianus, Novelle yaitu aturan –
aturan hukum yang diundangkan oleh Kaisar Iustinianus sendiri, Institus, suatu buku ajar kecil
yang dimaksud untuk pngantar bagi mereka yang baru belajar hukum, Degesta, yang merupakan
sekumpulan besar pendapat yuris Romawi mengenai ribuan proporsi hukum yang berkait dengan
hyukum bukan yang hak milik, testamen, kontrak, pembuatan pelanggaran hukum dan cabang –
cabang dalam ruang lingkup yang saat ini disebut hukum pidana, hukum tatanegara, dan cabang –
cabang hukum yang mengatur warga negara Romawi. Oleh karena itulah dapat dipahami kalau
yang paling penting dalam keempat naskah tersebut adalah Digesta yang juga sering disebut
Fandectae. Digesta bersama dengan Candex Nopelle Intitus, Digesta disebut sebagai corpus laris
Civilis. Porporsi hukum yang sering kali tertuang didalam digesta merupakan azaz –azaz hukum
yang ditarik untuk suaru putusan dalam kasus – kasu yang sebenarnay. Disamping itu juga berisi
Ediati dari prentoris dan mengenai bagaimana mereka menyelesaikan kasus – kasus yang
proprektif.
Corpus luris civilis ternyatamencerminkan gagasan budaya Romawi, Hal itu disebabkan di
satu oihak karya Iustinianus tidak dirasakan asing bagi masyarakat Eropa barat meningat karya itu
merupakan kompilasi dari hukum Romawi Klasik sehingga sesuatu dengan ksgeist masyarakat
Eropa. Dilain pihak, tidak dapat diabaikan peranan bagi Glossator dan Komentator yang mengelola
karya itu untuk disesuaikan dengansituasi yang ada pada saat itu. Tidak dapa disangkal bahwa
penataran memangang peranan utama dalam menetapkan hukm lama dalam situasi baru.
Tugas Glosstor terutama mempelajari makna Corpus luris Cipilis dalam Glossator adalah
para dosen di fakultas hukum bologna. Kurikulum fakukltas hukum abad XII terutama dalam
mempelajari teks digesta . Dosen membaca dan mengoreksi bahasa teks yang ditulsi dengan tangan
23
dan mahasiswa menyimak dan menyalin naskah. Dengan sesekali membetulkan jika memang dosen
membuat kesalahan. Oleh karena teks yang di baca itu sangant sukar dipahami, teks itu perlu
dijelaskan oleh karena itulah, setelah membaca teks itu dosen lalu melakukan glossir, yaitu
memberi keterangan kata demi kata dengan baris demi baris. Mereka memberi ilustrasi mengenai
makna dari satu paragraph tertentu. Mengingat mereka menganggap karya Iustitianus sakral seperti
alkitab, mereka menghormati teks – teks yang ada. Oleh karena itulah mereka tidak ingin memberi
penilaian terhadap teks – teks itu. Mereka lalu menengok kepada paragrap – paragrap yang paralel
dengan yang ia hadapi untuk memberikan pembahasan penafsiran tertentu.
Pada abad ke XIII, Glasstator digantikan oleh Commentator yang bekerja atas dasar – dasar
yang diletakkan oleh Glasstator. Mereka selangkah lebih maju dengan melalukan Glossir bukan
kepada setiap teks satu persatu dan mepersiapkan komentar yang sistematis terhadap masalah –
masalah hukum. Mereka tidak mengabaikan hukum yang ada, tetapi membuat sistematis dengan
hukum yang ada tersebut dengab demekian mereka memberikan sumbangan dalam mempraktikan
hukum yang tertuang dapa Corpus luris cipilis. Mereka mempeluas cakrawala mereka dengan
memperhatikan dunia dalam masalah mereka dan apa yang dibutuhkan situasi pada saat itu. Karya
mereka berkaitan dengan masalah – masalah mereka pada zaman mereka hidup dan berada diluar
kata – kata Corpus luris cipilis sehingga dapat dimengerti dan siap untuk digunakan di pengadilan.
Oleh karena itulah dapat dipahami kalau mereka sering memberikan nasihat kepada pihak – pihak
berpekara dan juga kepada pengadilan untuk kasu – kasu spesifik. Glossa, yaitu hasil kegiatan
Glossir oleh dosen ditekankan dan disalin oleh mahasiswa. Oleh karena itulah makin lama makin
panjang sehingga Glossa tersebut memiliki kekuatan yang sama dengan naskah yang di Glossir.
Pada tahun sekitar 1520, Glossa Ordanaira merupakan karya resmi di Gesta secara keseluruhan.
Glossa terdiri dari beberapa jenis. Beberapa disebut Notabilia, yaitu ringkasan isi naskah yang di
24
doklarisir. Lain yang disebut brokandica yang merupakan pernyataan mengenai prinsip hukum
yang bersifat umu, didasarkan pada bagian teks yang di glossir. Disamping itu, para dosen akan
melakukan sonotasi pada teks itu melalui klasifikasi yang disebut Distinationis caranya adalah
mereka mulai dengan terniologi atau konsep yang bersifat luas dan membaginya menjadi berbagai
bagian yang selkanjutnya dibagi lagi menjadi beberapa sub bagian sampai hal – hal yang mendetail.
Akhirnya, disamping membuat distinationis, para dosen tersebut juga mengajukan Qoestion dengan
mengujci doktrin yang luas itu untuk ditetapkan kepada masalah tetentu.
Di samping membaca teks – teks yang Glossa dan menganalisi kedua hal itu melalui
distinationist dan Questionist kurikuli di Universitas Bologna meliputi juga Disputatio yaitu suatu
diskusi mengenai isu hukum dalam bentuk sengketa antara dua mahasiswa dibawah bimbingan
dosen atau antara dosen dengan mahasiswa. Kira – kira pada masa kini dispatio itu sama dengan
mootcourt.
Dengan berjalannya waktu kurikulum di Universitas bologna, paris, oxford dan universitas
– universitaslain di Eropa diperluas bukan hanya yang terdapat pada Corpus Iusris Civilis saja,
melainkan juga meliputi hukum Kanonik yang ditetapkan oleh Paus dan Dewan Gereja Katolik dan
sistem hukum sekuler yang dikembangkan oleh kerajaan di Eropa yang biasanya dibuat atas
bimbingan para yuris lulusan universitas Bologna. Dalam menganalisis masalah – masalah hukum
yang aktual dan signifikan saat itu dan hukum Kanonik. Metode rangka Hukum Romawi dan
hukum Kanonik. Metode pengajaran di Fakultas hukum Universitas Bologna dan universitas lain di
dunia Barat pada abad XII dan XIII merupakan suatu metode baru tentang analisis dan sintesis.
Metode inilah yangkemudian dikenal sebagai metode “skolastik”. Metode inilah yang kemudian
dikenal sebagai metode “skolastik”. Metode ini yang pertama kali dikembangkan pada awal 1100-
an berpangkal pada praanggapan mengenai otoritas absolut buku – buku tertentu yang dipandang
25
berisi doktrin – doktrin yang lengkap dan terintregasi. Namun demikian, mereka juga menduga
adanya lubang – lubang maupun kontradiksi. Oleh karena itu mereka lalu membuat argumen –
argumen yang dapat menutupi lubang – lubang itu dan menyelesaikan kontradiksi – kontradiksi itu.
Metode ini disebutdialectca, yaitu mencari titik temu dari dua hal yang bertentangan. Metode
demikian sebenarnya pertama kali dikembangkan adaptasi dari istilah Yunani dialektike yang
artinya suatu diskusi dan penalaran melalui dialog sebagai suatu metode investigasi intlektual yang
dikembangkan pada masa Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Dari sejarah perkembangan ilmu hukum tersebut dapat dikembangkan tiga hal. Pertama,
ilmu hukm lahir sebagai suatu ilmu terapan. Berkaitan dengan hal itu, kode Iustinianus diajarkan
secara sistematis pada abad XI. Pada saat itu, di Italia dan Perancis Selatan terdapat dua pola
kehidupan bermasyarakat, yaitu agraris dan perdagangan. Hal ini menimbulkan masalah – masalah
baru. Oleh karena itulah diperlukan pemecahan baru. Dalam hal inilah kemudian ditengok karya
Iustinianus yang tidak asing bagi budaya Eropa meskioun karya itu dibuat enam abad sebelumnya.
Kedua, ilmu hukum mempelajari aturan – aturan yang ditetapkan oleh penguasa, putusan – putusan
yang diambil dari sengketa yang timbul, dan doktrin – doktrin yang dikembagkan oleh ahli hukum.
Hal ini terlihat dari kurikulum yang dibuat di Universitas Bologna tempat diajarkannyahyukum
secara sistematis untuk pertama kalinya. Kurikulum itu tak ayal lagi bersumber dari Empat karya
Iustinianus, yaitu Caudex, Novelle, Instituti, danDigesta, yang semuanya disebut sebagai Corpus
Iuris Civilis. Ketiga, metode yang digunakan di dalam ilmu hukum adalah penalaran. Denga
penalaran dilakukan analisis dan sintesis. Cara menggunakan metode demikian juga dengan cara
dialectica. Dari metode ini dapat dihasilkan prinsip – prinsip hukum yang bersifat umum. Kiranya
berdasarkan telaah sejarah keilmuwan hukum ini dapat diperoleh karakteristik keilmuan hukum ini
dapat diperoleh karakteristik keilmuwan hukum yang berbeda dari keilmuwan lainnya. Oleh karena
26
itulah metode yang digunakan dalam keilmuwan hukum juga bukan scientific method seperti yang
digunakan di dalam ilmu – ilmu alamiah dan ilmu – ilmu sosial.
ILMU HUKUM MERUPAKAN DISPLIN BERSIFAT SUI GENERIS
Meuwissen dan penulis – penulis Belanda lainnya membedakan ilmu hukum dogmatis
dengan ilmu hukum empiris. Studi – studi hukum yang masuk ke dalam bilangan ilmu hukum
empiris menurut Meuwissen adalah sosiologi hukum, sejarah hukum, perbandingan huku, Bruggink
membedakan antara ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empiris. Menurut pendapat saya, istilah
hukum empiris merupakan sesuatu yang bersifat contradictio in terminis karena apabila dilihat
secara etimologis, ilmu hukum yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris jurisprudence
berasal dari bahasa Latin Iuris dan prudentia sebagaimana telah dikemukan bukan merupakan suatu
pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat empiris. Sedangkan sosiologi hukum dan psikologi
hukum termasuk ke dalam studi – studi sosial tentang hukum dan kedua cabang ilmu itu bukan
termasuk ilmu hukum. Sosiologi hukum dan psikologi hukum merupakan kajian yang bersifat
empiris. Sejarah hukum memang amsuki kedalam kajian budaya, tetapi juga bukan bagian dari
ilmu hukum. Yang perlu dikemukakan disini adalah perbedaan antara sosiologi hukum dengan
mazhab sosiologi dalam ilmu hukum. Sosiologi hukum merupakan cabang sosiologi. Sedangkan
mazhab sosiologis merupakan salah satu mazhab dalam ilmu hukum. Akan tetapi tidak demikian
halnya dengan ilmu perbandingan hukum merupakan ilmu empiris. Studi perbandingan hukum
merupakan bagian dari ilmu hukum yang bersifat normatif dan preskriptif.
Ilmu – ilmu empiris bersifat bebas nilai. Akan tetapi, sesungguhnya pada saat ini telah
diketahui bahwa ilmu – ilmu empiris bukan satu – satunya ilmu pengetahuan medern. Pada masa
sekarang, ilmu dapat dibedakan menjadi ilmu alamiah (seperti biologi, fisika), Ilmu formal
27
(matematika), ilmu sosial (seperti sosiologi, ekonomi), dan humaniora(seperti sejarah, sastra).
Terhadap kalsifikasi yang terakhir, yaitu humaniora, dapat diajukan masalah pokok mengenai anti
penting verifikasi empiris terhadap studi humaniora. Metode untuk melakukan verivikasi empiris
diadakan dalam rangka menjawab masalah – masalah yang berbeda dalam ruang lingkup ilmu
bebas nilai. Objek kajian humaniora, tidak dapat dibantah, bersifat sarat nilai, Oleh karena itulah
metode ilmu – ilmu empiris tidak dapat diterapakan untuk studi – studi humaniora. Sebagai contoh
dikemukakan bahwa fakta sejarah, dilihat dari sudut pandang studi sosial tidak lebih daripada
pencapaian tujuan oleh suatu masyarakat tertentu. Demikian pula apabila melihat seorang wanita
menangis meneteskan air mata, seorang ahli ilmu kimia akan menyatakan bahwa air mata tidak lain
merupakan kombinasi tertentu antara oksigen dan hidrogen. Akan tetapi dilihat dari sudut pandang
humaniora, ada sesuatu dibelakang fakta yang tidak dapat diverifikasi secara empiris. Fakta sejarah
yang telah disebutkan tadi, misalnya, bukan sekadar pencapaian tujuan oleh suatu masyarakat
tertentu, melainkan ada nilai interinsik yang dimiliki kelompok itu dan memberi inspirasi kepada
masyarakat untuk berjuang menggapai tujuan dan memungkinkan mereka menanggung derita
bersama dalam mencpai tujuan itu. Romantisme dalam perjaungan mencapai tujuan itu dan yang
demikian ini tidak dapat diamati secara empiris. Romantisme itulah yang merupakan nilai yang
berada di luar studi empiris. Begitu pula air mata si wanita yang sedang menangis itu bagi penyair
bukan sekedar senyawa kimia, melainkan mengandung makna yang dalam dan mempunyai nilai
seni.
Dengan mengacu kepada klasifikasi tersebut, Meuwissen berpendapat bahwa gejala
perasaan dan pernyataan – pernyataan yang berkaitan dengan emosi tidak dapat dijadikan objek
penelitian empiris karena hal itu akan menggusur unsur yang spesifik dari manusia. Menurutnya,
apabila suatu gejala harus diteliti secara empiris. Gejala itu harus dibuat sedemikian rupa supaya
28
dapat diteliti. Beberapa unsur yang tidak dapat siteliti karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur, harus disingkirkan. Apabila yang diteliti adalah manusia, dapat diakatakan bahwa masalah
– masalah yang bersifat batin tidak dapat disangkal bahwa batin dan fikiran manusian merupakan
bagian yang esensial dan spesifik bagi umat manusia. Apabila hal – hal itu dihilangkan karena tidak
dapat diamati dan tidak dapat diukur, unsur yang spesifik dan esensial manusia diabaikan.
Akibatnya, penelitian demikian gagal untuk memberikan deskripsi mengenai manusia secara utuh.
Penelitian itu hanya mengenai aspek – aspek lahiriah manusia. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa ilmu – ilmu empiris tidak layak untuk digunakan dalam menjelaskan gejala yang tidak dapat
diamati dan tidak dapat diukur.
Meuwissen mengemukakan argumentasi bahwa suatu fakta kadang – kadang tidak dapat
diamati tetapi harus bdibentuk. Dengan merujuk kepada argumentasi itu, Meuwissen
mengemukakan dua pertanyaan (a) Tidak bolehkah kita mengalami pengalaman orang lain ? dan
(b) Apakah kita tidak boleh mengalami suatu pengalaman yang unik dengan pola tingkah laku yang
justru menjadi objek penelitian ? pertanyaan – pertanyaan semacam itu tidak dapat dijawab oleh
suatu ilmu yang secara tegas memisahkan antara peneliti dan yang diteliti. Ilmu empiris membuat
perbedaan yang tajam antara peneliti dan objek yang diteliti. Oleh karena itulah menurut
Meuwissen, ilmu empiris tidak akan dapat menjawab pertanyaan – pertanyaan itu.
Tidak dapat disangkal bahwa perbincangan mengenai ilmu empiris dalam kaitannya dengan
hukum mengahsilkan dua implikasi dalam ilmu hukum. Pertama, ada suatu pertanyaan : apakah
ilmu hukum harus diperlakukan sebagai ilmu empiris ? Apabila jawabannya “ya”, hukum harus
didekati dari kacamata instrumental. Dalam hal ini hukum dipandang sebagai suatu sarana untuk
mencapai tujuan lain. Apa tujuan lain itu ilmu empiris tidak akan memberikan jawabannya sebab
tujuan berada dalam ruang lingkup nilai sehingga bukan merupakan bidan kajiannya.
29
Argumen kedua dalam menolak ilmu hukum diklasifikasi sebagai studi yang bersifat
empiris adalah strudi – studi hukum tidak dapat menjelaskan isi hukum. Merupakan suatu kenyatan
bahwa dimanapun hukum diadakan, hukum itu dimaksudkan untuk mempertahankan ketertiban
sosial dan menciptakan keadilan bagi setiap anggota masyarakat. Ilmu empiris tidak bertalia n
dengan kedua hal itu karena kedua hal itu tidak dapt diamati dan tidak dapat diukur. Agar dapat
diamati dan diukur, konsep – konsep itu yaitu ketertiban dan keadilan harus diubah kedalam
pengertian – pengertian yang bersifat operasional untuk dapat diteliti secara empiris. Akan tetapi
apabila hal ini dilakukan, akan terjadi reduksi terhadap makna ketertiban, keadilan dan hukum
karena ada unsur – unsur yang esensial yang ada dalam konsep – konsep itu yang tidak dapat
diamati dan tidak dapat diukur harus dihilangkan.
Disamping itu, tidak dapat diingkari bahwa ilmu-ilmu empiris tidak dapat menjelaskan makna di
belakang fakta yang diamati. Sedangkan makna di belakang fakta yang diamati itulah yang esensial
bagi studi-studi non empiris. Berlainan dengan studi-studi empiris yang memisahkan secara tegas
antara peneliti dengan objek yang teliti, dalam mempelajari makna, peneliti dan yang diteliti ssulit
untuk dipisahkan.
Untuk mengetahui karakteristik ilmu hukum, perlu kiranya diacu pertanyaan Paul Scholten. Paul
Schoulten menyatakan, bahwa “rechtwetenshap kent niet alleen een bescrijvende maar ook
voorscrijvende dimensie “ menurut scholten, ilmu hukum berbeda dengan ilmu deskriptif, ia
mengemukakan bahwa ilmu hukum bukan untuk mencari fakta historis dan hubungan –hubungan
social seperti yang terdapat pada enelitian social. Menurutnya, ilmu hukum berurusan dengan
preskripsi –preskripsi hukum, putusan-putusan yang bersifat hukum dan materi-materi yang diolah
dari kebiasaan-kebiasaan. Ia lebih jauh menyatakan bahwa bagi legiator, ilmu hukum berkaitan
30
dengan hukum. In abstracto. Akan tetapi tidak berarti bahwa bagi hakim ilmu hukum berkaitan
dengan hukum in corcreto. Bagi hakim, ilmu hukum memberikan pedoman dalam menangani
perkara dan menetapkan fakta-fakta yang kabur. Argumentasi yang dikemukakan oleh Paul
Schoulten menunjukan secara jelas bahwa ilmu hukum mempunyai karakter preskriptif dan
sekaligus sebagai ilmu terapan.
John Austin, pendiri mazhab analitis memberikan batasan yang sangat sempit terhadap ilmu
hukum. Dalam pandangan Austin,ilmu hukum tidak lain dari pada hukum pasitif. Hukum positif
menurut Austin adalah aturan hukum yag dibuat oleh mereka yang mempunyai kedudukan politis
lebih tinggi untu mereka yang mempunyai kedudukan politis lebih rendah. Hukum positif, dengan
demikian, merupakan suatu perintah penguasa. Dengan mendefinisikan hukum semacam itu,
Austin bermaksud untuk memisahkan hukum dari moral, kebiasaan, dan unsur-unsur lain yang
tidak dapat ditentukan. Demikian pula halnya dengan Hans Kelse (1881-1973) yang
mendirikan Die reine Rechtlehre atau ajaran Ajaran Hukum murni.ia berusaha memebebaskan
hukum kabut metafisikan yang telah menyelimutinya sekian lama dengan melakukan spekulasi
tentang adanya keadilan atau dengan melakukan spekulasi tentang adanya keadilan atau dengan
melakukan spekulasi tentang adanya keadilan atau dengan mengemukakan doktrin ius
naturae bahwa hukum tetaplah hukum meskipun tidak adil. Oleh karena itulah apabila pandangan
Kalsen ini diikuti, ilmu hukum tidak lebih dari studi formal tentang hukum.
Sebenarnya, sebelum Kelsen, seorang ahli hukum Amerika Serikat yang bernama Roscoe
Pound (1870-1964) mendirikan suatu mazhab yang dikenal dengan mazhab sosiologis. Ia
memandang ilmu hukum dalam arti dibedakan dengan undang-undang, adalah the system of
authoritative materials for grounding or guiding judicial and administrative actions recognized or
established in a politically organized society” . Dari pernyataan itu dapat dikekukakan bahw
31
Roscoe Pound mendefinisikan hukum dalam pengertian peradilan dalam melaksanakan keadilan,
meskipun membrikan ruang lingkup yang luas terhadap studi hukum, tidak dapat di sangkal
bahwaRoscoe Pound memandang ilmu hukum sebagai science of law yang berkaitan dengan
penafsiran dan penerapan hukum sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan ini. Oleh karena
ilmu hukum merupakan studi btenyang hukum, ilmu tidak dapat diklasifikasikan ke dalam ilmu
sosial yang bidang kajiannya kebenaran empiris. Ilmu sosial tidak memberi ruang untuk
menciptakan konsep hukum. Studi – studi sosial hanya berkaitan dengan implementasi konsep
hukum dan acap kali hanya memberi perhatian terhadap kepatuhan individu terhadap aturan
hukum.
Tidak berbeda halnya dengan humainora. Humainora tidak memberikan tempat untuk
mempelajari hukum sebagai aturan tingkah laku sosial. Dalam studi humainora, hukum dipelajari
dalam kajiannya dengan etika moralitas. Tidak dapat disangkal bahwa keadilan merupakan isi
dalam ruang lingkup filsafat. Keadilan itu sendiri merupakan unsur yang esensial dalam hukum.
Akan tetapi filsafat tidak berkaitan dengan pelaksanaan keadilan. Merupakan tugas ilmu hukum
untul membahas hukum sari semua aspek. Baik ilmu sosial maupun humaniora memandang hukum
dari sudut pandang keilmuannya sendiri. Oleh karena itulah tidaklah tepat mengklasifikasikan ilmu
hukum ke dalam ilmu sosial maupun humaniora. Dalam hal demikian , sangat berguna untuk
menegok kepada pandangan Meuwissen menetapkan ilmu hukum dogmatik sebagai sesuatu yang
bersifat sui generis tidak ada bentuk ilmu lain yang dapat dibandingkan dengan ilmu hukum.
Selanjutnya Meuwissen menyatakan bahwa ilmu hukum dogmatik yang mempunyai posisi sentral
dalam pendidikan di universitas. sui generis merupakan bahasa latin yang artinya hanya satu untuk
jenisnya sendiri. Apa yang dikemukakan oleh Muwissen memang tidak dapat disangkal bahwa
ilmu hukum bukan bagian dari ilmu sosial maupun humaniora, melainkan ilmu tersendiri. Menurut
32
Jan Gijssels dan Mark van Hoecke terdapat tiga tingkatan ilmu hukum yaitu dogmatik hukum, teori
hukum, dan filsafat hukum. Ini berarti bahwa kedudukan sui generis tersebut berlaku untuk ketiga
tingkatan itu.
Terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli dalam memasukkan ilmu hukum ke dalam
suatu kelompok bidang ilmu. Demikian pula adanya keragu-raguan yang disebabkan oleh sifat
normatif dari ilmu hukum tersebut bukanlah ilmu empiris. Disamping hukum mempunyai sifat
yang normatif hukum juga memiliki fungsi yang normatif pula.
Ilmu Hukum memiliki karakter yang khas (sui generis) yang sifatnya normatif, praktis dan
preskriptif, menjadikan metode kajian ilmu hukum akan berkaitan dengan apa yang seyogianya
atau apa yang seharusnya, sehingga metode dan prosedur penelitian dalam ilmu-ilmu alamiah dan
ilmu sosial tidak dapat diterapkan untuk ilmu hukum. Hal ini menjadikan Ilmuan hukum harus
menegaskan: dengan cara apa ia membangun teorinya, menyajikan langkah-langkahnya agar pihak
lain dapat mengontrol teorinya dan mempertanggungjawabkan mengapa memilih cara yang
demikian.
Ilmu hukum menempati kedudukan istimewa dalam klasifikasi ilmu karena mempunyai sifat
yang normatif dan mempunyai pengaruh langsung terhadap kehidupan manusia dan masyarakat
yang terbawa oleh sifat dan problematikanya. Keadaan yang berpengaruh langsung terhadap
kehidupan manusia dan masyarakat mengakibatkan sebagian ahli hukum Indonesia berupaya
mengempiriskan ilmu hukum melalui kajian-kajian sosiologik, bahkan upaya tersebut sampai
kepada menerapkan metode-metode penelitian sosial ke dalam kajian hukum (normatif).
Menerapkan (memaksakan) metode penelitian sosial terhadap penelitian hukum, menimbulkan
kejanggalan-kejanggalan (dalam arti telah terjadi kekeliruan), misalnya: menggunakan kata
bagaimana, seberapa jauh, seberapa efektif (dan lain-lain yang menggambarkan pada kajian ilmu
33
sosial/gejala sosial) dalam perumusan masalah; menggunakan kata: sumber data, teknik
pengumpulan data, analisis data, populasi dan sampling. Penggunaan kata-kata tersebut
menunjukkan kepada studi-studi sosial tentang hukum, hukum sebagai gejala sosial, dan induk
ilmunya yaitu ilmu sosial bukan ilmu hukum. Seharusnya, pengkajian ilmu hukum tersebut
beranjak dari hakikat keilmuan ilmu hukum.
Mempelajari hukum bertitik anjak dari memahami kondisi instrinsik aturan-aturan hukum.
Kondisi intrinsik aturan-aturan hukum tersebut dipelajari tentang gagasan-gagasan hukum yang
bersifat mendasar, universal umum, dan teoritis serta landasan pemikiran yang
mendasarinya. Landasan pemikiran tersebut terkait dengan berbagai konsep mengenai kebenaran,
pemahaman dan makna, serta nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Dengan demikian, tugas ilmu
hukum (jurisprudence) yaitu menemukan prinsip-prinsip umum yang menjelaskan bangunan dunia
hukum.
Ilmu hukum tidak dapat di klassifikasikan ke dalam ilmu sosial yang bidang kajiannya
kebenaran empiris, sebab ilmu sosial tidak memberi ruang bagi menciptakan konsep hukum, ia
(ilmu sosial) hanya berkaitan dengan implementasi konsep hukum dan selalu hanya memberikan
perhatiaannya kepada kepatuhan individu terhadap atauran hukum. Demikian juga dengan ilmu
hukum tidak dapat diklassifikasikan ke dalam ilmu humaniora, sebab ilmu humaniora tidak
memberikan tempat untuk mempelajari hukum sebagai aturan tingkah laku sosial, hukum hanya
dipelajari dalam kaitannya dengan etika dan moralitas.
Tugas ilmu hukum membahas hukum dari semua aspek. Ilmu sosial maupun ilmu humaniora
hanya memandang hukum dari sudut pandang keilmuannya, sehingga tidak tepat untuk
mengkalssifikasikan ilmu hukum sebagi ilmu sosial atau ilmu humaniora. Ilmu hukum sebagai ilmu
yang bersifat sui generis yakni tidak ada bentuk ilmu lain yang dapat dibandingkan dengan ilmu
34
hukum. Ilmu hukum hanya satu untuk jenisnya sendiri.
Ilmu hukum hukum tidak mencari fakta historis dan hubungan-hubungan sosial sebagaimana
yang terdapat dalam penelitian sosial. Ilmu hukum berurusan dengan preskripsi-preskripsi hukum,
putusan-putusan yang bersifat hukum, dan materi-materi yang diolah dari kebiasaan-kebiasaan.
Oleh Paul Scholten, ilmu hukum bagi legislator terkait dengan hukum in abstracto, dan bagi hakim
memberikan pedoman dalam menangani perkara dan menetapkan fakta-fakta yang kabur. Dengan
demikian, ilmu hukum mempunyai karakter preskriptif dan sekaligus sebagai ilmu terapan.
Positivisme yang dirintis A. Comte menyatakan bahwa hukum berkembang melalui tiga
tahap (law of the three stages) yakni tahap teologis, tahap metafisi dan tahap positif. Positivisme
memiliki lima asumsi dasar yaitu: (i) Asumsi pertama adalah logika empirisme. Dalam konteks ini,
positivisme menyakini bahwa setiap kebenaran harus melewati pembuktian secara empiris; (ii)
Asumsi kedua adalah realitas objektif. Realitas dalam positivisme adalah segala sesuatu yang
berobjek kajian tunggal; (iii) Asumsi ketiga adalah reduksionisme. Sesuatu yang tidak dapat
direduksi dipandang bukan objek kajian ilmiah; (iv) Asumsi keempat adalah determinisme. Sesuatu
bersifat determinan apabila tunduk pada hukum sebab-akibat (kausalitas); (v) Asumsi kelima
adalah bebas nilai.
Pemikiran A. Comte ini melandasi aliran Postivisme Logis. Postifisme Logis, merupakan
suatu aliran yang menguat pada abad ke-20 melalui komunitas yang menamakan dirinya dengan
Lingkaran Wina (Der Wiener Kries). Aliran ini beranggotakan sejumlah ilmuan dan filsuf
diantaranya yang Morits Schlick, Rudolf Carnap, Philipp Frank, Viktor Kraft, Herbert Feigl dan
Friedrich Waismann. Dari pertemuan ini diterbitkan sebuah risalah yang berjudul
“Wisseinschaftliche Weltauffasung. Der Wiener Kreis”. Adapun aliran ini memiliki pandangan,
sebagai berikut:
35
1. Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah dan pengetahuan ilmiah itu harus
bersifat empiris, artinya hanya kenyataan yang dapat diobserfasi pancaindera yang dapat menjadi
objek ilmu.
2. Terdapatnya asas verifikasi, yakni putusan ilmiah adalah benar hanya jika putusan itu dapat
diferifikasi secara empiris, yaitu dapat diuji pada kenyataan yang dapat diobservasi.
3. Positivisme adalah aliran yang menyakinkan bahwa pengetahuan manusia bersifat objektif, yang
diperoleh melalui penyidikan empirik dan rasional.
4. Menolak proposisi-proposis metafisis yang menonjol pada abab pertengahan.
5. Positifisme logis berpegang pada empat asas (1) Empiris, (2) Postivisme, (3) Logika, (4) Kritik
Ilmu.
Aliran Postivisme Logis tersebut memiliki dampak terhadap perkembangan ilmu hukum,
antara laian metode di dalam ilmu hukum. Metode yang terdapat pada postivisme lagis
memiliki ciri sebagai berikut:
Metode untuk memperoleh pengetahuan ilmiah adalah metode empirik. Menggunakan merode
induksi yakni cara memperoleh pengetahuan dengan jalan bertolak dari (sejumlah) data terberi
khusus lewat generalisasi sampai pada putusan atau dalil umum.
Berdasarkan fakta yang terobservasi menarik kesimpulan umum dan kemudian dengan
menggunakan bahasa yang secara logika konsisten mengkonstuksikan teori ilmiah berkenaan
dengan objek yang diteliti. Produknya berupa teori ilmiah sekaligus juga merupakan hipotesa yang
dapat diuji kembali. Dengan demikian Positivisme Logis yang dari dimensi keilmuan dipandang
sangat mempengaruhi positivisme hukum yakni adanya penggunaan pendekatan empiris. Secara
terperinci, dampak dari dari pemikiran postivisme terhadap metode penelitian hukum, yaitu:
berkembangnya ilmu hukum dengan menggunakan format ilmu sosial yang mengunakan metode
36
empiris. Beberapa ilmuan hukum merasa lebih percaya diri apabila menggunakan pendekatan sosial
empiris.
Penggunaan format metode empiris dinilai lebih ilmiah karena dapat dikuantifikasi dan
digunaknnya rumus-rumus ilmu pasti (ilmu eksakta) untuk menjamin pembuktian ilmiah dari segi
empiris. Padahal dalam kenyataannya, positivisme hukum justru menunjukkan pola berpikir yang
bertolak belakang sama sekali, yaitu dengan menggunakan logika deduktif atau pendekatan
doktrinal bersumber kepada norma positif dalam sistem perundang-undangan yang dipandang
benar secara self evident.
Ilmu hukum adalah “SUI GENERIS” yang berarti ilmu hukum merupakan ilmu yang
jenis sendiri. Ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas dan sistem ilmiah yang berbeda karena
memiliki obyek kajian yang berbeda. Ilmu Hukum memiliki Tatanan/lapisan Ilmu sendiri,
menurut T Gijssels, terdiri dari Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Ilmu
Hukum. Secara singkat perngertian ketiganya adalah dogmatik hukum Studi secara ilmiah
tentang hukum pada tataran ilmu-ilmu positif. Teori hukum Studi yang obyek telaahnya adalah
tatanan hukum sebagai suatu sistem. Dan, filsafat hukum Studi yang objek telaahnya adalah
hukum sebagai demikian (law as such). Dogmatik hukum merupakan cabang disiplin hukum yang
paling konkret, sedangkan filsafat hukum berada pada tataran paling abstrak. Oleh karena jarak di
anatara keduanya sangat lebar, maka diperlukan cabang disiplin hukum yang mampu
menjebatani keduannya, yakni teori hukum. Karakter “SUI GENERIS” menunjukan bahwa
dalam ilmu hukum jangan pernah -tidak dapat- menyampingkan karateristik normatifnya, yakni
pada saat ilmu hukum memiliki sifat empiris anatilisnya. Keberadaan sifat empiris analitisnya
karena Ilmu hukum merupakan “Ilmu Praktis yang bersifat normologis”. Ilmu Praktis
Nomologis, berusaha memperoleh pengetahuan faktual-empiris. Yakni pengetahuan tentang
37
hubungan yang ajeg yang berlaku antara dua hal atau lebih berdasarkan asas kausalitas
deterministik. Contoh: Jika A (ada atau terjadi), maka B (ada atau terjadi). Selain itu, Ilmu Praktis
Normologis disebut ilmu normatif, berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau lebih
berdasarkan asas imputasi. Asas Imputasi adalah (menautkan tanggungjawab/kewajiban) untuk
menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban subyek tertentu dalam situasi konkrit tertentu,
sehubungan tela terjadi perbuatan atau pristiwa atau keadaan tertentu, namum dalam kenyataan apa
yang seharusnya terjadi tidak niscahaya dengan sedirinya terjadi. Contoh: Jika A (terjadi atau ada)
maka seyogyanya B (terjadi). Ilmu hukum mengarah pada refleksi pemecahan masalah-masalah
konkrit dalam masyarakat. Berbeda dari hakikat ilmu hukum empiris sebagai bagian dari ilmu
sosial yang dipelajari untuk meramalkan proses sosial.
Dari penjelasan tersebut berarti, terdapat perbedaan ilmu hukum normatif dengan
denganilmu hukum empris yang merupakan ilmu sosial. Ilmu hukum normatif merupakan ilmu
praktis, mengubah keadaan serta menawarkan penyelesaian terhadap problem masyarakat.Ilmu
hukum memiliki karatersitik yang khas yang berbeda dengan ilmu lainnya.
Oleh karena itu, Konsekwensi terhadap metode penelitian hukum yakni : pertama, dalam
melakukan penelitian hukum yang digunakan metode normatif, yakni metode doktrinal dengan
optik preskriptif untuk menemukan hukum secara hermeneutis. Kaedah tersebut menentukan apa
yang menjadi kewajiban dan hak yuridis dari subyek hukum. Kedua, Metode penelitian
hukum bertumpu pada metode doktinal dalam kajian hukum positif, penggunaan metode diluar
hukum “metode empiris” dapat digunakan selama diperlukan. Penggunaan metode dalam
prespektif yang berbeda harus dijelasakan dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
38
PENUTUP
Rangkuman
Dalam pengertian ilmu hukum akan diuraikan secara gramatikanya yaitu meliputi
pengertian dari kata ilmu dan kata hukum termasuk karakter ilmu hukum itu sendiri. Kemudian
logika menjelaskan tentang cara berpikir lurus untuk mencapai suatu kebenaran dalam hukum.
Bahasa yang digunakan disini yaitu bahasa hukum dan/atau bahasa undang-undang.
Bahan Bacaan
Atmadja,I Dewa Gede, “Perdebatan Akan Derajat Keilmuan Dari Ilmu Hukum : Suatu
Renungan Filsafat Hukum, dalam Kertha Patrika, Nomor : 58 Tahun XVIII, Maret,
1992.
-------, “Manfaat Filsafat Hukum Dalam Studi Ilmu Hukum”, dalam Kertha Patrika, Nomor :
62-63 Tahun XIX Maret – Juni, 1993.
-------, Penafsiran Konstitusialam Rangka Sosialisasi Hukum, Pidato Pengenalan Jabatan Guru
Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas
Udayana, 10 April 1996.
-------, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Denpasar 2006.
39
Gie, The Liang, Teori-teori Keadilan, Super, Yogyakarta 1979.
Hadjon, Philipus M, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)”, dalam Yuridika, Nomor
6 Tahun IX, November-Desember 1994.
-------, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 2005.
-------, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum , Bali Age, Denpasar, 2009.
Loudoe, John Z., Menemukan Hukum melalui Tafsir dan Fakta, Bina Aksara, Jakarta 1985.
Marzuki, Peter Mahmud, “Penelitian Hukum”, dalam Yuridika, Vol. 16, No. 1, Maret-April
2001.
Mertokusumo, Sudikno, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti 1993.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung 1979.
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, CV. Utomo,
Bandung, 2006.
Sidharta, Bernard Arief, Refleksi Tentang Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008.
-------, Pengantar Logika, Refika Aditama, Bandung, 2008.
Simorangkir, J.C.T., et al., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta 1980.
Sumaryono, Dasar-dasar Logika, Kanisius, Yogyakarta 1999.
Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta 2006.
40
LATIHAN TUGAS
DISCUSSION TASK : Ilmu hukum dikatakan bersifat preskriptif dengan karakter sui generis, apakah anda setuju
atau tidak ? 1. Terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli dalam memasukkan ilmu hukum ke
dalam suatu kelompok bidang ilmu.
2. Adanya keraguan yang disebabkan oleh sifat normatif dari ilmu hukum tersebut bukanlah ilmu empiris.
Bacaan :
- Atmadja,I Dewa Gede, 1992, “Perdebatan Akan Derajat Keilmuan Dari Ilmu Hukum : Suatu Renungan Filsafat Hukum, dalam Kertha Patrika, Nomor : 58 Tahun XVIII, Maret, h. 64-71.
- -------, 1993, “Manfaat Filsafat Hukum Dalam Studi Ilmu Hukum”, dalam Kertha
Patrika, Nomor : 62-63 Tahun XIX Maret – Juni, h. 64-71.
- -------, Penafsiran Konstitusialam Rangka Sosialisasi Hukum, Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 10 April 1996, h. 33-47.
- -------, 2006, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan
Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 22-34.
- Hadjon, Philipus M, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1 – 9.
- Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, CV.
Utomo, Bandung, 2006, h. 74-108.
- Sidharta, Bernard Arief, Refleksi Tentang Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 42-56.
41
SATUAN ACARA PENGAJARAN ( SAP) MATA
KULIAH PENALARAN DAN ARGUMENTASI
HUKUM
1. MATA KULIAH Penalaran dan Argumentasi Hukum 2. KODE MATA
KULIAH
WHI 7269
3. WAKTU
PERTEMUAN
2 X 150 Menit.
4. PERTEMUAN KE- 1(pertama), 2 (kedua) 5. INDIKATOR
PENCAPAIAN
Mahasiswa mampu menjelaskan:
1. Memahami karakteristik ilmu hukum
6. MATERI POKOK Penalaran dn Argumentasi Hukum 7. PENGALAMAN
BELAJAR
Mempelajari dan mendiskusikan:
1. Karakterisik Ilmu Hukum
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN
KEGIATAN DOSEN
KEGIATAN
MAHASISWA
MEDIA DAN
ALAT
PEMBELAJARAN (1) (2) (3) (4)
Pembukaan Menyampaikan silabus, SAP,
Kontrak Kuliah, Penilaian dan
SOP Dosen; memberikan ulasan
tentang Ilmu Hukum
secarageneral Identitas Nasional
Melihat,
mendengarkan
penjelasan, serta
mencatat.
Silabus, SAP,
Kontrak
Perkuliahan, ,
Textbook,
Power point
presentation.
42
Penyajian Mengulas tentang: Karakteristik
Ilmu Hukum
Melihat,
mendengarkan
penjelasan, mencatat,
bertanya, dan
berdiskusi.
Idem
43
Penutup Merangkum isi pokok
bahasan, memberikan
evaluasi dan memberikan
materi tugas latihan
terstruktur/mandiri
Menyimak,
mengajukan
pertanyaan dan
pendapat, menjawab
pertanyaan evaluasi
Idem
Post Test Ujian tertulis, lisan, penilaian/evaluasi terhadap proses pembelajaran, dan unjuk
sikap Referensi Bacaan :
- Atmadja,I Dewa Gede, 1992, “Perdebatan Akan Derajat Keilmuan Dari Ilmu Hukum : Suatu Renungan Filsafat Hukum, dalam Kertha Patrika, Nomor : 58 Tahun XVIII, Maret, h. 64-71.
- -------, 1993, “Manfaat Filsafat Hukum Dalam Studi Ilmu Hukum”,
dalam Kertha Patrika, Nomor : 62-63 Tahun XIX Maret – Juni, h. 64-71.
- -------, Penafsiran Konstitusialam Rangka Sosialisasi Hukum,
Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 10 April 1996, h. 33-47.
- -------, 2006, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian,
Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 22-34.
- Hadjon, Philipus M, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi
Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1 – 9.
- Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks
Keindonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006, h. 74-108.
- Sidharta, Bernard Arief, Refleksi Tentang Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 42-56.
1. Kewarganegaraan Menuju Kehidupan Demokratis dan Berkeadaban.
Yogyakarta: LP3 UltvtY-Asia Fondation. Edisi Revisi.
2. Dipanala. GS. 1975. Ilmu Negara Jilid 1 . Jakarta: Balai Pustaka.
3. Gafar. AJTan. 2000. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
44
Dosen : Tim Pengampu Mata Kuliah.
Top Related