BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Gambar 3. Peta Lokasi Kecamatan Pasean
Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu Kabupaten
yang terletak di Pulau Madura selain Kabupaten Bangkalan,
Sampang dan Sumenep. Kabupaten Pamekasan terletak dalam
wilayah Provinsi Jawa Timur yang secara geografis terletak
pada 6o51 - 7o31 LS dan 113o19 - 113o58 BT. Batas daerah di
sebelah utara Kabupaten Pamekasan berbatasan dengan Laut
Jawa, di sebelah barat berbatasan langsung dengan Kabupaten
Sampang, di sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura,
dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sumenep.
Data statistik Pemerintah Kabupaten Pamekasan tahun
2017 menunjukkan bahwa luas wilayah Kabupaten Pamekasan
yaitu 79,230 hayang terdiri dari 13 kecamatan dan 186
desa/kelurahan. Lokasi Kabupaten Pamekasan berada di sekitar
garis khatulistiwa, seperti kabupaten lainya di Madura, wilayah
ini mengalami 2 perubahan musim, musim kemarau dan musim
penghujan. Pada bulan Oktober sampai Maret merupakan
musim penghujan sedangkan musim kemarau terjadi pada
bulan April sampai September. Wilayah Kabupaten Pamekasan
terdiri dari dataran tertinggi yaitu berada di kecamatan
pagentenan dengan ketinggian 350 meter dari permukaan laut,
dan dataran terendah berada di kecamatan Galis yang berada
diketinggian 6 meter dari permukaan laut (Anonimus, 2013).
Kecamatan Pasean merupakan salah satu Kecamatan di
Kabupaten Pamekasan yang terdiri dari 8 Desa, yaitu: Desa
Batukerbuy, Desa Dempo Barat, Desa Dempo Timur, Desa
Sana Daya, Desa Sana Tengah, Desa Sotabar, Desa Tegangser
Daya dan Desa Tlontoraja. Luas wilayah Kecamatan Pasean
adalah 792,24 km2. Jumlah penduduk di Kecamatan Pasean
sampai dengan bulan Desember 2016 sebanyak 36,433 jiwa.
Rata-rata penduduk di Kecamatan Pasean bermata pencaharian
sebagai petani dan peternak. Jumlah penduduk yang beternak
sapi Madura di Kecamatan Pasean yaitu 11,109 jiwa. Jumlah
sapi Madura di Kecamatan Pasean sampai bulan Juni 2017
adalah sebanyak 21,885 ekor yang terdiri dari sapi pejantan 963
ekor, sedangkan sapi betina produktif sebanyak 20,922 ekor.
Sistem pemeliharaan sapi Madura di Kecamatan Pasean yaitu
secara semi intensif, artinya ternak dikandangkan dan disaat
waktu tertentu ternak akan dilepas di ladang atau di sawah
sekitar rumahuntuk menghilangkan stress dan untuk
pembentukan vitamin D secara alami. Kandang yang
digunakan di Kecamatan Pasean rata-rata berada disekitar
rumah peternak yang terbuat dari kayu dan bambu. Sistem
perkandangan yang digunakan adalah model kandang terbuka.
Pakan yang digunakan adalah rumput lapang, rumput gajah,
jerami padi dan hijauan pakan ternak lain seperti daun lamtoro
yang berasal dari area persawahan ataupun ladang di sekitar
rumah peternak dengan frekuensi pemberian pakan dilakukan
2 kali sehari.
4.2 Penampilan Reproduksi Sapi Madura
Keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) sangat terkait
dengan performa reproduksi ternak tersebut yang memiliki
keterkaitan satu sama lain . Melalui proses reproduksi akan
terbentuk individu-individu baru atau generasi penerus yang
dimana hal tersebut memungkinkan terjadinya pertambahan
populasi. Terdapat beberapa parameter yang dapat dijadikan
tolak ukur untuk mengevaluasi efisiensi reproduksi sapi betina
melalui program IB adalah Service Per Conception (S/C), Days
Open (DO) dan Calving Interval (CI). Susilawati (2011)
menyatakan bahwa IB adalah salah satu teknologi reproduksi
yang mampu dan telah berhasil untuk meningkatkan perbaikan
mutu genetik ternak, sehingga dalam waktu pendek dapat
menghasilkan pedet dengan kualitas baik dengan
memanfaatkan semen pejantan unggul.
Teknologi IB merupakan salah satu teknologi reproduksi
yang menggunakan penjantan unggul sebagai sumber semen
beku untuk dapat dilakukan inseminasi, tidak terkecuali di
wilayah Madura yang sebenarnya merupakan salah satu
wilayah penghasil sapi potong lokal terbesar di Indonesia.
Secara umum IB berfungsi untuk: 1) Perbaikan mutu genetik
2) Pencegahan penyakit menular 3) Rekording lebih akurat 4)
Biaya lebih murah 5) Mencegah kecelakaan yang disebabkan
oleh pejantan. Menurut Inounu (2014) IB merupakan cara
untuk meningkatkan efisiensi reproduksi dan memperbaiki
mutu genetik ternak, sehingga semen yang digunakan harus
berasal dari pejantan unggul. Selain itu, teknologi IB memiliki
manfaat lain diantaranta menghemat biaya pemeliharaan ternak
jantan, dapat mengatur jarak kelahiran serta dapat mencegah
terjadinya kawin sedarah pada sapi betina. Sejak dibentuknya
program pemerintah tentang Sapi Induk Wajib Bunting
(SIWAB), maka dinas yang terkait program tersebut banyak
mengadakan sosialisasi baik melalui inseminator maupun
terjun langsung ke peternak di daerah sekitar yang hal tersebut
langsung mendapat respon positif dari para peternak. Peternak
sapi Madura beranggapan bahwa keturunan ternak sapi dari
hasil persilangan lebih besar dan harga jualnya lebih tinggi
dibandingkan dengan sapi Madura, sehingga peternak sapi
Madura cenderung lebih memilih IB yang menggunakan
pejantan unggul sapi Limousin sebagai sumber semen beku
dibandingkan dengan IB dengan pejantan unggul sapi Madura.
Kondisi ini tentunya mempunyai dampak yang kurang
menguntungkan terutama terkait dengan upaya
mempertahankan eksistensi kemurnian sapi Madura sebagai
salah satu plasma nutfah sapi asli Indonesia. Meskipun
teknologi IB sudah melembaga di kalangan peternak sapi di
Madura masih ada pada beberapa daerah di Pulau Madura yang
enggan menerapkan program tersebut dan masih menerapkan
cara sederhana yaitu menggunakan kawin alam.
Hasil pengamatan data rataan penampilan reproduksi
sapi Madura pada paritas 2, paritas 3 dan paritas 4 yang
meliputi nilai S/C, DO dan CI di Kecamatan Pasean,
Kabupaten Pamekasan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Penampilan Reproduksi Sapi Madura.
4.2.1 Service Per Conception (S/C)
Service Per Conception (S/C) dapat diartikan sebagai
jumlah pelayanan inseminasi atau perkawinan yang dibutuhkan
oleh seekor induk sampai dengan menghasilkan kebuntingan.
Semakin rendah nilai S/C, maka tingkat kesuburan dari induk
tersebut semakin baik pula, Semakin tinggi nilai S/C, maka
semakin rendah tingkat kesuburan dari induk tersebut. Menurut
Hardjopranoto dan Soehartojo (1995) terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai S/C antara lain
kualitas semen yang digunakan dalam inseminasi, deteksi
birahi, BCS, bobot badan, kemampuan inseminator dan peran
atau perhatian dari peternak.
Berdasarkan data nilai S/C pada Tabel 2, nilai S/C pada
masing-masing paritas menunjukan nilai yang dikategorikan
baik, yaitu memiliki nilai rataan 1,51±0,71. Sesuai dengan
penjelasan Affandy, Situmorang, Prihandini, Wijono dan
Rasyid (2003) bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6-
2,0. Semakin rendah nilai S/C, maka semakin tinggi tingkat
kesuburan dari ternak tersebut, sebaliknya jika nilai S/C
semakin tinggi, maka akan semakin rendah tingkat fertilitas
dari ternak tersebut. Menurut Hadi dan Ilham (2002) terdapat
beberapa faktor penyebab tingginya nilai S/C diantaranya
peternak yang kurang memerhatikan pada saat deteksi birahi
dari ternak tersebut atau terlambat melaporkan estrus dari
sapinya kepada inseminator, keterampilan inseminator,
terdapat gangguan reproduksi yang dapat disebabkan oleh
pakan maupun perkandangan.
Pada tabel 2 dijelaskan jika nilai S/C pada paritas 2 lebih
tinggi dibandingkan dengan paritas lainnya. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh faktor umur induk, semakin tua umur induk
sapi tersebut maka kondisi fisiologis dari induk tersebut akan
semakin baik. Sesuai dengan penjelasan Zainudin, Ihsan dan
Suyadi (2015) menyatakan bahwa nilai S/C yang semakin
tinggi,akan dapat mengakibatkan semakin panjangnya masa
kosong dan jarak beranak kembali. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu salah satunya umur induk yang
berhubungan langsung dengan status fisiologi ternak tersebut.
Ternak yang berusia terlalu muda pada saat dilakukan
perkawinan atau inseminasi pertama akan sulit terjadi
kebuntingan, dikarenakan perkembangan fisiologi ternak
tersebut masih belum sempurna. Selain itu, kinerja hormon-
hormon reproduksi masih belum optimal sehingga dalam
deteksi estrus menjadi kurang jelas dan ternak akan mengalami
kesulitan saatpartus dan beresiko mengalami gangguan
reproduksi yang cukup tinggi.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan IB
adalah pakan. Pakan yang diberikan kepada sapi harus
mencukupi kebutuhan nutrisi dari sapi tersebut. Dengan
terpenuhinya kebutuhan nutrisi, akan berdampak baik bagi
perfomans produksi maupun reproduksi dari sapi tersebut.
Pakan yang digunakan peternak di lokasi penelitian rata-rata
adalah pakan yang berada di sekitar area persawahan, ladang
dan sekitar rumah berupa rumput lapangan, rumput gajah,
limbah pertanian seperti jerami padi, daun lamtoro dan sangat
jarang diberikan pakan tambahan berupa konsentrat. Rata-rata
peternak di Kecamatan Pasean bekerja sebagai petani, jadi
beternak sapi merupakan usaha sampingan yang dijadikan
sebagai tabungan dan sewaktu-waktu bisa dijual kapanpun.
Hartatik, Mahardika, Widi dan Baliarti (2009) menyatakan
bahwa kualitas dan kuantitas pakan yang kurang baik dapat
mengganggu proses reproduksi ternak. Sehingga selain dapat
menunda umur pertama kawin, hal ini juga dapat berakibat
pada umur pertama beranak yang dipengaruhi oleh ketepatan
deteksi estrus dan keberhasilan IB yang ditujukkan oleh nilai
S/C. Nilai S/C yang tinggi akan berakibat pada panjangnya
interval hari DO dan CI dibandingkan dengan sapi yang
memiliki nilai S/C yang normal. Ditambahkan oleh Nuryadi
dan Wahjuningsih (2011) yang menyatakan bahwa kandungan
nutrisi pakan sebelum dan sesudah beranak akan
mempengaruhi siklus estrus pada periode berikutnya. Kondisi
induk sapi yang kurang akan gizi dari pakan atau memiliki
cadangan energi tubuh rendah, menyebabkan estrus post
partum lebih lama.
4.2.2 Days Open (DO)
Days Open (DO) adalah selang waktu antara sapi
melahirkan sampai dengan perkawinan yang menghasilkan
kebuntingan. Ihsan (2010) menyatakan bahwa panjang DO
yang ideal yaitu berkisar 3-4 bulan agar efisiensi reproduksi
dari induk sapi tersebut semakin baik. Menurut Zainuddin,
Ihsan dan Suyadi (2015) semakin panjang nilai DO
menunjukkan bahwa efisiensi reproduksi dari induk tersebut
semakin rendah. Panjangnya nilai DO disebabkan oleh
tingginya nilai S/C dan beberapa faktor salah satunya umur
induk. Ditambahkan oleh Ihsan dan Wahjuningsih (2011) yang
menyatakan bahwa panjangnya masa kosong disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu panjangnya masa estrus setelah
melahirkan, kurangnya perhatian peternak terhadap ternak
yang sedang estrus dan minta kawin, serta faktor lain yaitu
interval antara munculnya estrus pertama dengan terjadinya
kebuntingan, kegagalan perkawinan dan kematian embrio.
Berdasarkan data nilai DO pada Tabel 3, nilai DO pada
masing-masing paritas tergolong efisien yaitu memiliki nilai
rataan 110,04±10,92 hari. Sesuai dengan penjelasan Ihsan
(2010) yang menyatakan bahwa jarak atau masa kosong yang
baik untuk sapi potong adalah 85-115 hari. Penyebab
panjangnya nilai DO salah satunya disebabkan oleh peternak
yang mengawinkan sapinya setelah pedet disapih, penyapihan
pedet yang terlalu lama akan menyebabkan birahi setelah
melahirkan terlambat dan menyebabkan perkawinan setelah
melahirkan akan menjadi lebih lama.
Nilai DO sapi Madura di lokasi penelitian dapat
dikategorikan baik, hal ini dikarenakan peternak dalam
mengawinkan induk sapi dilakukan pada saat birahi pertama
setelah beranak sebelumnya dan waktu penyapihan pedet yang
sesuai. Pedet yang terlalu lama disusukan pada induknya
dengan pakan yang kurang memenuhi kebutuhan nutrisi, dapat
menyebabkan birahi pasca melahirkan menjadi terlambat dan
CI menjadi panjang. Peran inseminator di Kecamatan Pasean
memegang peranan yang cukup penting. Inseminator di lokasi
penelitian telah membentuk sebuah paguyuban ternak yang
sering mengadakan pertemuan atau diskusi dengan peternak
mengenai pemeliharaan sapi Madura yang efektif. Supaya
didapatkan suatu progam IB yang efisien, peran inseminator
dan peternak sangat dibutuhkan dalam menjalin komunikasi
yang baik. Peran peternak sangat menentukan masa kosong
padasatu siklus reproduksi, karena apabila pengetahuan yang
dimiliki oleh peternak kurang atau peternak tidak mengetahui
jika ternaknya estrus maka pelayanan IB akan terhambat
sehingga menyebabkan masa kosong menjadi lebih panjang.
Keterlambatan kawin tersebut akanmenyebabkan CI menjadi
lebih panjang. Susilawati dan Affandy (2004) menyatakan
bahwa apabila terdapat jarak beranak yang panjang sebagian
besar karena DO yang panjang. Hal ini disebabkan: (1) pedet
tidak disapih sehingga munculnya estrus pertama setelah
melahirkan menjadi lama; (2) peternak mengawinkan induk
setelah beranak dalam jangka waktu yang lama sehingga lama
kosongnya menjadi panjang; (3) tingginya kegagalan
inseminasi; (4) umur pertama kali dikawinkan lambat.
Berdasarkan data nilai DO pada Tabel 3 menunjukan
bahwa pada paritas 3 dan paritas 4 memiliki nilai DO yang
lebih baik dibandingan dengan paritas 2. Hal ini disebabkan
pada paritas 3 dan paritas 4 induk sapi sudah sepenuhnya
mengalami dewasa kelamin dan fungsi dari organ-organ
didalam sistem reproduksi sudah bekerja secara optimal.
Sesuai dengan pernyataan Purba (2008) bahwa umur memiliki
peranan yang cukup penting dalam progam IB, misalnya umur
pertama kali beranak akan mempengaruhi produktifitas ternak
tersebut, sebab sapi yang dikawinkan pada umur yang terlalu
muda dengan bobot badan masih belum sesuai, ternak sering
mengalami kesulitan dalam proses melahirkan. Hal ini
dikarenakan induk dan pedet tidak tercukupi kebutuhan
nutrisinya sehingga akan mengganggu jalannya proses
kelahiran. Sapi dara yang baru pertama kali melahirkan sering
mengalami gangguan dalam proses kelahiran.
Pakan menjadi salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kemampuan reproduksi dari sapi Madura.
Berdasarkan data nilai rataan DO pada Tabel 3, rataan yang
didapat adalah 110,04±10,92, hal ini menunjukan bahwa nilai
DO yang didapatkan dapat dikategorikan baik. Baiknya nilai
DO yang didapatkan disebabkan oleh faktor pakan yang sudah
memenuhi kebutuhan nutrisi dari sapi Madura, baik dari segi
kualitas maupun kuantitasnya. Hal tersebut didukung oleh
Jainudeen dan Hafez (2008); Susilawati (2011) yang
menyatakan bahwa sapi yang diberikan pakan dengan kualitas
dan kuantitas yang kurang, menyebabkan waktu birahi yang
dialami akan menjadi lebih pendek, sehingga dalam hal ini
peternak memegang peranan penting dalam keberhasilan
reproduksi sapi potong dalam manajemen pemeliharaan,
perkandangan, kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan,
pengendalian dan pencegahan penyakit serta sistem
perkawinan yang dilakukan.
4.2.3 Calving Interval (CI)
Calving Interval (CI) merupakan jarak antara kelahiran
satu dengan kelahiran berikutnya pada ternak betina. CI
merupakan salah satu tolak ukur kemampuan produktifitas
ternak sapi untuk menghasilkan pedet dalam waktu yang
singkat. CI yang ideal untuk sapi Madura adalah 12 bulan, yaitu
9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui. Efisiensi reproduksi
sapi Madura dapat dikatakan baik jika seekor induk sapi dapat
menghasilkan satu pedet dalam satu tahun (Ball and Peters,
2004).
Berdasarkan data nilai CI pada Tabel 4, didapatkan
rataan untuk nilai CI di lokasi penelitian yaitu 408,17±14,41
hari. Kutsiyah (2012) pada penelitian sebelumnya menyatakan
bahwa nilai CI untuk sapi Madura berkisar 13,79-14,40 bulan.
Ditambahkan oleh Wisono, Nuryadi dan Suyadi (2012) bahwa
jarak waktu beranak yang ideal pada sapi Madura yaitu 12
bulan, yang terdiri dari 9 bulan masa bunting dan 3 bulan masa
pedet menyusu kepada induk. Hal tersebut menunjukkan
bahwa rata-rata nilai CI di lokasi penelitian tergolong kurang
efisien karena memilikirataan nilai CI lebih dari 12 bulan. Nilai
S/C dan DO yang semakin besar juga akan berpengaruh
terhadap nilai CI yang juga semakin besar. Jarak beranak yang
ideal berkisar 12 bulan (Jainudeen dan Hafez, 2008). Efisiensi
reproduksi sapi potong dapat dikatakan efisien apabila seekor
induk sapi mampu menghasilkan satu pedet dalam waktu satu
tahun. Nilai CI yang panjang disebabkan karena DO yang
terlalu panjang yang dalam hal ini peternak memegang peranan
sangat penting. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
tingginya nilai CI, yaitu dipengaruhi oleh faktor pakan yang
diberikan belum mencukupi kebutuhan nutrisi dari induk sapi,
waktu penyapihan yang lama, tingginya angka kegagalan
perkawinan, umur pertama kawin yang terlambat serta
kurangnya pengetahuan peternak mengenai tanda-tanda sapi
birahi.
Faktor utama yang menentukan dalam keberhasilan
usaha peternakan yaitu faktor bibit, faktor pakan dan
manajemen pemeliharaan yang diterapkan. Pada penelitian ini,
faktor pakan adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap
performans produksi maupun reproduksi dari sapi Madura.
Pakan harus diberikan sesuai dengan kebutuhan nutrisi dan
status fisiologis dari ternak tersebut. Hal tersebut didukung
oleh Anggraeni, Ummyasih, Khrisna dan Affandy (2006) yang
menyatakan bahwa sapi yang sedang bunting cenderung
memiliki kondisi fisiologis dan kondisi badan yang lemah,
serta sangat rentan terhadap penyakit dan pengaruh lain dari
luar tubuh. Sebaiknya pemberian pakan perlu ditingkatkan baik
dari segi kualitas maupun kuantitasnya, terlebih saat
kebuntingan sudah mencapai umur 8 bulan. Hal ini bertujuan
untuk meningkatkan kondisi kesehatan induk sapi yang juga
akan berpengaruh terhadap kesehatan dan kemampuan
bertahan hidup pedet yang akan dilahirkan, serta akan
memberikan respon yang positif terhadap kemampuan
reproduksi dari induk sapi setelah melahirkan.
Secara umum di lokasi penelitian nilai CI sudah
tergolong kurang efisien. Panjangnya nilai CI disebabkan
karena beberapa faktor antara lain tidak muncul tanda estrus
setelah melahirkan, IB tidak pada saat estrus pertama, lamanya
waktu penyapihan pedet, kematian embrio dan kualitas pakan
yang diberikan. Hal tersebut sesuai dengan Iskandar dan
Farizal (2011) yang menyatakan bahwa faktor yang dapat
mempengaruhi lamanya CI adalah bagaimana kondisi
lingkungan dan manajemen pemberian pakan yang diterapkan.
Ditambahkan oleh Soeharsono (2010) kandungan nutrisi yang
terdapat pada pakan merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi kondisi induk disamping ketepatan waktu
penyapihan pedet, karena induk yang sedang bunting lebih
membutuhkan perbaikan kualitas dan kuantitas pakan. Pedet
yang terlalu lama di susukan pada induknya dengan pakan yang
kurang memenuhi kebutuhan nutrisi, dapat menyebabkan
estrus post partum (estrus pasca melahirkan) menjadi terlambat
dan CI menjadi panjang. Menurut Ridha, Hidayati dan Adelina
(2007) menyatakan lama bunting, umur penyapihan pedet,
serta jarak kawin kembali setelah beranak adalah faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya nilai CI. Lama
bunting dapat dipengaruhi oleh genetik, pakan dan musim.
Lambatnya penyapihan yang dilakukan mengakibatkan
tertundanya estrus yang berdampak pada panjangnya jarak
kawin kembali setelah beranak. Udin (1993) menjelaskan
bahwa aktifitas reproduksi sesudah beranak tertunda dengan
adanya pedet yang menyusu yaitu melalui penekanan
pembebasan gonadotrophin dari kelenjar pituitary. Hal ini
berdampak pada penundaan perkembangan folikel. Penundaan
perkembangan folikel mengakibatkan kadar estrogen tidak
mencukupi untuk timbulnya tanda-tanda berahi atau sapi
mengalami birahi tenang. Kondisi ini menyulitkan bagi
petemak untuk mendeteksi birahi sehingga birahi tertunda ke
siklus berikutnya. Penundaan IB ini berdampak pada
penundaan kebuntingan sehingga jarak beranak akan semakin
panjang.
4.3 Estimasi Nilai Ripitabilitas
Ripitabilitas merupakan suatu konstanta yang
menunjukan seberapa besar korelasi atau hubungan diantara
beberapa variabel pengukuran pada suatu sifat pada individu
yang sama, yang meliputi semua pengaruh genetik ditambah
pengaruh lingkungan yang bersifat permanen. Pada penelitian
ini, jumlah pengukuran setiap individu yaitu lebih dari 2
pengukuran, maka digunakan metode perhitungan analisis data
yaitu menggunakan metode sidik ragam sebagai korelasi dalam
kelas (Maylinda, 2010). Hasil perhitungan nilai ripitabilitas
sifat-sifat reproduksi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Ripitabilitas (r) dan Standard Error (SE).
4.3.1 Ripitabilitas Service Per Conception (S/C)
Berdasarkan hasil perhitungan, nilai komponen ragam
antar individu sapi untuk nilai S/C yaitu sebesar 0,26 dan
komponen ragam pengukuran dalam individu untuk S/C
sebesar 0,25, maka didapatkan hasil estimasi nilai ripitabilitas
S/C yaitu 0,5±0,075 (Lampiran 4). Berdasarkan hasil
perhitungan analisis sidik ragam, untuk nilai Kuadrat Tengah
(KT) didapatkan nilai sebesar 1,03 untuk KT individu dan 0,25
untuk KT pengukuran. Nilai ripitabilitas S/C yang didapat
menunjukan keragaman S/C sebesar 50%, yang disebabkan
oleh perbedaan antar individu yang bersifat permanen,
sedangkan 50% sisanya disebabkan oleh pengaruh individu
yang bersifat temporer. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Hardjosubroto (1994) yang menyatakan bahwa konsep
ripitabilitas yaitu ragam lingkungan dibedakan menjadi ragam
lingkungan permanen dan ragam lingkungan temporer.
Ripitabilitas merupakan bagian dari ragam fenotip yang
disebabkan oleh perbedaan antar individu yang bersifat
permanen. Oleh karena itu, ripitabilitas meliputi pengaruh dari
faktor genetik ditambah dengan faktor pengaruh lingkungan
yang permanen.
Nilai ripitabilitas berkisar antara 0-1, semakin besar nilai
ripitabilitas mendakati 1,0 dikarenakan keragaman sifat
tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik ternak serta ragam
lingkungan permanen. Berdasarkan Tabel 3 didapatkan nilai
ripitabilitas sebesar 0,5 yang artinya nilai ripitabilitas tergolong
tinggi. Hal ini sesuai dengan penjelasan Said, Agung, Putra,
Anwar, Wulandari dan Sudiro (2016) bahwa nilai ripitabilitas
dibedakan menjadi 0-0,2 dalam kategori rendah, 0,2-0,4
kategori sedang dan >0,4 termasuk dalam kategori tinggi.
Standart Error (SE) yang didapatkan dalam perhitungan yaitu
±0,075 (Lampiran 4). Nilai tersebut digunakan untuk
mengukur sejauh mana rata-rata nilai sampel dapat digunakan
sebagai penduga rataan populasi. Hasil perhitungan nilai SE
lebih kecil daripada nilai ripitabilitas S/C, maka nilai
ripitabilitas S/C hasil penelitian dapat digunakan sebagai
pedoman pertimbangan pengambilan keputusan dalam
pelaksaan seleksi.
Pada penelitian ini faktor yang mempengaruhi nilai S/C
adalah umur induk dan kondisi fisiologis ternak, peran peternak
dalam deteksi birahi, keterampilan inseminator serta kualitas
dan kuantitas pakan yang diberikan. Semakin rendah nilai S/C,
maka tingkat kesuburan dari induk tersebut semakin baik pula,
Semakin tinggi nilai S/C, maka semakin rendah tingkat
kesuburan dari induk tersebut. Ragam lingkungan permanen
yang berpengaruh pada penelitian ini adalah keterampilan
inseminator. Faktor dari lingkungan permanen akan memiliki
pengaruh yang lebih panjang terhadap kemampuan
berproduksi dari induk sapi tersebut. Sedangkan faktor
lingkungan temporer yang berpengaruh adalah dari manajemen
pemberian pakan yang diterapkan oleh peternak. Pakan
memegang peranan penting dalam siklus reproduksi dari suatu
induk sapi, semakin baik pakan yang diberikan maka akan
semakin baik pula performans reproduksi dari induk sapi
tersebut. Sesuai dengan penjelasan Hartatik, Mahardika, Widi
dan Baliarti (2009) menyatakan bahwa kualitas dan kuantitas
pakan yang kurang baik dapat mengganggu proses reproduksi
ternak. Ditambahkan oleh Nuryadi dan Wahjuningsih (2011)
yang menyatakan bahwa kandungan nutrisi pakan sebelum dan
sesudah beranak akan mempengaruhi siklus estrus pada
periode berikutnya. Kondisi induk sapi yang kurang akan gizi
dari pakan atau memiliki cadangan energi tubuh rendah,
menyebabkan estrus post partum lebih lama.
4.3.2 Ripitabilitas Days Open (DO)
Hasil perhitungan nilai ripitabilitas yaitu sebesar 0,44.
Nilai ripitabilitas tersebut menunjukan bahwa faktor genetik
dan lingkungan permanen berperan sebesar 44%, sedangkan
56% dipengaruhi oleh lingkungan temporer. Pada penelitian ini
lingkungan permanen yang dimaksud adalah keterampilan
inseminator dalam melakukan inseminasi. Sedangkan
pengaruh lingkungan temporer pada penelitian ini yaitu kapan
peternak menentukan deteksi birahi dan masa sapih pada induk
sapi tersebut. Sulastri, Sumadi, Hartatik dan Ngadiyono (2012)
menyatakan bahwa tingginya nilai keragaman pada lingkungan
temporer akan dapat menutupi nilai keragaman genetik dan
pengaruh lingkungan permanen.
Berdasarkan Tabel 3, nilai ripitabilitas yang didapatkan
yaitu sebesar 0,44±0,079. Nilai ripitabilitas DO tersebut
termasuk kedalam kategori tinggi. Sesuai dengan penjelasan
Said, Agung, Putra, Anwar, Wulandari dan Sudiro (2016)
bahwa nilai ripitabilitas berkisar antara 0-1 dan digolongkan ke
dalam 3 kategori antara lain kategori rendah (0-0,2), kategori
sedang (0,2-0,4) dan kategori tinggi (>0,4). Nilai standard error
(SE) yang didapatkan dalam perhitungan yaitu sebesar 0,079.
Besar kecilnya SE yang diperoleh disebabkan oleh banyaknya
sampel,semakin banyak sampel maka SE semakin kecil.
Semakin kecil nilai SE maka penduga sampel lebih akurat.
Ripitabilitas menurut Hardjosubroto (1994) adalah
bagian dari ragam fenotip yang disebabkan oleh perbedaan
antar individu yang bersifat permanen. Oleh karena itu
ripitabilitas meliputi semua pengaruh genetik ditambah
pengaruh dari lingkungan permanen. Pengaruh lingkungan
dibedakan menjadi pengaruh lingkungan permanen dan
pengaruh lingkungan temporer. Pengaruh lingkungan
permanen pada penelitian ini adalah keterampilan inseminator,
sebab kegagalan perkawinan atau inseminasi akan
menyebabkan panjangnya nilai DO dan CI. Sedangkan
pengaruh lingkungan temporer yang berpengaruh adalah peran
peternak dalam menuntukan waktu sapih pedet dan manajemen
pemberian pakan. Semakin baik kualitas pakan yang diberikani
akan berpengaruh baik pula bagi performa reproduksi dari nduk
sapi tersebut. Pakan yang diberikan harus memperhatikan
kondisi fisiologis dari induk sapi tersebut. Pada periode pra
sapih, induk lebih membutuhkan pakan dengan kualitas dan
kuantitas yang tinggi agar kebutuhan nutrisi induk dan pedet
akan dapat tercukupi. Dengan tercukupinya kebutuhan nutrisi,
induk akan dapat mempersiapkan masa produksi berikutnya
dengan baik dan akan terhindar dari gangguan pada sistem
reproduksi. Sedangkan pengaruh lingkungan temporer yang
berpengaruh adalah kapan peternak melakukan penyapihan
pedet pada induk. Menurut Ihsan (2010) penyapihan pedet
yang terlalu lama akan berdampak pada panjang interval DO
dan juga akan berpengaruh pada panjangnya hari pada jarak
beranak kembali.
4.3.3 Ripitabilitas Calving Interval (CI)
Estimasi nilai ripitabilitas CI sapi Madura sebesar
0,39±0,081 dimana nilai ripitabilitas sebesar 0,39 dengan SE
sebesar 0,081. Nilai ripitabilitas tersebut berarti dipengaruhi
oleh faktor genetik dan lingkungan permanen sebesar 39% dan
61% sisanya dipengaruhi oleh pengaruh lingkungan temporer.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai ripitabilias CI (Lampiran
4), didapatkan nilai ripitabilitas sebesar 0,39 yang termasuk
dalam kategori sedang yaitu antara 0,2-0,4. Said, Agung, Putra,
Anwar, Wulandari dan Sudiro (2016) menjelaskan bahwa nilai
ripitabilitas berkisar antara 0-1 dan digolongkan ke dalam 3
kategori antara lain kategori rendah (0-0,2), kategori sedang
(0,2-0,4) dan kategori tinggi (>0,4). Nilai ripitabilitas
mendakati 1 menunjukan bahwa terdapat suatu variabel
pengukuran yang memiliki peluang besar untuk selalu diulang
pada periode berikutnya, sedangkan mendekati 0, menunjukan
bahwa suatu variabel pengukuran tersebut semakin sulit untuk
diulang pada periode berikutnya. Nilai SE yang didapatkan
dalam perhitungan ripitabilitas CI yaitu kurang lebih 0,081.
Nilai tersebut dapat mengukur sejauh mana rataan sampel
pengukuran dapat dipercaya untuk digunakan sebagai penduga
rataan populasi. Nilai SE yang didapatkan nilainya lebih kecil
dibandingkan nilai ripitabilitas, maka nilai ripitabilitas CI hasil
penelitian dapat digunakan sebagai pedoman dalam
pengambilan pelaksaan progam seleksi. Besar kecilnya SE
yang diperoleh disebabkan oleh jumlahdata yang ada,semakin
banyak data maka SE akan semakin kecil. Semakin kecil nilai
SE maka penduga sampel menjadi lebih akurat.
Nilai ripitabilitas ternak di satu tempat dengan lokasi lain
akan berbeda, dikarenakan pengaruh genetik maupun pengaruh
lingkungan yang berbeda juga. Perbedaan nilai ripitabilitas
tersebut dijelaskan oleh Warwick, Astuti dan Hardjosubroto
(1984) bahwa faktor genetik adalah potensi dan kemampuan
yang dimiliki oleh ternak, sedangkan faktor lingkungan
merupakan kesempatan yang didapatkan oleh ternak di lokasi
yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi perfoma dari
ternak tersebut. Salah satu pengaruh lingkungan permanen
yang berpengaruh adalah keterampilan inseminator, sebab
kegagalan perkawinan atau inseminasi akan menyebabkan
panjangnya nilai CI, dimana hal ini diakibatkan oleh
panjangnya interval hari pada masa kosong. Sedangkan
pengaruh lingkungan temporer pada lokasi penelitian adalah
selain faktor pakan, peran peternak dalam menentukan deteksi
birahi yang tepat agar perkawinan pada induk sapi tersebut
tidak terlambat, sehingga dapat dicapai efisiensi reproduksi
pada induk sapi tersebut.
Nilai ripitabilitas CI didapatkan berdasarkan keragaman
data jarak beranak satu dengan jarak beranak berikutnya pada
buku recording peternak. Tinggi rendahnya nilai CI dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perkawinan pertama
setelah partus, nilai S/C, lamanya kebuntingan serta lamanya
masa kosong. Semakin panjang masa kosong, maka interval
hari CI juga akan semakin panjang. Menurut Wisono, Nuryadi
dan Suyadi (2012) nilai CI yang ideal adalah 12 bulan, terdiri
dari 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui. Efisiensi
reproduksi dikatakan baik apabila seekor induk sapi dapat
menghasilkan satu pedet dalam satu tahun.
4.3 Estimated Real Producing Ability (ERPA) S/C
Hardjosubroto (1994) menyatakan ERPA adalah suatu
metode pendugaan kemampuan berproduksi suatu induk sapi,
yang diduga atas data performans yang telah ada. Metode ini
merupakan hasil modifikasi dari metode MPPA. Hasil
perhitungan nilai ERPA S/C dengan nilai tertinggi dan nilai
terendah dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai ERPA S/C sapi Madura.
Jumlah sapi (ekor) Nilai ERPA
Ranking tertinggi 24 -0,38
Ranking terendah 2 1,37
Nilai rataan populasi pada penelitian ini yaitu sebesar
1,51. Hasil perhitungan yang diperoleh dari perhitungan nilai
ERPA yaitu bernilai positif dan bernilai negatif. Nilai ERPA
yang bernilai positif artinya rataan kemampuan berproduksi
dari induk sapi tersebut dibawah nilai rataan populasi dan baik
untuk dikembangbiakan lebih lanjut. Nilai ERPA negatif
berarti rataan kemampuan berproduksi dari induk sapi tersebut
berada diatas nilai rataan populasi, dan kurang baik untuk
dikembangbiakkan lebih lanjut serta sebaiknya dilakukan
penyisihan (culling).
Induk sapi yang memiliki nilai ERPA dibawah rataan
populasinya berjumlah 32 ekor atau sekitar 53,33%, sedangkan
induk sapi yang memiliki nilai ERPA diatas rata-rata
populasinya berjumlah 28 ekor atau sekitar 46,67% dari
populasinya (Lampiran 8). Perbedaan nilai ERPA S/C tersebut
disebabkan oleh faktor genetik dari induk sapi tersebut serta
dari pengaruh lingkungan permanen. Oleh karena itu,
selanjutnya dapat dilakukan seleksi yaitu dengan tujuan
memilih ternak mana yang memiliki performa yang baik agar
dapat dijadikan tetua pada generasi berikutnya (Maylinda,
1999). Salah satu kriteria yang digunakan dalam pelaksaan
seleksi adalah dengan memilih ternak yang unggul berdasarkan
performa yang dihitung dengan metode ERPA. Lesley (1978)
dalam Prahanisa, Sumadi dan Adiarto (2011) menjelaskan
bahwa perhitungan nilai ERPA pada suatu ternak didasarkan
pada nilai ripitabilitas yang didapatkan, nilai ripitabilitas yang
tinggi dengan menggunakan catatan yang lebih banyak akan
meningkatkan ketepatan dalam pelaksanaan seleksi.
Berdasarkan Tabel 8, dijelaskan bahwa untuk ranking
tertinggi menunjukan nilai minus dan ranking terendah bernilai
positif. Nilai minus menjadi nilai dengan ranking dibawah nilai
rataan populasi, hal ini dikarenakan semakin rendah nilai S/C
yang didapatkan, maka akan semakin baik performa reproduksi
dari induk sapi tersebut, sedangkan semakin tinggi nilai S/C
yang didapatkan maka akan semakin buruk performa
reproduksinya dari induk sapi tersebut. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Affandy, Situmorang, Prihandini, Wijono dan
Rasyid (2003) bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6-
2,0. Semakin rendah nilai S/C, maka semakin tinggi tingkat
kesuburan dari ternak tersebut, sebaliknya jika nilai S/C
semakin tinggi, maka akan semakin rendah tingkat fertilitas
dari ternak tersebut.
4.4 Estimated Real Producing Ability (ERPA) DO
Hasil perhitungan nilai ERPA DO induk sapi Madura
dengan nilai tertinggi dan nilai terendah dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Nilai ERPA DO sapi Madura.
Jumlah sapi (ekor) Nilai ERPA
Ranking tertinggi 2 -12,72
Ranking terendah 1 20,95
Hasil perhitungan terhadap 60 ekor induk sapi Madura
yang diamati, terdapat 34 ekor atau sekitar 56,67% yang
memiliki nilai ERPA DO dibawah nilai rataan populasi dan 26
ekor atau sekitar 43,33% yang memiliki nilai ERPA diatas rata-
rata populasi. Terdapat 2 ekor induk sapi Madura yang
memiliki nilai ERPA DO tertinggi yaitu -12,72, berarti induk
sapi Madura tersebut layak untuk dikembangbiakan lebih lanjut
dan tidak dianjurkan untuk disisihkan. Hal tersebut sesuai
dengan penjelasan Maylinda (1999) bahwa terdapat kriteria
yang digunakan sebagai pedoman dalam pelaksaan seleksi
yaitu dengan memilih ternak yang unggul berdasarkan
kemampuan produksi yang dihitung dengan metode ERPA.
Induk sapi Madura yang memiliki nilai ERPA diatas rata-rata
diharapkan mempunyai kemampuan menghasilkan pedet yang
memiliki genetik yang unggul sehingga layak untuk
dikembangbiakan lebih lanjut dan dijadikan sebagai tetua.
Berdasarkan Tabel 5 dijelaskan bahwa untuk ranking
tertinggi menunjukan nilai minus dan ranking terendah bernilai
positif. Nilai minus menjadi nilai dengan ranking dibawah nilai
rataan populasi, hal ini dikarenakan semakin rendah nilai DO
yang didapatkan, maka akan semakin baik performa reproduksi
dari induk sapi tersebut. Induk sapi yang memiliki nilai ERPA
DO diatas rataan populasinya menunjukan bahwa panjang
masa kosong yang dialami induk tersebut sudah ideal. Pada
penelitian ini, panjang nilai DO sapi Madura yang memiliki
nilai ERPA diatas rataan populasi yaitu sebesar 97,33-109,67
hari (Lampiran 7). Sesuai dengan penjelasan Ihsan (2010)
bahwa jarak atau masa kosong yang ideal adalah 85-115 hari.
Panjang interval masa kosong akan dapat mempengaruhi jarak
beranak kembali pada induk sapi, semakin rendah nilai DO
maka interval jarak beranak kembali akan lebih pendek
sehingga dapat diharapkan dapat tercapai efisiensi reproduksi.
Menurut Susilawati dan Affandy (2004) menyatakan bahwa
apabila terdapat jarak beranak yang panjang sebagian besar
karena interval hari pada jarak atau masa kosong yang panjang.
4.5 Estimated Real Producing Ability (ERPA) CI
Hasil perhitungan nilai ERPA CI induk sapi Madura
dengan nilai tertinggi dan nilai terendah dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6. Nilai ERPA CI sapi Madura.
Jumlah sapi (ekor) Nilai ERPA
Ranking tertinggi 1 -13,98
Ranking terendah 1 21,99
Berdasarkan hasil perhitungan analisis data (Lampiran
6) induk sapi Madura yang memiliki nilai ERPA CI dibawah
rataan populasi yaitu berjumlah 31 ekor atau sekitar 51,67%
dengan nilai rataan individu berkisar antara 386,67-407,67 hari,
sedangkan induk sapi Madura yang memiliki nilai ERPA CI
diatas rata-rata populasi sebanyak 29 ekor atau 48,33% dari
populasi dengan rataan individu nilai CI antara 408,33-442
hari. Induk sapi Madura yang memiliki nilai ERPA CI tertinggi
yaitu -13,98, sedangkan induk sapi Madura yang memiliki nilai
ERPA CI terendah yaitu 21,99. Perbedaan nilai tersebut
disebabkan oleh kualitas genetik dari masing-masing ternak
serta pengaruh dari lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan
penjelasan Wijono dan Setiadi (2004) bahwa tampilan
performa ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan, termasuk lingkungan pakan dan kesehatan.
Pengaruh lingkungan terhadap produktifitas ternak mencapai
70% dibandingkan dengan pengaruh faktor genetik sebesar
30% dan pengaruh perlakuan pakan sendiri dapat mencapai
60% dari pengaruh lingkungan. Ditambahkan oleh Hartatik,
Mahardika, Widi dan Baliarti (2009) menyatakan bahwa Sapi
Madura memiliki respon yang baik terhadap perbaikan kualitas
pakan. Pemberian pakan yang kurang baik dapat mengganggu
proses reproduksi ternak. Pakan yang diberikan harus dapat
mencukupi kebutuhan nutrisi dari ternak agar dapat tercapai
performa produksi maupun reproduksi yang baik bagi ternak
tersebut.
Nilai ERPA CI yang positif menandakan bahwa nilai
ERPA tersebut berada diatas rataan populasi. Sedangkan nilai
ERPA minus menunjukan jika nilai ERPA tersebut berada
dibawah rata-rata populasi. Hal ini dikarenakan semakin
rendah nilai CI yang didapatkan, maka semakin baik
produktifitas dari ternak tersebut. Faktor-faktor yang
menyebabkan panjangnya nilai CI antara lain perkawinan
pertama setelah melahirkan, nilai S/C, lamanya kebuntingan
dan lama masa kosong. Sesuai dengan pendapat Nuryadi dan
Wahjuningsih (2011) yang menjelaskan bahwa CI ditentukan
oleh lama bunting dan interval masa kosong, sehingga semakin
panjang DO menyebabkan angka CI semakin tinggi. Sapi
paritas pertama memiliki CI yang lebih panjang dibandingkan
dengan sapi pada paritas berikutnya, hal ini dikarenakan DO
pada sapi paritas pertama yang panjang. Panjangnya DO pada
sapi paritas pertama dikarenakan tanda-tanda estrus sapi pada
paritas pertama biasanya kurang terlihat jelas.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, estimasi nilai
ripitabilitas sifat-sifat reproduksi dapat dijadikan sebagai dasar
atau pedoman untuk menghitung nilai ERPA. ERPA adalah
metode pelaksanaan seleksi yang dapat dilakukan berdasarkan
hasil pencatatan kemampuan produksi dan reproduksi ternak.
Induk sapi Madura yang memiliki nilai ERPA diatas rataan
populasi layak untuk dikembangbiakan lebih lanjut, sedangkan
induk sapi Madura yang memiliki nilai ERPA dibawah rataan
populasi, sebaiknya disarankan untuk disisihkan. Menurut
Maylinda (1999) seleksi adalah suatu progam untuk memilih
ternak yang memiliki kualitas genetik yang unggul agar dapat
dijadikan tetua di generasi berikutnya. Kriteria yang digunakan
dalam pelaksanaan seleksi adalah memilih ternak yang
memiliki performans yang baik berdasarkan kemampuan
produksi maupun reproduksi yang dihitung dengan nilai
ERPA.
Top Related