BAB IV
DALIL HUKUM YANG DIPERSELISIHKAN
(AL-ADILLAT AL-MUKHTALAF FIHA)
Dalil-dalil hukum syara’ yang menjadi materi pokok
pembahasan ushul fiqh itu terdiri dari dalil yang sudah
disepakati para ulama (al-muttafaq ‘alaiha) dan dalil yang
masih diperselisihkan oleh para ulama (al-mukhtalaf fiha).
Dalil yang disepakati terdiri dari ; al-quran, al-sunnah, al-
ijma’, dan al-qiyas yang sudah dipaparkan pada bab III di
muka. Sedangkan dalil yang masih diperselisihkan terdiri dari ;
al-istihsan, al-mashlahat al-mursalah, al-istish-hab, al-‘urf, dan
al-dzari’ah. Lima macam dalil yang diperselisihkan inilah yang
akan dibahas pada bab IV ini.
A. DALIL V : AL-ISTIHSAN
Pada bagian ini akan dipaparkan ta’rif istihsan, macam-
macamnya, sikap ulama terhadap dalil istihsan, relevansi
metode istihsan di masa kini dan mendatang, dan khotimah.
1. Ta’rif Istihsan
Ada banyak ta’rif istihsan yang dikemukakan oleh para
ulama ushul fiqh, diantaranya ta’rif yang dikemukakan oleh
Abd.Wahhab Khallaf :
الى قياسجلي مقتضى عن المجتهد عدول هو
حكم الى كلي حكم عن او قياسخفي مقتضى
51
هذا يه لد رجح عقله فى انقدح لدليل ئي استثنا
78العدول
Artinya : seorang mujtahid berpindah/beralih dari tuntutan qiyas jali ke qiyas khofi, atau dari hukum kulli ke hukum pengecualiannya karena ada dalil yang lebih kuat untuk berpindah/beralih
Dalam praktek ijtihad istihsan, seorang mujtahid
menghadapi satu persoalan hukum yang belum diatur oleh
nash al-quran atau sunnah, sedangkan untuk menentukan
hukum terhadap persoalan itu ditemukan dua cara yang
berbeda, kemudian mujtahid memilih salah satu cara dalam
bentuk ;
a. Dua pilihan antara ‘illat jali dan ‘illat khofi, kemudian
memilih ‘illat yang khofi
b. Dua pilihan antara hukum kulli dan hukum juz’i, kemudian
memilih hukum yang juz’i.
Pemilihan itu didasarkan pada dalil atau argumen yang
dianggap lebih kuat. Itulah gambaran sederhana tentang
praktek metode istihsan.
Maka kata kunci untuk memahami istihsan ialah ; pertama
“al-‘udul” artinya berpindah atau beralih. Kedua,
perpindahan/peralihan itu dari ‘illat jali ke ‘illat khofi, atau
dari hukum umum ke hukum khusus. Dan ketiga, perpindahan
itu didukung oleh alasan yang kuat.
78 Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah, 1956), hlm. 79
52
KH.Ma’ruf Amin menjelaskana bahwa hakekat istihsan
terdiri dari dua hal;79 pertama, mentarjih qiyas khofi daripada
qiyas jali, karena ada dalil yang mendukungnya. Dan kedua,
memberlakukan hukum juz’i (khusus) dari hukum kulli atau
kaidah umum didasarkan pada dalil khusus yang
mendukungnya.
2. Macam Macam Istihsan
Pembagian istihsan ini dapat terjadi dengan melihat pada
dalil pendukungnya, dalil pendukung itu oleh sebagian ulama
dinamakan “sanad al-istihsan”. Oleh kerena itu para ulama
Hanafiyyah membagi istihsan menjadi 6 (enam) macam, yaitu
istihsan bi al-nash, istihsan bi al-ijma’, istihsan bi al-qiyas
khofi, istihsan bi al-mashlahah, istihsan bi al-‘urf, dan istihsan
bi al-dlarurah.
a. Istihsan bi al-nash, ialah istihsan berdasarkan ayat al-quran
atau hadis Nabi. Maksudnya ada ayat al-quran atau hadis
Nabi tentang hukum suatu masalah yang berbeda dengan
ketentuan kaidah umum. Contoh istihsan berdasarkan nsh
al-quran ialah berlakunya ketentuan wasiat setelah
seseorang wafat, padahal menurut ketentuan umum, ketika
orang telah wafat, ia tidak berhak lagi terhadap hartanya,
kaena telah beralih kepada ahli warisnya. Nyatanya
ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh ayat al-quran,
QS an-nisa : 12
79 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 173
53
Artinya : sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya
atau sesudah dibayar utangnya80
b. Istihsan bi al-ijma’, ialah istihsan yang didasarkan pada
ijma’, maksudnya pengalihan hukum dari ketentuan umum
kepada ketentuan lain karena ada ijma’. Contohnya boleh
melakukan transaksi istishna’ (seseorang bertransaksi
dengan pengrajin untuk dibuatkan barang dengan harga
tertentu, padahal menurut ketentuan umum jual beli,
dilarang melakukan transaksi terhadap barang yang belum
ada. Rasulullah saw bersabda :
................ “la tabi’ ma laysa ‘indaka”
Artinya, jangan jual belikan sesuatu yang belum ada
padamu.
c. Berdasarkan hadis di atas, seharusnya transaksi tersebut
batal, karena ketika transaksi berlangsung, objek transaksi
belum ada. Akan tetapi ulama menetapkan kebolehan
istishna’ dengan ijma’ sebagai pengecualian dari ketentuan
umum.81
d. Itihsan bi al-qiyas al-khofi, ialah istihsan yang didasarkan
pada qiyas yang ‘illatnya tersembunyi. Contohnya seperti
80 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 200
81 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 201
54
mewakafkan lahan pertanian yang memerlukan pengairan
atau jalan lewat. Berdasarkan qiyas jali wakaf itu
disamakan dengan jual beli, tetapi berdasarkan qiyas khofi
wakaf tersebut disamakan dengan sewa menyewa.82
e. Istihsan bi al-mashlahat, ialah istihsan berdasarkan
kemaslahatan, maksudnya mengecualikan ketentuan hukum
yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan
memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip
kemaslahatan. Dalam hal ini ulama Malikiyyah
mecontohkan kebolehan seorang dokter melihat aurat
wanita yang dalam berobat. Menurut ketentuan atau kaidah
umum, seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi
dalam keadaan tertentu seorang dokter harus membuka
bajunya untuk mendiagnosa penyakitnya. Maka untuk
kemaslahatan diri orang itu, menurut kaidah istihsan
seorang dokter boleh melihat aurat wanita yang berobat
kepadanya.83 (Ma’ruf A, h 176)
f. Istihsan bi al-‘urf, ialah istihsan berdasarkan adat kebiasaan
yang berlaku umum, maksudnya pengecualian hukum dari
prinsip syari’ah yang umum berdasarkan kebiasaan yang
berlaku. Contohnya menurut ketentuan umum, menetapkan
ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu secara
pukul rata tanpa membedakan jauh dan dekatnya jarak
82 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 175
83 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 176
55
tempuh itu tidak boleh. Sebab transaksi upah harus
berdasarkan kejelasan pada objek upah yang dibayar. Akan
tetapi transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan
yang berlaku, demi menjaga jangan timbul kesulitan dan
terpeliharanya kebutuhan masyarakat terhadap transaksi
tersebut.84
g. Istihsan bi al-dlarurah, ialah istihsan berdasarkan keadaan
dlarurat, maksudnya keadaan darurat yang menyebabkan
seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau
qiyas. Contohnya menghukumi sucinya air sumur atau
kolam air yang kejatuhan najis dengan cara menguras
airnya. Menurut ketentuan umum tidak mungkin
mensucikan air sumur atau air kolam hanya dengan
mengurasnya. Sebab ketika air sedang dikuras, mata air
akan terus mengeluarkan air yang kemudian akan
bercampur dengan air yang bernajis. Akan tetapi demi
kebutuhan menghadapi keadaan darurat, berdasarkan
istihsan, air sumur atau air kolam dipandang suci setelah
dikuras.85
3. SikapUlama Tertahap Dalil Istihsan
Garis besarnya sikap ulama terhadap istihsan sebagai dalil
hukum syara’ terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
yang memakai dan kelompok yang menolak.
84 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 202
85 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 202
56
a. Ulama Hanafiyyah, ulama Malikiyyah, dan sebagian ulama
Hanabilah, berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil
yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Mereka
menggunakan istihsan dengan argumen berupa : pertama
ayat-ayat al-quran antara lain, QS al-Baqarah : 185, QS al-
Zumar : 55. Kedua, hadis riwayat Ahmad bin Hanbal “ma
ro ahu al-muslimuna hasanan, fahuwa ‘indallahi hasanun”.
Ketiga, hasil penelitian berbagai ayat dan hadis terhadap
berbagai permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa
memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan
qiyas ada kalanya membawa kesulitan bagi umat manusia,
sedangkan syariat Islam ditujukan untuk menghasilkan dan
mencapai kemaslahatan manusia. Oleh karena itu apabila
seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang
bahwa kaidah umum atau qiyas tidak dapat diberlakukan,
maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan
menghasilkan hukum yang lebih sesuai dengan
kemaslahatan umat manusia.86
b. Imam al-Syafi’i beserta ulama Syafi’iyyahnya, ulama
Zhahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah tidak menerima
istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum
syara’. Alasan mereka sebagaimana yang dikemukakan
Imam al-Syafi’i ialah : pertama, bahwa hukum syara’ harus
berdasarkan nash (quran atau sunnah) dan pemahaman
terhadap nash hanya melalui qiyas. Istihsan itu bukan nash
86 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 177
57
dan bukan qiyas. Kedua, sejumlah ayat menuntut umat
Islam taat dan patuh kepada Allah dan Rasulnya, melarang
secara tegas mengikuti hawa nafsu, sedangkan istihsan itu
mengikuti akal fikiran dan hawa nafsu. Ketiga,
meninggalkan nash dan qiyas dengan pertimbangan akal
fikiran, akan mengakibatkan orang yang tidak mampu
memahami nash dan qiyas bisa melakukan istihsan, karena
mereka juga memiliki akal. Keempat, Rasulullah tidak
pernah menetapkan hukum berdasarkan istihsan. Kelima,
istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolok ukur yang jelas
dan dapat dipertanggung-jawabkan, oleh sebab itu pula
tidak bisa dipertanggungjawabkan secara syar’i. Dan masih
ada lagi alasan lain yang bisa ditemukan dalam buku/kitab
ushul fiqh.87
c. Muhammad Abu Zahrah menyampaikan komentar, menilai
alasan penolakan Imam al-Syafi’i atas kehujjahan istihsan
di atas, tidak bersifat menyeluruh kepada seluruh bentuk
istihsan yang dikemukakan ulama Hanafiyyah dan
Malikiyyah. Alasan-alasan itu menurutnya hanya berlaku
bagi istihsan yang didasarkan atas ‘urf dan mashlahat
mursalah. Hal ini memang sejalan dengan prinsip Imam al-
Syafi’i yang menolak ‘urf dan mashlahat mursalah.
Sedangkan untuk istihsan yang didasarkan pada nash, ijma’
dan keadaan dlarurat, alasan yang dikemukakan Imam al-
Syafi’i di atas, tidak tepat dan tidak berlaku.
87 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 179-181
58
Muhammad Abu Zahrah juga memberikan komentar,
bahwa al-Ghozali dalam kitabnya “al-mankhul fi ta’liqat al-
ushul” ketika membahas istihsan menyatakan bahwa
perpalingan dari kehendak qiyas kepada dalil lain tersebut,
disepakati oleh seluruh ulama ushul, namun perpalingan itu
tidak dinamakan istihsan. Ini artinya, secara konsep
istihsan itu diterima oleh al-Ghazali, tapi penamaan konsep
itu dengan istihsan tidak diterimanya.
Komentar lain disampaikan A. Wahhab Khallaf, ia
mengatakan bahwa apabila diteliti perbedaan dalam
menerima atau menolak istihsan sebagai dalil syara’, maka
akan ditemui perbedaan tersebut hanyalah merupakan
perbedaan istilah, secara subtsansi tidak ada perbedaan.
Oleh sebab itu Ibnu Quddamah mengatakan, tidak ada
alasan untuk menolak istihsan apabila dilakukan
berdasarkan dalil yang didukung oleh syara’.88
4. Khotimah
a. Perkembangan kehidupan dan peradaban yang didorong
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan terus
memunculkan masalah aktual yang mungkin rumit dan
komplek. Maka diperlukan metode ijtihad yang mampu
mengatasi masalah tersebut, tidak cukup hanya dengan
metode yang biasa dan konvensional. Diantara metode
yang lentur dan terbuka adalah metode istihsan. Maka
metode ini perlu/harus menjadi alternatif metode ketika 88 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta:
Elsas, 2008), hlm. 181-18259
metode lain, terutama nash al-quran, al-sunnah, ijma’ dan
qiyas tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas,
memuaskan dan dirasa kurang membawa mashlahat.
b. Sesungguhnya metode istihsan bukanlah metode
penetapan hukum yang berdiri sendiri, sama halnya
dengan dalil ijma’ dan qiyas, melainkan bergantung pada
sandaran dalil lain. Dalil-dalil yang dapat menjadi
sandaran adalah nash quran/hadis, ijma’, qiyas khofi,
keadaan dlarurat, ‘urf, dan kemaslahatan. Maka istihsan
itu berarti merupakan metode ijtihad yang diperkuat
dengan dalil.
c. Kekuatan hukum hasil ijtihad istihsan terletak pada
kekuatan dalil yang menjadi sandarannya. Semakin kuat
dalil sandarannya, akan semakin kuat hukum yang
dihasilkannya. Semakin lemah dalil sandarannya, maka
akan semakin lemah hukum yang dihasilkannya. Karena
dalil istihsan itu tingkat kontroversinya tinggi, maka
hukum yang dihasilkannya memiliki sifat zhonni yang
tinggi. Tingginya kontroversi disebabkan cukup tingginya
intensitas penggunaan akal fikiran atau al-ra’yu.
B. DALIL VI : AL-MASHLAHAT AL-MURSALAH
1. Konsep Mashlahah
Sebelum membicarakan mashlahat mursalah sebagai dalil
hukum syara’, lebih dulu perlu memahami konsep mashlahat
secara umum. Menurut al-Ghazali mashlahat itu sesuatu yang
mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudlarat (jalbu al-
60
naf’i wa daf’u al-dlarari) dalam rangka memelihara tujuan
syara’.89 Makna mashlahat tersebut memberi pengertian
bahwa dalam konsep mashlahat mengandung dua sisi, yaitu
sisi mendapatkan yang manfaat dan sisi menghindari yang
mafsadat. Dan ukuran manfaat atau mafsadatnya harus dengan
ukuran syara’, bukan semata-mata ukuran akal fikiran.
Maka Yusuf Hamid dalam kitab “al-maqashid”
menjelaskan, ada tiga kekhususan dalam mashlahat syar’i
dibanding maslahat dalam pengertian umum, yaitu : pertama,
yang menjadi sandaran mashlahat itu selalu dalil syara’, bukan
semata akal manusia. Kedua, mashlahat syar’i itu bukan hanya
menyangkut kepentingan duniawi, tetapi juga kepentingan
ukhrowi. Ketiga, apa yang dimaksudkan mashlahat bukan
hanya kebutuhan fisik jasmani saja, tapi menyangkut juga
kebutuhan ruhani.90
2. Macam-Macam Mashlahat
Pembagian mashlahat oleh ulama ushul fiqh bisa dilihat
dari beberapa segi.
Dilihat dari segi tingkat kekuatan atau kualitas
kepentingan, mashlahat terbagi menjadi tiga macam, yaitu
mashlahat dlaruruyyah, mashlahat hajiyyah, dan mashlahat
tahsiniyyah.91
89 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 152
90 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 326
91 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 153
61
a. Mashlahat dlaruriyyah ialah kemaslahatan yang
berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di
dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini mencakup lima
kebutuhan dasar yaitu : memelhara agama, memelihara
jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan
memelihara harta. Kelima kebutuhan dasar tersebut biasa
disebut “al-mashalih al-khomsah” atau “al-dlaruriyyat al-
khomsah”. Tidak terlindunginya hal-hal tersebut akan
memberikan dampak negatif bahkan ancaman yang serius
terhadap eksistensi manusia.
b. Mashlahat hajiyyah, ialah kemaslahatan dalam bentuk
kebutuhan hidup manusia akan tetapi bobotnya dibawah
kadar mashlahat dlaruriyyah. Tidak tersedianya hal-hal
yang termasuk dalam kategori ini akan menyebabkan
manusia hidup dalam kesulitan92 (Al Yasa Abubakar, h 52).
Misalnya dalam bidang ibadah diberikan rukhshoh
mengqoshar shalat dan berbuka puasa bagi musafir.
c. Mashlahat tahsiniyyah, ialah kebutuhan hidup manusia
yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat
melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya
dianjurkan makan makanan yang bergizi, berpakaian yang
bagus, melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai amalan
tambahan.93
92 93 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta:
Elsas, 2008), hlm. 15562
Pentingnya pembagian tingkat mashlahat menjadi
dlaruriyah, hajiyyah dan tahsiniyyah, agar dapat menentukan
prioritas dalam memilih/mengambil kemaslahatan.
Kemaslahatan dlaruriyyah harus lebih didahulukan daripada
kemaslahatan hajiyyah, dan kemaslahatan hajiyyah harus lebih
didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyyah.
Dilihat dari segi cakupan/kandungannya, ulama ushul
membagi mashlahat menjadi mashlahah ‘ammah dan
mashlahat khashshah,94 dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Mashlahah ‘ammah, yaitu kemaslahatan umum yang
menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan
umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang,
tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau
kebanyakan umat. Misalnya para ulama membolehkan
hukuman mati kepada penyebar bid’ah yang dapat merusak
akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang
banyak.
b. Mashlahah khashshah, yaitu kemaslahatn yang bersifat
khusus atau pribadi, meski jarang terjadi, seperti
kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan
perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud).
Pentingnya pembagian mashlahat menjadi mashlahat
‘ammah dan khashshah berkaitan dengan prioritas mana yang
harus didahulukan apabila bertentangan antara kemaslahatan
umum dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan
94 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 155
63
kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatn
umum daripada kemaslahatan pribadi.
Bila dilihat dari segi berubah atau tidaknya, mashlahat
bisa dibagi menjadi mashlahat tsabitah dan mashlahat
mutaghayyirah,95 dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Mashlahat tsabitah ialah kemaslahatn yang bersifat tetap,
tidak berubah dengan perubahan jaman. Misalnya berbagai
kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
b. Mashlahat mutaghayyirah ialah kemaslahatan yang
berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu dan
subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini umumnya
berkaitan dengan permasalahan muamalah dan adat
kebiasaan.
Pentingnya pembagian maslahat seperti di atas,
dimaksudkan untuk memberikan batasan kemaslahatan mana
yang bisa berubah dan yang tidak bisa berubah.
Bila dilihat dari segi keberadaan mashlahat menurut
syara’, para ulama membaginya menjadi ; mashlahat
mu’tabarah, mashlahat mulghah, dan mashlahat mursalah,96
dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Mashlahat mu’tabarah ialah mashlahat yang secara tegas
diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan
hukum untuk merealisasikannya. Misalnya diperintahkan
95 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 156
96 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 159
64
jihad untuk memelihara agama dari rongrongan musuh,
diwajibkan hukuman qishash untuk menjaga kelestarian
jiwa, sangsi hukum untuk peminum khomr untuk
memelihara akal, sangsi hukum jilid bagi pezina untuk
memelihara kehormatan dan keturunan, serta ancaman
hukuman pencuri untuk menjaga harta.
b. Mashlahat mulghah ialah sesuatu yang dianggap mashlahat
oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena
kenyataannya bertentangan dengan syariat. Misalnya ada
anggapan bahwa menyamakan pembagian warisan antara
anak laki-laki dengan anak wanita adalah mashlahat. Akan
tetapi kesimpulan seperti itu bertentangan dengan ketentuan
syariat, yaitu QS an-Nisa : 11 yang menegaskan bahwa
bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak
perempuan.97
c. Mashlahat mursalah, yaitu kemaslahatan yang
keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula
dibatalkan/ditolak oleh syara’ melalui dalil rinci, tetapi
kemaslahatan ini sebenarnya didukung oleh sekumpulan
makna nash, baik berupa ayat atau hadis.
Pembagian tiga mashlahat yang terakhir dimaksudkan
untuk mengukur mashlahat mana yang pasti harus dipakai,
mashlahat mana yang pasti harus ditolak, dan mashlahat mana
yang akan dijadikan dalil syara’ menurut para ulama.
3. Ta’rif Mashlahat Mursalah97 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pranada Media,
2005), hlm. 14965
Mashlahat mursalah sebagai salah satu dalil hukum syara’
didefiniskan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai :
اال الشارع لمقاصد ئمة المال لح المصا هي
باالعتبار خاص اصل لها يشهد وال سالمي
98اوااللغاء
Artinya : mashlahat mursalah ialah mashlahat-mashlahat
yang sesuai dengan tujuan syari’ah Islam, tidak
ada dalil khusus yang mengakui atau
membatalkannya
Dari ta’rif ini dapat ditarik pengertian bahwa ada tiga
unsur dalam mashlahat mursalah, yaitu :
a. Mashlahat tersebut merupakan sesuatu yang baik/ positif
menurut akal fikiran dengan pertimbangan dapat
mewujudkan kebaikan atau menghindari keburukan bagi
umat manusia
b. Apa yang sudah dinilai baik menurut akal fikiran itu, harus
selaras dan sejalan dengan tujuan yang dituju syariat Islam
dalam setiap penetapan hukumnya
c. Apa yang dipandang baik menurut akal fikiran, dan sudah
selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut, tidak ditemukan
98 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Darul-Fikr al-Arobi, 1958), hlm. 279
66
dalil syara’ secara khusus yang menolaknya atau
mengakuinya.99
Para ulama pendukung mashlahat mursalah, yaitu ulama
Malikiyyah dan ulama Hanabilah menetapkan syarat-syarat
untuk dapat dilaksanakannya ijtihad dengan mashlahat
mursalah, sebagaimana dipaparkan oleh Amir Syarifuddin,100
dengan empat syarat sebagai berikut:
a. Mashlahat itu merupakan mashlahat yang hakiki dan
bersifat umum, artinya menurut akal sehat mashlahat itu
betul-betul mendatangkan manfaat atau menghindarkan
mafsadat secara nyata bagi orang banyak.
b. Mashlahat umum yang hakiki/nyata itu harus sejalan
dengan maksud dan tujuan syara’ dalam setiap penetapan
hukum, yaitu terwujudnya kemaslahatan umat manusia.
c. Mashlahat umum yang hakiki dan sudah sejalan dengan
tujuan syara’ itu terbukti betul-betul tidak bertentangan
dengan dalil syara’ yang ada, baik nash al-quran, hadis
Nabi, maupun ijma’ ulama.
d. Ijtihad dengan metode mashlahat mursalah itu dipraktekkan
pada kondisi yang memerlukan, yang seandainya tidak
diselesaikan dengan cara ini, maka umat berada dalam
kesulitan hidup.
4. Sikap Para Ulama
99 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 334
100 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 337
67
Ada tiga kelompok ulama dalam hal memakai atau
menolak mashlahat mursalah sebagai dalil hukum syara’ :
a. Ulama Malikiyyah dan ulama Hanabilah adalah kelompok
ulama yang paling banyak menggunakan dalil mashlahat
mursalah, tetapi mereka pun menetapkan syarat-syarat
penggunaannya dalam bentuk syarat yang relatif longgar
atau standar.
b. Najmuddin al-Thufi, ulama bermadzhab Hanbali adalah
pemakai mashlahat yang paling tinggi dan cenderung
liberal. Dalam pandangannya, mashlahat itu bisa berstatus
qoth’i yang memiliki kekuatan hukum yang pasti. Dalam
pandangannya pula, bahwa bila terjadi mashlahat
bertentangan dengan nash yang zhonni, maka harus
dimenangkan mashlahatnya.
c. Kelompok ulama yang menolak menggunakan mashlahat
mursalah sebagai dalil hukum syara’. Penolakannya bisa
mutlak seperti Imam al-Syafi’i, ulama Zhahiri, ulama
Syi’ah, dan sebagian ulama Mu’tazilah. Sebenarnya
sebagian ulama Syafi’iyyah diantaranya al-Ghazali
termasuk memakai mashahat mursalah, hanya saja dengan
syarat yang ketat.101
5. Argmentasi Pemakai dan Penolak Mashlahat Mursalah
a. Argumen Pemakai :
Para ulama pemakai mashlahat mursalah sebagi dalil
syara’ mengemukakan beberapa argumen sebagi berikut :101 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta:
Elsas, 2008), hlm. 162-16568
1) Bahwa hasil pengkajian induksi terhadap berbagai ayat al-
quran dan teks-teks hadis Nabi menunjukkan bahwa setiap
hukum yang ditetapkan pasti mengandung kemaslahatan.
Maka merujuk dan mengikuti pada kemaslahatan tersebut
adalah legal. Hal itu sejalan dengan QS al-Anbiya’ : 107,
bahwa Rasul diutus untuk menjadi rahmat. Tentu tidak akan
menjadi rahmat bila bukan dalam rangka memenuhi
kemaslahatan manusia. Oleh karena itu memberlakukan
mashlahat terhadap hukum lain yang juga mengandung
kemaslahatn adalah legal.
2) Bahwa kemaslahatan manusia senantiasa dipengaruhi oleh
tempat, zaman, lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat
Islam hanya terbatas pada hukum yang ada saja dan tidak
memperhatikan kemaslahatan yang berkembang, maka
akan membawa pada kesulitan.
3) Merujuk kepada praktek para shahabat Nabi sepeninggal
Nabi saw dalam mempraktekkan langkahnya
mempertimbangkan mashlahat. Contohnya : a) Umar bin
al-Khaththab tidak memberikan bagian zakat kepada
muallaf, b) Abu Bakar mengumpulkan al-quran atas saran
Umar, c) menuliskan al-quran pada satu logat bahasa di
masa Utsman bin Affan demi tidak ada perbedaan bacaan
al-quran.102
4) Kalau mashlahat itu tujuan syara’, tetapi mashlahat tidak
dipakai sebagai pertimbangan penetapan hukum, maka
102 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 165
69
hukum tidak akan sesuai dengan tujuan syara’, dan tujuan
syara’ menjadi terabaikan.
5) Adanya pengakuan Nabi terhadap Mu’adz bin Jabal yang
diutus menjadi qadli di Yaman, yang menyatakan akan
menggunakan ijtihad dengan akal fikiran, ternyata Nabi
saw menyetujuinya. Sedangkan salah satu bentuk ijtihad
dengan akal fikiran adalah mashlahat mursalah.103
103 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 338
70
b. Argumen Penolak Mashlahat Mursalah
Amir Syarifuddin memaparkan argumentasi kelompok
ulama yang menolak penggunaan mashlahat mursalah sebagai
berikut:104
1) Bila suatu mashlahat sudah ada petunjuk syara’ yang
membenarkannya, yang disebut mu’tabarah, maka ia telah
termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak ada
petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak
mungkin disebut sebagai suatu mashlahat. Mengamalkan
sesuatu yang di luar petunjuk syara’ berarti mengakui akan
kurang lengkapnya al-quran atau sunnah Nabi. Hal ini juga
berarti tidak mengakui kesempurnaan risalah Nabi.
2) Beramal dengan mashlahat yang tidak mendapat pengakuan
tersendiri dari nash akan membawa kepada pengamalan
hukum yang berlandaskan pada kehendak hati dan menurut
hawa nafsu. Cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip
Islam.
3) Menggunakan mashlahat dalam ijtihad tanpa berpegang
pada nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas
dalam menetapkan hukum yang dapat mengakibatkan
seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian
menyalahi prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu
prinsip “la dlarara wala dlirara”.
4) Seandainya dibolehkan ijtihad dengan mashlahat yang tidak
mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi
104 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 339-340
71
kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena
alasan berubahnya waktu dan berlainannya tempat, juga
karena berlainan antara seseorang dengan orang lain.
Dalam keadaan demikian tidak akan ada kepastian hukum.
Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang
universal dan lestari serta meliputi semua umat Islam.
6. Khotimah
a. Metode ijtihad mashlahat mursalah merupakan metode
yang paling banyak intensitas penggunaan ra’yunya,
melebihi ijma’, qiyas dan istihsan. metode ijma’ masih
ada keharusan bersandar pada nash, begitu juga qiyas
jelas ada nashnya, sedangkan istihasan, ada istihsan yang
bersandar pada nash. Tetapi mashlahat mursalah ini justru
yang tidak diatur oleh nash tertentu. Maka tingkat
relatifitas dan kontroversinya menjadi lebih tinggi.
b. Meskipun tingkat relatifitasnya tinggi, namun mashlahat
mursalah tetap akan mempunyai kekuatannya apabila
persyaratan penggunaannya dipenuhi secara maksimal
paling tidak dalam implementasi dua syarat, yaitu :
pertama klaim mashlahat betul-betul hakiki berdasarkan
pembuktian yang objektif, melalui kajian yang mendalam,
serta mendapatkan pengakuan masyarakat umum. Kedua,
klaim bahwa tidak ada nash al-quran atau nash sunnah
Nabi yang membatalkan (mulghah) berdasarkan
penelitian ahli ‘ulum al-quran dan ahli ‘ulum al-hadis,
atau diakui/dibanarkan oleh banyak ulama.
72
c. Pelaksanaan ijtihad metode mashlahat mursalah,
sebaiknya dilakukan dalam bentuk ijtihad jama’i, bukan
ijtihad fardi, terutama bila menyangkut persoalan umum
masyarakat luas, sehingga konsistensi pemenuhan syarat
dan objektifitas persyaratannya lebih terjaga.
C. DALIL VII : ISTISH-HAB
1. Ta’rif Istish-hab
Ta’rif istish-hab yang dirumuskan oleh Ibn al-qayyim al-
Jauziyyah, sebagaimana dikutip Abd. Rahman Dahlan105 ialah
sebagai berikut :
حتى منفيا كان ما ونفي ثابتا كان ما استدامة
الحال تغير على ليل الد يقومArtinya : mengukuhkan berlakunya hukum yang telah ada,
atau menegasikan suatu hukum yang memang
tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang
mengubah keadaan tersebut
Ta’rif istish-hab di atas memberi pengertian bahwa istish-
hab menurut Amir Syarifuddin106 terdiri dari tiga unsur, yaitu :
a. Peristiwa hukum telah terjadi secara meyakinkan,
didukung oleh bukti yang mantap. Misalnya seseorang
memiliki sebuah rumah dari hasil warisan orang tuanya.
105 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 217
106 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 345
73
b. Karena perjalanan waktu atau perubahan keadaan, maka
muncul keraguan, apakah peristiwa hukum yang lalu
(dalam contoh di atas pemilikan sebuah rumah) itu masih
tetap seperti asalnya, atau sudah berubah. Akan tetapi
bukti terjadinya perubahan tidak ada. Anggapan ini
muncul karena umpamanya terakhir ini rumah tersebut
tidak pernah ditempati.
c. Mujtahid atau hakim menetapkan hukum berdasarkan
status asal mula, karena peristiwa pemilikan itu
berlangsungnya secara meyakinkan, dan belum
mengalami perubahan sampai waktu sekarang.
Secara singkat dan sederhana, dalam istish-hab berarti ada
peristiwa hukum yang meyakinkan, kemudian ada keraguan
dibelakang hari tetapi tidak ada bukti perubahannya, maka
hukum kembali ke asalnya.
2. Macam-Macam Istish-hab
Macam-macam istish-hab menurut Muhammad Abu
Zahrah terbagi menjadi empat macam, yaitu : istish-hab al-
ibahah al-ashliyyah, istish-hab al-baro’ah al-ashliyyah, istish-
hab al-hukmi, dan istish-hab al-washf,107 dengan penjelasan
sebagai berikut :
a. Al-ibahah al-ashliyyah, yaitu istish-hab yang didasarkan
atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah (boleh). Istish-
hab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan
107 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Darul-Fikr al-Arobi, 1958), hlm. 297-298
74
hukum di bidang muamalah. Landasannya adalah sebuah
prinsip yang menyatakan, bahwa hukum dasar dari segala
sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam
kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang
melarangnya. Misalnya makanan, minuman, hewan,
tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain selama tidak ada dalil
yang melarangnya, adalah halal dimakan atau boleh
dikerjakan. Prinsip tersebut berdasarkan keumuman nash
dalam QS al-Baqarah : 29
Yang menegaskan bahwa segala yang ada di bumi
dijadikan untuk umat manusia, dalam pengertian boleh
dimakan makanannya atau boleh dilakukan hal-hal yang
membawa manfaat bagi kehidupan. Dalam konteks ini
jika ada larangan, berarti pada makanan atau dalam
perbuatan itu terdapat bahaya yang merugikan bagi
kehidupan manusia. Maka berdasarkan hal tersebut, suatu
makanan, atau tindakan tetap dianggap halal atau boleh
dilakukan seperti hukum aslinya, selama tidak ada dalil
yang melarang.
b. Al-bara’ah al-ashliyyah, yaitu istish-hab yang didasarkan
atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari
tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah
statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai
ada bukti yang mengubah statusnya itu. Seseorang yang
menuntut bahwa haknya terdapat pada diri orang lain, ia
harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh 75
pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan status
bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali dengan
bukti yang jelas. Jadi seseorang dengan prinsip istish-hab,
akan selalu dianggap berada dalam status tidak bersalah
sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu. Hal ini
sejalan dengan asas praduga tak bersalah dalam hukum
pidana Indonesia.
c. Istish-hab al-hukmi, yaitu istish-hab yang didasarkan atas
tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada
bukti yang mengubahnya. Misalnya seseorang yang
memiliki sebidang tanah atau sebuah mobil, maka harta
miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti
dengan peristiwa yang mengubah status hukum itu,
seperti dijual atau dihibahkan. Seseorang yang sudah jelas
berutang kepada si fulan, akan selalu dianggap berutang
sampai ada bukti yang mengubahnya seperti bukti
membayarnya sendiri atau bukti pihak yang berpiutang
membebaskannya. Seseorang yang jelas telah menikahi
seorang wanita, maka wanita itu tetap dianggap sebagai
istrinya sampai terbukti adanya perceraian.
d. Istish-hab al-washf, yaitu istish-hab yang didasarkan atas
anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada
sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.
Misalnya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang
(mafqud), tetap dianggap masih ada (artinya dianggap
masih hidup) sampai ada bukti bahwa ia telah meninggal.
76
Demikian pula air yang diketahui bersih/suci, tetap
dianggap bersih/suci selama tidak ada bukti yang
mengubah statusnya itu.
3. Sikap Ulama Terhadap Istish-hab
Para ulama ushul fiqh berbeda tanggapannya terhadap
dalil istish-hab, sebagaimana dituturkan oleh Satria Effendi M.
Zain108 yang mengutip pendapat Muhammad Abu zahrah,
sebagai berikut :
a. Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa tiga macam istish-
hab yang disebut petama di atas (istish-hab ibahah
ashliyyah, istish-hab bara’ah ashliyyah, dan istish-hab
hukum) adalah shah dijadikan landasan hukum.
b. Para ulama berbeda pendapat dalam memandang istish-
hab yang keempat, yaitu istish-hab al-washf atau sifat.
Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu : pertama, pendapat
kalangan ulama Hanabilah dan ulama Syafi’iyyah, bahwa
istish-hab washf dapat dijadikan landasan hukum secara
penuh, baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun
dalam mempertahankan haknya yang sudah ada. Misalnya
seseorang yang hilang tidak diketahui tempatnya, tetap
dianggap hidup sampai terbukti bahwa ia telah meninggal.
Maka berlaku baginya segala hak bagi orang hidup seperti
istri dan hartanya tetap menjadi miliknya. Dan jika ada
ahli warisnya yang meninggal, maka dia turut mewarisi
108 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pranada Media, 2005), hlm. 161-162
77
harta peninggalannya, dan kadar bagiannya langsung
menjadi hak miliknya. Kedua pendapat kalangan ulama
Hanafiyyah dan Malikiyyah, bahwa istish-hab washf
hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah
ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Maka
dalam contoh di atas, orang mafqud tersebut masih
dianggap memiliki hartanya, begitu juga dengan istrinya,
tetapi jika ada ahli warisnya yang meninggal, maka kadar
bagian orang mafqud itu harus disimpan dulu dan belum
dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia masih
hidup. Alasan para ulama ini, karena keadaan masih hidup
si mafqud semata-mata didasarkan istish-hab, yaitu
berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.
c. Sebagian ulama Hanafiyyah dan sebagian ulama
syafi’iyyah berpendapat bahwa istish-hab bukanlah dalil
untuk menentukan hukum yang sekarang, ia sekedar
untuk mengetahui hukum masa lalu. Sedangkan untuk
menentukan hukumnya sekarang memerlukan dalil
tersendiri.
Argumentasi ulama yang memakai istish-hab, bahwa
dalam urusan muamalah dan pengelolaan harta, manusia
memberlakukan adat yang sudah berlaku diantara mereka, ia
dapat dijadikan dasar untuk menentukan hukum selama tidak
ada dalil yang mengubahnya. Ini sejalan dengan QS al-baqarah
: 29 seperti yang sudah dikemukakan di atas. Sedangkan
argumentasi ulama yang menolak istish-hab menyatakan
bahwa penentuan halal, haram, dan sucinya sesuatu
78
memerlukan dalil dari syari’. Dalil dari syari’ atau dalil syara’
itu mencakup quran, hadis, ijma’ dan qiyas, sedangkan istish-
hab tidak termasuk dalil syara’.109
4. Khotimah
Sebagai penutup dalam pembahasan istish-hab, kiranya perlu
menyampaikan beberapa pernyataan Muhammad Abu
Zahrahahrah110 sebagai berikut :
a. Bahwa dalil istish-hab itu dipakai ketika tidak ada dalil
lain (terutama dalil nash).
b. Bahwa istish-hab itu dalil hukum yang bersifat
melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada, bukan
dalil hukum untuk menetapkan hukum baru, dan atau
bukan untuk menetapkan hukum yang belum ada.
c. Dari dalil istish-hab ini, terbangunlah kaidah-kaidah
hukum Islam sebagai berikut :
Pertama, “anna ma tsabata bi yaqinin la yazulu illa bi
yaqinin mitslih”
Kedua, “anna ma tsabata hilluhu la yahrumu illa bi
dalilin mughayyirin”
Ketiga, “anna kulla ma lam yaqum fihi dalilun syar’iyyun
yabqa ‘ala hukmi al-ashli”.
D. DALIL VIII : AL-‘URF
109 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm. 140
110 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Darul-Fikr al-Arobi, 1958), hlm. 303-304
79
1. Ta’rif Al-‘Urf’
Ada beberapa fariasi ta’rif al-‘urf yang dirumuskan oleh
para ulama ushul, diantaranya ta’rif Muhammad Abu Zahrah,
sebagi berikut :
مالت معا الناسمن اعتاده ما العرف
امورهم عليه مت 111واستقا
Artinya : sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia
dalam pergaulan, dan sudah mantap/melekat
dalam urusan mereka
Para ulama ushul fiqh banyak yang memperbandingkan
antara al-‘urf dengan al-‘adah, atau adat kebiasaan dalam
bahasa Indonesi, diantara mereka ada yang menganggap sama
antara keduanya, dan ada yang menganggap berbeda. Yang
menganggap berbeda menyatakan bahwa adat lebih umum
karena lingkupnya lebih luas. Ada adat kebiasaan yang bila
diukur dengan ukuran syara’ dinilai baik/positif, dan ada adat
kebiasaan yang sebaliknya, bila diukur dengan ukuran syara’
dinilai buruk/negatif. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘urf
hanyalah kebiasaan yang bersifat baik/positif saja, hal itu
sesuai degan istilah yang digunakannya, yaitu “al-‘urf” artinya
sesuatu yang patut atau yang baik, sejalan dengan QS al-a’raf :
199, “....wa’mur bi al-‘urfi....”112
111 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Darul-Fikr al-Arobi, 1958), hlm. 273
112 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 210
80
Ada juga sebagian penulis ushul fiqh yang memperbandingkan
antara ‘urf dengan ijma’, diantaranya Amir Syarifuddin,
menurutnya antara ‘urf dengan ijma’ ada kemiripannya, tetapi
juga ada perbedaannya. Kemiripan dan perbedaannya terletak
pada tiga hal113 sebagi berikut :
a. Bahwa ijma’ harus diakui dan diterima oleh semua pihak,
bila ada sejumlah kecil pihak yang tidak setuju, maka ijma’
tidak tercapai. Sedangkan ‘urf sudah dapat tercapai bila
telah dilakukan dan dikenal oleh sebagian besar orang, dan
tidak mesti dilakukan oleh semua orang.
b. Ijma’ adalah kesepakatan/penerimaan orang-orang tertentu,
yaitu para mujtahid dan yang bukan mujtahid tidak
diperhitungkan kesepakatan atau penolakannya. Sedangkan
‘urf terbentuk bila yang melakukan secara berulang-ulang
atau yang mengakui dan menerimanya seluruh lapisan
masyarakat baik mujtahid atau bukan.
c. ‘Urf itu meskipun telah terbiasa diamalkan oleh seluruh
umat Islam, atau masyarakat, namun bisa saja mengalami
perubahan karena berubahnya kondisi masyarakat.
Sedangkan ijma’ (menurut pendapat kebanyakan ulama)
tidak mengalami perubahan ; sekali ditetapkan, maka tetap
berlaku sampai ke generasi berikutnya yang datang
kemudian.
2. Macam-Macam ‘Urf
113 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 345
81
Para ulama ushul fiqh membagi ‘urf dengan meninjau tiga
segi, yaitu dari segi objek ‘urf, dari segi luas dan terbatasnya
cakupan, dan dari segi keabsahannya menurut pandangan
syara’.
Dari segi objeknya, ‘urf dibagi menjadi ‘urf lafzhi dan
‘urf ‘amali. Dari segi luas dan terbatasnya cakupan , ‘urf
terbagi menjadi ‘urf ‘ammah dan ‘urf khashshah. Sedangkan
dari segi keabsahannya menurut pandangan syara’, ‘urf terbagi
menjadi ‘urf shahih dan dan ‘urf fasid.114
Dimaksudkan dengan ‘urf lafzhi ialah kebiasaan
masyarakat dalam mempergunakan ungkapan tertentu dalam
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah
yang difahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.
Misalnya ungkapan daging yang berarti daging sapi.
Sedangkan yang dimaksud dengan ‘urf ‘amali ialah kebiasaan
masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan muamalah
keperdataan seperti kebiasaan melakukan akad atau transaksi
tertentu dengan cara tertentu.
‘Urf ‘amm adalah kebiaaan tertentu yang berlaku secara
luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Sedangkan
‘urf khash adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan
masyarakat tertentu. Misalnya kebiasaan yang berlaku khusus
di kalangan para pedagang, dikalangan para pengacara hukum,
dan kebiasaan di daerah tertentu yang berbeda dengan
kebiasaan di daerah yang lain.
114 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 211-213
82
Diantara pembagian ‘urf yang paling penting berkaitan
dengan pembahasan al’urf sebagai dalil syara’ ialah pembagian
‘urf shahih dan ‘urf fasid, karena persoalan itulah yang disorot
secara khusus dan menjadi ukuran penggunaan ‘urf.
a. Al-‘urf al-shahih, ialah kebiasaan yang berlaku di tengah-
tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash
(ayat quran atau hadis), tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka, dan tidak pula membawa mudlarat kepada
mereka.115
Abd Wahhab Khallaf menambahkan pernyataan “tidak
menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang
wajib”,116 contohnya seperti akad istishna’, contoh lain
dimasa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah
kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai
mas kawin.
b. Al-’urf al-fasid ialah kebiasaan yang bertentangan dengan
dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
Misalnya tradisi perdagangan yang mengandung riba di
kalangan para pedagang. Contoh lain adalah tradisi
penyuapan ; untuk memenangkan perkaranya, seseorang
menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk
kelancaran urusan seseorang, ia memberikan sejumlah uang
115 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 213
116 Abd. Wahhab Khallaf Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah, 1956), hlm. 89
83
kepada orang yang menangani urusannya. Contoh tersebut
merupakan ‘urf fasid.
3. Syarat-Syarat Penggunaan ‘Urf
Para ulama ushul fiqh menetapkan syarat agar ‘urf dapat
menjadi dalil hukum syara’, sebagaimana dijelaskan oleh
Ma’ruf Amin yaitu :
a. ‘Urf berlaku secara umum dikalangan mayoritas
masyarakat, baik ‘urf yang bersifat khusus atau umum,
maupun yang bersifat qawli atau ‘amali. Artinya ‘urf itu
berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-
tengah masyarakat, dan keberlakuannya dianut oleh
mayoritas masyarakat tersebut.
b. ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan
ditetapkan hukumnya muncul. Artinya, ‘urf yang akan
dijadikan sandaran hukum telah lebih hulu ada sebelum
kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitan
dengan syarat ini terdapat kaidah ushuliyyah yang
menyatakan ; “la ‘ibrota li al-‘urfi al-thari’i” artinya, ‘urf
yang datang kemudian tidak dapat dijadikan sandaran
hukum terhadap kasus yang telah lama.
c. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga
menyebabkan hukum yang terkandung dalam nash itu tidak
bisa diterapkan. ‘urf seperti ini tidak bisa dijadikan dalil
syara’, kaena kehujjahan ‘urf bisa diterima apabila tidak
ada nash yang mengatur hukum permasalahan yang
dihadapi.
84
d. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan
secara jelas dalam suatu akad/transaksi. Artinya, dalam
suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan
secara jelas hal-hal yang harus dilakukan, seperti dalam
membeli almari disepakati oleh pembeli dan penjual secara
jelas, bahwa almari itu akan dibawa sendiri oleh pembeli ke
rumahnya. Maka sekalipun ‘urf menentukan bahwa almari
yang dibeli biasanya akan diantarkan penjual ke rumah
pembeli, tetapi karena dalam akad secara jelas mereka
bersepakat bahwa almari akan dibawa sendiri oleh pembeli
ke rumahnya, maka ‘urf itu tidak berlaku lagi.
Terhadap persyaratan ‘urf ini, Amir Syarifuddin
menambahkan satu syarat lagi, yaitu ; bahwa ‘urf itu harus
bernilai maslahat dan diterima akal sehat.117
4. Sikap Para Ulama Terhadap ‘Urf
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid ; adat kebiasaan
yang jelas salah, untuk menjadi landasan hukum, tetapi
terhadap ‘urf shahih secara umum ulama sepakat
menggunakannya. Seperti yang dijelaskan Satria Effendi
M.Zain yang mengutip hasil penelitian Tayyib Khudari al-
Sayyid, guru besar ushul fiqh Unifersitas al-Azhar, dalam
karyanya “al-ijtihad fi ma la nashsha fih”,118 bahwa madzhab
117 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 376
118 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pranada Media, 2005), hlm. 155
85
yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagi landasan
hukum adalah kalangan ulama Hanafiyyah dan ulama
Malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan
kalangan Syafi’iyyah.
Menurutnya pada prinsipnya madzhab-madzhab besar
fiqh tersebut sepakat menerima ‘urf sebagai landasan
pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya
terdapat perbedaan diantara madzhab-madzhab tersebut,
sehingga ‘urf dimasukkan ke dalam kelompok dalil-dalil yang
diperselisihkan dikalangan ulama.
Jadi, pada dasarnya mayoritas ulama menyepakati
kedudukan ‘urf shahih sebagai salah satu dalil syara’, tetapi
diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi
intensitas penggunaannya sebagai dalil syara’. Ulama
Hanafiyyah dan ulama Malikiyyah adalah yang paling banyak
dibandingkan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.119
Bagi ulama yang menggunakan ‘urf sebagai dalil hukum,
pada umumnya mendasarkan argumen pada :
a. QS al-A’raf : 199
b. Ucapan Abdullah bin Mas’ud :
وما حسن الله عند فهو حسنا المسلمون رأه ما
سيئ الله عند فهو سيئا المسلمون رأه
119 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 212
86
Artinya : sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin
adalah baik disisi Allah, dan sesuatu yang
mereka nilai buruk, maka ia buruk disisi Allah
Disamping dua argumen normatif di atas, para penulis
ushul fiqh juga mengemukakan argumen historis dan logika,
antara lain :
a. Satria Effendi M. Zain mengemukakan, bahwa pada
dasarnya syari’at Islam sejak dari masa awal (masa rasul)
banyak menampung dan mengakui adat yang baik dalam
masyarakat selama adat itu tidak bertentangan dengan al-
quran dan sunnah Rasulullah.120 Kedatangan Islam bukan
menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu
dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui
dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Contoh
kebiasaan dalam kerjasama dagang dengan berbagi untung,
yang disebut “mudlarabah”. Praktek seperti ini sudah
berkembang dikalangan bangsa Arab sebelum Islam, dan
kemudian diakui oleh Islam sehingga menjadi hukum
Islam. Berdasarkan kenyataan ini para ulama
menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara shah
dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi
persyaratan.
b. Sapiudin Shidiq menambahkan argumen sebagai berikut :
120 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pranada Media, 2005), hlm. 155
87
1) Islam melestarikan ‘urf bangsa Arab yang shahih dalam
membentuk hukum, contohnya seperti soal kafa’ah
dalam perkawinan.
2) Imam Malik bin Anas mendasarkan sebagian keputusan
hukumnya kepada amal perbuatan penduduk madinah
(‘amalu ahli al-madinah).
3) Imam Al-Syafi’i setelah berada di Mesir mengubah
sebagian hukum yang telah ditetapkannya ketika beliau
tinggal di Baghdad karena adanya ‘urf yang berbeda.
4) Dalam madzhab Hanafi banyak hukum yang didasarkan
kepada ‘urf.121
c. Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa secara umum ‘urf
diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama di kalangan
ulama Hanafiyyah dan ulama Malikiyyah.122
Ulama Hanafiyyah menggunakan istihsan dalam berijtihad,
dan salah satu bentuk istihsan adalah istihsan ‘urf. Oleh
ulama Hanafiyyah ‘urf didahulukan atas qiyas khofi, dan
juga didahulukan atas nash umum, dalam arti ‘urf dapat
mentakhshish umumnya nash.
Sedangkan ulama Syafi’iyyah banyak menggunakan ‘urf
dalam hal-hal tidak menemukan batasannya dalam syara’
atau bahasa.
5. Sikap Syari’ah Terhadap Tradisi
121 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm. 101
122 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 375
88
Pada waktu Islam datang dan berkembang di tanah Arab,
di lingkungan masyarakat sana berlaku norma yang mengatur
kehidupan bermuamalah yang telah berlangsung lama yang
disebut adat. Adat itu diterima dari generasi sebelumnya,
diyakini dan dijalankan oleh masyarakat Arab dengan
anggapan bahwa perbuatan tersebut baik bagi mereka.
Kemudian Islam datang dengan seperangkat norma syara’
yang mengatur kehidupan muamalah yang harus dipatuhi oleh
umat Islam sebagai konsekuensi iman kepada Allah dan
RasulNya. Sebagian adat itu ada yang selaras dengan hukum
syara’ dan ada yang bertentangan. Adat yang bertentangan ini
dengan sendirinya tidak mungkin dilaksanakan umat Islam
bersamaan dengan hukum syara’. Tetapi terhadap adat yang
tidak bertentangan dan masih dipandang bernilai positif atau
maslahat, maka dilakukanlah penyeleksian dengan
berpedoman kemaslahatan menurut wahyu. Berdasarkan
penyeleksian tersebut, menurut Amir Syarifuddin123 adat dapat
terbagi menjadi empat kelompok sebagai berikut :
a. Adat lama yang substansi maupun prakteknya mengandung
unsur kemaslahatan. Dalam adat ini jelas terdapat unsur
manfaat dan tidak ada unsur mudlaratnya. Adat seperti ini
diterima sepenuhnya oleh hukum Islam. Contohnya, uang
tebusan darah atau diyat yang harus dibayar oleh pihak
pelaku pembunuhan kepada pihak keluarga yang terbunuh.
Hukum ini berlaku di kalangan masyarakat Arab sebelum
123 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 369-370
89
Islam datang dan dinilai baik dan dapat terus diberlakukan,
hingga ditetapkan menjadi hukum Islam.
b. Adat lama yang substansinya mengandung unsur maslahat,
namun dalam pelaksanaannya dianggap tidak baik oleh
Islam. Adat seperti ini dapat diterima oleh Islam, namun
dalam pelaksanaan selanjutnya mengalami penyesuaian dan
perbaikan. Contohnya tentang zhihar, yaitu ucapan suami
yang menyamakan istrinya (punggungnya) denga ibunya
sendiri. Zhihar ini merupakan cara yang biasa berlangsung
di kalangan masyarakat Arab sebagai usaha suami untuk
bercerai dengan istrinya. Sesudah suami melakukan zhihar,
maka suami dan istri tidak dibolehkan lagi berhubungan
dan putuslah hubungan mereka sebagai suami istri. Islam
datang dan menerima zhihar tersebut dengan perubahan,
yaitu zhihar dinyatakan menyebabkan suami istri tidak
boleh berhubungan kelamin, namun tidak memutuskan
perkawinan. Bila keduanya akan berhubungan lagi, terlebih
dahulu harus membayar kaffarat, suatu kewajiban agama
akibat suatu pelanggaran.
c. Adat lama yang prinsip dan prakteknya mengandung unsur
mafsadat atau kerusakan. Maksudnya yang dikandung
hanya unsur perusak dan tidak memilik unsur manfaat, atau
ada unsur manfaatnya tetapi unsur mafsadatnya lebih besar.
Adat seperti ini ditolak secara mutlak oleh Islam. Conthnya
adat judi, adat minum khomr, adat rentenir atau riba.
d. Adat yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang
banyak karena tidak mengandung unsur mafsadat dan tidak
90
bertentangan dengan dalil syara’ yang datang kemudian,
namun secara nyata belum terserap ke dalam hukum syara’,
baik langsung atau tidak langsung.
Adat atau ‘urf dalam bentuk ini jumlahnya cukup banyak
dan menjadi perbincangan di kalangan ulama. Inilah yang
kemudian menjadi pokok bahasan dalam kajian dalil ‘urf
sebagai salah satu dalil hukum syara’ yang masih
diperselisihkan, maka bagi ulama yang mengakuinya
berlakulah kaidah : “al-‘adatu muhakkamah”
Mengenai sikap Islam terhadap tradisi sebelum Islam,
Ma’ruf Amin juga menyatakan hal senada, bahwa ketika ayat-
ayat al-quran turun, banyak sekali ayat yang mengukuhkan
kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat seperti
pengukuhan terhadap sistim jual beli salm.124 (Ma’ruf, h .....)
Sehubungan dengan itu maka para ulama fiqih banyak
melahirkan kaidah fiqh yang berhubungan dengan dalil al’urf,
antara lain :
a. محكمة العادة“Al-‘adatu muhakkamah”, artinya adat kebiasaan itu bisa
menjadi hukum.
b. واالمكنة االزمنة بتغير االحكام تغير الينكر
124 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm.
91
“la yunkaru taghayyuru al-ahkam bi taghayyuri al-azminah
wa al-amkinah”, artinya tidak diingkari perubahan hukum
disebabkan perubahan zaman dan tempat.
c. شرطا فاكالمشروط عر المعروف“al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruth syarthan”, artinya yang
baik itu menjadi ‘urf sebagaimana yang disyaratkan itu
menjadi syarat.
d. بالنص كالثابت بالعرف الثابت“al-tsabit bi al-‘urfi ka al-tsabit bi al-nashshi”, artinya
yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan
melalui nash.125
6. Khotimah
a. Metode al-’urf sebagai dalil hukum syara’, itu mirip dan
sejajar dengan metode mashlahat mursalah.
Kesejajarannya terletak pada dua hal yaitu ; pertama pada
nilai atau unsur maslahat yang menjadi titik fokus
pertimbangan. Kalau dalam mashlahat mursalah,
kemaslahatannya bersifat umum, maka dalam al’urf,
kemaslahatan itu terbentuk dalam wujud tradisi
masyarakat. Kedua pada kriteria tidak boleh bertentangan
dengan nash. Bila bertentang dengan nash maka baik ‘urf
maupun maslahat mursalah tertolak.
125 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 216
92
b. Oleh karena itu kekuatan metode al-‘urf terletak pada
kemaslahatan yang terdapat dalam tradisi itu. Semakin
nyata dan yakin nilai kemaslahatan dalam tradisi itu,
maka semakin mantap pula hukum yang ditetapkan.
Begitu pula kekuatannya yang kedua terletak pada
kesimpulan bahwa ‘urf itu tidak bertentangan dengan nash
atau dalil syara’. Tidak adanya pertentangan dengan nash
di sini harus terbukti secara meyakinkan melalui
penelitian ayat al-quran dan hadis-hadis Nabi, ditambah
penelitian dalil syara’ yang lain yaitu ijma’ dan qiyas.
c. Relatifitas hukum hasil ijtihad ‘urf cukup tinggi sama
seperti tingkat reatifitas hasil ijtihad mashlahat mursalah.
Apalagi hukum berdasar ‘urf itu mudah berubah dengan
berubahnya ‘urf.
E. DALIL IX : SADD DZARI’AH
1. Ta’rif Dzari’ah
Para ulama mendefinisikan dzari’ah, ada yang
mendefinisikannya dengan definisi yang umum dan luas, dan
ada yang mendefinisikannya dengan definisi terbatas. Dua
macam definisi itu akan dikemukakan secara jelas sebagai
berikut.
Definisi umum atau luas dikemukanan oleh Ibnu al-
qayyim al-Jauziyyah, seperti yang dikutip oleh Amir
Syarifuddin :
93
الشئ الى وطريقا وسيلة كان 126ما
Artinya : apa saja yang menjadi perantara dan jalam menuju
ke sesuat.
Yang dimaksud sesuatu itu bisa sesuatu yang bernilai
mashlahat dan yang bernilai mafsadat. Maka perantara atau
jalan yang menuju kepada keburukan harus ditutup, inilah
yang disebut “sadd dzari’ah”, sedangkan perantara atau jalan
yang menuju kepada kebaikan perlu dibuka, inilah yang
disebut “fath al-dzari’ah”. Untuk fath aldzari’ah, ada
sebagian ulama yang menyebutnya dengan “muqaddilah”.
Adapun definisi terbatas sebagaimana ta’rif yang
dirumuskan olah al-Syathibi, yang dikutip oleh banyak penulis
ushul fiqh, yaitu :
مفسدة الى مصلحة هو بما 127التوسل
Artinya : melakukan suatu pekerjaan yang semula
mengandung kemaslahatan, tapi untuk menuju
kepada kemafsadatan
Definisi al-Syathibi ini menunjukkan bahwa dzari’ah itu
hanya untuk sesuatuyang berakibat buruk, yang harus ditutup ;
sadd dzari’ah.
126 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 399
127 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 195
94
Memahami lebih dalam tentang dzari’ah, bahwa hukum
syara’ yang diletakkan kepada perbuatan (yang bersifat
dzari’ah) dapat dilihat dari dua segi ; pertama segi niatan atau
motif pelaku yang disebut al-ba’its, dan kedua segi dampak
yang ditimbulkannya; maslahat atau mafsadat, tanpa melihat
segi motifnya.
Perbuatan dilihat dari segi motif atau niatan memang
memberi pengaruh kepada hukum, tetapi hal itu tidak menjadi
kajian dalil dzari’ah. Sedangkan yang menjadi sasaran kajian
dzari’ah adalah dampak yang ditimbulkan dari sesuatu yang
dilakukan.128
2. Antara Hukum Maqashid dan Hukum Wasa’il
Aktifitas perbuatan hukum, hubungannya dengan
pembahasan dalil dzari’ah, itu ada yang berupa perbuatan
pokok yang menjadi tujuan, disebut dengan “al-maqashid” dan
ada perbuatan antara atau pendahuluan yang menjadi perantara
menuju perbuatan pokok tersebut, disebut dengan “wasa’il”.
Kalau seseorang akan melakukan perbuatan membunuh, maka
lebih dulu ada perbuatan pendahuluan misalnya
memiliki/mencari alat membunuh seperti senjata tajam. Kalau
seseorang akan melakukan shalat, maka ada perbuatan yang
mendahuluinya yaitu berwudlu. Perbuatan membunuh dan
shalat merupakan perbuatan hukum yang bersifat maqashid,
sedangkan perbuatan memiliki senjata tajam dan berwudlu
merupakan perbuatan hukum yang bersifat wasa’il.
128 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 238
95
Terhadap perbuatan pokok yang dituju, yakni maqashid
seluruhnya atau umumnya telah diatur oleh hukum syara’ dan
biasanya masuk ke dalam hukum taklifi yang lima, al-ahkam
al-khamsah. Sedangkan perbuatan antara yang menuju ke
perbuatan maqashid, yang disebut wasa’il itu ada yang telah
diatur tersendiri oleh hukum syara’ dan ada yang belum diatur
secara langsung/tersendiri dalam hukum syara’. Misalnya
wudlu sebagai perbuatan hukum wasa’il dalam rangka
melaksanakan shalat sudah diatur secara khusus baik dalam al-
quran maupun hadis. Begitupun perbuatan yang menjadi
pendahuluan zina, yakni khalwah sudah diatur keharamannya
oleh hukum syara’ atau hadis Nabi. Akan tetapi perbuatan
memiliki senjata tajam sebagai perbuatan pendahuluan dari
perbuatan membunuh belum ada aturan khusus dan langsung
dalam nash. Begitu juga adanya lembaga pendidikan atau
sekolah sebagai sarana melaksanakan kegiatan maqashid
thalabul ilmi belum diatur secara langsung oleh nash, apa
hukumnya mendirikan sekolah.
Perbuatan-perbuatan wasa’il yang sudah diatur langsung
dalam hukum syara’, maka ketentuan hukum syara’ itulah
yang harus menjadi pedoman, sedangkan perbuatan wasa’il
yang belum ada aturannya dalam hukum syara’, maka itulah
yang menjadi pokok bahasan dalam dalil dzari’ah pada bagian
ini. Jadi persoalan yang diperbincangkan para ulama adalah
mengenai perbuatan-perbuatan wasa’il yang belum
mempunyai dasar hukum, terutama apabila perbuatan wasa’il
96
itu akan menjadi sarana menuju keburukan atau perbuatan
yang dilarang. Itulah sasaran pembahasan sadd dzari’ah.
3. Macam-Macam Dzari’ah
Dzari’ah bila ditinjau dari akibat (dampak) yang
ditimbulkan menurut Ibnu al-Qoyyim, sebagaimana dikutip
oleh Amir Syarifuddin129 terbagi menjadi empat macam, yaitu :
a. Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada
kerusakan seperti meminum minuman keras yang
membawa pada kerusakan akal, atau zina yang membawa
pada kerusakan tata keturunan.
b. Dzari’ah yang awalnya untuk sesuatu yang mubah, namun
akhirnya menuju pada perbuatan buruk yang merusak,
seperti nikah muhallil atau mencaci sesembahan agama
lain. Nikah itu sendiri sebenarnya bolah, tetapi karena
tujuannya semata agar menghalalkan yang haram, maka
menjadi terlarang. Begitupun mencaci sesembahan agama
lain asalnya boleh, tetapi hal itu menjadi perantara pengikut
agama lain mencaci Allah, maka perbuatan yang semula
boleh menjadi terlarang.
c. Dzari’ah yang semula untuk sesuatu yang mubah, tidak
ditujukan untuk kerusakan/keburukan, namun biasanya
sampai juga kepada kerusana/keburukan, dan bobot
keburukannya lebih besar daripada kebaikannya. Seperti
berhias bagi wanita yang menjalani iddah ditinggal mati
129 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 402
97
suaminya. Berhias itu pada dasarnya boleh, tapi berhiasnya
wanita iddah seperti itu keadaannya menjadi lain.
d. Dzari’ah yang semula untuk sesuatu yang mubah, namun
terkadang membawa kepada kerusakan/keburukan,
sedangkan keburukannya lebih kecil daripada kebaikannya.
Contohnya seperti melihat wajah wanita pada saat
meminang/ khitbah.
Dzari’ah bila ditinjau dari tingkat kerusakan yang
ditimbulkan, Abu Ishaq Al-Syathibi, sebagimana dikutip oleh
Ma’ruf amin130 membaginya menjadi empat macam, yaitu :
a. Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti, artinya
bila perbuatan dzari’ah itu tidak dihidarkan pasti akan
terjadi kerusakan. Umpamanya menggali lobang di tanah
sendiri dekat pintu rumah seseorang diwaktu gelap, maka
setiap orang yang keluar dari pintu itu pasti terjatuh ke
dalam lobang itu. Sebenarnya menggali lobang di tanah
sendiri seperti itu boleh saja, tetapi peggalian seperti itu
akan mendatangkan bahaya/kerusakan.
b. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan menurut
biasanya, dengan arti kalau dzari’ah itu dilakukan, maka
kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan
dilakukannya perbuatan yang dilarang. Umpamanya
menjual anggur kepada produsen minuman keras, atau
menjual senjata tajam kepada penjahat.
130 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 197-198
98
c. Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang
menurut kebanyakannya. Hal ini berarti bila dzari’ah itu
tidak dihindarkan, maka sering sekali akan mengakibatkan
berlangsungnya perbuatan yang terlarang. Umpamanya jual
beli kredit (sistim angsuran), memang tidak selalu
membawa kepada riba, namun dalam prakteknya sering
menjadi sarana ke perbuatan riba.
d. Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan
atau perbuatan terlarang. Dalam hal ini seandainya
perbuatan itu dilakukan belum tentu akan menimbulkan
kerusakan. Umpamanya menggali lobang di kebun sendiri
yang jarang dilalui orang, menurut kebiasaannya tidak ada
orang yang lewat di tempat itu yang akan terjatuh ke dalam
lobang.
Terhadap pembagian dzari’ah menurut al-Syathibi di atas,
Mustafa Syalabi mengelompokkan pendapat ulama menjadi
tiga kelompok131 :
a. Terhadap dzari’ah nonor 1 dan 2, yaitu dzari’ah yang
membawa kerusakan secara pasti dan berat dugaan akan
menimbulkan kerusakan, ulama sepakat melarang dzari’ah
tersebut.
b. Terhadap dzariah nomor 4, yaitu dzari’ah yang jarang
sekali mendatangkan keburukan, ulama sepakat untuk tidak
melarangnya, artinya pintu dzari’ah tidak perlu ditutup.
131 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 404
99
Seperti tidak ada larangan menjual buah anggur atau
larangan menjual pisau dalam keadaan normal.
c. Sedangkan tehadap dzari’ah nomor 3, yaitu dzari’ah yang
terletak ditengah-tengah antara membawa kerusakan atau
tidak membawa kerusakan, dalam hal ini terdapat
perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Syalabi
mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal
melarang dzari’ah tersebut, sedangkan al-Syafi’i dan Abu
Hanifah menyatakan tidak perlu melarangnya.
4. Sikap Ulama Terhadap Dalil Dzari’ah
Disamping tanggapan para ulama terhadap dzari’ah yang
berkaitan dengan macam-macam dzari’ah di atas, perlu
dikemukakan sikap para ulama secara umum terhadap
penggunaan dzari’ah sebagai dalil syara’, sebagai berikut :
a. Ulama Malikiyyah dan ulama Hanabilah menyatakan
bahwa sadd dzari’ah dapat diterima sebagai dalil dalam
menetapkan hukum syara’.132 Argumen mereka secara
umum berdasar kepada larangan Allah mengolok-olok
sesembahan agama lain (QS al-An’am : 108), larangan
seseorang mengolok-olok orang tuanya, dalam hadis Nabi,
dan larangan pembunuh mendapatkan warisan dari harta
yang dibunuh, dalam hadis Nabi.
132 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 203
100
b. Ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Syi’ah dapat menerima
sadd dzari’ah sebagai dalil dalam masalah tertentu dan
menolaknya dalam kasus lain.133
c. Ulama zhahiriyyah tidak menerima sadd dzari’ah sebagai
salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’.
Penolakan ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
beramal berdasarkan nash secara harfiah dan tidak
menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.134
5. Khotimah :
a. Sadd dzari’ah adalah metode ijtihad untuk menetapkan
hukum syara’ dengan cara mengukur akibat atau dampak
dari perbuatan itu, tidak hanya melihat pada perbuatan itu
sendiri yang mungkin dibolehkan. Sesuatu yang
sebenarnya dibolehkan, tetapi dampak dibelakangnya itu
mafsadat, maka menjadi dilarang atau harus dicegah atau
ditutup. Itulah yang menjadi inti dari dalil sadd dzari’ah.
b. Dengan demikian sadd dzari’ah itu sangat dekat dengan
konsep kajian mashlahat yang melahirkan dalil mashlahat
mursalah. Dalam mashlahat mursalah yang menjadi
standar pertimbangan adalah kemaslahatan bagi
kebutuhan hidup manusia yang belum mendapat
pengakuan syara’, sekaligus tidak ada penolakan dari
syara’. Dalam mashlahat mursalah intinya adalah menarik
133 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 204
134 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 208
101
manfaat dan menolak mafsadat, sedangkan dalam sadd
dzari’ah intinya adalah kehati-hatian untuk menghindari
atau menolak mafsadat.
Oleh karena itu ada sebagian ulama yang menyatakan
bahwa sadd dzari’ah itu sesungguhnya merupakan
serpihan dari dalil mashlahat.
c. Kalau diteliti secara cermat, semua dalil ijtihad yang
masuk ke dalam ijtihad bi al-ra’yi seperti qiyas, istihsan
mashlahat mursalah, istish-hab, ‘urf, dan dzari’ah, itu
semuanya bermuara pada satu titik pertimbangan
pemikiran, yaitu “kemaslahatan”, hanya saja
kemaslahatan-kemaslahatan yang ada dalam dalil-dalil itu
mempunyai rumusan sendiri-sendiri.
Kemaslahatan yang ada pada qiyas terletak pada ‘illatnya,
kemaslahatan yang ada pada istihsan terletak pada
pertimbangan keunggulan dalil sebagai alasan
perpindahan hukum, kemaslahatan yang ada pada istish-
hab terletak pada keajegan mengikuti hukum lama,
kemaslahatan yang terdapat pada ‘urf terletak pada tradisi
yang baiknya, kemashatan yang ada pada dzari’ah terletak
pada kewaspadaan menghindari mafsadat, dan
kemaslahatan yang tidak masuk pada kemaslahatan di
atas, masuk pada kemaslahatan umum dalam mashlahat
mursalah.
102
Top Related