BAB IV ANALISIS KINERJA PEMBANGUNAN
Pada bab sebelumnya telah diuraikan mengenai kondisi umum Wilayah
Jawa Barat Selatan. Bab ini akan menguraikan kinerja pembangunan Wilayah
Jawa Barat Selatan ditinjau dari sisi keberlanjutan. Pembahasannya diawali
dengan analisis kinerja pembangunan wilayah secara per aspek, meliputi aspek
ekonomi, sosial, lingkungan, dan pendukung. Selanjutnya, dilakukan analisis
keseluruhan aspek untuk menilai keberlanjutan wilayah. Pembangunan wilayah
dianggap lebih mengarah pada keberlanjutan jika kinerja keseluruhan aspek
membaik dan mengarah pada kondisi keseimbangan antara kinerja ekonomi,
sosial, dan lingkungan.
4.1 Kinerja Ekonomi Sasaran ekonomi pembangunan wilayah berkelanjutan, meliputi
pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, penyediaan lapangan
kerja, dan penanggulangan kemiskinan. Kinerja Wilayah Jawa Barat Selatan
dalam mencapai sasaran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Pertumbuhan Pertumbuhan ekonomi Wilayah Jawa Barat Selatan yang ditunjukkan oleh
indikator PDRB per kapita memperlihatkan kecenderungan meningkat selama
kurun waktu amatan (Gambar IV.1). Penurunan terjadi pada tahun 1997-1998
akibat krisis, tapi kemudian meningkat kembali pada tahun 1999. Hingga tahun
amatan terakhir, PDRB per kapita Wilayah Jawa Barat Selatan masih
menunjukkan kecenderungan meningkat. Peningkatan PDRB per kapita memberi
petunjuk adanya peningkatan perekonomian wilayah dan pendapatan
masyarakat secara agregat. Kondisi tersebut terjadi di seluruh kabupaten yang
ada di Wilayah Jawa Barat Selatan maupun Jawa Barat. Kinerja terbaik
ditunjukkan oleh Kabupaten Ciamis, sedangkan yang terburuk adalah Kabupaten
Tasikmalaya.
65
66
Untuk Kabupaten Ciamis, PDRB per kapitanya relatif tinggi dibandingkan
kabupaten lain karena adanya keunggulan komparatif yang berupa kawasan
wisata Pangandaran. Setiap tahunnya, Pangandaran mampu menyedot
wisatawan domestik maupun mancanegara dalam jumlah yang cukup besar.
Sekitar 2% dari jumlah pengunjung obyek wisata Pangandaran adalah wisatawan
mancanegara. Dengan adanya Pangandaran, maka obyek wisata di luar
kawasan Pangandaran juga ikut berkembang. Berkembangnya Pangandaran
maupun obyek wisata lainnya mampu memberikan multipplier effects (efek
pengganda) terhadap perkembangan sektor usaha lainnya, seperti pertanian,
industri, perdagangan maupun perhotelan sehingga berkontribusi besar dalam
mendorong peningkatan PDRB per kapita di kabupaten tersebut.
Gambar IV.1
Perkembangan PDRB Per Kapita di Wilayah Jawa Barat Selatan dan Jawa Barat
0
200.000
400.000
600.000
800.000
1.000.000
1.200.000
1.400.000
1.600.000
1.800.000
1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004
Tahun
PDR
B P
er K
apita
(Rup
iah)
Ciamis Tasikmalaya GarutCianjur Sukabumi Jawa Barat Selatan Jawa Barat
Secara umum, untuk Wilayah Jawa Barat Selatan, dua sektor utamanya
(yaitu pertanian dan perdagangan, hotel, dan restoran) memberi kontribusi
signifikan bagi peningkatan PDRB per kapita wilayah tersebut (Gambar IV.2).
Pada periode 1993-1996 (sebelum krisis), sektor pertanian memberi kontribusi
sekitar 15%, 29,72% dan 16,70% terhadap peningkatan PDRB per kapita
Wilayah Jawa Barat Selatan. Sementara sektor perdagangan, hotel, dan restoran
memberi kontribusi sekitar 29,39%, 27,18%, dan 30,18%. Sektor lainnya
67
memberikan kontribusi yang tidak terlalu signifikan selama periode tersebut, yaitu
masing-masing hanya <15%. Saat awal krisis (tahun 1996-1997), kontribusi
sektor pertanian menurun hingga mencapai minus 6,07%. Akan tetapi, sektor
perdagangan, hotel, dan restoran tetap memberikan kontribusi paling tinggi (yaitu
sebesar 33%), diikuti oleh sektor industri sebesar 15,63%. Sejak krisis hingga
tahun amatan terakhir (tahun 1997-2001), sektor pertanian kembali berperan
signifikan. Kontribusi sektor tersebut meningkat sehingga menjadi paling tinggi
dibandingkan sektor lainnya. Sementara kontribusi sektor perdagangan, hotel,
dan restoran cenderung menurun menjadi di bawah sektor bangunan pada
periode 1997-1998, di bawah sektor industri pada periode 1999-2000, dan di
bawah sektor jasa pada periode 2000-2001.
Gambar IV.2 Kontribusi Tiap Sektor Terhadap Peningkatan PDRB Per Kapita Wilayah
Jawa Barat Selatan Selama Periode 1993-2001
-100
-50
0
50
100
150
200
1993-1994 1994-1995 1995-1996 1996-1997 1997-1998 1998-1999 1999-2000 2000-2001
Tahun
Kon
trib
usi (
%)
Pertanian Industri PengolahanPengangkutan dan Komunikasi Listrik, Gas, dan Air BersihBangunan Keuangan, Persewaan, dan Jasa PerusahaanPerdagangan, Hotel, dan Restoran Jasa-jasaPertambangan
Walaupun meningkat, nilai PDRB per kapita Wilayah Jawa Barat Selatan
masih di bawah Jawa Barat. Beberapa kabupaten/kota di wilayah utara yang
perkembangan sektor industrinya cukup pesat, seperti Kabupaten/Kota Bekasi,
Cirebon, dan Karawang memberi kontribusi besar terhadap PDRB per kapita
Jawa Barat. Sementara itu, belum optimalnya pengembangan sektor pertanian
68
sebagai sektor dominan di Wilayah Jawa Barat Selatan menjadi salah satu
penyebab utama rendahnya PDRB per kapita di wilayah tersebut.
Ruang gerak pembangunan pertanian di Wilayah Jawa Barat Selatan
umumnya masih terbatas pada aspek produksi (budidaya), sedangkan aspek
penanganan hasil pertanian pasca panennya, seperti pengolahan hasil, jalur
distribusi, dan pemasaran hasilnya masih lemah. Selama ini, pengolahan hasil
pertanian masih banyak dilakukan di wilayah utara karena industri pengolahan di
Wilayah Jawa Barat Selatan masih kurang berkembang. Selain itu, kondisi
jaringan transportasi yang masih buruk dan belum menjangkau seluruh wilayah
menyebabkan kegiatan distribusi dan pemasaran hasil pertanian menjadi
terhambat, biaya pengangkutan hasil pertanian menjadi mahal dan hasil
pertanian wilayah tersebut pun menjadi kurang bersaing di pasaran. Faktor
pendukung lainnya juga masih lemah, ditandai dengan minimnya ketersediaan
modal, terbatasnya ketersediaan sarana irigasi pertanian, lemahnya
kelembagaan pertanian, dan terbatasnya akses ke teknologi dan sarana produksi
pertanian. Akibatnya, sebagian besar petani di Wilayah Jawa Barat Selatan
hanya menguasai usaha tani (on-farm) yang memiliki mata rantai bernilai tambah
kecil dan beresiko tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan PDRB per kapita
masyarakat Wilayah Jawa Barat Selatan yang sebagian besar bekerja di sektor
pertanian menjadi rendah.
b. Pemerataan Tingkat pemerataan yang ditunjukkan oleh indikator Rasio Gini
berkembang secara fluktuatif selama kurun waktu amatan, tapi secara umum
cenderung menurun (Gambar IV.3). Rasio Gini menunjukkan nilai tertinggi pada
tahun 1996, kemudian menurun saat awal krisis ekonomi tahun 1997.
Peningkatan terjadi lagi pada tahun 1998, tapi tidak sebesar tahun 1996. Tahun
1999-2003, Rasio Gini Wilayah Jawa Barat Selatan cenderung menurun. Akan
tetapi, pada tahun amatan terakhir, Rasio Gini Wilayah Jawa Barat Selatan
memperlihatkan gejala peningkatan, terutama di Kabupaten Garut, Cianjur, dan
Sukabumi. Penurunan Rasio Gini dapat memberi petunjuk adanya pemerataan
yang semakin baik. Penurunan Rasio Gini yang terjadi seiring dengan
peningkatan PDRB per kapita menunjukkan proses pembangunan yang berjalan
69
sinergis. Hal tersebut menunjukkan kinerja dan kecenderungan yang positif
dalam pembangunan wilayah yang berkelanjutan.
Peningkatan Rasio Gini yang tinggi pada tahun 1996 diperkirakan terjadi
akibat adanya pertumbuhan ekonomi yang cepat pada saat itu. Secara teoritis,
memang ada teori yang intinya menyatakan bahwa akibat dari pertumbuhan
adalah ketidakseimbangan. Argumentasinya adalah karena pertumbuhan
tersebut biasanya dihasilkan oleh beberapa sektor produktif atau beberapa
wilayah yang telah berkembang daripada banyak sektor atau wilayah (Hirschman
dalam Priyatna, 2003).
Dari lima kabupaten yang ada di Wilayah Jawa Barat Selatan, kinerja
pemerataan terbaik ditunjukkan oleh Kabupaten Cianjur, sedangkan yang
terburuk ditunjukkan oleh Kabupaten Tasikmalaya. Untuk Kabupaten
Tasikmalaya, sejak tahun 2002, Rasio Gininya terlihat menurun dibandingkan
awal tahun amatan. Hal tersebut bukan disebabkan oleh perbaikan dalam
pemerataan (pengelolaan) distribusi pendapatan, melainkan karena adanya
pemekaran wilayah pada tahun 2001, yaitu terpisahnya Kota Tasikmalaya dari
Kabupaten Tasikmalaya. Sebelum pemekaran wilayah, diperkirakan terdapat
kesenjangan pendapatan antara masyarakat Kota Tasikmalaya dengan
masyarakat wilayah pedesaan yang merupakan sebagian besar wilayah
Kabupaten Tasikmalaya.
Dibandingkan Jawa Barat, Rasio Gini Wilayah Jawa Barat Selatan sudah
lebih baik (lebih rendah). Selama kurun waktu amatan, Rasio Gini seluruh
kabupaten di Wilayah Jawa Barat Selatan selalu menunjukkan angka kurang dari
0,3. Nilai sebesar itu menurut Todaro (1983) sudah menunjukkan distribusi
pendapatan yang relatif merata. Keberadaan sektor pertanian dianggap berperan
penting bagi pemerataan pendapatan di Wilayah Jawa Barat Selatan. Sektor
pertanian relatif mengakar dalam masyarakat Wilayah Jawa Barat Selatan dan
cenderung melibatkan banyak pihak/ tenaga kerja, mulai dari petani pemilik,
penggarap, penyakap, hingga buruh tani, dan lain-lain sehingga menimbulkan
efek pemerataan.
70
Gambar IV.3 Perkembangan Rasio Gini di Wilayah Jawa Barat Selatan dan Jawa Barat
0,000
0,050
0,100
0,150
0,200
0,250
0,300
0,350
0,400
1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Tahun
Gin
i Ras
io
Ciamis Tasikmalaya GarutCianjur Sukabumi Jawa Barat SelatanJawa Barat
c. Penyediaan Lapangan Kerja Penyediaan lapangan kerja yang ditunjukkan oleh indikator persentase
pengangguran terbuka berfluktuasi di semua kabupaten yang ada di Wilayah
Jawa Barat Selatan. Akan tetapi, secara umum, perkembangannya
memperlihatkan kecenderungan meningkat (Gambar IV.4). Penurunan
persentase pengangguran terbuka di Wilayah Jawa Barat Selatan terjadi pada
tahun 1999-2001, tapi kemudian meningkat kembali pada tahun 2002. Hingga
tahun amatan terakhir, perkembangan persentase pengangguran terbuka di
wilayah tersebut masih menunjukkan kecenderungan meningkat. Dari lima
kabupaten yang ada di Wilayah Jawa Barat Selatan, kinerja terbaik ditunjukkan
oleh Kabupaten Ciamis, sedangkan yang terburuk adalah Kabupaten Cianjur.
Peningkatan pengangguran terbuka dapat memberi petunjuk tentang
ketidakmampuan ekonomi Wilayah Jawa Barat Selatan dalam menciptakan
kesempatan kerja, masih rendahnya tingkat kompetensi angkatan kerja, dan
petunjuk tentang menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut
menunjukkan kinerja negatif yang dapat menghambat wilayah dalam mencapai
sasaran pembangunan berkelanjutan.
71
Pengangguran terbuka bisa menurun akibat adanya perbaikan situasi
ekonomi seperti yang diindikasikan dengan peningkatan PDRB per kapita.
Penurunan pengangguran terbuka bisa juga terjadi akibat mengalirnya tenaga
kerja secara besar-besaran ke luar wilayah, seperti ke perkotaan untuk mengisi
lapangan kerja yang ada, baik di sektor formal maupun informal (salah satunya
sebagai pedagang kaki lima yang sejak krisis ekonomi lalu jumlahnya makin
menjamur di perkotaan). Penurunan pengangguran terbuka juga bisa terjadi
akibat aliran tenaga kerja secara besar-besaran ke luar negeri. Kabupaten
Sukabumi pada tahun 2000 (menurut data Jawa Barat Dalam Angka Tahun
2000, BPS) mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negeri hingga mencapai 4.757
jiwa. Kabupaten lainnya, seperti Cianjur juga banyak mengirimkan tenaga
kerjanya ke Arab Saudi dan Asia Pasifik, seperti Hongkong, Jepang, dan Taiwan
(dalam Kompas, 17 Juni 2002).
Walaupun meningkat, tapi angka pengangguran terbuka Wilayah Jawa
Barat Selatan masih relatif rendah dibandingkan dengan Jawa Barat. Sektor
pertanian yang dominan di Wilayah Jawa Barat Selatan berperan penting dalam
mengurangi tingkat pengangguran terbuka di wilayah tersebut. Sektor pertanian
memiliki kemampuan yang besar dalam mengakomodasi tenaga kerja dan relatif
mudah dimasuki oleh tenaga kerja karena tidak mensyaratkan pendidikan dan
keahlian yang tinggi. Namun, pada sektor pertanian biasanya banyak terdapat
pengangguran terselubung (pekerja setengah menganggur) dengan tingkat
pendapatan yang rendah. Bisa jadi pengangguran terbuka Wilayah Jawa Barat
Selatan lebih rendah daripada Jawa Barat, tetapi pengangguran terselubung
pada sektor pertanian di wilayah tersebut sebenarnya masih tinggi.
Pengangguran terselubung merupakan posisi yang rentan karena mudah
kehilangan pekerjaan dan pendapatan, serta jatuh ke dalam kemiskinan.
Besarnya pengangguran terselubung dapat menghambat pencapaian
pembangunan berkelanjutan.
72
Gambar IV.4 Perkembangan Persentase Pengangguran Terbuka di Wilayah Jawa Barat
Selatan dan Jawa Barat
0
2
4
6
8
10
12
1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Tahun
Peng
angg
uran
Ter
buka
(%)
Ciamis Tasikmalaya GarutCianjur Sukabumi Jawa Barat SelatanJawa Barat
d. Penanggulangan Kemiskinan Walaupun pembangunan ekonomi Wilayah Jawa Barat Selatan secara
agregat sudah berlangsung positif (peningkatan PDRB riil per kapitanya sudah
diikuti dengan perbaikan pemerataan distribusi pendapatan), tapi persentase
penduduk miskin di Wilayah Jawa Barat Selatan masih cenderung meningkat
(Gambar IV.5). Peningkatannya terjadi sejak krisis ekonomi tahun 1997. Hingga
tahun amatan terakhir, baru Kabupaten Garut dan Sukabumi saja yang berhasil
menunjukkan perbaikan. Di Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, dan Cianjur,
meskipun persentase penduduk miskinnya sudah menurun dibandingkan saat
krisis, tapi dibandingkan awal tahun amatan masih cenderung meningkat. Dari
lima kabupaten yang ada di Wilayah Jawa Barat Selatan, Kabupaten
Tasikmalaya mengalami peningkatan persentase penduduk miskin paling tinggi.
Kabupaten Ciamis menunjukkan kinerja terbaik (persentase penduduk miskinnya
paling rendah), sedangkan yang kinerjanya terburuk adalah Kabupaten Garut.
Peningkatan persentase penduduk miskin memberi petunjuk semakin
banyaknya penduduk Wilayah Jawa Barat Selatan yang mengalami kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan pokok, terutama setelah krisis. Peningkatan
pendapatan/nilai tambah (yang ditunjukkan oleh peningkatan PDRB per kapita)
73
maupun pemerataan pendapatan sepertinya belum sampai kepada masyarakat
lapisan bawah. Hal tersebut menunjukkan kinerja negatif yang dapat
menghambat wilayah dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.
Gambar IV.5 Perkembangan Persentase Penduduk Miskin di Wilayah Jawa Barat Selatan
dan Jawa Barat
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006Tahun
Pend
uduk
Mis
kin
(%)
Ciamis Tasikmalaya GarutCianjur Sukabumi Jawa Barat SelatanJawa Barat
4.1 Kinerja Sosial Dalam aspek sosial, sasaran pembangunan wilayah berkelanjutan adalah
pembangunan (pemberdayaan) manusia, baik dalam bidang kesehatan maupun
pendidikan. Kinerja Wilayah Jawa Barat Selatan dalam mencapai sasaran
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Kesehatan
Kinerja sosial dalam bidang kesehatan yang ditunjukkan oleh indikator
angka harapan hidup memperlihatkan kecenderungan meningkat selama kurun
waktu amatan (Gambar IV.6). Dari kelima kabupaten, Ciamis menunjukkan
kinerja terbaik, sedangkan yang terburuk adalah Kabupaten Garut. Peningkatan
angka harapan hidup selain memberi petunjuk adanya perbaikan dalam
kesehatan masyarakat, juga dapat mengindikasikan semakin baiknya akses
74
masyarakat ke pelayanan kesehatan, gizi yang cukup, air minum yang aman,
serta kondisi lingkungan di sekitar rumah yang semakin baik. Hal tersebut juga
dapat mendorong peningkatan produktivitas masyarakat sehingga menunjukkan
kinerja sekaligus modal yang positif dalam mencapai pembangunan wilayah
berkelanjutan.
Walaupun meningkat, tapi angka harapan hidup Wilayah Jawa Barat
Selatan lebih rendah dibandingkan Jawa Barat. Kondisi fasilitas dan pelayanan
kesehatan yang belum merata merupakan salah satu penyebab utama
rendahnya tingkat kesehatan masyarakat di Wilayah Jawa Barat Selatan. Letak
fasilitas kesehatan di Wilayah Jawa Barat umumnya masih terkonsentrasi di kota
kecamatan. Akibatnya, masih banyak warga yang tinggal di luar kota kecamatan
mengalami kesulitan dalam mencapai fasilitas kesehatan tersebut karena
terbatasnya kendaraan umum.
Gambar IV.6 Perkembangan Angka Harapan Hidup di Wilayah Jawa Barat Selatan dan
Jawa Barat
56
58
60
62
64
66
68
70
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Ang
ka H
arap
an H
idup
Ciamis Tasikmalaya GarutCianjur Sukabumi Jaw a Barat Selatan Jaw a Barat
b. Pendidikan Dalam bidang pendidikan, meskipun hingga tahun amatan terakhir belum
semua penduduk dapat membaca dan menulis, tapi tingkat literasi penduduk di
Wilayah Jawa Barat Selatan relatif lebih baik dibandingkan Jawa Barat.
Perkembangan angka melek huruf di Wilayah Jawa Barat Selatan juga
75
menunjukkan kecenderungan meningkat selama kurun waktu amatan (Gambar
IV.7). Penurunan terjadi pada tahun 2000, tapi kemudian meningkat kembali
pada tahun 2001. Hingga tahun amatan terakhir, perkembangan angka melek
huruf di Wilayah Jawa Barat Selatan cenderung meningkat.
Kondisi tersebut terjadi di semua kabupaten yang ada di Wilayah Jawa
Barat Selatan maupun Jawa Barat. Kinerja terbaik ditunjukkan oleh Kabupaten
Tasikmalaya, sedangkan yang terburuk adalah Kabupaten Ciamis. Peningkatan
angka melek huruf selain menunjukkan adanya kemajuan dalam pendidikan
dasar (baik formal maupun informal), juga dapat mengindikasikan adanya
peningkatan pengetahuan masyarakat. Masyarakat yang semakin melek huruf
akan semakin mudah dalam menerima informasi guna meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, produktivitas, dan kualitas hidupnya sehingga dapat
peningkatan angka melek huruf menunjukkan kinerja dan modal yang positif
dalam mencapai sasaran pembangunan wilayah berkelanjutan.
Gambar IV.7 Perkembangan Angka Melek Huruf di Wilayah Jawa Barat Selatan dan Jawa
Barat
8990919293949596979899
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Ang
ka M
elek
Hur
uf
Ciamis Tasikmalaya GarutCianjur Sukabumi Jaw a Barat SelatanJaw a Barat
Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang tamat SLTP ke atas
juga menunjukkan kecenderungan meningkat selama kurun waktu amatan
(Gambar IV.8). Akan tetapi, peningkatannya baru terlihat pesat pada tahun
76
amatan terakhir (tahun 2004). Sebelum tahun 2004, perkembangannya relatif
stagnan (meningkat tapi tidak terlalu signifikan).
Kondisi di atas terjadi di semua kabupaten yang ada di Wilayah Jawa
Barat Selatan maupun Jawa Barat. Kabupaten Garut menunjukkan kinerja
terbaik, sedangkan yang terburuk adalah Kabupaten Cianjur. Peningkatan
persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang tamat SLTP ke atas dapat
memberi petunjuk adanya kemajuan dalam bidang pendidikan formal. Hal
tersebut juga dapat mendorong peningkatan produktivitas tenaga kerja dan daya
saing wilayah sehingga menunjukkan kinerja sekaligus modal yang positif dalam
mencapai sasaran pembangunan wilayah yang berkelanjutan.
Walaupun meningkat, tapi komposisi penduduk usia 10 tahun ke atas di
Wilayah Jawa Barat Selatan hingga tahun amatan terakhir masih didominasi oleh
penduduk dengan latar pendidikan SLTP ke bawah. Hal tersebut menunjukkan
bahwa penduduk usia kerja di Wilayah Jawa Barat Selatan masih banyak yang
berada pada tingkat pendidikan dasar. Lulusan pendidikan dasar umumnya
masih merupakan tenaga yang belum siap pakai dan belum siap memasuki
lapangan kerja karena terbatasnya bekal keahlian khusus dari pendidikan yang
didapat. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk dapat berdampak pada
rendahnya produktivitas tenaga kerja yang akan mempengaruhi produktivitas
ekonomi secara keseluruhan
Dibandingkan dengan Jawa Barat, persentase penduduk usia 10 tahun ke
atas yang tamat SLTP ke atas di Wilayah Jawa Barat Selatan masih terlihat lebih
rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas pendidikan jenjang
lanjutan/perguruan tinggi di Wilayah Jawa Barat Selatan masih relatif tertinggal
dibandingkan Jawa Barat. Ketersediaan fasilitas pendidikan yang minim dan
belum tersebar merata, terutama untuk jenjang SLTP ke atas dianggap sebagai
salah satu penyebab rendahnya kualitas pendidikan masyarakat di Wilayah Jawa
Barat Selatan. Letak fasilitas pendidikan di Wilayah Jawa Barat Selatan hingga
saat ini masih banyak yang terkonsentasi di kota kecamatan. Akses untuk
mencapai fasilitas pendidikan juga masih belum baik. Akibatnya, banyak
masyarakat yang tinggal di luar kota kecamatan masih kesulitan dalam mencapai
fasilitas yang tersedia.
77
Gambar IV.8 Perkembangan Persentase Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas yang Tamat
SLTP Ke Atas di Wilayah Jawa Barat Selatan dan Jawa Barat
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Tahun
Pend
uduk
Usi
a 10
Tah
un K
e A
tas
yang
Ta
mat
SLT
P K
e A
tas
(%)
Ciamis Tasikmalaya GarutCianjur Sukabumi Jaw a Barat SelatanJaw a Barat
4.3 Kinerja Lingkungan Dalam pembangunan lingkungan di Wilayah Jawa Barat Selatan,
kehutanan merupakan salah satu elemen penting. Hal tersebut berkaitan dengan
salah satu fungsi Wilayah Jawa Barat Selatan sebagai kawasan lindung dan
konservasi. Selain memiliki fungsi lindung, hutan juga mempunyai nilai ekonomis
tinggi. Hutan sangat dibutuhkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bahkan untuk sebagian masyarakat miskin di perdesaan, hutan merupakan
sumber livelihood yang paling utama.
Ada indikasi terjadinya penurunan luas hutan di Wilayah Jawa Barat
Selatan. Hal tersebut ditunjukkan oleh data perkembangan luas hutan Perhutani
Unit III dan luas hutan negara yang cenderung menurun selama kurun waktu
amatan (Tabel IV.1). Meskipun diperoleh pula data perkembangan luas hutan
rakyat yang menunjukkan kecenderungan meningkat, tapi masih diragukan
apakah kondisi hutan rakyat tersebut masih berupa tegakan hutan atau tidak.
Dikhawatirkan pula bahwa perluasan hutan rakyat dilakukan dengan cara-cara
negatif, seperti menjarah hutan produktif milik perhutani, mengkonversi hutan
lindung, atau cara-cara lain yang sebenarnya merusak lingkungan. Jika hal
tersebut yang terjadi, maka peningkatan luas hutan rakyat mungkin lebih
78
menggambarkan terjadinya penurunan daripada peningkatan kualitas
lingkungan.
Dari lima kabupaten yang ada di Wilayah Jawa Barat Selatan, Kabupaten
Sukabumi mengalami penurunan luas hutan paling besar, sedangkan yang
terkecil adalah Kabupaten Ciamis. Penurunan luas hutan dapat terjadi akibat
adanya ekstensifikasi (perluasan) lahan pertanian (baik untuk kebun campuran,
tegalan/ladang dan perkebunan), pencurian kayu, maupun perluasan hutan
rakyat yang sebagian besar dilakukan secara ilegal. Sejak reformasi, peristiwa
perambahan hutan secara ilegal oleh kelompok masyarakat semakin marak
terjadi. Bahkan data yang dikumpulkan oleh BPLHD pada tahun 2005 juga masih
menggambarkan adanya perambahan hutan lindung, hutan produksi, dan hutan
konservasi oleh kelompok-kelompok masyarakat kecil, antara lain di daerah
pegunungan Garut dan Cianjur.
Perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat menunjukkan masih
rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap sumber daya hutan
dan dampak yang ditimbulkannya. Penjarahan hutan di Wilayah Jawa Barat
Selatan terkait dengan faktor kemiskinan dan lemahnya peran pengelola hutan.
Dengan menggunakan alasan kemiskinan, masyarakat seringkali merambah dan
menebang hutan secara ilegal. Para pemodal terkadang juga memanfaatkan
masyarakat miskin untuk merambah dan menebang hutan. Posisi masyarakat
sekitar hutan sendiri masih lemah ketika berhadapan dengan pemodal yang akan
memanfaatkan hutan. Pada sisi lain, penegakan hukum terhadap perambahan
dan penebangan hutan secara ilegal juga masih lemah dan belum konsisten.
Penurunan luas hutan memberi petunjuk adanya gangguan terhadap
keanekaragaman hayati dan keseimbangan lingkungan. Hal tersebut
menunjukkan kinerja negatif yang jika dibiarkan terus berlanjut, maka dapat
mengancam keberlanjutan wilayah.
79
TABEL
PERKEMBANGAN LUAS HUTAN PERHUTANI UNIT III (HA)
& PERKEMBANGAN LUAS HUTAN
NEGARA (HA)
80
Selain hutan, keberadaan lahan sawah, terutama lahan sawah beririgasi
juga penting dalam pembangunan Wilayah Jawa Barat Selatan. Hal tersebut
terkait dengan peran sawah beririgasi sebagai media konservasi air dan tanah
sekaligus salah satu sumber daya penting dalam pengembangan sektor
pertanian yang merupakan basis perekonomian wilayah. Keberadaan sawah
beririgasi juga penting untuk memelihara ketahanan pangan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, terutama kaum petani yang merupakan elemen
terbesar masyarakat Wilayah Jawa Barat Selatan.
Meskipun penting, tapi perkembangan luas sawah beririgasi di Wilayah
Jawa Barat Selatan menunjukkan kecenderungan menyusut selama kurun waktu
amatan (Tabel IV.2). Penyusutan terbesar terjadi pada tahun 1995-1996. Hingga
tahun amatan terakhir, luas sawah beririgasi di Wilayah Jawa Barat Selatan
masih menyusut dibandingkan awal tahun amatan. Kabupaten Tasikmalaya
mengalami penyusutan paling besar, sedangkan yang terkecil adalah Kabupaten
Garut.
Penyusutan luas sawah irigasi dapat terjadi akibat perkembangan
perkotaan (urbanisasi) dan degradasi (kerusakan) sarana prasarana pengairan
maupun sumber-sumber air. Hal tersebut menunjukkan penurunan kualitas
lingkungan yang jika dibiarkan terus berlangsung, maka dapat mengancam
keberlanjutan wilayah.
Tabel IV.2 Perkembangan Luas Lahan Sawah Irigasi (Ha)
Kota/ Kab 1994 1995 1996 1998 1999 2000 2001 2003 2004 Perubahan
Tahun 1994-2004
(Ha) Ciamis 40.690 43.792 25.260 25.728 25.801 25.801 25.801 23.805 23.805 -16.885 Tasikmalaya 39.418 38.906 14.980 14.413 18.491 17.082 15.767 12.415 13.854 -25.564 Garut 41.188 41.175 23.753 28.330 28.500 28.575 28.575 29.682 27.403 -13.785 Cianjur 45.952 46.135 28.340 29.238 32.228 33.138 32.354 32.874 30.649 -15.303 Sukabumi 42.209 42.169 17.268 17.657 20.566 20.566 18.687 18.687 25.346 -16.863 Jawa Barat Selatan 209.457 212.177 109.601 115.366 125.586 125.162 121.184 117.463 121.057 -88.400 Jawa Barat 916.449 909.465 703.587 692.162 682.829 691.463 602.173 600.324 599.140 -317.309 Sumber: BPS, Jawa Barat Dalam Angka Tahun 1994-2004
Semakin seringnya peristiwa bencana alam, seperti tanah longsor dan
banjir juga dapat mengindikasikan kinerja lingkungan yang semakin memburuk
81
(Tabel IV.3 a dan b). Longsor dapat disebabkan oleh adanya erosi,
penambangan pasir, dan rusaknya hutan yang mengakibatkan kemantapan
tanah terganggu, terutama di daerah pegunungan atau lereng dengan
kemiringan >30%. Penyebab lainnya adalah praktek-praktek pertanian yang tidak
tepat dan buruknya drainase sawah di lereng karena irigasi yang tidak berfungsi
dengan baik.
Banjir dapat terjadi akibat adanya pendangkalan atau penurunan daya
tampung aliran sungai. Pendangkalan sungai dapat terjadi akibat tingginya
tingkat erosi dan sedimentasi di muara-muara sungai sebagai dampak adanya
penambangan pasir dan kerusakan hutan.
Tabel IV.3.a Perkembangan Jumlah Kejadian Bencana Tanah Longsor
Kota/ Kab 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Ciamis 15 4 0 3 4 9 19 988 1.776 Tasikmalaya 28 1 23 2 12 5 24 1.125 1.481 Garut 21 2 3 7 0 6 10 366 3.731 Cianjur 18 8 15 7 5 8 4 726 2.103 Sukabumi 27 1 5 15 1 12 15 1.669 2.504 Jawa Barat Selatan 109 16 46 34 22 40 72 4.874 11.595 Jawa Barat 225 71 123 102 73 107 113 13.310 16.969
Sumber: BPS, Jawa Barat Dalam Angka, 1993-2001
Tabel IV.3.b Perkembangan Jumlah Kejadian Bencana Banjir
Kota/ Kab 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Ciamis 2 1 4 1 0 43 14 2.022 11.946 Tasikmalaya 3 0 3 0 0 1 0 67 19 Garut 1 0 0 1 0 0 0 1.137 30 Cianjur 5 2 8 1 0 7 0 267 116 Sukabumi 13 0 2 5 1 6 2 2.783 624 Jawa Barat Selatan 24 3 17 8 1 57 16 6.276 12.735 Jawa Barat 80 37 124 102 49 75 89 44.345 153.006 Sumber: BPS, Jawa Barat Dalam Angka, 1993-2001
Memburuknya kinerja lingkungan juga terjadi di daerah pesisir pantai
Wilayah Jawa Barat Selatan. Gambaran permasalahan lingkungan yang terjadi di
daerah pesisir pantai tersebut dapat dilihat pada Tabel IV.4 berikut.
82
Tabel IV.4 Permasalahan Lingkungan di Wilayah Pesisir Pantai Jawa Barat Selatan Kabupaten Permasalahan di Wilayah Pesisir
Ciamis • Kerusakan hutan bakau di Kalipucang kurang lebih 25 % dari luas 94 Ha dan Cijulang seluas 15 Ha
• Potensi kerusakan cagar alam akibat pendaratan perahu • Kerusakan terumbu karang di Kawasan Cagar Alam Laut • Pencemaran sampah • Abrasi pantai sepanjang 1 Km di Kec. Pangandaran
Tasikmalaya • Kerusakan pantai akibat penambangan di Kec. Cipatujah • Kerusakan hutan pandan di Cikalong sepanjang 22 Km
Garut • Kerusakan pesisir dan laut cagar alam Sancang sepanjang 12 Km • Potensi pencemaran akibat penumpukan sampah di kawasan wisata santolo • Berkurangnya hutan pantai seluas 100 Ha di sepanjang Caringin, Bungbulang,
Pameungpeuk) • Kerusakan pantai akibat penambangan tak terkendali
Cianjur • Kerusakan ekosistem pandan laut di Cidaun dan sempadan pantai 200 Ha; • Perambahan hutan cagar alam di Cidaun seluas 150 Ha • Kerusakan pantai akibat penambangan pasir besi di Sindangbarang dan Cidaun
seluas 450 Sukabumi • Kerusakan habitat penyu hijau di Ciracap kurang lebih 2,2 Km.
• Kerusakan hutan pantai di Ciracap, Ciomas, Pelabuhan Ratu. • Potensi kerusakan pantai di muara Cikaso (Kec. Tegal buleud) akibat pertambangan
(belum dilakukan penambangan tetapi sudah dipatok/dimiliki). • Potensi pencemaran di Pelabuhan ratu (tidak adanya IPAL).
Sumber: Laporan Pengembangan Kawasan Pesisir Pantai Jawa Barat, 2005
Kerusakan pantai akibat abrasi karena penambangan pasir merupakan
kerusakan yang sulit ditanggulangi dan memerlukan biaya yang sangat mahal.
Menurut hasil peninjauan lapangan yang dilakukan oleh BPLHD (2005),
kerusakan pantai yang terjadi di daerah pesisir pantai Wilayah Jawa Barat
Selatan banyak yang diakibatkan oleh adanya pengambilan pasir besi secara
sistematis, baik dalam skala besar (diragukan legalitasnya) maupun skala kecil
yang diusahakan secara perorangan (ilegal). Peristiwa tersebut jika dibiarkan
terus berlanjut dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan abrasi pantai yang
sangat parah sehingga dapat mengancam keberlanjutan pesisir.
Ditetapkannya Wilayah Jawa Barat Selatan, terutama pesisir Kabupaten
Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis sebagai kawasan
reseptif/endemis malaria juga dapat menggambarkan buruknya situasi
lingkungan pesisir. Malaria dapat disebabkan oleh adanya kerusakan lingkungan,
yaitu semakin berkurangnya hutan, terutama hutan mangrove dan erosi yang
83
menyebabkan munculnya tanah timbul sebagai sarang nyamuk malaria (Laporan
Pertanggungjawaban Gubernur Jawa Barat tahun 2005).
4.4 Kinerja Aspek Pendukung
Pembangunan aspek pendukung terkait dengan upaya terus menerus
dalam memelihara dan mengembangkan sumber daya buatan/infrastruktur fisik
yang diperlukan dalam menunjang dan memperlancar proses pembangunan
ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Beberapa infrastruktur fisik yang penting
disediakan dalam mendukung tercapainya sasaran pembangunan wilayah
berkelanjutan antara lain: prasarana transportasi, infrastruktur air bersih, dan
infrastruktur energi listrik. Kinerja Wilayah Jawa Barat Selatan dalam penyediaan
berbagai infrastruktur fisik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Kondisi Prasarana Transportasi
Kondisi prasarana transportasi yang ditunjukkan oleh indikator persentase
jalan aspal kinerjanya cenderung meningkat dan lebih baik dari Jawa Barat
selama kurun waktu amatan (Gambar IV.9). Peningkatan persentase jalan aspal
terjadi di seluruh kabupaten yang ada di Wilayah Jawa Barat Selatan, kecuali di
Kabupaten Cianjur. Kinerja terbaik ditunjukkan oleh Kabupaten Ciamis,
sedangkan yang terburuk adalah Kabupaten Sukabumi. Peningkatan persentase
jalan aspal memberi petunjuk adanya kemajuan dalam pembangunan
infrastruktur transportasi dan perbaikan tingkat aksesibilitas wilayah. Hal tersebut
menunjukkan kinerja dan kecenderungan positif dalam menunjang tercapainya
sasaran pembangunan wilayah berkelanjutan aspek ekonomi maupun sosial.
84
Gambar IV.9 Perkembangan Persentase Panjang Jalan Aspal
0
20
40
60
80
100
120
1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Tahun
Jala
n A
spal
(%)
Ciamis Tasikmalaya GarutCianjur Sukabumi Jaw a Barat SelatanJaw a Barat
Perkembangan persentase jalan dengan kondisi baik terlihat fluktuatif,
tapi kecenderungannya menurun (Gambar IV.10). Kondisi tersebut terjadi di
semua kabupaten yang ada di Wilayah Jawa Barat Selatan, kecuali di Kabupaten
Garut. Kinerja terbaik ditunjukkan oleh Kabupaten Tasikmalaya, sedangkan yang
terburuk ditunjukkan oleh Kabupaten Sukabumi. Penurunan persentase jalan
dengan kondisi baik memberi petunjuk tentang tingkat pemeliharaan jalan dan
aksesibilitas wilayah yang semakin menurun. Hal tersebut menunjukkan kinerja
dan kecenderungan negatif dalam menunjang tercapainya sasaran
pembangunan wilayah berkelanjutan.
Selain menurun, persentase jalan dengan kondisi baik juga masih rendah.
Dari grafik dapat dilihat bahwa selama kurun waktu amatan, persentase panjang
jalan dengan kondisi baik di Wilayah Jawa Barat Selatan masih terbatas (< 50%).
85
Grafik IV.10 Perkembangan Persentase Panjang Jalan Dengan Kondisi Baik
-20
0
20
40
60
80
100
1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Tahun
Jala
n de
ngan
Kon
disi
Bai
k (%
)
Ciamis Tasikmalaya GarutCianjur Sukabumi Jaw a Barat SelatanJaw a Barat
b. Ketersediaan infrastruktur air bersih Ketersediaan air bersih yang ditunjukkan oleh persentase rumah tangga
dengan sumber air minum ledeng memperlihatkan kecenderungan menurun
selama kurun waktu amatan (Gambar IV.11). Penurunan terbesar terjadi saat
krisis ekonomi tahun 1998. Hingga tahun amatan terakhir, baru Kabupaten
Sukabumi yang menunjukkan perbaikan. Dari lima kabupaten yang ada di
Wilayah Jawa Barat Selatan, Garut menunjukkan kinerja terbaik, sedangkan
yang terburuk adalah Kabupaten Cianjur. Penurunan persentase rumah tangga
dengan sumber air minum ledeng menunjukkan semakin banyaknya masyarakat
yang tidak memiliki akses ke sumber air bersih, khususnya air minum perpipaan.
Hal tersebut menunjukkan kinerja dan kecenderungan negatif dalam menunjang
tercapainya sasaran pembangunan wilayah berkelanjutan.
Selain menurun, cakupan pelayanan air bersih (air minum perpipaan) di
Wilayah Jawa Barat Selatan juga masih rendah. Dari grafik dapat dilihat bahwa
selama kurun waktu amatan, proporsi rumah tangga yang memiliki akses ke
sumber air minum perpipaan di Wilayah Jawa Barat Selatan masih terbatas (<
50%). Dibandingkan dengan Jawa Barat, proporsinya juga masih jauh lebih
rendah.
86
Gambar IV.11 Perkembangan Persentase Rumah Tangga dengan Sumber Air Minum
Ledeng
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Tahun
Rum
ah T
angg
a de
ngan
Sum
ber A
ir M
inum
Led
eng
(%)
Ciamis Tasikmalaya GarutCianjur Sukabumi Jaw a Barat SelatanJaw a Barat
b. Ketersediaan infrastruktur listrik Ketersediaan infrastruktur listrik yang ditunjukkan oleh indikator
persentase rumah tangga dengan sumber penerangan listrik menunjukkan
kecenderungan meningkat selama kurun waktu amatan (Gambar IV.12). Kondisi
tersebut terjadi di semua kabupaten yang ada di Wilayah Jawa Barat Selatan
maupun Jawa Barat. Kinerja terbaik ditunjukkan oleh Kabupaten Garut,
sedangkan yang terburuk ditunjukkan oleh Kabupaten Cianjur. Peningkatan
persentase rumah tangga dengan sumber penerangan listrik dapat memberi
petunjuk semakin meningkatnya proporsi masyarakat yang memiliki akses ke
pelayanan energi modern, khususnya energi listrik. Hal tersebut akan
mengurangi ketergantungan masyarakat pada energi tradisional yang cenderung
kurang efisien dan mendukung keberlanjutan pembangunan wilayah dalam
bidang ekonomi maupun sosial.
87
Gambar IV.12 Perkembangan Persentase Rumah Tangga dengan Sumber Penerangan
Listrik
0
20
40
60
80
100
120
1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Tahun
Rum
ah T
angg
a de
ngan
Sum
ber P
ener
anga
n Li
strik
(%)
Ciamis Tasikmalaya GarutCianjur Sukabumi Jaw a Barat SelatanJaw a Barat
4.5 Analisis Keberlanjutan Wilayah Hasil evaluasi kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan yang telah
diuraikan di atas, selanjutnya digunakan untuk analisis keberlanjutan wilayah.
Pembangunan wilayah dianggap lebih mengarah pada keberlanjutan jika kinerja
keseluruhan indikator pada ketiga aspek (ekonomi, sosial, maupun lingkungan)
memperlihatkan kecenderungan membaik secara bersama-sama. Berhubung
tiap aspek terdiri dari beberapa indikator yang kinerjanya dapat berbeda-beda
(sebagian mungkin membaik dan/atau sebagian lainnya memburuk), untuk
menentukan kinerja secara keseluruhan ditunjukan dalam bentuk indeks
komposit.
Berikut ini adalah tabel kompilasi kinerja keseluruhan aspek yang dapat
memberikan petunjuk mengenai keberlanjutan wilayah. Data pada tabel tersebut
merupakan kesimpulan dari analisis kinerja pembangunan wilayah secara per
aspek (ekonomi, sosial, lingkungan, dan pendukung) seperti yang telah diuraikan
sebelumnya (sub bab 4.1 s.d. 4.4).
88
TABEL KOMPILASI KINERJA INDIKATOR
EKONOMI, SOSIAL, LINGKUNGAN, DAN PENDUKUNG DI WILAYAH JAWA BARAT
SELATAN
89
LANJUTAN TABEL KOMPILASI KINERJA INDIKATOR
EKONOMI, SOSIAL, LINGKUNGAN, DAN PENDUKUNG DI WILAYAH JAWA BARAT
SELATAN
90
Tabel IV.5 memperlihatkan bahwa indikator ekonomi Wilayah Jawa Barat
Selatan belum seluruhnya menunjukkan kinerja yang membaik. Baru PDRB per
kapita dan Rasio Gini yang kinerjanya membaik. Pengangguran terbuka dan
persentase penduduk miskin masih menunjukkan kinerja yang memburuk.
Persentase pengangguran terbuka masih memburuk di semua kabupaten,
sedangkan persentase penduduk miskin memburuk, terutama di Kabupaten
Ciamis, Tasikmalaya, dan Cianjur. Perbaikan ekonomi wilayah rupanya belum
diikuti oleh pengurangan penduduk miskin dan pengangguran terbuka.
Peningkatan penduduk miskin dan pengangguran terbuka dapat meningkatkan
tekanan terhadap sumber daya alam dan lingkungan sehingga mengarah kepada
situasi yang tidak berkelanjutan.
Dibandingkan dengan Jawa Barat, Rasio Gini dan persentase
pengangguran terbuka Wilayah Jawa Barat Selatan sudah menunjukkan kinerja
yang lebih baik. Akan tetapi, PDRB per kapita dan persentase penduduk
miskinnya masih menunjukkan kinerja yang lebih buruk. Dapat dikemukakan
bahwa output perekonomian Wilayah Jawa Barat Selatan masih lebih rendah dari
Jawa Barat. Namun demikian, wilayah tersebut memiliki pemerataan (distribusi
pendapatan maupun kesempatan kerja) yang relatif baik.
Indikator sosial sudah menunjukkan kinerja membaik di seluruh
kabupaten. Dengan demikian, pembangunan sosial Wilayah Jawa Barat Selatan
dapat dianggap cenderung mengarah pada keberlanjutan. Akan tetapi,
dibandingkan Jawa Barat, wilayah tersebut baru menunjukkan kinerja lebih baik
untuk indikator angka melek huruf saja, sedangkan kinerja dua indikator sosial
lainnya masih relatif buruk. Untuk indikator persentase penduduk usia 10 tahun
ke atas yang tamat SLTP ke atas, kinerja seluruh kabupaten masih lebih buruk
dari Jawa Barat. Untuk indikator angka harapan hidup, meskipun beberapa
kabupaten (seperti Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya) sudah memperlihatkan
kinerja yang relatif baik, tapi secara umum, kinerja Wilayah Jawa Barat Selatan
untuk indikator tersebut masih relatif buruk dibandingkan Jawa Barat. Dapat
dikemukakan bahwa secara umum, kualitas SDM/tenaga kerja Wilayah Jawa
Barat Selatan (terutama ditinjau dari aspek kesehatan dan capaian pendidikan)
masih lebih buruk dari Jawa Barat. Namun demikian, tingkat literasi
penduduknya sudah relatif baik sehingga dapat menjadi modal penting dalam
mencapai pembangunan berkelanjutan.
91
Untuk aspek lingkungan, kinerja seluruh indikatornya memburuk di semua
kabupaten. Luas hutan dan sawah irigasi cenderung menyusut dari tahun ke
tahun. Jika dibiarkan terus berlangsung, dalam jangka panjang hal tersebut dapat
menghancurkan dasar ekonomi masyarakat Wilayah Jawa Barat Selatan yang
sebagian besar berada di perdesaan dan menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian dan kehutanan. Luas sawah irigasi yang cenderung menyusut
juga dapat menurunkan kemampuan swasembada dan ketahanan pangan
wilayah. Penyusutan lahan sawah yang terjadi di tengah kondisi terbatasnya
lapangan kerja non pertanian, pada akhirnya dapat memaksa kaum petani untuk
berpindah ke kawasan marginal yang seharusnya dikonservasi, seperti
pegunungan maupun lereng-lereng bukit yang curam dan rawan erosi, atau
membuka lahan baru dengan cara merambah hutan. Penyusutan luas hutan
Perhutani unit III maupun hutan negara antara lain disebabkan oleh perambahan
semacam itu. Penyusutan luas hutan yang cepat, selain menghancurkan
keanekaragaman hayati, juga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan
menimbulkan bencana yang meluas, seperti banjir dan tanah longsor yang
frekuensinya terlihat semakin meningkat pada tahun-tahun terakhir.
Untuk aspek pendukung, baru sebagian indikator (yaitu persentase
panjang jalan aspal dan persentase rumah tangga dengan sumber penerangan
listrik) yang kinerjanya membaik. Sebagian indikator lainnya (yaitu persentase
jalan dengan kondisi baik dan persentase rumah tangga dengan air ledeng)
kinerjanya masih memburuk. Dibandingkan dengan Jawa Barat, Wilayah Jawa
Barat Selatan baru menunjukkan kinerja lebih baik dalam pembangunan jalan
aspal. Sementara itu, kinerjanya dalam pemeliharaan jalan dengan kondisi baik,
penyediaan air bersih, dan penyediaan energi listriknya masih relatif buruk.
Dapat dikemukakan bahwa secara umum, kondisi infrastruktur fisik di Wilayah
Jawa Barat Selatan masih relatif buruk dibandingkan dengan Jawa Barat.
Dari seluruh uraian di atas dapat digarisbawahi beberapa butir penting
sebagai berikut.
• Indikator Wilayah Jawa Barat Selatan belum seluruhnya menunjukkan
kinerja membaik. Hanya indikator sosial, sebagian indikator ekonomi, dan
sebagian indikator aspek pendukung saja yang kinerjanya membaik.
Sedangkan indikator lingkungan, sebagian indikator ekonomi, dan
92
sebagian indikator aspek pendukung lainnya masih menunjukkan kinerja
memburuk.
• Perbaikan kinerja pada beberapa indikator sosial, ekonomi maupun
pendukung merupakan modal positif dalam mencapai pembangunan
wilayah berkelanjutan. Namun demikian, memburuknya kinerja pada
beberapa indikator lingkungan, ekonomi, dan indikator aspek pendukung
lainnya menunjukkan bahwa Wilayah Jawa Barat Selatan masih harus
melakukan upaya luas dalam mencapai pembangunan wilayah
berkelanjutan.
• Beberapa hal yang perlu diperbaiki dan mendapatkan perhatian, yaitu
pembangunan lingkungan, penyediaan lapangan kerja, dan
penanggulangan kemiskinan karena kinerjanya cenderung memburuk.
Selain itu, pemeliharaan jaringan jalan dan penyediaan air bersih yang
kinerjanya semakin memburuk juga perlu diperbaiki karena dapat
mengganggu kelancaran proses pembangunan ekonomi, sosial, maupun
lingkungan.
• Dibandingkan dengan Jawa Barat, Wilayah Jawa Barat Selatan memiliki
modal positif dalam mencapai pembangunan wilayah berkelanjutan
berupa kinerja yang lebih baik pada beberapa indikatornya. Namun,
kinerja yang lebih buruk pada sebagian besar indikator ekonomi, sosial,
dan pendukungnya menunjukkan bahwa wilayah ini masih harus
mempercepat pembangunannya dalam beberapa hal untuk mengejar
atau mengurangi ketertinggalannya.
• Beberapa hal yang perlu dipercepat adalah penanggulangan kemiskinan,
peningkatan PDRB per kapita, peningkatan angka harapan hidup
(pembangunan bidang kesehatan), peningkatan persentase penduduk
tamat SLTP ke atas (peningkatan capaian pendidikan masyarakat),
pemeliharaan infrastruktur jalan dengan kondisi baik, penyediaan
infrastruktur listrik, dan penyediaan air bersih. Dengan adanya percepatan
pembangunan diharapkan kesenjangan pembangunan yang dapat
meningkatkan kerentanan sosial dan mengancam keberlanjutan dapat
dikurangi sehingga Wilayah Jawa Barat Selatan dapat memperkuat
dukungannya terhadap keberlanjutan pembangunan Jawa Barat maupun
nasional.
93
Selanjutnya, kinerja agregat aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan
disajikan dalam bentuk indeks komposit. Pembangunan wilayah dianggap lebih
mengarah pada keberlanjutan jika kinerja keseluruhan aspek membaik dan
mengarah pada kondisi keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks (ekonomi, sosial, dan
lingkungan) yang semakin meningkat dan mengarah pada nilai yang seimbang.
Dalam segi tiga keberlanjutan, kondisi yang mengarah pada keberlanjutan
ditunjukkan oleh bentuk segitiga abu-abu yang semakin mengembang dan
mengarah ke bentuk segitiga sama sisi. Berikut ini adalah nilai indeks beserta
visualisasinya.
Gambar IV.13 Indeks Komposit dan Segitiga Keberlanjutan Wilayah Jawa Barat Selatan
dan Jawa Barat Tahun 1996 dan 2004
Kabupaten Tahun 1996 Tahun 2004 Ciamis
0,725
0,6430,467
0
1Ekonomi
SosialLingkungan1 1
0,747
0,438 0,779
0
1Ekonomi
SosialLingkungan1 1
Kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan semakin tidak seimbang. Kinerja lingkungan memburuk dan semakin timpang dibandingkan dengan kinerja ekonomi dan sosial. Pembangunan belum mengarah pada kondisi keberlanjutan seperti yang diharapkan. Meskipun demikian, Kabupaten Ciamis masih memiliki modal untuk mencapai keberlanjutan dengan perbaikan kinerja pada aspek ekonomi dan sosialnya.
Keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan belum tercapai. Kinerja lingkungan dan sosial masih lebih buruk daripada kinerja ekonomi. Kinerja lingkungan tampak paling buruk diantara ketiganya.
94
Lanjutan Gambar IV.13 Indeks Komposit dan Segitiga Keberlanjutan Wilayah Jawa Barat Selatan
dan Jawa Barat Tahun 1996 dan 2004
Kabupaten Tahun 1996 Tahun 2004 Tasikmalaya
0,721
0,6390,541
0
1Ekonomi
SosialLingkungan 1 1
0,725
0,7830,455
0
1Ekonomi
SosialLingkungan 1 1
Garut
0,723
0,665 0,634
0
1Ekonomi
SosialLingkungan11
0,719
0,615 0,788
0
1Ekonomi
SosialLingkungan11
Kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan semakin tidak seimbang. Kinerja ekonomi memburuk. Kinerja lingkungan juga memburuk dan semakin timpang dibandingkan dengan kinerja ekonomi dan sosial. Pembangunan belum mengarah pada kondisi keberlanjutan seperti yang diharapkan. Meskipun demikian, Kabupaten Garut masih memiliki modal untuk mencapai keberlanjutan dengan perbaikan kinerja pada aspek sosialnya.
Keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan belum tercapai. Kinerja lingkungan dan sosial masih lebih buruk daripada kinerja ekonomi. Kinerja sosial tampak paling buruk diantara ketiganya.
Kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan semakin tidak seimbang. Kinerja lingkungan memburuk dan semakin timpang dibandingkan dengan kinerja ekonomi dan sosial. Pembangunan belum mengarah pada kondisi keberlanjutan seperti yang diharapkan. Meskipun demikian, Kabupaten Tasikmalaya masih memiliki modal untuk mencapai keberlanjutan dengan perbaikan kinerja pada aspek ekonomi dan sosialnya.
Keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan belum tercapai. Kinerja lingkungan dan sosial masih lebih buruk daripada kinerja ekonomi. Kinerja lingkungan tampak paling buruk diantara ketiganya.
95
Lanjutan Gambar IV.13 Indeks Komposit dan Segitiga Keberlanjutan Wilayah Jawa Barat Selatan
dan Jawa Barat Tahun 1996 dan 2004
Kabupaten Tahun 1996 Tahun 2004 Cianjur
0,693
0,6350,549
0
1Ekonomi
SosialLingkungan 1 1
0,721
0,521 0,723
0
1Ekonomi
SosialLingkungan11
Sukabumi
0,711
0,6250,4630
1Ekonomi
SosialLingkungan11
0,716
0,7700,444
0
1Ekonomi
SosialLingkungan11
Kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan semakin tidak seimbang. Kinerja lingkungan memburuk dan semakin timpang dibandingkan dengan kinerja ekonomi dan sosial. Pembangunan belum mengarah pada kondisi keberlanjutan seperti yang diharapkan. Meskipun demikian, Kabupaten Sukabumi masih memiliki modal untuk mencapai keberlanjutan dengan perbaikan kinerja pada aspek ekonomi dan sosialnya.
Keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan belum tercapai. Kinerja lingkungan dan sosial masih lebih buruk daripada kinerja ekonomi. Kinerja lingkungan tampak paling buruk diantara ketiganya.
Kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan semakin tidak seimbang. Kinerja lingkungan memburuk dan semakin timpang dibandingkan dengan kinerja ekonomi dan sosial. Pembangunan belum mengarah pada kondisi keberlanjutan seperti yang diharapkan. Meskipun demikian, Kabupaten Cianjur masih memiliki modal untuk mencapai keberlanjutan dengan kinerja yang membaik pada aspek ekonomi dan sosialnya.
Keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan belum tercapai. Kinerja lingkungan dan sosial masih lebih buruk daripada kinerja ekonomi. Kinerja lingkungan tampak paling buruk diantara ketiganya.
96
Lanjutan Gambar IV.13 Indeks Komposit dan Segitiga Keberlanjutan Wilayah Jawa Barat Selatan
dan Jawa Barat Tahun 1996 dan 2004
Kabupaten Tahun 1996 Tahun 2004 Jawa Barat Selatan
0,715
0,6350,533
0
1Ekonomi
SosialLingkungan11
0,726
0,492 0,769
0
1Ekonomi
SosialLingkungan11
Jawa Barat
Keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan belum tercapai. Kinerja lingkungan dan sosial masih lebih buruk daripada kinerja ekonomi. Kinerja lingkungan tampak paling buruk diantara ketiganya.
Kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan semakin tidak seimbang. Kinerja lingkungan memburuk dan semakin timpang dibandingkan dengan kinerja ekonomi dan sosial. Pembangunan belum mengarah pada kondisi keberlanjutan seperti yang diharapkan. Meskipun demikian, Wilayah Jawa Barat Selatan memiliki modal untuk mencapai keberlanjutan dengan perbaikan kinerja pada aspek ekonomi dan sosialnya.
0,698
0,6600,586
0
1Ekonomi
SosialLingkungan11
/
0,746
0,478 0,848
0
1Ekonomi
SosialLingkungan11
Kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan semakin tidak seimbang. Kinerja lingkungan memburuk dan semakin timpang dibandingkan dengan kinerja ekonomi dan sosial. Pembangunan belum mengarah pada kondisi keberlanjutan seperti yang diharapkan. Meskipun demikian, Jawa Barat memiliki modal untuk mencapai keberlanjutan dengan kinerja yang membaik pada aspek ekonomi dan sosialnya.
Keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan belum tercapai. Kinerja lingkungan dan sosial masih lebih buruk daripada kinerja ekonomi. Kinerja lingkungan tampak paling buruk diantara ketiganya.
97
Gambar IV.13 menunjukkan bahwa pada tahun 1996, Wilayah Jawa
Barat Selatan belum mencapai kondisi keseimbangan antara kinerja ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Dari tiga kinerja tersebut, kinerja lingkungan tampak
paling buruk. Kinerja sosialnya juga masih lebih buruk dibandingkan dengan
kinerja ekonomi. Kabupaten Garut menunjukkan kondisi yang agak berbeda dari
kelima kabupaten lainnya. Kinerja lingkungan di kabupaten tersebut tampak lebih
baik dibandingkan dengan kinerja sosialnya. Dapat dikemukakan bahwa pada
tahun 1996, pembangunan Wilayah Jawa Barat Selatan belum mencapai kondisi
optimal. Pengelolaan lingkungan dan sumber daya alamnya masih relatif buruk,
belum sepadan dengan perkembangan ekonomi dan sosialnya. Perkembangan
sumber daya manusianya juga masih lambat dibandingkan dengan
perkembangan ekonominya. Pengelolaan lingkungan yang buruk serta
perkembangan sumber daya manusia yang lambat dapat menghambat atau
memperlambat perkembangan ekonomi sehingga memberi petunjuk adanya
ancaman terhadap keberlanjutan wilayah.
Pada tahun 2004, keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan
lingkungan Wilayah Jawa Barat Selatan memburuk. Kinerja lingkungannya
mengalami kemunduran dan semakin timpang dibandingkan dengan kinerja
ekonomi dan sosial. Kinerja ekonominya mengalami perbaikan yang tidak terlalu
signifikan sehingga terkejar oleh kinerja sosial yang menunjukkan perbaikan
cukup pesat pada tahun tersebut. Dari kelima kabupaten, hanya Garut yang
menunjukkan perkembangan berbeda. Kabupaten tersebut memperlihatkan
perbaikan hanya pada kinerja sosial, sementara kinerja ekonomi dan
lingkungannya masih memburuk. Dapat dikemukakan bahwa pada tahun 2004,
pembangunan Wilayah Jawa Barat Selatan semakin tidak optimal. Pemeliharaan
lingkungan dan sumber daya alamnya melemah. Perkembangan ekonomi dan
lingkungannya juga semakin tertinggal dari perkembangan aspek sosial. Sumber
daya manusianya yang semakin baik sepertinya belum digunakan secara optimal
untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya perekonomian maupun
sumber daya alam yang ada. Perbaikan pada kinerja ekonomi dan sosial
menunjukkan adanya modal positif dalam mencapai pembangunan
berkelanjutan. Namun demikian, kemunduran pada kinerja lingkungan, serta
memburuknya keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial dan lingkungan
memberi petunjuk masih adanya ancaman terhadap keberlanjutan wilayah.
98
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembangunan
Wilayah Jawa Barat Selatan belum mengarah pada kondisi keberlanjutan seperti
yang diharapkan. Pembangunan wilayah tersebut belum memberikan perbaikan
pada keseluruhan aspek dan belum mengarah pada kondisi keseimbangan
antara kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untuk memperbaiki
keseimbangan dan menggiring pembangunan ke arah keberlanjutan, Wilayah
Jawa Barat Selatan masih perlu mempercepat pembangunan lingkungan dan
ekonominya mengingat kinerja kedua aspek tersebut semakin tertinggal
dibandingkan dengan kinerja sosial. Percepatan pembangunan lingkungan perlu
mendapat prioritas utama karena kinerja lingkungan wilayah tersebut memburuk
dan semakin tertinggal dibandingkan dengan kinerja ekonomi dan sosialnya.
Selanjutnya, komparasi kinerja agregat kelima kabupaten yang ada di
Wilayah Jawa Barat Selatan dapat dilihat pada Tabel IV.6 berikut. Data pada
tabel tersebut didasarkan pada perbandingan nilai indeks ekonomi, sosial, dan
lingkungan yang terdapat dalam Gambar IV.13
Tabel IV.6 Komparasi Kinerja Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan Antar Kabupaten di
Wilayah Jawa Barat Selatan Pada Tahun 1996 dan 2004
Aspek Posisi Tahun 1996 Tahun 2004 Urutan (dari terbaik ke terburuk)
1. Ciamis 2. Garut 3. Tasikmalaya 4. Sukabumi 5. Cianjur
1. Ciamis 2. Tasikmalaya 3. Garut 4. Cianjur 5. Sukabumi
Ekonomi
Di bawah Jawa Barat Cianjur Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi
Urutan (dari terbaik ke terburuk)
1. Ciamis 2. Tasikmalaya 3. Sukabumi 4. Cianjur 5. Garut
1. Garut 2. Tasikmalaya 3. Ciamis 4. Cianjur 5. Sukabumi
Sosial
Di bawah Jawa Barat Semua kabupaten Semua kabupaten Urutan (dari terbaik ke terburuk)
1. Garut 2. Cianjur 3. Tasikmalaya 4. Ciamis 5. Sukabumi
1. Garut 2. Cianjur 3. Sukabumi 4. Tasikmalaya 5. Ciamis
Lingkungan
Di bawah Jawa Barat Cianjur, Tasikmalaya, Ciamis, Sukabumi
Tasikmalaya, Ciamis, Sukabumi
Sumber: Hasil Analisis
99
Tabel IV.6 menunjukkan bahwa kinerja ekonomi Kabupaten Ciamis
konsisten berada pada urutan terbaik. Kinerja sosialnya relatif memburuk dari
urutan ke pertama ke urutan ketiga. Kinerja lingkungannya relatif memburuk ke
urutan terakhir. Dapat dikemukakan bahwa kinerja sosial dan lingkungan
Kabupaten Ciamis semakin tidak sebanding dengan kinerja ekonominya. Secara
relatif, perekonomian kabupaten tersebut masih paling maju dibandingkan
dengan kabupaten lainnya, tetapi kondisi sumber daya manusia dan
lingkungannya justru semakin tertinggal. Ini mengindikasikan bahwa secara
relatif, hasil pembangunan Kabupaten Ciamis belum dialokasikan secara optimal
untuk pembangunan sumber daya manusia maupun pemeliharaan lingkungan.
Kabupaten Ciamis memiliki modal untuk mencapai pembangunan berkelanjutan
dengan perekonomian yang relatif baik. Namun, kondisi sumber daya manusia
dan lingkungannya yang semakin tertinggal dapat menghambat atau
memperlambat kemajuan perekonomian sehingga mengindikasikan kemampuan
yang relatif menurun dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.
Kabupaten Tasikmalaya memperlihatkan kinerja sosial yang konsisten
berada pada urutan kedua. Kinerja ekonominya secara relatif membaik dari
urutan ketiga menjadi urutan kedua. Sementara kinerja lingkungannya relatif
memburuk dari urutan ketiga menjadi urutan keempat. Dapat dikemukakan
bahwa kinerja lingkungan Kabupaten Tasikmalaya semakin tidak sebanding
dengan kinerja sosial dan ekonominya. Secara relatif, kondisi sumber daya
manusia kabupaten tersebut masih tetap maju. Perekonomiannya juga relatif
membaik. Namun, kondisi lingkungan dan sumber daya alamnya justru semakin
tertinggal. Ini mengindikasikan bahwa secara relatif, komitmen pemerintah
maupun masyarakat Kabupaten Tasikmalaya untuk memelihara lingkungan dan
sumber daya alamnya semakin lemah. Kabupaten Tasikmalaya memiliki modal
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dengan kondisi sumber daya
manusia yang relatif baik dan perekonomian yang relatif membaik. Namun,
kondisi lingkungannya yang semakin tertinggal dapat menghambat atau
memperlambat kemajuan ekonomi maupun pembangunan manusia sehingga
mengindikasikan adanya kemampuan yang relatif menurun dalam mencapai
pembangunan berkelanjutan.
Kabupaten Garut memperlihatkan kinerja lingkungan yang konsisten
berada pada urutan terbaik. Kinerja sosialnya secara relatif meningkat dari urutan
100
terakhir menjadi urutan terbaik. Sementara kinerja ekonominya relatif memburuk
dari urutan kedua menjadi urutan ketiga. Dapat dikemukakan bahwa kinerja
ekonomi kabupaten Garut semakin tidak sebanding dengan kinerja sosial dan
lingkungannya. Secara relatif, kondisi lingkungan kabupaten tersebut tetap paling
baik dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Kondisi sumber daya manusianya
juga membaik sehingga menjadi paling maju dibandingkan dengan kabupaten
lainnya. Namun, dengan kondisi lingkungan yang maju dan kondisi sumber daya
manusia yang semakin baik, kondisi perekonomian kabupaten tersebut justru
semakin tertinggal. Ini mengindikasikan bahwa secara relatif, hasil pembangunan
Kabupaten Garut telah dialokasikan secara optimal untuk pembangunan manusia
maupun pemeliharaan lingkungan dan sumber daya alam. Namun, sumber daya
alam yang ada belum dapat dikelola secara optimal untuk meningkatkan kondisi
perekonomiannya. Sumber daya manusianya yang semakin maju juga belum
digunakan secara optimal untuk mengelola potensi ekonomi yang ada. Kondisi
lingkungan dan sumber daya manusia yang relatif baik merupakan modal bagi
Kabupaten Garut untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Namun, kondisi
perekonomiannya yang semakin tertinggal dapat menghambat atau
memperlambat pembangunan manusia maupun lingkungannya sehingga
mengindikasikan kemampuan yang relatif menurun dalam mencapai
pembangunan berkelanjutan.
Kabupaten Cianjur memperlihatkan kinerja lingkungan yang konsisten
berada pada urutan kedua. Kinerja sosialnya konsisten berada pada urutan
keempat. Sementara kinerja ekonominya membaik dari urutan terakhir menjadi
urutan keempat. Dapat dikemukakan bahwa kinerja ekonomi Kabupaten Cianjur
semakin sebanding dengan kinerja sosial dan lingkungannya. Secara relatif,
dengan kondisi lingkungan yang masih tetap baik dan kondisi sumber daya
manusianya yang masih relatif buruk, Kabupaten Cianjur mampu meningkatkan
kondisi perekonomiannya, meskipun sebenarnya juga masih relatif buruk.
Perekonomian yang relatif membaik dapat mendukung kemajuan pembangunan
manusia maupun lingkungan sehingga mengindikasikan kemampuan yang relatif
meningkat dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Meskipun demikian,
Kabupaten Cianjur masih memiliki hambatan dalam mewujudkan pembangunan
berkelanjutan dengan kondisi sumber daya manusia dan perekonomiannya yang
relatif buruk.
101
Kabupaten Sukabumi memperlihatkan kinerja lingkungan yang relatif
membaik dari urutan terakhir menjadi urutan ketiga. Sementara kinerja ekonomi
dan sosialnya relatif memburuk dari urutan keempat dan ketiga menjadi urutan
terakhir. Dapat dikemukakan bahwa kinerja ekonomi dan sosial Kabupaten
Sukabumi semakin tidak sebanding dengan kinerja lingkungannya. Secara relatif,
kondisi lingkungan Kabupaten Sukabumi semakin baik. Namun, kondisi
perekonomian dan sumber daya manusianya justru semakin tertinggal dari
kabupaten lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa secara relatif, komitmen
masyarakat maupun pemerintah kabupaten Sukabumi dalam pemeliharaan
lingkungan dan sumber daya alamnya semakin meningkat. Namun, lingkungan
dan sumber daya alamnya yang semakin baik tersebut belum dapat dikelola
secara optimal untuk meningkatkan kondisi perekonomian maupun sumber daya
manusianya. Kabupaten Sukabumi memiliki modal dalam mencapai
pembangunan berkelanjutan dengan kondisi lingkungan yang relatif membaik.
Namun, kondisi perekonomian dan sumber daya manusianya yang semakin
tertinggal dapat meningkatkan tekanan terhadap lingkungan dan sumber daya
alam sehingga mengindikasikan kemampuan yang relatif menurun dalam
mencapai pembangunan berkelanjutan.
Dibandingkan dengan Jawa Barat, kinerja sosial kelima kabupaten yang
ada di Wilayah Jawa Barat Selatan tampak relatif buruk. Sementara kinerja
ekonomi dan lingkungannya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda. Pada
aspek ekonomi, kinerja Kabupaten Ciamis sudah relatif baik; kinerja Kabupaten
Tasikmalaya, Garut, dan Sukabumi relatif memburuk menjadi di bawah Jawa
Barat; sedangkan Kabupaten Cianjur masih menunjukkan kinerja yang relatif
buruk. Pada aspek lingkungan, kinerja Kabupaten Garut sudah relatif baik;
kinerja Kabupaten Cianjur relatif membaik menjadi di atas rata-rata Jawa Barat;
sedangkan Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, serta Sukabumi masih
memperlihatkan kinerja yang relatif buruk.
Secara keseluruhan, kinerja sosial Wilayah Jawa Barat Selatan masih
relatif buruk dibandingkan dengan Jawa Barat. Kinerja ekonominya relatif
memburuk menjadi di bawah Jawa Barat. Sedangkan kinerja lingkungannya
relatif membaik menjadi di atas rata-rata Jawa Barat. Dapat dikemukakan bahwa
secara umum, kondisi sumber daya manusia Wilayah Jawa Barat Selatan masih
relatif tertinggal dibandingkan dengan Jawa Barat. Kondisi lingkungannya sudah
102
relatif membaik, sedangkan perekonomiannya justru semakin tertinggal. Kondisi
lingkungan yang semakin baik merupakan modal positif dalam mencapai
keberlanjutan. Namun, perekonomian yang semakin tertinggal dan kondisi
sumber daya manusia yang relatif tertinggal dapat meningkatkan tekanan
terhadap lingkungan dan sumber daya alam sehingga menunjukkan kemampuan
yang relatif menurun dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.
4.6 Rangkuman Keberlanjutan wilayah pada intinya bergantung pada 4 (empat) aspek,
yaitu aspek ekonomi, sosial, lingkungan (aspek utama), dan aspek pendukung.
Pembangunan wilayah dapat dianggap lebih mengarah pada
keberlanjutan jika kinerja indikator keseluruhan aspek membaik secara bersama-
sama. Wilayah Jawa Barat Selatan menunjukkan bahwa kinerja indikator pada
keempat aspeknya belum membaik secara keseluruhan. Pada aspek ekonomi,
baru indikator PDRB per kapita dan Rasio Gini yang membaik, sedangkan
persentase pengangguran terbuka dan persentase penduduk miskin masih
memburuk. Pada aspek sosial, keseluruhan indikator membaik: angka melek
huruf, angka harapan hidup, dan persentase penduduk tamat SLTP ke atas
cenderung membaik selama kurun waktu amatan. Pada aspek lingkungan,
keseluruhan indikator memburuk: luas sawah irigasi dan luas hutan negara
maupun Perhutani unit III cenderung menyusut. Frekuensi bencana alam juga
menunjukkan kecenderungan memburuk selama kurun waktu amatan. Pada
aspek pendukung, baru indikator persentase panjang jalan aspal dan persentase
rumah tangga dengan penerangan listrik yang kinerjanya membaik, sedangkan
persentase panjang jalan dengan kondisi baik dan persentase rumah tangga
dengan air ledeng masih menunjukkan kinerja memburuk.
Dibandingkan dengan Jawa Barat, pada aspek ekonomi, Rasio Gini dan
persentase pengangguran terbuka Wilayah Jawa barat Selatan sudah relatif baik,
sedangkan PDRB per kapita dan persentase penduduk miskinnya masih relatif
buruk. Pada aspek sosial, angka melek huruf Wilayah Jawa Barat Selatan sudah
relatif baik, sedangkan angka harapan hidup dan persentase penduduk tamat
SLTP ke atasnya masih relatif buruk. Pada aspek pendukung, Wilayah Jawa
Barat Selatan menunjukkan kinerja yang relatif baik pada persentase jalan aspal,
sedangkan persentase jalan dengan kondisi baik, persentase rumah tangga
103
dengan penerangan listrik, dan persentase rumah tangga dengan air ledengnya
masih relatif buruk.
Pembangunan wilayah dianggap lebih mengarah pada keberlanjutan jika
kinerja keseluruhan aspek utama membaik dan mengarah pada kondisi
keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan. Wilayah Jawa
Barat Selatan menunjukkan bahwa selama kurun waktu delapan tahun (dari
tahun 1996 ke 2004), pembangunannya belum memberikan perbaikan kinerja
pada keseluruhan aspek utama: baru aspek ekonomi dan sosial yang kinerjanya
membaik, sedangkan kinerja aspek lingkungannya masih memburuk.
Pembangunan Wilayah Jawa Barat Selatan juga belum mengarah pada kondisi
keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kinerja ekonomi
dan lingkungannya semakin tertinggal dari kinerja sosial. Kinerja lingkungannya
bahkan tampak paling buruk diantara ketiganya.
Dari kelima kabupaten, Ciamis menunjukkan kinerja paling baik pada
aspek ekonomi. Sementara aspek sosial dan lingkungannya relatif memburuk.
Kabupaten Tasikmalaya memperlihatkan kinerja sosial yang relatif baik dan
kinerja ekonomi yang relatif membaik. Namun, kinerja lingkungannya masih
relatif memburuk. Kabupaten Garut memperlihatkan kinerja lingkungan yang
paling baik. Kinerja sosialnya juga relatif membaik ke urutan terbaik. Sementara
kinerja lingkungannya masih relatif memburuk. Kabupaten Cianjur
memperlihatkan kinerja lingkungan yang relatif baik, kinerja ekonomi yang relatif
membaik, dan kinerja sosial yang masih relatif buruk. Kabupaten Sukabumi
memperlihatkan kinerja lingkungan yang relatif membaik, sedangkan kinerja
ekonomi dan sosialnya masih relatif memburuk, bahkan tampak paling buruk
pada akhir tahun amatan.
Tabel IV.1.a Perkembangan Luas Hutan PT. Perhutani Unit III (Ha)
Kabupaten/Wilayah 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Perubahan
Tahun 1994-2004 (Ha)
Ciamis 32.613,00 30.806,00 32.636,00 30.331,93 36.204,93 36.204,93 36.204,93 30.331,93 30.939,40 28.887,87 30.395,31 -2.217,69 Tasikmalaya 55.983,00 38.053,00 55.983,00 47.177,33 47.177,33 47.177,33 47.177,33 47.177,33 48.231,71 45.312,82 44.360,74 -11.622,26 Garut 95.570,00 100.959,00 95.570,00 95.949,74 109.008,39 109.008,39 109.008,39 95.949,74 97.380,22 86.022,65 81.930,04 -13.639,96 Cianjur 79.562,00 93.128,00 78.690,00 77.903,88 99.013,14 99.013,14 99.013,14 77.903,88 77.200,33 76.746,64 69.264,74 -10.297,26 Sukabumi 80.890,00 86.799,00 80.579,00 83.166,02 107.935,38 107.935,38 107.935,38 83.166,02 83.348,62 59.298,75 59.382,92 -21.507,08 Jawa Barat Selatan 344.618,00 349.745,00 343.458,00 334.528,90 399.339,17 399.339,17 399.339,17 334.528,90 337.100,28 296.268,73 285.333,75 -59.284,25 Jawa Barat 830.638,00 829.633,00 805.415,00 792.467,81 100.764,81 1.005.250,50 911.435,10 792.467,31 685.372,72 649.107,92 638.802,62 -191.835,38 Sumber: BPS, Jawa Barat Dalam Angka Tahun 1994-2004
Tabel IV.1.b Perkembangan Luas Hutan Negara (Ha)
Kabupaten/Wilayah 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata Perubahan Tahun 1996-2004 (Ha)
Ciamis 38.446 38.356 38.356 38.356 38.356 38.356 37.348 37.348 38.115,25 -1.098 Tasikmalaya 34.375 34.375 33.834 33.834 29.077 32.873 32.121 32.121 32.826,25 -2.254 Garut 94.963 91.923 91.859 91.860 91.860 91.860 87.279 87.265 91.108,63 -7.698 Cianjur 75.263 58.731 59.233 59.226 59.223 59.223 59.223 59.223 61.168,13 -16.040 Sukabumi 91.499 85.051 85.810 85.810 85.296 78.885 76.704 74.589 82.955,50 -16.910 Jawa Barat Selatan 334.546 308.436 309.092 309.086 303.812 301.197 292.675 290.546 306.173,75 -44.000 Jawa Barat 782.316 751.306 751.176 752.573 595.440 579.536 572.995 577.110 670.306,50 -205.206 Sumber: BPS, Jawa Barat Dalam Angka Tahun 1996-2004
Tabel IV.5 Komparasi Kinerja Indikator Aspek Ekonomi, Sosial, Lingkungan, dan Pendukung di Wilayah Jawa Barat Selatan
Aspek Variabel Sub Variabel Indikator Kinerja Membaik
Kinerja Memburuk
Lebih Baik dari Jawa
Barat
Lebih Buruk
dari Jawa Barat
Pertumbuhan - PDRB riil per kapita Semua Tidak ada Tidak ada Semua Pemerataan - Rasio Gini Ciamis,
Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi
Garut Semua Tidak ada
Penyediaan Lapangan Kerja - Pengangguran terbuka
Tidak ada Semua Semua Tidak ada
Ekonomi
Penanggulangan Kemiskinan - Jumlah penduduk miskin
Garut, Sukabumi
Ciamis Tasikmalaya, Cianjur
Tidak ada Semua
Kesehatan
Angka harapan hidup Semua Tidak ada Ciamis, Tasikmalaya,
Garut, Cianjur, Sukabumi
Angka melek huruf Semua Tidak ada Semua Tidak ada
Sosial Pembangunan (Pemberdayaan) Manusia
Pendidikan Persentase penduduk tamat pendidikan SLTP ke atas
Semua Tidak ada Tidak ada Semua
Luas hutan Perhutani Tidak ada Semua - - Luas hutan negara Tidak ada Semua - - Luas sawah irigasi Tidak ada Semua - -
Lingkungan Pemeliharaan produktivitas biologis, keanekaragaman hayati, integritas lingkungan, dan kapasitas daya dukung/ kemampuan daya tahan (resiliensi).
-
Frekuensi bencana alam banjir dan longsor
Tidak ada Semua - -
Lanjutan Tabel IV.5 Komparasi Kinerja Pembangunan Aspek Ekonomi, Sosial, Lingkungan, dan Pendukung di Wilayah Jawa Barat Selatan
Aspek Variabel Sub Variabel Indikator Kinerja Membaik
Kinerja Memburuk
Lebih Baik dari Jawa
Barat
Lebih Buruk dari Jawa
Barat - Persentase panjang
jalan aspal Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sukabumi
Cianjur Ciamis, Tasikmalaya, Cianjur
Garut Sukabumi
Kondisi Prasarana Transportasi
- Persentase panjang jalan dengan kondisi baik
Garut Ciamis, Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi
Tasikmalaya Ciamis,Garut, Cianjur, Sukabumi
Ketersediaan Air bersih - Persentase rumah tangga dengan air ledeng
Sukabumi Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur
Tidak ada Semua
Pendukung
Ketersediaan Energi listrik - Persentase rumah tangga dengan listrik
Semua Tidak ada Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sukabumi
Cianjur
Sumber: Hasil Analisis
Top Related