67
BAB III
UPAYA YANG DILAKUKAN PEMAIN SEPAKBOLA DALAM MENGHADAPI
KLUB YANG WANPRESTASI DAN PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK
PEMAIN DALAM PERSPEKTIF KETENAGAKERJAAN
3.1 Upaya Pemain Sepakbola Dalam Menghadapi Klub Yang Wanprestasi
Hukum adalah badan aturan diberlakukan dan dipaksakan oleh masyarakat untuk
menentukan hak-hak warga negaranya. Hukum mengatur hubungan antara warga negara,
tetapi juga mengatur hubungan antara warga dan milik mereka sendiri, dan milik orang
lain. Undang-undang mengatur cara di mana masyarakat beroperasi dalam cara yang
sama seperti aturan olahraga mengatur cara yang dimainkan. Undang-Undang Sistem
Keolahragaan Nasional (UUSKN) pasal 8823 :
1. Penyelesaian sengkta keolahragaan diupayakan melalui musyawarah dan mufakat
yang dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga.
2. Dalam hal musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai,
penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan yang sesuai dengan
yurisdiksinya.
23 http://rahasiamandar-ilara.blogspot.com/2010/10/hukum-kontrak-dalam-olahraga.html.,
Diunduh Rabu 27 Oktober 2010.
68
1. Penyelesaian Sengketa Secara Musyawarah
Musyawarah pada hakekatnya adalah proses atau kegiatan saling mendengar
dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan
antara pihak satu dengan pihak lainnya, untuk memperoleh kesepakatan. Kepercayaan
masyarakat pada budaya musyawarah untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang
terjadi di masyarakat, kini digantikan oleh keadilan dalam lembaga peradilan. Hal ini
tentu tidak keliru, namun menyelesaikan masalah dengan duduk bersama dan rasa
kekeluargaan adalah jauh lebih baik. Musyawarah bila dimodifikasi sedemikian rupa bisa
dijadikan model penyelesaian sengketa.
2. Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah merupakan suatu cara untuk
menyelesaikan sengketa atau beda pendapat perdata oleh para pihak melalui alternatif
penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri tidak berwenang
untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kewenangan untuk memeriksa dan
mengadili sengketa pada tingkat pertama dan terakhir kepada pihak ketiga yang netral
dan independen, yang disebut Arbiter.
Untuk mengajukan sengketa arbitrase, para pihak harus mempunyai kesepakatan
tertulis bahwa sengketa akan diselesaikan melalui Arbitrase (Perjanjian Arbitrase), dan
ada salah satu pihak yang bersengketa mengajukan surat permohonan (tuntutan).
69
Arbiter (berbentuk majelis atau tunggal) mempunyai tugas dan kewenangan memeriksa
dan memutus sengketa yang diajukan kepadanya. Putusan Arbitrase bersifat final serta
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (UU No. 30/1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).
Arbitrase mirip dengan Pengadilan, dan Arbiter mirip dengan Hakim, tetapi ada
beberapa perbedaan mendasar:
1. Pengadilan bersifat terbuka, arbitrase bersifat tertutup;
2. Mengajukan tuntutan ke pengadilan tidak membutuhkan persetujuan pihak lawan,
tuntutan ke arbitrase harus didasari perjanjian arbitrase;
3. Proses pengadilan formal dan kaku, arbitrase lebih fleksibel;
4. Hakim pada umumnya generalist, arbiter dipilih atas dasar keahlian;
5. Putusan pengadilan masih bisa diajukan banding, kasasi dan PK, putusan arbitrase
bersifat final dan mengikat;
6. Hakim mengenal yurisprudensi, arbiter tidak mengenal hal tersebut;
7. Hakim cenderung memutus perkara atas dasar ketentuan hukum, arbiter dapat pula
memutus atas dasar keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).
Para pihak tidak perlu ragu memilih APS karena APS mendapatkan pengakuan
dalam sistem hukum Indonesia, antara lain: Keppres No. 34/1981 (ratifikasi atas New
York Convention); UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang tidak menutup
70
kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan Negara; dan UU No.
30/1999 yang telah disebutkan.
Disamping itu, pengadilan dan Mahkamah Agung juga telah banyak memberikan
dukungan terhadap Arbitrase, baik dalam bentuk penguatan/pengakuan terhadap
Perjanjian Arbitrase, penegasan terhadap kompetensi absolut Arbitrase, dan juga
pelaksanaan putusan Arbitrase.
3. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa
yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim.
Penyelesaian melalui Litigasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, mengatur penyelasaian melalui peradilan umum,
peradilan militer, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan khusus
seperti peradilan anak, peradilan niaga, peradilan pajak, peradilan penyelesaian hubungan
industrial dan lainnya. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win
solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus
menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan
pihak lain menjadi pihak yang kalah.
Kebaikan dari sistem ini adalah :
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia
terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan
71
militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat
diperiksa melalui jalur ini)
2. Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu asas peradilan Indonesia adalah Sederhana,
Cepat dan Murah)
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah :
1. Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika Pengadilan
Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut
dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke
Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan
hukum tetap).
2. Hakim yang "awam" (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis
hukum. Namun jika sengketa yang terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh
hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para pihak tidak
bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya hal ini akan
mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa. Hakim
juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak ada
atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara. apalagi hanya
karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut).
Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu
pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di
Indonesia Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi untuk
72
mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka pemeriksaan perkara akan
dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan
perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya
meskipun putusan telah disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk
berdamai, hakim membuat akta perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi
para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi
perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke
pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara
yang sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan
sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).
3.1.1 Upaya PSSI Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Pemain
Sepakbola dan Klub
Dalam penyelesaian sengketa pemain lokal dan pemain asing berbeda, pemain
lokal dalam penyelesaiannya di federasi atau PSSI. Sedangkan untuk penyelesaian
sengketa pemain asing bisa sampai ke FIFA. Tahapan penyelesaian sengketa pemain di
PSSI. Pertama, adalah tahapan mediasi. Dalam proses mediasi tersebut melibatkan PT
Liga Indonesia selaku operator ISL, klub dan pemain yang bersangkutan. Ketika mediasi
menemui jalan buntu, masuk ke PSSI. PSSI mempunyai tiga lembaga, lembaga pertama
yang akan mengurus masalah pemain adalah Komite Status, Alih Status dan Urusan
Pemain PSSI. Jika tidak menemui kemajuan, maka ke National Dispute Resolution
Chamber (NDRC). Akan tetapi PSSI belum mempunyai NDRC, ini karena kaitannya
dengan asosiasi pemain. PSSI sendiri belum lama ini baru mengakui asosiasi pemain
73
yakni APSNI (Asosiasi Pemain Sepakbola Nasional Indonesia). FIFA sebagai pemegang
kedaulatan sepakbola tertinggi di dunia dan PSSI sebagai anggotanya harus mengikuti
aturan, peraturan atau ketentuan yang digariskan FIFA, melalui kedaulatan yang
diberikan kepada anggota-anggota PSSI. PSSI sudah mengadopsi Statuta FIFA sejak
2009, Statuta FIFA dengan jelas menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi sepakbola
berada ditangan FIFA. Otoritas sepakbola dunia ini sangat alergi dengan intervensi
pemerintah, jika FIFA mengetahui adanya intervensi didalamnya maka akan ada tindakan
yang tegas, berikut contoh Negara yang mendapatkan sanksi karena terdapat intervensi
dari pemerintahan :
1. Irak
Irak dihukum sementara FIFA pada 20 November 2009. Sebabnya adalah
tindakan pemerintah Irak yang membubarkan Komite Olimpiade Nasional dan
semua induk olahraga di Negara tersebut (termasuk asosiasi sepakbolanya).
Sanksi pada Irak ini kemudian dicabut pada 19 Maret 2010. Dalam hal ini ada
intervensi pemerintah terhadap asosiasi.
2. Nigeria
Nigeria disanksi 4 Oktober 2010. Sebabnya adalah, Menteri Olahraga Nigeria
memulai liga tanpa menerapkan degradasi dari musim berikutnya, Komisi
Olahraga Nigeria memaksa Sekjen Federasi Sepakbola Nigeria (NFF) Musa
Amadu untuk melepaskan jabatannya dan melarang kepengurusan baru Federasi
Sepakbola Nigeria untuk melakukan tugasnya. Dalam hal ini pemerintah Nigeria
melakukan intervensi.
74
3. Yunani
Diskorsing FIFA pada 3 Juli 2006, meski kemudian dicabut tanggal 7 Juli tahun
yang sama. Yunani melanggar aturan FIFA soal larangan adanya intervensi
pemerintah, disebutkan Menteri Olahraga Yunani mengeluarkan aturan yang
dianggap FIFA menodai independensi Asosiasi Sepakbola Yunani (HFF).24
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa PSSI tidak mau mencampur adukan
antara permasalahan intern yang ada di dalam badan PSSI yang melibatkan klub dan
pemain, guna untuk menghindar dari sanksi FIFA yang sudah jelas dalam Statuta FIFA.
3.1.2 Asas Lex Sportiva Menjadi Dasar Hukum PSSI Dalam Menyelesaikan Kasus
Sengketa Wanprestasi Pemain Sepakbola Dengan Klub
Lex Sportiva adalah istilah baru yang terus mendapatkan perdebatan di kalangan
akademisi. Di Indonesia, Lex Sportiva masih sangat baru.25 Penelitian ini merupakan
yang pertama mengembangkan dan mengkaji Lex Sportiva. Lex Sportiva terus
bertumbuh seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan olahraga itu sendiri. Dalam
perdebatan akademis Lex Sportiva dipahami sebagai sebuah sistem hukum yang tidak
berada dalam sistem hukum nasional dan juga tidak berada dalam sistem hukum
24 m.detik.com/sepakbola/read/2011/05/26/113817/1647451/76/kisah-negara-yang-pernah-
disanksi-fifa, Diunduh Senin 27 Januari 2014. 25 Untuk pertama kali Lex Sportiva diperkenalkan di Indonesia melalui forum ilmiah oleh Hinca
Pandjaitan, Memperkenalkan Lex Sportiva di Indonesia: Problema dan Tantangan Dunia Olahraga di
Indonesia dan Keterkaitannya dengan Aspek Hukum, makalah pada seminar Pembangunan Hukum
Olahraga Nasional diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 10 Februari 2010,
Depok, Hal 1-21.
75
internasional, tetapi memasuki wilayah sistem hukum transnasional.26 Hukum
transnasional dapat dipahami juga sebagai hukum perdata internasional, yaitu suatu
hukum yang benar-benar internasional yang lahir dari sumber-sumber badan privat
internasional, atau lebih tepat disebut hukum yang bersumber dari hukum privat yang
berlaku terhadap hubungan orang-orang di luar campur tangan Negara, atau disebut Lex
Sportiva. Penyelesaian sengketa sepakbola profesional merupakan domain FIFA sebagai
federasi sepakbola internasional (international society) yang dipertandingkan berdasarkan
Lex Ludica (laws of the game) dan diorganisir berdasarkan sistem hukum FIFA (Lex
Sportiva) sebagai bagian dari hukum transnasional mempunyai titik singgung dengan
sistem hukum nasional Indonesia dan prinsip-prinsip sistem hukum internasional. Hal ini
disebabkan karena kompetisi sepakbola itu dilakukan di wilayah hukum Negara dimana
sepakbola profesional itu dipertandingkan dan pelaksanaan bisnisnya menghormati
prinsip-prinsip hukum umum dalam sistem hukum internasional.
Dunia hukum dalam bidang olahraga tersebut tidak membentuk suatu dunia yang
benar-benar terpisah dari dunia hukum Negara. Sebab, bagaimanapun juga jika aturan
yang mengatur olahraga tersebut dibuat oleh organisasi-organisasi olahraga privat
internasional, olahraga tetap saja tidak bisa menghindar dari penerapan hukum Negara
dimana olahraga itu dipertandingkan. Para pelaku olahraga tidak hanya tunduk kepada
aturan-aturan hukum umum yang berlaku dalam Negara mereka seperti peraturan tentang
kesehatan, keamanan, hukum perjanjian, hukum tentang tanggung jawab, undang-undang
ketenagakerjaan dan lain-lain, namun juga kepada aturan-aturan khusus yang mungkin
26 Franck Latty, Dikutip Dalam Hinca IP Pandjaitan, Kedaulatan Negara VS Kedaulatan FIFA, hal
135.
76
ada tentang olahraga yang ditetapkan oleh otoritas-otoritas publik. Misalnya sebagaimana
yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional di Indonesia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam hukum olahraga berlaku tiga
sistem hukum sekaligus yang mempunyai titik singgung antara ketiganya, yaitu sistem
hukum nasional, terutama aspek-aspek hukum yang berhubungan dengan aktivitas
keolahragaan, sistem hukum internasional khususnya prinsip-prinsip hukum internasional
dan sistem hukum transnasional yang terdiri atas Lex Sportiva dan Lex Ludica. Titik
singgung antara ketiga sistem hukum ini merupakan suatu keniscayaan. Akan tetapi,
ketiga sistem hukum ini tidak boleh saling melakukan intervensi dalam arti campur
tangan. Keberadaan Lex Sportiva dan Lex Ludica sebagai sistem hukum transnasional
olahraga tidak boleh dilihat secara tunggal dan berdiri sendiri. Fakta ini membuktikan
pluralisme sistem hukum yakni privat dan publik, yang bermuara kepada sistem hukum
nasional, sistem hukum internasional dan sistem transnasional.
3.1.3 BAKI (Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia)
BAKI yang dibentuk oleh KOI (Komite Olimpiade Indonesia) berdasarkan
keputusan nomor 08/RA-KOI/I/2012 tertanggal 27 Februari 2012, beranggotakan 8 orang
arbiter. BAKI dipimpin oleh Mohamed Idwan Ganie sebagai ketua, Anangga Wardhana
Roosdiono sebagai wakil ketua. Sementara 6 arbiter lainnya, yakni Arief T Surowidjojo,
Hikmawanto Juwana, Lelyana Santosa, Nursjahbani Kantjasungkana, Pradjoto dan Yosua
Makes bertindak sebagai anggota.
77
Arbitrase Mandori
Pasal 28.1 AD secara tegas menyatakan bahwa setiap perselisihan, sengketa, tuntutan,
ketidak-pahaman, penafsiran ketentuan dari kontrak atau perjanjian, yang berhubungan
dengan kegiatan keolahragaan, yang terjadi dan menyangkut atau melibatkan KOI
dan/atau jajarannya dan/atau setiap Anggota dan/atau jajarannya dan/atau setiap
perselisihan yang menyangkut keolahragaan dan/atau yang mempunyai kaitan dengan
kegiatan atau kepentingan keolahragaan, diantara KOI dan/atau jajarannya dan/atau
Anggota dan/atau jajarannya dan/atau individu yang menjadi anggota dari Anggota, tanpa
ada yang dikecualikan (“Perselisihan”), yang tidak dapat diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat dan/atau melalui mekanisme internal organisasi yang
berlaku, harus dan wajib disampaikan kepada, untuk diperiksa dan diputus oleh BAKI.
Arbitrase Penundukandiri
Para pihak yang terhadapnya ketentuan pasal 1 tidak berlaku, dapat dengan penundukan
diri kepada yurisdiksi BAKI, yang dapat dilakukan dengan memasukkan klausula
arbitrase BAKI di dalam perjanjian atau kesepakatan khusus mereka, dapat mengajukan
setiap perselisihan, sengketa, tuntutan, ketidak-sepahaman, penafsiran ketentuan dari
kontrak atau perjanjian, yang berhubungan dengan kegiatan keolahragaan, yang terjadi
dan menyangkut atau melibatkan KOI dan/atau jajarannya dan/atau setiap Anggota
dan/atau jajarannya dan/atau setiap perselisihan yang menyangkut keolahragaaan
dan/atau yang mempunyai kaitan dengan kegiatan atau kepentingan keolahragaan,
diantara KOI dan/atau jajarannya dan/atau Anggota dan/atau jajarannya dan/atau individu
78
yang menjadi anggota dari Anggota, tanpa yang dikecualikan (“Perselisihan”), kepada
BAKI untuk diperiksa dan diputus.
Klausula arbitrase standar bagi penundukan diri kepada BAKI adalah sebagai berikut:
“Seriap persellisihan, sengketa, tuntutan, ketidak-sepahaman, penafsiran ketentuan dari
perjanjian ini, tanpa ada yang dikecualikan, yang tidak dapat diselesaikan secara
musyawarah unutk mufakat (“Perselisihan”), harus dan wajib disampaikan kepada,
untuk diperiksa dan diputus oleh BAKI sesuai dengan hukum Acara BAKI yang berlaku,
yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang berselisih sebagai putusan yang
final dan mengikat.
3.1.4 Alternatif Lain Dalam Penyelesaian Sengketa Atlet Sepakbola
Dalam pembahasan ini mencoba memberikan alternatif penyelesaian sengketa
kontrak pemain sepakbola dengan klub melalui jalur gugatan pengadilan. Setiap subjek
hukum yang akan mengajukan gugatan ke pengadilan harus ada dasar hukum yang jelas
karena tanpa adanya dasar hukum yang jelas sebuah gugatan akan ditolak oleh
pengadilan, sebab dasar hukum itu akan dijadikan dasar oleh hakim dalam mengambil
keputusan nanti. Apabila dasar hukum suatu gugatan jelas maka akan mudah
diklasifikasikan gugatan yang disusun itu sebagai suatu gugatan yang masuk dalam
kategori apa, apakah masuk kategori perbuatan melawan hukum sebagaimana terdapat
dalam pasal 1365 BW atau wanprestasi dalam pasal 1238 BW.27 Dalam permaslahan ini
masuk kedalam kategori wanprestasi dimana pemain sebagai subjek hukum menggugat
karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh klub sebagai objek hukum. Wanprestasi
27 Fauzie Yusuf Hasibuan, Praktek Hukum Acara Perdata di Pengadilan Negeri, Fauzie &
Partners, Jakarta 2007, Hal. 23.
79
disini timbul karena pihak klub yang lalai kepada atlet dalam memberikan
upah/bayarannya, sehingga menjadi sengketa diantara kedua belah pihak.
Berikut tata cara mengajukan gugatan perdata :
1. Pendaftaran Gugatan, langkah pertama mengajukan gugatan perdata adalah dengan
melakukan pendaftaran gugatan tersebut ke pengadilan. Menurut pasal 118 ayat (1)
HIR, pendaftaran gugatan itu diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan kompetensi
relatifnya, berdasarkan tempat tinggal tergugat atau domisili hukum yang ditunjuk
dalam perjanjian. Gugatan tersebut hendaknya diajukan secara tertulis, ditandatangani
oleh Penggugat, atau kuasanya, dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Pendaftaran gugatan itu dapat dilakukan di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri
setempat.
2. Membayar Panjar Biaya Perkara, setelah gugatan diajukan di kepaniteraan,
selanjutnya Penggungat wajib membayar biaya perkara. Biaya perkara yang
dimaksud adalah panjar biaya perkara, yaitu biaya sementara yang finalnya akan
diperhitungkan setelah adanya putusan pengadilan.
3. Registrasi Perkara, adalah pencatatan gugatan ke dalam Buku Register Perkara untuk
mendapatkan nomor gugatan agar dapat diproses lebih lanjut. Registrasi perkara
dilakukan setelah dilakukannya pembayaran panjar biaya perkara.
4. Pelimpahan Berkas Perkara Kepada Ketua Pengadilan Negeri, setelah Panitera
memberikan nomor perkara berdasarkan nomor urut dalam Buku Register Perkara,
perkara tersebut dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
80
5. Penetapan Majelis Hakim Oleh Ketua Pengadilan Negeri, setelah Ketua Pengadilan
Negeri memeriksa berkas perkara yang diajukan Panitera, kemudian Ketua
Pengadilan Negeri menetapkan Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus
perkara.
6. Penetapan Hari Sidang, setelah Majelis Hakim terbentuk, Majelis Hakim tersebut
kemudian menetapkan hari sidang. Penetapan itu dituangkan dalam surat penetapan.
Setelah hari siding ditetapkan, selanjutnya Majelis Hakim memanggil para pihak
(Penggugat dan Tergugat) untuk hadir pada hari siding yang telah ditentukan itu.
3.2 Penyelesaian Sengketa Kontrak Pemain Sepakbola Dalam Perspektif
Ketenagakerjaan
Seperti dijelaskan diatas bahwa ingkar janji (wanprestasi) adalah apabila salah
satu pihak yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan, atau
salah satu pihak tidak melaksanakan isi perjanjian yang telah disepakati.28
Dalam kontrak pemain sepakbola sering terjadi praktik ingkar janji diantara
pihak-pihak yang melakukan kontrak, yaitu antara pemain dengan klub sepakbola. Hak
dan kewajiban yang sudah disepakati diantara kedua belah pihak yang tidak
dilaksanakan, tidak terlaksananya prestasi untuk salah satu pihak.29 Dapat dicontohkan
adalah tidak dibayarnya gaji pemain, tidak terpenuhinya jaminan kesehatan dan
kesejahteraan pemain dan pemutusan kontrak secara sepihak, hal demikian akan muncul
28 Subekti, op.cit., hal 45. 29 Yahman Karekteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan yang Lahir Dari Hubungan
Kontraktual, PT. Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2011. Hal 2-3.
81
permasalahan hukum, bahkan penyelesainya sering tidak begitu mudah dan cepat bahkan
sering berlarut-larut, sampai pada akhirnya bermuara di pengadilan yang memerlukan
putusan hakim.
Melihat kondisi demikian pemain sepakbola yang sering dirugikan oleh pihak
klub, hal demikian menunjukan bahwa pemain sepakbola tidak sepenuhnya dilindungi
haknya sebagai pemain dan sekaligus pekerja yang memberikan jasanya kepada klub.
Dalam pembahasan diatas banyak disingung mengenai beberbagai cara penyelesaian
konflik antar pemain dengan klub sepakbola yang dilatar belakangi perbuatan ingkar janji
atau wanprestasi, semisal penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Keolahragaan
Indonesia (BAKI), National Dispute Resolution Chamber (NDRC) dan juga bisa melalui
Court Arbitration of Sports (CAS), tiga pilihan forum penyelesaian tersebut banyak dipilih
oleh pemain sepakbola dalam menyelesaikan sengkata yang tercantum dalam kontrak
Pesepakbola tersebut. Akan tetapi perlu diingat bahwa sampai hari ini NDRC belumlah
ada di Indonesia, padahal itulah forum yang diminta untuk dipakai oleh FIFA khususnya
kepada pesepakbola lokal yang bermain di negaranya sendiri. CAS dan BAKI memiliki
karakteristik penyelesaian kasus yang sama dengan diputus para arbiter profesional yang
kompeten di bidangnya hanya saja dengan biaya yang diperlukan untuk dapat dijalankan
tidak murah, sehingga jika kasusnya adalah tunggakan gaji maka akan sangat
memberatkan pesepkbola.
Diluar forum di atas, ternyata terdapat Pilihan Forum penyelesaian lain yang juga
didapati di kontrak pesepakbola yang padahal kalau dilihat dari komentar para pengurus
PSSI, sangat MENENTANG pilihan forum ini, seperti Pengadilan Negeri dan Pengadilan
82
Hubungan Industrial (Hukum Tenaga Kerja). Tentu menjadi sangat ironis, kalau
pengurus PSSI menggembar-gemborkan bahwa pesepakbola harus menyelesaikan kasus
dalam koridor sepakbola sementara kontrak klub-klub yang berada di bawah naungan
sendiri masih banyak yang menempatkan pilihan forum diluar koridor sepakbola.
Perlindungan pemain sepak bola dalam terpenuhinya hak-haknya sebagai seorang
atlet harus mendapatkan perhatian serius, ini tidak terlepas dari tekad kita semua untuk
menghargai para atlet khususnya pemain sepak bola, apabila model penyelesaian diatas
dirasa tidak menguntungkan atau tidak berpihak pada pemain, maka pemain juga
mempunyai hak untuk melakukan alternatif lain untuk melakukan upaya hukum diluar
ketentuan induk sepak bola Indonesia yaitu PSSI, sehingga dalam pembahasan ini penulis
mencoba untuk memberikan alternatif penyelesaian melalui gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial (Hukum Tenaga Kerja). Sebagaimana diatur dalam ketentuan
Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenegakerjaan.
Dilihat dari ketentuan umum pasal 1 Undang-Undang nomor 13 tahun 2013
bahwa yang dimaksud dengan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
untuk masyarakat. Sedangkan dalam pasal 2 dijelaskan bahwa pekerja atau buruh adalah
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Sehingga dengan mangacu pada pengertian pasal tersebut atlet sepak bola juga dapat
dikategorikan sebagai tenaga kerja atau pekerja,30 karena pada dasarnya seorang atlet
juga melakukan pekerjaan atau memberikan jasa untuk klub atau masyarakat. sedangkan
30 Dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang nomor 13 tahun 2013 tentang ketenaga kerjaan,
khususnya dalam ketentuan umum pasal 1 dan 2.
83
Hubungan kerja terjadi apabila adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja.
Dalam konteks perjanjian atlet sepak bola dengan klub maka dapat ditemui dalam
kontrak pemain tersebut yang berisikan klausula perjanjian yang menyangkut hak dan
kewajiban pemain bisa dijadikan dasar gugatan ke pengadilan hubungan industrial (PHI).
Dalam pengadilan hubungan industrial yang menjadi sengketa pokok gugatan ke
pengadilan hubungan industrial adalah diantaranya perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja dalam suatu perusahaan. Sehingga apabila kita kaitkan dengan sengketa atlet
sepakbola dengan klub terkait dengan tidak dilaksanakannya isi perjanjian kontrak oleh
klub maka pemain dapat mengajukan gugatan perselisihan hak atau gugatan perselisihan
pemutusan hubungan kerja ke pengadilan hubungan industrial. Akan tetapi perlu diingat
bahwa sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial ada beberapa
langkah atau prosedur Sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
syarat/mekanisme yang harus dilewati atau dilakukan adalah :31
1. Perundingan Bipartit
2. Perundingan Mediasi
Hal ini dijelaskan didalam Pasal 4 ayat (1,2) dan Pasal 83 ayat (1) UU No.2 Tahun 2004
sebagai berikut :
Pasal 4 ayat (1,2) UU No.2 Tahun 2004
31 pcsppp-spsibengkalis-riau-ahmunte.blogspot.com/.../tata-cara-dan-prosedur-mengajukan.htm,
Diunduh pada 28 januari 2014.
84
1. Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3),
maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti
bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
2. Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk
dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya pengembalian berkas.
Didalam Pasal 83 ayat (1) UU No.2 Tahun 2004 berbunyi : “Pengajuan gugatan
yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka Hakim
Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat“.
Perundingan Bipartit yaitu Perundingan antara Pekerja/Serikat Pekerja dengan
pihak Pengusaha, dan apabila tidak tercapai kesepakatan, kedua belah pihak membuat
Risalah Perundingan, yang sekurang-kurangnya memuat sebagaimana diatur dalam Pasal
6 ayat 2 UU No.2 Tahun 2004.
a. Nama lengkap dan alamat para pihak; ( Pekerja dan Pengusaha )
b. Tanggal dan tempat perundingan ;
c. Pokok masalah atau alasan perselisihan ;
d. Pendapat para pihak ; (pekerja dan pihak pengusaha )
e. Kesimpulan dan hasil perundingan ;
85
f. Tanggal dan tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
Setelah dibuat Risalah perundingan Bipartit tersebut,maka yang merasa dirugikan
melimpahkan permasalahannya kepada Dinas Tenaga kerja setempat untuk dilakukan
Perundingan Mediasi.
Namun yang sering terjadi apabila telah terjadi perselisihan antara Pekerja/Serikat
Pekerja dengan Pihak Pengusaha/Perusahaan adalah dengan segala cara Pihak Pengusaha
selalu menghindar untuk melakukan Perundingan Bipartit, sehingga apabila itu yang
terjadi maka langkah yang harus diambil oleh Pekerja/Serikat Pekerja adalah dengan
menyampaikan Surat Permohonan/Permintaan Perundingan tentang Perselisihan yang
terjadi minimal 2 (dua) kali dalam tenggang 14 (empat belas ) hari kerja kepada Pihak
Pengusaha/Perusahaan dan tembusannya disampaikan kepada Dinas Tenaga Kerja
setempat yang merupakan penanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.
Dan bagaimana setelah memberikan surat 2 (dua) kali ternyata Pengusaha/Perusahaan
tidak juga bersedia melakukan perundingan ?
Maka langkah yang harus ditempuh oleh pekerja/Serikat Pekerja adalah Mencatatkan
Perselisihan tersebut kepada Dinas Tenaga Kerja setempat dengan melampirkan kedua
surat permintaan perundingan yang telah disampaikan kepada pengusaha/perusahaan
tersebut,bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan
dan untuk dilanjutkan penyelesaiannya melalui Mediasi.
86
Karena sesuai Pasal 137 UU No.13 Tahun 2003 beserta Penjelasannya dan Pasal 3 ayat
(3) UU No 2 Tahun 2004 tindakan Pengusaha/Perusahaan yang tidak mau melakukan
Perundingan tersebut sudah merupakan Gagal Perundingan.
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan
penyelesaian perselisihan mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya
perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.( Pasal 10 UU No.2 Tahun 2004 )
Apabila dalam perundingan Mediasi juga tidak tercapai Kesepakatan maka Mediator dari
dinas Tenaga Kerja setempat membuat Risalah Perundingan Mediasi yang biasa disebut
dengan Anjuran dalam tenggang waktu 30 hari kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 13
ayat (2) huruf a, b, c, d dan Pasal 15 UU No.2 Tahun 2004 yang berbunyi sebagai berikut
:
“Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui mediasi, maka:
a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator
yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
87
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c
dianggap menolak anjuran tertulis;( Pasal 13 ayat (2) huruf a,b,c dan d UU No.2
Tahun 2004 )”.
Pasal 15 UU No 2 Tahun 2004 :
“Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).”
Setelah Mediator Dinas Tenaga Kerja menyampaikan Anjuran kepada kedua belah pihak,
yang merasa dirugikan dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
Pada Pengadilan Negeri setempat diwilayah masing-masing.
Prosedur diatas merupakan langkah-langkah yang harus dilalui pemain sepak bola apabila
ada sengketa terhadap klub apabila sengketa tersebut hendak diselesaikan melalui jalur
peradilan hubungan industrial.
Ketentuan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia
Suatu perumusan teori tentang konsep-konsep hak pada hakekatnya lebih
ditekankan pada ketentuan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, pada ketentuan umum Pasal 1 Ayat (1) dengan jelas diartikan bahwa : Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
88
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
”Miriam Budiarjo merumuskan Hak Asasi Manusia dengan mengatakan Hak
Asasi Manusia adalah hak yang dimilki manusia yang diperolehnya dan dibawanya
bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di kehidupan tanpa perbedaan atas dasar
bangsa, ras, agama atau kelamin dan karena itu bersifat asasi serta universal”.32
“Darji Darmodiharjo dan Shidarta merumuskan hak asasi manusia dengan
berpendapat Hak Asasi Manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia
sejak lahir sebagai Anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak ini menjadi dasar hak dan
kewajiban yang lain”.33
”Martino Sardi merumuskan pengertian hak asasi manusia dengan mengatakan
Hak Asasi Manusia adalah hak yang ada dan melekat pada diri atau martabat manusia,
karena dia adalah manusia. Hak itu ada dalam diri manusia dan tidak dapat dipisahkan
darinya”.34 Hak itu dimiliki oleh manusia karena dia itu makluk yang namanya manusia.
Hak itu bukan diperolehnya atau dianugerahkan dari suatu otoritas Negara atau
pemerintahan tetapi dimiliki manusia karena dia itu bermatabat manusiawi.
Berdasarkan rumusan hak asasai manusia oleh ketiga penulis tersebut maupun
menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia dapat disimpulkan bahwa ada 3 unsur
penting hak asasi manusia yaitu :
32 Ekon, Hak asasi manusia dalam hukum internasional dan hukum nasional Indonesia, Diunduh
29 Desember 2012 jam 14.30. 33 Ibid. 34 Ibid.
89
a. Hak Asasi Manusia adalah hak yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa
Kepada manusia sehingga tidak dapat dicabut oleh siapapun.
b. Kewajiban asasi Negara, hukum dan pemerintah adalah wajib menghormati,
menjunjung tinggi dan memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
c. Kewajiban asasi setiap orang adalah menghormati atau menghargai hak asasi
orang lain artinya jika siapa saja yang tidak menghormati hak orang lain dan atau
melakukan perbutan yang merugikan hak orang lain maka hak asasinya akan
dicabut sementara waktu atau selamanya berdasarkan hukum yang berlaku.35
Problematika tentang keterlambatan, penundaan bayaran dan bentuk-bentuk
diskriminasi yang dialami oleh atlet, dalam ketentuan HAM yaitu Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999, juga dijelaskan beberapa pasal yang pada intinya melindungi
setiap individu didalam hal pekerjaan, kesamaan dan kedudukan antar sesama individu,
Hal tersebut bisa kita lihat dari beberapa ketentuan dari pasal 2 dan 3 Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia:
Pasal 2
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak
terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi
35 Ibid.
90
peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta
keadilan.
Pasal 3
1. Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan
Sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup berrnasyarakat, berbangsa,
dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
2. Setiap orang berhak atas pegakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang
adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
3. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia, tanpa diskriminasi.
Sejarah Bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan,
kesengsaraan, dan kesenjangan sosial yang disebabkan kurangnya rasa tanggung jawab
dari pihak klub yang tidak menjalankan kewajibannya sesuai ketentuan yang berlaku.
Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia
baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.
Top Related