60
BAB III
PENCAPAIAN KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA MELALUI
IAFCP
Pencapaian kepentingan nasional Indonesia untuk menurunkan emisi
negaranya melalui IAFCP dalam proyek KFCP adalah berhasil. Kegiatan-kegiatan
yang telah disusun dan dikerjakan selama proyek berlangsung telah mendukung
tercapainya kepentingan nasional tersebut. Namun tidak bisa dipungkiri jika
selama kegiatan KFCP dipraktikkan masih terdapat beberapa kekurangan karena
mengingat bahwa KFCP merupakan proyek uji coba penerapan mekanisme
REDD+ pertama di dunia. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Gubernur
Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang yang menerangkan bahwa “adanya
kekurangan maupun kelemahan pelaksanaan program KFCP sebenarnya wajar
dan tidak perlu dipermasalahkan secara berlarut-larut”.88
Kemitraan yang berlangsung kurang lebih selama lima tahun tersebut telah
memberikan pengalaman yang berarti bagi Indonesia dalam upaya penanganan
perubahan iklim melalui DA REDD+. Indonesia dengan mitranya Australia telah
berani melakukan uji coba REDD+, yang padahal dalam forum internasional
mekanisme tersebut belum memiliki komponen yang matang. Pendanaan yang
disediakan Australia digunakan Indonesia untuk menunjang keperluan selama
88 Jaya Wirawana Manurung, antarakalteng.com, Gubernur Kalteng Surati Australia terkait
Program KFCP, diakses dalam http://kalteng.antaranews.com/berita/233306/gubernur-kalteng-
surati-australia-terkait-program-kfcp (13/12/2016, 12:37 WIB).
61
kegiatan DA REDD+ berlangsung, yakni mulai dari persiapan, pelaksanaan,
sampai dengan evaluasi kegiatan.
Selama proyek KFCP, Indonesia telah berhasil melaksanakan beragam
kegiatan dengan melibatkan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar wilayah
proyek. Masyarakat dinilai memiliki andil cukup besar dalam menyukseskan
program tersebut, sehingga keterlibatan mereka sudah dimulai sejak penyusunan
kegiatan KFCP. Keikutsertaan masyarakat dari awal proyek bisa dijadikan
pengalaman jika nantinya terdapat proyek dengan mekanisme yang sama.
Terlebih, masyarakat yang berada di sekitar hutan memiliki kapabilitas untuk
menjaga dan melestarikan hutan sebagai sumber penghidupan mereka, di samping
menjaga dan melestarikan hutan adalah wewenang dari pemerintah.
Pencapaian kepentingan yang didapatkan Indonesia selama proyek KFCP
berlangsung akan diuraikan dalam tiga kategori berikut: 1) Penurunan emisi GRK
dari deforestasi dan degadasi hutan, 2) Uji coba penerapan REDD+ di Indonesia,
dan 3) Pembangunan kapasitas Indonesia.
3.1 Penurunan Emisi GRK dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
Target Indonesia untuk mampu menurunkan emisi melalui kemitraan
IAFCP adalah berhasil. Indonesia memiliki hutan terbesar ketiga di dunia,
sehingga memang tidak mudah untuk bisa menurunkan jumlah emisi dalam kurun
waktu yang sebentar. Kegiatan yang direncanakan sebagai upaya penurunan emisi
sudah dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Meskipun penurunan
jumlah emisi GRK di lokasi proyek KFCP tidak stabil, namun jumlah emisi telah
62
berkurang jauh lebih sedikit dibandingkan sebelum dilaksanakannya proyek
tersebut.
Mengingat kembali tentang komitmen yang diucapkan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk mengurangi emisi GRK Indonesia hingga 26% atau
bahkan 41% pada tahun 2020 jika mendapat dukungan dari tingkat
internasional.89 Komitmen tersebut turut menjadi landasan Indonesia untuk
menurunkan emisi secara mandiri maupun melalui kerja sama dengan negara lain.
IAFCP merupakan salah satu contoh kemitraan yang diupayakan untuk bisa
memenuhi target tersebut.
IAFCP memiliki sebuah program yang digunakan untuk memantau besaran
jumlah emisi secara berkala yang disebut Indonesia National Carbon Accounting
System (INCAS). Keberadaan INCAS dimulai tahun 2008 dengan tujuan
membangun sistem yang akuntabel, dapat dipertanggungjawabkan, dan
berkelanjutan guna menghitung emisi GRK dari sektor kehutanan di seluruh
wilayah Indonesia. Program tersebut terdiri dari dua komponen teknis utama
yakni penginderaan jauh dan estimasi emisi.90
Pendekatan awal program tersebut dilakukan dengan menyesuaikan metode,
pengetahuan dan pengalaman dari sistem NCAS Australia untuk membangun
sistem operasional dan peningkatan kapasitas Indonesia. Kementerian Kehutanan
(Kemenhut) bertindak sebagai koordinator utama dalam komponen estimasi emisi.
Sedangkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) ditunjuk
sebagai institusi pelaksana utama komponen penginderaan jauh yang bekerja sama
89 Ganewati Wuryandari, Op. Cit., hal. 120. 90 Program Penginderaan Jauh INCAS: Metodologi dan Hasil, hal. 8, diakses dalam
https://issuu.com/esthikd/docs/incas-lapan_exec_sum_-_bhs (2/9/2016, 12:45 WIB).
63
dengan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
(UKP4), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kemenhut,
Badan Informasi Geospasial (BIG), IAFCP, dan pihak lainnya. INCAS juga telah
mendapat banyak masukan dari Profesor Matthew Hansen dari Universitas
Mayland beserta timnya melalui lokakarya dan pelatihan tentang penginderaan
jauh.91 IAFCP mendukung pengembangan metodologi serta peningkatan
kapabilitas, kapasitas, dan insfrastruktur di LAPAN agar INCAS bisa menjadi
program berkelanjutan di LAPAN.
Berikut merupakan hasil pendugaan dari penginderaan jauh INCAS untuk
tahun 2008-2012:
Tabel 3.1 Emisi GRK Hutan Berdasarkan Aktivitas REDD+92
Tahun Deforestasi
(tCO2-eq)
Degradasi
Hutan
(tCO2-eq)
SMF
(tCO2-eq)
Peningkatan
Stok Karbon
Hutan
(tCO2-eq)
Total
(tCO2-eq)
2008 45,753,467 19,689,305 2,483,697 (1,168,052) 66,758,417
2009 29,334,836 51,918,583 2,587,985 (1,311,365) 82,530,039
2010 19,878,519 13,204,419 2,136,367 (1,410,933) 33,808,372
2011 15,402,373 23,105,075 2,068,269 (1,480,451) 39,095,266
2012 20,799,174 22,916,355 2,010,262 (1,560,249) 44,165,541
Berdasarkan data tersebut terjadi peningkatan jumlah emisi dari tahun 2008
sampai dengan tahun 2009 yakni tercatat dari 66,758,417 tCO2-eq menjadi
82,530,039 tCO2-eq. Pada periode tersebut, proyek KFCP memang sudah
dimulai, namun masih dalam tahap persiapan dan perencanaan. Sehingga KFCP
belum bisa memberikan sumbangan yang berarti untuk penurunan emisi di area
91 Ibid., hal. 9. 92 INCAS, Inventarisasi Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca Nasional pada Hutan dan Lahan
Gambut di Indonesia, 2015, diakses dalam http://www.incas-indonesia.org/id/data/central-
kalimantan/ (15/8/2016, 03:09 WIB).
64
Kalimantan Tengah. Selain itu, peningkatan jumlah emisi tersebut disebabkan
oleh kebakaran pada lahan gambut yang sangat besar di Kalimantan Tengah.
Estimasi luas daerah bekas kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah
untuk Kabupaten Pulau Pisang adalah luas areal terbakar 31.500 ha, Kabupaten
Kapuas 27.700 ha, Kabupaten Katingan 14.600 ha, Kabupaten Kotawiringin
Timur 10.000 ha, Kabupaten Seruyan 5.900 ha, dan Kabupaten Lamandau dengan
luas areal kebakaran 300 ha.93
Lahan gambut yang dimaksud merupakan lahan-lahan tidur yang memiliki
kedekatan dengan akses jalan sehingga api yang berkobar merambat ke jalan dan
merambat ke lahan yang lain. Api yang membakar hutan gambut sebagian besar
tidak bisa dipadamkan karena jarak lokasi kebakaran yang sangat jauh dan tidak
ada sumber air yang berada di sekitar lokasi tersebut. Kebakaran di area
Kalimantan Tengah memang kerap terjadi, terlebih saat memasuki musim
kemarau di mana titik hotspot bisa meningkat secara drastis.
Menuju tahun 2010, estimasi emisi tercatat turun sampai dengan angka
33,808,372 tCO2-eq. Penurunan emisi secara drastis di wilayah Kalimantan
Tengah tersebut dipengaruhi oleh faktor cuaca. Musim kemarau pada periode
tersebut berlangsung selama tiga bulan (Juli-September 2010), namun pada
musim tersebut masih sering terjadi hujan sehingga disebut kemarau basah.
Menurut Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya
Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah bahwa tidak ada kebakaran hutan dan lahan
di tahun 2010 karena dukungan dari faktor cuaca. Walaupun memasuki musim
93 Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Gambaran Umum Kalimantan Tengah, diakses
dalam http://www.umpalangkaraya.ac.id/perpustakaan/digilib/files/disk1/9/123-dfadf-marsiyanan-
422-4-perhut.m-4.pdf (11/10/2016, 07:02 WIB).
65
kemarau, namun tetap masih memiliki curah hujan di atas normal. Selain itu,
beragam kegiatan dari proyek KFCP sudah mulai dilaksanakan, mulai dari
pelatihan sampai dengan praktik langsung oleh masyarakat untuk pengelolaan
hutan secara lestari sehingga mampu mengurangi pemicu kebakaran.94
Pada tahun 2011 terjadi kenaikan emisi sehingga tertotal berjumlah
39,095,266 tCO2-eq. Faktor yang mempengaruhi karena terjadinya kebakaran
pada musim kemarau di Kabupaten Kapuas yakni seluas 2.333,5 ha di sejumlah
lahan kosong milik masyarakat yang tidak dikelola. Tidak hanya karena faktor
kebakaran, pada tahun 2011 telah diterbitkan 1.296 Surat Ijin Usaha yang meliputi
konsesi perkebunan, pertambangan, dan pengusahaan hutan. Banyaknya konsesi
yang dikeluarkan menjadi alasan peningkatan emisi karena alih fungsi lahan
ataupun eksploitasi hutan tersebut.95
Pada tahun 2012, tetap terjadi kenaikan emisi menjadi sejumlah 44,165,541
tCO2-eq. Kebakaran yang terjadi di antaranya adalah seluas 57 ha lahan gambut,
alang-alang, dan beberapa lahan kosong milik masyarakat di Kabupaten
Kotawaringin Timur. Kemudian tercatat terjadi kebakaran seluas 15 ha di
Kabupaten Pulau Pisau dan 107 ha di Kabupaten Kapuas pada kebun karet
masyarakat.96
Analisa yang dilakukan dengan menggunakan data pendugaan emisi GRK
yang didapatkan penulis dari publikasi INCAS, maka kepentingan nasional
Indonesia untuk mengurangi emisi karbonnya sampai dengan kemitraan IAFCP
berakhir adalah berhasil. Walaupun pada tiga tahun terakhir jumlah emisi GRK
94 Ibid. 95 Ibid. 96 Ibid.
66
mengalami kenaikan, namun kenaikan yang terjadi tidak melebihi jumlah emisi
GRK sebelum adanya kemitraan IAFCP. Penulis berasumsi bahwa jumlah emisi
yang tidak stabil disebabkan oleh proyek yang masih berada dalam tahap uji coba,
faktor cuaca, dan terjadinya kebakaran di sekitar area proyek KFCP.
Penurunan emisi GRK di lokasi proyek KFCP yang dimulai tahun 2008-
2012 mengalami penurunan dengan kisaran persentase sebesar 33%. Persentase
tersebut perlu mendapat pujian mengingat target Indonesia dalam penurunan emisi
GRK negaranya adalah sebesar 41% pada tahun 2020 jika mendapat bantuan
internasional. Kegiatan yang dilaksanakan selama KFCP berlangsung sebagai
upaya pendukung dalam mengurangi emisi GRK adalah berupa uji coba
penerapan REDD+ dalam beberapa program yang dirancang staf KFCP seperti
reforestasi, penabatan tatas, maupun pengembangan mata pencaharian alternatif.
3.2 Uji Coba Penerapan REDD+ di Indonesia
Indonesia adalah negara yang ikut menginisiasi pengurangan emisi melalui
penanganan deforestasi dan degradasi hutan. Komitmen Indonesia dalam
pengurangan emisi GRK ditunjukkan melalui pelaksanaan DA REDD+ bersama
dengan Australia di hutan Indonesia. Uji coba penerapan REDD+ sebagai upaya
pendukung dalam mengurangi emisi GRK dilaksanakan dalam beberapa kegiatan
antara lain reforestasi, penabatan tatas, dan pengembangan mata pencaharian
alternatif. Walaupun selama melaksanakan kegiatan menemui tantangan dan
kesulitan, Indonesia telah berhasil menguji coba mekanisme REDD+ di Indonesia.
Uji coba tersebut memberikan pengalaman dan pembelajaran yang bisa digunakan
67
untuk melaksanakan proyek dengan mekanisme yang sama. Hal tersebut selaras
dengan pernyataan yang disampaikan Koordinator KFCP Nick Mawdsley bahwa
“Program KFCP itu sendiri karena baru uji coba. Tujuannya adalah belajar. Jadi,
jika dikatakan berhasil atau tidak program KFCP sendiri lebih kepada
pembelajaran”.97
REDD+ adalah pendekatan yang digunakan untuk mengurangi emisi GRK
dari deforestasi dan degradasi hutan dengan cara memberikan dukungan pada
negara-negara berkembang baik secara finansial maupun teknis. Mekanisme resmi
untuk implementasi REDD+ di tingkatan internasional memang belum ada,
namun demonstrasi untuk REDD+ sudah bisa dilaksanakan seperti yang
dilakukan Indonesia dengan mitranya Australia dalam IAFCP. Kemitraan tersebut
diharapkan mampu menjadi pembelajaran tentang pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan sehingga implementasi REDD+ di Indonesia bisa
menjadi percontohan di tataran internasional.
KFCP adalah proyek yang dikelola secara mandiri oleh desa dengan
dukungan teknis dari staf KFCP. Segala bentuk kegiatan yang dilakukan di tingkat
desa diatur dalam kerangka kerja sama antara desa dan staf KFCP yang dinamai
“Perjanjian Desa”. Sebenarnya, perjanjian desa bukan hal baru dalam pengelolaan
program pembangunan desa karena beberapa daerah di Indonesia sudah pernah
menerapkan program tersebut. KFCP memfasilitasi penyusunan perjanjian
tersebut dengan melakukan konsultasi kepada warga untuk memperoleh
persetujuan. Agenda tersebut juga melibatkan dinas pemerintah dan kelembagaan
97 Lokakarya Tematik REDD+ Oleh KFCP, Borneoclimate.info, diakses dalam
http://berita.borneoclimate.info/2012/10/11/lokakarya-tematik-redd-oleh-kfcp/ (10/12/2016, 01:39
WIB).
68
adat daerah untuk mengembangkan strategi, pendekatan, dan instrumen konsultasi
perjanjian desa.98
Tabel 3.2 Strategi, Pendekatan, dan Instrumen Perjanjian Desa99
Strategi, Pendekatan, dan
Instrumen
Uraian
Memahami kondisi desa 1. Kajian dan studi tentang desa di awal
program, sebelum kegiatan dijalankan.
2. Lokakarya para ahli yang membahas
temuan kajian dan studi.
3. Memperbarui informasi tentang situasi dan
kondisi desa, pada saat perpanjangan
Perjanjian Desa.
Koordinasi dengan pemerintah
daerah
1. Membentuk Kelompok Kerja (Pokja)100
REDD+ dan berkoordinasi dengannya
secara berkala.
2. Membentuk Forum Komunikasi Antar
Daerah (FKAD) dan berkoordinasi
dengannya secara berkala.
Mengidentifikasi dan
memetakan kelompok warga
1. Memetakan kelompok informal (termasuk
kelompok berkumpul) dan formal warga.
2. Memetakan warga berdasarkan kelompok
kepentingan.
Memetakan kelompok rentan101 1. Melakukan Social Wealth Ranking
(SWR)102
Membentuk tim konsultasi 1. Membentuk tim konsultasi yang berasal
dari warga desa dan dipilih oleh warga.
2. Melatih tim konsultasi untuk melakukan
konsultasi.
Diskusi khusus dengan 1. Diskusi khusus dengan kelompok
98 KFCP, Pelibatan Masyarakat dalam Konsultasi dan Perumusan Perjanjian Desa, hal. 3, diakses
dalam https://issuu.com/iafcp/docs/pelibatan-masyarakat-dalam-konsulta (2/9/2016, 11: 37 WIB) 99 Ibid., hal. 52. 100 Pokja KFCP adalah kelompok kerja yang terdiri dari perwakilan dinas-dinas pemerintah di
tingkat kabupaten yang diketuai oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
yang bertujuan sebagai forum koordinasi dan advokasi program di tingkat kabupaten. Ibid., hal.
29. 101 Kelompok rentan adalah kumpulan orang-orang dengan risiko tinggi ketika menghadapi
bencana. Ibid., hal. 18. 102 SWR adalah survei mengenai tingkat kesejahteraan warga di desa-desa di wilayah KFCP.
Survei dilakukan pada 2011 dengan cara yang partisipatif, di mana standar kesejahteraan
didiskusikan dan dikonsultasikan dengan warga, sehingga standar yang digunakan sesuai dengan
kondisi di wilayah survei. Hasil survei tersebut membantu KFCP untuk mengidentifikasi
kelompok rentan untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam program. KFCP, Pengembangan
Mata Pencahariaan Alternatif, hal. 60, diakses dalam
https://issuu.com/iafcp/docs/pengembangan_mata_pencaharian_alter (2/9/2016, 11:30 WIB).
69
kelompok perempuan dan rentan perempuan.
2. Diskusi khusus dengan kelompok rentan.
Berdasarkan pengalaman KFCP, desa dapat
memulai konsultasi dengan diskusi
kelompok atau Musyawarah Desa
(Musdes). Keputusan mengenai itu
diserahkan kepada desa.
Masa sanggah Memberikan masa sanggah antara 18-25 hari,
tergantung dari kesepakatan desa dan rentan
waktu rencana kerja program.
Finalisasi Perjanjian Desa 1. Pertemuan internal KFCP.
2. Musdes finalisasi Perjanjian Desa.
Perjanjian desa merupakan kerangka dan prinsip yang mengatur kerja sama
dan pengelolaan kegiatan KFCP di desa. Prinsip yang mendasari perjanjian desa
adalah kesetaraan dan keadilan. Perjanjian tersebut menyediakan mekanisme
pengelolaan program yang harus diterapkan oleh kedua belah pihak, baik pihak
desa maupun staf KFCP. Untuk melaksanakan perjanjian desa, KFCP telah
melakukan berbagai strategi dan pendekatan seperti yang sudah disebutkan dalam
tabel. Beberapa di antaranya yakni mengadakan kajian dan lokakarya untuk
memetakan kondisi awal desa, memetakan kelompok kepentingan ataupun
kelompok berkumpulnya warga, koordinasi dengan pemerintah daerah, pelibatan
perempuan dan kelompok rentan, serta menggunakan beragam produk komunikasi
seperti booklet dan video untuk memudahkan penyampaian informasi kepada
warga.103
Sedangkan beberapa kegiatan yang dilakukan selama proyek KFCP
berlangsung adalah: reforestasi, penutupan tatas, dan pengembangan mata
pencaharian alternatif bagi warga desa yang tinggal di sekitar wilayah program.
103 Ibid., hal. 62.
70
3.2.1 Reforestasi
Reforestasi atau disebut penghutanan kembali yang dilakukan oleh KFCP
terdiri dari dua cara, 1) Reforestasi buatan (artificial reforestation) yaitu
menanami hutan yang terdegradasi dengan tanaman yang sesuai dengan tipe
ekosistem hutan, dan 2) Reforestasi alamiah (natural reforestation) yaitu kegiatan
penghutanan kembali dengan membebaskan anakan atau semai yang ada di hutan
dari tanaman pengganggu melalui penyelenggaraan release, yaitu pembebasan
pohon dari tumbuhan pengganggu.104
Intervensi reforestasi KFCP terdiri dari release di lahan seluas 59 hektar
serta pembibitan dan penanaman di lahan seluas 1.911 hektar. Release
dilaksanakan satu kali di tahun 2013 sebagai uji coba. Sedangkan pembibitan
dilakukan dalam dua tahap, tahap I tahun 2011-2012, dan tahap II tahun 2012-
2013 dengan menggunakan produksi bibit yang lebih besar. Selanjutnya, kegiatan
penanaman dilakukan dalam tiga tahap, yakni tahap I tahun 2010 sebagai uji coba,
tahap II tahun 2011-2012 dalam skala besar, dan tahap III tahun 2012-2013
dengan skala yang besar pula.105
Pelaksanaan proyek-proyek KFCP menggunakan pendekatan berbasis
masyarakat dengan mengedepankan prinsip learning by doing dan kemandirian.
Pengelolaan diserahkan kepada desa melalui Tim Pengelola Kegiatan (TPK)/ Tim
Pengawas (TP), dengan warga desa sudah mulai dilibatkan dari proses
perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan kegiatan reforestasi. Keikutsertaan
warga desa dari awal proses perencanaan merupakan pembelajaran agar mereka
104 KFCP, Reforestasi Berbasis Masyarakat di Hutan Rawa Gambut, hal. 49, diakses dalam
https://issuu.com/iafcp/docs/reforestasi_berbasis_masyarakat_di_ (2/9/2016, 11: 50 WIB) 105 Ibid.
71
memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan reforestasi sehingga
nantinya bisa digunakan untuk mengelola program-program REDD+ lainnya.
Sebagian warga desa memang sudah memiliki pengalaman dalam mengelola
kebun maupun hutan. Namun cara yang digunakan dalam pengelolaan tersebut
masih sederhana. Oleh sebab itu, KFCP menyusun berbagai panduan untuk
membantu warga desa agar lebih memahami teknik reforestasi yang lebih baik.
Panduan yang disediakan oleh KFCP meliputi panduan pembibitan dan
penanaman. Selain itu, dalam melakukan kegiatan reforestasi, KFCP menyediakan
pendampingan dan asistensi teknis yang intensif untuk meningkatkan kualitas
teknik penanaman warga desa.
3.2.1.1 Pembibitan
Teknik pembibitan yang digunakan untuk reforestasi dalam KFCP mengacu
pada protokol pembibitan yang terdiri dari: 1) Pembangunan persemaian bibit,
persemaian tersebut digunakan untuk mengembangbiakkan dan memelihara bibit
dari anakan (vegetatif) sampai bibit sudah siap untuk ditanam. 2) Pengambilan
bibit, bibit yang digunakan oleh warga desa adalah bibit anakan alami dari areal
hutan di mana proses pengambilannya meliputi pencabutan anakan, pengepakan
(pengemasan), serta pengangkutan ke lokasi persemaian bibit. 3) Penyiapan
media, warga desa menyiapkan media dengan menyediakan bahan-bahan yang
akan digunakan untuk produksi bibit seperti tanah gambut yang dicampur dengan
pasir keras dan serbuk gergaji untuk meningkatkan porositas tanah sebagai media
tanam. 4) Pemeliharaan bibit di persemaian, pemeliharaan yang dilakukan seperti
72
dengan melakukan pemupukan, penyiraman, dan aklimatisasi bibit (mengurangi
naungan pohon agar sinar matahari menjangkau bibit dalam intensitas yang
cukup). 5) Pengangkutan bibit, bibit yang sudah memenuhi persyaratan
penanaman sudah bisa dipindahkan ke lokasi tanam. Persyaratan yang dimaksud
antara lain bibit sudah memiliki ketinggian 30 cm, jumlah daun sudah mencapai
lima helai, dan bibit dalam keadaan yang sehat dan tidak sedang terkena hama
penyakit.106
3.2.1.2 Penanaman
Kegiatan penanaman dilakukan pada lahan hutan yang terdegradasi yakni di
lima desa bagian selatan PLG. Sedangkan pada bagian utara PLG masih memiliki
lahan hutan yang bagus sehingga tidak dilakukan reforestasi. Dalam melakukan
penanaman, staf KFCP juga memberikan teknik penanaman kepada warga desa
agar penanaman berjalan dengan efektif. Teknik penanaman yang dimaksud
adalah 1) Penataan area tanam, proses tersebut bertujuan untuk membatasi dan
memberikan tanda area penanaman untuk setiap kelompok warga. 2) Pembuatan
lubang tanam dan pemasangan ajir, lubang tanam dibuat dengan ukuran 20x20x20
cm yang bertujuan agar akar bibit yang ditanam bisa mencapai lapisan tanah di
bawahnya sehingga mudah untuk memperoleh makanan. 3) Penanaman bibit,
kegiatan penanaman bibit dimulai dari proses pengangkutan bibit yang telah
diseleksi dari persemaian lapangan yang kemudian ditanam di lokasi penanaman
yang sudah ditentukan. 4) Perawatan dan penyulaman, kegiatan perawatan
106 Ibid., hal. 32
73
dilakukan dengan membersihkan area sekitaran bibit dari gulma atau tanaman
pengganggu, sedangkan penyulaman adalah kegiatan mengganti bibit yang sudah
mati dengan bibit yang baru.107
Program yang sudah disusun secara matang dan terstruktur tersebut ternyata
masih memiliki kekurangan sehingga menuai kritik dari beberapa pihak, antara
lain:
Pertama, keterbatasan informasi tentang kegiatan reforestasi kepada warga
desa. Pihak KFCP sudah menyebarluaskan informasi tentang kegiatan reforestasi
yang akan digalakkan di wilayah sekitar desa. Namun, ternyata warga desa hanya
menerima informasi sekadarnya saja tanpa mengetahui seluk-beluk maupun
informasi yang lebih terperinci tentang kegiatan reforestasi seperti lokasi yang
akan digunakan untuk proyek, izin pemanfaatan lokasi, bahkan terkait dampak
kegiatan terhadap aktivitas warga desa.
Kedua, keterbatasan keterlibatan warga desa dalam kegiatan reforestasi.
Selama kegiatan reforestasi masyarakat turut berpartisipasi sebagai pekerja
pembibitan, pemeliharaan bibit, penyiapan lahan, dan penanaman. Semua
pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan tenggang waktu dan dana yang disediakan
oleh proyek. Namun, yang menjadi masalah adalah keterlibatan warga desa hanya
sampai di situ saja, mereka tidak lagi dipekerjakan dalam pemeliharaan tanaman
reforestasi. Kegiatan reforestasi yang sudah dilaksanakan, selanjutnya hanya
mengandalkan perawatan alamiah saja. Akibatnya, tidak sedikit tanaman yang
sudah ditanam akhirnya layu dan mati.
107 Ibid., hal. 39.
74
Ketiga, Ketidakpekaan KFCP terhadap proyek pembangunan perkebunan
sawit, pembalakan kayu, dan pertambangan. Sekitaran lokasi kegiatan reforestasi
terdapat perusahaan perkebunan kelapa sawit seperti PT Rezki Alam Semesta
Raya (RASR), PT. Graha Inti Jaya, PT. Global Agro Lestari, dan PT Usaha
Handalan Perkasa yang mana keberadaan dan kegiatan perusahaan tersebut
merusak hutan dan kawasan hutan gambut, namun pihak KFCP sama sekali tidak
melakukan teguran atau bahkan tindakan yang berarti untuk mengatasi
permasalahan tersebut.108
Gambar 3.1 Dokumentasi Proyek Reforestasi KFCP109
108 Joint Factsheet, 2014, KFCP, Datang Tak Diundang, Pulang Tinggalkan Utang
Mempertanyakan Pertanggungjawaban KFCP Pasca Proyek, hal. 3. 109 Ibid., hal 4
Dari kiri ke kanan: Bibit yang akan ditanam di lokasi penanaman, bibit yang
tidak tumbuh dengan baik, bibit yang mati, lokasi penanaman yang terbakar
(Desa Katunjung).
75
3.2.2 Penabatan Tatas (Kanal Kecil)
Penabatan atau penutupan tatas adalah kegiatan menutup atau membendung
tatas, yakni saluran air yang dibuat oleh warga yang tinggal di sekitar PLG.
Keberadaan tatas merupakan salah satu faktor yang bisa mengakibatkan lahan
gambut menjadi kering. Akibatnya, lahan menjadi teroksidasi dan sangat rentan
terhadap kebakaran hutan yang bisa menambah jumlah emisi GRK. Program
penabatan tatas diharapkan mampu meningkatkan tinggi muka air yang akan
membantu proses rewetting (pembasahan kembali) pada lahan gambut sehingga
bisa mengurangi oksidasi di lahan gambut, mengurangi risiko kebakaran, dan
mampu menurunkan emisi GRK.110
Uji coba program penabatan tatas berlokasi di sebagian besar wilayah
selatan PLG di mana lokasi tersebut telah mengalami degradasi sangat hebat
akibat pembangunan tatas pada proyek sebelumnya yang menguras air dari lahan
gambut. Setelah PLG ditutup, ternyata warga desa setempat membangun sendiri
kanal-kanal kecil yang dimanfaatkan untuk jalur transportasi dari desa menuju
hutan. Kepemilikan atas tatas yang dibangun oleh masing-masing dari mereka
tidak memiliki dokumen resmi, namun hal tersebut diakui oleh lembaga adat desa
dan tertulis dalam buku aturan Dayak Ngaju Kabupaten Kapuas.111
Penabatan tatas dimulai dengan melakukan praktik uji coba pada beberapa
tatas untuk mengetahui respons masyarakat, mekanisme pengelolaan, dan teknik
penabatan yang efektif. Pembelajaran yang didapatkan dari uji coba tersebut
110 KFCP, Pengelolaan Penabatan Tatas Berbasis Komunitas, Sebuah Pembelajaran untuk
Merehabilitasi Sistem Hidrologi Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah, hal. 9, diakses
dalam https://issuu.com/sayastella/docs/penabatan_tatas_pa5 (2/9/2016, 12:02 WIB). 111 Ibid., hal. 12.
76
nantinya akan digunakan untuk menyempurnakan metode penabatan tatas
sehingga bisa diterapkan pada tatas-tatas yang lainnya.112 Namun, uji coba
penabatan tatas yang dilakukan oleh KFCP juga memunculkan protes dari warga
desa, antara lain:113
Pertama, kegiatan penutupan tatas hanya memberitahu warga pemilik tatas,
sedangkan warga lain yang berada di sekitar lokasi kegiatan tidak mendapatkan
informasi apapun selain keuntungan yang akan didapatkan bagi pemilik tatas,
yakni kompensasi sebesar Rp. 10.000.000 sampai Rp. 15.000.000 untuk setiap
tabat114 yang dihitung berdasarkan lebar atau sempitnya tatas.
Kedua, rehabilitasi penabatan tatas telah menutup akses transportasi
masyarakat menuju area kebun, tempat menangkap ikan, atau bahkan lahan usaha
lainnya. Warga desa pemilik tatas memang sudah mendapatkan kompensasi atas
penjualan tatas miliknya, namun pelaksanaan kegiatan penutupan tatas tanpa
persetujuan warga desa sekitar telah merugikan warga desa tersebut. Selain akses
warga tertutup, kegiatan tersebut juga mengakibatkan air meluap sampai
menggenangi kebun tanaman karet sehingga menjadikannya mati.115
112 Ibid. 113 Joint Factsheet, Op. Cit., hal. 4. 114 Tabat adalah istilah Dayak untuk menyebut bendungan yang terbuat dari kayu. 115 Ibid., hal. 5.
77
Gambar 3.2 Dokumentasi Penabatan Tatas KFCP116
3.2.3 Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif
Sebagian warga desa sebenarnya mengetahui jika kegiatan-kegiatan
eksploitasi hutan seperti menebang kayu, memancing ikan dengan menggunakan
listrik, dan mengambil hasil hutan non-kayu secara berlebihan bisa memperburuk
kerusakan hutan. Namun, warga desa di sekitar hutan memiliki keterbatasan
pilihan mata pencaharian sehingga tidak ada pilihan lain selain mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Fenomena tersebut telah membuat staf KFCP
menginisiasi program mata pencaharian alternatif untuk memperkenalkan pilihan
sumber mata pencaharian yang mendukung potensi lokal, memiliki nilai ekonomi
tinggi, berkelanjutan, dan ramah lingkungan kepada warga desa.117
116 Ibid., hal. 4 117 KFCP, Pengembangan Mata Pencahariaan Alternatif, hal. 3.
Dari kiri ke kanan: Tabat yang masih berdiri tinggi, tabat yang rusak, tabat
yang tenggelam.
78
Penyelenggaraan paket pekerjaan dinaungi oleh Perjanjian Desa.
Penyelenggaraan paket pekerjaan merupakan upaya KFCP membantu desa
menyiapkan diri untuk menerima dan mengelola manfaat REDD+ melalui sistem
berbasis kinerja (performance-based system). Istilah paket pekerjaan digunakan
untuk menjelaskan kegiatan yang disepakati antara warga desa dengan KFCP
yang mana warga desa akan berperan dalam kegiatan tersebut. Beberapa hal yang
tercantum dalam paket pekerjaan adalah jenis kegiatan, biaya, dan insentif bagi
desa. Program mata pencaharian alternatif merupakan manfaat tambahan dari
REDD+ yang membantu upaya penurunan tingkat kemiskinan. Program tersebut
disinyalir mampu menjadi kemanfaatan utama bagi REDD+, melihat penyebab
utama degradasi lingkungan hutan adalah kegiatan ekonomi masyarakat.118
Tabel 3.3 Tahapan Kegiatan Program Mata Pencaharian Alternatif119
Tahapan
Tahun Tahap satu:
Meningkatkan
kualitas dan rantai
nilai karet
Tahap dua: Pelaksanaan mata pencaharian
alternatif.
A. Pelatihan dan
sekolah lapang-
persiapan lahan dan
demonstrasi
B. Pelaksanaan
2010 Fase satu: Uji coba
Sekolah Lapangan
(Budidaya dan
Pemasaran) Karet
(SLK) (dua desa).
Fokus dalam:
kualitas dan rantai
nilai karet
118 Ibid., hal. 14. 119 Ibid., hal. 17.
79
2011-2012 Fokus dua: SLK
(tujuh desa). Fokus
dalam: kualitas dan
rantai nilai karet
Akhir 2012 Fase satu: SL-
Praktik lapangan
(tujuh desa). Fokus
dalam: persiapan
lahan, pelatihan
penanaman karet,
agroforestri120, dan
beje121.
Januari-Juli
2013
Fase satu: Uji coba
budidaya (1/3 dari
total paket). 1/3 ha
untuk karet, serta
agroforestri dan beje
dalam jumlah yang
setara.
September-
Oktober
2013
Fase dua: Sekolah
lapang-praktik
lapang (tujuh desa).
Fokus dalam:
persiapan lahan,
pelatihan penanaman
karet, agroforestri,
dan beje.
Desember
2013-April
2014
Fase dua:
Implementasi yang
lebih luas (2/3 dari
total paket). 2/3 ha
karet, serta
agroforestri dan beje
dalam jumlah setara.
Paket penuh bagi
partisipan yang
belum bergabung
pada tahap dua-fase
satu, dan ingin
bergabung pada
tahap dan fase ini.
120 Agroforestri adalah budidaya tanaman kehutanan bersama dengan tanaman pertanian. 121 Beje adalah kolam yang dibangun dengan cara menggali tanah untuk menangkap ikan yang
dialirkan oleh luapan air sungai pada saat musim hujan. Ikan yang tertangkap di kolam biasanya
langsung dipanen oleh warga setelah luapan air sungai menyusut. Ibid., hal. 40.
80
Program pengembangan mata pencaharian alternatif juga menuai
permasalahan karena ketidakpuasan warga terhadap pekerjaan yang dialihkan
tersebut. Awalnya, setiap harinya masyarakat bekerja menyadap karet dengan
penghasilan minimum Rp 200.000/ hari. Namun, saat masyarakat ikut bekerja
untuk program KFCP, upah yang didapatkan dalam sehari maksimal hanya Rp
100.000.122
Ikut bekerja sebagai buruh di proyek KFCP sangat merugikan saya,
saya tidak mendapatkan untung malah saya yang berutang. Bekerja
ikut penanaman dengan upah 1,8 juta/ha, yang dikerjakan dalam
waktu 2 minggu yang tidak ada hasilnya bagi saya lebih baik saya
menyadap karet.123
Berbagai kegiatan yang diinisiasi oleh KFCP memang tidak seluruhnya
sempurna dan bisa diterima dengan baik oleh warga desa. Hal lain yang
mempengaruhi adanya kekurangan dalam proyek yang dilaksanakan adalah
karena berbagai proyek tersebut masih dalam tahap proses uji coba. Selama
proyek KFCP berlangsung, KFCP tidak hanya melakukan uji coba beberapa
proyek yang sudah direncanakan saja, namun KFCP juga memberikan bekal
dalam hal peningkatan kapasitas bagi warga desa. Upaya peningkatan kapasitas
untuk warga desa diharapkan bisa menjadi dasar pembelajaran dan pengalaman
untuk nantinya dipraktikkan pada proyek REDD+ selanjutnya.
122 Joint Factsheet, hal 5. 123 Kutipan wawancara buruh perempuan pada proyek KFCP pada 22 April 2013, Ibid.
81
3.3 Pembangunan Kapasitas Indonesia
Kategori terakhir dari capaian kemitraan IAFCP yaitu membangun kapasitas
Indonesia adalah berhasil. Dukungan pembangunan kapasitas tersebut
diimplementasikan dalam upaya mempelajari dan memajukan REDD+ melalui
pelatihan, data, hasil penelitian, dan materi-materi sumber informasi lainnya yang
diberikan kepada warga yang berada di lokasi proyek KFCP. Tujuannya adalah
untuk memberikan kontribusi pada pelaksanaan DA-REDD+ di Indonesia
sehingga bermanfaat untuk mendukung implementasi REDD+ selanjutnya.
Selama proyek KFCP dilaksanakan, KFCP memberikan bantuan teknis,
pelatihan, penguatan kapasitas, dan pemantauan untuk membantu desa dalam
mengelola berbagai kegiatan tersebut. Prinsip dan mekanisme yang diterapkan
dalam setiap kegiatan berfungsi sebagai uji coba guna melihat sejauh mana
pendekatan dan metode dapat digunakan untuk REDD+ sekaligus sebagai ajang
membantu desa untuk memiliki kapasitas dalam mengelola program yang masuk
ke desa secara mandiri.124
Dukungan KFCP terhadap pembangunan kapasitas Indonesia terealisasi
dalam penguatan kelembagaan desa yang diberikan melalui, 1) Pembentukan dan
penguatan kapasitas tim pengelola kegiatan KFCP di desa, 2) Penguatan kapasitas
kelembagaan adat, 3) Fasilitasi pembentukan forum koordinasi dan komunikasi
desa, dan 4) Bantuan kepada desa yang ingin mengajukan pengelolaan hutan desa.
124 KFCP, Dukungan Penguatan Kelembagaan bagi Desa dalam Mengelola Kegiatan REDD+,
hal. 17, diakses dalam https://issuu.com/sayastella/docs/penabatan_tatas_pa5 (2/9/2016, 12:15
WIB).
82
3.3.1 Pembentukan dan Penguatan Kapasitas Tim Pengelola Kegiatan KFCP
di Desa
Guna membentuk dan menguatkan kapasitas tim pengelola kegiatan KFCP
di desa, maka staf KFCP menyusun langkah untuk merealisasikan hal tersebut.
Tahapan yang dilakukan oleh staf KFCP yaitu:
1. Menentukan Bentuk Tim Pengelola
Staf KFCP dalam menentukan lembaga yang akan ditugaskan untuk
mengelola program KFCP dimulai dengan menggelar kajian dan pertemuan
bersama para ahli. Selanjutnya, staf KFCP melakukan kajian kelembagaan lokal
desa secara partisipatif untuk mengidentifikasi dan menilai kapasitas lembaga
yang ada, baik yang formal maupun informal. KFCP tidak memposisikan diri
sebagai pihak yang mengatur, namun hanya berperan memberikan dukungan agar
desa menggunakan lembaga yang sudah dikenal oleh sebagian besar warga desa.
Pemilihan untuk lembaga yang sudah dikenal bertujuan untuk memperkuat
kelembagaan sehingga dapat merepresentasikan warga desa, termasuk dari
kelompok rentan.125
Musyawarah pembentukan tim pengelola kegiatan KFCP terus berlanjut
hingga ditetapkan beberapa kriteria dan persyaratan untuk lembaga pengelola.
Syarat yang dimaksud antara lain memiliki komunikasi yang baik dengan
pemerintah daerah dan warga desa, memiliki sistem administrasi yang baik,
melibatkan warga di semua tahapan kegiatan, mengelola kesepakatan secara
partisipatif, dan memiliki manajemen pengelolaan yang transparan dan akuntabel
125 Ibid., hal 18.
83
di seluruh tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan
verifikasi. Namun, dari peserta musyawarah muncul ketidakpercayaan terhadap
lembaga lokal yang sudah teridentifikasi. Beberapa tanggapan yang muncul dari
peserta musyawarah antara lain: 1) Beberapa kelompok yang teridentifikasi dalam
penilaian lembaga lokal cenderung berpihak kepada kelompok tertentu yang
memiliki kekuasaan di desa. 2) Beberapa kelompok yang ada kurang melibatkan
warga dalam perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan. 3) Pemberdayaan
beberapa lembaga berfokus pada anggota-anggotanya saja, dan kurang
mengembangkan kebutuhan warga desa secara luas.126
Berdasarkan pertimbangan dari tanggapan yang telah diutarakan, maka
ketujuh desa memutuskan membentuk kelompok baru untuk mengelola kegiatan
KFCP di desa. Seluruh warga desa berharap dengan terbentuknya kelompok baru
maka bisa meminimalisir dominasi beberapa pihak yang ada di desa terhadap
pemerataan manfaat kegiatan KFCP. KFCP mengeluarkan rekomendasi untuk
menggunakan struktur yang sama dengan TPK yang digunakan oleh Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) karena struktur tersebut dianggap
yang paling sederhana dan warga desa sudah terbiasa dengan keberadaan TPK
tersebut.
Perbedaannya, TPK untuk KFCP akan lebih disesuaikan dengan kebutuhan
desa untuk program KFCP. Penyesuaian yang dimaksud antara lain terkait
penambahan TP sebagai pengawas TPK agar program bisa berjalan dengan lebih
transparan dan akuntabel. Selanjutnya juga terkait pengelolaan dana kegiatan yang
126 Ibid., hal. 20.
84
diserahkan langsung kepada TPK, hal tersebut berbeda dengan TPK-PNPM yang
dikelola oleh Unit Pengelola Keuangan (UPK) di kecamatan. Mekanisme tersebut
diterapkan agar desa memiliki kewenangan yang lebih luas dalam mengelola dana
program. Desa menetapkan bahwa tim TPK/TP akan disahkan melalui Surat
Keputusan Kepala Desa. Walaupun kedua tim hanya bersifat sementara, namun
memiliki kesempatan untuk menjadi lembaga pengelola REDD+ yang permanen
di tingkat desa.127
2. Menyusun Struktur, Fungsi, dan Tugas TPK/TP
TPK berperan sebagai pengelola kegiatan, sedangkan TP bertugas untuk
mengawasi pengelolaan TPK terhadap program KFCP. Selanjutnya, kedua tim
berkewajiban melaporkan pekerjaannya kepada Kepala Desa. Struktur TPK/TP
adalah sebagai berikut:
Gambar 3.3 Struktur TPK/TP
127 Ibid.
85
Gambar di atas menunjukkan struktur TPK yang terdiri dari ketua,
sekretaris, dan bendahara. Sedangkan TP terdiri dari anggota-anggota saja dan
tidak memiliki struktur berjenjang. Desa berwenang menambah jumlah anggota
TPK maupun TP yang disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan desa.
Penambahan anggota tersebut dilakukan jika jumlah kegiatan semakin bertambah
ataupun jika wilayah yang dikelola semakin luas. Gambar di atas juga
menunjukkan bahwa staf KFCP berfungsi sebagai bagian yang bertugas
memberikan peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan pendampingan insentif
kepada TPK/TP, lembaga desa, pemerintah desa, FKAD, maupun Pokja
REDD+.128
Berikut merupakan persyaratan keanggotaan TPK/TP: 1) Anggota TPK
harus berasal dari warga desa yang terpilih dalam forum desa. 2) Anggota TP
berasal dari kalangan yang dihormati di desa dan disegani oleh warga desa, seperti
pemerintah desa, tokoh adat, dan tokoh masyarakat lainnya. 3) Jumlah anggota
yang ditetapkan untuk TPK/TP adalah masing-masing berjumlah minimal tiga
orang. Namun, jumlah anggota bisa bertambah jika sedang dilaksanakan kegiatan
dalam skala yang lebih besar atau pada wilayah yang lebih luas. 4) Jumlah kuota
keterwakilan perempuan sebagai anggota TPK/TP yang ditetapkan oleh KFCP
adalah sebesar 30%.
3. Menguatkan Kapasitas Tim Pengelola
KFCP membantu mengembangkan kapasitas dari TPK/TP dengan berbagai
macam cara, antara lain melalui pelatihan, praktik lapangan (on the job training),
128 Ibid., hal. 22.
86
penyediaan buku-buku panduan, serta pendampingan insentif. Pelatihan yang
diberikan mencakup konsep REDD+, tugas pokok dan fungsi TPK/TP, resolusi
konflik, mekanisme keluhan (grievance mechanism), verifikasi teknis, sosial dan
lingkungan, serta pelatihan administrasi dan pengelolaan keuangan. Narasumber
didatangkan dari berbagai instansi seperti dinas pemerintahan dari Kabupaten
Kapuas, lembaga adat, LSM, universitas, dan staf ahli KFCP.
Kegiatan praktik lapangan merupakan media yang bisa digunakan oleh
TPK/TP untuk berlatih mengelola kegiatan secara langsung. Beberapa hal yang
dipelajari oleh TPK/TP selama praktik lapangan adalah penggunaan media
informasi untuk menyebarkan berita kepada warga desa, pengorganisasian warga
desa ke dalam kelompok-kelompok kerja, koordinasi dengan pemerintahan desa
dan dinas pemerintahan lain, pengadaan material, pengelolaan dana kegiatan
beserta pendistribusiannya, pembuatan laporan kegiatan dan laporan keuangan,
dan cara mengawasi dan memverifikasi kegiatan sebelum pembayaran
dilakukan.129
Pendampingan teknis diberikan untuk mendampingi TPK/TP di desa. KFCP
menempatkan staf lapangan di setiap desa, sedangkan desa yang wilayahnya luas
akan diberikan staf untuk setiap dusunnya. Selain staf lapangan, juga ada staf
teknis yang bertugas memberikan pendampingan insentif kepada warga terkhusus
untuk bidang teknis seperti teknik penanaman, pembibitan, penabatan tatas, dan
lainnya. Staf KFCP juga menyediakan buku panduan untuk memperluas informasi
dan meningkatkan pengetahuan warga desa mengenai teknik-teknik kegiatan yang
129 Ibid., hal 28.
87
dilakukan selama proyek KFCP dilaksanakan. Buku panduan yang disusun seperti
buku panduan penanaman, pembibitan, dan penabatan tatas.
Seiring dengan bertambahnya kegiatan dan meningkatnya kapasitas
TPK/TP, maka peranan dan tugas dari TPK/TP pun semakin berkembang. Berikut
ringkasannya:
Tabel 3.4 Peranan dan Tugas TPK/TP130
Tahun Peranan dan Tugas
TPK TP
Tahun 2010
(dua desa)
-Sosialisasi dan merencanakan
pekerjaan.
-Melakukan pengadaan bahan-
bahan.
-Mencari partisipan kegiatan
secara adil.
-Melaksanakan pembayaran.
-Manajemen keuangan.
-Tata kearsipan.
-Memastikan bahwa semua
pekerjaan dan kegiatan
dilaksanakan dengan aman serta
mengelola asuransi bagi
partisipan kegiatan.
-Melakukan pengadaan
transportasi dan jasa-jasa
lainnya.
Tugas pengawasan yang
dilakukan oleh TP mencakup:
-Keuangan.
-Pengadaan.
Tahun 2011 Selain tugas-tugas yang telah
dilakukan sejak tahun 2010,
pada tahun 2011, terdapat
tambahan tugas bagi TPK, yaitu:
-Memfasilitasi konsultasi
Perjanjian Desa.
-Memediasi (bertindak sebagai
penengah) perselisihan dan
ketegangan di antara masyarakat
desa dengan dibantu oleh tokoh
adat dan pemerintah desa, serta
KFCP jika diperlukan.
Sama dengan tahun 2010
Tahun Pada tahun ini, Perjanjian Desa Sama dengan tahun 2011,
130 Ibid., hal. 29.
88
2012-2013 telah ditandatangani. Tugas-
tugas yang sudah dilakukan
sejak tahun 2010-2011
dicantumkan dalam perjanjian.
Adapun tambahan tugas bagi
TPK adalah:
-Memastikan bahwa semua
pekerjaan dan kegiatan
dilaksanakan dengan aman serta
mengelola asuransi bagi
partisipan kegiatan.
-Memastikan bahwa persyaratan
Perjanjian Desa dipenuhi.
dengan penambahan tugas
bagi TP:
-Sosialisasi
-Verifikasi safeguards
Tahun
2013-2014
Sama dengan tahun 2012-2013 Sama dengan tahun 2012-
2013
Berbagai tugas yang dilaksanakan TPK/TP tentunya masih mengalami
kendala. Hal tersebut mengingat sebagian besar dari anggota TPK belum pernah
terlibat dalam pengelolaan program sehingga proses maupun mekanisme yang
berlaku merupakan hal baru bagi mereka. Beberapa kendala yang dimaksud
seperti pengadaan barang melalui tender, pelaporan keuangan, fasilitasi
perselisihan antar warga/ pihak di desa, mengikuti safeguards, dan verifikasi
safeguards.131
3.3.2 Penguatan Kapasitas Kelembagaan Adat
Pertama kali KFCP datang dan memperkenalkan programnya di desa,
Peraturan Daerah (Perda) tentang keberadaan kelembagaan adat baru disahkan
sekitar satu tahun sebelumnya. Sebagian besar desa juga masih belum memilih
Mantir Adat yang sesuai dengan Perda tersebut. Tidak hanya itu, KFCP juga
menemukan bahwa ternyata para pemerintah dan lembaga desa belum sepenuhnya
131 Ibid., hal. 32.
89
memahami peran dan tugasnya masing-masing yang sesuai dengan Perda.
Berdasarkan fenomena tersebut, KFCP mulai berfokus pada penguatan kapasitas
kelembagaan adat yang ada di desa. Tujuannya adalah untuk menyiapkan
keterlibatan kelembagaan adat dalam program REDD+ agar bisa tepat sasaran.
Dukungan yang diberikan KFCP dalam penguatan kelembagaan adat antara lain:
1. Mengadakan pelatihan kelembagaan adat kabupaten dan desa mengenai
peran dan fungsi kelembagaan adat yang sesuai dengan Perda No. 16
Tahun 2008132
Sebelum dilaksanakannya pelatihan kelembagaan adat, KFCP telah
melakukan survei untuk mengetahui kondisi desa, keberadaan lembaga formal dan
informal, serta kelembagaan dan kepemimpinan adat desa. Temuan yang
dihasilkan dari survei tersebut adalah masih melemahnya kelembagaan yang ada
di tingkat desa, masih belum jelasnya tumpang tindih status dan klaim lahan di
beberapa wilayah program KFCP, masih adanya ikatan yang kuat antara budaya
Dayak dan hutan, beberapa desa masih belum memilih Mantir Adat sesuai dengan
Perda No. 16 Tahun 2008, hutan pehewan (hutan keramat) perlu dikembalikan ke
fungsi aslinya, dan keberadaan tanah, hutan adat, serta kebijakan lokal perlu
dilindungi.133
Temuan dari hasil survei kemudian ditindaklanjuti dengan mengadakan
diskusi bersama kelembagaan adat dan pemerintah daerah dari tingkat desa hingga
132 Perda No. 16 Tahun 2008 bermaksud untuk mendorong upaya pemberdayaan Lembaga Adat
Dayak agar mampu membangun karakter Masyarakat Adat Dayak melalui upaya pelestarian,
pengembangan, dan pemberdayaan adat-istiadat. Kebiasaan-kebiasaan dan menegakkan hukum
adat dalam masyarakat demi mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat,
menunjang kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan kelangsungan pembangunan, serta
meningkatkan Ketahanan Nasional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 133 Ibid., hal. 42.
90
provinsi agar mendapatkan masukan untuk penguatan kelembagaan adat desa.
Masukan tersebut dijadikan pertimbangan untuk menginisiasi kegiatan penguatan
kelembagaan desa yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM)-Desa.
Proses penyusunan RPJM-Desa melewati beberapa tahapan yang cukup
memakan waktu. Dimulai dengan pelatihan mengenai penetapan prioritas
pembangunan desa yang dilaksanakan sepanjang minggu. Setelah itu, dilanjutkan
dengan pertemuan yang membahas tentang rencana kerja tahunan desa selama
berhari-hari. Guna mendukung peran dan fungsi kelembagaan adat desa, para
tokoh adat di desa mendukung penguatan kelembagaan desa sebagai prioritas
pembangunan desa di mana program yang dibentuk meliputi penguatan
pemahaman peran dan tugas kelembagaan adat desa sesuai Perda No. 16 Tahun
2008 dan pemetaan wilayah kelola adat.134
KFCP mengadakan pelatihan yang diadakan sepanjang minggu pada bulan
Februari 2012 di Desa Sei Ahas, Kecamatan Mantangai dengan jumlah peserta
yang hadir sebagai berikut:
Tabel 3.5 Daftar Narasumber dan Peserta Kegiatan Kelembagaan Adat135
No Lembaga L P Jumlah
1 Narasumber dari Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi 1 3 4
2 Narasumber dari Dewan Adat Dayak Kabupaten - 2 2
3 Narasumber dari Universitas Palangkaraya - 1 1
4 Wakil dari Dusun/RT - 6 6
5 Kecamatan - 6 6
6 Fasilitator KFCP 1 4 5
7 Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat - 21 21
8 Damang Kepala Adat - 2 2
134 Ibid., hal 43. 135 Ibid., hal 45.
91
9 Sekretaris Damang Kepala Adat - 2 2
Total 2 47 49
KFCP melalui kegiatan pelatihan yang digelar bermaksud untuk mengetahui
tingkat pemahaman damang dan mantir adat mengenai kelembagaan adat. Pada
pelatihan tersebut, selain membahas tentang peran dan fungsi, juga membahas
tentang jenis tanah adat136 dan hak adat di atas tanah137 yang ada di wilayah kerja
KFCP. Pemahaman tersebut berguna untuk menjadi dasar pengetahuan mereka
sebelum nantinya memetakan wilayah kelola adat. Selanjutnya, pelatihan
dilanjutkan dengan pembahasan tentang Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA).
2. Memperjelas kerangka kerja pembuatan SKTA
Mayoritas dari warga desa belum mengurus surat keterangan kepemilikan
tanah, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: perusahaan besar
swasta dan Kuasa Pertambangan (KP), konflik tanah warisan, tumpang tindih
kepemilikan lahan, kepentingan pemerintah desa dan adat, kepemilikan lahan
dengan segel atau verklaring, jadwal kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan
masyarakat, pemahaman tentang istilah tanah adat di masyarakat, dan batasan
desa yang belum jelas. Menindaklanjuti kendala-kendala yang dirasakan oleh
warga desa, maka narasumber dalam pelatihan mengajak peserta untuk berdiskusi
136 Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah Kedamangan dan atau di
wilayah desa/ kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan
hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang
keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat. Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 13
Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan
Tengah, Jdihprovkalteng, hal. 3, diakses dalam http://jdih.kalteng.go.id/uploads/prokum-
2012082710355416.pdf (10/12/2016, 05:42 WIB). 137 Hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama maupun hak perorangan untuk mengelola,
memungut, dan memanfaatkan sumber daya alam dan atau hasil-hasilnya, di dalam maupun di atas
tanah yang berada di dalam hutan di luar tanah adat. Ibid., hal. 4.
92
terkait penyusunan alur pembuatan SKTA yang digambarkan pada diagram
berikut:
Gambar 3.4 Alur Penerbitan SKTA138
138 KFCP, Dukungan Penguatan Kelembagaan bagi Desa dalam Mengelola Kegiatan REDD+,
Op. Cit., hal. 49.
Keterangan Diagram:
1. Masyarakat mengajukan permohonan kepada mantir untuk pembuatan SKTA, kemudian
mantir bertugas membuat surat pengajuan SKTA kepada Damang kepala adat.
2. Menanggapi surat permohonan mantir, kepala adat (damang) dan sekretaris adat
mengadakan rapat kedamangan di tingkat kecamatan. Tujuan dari pertemuan ini adalah
untuk membentuk komisi adat, yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintah
desa yang mengetahui/ mengenal lokasi dari usulan SKTA masyarakat (berdasarkan
rekomendasi dari mantir adat desa).
3. Langkah selanjutnya dikoordinir oleh damang kepala adat, yaitu melakukan pertemuan
di kecamatan/ desa untuk menyusun langkah/ strategi untuk melakukan peninjauan ke
lapangan. Selain itu, juga dibahas mengenai: biaya anggaran, kesiapan lapangan, dan
pihak-pihak yang akan terlibat.
4. Hasil peninjauan lapangan dilaporkan dalam berita acara yang akan diletakkan di depan
umum selama 1 minggu untuk mendapat masukan atau sanggahan dari masyarakat.
5. Melihat apakah terdapat gugatan dari masyarakat lain terkait usulan pembuatan SKTA.
6. Damang Kepala Adat adalah pengambil keputusan tertinggi.
93
Prosedur penyusunan SKTA yang dibuat selama pelatihan berhasil
mempermudah kedamangan dan mantir dalam memproses SKTA. Prosedur yang
sudah disusun tersebut akhirnya dijadikan sebagai prosedur tetap dalam
penyusunan SKTA. Setelah pemahaman kepada peserta tentang identifikasi tanah
adat dan hak adat di atas tanah sudah diberikan, maka proses selanjutnya adalah
pemetaan wilayah kelola.
3. Melaksanakan pemetaan wilayah kelola adat yang mengacu pada Pergub
No. 9 Tahun 2010
Tahapan pemetaan terdiri dari dua tahap yakni pembuatan batasan luar tanah
adat milik perorangan139 dan pembuatan batasan dalam tanah adat milik
bersama140. Pemetaan dilakukan oleh tim pemetaan desa yang terdiri dari mantir
adat, warga desa, dan pemerintah desa yang kurang lebih berjumlah total 150
orang.141
Uji coba metode pemetaan dilakukan dengan teknik overlay. Tim pemetaan
membuat titik-titik terjauh wilayah kelola adat. Titik-titik yang teridentifikasi
tersebut ditentukan posisinya dengan menggunakan Global Positioning System
(GPS). Dilanjutkan dengan survei lokasi sekaligus melakukan justifikasi titik-titik
terjauh wilayah kelola adat yang dilakukan dengan menelusuri sejarah
pengelolaan lahan yang dituturkan oleh Mantir Adat, tokoh adat, dan warga desa.
139 Tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang diperoleh dari membuka hutan
atau berladang, jual beli, hibah, atau warisan secara adat, dapat berupa kebun atau tanah yang ada
tanam tumbuhnya maupun tanah kosong belaka. Jdihprovkalteng, Op. Cit., hal. 3. 140 Tanah adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur turun temurun yang dikelola dan
dimanfaatkan bersama-sama oleh para ahli waris sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini dapat
disejajarkan maknanya dengan Hak Ulayat. Ibid. 141 KFCP, Dukungan Penguatan Kelembagaan bagi Desa dalam Mengelola Kegiatan REDD+,
Op. Cit., hal. 51.
94
Setelah itu, tim pemetaan akan menempelkan hasil pemetaan sementara di desa
dan mendiskusikannya dengan warga desa yang memahami sejarah tanah adat
desanya.
Seusai dilakukan uji coba metode pemetaan, KFCP melakukan evaluasi
sehingga mendapatkan pembelajaran dan masukan selama proses berlangsung,
antara lain142:
1. Penggunaan sketsa dengan peta citra satelit dapat lebih menghemat waktu,
tenaga, dan biaya.
2. Kecurigaan warga terhadap program-program KFCP, utamanya pemetaan yang
mengakibatkan berubahnya status dan kepemilikan lahan telah hilang dengan
adanya penempelan hasil sementara pemetaan dan diskusi kelompok yang
digelar dengan warga desa.
3. Pemahaman bahwa batas sebaran tanah adat milik perorangan dan milik
bersama memiliki perbedaan di setiap desa. Walaupun pada sisi budaya dan
demografi, desa-desa tersebut berasal dari betang143 yang sama dan memiliki
batas yang sama.
4. Budaya tutur di antara masyarakat adat Dayak sudah mulai menghilang
sehingga nyaris tidak ada dokumentasi sama sekali. Hal tersebut
mengakibatkan sebagian besar batas wilayah selama pemetaan berlangsung
masih melalui perkiraan tanpa runutan sejarah kepemilikan dan pengelolaan
lahan yang lengkap. Akibatnya, dasar klaim kepemilikan tanah adat menjadi
142 Ibid., hal. 52-53. 143 Betang adalah rumah panjang khas suku Dayak yang digunakan sebagai tempat pertemuan
damai. Kamus Besar Bahasa Indonesia diakses dalam http://kbbi.web.id/betang (10/12/2016, 10:26
WIB).
95
lemah. Hal tersebut membuktikan bahwa penting untuk melakukan
dokumentasi sejarah.
5. Seluruh Mantir dan Damang sepakat bahwa batas sebaran tanah adat milik
perorangan dan milik bersama ditentukan oleh kemampuan warga untuk
mengakses lahan tempatnya melakukan kegiatan usaha atau disebut konsep
tradisional eka malan manana satiar.144
6. Adanya pembangunan infrastruktur oleh pemerintah membuat daya jelajah
Masyarakat Adat Dayak dalam satu hari menjadi lebih jauh dan risiko ketidak
pastian lahan semakin tinggi.
7. Setelah dilakukan uji coba pemetaan pertama, ternyata masih ditemui
kesalahan penentuan lokasi titik-titik terjauh wilayah kelola dengan
menggunakan GPS. Solusi yang ditawarkan adalah dengan melakukan
pembersihan data dan pemeriksaan ulang.
Seusai digelar evaluasi, maka tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah
proses debugging (pembersihan) data hasil pemetaan tahap pertama. Peta yang
sudah dibersihkan akan dikembalikan kepada Mantir Adat di setiap desa yang
selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan ulang terhadap kesalahan dalam
pemetaan. Barulah pemetaan tahap kedua dilakukan untuk memetakan batasan
tanah adat milik bersama. Pemetaan tersebut bertujuan untuk memperbarui peta
yang sudah dimiliki, memetakan status Tanah Adat Milik Perorangan yang tidak
144 Konsep eka malan manana satiar tersebut menjelaskan bila suatu kawasan dapat ditempuh
pulang pergi dalam satu hari dan warga berusaha di kawasan tersebut, misalnya menangkap ikan,
maka kawasan itu dianggap sebagai batas eka malan manana satiar. Pada kawasan tersebut tanah
adat milik perorangan terkonsentrasi. Selebihnya, di luar kawasan itu, leboh banyak tanah adat
milik bersama.
96
terkelola, tanah-tanah yang tidak jelas kepemilikannya, dan memetakan hak-hak
adat di atas tanah.
Dukungan terhadap desa dalam mengelola kegiatan KFCP tidak hanya
dengan memberikan penguatan kepada TPK/TP dan kelembagaan adat seperti
yang sudah dijelaskan pada pembahasan di atas. Namun, KFCP juga memfasilitasi
pembentukan forum koordinasi dan komunikasi desa yang bermanfaat untuk
menghubungkan komunikasi antar desa maupun sebagai forum penengah atas
konflik yang kemungkinan terjadi selama proyek KFCP berlangsung.
3.3.3 Fasilitasi Pembentukan Forum Koordinasi dan Komunikasi Desa
KFCP membantu desa membentuk FKAD pada tahun 2012 yang
bermanfaat sebagai media bagi Kepala Desa, Mantir Adat, dan tokoh desa lain
untuk mendiskusikan dan menyepakati hal-hal terkait kegiatan KFCP dan desa.
Tidak hanya itu, FKAD juga berhasil menjadi mediator yang kuat dalam
menghadapi perubahan arah program KFCP di desa maupun meredam ketegangan
yang timbul di antara warga desa yang disebabkan oleh perubahan tersebut.145
Kepala desa dan kalangan adat memandang FKAD sebagai forum yang
mampu membantu menstabilkan berbagai gejolak yang sempat timbul selama
program KFCP berlangsung. Prestasi-prestasi yang diraih oleh FKAD dalam
menstabilkan situasi dan keamanan di desa telah menjadikan forum tersebut
sebagai forum pertemuan formal antar desa. Jika di waktu yang akan datang
145 Ibid., hal. 61
97
terdapat program-program yang berhubungan dengan REDD+ kembali, maka
FKAD juga akan ditunjuk sebagai forum yang menjembatani program tersebut.
3.3.4 Pengajuan Pengelolaan Hutan Desa
Hutan desa adalah hutan negara yang dapat dikelola oleh desa sekaligus
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa namun hutan tersebut belum dibebani izin
atau hak. Pengelolaan hutan desa dianggap lebih menguntungkan daripada
pengelolaan hutan adat ataupun hutan kemasyarakatan. Beberapa keuntungan
yang didapatkan desa dalam mengelola hutan desa adalah hutan desa bisa dikelola
dalam jangka waktu yang lebih lama, yakni 35 tahun. Kuasa atas pengelolaan
hutan desa pun dipegang langsung oleh desa. Hal tersebut sesuai dengan prinsip
KFCP di mana pengelolaan diserahkan langsung kepada kelembagaan desa.146
Selain itu, hutan desa memungkinkan digunakan untuk keperluan komersial
seperti REDD+. Regulasi dan pengaturan administrasi terhadap hutan desa juga
sudah ditetapkan serta penetapan status hutan desa atau lisensi yang dibutuhkan
untuk bisa mengelola kawasan hutan desa tidak perlu mendapat penentuan status
dari hukum adat. Tata cara permohonan hak pengelolaan hutan desa akan
dijelaskan dalam tabel berikut.
146 Ibid., hal. 64.
98
Tabel 3.6 Tata Cara Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa147
KFCP mendukung pengelolaan hutan desa bagi warga desa yang memang
ingin dan berniat mengajukan proposal hutan desa. Dukungan yang diberikan
KFCP meliputi penyusunan dan pengajuan proposal hutan desa dan pembentukan
serta penguatan unit pengelola hutan desa. Tidak semua desa yang bekerja sama
dengan KFCP mengajukan proposal untuk hutan desa, dan pada kesempatan
tersebut ada enam desa yang mengajukan proposal yakni desa Petak Puti,
Tumbang Muroi, Katunjang, Sei Ahas, Katimpun, Kalumpang, dan Mantangai
Hulu. Sedangkan desa yang tidak ikut mengajukan proposal disebabkan kondisi
politik desa ataupun karena adanya intervensi bisnis dari pihak swasta.148
Selanjutnya, dukungan pembentukan pengelolaan hutan desa adalah
mempersiapkan unit pengelola di tingkat desa untuk menjalankan hutan desa.
Penentuan unit pengelola itu diawali dengan pengadaan lokakarya yang dihadiri
147 Ibid., hal. 65. 148 Ibid., hal. 6.
Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa diajukan oleh Lembaga Desa kepada
Gubernur melalui Bupati/walikota dengan melampirkan persyaratan:
-Peraturan desa tentang penetapan lembaga desa.
-Surat pernyataan dari kepala desa yang menyatakan wilayah administrasi desa yang
bersangkutan yang diketahui camat.
-Luas area kerja yang dimohon.
-Rencana kegiatan dan bidang usaha lembaga desa.
Bupati/Walikota meneruskan permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa kepada
Gubernur dengan melampirkan surat rekomendasi yang menerangkan bahwa
Lembaga Desa telah:
-Mendapatkan fasilitas.
-Siap mengelola hutan desa.
-Ditetapkan areal kerja oleh Menteri
Sumber: Permenhut No. 49 Tahun 2008
99
oleh LSM lokal, pemerintah daerah, dan perwakilan dari universitas untuk
mengkaji persyaratan kelembagaan yang tepat. Proses dilanjutkan dengan
mengadakan diskusi dan konsultasi dengan warga desa melalui musyawarah.
Hasil yang didapatkan selama proses tersebut adalah belum adanya kelembagaan
yang sesuai untuk menjadi tim pengelola hutan desa. Setelah melalui proses yang
panjang, akhirnya warga desa sepakat untuk menggandeng TPK.
TPK/TP merupakan unit atau kelompok kerja yang bersifat sementara
sehingga tidak bisa dijadikan unit pengelola hutan desa yang resmi, mengingat
salah satu persyaratan pengajuan hutan desa adalah desa harus memiliki unit
pengelola yang permanen. Namun, pengalaman warga desa dalam mengelola
program-program KFCP atas pendampingan yang dilakukan TPK/TP bisa
dijadikan dasar pembentukan unit pengelola hutan desa. Selanjutnya, setelah unit-
unit pengelola telah dibentuk oleh setiap desa, maka KFCP akan memberikan
pelatihan, penyusunan rencana kerja, dan lainnya.
Pembangunan kapasitas Indonesia yang dimulai dengan melaksanakan
kegiatan pembentukan dan penguatan kapasitas tim pengelola kegiatan KFCP di
desa, penguatan kapasitas kelembagaan adat, fasilitasi pembentukan forum
koordinasi dan komunikasi desa, dan bantuan kepada desa yang ingin mengajukan
pengelolaan hutan desa merupakan kegiatan pendukung yang turut membantu
Indonesia dalam mencapai kepentingannya mengurangi jumlah emisi GRK.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan tersebut bermanfaat dalam memberikan
pengetahuan dan pengalaman baru bagi warga yang berada di lokasi proyek
karena mereka adalah pelaku utama jika nanti muncul proyek baru dengan
100
mekanisme REDD+. Keberhasilan Indonesia dalam menguji coba mekanisme
tersebut juga tidak terlepas dari jerih payah warga di sekitar lokasi proyek yang
berjuang mengelola dan melaksanakan berbagai program yang telah disusun
bersama.
Top Related