1.2.5 Teknik Peremajaan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) melalui Teknik
Sambung Samping di Dusun Busur, Desa Rempek, Kecamatan Gangga,
Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat ( Binaan BPTP NTB
bekerjasama dengan Kelompok Tani “Lestari”
3.2.6.1 Pendahuluan
Kelompok Tani “Lestari” yang diketuai oleh Pak Sadiki,berdiri pada tanggal 13 Mei
2008. Kelompok Tani Ini beranggotakan 20 orang dengan luas lahan ± 30 ha. Kelompok Tani
ini merupakan salah satu binaan dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara
Barat. Dulu sekitar tahun 1990an daerah ini mendapat proyek berupa bibit kakao yang berasal
dari Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Seiring dengan berjalannya
waktu program dari Dinas Perkebunan ini tidak memiliki tindak lanjut yang jelas seperti
pembinaan dan perawatan tanaman kakao sesuai dengan standar operasional kerja . Hal ini
menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman kakao tidak optimal. Kakao yang
sudah berumur ± 20 tahun memang memiliki hasil tetapi tidak optimal, kebanyakan kakao
yang ada di desa itu sekarang sudah memiliki tinggi lebih dari 5 meter,jarak tanam yang tidak
teratur serta pemangkasan yang jarang dilakukan, dimana hal hal tersebut sangat
mempengaruhi hasil dari kakao tersebut. Hal ini lah yang menarik perhatian Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat untuk membantu bagaimana cara mengoptimalkan
hasil tanaman kakao dengan mengaplikasikan teknik peremajaan berupa teknik sambung
samping.
Produktifitas dan mutu kakao tersebut dapat diperbaiki melalui penerapan teknologi.
Salah satu diantaranya yaitu teknologi peremajaan tanaman dengan teknik sambung samping
(side grafting) Melalui metode ini kita dapat memilih pohon induk yang berproduksi tinggi
dengan kualitas baik yang diambil sebagai entris untuk disambung pada tanaman yang kurang
baik, sehingga tanaman tersebut menjadi baik. Teknik sambung samping merupakan teknik
perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan menggabungkan bagian dari satu tanaman ke
tanaman lain yang sejenis (se family) sehingga tumbuh menjadi satu tanaman dan
mempunyai sifat yang sama dengan induknya (entrisnya). Hasil penelitian pada tanaman
kakao, sambung samping dapat berproduksi pada umur 9 – 12 bulan sesudah perlakuan. Rata-
rata hasil yang dapat diperoleh dari sambungan yang sudah produktif sekitar 1,5 ton biji
kering. Sambung samping sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan, agar tunas yang
tumbuh dari sambungan dapat tumbuh dengan cepat. Teknik sambung samping merupakan
program nasional oleh pemerintah untuk meningkatkan hasil panen . Tujuan utama dari
perlakuan sambung samping adalah mengganti tanaman yang sudah tua dan/atau menggati
tanaman yang tidak produktif dengan klon unggul yang lebih produktif. Adapun keunggulan
teknik ini anatara lain : pertanaman kakao dapat diremajakan dalam waktu singkat tanpa
membongkar tanaman dan juga kelangsungan produksi dapat di pertahankan. Hasil
pengamatan dilapangan di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka, Sulawesi
Tenggara menunjukkan bahwa keberhasilan sambung samping oleh petani sekitar 60%.
Sambung samping ini menggunakan batang atas (entres) kakao unggul lokal yang telah
terpilih dan berasal dari tanaman yang sehat, yaitu Sulawesi-1 dan Sulawesi-2.
1.2.6.2 Tinjauan Pustaka
Teknik sambung samping pertama kali diterapkan oleh BAL estate pada tahun 1991
dan 1992 untuk rehabilitasi pada kebun benih (Yow dan Lim, 1994, dalam Prawoto, 2006)
dan telah dipraktekkan secara luas di Sabah (Departemen of Agriculture Sabah, 1993 dalam
Prawoto, 2006). Di Malaysia, sambung samping dilakukan untuk menanggulangi hama
pengerek buah kakao (PBK) dengan cara mengganti klon-klon yang ada dengan klon-klon
yang potensi produksinya tinggi, baik pada tanaman muda maupun tua. Hasil menunjukkan
produktivitas kakao meningkat 2-4 kali dibandingkan dengan produktivitas sebelumnya
( Sastrosoedarjo dkk, 1995).
Kendala yang sering dihadapi dalam perbanyakan tanaman secara sambung samping
adalah jauhnya jarak antara pohon induk dengan kebun yang akan direhabilitasi, sehingga
dibutuhkan waktu beberapa hari mulai dari pengambilan entres sampai penyambungan.
Selain itu jumlah tanaman yang akan disambung sering dalam jumlah yang banyak, sehingga
tidak bisa disambung dalam waktu sehari dan entres yang belum tersambung harus disimpan
untuk keesokan harinya.
Menurut Jawal dan Alwarudin ( 2006) lamanya penyimpanan entres mempengaruhi
keberhasilan sambung pucuk dan panjang tunas, yaitu semakin lama entres disimpan semakin
rendah tingkat keberhasilan sambung pucuk dan semakin pendek tunas yang terbentuk.
Interaksi antara lama penyimpanan entres dengan varietas berpengaruh terhadap persentase
pecah tunas dan pembentukan daun bibit sambung avokad.
Menurut Suhendi (2007) beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas
kakao selain serangan hama dan penyakit, anomali iklim, tajuk tanaman rusak, populasi
tanaman berkurang, teknologi budidaya oleh petani yang masih sederhana, penggunaan bahan
tanam yang mutunya kurang baik juga karena umur tanaman yang sudah cukup tua sehingga
kurang produktif lagi. Ratarata usia tanaman kakao di Bali di atas 20 tahun (Dinas
Perkebunan Provinsi Bali, 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kakao
produktivitasnya mulai menurun setelah umur 15 - 20 tahun. Tanaman tersebut umumnya
memiliki produktivitas yang hanya tinggal setengah dari potensi produktivitasnya. Kondisi
ini berarti bahwa tanaman kakao yang sudah tua potensi produktivitasnya rendah, sehingga
perlu dilakukan rehabilitasi ( Zaenudin dan Baon, 2004).
Upaya rehabilitasi tanaman kakao dimaksudkan untuk memperbaiki atau meningkatkan
potensi produktivitas dan salah satunya dilakukan dengan teknologi sambung samping (side
grafting).
Menurut Prastowo dkk. (2006) sambung samping merupakan teknik perbaikan
tanaman yang dilakukan dengan cara menyisipkan batang atas (entres) dengan klon-klon
yang dikehendaki sifat unggulnya pada sisi batang bawah. Secara garis besar, tujuan
perbaikan tanaman adalah untuk meningkatkan produktivitas dan mutu biji yang dihasilkan.
Sambung samping dapat juga digunakan untuk memperbaiki tanaman yang rusak secara fisik,
menambah jumlah klon dalam populasi tanaman, mengganti klon, dan pemendekan tajuk
tanaman. Jika dibandingkan dengan sambung pucuk, maka sambung samping memiliki
tingkat keberhasilan yang lebih tinggi karena batang bawah masih memiliki tajuk yang
lengkap, sehingga proses fotosintesis untuk menghasilkan zat-zat makanan dapat berlangsung
dengan baik (Agro Media, 2007).
Upaya yang telah dilakukan oleh petani selama ini untuk mengatasi penurunan
produksi tanaman kakao yang dipengaruhi umur tanaman yang sudah tua adalah dengan
melakukan peremajaan. Peremajaan dilakukan dengan cara mengganti tanaman kakao yang
tidak produktif (tua/rusak) dengan tanaman baru secara keseluruhan atau bertahap dengan
menggunakan bahan tanaman unggul . Kegiatan ini dinilai kurang efektif karena
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperoleh hasil, dilain pihak kebutuhan hidup
sehari-hari petani terus meningkat. Apabila permasalahan tersebut tidak segera ditangani,
maka dapat mengganggu kelangsungan produksi kakao sebab akan terjadi penurunan
produksi dari waktu kewaktu. Prinsip dasar rehabilitasi dengan metode sambung samping
adalah penyatuan kambium dari entres dengan kambium batang bawah, di samping itu pula
penggunaan entres dari klon – klon unggul sangat dianjurkan karena diyakini mempunyai
dampak positif terhadap peningkatan produksi dan mutu hasil, sehingga ketersediaan klon
unggul mutlak diperlukan. Alternatif rehabilitasi dengan menggunakan metode sambung
samping dianggap cukup efektif karena petani dengan mudah dapat melakukan sendiri serta
waktu yang dibutuhkan relatif singkat.
Suhendi ( 2007) mengatakan bahwa dibanding dengan okulasi tanaman dewasa dan
tanam ulang, metode sambung samping mempunyai keunggulan antara lain:
1. Areal tanaman kakao dapat direhabilitasi dalam waktu relatif singkat
2. Lebih murah dan tanaman kakao lebih cepat berproduksi dibanding cara tanam ulang
(replanting)
3. Batang atas hasil sambungan belum berproduksi, hasil buah dari batang bawah dapat
dipertahankan
4. Batang bawah dapat berfungsi sebagai penaung yang bersifat sementara bagi batang
atas yang sedang tumbuh.
Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika menentukan kakao yang akan
direhabilitasi adalah mencari tanaman yang kurang produktif (umur diatas 20 tahun) dan
secara teknis dapat dilakukan sambung samping, produktivitas rendah namun masih mungkin
untuk ditingkatkan, tidak terserang organisme pengganggu tanaman (OPT) utama seperti
hama penggerek buah kakao (PBK), Helopeltis sp, busuk buah (Phythopthora palmivora),
dan penyakit Vascular streak dieback (VSD), serta batang bawah harus dalam kondisi sehat
dan tumbuh aktif (Deptan, 2009). Upaya untuk pengaktifan pertumbuhan batang bawah ini
dapat dilakukan lewat pengolahan tanah, pemupukan, pemangkasan, dan kalau perlu dengan
pengairan. Kendala yang sering dihadapi ketika melakukan rehabilitasi tanaman kakao
dengan metode sambung samping adalah jauhnya jarak antara pohon induk atau sumber
entres dengan tempat atau kebun yang akan direhabilitasi, sehingga dibutuhkan waktu yang
agak lama mulai dari pengambilan entres sampai dengan proses penyambungan. Selain itu
pula jumlah tanaman kakao yang akan disambung sering dalam jumlah yang sangat banyak,
sehingga tidak bisa dilakukan penyambungan dalam waktu sehari dan entres yang belum
tersambung harus disimpan untuk keesokan harinya baru dilakukan penyambungan.
Keberhasilan usaha penyambungan tanaman kakao dipengaruhi oleh beberapa faktor
misalnya, kondisi tanaman dan lingkungan, tingkat kesehatan batang bawah, kelembaban
udara dan intensitas penyinaran serta penggunaan klon-klon unggul yang dapat beradaptasi
dengan iklim mikro (Sunanto, 1994). Lama penyimpanan dan media penyimpanan batang
atas sebelum dilakukan penyambungan juga berpengaruh terhadap keberhasilan
penyambungan (Djazuli, dkk. 1999). Waktu yang baik untuk melakukan penyambungan
adalah pada saat cuaca cerah, namun ada pula yang menyebutkan bahwa penyambungan pada
awal musim kemarau memberikan hasil yang lebih baik dari pada musim hujan, tetapi hal
tersebut perlu dikaji lebih lanjut (Zaubin dan Suryadi, 1999).
1.2.6.3 Waktu dan Pelaksanaan Kegiatan
Kamis, 25 Juli 2013 pada pukul 10.00 WITA - selesai, di kebun Pak Sadiki, Dusun Busur,
Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara
Barat.
1.2.6.4 Alat dan Bahan
Alat :
1. Pisau okulasi yang tajam agar potongan rapih dan mudah dilakukan idealnya memiliki
satu sisi tajam saja, sehingga dapat digunakan oleh tangan kanan atau kiri. Pisau harus
dalam kondisi bersih untuk menghindari penyakit yang mungkin melekat pada pisau
tersebut.
2. Gunting pangkas untuk memotong entris agar lapisan kambium tidak rusak
3. Tali rafia digunakan untuk mengikat entris yang telah diletakkan pada tapak pohon
hingga benar-benar kuat dan tumbuh pada batang utama
4. Plastik transparan yang spesialis digunakan untuk menutup sambungan entris agar
terhindar dari gangguan hujan, angin, binatang dan serangga. Plastik berguna juga
untuk menjaga kelembaban dan suhu yang stabil. Ukuran plastik berkisar 18 x 28 cm
dengan tebal 0,01 mm (plastik Malaysia).
Bahan :
1. Batang bawah tanaman yang ingin disambung.
2. Enteres berupa cabang plagiotrop berwarna hijau atau hijau kecoklatan dan sudah
mengayu ( sebaiknya berdiameter 0,75 – 1,50 cm )
1.2.6.5 Cara Kerja
1. Persiapan
Batang bawah harus dalam kondisi sehat dan prima, sehingga kambium mudah
dibuka setelah selesai digores (torehan).
Pilih pohon terbaik yang berproduksi dan berkualitas tinggi, toleran terhadap
hama dan penyakit serta beradaptasi terhadap lingkungan.
Cabang yang tumbuh horizontal (plagiotrop) ideal untuk dipilih atau digunakan
untuk sambung samping (entris).
Umur cabang diperkirakan 3 bulan dengan warna kulit cabang coklat kehijauan
kira-kira berdiameter 0,75 sampai 1,5 cm.
Buang daunnya dengan menggunakan gunting pangkas dan potong menjadi
beberapa bagian dengan panjang masing-masing 12 cm dan memiliki 2 – 3 mata
tunas. Apabila entris diambil/dibawa dari tempat yang jauh (2 – 4 hari)
perjalanan maka perlakuan khusus diperlukan agar tetap segara antara lain: (1)
Potong cabang plagiotrop dengan panjang antara 30 – 40 cm, buang daunnya
dengan gunting pangkas atau pisau okulasi yang tajam dan bersih; (2) Bungkus
tiap potongan dengan pelepah pisang atau kertas koran agar tidak saling
bersentuhan, letakkan secara hati-hati dalam kotak (kardus), dan hindari dari
tumpukan benda lain agar mata tunas tidak rusak; (3) Percikkan air secukupnya
pada kertas koran agar tetap lembab; (4) Perlakuan ini dapat menjaga kesegaran
entris hingga 4 hari.
2. Teknik Sambung Samping dan Pemeliharaannya
Pilih bagian yang cocok pada pohon dengan tinggi 45 – 75 cm dari pangkal
pohon untuk posisi sambung samping (tempat entris).
Buatlah dua irisan (torehan) dari atas batang menyerupai kaki segitiga sama
kaki atau huruf V terbalik dengan panjang kaki (sisi) 7 – 10 cm dengan lebar 2
– 4 cm. Pastikan kedua sisi irisan mengenai lapisan kambium pada kulit kayu
yang dinamai “tapak”. Buatlah tempat meletakkan entris dengan cara menarik
ujung bagian atas torehan tadi dengan pisau okulasi secara hati-hati, perlahan
dan rapi agar lapisan kambium terlihat, lalu potong ujung segitiga sama kaki
3-5 cm.
Sayat ujung entris pada satu sisi 3 –4,5 cm dan sisi belakangnya 1 – 2 cm,
kemudian masukkan bagian sisi yang disayat panjang ke dalam goresan
segitiga (tapak) menghadap lapisan kambium dengan sayatan menempel tepat
pada “tapak" ikat rapat goresan dengan tali rafia.
Tutup sambungan dengan plastik transparan spesialis (plastik Malaysia)
dengan mengikat bagian bawah goresan terlebih dahulu dengan tali rafia, lalu
diteruskan melewati entris, kemudian kita ikat bagian atas dengan baik, agar
air hujan tidak mudah masuk. Pastikan plastik tidak menekan entris, agar tidak
renggang terhadap kambium. Ulangi langkah serupa untuk sambungan kedua
dengan jarak 30 cm pada sisi yang berlawanan.
Entres yang telah disambung, setelah 3 – 4 minggu penyambungan entres
tampak segar, maka dapat dikatakan sambungan berhasil, sebaliknya apabila
entris kering atau busuk, maka sambungan dinyatakan gagal.
Jika tunas entres tumbuhnya mencapai 2 – 3 cm, tutup entres dibuka secara
bertahap, yaitu pada kerudung bagian atas kantong plastik disobek. Dua bulan
kemudian setelah penyambungan entres sudah melekat erat dengan batang
bawah, maka tali pengikat baru dapat dilepas.
3. Pemeliharaan sambungan
Pemeliharaan sambungan umur 1 – 12 bulan yang perlu dilakukan adalah Buka tutup
plastik bagian atas setelah 25 – 28 hari sesudah penyambungan, agar tunas baru dan entris
dapat tumbuh dengan baik;
1. Biarkan ikatan bawah tunas entris 14 – 28 hari kemudian, hingga sambungan
cukup kuat menempel pada pohon utama (batang bawah);
2. Kemudian bukalah ikatan secara bertahap dan hati-hati agar tidak mengganggu
pertumbuhan dan merusak sambungan,
3. Setelah 3 – 6 bulan pemeliharaan rutin dilakukan yaitu pemangkasan batang
utama guna memberikan sinar matahari yang cukup bagi sambungan;
4. Setelah satu tahun batang utama dipotong dengan jarak 50 – 75 cm di atas
sambungan, agar pertumbuhan sambungan tidak terhambat.
4. Perawatan Tunas Hasil Sambungan
Tunas muda hasil sambungan yang baru tumbuh kondisinya masih lemah, untuk itu
diperlukan perawatan-perawatan sebagai berikut:
1. Sementara untuk pertumbuhannya diperlukan penyinaran yang cukup.
2. Membuang tunas air yang tumbuh disekitar batang.
3. Batang atas hasil sambungan tersebut yang tumbuhnya menggantung ke bawah
diusahakan agar pertumbuhan-nya mengarah ketas, misalnya diberi tali yang
diikatkan ke batang bawah.
4. Tiga bulan setelah pelaksanaan sambung samping, bagian tajuk batang bawah
yang menaungi batang atas dipangkas secara bertahap (disiwing) yaitu lebih
kurang setengah bagian tajuk batang bawah.
5. Siwingan dilakukan berdasarkan kondisi batang bawah, misalnya batang bawah
yang umurnya kurang dari 5 tahun, dimana kanopinya belum saling menutupi
tidak perlu disiwing.
Batang bawah dipotong total, apabila batang atas sudah tumbuh kuat atau sudah
mulai berbuah. Arah potongan miring pada ketinggian 60 – 90 cm diatas
pertautan, kemudian luka bekas potongan dioles dengan obat penutup luka atau
dengan abu dapur.
1.2.6.6 Pembahasan
Keberhasilan teknik sambung samping dapat dilihat setelah sambung samping
tersebut berumut 2 minggu setelah dilakukannya sambung samping. Berdasarkan hasil yang
telah dilakukan oleh pihak BPTP NTB masih banyak kendala yang dihadapi dalam
keberhasilan teknik sambung samping ini, hal itu di sebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
1. Faktor tanaman
Kesehatan batang bawah yang akan digunakan sebagai bahan perbanyakan
perlu diperhatikan. Batang bawah yang kurang sehat, proses pembentukan kambium
pada bagian yang dilukai sering terhambat. Keadaan ini akan sangat mempengaruhi
keberhasilan penyambungan (Sugiyanto, 1995, dalam Hamid, 2009). Pendapat ini
didukung oleh Garner dan Chaudri (1976, dalam Hamid, 2009) yang mengemukakan
bahwa batang bawah berpengaruh kuat dalam pertumbuhan dan perkembangan
tanaman, sehingga pemilihan tanaman yang digunakan sebagai batang bawah sama
pentingnya dengan pemilihan varietas yang akan digunakan sebagai batang atas.
Berhasilnya pertemuan entris dan batang bawah bukanlah jaminan adanya
kompatibilitas pada tanaman hasil sambungan, sering terjadi perubahan pada entris
maupun pada tanaman hasil sambungan, misalnya pembengkakan pada sambungan,
pertumbuhan entris yang abnormal atau penyimpangan pertumbuhan lainnya, dimana
keadaan ini disebut inkompatibel. Kondisi ini dapat disebabkan oleh perbedaan
struktur antara batang atas dan batang bawah atau ketidakserasian bentuk potongan
pada sambungan (Rochiman dan Harjadi, 1973). Batang bawah dan batang atas yang
mampu menyokong pertautan dengan baik dan serasi disebut kompatibel (Winarno,
1990).
2. Faktor pelaksanaan
Faktor pelaksanaan memegang peranan penting dalam penyambungan.
Menurut Rochiman dan Harjadi (1973) kecepatan penyambungan merupakan
pencegahan terbaik terhadap infeksi penyakit. Pemotongan yang bergelombang dan
tidak sama pada permukaan masing-masing batang yang disambungkan tidak akan
memberikan hasil yang memuaskan (Hartman dan Kester, 1976). Kehalusan bentuk
sayatan dari suatu bagian dengan bagian lain sangat penting untuk mendapatkan
kesesuaian posisi persentuhan cambium, disamping itu ketrampilan dan keahlian
dalam pelaksanaan penyambungan maupun penempelan serta ketajaman alat-alat yang
digunakan juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pekerjaan tersebut
(Winarno, 1990).
3. Faktor lingkungan
Cahaya matahari sangat kuat akan berpengaruh terutama pada saat
pelaksanaan penyambungan, oleh karena itu penyambungan dilakukan pada waktu
pagi hari atau sore hari. Penyambungan sebaiknya dilakukan pada musim kemarau.
Selain untuk menghindari kebusukan, pada musim kemarau batang sedang aktif
mengalami pertumbuhan serta entris yang tersedia cukup masak (Sugiyanto, 1995,
dalam Hamid, 2010).
Proses pembentukan pertautan sambungan dapat disamakan dengan penyembuhan
luka. Bila pangkal tanaman dibelah, maka jaringan yang luka tersebut akan sembuh jika luka
tersebut diikat dengan kuat. Keberhasilan penyambungan suatu tanaman tergantung pada
terbentuknya pertautan sambungan itu, dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya
hubungan kambium yang rapat dari kedua batang yang disambungkan (Ashari, 1995).
Adnance dan Brison (1976, dalam Hamid, 2010) menjelaskan adanya pengikat yang erat
akan menahan bagian sambungan untuk tidak bergerak, sehingga kalus yang terbentuk akan
semakin jalin-menjalin dan terpadu dengan kuat. Jalinan kalus yang kuat semakin
menguatkan pertautan sambungan yang terbentuk. Pada penyambungan tanaman,
pemotongan bagian tanaman menyebabkan jaringan parenkim membentuk kalus. Kalus-kalus
tersebut sangat berpengaruh pada proses pertautan sambungan. Proses pembentukan kalus ini
sangat dipengaruhi oleh kandungan protein, lemak dan karbohidrat yang terdapat pada
jaringan parenkim karena senyawa-senyawa tersebut merupakan sumber energi dalam
membentuk kalus. Batang bawah lebih berperan dalam membentuk kalus (Harmann, 1997,
dalam Anonim, 2010). Pembentukan kalus sangat dipengaruhi oleh umur tanaman. Batang
bawah yang lebih muda akan menghasilkan persentase sambungan yang tumbuh lebih besar
dibandingkan dengan tanaman yang lebih tua (Samekto dkk, 1995).
Mekanisme terjadinya proses pertautan antara batang atas dan batang bawah adalah sebagai
berikut:
1. Lapisan kambium masing-masing sel tanaman baik batang atas maupun batang
bawah membentuk jaringan kalus berupa sel-sel parenkim
2. Sel-sel parenkim dari batang bawah dan batang atas masing-masing saling kontak,
menyatu dan selanjutnya membaur.
3. Sel-sel parenkim yang terbentuk akan terdiferensiasi membentuk kambiun sebagai
lanjutan dari lapisan kambium batang atas dan batang bawah yang lama
4. Dari lapisan kambium akan terbentuk jaringan pembuluh sehingga proses
translokasi hara dari batang bawah ke batang atas dan sebaliknya untuk hasil
fotosintesis dapat berlangsung kembali (Hartmann dkk,1997, dalam Barus, 2003).
3.2.6.7 Kesimpulan dan saran
Teknik sambung samping merupakan salah satu teknologi tepat guna pada tanaman
kakao untuk memperbaiki produktifitas dan kualitas hasil tanaman.Pemeliharaan pasca
sambung samping harus benar-benar dilakukan agar pertumbuhan tanaman tumbuh dengan
baik dan berproduksi secara optimal, paling tidak mendekati produksi potensial yang
seharusnya dapat dicapai yakni sebesar 2 – 3 ton/ha/tahun. Sarannya Waktu yang terbaik
untuk melakukan penyambungan pada tanaman kakao adalah pada akhir musim hujan dan 3
- 4 bulan sebelum musim hujan agar tingkat keberhasilannya dapat maksimal.
1.2.7. Teknik Pemasangan Sarang Semut pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao
L.) di Dusun Busur, Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok
Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat ( Binaan BPTP NTB bekerjasama dengan
Kelompok Tani “Lestari”
3.2.7.1 Pendahuluan
Kelompok Tani “Lestari” yang diketuai oleh Pak Sadiki,berdiri pada tanggal 13 Mei
2008. Kelompok Tani Ini beranggotakan 20 orang dengan luas lahan ± 30 ha. Kelompok Tani
ini merupakan salah satu binaan dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara
Barat. Dulu sekitar tahun 1990an daerah ini mendapat proyek berupa bibit kakao yang berasal
dari Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Tetapi setelah beberapa tahun
berikutnya para petani di dusun mendapat kendala berupa serangan hama penggerek buah
kakao yang menyebabkan busuk buah pada kakao. Berbagai jenis hama yang menyerang
tanaman kakao menjadikan produksi tanaman kakao menjadi menurun. Hama penggerek
buah dan penghisap buah kakao merupakan salah satu hama yang banyak menimbulkan
kerugian ekonomi pada tanaman kakao Penggunaan insektisida yang tidak terkontrol
menjadikan hama tersebut menjadi kebal dan tidak mempan lagi untuk dikendalikan. Selain
biaya yang mahal, penggunaan racun kimia dengan dosis tinggi bukannya membuat hama
tanaman hilang, tetapi justru menimbulkan dampak lain terhadap lingkungan. Salah satu
upaya yang dilakukan untuk mengurangi penggunaan racun pada tanaman kakao dan
menghemat biaya saprodi adalah kembali ke konsep PHT. Salah satu implementasi konsep
PHT yang disarankan oleh pihak BPTP NTB adalah pemanfaatan musuh alami dalam
mengendalikan hama tanaman. Musuh alami yang terbukti ampuh dalam
mengendalikan .hama penghisap buah dan PBK adalah semut. Ada empat spesies semut yang
ditemukan memangsa hama PBK yaitu semut merah, semut hitam, anoplolepis longipes dan
spesies Iridomyrmex sp. Dari keempat spesies semut tersebut ternyata semut merah
merupakan predator yang memiliki tingkat pengendalian paling tinggi.
Penelitian Nuriadi (2011) yang berjudul Praktek Budidaya Kakao dan Prospek
Pemanfaatan Semut Hitam dan Semut Rangrang untuk Pengendalian Hama Penggerek Buah
Kakao di Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi tenggara menyimpulkan bahwa Pemanfaatan
semut rangrang pada tanaman kakao berhasil menekan populasi telur, pupa dan imago hama
PBK. Hal ini berdampak terhadap rendahnya persentase kerusakan buah dan intensitas
serangan biji pada petak yang diberi perlakuan semut rangrang. Untuk mengendalikan hama
PBK pemanfaatan musuh alami seperti semut rangrang yang dikombinasikan dengan sanitasi,
pemangkasan, panen sering, sarungisasi buah perlu dilakukan secara kontinyu dan
terorganisir agar intensitas kerusakan buah dan biji kakao berkurang.
3.2.7.2 Tinjauan Pustaka
Bioekologi Hama Penggerek Buah Kakao
Telur hama penggerek buah kakao berbentuk oval dan pipih dengan panjang 0.45-
0.50 mm, lebar 0.25-0.30 mm, berwarna oranye. Telur diletakkan pada buah muda secara
terpisah antara satu dengan yang lain. Lama stadium telur berkisar 2-7 hari (Sjafaruddin
1997). Larva yang baru keluar dari telur langsung menggerek ke dalam buah dan memakan
permukaan dalam kulit buah, daging buah dan saluran makanan ke biji (plasenta). Akibat
serangan tersebut biji menjadi lengket satu sama lain dan tidak berkembang sempurna. Larva
berganti kulit 4 kali dalam waktu 14–18 hari. Pada pertumbuhan penuh, panjang larva
mencapai 12 mm dan berwarna hijau muda. Larva dewasa menjelang berkepompong keluar
dari dalam buah dengan cara menggerek kulit buah, membentuk lubang keluar dengan
diameter ± 1 mm. Setelah larva keluar dari dalam buah, larva merayap pada permukaan buah
atau menggantungkan diri dengan benang–benang sutra untuk mencari tempat berkepompong
baik pada tanaman maupun di tanah (Soekandar 1993).
Pupa dapat ditemukan pada permukaan buah, batang, cabang atau pada permukaan
tanah yang tertutupi oleh daun yang gugur. Kokon berbentuk oval berwarna kuning,
berukuran (13–18) x (6–9) mm, sedangkan kepompong berwarna coklat dengan ukuran
panjang 6–7 mm dan lebar 1–1.5 mm. Ukuran kepompong menjadi lebih panjang bila diukur
bersama pembungkus tungkai dan antena, Stadium kepompong 6–8 hari, setelah itu berubah
menjadi ngengat (Sjafaruddin 1997).
Serangga dewasa berwarna dasar coklat dengan warna putih bergaris zig–zag pada
sayap depan dan spot kuning oranye menyerupai batik pada ujung sayapnya. Ukuran panjang
tubuh ngengat pada saat istirahat 7 mm dengan rentang sayap mencapai 12 mm. Antena lebih
panjang dari tubuhnya serta mengarah ke belakang. Ngengat aktif terbang, kawin dan
meletakkan telur pada malam hari sejak pukul 18.00–07.00. Pada siang hari ngengat
bersembunyi pada tempat – tempat yang gelap dan terlindung dari sinar matahari terutama
pada cabang – cabang horizontal. Lama hidup ngengat betina berlangsung 7 hari dan siklus
hidup dari telur sampai ngengat berlangsung ± 1 bulan (Kartasapoetra 1993). Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan 73.43 % hama PBK menyukai cabang horizontal yang
berdiameter antara 5.1-10 cm, dan selebihnya pada cabang vertikal dengan diameter 0-5 cm.
Ngengat tidak mampu terbang jauh, hanya mencapai ± 153 m apabila dilakukan
pemerangkapan dengan feromon seks (Sudarsianto 1995).
Gejala Serangan dan Kerusakan
Hama PBK umumnya menyerang buah kakao yang masih muda dengan panjang
kurang lebih 10-12 cm pada umur 75 hari. Fase yang menimbulkan kerusakan adalah fase
larva. Larva PBK memakan daging buah dan saluran yang menuju biji tetapi tidak menyerang
biji. Gejala serangan baru tampak dari luar pada saat biji telah rusak. Buah yang terserang
memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pada jenis buah merah masak jingga, warna jingga tidak merata dan ada lubang-
lubang kecil pada permukaan buah
2. Pada jenis buah hijau masak kuning, warna kuning tidak merata dan ada lubang-
lubang kecil pada permukaan buah
3. Apabila buah terserang hama PBK digoyang tidak akan berbunyi seperti halnya
pada buah sehat yang masak.
4. Buah kakao yang terserang hama PBK pada saat dibelah akan tampak biji-biji
melekat satu sama lain, tidak berkembang dan ukurannya menjadi lebih kecil dan
ringan.
Gejala serangan pada buah muda, permukaan buah yang terserang berupa bercak
besar berwarna kuning. Jika buah–buah yang menunjukkan gejala tersebut dibelah, kulit buah
dan tangkai biji tempat larva mengambil makanan terlihat berwarna coklat. Sedangkan
daging buah yang biasanya berwarna putih pada serangan berat akan berwarna coklat
kehitaman. Jika buah tersebut dibelah terlihat jalur–jalur gerekan larva dan tampak buah
berwarna kecoklatan (Sulistyowati & Prawoto 1993).
Buah kakao yang terserang hama PBK dapat berkembang seolah-olah tidak terjadi
serangan, buah yang terserang tidak ada perbedaan dengan buah kakao yang sehat. Gejala
baru tampak dari luar setelah buah matang pada saat panen, buah kakao yang terserang
berwarna agak jingga atau pucat keputihan, buah menjadi lebih berat dan bila diguncang
tidak terdengar suara gesekan antara biji dengan dinding buah. Hal itu terjadi karena
timbulnya lendir dan kotoran pada daging buah dan rusaknya biji-biji di dalam buah.
Kerusakan daging buah akibat serangan PBK disebabkan oleh enzim heksokinase, malate
dehidrogenase, fluorescent esterase and malic enzyme polymorphisms yang disekresikan oleh
PBK (Wessel 1993).
Hama dan Musuh Alami pada Tanaman Kakao
Hama penting yang menyerang tanaman kakao adalah hama penggerek buah kakao
(Conopomorpha cramerella), pengisap buah kakao (Helopeltis sp,), penggerek kulit batang
kakao (Glenea sp.), dan penggerek batang (Zeuzera sp). Di antara hama penting tersebut
hama PBK merupakan hama yang tertinggi intensitas serangannya di Sulawesi Tenggara
yaitu mencapai 70–84% bila dibandingkan dengan hama penting lainnya (Dishutbun Sultra
2006). Hama lain yang ditemukan pada tanaman kakao adalah ulat kilan (Hyposidra talaca),
kumbang (Apogonia sp.) dan ulat api (Darna trima) (Hindayana et al. 2002).
Produksi kakao di Sulawesi Tenggara mulai terancam dengan adanya serangan PBK.
Hama ini merupakan hama yang cukup merugikan (Wardoyo 1982). Sifat penyebaran hama
ini relatif cepat dan masih sulit dikendalikan (Sulistyowati & Santosa 1995 ; Sulistyowati &
Yunianto 1996). Pada tahun 1995 tercatat bahwa hama PBK menyerang kurang lebih 424.8
ha kakao di Sulawesi Tenggara. Tetapi saat ini luas serangan telah mencapai lebih dari 200
125 ha, artinya hama PBK telah menyebar di seluruh areal kakao di Sulawesi Tenggara.
Kerugian yang diakibatkan oleh hama ini ditaksir telah mencapai 19.639.04 ton per tahun
setara dengan 216 miliar rupiah. Luas dan daerah sebaran ini terus meningkat bila
pengendalian yang efektif dan efesien tidak dilakukan (Dishutbun 2010).
Menurut Soekadar (2007) musuh alami yang potensial digunakan sebagai musuh
alami pada tanaman kakao selain semut hitam (Hymenoptera: Formicidae) adalah laba-laba
(Araneae: Salticidae), semut angkrang/rangrang (Hymenoptera: Formicidae), Trichogramma
(Hymenoptera: Trichogrammatidae), kumbang kubah (Coleoptera: Coccinellidae), cecopet
(Dermaptera), lalat apung (Diptera : Syrphidae), tawon (Hymenoptera: Vespidae).
3.2.7.3 Biologi Semut Hitam (Dolichoderus, sp.) dan Pemanfaatannya
Siklus hidup semut hitam terbagi dalam empat fase, yaitu fase telur, larva, pupa, dan
dewasa. Lama perkembangan dari telur hingga dewasa rata-rata 30 – 40 hari (Bolton 1997).
Koloni semut hitam terdiri dari tiga kasta: semut pekerja, semut ratu, dan semut pejantan.
Setiap kasta memiliki bentuk tubuh dan tugas yang berbeda dari kasta lain. Semut pekerja
bertugas antara lain mencari makan, membangun sarang, menjaga koloni dari musuh, serta
menjaga larva dan semut ratu. Semua semut kasta pekerja berjenis kelamin betina dan
biasanya tidak dapat menghasilkan keturunan. Reproduksi terjadi setelah semut jantan
membuahi semut betina (Dejean 2000).
Populasi pekerja terus berkembang secara eksponensial dan luas sarang semakin
bertambah. Seringkali populasi koloni terlalu padat sehingga para pekerja mencari lokasi baru
di luar sarang untuk dijadikan sarang tambahan. Sarang tambahan ini disebut sarang satelit
guna mewadahi populasi koloni yang tidak tertampung di sarang utama tempat semut ratu
berada. Koloni semut dapat meninggalkan sarang sepenuhnya dan pindah ke lokasi lain, jika
sarang yang lama tidak dapat lagi mendukung populasi koloni, saat sumber daya sekitar telah
habis, terjadi perubahan lingkungan yang mengancam keselamatan koloni, atau jika muncul
gangguan seperti kerusakan akibat serangan pemangsa, maka semut akan membuat sarang
baru (Brown 2000).
Pada tanaman kakao, semut hitam mencari makan (foraging) di sekitar pertanaman
kakao dengan daya jelajah 10-15 m setiap hari/koloni. Sarang semut hitam terdapat pada
rongga di dalam kayu lapuk, celah di bawah batuan atau kayu, di antara kulit batang pohon,
di antara serasah, rongga di dalam ranting dan liang bekas sarang rayap atau kumbang (Ho
1994). Sumber makanan dapat diperoleh dari telur serangga lain yang terdapat di pohon
kakao dan embun madu yang dihasilkan oleh kutu putih C. hispidus (Hemiptera;
Pseudococcidae). Pemanfataan semut hitam sebagai agensia hayati di Malaysia telah dimulai
sejak tahun 1996. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa seekor semut hitam
dapat memangsa telur C. cramerella sebanyak 5 butir / hari dan kasta pekerja semut hitam di
lapangan memiliki perilaku membawa telur hama PBK ke sarangnya untuk dijadikan sebagai
sumber makanan (Ho & Khoo 1997). Keberadaan semut hitam yang berkeliaran pada
tanaman kakao juga dapat mengganggu imago hama PBK yang beristirahat pada siang hari
(Sulistyowati & Mufrihati 1999) dan mengganggunya pada saat meletakkan telur (Suparno
1990).
Di samping sebagai musuh alami hama PBK, semut hitam dapat berfungsi sebagai
pembawa Trichoderma sp. yang berperan sebagai agensia hayati terhadap penyakit busuk
buah kakao yang disebabkan oleh Phythophthora palmivora (See & Khoo 1996). Dengan
demikian semut hitam berperan ganda selain sebagai predator juga sebagai pembawa agensia
hayati. Potensi inilah yang menjadikan semut hitam dapat dijadikan sebagai agen pengendali
hayati pada tanaman kakao.
Pemanfaatan semut hitam untuk mengendalikan hama Helopelthis antonii pada
tanaman kakao di Indonesia telah dilakukan pada masa penjajahan Belanda pada tahun 1930-
1940. Pada masa itu semut hitam telah dikomersilkan kepada petani (Rauf 2007). Petani
kakao di Kecamatan Labuhan Ratu Lampung Timur telah memasang daun kelapa atau daun
kakao kering yang diikatkan pada bagian batang. Kemudian, pada daun kering tersebut
diletakkan sarang semut. Pada pohon kakao yang terdapat sarang semut serangan hama PBK
lebih rendah dan petani dapat menghemat biaya pembelian bahan kimia sebesar Rp 500
ribu/ha dalam satu tahun (Radar Lampung 2004).
Pemanfaatan semut hitam telah dilakukan di Sulawesi Tengah dengan dukungan Balai
Karantina Tumbuhan dan penyuluh setempat dengan melakukan sosialisasi kepada petani
dalam pemanfaatan semut hitam untuk pengendalian hama PBK. Sosialisasi dilakukan karena
sebagian besar penduduk Sulawesi Tengah mengusahakan tanaman kakao (Badan Karantina
Tumbuhan 2006).
3.2.7.4 Biologi Semut Rangrang (Oecophylla smaradigna) dan Pemanfaatannya
Siklus hidup semut rangrang terbagi dalam empat fase yaitu telur, larva, pupa, semut
dewasa. Telur berbentuk elips dengan ukuran 0.5 mm x 1 mm. Larva berwarna putih, tidak
memiliki tungkai dan sayap. Ratu meletakkan telur dalam sarang, telur kemudian menetas
menjadi larva. Selama perkembangannya, larva mengalami beberapa kali ganti kulit
kemudian akan berkembang menjadi pupa selanjutnya pupa akan menjadi semut dewasa
(Holldobber & Wilson 1999). Semut rangrang hidup dalam kelompok sosial, pekerjaan
dibagi sesuai dengan tipe individunya (kastanya). Dengan kerjasama dan organiasi yang baik
serta disiplin, mereka dapat melakukan banyak hal. Dalam satu koloni terdapat beberapa tipe
individu yaitu: ratu semut, semut jantan, semut pekerja dan semut prajurit (Van Mele & Cuc
2004). Sarang semut rangrang dibuat secara bersama. Semut pekerja bertugas untuk menarik
daun sementara semut lainnya merajut daun dari dalam dengan bantuan larva yang
menghasilkan benang sutera. (Holldobler & Wilson 1999).
Jumlah semut dalam satu sarang bervariasi, rata-rata antara 4000 sampai 6000
individu, dan dalam satu koloni terdapat sekitar 500.000 semut dewasa. Sekumpulan semut
yang hidup dalam satu kelompok dengan pola hidup sosial disebut koloni. Koloni semut
merupakan keluarga besar dengan beberapa sarang dan individu yang saling mengenal dan
bekerja sama secara erat pada suatu daerah tertentu. Banyaknya sarang yang ditemukan
dalam satu koloni dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya ketersediaan makanan dan
tingkat gangguan yang terjadi. Satu koloni dapat mencapai 100 sarang. Sarang-sarang
tersebut dapat tersebar pada lebih dari 15 pohon, atau pada luasan lebih dari 1000 m2(Van
Mele 2000).
Semut rangrang mempunyai beberapa sifat dalam mencari makan/mangsa, antara lain:
(a) pemberani, semut rangrang berani menyerang organisme lain yang mengganggu
meskipun ukuran tubuhnya lebih besar dari mereka (b) agresif, semut rangrang dapat
melintas untuk mencari makan sepanjang hari. (c) disiplin, apabila ada suatu aktifitas yang
harus dilakukan secara berkelompok, maka semua akan berperan serta dalam aktifitas
tersebut, dan tak seekor semut pun yang meninggalkan kelompoknya. (d) cerdas, kelompok
semut rangrang membangun sistem komunikasi di antara mereka dengan mengeluarkan
feromon. Dalam waktu singkat semua anggota kelompok dapat mengetahui apabila terjadi
sesuatu dalam kelompoknya dan mereka akan langsung melakukan pembagian tugas apa
yang harus dilakukan (Van Mele & Cuc 2004).
Manfaat semut rangrang telah dikenal di banyak negara seperti di China, Vietnam dan
Malaysia, karena kemampuannya dalam mengganggu, menghalangi atau memangsa berbagai
jenis hama seperti kepik hijau, ulat pemakan daun dan imago serangga yang bersembunyi di
daun. Di samping itu semut rangrang dapat mengendalikan sebagian besar hama pada
tanaman jeruk, mete dan kakao dari serangan hama kepik dan penggerek buah (Van Mele &
Cuc 2004). Di Malaysia penggunaan semut rangrang spesies Oecophylla longinoda dan
Oecophylla smaradigna (Hymenoptera : Formicidae) dilaporkan dapat memangsa jenis-jenis
hama Helopeltis theobromae (Hemiptera : Miridae), Amblypelta theobromae (Hemiptera :
Coreidae), Distantiella theobromae (Hemiptera : Miridae) dan Panthorytes sp. (Coloeptera :
Curculionidae ) (Way & Khoo 1992)
Nutrisi Predator
Secara umum predator memiliki mangsa yang berbeda dari segi taksa, ukuran dan
kelas. Masing-masing predator memerlukan mangsa dengan nutrisi yang berbeda sesuai
dengan kebutuhan untuk perkembangbiakannya. Perbedaan kualitas dan kuantitas mangsa
mempengaruhi kebugaran predator. Mangsa yang berkualitas bagi predator adalah yang
memiliki komposisi nutrisi dan unsur penting (energi, nutrisi, dan toksin) yang mirip satu
sama lain sehingga dapat dijadikan sebagai kisaran mangsanya. Kesesuaian mangsa dapat
dievaluasi dengan cara mempelajari pertumbuhan, perkembangan, daya tahan, dan fekunditas
predator (Dicson 2003).
Dipandang dari segi kualitas, makanan untuk predator dikategorikan menjadi nutrisi
essensial dan nutrisi altematif. Nutrisi essensial adalah sumber makanan yang mengandung
nutrisi yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan organisme pradewasa dan
reproduksi imago sedangkan nutrisi altematif adalah sumber makanan yang mengandung
nutrisi yang hanya dapat menyokong atau bertahan suatu organisme. Nutrisi yang dibutuhkan
serangga menurut (Chapman 2000) yaitu:
1. Asam amino: tersedia dalam bentuk protein dan secara struktur membentuk
enzim, setiap serangga membutuhkan kadar protein yang berbeda. Enzim
berfungsi sebagai media transport dan penyimpanan dan sebagai molekul reseptor.
Sebagai contoh, Tyrosine penting untuk serangga dalam proses sklerotisasi.
2. Karbohidrat: tidak termasuk ke dalam kategori essensial untuk serangga pada
umumnya, lebih umum diperlukan sebagai sumber energi. Karbohidrat dapat
disintesis dari asam amino.
3. Lipid: Penting untuk sumber energi dan pembentukan membran serta hormon
sintesis, pada serangga umumnya lemak disintesis dari protein dan karbohidrat.
Sebagai eontoh hormon ganti kulit, Ecdysone disintesis dari sterol. Kolesterol
penting untuk perkembangan dan menghasilkan fekunditas yang tinggi.
4. Vitamin : dibutuhkan untuk mendukung berjalannya fungsi tubuh, vitamin juga
dibutuhkan untuk membentuk jaringan tubuh. Sebagai contoh β-arotene
(provitamin A) berguna sebagai komponen pigmen penglihatan,α-tocopherol
(Vitamin E) penting untuk reproduksi, fertilitas dan perkembangan embrio.
5. Mineral : dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tetapi dibutuhkan
dalam jumlah sedikit.
6. Purines dan pyrimidines: DNA dan RNA adalah molekul yang membawa dan
memediasi kode genetik.
7. Air: penting untuk serangga secara umum.
Semut hitam memakan sekresi gula kutu daun dan telur serangga lain. Sekresi gula
berupa embun madu ini adalah sumber karbohidrat bagi semut. Antara semut dan kutu daun
tersebut seringkali terbentuk simbiosis saling menguntungkan karena semut memberikan
perlindungan, sementara kutu daun memberikan sekresi embun madu (Way & Khoo 1992).
Semut hitam dapat dipelihara pada pohon kakao dengan memakai daun kelapa dan
gula merah dalam sepotong bambu. Metode ini juga dapat dipakai untuk memindahkan
kelompok semut dari pohon ke pohon. Setelah semut menempati bambu tersebut, bambu
dipindahkan ke pohon baru (Hindayana et al. 2002). Makanan semut sangat beragam, namun
dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu protein dan gula. Tidak seperti
semut lainnya, semut rangrang lebih menyukai protein daripada gula. Protein dapat
ditemukan pada daging, ikan, ayam dan serangga. Semut rangrang aktif mencari makanan
dan membawanya ke dalam sarang untuk seluruh anggota sarang tersebut. Perilaku mencari
makan (foraging behaviour) semut rangrang dilakukan dengan memangsa berbagai jenis
hama, misalnya ngengat yang aktif pada malam hari maupun yang bersembunyi di bawah
daun pada siang hari. Selain butuh protein, semut rangrang memerlukan makanan tambahan
berupa gula. Untuk mendapatkan gula, semut rangrang lebih suka mengisap cairan tanaman
atau nektar. Pada saat membangun sarang, semut rangrang mencari daun-daun muda yang
dihuni oleh serangga penghasil embun madu dan memasukkannya ke dalam sarang. Semut
rangrang mendapatkan gula dari serangga penghasil embun madu tetapi jika jumlah gula
yang dihasilkan oleh serangga ini lebih besar dari kebutuhan koloninya, maka semut akan
membunuh serangga tersebut (Van Mele & Cuc 2004).
Pengembangbiakan semut rangrang pernah dilakukan pada sentra perkebunan kakao
di Sulawesi Selatan oleh La Daha (2007) yaitu dengan memanfaatkan jeroan dari usus ayam.
Jeroan diletakkan pada bagian tengah pohon kakao tergantung pada tinggi tanaman agar
aktivitas semut rangrang dapat diamati dengan mudah. Populasi semut yang berkembang
pada pohon kakao dapat menurunkan serangan hama PBK
3.2.7.5 Waktu dan tempat Pelaksanaan Kegiatan :
Selasa - Rabu, 23- 24 Juli 2013 pada pukul 10.00 WITA - selesai, di kebun Pak
Sadiki, Dusun Busur, Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok
Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
3.2.7.6 Alat dan Bahan :
Alat :
1. Pisau
2. Gunting
3. Tali rafia
Bahan :
1. Daun kakao yang kering
3.2.7.7 Cara Kerja
1. Mengambil dedaunan kakao yang kering disekitar tanaman
2. Membentuk dedaunan tersebut seperti pipa paralon yang memiliki lubang di
kedua sisi
3. Mengikat hasil bentukan tersebut dengan tali rafia
4. Lalu mengikat bahan yang sudah terbentuk ke pohon kakaonya
3.2.7.8 Pembahasan :
Pengaplikasian pembuatan sarang semut ini masih baru pertama kali dilakukan kebun
kakao tersebut dan hasil nya belum dapat terlihat jelas. Kondisi tanaman kakao yang sudah
diaplikasikan sarang semut ini memang sudah hampir 60 % terserang hama PBK yang
mengakibatkan banyaknya kerugian yang dialami petani di dusun tersebut. Sebelumnya tidak
ada kegiatan pengendalian baik secara kimia maupun alami baik pemangkasan, sanitasi,
pemangkasan dan juga sarungisasi sehingga keberadaan hama PBK cepat berkembang. Selain
itu penambahan gula pada sarang bisa di lakukan agar dapat mengundang semut dalam
pembentukan sarang.
Adapun Standar Operasional Pengendalian PBK menurutPusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia (2010) adalah sebagai berikut :
1. Kultur teknis
Pangkasan kakao bertujuan meningkatkan pembungaan dan pembuahan,
memperbaiki aerasi kebun dan mempermudah manajemen tanaman. Pangkasan
produksi sekaligus kontrol tinggi tajuk tanaman dilakukan dua kali setahun yakni
pada akhir kemarau menjelang awal hujan (Oktober/ November) dan akhir musim
hujan (Maret/April). Target cabang yang dipangkas adalah yang tingginya >4m.
Pangkasan pemeliharaan dilakukan bulan Januari/Februari, dan Juli/Agustus.
Wiwilan(pembuangan tunas air) dilakukan sebulan sekali atau dua kali tergantung
pada laju tumbuhnya. Pemupukan kakao bertujuan untuk meningkatkan kesehatan
tanaman dan produksi buah. Dengan hasil buah yang banyak diharapkan terjadi
penurunan intensitas serangan dan tingkat kerusakan biji karena efek “pengenceran”.
Pupuk organik dan anorganik dapat digunakan, dengan dosis yang didasarkan pada
hasil analisis tanah dan daun kakao. Pohon penaung kakao berfungsi sebagai
penyangga (buffer) faktor-faktor lingkungan yang kurang mendukung pertumbuhan
dan produksi kakao. Makin marginal areal, maka populasi dan fungsi pohon penaung
semakin besar. Apabila digunakan lamtoro atau Gliricidia, maka pada awal musim
hujan sekitar 50% populasinya secara selang-seling dilakukan topping pada batas 1 m
di atas tajuk kakao. Populasi 50% sisanya dilakukan topping pada tahun berikutnya.
Percabangan selanjutnya perlu diatur agar tanaman kakao memperoleh sekitar 80%
penyinaran langsung.
2. Panen sering, dilakukan terhadap buah masak, masak fisiologis, dan buah terserang
PBK. Interval panen 5-7 hari. Buah langsung dibelah dan diambil bijinya pada hari
yang sama.
3. Sanitasi, yaitu melakukan pembenaman kulit buah dan plasenta dengan kedalaman
sekitar 20 cm dari permukaan tanah. Pemanen mengumpulkan buah yang dipanen
pada TPH (Tempat Pengumpulan Hasil). Jumlah TPH dan lubang sanitasi tergantung
pada volume panen. Sebagai patokan, setiap 2-4 ha areal kakao diperlukan satu TPH
dengan satu lubang sanitasi. Lubang segera ditutup tanah apabila kegiatan
pemecahan buah telah selesai. Pada jadwal panen berikutnya, dibuat lubang sanitasi
yang baru. Jika kesulitan melakukan pembenaman, kulit buah kakao dapat dicacah
untuk dijadikan kompos atau pakan ternak. Pencacahan kulit buah kakao
menggunakan alat pencacah (Shreader) yang dikembangkan olek Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao Indonesia, merupakan teknologi pengendalian PBK yang prospektif
untuk dikembangkan. Teknologi ini digunakan untuk mengantisipasi kegiatan
sanitasi atau pembenaman kulit buah yang sulit dilakukan pada musim panen raya.
Pencacahan kulit buah selain dapat membunuh larva PBK, hasil cacahannya dapat
digunakan sebagai sumber bahan organik dan sebagai pakan ternak yang mempunyai
nilai gizi tinggi setelah melalui proses pengomposan .
4. Penyemprotan Insektisida
Penyemprotan insektisida dilakukan terutama jika serangan PBK dengan
kriteria berat sudah mencapai 30%.Penyemprotan dilakukan pada saat buah kakao
sebagian besar berumur 3 bulan atau berukuran panjang antara 8 -10 cm.
Penyemprotan tidak efektif jika dilakukan terhadap buah dewasa (panjang >12cm).
Sasaran penyemprotan adalah buah-buah kakao tempat imago PBK bertelur dan
cabang-cabang horizontal tempat beristirahatnya imago PBK. Insektisida yang
digunakan dari golongan piretroid sintetik dan dianjurkan yang sudah diuji
keefektifannya. Konsentrasi formulasi yang digunakan berkisar antara 0,06% – 0,1%
atau sesuai anjuran pada kemasan pestisida, dengan menggunakan alat semprot
knapsack sprayer, volume semprot 250 ml/pohon atau 250 l per hektar.
5. Penyarungan Buah
Penyarungan buah dilakukan pada buah umur 3 bulan yang diperkirakan
panjang antara 8-10 cm, menggunakan kantong plastik lebar 15 cm, panjang 28 cm,
tebal 0,2 mm; atau dapat juga menggunakan bahan lainnya seperti koran bekas, kertas
semen, dll. Penyarungan kantong plastik dapat dilakukan menggunakan alat yang
terbuat dari bambu atau pipa paralon (PVC) berdiameter 1,5 “ (5 cm).
Penyarungan dilakukan terhadap semua pentil kakao pada musim pembuahan
rendah, yaitu 3 bulan sebelum saat panen rendah. Pada periode panen raya,
penyarungan buah dilakukan sesuai keinginan petani berapa produksi yang
dikehendaki. Setiap daerah perlu menyesuaikan dengan pola panen di daerah
tersebut, misalnya di Jawa saat penyarungan yang tepat adalah bulan Oktober-
November, di Sumatera antara bulan Februari-Maret.
STRATEGI JANGKA PANJANG
Strategi pengendalian PBK jangka panjang adalah penggunaan bahan tanam tahan,
pemanfaatan agens hayati, dan penerapan teknologi pengendalian lainnya. Strategi ini
merupakan program utama penelitian yang saat ini sedang dilakukan oleh Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao Indonesia. Hasil seleksi bahan tanam tahan PBK di Sumatera Utara telah
diperoleh satu klon harapan tahan PBK yakni KW 514, sementara hasil seleksi di Ladongi,
Sulawesi Tenggara didapatkan dua klon harapan tahan, yaitu ARDACIAR 25 dan
ARDACIAR 10. Klon-klon tersebut saat ini sedang diuji multilokasi di beberapa daerah
endemik PBK. Berdasarkan pengamatan komponen dayahasil dan mutu hasil, KW 514
memiliki potensi keunggulan sifat daya hasil dan mutu hasil, yaitu menghasilkan jumlah buah
rata-rata mencapai 72 buah atau setara 3,88 kg biji kering/thn dengan berat kering 1,10g/biji,
dan jumlah biji per buah 49 biji.
3.2.7.9 Kesimpulan dan Saran
Secara umum petani di Dusun Busur, Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten
Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat belum melakukan praktek budidaya kakao
seperti pemangkasan, panen sering, sanitasi sehingga perkembangan hama PBK berkembang
secara pesat.
Dimasa yang akan datang pelatihan dan demplot pemanfaatan musuh alami sebagai
salah satu komponen PHT dalam mengendalikan hama PBK perlu diadakan baik pada
pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat.
3.2.8 Teknik Pembuatan Rorak, Pemupukan dan Pemangkasan Pada Tanaman
Kakao (Theobroma cacao L.) di Dusun Busur, Desa Rempek, Kecamatan
Gangga, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat ( Binaan
BPTP NTB bekerjasama dengan Kelompok Tani “Lestari”)
3.2.8.1 Pendahuluan
Pembangunan pertanian yang berwawasan lingkungan adalah merupakan upaya dasar
dan berencana menggunakan dan mengelola sumberdaya secara arif dan bijaksana untuk
meningkatkan hasil produksi sekaligus menjaga lahan dan air.
Usahatani tanaman kakao pada lahan berlerang perlu adanya upaya pembuatan rorak dalam
menanggulangi bahaya erosi dan memanfaatkan rorak sebagai media penampungan bahan
organic seperti seresah, kulit buah kakao dan yang lain yang diharapkan menjadi sumber
pupuk organik yang murah dalam menghadapi mahalnya pupuk konvensional, baik pupuk
organic maupun anorganik buatan pabrik. Rorak dianjurkan dibuat pada lahan berkemiringan
antara 3 % sampai dengan 30 %.
Pemupukan bertujuan menambah unsur-unsur hara tertentu di dalam tanah yang tidak
mencukupi kebutuhan tanaman tersebut. Pemupukan tanman kakao harus diberikan secara
efisien. Efisiensi pemupukan adalah perbandingan jumlah pupuk yang diberikan dengan
jumlah pupuk yang diserap oleh tanaman. Namun, umumnya efisiensi pemupukan pada
kakao tergolong rendah. Pupuk yang biasanya digunakan dalam pemupukan tanaman kakao
adalah pupuk urea atau ZA sebagai sumber N, pupuk TSP sebagai sumber P, dan pupuk KCl
sebagai sumber K. Selain pupuk buatan, pada tanaman kakao juga diberikan tambahan pupuk
organik berupa pupuk kandang atau kompos. Meskipun tanaman membutuhkan asupan
tambahan berupa pupuk buatan ataupun pupuk organic, pemberian pupuk harus tetap
memperhatikan petunjuk dan dosis yang dianjurkan.
Pemangkasan merupakan salah satu teknik budidaya yang penting untuk dilakukan,
terutama dalam mengatur iklim mikro yang tepat bagi pertumbuhan bunga dan buah atau
untuk mengatur jumlah dan sebaran daun. Berbeda dengan komoditas pada umumnya, kakao
merupakan komoditas yang perawatannya memerlukan pemangkasan. Tanaman kakao yang
dipangkas dengan benar biasanya semuanya berbuah dan buahnya tersebar mulai dari
permukaan tanah sampai ke cabang-¬cabang yang tinggi. Pemangkasan juga agar tanaman
terjaga kelembabannya sehingga tak mudah terserang hama dan penyakit.
Pemangkasan yang dilakukan pada tanaman kakao ada 3 (tiga) macam, yaitu
pemangkasan bentuk; pemangkasan pemeliharaan; dan pemangkasan produksi.
3.2.8.2 Tinjauan Pustaka
Rorak merupakan saluran buntu atau bangunan berupa got dengan ukuran tertentu
yang dibuat pada bidang olah teras dan sejajar garis kontur yang berfungsi untuk menjebak/
menangkap aliran permukaan dan tanah yang tererosi serta dapat bermanfaat sebagai media
penampungan bahan organik, sebagai sumber hara bagi tanaman di sekitarnya. Sebagian
besar pemanfaatan rorak untuk membuat pupuk kompos belum dilakuan petani kakao di
daearah penelian (83,33%), padahal pembuatan rorak ini cukup penting dan merupakan salah
satu praktek baku kebun yang betujuan untuk mengelola lahan, bahan organik serta tindakan
konservasi tanah dan air di lahan perkebunan kakao. Pada lahan miring pembuatan rorak juga
bisa mengurangi resiko erosi karena dapat mengurangi aliran permukaan yang menyebabkan
erosi. Elna, et al. (2010) menjelaskan bahwa rorak merupakan lubang yang dengan sengaja
dibuat untuk membenamkan/mengubur bahan organik dari tanaman seperti serasa dan kulit
buah hasil panen yang ukurannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Ketika hujan deras,
rorak dapat berfungsi sebagai lubang drainase untuk mempercepat penyusutan air hujan yang
menggenang di atas permukaan tanah.Air yang menggenang dapat mengganggu pertumbuhan
tanaman. Stagnasi airdapat berakibat fatal pada pertanaman kakao. Biasanya saluran drainase
dibuat dipinggir blok kebun. Di blok kebun yang terlalu luas, air yang menggenang di
atashamparan lahan pertanaman membutuhkan waktu cukup lama untuk keluarmelalui
saluran drainase ini. Karena itu, rorak yang dibuat di sekitar pertanamandapat membantu
mempercepat keluarnya air dari hamparan pertanaman,khususnya di lahan yang tekstur
tanahnya berat dan beriklim sangat basah dengancurah hujan bulanan relatif tinggi.
Pemupukan tanaman kakao merupakan salah satu kegiatan budidaya yang sangat
penting dalam meningkatkan produksi buah kakao. Hal ini disebabkan sebagian besar lahan
pertanaman kakao di Kalimantan Barat memiliki kesuburan lahan yang sangat beragam dan
umumnya tergolong lahan yang memiliki tingkat kesuburan tanah yang sangat rendah sampai
sedang. Selanjutnya berdasarkan hasil survei kesuburan tanah menunjukkan bahwa sebagian
besar lahan pertanaman kakao di Kabupaten Sanggau memiliki status bahan organik yang
sangat rendah. Selain itu penanaman tanaman kakao yang dilakukan oleh masyarakat
seringkali mengabaikan pertimbangan konservasi lahan akibatnya proses kehilangan
kesuburan tanah semakin meningkat setiap tahunnya. Dengan demikian salah satu usaha
untuk mengatasi masalah tersebut adalah pentingnya memperbaiki tingkat kesuburan lahan
melalui penambahan unsur hara lewat pemupukan. Masalahnya adalah rujukan pemupukan
yang tersedia selama ini masih sangat umum, padahal kondisi di lapangan sangat bervariasi
utamanya ditinjau dari aspek kesuburan lahan. Belum lagi aspek-aspek lainnya seperti
kondisi iklim dan tingkat pengelolaan serta aspek sosial ekonomi. (Ir. Azri, MSi.)
Pemupukan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budidaya kakao. Akibat
pemupukan yang tidak tepat, lahan-lahan kakao banyak mengalami kemunduran, terutama
dalam hal kualitasnya. Kemunduran kualitas lahan tersebut antara lain karena berkurangnya
unsur hara di dalam tanah kerusakan fisik dan biologis, serta menipisnya ketebalan tanah
( Priyanto dan Abddoelah, 2008). Pemupukan bertujuan memberikan unsur-unsur hara ke
dalam tanah yang tidak mencukupi bagi kebutuhan tanaman yang diusahakan. Hasil yang
maksimal dari suatu pemupukan akan diperoleh jika dilakukan dengan tepat meliputi dosis,
jenis pupuk, waktu dan cara pemberiannya (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 2004).
Pemangkasan merupakan salah satu teknik budidaya yang penting dilakukan dalam
pemeliharaan tanaman kakao dengan cara membuang tunas-tunas liar seperti cabang-cabang
yang tidak produktif, cabang sakit, cabang kering, dan cabang overlapping terutama dalam
hal mengatur iklim mikro yang tepat bagi pertumbuhan bunga dan buah atau untuk mengatur
jumlah dan sebaran daun (Prawoto, 2008) sehingga tanaman kakao dapat memiliki kondisi
yang baik untuk pertumbuhannya. Jenis pemangkasan untuk tanaman kakao terbagi menjadi
tiga yaitu pemangkasan bentuk, pemeliharaan, dan produksi. Pemangkasan bentuk dilakukan
untuk membentuk kerangka tanaman yang baik. Pemangkasan pemeliharaan bertujuan untuk
memelihara tanaman kakao agar pertumbuhannya dapat bertahan dengan baik dan sehat,
sedangkan pemangkasan produksi untuk memaksimalkan produktivitas tanaman. Tanaman
kakao di Kebun Rumpun Sari Antan I adalah tanaman yang telah menghasilkan sehingga
kegiatan pemangkasan yang masih dilakukan setiap tahunnya adalah pemangkasan
pemeliharaan dan pemangkasan produksi.
3.2.8.3 Waktu dan tempat Pelaksanaan Kegiatan :
Selasa – Kamis, 23 – 25 Juli 2013 di kebun Pak Sadiki, Dusun Busur, Desa Rempek,
Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
3.2.8.4 Alat dan Bahan :
Alat :
1. Cangkul
2. Meteran
3. Gergaji Pangkas
4. Gunting pangkas
5. Pisau
6. Ember
7. Timbangan
8. Mangkok ukur
Bahan :
1. Pupuk NPK-Phonska
2. Mikroba (EM4)
3. Dedaunan
3.2.8.5 Cara Kerja :
a. Pembuatan Rorak
1. Bersihkan lahan dari semak dan gulma.
2. Tentukan letak rorak yang akan dibuat sesuai ajir yang telah dipasang.
3. Ukur panjang, lebar rorak sesuai dengan keadaan lahan dan tanaman supaya tidak
menganggu pertumbuhan tanaman biasanya panjang 1 m sampai 5 m, lebar 0.3 m
membentuk huruf U.
4. Gali rorak dengan kedalaman 0.3 m sampai 0.5 m dan tanah galian di atur
membentuk bedengan dengan ketinggian 0.2 m dan lebar 0.3 m membentuk huruf
U.
5. Ulangi cara pembuatan rorak tersebut pada tempat lain sesuai ajir yang telah di
pasang.
6. Jarak vertical rorak satu dengan kedua antara 10 m sampai 15 m.
7. Lakukan perawatan berkala supaya rorak tetap berfungsi sebagaimana mestinya.
Untuk tetap menjaga kesuburan tanah, tanah perlu di pupuk dan salah satu yang
murah dan mudah di laksanakan oleh petani adalah dengan mengembalikan kulit buah kakao
ke dalam rorak dengan cara:
1. masukan kulit buah kakao setinggi 2/3 kedalaman rorak.
2. Campur EM4 dan air sesuai dosis, dan siramkan pada kulit buah kakao di dalam
rorak.
3. Tutup dengan plastik putih dalam tanah setebal 5 cm – 10 cm.
4. 4 mg- 6mg bahan organik tersebut jadi kompos .
b. Pemupukan Kakao
1. Hal yang pertama dilakukan adalah pembersihan gulma disekitar tajuk akar kakao.
2. Membentuk galian melingkar disekitar tajuk kakao
3. menebarkan pupuk NPK mengelilingi tanaman
4. Dosis pertanaman diberi 400 gram pupuk NPK
5. Menutup kembali pupuk yang sudah ditaburkan dengan tanah.
c. Pemangkasan Pemeliharaan pada Kakao
Pemangkasan pemeliharan pada tanaman kakao bertujuan untuk mempertahankan
kerangka tanaman yang sudah terbentuk baik, mengatur penyebaran daun produktif,
merangsang pembentukan daun baru, bunga dan buah, serta terhindar dari hama dan
penyakit. Pemangkasan dilakukan dengan mengurangi sebagian daun yang rimbun pada tajuk
tanaman dengan cara memotong ranting-ranting yang terlindung dan menaungi. Memotong
cabang yang ujungnya masuk ke dalam tajuk tanaman di dekatnya dan diameternya kurang
dari 2,5 cm. Mengurangi daun yang menggantung dan menghalangi aliran udara di dalam
kebun, sehingga cabang kembali terangkat. Pemangkasan ini dilakukan secara ringan di sela-
sela pemangkasan produksi dengan frekuensi 2-3 bulan. Juga dilakukan pemangkasan
terhadap tunas air (chupon). Pemangkasan tunas air atau juga disebut wiwilan bisa dilakukan
secara manual menggunakan tangan.
3.2.8.6 Pembahasan :
Berdasarkan hasil yang didapat bahwa pembuatan rorak yang langsung berukuran
besar kurang efektif karena mengambil tempat yang begitu luas, rorak sebaiknya di buat
berukuran kecil saja dan berada diantara 2 pohon kakao, karena menurut Pusat penelitian
Kopi dan Kakao Indonesia (2006) Rorak yang umum dibuat di perkebunan kakao berukuran
panjang 100 cm, lebar 30 cm, dan kedalaman 30 cm. Jika volume bahan organik yang
tersedia cukup besar ukuran rorak dapat diperbesar. Rorak dibuat pada jarak 75 – 100 cm dari
pokok tanaman tergantung dari lebar teras yang tersedia di areal pertanaman. Pemanfaatan
rorak dapat dikaitkan dengan pengelolaan sumber bahan organik di lingkungan perkebunan,
seperti daun penaung, kulit kakao, dan tanaman penutup tanah. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan kompos daun penaung, kulit kakao, dan limbah pertanian berpengaruh baik
terhadap tanaman kakao dan dapat meningkatkan produksi tanaman.
Dalam teknik budidaya kako salah satu tahap untuk tetap menjaga pertumbuhan serta
menunjang produktivitas salah satunya adalah dengan pemupukan. Pemupukan adalah adalah
aplikasi atau pemberian unsure hara yang diperlukan oleh tanaman. Tujuan utama dari
pemupukan menyuplai unsure hara yang dibutuhkan tanaman agar tetap tersedia ditanah.
Pemupukan dilakukan karena adanya pengangkutan hasil sehingga unsure hara yang
seharusnya terdapat didalam tanah terbawa sehingga jika hal itu terjadi terus menurus tanpa
adanya input dari luar maka tanah tersebut akan menjadi miskin unsure hara. Pada praktek
kemarin di kebun percobaan di KLU kami mendapat informasi bahwa petani kakao disana
belum pernah melakukan pemupukan, hal tersebut yang akan membuat kandungan unsure
hara dikebun akan berkurang maka dari itu haruslah dilakukan pemupukan agar unsure hara
tetap tersedia bagi tanaman.
Pemupukan biasanya dilakukan pada awal musim hujan dan akhir musim hujan.
Kegiatan pemupukan pada awal musim hujan dan akhir musim hujan bertujuan agar pupuk
yang diberikan dapat langsung terlarut sehingga dapat langsung digunakan oleh tanaman.
Pada praktik kemarin dikebun milik petani di KLU kami mengaplikasikan pupuk anorganik
NPKS (10:15:10:10). Penggunaan pupuk anorganik dapat meningkatkan produktivitas
tanaman akan tetapi jika penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus dapat merusak
sifat fisik,kimia dan biologi tanah.
Salah satu cara untuk menggurangi dampak negative dari penggunaan pupuk
anorganik adalah dengan pemberian bahan amelioran yang dapat mengembalikan kesehatan
tanah baik dari sifat fisik,kimia serta biologi tanah. Selain pemupukan pemeliharaan yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan, dan perkembangan kakao adalah pemangkasan. Dalam
budidaya kakao pemangkasan ada 3 yaitu pemangkasan bentuk, pemangkasan produksi dan
pemangkasan pemeliharaan. Pemangkasan yang kami lakukan di kebun binaan BPTP NTB
adalah pemangkasan pemeliharaan. Pemangkasan pemeliharaan bertujuan mengurangi
pertumbuhan vegetatif yang berlebihan dengan cara menghilangkan tunas air (wiwilan) pada
batang pokok atau cabangnya. Hal ini akan berpengaruh terhadap terbentuknya hasil yang
lebih banyak karena telah memfokuskan energy terhadap pembentukan buah kakao.
3.2.8.7 Kesimpulan dan saran
Pembentukan rorak, pemupukan dan pemangkasan dalam budidaya tanaman
kakao memang memiliki peranan yang penting dalam menunjang pertumbuhan dan
perkembangan kakao. Sarannya sebaiknya pembuatan rorak dan pemangkasan harus
lah dilakukan secara efektif dan efisien begitu juga pemupukan agar dapat
menguntungkan dan mengurangi dtang nya hama penyakit tanaman.
Gambar 14 Kegiatan Pemupukan, Pemangkasan, dan Pembuatan rorak (Sumber: Koleksi Pribadi)
Gambar 12 Kegiatan Pembuatan Tunas Samping di Kebun Percobaan BPTP NTB Lombok Utara