BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANIAN KREDIT, SURAT KUASA
MEMBEBANKAN, DAN HAK TANGGUNGAN
1.1 Perjanjian dan Perjanjian Kredit
2.1.1.a Pengertian perjanjian
Istilah perjanjian sama dengan kontrak karena keduanya bagian dari hukum perikatan.
Sebagian ahli hukum menempatkan kontrak sebagai bagian dari hukum perjanjian karena
kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Menurut Ketentuan Pasal
1233KUHPerdata hanya dikenal perikatan yang lahir dari suatu perjanjian dan yang lahir dari
undang-undang.
Secara lengkap dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari
undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang daja dan dari undang-undang
karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena
perbuatan manusia dapat dibagi dua, yaitu perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan
yang melanggar hukum.
b. Perjanjian atau kontrak ini merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji
kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.1
1 Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.01.
Kemudian pengertian perjanjian dapat dilihat pada Pasal 1313 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Definisi perjanjian dapat dilihat dari beberpa pendapat para sarjana yang berbeda-beda
dan masing-masing ingin menemukakan dan memberi pandangan yang dianggap lebih tepat.
Berikut ini akan dikemukan beberapa pendapat sarjana yaitu :
Menurut R. Wiryono Prodjodikoro, “bahwa perjanjian itu adalah sesuatu perbuatan
hukum mengenai harta kekayaan anatara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain yang
lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.”2
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “bahwa perjanjian itu adalah suatu perbuatan
hukum dimana seseorang atau lebih mengakibatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.”3
Menurut R.M. Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa perjanjian adalah
hubungan antara dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum.4
Sedangkan R. Setiawan mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum dimana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih.5
Berdasarkan keempat pandangan sarjana di atas, bahwa perjanjian adalah peristiwa yang
timbul dari suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk
2 Wiryono Prodjodikoro, 1985, Hukum Tentang Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, (selanjutnya
disingkat Wiryono Prodjodikoro II) , h. 11. 3 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1972, Kumpulan Kuliah Hukum Perdata, Yayasan Gajah Mada, h.25.
4 R.M. Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, h.25.
5 R. Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, h. 49.
melaksanakan suatu hal untuk tujuan tertentu. Hukum yang mengatur tentang perjanjian disebut
hukum perjanjian.
Unsur yang terdapat dalam suatu definisi perjanjian itu adalah ada pihak-pihak sedikitnya
dua orang, ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersangkutan dalam perjanjian, adanya
tujuan yang ingin dicapai da nada prestasi yang dilaksankan.
2.1.1.b Syarat sahnya suatu perjanjian
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
oleh Undang-Undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Syarat sahnya
perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri dari 4 syarat, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
Kesepakatan para pihak merupakan salah satu syarat yang penting dalam sahnya suatu
perjanjian. Sepakat ditandai oleh penawaran dan penerimaan dengan cara;
a. Tertulis
b. Lisan
c. Diam-diam
d. Symbol-simbol tertentu
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
Untuk mengadakan suatu perjanjian, para pihak harus cakap, namun dapat saja terjadi
bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan perjanjian adalah tidak tidak
cakap menurut hukum.
Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa tidak cakap membuat perjanjian adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
3. Orang-orang perempuan dalam hal ditetapkan oleh undang-undang (dengan
adanya SEMA: Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 dan UU
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan ini tidak berlaku lagi)
Orang yang bellum dewasa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 330
KUHPerdata adalah mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak lebih
dahulu telah kawin, sedangkan mereka yang berada dibawah pengampuan sesuai
ketentuan Pasal 443 KUHPerdata adalah orang yang dungu, sakit otak, mata gelap dan
boros.
3. Suatu hal tertentu; dan
Hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian, baik berupa barang atau jasa yang
dapat dinilai dengan uang. Hal tertentu ini dalam perjanjian disebut prestasi yang dapat
berwujud barang, keahlian atau tenaga dan tidak berbuat sesuatu.
Berbeda dari hal di atas, dalam KUHPerdata dan pada umunya para sarjana hukum
berpendapat bahwa prestasi itu dapat berupa :
a. menyerahkan atau memberikan sesuatu;
b. berbuat sesuatu; dan
c. tidak berbuat sesuatu.
Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat dipergunakan
berbagai cara seperti; menghitung, menimbang, mengukur, atau menakar. Sementara
itu, untuk menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu
pihak. Untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga
harus dijelaskan dalam perjanjian.
4. Suatu sebab yang halal.
Suatu sebab yang halal adalah sebab yang dibenarkan oleh undang-undang, ketertiban
umum, kebiasaan, kepatutan dan kesusilaan. Suatu perjanjian tanpa sebab, atau dibuat
karena sebab yang palsu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1335 KUHPerdata
adalah termasuk ke dalam sebab yang tidak halal.6
Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian
menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.7
Keempat unsur tersebut selanjutnya dalam doktir ilmu hukum yang berkembang, di
golongkan ke dalam :
a. Dua unsur pokok yang mengangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian
(unsur subyektif). Syarat Subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat
dibatalkan, meliputi :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur
objektif). Syarat Objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi
hukum, meliputi :
1. Suatu hal tertentu; dan
2. Suatu sebab yang halal.8
Keempat syarat tersebut biasa juga disingkat dengan sepakat, cakap, hal tertentu dan
sebab yang halal. Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi keempat syarat tersebut. Jika
6 Ahmad Miru dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perrikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.68.
7 Suharnoko, 2009, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, h.1
8 Kartini Muljadi, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Rajawali Pers, Jakarta, h.93
salah satu syarat atau beberapa syarat bahkan semua syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu
tidak sah. Jadi, syarat sahnya perjanjian berlaku secara komulatif, dan bukan limitatif.
1.1.1. Pengertian Kredit
Menurut asal mulanya kata “Kredit” berasal dari bahasa latin yaitu “Credere” yang
berarti kepercayaan, yaitu kepercayaan dari kreditur bahwa debitur akan mengembalikan
pinjaman beserta bunganya sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak Indikator
kepercayaanini adalah kepercayaan moral, komersil, financial dan agunan. Kredit yang
diberikan oleh bank kepada nasabah dituangkan dalam suatu perjanjian yang namanya
perjanjian kredit. Menurut H Budi Untung menyebutkan : perjanjian kredit adalah perjanjian
pinjam meminjam uang yang melibatkan bank dengan nasabah.
Kredit dilihat dari sudut bahasa seperti kepercayaan, dalam arti bahwa apabila seseorang
mendapatkan fasilitas kredit maka orang atau badan usaha tersebut telah mendapatkian
kepercayaan dari pemberi kredit. Pengertian kredit menurut Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Perbankan adalah sebagai berikut :
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
meminjam untuk melunasinya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.9
Bank sebagai pihak pemberi pinjaman dan nasabah sebagai penerima pinjaman. Dalam
perjanjian kredit terdapat hak dan kewajiban para pihak pemberi dan penerima kredit. Dapat
dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur atau pihak yang memberikan kreditur (bank)
dalam hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah penerima kredit) mempunyai kepercayaan
9Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, 2007, Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah
Hukum, cet.1, Jakarta: YLBHI, h.131.
bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama dapat
mengembalikan kredit yang bersangkutan.
Menurut Daeng Naja dalam bukunya yang berjudul Hukum Kredit dan Bank Garansi
menyebutkan setidaknya terdapat 4 (empat) unsur pokok dalam pengertian kredit:
1. Kepercayaan, artinya setiap pemberian kredit dari Bank ke debitur dilandasi oleh adanya
keyakinan bahwa kredit tersebut akan dibayar kembali oleh debitur kepada bank sesuai
dengan jangka waktu yang telah disepakati.
2. Waktu, artinya ada jangka waktu yang diberikan kepada kreditur untuk melunasi pinjaman
kreditnya.
3. Risiko, artinya dalam setiap pemberian pinjaman kredit pasti disertai dengan adanya resiko
yang ditanggung oleh Bank.
4. Prestasi, artinya dalam setiap kesepakatan antara Bank dengan debitur maka saat itu juga
akan terjadi suatu prestasi baik berupa barang, uang atau jasa kepada pihak lain dan balas
prestasi (kontra prestasi) akan diterima.10
Pengertian kredit juga dikemukakan oleh Muchdarsyah Sinungun yang menyatakan bahwa
“kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak lainnya dan prestasi itu akan
dikembalikan lagi pada masa tertentu yang akan dating dan disertai dengan suatu kontra prestasi
berupa uang”.11
Lebih lanjut pengertian kredit dikemukakan oleh Raymond P.Kenr mengatakan
bahwa kredit adalah “Hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan
10
Rachmadi Usman, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, h.236. 11
Muchdarsyah Sinungun, 1993, Dasar-Dasar dan Teknik Management Kredit, Bina Aksara, Jakarta, h.10
pembayaran pada waktu diminta, atau pada waktu yang akan dating karena penyerajan barang-
barang sekarang”.12
Beberapa sarjana hukum berpendapat bahwa perjanjian kredit dikuasai oleh ketentuan-
ketentuan KUH Perdata Bab XIII buku III. Karena perjanjian kredit mirip dengan perjanjian
pinjam uang, menurut KUH Perdata Pasal 1754 yang berbunyi: Pinjam meminjam adalah suatu
perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah
tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian , dengan syarat bahwa pihak yang terakhir
ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. Perjanjian
kredit sebagian dikuasai atau mirip perjanjian pinjam uang seperti diatur dalam KUH Perdata
dan sebagian lainnya tunduk pada peraturan hukum yaitu Undang-Undang Perbankan. Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang perbankan, tidak mengenal istilah perjanjian kredit. Perjanjian kredit perlu
mendapat perhatian yang khusus baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai
debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian,
pengelolaan maupun penata pelaksanaan kredit itu sendiri. Adapun fungsi perjanjian kredit
adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian kredit sebagai alat bukti bagi kreditur dan debitur yang membuktikan adanya hak
dan kewajiban timbal balik antara bank sebagai kreditur dan debitur. Hak debitur adalah
menerima pinjaman dan menggunakan sesuai tujuannya dan kewajiban debitur
mengembalikan hutang tersebut baik pokok dan bunga sesuai waktu yang ditentukan. Hak
kreditur untuk mendapatkan pembayaran bunga dan kewajiban kreditur adalah meminjamkan
12
Thomas Suyatno, 1990, Dasar-Dasar Perkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.11.
sejumlah uang kepada debitur, dan kreditur berhak menerima pembayaran kembali pokok
dan bunga.
2. Perjannjian kredit dapat digunakan sebagai alat atau sarana pemantauan atau pengawasan
kredit yang sudah diberikan. Karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam
pemberian kredit dan pengembalian kredit. Untuk mencairkan kredit dan penggunaan kredit
dapat dipantau dari ketentuan perjanjian kredit.
3. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian ikatannya
yaitu perjanjian pengikatan jaminan. Pemberian kredit pada umumnya dijamin dengan
benda-benda bergerak atau benda tidak bergerak milik debitur atau milik pihak ketiga.13
Menurut R. Tjiptoadinugroho mengatakan : “Suatu unsur yang harus dipegang sebagai
benang merah yang melintasi falsafah perkreditan dalam arti sebenarnya, bagaimanapun bentuk,
macam dan ragamnya dan dari manapun asalnya serta kepadasiapapun diberikannya”.14
Dasar Hukum Perjanjian Kredit
Suatu kegiatan dalam lalu lintas bisnis tentunya memerlukan suatu landasan yuridis yang
menjadi dasar hukumnya. Hal ini sebagai konsekuensi dari suatu prinsip bahwa Negara
Indonesia adalah Negara hukum. Indonesia yang tergolong kedalam sistem Hukum Eropa
Kontinental, di mana peraturan perundang-undangan menduduki urutan yang sangat penting
sebagai sumber hukumnya. Demikian pula terhadap suatu perbuatan hukum pemberian kredit,
tentunya juga memerlukan suatu basis hukum yang kuat. Dasar hukum diadakannya perjanjian
kredit mengacu pada :
13
H. Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta, h.12. 14
R.Tjiptoadinugroho, 1972, Perbankan Massalah Perkreditan, Pradja Paramita, Jakarta, h.5.
1. Undang-UndangNomor 10 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Perbankan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66.
3. Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Undang-Undang
Perbankan: Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak meminjam untuk melunasinya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.
4. Pasal 1754 KUHPerdata yang berbunyi: Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-
barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.
5. Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan: Adanya kesepakatan dan cakap dalam membuat suatu
perjanjian.
6. Pasal 1874 KUHPerdata: Perjanjian dalam bentuk Akta Bawah Tangan dan Pasal 1868
KUHPerdata Perjanjian dalam bentuk Akta Otentik.
1.1.2. Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit
Sebelum membahas apa itu wanprestasi terlebih dahulu harus diketahui apa itu prestasi.
Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu perjanjian atau
kontrak. Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata prestasi dapat berupa :
a. Memberikan sesuatu;
b. Berbuat sesuatu; dan
c. Tidak berbuat sesuatu.
Dalam pelaksanaan perjanjian, dapat terjadi wanprestasi atau yang disebut dengan istilah
breach of contract adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya
yang dibebankan oleh perjanjian terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam
perjanjian tersebut. Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi hukum bagi pihak yang
dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi.
Dalam ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata, Debitur dinyatakan lalai dengan surat
perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu
bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan.
Wanprestasi adalah suatu tindakan tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Dalam
restatement of the law of contracts, wanprestasi atau breach of contract dibedakan menjadi dua
macam, yaitu total breachts dan partial breachts. Total breachts artinya pelaksanaan kontrak
tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan partial breachts artinya pelaksanaan perjanjian masih
mungkin untuk dilaksanakan.15
Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda (wanprestatie) yang artinya
tidak dipenuhi prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan pihak-pihak tertentu di dalam suatu
perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul
karena undang-undang.
15
Hartono Soerja Pratiknyo, 1989, Hutang Piutang, Mustika, Yogyakarta, h.3
Wirjono Prodjodikoro, mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi
didala hukum perjanjian, berarti suatu hal yang haris dilaksanakan sebagai isi dari suatu
perjanjian, barangkali dalam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk
prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi.16
R. Subekti, mengemukakan bahwa wanprestasi itu adalah kelalaian atau kealpaan yang
berupa 4 macam, yaitu :
1. Tidak melalukan yang telah disanggupi akan dilakukannya
2. Melaksanakan yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang telah
diperjanjikan
3. Melakukan yang diperjanjikan tetapi terlambat
4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.17
Seseorang debitur baru dikatan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh
kreditur atau juru sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh debitur atau
juru sita. Apabila somasi itu tidak dipindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan
itu ke pengadilan dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi apa
tidak.
1.2 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
1.2.1 Pengertian dan dasar hukum surat kuasa membebankan hak tanggungan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah surat kuasa yang
diberikan oleh pemberi hak tanggungan kepada kreditur sebagai penerima hak tanggungan yang
untuk membebankan hak tanggungan pada objek hak tanggungan. SKMHT itu sendiri
16
Wirjono Prodjodikoro, 1999, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, h.17.
17
R. Subekti, 1970, Hukum Perjanjian cet. Ke-II, Jakarta. Pembimbing Masa, (selanjutnya disingkat R.
Subekti IV), h.50
merupakan surat kuasa khusus yang memberikan kuasa kepada kreditur selaku penerima kuasa
untuk membebankan hak tanggungan pada nantinya akan dilanjutkan dengan Akta Pemberian
Hak Tanggungan yang disebut APHT dan surat kuasa ini wajib dibuat dengan suatu akta Notaris
atau akta PPAT. Diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun1996 tentang Hak Tanggungan
sebagai lembaga jaminan atas tanah untuk mengganti hipotik dan Credietverband, tentunya
undang-undang hak tanggungan ini diposisikan lebih baik dari pada saat berlakunya hipotik dan
Credietverband dalam arti bahwa UUHT mempunyai kepastian hukum pada eksekusi atas
objekhak tanggungan.18
Ketentuan yang mengatur tentang SKMHT tersebut diatur dalam Surat Keputusan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang
penetapan batas waktu SKMHT, untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu dan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/24/KEP/DIR/1993 tentang Kredit Usaha Kecil
yang kemudian dicabut dan diganti dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
30/55/LEP/DIR tanggal 8 Agustus 1998. Dalam Surat Keputusan tersebut dinyatakan bahwa:
“Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak”.
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang HakTanggungan atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah menegaskan bahwa SKMHT wajib
dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT.19
18
Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan
Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), LaksBang Pressindo, Yogyakarta, h.308. 19
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.
31.
Lebih lanjutnya lagi yang ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan
(UUHT) bahwa “kuasa untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau
tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali kuasa tersebut telah dilaksanakan atau telah
abis jangka waktunya”. Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan hanya
diperkenankan dalam keadaan khusus yang terkandung dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) yaitu
a. apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri dihadapan PPAT untuk membuat
Akta Pemberian Hak Tanggungan.SKMHT harus dalam bentuk akta otentik yang dibuat oleh
Notaris atau PPAT, b. Substansi SKMHT dibatasi, yaitu hanya membuat perbuatan hukum
membebankan hak tanggungan, tetapi tidak membuat hak untuk menggantikan penerima kuasa
melalui pengalihan dan memuat nama serta identitas kreditur, debitur, jumlah utang dan juga
objek hak tanggungan.
Seperti hal yang diuraikan diatas untuk mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa dan
demi tercapainya kepastian hukum SKMHT yang dibatasi jangka waktu berlakunya. Pasal 15
ayat (3) Undang-undang hak tanggungan menentukan bahwa terhadap tanah-tanah yang sudah
terdaftar SKMHT wajib segera diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
dalam jangka waktu yang ditentukan adalah 1 bulan. Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal
SKMHT yang diberikan untuk menjamin suatu kredit seperti kredit program, kredit usaha kecil,
kredit kepemilikan rumah (KPR) dan kredit yang sejenisnya. Peraturan yang mengatur mengenai
SKMHT yang jangka waktunya ditentukan untuk kredit sejenis terdapat dalam Peraturan Menteri
Negara Agraria BPN. No 4 Tahun 1996 tersebut menentukan bahwa SKMHT untuk menjamin
suatu perjanjian utang piutang berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian
pokok yang bersangkutan.
Dasar Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang Hak
Tanggungan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
a) Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan surat kuasa
membebankan hak tanggungan wajib dibuat dengan Akta Notaris atau PPAT.
b) Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan : Surat Kuasa
membebankan hipotek yang ada pada saat diundangkan Undang-Undang ini dapat
digunakan sebagai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam waktu 6 (enam)
bulan terhitung sejak saat berlakunya Undang-Undang ini, dengan mengingat ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5).
c) Menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 angka 7 dikatakan
bahwa dalam memberikan Hak Tanggungan wajib hadir dihadapan PPAT. Jika karena
sesuatu sebab tidak dapat hadir sendiri, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya,
dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang disingkat SKMHT, yang
berbentuk akta autentik. Pembuatan SKMHT selain kepada Notaris, ditugaskan juga
kepada PPAT yang keberadaannya sampai pada wilayah kecamatan, dalam rangka
memudahkan pemberian pelayanan kepada pihak-pihak yang memerlukan.
d) Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan :
sebagai konsekwensi dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pembebanan
hak tanggungan atas agunan, tanaman dan hasil akrya yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah yang pemiliknya lain daripada pemegang Hak atas tanah wajib dilakukan
bersamaan dengan Pemberian Hak Tanggungan atas tanah yang bersangkutan dan
dinyatakan di dalam satu Akta Pemberian Hak Tanggungan, yang ditanda tangani
bersama oleh pemiliknya dan pemegang ha katas tanahnya atau kuasa mereka, keduanya
sebagai pemberi tanggungan.
Yang dimaksud dengan akta autentik dalam ayat ini adalah Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan atas benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah untuk
dibebani hak atas tanggungan bersama-sama tanah yang bersangkutan.
e) Dalam penjelasan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menjelaskan :
termasuk dalam pengertian Surat Kuasa Membebankan Hipotik yang dimaksud pada ayat
ini adalah surat kuasa untuk menjaminkan tanah.
1.2.2 Bentuk surat kuasa membebankan hak tanggungan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dapat berbentuk akta Notaris atau PPAT
(Pasal 15 ayat (1) UUHT). Mengingat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan berkaitan
dengan Hak Tanggungan, yang obyeknya hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda
yang ada diatasnya maka bentuknya lebih tepat Akta PPAT.20
Dalam kaitan ini, sesuai dengan asas konsistensi dan sistem, maka perlu dikoreksi sikap
UUHT yang dituangkan dalam Pasal 4 ayat (5) UUHT tentang pemberian kuasa menanda
tangani APHT dibuat dengan akta otentik dan Pasal 15 ayat (1) UUHT menentukan Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dapat dibuat dalam bentuk akta notaris atau PPAT.
Seyogianya bentuk yang ditentukan di dalam kedua pasal itu sama, yaitu harus berbentuk akta
PPAT, karena keduanya berkaitan dengan hak atas tanah yang dijaminkan sebagai Hak
Tanggungan.
1.3 Hak Tanggungan
1.3.1 Pengertian dan dasar hukum hak tanggungan
20
Mariam Darus Badrulzaman, 2009, Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju, Bandung, h.81
Istilah Hak Tanggungan diambil dari istilah lembaga jaminan di dalam hukum adat. Di
dalam hukum adat istilah Hak Tanggungan dikenal di daerah Jawa Barat, juga di beberapa
daerah di Jawa Tengah atau Jawa Timur dan dikenal juga dengan istilah jonggolan atau istilah
ajeran merupakan lembaga jaminan dalam hukum adat yang objeknya biasanya tanah atau
rumah.
Istilah Hak Tanggungan yang berasal Hukum Adat tersebut, melalui Undang-Undang
Pokok Agraria ditingkatkan menjadi istilah lembaga hak jaminan dalam system hukum nasional
kita dan hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan bagi tanah tersebut diharapkan menjadi
pengganti hipotek dari KUHPerdata. Dengan kata lain, lembaga hipotek dan credietverband
akan dijadikan satu atau dilebur menjadi Hak Tanggungan.21
Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan tanggungan sebagai barang yang dijadikan
jaminan dan jaminan itu diartikan sebagai tanggungan atau pinjaman yang diterima. Secara
yuridis ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia 4 Tahun 1996 tenntang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan
perumusan pengertian Hak Tanggungan sebagai berikut:
Hak Tanggungan atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hakatas
tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain.
Kemudian Angka 4 Penjelasan Umum atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah antara lain menyatakan :
21
Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, cet I, Sinar Grafika, Jakarta, h. 329.
Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain. Dalam
arti, bahwa jika menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului
daripada kreditor-kredito lain.
Jadi, Hak Tanggungan itu merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas tanah untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditor lain. Jaminan yang diberikan yaitu hak
yang diutamakan atau mendahulu dari kreditor-kreditor lainnya bagi kreditor (pemegang Hak
Tanggungan).22
Dari rumuasan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu bentuk
jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa Hak-Hak
atas Tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria.23
Unsur-Unsur yang tercantum dalam pengertian Hak Tanggungan disajikan berikut ini.
a. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah. Adapun yang dimaksud dengan hak
jaminan atas tanah adalah penguasaan yang secara khusus dapat diberikan kepada
kreditur, yang memberi wewenang kepadanya untuk, jika debitur cedera janji, menjual
lelang tanah yang secara khusus pula ditunjuk sebagai agunan piutangnya dan
mengambil seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnya tersebut,
dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain (droit de preference). Selain
22
Ibid. h.332. 23
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Hak Tanggungan, Prenada Media, Jakarta, h.105.
berkedudukan mendahulu, kreditur pemegang hak jaminan dan mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut, sungguhpun tanah yang bersangkutan sudah
dipindahkan kepada pihak lain (droit de suite).
b. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu
kesatuan dengan tanah itu. Pada dasarnya, hak tanggungan dapat dibebankan pada hak
atas tanah semata-mata, tetapi dapat juga hak atas tanah tersebut berikut dengan
benda-benda yang ada di atasnya.
c. Untuk pelunasan hutang tertentu, maksudnya untuk pelunasan hutang tertentu adalah
hak tanggungan itu dapat membereskan dan selesai dibayar hutang-hutang debitur
yang ada pada kreditur.
d. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-
kreditur lainnya.24
Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-
kreditur lainnya, lazimnya disebut droit de preference. Keistimewaan ini di tegaskan dalam
Pasal 1 angka (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
1996 tentang 1996 Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah, yang berbunyi: apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak
untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang
berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak
mendahulu daripada kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur
24
Salim HS,H, 2005, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
h.96.
pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah. Hak yang istimewa ini tidak
dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan.25
Boedi Harsono mengartikan hak tanggungan adalah Penguasaaan hak atas tanah, berisi
kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi
bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakanm melainkan untuk menjual jika debitur cedera
janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang
debitur kepadanya. Esensi ari definisi hak tanggungan yang disajikan oleh Budi Harsono adalah
pada penguasaan hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah oleh kreditur bukan untuk menguasai
secara fisik, namun untuk menjualnya juka debitur cedera janji.26
Menurut Herowati Poesoko yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak jaminan
atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tersebut, terdapat unsur-unsur esensial, yang
merupakan sifat dan ciri-ciri dari hak tanggungan, yaitu :
- Lembaga hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu
- Pembebanannya pada hak atas tanah
- Berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah
- Memberikan kedudukan yang preferent kepada krediturnya.27
Dasar Hukum Hak Tanggungan
25
Ibid, h.97. 26
Boedi Harsono, 2000, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, h.425. 27
Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan
Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), Cet I, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, h. 87.
Setelah menunggu selama 34 tahun sejak Undang-Undang Nomor 5 Yahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menjajikan akan adanya Undang-Undang Hak
Tanggungan, pada tanggal 9 April 1996 telah disahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, yang
telah lama ditunggu-tunggu lahirnya oleh masyarakat.
Sesungguhnya Hak Tanggungan ini dimasudkan sebagai pengganti lemabga dan
ketentuan hipotek sebagai mana diatur dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan credietverband dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah
dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, yang berdasarkan ketentuan Pasal 57 Undang-Undang
Pokok Agraria diberlakukan hanya untuk sementara waktu sampai menunggu terbentuknya
Undang-Undang Hak Tanggungan sebagaimana dijanjikan oleh Pasal 51 Undang-Undang
Pokok Agraria.
Dengan demikian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah merupakan dasar hukum yang mengatur
lembaga hak jaminan atas tanah, yaitu Hak Tanggungan sebagai pelaksanaan dari Pasal 51
Undang-Undang Pokok Agraria.
Sebagai tindak lanjutnya Undang-Undang Hak Tanggungan, berturut-turut lahirnya
ketentuan yang mengatur Hak Tanggungan
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah
2. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian
Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan.
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun
1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun
1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan.
5. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 630.1-1826
tertanggal 26 Mei 1996 perihal Pembuatan Buku Tanah dan Sertifikat Hak
Tanggungan.
6. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 110-1544
tertanggal 30 Mei 1996 perihal Penyampaian Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Tahun 5 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak
Tanggungan.28
1.3.2 Asas-asas hak tanggungan
Hak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan
hutang tertentu mempunyai empat asas, yaitu sebagai berikut:
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada kreditornya. Hal ini berarti
bahwa kreditor pemegang hak tanggungan mempunyai hak didahulukan di dalam
mendapatkan pelunasan atas pihutangnya dari pada kreditor-kreditor lainnya atas hasil
penjualan benda yang dibebani hak tanggungan tersebut;
2. Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada artinya benda-
benda yang dijadikan objek hak tanggungan itu tetap terbebani hak tanggungan walau di
tangan siapapun benda itu berada. Jadi meskipun hak atas tanah yang menjadi objek hak
28
Sri Soedewi Masjehoen, 1975, Hak Jaminan Atas Tanah, Liberty, Yogyakarta, h.6
tanggungan tersebut telah beralih atau berpindah-pindah kepada orang lain, namun hak
tanggungan yang ada tetap melekat pada objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan
mengikat.29
3. Memenuhi Asas Spesialitas dan Publisitas.
Asas Spesialitas maksudnya wajib dicantumkan berapa yang dijamin serta benda yang
dijadikan jaminan, juga identitas dan domisili pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
yang wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Asas Publisitas
maksudnya wajib dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan
wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, artinya dapat dieksekusi seperti putusan
hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.30
Disamping itu, hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika
diperjanjikan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Hal ini berarti suatu hak tanggungan
membebani secara utuh benda yang menjadi objeknya dan setiap bagian daripadanya. Oleh
karena itu, apabila sebagian dari hutang dibayar, pembayaran itu tidak membebaskan sebagian
dari benda yang dibebani hak tanggungan. Penyimpangan terhadap asas ini hanya dapat
dilakukan apabila hal tersebut diperjanjikan secara tegas di dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
Sifat lainnya dari Hak Tanggungan adalah bahwa hak tanggungan merupakan ikutan
(accessoir) pada perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang (perjanjian
29
Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang
dihadapi oleh Perbankan; Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, h. 383. 30
Boedi Harsono, 1997, Hukum Agraria Indonesia / Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Djambatan, Jakarta, h. 15, 38.
kredit). Dengan demikian, hapusnya hak tanggungan tergantung pada perjanjian pokoknya, yaitu
utang yang dijamin pelunasanya tersebut.
Hak tanggungan dapat dibebankan lebih dari satu kali terhadap objek yang sama untuk
menjamin pelunasan lebih dari satu utang dan untuk beberapa kreditur. Hal ini menimbulkan
adanya tingkatan-tingkatan bagi pemegang hak tanggungan. Peringkat hak tanggungan tersebut
ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.
Top Related