27
BAB II
TINJAUAN UMUM PELAKSANAAN PENGANGKUTAN BARANG
A. PENGANGKUTAN SECARA UMUM
1. Definisi Pengangkutan
Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan
manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Dalam hal ini unsur-unsur
pengangkutan adalah:47
1) Ada sesuatu yang diangkut
2) Tersedianya kendaraan sebagai alat angkutnya
3) Ada tempat yang dapat dilalui alat angkutan
Berdasarkan Pasal 1 Angka (3) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau
barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di
ruang lalu lintas jalan.48 Jadi dari pengertian di atas dapat penulis simpulkan
pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan/atau orang
dari suatu tempat ke tempat lain tertentu.
Angkutan dapat berarti suatu proses atau gerakan dari suatu tempat
ke tempat yang lain. Berdasarkan ulasan tersebut dapat diartikan bahwa
pengangkutan mengandung pengertian suatu proses kegiatan memuat
barang atau mengangkut orang, membawa barang atau penumpang ke
tempat yang lain. Jika dirumuskan dalam suatu kalimat yang dimaksud
47 Ridwan Khairandy Et. Al., Pengantar Hukum Dagang I, (Yogyakarta: Gama Media
Yogyakarta, 2006), hlm 195. 48 Lihat Pasal 1 Angka (3) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
28
angkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke dalam
alat tempat pemuatan yang diangkut ke tempat tujuan dan diturunkan ke
tempat yang telah ditetapkan.49
Abdulkadir Muhammad mendefinisikan pengangkutan meliputi tiga
dimensi pokok yaitu:50
1) Pengangkutan sebagai usaha (business) yakni mempunyai ciri-
ciri sebagai berikut: berdasarkan perjanjian, kegiatan ekonomi di
bidang jasa, berbentuk perusahaan, menggunakan alat
pengangkut mekanik.
2) Pengangkutan sebagai perjanjian yakni pada umumnya bersifat
lisan tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan.
3) Pengangkutan sebagai proses yaitu serangkaian perbuatan mulai
dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian dibawa menuju
ke tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau
penurunan di tempat tujuan.
2. Asas-Asas Hukum Pengangkutan
Asas-asas hukum pengangkutan merupakan landasan dasar filosofis
yang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:51
49 H.K. Martono dan Eka Budi Tjahjono, Transportasi di Perairan berdasarkan UU No. 17
Tahun 2008, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm 5-6. 50 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, op. cit., hlm 12-13. 51 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, op. cit., hlm 16-19.
29
a. Bersifat Publik
1) Asas manfaat, yakni setiap pengangkutan harus dapat memberikan
nilai guna yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan,
kesejahteraan rakyat.
2) Asas adil dan merata, yakni penyelenggaraan pengangkutan harus
dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada
segenap lapisan masyarakat, dengan biaya yang terjangkau oleh
masyarakat.
3) Asas keseimbangan, yakni pengangkutan harus dengan
keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara
kepentingan pengguna dan penyedia jasa.
4) Asas kepentingan umum, yakni penyelenggaraan pengangkutan
harus lebih mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi
masyarakat luas.
5) Asas keterpaduan, yakni pengangkutan harus merupakan kesatuan
yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling
mengisi baik intra maupun antar moda pengangkutan.
b. Bersifat Perdata
1) Asas konsensual, yakni perjanjian pengangkutan tidak harus
dalam bentuk tertulis, sudah cukup dengan kesepakatan para
pihak. Tetapi untuk menyatakan bahwa perjanjian pengangkutan
itu sudah terjadi atau sudah ada harus dibuktikan atau didukung
oleh dokumen angkutan.
30
2) Asas koordinatif, yakni pihak-pihak dalam pengangkutan
mempunyai kedudukan setara atau sejajar, tidak ada pihak yang
mengatasi atau membawahi yang lain.
3) Asas campuran, yakni perjanjanjian pengangkutan secara umum
merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian
kuasa, penyimpanan barang, dan melakukan pekerjaan dari
pengirim kepada pengangkut.
4) Asas retensi, yakni pengangkutan tidak menggunakan hak retensi.
Penggunaan hak retensi bertentangan dengan tujuan dan fungsi
pengangkutan. Pengangkut hanya mempunyai kewajiban
menyimpan barang atas biaya pemiliknya.
5) Asas pembuktian dengan dokumen, yakni setiap pengangkutan
harus dibuktikan dengan dokumen angkutan, kecuali jika
kebiasaan yang sudah berlaku umum, misalnya pengangkutan
dengan angkutan kota (angkot) tanpa tiket/karcis penumpang.
3. Fungsi dan Tujuan Pengangkutan
Fungsi pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari
suatu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna
dan nilai. Disini jelas meningkatnya daya guna dan nilai merupakan tujuan
dari pengangkutan, yang artinya apabila daya guna dan nilai di tempat yang
baru itu tidak naik, maka pengangkutan tidak perlu diadakan, sebab
merupakan suatu perbuatan yang merugikan bagi si pedagang/penjual.52
52 Ibid., hlm 1.
31
Dalam hal pengangkutan barang, pengangkutan dilakukan karena nilai
barang akan lebih tinggi ditempat tujuan daripada di tempat asalanya. Oleh
karena itu, pengangkutan dikatakan memberi nilai kepada barang yang
diangkut. Nilai itu akan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.
Menurut Sri Rejeki Hartono bahwa pada dasarnya pengangkutan
mempunyai dua nilai keguanaan, yaitu:53
a. Kegunaan Tempat (Place Utility)
Dengan adanya pengangkutan berati terjadi perpindahan barang
dari suatu tempat, dimana barang tadi dirasakan kurang
bermanfaat, ke tempat lain yang menyebabkan barang tadi
menjadi lebih bermanfaat.
b. Kegunaan Waktu (Time Utility)
Dengan adanya pengangkutan berati dapat dimungkinan
terjadinya suatu perpindahan suatu barang dari suatu tempat ke
tempat lain di mana barang itu lebih diperlukan tepat pada
waktunya
Zainal Asikin dalam bukunya berpendapat bahwa secara umum
terdapat beberapa fungsi pengangkutan:54
a. Berperan dalam hal ketersediaan barang (availability og goods)
b. Stabilisasi dan penyamaan harga (stabilization and equalization)
c. Penurunan harga (price reduction)
53 Zainal Asikin, op. cit., hlm 154. 54 Ibid., hlm 156.
32
d. Meningkatkan nilai tanah (land value)
e. Terjadinya spesialisasi antar wilayah (territorial division of
labour)
f. Berkembangnya usaha skala besar (large scale production)
g. Terjadinya urbanisasi dan konsentrasi penduduk dalm kehidupan
Secara umum dinyatakan bahwa setiap pengangkutan bertujuan
untuk tiba di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna
bagi penumpang atau barang yang diangkut. Tiba di tempat tujuan yang
dimaksud adalah proses pemindahan dari satu tempat ke tempat tujuan
berlangsung lancar atau tanpa hambatan, sesuai dengan waktu yang
direncanakan. Dengan selamat artinya penumpang dalam keadaan sehat,
tidak mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit atau meninggal
dunia. Sedangkan arti selamat jika yang diangkut adalah barang maka
barang tersebut tidak mengalami kerusakan, kehilangan, kekurangan, atau
kemusnahan.55
4. Jenis-Jenis Pengangkutan dan Pengaturannya
a. Pengangkutan Darat
Pengangkutan di darat pengaturannya terdapat dalam
Ordonansi Lalu Lintas di Jalan Umum atau Wegverkeersordonnantie
(Lembaran Negara 1933-86). Pada peraturan tersebut memberikan
peraturan-peraturan untuk lalu lintas di jalan umum, yakni seperti
55 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Cetakan ke IV, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2008) hlm 16.
33
mengenai tanggung jawab pengangkut ditetapkan dalam Pasal 28 ayat
(1) bahwa “seorang pemilik atau pengusaha sebuah kendaraan umum
bertanggung jawab untuk tiap kerugian yang diderita oleh seorang
penumpang atau kerusakan pada barang yang diangkutnya, keculai
jika ia dapat membuktikan bahwa kerugian atau kerusakan itu tidak
dapat disebabkan karena kesalahan pengangkut atau bukan
disebabkan oleh orang-orang yang bekerja padanya”. Dengan
demikian setiap kerugian atau kerusakan pada barang yang
ditimbulkan dalam pengangkutan, oleh undang-undang dianggap
sebagai akibat dari kelalaian pihak pengangkut, sehingga memberikan
hak pada penumpang atau pengirim barang untuk menuntut ganti
rugi.56
Terhadap pengangkutan darat, di Indonesia terdapat dua jenis
yaitu pengangkutan jalan raya dan pengangkutan kereta api.
Pengaturannya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD), yakni dalam Buku I Bab V bagian 2 dan 3, mulai Pasal 90
sampai dengan Pasal 98. Dalam bagian tersebut diatur sekaligus
pengangkutan darat dan perairan darat, namun hanya khusus
mengenai pengangkutan barang. Selain itu terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (pengganti
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian) dan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
56 R. Subekti, op. cit., hlm 71-72.
34
Angkutan Jalan (pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ).
Pada pengangkutan darat agar terjadi pengangkutan dengan
kendaraan umum, perlu diadakan perjanjian pengangkutan terlebih
dahulu, yang dapat dibuktikan dengan karcis penumpang atau surat
pengangkutan barang. Perusahaan pengangkutan umum wajib
mengangkut orang dan atau barang setelah disepakati perjanjian
pengangkutan tersebut atau setelah dilakukannya pembayaran biaya
angkutan oleh penumpang atau pengirim barang.57
b. Pengangkutan Perairan
Jenis angkutan di perairan dibagi menjadi tiga yaitu angkutan
laut, angkutan sungai dan danau, angkutan penyeberangan. Dalam
hukum pelayaran, diadakan perbedaan antara pelayaran laut dengan
pelayaran sungai dan perairan pedalaman. Dalam hal pelayaran laut
hubungan laut dengan daratan terputus, sedangkan pada perairan
pedalaman pada umumnya tidak demikian. Oleh karena itu pada
pelayaran laut timbul keadaan-keadaan luar biasa, lebih banyak yang
harus diatur daripada perairan pedalaman.58
57 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Cetakan ke IV, op. cit., hlm 18. 58 Sapto Sardjono, Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, (Jakarta: Simplex, 1985), hlm 5-6.
35
Pengaturan mengenai pengangkutan laut terdapat dalam:
1) KUHD, dalam Buku II Bab V tentang Perjanjian Charter
Kapal, Buku II Bab VA tentang Pengangkutan Barang-
barang, dan Buku II Bab VB tentang Pengangkutan Orang.
2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
(pengganti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran),
3) PP No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan
4) PP No. 22 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan.
c. Pengangkutan Udara
Pengangkutan melalui udara di Tanah Air kita telah diadakan
serta dikembangkan dengan baik, mulai dari ujung barat sampat
dengan ujung timur angkutan udara telah mampu menghubungkan
tempat atau kota-kota tertentu dengan waktu yang singkat, karena
sarana-sarana angkutan baik pesawat maupun lapangan terbangnya
telah berkembang dengan pesat.59
Hukum pengangkutan udara adalah sebagian dari hukum udara.
Hukum udara Indonesia dapat dibagi menjadi dua yaitu hukum udara
kenegaraan dan hukum udara keperdataan. Hukum pengangkutan
udara adalah sebagian dari hukum udara keperdataan.60 Sistem
59 G. Kartasapoetra dan E. Roekasih, Segi-Segi Hukum dalam Charter dan Asuransi Angkutan
Udara, (Bandung: Armico, 1981), hlm 5. 60 H.M.N. Purwosujipto, op. cit., hlm 90.
36
penyelenggaraan angkutan udara dilaksanakan untuk memenuhi
permintaan akan jasa angkutan udara meliputi penerbangan
komersial, termasuk penerbangan berjadwal dan tidak berjadwal,
penerbangan umum, penerbangan transmigrasi, penerbangan perintis
dan penerbangan haji.61
Kegiatan penerbangan dan angkutan udara di Indonesia dapat
digolongkan menjadi dua macam, yaitu kegiatan penerbangan
komersial dan kegiatan penerbangan non komersial. Kegiatan
penerbangan komersial adalah kegiatan usaha dimana mengangkut
penumpang, barang, dan pos atau kegiatan keudaraan lain dengan
memungut bayaran tertentu. Kegiatan penerbangan non komersial
adalah kegiatan penerbangan yang bersifat untuk kepentingan pribadi
bukan untuk dikomersilkan atau memungut bayaran dari penerbangan
tersebut.62
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 diatur mengenai
jenis angkutan udara, perizinan angkutan udara, jaringan dan rute
penerbangan, tarif angkutan udara dan jasa kebandarudaraan, kegiatan
usaha penunjang angkutan udara, pengangkutan unttung penyandang
cacat, lanjut usia, anak-anak dan/atau orang sakit, pengangkutan
61 H.K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara Dan Hukum Ruang Angkasa, (Bandung:
Alumni, 1987), hlm 63. 62 Hartono Hadisuprapto, et. all., Pengangkutan dengan Pesawat Udara, (Yogyakarta:
Perpustakaan FH UII, 1988), hlm 3-4.
37
barang khusus dan barang berbahaya, serta tanggung jawab
pengangkut dan angkutan multimoda.63
Alat angkut yang digunakan dalam pengangkutan udara adalah
pesawat terbang, pengaturannya terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan ( pengganti Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan).
Di Indonesia dewasa ini kegiatan pengangkutan udara dengan
menggunakan pesawat udara sebagian besar untuk mengangkut
penumpang, sedangkan pengangkutan barang masih menempati
tempat kedua. Bersama-sama dengan penumpang biasanya diangkut
pula bagasi yaitu semua kepunyaan atau di bawah kekuasaan seorang
penumpang, yang olehnya, atas namanya, sebelum ia menumpang
pesawat terbang diminta untuk diangkut melalui udara.64
5. Subjek dan Objek Hukum dalam Pengangkutan
Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban yang disebut
orang. Orang menurut konsep hukum terdiri atas manusia dan badan hukum.
Manusia adalah subjek hukum menurut konsep biologis, sebagai mahluk
ciptaan tuhan yang dilengkapi dengan akal, perasaan dan kehendak. Badan
hukum adalah subjek hukum menurut konsep yuridis, sebagai badan ciptaan
manusia berdasar pada hukum, memiliki hak dan kewajiban seperti
63 H.K. Martono, Pembajakan Angkutan dan Keselamatan Penerbangan, (Jakarta: Gramata
Publishing, 2011), hlm 86. 64 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum Pengangkutan Udara, (Jakarta:
Binacipta, 1980), hlm 187
38
manusia.65 Subjek hukum adalah segala sesuatu yang memiliki hak dan
kewajiban dalam lalu lintas hukum. Subjek hukum merupakan peraturan
hukum yang dihubungkan dengan seseorang berdasarkan hak dan
kewajiban dalam lalu lintas hukum.66
Subjek hukum dalam pengangkutan niaga adalah pendukung
kewajiban dan hak dalam hubungan hukum pengangkutan niaga, yaitu
pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan niaga itu sendiri
maupun dalam perjanjian pengangkutannya. Pihak-pihak tersebut adalah
pengangkut, penumpang, pengirim, penerima, ekspeditur, agen perjalanan,
pengusaha bongkar muat, dan pengusaha pergudangan. Subjek hukum
pengangkutan niaga ini dapat berstatus sebagai persekutuan berbadan
hukum, tidak berbadan hukum, maupun perseorangan.67
Subjek hukum pengangkutan atau biasa disebut dengan pihak-pihak
dalam pengangkutan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:68
1. Pengangkut adalah pihak yang menyelenggarakan pengangkutan
barang dam/atau penumpang.
2. Penumpang adalah pihak yang menggunakan jasa angkutan dan
berkewajiban membayar biaya angkutan atas dirinya yang diangkut.
65 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010),
hlm 23. 66 Neng Yani Nurhayani, Hukum Perdata, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm 71. 67 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, op. cit., hlm 45. 68 Ibid., hlm 46-58.
39
3. Pengirim adalah pihak yang menggunakan jasa angkutan dan
berkewajiban membayar biaya angkutan atas barangnya yang
diangkut.
4. Penerima adalah pihak yang memiliki hak untuk menerima barang
yang dikirimkan kepadanya.
5. Ekspeditur adalah pihak perantara yang menghubungkan antara
pengirim dan pengangkut. Ekspeditur bertindak atas nama pengirim.
6. Agen perjalanan adalah pihak yang mencarikan penumpang bagi
pengangkut dan bertindak untuk kepentingan pengangkut.
7. Pengusaha bongkar muat adalah perusahaan yang menjalankan bisnis
bidang jasa pemuatan barang ke kapal dan pembongkaran barang dari
kapal.
8. Pengusaha pergudangan adalah perusahaan yang bergerak dibidang
jenis jasa penyimpanan barang di dalam gudang pelabuhan selama
bartang yang bersangkutan menunggu pemuatan ke kapal.
Objek hukum (recht objek) merupakan segala sesuatu yang berguna
bagi subjek hukum dan yang menjadi objek hukum dari suatu hubungan
hukum adalah hak. Oleh karena itu, dapat dikuasai oleh subjek hukum.69
Menurut Abdulkadir Muhammad yang diartikan dengan objek adalah segala
sasaran yang digunakan untuk mencapai tujuan. Sasaran tersebut pada
pokoknya meliputi barang muatan, alat pengangkut, dan biaya angkutan.
Jadi objek hukum pengangkutan niaga adalah barang muatan, alat
69 Neng Yani Nurhayani, op. cit., hlm 75.
40
pengangkut, dan biaya yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum
pengangkutan niaga, yaitu dapat terpenuhinya kewajiban dan hak para pihak
secara benar, adil, dan bermanfaat.70
Objek hukum pengangkutan tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Barang muatan adalah barang yang sah dilindungi oleh undang-undang.
2. Alat pengangkut adalah alat yang diguanakan untung mengangkut barang
atau penumpang. Alat angkut misalnya seperti kapal, kereta api, bus, mobil
barang, pesawat.
3. Biaya angkutan adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan kepada
pengangkut atas jasanya yang telah mengangkut barang atau penumpang.
B. PERJANJIAN PENGANGKUTAN
1. Definisi Perjanjian Pengangkutan
Dalam perspektif hukum perjanjian, pengangkutan merupakan
perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim barang dan/atau
penumpang dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang kesuatu tempat
tujuan tertentu, dan pihak-pihak pengirim barang dan/atau penumpang
mengikatkan dirinya pula untuk membayar ongkos angkutannya.71
Perjanjian pengangkutan merupakan suatu perjanjian dimana satu
pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari
70 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, op. cit., hlm 59. 71 Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, op. cit., hlm 183.
41
satu tempat ke lain tempat, sedangkan pihak lainnya menyanggupi
membayar ongkosnya.72
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa pihak dalam
perjanjian pengangkutan adalah pengangkut dan pengirim atau
penumpang. Sifat dari perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal
balik, artinya masing-masing pihak mempunyai kewajiban sendiri-sendiri.
Pihak pengangkut berkewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan
barang atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan
selamat, sedangkan pengirim atau penumpang berkewajiban untuk
membayar uang angkutan.73
Menurut H.M.N Purwosujipto, pengangkutan adalah perjanjian
timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau
orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat,
sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.74
2. Terjadinya Perjanjian Pengangkutan
Terjadinya perjanjian pengangkutan didahului oleh serangkaian
perbuatan penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) yang dilakukan
oleh pengangkut dan pengirim/penumpang secara timbal balik. Cara
terjadinya perjanjian pengangkutan dapat secara langsung antara
penggangkut dan pengirim/penumpang, yakni dengan adanya penawaran
72 R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm 69. 73 Zainal Asikin, loc. cit. 74 H.M.N Purwosujipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 3, (Jakarta:
Djambatan, 1981), hlm 2.
42
dari salah satu pihak baik pengangkut maupun pengirim/penumpang.
Selain itu dapat secara tidak langsung dengan menggunakan jasa perantara
yaitu ekspeditur atau agen perjalanan.75
Tentang bagaimana terjadinya perjanjian pengangkutan ini tidak
diatur dalam bagian III buku I KUHD, tetapi diatur dalam bagian II buku
I KUHD. Mengenai saat kapan perjanjian pengangkutan itu terjadi dan
mengikat pihak-pihak, tidak ada ketentuan dalam undang-undang, yang
ada ialah bahwa pihak mengadakan persetujuan kehendak Pasal 1320
KUHPer yang dibuktikan oleh dokumen angkutan. Melalui dokumen
angkutan tersebut dapat diketahui saat terjadi perjanjian pengangkutan
yakni bedasarkan tempat, tanggal, dan tanda tangan yang tertulis pada
dokumen angkutan.76
Pada angkutan kendaraan umum, karcis penumpang atau surat
angkutan barang merupakan tanda bukti telah terjadinya perjanjian
pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan. Dalam hal biaya angkutan
dibayar terlebih dahulu maka dokumen angkutan berfungsi sebagai bukti
bahwa perjanjian sudah terjadi dan biaya angkutan sudah dibayar. Dengan
demikian perjanjian sudah terjadi dan mengikat sejak tanggal yang tertera
pada dokumen angkutan. Dalam hal biaya angkutan dibayar kemudian,
maka perjanjian sudah terjadi dan mengikat sejak barang dimuat dalam
truk, atau penumpang berada dalam kendaraan umum.77
75 Ibid., hlm 90. 76 Ibid., hlm 91. 77 Ibid., hlm 92.
43
Setelah perjanjian itu terjadi maka hal yang terpenting adalah
keabsahan suatu perjanjian. Perjanjian dapat dikatan sah apabila telah
memenuhi syarat sah perjanjian. Syarat sah perjanjian tersebut di dalam
sistem hukum Indonesia ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPer. Pasal
1320 KUHPer menentukan adanya 4 syarat sahnya suatu perjanjian,
yaitu:78
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (de toesteming van
degemen die zich verbinden)
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene
verbintenis aan te gaan)
3. suatu hal tertentu (een bepald onderwerp)
4. kausa hukum yang halal (eene goorloofde oorzaak)
Kesepakatan merupakan pertemuan atau persesuaian kehendak
antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dapat dikatakan telah
memberikan persetujuannya atau kesepakatannya apabila telah
menghendaki apa yang disepakati.79 Persesuaian kehendak para pihak
dalam perjanjian harus diutarakan dengan pernyataan. Kehendak atau
keinginan yang disimpan dalam hati, tidak dapat diketahui oleh pihak lain
dan karenanya tidak dapat melahirkan kesepakatan.80 Pernyataan
kehendak itu harus disampaikan kepada pihak lawannya, kemudian jika
78 Ridwan Khairandi, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, Bagian
Pertama, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), hlm 168. 79 Ibid., hlm 168. 80 Firman F. Adonara, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 2014), hlm
76.
44
pihak lawan menyatakan menerima atau menyetujui kehendak, baru terjadi
kata sepakat.81 Dengan demikian yang akan menjadi tolak ukur
tercapainya persesuaian persesuaian kehendak adalah pernyataan-
pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak.82
Syarat sahnya perjanjian yang kedua adalah kecakapan. Kecakapan
bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum. Pada dasarnya setiap orang sepanjang tidak ditentukan lain oleh
undang-undang, dianggap cakap atau mampu membuat perjanjian.83
Dalam Pasal 1329 KUHPer menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap
untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang
dinyatakan tidak cakap. Selanjutnya dalam Pasal 1330 KUHPer
menetukan siapa saja yang tidak cakap untuk mengadakan perjanjian,
yaitu:84
1. orang yang belum dewasa (anak diibawah umur);
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan
undang-undang.
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal
tertentu. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu. Objek tertentu
dalam perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi terdiri atas
81 Ridwan Khairandi, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, Bagian
Pertama, op. cit., hlm 169. 82 Firman F. Adonara, op. cit., hlm 76. 83 Ibid., hlm 84. 84 Ridwan Khairandi, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, Bagian
Pertama, op. cit., hlm 176.
45
memberikan sesuatu, berbuat sesuati, atau tidak berbuat sesuatu. Prestasi
harus tertentu atau setidak-tidaknya dapat ditentukan.85
Syarat sah keempat adalah kausa hukum yang halah. Kausa yang
halal adalah kausa hukum yang tidak bertentangan degan peraturan
perudang-undangan, ketertiban umum, atau kesusilaan. Jika objek dalam
suatu perjanjian adalah illegal atau bertentangan dengan kesusilaan, atau
bertentangan dengan ketertiban umum, maka perjanjian tersebut tidak sah
dan menjadi batal.86
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua
syarat tersebut yakni kesepakatan dan kecakapan adalah mengenai subjek
dari perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat objektif,
karena syarat suatu hal tertentu dan kausa hukum yang halal adalah
mengenai objek dari perjanjian.87 Apabila syarat pertama dan syarat kedua
tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Dapat
dibatalkan artinya salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan pada
pengadilan, tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan dan tidak
membatalkannya maka perjanjian tersebut tetap dianggap sah mengikat
para pihak. Adapun jika syarat ketiga dan keempat tidak dipenuhi oleh para
pihak maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya perjanjian
tersebut dianggap tidak ada dari awal.88
85 Ibid., hlm 186. 86 Ibid., hlm 186. 87 Mariam Darus Badrulzaman, et. al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2001), hlm 73. 88 Firman F. Adonara, op. cit., hlm 87.
46
3. Dokumen dalam Pengangkutan
Pada dasarnya dokumen pengangkutan terbentuk karena adanya
perjanjian pengangkutan. Meskipun perjanjian pengangkutan itu sendiri
tidak mengharuskan dalam bentuk tertulis (dokumen angkutan), namun
dalam praktik perjanjian pengangkutan selalu dibuat dalam bentuk tertulis,
yaitu dokumen angkutan.89 Dokumen angkutan dibagi menjadi dua jenis
yaitu:
a. Dokumen angkutan penumpang yang disebut karcis penumpang
untuk angkutan darat dan perairan, tiket penumpang untuk angkutan
udara dan angkutan laut.
b. Dokumen angkutan barang yang disebut surat angkutan barang
untuk angkutan darat, dokumen muatan (konosemen) untuk
angkutan laut dan perairan darat, surat muatan udara dan tiket
bagasi untuk angkutan udara.
Pengaturan mengenai dokumen angkutan secara umum tidak
tercantum di dalam KUHD. Dalam KUHD terdapat aturan mengenai
dokumen angkutan untuk pengangkutan laut yang tercantum pada pasal
454 KUHD tentang perjanjian charter kapal, pasal 504 dan 506 KUHD
tentang konosemen, serta Pasal 90 KUHD tentang dokumen dalam
perjanjian pengangkutan darat yang disebut surat muatan.
89 H. M. Hudi Asrori S., Mengenal Hukum Pengangkutan Udara, (Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2010), hlm. 41.
47
Pada Pasal 90 KUHD ditentukan bahwa surat angkutan merupakan
perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dan pengangkut atau nakhoda.
Sebenarnya tanpa surat angkutan suatu perjanjian telah terjadi apabila
tercapai persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, sehingga surat
angkutan hanya merupakan surat bukti saja mengenai adanya perjanjian
angkutan. Surat angkutan dinyatakan telah mengikat bukan hanya ketika
dokumen/surat angkutan tersebut telah ditandatangani pengirim atau
ekspeditur, melainkan juga ketika pengangkut/nakhoda telah menerima
barang angkutan beserta dokumen/surat angkutan tersebut.90
4. Berakhirnya Perjanjian Pengangkutan
Untuk mengetahui kapan dan dimana perjanjian pengangkutan
berakhir perlu dibedakan dua keadaan yaitu:91
1) Keadaan dimana proses pengangkutan berjalan dengan lancar dan
selamat, maka perbuatan yang dijadikan ukuran berakhirnya
perjanjian pengangkutan adalah pada saat penyerahan dan
pembayaran biaya angkutan di tempat tujuan yang disepakati.
2) Keadaan dimana terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian,
maka perbuatan yang dijadikan ukuran berakhirnya perjanjian
pengangkutan adalah pada saat pemberesan kewajiban membayar
ganti kerugian.
90 Sution Usman Adji, et. al., op. cit., hlm. 16. 91 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, op. cit., hlm 107
48
Berakhirnya perjanjian pengangkutan tidak sama dengan
berakhirnya pengangkutan, hal ini tergangtung dari isi kesepakatan yang
ditulis dalam surat muatan. Pengertian tempat tujuan tidak selalu sama
dengan terminal, stasiun, pelabuhan laut, dan bandara.92 Dalam perjanjian
pengangkutan memungkinkan tempat tujuan bukan hanya pada tempat-
tempat tersebut, tetapi ada tempat lain yang disepakati sebagai tempat
tujuan pengangkutan, sehingga tujuan tersebut yang menjadi ukuran
berakhirnya perjanjian pengangkutan.
5. Perjanjian Dalam Hukum Islam
Perjanjian dalam bahasa arab disebut dengan akad. Akad atau al-
‘akd secara bahasa berarti al-rabth atau ikatan atau mengikat. Al-rabth
adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan
salah satu pada yang lainnya sehingga keduanya saling bersambung dan
menjadi seperti seutas tali yang satu.93
Dalam Al-Quran terdapat beberapa surat yang menjelaskan
mengenai akad atau janji yaitu antara lain sebagai berikut; QS. Al-Maidah
ayat 1 “Hai orang-orang yang beriman penuhilah aqad (perjanjian atau
perikatan) di antara kamu”. Selain itu dalam QS. Ali Imran ayat 76 “Ya,
siapa saja menepati janjinya dan takut kepada Allah, sesungguhnya Allah
mengasihi orang-orang yang taqwa”.
92 Ibid., hlm 108. 93 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002),
hlm 75.
49
Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh
syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Ijab dalam
definisi akad adalah ungkapan atau pernyataan kehendak melakukan
perikatan oleh satu pihak yang biasanya disebut sebagai pihak pertama.
Qabul adalah pernyataan atau ungkapan yang menggambarkan kehendak
pihak lain (pihak kedua) untuk menyetujui atau menerima pernyataan ijab.94
Akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut dengan
tasharruf. Tasharruf adalah segala yang keluar dari seseorang manusia
dengan kehendaknya dan sesuai syara’, yang menetapkan beberapa
haknya.95 Tasharruf terbagi dua yaitu sebagi berikut:96
1. Tasharruf fi’li adalah usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga
dan badanya, selain lidah. Misalnya memanfaatkan tanah yang
tandus, menerima barang dalam jual beli.
2. Tasharruf qauli adalah tasharruf yang keluar dari lidah manusia.
Tasharruf qauli terbagi dua yaitu aqdi dan bukan aqdi. Aqdi
merupakan pernyataan dan bukan aqdi merupakan perwujudannya.
Setelah diketahui bahwa akad adalah suatu perbuatan yang sengaja
dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing,
maka timbil bagi kedua belah pihak haq dan iltijam yang diwujudkan oleh
akad. Akad memiliki beberapa rukun akad. Terdapat perbedaan pandangan
94 Ibid., hlm 76-77. 95 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cetakan Kesembilan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2014), hlm 43. 96 Ibid., hlm 43-44.
50
di kalangan fuqaha berkenaan dengan rukum akad. Secara umunya rukun
akad adalah sebagai berikut: 97
1. Aqid adalah orang yang berakad.
2. Ma’qud adalah benda-benda yang diakadkan, seperti benda yang
dijual belikan dalam akad jual beli.
3. Maudhu al aqd adalah tujuan atau maksud mengadakan akad.
4. Shighat al aqd adalah ijab dan qabul
C. PENGANGKUTAN BARANG MELALUI ANGKUTAN DARAT
1. Definisi Pengangkutan Barang
Pengangkutan (barang) adalah proses pemindahan barang dari
tempat pengiriman ke tempat tujuan. Dengan demikian, terdapat tiga
komponen dasar dalam pengangkutan barang yaitu: Pengirim, Jasa angkut
(alat angkutan), dan Penerima. Pengangkutan sebagai sebuah proses atau
kegiatan memerlukan alat angkutan untuk mengangkut barang atau
penumpang, atau membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan
ke tempat tujuan dan menurunkan barang atau penumpang dari alat
pengangkutan ke tempat yang ditentukan.98
Angkutan barang bersifat atau berurusan dengan benda, dimana
pengirim menyerahkan suatu benda ke pengangkut, yang akhirnya si
pengangkut itulah yang bertanggung jawab. Jadi dapat dikatakan bahwa hal
ini bersifat pasif. Sebaliknya pada perjanian pengangkutan orang, tidak ada
97 Ibid., hlm 46. 98 Zainal Asikin, op. cit. hlm 154.
51
penyerahan subjek hukum itu kepada pengangkut. Mereka memiliki
kehendak sendiri dan mampu untuk bergerak sendiri.99
2. Jenis Angkutan di Darat
Dalam kegiatan pengangkutan barang melalui darat, terdapat dua
jenis pengangkutan, yakni melalui pengangkutan jalan raya dan
pengangkutan kereta api.
a. Pengangkutan Jalan Raya
Pasal 137 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 menyatakan bahwa
“angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan kendaraan
bermotor dan tidak bermotor. Berdasarkan pasal tersebut dapat
dikatakan bahwa pengangkutan barang melalui jalan raya dapat
dilakukan mengunakan kendaraan bermotor dan tidak bermotor.
Kendaraan bermotor dan tidak bermotor tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Kendaraan Bermotor
Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh
peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di
atas rel.100 Kendaraan bermotor umum adalah setiap kendaraan yang
digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut
biaya. Dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada Pasal 47
Ayat (2), kendaraan bermotor terbagi atas:
99 Sution Usman Adji, et. al., op. cit., hlm. 80. 100 Lihat Pasal 1 Angka (8) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
52
a) Sepeda motor
Sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda dua
dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta
samping atau kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-
rumah.101
b) Mobil penumpang
Mobil penumpang adalah kendaraan bermotor angkutan
orang yang memiliki tempat duduk maksimal delapan orang,
termasuk untuk pengemudi atau yang beratnya tidak lebih dari
3500 kilogram.102
c) Mobil bus
Mobil bus adalah kendaraan bermotor angkutan orang
yang memiliki tempat duduk lebih dari delapan orang, termasuk
untuk pengemudi atau yang beratnya lebih dari 3.500
kilogram.103
d) Mobil barang
Mobil barang adalah kendaraan bermotor yang dirancang
sebagian atau seluruhnya untuk mengangkut barang.104
101 Lihat Pasal 1 Angka (20) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 102 Lihat Pasal 1 Angka (10) PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. 103 Lihat Pasal 1 Angka (11) PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. 104 Lihat Pasal 1 Angka (12) PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
53
e) Kendaraan khusus
Kendaraan khusus adalah kendaraan bermotor yang
dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun
tertentu, antara lain: 105
- Kendaraan bermotor Tentara Nasional Indonesia.
- Kendaraan bermotor Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Alat berat antara lain bulldozer, traktor, mesin gilas
(stoomwaltz), forklift, loader, excavator, dan crane.
- Kendaraan khusus penyandang cacat.
2) Kendaraan tidak Bermotor
Kendaraan tidak bermotor adalah setiap kendaraan yang
digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.106
b. Pengangkutan Kereta Api
Telah diketahui bahwa kereta api dapat mengangkut orang dan
barang. Pengangkutan barang dengan kereta api itu dapat dilakukan
dengan beberapa jenis pengangkutan yakni:107
1) Pengangkutan barang kiriman : barang-barang yang beratnya tidak
lebih dari 50 kg akan diangkut sebagai barang kiriman, kecuali
apabila pengirim menghendakin lain.
105 Lihat Penjelasan Pasal 47 Ayat (2) huruf e UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. 106 Lihat Pasal 1 Angka (9) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Linta dan Angkutan Jalan. 107 H.M.N Purowsujipto, op. cit., hlm 77-78.
54
3) Pengangkutan barang muatan : barang-barang yang beratnya lebih
dari 500kg atau barang-barang lain yang diminta pengirim agar
barangnya dikirim sebagai barang muatan.
4) Pengangkutan barang kilat : barang-barang yang diinginkan agar
dapat dikirim dengan cepat, pelaksanaannya lebih cepat daripada
pengangkutan sebagai barang kiriman atau barang muatan.
5) Pengangkutan barang sebagai bagasi : barang-barang keperluan
dalam perjalanan, kalau tidak bisa dibawa sebagai barang bawaan
maka harus dibagasikan dan disimpan dalam gerbong bagasi.
Pemilik barang bagasi harus memiliki surat bukti bagasi.
Saat ini berdasarkan Undang-Undang Perkeretaapian yakni UU
No. 23 Tahun 2007, pengangkutan barang dengan kereta api dilakukan
dengan gerbong atau kereta bagasi. Angkutan barang tersebut terdiri
dari barang umum, barang khusus, bahan berbahaya dan beracun,
limbah bahan berbahaya dan beracun.108 Dalam kegiatan pengangkutan
barang dengan kereta api, penyelenggara sarana perkeretaapian
berwenang untuk:
a) memeriksa kesesuaian barang dengan surat angkutan barang;
b) menolak barang angkutan yang tidak sesuai dengan surat
angkutan barang; dan
108 Lihat Pasal 139 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.
55
c) melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila barang yang
akan diangkut merupakan barang terlarang.
3. Para Pihak dalam Pengangkutan Barang di Darat
a. Pengangkut
Pihak pengangkut dalam perjanjian pengangkutan barang yakni
pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan, barang
dan berhak atas penerimaan pembayaran tarif angkutan sesuai yang
telah diperjanjikan.109 Pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan pengangkutan barang. Singkatnya,
pengangkut adalah penyelenggara pengangkutan niaga.110 Pihak
pengangkut adalah sebagai pihak yang bertugas dan berkewajiban
mengangkut dan yang bertanggung jawab terhadap semua kerugian
yang diderita dalam pengangkutan barang.111
Pengangkut pada pengangkutan darat adalah perusahaan
pengangkutan umum yang mendapat izin operasi dari pemerintah
menggunakan kendaraan umum dengan memungut bayaran.112 Kegiatan
Pengangkutan barang dilakukan dengan menggunakan kendaraan
bermotor yang khusus mengangkut barang, kendaraan bermotor khusus
109 Zainal Asikin, op. cit. hlm 163 110 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, op. cit. hlm 46. 111 Achmad Insani, Hukum Dagang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1984), hlm. 407. 112 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Cetakan ke IV, op. cit., hlm 64.
56
mengangkut barang yang dimaksud adalah kendaraan bermotor umum
yakni seperti truk dan truk gandeng.113
b. Pengirim
Pengirim adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan. Jika kita
lihat dalam KUHD tidak mengatur definisi pengirim secara umum.
Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim
adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar pengangkutan
barang dan atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan
pengangkutan barang dari pengangkut. Dalam bahasa inggris pengirim
disebut consigner, khusus pada pengangkutan perairan pengirim disebut
shipper.114
Status pengirim dapat sebagai pemilik barang, dalam
perdagangan pemilik barang juga berfungsi sebagai penjual (ekportir).
Pemilik barang dapat berupa manusia pribadi atau badan hukum yang
menjalankan perusahaan. Pemilik barang yang berstatus penjual dalam
perdagangan dapat berupa badan hukum atau persekutuan bukan badan
hukum, akan tetapi penjual yang berstatus sebagai eksportir dapat
dipastikan sebagai badan hukum. Status eksportir ini lebih dikenal
dalam perdagangan internasional. 115
113 Ibid., hlm 64. 114 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, op. cit. hlm 35. 115 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, op. cit. hlm 49-50.
57
c. Penerima
Penerima barang dalam kerangka perjanjian pengangkutan tidak
menjadi para pihak. Penerima merupakan pihak ketiga yang
berkepentingan atas penyerahan barang.116 Pihak penerima barang yakni
sama dengan pihak pengirim dalam hal pihak pengirim dan penerima
merupakan subjek yang berbeda. Namun adakalanya pihak pengirim
barang juga adalah sebagai pihak yang menerima barang yang diangkut
di tempat tujuan. Dalam perjanjian pengangkutan, penerima mungkin
pengirim sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan.117
Ada beberapa pendapapat mengenai kedudukan penerima: 118
1) Penerima sebagai pihak ketiga yang berkepentingan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1317 KUHPer.
2) Penerima sebagai cessionaris (orang yang menerima cessie)
yakni secara diam-diam mengenai hak menagih pengirim
terhadap pengangkut.
3) Penerima sebagai pemegang kuasa atau penyelenggara urusan si
pengirim
116 Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang, op. cit., hlm 376. 117 Zainal Asikin, op. cit., hlm 164. 118 H.M.N Purwosujipto, op. cit., hlm 5-6.
58
4. Penyerahan Barang Muatan
Penyerahan barang yang dimaksud adalah meliputi dua jenis
penyerahan yang merupakan perwujudan dari suatu perjanjian
pengangkutan, yaitu sebagai berikut:119
a. Penyerahan barang dari pengirim kepada pengangkut untuk diangkut
ke tempat tujuan yang ditentukan dalam dokumen pengangkutan
barang.
Konsep penyerahan barang ini terjadi antara pengirim dengan
pengangkut. Dalam konsep ini terdapat hubungan hukum dimana
pengirim berstatus sebagai pemilik barang yang bertujuan agar barang
miliknya diangkut dan diserahkkan kepada penerima yang ditunjuk
dalam dokumen pengangkutan. Penerima dalam hal ini dapat berstatus
pengirim sendiri sebagai pemilik barang atau orang lain yang bertindak
atas nama pengirim. Pada posisi tersebut pengirim hanya
memanfaatkan jasa pengangkutan guna memindahkan barang
miliknya dari suatu tempat ke tempat lain. Jadi pihak-pihak dalam
perjanjian pengangkutan pada konsep penyerahan barang ini adalah
pengirim dan pengangkut.
b. Penyerahan barang muatan dari pengangkut kepada penerima untuk
mengakhiri proses pengangkutan di tempat tujuan yang ditentukan
dalam dokumen pengangkutan.
119 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, laut, dan Udara, op. cit., hlm 223-
224.
59
Konsep penyerahan barang muatan ini terjadi antara
pengangkut dan penerima dengan tujuan untuk mengakhiri proses
pengangkutan di tempat tujuan yang telah disepakati dalam perjanjian
pengangkutan. Dalam konsep ini terdapat hubungan hukum dimana
pengangkut berstatus sebagai penyedia jasa pengangkutan baik untuk
kepentingan pengirim maupun kepentingan penerima. Penerima yang
ditunjuk dalam dokumen pengangkutan tidak sama statusya dengan
pengirim. Hubungan hukum antara pengirim dan penerima biasanya
didasari perjanjian jual beli atau kontrak perdagangan lain yang
merupakan perjanjian utamanya, sedangkan perjanjian pengangkutan
hanyalah sebagai perjanjian pelengkap.
D. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Pengangkutan Barang
Hubungan hukum adalah suatu wewenang yang dimiliki oleh seseorang
sehingga dapat menguasai sesuatu dari orang lain, dan kewajiban dari orang lain
untuk berperilaku sesuai dengan wewenang yang ada. Isi dari wewenang dan
kewajiban tersebut ditentukan oleh hukum.120 Hubungan hukum adalah
hubungan kewajiban dan hak secara bertimbal balik, yang timbul karena
dilakukannya peristiwa hukum berupa perbuatan, kejadian, atau keadaan.
Peristiwa hukum tersebut dapat berasal dari perjanjian atau ketentuan undang-
undang.121
120 Neng Yani Nurhayani, op. cit., hlm 75. 121 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, op. cit. hlm 107.
60
Hubungan hukum dalam pengangkutan adalah hubungan hak dan
kewajiban secara timbal balik yang timbul karena adanya perbuatan, keadaan,
atau kejadian dalam proses pengangkutan. Hak dan kewajiban yang dimaksud
dalam kegiatan pengangkutan adalah hak dan kewajiban para pihaknya yakni
hak dan kewajiban pengangkut, pengirim, maupun penerima. Dalam perjanjian
pengangkutan, pada umumnya hak dan kewajiban para pihak telah dirumuskan
dalam perjanjian yang mereka buat. Namun dalam praktik, hak dan kewajiban
para pihak biasanya tertulis pada dokumen angkutan. Apabila dalam dokumen
angkutan tidak dirumuskan, maka yang diikuti adalah ketentuan yang ada pada
undang-undang pengangkutan terkait. Namun jika dalam undang-undang
pengangkutan juga tidak dapat ditemukan, maka mengikuti kebiasaan umum
dalam pengangkutan.122
1. Hak dan Kewajiban Pengangkut
Pengangkut sebagai pihak dalam kegiatan pengangkutan umumnya
memiliki hak untuk mendapatkan bayaran dari pengirim atas kegiatan
angkutan yang dilaksanakannya, juga termasuk haknya untuk menuntut
pemenuhan pembayaran apabila pengirim belum melaksanakan sepenuhnya
kewajibannya. Pengangkut juga berhak untuk menolak mengangkut barang
yang diserahkan kepadanya, misalanya barang yang diminta untuk diangkut
adalah barang berbahaya atau termasuk sebagai barang yang dilarang
menurut undang-undang. Penolakan oleh pengangkut harus beralasan yang
jelas, karena jika alasan penolakan tidak jelas maka penolakan pengangkut
122 Ibid., hlm 107-108
61
tersebut sudah merupakan wanprestasi. Dengan perjanjian yang dibuat
pengangkut dengan pengirim maka pengangkut mengikatkan diri untuk
mengangkut muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan
kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima serta menjaga keselamatan
barang muatan tersebut.123
Dalam Pasal 91 KUHD dinyatakan bahwa pengangkut berkewajiban
mengangkut barang-barang yang diserahkan kepadanya ke tempat tujuan
yang telah ditentukan. Selain itu, pengangkut juga berkewajiban
menyerahkan kepada penerima tepat pada waktunya dan dalam keadaan
seperti pada waktu diterimanya barang tersebut.124
2. Hak dan Kewajiban Pengirim
Pengirim yang juga merupakan pihak dalam pengangkutan berhak
untuk mendapatkan pelayanan pengangkutan barang oleh pengangkut yakni
diangkut barang-barangnya ke tempat tujuan yang ditentukan. Hak lain
yang dimiliki pengirim adalah menuntut ganti rugi apabila terjadi
kehilangan atau kerusakan terhadap barangnya selama dalam pengangkutan
tersebut. Selain hak, pengirim juga merupakan pihak yang menyandang
kewajiban. Kewajiban pengirim adalah membayar biaya angkutan kepada
pengangkut atas dilaksanakannya angkutan barang milik pengirim. Namun
dalam praktek, terkadang pembayaran ini dilakukan di tempat tujuan yakni
penerimalah yang akan membayarnya, hal ini sesuai dengan pasal 491
123 H.M.N Purwosujipto, op. cit., hlm 4. 124 Lihat Pasal 91 KUHD
62
KUHD, kewajiban membayar uang angkutan ada pada penerima, setelah
barang-barang diterimanya. Terkait metode pembayaran ini dapat
diperjanjikan sebelumnya sesuai kesepakan para pihak. Selain kewajiban
tersebut, pengirim juga berkewajiban untuk memberikan informasi atau
keterangan yang benar dalam dokumen angutan terkait barang yang
dikirimnya.
3. Hak dan Kewajiban Penerima
Menurut pasal 1317 ayat (2) KUHPer, sejak penerima menyatakan
kehendaknya untuk menerima barang-brang yang dikirim oleh pengirim,
maka sejak saat itulah penerima mulai mendapatkan haknya sesuai dengan
janji khusus dalam perjanjian pengangkutan yang dibuat oleh pengirim
dengan pengangkut. Pada saat penerima mulai mendapatkan haknya maka
pengirim tidak berwenang lagi mengubah tujuan pengirimannya.125
Kewajiban penerima akan timbul setelah penerima mendapatkan
haknya untuk menerima barang angkutan, oleh karena itu penerima adalah
sebagai pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan. Akibatnya
berlakulah ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pengangkutan, misalnya
kewajiban membayar biaya angkutan, kecuali diperjanjikan lain dalam
perjanjian pengangutannya.126
125 Ibid., hlm 6 126 Ibid., hlm 6
63
E. TANGGUNG JAWAB DALAM PENGANGKUTAN BARANG
1. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab dalam Pengangkutan
Titik sentral setiap pembahasan mengenai tanggung jawab
pengangkut pada umumnya adalah tentang prinsip tanggung jawab
(Liability Principle) yang diterapkan. Penggunaan suatu prinsip tanggung
jawab tertentu bergantung kepada keadaan tertentu, baik ditinjau secara
makro (sesuai dengan perkembangan masyarakat), maupun ditinjau secara
mikro (sesuai dengan perkembangan dunia angkutan yang bersangkutan,
baik darat, laut, atau udara). 127
Setidak-tidaknya ada 3 (tiga) prinsip atau teori mengenai tanggung
jawab yang dikenal, ialah: prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya
unsur kesalahan (fault liability, liability based on fault principle), prinsip
tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption of
liability principle), prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability,
absolute atau strict liability principle). 128
Cara membedakan prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut pada
dasarnya diletakkan pada masalah pembuktian, yaitu mengenai ada
tidaknya kewajiban pembuktian, dan kepada siapa beban pembuktian
dibebankan dalam proses penuntutan.129
127 E. Saefullah Wiradipradja, op. cit., hlm 19. 128 Ibid., hlm 19. 129 Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, op. cit., hlm 184-185.
64
a. Prinsip Tanggung Jawab berdasarkan Kesalahan (Liability based
on Fault Principle)
Menurut sejarahnya, tanggung jawab berdasarkan kesalahan
pada mulanya dikenal dalam kebudayaan Babylonia kuno. Dalam
bentuknya yang lebih moderen, prinsip ini dikenal pada tahap awal
pertumbuhan hukum Romawi termasuk dalam doktrin “culpa” dalam
lex aquila. Lex aquila menentukan bahwa kerugian baik disengaja
ataupun tidak harus selalu diberikan santunan.130
Menurut prinsip ini, setiap pengangkut yang melakukan
kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung
jawab membayar segala kerugian yang timbul akibat kesalahannya itu.
Pihak yang menderita kerugian wajib membuktikan kesalahan
pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan
pada pengangkut.131
Dalam prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan,
pembuktian kesalahan tergugat harus dilakukan oleh penggugat (yang
dirugikan). Sebagai contoh prinsip ini di Indonesia dianut dalam pasal
1365 KUHPerdata,132 yakni bunyinya adalah tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan
kerugian itu mengganti kerugian tersebut.133 Pasal ini mengharuskan
130 Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, op. cit., hlm 377-378. 131 Abdulkadir Muhammad, op. cit., hlm 37. 132 Toto T. Suriaatmadja, op. cit., hlm 25. 133 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., hlm 346.
65
pemenuhan unsur-unsur untuk menjadikan suatu perbuatan melanggar
hukum dapat dituntut ganti rugi, yaitu:134
1) Adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat.
2) Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya
3) Adanya kerugian yang diderita akibat kesalahan tersebut
Menurut Pasal 1367 KItab Undang-Undang Hukum Perdata,
tanggung jawab hukum kepada seseorang yang menderita kerugian
tidak hanya terkait akibat perbuatan perusahaan pengangkutan itu
sendiri, melainkan juga terhadap perbuatan karyawan, pegawai, agen,
dan perwakilannya apabila menimbulkan kerugian pada orang lain.
Tanggung jawab atas dasar kesalahan harus memenuhi unsur-unsur
adanya kesalahan, ada suatu kerugian dan kerugian tersebut
berhubungan dengan kesalahan, beban pembuktiannya dibebankan
pada korban, namun pada dasarnya kedudukan para pihaknya sama
yakni dalam arti dapat saling membuktikan.135
b. Prinsip Tanggung Jawab berdasarkan Praduga (Presumption of
Liability Principle)
Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung
jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang
diselenggarakan. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia
134 Toto T. Suriaatmadja, loc. cit. 135 H.K. Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 11.
66
tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti
kerugian. Yang dimaksud dengan “tidak bersalah” adalah tidak
melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk
menghindari kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu
tidak mungkin dihindari.136
Pada dasarnya prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga
adalah juga prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya kesalahan
(liability based on fault), tetapi dengan pembalikan beban pembuktian
(omkering van de bewijslaast, shifting of the burden of proof) kepada
pihak tergugat.137 Perbedaan yang utama antara prinsip tanggung
jawab yang didasarkan semata-mata pada adanya unsur kesalahan dan
“presumption of liability” adalah bahwa di dalam prinsip yang kedua
beban pembuktian beralih dari penggugat (korban) kepada tergugat
(pengangkut).138 Pengangkut harus membuktikan sebaliknya atas
gugatan penggugat, yakni membuktikan bahwa pengangkut tidak
bersalah.
Unsur-unsur dari tanggung jawab atas dasar praduga adalah
sebagai berikut:139
1) beban pembuktiannnya terbalik yakni yang harus
membuktikan adalah pengangkut,
136 Abdulkadir Muhammad, op. cit., hlm 28. 137 Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, op. cit., hlm 188. 138 E. Saefullah Wiradipradja, op. cit., hlm 30. 139 H.K. Martono dan Agus Pramono, op. cit., hlm 14.
67
2) tanggung jawab terbatas yakni yang dibebankan pada
pengangkut hanya sejumlah yang diatur dalam konvensi
internasional atau pertauran perundang-undangan yang
berlaku,
3) adanya perlindungan hukum bagi perusahaan pengangkutan
yakni bebas bertanggung jawab apabila dapat membuktukan
bahwa pihkanya tidak bersalah,
4) Pihak pengirim atau penumpang juga dapat ikut bersalah
apabila pengangkut dapat membuktikannya sehingga
tanggung jawab tidak sepenuhnya ada pada pengangkut,
5) tanggung jawab tidak terbatas yakni tanggung jawab yang
terbatas dapat menjadi tidak terbatas apabila pengirim atau
penumpang dapat membuktikan bahwa kesalahan yang
dilakukan oleh pengangkut adalah kesalahan yang disengaja.
c. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Absolute Liability Principle)
Di dalam prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability atau
absolute liability) tergugat atau pengangkut selalu bertanggung jawab
tanpa melihat ada atau tidaknya kesalahan atau tidak melihat siapa
yang bersalah.140 Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur
kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas
dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan
kerugian itu. Prinsip ini dapat dirumuskan dengan kalimat:
140 Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, op. cit., hlm 382-383.
68
“pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul
karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini”.141
Terkait prinsip tanggung jawab mutlak ini biasa disebut
(absolute liability) dan (strict liability). Kedua istilah tersebut beberapa
pakar ada yang membedakannya, tetapi ada juga yang
mempersamakannya. Menurut Bin Cheng sebagaimana yang dikutip
oleh E. Saefullah, meskipun baik secara teoritis maupun praktis sulit
mengadakan pembedaan yang tegas di antara kedua istilah tersebut,
namun Bin Cheng menunjukan adanya perbedaan pokok antara kedua
istilah tersebut.
Pada “strict liability” terdapat hubungan kausalitas antara
orang yang benar-benar bertanggung jawab dengan kerugian. Semua
hal yang biasanya dapat membebaskan tanggung jawab tetap diakui
kecuali hal-hal yang mengarah pada pernyataan tidak bersalah.
Sedangkan “absolute liability” akan timbul kapan saja keadaan yang
menimbulkan tanggung jawab tersebut ada tanpa mempermasalahkan
oleh siapa atau bagaimana terjadinya kerugian tersebut.142 Dengan
demikian dalam absolute liability tidak diperlukan hubungan
kausalitas dan hal-hal yang dapat membebaskan dari tanggung jawab
hanya yang dinyatakan secara tegas dalam perundang-undangan.143
141 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, op. cit., hlm 41. 142 E. Saefullah Wiradipradja, op. cit., hlm 37. 143 Toto T. Suriaatmadja, op. cit., hlm 30.
69
2. Tanggung Jawab Pengangkut
Menurut ajaran hukum yang berlaku pada sistem Common Law
maupun sistem Continental Law, perusahaan pengangkutan sebagai
perusahaan yang menyediakan jasa transportasi umum harus bertanggung
jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim
barang. Perusahaan transportasi umum tidak hanya bertanggung jawab atas
perbuatannya sendiri, melainkan juga bertanggung jawab atas perbuatan
yang diakibatkan oleh karyawan, pegawai, agen, atau perwakilannya, atau
orang yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tersebut.144
Pengangkut merupakan penyelenggara pengangkutan barang mulai
dari tempat pemuatan sampai tempat tujuan dengan selamat. Ada dua
kemungkinan yang akan terjadi apabila barang yang dikirm tidak selamat
yaitu barang sampai pada tujuan dalam keadaan musnah atau barang
sampai pada tujuan dalam keadaan rusak. Barang musnah artinya barang
telah terbakar, tenggelam, atau dicuri. Barang rusak artinya meskipun
barangnya ada tetapi barang tersebut tidak dapat digunakan sebagai
mestinya. Keadaan tidak selamat ini menjadi tanggung jawab pengangkut
sehingga harus memberikan ganti rugi atas barang yang musnah atau rusak.
Hal tersebut dikecualikan apabila kerugian tersebut terjadi atas sebab-sebab
seperti cacat pada barang itu sendiri, karena kesalahan atau kelalaian
pengirim sendiri, keadaan memaksa.145
144 H.K. Martono dan Eka Budi Tjahjono, op. cit., hlm 167. 145 H.M.N Purwosujipto, op. cit., hlm 35-34.
70
Cacat pada barang artinya memang adanya sifat pembawaan dari
barang itu sendiri yang menyebabkan rusak atau terbakarnya barang dalam
perjalanan, misalnya sifat barangnya memang mudah pecah atau terbakar,
sehingga dari sifat bawaan inilah yang memudahkan terjadinya cacat pada
barang. Lain halnya apabila kerusakan atau terbakarnya barang itu
disebabkan karena salah penempatan atau kelalaian pengangkut, maka
kerugiannya dapat dibebankan pada pengangkut.146
Kelalaian atau kesalahan dari pengirim sendiri misalnya seperti
pengirim mengirim barang dengan pengepakan yang kurang baik, artinya
mudah untuk terjadi kerusakan saat dalam perjalanan. Dalam hal
pengangkut mengetahui kelalian atau kesalahan pengirim itu maka
pengangkut harus menolak atau memperingatkan atau dapat mencatatnya
dalam surat muatan bahwa memang pengepakannya kurang sempurna.147
Sebab lain yang dapat menjadi alasan pengangkut untuk tidak
bertanggung jawab adalah karena keadaan yang memaksa. Keadaan
memaksa ada dua jenis yaitu keadaan memaksa objektif dan keadaan
memaksa subjektif. Keadaan memaksa objektif adalah adanya keadaan
yang bebar-benar sama sekali tidak dapat dihindari oleh pengangkut,
sedangkan keadaan memaksa subjektif adalah adanya keadaan dimana
pengangkkut sudah berusaha sebisa mungkin untuk mencegah adanya
kerugian namun juga tidak berhasil.148
146 Ibid., hlm 36. 147 Ibid., hlm 37. 148 Ibid., hlm 37.
71
Dalam praktek, umumnya terjadi pengurangan atau penghapusan
tanggung jawab yang dicantumkan dalam perjanjian pengangkutan.
Adanya klausula pengurangan tanggung jawab pada dasarnya dapat
dibenarkan, dengan syarat klausula tersebut disetujui oleh kedua belah
pihak. Namun terkait pengahapusan tanggung jawab, hal ini tidak
dibenarkan oleh undang-undang. Setiap pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian yang mencantumkan klasula menghilangkan tanggung jawab.
Setiap perjanjian yang dibuat harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Tanggung jawab pengangkut disini mencakup pengangkut
merupakan perusahaan angkutan umum. Menurut Pasal 193 UU Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, perusahaan anggkutan umum bertanggung
jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang
musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali
terbukti bahwa musnah, hilang, atau rusaknya barang disebabkan oleh
suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena
kesalahan pengirim. Tanggung jawab ini berlangsung sejak barang
diangkut oleh pengangkut sampa barang diserahkan di tempat tujuan yang
disepakati. Dalam Pasal 191 masih dalam undang-undang yang sama
disebutkan bahwa perusahaan angkutan umum juga bertanggung jawab
atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang
dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.
Top Related