16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis
dalam melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya
teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian yang dilakukan.
Dari penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan penelitian
dengan judul yang sama seperti judul penelitian penulis yang akan
dilakukan. Namun penulis mengangkat beberapa penelitian sebagai
referensi dalam memperkaya bahan kajian pada penelitian penulis.
Berikut merupakan penelitian terdahulu berupa beberapa jurnal
terkait dengan penelitian yang dilakukan penulis. Penelitian
terdahulu yang dijadikan acuan penulis dalam melakukan penelitian,
antara lain :
1. Penelitian berjudul “Perilaku Konsumtif Remaja Penikmat Warung
Kopi” oleh Ardietya Kurniawan. Permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini adalah mengkonsumsi kopi adalah cara mencapai
tujuan untuk memenuhi keinginan. Dengan secangkir kopi akan lebih
nikmat bila diminum bersama teman-teman sambil mengobrol,
bercanda, merokok, dan menikmati suasana tempat yang nyaman
yang didukung oleh fasilitas wifi. Aktifitas mengkonsumsi kopi di
warung kopi dapat memperluas pergaulan dan tentunya menambah
teman.
17
2. Penelitian berjudul “Gaya Hidup Minum Kopi Konsumen Di The
Coffee Bean & Tea Leafplas Tunjungan Surabaya” oleh Kelvianto
Suisa & Veronica Febrilia. Permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini adalah para penikmat kopi hanya mencari suasana atau
bahkan untuk menunjukkan status sosial. Budaya minum kopi itu
sendiri telah berkembang tidak hanya sebagai kebutuhan melainkan
sebagai trend atau gaya hidup karena banyaknya kedai kopi yang
memiliki nama terkenal.
3. Penelitian berjudul “Ruang Publik Dan Partisipasi Masyarakat Dalam
Perspektif Demokrasi Deliberatif (Studi Tentang Alun-Alun “Taman
Kusuma Wicitra” Tulungagung. (Wahyu K. Rendra). Permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini adalah masyarakat dapat bersosialisasi di
Taman Kusuma Wicitra kabupaten Tulungagung dengan menjadi ruang
publik yang ideal bagi masyarakat untuk menunjang partisipasi politik,
walaupun dalam prakteknya partisipasi hanya terjadi pada segmentasi
masyarakat tertentu.
4. Penelitian berjudul “Nongkrong Di Warung Kopi Sebagai Gaya
Hidup Mahasiswa Di Mato Kopi Yogyakarta” oleh Dea Ayu Pramita
& V. Indah Sri Pinasti, M.Si. Permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini adalah kebiasaan mahasiswa yang memiliki berbagai
aktivitas dimalam hari seperti nongkrong di warung kopi sambil
menikmati suasana, mengerjakan tugas, membaca buku, ngobrol
bersama teman, bermain musik, dan sebagainya. Ketika nongkrong
18
mahasiswa bisa menghabiskan waktu berjam-jam sehingga lupa
waktu.
5. Penelitian berjudul “Eksistensi Penggunaan Wifi Di Warung Kopi
Di Banda Aceh” oleh Nurlaila Hayati. Permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini adalah dengan adanya wifi masyarakat betah
untuk nongkrong menghabiskan waktu untuk membuka diri serta
belajar dengan hal-hal yang baru dengan adanya pemakaian wifi di
warung kopi, dengan adanya wifi bagi kota Banda Aceh memberikan
warna baru bagi masyarakatnya, dengan begitu timbul komunitas-
komunitas baru, orang-orang pecinta wifi di warung kopi.
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
No Judul Hasil Penelitian Relevansi
1 Perilaku
Konsumtif
Remaja
Penikmat
Warung
Kopi.
(Ardietya
Kurniawan)
Budaya minum kopi
saat ini merupakan
suatu trend baru
yang muncul
diberbagai kalangan
masyarakat.
Meningkatnya
permintaan akan
kopi, memancing
munculnya berbagai
brand, cafe, dan
coffee shop di kota-
kota besar.
Meskipun banyak
brand yang
bermunculan namun
pangsa pasar yang
dituju berbeda-beda.
Dalam hal ini
budaya konsumsi
kopi ini biasanya
dilakukan
Relevansi
penelitian ini
dengan jurnal
adalah sama
dalam hal
pembahasan
meskipun
banyak brand
yang
bermunculan
di kota tetapi
permintaan
warung kopi
yang ada di
Tulungagung
terutama di
warung kopi
waris selalu
meningkat
setiap
tahunnya.
Dengan
19
masyarakat di cafe
dan coffee shop.
adanya inovasi
baru yaitu
kopi ijo.
2
.
Gaya Hidup
Minum Kopi
Konsumen
Di The
Coffee Bean
& Tea
Leafplas
Tunjungan
Surabaya.
(Kelvianto
Suisa &
Veronica
Febrilia)
Tradisi ngopi ini
sudah menjadi gaya
hidup konsumen.
Semua orang bisa
menikmati kopi
kapanpun mulai dari
pagi, siang, sore,
maupun malam hari
dengan duduk-duduk
santai, adapun jika
ada teman ngobrol.
Banyak orang
memilik kopi untuk
menjadi teman
menghabiskan
waktunya, karena
dengan sekedar
ngopi saja sudah
melepaskan penat.
Relevansi
penelitian ini
dengan jurnal
adalah sama
dalam hal
pembahasan
membuang-
buang waktu,
tetapi
merupakan
aktivitas yang
dapat menjalin
kebersamaan
masyarakat
melalui
interaksi sosial
yang terjadi,
bahkan dapat
dikatakan
sebagai awal
pembentukan
komunitas dan
budaya baru.
3
.
Ruang
Publik Dan
Partisipasi
Masyarakat
Dalam
Perspektif
Demokrasi
Deliberatif
(Studi
Tentang
Alun-Alun
“Taman
Kusuma
Wicitra”
Tulungagun
g.
(Wahyu K.
Rendra)
Taman Kusuma
Wicitra yang ada di
kabupaten
Tulungagung,
merupakan wujud
ruang publik yang
ada di kabupaten
Tulungagung, ruang
publik dalam kajian
Habermas memiliki
beberapa syarat
untuk dipenuhi
diantaranya bebas,
inklusif, dan tanpa
intervensi
pemerintah. Selain
itu, ruang publik
dapat dijadikan
wadah untuk
meningkatkan
partisipasi publik
utama di Kabupaten
Tulungagung
ternyata belum
menjangkau
masyarakat secara
Relevansi
penelitian ini
dengan tesis
adalah sama
dalam hal
pembahasan
meskipun
ruang publik
ini sama-sama
membahas
tentang politik
tetapi dalam
penelitian ini
ruang publik
yang
dimaksud
tentang
pilkada yang
akan
dilaksanakan
beberapa
bulan yang
akan datang,
dan
pembahasan
ruang publik
20
keseluruhan
terutama yang jauh
dari pusat perkotaan,
maka dengan
permasalahan
tersebut, muncul
ruang publik
alternatif di setiap
desa untuk
memfasilitasi
masyarakat.
ini dilakukan
oleh
masyarakat
Tulungagung
dari kalangan
atas sampai
bawah ketika
ngopi di
warung kopi
Tulungagung.
4
.
Nongkrong
di Warung
Kopi
Sebagai
Gaya Hidup
Mahasiswa
di Mato
Kopi
Yogyakarta.
(Dea Ayu
Pramita &
V. Indah Sri
Pinasti,M.Si.
)
Mereka menemukan
arti kebersamaan
ketika mereka
nongkrong di
warung kopi. Tujuan
dari mereka
nongkrong adalah
karena adanya hasrat
untuk berkumpul
dan berinteraksi
dengan teman-
temannya.
Mahasiswa memiliki
memiliki gaya hidup
nongkrong di
warung kopi karena
dipengaruhi berbagai
faktor.
Relevansi
penelitian ini
dengan jurnal
adalah sama
dalam hal
pembahasan
bahwa warung
kopi
merupakan
sebuah tempat
dimana semua
orang bisa
membuang
kejenuhannya
dengan cara
nongkrong
bersama
teman dan
orang-orang
sekitarnya dan
mendapatkan
kepuasan
tersendiri.
5
.
Eksistensi
Penggunaan
Wifi Di
Warung
Kopi Di
Banda Aceh.
(Nurlaila
Hayati)
Dengan adanya wifi
perkembangan
warung kopi
sekarang semakin
pesat. Yang dulu
bangunannya semi
permanen sekarang
berubah menjadi
permanen sehingga
konsumen penikmati
kopi menjadi banyak
pengunjungnya. Dan
ditambah lagi
fasilitas wifi gratis
yang dimana
sekarang meja bukan
hanya terlihat
secangkir kopi saja,
Relevansi
penelitian ini
dengan jurnal
adalah sama
dalam hal
pembahasan
bahwa saat ini
wifi sudah
menjadi daya
tarik di dalam
sebuah
warung kopi.
Semakin
wifinya
kencang maka
konsumen
warung kopi
pun juga akan
21
tetapi terlihat
beberapa alat media
seperti handphone,
laptop, dan lain
sebagainya yang
dimana dapat
mendukung fasilitas
tersebut.
meningkat.
2.2 Kajian Pustaka
2.2.1 Tradisi Ngopi
Tradisi ngopi di Indonesia banyak mendapatkan pengaruh
dari beberapa negara seperti Eropa, Cina, Melayu, dan
budaya lokal (seperti Jawa, Medan, dan lain-lain), baik dalam
pengelolahan maupun dalam penyajian. Masyarakat
Indonesia mampu beradaptasi dengan baik khususnya dengan
budaya-budaya baru seperti menjadi trend di luar negeri.
Banyaknya cafe-cafe yang ada di kota-kota besar menjadi
meningkat lebih tinggi terutama konsumennya. Warung kopi
menjadi tempat kesatuan bangsa Indonesia, dimana berbagai
macam latar belakang budaya dapat duduk dan menikmati
bersama.
Masyarakat Indonesia memiliki tingkat sosial yang
tinggi, dimana ada waktu dan tempat meluangkan untuk
sekedar bersosialisasi. Semua orang tertarik dengan
kehidupan orang lain, hal itu terasa menyenangkan bila
dilakukan bersama teman-teman., karena warung kopi atau
cafe menjadi tempat bertukarnya informasi dan menjadi
tempat berkumpul.
22
Warung kopi bersifat terbuka dengan lingkungan sekitar.
Kopi dapat dinikmati kapan saja, tidak ada waktu khusus
untuk menikmati kopi. Kopi sudah menjadi teman sehari-hari
khususnya masyarakat Indonesia. Kopi dapat dinikmati di
pagi hari sebagai teman sarapan. Disiang hari sebagai
penutup makanan. Dan hingga malam hari sebagai pelepas
penat kerja. (Devvany Gumulya, 2017:171)
2.2.2 Ruang Publik
Ruang publik Indonesia, merupakan sebuah arena
institusi untuk berinteraksi pada hal-hal yang berbeda. Ruang
publik memiliki dungsi sebagai penyebar informasi yang
diperlukan untuk penentuan sikap, memfasilitasi pembentukan
opini publik dengan menempatkan dirinya sebagai wadah
independen dimana isu-isu dapat diperdebatkan. (Ristiana
Kadarsih, 2008:7)
Ruang publik membuktikan bahwa pertukaran informasi
oleh para individu penting dan peran ruang publik sebagai
wadah atau tempat untuk berinteraksi dan berkomunikasi
dengan sesama individu mampu menciptakan karakteristik
kehidupan sosial individu. Individu dalam ruang publik akan
selalu membahas hal-hal yang menyangkut kepentingan
sosial dan para individu dalam ruang publik, baik sedikit atau
banyak pasti selalu memberikan tanggapan terhadap isu-isu
23
yang berkembang dimedia massa atau yang sedang hangat
diperbincangkan.
Media massa hanyalah salah satu dari bentuk ruang
publik modern. Dimana opini publik akan terbentuk menurut
Habermas (1989), pada awalnya bermula dari perkembangan
kelas borjuis pada abad ke 16 dan 17 di Inggris, Jerman, dan
Prancis. Ruang publik pada masa itu berupa balai kota,
warung kopi, salon, dan pada akhirnya ditemukan newsletter
dari para penguasa atau pedagang. Isi dari newsletter ini
adalah seputar harga-harga barang, pajak, serta peraturan
pemerintah. Sementara, ruang publik modern awal adalah
surat kabar (1700-an), kemudian radio (1920-an), dan televisi
(1950-an), serta yang terakhir adalah internet (1970-an). Kini,
internet disebut juga sebagai ruang publik post-modern.
(Salvatore Simarmata, 2014:24).
2.3 Landasan Teori
Konsep ruang publik pertama kali diperkenalkan oleh
Habermas pada tahun 1962 lewat bukunya The Structural
Transformation of the Public Sphere. Buku ini menggambarkan
“transformasi dan kehancuran virtual rasionalitas ruang publik yang
tengah berkembang pada abad 19 dan 20 di Inggris, Perancis, dan
Jerman”. (Midgley&David, 2012:33)
Gagasan tentang media sebagai “ruang publik” public
spheree, sebuah ruang komunikatif yang didalamnya ide-de dan
24
informasi, wacana dan opini menemukan representasi publik dan
elaborasi dan karena itu membantu membentuk masyarakat sipil.
(Jurgen Habermas, 1964:46)
Jurgen Habermas menggambarkan ruang publik sebagai
sebuah ruang, baik abstrak maupun ruangan fisik, yang berperan
dalam pembentukan opini yang bersifat non-pemerintah serta
terlepas dari kendali pemerintah. Hal tersebut didasarkan pada
hakikat masyarakat sebagai makhluk sosial, dimana masyarakat
memiliki hak dan kemampuan untuk berargumen dan
mengemukakan pendapat dan pemerintah berfungsi sebagai
pelaksana keputusan masyarakat tersebut (Habermas, 1989:185)
Bagi Habermas, ruang publik memiliki peran yang cukup
berarti dalam proses berdemokrasi. Ruang publik merupakan ruang
demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga
negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan,
dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Dalam hal ini
ruang publik menjadi urgensi dari adanya demikrasi deliberatif.
Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai
kegelisahan-kegelisahan politis warga. Selain itu, ruang publik
merupakan wadah yang mana warganegara dengan bebas dapat
menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau
pemerintah.
Ruang publik bukan hanya sekedar fisik, maksudnya sebuah
institusi, atau organisasi yang legal, emlainkan adalah komunikasi
25
warga itu sendiri. Sebuah ruang publik harus bersifat bebas,
terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau
otonom didalamnya, selain itu harus mudah diakses semua orang
tanpa adanya diskriminasi hak beragumen. Dari adanya ruang
publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat
(lebenswelt) warga untuk melawan mesin-mesin pasar/kapitalis dan
mesin-mesin politik. Habermas membagi-bagi ruang publik sebagai
tempat para aktor-aktor masyarakat warga membangun plurality
(keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi
sukarela, dan seterusnya, publicity (media massa, instansi-instansi
kultural, dst), private (wilayah perkembangan individu dan moral),
legality (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar).
(Habermas, 1989: 167).
Jadi Jurgen Habermas memberikan gagasan mengenai ruang
publik bahwa bukan hanya ada satu, tetapi ada banyak ruang publik
di tengah-tengah masyarakat. Ruang publik tidak dapat dibatasi
karena keberadaannya bisa dimana saja. Dimana ada masyarakat
yang duduk berkumpul bersama dan berdiskusi tentang tema-tema
yang relevan, maka disitu hadir ruang publik. Selain itu, ruang
publik tidak terikat dengan kepentingan-kepentingan pasar maupun
politik. Oleh karena itu sifat dari ruang publik sendiri menjadi tidak
terbatas.
Konsep ruang publik ingin mendorong partisipasi seluruh
warganegara untuk mengubah praktik-praktik sosio-politis mereka
26
lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif. (Habermas,
1989:1)
Keberadaan ruang publik sudah ada sejak 1700-an.
Masyarakat barat seperti Perancis dan Amerika mulai melakukan
revolusi, dimana warga masyarakat biasa dilibatkan dalam berbagai
proses diskusi publik dalam rangka pembuatan keputusan mengenai
berbagai persoalan publik. Keberadaan warung-warung kopi di
Inggris dan bar-bar di Perancis khususnya pada pra-revolusi
Perancis telah melahirkan masyarakat yang lebih melek terhadap
berbagai persoalan kenegaraan di masa itu. (Midgley&David,
2012:45)
Teori ruang publik merupakan arena pembentukan ide,
pengetahuan bersama, dan konstruksi opini berlangsung ketika
orang berkumpul dan berdiskusi. Menurut Habermas, ruang publik
merupakan jaringan untuk mengkomunikasikan informasi dan sudut
pandang. Ruang publik adalah ruang, tempat ide dan informasi
digunakan bersama. Dan juga merupakan ruang, tempat opini
publik dibentuk sebagai hasil komunikasi. Pemikiran Habermas
merupakan upaya untuk menemukan kemungkinan melalui hal itu
demokrasi bisa diwujudkan.
Ruang publik bukan hasil kegiatan rutin pertukaran produksi
dan konsumsi, melainkan hasil kegiatan komunikasi untuk
memperkuat solidaritas masyarakat. Di dalam ruang publik tidak
hanya kegiatan pedagang, seniman atau apapun. Semua masyarakat
27
dari kalangan atas sampai bawah dapat memberikan pendapatnya
masing-masing disetiap topik pembahasan.
Dalam pandangan Habermas, ruang publik yang berkembang
pesat pada masa itu seharusnya mampu mengedepankan proses
rasional. Akan tetapi, dalam kenyataannya justru terjadi
pengekangan kebebasan dan dominasi. Inilah yang kemudian
disebut sebagai ruang publik borjuis. Ruang publik ini dikuasai oleh
sekelompok borjuis yang justru kemudian seolah mengambil alih
ruang publik dari negara dan tidak memberikan kesempatan yang
sama pada elemen masyarakat lainnya. (Jurgen Habermas, 1991:79)
Pada wilayah politis, partai-partai politik yang seharusnya
menjadi alat-alat pembentukan aspirasi publik tidak berada di
bawah kendali publik, melainkan dibawah tangan para pejabat
partai, dan semua tentu juga mempengaruhi sikap-sikap para
anggota parlemen. Dengan cara itu pula apa yang disebut „aspirasi
publik‟ atau „opini publik‟ berubah menjadi komoditas-komoditas
politik yang dipertukarkan di meja-meja parlemen untuk menjamin
kemenangan dalam voting. Celah antara negara dan masyarakat
yang seharusnya diisi oleh publik yang berdebat secara rasional
malah diisi oleh aparat-aparat partai yang mempresentasikan
kepentingan-kepentingan partikular partai mereka sendiri.
Konsep public sphere sangat berguna untuk mempelajari
bagaimana masyarakat modern yang berada dalam sistem
demokrasi liberal. Konsep ini dapat menjelaskan tentang bagaimana
28
warga negara meraih sebuah konsensus bersama untuk merumuskan
apa yang terjadi dan mengakomodir kepentingannya dalam sebuah
keputusan publik.
Demokratisasi ‟ruang-antara‟ pemilihan-pemilihan umum itu
berarti bahwa para warganegara memiliki kemungkinan untuk
mengungkapkan pendapat-pendapat mereka sendiri secara publik
dan mempersoalkan segala tema yang relevan untuk masyarakat
supaya suara-suara yang sensitif terhadap masalah ini dikelola oleh
sistem politik yang ada.
Habermas memahami ruang publik politis sebagai prosedur
komunikasi. Ruang publik ini memungkinkan para warganegara
untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu
diciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan para warganegara
untuk menggunakan kekuatan argumen.
Ruang publik politis sebagai kondisi komunikasi yang dapat
menumbuhkan kekuatan solidaritas yang mengutuhkan sebuah
masyarakat dalam perlawanannya terhadap sumber-sumber lain,
yakni uang dan kuasa, agar tercapai suatu keseimbangan. Ruang
publik sebagai ruang otonom yang berbeda dari negara dan pasar,
karena tidak hidup dari kekuasaan administratif maupun ekonomi
kapitalistis, melainkan dari sumber-sumbernya sendiri.
Ruang publik politis terdapat dimana saja para warganegara
bertemu untuk mendiskusikan tema-teman yang relevan untuk
masyarakat. Jumlah ruang publik tidak tunggal, melainkan
29
majemuk seperti bentuk-bentuk komunikasi dan forum-forum
warga yang berciri pluralistis.
Habermas menghubungkan konsep ruang publik politisnya ini
dengan konsep “masyarakat warga”. Konsep ruang publik secara
sosiologis dalam kaitannya dengan proses-proses sosial yang
sedang berlangsung, melainkan juga memungkinkan untuk
membuktikan basis organisatoris ruang publik politis didalam
masyarakat kompleks yang terglobalisasi.(Hardiman, 2009:133-
136)
Menurut Habermas, ruang publik baru akan berfungsi secara
efektif bila informasi yang dikemukakan di dalamnya adalah
informasi yang berkualitas dan mudah di dapat, dan bila informasi
yang didapatkan adalah informasi yang dapat diandalkan (reliable)
dan cukup untuk sebuah perdebatan publik sehingga mendukung
terbentuknya diskusi berkualitas. Sedangkan informasi yang buruk
akan menghasilkan perdebatan yang buruk dan berakibat pada
konsensus publik yang buruk pula. Karena itu menurut Habermas,
ada tiga prinsip utama bagi sebuah ruang publik, yaitu akses yang
mudah terhadap informasi, tidak ada perlakuan istimewa
(priviledge) terhadap peserta diskusi, dan peserta mengemukakan
alasan rasional saat berdiskusi dalam mencari consensus.
(Toulouse, 1998:105)
30
Jurgen Habermas menambahkan konsep komunikasi di dalam
teori kritis dimana iya berpendapat bahwa komunikasi dapat
menyelesaikan kemacetan teori kritis dari para pendahulunya.
Untuk mencapai konsensus rasional yang diterima umum,
Habermas mengajukan 3 prasyarat komunikasi sebagai berikut :
1. Keikutsertaan dalam mengikuti diskusi jika orang
menggunakan bahasa yang sama dan konsisten
mematuhi aturan-aturan logis dari bahasa tersebut.
2. Kesamaan dalam memperoleh kesempatan dalam
diskusi jika peserta memiliki maksud untuk mencapai
konsensus yang tidak menganggap mereka hanya
sebagai sarana belaka.
3. Harus ada peraturan-peraturan yang dipatuhi dari
tekanan dan diskriminasi. Aturan-aturan tersebut harus
memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat
“paksaan tidak memaksa dari argumen yang lebih
baik”. Habermas yakin bahwa resiko ketidaksepakatan
yang mengelilingi masyarakat pada disinterigasi dapat
dibendung.
Top Related