16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Merokok
1. Pengertian Perilaku Merokok
Sitepoe (2000) perilaku merokok merupakan perilaku yang melibatkan
proses membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya, baik menggunakan
rokok ataupun pipa. Shiffman (dalam Astuti, 2012) menyatakan bahwa perilaku
merokok adalah menghirup atau menghisap asap rokok yang dapat diamati atau
diukur dengan melihat volume atau frekuensi merokok.
Perilaku Merokok pada dasarnya adalah menghirup dan memasukkan
nikotin yakni zat adiktif yang terkandung dalam rokok ke dalam tubuh. Terdapat
penggunaan tembakau bentuk lain tidak dengan cara membakar tembakau tetapi
dengan cara mengunyah tembakau, atau dalam bentuk permen karet yang
mengandung nikotin. Akan tetapi penggunaan tembakau yang populer adalah
dengan merokok (Astuti, 2012).
Basyir (2005) menyatakan bahwa perilaku merokok merupakan istilah yang
digunakan untuk aktivitas menghisap rokok atau tembakau dalam berbagai cara.
Perilaku merokok itu sendiri ditujukan untuk perbuatan menyalakan api pada
rokok yang kemudian dihisap untuk mendapatkan efek dari zat yang ada dalam
rokok tersebut. Perilaku merokok adalah suatu bentuk reaksi dari individu pada
stimulus yang berasal dari luar dirinya (lingkungan) dan dari dalam dirinya sendiri
dengan cara menghisap rokok (Indirawati dan Nashori, 2007).
17
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku
merokok adalah perilaku yang melibatkan proses pembakaran tembakau sampai
pada proses penghisapannya lalu menghembuskannya keluar yang dapat
menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang disekitarnya.
2. Aspek-aspek Perilaku Merokok
Tomkins (Sarafino, 1998) menyatakan bahwa perilaku merokok dapat
dilihat dari empat aspek, yaitu :
a. Mendapatkan pengaruh positif dari merokok
Perilaku merokok dipengaruhi oleh perasaan positif, yaitu dengan
merokok seseorang akan merasakan lebih positif dalam dirinya. Merokok
digunakan untuk mendapatkan pengaruh positif berupa stimulasi,
relaksasi, atau kesenangan.
b. Merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif
Perilaku merokok dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak orang
merokok untuk mengurangi perasaan negatif dalam dirinya. Merokok
digunakan untuk mengurangi kecemasan, marah, ketegangan, dan rokok
dianggap sebagai pelampiasan.
c. Merokok menjadi kebiasaan dan dilakukan tanpa kesadaran
Perilaku merokok sudah menjadi suatu kebiasaan. Hal ini diikuti dengan
tanpa adanya kesadaran mengapa seseorang tersebut memilih untuk
merokok. Perokok disini menggunakan rokok bukan karena untuk
mengendalikan perasaan mereka, melainkan karena benar-benar sudah
menjadi kebiasaan rutin.
18
d. Merokok menimbulkan ketergantungan psikologis
Perilaku merokok yang adiktif, ketergantungan psikologis ditunjukkan
dengan munculnya adiksi atau ketergantungan pada merokok. Perokok
yang sudah kecanduan akan menambah dosis rokok yang digunakannya
sedikit demi sedikit, terutama ketika efek dari rokok yang dihisapnya
mulai berkurang. Merokok digunakan untuk mengatur emosi positif dan
negatif.
Aspek-aspek perilaku merokok menurut Smet (1994) adalah sebagai
berikut :
a. Frekuensi
Frekuensi adalah sering tidaknya perilaku muncul. Frekuensi sangatlah
bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana perilaku merokok seseorang
dengan menghitung jumlah munculnya perilaku merokok sering muncul
atau tidak. Dari frekuensi merokok seseorang, dapat diketahui perilaku
merokok seseorang yang sebenarnya.
b. Lamanya berlangsung
Lamanya berlangsung adalah waktu yang diperlukan seseorang untuk
melakukan suatu tindakan. Aspek ini sangatlah berpengaruh bagi perilaku
merokok seseorang. Dari aspek inilah dapat diketahui perilaku merokok
seseorang apakah dalam menghisapnya lama atau tidak.
c. Intensitas
Intensitas adalah banyaknya daya yang dikeluarkan oleh perilaku tersebut.
Aspek intensitas digunakan untuk mengukur seberapa dalam dan seberapa
19
banyak seseorang menghisap rokok. Dimensi intensitas merupakan cara
yang paling subjektif dalam mengukur perilaku merokok seseorang.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek perilaku
merokok yaitu mendapatkan pengaruh positif dari merokok, merokok yang
dipengaruhi oleh perasaan negatif, merokok menjadi kebiasaan dan dilakukan
tanpa kesadaran, merokok menimbulkan ketergantungan psikologis, frekuensi,
lamanya berlangsung dan intensitas. Aspek perilaku merokok yang dipilih dalam
penelitian ini yaitu aspek mendapatkan pengaruh positif dari merokok,
mengurangi pengaruh negatif dari merokok, merokok menjadi kebiasaan dan
dilakukan tanpa kesadaran, merokok menimbulkan ketergantungan psikologis.
Pemilihan aspek ini berdasarkan dari telaah penulis mengenai hubungan stres dan
perilaku merokok. Penulis ingin melihat dari aspek-aspek tadi bagaimana perilaku
merokok tersebut berhubungan dengan stres psikososial yang dialami oleh wanita.
Menurut Wills (dalam Karman, 2004) perilaku merokok berhubungan dengan
intensitas stres dalam kehidupan perokok wanita. Semakin tinggi stres maka akan
semakin tinggi pula frekuensi merokok.
3. Dampak Perilaku Merokok
Rokok merupakan benda beracun yang memberi efek santai dan sugesti
merasa lebih jantan. Rokok memiliki bahan kandungan yang berbahaya. Bahkan,
masyarakat umum pun tahu bahwa rokok dapat membahayakan kesehatan. Perlu
kita ketahui juga bahwasanya rokok memberi pengaruh terhadap psikologis
seseorang (Aula, 2010).
20
a. Dampak rokok terhadap kesehatan
Di balik kegunaan dan manfaat rokok yang secuil itu terkandung bahaya yang
sangat besar bagi orang yang merokok (perokok aktif) maupun orang
disekitar perokok yang bukan perokok (perokok pasif). Dampak terhadap
kesehatan yang diakibatkan rokok pada seorang perokok aktif yaitu
diantaranya memicu munculnya kanker, penyakit paru-paru, penyakit jantung
koroner, impotensi, merusak otak dan indra, mengancam kehamilan pada
wanita, penyakit stroke, merontokkan rambut, katarak, keriput, merusak
pendengaran, merusak gigi, emfisema, osteoporosis, tukak lambung, kanker
rahim dan keguguran, kelainan sperma, penyakit burger, dan memperlambat
pertumbuhan anak. Sedangkan pada perokok pasif bahaya rokok dapat
meningkatkan risiko kanker, penyakit jantung dan gangguan paru-paru (Aula,
2010).
b. Dampak rokok terhadap psikologis
Dampak psikologis dari merokok adalah timbulnya pengaruh terhadap
pikiran, perasaan dan perilaku perokok (Sarafino. 1998). Dampak psikologis
tersebut ditandai dengan munculnya :
1) Adiksi (ketagihan). Nikotin dalam asap rokok merupakan bahan yang
menimbulkan efek ketagihan (adiktif), sebagaimana kelompok zat adiktif
lainnya seperti heroin (putau), morfin, cannabis (ganja) amfetamin
(Extasy, sabu, inex), alkohol dan psikotropika lainnya.
2) Toleransi dan efek ketagihan (adiksi) akan berkembang secara fisiologis
menjadi efek toleransi (penambahan dosis). Orang yang sudah bertahun-
21
tahun menjadi perokok, kadar toleransi nikotin dalam tubuhnya telah
cukup tinggi. Pada akhirnya secara psikologis perokok akan menimbulkan
efek ketagihan (adiksi) yang menyebabkan perokok mengalami reaksi
putus zat apabila di hentikan secara mendadak.
3) Gaya hidup perokok. Rokok dijadikan sebagai tanda pribadi yang tangguh,
keren dan bebas dari otoritas.
Sarafino (1998) mengatakan akibat dari merokok adalah agar seseorang
dapat memperoleh perasaan positif seperti rasa santai, rasa senang, atau sebagai
penambah semangat, mengurangi perasaan yang negatif seperti rasa cemas atau
rasa tegang.
Berdasarkan uraian di atas dapat dismpulkan bahwa rokok memiliki dampak
bagi kesehatan. Baik yang perokok (perokok aktif) maupun orang disekitar
perokok yang bukan perokok (perokok pasif). Bagi perokok risiko terkena
berbagai penyakit lebih banyak dan lebih besar dari pada yang bukan perokok.
Bagi perokok pasif ia juga memiliki risiko terkena berbagai penyakit akibat dari
paparan asap yang di timbulkan oleh seorang perokok. Selain berdampak pada
kesehatan, rokok juga memiliki dampak secara psikologis. Rokok dapat membuat
seseorang bisa merasakan efek perasaan positif seperti rasa santai, rasa senang,
atau sebagai penambah semangat, mengurangi perasaan yang negatif seperti rasa
cemas atau rasa tegang. Selain itu zat nikotin yang terkandung didalam rokok
membuat seseorang itu merasa ingin mencoba lagi dan akan membuat ketagihan
pada perokok tersebut.
22
4. Faktor-faktor Perilaku Merokok
Rokok merupakan zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan
bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat. Merokok adalah suatu kebiasaan
atau pola hidup tidak sehat, serta perilaku merokok dapat menyebabkan berbagai
penyakit dan memperberat penyakit yang telah diderita dan dapat menyebabkan
kematian (Aula, 2010).
Menurut Hansen (dalam Sarafino, 1998) faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku merokok yaitu :
a. Faktor Psikologis
Individu merokok untuk mendapatkan kesenangan, rasa nyaman, mengurangi
stres, merasa lepas dari kegelisahan dan juga untuk mendapatkan rasa percaya
diri. Oleh karena itu individu perokok yang bergaul dengan perokok lebih
sulit untuk berhenti merokok, daripada perokok yang bergaul atau lingkungan
sosialnya menolak perilaku merokok. Individu yang merasa tertekan akan
suatu masalah dapat mempengaruhi sisi psikologisnya yang menyebabkan
individu tersebut menjadi stres. Sarafino (1998), menyebutkan terjadinya
kesenjangan antara tuntutan yang dihasilkan oleh transaksi antara individu
dan lingkungan dengan sumber daya biologis, psikologis atau sistem sosial
yang dimiliki individu tersebut yang akan mempengaruhi kognisi, emosi dan
perilaku sosialnya yang berujung pada munculnya stres. Stres dapat
bersumber dari berbagai hal, seringkali disebut stressors. Hawari (2011)
Stressor adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan
pada setiap kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa melakukan
23
adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya. Girdano dkk (2005)
stressors (sumber stres) manusia terdiri dalam beberapa bagian yaitu
Bioecological Stress (sumber stres bioekologi), Psychosocial Stress (sumber
stres psikososial), dan Personality Stress (sumber stres kepribadian). Rice
(1999) menyatakan stres bioekologi (Bioecological Stress) adalah stres yang
dipicu oleh dua hal. Hal yang pertama adalah ekologi atau lingkungan seperti
polusi serta cuaca. Sedangkan hal yang kedua adalah kondisi biologis seperti
menstruasi, demam, asma, jerawatan, dan lain-lain. Stres Kepribadian
(Personality Stress) adalah stres yang dipicu oleh masalah dari dalam diri
seseorang. Berhubungan dengan cara pandang pada masalah dan kepercayaan
atas dirinya. Orang yang selalu bersikap positif akan memiliki risiko yang
kecil terkena stres kepribadian. Sedangkan stres psikososial (psychosocial
stress) adalah stres yang dipicu oleh hubungan dengan orang lain di
sekitarnya ataupun akibat situasi sosialnya. Contohnya stres ketika
mengadaptasi lingkungan baru, masalah keluarga, stres macet di jalan raya
dan lain-lain.
b. Faktor Biologis
Banyak penelitian yang menyatakan bahwa semakin tinggi kadar nikotin
dalam darah semakin besar pula ketergantungan terhadap rokok. Perilaku
merokok sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan kadar nikotin di dalam
darah.
24
c. Faktor Sosio Kultural
Seseorang merokok karena pengaruh orang tua dan “peer group” atau teman
dan kelompoknya. Perilaku merokok akan lebih kuat pengaruhnya apabila
orang tua juga merokok. Kebiasaan masyarakat, tingkat ekonomi, pendidikan,
pekerjaan juga berpengaruh terhadap perilaku merokok.
d. Faktor Lingkungan Sosial
Seseorang mempunyai kebiasaan merokok karena lingkungannya adalah
perokok. Faktor sosial berpengaruh secara langsung dan tidak langsung
kepada individu. Pengaruh langsung berupa menawarkan rokok, membujuk
untuk merokok, menantang dan menggoda, pengaruh ini dirasakan kuat pada
kelompok remaja. Pengaruh tidak langsung yaitu adanya model yang kuat di
lingkungannya, misalkan pimpinan kelompok atau guru atau orang paling
cantik atau ganteng dalam kelompok merokok, maka anggota lain juga ikut
merokok. Pengaruh tidak langsung ini sulit untuk diamati. Seseorang
mungkin tidak merasa bahwa perilakunya dipengaruhi oleh gurunya atau
model iklan rokok tertentu.
Menurut Prawitasari (2012) terdapat empat faktor mengapa seseorang
menjadi seorang perokok, yaitu :
a. Faktor konsep fisik/sakit
Keadaan fisik sebelumnya abnormal penelitian menunjukkan adanya
kontribusi genetik terhadap kebiasaan merokok, meskipun hasil dan
penelitiannya masih kontroversi. Keadaan kejiwaan atau perilaku abnormal
menjelaskan bahwa adanya masalah-masalah dalam perjalanan hidup dapat
25
menjadikan seseorang merokok. Selanjutnya dijelaskan dalam teori
ketergantungan, keadaan fisik manusia, yaitu toleransi jaringan tubuh, dan
adaptasi metabolism sel menyebabkan seseorang yang tadinya hanya coba-
coba merokok menjadi kecanduan.
b. Teori perilakuan
Teori perilakuan atau behaviorisme dalam psikologi menjelaskan terjadinya
kebiasaan merokok dari beberapa pendekatan berikut yaitu teori belajar
klasik, teori belajar operan, teori observasional learning/modeling, dan teori
kognitif. Teori belajar klasik adalah melihat bagaimana hubungan antara
unconditioned stimulus (US), unconditioned response (UR), dan conditioned
stimulus (CS) memiliki keterikatan satu sama lain yang menyebabkan
seseorang menjadi seorang perokok. Teori belajar operan menjelaskan bahwa
bagaimana seseorang merokok karena ada semacam penguatan (yang
membuat perilaku merokok semakin sering diulang). Teori observasional
learning/modeling menerangkan bahwa seseorang merokok karena ada
contoh di sekitarnya yang juga merokok. Salah satunya adalah bila orang tua
atau salah satu orang tua merokok, anaknya akan mencontoh. Teori kognitif
menjalaskan bahwa seseorang merokok karena berfikir, mempertimbangkan,
dan akhirnya merasa bahwa merokok dapat meningkatkan citra dirinya.
c. Faktor lingkungan yang lebih luas
Perilaku merokok bisa datang dan di pengaruhi oleh lingkungan yaitu
lingkungan yang permisif, peraturan dan kebijakan pengendalian kebiasaan
merokok yang minimal, bayaknya iklan rokok.
26
d. Faktor lingkungan sosial
Teman/saudara dan orang-orang disekitar perokok, status sosial ekonomi &
prestasi rendah, citra positif terhadap rokok, percaya bahwa merokok adalah
norma remaja & keterampilan menolak tawaran merokok yang rendah,
pengetahuan yang rendah tentang dampak rokok dan sikap positif terhadap
perilaku rokok.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor perilaku
merokok adalah faktor psikologis, faktor biologis, faktor lingkungan sosial, faktor
konsep fisik/sakit, faktor lingkungan yang lebih luas dan faktor sosio-kultural.
Pada penelitian ini peneliti memilih faktor psikologis sebagai dasar untuk
menelaah munculnya stres psikososial dari faktor psikologis yang berhubungan
dengan perilaku merokok. Prawitasari (2012), pada beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kepribadian mempunyai hubungan dengan perilaku
merokok, salah satunya adalah ketahanan terhadap tekanan-tekanan kehidupan
atau stres. Menurut Hager (dalam Santrock, 2003) stres sangat bersifat individual
dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya
tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan
dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara
psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada
persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Saat dalam keadaan stres
seseorang akan cenderung mencari cara mengatasi gejala yang diakibatkan oleh
stres. Pada beberapa orang muncul efek tidak langsung berupa timbulnya
kebiasaan tidak sehat guna mengantisipasi stres seperti mengkonsumsi minuman
27
keras dan merokok. Banyak orang menganggap cara paling ampuh dan paling
cepat untuk mengatasi stres adalah dengan mengonsumsi minuman beralkohol dan
merokok. Padahal konsumsi minuman beralkohol dan merokok secara berlebihan
akan menyebabkan rentan terhadap penyakit (Lukaningsih dan Bandiyah, 2011).
Finkelstein dkk (2006) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa tingkat stres yang
tinggi berakibat terhadap meningkatnya risiko seseorang untuk merokok. Hal ini
terkait dengan harapan agar dapat teralih rasa tegang atau keadaan yang
menyebabkan stres tersebut dengan merokok. Stres psikosososial dijadikan fokus
penelitian sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa stres psikososial merupakan
salah satu stressor (sumber stres) yang menjadikan seseorang mengalami stres.
Didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Childs & Wit (2010) yang
menyatakan bahwa stres psikososial secara signifikan dapat meningkatkan
keinginan seseorang untuk merokok.
B. Stres Psikososial
1. Pengertian Stres Psikososial
Stres didefinisikan sebagai suatu respon emosional serta usaha penyesuaian
diri untuk mengembalikan keseimbangan badan dan jiwa yang terganggu
(Maramis, 2009). Menurut Wirawan (2012) stres merupakan reaksi yang tidak
diharapkan muncul sebagai akibat tingginya tuntutan lingkungan kepada
seseorang.
Stres menurut Bartsch dan Evelyn (dalam Kholidah dan Alsa, 2012) adalah
ketegangan, beban yang menarik seseorang dari segala penjuru, tekanan yang
dirasakan pada saat menghadapi tuntutan atau harapan yang menantang
28
kemampuan seseorang untuk mengatasi atau mengelola hidup. Perlu adanya
strategi dalam menghadapi stres agar seseorang mampu melanjutkan hidupnya
dengan sehat. Ketika individu mengalami stres seringkali tidak memiliki
kemampuan mengatasi atau melakukan strategi dengan tepat, sehingga
permasalahan yang dihadapi tidak mampu diselesaikannya. Stres menurut Hans
Selye (Hawari, 2011) menyatakan stres adalah respon tubuh yang sifatnya
nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Lazarus dan Folkman (dalam
Evanjeli, 2012) yang menjelaskan stres sebagai kondisi individu yang dipengaruhi
oleh lingkungan. Kondisi stres terjadi karena ketidakseimbangan antara tekanan
yang dihadapi individu dan kemampuan untuk menghadapi tekanan tersebut.
Individu membutuhkan energi yang cukup untuk menghadapi situasi stres agar
tidak mengganggu kesejahteraan mereka.
Menurut Girdano dkk (2005), stressors (sumber stres) manusia terdiri dalam
beberapa bagian yaitu Bioecological Stress (sumber stres bioekologikal),
Personality Stress (sumber stres kepribadian) dan Psychosocial Stress (sumber
stres psikososial). Rice (1999) menyatakan stres bioekologi (Bioecological Stress)
adalah stres yang dipicu oleh dua hal. Hal yang pertama adalah ekologi atau
lingkungan seperti polusi serta cuaca. Sedangkan hal yang kedua adalah kondisi
biologis seperti menstruasi, demam, asma, jerawatan, dan lain-lain. Stres
Kepribadian (Personality Stress) adalah stres yang dipicu oleh masalah dari dalam
diri seseorang. Berhubungan dengan cara pandang pada masalah dan kepercayaan
atas dirinya. Orang yang selalu bersikap positif akan memiliki risiko yang kecil
terkena stres kepribadian. Sedangkan stres psikososial (psychosocial stress)
29
adalah stres yang dipicu oleh hubungan dengan orang lain di sekitarnya ataupun
akibat situasi sosialnya. Contohnya stres ketika mengadaptasi lingkungan baru,
masalah keluarga, stres macet di jalan raya dan lain-lain.
Stres psikososial yang dialami oleh wanita seringkali muncul berasal dari
kondisi ekonomi (keuangan), tuntutan lingkungan sosial, hubungan perkawinan,
pekerjaan, penampilan fisik dan faktor keluarga (Lukaningsih dan Bandiyah,
2011). Berdasarkan studi dari Schetter (dalam Rahmatika, 2014) menyebutkan
bahwa para wanita memiliki beberapa sumber stres, beberapa diantaranya yaitu
masalah keuangan, ketegangan dalam hubungan dengan pasangan, tangung jawab
keluarga, kondisi terkait dengan pekerjaan, dan masalah-masalah lain yang berasal
dari lingkungannya.
Stres psikososial merupakan salah satu stressor yang menjadikan seseorang
mengalami stres. Hawari (2011) Stres psikososial adalah setiap keadaan atau
peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga
orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk
menanggulanginya.
Setiap permasalahan kehidupan yang menimpa diri seorang disebut stressor
psikososial. Pemicu stres psikososial adalah peristiwa-peristiwa sosial atau
psikologis yang membuat seseorang menjadi tertekan seperti pekerjaan, hubungan
sosial, situasi keuangan, keluarga, kelainan psikologis (depresi, kegelisahan, dan
lain-lain), rendahnya rasa percaya diri, masalah di lingkungan tempat tinggal, dan
keterlibatan dalam hukum (Hyman, 2006).
30
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa stres psikososial merupakan
keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang,
sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk
menanggulanginya.
2. Aspek-aspek Stres Psikososial
Menurut Taylor (dalam Liftiah, 2013) menyatakan stres dapat menghasilkan
berbagai respon. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa respon-respon
tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan
mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam
berbagai aspek, yaitu :
a. Respon fisiologis
Setiap orang yang dihadapkan pada kondisi atau situasi yang mengancam
atau berbahaya, maka akan ada reaksi fisiologis dari tubuh terhadap stres
yang di timbulkan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya tekanan darah,
detak jantung, detak nadi, dan sistem pernafasan.
b. Respon kognitif
Kondisi stres dapat mengganggu proses berpikir seseorang. Hal ini terlihat
lewat terganggunya proses kognitif individu seperti pikiran menjadi kacau,
menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.
c. Respon emosi
Hal ini menyangkut emosi yang mungkin dialami individu. Setiap orang
yang mengalamai ketidakstabilan emosi dapat memicu munculnya stres.
Ini ditandai dengan perasaan takut, cemas, malu, dan marah.
31
d. Respon tingkah laku
Kondisi stres dapat juga mempengaruhi tingkah laku sehari-hari setiap
individu. Respon ini dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi
yang menekan, dan flight yaitu menghindari situasi yang menekan.
Menurut Hardjana (1994) aspek-aspek dalam gejala stres ada empat, yaitu :
a. Gejala Biologis
Gejala biologis dari stres berupa gejala fisik. Gejala fisik dari stres yang
dialami individu antara lain : sakit kepala, sakit punggung, gangguan
tidur, sembelit, mencret, gangguan pencernaan, gangguan makan,
gangguan kulit dan produksi keringat yang berlebihan.
b. Gejala Intelektual
Kondisi stres dapat mengganggu proses berpikir individu. Individu yang
mengalami stres cenderung mengalami gangguan daya ingat, perhatian
dan konsentrasi, sulit membuat keputusan, produktivitas menurun,
kehilangan rasa humor yang sehat, pikiran dipenuhi dengan satu hal saja,
mutu kerja rendah, pikiran kacau.
c. Gejala Emosional
Kondisi stres dapat menganggu kestabilan emosi individu. Individu yang
mengalami stres akan menunjukkan gejala mudah marah, kecemasan yang
berlebihan terhadap segala sesuatu, gugup, mudah tersinggung, gelisah,
harga diri menurun, gampang menyerang orang lain, merasa sedih dan
depresi.
32
d. Gejala Interpersonal
Kondisi stres dapat mempengaruhi tingkah laku sehari-hari yang
cenderung negatif sehingga menimbulkan masalah dalam hubungan
interpersonal seperti mendiamkan orang lain, senang mencari kesalahan
orang lain, menutup diri secara berlebihan, kehilangan kepercayaan pada
orang lain, mudah membatalkan janji, menyerang dengan kata-kata, dan
mengambil sikap terlalu membentengi atau mempertahankan diri.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek stres psikososial
meliputi respon fisiologis, respon kognitif, respon emosi, respon tingkah laku,
gejala biologis, gejala intelektual, gejala emosional dan gejala intelektual. Aspek
dalam penelitian ini berfokus pada empat aspek yaitu respon fisiologis, respon
kognitif, respon emosi dan respon tingkah laku oleh Taylor. Penulis memfokuskan
pada empat aspek tersebut di dukung dengan pernyataan dari H. Handoko (dalam
Lukaningsih dan Bandiyah, 2011) yang menyatakan stres mengacu pada suatu
kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi
seseorang.
C. Hubungan Antara Stres Psikososial Dengan Perilaku Merokok Pada
Wanita
Perilaku merokok dilihat dari berbagai sudut pandang dinilai sangat
merugikan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain disekitarnya. Meskipun
semua orang mengetahui tentang bahaya yang ditimbulkan oleh aktivitas
merokok, hal itu tidak pernah surut dan tampaknya merupakan perilaku yang
33
masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Di satu pihak menguatkan bahwa perilaku
merokok dinilai wajar dan bisa dilakukan oleh siapa saja, yang tidak dibatasi oleh
jenis kelamin maupun gender. Streotype wanita yang seharusnya tidak merokok
hanya kebiasaan semata, yang sesungguhnya sesuai dengan perkembangan
perilaku masyarakat. Sementara itu, pihak lain berasumsi bahwa nilai moral
seseorang wanita akan luntur ketika ia merokok. Hal yang menjadi titik berat di
sini, yakni masih berada pada nilai normatif seorang wanita, khususnya
pandangan budaya Indonesia terhadap wanita (Aula, 2010).
Sebagai bentuk suatu perilaku maka merokok dapat dijelaskan sebagai
refleksi organisasi kepribadian individu yaitu adanya kebutuhan-kebutuhan
tertentu yang dapat terpuaskan dengan merokok (Pribadi, 2000). Levy (dalam
Nasution, 2007) Perilaku merokok merupakan perilaku yang berbahaya bagi
kesehatan tetapi masih banyak orang yang masih melakukannya. Setiap individu
mempunyai kebiasaan merokok yang berbeda dan biasanya disesuaikan dengan
tujuan mereka merokok. Tomkins (Sarafino, 1998) menyatakan bahwa perilaku
merokok dapat dilihat dari empat aspek, yaitu, mendapatkan pengaruh positif dari
merokok, merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif, merokok menjadi
kebiasaan dan dilakukan tanpa kesadaran, merokok menimbulkan ketergantungan
psikologis.
Aula (2010) menyatakan bahwa ada beberapa alasan psikologis yang
menyebabkan seseorang merokok, yaitu demi relaksasi atau ketenangan, serta
mengurangi kecemasan atau ketegangan. Pada kebanyakan perokok, ikatan
psikologis dengan rokok dikarenakan adanya kebutuhan untuk mengatasi diri
34
sendiri secara mudah dan efektif. Rokok dibutuhkan sebagai alat keseimbangan.
Perilaku merokok biasanya dilakukan untuk mengatasi masalah emosional seperti
untuk menghilangkan stres.
Stres merupakan bagian dari kehidupan manusia. Stres yang ringan berguna
dan dapat memacu seseorang untuk berpikir dan berusaha lebih berpikir dan
berusaha lebih cepat dan keras sehingga dapat menjawab tantangan hidup sehari-
hari. Stres ringan bisa merangsang dan memberikan rasa lebih bergairah dalam
kehidupan yang biasanya membosankan dan rutin. Tetapi stres yang terlalu
banyak dan berkelanjutan, bila tidak ditanggulangi, akan berbahaya bagi
kesehatan (Lukaningsih dan Bandiyah, 2011).
Stres psikososial merupakan salah satu stressor yang menjadikan seseorang
mengalami stres. Hawari (2011) Stres psikososial adalah setiap keadaan atau
peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga
orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk
menanggulanginya Taylor (dalam Liftiah, 2013) menyatakan stres dapat
menghasilkan berbagai respon. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa
respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada
individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat
terlihat dalam berbagai aspek yaitu respon fisiologis (merupakan respon dimana
setiap orang yang dihadapkan pada kondisi atau situasi yang mengancam atau
berbahaya, maka akan ada reaksi fisiologis dari tubuh terhadap stres yang di
timbulkan), respon kognitif (merupakan kondisi stres yang dapat mengganggu
proses berpikir seseorang), respon emosi (merupakan suatu hal menyangkut emosi
35
yang mungkin dialami individu) dan respon tingkah laku (kondisi stres dapat juga
mempengaruhi tingkah laku sehari-hari setiap individu).
Stres psikososial yang dialami oleh wanita seringkali muncul berasal dari
kondisi ekonomi (keuangan), tuntutan lingkungan sosial, hubungan perkawinan,
pekerjaan, penampilan fisik dan faktor keluarga (Lukaningsih dan Bandiyah,
2011). Berdasarkan studi dari Schetter (dalam Rahmatika, 2014) menyebutkan
bahwa para wanita memiliki beberapa sumber stres, beberapa diantaranya yaitu
masalah keuangan, ketegangan dalam hubungan dengan pasangan, tangung jawab
keluarga, kondisi terkait dengan pekerjaan, dan masalah-masalah lain yang berasal
dari lingkungannya.
Menurut Hurlock (2006) pada wanita dewasa awal sering kali mengalami
kesulitan terhadap masalah-masalah dalam penyesuaian diri, karena kurangnya
persiapan menghadapi masalah sebagai orang dewasa, menjalankan dua tugas
perkembangan sekaligus, dan tidak memperoleh bantuan dalam menghadapi
permasalahan. Permasalahan masa dewasa awal pada wanita disebabkan
ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi serta
ketidaksesuaian tugas perkembangan yang dilaksanakan yang kemudian
menimbulkan ketegangan emosi dan akhirnya menjadi pemicu timbulnya stres.
Masa dewasa awal merupakan masa penyesuaian diri yang khusus dan sulit dari
rentang hidup seseorang. Masa ini, seseorang sudah dewasa sehingga dianggap
mandiri pada pola-pola kehidupan baru dan harapan sosial baru.
36
Setiap manusia senantiasa berada dalam suatu interaksi dua arah dengan
lingkungannya, dan setiap individu yang sehat akan berusaha untuk menjaga
keseimbangan yang dinamis dengan lingkungannya. Namun pada saat seorang
individu mendapatkan tekanan yang melebihi kemampuannya beradaptasi, maka
individu tersebut bereaksi yang kita sebut dengan stres (Lukaningsih dan
Bandiyah, 2011). Pengelolaan stres antara individu yang satu dengan individu
yang lain berbeda-beda. Ada individu yang menghadapi stres dengan tindakan
yang negatif, seperti merokok. Individu yang memutuskan untuk merokok
beranggapan bahwa rokok dapat mengurangi stres, mengurangi kecemasan,
mengurangi ketegangan, memudahkan berkonsentrasi, membuat rileks, merasa
lebih percaya diri, dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh efek zat yang
terkandung pada rokok, yaitu nikotin yang memberikan perasaan nyaman.
Penghentian dari nikotin akan menyebabkan perokok merasa sakit kepala, pusing,
letih, insomnia, cemas, susah berkonsentrasi, gelisah, menurunkan nafsu makan,
sehingga individu tetap merokok untuk menghindarkan efek gejala putus zat.
Individu yang menghadapi stres dengan tindakan positif akan memilih hal-hal lain
yang menyenangkan, seperti melakukan aktifitas bersama teman, menenangkan
diri, dan sebagainya. Perbedaan dalam merespon stres seperti ini dipengaruhi oleh
sifat pribadi dan karakteristik kepribadian masing-masing individu.
Terlihat bahwa pada aspek respon emosi memiliki hubungan terhadap aspek
mendapatkan pengaruh positif dari merokok. Respon emosi seseorang ketika
dalam keadaan stres dapat berubah ketika saat mengkonsumsi rokok. Oskamp
(dalam Nasution, 2007) menyatakan bahwa saat mencoba rokok untuk yang
37
pertama kalinya, seorang individu akan menjadi ketagihan untuk merokok, dengan
alasan-alasan seperti, menurunkan kecemasan dan mendapatkan penerimaan.
Graham (dalam Ogden, 2000) menyatakan bahwa efek positif dari merokok
adalah menghasilkan efek mood yang positif dan membantu individu dalam
menghadapi masalah yang sulit. Sehingga seseorang yang mengalami stres dan
mulai mengonsumsi rokok efek yang dirasakan terhadap emosinya akan
berpengaruh pada kondisi orang tersebut.
Respon kognitif memiliki hubungan dengan aspek merokok yang dipengaruhi
oleh perasaan negatif. Menurut Finkelstein dkk (2006) dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa tingkat stres yang tinggi berakibat terhadap meningkatnya
risiko seseorang untuk merokok. Hal ini terkait dengan harapan agar dapat teralih
rasa tegang atau keadaan yang menyebabkan stres tersebut dengan merokok.
Merokok dianggap dapat memudahkan seseorang berkonsentrasi, memperoleh
pengalaman yang menyenangkan, relaksasi, dan mengurangi ketegangan atau
stres. Hal ini menggambarkan bahwa respon kognitif pada orang yang
mengalamai stres dapat memicu seseorang untuk merokok dengan harapan agar
proses kognitif dapat kembali berjalan dengan baik.
Respon tingkah laku memiliki hubungan dengan aspek merokok menjadi
kebiasaan dan dilakukan tanpa kesadaran. Pengaruh nikotin dalam merokok dapat
membuat seseorang menjadi pecandu atau ketergantungan pada rokok. Seseorang
yang sudah kecanduan merokok pada umumnya tidak dapat menahan keinginan
untuk tidak merokok, mereka cenderung sensitif terhadap efek dari nikotin
(Kandel dalam Baker, 2004). Prawitasari (2012) menyatakan bahwa seseorang
38
merokok karena berpikir, mempertimbangkan dan akhirnya merasa bahwa
merokok dapat meningkatkan citra dirinya. Seseorang ketika saat dalam keadaan
stres muncul tingkah laku yang digambarkan sebagai situasi untuk melawan atau
menghindari situasi yang menekan. Munculnya tingkah laku buruk seperti
merokok menjadikan seseorang tidak bisa melepaskan rokok begitu saja. Joewana
(Astuti, 2012) menyatakan jika nikotin telah masuk ke dalam tubuh maka tubuh
senantiasa membutuhkan nikotin dan itu akan terpenuhi dengan jalan
mengkonsumsi rokok. Kondisi ini akan berlanjut pada munculnya kecanduan atau
ketergantungan akan rokok, yaitu keadaan apabila seseorang menghentikan
perilaku merokok yang biasa dilakukan akan mengalami gejala putus zat.
Terlihat juga bahwa respon fisiologis berhubungan dengan aspek merokok
menimbulkan ketergantungan psikologis. Prawitasari (2012) rokok mempunyai
beberapa bahan kimia yang dampaknya pada tubuh manusia menyebabkan
keinginan untuk terus melakukan dan bahkan semakin lama meminta dosis atau
takaran yang lebih banyak. Nikotin merupakan zat dalam rokok yang bertanggung
jawab terhadap timbulnya kecanduan. Efek nikotin pada rokok adalah
menstimulasi reseptor sistem saraf pusat. Sesegera reseptor tersebut aktif,
adrenalin akan di lepaskan. Kondisi tersebut dialami perokok sebagai faktor
relaksasi. Bartra (dalam Prawitasari, 2012) menyatakan bahwa nikotin yang
terdapat di dalam rokok melepas hormon dopamin yang memberikan penguatan
perilaku dan ketergantungan. Hal ini yang membawa seorang perokok memilih
untuk merokok agar kondisi fisiologis mereka dapat terkontrol saat mengalami
stres.
39
Tomkins (Sarafino, 1998) secara psikologis merokok sering dianggap
sebagai salah satu cara untuk menumbuhkan afeksi positif, menimbulkan efek
relaksasi, menghilangkan kecemasan, menimbulkan ketergantungan psikologis
untuk mengatur keadaan emosinya. Wills (dalam Karman, 2004) menyatakan
bahwa perilaku merokok berhubungan dengan intensitas stres dalam kehidupan
wanita. Semakin tinggi intensitas stres maka semakin tinggi frekuensi merokok.
Salah satu kandungan rokok adalah nikotin dimana nikotin ini mempunyai efek
ketergantungan, pada saat seorang perokok aktif mengalami stres maka stres ini
akan memicu peningkatan konsumsi nikotin (Childs & Wit, 2010). Menurut
penelitian Childs & Wit (2010) stres secara signifikan meningkatkan keinginan
seseorang untuk merokok dan tingkat nikotin juga mempengaruhi stres pada
perokok.
Wanita yang memiliki kebiasaan merokok biasanya menggunakan rokok
sebagai alat pelarian dari masalah yang sedang dihadapinya. Mayoritas wanita
perokok beralih bahwa dengan merokok bisa menghilangkan stres dan bisa
meringankan sedikit beban yang sedang mereka pikul. Sehingga, setelah merokok
mereka kadang bisa merasa nyaman dan lebih rileks dalam menyelesaikan
permasalahan hidupnya (Bangun, 2008).
Perilaku merokok pada saat stres didukung oleh hasil yang dirasakan setelah
menghisap rokok. Hal-hal yang paling dirasakan subjek ketika atau setelah
merokok adalah kenikmatan, kepuasan, dan merasakan ketenangan. Seorang
perokok dapat kembali merokok bahkan meningkatkan intensitas merokoknya
ketika dalam keadaan stres (Hasnida & Kemala, 2005).
40
Parrot (2004) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara stres dengan
merokok yang dilakukan pada orang dewasa dan pada remaja menyatakan adanya
perubahan emosi selama merokok. Merokok dapat membuat orang yang stres
menjadi tidak stres lagi. Perasaan ini tidak akan lama, begitu selesai merokok,
mereka akan merokok lagi untuk mencegah agar stres tidak terjadi lagi. Keinginan
untuk merokok akan kembali timbul karena ada hubungan antara perasaan negatif
dengan rokok, yang berarti bahwa para perokok akan merokok kembali agar
menjaga mereka untuk tidak menjadi stres. Childs & Wit (2010) dalam
penelitiannya mengenai efek stres psikososial akut pada keinginan rokok dan
kebiasaan merokok yang dilakukan pada orang dewasa menyatakan stres secara
signifikan meningkatkan keinginan untuk merokok namun tidak meningkatkan
kebiasaan merokok.
D. Hipotesis
Adapun hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara stres
psikososial dengan perilaku merokok pada wanita. Semakin tinggi stres
psikososial maka akan semakin tinggi pula perilaku merokok pada wanita.
Sebaliknya semakin rendah stres psikososial maka perilaku merokok pada wanita
akan semakin rendah.
Top Related