9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gegar Budaya
1. Definisi Gegar Budaya
Oberg (1960) pertama kali memperkenalkan culture shock atau gegar
budaya sebagai gangguan yang tidak disadari oleh individu yang tiba-tiba
pindah ke dalam suatu kebudayaan baru yang berbeda dari kebudayaan
sebelumnya.
Disamping itu, Adler (1975) menyatakan bahwa gegar budaya
merupakan bentuk keterasingan. Gegar budaya didefinisikan sebagai
serangkaian reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak terduga dan
kesalahpaham pengalaman yang berbeda sehingga dapat menyebabkan
perasaan tidak berdaya, mudah marah, dan ketakutakan akan ditipu, dilukai
ataupun diacuhkan. Adanya gegar budaya ini diperlukan upaya untuk
memahami, bertahan hidup, dan tumbuh ke dalam dalam budaya kedua
(budaya baru). Teori lain tentang gegar budaya juga dijelaskan oleh
Winkelman (1994) yang menyebutkan bahwa gegar budaya dapat
dideskripsikan dari perspektif psikofisiologis dan sosiokultural. Gegar budaya
merupakan beragam pengalaman yang merupakan hasil dari berbagai stres
yang terjadi ketika kontak dengan budaya yang berbeda.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
gegar budaya merupakan suatu bentuk kebingungan atau disorientasi yang
10
muncul saat kita memasuki lingkungan baru dengan budaya yang berbeda dari
lingkungan asalnya.
2. Aspek-Aspek Gegar Budaya
Aspek-aspek gegar budaya ini diambil dari penjelasan mengenai
symptom gegar budaya yang dijelaskan Oberg (1960). Terdapat enam symptom
dari gegar budaya yaitu:
1) Ketegangan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis.
Pada gegar budaya perlu adanya cara untuk beradaptasi terhadap
situasi yang baru tentunya perlu untuk menyesuaikan diri dalam proses
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, orang harus beradaptasi secara
fisik dan juga psikologis. Secara fisik, individu akan jauh lebih mudah
beradaptasi apabila individu menikmati lingkungan sekitar, sebagai contoh
seperti dengan makanan, di lingkungan sekitar dan iklim (Ariestanty &
Andri, 2007). Sedangkan secara psikologis, individu akan lebih sulit untuk
beradaptasi. Hal ini disebabkan bahwa individu telah memiliki sifat dasar
kultur yang dikenali individu dari sejak kecil (Yusuf, 1991). Oleh sebab
itu, ketika individu hidup di lingkungan bahkan budaya yang baru,
beberapa individu terkadang kesulitan untuk beradaptasi secara psikologis.
11
2) Perasaan kehilangan dan kekurangan keluarga, teman, status dan
kepemilikan.
Pada individu biasanya menyadari mengenai keberadaannya dalam
suatu lingkungan budaya yang berbeda, akan mulai muncul respon negatif,
seperti rasa tidak berdaya dan stress di dalam dirinya (Santrock, 2002).
Pujiriyani & Rianty (dalam Ansiga, 2012) juga menyatakan tentang
perasaan yang timbul mengenai perasaan sendirian dalam lingkungan.
Perasaan yang muncul pun yang biasanya lebih di sebabkan karena jauh
dengan teman-teman dan orang sebelumnya sering di lingkungan
hidupnya dan mulai mengalami perasaan kehilangan perasaan dukungan
bahkan juga di dorong dengan pertemanan yang menunjukan sikap sensitif
yang didapatkan.
Apabila individu mulai berinteraksi dengan individu lain di
lingkungan barunya individu tersebut juga memiliki status baru bahkan
pandangan baru dari individu lain (Santrock, 2002).
3) Penolakan terhadap dan dari orang-orang di lingkungan baru.
Individu yang baru menemui situasi dan lingkungan baru dalam
perpindahan dari suatu daerah ke daerah yang lain, biasanya individu
pendatang harus bisa beradaptasi dengan cara berkomunikasi dalam
kebudayaan tersebut. Hal ini harus dilakukan ketika individu tidak mampu
berkomunikasi dengan baik, maka akan muncul kesalah pahaman dalam
memaknai informasi yang disampaikan jika terjadi kesalahpahaman dalam
12
berkomunikasi, maka akan timbul perasaan tidak diterima Porter dan
Samovar (dalam Ansiga, 2012).
4) Adanya kebingungan mengenai peran, harapan terhadap peran tersebut,
nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri.
(Mulyana & Rakhmat, 2009) mengatakan bahwa setiap budaya
juga memiliki harapan yang berbeda untuk setiap anggotanya. Perbedaan-
perbedaan yang ada tersebut, akhirnya berdampak pada kebingungan yang
dialami oleh orang yang masuk ke lingkungan budaya yang baru. Dimana,
orang tersebut harus berperilaku sesuai dengan budaya yang ada di
lingkungannya yang baru. Padahal orang tersebut sudah terbiasa hidup
dengan budayanya yang lama. Hal ini tentunya akan mengganggu orang
tersebut untuk bisa menjalankan perannya dengan baik.
5) Tidak menyukai adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai atau norma,
sopan santun di daerah asal dengan di daerah baru.
Pada saat seseorang menyadari bahwa dirinya berada dalam
lingkungan budaya yang berbeda, akan mulai muncul respon respon
negatif dalam diri orang tersebut. Respon-respon negatif tersebut biasanya
muncul dalam bentuk perasaan tidak berdaya hingga stress (Santrock,
2002). Keadaan ini pada akhirnya membuat orang yang berada dalam
lingkungan yang baru akan merasa tidak nyaman karena merasa berbeda
dengan lingkungannya. Selain itu, kecenderungan orang yang
menggunakan budaya yang dimiliki sebagai suatu hal yang harus diikuti,
juga dapat memunculkan masalah. Dimana, ketika seseorang ada yang
13
tidak mengikuti, maka akan muncul ketidakharmonisan dalam hubungan
(Mulyana & Rakhmat, 2009). Hal ini dapat memunculkan perasaan marah
dan benci karena merasa budaya yang ada di lingkungannya yang baru
tidak sesuai dengan kebudayaan miliknya (Oberg, 1960)
6) Perasaan tidak berdaya yang disebabkan oleh ketidakmampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
Setiap budaya memiliki cara bahkan aturannya masing-masing dan
berbeda satu sama lain. Hal tersebut mempengaruhi cara orang dalam
bertindak, berkomunikasi dan merespon hal-hal yang dialami dalam hidup
Porter & Samovar (dalam Ansiga, 2012). Setiap budaya memiliki aturan
dan nilai tersendiri dalam bertindak dan mengatasi situasi-situasi yang sulit
dan menegangkan. Noesjirwan (dalam Ansiga, 2012) mengatakan bahwa
aturan dan nilai yang dimiliki suatu budaya, belum tentu cocok jika
digunakan dalam budaya yang lain.
Ansiga (2012), Wangka (2015), dan Widianto (2018) juga
menjadikan keenam symptom ini menjadi dasar untuk mengungkap gegar
budaya, yang selanjutnya digunakan dalam skala penelitianya untuk
mengungkap gegar budaya. Keenam symptom tersebut juga menjadi dasar
pada penelitian ini untuk mengungkap gegar budaya.
14
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Gegar Budaya
Parrillo (2008) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
Culture Shock yaitu :
1) Faktor Intrapersonal
Diantaranya keterampilan komunikasi, pengalaman dalam
setting lintas budaya, keterampilan komunikasi, kemandirian, toleransi
dan efikasi diri. Karakteristik fisik seperti penampilan, umur, kesehatan,
kemampuan sosialisasi juga mempengaruhi.
2) Variasi Budaya
Variasi budaya mempengaruhi transisi dari satu budaya ke budaya
lain. Gegar budaya terjadi lebih cepat jika budaya tersebut semakin
berbeda, hal ini meliputi sosial, perilaku, adat istiadat, agama, pendidikan,
norma dalam masyarakat dan bahasa.
3) Manifestasi Sosial Politik
Manifestasi sosial politik juga mempengaruhi gegar budaya.
Sikap dari masyarakat setempat dapat menimbulkan prasangka, streotype
dan intimidasi.
15
B. Efikasi Diri
1. Definisi Efikasi Diri
Menurut Bandura (1997) efikasi diri merupakan penilaian individu
terhadap kemampuan dirinya dalam melakukan suatu aktivitas atau kegiatan,
daripada kualitas individu seperti karakteristik fisik atau sifat psikologis.
Efikasi diri dalam hal akademik didefinisikan sebagai peniliaian diri sendiri
terhadap kemampuanya dalam mengatur dan melaksanakan tindakan untuk
mencapai performa pendidikan yang telah disyaratkan. Seseorang dengan
efikasi diri yang kuat cenderung untuk melakukan respon positif ketika berada
dalam situasi yang menantang daripada individu yang memiliki efikasi diri
rendah.
Teori lain mengenai efikasi diri juga dijelaskan oleh Gist (1987) yang
menyebutkan bahwa efikasi diri adalah suatu keyakinan seseorang terhadap
kemampuanya dalam melakukan berbagai aktifitas atau tugas. Setelah itu,
Bandura & Schunk (1981) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan penilaian
tentang seberapa baik seseorang tersebut dapat mengatur dan melaksanakan
tindakan yang diperlukan dalam menghadapi situasi yang ambigu, tak terduga,
dan seringkali penuh tekanan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
efikasi diri adalah keyakinan atau kemampuan diri seorang individu dalam
menghadapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Selain itu dapat
dikatakan juga bahwa efikasi diri merupakan kepercayaan terhadap
kemampuan dirinya untuk menjalankan suatu tugas. Orang yang memiliki
16
efikasi diri yang tinggi cenderung untuk sukses dalam mencapai tujuanya,
sedangkan orang yang memiliki efikasi diri rendah cenderung untuk
meminimalisasi kemungkinan kesuksesanya dalam mencapai sebuah tujuan.
2. Aspek-aspek Efikasi Diri
Bandura (1997) mengungkapkan bahwa efikasi diri terdiri dari 3
dimensi, yaitu:
1) Level/magnitude
Level atau magnitude yaitu sejauh mana individu dapat
menentukan tingkat kesulitan dalam pekerjaan yang mampu
dilaksanakannya, penilaian dari aspek ini dapat dilihat dari beberapa hal,
yaitu dengan melihat apakah individu dapat membuat target yang
menantang, yakin dapat melakukan pekerjaan dengan baik, sekalipun
pekerjaan tersebut dirasakan sulit, dan apakah individu tersebut
mengetahui minatnya dan kemampuannya sehingga dapat memilih
pekerjaan yang dirasakan sesuai.
2) Strength
Strength yaitu sejauh mana kekuatan dan keyakinan akan level
tersebut, apakah kuat atau lemah, yang dapat dilihat dari konsistensi
individu tersebut dalam mengerjakan tugasnya. Aspek ini dapat dilihat
melalui peningkatan usaha individu ketika menghadapi kegagalan,
keyakinan individu dalam melakukan tugas dengan baik, ketenangan
dalam menghadapi tugas yang sulit, dan komitmen dari individu tersebut
dalam pencapaian target.
17
3) Generality
Generality yaitu bagaimana seseorang mampu
menggeneralisasikan tugas-tugas dan pengalaman-pengalaman
sebelumnya ketika menghadapi suatu tugas atau pekerjaan, misalnya
apakah ia dapat menjadikan pengalaman atau menjadi suatu hambatan atau
bahkan diartikan sebagai kegagalan. Aspek ini dapat dinilai baik, jika
individu dapat yakin bahwa pengalaman terdahulu dapat membantu
pekerjaanya sekarang, mampu, menyikapi situasi yang berbeda dengan
baik, dan menjadikan pengalaman sebagai jalan menuju sukses.
18
C. Hubungan antara Efikasi Diri dan Gegar Budaya pada Mahasiswa
Rantau
Faktor intrapersonal dinilai turut memepengaruhi penyesuain diri seseorang
terhadap budaya yang baru. Faktor intrapersonal itu diantaranya keterampilan
komunikasi, kemandirian, toleransi dan efikasi diri yang dapat mempengaruhi
gegar budaya (Parillo, 2008). Dalam hal ini, efikasi diri yang menjadi salah satu
aspek intrapersonal yang ada pada diri seseorang dapat mempengaruhi perilaku
seseorang dalam respon timbulnya perilaku yang dihasilkan oleh mahasiswa rantau
khususnya dalam menghadapi situasi dimana dirinya menghadapi budaya baru.
Efikasi diri yang tinggi akan menekan terjadinya gegar budaya. Seperti
halnya keyakinan mampu memotivasi diri untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan. Sehingga seseorang yang memiliki efikasi diri postif cenderung
mampu bertahan dalam menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan. Sedangkan
efikasi diri yang rendah dapat menyebabkan tingkat gegar budaya meningkat.
Ketidakmampuan meyakini kemampuan diri dapat mendorong kegagalan dalam
menyesuaikan diri dengan budaya baru. Kegagalan dalam menyesuaikam dengan
budaya baru dapat disebabkan karena selalu membanding-bandingkan budaya asal
dengan budaya barunya, memiliki perasaan mudah tersinggung, menjadi lebih
sensitif, kurang percaya diri dan memiliki perasaan sedih, kesepian, hingga cemas.
Dalam proses adaptasi yang terjadi pada mahasiswa rantau, mereka
menemukan kebiasaan-kebiasaan baru yang berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan
sebelumnya. Ketika menjadi siswa SMA yang kebanyakan biasanya masih hidup
dengan orangtua dan dekat dengan keluarga yang bisa mendengar keluh kesah
19
kapanpun ketika mereka ingin sekedar curhat membicarakan permasalahanya,
membutuhkan perhatian hingga kepedulian, keluarga selalu ada untuk mendengar
dan membantu. Hal tersebut ketika sudah menentukan untuk merantau untuk
menimba ilmu, akan menjadi suatu hal yang jarang dilakukan karena adanya
keterbatasan jarak dan juga aktifitas yang menyibukkan di dalam dunia perkuliahan.
Selain itu, permasalahan yang akan dihadapai oleh mahasiswa ketika memutuskan
untuk merantau tidak hanya permasalahan yang hanya melibatkan dirinya dengan
kedekatan dengan keluarganya akan tetapi bagaimana ia beradaptasi dengan budaya
baru dimana ia memutuskan tempat untuk merantau yang tentunya memiliki
perbedaan nilai pada masing-masing budaya. Hal ini tentunya akan diikuti berupa
nilai dan norma bahkan bahasa yang berlaku di lingkungan Yogyakarta yang
tentunya berbeda dengan nilai dan norma dari daerah asalnya.
Peralihan karena adanya perbedaan kebiasaan yang dirasakan oleh
mahasiswa rantau yang sedang berkuliah di Yogyakarta dapat mempengaruhi setiap
perilaku yang dihasilkan berdasarkan respon yang diterima mahasiswa rantau
tersebut terhadap lingkungan barunya. Dalam hal ini, efikasi diri yang menjadi
salah satu aspek intarpersonal yang ada pada diri seseorang yang dapat
mempengaruhi perilaku seseorang dalam respon timbulnya perilaku yang
dihasilkan oleh mahasiswa rantau. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Bandura
(dalam Asmarani, 2017) bahwa efikasi diri merupakan rangkaian proses kognitif,
proses afektif, proses motivasi dan proses selektif menjadi satu kesatuan dalam diri
seseorang dalam menentukan sebuah tindakan berdasarkan situasi lingkungan
disekitarnya. Peran efikasi diri dalam hal ini mampu ditunjukan dengan adanya
20
keyakinan akan kemampuan diri mahasiswa rantau dalam beradaptasi, mampu
mempelajari tentang kebudayaan baru, mudah bersosialisasi dengan lingkungan
dan teman-teman di lingkungan baru serta dapat mengikuti dan menjalankan nilai-
nilai yang berlaku. Hal tersebut dapat mempermudah proses adaptasi mahasiswa
rantau untuk dapat meminimalisir terjadinya gegar budaya. Hal tersebut sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Maitimu (2018) yang menunjukan bahwa
mahasiswa rantau asal Maluku di Salatiga mampu meminimalisir adanya culture
shock yang mereka alami dengan self-efficacy yang mereka miliki.
Jadi didalam penelitian ini peneliti ingin menelusuri lebih lanjut tentang
bagaimana hubungan atau keterkaitan diantara keduanya yaitu variabel efikasi diri
dan gegar budaya yang terjadi pada mahasiswa rantau yang sedang berkuliah di
Yogyakarta khususnya.
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini adalah akan adanya korelasi negatif antara
efikasi diri dan gegar budaya, semakin tinggi tingkat efikasi diri yang dimiliki
mahasiswa rantau maka akan semakin rendah gegar budaya yang akan dialami oleh
mahasiswa rantau tersebut dan begitu juga sebaliknya, semakin rendah tingkat
efikasi diri yang dimiliki maka akan semakin tinggi tingkat gegar budaya yang
dialami oleh Mahasiswa Rantau.
Top Related