21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Pegawai Negeri Sipil (PNS)
1. Pengertian Pegawai Negeri Sipil (PNS)
a. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
Pegawai Negeri Sipil dalam Pasal 1 huruf a Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian adalah
mereka atau seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam
jabatan negeri atau disertai tugas-tugas negeri lainnya yang ditetapkan
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan serta digaji menurut
peraturan yang berlaku.1 Untuk membuktikan dirinya adalah seorang
Pegawai Negeri Sipil, maka orang tersebut harus memiliki Surat
Keputusan Kepegawaian, Surat Keputusan sendiri adalah surat yang
dikeluarkan oleh instansi atau organisasi yang dimiliki oleh pimpinan
yang tertinggi, yang berisi pernyataan memtuskan sesuatu hal ang
berhubungan dengan peraturan organisasi yang bersangkutan.2
Seiring dengan berjalannya waktu makna dan pengertian
Pegawai Negeri Sipil juga ikut berubah dengan adanya Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur
1 Bara, Pengertian Pegawai Negeri Sipil (PNS), http://tulisanterkini.com, diakses tanggal
25 November 2017 22.30
2 Cavin Martinus, Surat Keputusan (SK), http://www.smkdamosqu.com, diakses tanggal 25
November 2017 23.22
22
Sipil Negara berdasarkan pasal 1 huruf a Aparatur Sipil Negara yang
selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil
dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada
instansi pemerintah. Kemudian pasal 1 huruf b Pegawai Aparatur Sipil
Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri
sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat
oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu
jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2. Jenis Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian, Pegawai Negeri Sipil terdiri dari 3 jenis,
yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS), Anggota Tentara Nasional Indonesia
(TNI) dan Anggota Kepolisian Negera Republik Indonesia (POLRI).3
3. Pengertian Tentara Nasional Indonesia (TNI)
a. Berdasarkan etimologis
Berdasarkan sejarah Tentara Nasional Indonesia atau yang
biasa disebut TNI dibentuk melalui perjuangan bangsa Indonesia
untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dari
ancaman Belanda yang ingin kembali berkuasa menjajah Indonesia
melalui kekerasan senjata. TNI pada awalnya merupakan organisasi
yang bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kemudian pada
3 Nenggol, Pegawai Negeri Sipil: Pengertian dan Kedudukan, http://nenggol.com, diakses
tanggal 25 November 2017 23.39
23
tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR),
dan selanjutnya diubah kembali menjadi Tentara Republik Indonesia
(TRI).
Pada masa mempertahankan kemerdekaan ini, banyak rakyat
Indonesia membentuk laskar-laskar perjuangan sendiri atau badan
perjuangan rakyat. Usaha pemerintah Indonesia untuk
menyempurnakan tentara kebangsaan terus berjalan, sambil
bertempur dan berjuang untuk menegakkan kedaulatan dan
kemerdekaan bangsa. Untuk mempersatukan dua kekuatan
bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan
perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden
Soekarno mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI)
secara resmi.4
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan Desember
1949, Indonesia berubah menjadi negara federasi dengan nama
Republik Indonesia Serikat (RIS). Sejalan dengan itu maka dibentuk
pula Angkatan Perang RIS (APRIS) yang merupakan gabungan
antara TNI dan KNIL. Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS
dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi negera kesatuan,
sehingga APRIS berganti nama menjadi Angkatan Perang Republik
Indonesia (APRI).5
4 Ibid
5 Ibid
24
Pada tahun 1962, dilakukan upaya penyatuan antara angkatan
perang dengan kepolisian negara menjadi sebuah organisasi yang
bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Penyatuan satu komando ini dilakukan dengan tujuan untuk
mencapai tingkat efektivitas dan efisiensi dalam melaksanakan
perannya dan menjauhkan pengaruh dari kelompok politik tertentu.6
Pada tahun 1998 terjadi perubahan situasi politik di Indonesia.
Perubahan tersebut berpengaruh juga terhadap keberadaan ABRI.
Pada tanggal 1 April 1999 TNI dan Polri secara resmi dipisah
menjadi institusi yang berdiri sendiri. Sebutan ABRI sebagai tentara
dikembalikan menjadi TNI, sehingga Panglima ABRI menjadi
Panglima TNI.7
Bahwa berdasarkan Peraturan pemerintah no 32 tahun 1997
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1990 Tentang
Administrasi Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
jenjang pangkat pada TNI AD adalah sebagai berikut:
1. Pangkat Kehormatan
2. Perwira Tinggi
3. Perwira Menengah
4. Perwira Pertama
5. Bintara Tinggi
6. Bintara
6 Ibid
7 Ibid
25
7. Tamtama Kepala
8. Tamtama
Pada kasus ini debitur berpangkat Kopral Kepala yang dimana
termasuk dalam pangkat Tamtama Kepala.8
B. Tinjauan tentang Kredit
1. Pengertian Kredit
a. Berdasarkan Etimologis
Kata kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu credere yang
berarti kepercayaan akan kebenaran, dan apabila dihubungkan dengan
bank, maka terkandung pengertian bahwa pihak bank selaku kreditur
memberikan kepercayaan untuk meminjamkan sejumlah uang kepada
nasabah atau debitur, karena debitur dipercaya kemampuannya untuk
membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan.9
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de
contrahendo), sehingga perjanjian ini mendahului perjanjian hutang-
piutang (perjanjian pinjam-pengganti). Perjanjian kredit ini
merupakan perjanjian pokok serta bersifat konsensuil (pactade
contrahendo obligatoir) disertai adanya pemufakatan antara pemberi
dan penerima pinjaman mengenai hubungan hukum antara keduanya.
Perjanjian standar atau baku kredit dapat dibedakan menjadi 2
(dua) bagian, yaitu perjanjian induk (hoof contract) dan perjanjian
tambahan (hulp contract, algemeen voor warden). Perjanjian induk
8 Ibid
9 Gatot Supramono, 1996, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis,
Jakarta, Djambatan, hal 44
26
mengatur tentang hal-hal pokok dan perjanjian tambahan menguraikan
apa yang terdapat dalam perjanjian induk.10
b. Menurut para Ahli
Para ahli berpendapat mengenai kredit ialah sebagai berikut:
1) Drs. OP. Simorangkir
Kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang)
dengan balas prestasi (kontraprestasi) yang akan terjadi pada waktu
yang akan datang. Kehidupan ekonomi modern adalah prestasi
uangm yang dengan demikian transaksi kredit menyangkut uang
sebagai alat kredit. Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi
kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dan debitur.
Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung risiko.
Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen
kepercayaan, risiko dan pertukuran ekonomi di masa-masa
mendatang.11
10 Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, Bandung, Citra Aditya, hal
36
11 OP. Simorangkir, 1986, Etika Bisnis, Jakarta, Aksara Persada Press, hal 91
27
2) R. Subekti
Kredit berarti kepercayaan. Seorang nasabah yang mendapat
kredit dari bank memang adalah orang yang mendapatkan
kepercayaan dari bank.12
3) Muchdarsyah Sinungan
Kredit adalah uang bank yang dipinjamkan kepada nasabah
dan akan dikembalikan pada suatu waktu tertentu di masa
mendatang disertai dengan suatu kontraprestasi berupa bunga.13
4) Mariam Darus Badrulzaman
Secara umum kredit diartikan sebagai “The ability to borrow
on the opinion conceived by the lender that we will be repaid”.14
c. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
Dalam pengertian yang lebih luas, kredit dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk melaksanakan suatu pemberian atau mengadakan
suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan
pada jangka waktu yang telah disepakati. Mengenai istilah kredit Pasal
1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan menjelaskan “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
12 R. Subekti, 1991, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramita, hal 1
13 Muchdarsyah Sinungan, 1993, Manajemen Dana Bank, Jakarta, Bumi Aksara, hal 212
14 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal 23
28
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga.”15
Berdasarkan pengertian kredit di atas, maka intisari pengertian
kredit menurut penulis adalah adanya unsur kepercayaan serta
pertimbangan untuk saling tolong-menolong. Selain itu, dilihat dari
pihak kreditur, unsur penting dalam kegiatan kredit sekarang ini
adalah untuk mengambil keuntungan dari modal dengan mengambil
kontraprestasi, sedangkan dipandang dari segi debitur, adanya bantuan
dari kreditur untuk menutupi kebutuhan berupa prestasi. Hanya saja
antara prestasi dan kontraprestasi terdapat suatu masa yang
memisahkannya dan kondisi semacam ini mengakibatkan adanya
risiko berupa ketidaktentuan, sehingga diperlukan suatu jaminan
dalam pemberian kredit tersebut.16
d. Dasar Hukum Terkait Pemberian Kredit
1) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya. Ketentuan pasal memiliki konsekuensi sebagai Undang-
Undang Bagi para Pihaknya. Sama halnya dengan kredit bank yang
diawali oleh satu perjanjian yang sering disebut dengan perjanjian
kredit dan umumnya dilakukan dalam bentuk tertulis sebagai dasar
15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan
16 Ibid, hal 24-27
29
hukum bagi kedua belah pihak yang melakukan tindakan hukum
berupa perjanjian (kredit).
Adapun Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan adalah undang-undang yang khusus mengatur tentang
perbankan.
Penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-undang No. 10 tahun 1998
tentang Perbankan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 Tentang Perbankan mengatur ketentuan pokok kepada bank
yang memberikan kredit kepada masyarakat atau nasabahnya.
Ketentuan ini merupakan pedoman perkreditan yang wajib dimiliki
dan diterapkan oleh bank dalam memberikan kredit yaitu:17
a) Pemberian kredit dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.
b) Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
nasabah debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian seksama
terhatap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha
nasabah debitur.
c) Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur
pemberian kredit.
d) Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai
prosedur dan persyaratan kredit.
17 Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
30
e) Larangan bank untuk memberikan kredit dengan persyaratan yang
berbeda kepada Nasabah Debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi.
f) Penyelesaian sengketa.
2) Menurut Surat Edaran Direksi BRI NOSE: S.12-
DIR/ADK/05/2013 tanggal 29 Mei 2015 tentang Restrukturisasi
Kredit BRIGUNA
Pemberian Kredit oleh Bank BRI dalam hal Surat Keputusan
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS/TNI/POLRI) dijadikan
agunan diatur sendiri dengan nama kedit BRIGUNA yang terdapat
pada Surat Edaran Direksi BRI NOSE: S.12-DIR/ADK/05/2013
tanggal 29 Mei 2015 tentang Restrukturisasi Kredit BRIGUNA. Dasar
hukum ini dikhususkan hanya kepada pemilik Surat Keputusan
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS/TNI/POLRI) maka selain
kredit dengan agunan tersebut diatur dalam peraturan yang berbeda.18
C. Tinjauan 5C sebagai Prinsip pemberian Kredit
1. Prinsip pemberian Kredit
a. Pengertian 5C
Pada dasarnya, adanya prinsip 5C ini ada untuk dengan harapan
sebagai bahan referensi terutama bagi para analisis kredit perbankan.
Karena bank tentu tidak mau asal memberikan kredit mereka kepada
nasabah.
18 Surat Edaran Direksi BRI NOSE: S.12-DIR/ADK/05/2013 tanggal 29 Mei 2015 tentang
Restrukturisasi Kredit BRIGUNA
31
Nasabah yang memenuhi kriteria 5C adalah nasabah yang
sempurna untuk mendapatkan pembiayaan mereka. Bank menilai
calon nasabah yang mempunyai karakter kuat, yang memiliki
kemampuan mengembalikan uang, jaminan yang berharga, modal
yang kuat dan kondisi perekonomian yang aman. Nasabah yang
memilki kriteria seperti yang dijelaskan diatas adalah nasabah
potensial untuk diajak bekerja sama atau orang yang layak
mendapatkan penyaluran kredit. Singkatnya nasabah yang bisa
memenuhi prinsip 5C yang baik adalah manusia yang ideal.19
5C pada hakikatnya adalah akronim dari Character, Capacity,
Capital, Condition, Collateral. Berikut beberapa prinsip-prinsip
penilaian kredit yang sering dilakukan yaitu dengan analisis 5C, yang
dijelaskan dengan:
a) Character
Yaitu sifat atau watak calon nasabah merupakan salah satu
pertimbangan yang penting dalam memutuskan pemberian kredit.
Bank sebagai pemberi kredit harus yakin bahwa calon peminjam
termasuk orang yang bertingkah laku baik, dalam arti selalu
memegang teguh janjinya, selalu berusaha, dan bersedia melunasi
utangnya pada waktu yang ditetapkan. Calon peminjam harus
mempunyai reputasi yang baik.20 Untuk memperoleh gambaran
19 Ibid
20 Rahmat Firdaus, Maya, Ariyanti, 2008, Manajemen Perkreditan Bank Umum: Teori,
Masalah, Kebijakan dan Aplikasinya Lengkap dengan Analisis Kredit, Bandung, ALFABETA, hal
81
32
tentang karakter dari calon nasabah dapat dilakukan dengan cara
antara lain:21
1) Meneliti riwayat hidup calon nasabah;
2) Meneliti reputasi calon nasabah di lingkungan usahanya;
3) Meminta bank to bank information;
4) Mencari informasi kepada asosiasi-asosiasi usaha dimana calon
nasabah berada;
5) Mencari informasi apakah calon nasabah suka berjudi dan
6) Mencari informasi apakah calon nasabah memiliki hobi
berfoya-foya.
b) Capacity
Pihak bank harus mengetahui kemampuan calon nasabah
dalam membayar kredit dihubungkan dengan kemampuannya
mengelola bisnis serta kemampuannya mencari laba sehingga pada
akhirnya akan terlihat kemampuannya dalam mengembalikan
kredit yang disalurkan. Calon debitur dikatakan mampu membayar
fasilitas kreditnya kelak, apabila dalam laporan keuangan hasil
analisis dari penghasilan yang dikurangi pengeluaran bulanan
diketahui adanya kelebihan dari penghasilan calon debitur bagi
pembayaran. Jumlah tersebut adalah batas maksimal dalam
memiliki utang. Sementara batasan aman maksimal bank dalam
menilai layak atau tidaknya rasio kredit seseorang adalah kurang
21 Veithzal Rivai dan Andria Permata, 2006, Credit Management Handbook, Jakarta, PT.
Jaya Grafindo Persada, hal 290
33
dari 30% dari penghasilannya. Semakin besar rasio kreditnya maka
semakin kecil pengajuan kredit disetujui oleh bank.22
Untuk mengetahui sampai dimana capacity calon nasabah,
bank dapat memperolehnya dengan berbagai cara, misalnya
terhadap nasabah lama yang sudah dikenalnya, tentu tinggal
melihat dokumen-dokumen, berkas-berkas, arsip dan catatan yang
ada tentang pengalaman-pengalaman kredit yang telah dilakukan.
Sementara dalam menghadapi calon nasabah baru yaitu dengan
melihat riwayat hidup (biodata) termasuk pendidikan, kursus-
kursus dan latihan yang pernah diikuti dan pengalam kerja di
masalalu. Serta melihat pada pembukuan atau laporan keuangan
dari calon nasabah tersebut.23
c) Capital
Adalah jumlah dana atau modal yang dimiliki oleh calon
nasabah. Semakin besar modal sendiri dalam perusahaan, tentu
semakin tinggi kesanggupan calon nasabah dalam menjalankan
usahanya dan bank akan merasa lebih yakin dalam memberikan
kredit. Modal yang dimiliki calon debitur diukur dari laporan
keuangan calon debitur, laporan, laporan keuangan tersebut berisi
penghasilan debitur dikurangi biaya hidup perbulan. Penilaian atas
besarnya modal sendiri merupakan hal yang penting mengingat
22 Edi Putra Tje’aman, 1994, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Yogyakarta,
Liberty, hal 23
23 Farah Adiba, 2018, Analisis Yuridis Legal Risk Dalam Transaksi Pembiayaan pada PT.
BPRS, Fakultas Hukum, UMM, hal 34
34
kredit bank hanya sebagai tambahan pembiayaan dan bukan untuk
membiayai seluruh modal yang diperlukan. Modal sendiri juga
diperlukan bank sebagai alat kesanggupan dan tanggung jawab
nasabah dalam menjalankan usahanya.24 Capital ditentukan dari
besarnya modal pengusaha yang telah digunakan sebelum
pembiayaan, semakin besar modal ynag digunakan maka semakin
yakin pula bank dalam memberikan pembiayaan.25
d) Collateral
Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang
bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi
jumlah kredit yang diberikan. Collateral tersebut harus dinilai oleh
bank untuk mengetahui sejauh mana resiko kewajiban financial
nasabah terhadab bank. Penilaian terhadap jaminan ini, meliputi
jenis lokasi, bukti pemilikan, dan status hukumnya. Penilaian
terhadap Collateral ini dapat ditinjau dari dua segi sebagai berikut:
1) Segi ekonomis, yaitu ekonomis dari barang-barang yang akan
diagunkan
2) Segi yuridis, yaitu apakah jaminan tersebut memenuhi syarat-
syarat yuridis untuk dipakai sebagai jaminan. Agunan yang
dianggap paling aman adalah agunan setara uang tunai, yaitu
setoran jaminan giro, tabungan, atau deposito pada bank yang
24 Veithzal Rivai dan Andria Permata, Op.Cit, hal 290
25 Farah Adiba, Op.cit, hal 35
35
mempunyai pinjaman. Sedangkan agunan yang paling umum
diserahkan debitur adlah tanah dan bangunan.26
e) Condition of Economy
Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi
sekarang dan masa yang akan datang sesuai sektor ekonomi
masing-masing. Apakah usaha dari calon nasabah tersebut bisa
bertahan apabila terkena dampak dari inflasi yang tidak dapat
dihindarkan oleh semua sektor ekonomi. Pengambilan keputusan
yang baik harus dilakukan secara cermat dalam melakukan
penilaian kredit seditail mungkin untuk mencegah hal-hal yang
tidak diinginkan. Untuk mendapat gambaran mengenai kondisi
ekonomi perlu diadakan penelitian mengenai hal-hal antara lain:
1) Peraturan-peraturan pemerintah;
2) Situasi politik dan perekonomian dunia;
3) Keadaan lain yang mempengaruhi pemasaran.27
D. Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit
1. Sebab Terjadinya Wanprestasi
Setiap perjanjian kredit tidak menutup kemungkinan adanya
wanprestasi (kredit macet) baik pembayaran kredit tersebut melalui pihak
ketiga atau tidak karena meskipun sumber pengembalian Briguna berasal
dari fixed income, namun dalam pemberian fasilitas Briguna tetap
26 Ferry N Idroes dan Sugiarto, 2006, Manajemen resiko perbankan: Dalam Konteks
Kesepakatan Basel dan Peraturan Bank Indonesia, Yogyakarta, Graha Ilmu, hal 98
27 Farah Adiba, Op.cit, hal 36
36
mengandung risiko tidak dipenuhinya kewajiban pembayaran angsuran
debitur. Hal tersebut dapat disebabkan oleh:
a) Instansi/perusahaan tempat debitur bekerja (instansi/perusahaan
bermasalah, kinerja menurun, bangkrut/tutup, dll);
b) Karakter debitur yang bersangkutan;
c) Kendala non teknis dari Pemotong Gaji/Uang Pensiun yang Ditunjuk
(pemakaian angsuran BRIGUNA untuk kepentingan pribadi,
melarikan diri, dll).
d) Angsuran tidak tepat waktu;
e) Jumlah angsuran tidak sesuai dengan jumlah kewajiban;
f) Pemotong Gaji/Uang Pensiun sulit ditemui/sering menghindar;
g) Terdapat gejala konflik antara perusahaan dengan pegawai;
h) Adanya penurunan gaji/uang pensiun;
i) Adanya pengurangan hari/jam kerja;
j) Adanya PHK/program pensiun dipercepat, dll.
2. Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit
Bila seseorang dinyatakan wanprestasi maka ada beberapa akibat hukum yang
muncul yaitu:
a) Debitur diharuskan membayar ganti rugi.
Dasar hukumnya Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer), berbunyi:
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya
suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah
dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat
37
diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu
yang telah ditentukan.”28
b) Kreditur dapat minta pembatalan perjanjian melalui pengadilan.
Dasar hukumnya Pasal 1266 KUHPer, berbunyi:
“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang
timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi
hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal
mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam
persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan,
maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat,
leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi
kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu
bulan.”29
c) Kreditur dapat minta pemenuhan perjanjian, atau pemenuhan
perjanjian disertai ganti rugi dan pembatalan perjanjian dengan ganti
rugi.
Dasar hukumnya Pasal 1267 KUHPerdata, berbunyi:
“Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih;
memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu
masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan,
dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.”30
E. Tinjauan Umum tentang Lembaga Jaminan
1. Pengertian Lembaga Jaminan
a. Berdasarkan etimologis
Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah
security of law, zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten. Jaminan
adalah segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur,
28 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
29 Ibid
30 Ibid
38
baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk
perikatan-perikatan perorangan debitur itu.31
b. Menurut para Ahli
Menurut J. Satrio dalam bukunya Perkembangan Hukum
Jaminan di Indonesia, hukum jaminan diartikan sebagai: “Peraturan
hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang
kreditur terhadap seorang debitur”.32 Salim HS dalam bukunya
“Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia” juga mengartikan
hukum jaminan sebagai berikut: “Keseluruhan dari kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima
jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk
mendapatkan fasilitas kredit”.33
Berdasarkan kedua definisi mengenai hukum jaminan tersebut,
maka unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian hukum jaminan
adalah :
1) Adanya Kaidah Hukum
Kaidah hukum dalam bidang jaminan, dapat dibedakan menjadi 2
(dua) macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis berupa
peraturan perundang-undangan, traktat dan yurisprudensi serta
31 Kitab Undang–Undang Hukum Perdata
32 J. Satrio, 2007, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Jakarta, Citra Aditya Bakti,
hal 3
33 H. Salim HS, 2005, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, hal 6
39
kaidah hukum jaminan tidak tertulis berupa kaidah hukum yang
tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat.34
2) Adanya Pemberi dan Penerima Jaminan
Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang
menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Yang
bertindak sebagai pemberi jaminan adalah orang atau badan hukum
yang membutuhkan fasilitas kredit dan lazim disebut sebagai
debitur.
Sedangkan penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang
menerima barang jaminan dari pemberi jaminan dan yang bertindak
sebagai penerima jaminan ini adalah orang atau badan hukum atau
biasanya pihak bank yang sering disebut sebagai kreditur.35
3) Adanya Jaminan
Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepda kreditur adalah
jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan
jaminan yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas
benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan immaterril
merupakan jaminan perorangan.
4) Adanya Fasilitas Kredit
Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan
bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau
lembaga keuangan non bank.
34 Ibid
35 Ibid
40
Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan
kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan non bank
percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok
pinjaman dan bunganya.36
c. Asas-Asas Hukum Jaminan
Menurut H. Salim HS, terdapat 5 (lima) asas-asas hukum
jaminan, yaitu:
1) Asas Publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan,
hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini
dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda
jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan.
Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten atau Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di Kantor
Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut
dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama,
yaitu syahbandar;
2) Asas Specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan
hipotek hanya dapat dibebankan atas barang-barang yang sudah
terdaftar atas nama orang tertentu;
3) Asas Tak Dapat Dibagi-bagi, yaitu asas yang dapat dibaginya
hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak
36 Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta, Sinar Grafika, hal 2
41
tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun telah
dilakukan pembayaran sebagian;
4) Asas Inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) berada pada
penerima gadai;
5) Asas Horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu
kesatuan.
Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah
Negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dari yang
bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang
lain, berdasarkan hak pakai.37
d. Objek Kajian Lembaga Jaminan
Objek kajian merupakan sasaran di dalam penyelidikan atau
pengkajian hukum jaminan. Objek tersebut dibagi menjadi 2 macam,
yaitu objek materiil dan objek forma. Objek materiil hukum jaminan
adalah manusia. Objek forma, yaitu sudut pandang tertentu terhadap
objek materiilnya. Jadi objek forma hukum jaminan adalah bagaimana
subjek hukum dapat membebankan jaminannya pada lembaga
perbankan atau lembaga keuangan nonbank. Ruang lingkup kajian
hukum jaminan meliputi jaminan umum dan jaminan khusus.
Jaminan khusus dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1) Jaminan perorangan
37 H. Salim HS, Op.cit, hal 9-10
42
Hak jaminan perorangan timbul dari perjanjian jaminan antara
kreditur (bank) dan pihak ketiga. Perjanjian jaminan perorangan
merupakan hak relatif, yaitu hak yang hanya dapat dipertahankan
terhadap orang tertentu yang terikat dalam perjanjian.38
2) Jaminan kebendaan
Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak (absolut) atas suatu
benda tertentu yang menjadi objek jaminan suatu hutang, yang
suatu waktu dapat diuangkan bagi pelunasan hutang debitur apabila
terjadi kredit macet. Dengan mempunyai berbagai kelebihan, yaitu
sifat-sifat yang dimilikinya, antara lain sifat absolut dimana setiap
orang harus menghormati hak tersebut, sehingga dalam praktek
lebih disukai pihak kreditur daripada jaminan perorangan.39
Menurut sifatnya, jaminan kebendaan dibagi menjadi dua, yaitu :
a) Jaminan dengan benda berwujud (materiil)
Benda berwujud dapat berupa benda/barang bergerak dan atau
benda/barang tidak bergerak. Yang termasuk dalam jaminan
benda bergerak meliputi: gadai dan fidusia, sedangkan jaminan
benda tidak bergerak meliputi: hak tanggungan, fidusia,
khususnya rumah susun, hipotek kapal laut dan pesawat udara.
b) Jaminan dengan benda tidak berwujud (imateriil)
38 Djuhaendah Hasan dan Salmidjas Salam, 2000, Aspek Hukum Hak Jaminan Perorangan
dan Kebendaan, Jakarta, hal 210
39 Ibid, hal 214
43
Benda/barang tidak berwujud yang lazim diterima oleh bank
sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih debitur terhadap
pihak ketiga.40
e. Jenis Jaminan
Jenis jaminan ini dapat juga diartikan sebagai penggolongan
jaminan berdasar pembentuknya yaitu berdasarkan undang-undang
dan perjanjian, yakni :
1) Jaminan yang berasal dari Undang-Undang
Jaminan ini dapat dilihat dari pasal 1131 KUHPerdata, yang
menyatakan bahwa “Segala barang-barang bergerak dan tak
bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan
ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur
itu.” Dalam eksekusi benda jaminan berdasarkan pasal ini maka
yang perlu diperhatikan Kedudukan-kedudukan kreditur. Kreditur
konkuren (kreditur bersama) dijelaskan pada pasal 1132 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, kreditur prevelege yang
dijelaskan pada pasal 1134, dan kreditur preferen pada pasal
1139.41
Dengan prinsip ini eksekusi atas jaminan hanya diperbolehkan
melalui proses pradilan.
2) Jaminan yang berasal dari perjanjian
40 Ibid, hal 214
41 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.Cit
44
Hipotik, gadai, fidusia, penanggungan (borgtocht), perjanjian
garansi, perutangan tanggung menanggung, dan masih banyak lagi
jenis-jenis ini. Karena dalam perkembangan hukum perjanjian
banyak jenis jaminan yang muncul sebagaimana kita ketahui bahwa
keberadaan perjanjian sebagai perumusan kehendak masing-masing
pihak dapat memunculkan jenis-jenis jaminan lain.42
f. Lembaga Jaminan
Jaminan (anggunan) pada perjanjian kredit atau pembiayaan di
bank melalui lembaga jaminan dapat dilakukan melalui gadai, hipotik,
hak tanggungan, dan fidusia. Adapun uraian mengenai masing-masing
bentuk lembaga jaminan adalah sebagai berikut:
a) Gadai
Definisi gadai secara umum diatur dalam Pasal 1150 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu “Gadai
adalah suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang
bergerak yang bertumbuh maupun tidak bertumbuh yang diberikan
kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk
menjamin suatu hutang, dan yang akan memberikan kewenangan
kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut
lebih dahulu daripada kreditur-kreditur lainnya terkecuali biaya
biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
42 Ibid
45
dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana yang
harus didahulukan.”43
Gadai merupakan lembaga jaminan yang digunakan untuk
mengikat jaminan utang yang berupa barang-barang bergerak
antara lain berupa barang-barang perhiasan (misalnya kalung emas
dan gelang emas), surat berharga dan surat yang mempunyai harga
(misalnya saham dan sertifikat deposito), mesin-mesin yang tidak
terpasang secara tetap di tanah atau bangunan (misalnya genset),
dan sebagainya. Lembaga jaminan yang disebut Gadai diatur oleh
ketentuan pasal 1150 sampai dengan pasal 1160 KUH Perdata.44
b) Hipotik
Hipotik dianut dari kata Hypotheca berasal dari bahasa latin
dan hypotheek dari bahasa Belanda yang mempunyai arti
“Pembebanan”. Hipotik diatur dalam KUH Perdata buku II Bab XII
pasal 1162 sampai dengan pasal 1232. Dengan berlakunya Undang-
undang No 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok agrarian
(UUPA) yang dimulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960
buku II KUH Perdata telah dicabut sepanjang mengenai bumi, air
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hipotik.45
43 Ibid
44 Fatma Sari, Lembaga Jaminan, https://fatmasari713.wordpress.com, diakses tanggal 22
April 2018 22.22
45 Fitri Lestari, Hukum Jaminan Hipotik, https://fitrilestariindonesia.wordpress.com,
diakses tanggal 22 April 2018 22.43
46
Pengertian hipotik tercantum dalam Pasal 1162 KUH
Perdata. Hipotik adalah: “Suatu hak kebendaan atas benda-benda
tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi
pelunasan bagi suatu perikatan.”46
c) Fidusia
Mempunyai arti penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan
sebagai jaminan. Timbulnya fidusia karena adanya inbezitstelling
dalam gadai kurang memenuhi kebutuhan masyarakat yang akan
mencari modal pinjaman, di mana benda jaminan tersebut masih
diperlukan dalam menjalankan usahanya.
Di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, obyek jaminan fidusia diberikan pengertian yang
luas, yaitu benda bergerak berwujud maupun yang tidak berwujud
dan benda bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak
tanggungan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Sebelum Undang-Undang tentang jaminan fidusia ini
dibentuk, pada umumnya benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia adalah benda bergerak yang terdiri atas benda dalam
persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin
dan kendaraan bermotor.47
46 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.Cit, pasal 1162
47 Rahmadi Halim, 2008, Pelaksanaan Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat
Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil, Semarang, Universitas Diponegoro Semarang, hal
29
47
d) Hak tanggungan
Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan
adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang utamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditorkreditor yang lain. Dengan di undangkannya Undang-
Undang Hak Tanggungan (UUHT) maka ketentuan-ketentuan
tentang hak jaminan atas tanah, yang berlaku sebelumnya, terutama
ketentuan-ketentuan tentang eksekusi hipotik, sepanjang yang
sudah diatur dalam UUHT.48
F. Tinjauan Umum tentang Asuransi
1. Pengertian Asuransi
a. Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
Asuransi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian terdapat dalam Pasal 1 ayat
(1) yang menyebutkan “Asuransi atau Pertanggungan adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima
48 Ibid, hal 30
48
premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.”
Pasal 246 Kitab Undang Undang Perniagaan atau Wetboek van
Koopenhandel, yang menentukan bahwa asuransi pada umumnya
adalah “suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji
kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi
sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang
dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan
terjadi.” 49
2. Pengertian Asuransi pada pemberian kredit
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian tidak menyebutkan asuransi kredit, mengenai
asuransi kredit disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan
189/pmk.05/2010 pada pasal 1 ayat (2) bahwa: Asuransi Kredit adalah
lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan pemenuhan
49 Wirjono Prodjodikoro, 1986, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta, PT Intermasa, hal 1
49
kewajiban finansial penerima kredit apabila penerima kredit tidak
mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit.50
G. Tinjauan Umum tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
a. Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
Pada tanggal 14 Januari 2014, pemerintah mengesahkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
(selanjutnya disebut UU 5/2014). Ketentuan tersebut mencabut
berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian.51
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil adalah pemberhentian
yang mengakibatkan yang bersangkutan kehilangan statusnya sebagai
Pegawai Negeri Sipil.
b. Jenis-Jenis Pemberhentian Sebagai Pegawai Negeri Sipil
Salah satu hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini adalah masalah
pemberhentian dan pemberhentian sementara PNS. Hal tersebut diatur
dalam Bab 8 tentang Manajemen ASN (Aparatur Sipil Negara), yaitu
50 Ibid
51 Ibid
50
Pasal 87 dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara.
Dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara menyebutkan bahwa:
(1) PNS diberhentikan dengan hormat karena:
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri;
c. mencapai batas usia pensiun;
d. perampingan organisasi atau kebijakan;
e. pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau
f. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat
menjalankan tugas dan kewajiban.
(2) PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan
karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana.
(3) PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
karena melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat.
(4) PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena:
a. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana
kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau
pidana umum;
c. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau
d. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
pidana yang dilakukan dengan berencana.52
Sedangkan yang dimaksud dengan Pemberhentian sementara
pada pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara yakni:
(1) PNS diberhentikan sementara, apabila:
52 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
51
a. diangkat menjadi pejabat negara;
b. diangkat menjadi komisioner atau anggota
c. lembaga nonstruktural; atau
d. ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.53
Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil terdiri atas
pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil menerima hak-hak Kepegawaiannya
berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku antara lain
hak atas pensiun. Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan tidak
dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, kehilangan hak-hak
Kepegawaiannya antara lain hak pensiun.54
c. Hak Pensiun
Hak-hak yang diterima oleh Pegawai Negeri Sipil yang
diberhentikan dengan hormat sesuai dengan Undang-Undang
Republik Indonesia 11 Tahun 1969 Tentang Pensiun Pegawai Dan
Pensiun Janda/Duda Pegawai.
Hak pensiun dalam Pasal 16 Undang-Undang Republik
Indonesia 11 Tahun 1969 Tentang Pensiun Pegawai Dan Pensiun
Janda/Duda Pegawai menyebutkan:
Hak atas pensiun Janda/duda.
(1) Apabila Pegawai Negeri atau penerima pensiun-pegawai
meninggal dunia, maka isteri (istri-istri)-nya untuk pegawai
53 Ibid
54 Ibid
52
Negeri pria atau suaminya untuk Pegawai Negeri Wanita,
yang sebelumnya telah terdaftar-pada kantor Urusan
Pegawai, berhak menerima pensiun-janda atau pensiun-duda.
(2) Apabila Pegawai Negeri atau penerima pensiun-pegawai
yang beristeri/bersuami meninggal dunia, sedangkan tidak
ada istri/suami yang terdaftar sebagai yang berhak menerima
pensiun-janda/duda, maka dengan menyimpang dari
ketentuan pada ayat (1) pasal ini, pensiun-janda/duda
diberikan kepada istri/suami yang ada pada waktu ia
meninggal dunia. Dalam hal Pegawai Negeri atau penerima
pensiun-pegawai pria termaksud diatas beristri lebih dari
seorang, maka pensiun-janda diberikan kepada istri yang ada
waktu itu paling lama dan tidak terputus-putus dinikahnya.55
Pada Pasal 17 Undang-Undang Republik Indonesia 11 Tahun
1969 Tentang Pensiun Pegawai Dan Pensiun Janda/Duda Pegawai
Besarnya pensiun-janda/duda adalah:
(1) Besarnya pensiun-janda/duda sebulan adalah 36% (tiga puluh
enam persen) dari dasar-pensiun, dengan ketentuan bahwa
apabila terdapat lebih dari seorang istri yang berhak
menerima pensiun-janda, maka besarnya bagian pensiun-
janda untuk masing-masing istri, adalah 36% (tiga puluh
enam perseratus) dibagi rata antara istri-istri itu.
(2) Jumlah 36% (tiga puluh enam perseratus) dari dasar pensiun
termaksud ayat (1) pasal ini tidak boleh kurang dari 75%
(tujuh puluh lima perseratus) dari gaji-pokok terendah
menurut Peraturan Pemerintah tentang gaji dan pangkat
Pegawai Negeri yang berlaku bagi almarhum suami/istrinya.
(3) Apabila Pegawai Negeri tewas, maka besarya pensiun-
janda/duda adalah 72% (tujuh puluh dua perseratus) dari
dasar-pensiun, dengan ketentuan bahwa apabila terdapat lebih
dari seorang isteri yang berhak menerima pensiun-janda
maka besarnya bagian pensiun-janda untuk masing-masing
isteri adalah 72% (tujuh puluh dua perseratus) dibagi rata
antara isteri-isteri itu.
(4) Jumlah 72% (tujuh puluh dua perseratus) dari dasar pensiun
termaksud ayat (3) pasal ini tidak boleh kurang dari gaji-
pokok terendah menurut Peraturan Pemerintah tentang gaji
dan pangkat Pegawai Negeri yang berlaku bagi almarhum
suami/isterinya.56
55 Undang-Undang Republik Indonesia 11 Tahun 1969 Tentang Pensiun Pegawai Dan
Pensiun Janda/Duda Pegawai
56 Ibid
53
Lalu dalam Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia 11
Tahun 1969 Tentang Pensiun Pegawai Dan Pensiun Janda/Duda
Pegawai yaitu:
(1) Apabila Pegawai Negeri atau penerima pensiun-pegawai
meninggal dunia, sedangkan ia tidak mempunyai isteri/suami
lagi yang berhak untuk menerima pensiun-janda/duda atau
bagian pensiun-janda termaksud pasal 17 Undang-undang ini
maka:
a. pensiun-janda diberikan kepada anak/anak-anaknya,
apabila hanya terdapat satu golongan anak yang seayah-
seibu.
b. satu bagian pensiun-janda diberikan kepada masing-
masing golongan anak yang seayah-seibu.
c. pensiun-duda diberikan kepada anak (anak-anaknya).
(2) Apabila pegawai negeri pria atau penerima pensiun-pegawai
pria meninggal dunia, sedangkan ia mempunyai isteri (isteri-
isteri) yang berhak menerima pensiun janda bagian pensiun
janda di samping anak (anak-anak) dari isteri (isteri-isteri)
yang telah meninggal dunia atau telah cerai, maka bagian
pensiun-janda diberikan kepada masing-masing isteri dan
golongan anak (anak-anak) seayah-seibu termaksud.
(3) Kepada anak (anak-anak) yang ibu dan ayahnya
berkedudukan sebagai pegawai negeri dan kedua-duanya
meninggal dunia, diberikan satu pensiun-janda, bagian
pensiun-janda atau pensiun-duda atas dasar yang lebih
menguntungkan.
(4) Anak (anak-anak) yang berhak menerima pensiun-janda atau
bagian pensiun-janda menurut ketentuan-ketentuan ayat (1)
atau ayat (2) pasal ini, ialah anak (anak-anak) yang pada
waktu pegawai atau penerima pensiun-pegawai meninggal
dunia:
a. belum mencapai usia 25 tahun, atau
b. tidak mempunyai penghasilan sendiri, atau
c. belum nikah atau belum pernah nikah.57
57 Ibid
54
H. Tinjauan Umum tentang Penyelesaian Sengketa Perjanjian Kredit
1. Pengertian Penyelesaian Sengketa Perjanjian Kredit
Menurut Chomzah (2003:14), sengketa adalah pertentangan antara dua
pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu
kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi
keduanya.58
Menurut Amriani (2012:12), sengketa adalah suatu situasi dimana ada
pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak
tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika
situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang
dinamakan dengan sengketa.
Menurut Rahmadi (2011:1), konflik atau sengketa merupakan situasi dan
kondisi di mana orang-orang saling mengalami perselisihan yang bersifat
faktual maupun perselisihan-perselisihan yang ada pada persepsi mereka
saja.59
2. Jenis-jenis Penyelesaian Sengketa Perjanjian Kredit
Adapun jenis-jenis penyelesaian sengketa perjanjian kredit diantaranya
adalah:
a. Litigasi
Litigasi adalah penyelesaian sengketa atau perkara melalui jalur
pengadilan dan sebaliknya non litigasi adalah penyelesaian sengketa
atau perkara diluar pengadilan dengan cara penyelesaian sengketa
58 Muchlisin Riadi, Pengertian, Jenis, Penyebab dan Penyelesaian Sengketa,
https://www.kajianpustaka.com, diakses tanggal 28 Oktober 2019 20.16
59 Ibid
55
alternatif. Sengketa hukum yang akan diselesaikan melalui upaya
hukum (recht midellen) proses litigasi di pengadilan dalam rangka
mempertahankan suatu hak disebut perkara.60
b. Non-Litigasi
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak, yaitu penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Terdapat dalam Pasal 1 Ayat
(10) Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.61
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
Cara penyelesaian sengketa menurut dalam Pasal 6 Undang-
Undang No 30 Tahun 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesain
Sengketa yaitu Sengketa atau beda pendapat perdata dapat
diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa
yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di pengadialan negeri.
Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif
penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh
para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan
60 Portal Hukum Indonesia, Litigasi dan Non Litigasi, https://suduthukum.com, diakses
tanggal 28 Oktober 2019 21.49
61 Ibid
56
hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Dalam hal
sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka atas
kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat
diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli
maupun melalui seorang mediator.62
Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 hari
dengan bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator
tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak
dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Setelah
penunjukan mediator oleh lembaga alternatif penyelesaian sengketa,
dala waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus dapat
dimulai.63
Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melaui mediator
dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30
(tigapuluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang
ditandatangani oleh semua pihak yang terkait. Kesepakatan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final
dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta
62 Ibid
63 Ibid
57
wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak penandatanganan.64
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat wajib
selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak penandatanganan. Apabila usaha perdamaian tidak dapat
dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan tertulis secara
tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaian melalui lembaga
arbitrase atau arbitrase ad-hoc.
Selain itu, perbedaan antara Litigasi dengan Non-Litigasi adalah:
a. Litigasi
1) Waktu penyelesaian perkara lama dan memakan biaya yang mahal
2) Prosedur, formal dan bersifat kaku;
3) Penyelesaian sengketa hukum melalui pengadilan berdasarkan pada
satu litigasi hukum;
4) Pengadilan akan menerbitkan hak dan menetapkan hubungan
hukum baru antara para pihak yang terlibat dalam sengketa hukum;
5) Setelah terbitnya hak dan menetapkan hubungan hukum baru antara
para pihak, berlaku dan mengikat para pihak dan masyarakat
umum;
6) Putusan pengadilan akan memberikan keadilan hukum, belum tentu
diterima adil oleh para pihak, sehingga bersifat “menang atau kalah
(Winner-Losser), sehingga keadilan yang diberikan pengadilan
64 Ibid
58
adalah keadilan simbolik sehingga timbul kekecewaan bagi yang
kalah, dan dapat berpotensi menimbulkan dendam (eigen
richting).65
b. Non-Litigasi
1) Waktu penyelesaian sengketa hukum dan biaya tergantung dari
para pihak yang melakukan upaya damai;
2) Penyelesaian sengketa hukum bersifat informal dan tidak
prosedural;
3) Para pihak secara langsung melakukan perundingan dalam rangka
upaya perdamaian, dengan metode negosiasi, mediasi, konsiliasi
dan fasilitasi;
4) Terbitnya hak berdasarkan kesepakatan antara para pihak;
5) Para pihak yang menyelesaikan sengketa hukum akan memberikan
putusan pengadilan yang bersifat win-win solution.66
65 Ibid
66 Ibid
Top Related