11
TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Tebu
Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk tanaman C4 yang sudah
mengalami adaptasi dari tanaman liar (Saccharrum robustum L.). Dalam proses
pertumbuhan dan perkembangannya dapat dibagi menjadi dua bagian penting, yaitu
secara vegetatif dan reproduktif. Penggolongan ini sangat penting diketahui
mengingat tujuan akhir pengusahaan tanaman tebu adalah hasil gula (sukrosa) yang
merupakan resultan dari hasil batang tebu dan kandungan gula yang dikandungnya.
Faktor yang mempengaruhi hasil tanaman tebu adalah varietas, lingkungan termasuk
tanah, iklim, suplai air, teknik budidaya, dan umur tanaman.
Secara umum tanaman tebu dikembangbiakkan secara vegetatif menggunakan
stek tanaman. Pertumbuhan tebu dibagi menjadi 4 fase, yaitu (1) perkecambahan
sampai dengan tunas muncul di permukan tanah, (2) pembentukan anakan sampai
dengan pembentukan kanopi secara penuh, (3) pembentukan dan pemanjangan
batang, dan (4) pematangan (Wiedenfeld, 2000). Fase petumbuhan tanaman tebu
dan umurnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Pembagian umur dan fase pertumbuhan tanaman tebu
Umur tanaman (Bulan) Fase pertumbuhan
0 1 Perkecambahan pertumbuhan tunas
1 2 Pembentukan anakan
2 3 Pembentukan anakan
2,5 4 Pertumbuhan anakan - kanopi penuh
4 10 Pertumbuhan puncak (pemanjangan batang)
10 11 Pematangan - awal senesen
11 12 Matang
Daun tumbuh pada buku tanaman dengan susunan filotaksis 180 (daun gasal
akan sebidang dengan daun gasal dan begitu juga daun genap). Daun tanaman tebu
terdiri atas helai daun dan pelepah (sebagai seludang) daun yang membungkus
batang. Pada ujung batang tanaman terdapat titik tumbuh dan ruas yang mampat,
pertumbuhan vegetatif akan berakhir pada saat awal berbunga. Tanaman tebu adalah
12
tanaman berbunga musim, artinya saat berbunga ditentukan oleh musim dan untuk
Indonesia saat berbunga sekitar bulan Maret.
Jika kondisi sesuai untuk pertumbuhan, batang akan memanjang sampai fase
generatif. Namun jika suhu turun terlalu rendah dan hujan atau irigasi kurang,
pertumbuhan terganggu dan akhirnya berhenti. Tanaman akan segera beralih ke fase
reproduktif dengan membentuk sukrosa. Akibat pertumbuhan yang singkat, maka
biomasa yang dihasilkan kurang baik.
Hasil fotosintesis yang berlangsung selama pertumbuhan akan diekspresikan
pada bagian tanaman yang terdapat di atas tanah (tajuk) dan di bawah tanah
(perakaran). Komposisi bagian vegetatif tebu yang matang dengan memisahkan
daun dan pelepah tua (trash) telah banyak diukur. Proporsi dari bagian-bagian
tanaman bervariasi menurut varietas, umur, dan keadaan tempat tumbuh tanaman.
Pada Tabel 2 disajikan proporsi secara umum tiap bagian tanaman (Barnes, 1974).
Tabel 2 Persentase tiap bagian vegetatif tanaman tebu
Bagian Tanaman Bobot kering
(%)
Bagian bawah tanah
Bongkol (stubble) 4,5
Akar 12,7
Bagian atas tanah
Trash (daun dan pelepah kering) 24,6
Batang 49,2
Pucuk 9,0
Dari data pada Tabel 2 tampak bahwa biomasa yang berupa batang dan
dipanen sebagai hasil ekonomi 50% dari total biomasa yang dihasilkan seluruh
tanaman. Beberapa penelitian yang dilakukan di lapangan menunjukkan bahwa
nitrogen memiliki pengaruh terhadap persentase batang yang dapat digiling, karena
proporsi pucuk meningkat. Hasil batang yang layak digiling sebagian berada di
bawah tanah, oleh sebab itu pemanenan yang baik harus mampu mengambil batang
yang ada di bawah permukaan tanah. Bagian-bagian batang tebu ternyata memiliki
komposisi kandungan gula yang tidak seragam. Batang bagian bawah mengandung
gula paling tinggi dan semakin ke atas semakin rendah (Tabel 2). Skema bagian
batang tebu dewasa yang disajikan pada Gambar 2.
13
Tabel 3 Komposisi batang tebu (Staub, 1955 dalam Barnes, 1974)
Komposisi Bagian batang
3 2 1 a b c d
Brix nira (%) 7,54 10,00 11,69 13,64 15,87 17,77 20,75
Sukrosa (% tebu) 2,24 5,02 7,08 9,94 12,93 15,50 19,50
Kemurnian nira (HK) 29,70 50,20 60,60 72,90 81,50 87,20 94,00
Bobot (% total) 12,69 1,27 1,48 1,74 1,99 2,25 78,58
Daun + 1
Titik batas (patah)
No. d No. c No. b No. a 1 2 3
Gambar 2 Bagian batang tebu dewasa
Pertumbuhan tanaman tebu berhubungan dengan status hara yang dikandung
dalam tanaman. Kekurangan hara (kahat) yang terjadi akan sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan pembentukan gula. Pada Tabel 4 disajikan status hara
tanaman dalam status kecukupan (Sanchez dalam Jacob, 2001).
Tabel 4 Kecukupan hara berdasarkan analisis tanaman
No Unsur hara Satuan Nilai
1 N % 1,5
2 P % 0,05
3 K % 2,25
4 Ca % 0,15
5 Mg % 0,1
6 S % 0,01
7 Cu ppm 1
8 Fe ppm 5
9 Mn ppm 10
11 Zn ppm 10
14
Proses Pembentukan Gula dan Perimbangan Sink-Source
Bahan penting dari tanaman tebu yang merupakan hasil utama adalah sukrosa
yang merupakan gula disakarida hasil penggabungan antara glukosa dan fruktosa
(Gambar 3). Sukrosa termasuk bukan gula pereduksi berbeda dengan glukosa yang
dapat mereduksi Cu2O4 dalam larutan basa menjadi CuO2 (Lehninger, 1982). Sifat
molekul sukrosa yang khas adalah sangat mudah untuk dikristalkan, sehingga dipilih
sebagai pemanis komersial yang menyuplai 13% dari total energi yang dibutuhkan
oleh manusia. Sukrosa dikenal secara umum sebagai gula tebu meskipun terdapat
juga dalam tanaman sumber pemanis lain yang dikenal, terutama beet gula
(http://encarta.msn.com/encyclopedia_761573894/Sugar).
Gambar 3 Rumus kimia sukrosa
Pada Gambar 4 disajikan lintasan ringkas pembentukan sukrosa pada tanaman.
Sukrosa dibentuk oleh tanaman melalui jalur glukosa-6-fosfat yang berubah menjadi
fruktosa-6-fostat. Dari bentuk ini tampak bahwa unsur P sangat dibutuhkan dalam
reaksi awal pembentukan sukrosa. Pada tahap selanjutnya reaksi penggabungan akan
terjadi dengan aktivator enzim Sukrosa Phosphat Sintetase (SPS). Kerja enzim SPS
sangat dipengaruhi oleh radiasi dan suhu udara. Itulah sebabnya diperlukan bulan
kering nyata pada fase kematangan tanaman tebu agar terbentuk sukrosa (Babb and
Haigler, 2001). Namun kinerja enzim ini tidak sederhana sebab menyangkut proses
pembentukan gula monosakarida, serapan unsur P dan kondisi jaringan tanaman
(Tetlow et al., 2004).
Sesuai dengan letak sukrosa dalam sel (dalam vacuola), maka penumpukan
akan mulai terjadi pada bagian batang yang lebih tua, yaitu pangkal batang (No. d
pada Gambar 2). Kemudian berturut-turut akan tertimbun pada bagian batang yang
Glukosa Fruktosa
ukosa Sukrosa
15
lebih muda (Gambar 2). Hal ini berarti pada saat pembentukan gula monosakarida,
batang berubah fungsi menjadi wadah (sink) sementara daun masih berperan sebagai
sumber (source). Selanjutnya pada saat pembentukan sukrosa, energi yang dihasilkan
melalui respirasi digunakan untuk menggabungkan dua gula monosakarida menjadi
disakarida (Vickery and Vickery, 1981). Itulah sebabnya tidak boleh terjadi
pertumbuhan baru pada saat proses tersebut berlangsung. Pada Gambar 5 disajikan
grafik yang menunjukkan jumlah sukrosa, bobot bahan kering, dan gula pereduksi
(monosakarida) pada posisi bagian batang tebu.
Glukosa 6-fosfat Glukosa 1-fosfat
UDP-glukosa Fruktosa 6-fosfat
ATP
Pi
+
Sukrosa 6-fosfat + UDP
H2O
Sukrosa + Pi
SPS
Gambar 4 Reaksi singkat pembentukan sukrosa pada tebu (Babb and Haigler,
2001)
Bahan kering
Sukrosa
Gula reduksi Nitrogen
0 50 100 150 2000
5
10
15
20
25
30
35
Pe
rse
n
Posisi batang tebu (cm)
Gambar 5 Persentase bahan kering, gula dan nitrogen pada batang tebu (Sudiatso,
1999)
16
Pembentukan sukrosa terus meningkat sejalan dengan umur tanaman, tetapi
setelah mencapai titik maksimum rendemen akan cenderung menurun karena terjadi
pemecahan sukrosa menjadi monosakarida yang dikenal dengan inversi (Gilbert et
al., 2001). Untuk daerah yang musim gilingnya dimulai pada bulan November,
rendemen tertinggi dicapai pada awal Maret (Gambar 6). Sementara itu pengamatan
langsung di lapangan terhadap kandungan gula yang dihitung dengan brix dan pol
pada saat periode giling di Indonesia disajikan pada Gambar 7. Musim giling di
Indonesia rata-rata dimulai pada bulan Mei dan berakhir pada awal September
sehingga rendemen tertinggi dicapai pada bulan Agustus. Rendemen sangat
dipengaruhi oleh kondisi hujan pada saat menjelang panen. Jika hujan turun pada
saat tanaman tebu mulai membutuhkan masa kering yang nyata, proses pematangan
akan terganggu dan rendemen berkurang (Ana, 1999; Wisnusubroto, 2000).
Gambar 6 Perkembangan rendemen sejalan dengan umur tanaman varietas
CP 80-1827 (Gilbert et al. 2001)
1-Okt 1-Nov 2-Des 2-Jan 2-Feb 4-Mar
AWAL TENGAH LAMBAT
(12,66%)
Waktu
Rendemen (%)
9,0
9,5
10,0
10,5
11,0
11,5
12,0
12,5
13,0
13,5
14,0
21-Feb
17
Gambar 7 Persentase brix dan pol per periode analisis (2 minggu) di Indonesia
(Sudiatso, 1999)
Di samping menghasilkan gula sukrosa dan gula monosakarida, hasil
metabolisme tanaman tebu juga menghasilkan senyawa lain berupa jaringan penguat
tanaman (selulosa), protein, mineral, lilin, dan senyawa berlemak. Senyawa selain
gula inilah yang dalam proses pemisahan akan tercermin dalam ampas, meskipun
sebagian lainnya akan terbawa dalam nira. Pada keadaan yang normal tanaman tebu
di Indonesia mengandung 69-82% air, 8-16% bahan serat (sabut), 6-29% sukrosa,
0,5-2,5% gula reduksi, 0,5-1,0% bahan organik bukan gula, dan 0,5-2,0% abu
(Sudiatso, 1999). Neraca bahan yang diperoleh rata-rata dari pabrik gula di Jawa
pada saat ini menunjukkan bahwa kadar nira hanya sebesar 53,16% sementara
ampasnya 32,79% dan sabutnya 14,05 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kadar
sabut relatif masih baik, tetapi ampasnya meningkat. Peningkatan ampas ini diduga
disebabkan oleh mutu tebu yang kurang baik. Mutu tebu dipengaruhi oleh kadar
kotoran tebu dan budidaya yang kurang sempurna, terutama pemupukan dan
kecukupan air. Nilai normal kadar nira seharusnya lebih besar dari 60% dengan
persentase gula total (pol) >12. Hasil evaluasi yang dilakukan terhadap pabrik gula
di Jawa diketahui bahwa nilai pol5 nira rata-rata 9,93% dengan kisaran antara 8,30-
11,20 persen.
5 Pol = total gula terlarut dalam nira
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
I II III IV V VI VII VIII IX X
(%)
Periode Analisis
Brix
Pol
18
Komponen hasil tanaman tebu selain rendemen adalah bobot batang. Oleh
sebab itu selain rendemen tinggi, pengusahaan tanaman harus mampu menghasilkan
bobot batang yang baik juga. Tingginya dosis pupuk N yang digunakan saat ini
menyebabkan tanaman hanya mampu menghasilkan bagian biomasa yang pada saat
panen akan menjadi ampas. Itulah sebabnya mutu tebu saat ini memiliki persentase
nira yang rendah.
Dalam menghitung rendemen tebu, angka yang dicari adalah besarnya
persentase gula yang mampu dikristalkan (hanya sukrosa). Perhitungan rendemen
tebu dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
{ 0,4 ( )} 100Bobot nira
R pol - brix - pol Bobot tebu
Dari rumus ini terlihat bahwa rendemen tebu sangat dipengaruhi oleh nilai pol
(total gula), nilai brix (total padatan terlarut), dan kadar nira dalam tebu. Semakin
tinggi kandungan pol dalam brix, kemurnian nira semakin tinggi. Hubungan antara
brix dengan pol berdasarkan analisis yang telah dilakukan memiliki korelasi yang
erat dengan persamaan R = -0,0254 + 0,4746 B6. Namun karena rendemen
dipengaruhi oleh kandungan nira tebu, maka tebu dengan pol tinggi belum tentu
rendemennya juga tinggi. Oleh sebab itu untuk mendapatkan rendemen tinggi,
tanaman tebu harus memiliki brix tinggi dengan kemurnian yang baik dan kandungan
nira yang tinggi juga.
Karakteristik Lahan Kering
Lahan kering merupakan hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau
tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Lahan kering merupakan
salah satu ekosistem sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk
pengembangan berbagai komoditi. Pengembangan lahan kering terutama di dataran
rendah merupakan pilihan strategis dalam menghadapi tantangan peningkatan
produksi pertanian, termasuk produksi gula.
Selain masalah air, lahan kering di Indonesia umumnya memiliki kendala
kesuburan tanah rendah, lahan dengan solum dangkal, dan lahan dengan topografi
6 Dilakukan perhitungan langsung di Gula Putih Mataram, pada tahun giling 2000
19
berbukit. Total lahan pertanian di Indonesia 70,20 juta hektar yang terdiri
18,5 juta ha lahan perkebunan, 14,6 juta ha tegalan, 7,9 juta ha lahan sawah, dan 11,3
juta ha lahan tidur. Dari luasan yang dapat digunakan untuk pengembangan tanaman
semusim, luas lahan yang tersedia hanya 12,6 juta hektar sesuai untuk tebu dan
kapas (Mulyani dan Las, 2008). Data luas lahan kering ini belum
mempertimbangkan status kawasan yang berhubungan dengan kawasan hutan.
Dalam memanfaatkan lahan tersebut selain diperlukan persiapan teknologi yang
tepat, baik dari aspek agronomi maupun aspek sumberdaya lahan, juga penyelesaian
masalah sosial yang berbeda di tiap lokasi.
Gupta (1995) memberikan batasan tentang budidaya lahan kering sebagai suatu
sistem produksi tanaman tanpa tambahan irigasi pada daerah semi arid. Sistem
budidaya tanaman lahan kering ditekankan pada konservasi dan pemakaian air yang
tersimpan dalam tanah. Konservasi air difokuskan pada penggunaan secara efisien
air hujan yang tersimpan dalam tanah. Untuk menyikapi kondisi lahan kering
dengan keterbatasan air, dapat ditempuh dua cara, yaitu (1) mengusahakan tanaman
yang mampu berproduksi dengan baik meskipun dalam kondisi mendekati kering
(tanpa tambahan air), atau (2) mengusahakan tanaman yang memiliki efisiensi tinggi
dalam menggunakan air, dengan tambahan air yang tepat. Tanaman tebu dengan
sifat pertumbuhannya merupakan tanaman yang tergolong sangat efisien dalam
penggunaan air. Secara normal untuk membentuk 1 satuan bahan kering tanaman
menurut Barnes (1974) dibutuhkan total air sebanyak 366 satuan dan 219 satuan air
efektif, sedangkan untuk membentuk 1 bagian atas tanaman (batang dan daun)
dibutuhkan total 466 satuan air atau 291 satuan air efektif. Untuk tebu yang tahan
kekeringan untuk membentuk batang diketahui bahwa untuk tiap satuan bahan kering
dibutuhkan 89 satuan air (Shih and Gascho, 1980). Cekaman air yang dialami oleh
tanaman akan berpengaruh terhadap hasil tanaman. Seberapa besar pengaruh
cekaman air terhadap penurunan hasil dipengaruhi oleh fase pertumbuhan dimana
tanaman mengalami cekaman dan berapa lama tanaman mengalami cekaman.
Cekaman yang terjadi pada awal pertumbuhan (fase 1) pengaruhnya tidak sebesar
jika cekaman terjadi pada fase 2. Penurunan hasil tebu akibat cekaman dapat
mencapai 8,3% jika terjadi pada fase 1 dan 15% jika terjadi pada fase 2. Hasil gula
akan menurun 11,7% jika cekaman terjadi pada fase 1 dan 19,1% jika terjadi pada
20
fase 2 (Wiedenfeld, 2000). Fase 1 dan 2 berlangsung selama 3 bulan, sehingga
selama masa inilah tanaman membutuhkan suplisi air. Jumlah air yang dibutuhkan
untuk proses evapotranspirasi sebesar 100-125 mm per bulan (Lisson et al., 2005).
Oleh sebab itu di Indonesia untuk lahan kering umumnya tebu ditanam di awal
musim hujan sehingga tidak mengalami cekaman air di awal pertumbuhan (fase 1
dan 2).
Setelah air, masalah penting di lahan kering adalah kandungan bahan organik
dan ketersediaan unsur hara. Dari proses pembentukan gula dalam tanaman tebu,
unsur hara yang sangat penting adalah P dan K. Dari analisis tanah yang telah
dilakukan pada daerah sentra tebu (Jawa Timur) ternyata rata-rata kandungan P tanah
di lahan kering termasuk rendah, yaitu berkisar antara 7-24 ppm (Tabel 4), padahal
nilai minimum kandungan P2O5 tanah untuk tebu adalah 30 ppm (Depertemen
Pertanian, 1999). Sementara untuk kandungan N termasuk tinggi, namun kenyataan
di lapangan petani umumnya justru memupuk tanamannya dengan Urea dan sedikit
SP-36. Hal ini tentu saja menyebabkan mutu tebu mejadi kurang baik dan
kandungan gula dalam batang tebu (rendemen) rendah. Untuk K2O nilainya
termasuk sedang, sehingga meskipun tanaman diberikan pupuk KCl sedikit bahkan
tidak dipupuk, masih mampu menghasilkan sukrosa jika monosakaridanya terbentuk
dengan baik. Kandungan bahan organik tanah yang dicerminkan oleh kandungan C
organik menunjukkan nilai lebih rendah dari 3% terutama pada jenis tanah Regosol.
Tampaknya untuk lahan kering tingkat kandungan bahan organik ini menjadi
masalah yang serius karena berhubungan dengan kemampuan tanah dalam mengikat
air. Untuk jenis tanah Regosol yang memiliki tekstur kasar dengan kandungan pasir
dominan, fungsi bahan organik sangat penting karena secara langsung akan
mempengaruhi daya ikat air.
Percobaan penanaman tebu di lahan kering bekas hutan di daerah Lamongan
yang diberi kompos memberikan keuntungan paling tinggi dibandingkan tanaman
lainnya. Kesesuaian lahan yang semula klas S3 (faktor pembatas air dan kesuburan
tanah) ternyata dapat ditingkatkan dengan perbaikan lahan dan pemupukan yang
tepat (Siswanto, 1998). Perbaikan yang dilakukan adalah dengan menambahkan
bahan organik dalam bentuk kompos pada saat pengolahan tanah. Bahan organik
yang digunakan berupa kompos yang dibuat dari sisa tanaman dan kotoran ternak.
21
Tabel 5 Hasil analisis tanah di wilayah Jombang dan Kediri
No Jenis
Tanah
Hasil Analisis
pH (H2O) N
(%)
C
(%)
P2O5 (ppm)
K2O
(ppm)
1 I 4,30 0,16 2,29 7 152
2 II 6,14 0,10 1,90 11 207
3 III 6,12 0,10 2,34 24 172
4 IV 5,71 0,09 1,87 12 151
5 V 5,04 0,15 1,44 20 252
6 VI 5,20 0,08 2,10 15 395
Keterangan :
I : Andosol coklat-Andosol Coklat Kekuningan
II : Asosiasi Regosol dan Litosol
III : Asosiasi Mediteran Coklat dan Grumosol Kelabu
IV : Kompleks Mediteran Coklat dan Litosol
V : Regosol Coklat Keabuan
VI : Latosol Coklat Kemerahan
Tanggap Tanaman Tebu terhadap Kekeringan
Cekaman lingkungan memicu berbagai tanggap tanaman, mulai dari perubahan
metabolisme sampai dengan laju pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Cekaman
lingkungan yang berpengaruh terhadap tanaman dapat berupa cekaman abiotik atau
biotik, yaitu radiasi, kekeringan, salinitas, dan suhu tinggi. Di antara cekaman
lingkungan, kekeringan adalah salah satu yang sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Tanggap tanaman terhadap kekeringan
dapat terjadi secara fisiologi, biokimia, dan molekuler (Hong et al., 2008).
Besarnya pengaruh cekaman kekeringan tergantung pada fase pertumbuhan dimana
cekaman terjadi (Ramesh and Mahadevaswamy, 2000).
Tanaman tebu termasuk tanaman yang tahan terhadap kekeringan, tetapi di
awal pertumbuhan tetap memerlukan air untuk pertumbuhannya. Di akhir
pertumbuhan, tebu memerlukan bulan kering untuk proses pembentukan sukrosa dan
pematangan. Berdasarkan sifat tanaman tebu yang memerlukan bulan kering nyata
pada saat pembentukan sukrosa tetapi juga harus memiliki hasil batang tebu yang
tinggi, maka umur tanaman harus mencapai sekitar 10-12 bulan. Secara
konvensional tanaman tebu ditanam pada musim kering dengan tambahan air melalui
irigasi. Namun sejalan dengan pergeseran areal tebu ke lahan kering dan terbatasnya
air irigasi di lahan sawah, tambahan air pada awal tanam menjadi sangat terbatas dan
22
mustahil dilakukan. Untuk mengatasi masalah kekurangan air pada saat tanam, saat
ini dikenal musim tanam B, yaitu awal musim hujan (musim tanam golongan A
antara Mei-Juli). Tanaman yang ditanam pada awal musim hujan akan tumbuh
dengan baik, tetapi karena tebu adalah tanaman berbunga musim maka pada bulan
Maret (yaitu umur 6 bulan) petumbuhan vegetatif akan berhenti (Barnes, 1974).
Tentu saja tebu yang ditanam pada golongan B hasil tebu dan kandungan gulanya
rendah karena masa pertumbuhannya pendek. Untuk menyikapi pendeknya masa
pertumbuhan diusahakan tebu ditanam pada akhir musim kemarau. Hal ini berarti
pada saat tanam lingkungan berada dalam keadaan kering sehingga diperlukan ada
tambahan air di awal pertumbuhan. Sebagai contoh, di Thailand hasil tebu dan gula
tertinggi diperoleh jika tebu ditanam pada bulan November, yaitu akhir musim hujan.
Hal ini karena pada saat panen, yaitu November tahun berikutnya tebu memiliki
umur yang cukup (Jintrawet et al., 2000). Dari data yang ada menunjukkan bahwa
kekeringan pada awal pertumbuhan ternyata berpengaruh nyata terhadap hasil tebu
dibandingkan kekeringan pada akhir pertumbuhan (Gambar 7).
20
40
60
80
100
20 40 60 80 100
(%)
(%)
Nisbah antara aktual dengan yang memberikan hasil maksimum
ET ET
Kekeringan pada akhir pertumbuhan
Kekeringan pada awal pertumbuhan
Hasi
l T
an
aman
Teb
u
Gambar 7 Hubungan antara hasil relatif dengan ET relatif (Robertson et al., 1999)
23
Nilai ET tanaman dapat dihitung dengan berbagai metode dan salah satu
metode yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan nilai ET potensial
(ETp) yang dihitung dari nilai Evaporasi panci (Epan), yaitu :
ETp = kp . E pan
dari nilai ETp dihitung nilai ET tan dengan menggunakan koefisen tanaman (kc),
yaitu :
ET tan = kc . ETo
Nilai ET tanaman yang diperoleh adalah jumlah air untuk evapotranspirasi
yang dibutuhkan oleh tanaman agar diperoleh hasil yang maksimum, artinya nilai ini
adalah nilai kebutuhan air bagi tanaman (air konsumtif). Koefisen tanaman memiliki
nilai yang beragam tergantung pada jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman,
sehingga nilai ET tanaman juga akan berubah sejalan dengan hal tersebut. Pada
Tabel 6 disajikan nilai kc pada tanaman tebu. Inman-Bamber and Smith (2005)
dalam beberapa penelitiannya mendapatkan hubungan antara hasil tebu (Yc) dengan
total air yang digunakan selama siklus pertumbuhan tanaman. Hubungan tersebut
adalah Yc = -2,5 + ( 9,69 ETp.)
Tabel 6 Nilai (kc) tebu berdasarkan fase pertumbuhan (Inman-Bamber and Smith,
2005)
Umur tanaman
(Bulan) Fase pertumbuhan Nilai kc
0 1 Perkecambahan pertumbuhan tunas 0,55
1 2 Pembentukan anakan 0,80
2 3 Pembentukan anakan 0,90
2,5 4 Pertumbuhan anakan - kanopi penuh 1,00
4 10 Pertumbuhan puncak (pemanjangan batang) 1,05
10 11 Pematangan - awal senesen 0,80
11 12 Matang 0,60
Dari kajian di wilayah pabrik gula di Indonesia, ternyata terdapat korelasi
negatif antara jumlah hujan pada bulan November dan Desember musim tanam
dengan rendemen tebu yang akan dicapai. Korelasi antara jumlah hujan November
dan Desember dengan rendemen bernilai negatif, artinya semakin besar curah hujan
rendemen akan berkurang. Keadaan ini sekarang digunakan oleh pabrik gula untuk
24
memprediksi rendemen yang akan dicapai (Wisnusubroto, 2000). Korelasi antara
curah hujan dengan rendemen berkisar antara (0,69-0,89). Tidak salah kiranya jika
pemeliharaan saluran (got) sangat berpengaruh terhadap rendemen. Got yang buruk
akan menyebabkan respirasi akar terganggu sehingga energi untuk penyerapan hara
secara aktif lebih besar. Pada bulan November-Desember adalah fase tanaman
membentuk gula monosakarida, sehingga kondisi respirasi yang buruk akan
mengganggu proses sintesis gula. Di daerah Everglade (Florida) tebu diusahakan
pada tanah organik yang ternyata keberhasilannya sangat ditentukan oleh drainase.
Semakin dangkal muka air tanah semakin rendah produksi gula yang dihasilkan
karena penurunan rendemen. Hasil tertinggi diperoleh pada muka air tanah 61 cm
(Glaz et al., 1980).
Efisiensi penggunaan air (water use efficiency) sering dihitung sebagai nisbah
antara hasil yang diperoleh dengan jumlah air yang digunakan untuk memperoleh
hasil tersebut (ET) (Hatfield et al., 2001). Berdasarkan metode hidrologi neraca air
di tanah dapat dirumuskan dengan persamaan
curah hujan + irigasi = perkolasi + run off + W + ET
dimana W adalah perubahan volume air yang tersimpan di dalam tanah selama
periode tertentu. Dari neraca air dapat diketahui bahwa dapat dilihat bahwa jika
curah hujan berkurang, semua nilai akan berkurang termasuk nilai ET dan kadar air
tanah. Hal ini akan perpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Agar tanaman
tetap dapat melakukan kegiatan dengan baik, maka ET harus dkembalikan ke nilai
yang normal. Nisbah relatif yang dihitung berdasarkan ET aktual dan ET yang
mampu memberikan hasil maksimum berhubungan dengan fase pertumbuhan
tanaman. Pengurangan nilai nisbah relatif ini akan tergantung pada fase apa
terjadinya.
Khusus untuk tanaman tebu hubungan antara defisit evapotranspirasi dengan
rendemen gula relatif menurut Doorenbos and Kasam (1987) dalam Irianto et al.
(2000) dapat disajikan sebagai berikut:
1 1Ya ETa
KyYm ETc
, dengan Ya adalah hasil rendemen aktual, Ym adalah
hasil rendemen maksimal, Ky adalah koefisien rendemen, ETa evapotranspirasi
25
aktual dan ETc evapotranspirasi tanaman. Besarnya Ky untuk fase inisiasi dan
vegetatif sebesar 0,75, fase pembentukan gula 0,5 dan fase pematangan sebesar 0,1.
Secara grafik hubungan antara evapotranspirasi relatif terhadap penurunan rendemen
disajikan pada Gambar 8.
1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
(Indeks Kecukupan Air)
(Indeks p
eru
bahan r
endem
en)
1- (ETa/Etc)
1- (Ya/Ym)
ky=0.1
ky=0.5
ky=0.75
Gambar 8 Hubungan antara defisit air dengan rendemen gula relatif (Dorenbos
and Kasam, 1987 dalam Irianto et al., 2000)
Dari grafik terlihat bahwa cekaman air sebesar (1 (ETa/ETc)) = 0,5 akan
berpengaruh terhadap penurunan rendemen sebesar (1 (Ya/Ym)) dengan nilai yang
berbeda pada tiap fase pertumbuhan tanaman tebu.
Kebutuhan air tanaman tebu sangat dipengaruhi oleh sifat tanah. Dari
pengukuran yang dilakukan oleh Van Antwerpen (2000) didapatkan bahwa jumlah
air yang dibutuhkan untuk menghasilkan 90 ton tebu adalah setara dengan 100 mm
curah hujan perbulan. Pada tanah yang kurang subur dengan jumlah air yang sama
hanya menghasilkan tebu sebanyak 50 ton tebu per ha. Dari perbandingan ini terlihat
bahwa efisiensi penggunaan air sangat tergantung pada jenis dan kesuburan tanah.
Data lain disajikan oleh Lisson et al. (2005) yang menunjukkan bahwa tiap meter
kubik air mampu menghasilkan 22 ton tebu atau setara dengan tambahan air 100-300
mm perbulan.
26
Kandungan air tanah sangat berhubungan dengan serapan unsur hara, terutama
unsur nitrogen. Penurunan kadar air tanah dari 100% kapasitas lapang ke 70%
kapasitas lapang menurunkan laju serapan nitrogen. Pada kelembaban tanah yang
semakin rendah ternyata pemberian nitrogen dengan dosis tinggi tidak meningkatkan
bahan kering tanaman (Santoso, 1998).
Pada keadaan tanaman kekurangan air, serapan air secara nyata menurun.
Serapan air sangat erat hubungannya dengan laju transpirasi tanaman. Air
ditranspirasikan melalui stomata, sehingga pada saat stomata menutup dalam usaha
tanaman untuk mengurangi transpirasi, secara langsung laju serapan air oleh akar
juga menurun. Hubungan antara penurunan laju transpirasi dengan penurunan laju
serapan air tidak linear. Hal ini disebabkan banyak faktor yang terlibat dalam proses
yang terjadi (Steudle, 2000). Selanjutnya Steudle (2000) menemukan bahwa proses
selanjutnya dari kondisi defisit air adalah terjadinya perubahan pada sel tanaman.
Dalam kondisi kecukupan air, sel akar berkembang tanpa eksodermis, tetapi pada
kondisi kekurangan air sel-sel akar mulai membentuk eksodermis sebagai usaha
mengurangi kehilangan air dari dalam sel (plasmolisis). Tanaman yang mengalami
kondisi kekurangan air akan mengalokasikan hasil fotosintesis ke akar daripada
untuk membentuk tajuk. Smit and Singels (2006) dalam penelitiannya mendapatkan
bahwa tanaman yang mengalami cekaman air akan berkurang pertumbuhan tajuknya.
Tajuk tanaman yang mengalami cekaman air akan berkurang pada saat indeks luas
daun (LAI) lebih besar dari 2. Tanaman lebih menjaga kondisi akar dibandingkan
tajuk jika kondisinya kekurangan air (Sharp et al., 2004). Penelitian lain yang
dilakukan oleh Smit and Singels (2006) menunjukkan bahwa jika kadar air
diturunkan dari kadar air kapasitas lapang (26%) menjadi 15% selama 38 hari
menyebabkan penurunan jumlah daun dari 10,8 menjadi 5,2. Berkurangnya
perkembangan jaringan sangat dipengaruhi oleh perkembangan sel. Pembesaran sel
hanya akan terjadi jika tekanan turgor lebih besar dari kekuatan dinding sel (Hong
et al., 2008)
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa air merupakan faktor tumbuh yang
sangat vital bagi tanaman tebu. Pada awal pertumbuhan dibutuhkan air untuk
mendukung pembentukan bagian vegetatif tanaman, tetapi pada akhir pertumbuhan
diinginkan kondisi kering untuk merangsang pembentukan gula.
27
Permasalahannya adalah hasil maksimum akan diperoleh jika umur tanaman saat
panen cukup (antara 10-12 bulan) yang berarti waktu tanam jatuh pada musim
kering. Konsekuensi waktu tanam musim kering adalah harus ada tambahan air.
Dua faktor utama dalam pelaksanaan pemberian air, yaitu jumlah air yang tersedia
dan manajemen pemberiannya. Di lapangan saat ini tambahan air diberikan dengan
beberapa cara yaitu penyiraman dari lebung atau pemberian air dengan membuat
sumur pantek. Mengingat jumlah air yang terbatas dan biaya yang dikeluarkan
cukup besar, maka diperlukan perhitungan yang cermat agar air dapat dihemat tetapi
produktivitas tetap tinggi. Efisiensi penggunaan air menjadi tindakan yang sangat
menentukan dalam budidaya lahan kering. Inman-Bamber (2004) dalam
penelitiannya mendapatkan bahwa tambahan air yang tepat dapat meningkatkan hasil
sukrosa sebesar 3 ton/ha dibandingkan tanaman yang kondisi airnya tidak terkontrol.
Bahan Organik
Bahan organik memiliki kemampuan untuk meningkatkan daya ikat air dan
memperbaiki sifat fisik tanah lainnya yang membantu ketersediaan unsur hara,
terutama pada tanah berpasir atau tanah dengan kadar liat tinggi. Dari pembahasan
dan fakta bahwa kandungan air tanah sangat penting bagi pertumbuhan tanaman,
maka untuk meningkatkan efisiensi air yang ada harus ditempuh berbagai cara.
Selain cara pemberian dan pemanfaatannya yang baik, maka air dalam tanah harus
dalam kondisi yang cukup dan mudah tersedia bagi tanaman. Jika hanya dibahas
dari segi kadar air tanah, semakin tinggi liat kandungan air semakin tinggi, tetapi air
yang tersedia kecil. Oleh sebab itu daya ikat (retensi) air harus ditingkatkan tetapi
ketersediaan harus baik. Pada tanah dengan kandungan liat yang tinggi pemberian
bahan organik akan memperbaiki aerasi dan kapasitas tukar kation tanah. Bahan
organik adalah bahan yang berukuran sangat halus tetapi bukan koloid. Dalam hal
ini bahan organik berperanan dalam konservasi air yang akan digunakan tanaman
pada saat tanaman membutuhkan. Pemberian bahan organik telah dibuktikan oleh
Inman-Bamber and Smith (2005) mampu mendukung pembentukan tajuk tanaman
dan sukrosa dalam batang pada tanaman yang tumbuh pada jenis tanah yang padat.
Akar tanaman keprasan akan berkembang lebih baik jika ditambahkan bahan organik
28
dengan jumlah yang cukup, yaitu sekitar 7,5 ton per ha (Shuka et al., 2008). Bahan
organik yang digunakan oleh Sukha dalam penelitiannya adalah pupuk kandang.
Banyak penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan peningkatan
retensi air akibat pemberian bahan organik, bahkan terhadap variabel lain di tanah.
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Hatfield et al. ( 2001) mendapatkan bahwa
dengan penambahan bahan sisa tanaman gandum ternyata menurunkan laju evaporasi
sebesar 34 50% dan meningkatkan hasil sebesar 393 kg hasil gandum. Penelitian
lain yang dilakukan bahkan mendapatkan suatu hubungan yang nyata antara hasil (Y)
dengan retensi air (WR) dan total C organik (TOC). Persamaan yang didapat
bervariasi antara hasil tahun 1992 dengan tahun 1994, yaitu
Tahun 1992 Y = 183,1 + 2,05 WR + 120,7 TOC (r = 0,51)
Tahun 1994 Y = 362,0 + 4,8 WR + 49,5 TOC (r = 0,59)
Tindakan perbaikan tanah atau penyehatan tanah telah diterapkan secara baik
di areal tebu di Australia. Disadari bahwa selama lebih dari 25 tahun tanah
digunakan untuk penanaman tebu secara monokultur sehingga terus merosot
kesehatannya. Oleh sebab itu Australia mulai mengembangkan sistem pertanian tebu
berkelanjutan dengan menerapkan keseimbangan tingkat kesuburan tanah yang
dilihat secara komprehensif dari sisi fisik, kimia dan biologi (Bell et al., 2007).
Program ini dikenal dengan Sustainable Sugarcane Farming System yang saat ini
terus dikembangkan dengan berbagai penelitian (Garside, 2000).
Beberapa percobaan yang dilakukan oleh Satuan Pengembangan Tebu Dinas
Perkebunan Jawa Timur menunjukkan bahwa dengan pemberian blotong hasil
tanaman tebu meningkat sampai dengan 10% pada lahan kering. Penelitian lainnya
yang dilakukan di wilayah PG Madukismo (Yogyakarta) menunjukkan bahwa
pemberian bahan organik mampu meningkatkan produktivitas hablur tanaman
pertama (PC) tetapi tidak nyata terhadap tanaman keprasan (Arifin dan Prihardini,
2007).
Keberhasilan pengusahaan tebu di Lampung yang diusahakan di tanah dengan
kadar liat tinggi adalah perbaikan sifat tanah (soil building) dengan pemberian bahan
organik, yaitu blotong dan abu boiler (hasil pembakaran bagase). Blotong adalah
hasil samping proses pemurnian nira pada pengolahan tebu (Gambar 9). Produk
29
blotong pada proses pengolahan tebu sekitar 4 persen. Kandungan utama blotong
adalah kalsium, karbohidrat, fosfor dan bahan padatan lainnya.
Tebu (100%)
Ampas (32%)
Nira (68%)
Brix
(Padatan total)
18%)
Air (39%)
Blotong
(Filter cake)
(4%)
Pol
(Gula total)
(12%)
Tetes
(Molases) (4%)
Hablur
(Gula kristal)
(8%)
Gambar 9 Neraca bahan pada proses pengolahan gula tebu (PG Gunung Madu
Plantation, 1999)
Hasil penelitian pemberian blotong segar yang selama ini dilakukan ternyata
baru mampu memperbaiki hasilnya pada musim kedua (tanaman keprasan). Oleh
sebab itu saat dilakukan pengomposan blotong sebelum diaplikasikan ke tanah.
Pemberian kompos blotong dan bagase ternyata mampu memperbaiki serapan hara
dan pertumbuhan tanaman tebu di lahan kering, terutama unsur N dan S. Sementara
untuk unsur P dan K pemberian kompos terlihat pengaruhnya pada akhir
pertumbuhan tanaman (Guntoro et al., 2003). Pada penelitian di lapangan (PG
Tjoekir) musim tanam 2003/2004 yang telah dilakukan dengan dosis kompos blotong
3 ton per hektar ternyata mampu meningkatkan produksi tebu 10- 20% dan rendemen
0,5- 0,7 persen. Hasil analisis kompos blotong disajikan pada Tabel 7.
.
30
Tabel 7 Hasil analisis kompos blotong
No. Hasil Analisis Contoh
Kompos I Kompos II
1 pH (H2O) 7,56 6,74
2 N (%) 0,93 0,81
3 C (%) 12,90 12,12
4 Nisbah C/N 14 15
5 P2O5 (%) 1,60 1,19
6 K2O (%) 1,07 0,93
7 KA (%) 41,12 35,16
Sumber : Litbang PTPN X, 2005
Varietas Tebu untuk Lahan Kering
Kontribusi varietas tebu terhadap peningkatan produktivitas gula cukup nyata,
mengingat produksi tanaman merupakan hasil kerjasama antara sifat genetis
(varietas) dengan faktor lingkungannya. Keunggulan suatu varietas tidak bersifat
mutlak atau terus menerus, tetapi dalam kurun waktu tertentu akan mengalami
penurunan (degradasi). Oleh karena itu penggantian varietas unggul baru merupakan
langkah strategis dalam mengatasi permasalahan produktivitas. Tanaman tebu yang
semula ditanam di lahan sawah kemudian bergeser ke lahan kering tentu saja
memerlukan varietas baru yang sesuai. Perilaku yang berbeda antar varietas perlu
diketahui dan difahami agar sifat unggul tebu dapat berkembang secara maksimal.
Tejera et al. (2007) menjelaskan bahwa tidak mudah mendeskripsikan varietas
unggul tanaman tebu sebab pengusahaan tanaman tebu bukan hanya untuk
menghasilkan batang yang banyak tetapi juga kandungan gula yang tinggi. Dengan
berkembangnya pengusahaan tanaman tebu ke lahan kering, maka variabel verietas
unggul harus ditambah masih berproduksi dengan baik pada kondisi kekurangan air.
Usaha mengatasi cekaman kekeringan terhadap varietas dalam perakitannya
dilakukan dengan menghasilkan varietas tebu yang memiliki bentuk morfologi dan
sifat fisiologi khusus agar mampu mengatasi ancaman kekeringan terhadap
pertumbuhan. Beberapa perubahan morfologi tanaman telah dilakukan dalam
merakit varietas baru yang diharapkan tahan terhadap kekeringan. Tanaman untuk
lahan kering harus memiliki bentuk morfologi yang mampu menekan laju transpirasi,
yaitu memiliki daun yang berukuran sempit tetapi dengan indeks luas daun tidak
31
berkurang, memiliki lapisan lilin pada batangnya dan bulu pada daunnya (Ishaq
et al., 2000).
Lembaga resmi yang diberi mandat untuk mengembangkan varietas tebu oleh
pamerintah ialah P3GI bekerja sama dengan berbagai lembaga penelitian yang ada di
Indonesia dan di negara lain. Plasma nutfah tebu diperoleh dari berbagai negara
antara lain Formosa (kode F), Mauritius (M), Queensland (Q) dan beberapa negara
lainnya yang potensial. Varietas tebu yang unggul diperoleh melalui jalur
(1) introduksi galur dari luar negeri dan diseleksi dengan kondisi alam di suatu
daerah, (2), menyilangkan berbagai galur, baik antar galur lokal ataupun dengan
galur introduksi, (3) cara mutasi untuk mendapatkan keturunan yang diinginkan.
Paradigma keunggulan suatu varietas, sekarang berbeda dengan di waktu lampau.
Dahulu untuk seluruh daerah hanya dikenal satu atau dua varietas unggul (satu untuk
semua daerah), tetapi sekarang varietas unggul yang ada adalah spesifik lokasi
(hanya unggul untuk daerah tertentu). Sebagai contoh dulu dikenal varietas POJ
3016 yang unggul untuk semua daerah, tetapi sekali varietas ini terserang suatu
penyakit akibatnya fatal bagi seluruh daerah.
Selain sifat ketahanan terhadap kekeringan, mengingat tebu harus dipanen
sesuai dengan masa giling yang berlangsung 5-6 bulan sementara masa tanam saat
ini relatif serempak, yaitu awal musim hujan, maka diatur varietas dengan umur
matang yang berbeda. Dengan pengaturan varietas ini diharapkan tanaman sudah
memiliki kandungan gula cukup tinggi pada saat dipanen, terutama untuk awal
musim giling yang jatuh pada bulan Mei-Juni. Umur varietas matang awal adalah 8-
10 bulan, matang tengah 10 - 12 bulan, dan matang lambat >12 bulan.
Penentuan varietas yang sesuai untuk suatu daerah dilakukan evaluasi varietas
dan rating masing-masing. Parameter yang dijadikan kriteria adalah (1) keragaan
tanaman dengan bobot 30%, (2) nilai pabrikasi dengan bobot 30% dan
(3) produktivitas kebun dengan bobot 40%. Peubah yang diamati adalah:
(1) Keragaan tanaman :
a. Kemampuan umum (kanopi, bentuk daun, ketegaran batang, diameter,
kerapatan tanaman, dan kemudahan diklentek)
b. Jumlah batang per meter juringan (alur tanam)
c. Bobot batang per meter
32
d. Lubang dan pada batang (gabus batang)
e. Pertumbuhan sogolan (anakan yang muncul di akhir pertumbuhan)
f. Pertumbuhan siwilan (tunas yang tumbuh dari mata batang)
g. Pembungaan
h. Serangan penggerek pucuk, penggerek batang dan penyakit
(2) Nilai pabrikasi
a. Brix tebu di lapangan, diukur dari contoh batang di kebun
b. Hasil penggilingan dengan gilingan contoh untuk mengetahui (a) Brix,
(b) Pol, dan (3) kadar nira tebu
(3) Produktivitas kebun terdiri dari komponen (a) bobot batang tebu yang layak
panen, (b) rendemen, dan hasil hablur.
Tiap peubah diberikan skor dengan selang 1 3 dengan batasan 1 berarti jelek dan 3
berarti baik. Varietas tebu yang baik harus memiliki total skor tinggi dari semua
nilai yang diamati.
Top Related