5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tulang
Tulang merupakan salah satu organ penting tubuh manusia. Tubuh manusia terdiri
dari sekitar 206 tulang. Berdasarkan bentuknya tulang-tulang ini dapat dibagi
menjadi tulang panjang (femur, tibia, dll), tulang pendek (karpalia, jari, dll) dan
tulang pipih (tengkorak, wajah). Secara histologi tulang dibagi menjadi tulang
imatur (non-lamelar) dan tulang matur (lamelar). Tulang imatur adalah tulang
pada anak sedangkan tulang matur adalah tulang pada orang dewasa. Tulang
matur dibagi lagi menjadi tulang kortikal dan tulang kanselous. Tulang kortikal
terdapat pada diaphysis tulang panjang sedangkan tulang kanselous terdapat pada
metaphisis tulang panjang. (Miller, 2012)
Tulang mempunyai banyak fungsi. Fungsi tulang dibagi menjadi sebagai
struktur anatomik dan sebagai organ. Sebagai struktur anatomik fungsi tulang
antara lain menunjang tubuh manusia, sebagai anggota gerak dan melindungi
organ dalam. Sebagai organ tulang memproduksi sel darah dan berperan dalam
metabolisme kalsium dan fosfat. (Salter, 1999)
Secara histologi tulang terdiri dari sel dan matriks ekstraseluler. Sel tulang
terdiri dari osteoblas, osteoklas dan osteosit. Tulang secara kontinyu seumur hidup
akan mengalami proses remodelling, penyerapan dan pembentukan tulang. Proses
ini terjadi secara seimbang. Salah satu penyakit akibat ketidak seimbangan proses
6
remodeling adalah osteoporosis. Osteoporosis merupakan suatu kondisi akibat
rendahnya masa tulang puncak yang dicapai atau cepatnya proses penyerapan
tulang yang terjadi setelah itu atau kombinasi dari keduanya. (WHO, 2003; AMA,
2004).
2.2 Osteoporosis
2.2.1 Definisi
Osteoporosis menurut WHO (2003) didefinisikan sebagai suatu penyakit
metabolik tulang yang ditandai oleh berkurangnya masa tulang dan kerusakan
mikroarsitektur jaringan tulang yang berakibat meningkatnya kerapuhan tulang,
sehingga terjadi kecenderungan tulang mudah patah. Osteoporosis merupakan
salah satu bentuk osteopenia atau tulang rapuh. Bentuk osteopenia yang lain
adalah osteomalasia. Pada osteoporosis tulang menjadi tipis, rapuh dan mudah
patah akibat terjadi abnormalitas bone turnover, yaitu terjadinya proses
penyerapan tulang (resorpsi tulang) lebih banyak daripada proses pembentukan
tulang, namun disini tulang sebelumnya sudah mengalami kalsifikasi secara
sempurna. Sedangkan pada osteomalasia tulang menjadi rapuh karena terjadi
gangguan pada proses kalsifikasi tulang sehingga kualitas dan kekuatan tulang
menurun. Jadi pada osteoporosis masalahnya bersifat kuantitatif (berkurangnya
masa tulang) sedangkan pada osteomalacia bersifat kualitatif (rendahnya kualitas
tulang yang terbentuk) (Papaioannou dkk, 2010).
7
2.2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2003 WHO mencatat lebih dari 75 juta orang di Amerika dan Eropa
menderita osteoporosis dan penyakit tersebut mengakibatkan 2,3 juta kasus patah
tulang pertahun di Amerika dan Eropa. Dari jumlah tersebut didapatkan kejadian
osteoporosis pasca menopause pada Ras Kaukasian sebesar 17%, Ras Hispanik
12% dan Ras Afrika 8%. Sedangkan berdasarkan usia didapatkan kejadian
osteoporosis 27% pada usia 50-59 tahun, 32% pada usia 60-69 tahun dan 41%
pada usia >70 tahun (WHO, 2003). Di Indonesia belum ada data mengenai angka
kejadian osteoporosis.
Prevalensi osteoporosis meningkat seiring bertambahnya usia sehingga
peningkatan angka harapan hidup menyebabkan angka kejadian osteoporosis akan
terus meningkat. Selain itu gaya hidup masyarakat saat ini yang cenderung tidak
sehat, seperti jarang berolahraga, merokok dan minum alkohol menyebabkan
angka kejadian osteoporosis akan semakin meningkat (Jordan, 2002).
Osteoporosis tiga kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki.
Hal ini disebabkan karena wanita mempunyai masa tulang puncak (peak bone
mass) yang lebih rendah dibandingkan laki-laki dan karena perubahan hormonal
yang terjadi pada wanita menopause (WHO, 2003).
Patah tulang atau fraktur merupakan salah satu komplikasi serius yang
disebabkan oleh osteoporosis. Fraktur yang sering terjadi pada pasien osteoporosis
adalah fraktur pergelangan tangan (radius distal), fraktur pinggul (hip) dan fraktur
tulang belakang. Berdasarkan data WHO pada tahun 1990 terjadi sebanyak 1,3 –
1,7 juta fraktur hip di seluruh dunia akibat osteoporosis, dan diperkirakan pada
8
tahun 2025 jumlah ini akan meningkat tiga kali lipat. Analisis dari beberapa
penelitian menunjukan bahwa insiden fraktur hip lebih banyak pada negara maju
dibanding negara berkembang dan lebih banyak pada daerah urban dibanding
daerah rural (Jordan, 2002; Dhanwal dkk, 2011).
Pasien fraktur osteoporosis ini akan menimbulkan dampak sosial maupun
ekonomi. Dampak ekonomi meliputi biaya pengeluaran langsung dan tidak
langsung. Biaya pengeluaran langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk
pengobatan, di Amerika Serikat misalnya biaya yang dikeluarkan adalah sebesar
47 juta dolar Amerika perhari. Sedangkan biaya tidak langsung adalah hilangnya
waktu kerja dan biaya lain seperti transportasi selama perawatan pasien (WHO,
2003).
2.2.3 Klasifikasi dan faktor risiko
Berdasarkan penyebabnya, osteoporosis dibagi menjadi dua kelompok:
osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder (SIGN, 2003; WHO, 2003).
1. Osteoporosis primer
Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang bukan disebabkan oleh suatu
penyakit. Osteoporosis primer terdiri dari:
a. Osteoprosis primer tipe I
Osteoporosis primer tipe I sering disebut dengan istilah osteoporosis pasca
menopause, karena terjadi pada wanita pasca menopause. Osteoprosis ini
disebabkan karena terhentinya produksi hormon estrogen.
b. Osteoporosis primer tipe II
9
Osteoporosis primer tipe II sering disebut dengan istilah osteoporosis senil,
yang terjadi pada usia lanjut. Pasien biasanya berusia > 70 tahun, laki-laki
dan wanita mempunyai risiko yang sama.
2. Osteoprosis sekunder
Osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit atau
kondisi tertentu, seperti tumor tulang, infeksi tulang, obat-obatan atau
imobilisasi lama.
Faktor risiko osteoporosis terdiri dari faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
dan yang dapat dimodifikasi (SIGN, 2003; WHO, 2003).
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Usia
Setelah tercapainya masa tulang puncak pada usia 30-35 tahun, proses
penyerapan tulang akan lebih banyak daripada proses pembentukan tulang,
sehingga risiko osteoporosis meningkat seiring bertambahnya usia dan
resiko ini signifikan meningkat pada usia > 60 tahun.
b. Jenis kelamin
Osteoporosis tiga kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-
laki. Hal ini disebabkan karena wanita mempunyai masa tulang puncak
yang lebih rendah dibandingkan laki-laki dan karena perubahan hormonal
yang dialami wanita paska menopause. Wanita yang mengalami
menopause lebih dini mempunyai risiko yang lebih tinggi.
c. Ras
10
Berdasarkan perbandingan ras yang ada di Amerika, orang kulit putih lebih
berisiko osteoporosis dibanding orang kulit hitam.
d. Genetik
Seseorang yang mempunyai riwayat keluarga osteoporosis mempunyai
risiko yang lebih tinggi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang
menderita osteoporosis makan risikonya akan semakin meningkat.
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Berat badan
Penelitian menunjukan bahwa pada indeks masa tubuh yang rendah
didapatkan kepadatan masa tulang yang rendah pula. Jadi seseorang dengan
tubuh kurus mempunyai risiko yang lebih tinggi.
b. Kebiasaan merokok, minum alkohol dan minum kopi berlebih
Banyak penelitian sudah membuktikan bahwa kebiasaan tidak sehat ini
menurunkan kepadatan masa tulang.
c. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik menimbulkan stres mekanik yang menimbulkan efek pada
tulang yaitu pembentukan tulang pada permukaan periosteal sehingga
memperkuat tulang dan mengurangi penyerapan tulang. Sehingga pasien-
pasien yang mengalami imobilitas dalam waktu yang lama mempunyai
risiko yang lebih tinggi terkena osteoporosis.
11
d. Nutrisi
Pola makan yang tidak seimbang yang kurang memperhatikan kandungan
gizi seperti kalsium, vitamin D dan fitoestrogen merupakan faktor risiko
osteoporosis.
e. Penyakit atau konsumsi obat tertentu
Penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan osteoporosis antara
lain: anoreksia nervosa, penyakit hati kronis, hipertiroid, hiperparatiroid,
inflammatory bowel disease, hipogonadism, penyakit ginjal kronis dan
sindrom Cushing. Sedangkan obat-obat yang mengganggu metabolisme
tulang antara lain: kortikosteroid, sitostatika, antikoagulan (warfarin,
heparin) dan beberapa anti kejang.
Berdasarkan guideline osteoporosis Kanada 2008, yang termasuk faktor risiko
mayor terjadinya osteoporosis dan fraktur osteoporosis adalah:
1. Usia > 65 tahun
2. Fraktur akibat trauma minor setelah usia > 40 tahun
3. Riwayat keluarga osteoporosis
4. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang (> 3 bulan)
5. Hiperparatiroid primer
6. Osteopeni yang tampak melalui roentgen
7. Hipogonadism
8. Menopause dini (< 45 tahun)
9. Indeks masa tubuh (BMI) < 19 kg/m2
10. Penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan osteoporosis
12
2.1.4 Patogenesis
Fisiologi tulang
Secara histologi tulang terdiri dari sel dan matriks ekstraseluler. Sel tulang terdiri
dari osteoblas, osteoklas dan osteosit. Osteoblas adalah sel yang bertanggung
jawab pada pembentukan tulang. Osteoklas adalah sel yang bertanggung jawab
pada penyerapan tulang. Osteosit adalah osteoblas yang terkubur dalam lakuna
dan termineralisasi dalam matriks tulang. Osteosit berfungsi sebagai
mekanosensori untuk deteksi kebutuhan tulang, menambah atau mengurangi masa
tulang. Matriks tulang terdiri dari komponen organik dan inorganik. Komponen
organik meliputi kolagen, proteoglikan dan protein lainnya. Komponen inorganik
terutama terdiri dari kalsium dan fosfor yang saling berikatan dalam bentuk
hydroxyapatite (WHO, 2003; AMA, 2004).
Tulang secara kontinyu seumur hidup akan mengalami proses remodelling,
penyerapan dan pembentukan tulang. Pada masa pertumbuhan lebih banyak
terjadi proses pembentukan tulang daripada penyerapan tulang. Keadaan ini akan
berlangsung sampai tercapainya masa tulang puncak (peak bone mass) pada usia
30-35 tahun. Masa tulang puncak adalah masa tulang diakhir proses maturitas
tulang. Masa tulang puncak merupakan indikator terjadinya osteoporosis.
Semakin tinggi masa tulang puncak semakin rendah risiko terjadinya osteoporosis
dan fraktur, begitu pula sebaliknya. Setelah tercapainya masa tulang puncak,
proses remodeling mulai lebih berat ke arah penyerapan tulang dan pada usia > 60
tahun atau ketika wanita mencapai menopause proses penyerapan tulang semakin
13
banyak daripada proses pembentukan tulang. Kecepatan proses penyerapan tulang
ini dipengaruhi banyak faktor (WHO, 2003; AMA, 2004).
Patogenesis terjadinya osteoporosis
Osteoporosis merupakan suatu kondisi akibat rendahnya masa tulang puncak yang
dicapai atau cepatnya proses penyerapan tulang yang terjadi setelah itu atau
kombinasi dari keduanya (WHO, 2003). Secara seluler hal ini disebabkan oleh
karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel
osteoblas. Sel stroma osteoblas mengekspresikan pada permukaannya RANK
Ligand (RANKL). RANKL mempunyai reseptor RANK yang berada pada
permukaan sel osteoklas progenitor untuk merangsang diferensiasi osteoklas.
Selain itu sel stromal osteoblas juga mensekresi suatu substansi yang dapat
berikatan dengan RANKL, yang disebut Osteoprotegrin (OPG). OPG mencegah
interaksi antara RANKL dan RANK sehingga menghambat pembentukan
osteoklas. Banyak mediator berupa sitokin, faktor pertumbuhan (growth factor)
dan faktor koloni-stimulator yang mempengaruhi proses tersebut. Sitokin yang
menstimulasi osteoklastogenesis antara lain: IL-1, IL-3, IL-6, TNF, Leukemia
Inhibitory Factor (LIF), Oncostatin M (OSM), Ciliary Neurotrpoic Factor
(CNTF), Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan
Macrophage-Colony Stimulating Factor (M-CSF). Sitokin yang menghambat
osteoklastogenesis antara lain: IL-4, IL-10, IL-18 dan interferon-γ. Beberapa
faktor pertumbuhan seperti Insulin-like Growth Factor (IGFs), Transforming
Growth Factor-β (TGF-β), Fibroblast Growth Factor (FGF), Platelet-derived
14
Growth Factor, Bone Morphogenic Protein (BMP) menstimulasi perkembangan
osteoblas (AMA, 2004; Kawiyana, 2009).
Secara garis besar terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
osteoporosis, yaitu: genetik, gangguan hormonal, defisiensi nutrisi dan kurangnya
pembebanan mekanis.
1. Genetik
Secara genetik, kelainan yang terdapat pada osteoporosis bersifat poligenik.
Beberapa gen kandidat sedang diteliti hubunganya dengan terjadinya
osteoporosis. Salah satu penelitian menyebutkan polimorfisms pada bagian
promoter gen COLIal menentukan masa tulang pada tulang belakang dan
resiko terjadinya fraktur tulang belakang. Bagaimana mekanisme gen-gen
tersebut berperan dalam terjadinya osteoporosis masih belum diketahui (WHO,
2003).
2. Gangguan hormonal
a. Defisiensi estrogen
Estrogen merupakan hormon seks steroid memegang peran yang sangat
penting dalam metabolisme tulang, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas
maupun osteoklas. Sel osteoblas merupakan sel target utama estrogen. Sel
osteoblas memiliki reseptor estrogen alpha dan betha (ER-α dan ER-β) di
dalam sitosol. Ikatan estrogen dengan reseptor estrogen menghambat sekresi
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor-α (TNF-
α) yang memelihara perkembangan osteoklas. Estrogen juga merangsang
produksi Transforming Growth Factor-β (TGF-β) dan ekspresi osteoprotegrin
15
(OPG) yang menyebabkan apoptosis osteoklas. Didalam percobaan binatang
defisiensi estrogen menyebabkan terjadinya osteoklastogenesis dan terjadi
kehilangan tulang. Akan tetapi dengan pemberian estrogen terjadi
pembentukan tulang kembali. Defisiensi estrogen terjadi pada wanita
menopause, konsumsi obat yang menghambat produksi estrogen dan latihan
fisik yang berlebih (exercise-induced amenorrhea) (Kawiyana, 2009).
Gambar 2.1 Fungsi estrogen pada metabolisme tulang
b. Hormon lain
Metabolisme tulang juga dipengaruhi oleh hormon lain seperti hormon
paratiroid, calcitonin, 1,25 D3, tiroid, testosteron, glukokortikoid dan
hormon pertumbuhan (Tabel 2.1). Sekresi hormon paratiroid dirangsang
16
oleh hipokalsemia. Hormon paratiroid berikatan dengan reseptor osteoblas
merangsang pelepasan IL-6 sehingga meningkatkan produksi dan aktivitas
osteoklas. 1,25 D3 (metabolit vitamin D) bekerja dengan mekanisme yang
sama dengan hormon paratiroid. Calcitonin menghambat penyerapan
tulang dengan bekerja langsung pada osteoklas dewasa (WHO, 2003).
Tabel 2.1
Hormon-hormon yang mempengaruhi bone turnover
HORMON PEMBENTUKAN
TULANG
PENYERAPAN
TULANG
MASA
TULANG
Estrogen ↑ ↓ ↑
Paratiroid ↑ ↓
Calcitonin ↓ ↑
1,25 D3 ↑ ↓
Testosteron ↑ ↓ ↑
Hormon
pertumbuhan
↑ ↑
Glukokortikoid ↓ ↓
3. Defisiensi nutrisi
Diantara berbagai nutrisi, kalsium dan vitamin D merupakan nutrisi yang
paling penting dalam metabolisme tulang. Sembilan puluh sembilan persen
total kalsium tubuh disimpan dalam tulang dan gigi, sisanya berada di dalam
sel dan darah. Bila terjadi kekurangan kalsium dalam darah salah satunya
memicu pengeluaran hormon paratiroid yang menyebabkan terjadinya
17
penyerapan tulang untuk meningkatkan kadar kalsium darah. Kondisi yang
menyebabkan penurunan kalsium dalam darah adalah kurangnya kalsium
dalam diet, penurunan atau terganggunya penyerapan kalsium di usus (pada
orang tua) dan menurunnya reabsorbsi kalsium (pada kelainan ginjal) (SIGN,
2003).
Dalam metabolisme tulang vitamin D berfungsi untuk meningkatkan
penyerapan kalsium di usus, reabsorbsi kalsium di ginjal dan mineralisasi
tulang. Kekurangan vitamin D juga memicu sekresi hormon paratiroid. Sumber
vitamin D adalah dari diet dan kulit. Sinar matahari diperlukan untuk memicu
kulit menghasilkan vitamin D. Penelitian terbaru menyebutkan kekurangan
protein juga dapat memicu osteoporosis. Kekurangan protein menyebabkan
menurunnya produksi IGFs (WHO, 2003).
4. Kurangnya pembebanan mekanis
Pembebanan mekanik pada tulang menimbulkan stres mekanik yang
menimbulkan efek pada jaringan tulang yaitu pembentukan tulang pada
permukaan periosteal dan mengurangi penyerapan tulang. Disini sel osteosit
memegang peranan penting dalam menginisiasi remodeling tulang dengan
mengirim sinyal lokal kepada sel osteoblas dan osteoklas. Osteosit mempunyai
kemampuan deteksi perubahan aliran cairan interstisial dalam kanalikuli yang
dihasilkan akibat pembebanan (Kawiyana, 2009).
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis osteoporosis sulit dilakukan. Penyakit ini tidak mempunyai gejala dan
tanda spesifik. Diagnosa sering kali baru diketahui saat sudah terjadi patah tulang.
18
Karena itu osteoporosis disebut sebagai silent disease. Secara klinis kecurigaan
terhadap adanya osteoporosis bila didapatkan: (1) faktor resiko, terutama faktor
resiko mayor, (2) fraktur akibat trauma ringan, (3) nyeri tulang pada orang tua, (4)
tubuh yang makin pendek dan bungkuk (Papaioannou dkk, 2010).
Pada pasien yang dicurigai osteoporosis selanjutnya dilakukan prosedur
diagnostik untuk memastikan adanya osteoporosis. Sesuai dengan definisi
osteoporosis, pemeriksaan yang paling penting adalah pengukuran masa tulang.
Saat ini baku standar pengukuran masa tulang adalah dengan Dual Energy X-ray
Absorptiometry (DEXA). Alat ini menggunakan radiasi sinar-X yang sangat
rendah. Pengukuran dapat dilakukan pada seluruh tulang, namun biasanya
dilakukan pada tulang belakang, leher femur dan radius distal. Dalam
pemeriksaan DEXA akan diperoleh densitas mineral tulang pada area tertentu
dalam gram/cm2. Hasil ini kemudian dikonversikan menjadi skor T dan skor Z.
Skor T adalah perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan
dengan kadar rerata densitas mineral tulang orang dewasa etnis yang sama. Skor Z
adalah perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan
kadar rerata densitas mineral tulang orang dengan umur dan etnis yang sama.
Berdasarkan skor T terdapat empat kategori masa (densitas) tulang, yaitu:
1. Normal: skor T ≥ -1 SD atau ≤ 10% dibawah rata-rata orang dewasa.
2. Osteopenia: skor T antara -1 SD sampai -2,5 SD atau 10-25% dibawah rata-
rata orang dewasa.
3. Osteoporosis: skor T < -2,5 SD atau > 25% dibawah rata-rata orang dewasa.
4. Osteoporosis lanjut: osteoporosis disertai dengan adanya fraktur osteoporosis
19
Untuk monitoring osteoporosis pemeriksaan DEXA dapat diulang dalam kurun
waktu 1-2 tahun (WHO, 2003; Kawiyana, 2009).
Selain pengukuran masa tulang perlu juga dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui adanya osteoporosis sekunder. Pemeriksaan untuk
mengetahui adanya osteoporosis sekunder antara lain: hematologi rutin, serum
kalsium, albumin, kreatinin, fungsi hati dan alkaline fosfatase. Pemeriksaan
tambahan lain dapat dilakukan sesuai kecurigaan yang ada (WHO,2003).
Pemeriksaan laboratorium juga dapat digunakan untuk mengukur aktivitas
bone turnover. Untuk mengukur aktivitas bone turnover telah dikenal penanda
biokimia tulang (biochemical bone marker) yang diperiksa melalui darah atau urin
yang dapat menilai aktivitas pembentukan tulang dan penyerapan tulang. Standar
diagnosis osteoporosis adalah BMD namun pemeriksaan ini tidak dapat memberi
gambaran aktivitas osteoblas dan osteoklas. Dimana pada osteoporosis, seperti
telah dijelaskan sebelumnya, aktivitas osteoklas lebih banyak daripada osteoblas.
Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk monitoring efek dari suatu obat
osteoporosis karena perubahannya lebih cepat terdeteksi dibanding dengan BMD
(WHO, 2003; SIGN, 2004).
Penanda biokimia tulang dibagi menjadi dua yaitu penanda pembentukan
tulang dan penanda penyerapan tulang. Penanda pembentukan tulang digunakan
untuk osteoporosis pasca menopause, penyakit Paget dan tumor tulang yang
bersifat osteoklastik. Penanda pembentukan tulang digunakan untuk tumor tulang
yang bersifat osteoblastik, osteomalacia dan penyakit Paget (Singer dan Eyre,
2008).
20
1. Penanda pembentukan tulang
Penanda pembentukan tulang merupakan produk dari aktivitas osteoblas, baik
produk langsung atau tidak langsung. Semua penanda pembentukan tulang
diukur dari serum atau plasma (Delmas dkk, 2000; Singer dan Eyre, 2008).
Penanda pembentukan tulang antara lain:
a. Alkaline phosphatase
Alkaline fosfatase merupakan petanda tulang yang pertama ditemukan dan
saat ini merupakan petanda tulang yang paling sering digunakan. Alkaline
fosfatase adalah suatu ensim yang terdapat pada osteoblas, sel hati, ginjal,
limpa dan plasenta. Walaupun dihasilkan oleh beberapa organ, alkaline
fosfatase sering digunakan untuk mengukur aktivitas osteoblas karena
sebagian besar alkaline fosfatase yang berada dalam serum berasal dari
osteoblas. Namun untuk mendapat nilai yang lebih spesifik dapat diperiksa
alkaline fosfatase tulang, karena alkaline fosfatase yang dihasilkan tiap sel
mempunyai komposisi yang berbeda (Singer dan Eyre, 2008).
b. Osteocalcin
Osteocalcin merupakan suatu peptida yang dihasilkan oleh osteoblas,
odontoblas dan chondrosit. Osteocalcin terlepas dari matriks tulang saat
proses penyerapan tulang. Oleh karena itu osteocalcin mengukur aktivitas
pembentukan dan penyerapan tulang (Delmas dkk, 2000; Singer dan Eyre,
2008).
2. Penanda penyerapan tulang
21
Sebagian besar penanda penyerapan tulang adalah hasil dari degradasi kolagen
tulang saat proses penyerapan tulang. Penanda penyerapan tulang dapat diukur
melalui serum atau urin (Delmas dkk, 2000; Singer dan Eyre, 2008)
a. Pyridinoline dan deoxypyridinoline
Pyridinoline dan deoxypyridinoline adalah suatu asam amino penyusun
kolagen. Pyridinoline terdapat pada kolagen tulang, kartilage dan ligamen,
sedangkan deoxypiridinoline hanya terdapat pada kolagen tulang dan gigi.
Keduanya terlepas saat proses penyerapan tulang. Pyridinoline dan
deoxypyridinoline diperiksa melalui urin (Delmas dkk, 2000).
b. Cross-linked C-terminal telopeptide (CTx)
CTx merupakan fragmen dari kolagen tipe 1 yang terdapat pada tulang
yang terlepas saat proses penyerapan tulang. CTx dapat diukur melalui
serum atau urin, sampel sebaiknya diambil pada pagi hari setelah puasa
minimal delapan jam. CTx merupakan petanda penyerapan tulang terbaik
untuk monitoring obat anti-resorpsi (Kawiyana, 2009).
2.1.6 Penatalaksanaan
Non-farmakologi
1. Nutrisi seimbang
Defisiensi kalsium dan vitamin D merupakan salah satu faktor terjadinya
osteoporosis. Karena itu asupan kalsium harus sesuai kebutuhan (Tabel 2.2).
Sumber kalsium antara lain: susu, keju, yogurt dan ikan.
22
Tabel 2.2
Kebutuhan kalsium menurut umur
KATEGORI USIA (tahun) KEBUTUHAN KALSIUM
(mg/hari)
Bayi 0 – 0,5 400
0,5 – 1 600
Anak 1 – 5 800
6 – 10 800 – 1200
Laki-laki 11 – 24 1200 – 1500
25 – 65 1000
> 65 1500
Wanita 11 – 24 1200 – 1500
25 – 50 1000
> 50 1500
Hamil dan
menyusui
1200
Vitamin D yang dihasilkan kulit akibat paparan sinar matahari pagi sudah
mencukupi kebutuhan namun pada orangtua kemampuan ini menurun sehingga
diperlukan vitamin D tambahan, baik dari makanan ataupun suplemen. Ikan
adalah salah satu sumber vitamin D. Vitamin D tambahan yang diperlukan
sekitar 400 – 800 IU/hari (Cashman, 2007).
23
Selain kalsium dan vitamin D, beberapa penelitian menyebutkan
fitoestrogen dapat mencegah dan mengobati osteoporosis. Fitoestrogen terdapat
pada kedelai, toge, daun semanggi dan hulbah (Bawa, 2010).
2. Aktivitas fisik (olahraga)
Olahraga merupakan bagian yang penting dalam pencegahan dan pengobatan
osteoporosis. Jenis olahraga yang boleh dilakukan antara lain: jalan kaki,
latihan kekuatan otot dengan beban dan latihan keseimbangan seperti senam tai
ci. Jenis olah raga yang dihindari adalah olahraga yang memberikan
pembebanan pada punggung dan kaki seperti melompat dan lari; dan olahraga
yang menyebabkan benturan fisik seperti sepakbola. Dosis olahraga juga harus
disesuaikan dengan umur dan kapasitas funsional (SIGN, 2003).
3. Gaya hidup sehat
Selain nutrisi seimbang dan berolahraga, gaya hidup sehat meliputi tidak
merokok, minum alkohol dan minum kopi berlebihan (WHO, 2003).
Farmakologi
1. Terapi pengganti estrogen
Terapi pengganti estrogen diberikan pada osteoporosis pasca menopause.
Seperti telah dibahas sebelumnya, estrogen mempunyai efek anti-resorpsi.
Pemberian estrogen secara oral, transdermal atau implan kesemuanya dapat
meningkatkan densitas tulang secara bermakna. Selain sebagai anti-resorpsi
terapi estrogen juga mengurangi keluhan-keluhan sindrom menopause.
Beberapa preparat estrogen yang tersedia beserta dosisnya adalah 17-estradiol
subkutan 25 – 50 mg tiap 6 bulan, subkutan 1,5 mg/hari atau oral 1 – 2
24
mg/hari; dan estrogen terkonjugasi 0,625 mg/hari. Namun pemberian estrogen
jangka panjang dapat meningkatkan resiko kanker payudara, kanker
endometrium dan efek samping lainnya (WHO, 2003).
Untuk mengurangi efek samping terapi estrogen saat ini golongan obat
yaitu raloxifene yang merupakan suatu Selective Estrogen Receptor Modulator
(SERM). Obat ini secara selektif hanya bekerja pada reseptor β estrogen
sehingga hanya bekerja pada tulang dan jantung namun tidak bekerja pada
payudara dan uterus. Dosis yang direkomendasikan adalah 60 mg/hari
(Lewiecki dkk, 2010). Selain itu saat ini berbagai penelitian menyoroti
fitoestrogen sebagai alternatif terapi estrogen. Fitoestrogen adalah suatu
senyawa alamiah yang terdapat pada beberapa tanaman yang dapat berikatan
dengan reseptor estrogen sehingga mempunyai efek estrogenik. Fitoestrogen
terdapat pada kedelai, toge, daun semanggi dan hulbah (Poulsen dan Kruger,
2008).
2. Bifosfonat
Bifosfonat merupakan analog pirofosfat yang dapat mengurangi penyerapan
tulang oleh osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim
lisosomal dibawah osteoklas. Bifosfonat merupakan obat pilihan pertama
dalam pengobatan osteoporosis. Bifosfonat mempunyai beberapa golongan
namun yang paling sering digunakan adalah etidronate, alendronate dan
risedronate. Etidronate diberikan secara intermiten dengan dosis 400 mg/hari
selama 2 minggu setelah itu diikuti dengan pemberian kalsium 500 mg/hari.
Alendronate dapat diberikan dalam dosis 5 – 10 mg/hari atau 70 mg/minggu.
25
Sedangkan risedronate diberikan dengan dosis 5 mg/hari (WHO, 2003;
Papaioannou dkk, 2010).
Bifosfonat sebaiknya diminum 30 – 60 menit sebelum makan hanya
dengan air putih karena penyerapannya akan terganggu oleh makanan terutama
yang mengandung kalsium. Selama itu pasien harus dalam posisi tegak tidak
boleh berbaring karena bifosfonat dapat menyebabkan iritasi esofagus.
Bifosfonat yang tidak melekat pada tulang akan diekskresikan dalam bentuk
utuh melalui ginjal, sehingga harus hati-hati pemberiannya pada penderita
gagal ginjal (Kawiyana, 2009).
3. Kalsitonin
Kalsitonin merupakan hormon peptida yang dihasilkan tiroid yang dapat
menghambat penyerapan tulang dengan mencegah osteoklastogenesis.
Kalsitonin yang digunakan dalam pengobatan osteoporosis berasal dari
kalsitonin salmon yang 10 kali lebih efektif dibanding kalsitonin manusia.
Selain sebagai anti-resorpsi, kalsitonin juga mengurangi keluhan nyeri tulang
pada pasien osteoporosis. Sediaan kalsitonin yang ada berupa semprot hidung
(nasal spray) dan injeksi subkutan. Pemberian dengan semprot hidung
mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibanding dengan injeksi
subkutan. Kalsitonin merupakan obat pilihan kedua bila pasien mempunyai
kontraindikasi dengan pemberian bifosfonat (WHO, 2003; Lewiecki dkk,
2010).
2.1.7 Komplikasi dan prognosis
26
Komplikasi utama dari osteoporosis adalah fraktur osteoporotis. Fraktur yang
paling sering terjadi adalah fraktur hip, tulang belakang dan radius distal.
Prognosis pasien osteoporosis akan memburuk bila sudah terjadi fraktur. Fraktur
osteoporotik akan menimbulkan berbagai dampak antara lain:
1. Nyeri, terutama pada fraktur tulang belakang
2. Gangguan fungsi, sehingga mobilitas dan aktivitas menurun
3. Imobilitas jangka panjang selanjutnya menimbulkan komplikasi seperti
dekubitus dan gangguan paru. Penyakit paru merupakan penyebab kematian
tersering pada pasien osteoporosis (SIGN, 2003; WHO, 2003).
Pasien fraktur osteoporosis ini juga akan menimbulkan dampak sosial maupun
ekonomi. Dampak ekonomi meliputi biaya pengeluaran langsung dan tidak
langsung. Biaya pengeluaran langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk
pengobatan, di Amerika Serikat misalnya biaya yang dikeluarkan adalah sebesar
47 juta dolar Amerika perhari. Sedangkan biaya tidak langsung adalah hilangnya
waktu kerja dan biaya lain seperti transportasi selama perawatan pasien (WHO,
2003).
2.3 Fitoestrogen
Fitoestrogen adalah suatu senyawa alamiah yang terdapat pada beberapa tanaman
yang mempunyai struktur kimia sama dengan estradiol, suatu estrogen endogen.
Fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen sehingga mempunyai efek
estrogenik. Keuntungan fitoestrogen adalah fitoestrogen bekerja sebagai SERM,
pada jaringan tertentu (tulang dan kardiovaskuler) bekerja sebagai estrogen
27
sedangkan pada jaringan lain (mamae, ovarium dan endometrium) bekerja sebagai
anti estrogen (Setchell dan Olsen, 2003; Arjmandi, 2010).
2.2.1 Klasifikasi
Terdapat tiga kelas fitoestrogen, yaitu (Nijveldt dkk, 2001):
1. Flavonoid
Fitoestrogen yang termasuk flavonoid antara lain: isoflavon (genistein dan
daidzein) dan narigenin. Flavonoid terdapat pada kedelai, teh, daun semanggi
dan tanaman dari famili Leguminosae.
2. Coumestan
Fitoestrogen yang termasuk coumestan adalah comestrol. Comestrol terdapat
pada toge.
3. Lignan
Fitoestrogen yang termasuk lignan adalah enterdiol dan enterolactone. Lignan
terdapat pada padi-padian dan bawang putih.
Diantara kelompok fitoestrogen tersebut, flavonoid khususnya isoflavon
merupakan senyawa yang paling banyak dimanfaatkan karena kandungan
fitoestrogennya lebih tinggi. Saat ini telah banyak ditemukan fitoestrogen baru
seperti 8-isopenenyl naringenin, resveratrol yang terdapat pada anggur; glyceollin
yang terdapat pada kedelai; ginsenoide yang terdapat pada gingsen; dan lindleyin
yang terdapat pada rhizoma (Poulsen dan Kruger, 2008; Bawa, 2010).
2.2.2 Efek fitoestrogen terhadap tulang
Penelitian tentang efek fitoestrogen terhadap osteopororsi berawal dari suatu
observasi bahwa prevalensi fraktur osteoporotis pada wanita Asia lebih rendah
28
dibandingkan wanita Eropa. Hal ini kemudian dihubungkan dengan diet wanita
Asia yang lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah yang kaya fitoestrogen
dibanding wanita Eropa. Penelitian pada binatang juga membuktikan fitoestrogen
dapat meningkatkan pembentukan tulang dan menurunkan penyerapan tulang.
Berdasarkan meta-analisis yang dilakukan Ma dkk terhadap sembilan penelitian
pada tikus didapatkan bahwa flavonoid secara signifikan menurunkan ekskresi
deoxypyridinoline (Dpd) pada urin dan meningkatkan alkaline fosfatase tulang.
Penelitian-penelitian observasional dan eksperimental pada manusia juga
membuktikan fitoestrogen dapat meningkatkan masa tulang. Salah satunya adalah
penelitian eksperimental di Inggris yang membandingkan densitas tulang wanita
yang diberikan teh mengandung flavonoid dan plasebo, didapatkan wanita yang
diberi teh mengandung flavonoid mempunyai densitas tulang yang lebih tinggi
(Knekt dkk, 2002; Miadokova, 2009).
Diantara kelompok fitoestrogen isoflavon terbukti mempunyai efek
estrogenik yang lebih tinggi. Efek estrogenik ini terkait dengan struktur isoflavon
yang dapat ditransformasikan menjadi equol. Dimana equol mempunyai struktur
fenolik yang mirip dengan hormon estrogen sehingga dapat berikatan dengan
reseptor estrogen. Isoflavon dapat berikatan baik dengan reseptor estrogen-α dan
reseptor estrogen-β, namun ikatannya lebih kuat dengan reseptor estrogen-β.
Interaksi antara isoflavon dengan reseptor estrogen sedikit berbeda dengan
estrogen sehingga efek estrogenik yang ditimbulkan lebih lemah dibandingkan
estrogen. Seperti halnya estrogen, ikatan isoflavon dengan reseptor estrogen
menurunkan sekresi interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis
29
Factor-α (TNF-α) yang memelihara perkembangan osteoklas. Isoflavon juga
merangsang produksi Transforming Growth Factor-β (TGF-β) dan ekspresi
osteoprotegrin (OPG) yang menyebabkan apoptosis osteoklas (Mardon dkk,
2008).
Saat ini telah dikembangkan isoflavon sintetik yaitu ipriflavon. Penelitian in
vitro menunjukan bahwa ipriflavon menurunkan penyerapan tulang dan
meningkatkan pembentukan tulang. Penelitian oleh Gennari yang menggunakan
56 sampel wanita pasca menopause, membandingkan BMD antara sampel yang
diberi ipriflavon 3x200 mg/hari dan plasebo. Didapatkan bahwa penurunan BMD
lebih kecil pada kelompok yang mendapat ipriflavon. Namun penelitian lain
dengan sampel yang lebih besar dan waktu yang lebih panjang gagal
membuktikan efek ipriflavon tersebut. Oleh karena itu saat ini ipriflavon belum
digunakan untuk pengobatan osteoporosis (Miadokova, 2009).
Manfaat fitoestrogen tidak hanya berkaitan dengan efek estrogeniknya,
namun beberapa penelitian menunjukan fitoestrogen juga memiliki efek
antiinflamasi, antioksidan, antikolesterol, antithrombus dan antidiabetes (Knekt
dkk 2002; Usui 2006).
Efek klinis fitoestrogen masih menjadi perdebatan. Beberapa penelitian
berhasil membuktikan fitoestrogen mempunyai efek-efek tersebut diatas namun
penelitian-penelitian lain tidak membuktikan efek-efek tersebut. Perbedaan ini
karena sebagian besar penelitian yang ada waktunya singkat dan menggunakan
sampel yang kecil. Selain itu tiap jenis fitoestrogen mempunyai efektivitas yang
berbeda-beda dan belum diketahui dosis yang efektif. Karena itu diperlukan
30
penelitian-penelitian lanjutan untuk membuktikan efek klinis fitoestrogen (Knekt,
2002; Miadokova, 2009; Arjmandi, 2010).
2.4 Hulbah (Trigonella foenum graecum)
2.4.1 Biologi
Salah satu tanaman yang mengandung fitoestrogen adalah hulbah atau klabet,
dalam bahasa Inggris disebut fenugreek dan dalam bahasa latin disebut Trigonella
foenum graecum. Hulbah merupakan suatu tanaman polongan. Batangnya tegak,
kecil dan panjang dengan ketinggian sekitar 2 meter. Daunnya berwarna hijau
muda, berbentuk telur, tepi bergerigi, ukuran 20-25 mm. Buah berupa buah
polong, bentuk memanjang 5-10 cm, didalamnya berisi 10-20 biji. Biji berbentuk
belah ketupat, berwarna kecoklatan, panjang 5-7 mm, tebal 2 mm, terdapat alur
yang membelah menjadi 2 lobus (Ulbricht dkk, 2007).
Gambar 2.2 Tanaman dan biji hulbah
Klasifikasi hulbah adalah sebagai berikut (Ulbricht dkk, 2007):
Kindom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
31
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Leguminosae
Familia : Fabaceae
Genus : Trigonella
Spesies : Trigonella foenum graecum
2.4.2 Manfaat dan kandungan hulbah
Tanaman ini berasal dari India dan Afrika utara namun sekarang sudah ada di
seluruh dunia. Bagian yang bisa digunakan dari tanaman ini adalah daun dan
bijinya. Hulbah sudah sejak dahulu digunakan sebagai tanaman obat untuk
mengobati beberapa penyakit pada pengobatan tradisional India (ayurveda) dan
Cina. Selain itu hulbah dimanfaatkan sebagai bumbu makanan, sayuran dan
rempah-rempah (Basch dkk, 2003).
Biji hulbah mengandung flavonoid (daidzein, genestein, naringenin,
biochanin, formononetin, irilone, calycosin, vitexin, tricin, quercetin), saponin
(diosgenin, yamogenin, gitogenin, tigogenin, neotigogen), alkaloid (kolin dan
trigonelline), asam amino (4-hydroxyisoleucine), vitamin, mineral, serat, sotolon,
pectin dan coumarin (Shang dkk, 1998).
Beberapa penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa hulbah mempunyai
efek antidiabetes, antikolesterol, antioksidan, antikarsinogenik dan estrogenik.
32
Tabel 2.3
Perbandingan kandungan hulbah dan kedelai (100 g)
KANDUNGAN KEDELAI HULBAH
Kalori 446 323
Lemak 20 g 6 g
Kolesterol 0 0
Natrium 2 mg 67 mg
Kalium 1797 mg 770 mg
Karbohidrat 30 g 58 g
Serat 9 g 25 g
Protein 36 g 23 g
Vit A 22 IU 60 IU
Vit B 0,4 mg 0,6 mg
Vit C 6 mg 3 mg
Kalsium 277 mg 270 mg
Besi 15,7 mg 33,5 mg
Magnesium 280 mg 191 mg
Flavonoid 36 g 33 g
Diantara kandungan flavonoid dari hulbah, daidzein yang merupakan suatu
isoflavon, mempunyai efek estrogenik yang lebih tinggi dibanding senyawa
lainnya. Aktivitas estrogenik tersebut terkait dengan struktur isoflavon yang dapat
ditransformasikan menjadi equol, dimana equol mempunyai struktur fenolik yang
33
mirip dengan hormon estrogen (Shang dkk, 1998). Walaupun sudah terbukti
mengandung fitoestrogen namun belum ada penelitian tentang bagaimana pengaruh
hulbah terhadap tulang (Bukhari dkk, 2008; Khan dkk, 2009; Sreeja dan Anju,
2010).
2.4.3 Dosis dan efek samping hulbah
Hulbah, seperti sebagian besar tanaman obat, belum mempunyai dosis standar.
Salah satu dosis yang dianjurkan adalah 2 kali 2,5 gram/hari untuk mengobati
hiperlipidemia dan diabetes tipe 2 pada orang dewasa. Penelitian pada sapi
menunjukan efek estrogenik timbul pada dosis minimal 0,2 gr/kgBB. Berdasarkan
penelitian pada tikus didapatkan LD50 pada dosis lebih dari 5 gram/kg berat badan
yang diberikan secara oral (Ulbricht dkk, 2007).
Hulbah dapat menimbulkan beberapa efek samping. Mengkonsumsi lebih
dari 100 gram hulbah setiap hari dapat menyebabkan diare dan dispepsia. Pada
beberapa orang juga dapat menimbulkan reaksi alergi dengan gejala seperti kulit
kemerahan, angio-oedem, batuk dan sesak nafas. Orang yang sensitif terhadap
kedelai dan kacang-kacangan cenderung sensitif terhadap hulbah. Hulbah
mempunyai bau yang khas dan dapat menyebabkan keringat dan urin berbau
seperti sirup maple. Secara umum hulbah aman untuk dikonsumsi namun
sebaiknya tidak diberikan pada anak-anak dan ibu hamil (Bukhari dkk, 2008).
2.5 Tulang Tikus
Dalam pemilihan binatang untuk penelitian terdapat beberapa kriteria yang perlu
dipenuhi antara lain: tidak melanggar undang-undang, mudah didapat, mudah
34
dipelihara, murah dan secara biologis fenomena yang diteliti terdapat pada
binatang tersebut. Berdasarkan kriteria tersebut tikus termasuk binatang yang
memenuhi kriteria. Secara histologi sebenarnya binatang yang lebih besar seperti
anjing, domba atau monyet lebih cocok menjadi model, namun kurang memenuhi
kriteria lainnya diatas (Lelovas dkk, 2008).
2.5.1 Fisiologi
Usia tikus berkisar antara 3-4 tahun tergantung strainnya. Tikus sudah matur
secara seksual pada usia 3 bulan namun tulang tikus matur pada usia 10-12 bulan.
Pada usia 0-3 bulan terjadi pertumbuhan yang pesat pada tulang tikus. Setelah 3-6
bulan kecepatan pertumbuhan tulang tikus mulai menurun dan plateau pada usia
diatas 10-12 bulan. Setelah usia 24 bulan tulang tikus tidak mengalami
pertumbuhan lagi. Tikus tidak mengalami menopause seperti manusia, sehingga
masa tulang tikus stabil sepanjang hidupnya (Kalu, 1999).
Berdasarkan penelitian, umur tikus yang dapat digunakan untuk
penelitian adalah antara 3 bulan – 2 tahun. Penelitian sebaiknya dilakukan pada
masa remodeling (>12 bulan) karena tidak lagi terjadi maturasi tulang, sehingga
bila dilakukan ovarektomi dan kemudian terjadi penurunan masa tulang,
penurunan masa tulang ini memang disebabkan karena ovarektomi menyebabkan
peningkatan penyerapan tulang seperti pada wanita paska menopause. Bila
menggunakan tikus yang masih mengalami maturasi (< 6 bulan), penurunan masa
tulang mungkin diakibatkan tidak tercapainya masa tulang optimal akibat
ovarektomi dan bukan karena peningkatan penyerapan tulang seperti pada wanita
pasca menopause. Namun tikus dengan usia diatas 12 bulan biasanya sulit
35
didapat, harganya lebih mahal dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk
mendapatkan efek ovariektomi (3-6 bulan). Oleh karena itu banyak penelitian
yang menggunakan tikus dengan usia 3 bulan. Tikus dengan usia 3 bulan lebih
mudah didapat, harganya lebih murah dan waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan efek ovariektomi lebih singkat (2-4 minggu). (Kalu, 1999; Raska
dkk, 2009)
2.5.2 Teknik untuk menciptakan osteoporosis pada tulang tikus
Manfaat penelitian ini nantinya adalah untuk pasien osteoporosis, sehingga perlu
diciptakan keadaan osteoporosis pada tikus. Untuk menciptakan keadaan
osteoporosis pada tikus, terdapat beberapa cara yaitu: (1) ovariektomi, dengan
ovariektomi sumber estrogen sistemik akan menghilang. (2) imobilisasi dengan
gips, seperti telah dijelaskan sebelumya imobilisasi akan menyebabkan
peningkatan penyerapan tulang, (2) injeksi obat seperti agonis gonadotropin,
antagonis estrogen atau inhibitor aromatase. Diantara cara-cara tersebut,
ovariektomi paling sesuai dengan osteoporosis pasca menopause pada wanita
(Andersson dkk, 2004).
2.4.3 Efek ovariektomi pada tulang tikus
Penelitian awal mengenai pengaruh ovariektomi pada tikus dilakukan oleh
Saville. Saville melakukan ovariektomi pada tikus usia 3 minggu, setelah 3 bulan
didapatkan tikus tersebut mempunyai volume kalsium tulang perunit yang lebih
rendah dibanding tikus kontrol. Meta-analisis yang dilakukan Kalu terhadap 80
penelitian tentang efek ovariektomi terhadap tulang tikus, hanya 4 penelitian yang
36
tidak membuktikan terjadinya penurunan masa tulang pasca ovariektomi (Kalu,
1991).
Berdasarkan penelitian terdapat kesamaan karakteristik proses penyerapan
tulang pada tikus yang dilakukan ovariektomi dan wanita yang mengalami
menopause. Setelah ovariektomi sumber estrogen sistemik menghilang, pada fase
awal menyebabkan terjadinya peningkatan tajam bone turnover (penyerapan
tulang lebih tinggi dari pembentukan tulang). Beberapa hari setelah fase awal
bone turnover perlahan menurun sampai akhirnya penyerapan dan pembentukan
tulang kembali seimbang. Penyerapan tulang lebih banyak terjadi pada tulang
cancellous dibanding tulang cortical. Hilangnya estrogen juga menyebabkan
penurunan penyerapan kalsium di usus. Karakteristik lain yang juga sama adalah
efek terhadap obat-obat osteoporosis. Pemberian estrogen atau biphosphonat pada
tikus pasca ovariektomi dapat mengurangi penyerapan tulang dan pada akhirnya
didapatkan masa tulang yang lebih tinggi (Jee dan Yao, 2001; Lelovas dkk, 2008).
2.5.4 Metode pengukuran terjadinya osteoporosis pada tulang tikus
Metode pengukuran terjadinya osteoporosis pada tikus antara lain dengan:
1. Densitometri
Alat ini mengukur densitas mineral tulang. Densitometri yang sering digunakan
saat ini adalah Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA). Pengukuran
dilakukan pada bagian metafisis tulang karena efek ovariektomi lebih
signifikan. Tulang yang biasanya dilakukan pengukuran adalah femur
proksimal, lumbar, tibia proksimal atau distal. Pemeriksaan ini sesuai dengan
standar diagnosis osteoporosis (Turner, 2001; Lelovas dkk, 2008).
37
2. Histomorfometri
Pemeriksaan histomorfometri memberikan gambaran sesungguhnya arsitektur
tulang. Pemeriksaan ini akan menunjukan jumlah osteoblas, osteoklas, osteosit;
tebal trabekula, dan bagaimana arsitektur tulang. Pemeriksaan histologi
sebenarnya paling ideal namun kelemahan dari pemeriksaan ini adalah
pemeriksaan hanya dilakukan pada sampel jadi belum tentu menggambarkan
keadaan tulang seluruhnya (Jee dan Yao, 2001; Lelovas dkk, 2008).
3. Penanda biokimia tulang
Sampel untuk pengukuran penanda biokimia dapat diambil melaui darah atau
urin. Penanda untuk pembentukan tulang antara lain alkalin fosfatase dan
osteocalcin. Penanda untuk penyerapan tulang antara lain pyridinoline dan
CTx. Keuntungan metode ini adalah mudah dilakukan dan efeknya lebih cepat
terlihat dibanding densitometri atau histomorfometri (Lelovas dkk, 2008).
4. Uji mekanis
Uji ini untuk menilai kekuatan tulang secara mekanis dengan alat khusus. Uji
mekanis hanya dapat dilakukan pada tulang diafisis (Lelovas dkk, 2008).
Top Related