7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tanaman Daun Sirih (Piper betle L.)
2.1.1 Klasifikasi Tanaman
Klasifikasi dari Piper betle L. adalah sebagai berikut (Purnama, 2017) :
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Piperales
Family : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper betle
A B C D
Gambar 2.1Bagian Tanaman Piper betle L.
A) Tanaman Sirih Hijau; B) Batang Sirih Hijau ; C) Daun Sirih Hijau; D)
Bunga dan Buah Sirih Hijau (Purnama, 2017).
2.1.2 Nama Daerah
Indonesia merupakan negara yang terbagi atas beberapa provinsi dengan
bahasa yang berbeda – beda hal ini ditunjukkan pada sebutan dari suatu tanaman
salah satunya pada tanaman daun sirih hijau (Piper betle L.) terdapat berbagai
macam sebutan nama diantaranya : Ranub (aceh), sereh (Gayo), Belo Batak
(karo), Burangir (Mandailing),Cabai (Mentawai), Sirih (Palembang,
Minangkabau), Seureuh (Sunda), Sere(Madura), Uwit (Dayak), Nahi (Bima),
Malu (Solor), Mokeh (Alor), Mota(Flores), Bido (Bacan) (Sulastri, 2017).
8
2.1.3 Penyebaran
Sirih ditemukan di bagian timur pantai afrika, di sekitar pulau Zanzibar,
daerah sekitar sungai indus ke timur menelusuri sungai Yang Tse Kiang,
kepulauan Bonin, kepulauan Fiji, dan kepulauan Indonesia.Sirih tersebar di
Nusantara dengan skala yang tidak terlalu luas. Di Jawa tumbuh liar di hutan jati
atau hutan hujan sampai ketinggian 300m di atas permukaan laut. Untuk
memperoleh pertumbuhan yang baik diperlukan tanah yang kaya akan humus,
subur, dan pengairan yang baik (Buto, 2013).Tanaman sirih hijau (Piper batle L.)
tumbuh subur disepanjang Asia tropis hingga Afrika Timur menyebar hampir di
seluruh wilayah Indonesia, Malaysia, Thailand, Sri Lanka, India hingga
Madagaskar (Purnama, 2017).Di Indonesia, tanaman ini dapat ditemukan di pulau
Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Carolia, 2016).
2.1.4 Morfologi Tanaman
Sirih termasuk dalam tanaman dengan famili Piperaceae, merupakan jenis
tumbuhan yang merambat dan bersandar di pohon lain, yang tingginya 5-15 meter
(Inayatullah, 2012).
1. Batang Sirih Hijau
Batang sirih lunak berwarna coklat kehijauan,berbentuk bulat, beruas,
permukaan kulitnya kasar serta berkerut – kerut dan merupakan tempat keluarnya
akar (Susanto et al., 2017)
Gambar 2.2Batang Sirih Hijau (Purnama, 2017)
9
2. Daun Sirih Hijau
Sirih memiliki daun tunggal yang letaknya berseling dengan memiliki
bentuk bervariasi mulai dari bundar telur atau bundar telur lonjong, pangkal
berbentuk jantung atau agak bundar berlekuk sedikit, ujung daun runcing, pinggir
daun rata agak menggulung kebawah, panjang 5-18cm, lebar 3-12 cm. Daun
berwarna hijau, permukaan atas rata, licin agak mengkilat, tulang daun agak
tenggelam, permukaan bawah agak kasar, kusam, tulang daun menonjol, bau
aromatiknya khas, rasanya pedas (Inayatullah, 2012). Daun sirih memiliki bentuk
seperti jantung, berujung runcing, bertangkai, teksturnya kasar jika diraba, dan
mengeluarkan bau yang sedap aromatis (Carolia, 2016).
Gambar 2.3Daun Sirih Hijau (Purnama, 2017)
3. Bunga dan Buah Sirih Hijau
Tanaman sirih memiliki bunga majemukberkelamin 1, berumah 1 atau 2.
Bulir berdiri sendiri, di ujung danberhadapan dengan daun. Panjang bulir sekitar 5 -
15 cm dan lebar 2 – 5cm. Pada bulir jantan panjangnya sekitar 1,5 - 3 cm dan
terdapat duabenang sari yang pendek sedang pada bulir betina panjangnya sekitar
2,5 -6 cm dimana terdapat kepala putik tiga sampai lima, buah berwarna putihdan
hijau kekuningan (Prayoga, 2013).
Gambar 2.4Bunga dan Buah Sirih Hijau (Purnama, 2017)
10
2.1.5 Kandungan Tanaman
Daun sirih hijau mengandung 4,2% minyak atsiri yang komponen utamanya
terdiri dari bethel phenol dan beberapa derivatnya diantaranya Eugenol
allypyrocathechine 26.8-42.5%, Cineol 2.4-4.8%, methyl eugenol 4.2-15.8%,
Caryophyllen (seskuiterpen) 3-9.8, hidroksi kavikol, kavikol 7.2-16.7%, kavibetol
2.7-6.2%, estragol, ilypyrokatekol 0-9.6%, karvakrol 2.2-5.6%, alkaloid,
flavonoid, triterpenoid atau steroid, saponin, terpen, fenilpropan, terpinen, diastase
0.8-1.8% dan tanin 1-1.3% (Inayatullah, 2012). Pada tanaman daun sirih juga
mengandung polifenol (Putri, 2010).Senyawa fitokimia lainyang terkandung dalam
tanaman inimeliputieugenol,pcymene, cineole, caryofelen, kadimen estragol,
terpenena, danfenilpropada. Oleh karena kandungansenyawa kimia yang dimiliki
tanaman inisangat banyak, maka daun sirih jugamempunyai manfaat yang luas
sebagaibahan obat (Priyanto,2018). Daun sirih mempunyai aroma yang
khaskarena mengandung minyak atsiri 1-4,2%, air,protein, lemak, karbohidrat,
kalsium, fosfor,vitamin A, B, C, yodium, gula dan pati (Susanto et al., 2017).
Daun sirih mengandung asam amino kecuali lisin, histidin, dan arginin.
Asparagin terdapat dalam jumlah yang besar, sedangkan glisin dalam bentuk
gabungan, kemudian prolin dan ornitin. Daun sirih hijau yang lebih muda
mengandung minyak atsiri (pemberi bau aromatik khas), diastase dan gula yang
jumlahnya lebih banyak dibandingkan daun yang lebih tua, sedangkan untuk
kandungan tanin pada daun muda dan pada daun yang sudah tua sama. Komposisi
kimia daun sirih hijau dalam 100 gram bahan segar ditunjukkan pada tabel.
Tabel II.1Kandungan Kimia Daun Sirih Hijau (Inayatullah 2012)
No. Komponen
Kimia
Jumlah No. Komponen
kimia
Jumlah
1. Kadar air 85.14% 11. Karoten ( Vit. A ) 96000 IU
2. Protein 3.1% 12. Tiamin 70mg
3. Lemak 0.8% 13. Riboflavin 30 mg
4. Karbohidrat 6.1% 14. Asam nikotinat 0.7 mg
5. Serat 2.3% 15. Vit. C 5 mg
6. Bahan mineral 2.3% 16. Yodium 3.4 mg
7. Kalsium 230mg 17. Kalium nitrit 0,26-0.42mg
8. Fosfor 40mg 18. Kanji 1-1.2%
9. Besi 7mg 19. Gula non reduksi 0.6-2.5%
10. Besi ion 3.5mg 20. Gula reduksi 1.4-3.2%
11
2.1.6 Khasiat Tanaman
Sirih sudah dikenal lama dan telah banyak dimanfaatkan oleh kebanyakan
masyarakat di Indonesia. Sirih di Indoenasia sudah dikenal sejak tahun 600 SM,
sedangkan di Eropa baru diintroduksi setelah tahun 1295 yaitu setelah Marcopolo
menjelajahi Indonesia. Selain itu, sirih juga telah tercantum dalam farmakope
Inggris, Perancis dan India.Pada pengobatan tradisional India, daun sirih
kebanyakan dikenal sebagai zat aromatik yang menghangatkan, bersifat
antiseptik, dan bahkan meningkatkan gairah seksual. Kandungann tanin pada daun
sirih dipercaya memiliki khasiat untuk mengurangi sekresi cairan pada vagina,
melindungi fungsi hati, dan mencegah diare. Sirih juga mengandung arecoline
diseluruh bagan tanaman yang bermanfaat untuk merangsang saraf pusat dan
daya pikir, meningkatkan peristaltik, dan meredakan dengkuran. Kandungan
eugenol pada daun sirih mampu membunuh jamur Candida albicans, mencegah
ejakulasi dini, dan bersifat analgesik. Daun sirih juga sering digunakan oleh
masyarakat untuk menghilangkan bau mulut, mengobati luka, menghentikan gusi
berdarah, sariawan dan menghilangkan bau badan (Inayatullah, 2012). Selain
beberapa khasiat tersebut simplisia daun sirih memiliki khasiat yang lain sebagai
antisariawan, antibatuk, astringent (Putri, 2010).
Daun sirih dapat digunakan sebagaiantibakteri karena mengandung 4,2%
minyakatsiri yang sebagian besar terdiri dari betephenolyang merupakan isomer
Euganolallypyrocatechine, Cineol methil euganol,Caryophyllen (siskuiterpen),
kavikol, kavibekol,estragol dan terpinen (Hermawan, 2007). Air rebusan daun
sirih dapat digunakan untukmengobati batuk maupun berfungsi sebagaibakteriosid
terutama terhadap Haemophylusinfluenzae, Staphylococcus aureus
danStreptococcus haemoliticus (Hermawan, 2007). Selain itu daun sirih juga
dapat digunakan untukpengobatan berbagai macam penyakitdiantaranya obat sakit
gigi dan mulut,sariawan, abses rongga mulut, luka bekascabut gigi, penghilang
bau mulut, batuk danserak, hidung berdarah, keputihan, wasir, tetesmata,
gangguan lambung, gatal-gatal, kepalapusing, jantung berdebar dan trachoma
(Hermawan, 2007).Daun sirih dipercaya memiliki banyak khasiat untuk
mengobati berbagai penyakit yang ada di masyarakat, yaitu sebagai obat sariawan,
luka, gatal, mata gatal dan merah, mimisan atau keluarnya darah dari hidung, serta
12
menghilangkan bau badan, bau mulut, jerawat, dan menguatkan gigi agar tidak
mudah tanggal. Namun, hanya sedikit yang mengetahui bahwa daun sirih hijau
berfungsi sebagai antibiotik (Purnama, 2017).
2.2 Tinjauan Staphylococcus aureus
2.2.1 Klasifikasi
Klasifikasi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut (Inayatullah,
2012) :
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Micrococcaceae
Marga : Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus aureus
2.2.2 Morfologi dan Sifat
Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri Gram positif berbentuk
bulat berdiameter 0,7-1,2µm, tersusun dalam kelompok – kelompok yang tidak
teratur seperti buah anggur, non motil, tidak membentuk spora, dapat tumbuh
pada berbagai media pada suasana aerob dan memproduksi katalase yang
merupakan bakteri patogen bagi manusia. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum
37ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20º-25ºC). Koloni
pada pembenihan padat berwarna abu – abu sampai kuning keemasan, berbentuk
bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Bakteri ini dapat memfermentasikan
beberapa karbohidrat dan dapat menghasilkan pigmen yang berwarna, tidak larut
dalam air (Inayatullah, 2012).Staphylococcus aureus dapat berkembang pada pH
4,2-9,3 (Paryati, 2002).
Staphylococcus aureus pada media Mannitol Salt Agar (MSA) akan
membentuk koloni yang berwarna kuning yang dikelilingi dengan warna kuning
keemasan hasil dari fermentasi mannitol oleh Staphylococcus aureus (Dewi,
2013). Dinding sel tersusun atas polisakarida dan protein yang bersifat antigenik,
selain itu juga terdapat peptidoglikan yang merupakan derivat dari polisakarida
yang terdiri dari subunit-subunit yang tergabung, merupakan eksoskeleton yang
kaku pada dinding sel. Peptidoglikan dapat dirusak oleh asam kuat atau lisozim.
13
Hal tersebut penting dalam patogenesis infeksi, yaitu merangsang pembentukan
interleukin-1 (pirogen endogen) dan antibodi opsonik, juga dapat menjadi penarik
kimia (kemotraktan) leukosit polimorfonuklear, mempunyai aktifitas mirip
endotoksin dan mengaktifkan komplemen (Jawetz et al., 2005). Bakteri ini
tumbuh dengan baik pada suhu tubuh manusia dan juga pada pangan yang
disimpan pada suhu kamar serta menghasilkan toksin pada suhu tersebut. Toksin
ini disebut enterotoksin karena dapat menyebabkan gastroenteritis atau radang
lapisan saluran usus (Amanati, 2014).
Gambar 2.5Morfologi Staphylococcus aureus (Gupte, 1990)
Gambar 2.6Fotomikroskopik Hasil Pewarnaan Staphylococcus sp. (Toelle,
2014)
14
2.2.3 Patogenik
Bakteri Staphylococcus aureus ditemukan pada pakaian, sprei, dan benda
lain disekitar lingkungan manusia. Kemampuan dari patogenik dari galur
Staphylococcus aureus adalah pengaruh gabungan oleh faktor ekstraseluler dan
toksin bersama dengan sifat daya sebar yang invasive. Staphylococcus aureus
yang patogenik dari yang bersifat invasive menghasilkan koagulase dan
cenderung untuk menghasilkan pigmen kuning dan menjadi hemolitik (Jawetz,
2001). Patogenesis dari Staphylococcus aureusberasal dari berbagai protein
permukaan bakteri dengan berbagai reseptor di permukaan sel inang. Faktor
virulen sulit ditentukan karena banyaknya virulen yang dimiliki oleh
Staphylococcus aureus(Yuwono, 2009). Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureusdikelompokkan sebagai berikut (Gupte, 1990):
1. Kelainan kulit (bintikan, luka lepuh, abses, impetigo, neonatorum, dan lain-
lain)
2. Infeksi dalam (osteomyelitis akut, tonsilitas, faringitis, sinusitis, pneumonia,
abses paru-paru, abses payudara, meningitis, dan lain-lain)
3. Keracunan makanan.
Infeksi Staphylococcus aureus juga bisa berasal dari kontamiansi langsung
dari luka misalnya pasca operasi infeksi Staphylococcus aureus. Keracunan
makanan menyebabkan enterotoksin stafilokal yang diitandai dengan periode
inkulasi yang pendek (1-8 jam), mual hebat, muntah dan diare cepat sembuh.
Sindrom syok toksik yang berhubungan dengan Staphylococcus aureus dapat
ditemukan di vagina, pada luka area infeksi yang pada tenggorokan tapi tidak
pada aliran darah. Kelainan-kelainan oleh Staphylococcus aureus ditandai dengan
ciri khas yaitu terlokalisasi (Jawetz, 2001).Staphylococcus aureusdapat
menyebabkan infeksi supuratif padahewan maupun manusia dan
seringmenimbulkan mastitis pada sapi dan kambing,pioderma pada anjing
maupun kucing sertamenimbulkan abses pada semua spesieshewan termasuk
unggas (Hermawan, 2007).
Pada Staphylococcus aureusterdapat protein A yang ada dipermukaan
bakteri dan dapat berikatan dengan imunoglobulin G (IgG) sehingga
menyebabkan hambatan fagositosis serta terjadi opsoniasi complement cascade.
15
Selain itu protein A juga berfungsi untuk melenyapkan antibodi sehingga dapat
membahayakan bakteri pada awal infeksi. Staphylococcus aureusmenghasilkan
dua macam binding protein A dan B yang berikatan dengan fibrinoktin dan
fibrinogen yang terdapat di permukaan sel inang digunakan sebagai penyembuhan
luka dan mengangkat zat asing pada perlatan medis. Binding protein pada
Staphylococcus aureus berfungsi untuk pelekatan ada jaringan dan alat medis
seperti kateter pada intravena (O'Neill E,2009).
Staphylococcus aureus menyebabkan rentang sindrom infeksi yang luas.
Infeksi kulit dapat terjadi pada kondisi hangat yang lembap atau saat kulit terbuka
akibat penyakit seperti eksim, luka pembedahan, atau akibat alat intravena. Infeksi
ditransmisikan dari orang ke orang. Pneumonia akibat Staphylococcus
aureusjarang terjadi, tetapi dapat terjadi setelah influenza. Endokarditis akibat
Staphylococcus aureusjuga berkembang dengan cepat dan bersifat destruktif dan
dapat terjadi setelah penyalahgunaan obat intravena atau kolonisasi pada alat
intravena. Staphylococcus aureusmerupakan agen yang paling sering
menyebabkan osteomielitis dan artritis septik (Gillespie et al.,
2009).Staphylococcus aureus merupakan satu patogen terpenting yang paling luas
penyebarannya di rumah sakit dan penyebab utama infeksi nosokomial.
Staphylococcus aureus merupakan penyebab infeksi yang relatif ringan sampai
yang dapat mengancam jiwa (Wikansari et al., 2012).
Staphylococcus aureus memproduksi koagulase yang mengkatalis
perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan dapat membantu organisme ini untuk
membentuk barisan perlindungan. Bakteri ini juga memiliki reseptor terhadap
permukaan sel pejamu dan protein matriks (misalnya fibronektin, kolagen) yang
membentuk organisme ini untuk melekat. Eksotoksin beberapa meliputi toksin
yang bersifat letal dan menyebabkan nekrosis pada kulit. Toksin sindroma syok
tocix menyebabkan demam syok yang mengenai beberapa sistem termasuk ruam
kuliah deskuamatif (Jawetz, 2001). Berdasarkan hasil penelitian Refdanita et al.,
(2004) pola kepekaan kuman Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumonia
dan Streptococcus β haemolyticus terhadap enam jenis antibiotika di wilayah
Jakarta Timur menunjukkan bahwa kuman ini telah resisten terhadap antibiotika
16
dengan urutan tetrasiklin 53,3% diikuti streptomisin 44,8 %, kloramfenikol
23,6%, ampisilin 18,1%, eritromisin 6,6% dan penisilin 4,2 %.
2.3 Tinjauan Antibakteri
2.3.1 Pengertian Bakteri
Bakteri merupakan organisme ber sel tunggal yang hidup bebas tanpa
klorofil dan memiliki naik DNA maupun RNA. Mereka mampu menunjukkan
semua proses-proses dasar kehidupan misalnya tumbuh, metabolisme dan
perkembangbiakan. Bakteri dan ganggang hijau termasuk prokaryota (Gupte,
1990). Bakteri termasuk golongan prokariota dan tidak memiliki nukleus,
mitokondria dan plastid. Golongan prokariota hanya memiliki satu kromosom dan
tidak memiliki histon yang bergabung dengan kromosom tersebut. Prokariota
tidak mempunyai mikrotubula (mungkin ada satu perkecualian) dan kerena itu
tidak terdapat sentriol, gelendong dan badan basal. Beberapa prokariota
mempunyai flagela, tetapi strukturnya tidak dibangun dari mikrotubula
sebagaimana flagela dan silia pada eukariota. Ribosom pada prokariota berbeda
dari ribosom pada eukariota dalam strukturnya (Kimbal, 1990). Anatomi umum
dari bakteri dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
Gambar 2.7Anatomi Umum dari Bakteri(Fardiaz, 1987)
Bakteri dibagi menjadi dua golongan, yaitu bakteri gram positif dan bakteri
gram negatif. Perbedaan golongan bakteri ini dapat ditentukan dengan pewarnaan
bakteri. Bakteri diwarnai dengan zat warna violet dan yodium, dibilas dengan
alkohol, kemudian diwarnai lagi dengan zat warna merah. Struktur dinding sel
akan menentukan respon pewarnaan. Bakteri Gram positif yang sebagian besar
dinding selnya terdiri dari peptidoglikan akan menjerat warna violet. Bakteri gram
negatif memiliki lebih sedikit peptidoglikan, yang terletak di suatu gel
periplasmik antara membrane plasma dan suatu membran bagian luar. Zat warna
17
violet yang digunakan dalam pewarnaan gram sangat mudah dibilas oleh alkohol
pada bakteri gram negatif, tetapi selnya tetap menahan zat warna merah
(Campbell et al., 2003).
2.3.2 Pengertian Antibakteri
Antibakteri merupakan zat yang berperan untukmembunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Berdasarkan cara kerjanya,antibakteri
dibedakan menjadi bakterisida dan bakteriostatik. Bakteriostatikadalah zat yang
bekerja menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan bakterisidaadalah zat yang
bekerja mematikan bakteri (Shahab,2016). Namunpenggunaan antibiotik memiliki
dampak negatif. Menurut Oliver dan Murinda(2012) peningkatan penggunaan
antibakteri umumnya diikuti dengan peningkatankejadian penyakit dan resistensi
bakteri.Bakteri dapat menjadi resisten terhadap suatu antibakteri melalui
tigamekanisme, yaitu obat tidak dapat mencapai tempat kerja aktif dalam sel
bakteri,inaktivasi obat, dan mekanisme bakteri merubah ikatan (binding site).
Ditinjau dari aspek toksikologi, residu antibakteri bersifat toksikterhadap hati,
ginjal, dan pusat hemopoitika (pembentukan darah), sedangkan dariaspek
mikrobiologis, residu antibakteri dapat mengganggu mikroflora dalamsaluran
pencernaan dan menyebabkan terjadinya resistensi bakteri yang
dapatmenimbulkan masalah kesehatan manusia dan hewan. Bahaya potensial
residuantibakteri dari aspek imunopatologis dapat menimbulkan reaksi alergi
ringan danlokal, hingga menyebabkan shock yang berakibat fatal (Shahab,
2016).Kadar Hambat Minimum (KHM) merupakan konsentrasi antibiotik
terendah yang masih dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme tertentu.
Mekanisme kerja antibakteri dengan target antibakteri adalah sebagai berikut
(Inayatullah, 2012) :
a. Dinding sel
Bakteri memiliki lapisan luar yang kaku, disebut dinding sel yang dapat
mempertahankan bentuk bakteri dan melindungi membran protoplasma
dibawahnya. Struktur dinding sel dapat dirusak dengan cara menghambat
pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk. Antibiotik yang
bekerja dengan mekanisme ini diantaranya adalah antibiotik golongan penisilin.
18
b. Perubahan permeabilitas sel
Membran sitoplasma mempertahankan bahan – bahan tertentu didalam sel
serta mengatur aliran keluar masuknya bahan – bahan lain. Membran memelihara
integritas komponen –komponen seluler. Kerusakan pada membran ini akan
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel. Polimiksin
bekerja dengan merusak struktur dinding sel, dan kemudian antibiotik tersebut
dengan membran sel, sehingga menyebabkan disorientasi komponen – komponen
lipoprotein serta mencegah berfungsinya membran sebagai penghalang osmotik.
c. Molekul protein dan asam nukleat
Hidup suatu sel berganutng pada terpeliharanya molekul – molekul protein
dan asam nukleat dalam keadaan alamiahnya. Suatu antibakteri dapat mengubah
keadaan ini dengan mendenaturasikan protein dan asam – asma nukleat sehingga
sel tanpa dapat diperbaiki lagi. Salah satu antimikrobial kimiawiyang bekerja
dengan cara mendenaturasi protein dan merusak membran sel adalah fenolat dan
persenyawaan fenolat.
d. Enzim
Setiap enzim dari beratus – ratus enzim berbeda – beda yang ada didalam
sel merupakan sasaran potensial bagi bekerjanya suatu penghambat. Penghambat
ini banyak mengakibatkan terganggunya metabolisme atau matinya sel.
Sulfonamid merupakan zat kemoterapeutik sintesis yang bekerja dengan cara
bersaing dengan PABA (asam p-aminobenzoat) didalam reaksi, karena molekul
PABA dan sulfonamid hampir sama, sehingga dapat menghalangi sintesis asam
folat yang merupakan koenzim esensial yang berfungsi dalam sintesis purin dan
pirimidin, dengan demikian karena tidak adanya koenzim, maka aktivitas seluler
yang normal akan terganggu.
e. Asam nukleat dan protein
DNA, RNA dan protein memegang peranan penting dalam proses
kehidupan normal sel. Hal ini berarti bahwa gangguan apapun yang terjadi pada
pembentukkan atau pada fungsi zat – zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan
total pada sel. Tetrasiklin merupakan salah satu antibiotik yang dapat
menghambat sintesis protein dengan cara menghalangi terikatnya RNA (RNA
19
transfer aminoasil) pada situs spesifik ribosom, selama pemanjangan rantai
peptida.
2.3.3 Tinjauan Antibiotik
Antibiotik adalah semua substansi yang diketahui memiliki kemampuan
untuk menghalangi pertumbuhan organisme lain khususnya mikroorganisme
(Miranti et al., 2013). Antibiotik dapat dikelompokkan berdasarkan spektrum
aktivitas, tempat kerja dan struktur kimianya, yaitu:
1. Antibiotik dengan spektrum luas, efektif terhadap Gram-positif maupun
Gram- negatif, contoh: turunan tetrasiklin, turunan amfenikol, turunan
aminoglikosida, turunan penisilin dan turunan mikrolida.
2. Antibiotika dengan aktivitas lebih dominan terhadap bakteri Gram-positif,
contoh: eritromisin, basitrasin, dan beberapa golongan sefalosporin.
3. Antibiotika dengan aktivitas lebih dominan terhadap bakteri Gram-negatif,
contoh: kolistin, polimiksin B sulfat, dan sulfomisin.
4. Antibiotika dengan aktivitas lebih dominan terhadap Mycobacteriae
(antituberkulosis), contoh : streptomisin, kanamisin, dan rifampisin.
5. Antibiotik aktif terhadap jamur (antijamur), contoh: grisofulvin,
nistatin,amfoterisin B, dan kandisidin.
6. Antibiotik aktif terhadap neoplasma (antikanker), contoh: aktinomisin,
bleomisin, daunorubisin, mitomisin, dan mitramisin (Soekardjo et al.,
2008).
2.3.4 Tinjauan Amoksisilin
Amoksisilin adalah salah satu senyawa antibiotik golongan beta-laktamdan
memiliki nama kimia alfa-amino-hidroksilbenzil-penisilin. Obat iniawalnya
dikembangkan memiliki keuntungan lebih dibandingkanampisilin yaitu dapat
diabsorpsi lebih baik di traktus gastrointestinal.Obat ini tersedia dalam bentuk
amoksisilin trihidrat untuk administrasioral dan amoksisilin sodium untuk
penggunaan parenteral. Amoksisilintelah menggantikan ampisilin sebagai
antibiotik yang sering digunakandi berbagai tempat. Secara kimiawi, amoksisilin
adalahasam (2S,5R,6R)-6-[[(2R)-2-Amino-2-(4-hidroksifenil) asetil] amino]-3,3 -
dimetil- 7- okso - 4- tia - 1 - aza - bisiklo [3.2.0]heptan-2-karboksilat (Kaur et al.,
2011).
20
Gambar 2.8Struktur Kimia Amoksisilin (Kaur et al., 2011)
Amoksisilin merupakan salah satu antibiotik golongan penisilin yang
banyak beredar di pasaran dan banyak digunakan karena hargaantibiotik golongan
ini relatif murah (Harianto dan Transitawuri, 2006).
Amoksisilin berspektrum luas dan sering diberikan pada pasien untuk
pengobatan beberapa penyakit seperti pneumonia, otitis, sinusitis,
infeksi saluran kemih, peritonitis, dan penyakit lainnya. Obat ini
tersedia dalam berbagai sediaan seperti tablet, kapsul, suspensi oral, dan
tablet dispersible (UNICEF, 2013).
Obat golongan penisilin, menghambat pertumbuhan bakteri dengan
mengganggu reaksi transpeptidasi sintesis dinding sel bakteri yang mengakibatkan
sel bakteri rusak dan mengalami lisis. Dindingsel adalah lapisan luar yang rigid
yang unik pada setiap spesies bakteri.Dengan terhambatnya reaksi ini maka akan
menghentikan sintesispeptidoglikan dan mematikan bakteri (Katzung, 2007).
Selain itu mekanisme kerja dari amoksisilin yaitu mencegah terjadinya ikatan dari
peptidoglikan pada tahap terakhir sintesis dinding sel, dengan cara melakukan
penghambatan terhadap protein yang mengikat penisilin. Protein tersebut adalah
enzim yang berada dalam membran plasma pada bakteri yang pada normalnya
akan terlibat dalam penambahan terhadap asam amino yang saling terikat dengan
peptidoglikan pada dinding sel bakteri (Pratiwi, 2008).
Secara spesifik,amoksisilin memiliki efek antimikroba yang baik
terhadapmikroorganisme seperti Haemophilus influenzae, Eschericia coli,
danProteus mirabilis. Biasanya obat ini diberikan bersamaan dengansenyawa
inhibitor beta-laktamase seperti klavulanat atau salbaktamuntuk mencegah
hidrolisis oleh beta-laktamase spektrum luas yangditemukan pada bakteri gram
negatif (Brunton et al., 2006).Amoksisilin memiliki sifat farmakokinetik dan
farmakodinamik yangmirip dengan ampisilin (Grayson, 2010). Amoksisilin
21
diserap denganbaik daritraktus gastrointestinal, dengan atau tanpa adanya
makanan,berbeda dengan obat golongan penisilin lainnya yang lebih
baikdiberikan setidaknya 1-2 jam sebelum atau sesudah makan (Katzung,2007).
Obat ini banyak digunakan karena memiliki spektrumantibakteri yang luas dan
memiliki bioavailabilitas oral yang tinggi,
dengan puncak konsentrasi plasma dalam waktu 1-2 jam (Kaur et al.,
2011).
2.3.5 Golongan Senyawa yang Mempunyai Aktivitas Antibakteri
Metabolit sekunder adalah senyawa organik yang dihasilkan tumbuhan yang
tidak memiliki fungsi langsung pada fotosintesis, pertumbuhan atau respirasi,
transport solute, translokasi, sintesis protein, asimilasi nutrient, diferensiasi,
pembentukan karbohidrat, protein, dan lipid. Metabolit sekunder umumya hanya
dijumpai pada satu spesies atau kelompok spesies, berbeda dari metabolit primer
(asam amino, nukleotida, gula, dan lipid) yang dijumpai hampir disemua kingdom
tumbuhan (Mastuti, 2016).
1. Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar
yang ditemukan di alam. Senyawa- senyawa ini merupakan zat warna merah,
ungu dan biru dan sebagai zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-
tumbuhan (Markham, 1988). Golongan flavonoid memiliki kerangka karbon yang
terdiri atas dua cincin benzene tersubstitusi yang disambungkan oleh rantai
alifatik tiga karbon. Pengelompokan flavonoid berdasarkan pada cincin
heterosiklik- oksigen tambahan dan gugus hidroksil yang tersebar (Robinson,
1995). Golongan terbesar flavonoid memiliki cincin piran yang yang
menghubungkan rantai tiga – karbon dengan salah satu cincin benzene (Harborne,
1987).
Gambar 2.9Struktur Flavonoid (Markham, 1988)
22
Aktivitas farmakologi dari flavonoid adalah sebagai anti-inflamasi,
antibakteri, analgesik, anti-oksidan. Flavanoid merupakan senyawa polar yang
umumnya mudah larut dalam pelarut polar seperti etanol, menthanol, butanol, dan
aseton. Flavanoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol, senyawa
fenol mempunyai sifat efektif menghambat pertumbuhan virus, bakteri, dan jamur
(Kurniawan, 2015). Oleh karena itu, makanan yang kaya flavonoid dianggap
penting untuk mengobati penyakit-penyakit, seperti kanker dan penyakit jantung
(Heinrich et al., 2010). Flavonoid selain berfungsi sebagaibakteriostatik juga
berfungsi sebagai antiinflamasi (Hermawan, 2007). Peran penting flavonoid dari
sayuran dan buah segar adalah mengurangi resiko terkena penyakit jantung dan
stroke (Carolia, 2016).
Flavonoid merupakan senyawa fenol yang dapat menyebabkan denaturasi
protein maka proses metabolisme bakteri akan terganggu dan terjadi lisis yang
akan menyebabkan kematian bakteri tersebut (Susanto, 2017). Senyawa flavonoid
diduga memiliki mekanisme kerja mendenaturasi protein sel bakteri dan merusak
membran sel tanpa dapat diperbaiki lagi (Carolia, 2016).Mekanisme kerja
flavonoid sebagai antimikroba dapat dibagi menjadi 3 yaitu menghambat sintesis
asam nukleat, menghambat fungsi membran sel dan menghambat metabolisme
energi. Mekanisme antibakteri flavonoid menghambat sintesis asam nukleat
adalah cincin A dan B yang memegang peran penting dalam proses interkelasi
atau ikatan hidrogen dengan menumpuk basa asam nukleat yang menghambat
pembentukan DNA dan RNA. Flavonoid menyebabkan terjadinya kerusakan
permeabilitas dinding sel bakteri,mikrosom,dan lisosom sebagai hasil
interaksiantara flavonoid dengan DNA bakteri. Mekanisme antibakteri senyawa
fenol dalam membunuh mikroorganisme yaitu dengan mendenaturasi protein sel.
Ikatan hidrogen yang terbentuk antara fenol dan protein mengakibatkan struktur
protein menjadi rusak. Ikatan hidrogen tersebut akan mempengaruhi permeabilitas
dinding sel dan membran sitoplasma sebab keduanya tersusun atas protein.
Permeabilitas dinding sel dan membran sitoplasma yang terganggu dapat
menyebabkan ketidakseimbangan makromolekul dan ion dalam selsehingga sel
menjadi lisis (Kursia, 2016).
2. Saponin
23
Saponin merupakan senyawa aktif yang kuat dan menimbulkan busa bila
dikocok. Mekanisme kerja saponin termasuk dalam kelompok antibakteri yang
mengganggu permeabilitas membran sel bakteri, yang mengakibatkan kerusakan
membran sel dan menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam
sel bakteri yaitu protein, asam nukleat dan nukleotida. Hal ini akhirnya
mengakibatkan sel bakteri mengalami lisis (Kurniawan, 2015).
Saponin yang bekerja sebagai bakteriostatik yang biasanya digunakan untuk
infeksi pada luka (Shahab, 2016). Saponin bersifat sebagai antiseptik padaluka
permukaan, bekerja sebagai bakteriostatikyang biasanya digunakan untuk infeksi
padakulit, mukosa dan melawan infeksi pada luka (Hermawan, 2007).
Gambar 2.10Struktur Saponin (Hidayah,2016)
3. Alkaloida
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.
Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme yang diduga
adalah dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel
bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan
menyebabkan kematian sel tersebut (Kurniawan, 2015).Bagi tumbuhan, alkaloid
berfungsi sebagai senyawa racun yang melindungi tumbuhan dari serangga atau
herbivora (hama dan penyakit), pengatur tumbuh atau sebagai basa mineral untuk
mempertahankan keseimbanagan ion (Rohyani, 2014).
Menurut Harborne (1987) alkaloid umumnya tidak ditemukan pada
gymnospermae, paku-pakuan, lumut dan tumbuhan rendah lainnya. Senyawa
alkaloid dalam bidang kesehatan memiliki efek berupa pemicu sistem syaraf,
menaikan tekanan darah,mengurangi rasa sakit, antimikroba, obat penenang, obat
penyakit jantung dan lainnya (Robinson, 1995). Senyawa alkaloid yang berjumlah
24
sedikit juga berperan sebagai antimikroba melalui mekanisme kerjanya yang
berhubungan dengan kemampuan untuk berinteraksi dengan DNA bakteri
(Purnama, 2017).Alkaloid merupakan metabolit sekunderyang baling banyak di
produksi tanaman. Alkaloid adalah bahan organik yang mengandung nitrogen
sebagai bagian dari sistem heterosiklik (Priyanto, 2018).Mekanisme kerja alkaloid
sebagai antibakteri diprediksi melalui penghambatan sintesis dinding sel yang
akan menyebabkan lisis pada sel sehingga sel akan mati ( Amalia, 2013 ).
4. Terpenoid
Terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan, istilah ini
digunakan untuk menunjukkan bahwa secara biosintesis semua senyawa
tumbuhan itu berasal dari senyawa yang sama. Jadi, semua terpenoid berasal dari
molekul isoprene dan kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau
lebih satuan C(Salni, 2011).Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa,
mulai dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpena dan seskuiterpena yang
mudah menguap, diterpena yang lebih sukar menguap, sampai ke senyawa yang
tidak menguap, yaitu triterpenoid dan sterol, serta pigmen karotenoid. Senyawa
ini menunjukkan pita serapan yang kuat di daerah spektrum (λmaks 400-500 nm).
Masing-masing golongan terpenoid penting, baik pada pertumbuhan dan
metabolisme maupun pada ekologi tumbuhan (Salni, 2011).
5. Tanin
Tanin merupakan senyawa polifenol yang berarti termasuk dalam senyawa
fenolik. Keberadaan senyawa tanin dapat diidentifikasi dengan reaksi
menggunakan FeCl3. Perkiraan reaksi antara tanin dengan FeCl3 (Harborne,
1996).Tanin bersifat sebagai antiseptik padaluka permukaan, bekerja sebagai
bakteriostatikyang biasanya digunakan untuk infeksi padakulit, mukosa dan
melawan infeksi pada luka (Hermawan, 2007).Tanin yang juga terkandung dalam
daunsirih segar dapat menghambat kerja enzim-enzimtermasuk enzim katalase.
Salah satu darienzim tersebut adalah enzim C-14 dimethylase yang berfungsi
untukmemacu pembentuk ergosterol.Ergosterol merupakan komponen
utamamembran plasma fungi dan khamir.Dengan terganggunya fungsi enzim
inimaka fungi tidak dapat mensintesisergosterol secara normal. Hal tersebut
25
menyebabkan struktur membran plasma tidak terbentuk denganbaik dan fungsinya
pun terganggu (Amalia, 2013).
6. Minyak Atsiri
Minyak atsiri bukanlah senyawa murni akan tetapi merupakan campuran
senyawa organik yang kadang kala terdiri dari lebih besar dari 25 senyawa atau
komponen yang berlainan. Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung
dalam tanaman. Minyak ini disebut juga minyak menguap, minyak eteris, minyak
esensial karena pada suhu kamar mudah menguap. Istilah esensial dipakai karena
minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Dalam keadaan segar dan murni, minyak atsiri umumnya tidak berwarna.
Namun, pada penyimpanan lama minyak atsiri dapat teroksidasi. Untuk
mencegahnya, minyak atsiri harus disimpan dalam bejana gelas yang berwarna
gelap, diisi penuh, ditutup rapat, serta disimpan ditempat yang kering dan sejuk
(Gunawan dan Mulyani, 2004).
Daun sirih hijau mempunyai peransebagai antibakteri dengan efektifitas
kuat karena mengandung minyak atsiridengan bethel phenol dan turunannya yang
dapat menghambat pertumbuhanbakteri dengan cara merusak dinding sel bakteri.
Minyak atsiri daun sirihhijau disebabkan oleh adanya senyawa fenol dan
turunannya yang dapatmendenaturasi protein sel bakteri, mengandung kavikol dan
kavibetol yang merupakan turunan dari fenol yangmempunyai daya antibakteri 5
kali lipat dari fenol biasa terhadap bakteri Grampositif (Shahab, 2016).
7. Steroid
Senyawa-senyawa steroid adalah turunan skualena, suatu triterpena; juga
karoten dan retinol. Steroid merupakan senyawa yang memiliki kerangka dasar
triterpena asiklik. Ciri umumsteroid ialah sistem empat cincin yang tergabung.
Cincin A, B dan C beranggotakan enam atom karbon, dan cincin D beranggotakan
lima (Melati, 2009).
26
Gambar 2.11Struktur Steroid (Melati, 2009)
Steroid adalah senyawa organik bahan alam yang dihasilkan oleh
organisme melalui metabolit sekunder, senyawa ini banyak ditemukan pada
jaringan hewan dan tumbuhan. Steroid merupakan obat ampuh dalam mengatasi
peradangan dan meredakan nyeri, selain itu steroid yang langsung bekerja pada
kimiawi otak juga bermanfaat untuk meningkatkan mood. Seseorang yang tidak
mengalami peradangan tetapi mengkonsumsi steroid dapat merasa nyaman dalam
waktu yang relatif cepat. Tetapi penggunaan steroid sebagai pereda nyeri dan
meningkatkan mood juga mempunyai efek samping yang kadang-kadang justru
membahayakan (Melati, 2009).Steroid dapat berinteraksi dengan membran
fosfolipid sel yang bersifat impermeabel terhadap senyawasenyawa lipofilik
sehingga menyebabkan integritas membran menurun, morfologi membran sel
berubah, dan akhirnya dapat menyebabkan membran sel rapuh dan lisis (Amalia,
2013). Mekanisme kerja steroid sebagai antibakteri yaitu dapat menyebabkan
kebocoran pada liposom yang berhubungan dengan membran lipid dan
sensitivitas terhadap komponen steroid. Steroid dapat berinteraksi dengan
membran fosfolipid sel yang bersifat permeabel terhadap senyawa – senyawa
lipofilik sehingga menyebabkan integritas membran menurun serta morfologi
membran sel berubah yang menyebabkan sel rapuh dan lisis ( Rijayanti, 2014 ).
27
2.3.6 Tinjauan Identifikasi Bakteri
Untuk metode uji antibakteri diadaptasi dari metode Lay (1994) dengan
menggunakan teknik Sumuran (Difusi Agar) yang telah dimodifikasi. Kemudian
alat-alat non gelas disterilkan terlebih dahulu di dalam autoklaf pada suhu 121°C
selama 15 menit dan alat-alat gelas disterilkan di oven suhu 160-170°C selama 2
jam. Jarum ose dibakar dengan api Bunsen (Ngajowet al., 2013). Media adalah
suatu bahan yang digunakan untuk menumbuhkan mikroba yang terdiri atas
campuran nutrisi atau zat-zat makanan.
Selain untuk menumbuhkan mikroba, media dapat juga digunakan untuk
isolasi, memperbanyak, pengujian sifat-sifat fisiologis dan perhitungan jumlah
mikroba (Lay, 1994). Syarat media yang baik untuk pertumbuhan mikroba adalah
lingkungan kehidupannya harus sesuai dengan lingkungan pertumbuhan mikroba
tersebut, yaitu: susunan makanannya (media harus mengandung air untuk menjaga
kelembaban dan untuk pertukaran zat/metabolisme, juga mengandung sumber
karbon, mineral, vitamin dan gas), tekanan osmose yaitu harus isotonik, derajat
keasaman/pH umumnya netral tapi ada juga yang alkali, temperatur harus sesuai
dan steril (Lay, 1994). Media harus mengandung semua kebutuhan untuk
pertumbuhan mikroba, yaitu: sumber energi (contoh: gula), sumber nitrogen, juga
ion inorganik essensial dan kebutuhan yang khusus, seperti vitamin (Jawetz et al.,
1995). Berdasarkan komposisi kimianya, media dapat dibedakan menjadi media
sintetik yaitu media yang susunan kimianya diketahui dengan pasti, medium ini
biasanya digunakan untuk mempelajari kebutuhan makanan mikroba. Media non
sintetik (kompleks) yaitu media yang susunan kimianya tidak dapat diketahui
dengan pasti, media ini digunakan untuk menumbuhkan dan mempelajari
taksonomi mikroba. Berdasarkan konsistensinya media dapat dibedakan menjadi:
media cair, media padat, dan media padat yang dapat dicairkan (Jawetz et al.,
1996).
Menurut Davis dan Stout (1971), kriteria kekuatan daya antibakteri sebagai
berikut: diameter zona hambat 5 mm atau kurang dikategorikan lemah, zona
hambat 5-10 mm dikategorikan sedang, zona hambat 10-20 mm dikategorikan
kuat dan zona hambat 20 mm atau lebih dikategorikan sangat kuat. Konsentrasi
yang memberikan zona hambat paling luas yaitu pada konsentrasi 100 % dengan
28
zona bening sebesar 27,8 mm. Menurut Ajizah (2004), selain faktor konsentrasi,
jenis bahan antimikroba yang dihasilkan juga menentukan kemampuan
menghambat pertumbuhan bakteri. Identifikasi bakteri meliputi pewarnaan gram,
dan uji biokimia antara lain: uji katalase dan uji koagulase.Identifikasi bakteri
dilakukan dalam beberapa uji antara lain:
1. Pewarnaan Gram
Pewarnaan Gram bertujuan untuk mempermudah pengamatan bentuk sel
bakteri, memperluas ukuran jasad, mengamati struktur dalam dan luar sel bakteri,
dan melihat reaksi jasad terhadap pewarna yang diberikan sehingga sifat fisika
atau kimia jasad dapat diketahui (Rosalina et al., 2013). Pewarnaan yang
digunakan untuk melihat salah satu struktur sel disebut pewarnaan khusus.
Sedangkan pewarnaan diferensial untuk memilahkan mikroorganisme yaitu
bakteri menjadi kelompok Gram positif dan Gram negatif. Pewarnaan diferensial
lainnya ialah pewarnaan ziehl neelsen yang memilihkan bakterinya menjadi
kelompok tahan asam dan tidak tahan asam (Dwidjoseputro, 1998).
Cara kerja dari pewarnaan Gram yaitu suspensikan bakteri dengan ose,
kemudian letakkan pada obyek dan difiksasi, tetesi dengan larutan Gram A yang
mengandung kristal violet, kemudian tetesi dengan larutan Gram B yang
mengandung lugol, tetesi dengan larutan Gram C yang mengandung alkohol, dan
yang terakhir tetesi dengan larutan gram D yang mengandung safranin.
Pewarnaan Gram memberikan hasil yang baik, bila digunakan biakan segar yang
berumur 24-48 jam. Pewarnaan Gram dilakukan dalam 4 tahap, yaitu:
a. Pemberian cat warna utama (cairan kristal violet) berwarna ungu,
b. Pengintensifan cat warna dengan penambahan larutan mordan,
c. Pencucian (dekolarisasi) dengan larutan alkohol asam,
d. Pemberian cat lawan yaitu cat warna safranin.
29
2. Uji Katalase
Tujuan uji katalase adalah untuk mengetahui sifat bakteri dalam
menghasilkan enzim katalase. Cara kerja dari uji katalase yaitu larutan HO 3%
diteteskan pada 2 obyek, kemudian suspensikan koloni bakteri dengan ose
(Rosalina et al., 2013).
3. Uji Koagulase
Uji koagulase dilakukan dengan 2 metode, yaitu uji slide dan uji tabung. Uji
slide atau clumping factor digunakan untuk mengetahui adanya ikatankoagulase.
Uji slide dikerjakan dengan cara setetesaquadest atau NaCl fisiologis steril
diletakkan padakaca benda, kemudian satu ose biakan yang diuji, disuspensikan.
Setetes plasma diletakkan di dekat suspensi biakan tersebut, keduanya dicampur
dengan menggunakan ose dan kemudiandigoyangkan. Reaksi positif terjadi
apabila dalamwaktu 2-3 menit terbentuk presipitat granuler(Rosalina et al., 2013).
2.3.7 Tinjauan Uji Aktivitas Antibakteri
Uji aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu, metode
difusi, metode dilusi, dan bioautografi. Metode difusi dan bioautografi merupakan
metode pengukuran antibakteri secara kualitatif yaitu untuk mengetahui senyawa
yang dapat sebagai aktivitas antimikroba. Sedangkan, metode dilusi merupakan
metode dengan pengukuran kuantitatif yaitu untuk mengetahui nilai daya hambat
atau konsentrasi suatu antibakeri atau untuk menentukan Konsentrasi Hambat
Minimum (KHM) (Choma et al., 2010). Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan
dengan beberapa metode, yaitu:
A. Metode difusi
Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan. Metode
difusi dapat dilaukan dengan 3 cara yaitu metode parit, metode cakram kertas dan
metode lubang / sumuran.
30
1. Metode cakram kertas (Cara Kirby Bauer)
Gambar 2.12Metode Difusi Cakram (Hudzucki, 2012)
Pada metode cakram kertas (Cara Kirby Bauer) digunakan suatu kertas
cakram saring (paper dis)berfungsi sebagai tempat menampung antimikroba,
kertas saring yang mengandung zat antimikroba tersebut diletakkan pada lempeng
agar yang telah diinokulasikan dengan menggunakan mikroba uji, kemudian
dilakukan inkubasi pada waktu dan suhu tertentu, yang disesuaikan dengan
kondisi optimum dari mikroba uji yaitu pada suhu 37ºC selama 18-24 jam. Pada
metode difusi dalam penentuan aktivitas didasarkan pada kemampuan difusi dari
zat antimikroaba dalam lempeng agar yang telah diinokulasi dengan mikroba uji.
Ada dua macam zona hambat yang dapat terbentuk dari cara Kirby Bauer
(Inayatullah, 2012):
a. Zona radikal yaitu daerah yang terdapat disekitar disk dimana sama sekali
tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri. Potensi antibakteri diukur
dengan mengukur mengukur diameter zona radikal.
b. Zona irradikal yaitu suatu daerah disekitar disk dimana terdapat
pertumbuhan bakteri dihambat oleh antibakteri tetapi tidak dimatikan.
Disc diffusion test atau uji difusi disk dilakukan dengan mengukur diameter
clear zone (zona bening yang tidak memperlihatkan adanya pertumbuhan bakteri
yang terbentuk disekeliling zat antimikroba pada masa inkubasi bakteri) yang
merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh
suatu senyawa antibakteri dalan ekstrak. Semakin besar zona hambatan yang
terbenttuk, maka semakin besar pula kemampuan aktivitas zat antimikroba. Syarat
jumlah bakteri untuk uji kepekaan/ sensitivitas yaitu 105-10
8CFU/ml. Efektifitas
dari aktivitas antibakteri didasarkan pada klasifikasi respon penghambatan
pertumbuhan bakteri ( Inayatullah, 2012).
31
Tabel II.2Klasifikasi daya hambat pertumbuhan bakteri
(CLSI, 2018)
Diameter Zona
Terang
Daya Hambat
Pertumbuhan
≥20 mm Susceptable
16-19 mm Intermediate
≤14 mm Resistant
2. Metode Lubang
Pada lempeng agar yang telah diiokulasi dengan bakteri uji dibuat suatu
lubang yang selanjutnya diisi dengan zat antimikroba uji. Cara ini dapat diganti
dengan meletakkan cawa porselin kecil yang biasa disebut fish spines diatas
medium agar. Kemudian cawan – cawan tersebut diisi dengan zat uji. Setelah
inkubasi pada suhu 37ºC selama 18-24 jam dilakukan pengamatan dengan melihat
ada atau tidaknya zona hambatan disekeliling lubang atau cawan (Inayatullah,
2012).
3. Metode parit
Suatu lempeng agar yang telah diinokulasi dengan bakteri uji dibuat
sebidang parit. Parit tersebut diisi dengan zat antimikroba, kemudian diinkubasi
pada waktu dan suhu optimum yang sesuai dengan mikroba uji. Hasil pengamatan
yang akan diperoleh adalah ada atau tidaknya zona hambatan disekitar parit,
interpretasi sama dengan cara Kirby Bauer (Inayatullah, 2012).
B. Metode Pengenceran (Dilusi Cair atau Dilusi Padat)
Metode ini biasanya digunakan untuk menentukan konsentrasi hambat
minimal dan konsentrasi bunuh minimal dari suatu bahan uji atau obat terhadap
kuman percobaan. Pada prinsipnya bahan antibakteri uji diencerkan sampai
diperoleh beberapa konsentrasi. Pada dilusi cair, masing – masing konsentrasi
obat ditambah suspensi kuman dalam media. Sedangkan pada dilusi padat tiap
konsentrasi obat dicampur dengan media agar, lalu ditanami bakteri (Inayatullah,
2012).
32
C. Bioautografi
Prosedur dalam metode bioautografi mirip dengan yang digunakan dalam
metode difusi agar. Perbedaannya adalah bahwa senyawa uji berdifusi dari kertas
kromatografi ke media agar yang diinokulasi. Metode bioautografi dibagi lagi
menjadi bioautografi kontak, imersi dan langsung. Dalam bioautografi kontak,
pelat KLT atau kromatogram kertas diletakkan pada permukaan agar, diinokulasi
selama beberapa menit atau jam untuk memungkinkan difusi. Selanjutnya,
lempeng dilepas dan lapisan agar diinkubasi. Zona pertumbuhan penghambatan
akan muncul di tempat dimana senyawa antimikroba bersentuhan dengan lapisan
agar (Choma et al., 2010).
Dalam bioautografi immersion (agar-overlay), lempeng tersebut terlebih
dahulu direndam atau ditutup dengan medium agar, selanjutnya dibekukan dan
ditumbuhkan dengan mikroorganisme yang akan diuji dan kemudian diinkubasi.
Untuk memungkinkan difusi yang lebih baik dari senyawa yang diuji pada
permukaan agar, plat dapat bertahan pada suhu rendah selama beberapa jam
sebelum inkubasi. Metode ini adalah kombinasi antara kontak dan bioautografi
langsung, karena senyawa antimikroba dipindahkan dari kromatogram ke media
agar, seperti pada metode kontak, namun lapisan agar tetap berada di permukaan
kromatogram selama inkubasi dan visualisasi, seperti pada biootografi langsung
(Choma et al., 2010).
Di antara semua metode bioautografi, yang paling banyak digunakan adalah
bioautografi langsung. Prinsip dari metode ini adalah bahwa plat TLC yang
dikembangkan dicelupkan ke dalam suspensi mikroorganisme yang tumbuh dan
kemudian diinkubasi dalam atmosfir lembab. Permukaan silika dari plat KLT
yang dilapisi media kaldu menjadi sumber nutrisi dan memungkinkan
pertumbuhan mikroorganisme secara langsung di atasnya. Namun, di tempat agen
antimikroba terlihat, zona penghambatan pertumbuhan mikroorganisme terbentuk.
Pengamatan zona ini biasanya dilakukan dengan menggunakan aktivitas
dehidrogenase yang mendeteksi reagen. Akibatnya, bintik-bintik putih krem
muncul di atas latar belakang ungu di permukaan pelat TLC, menunjukkan adanya
agen antibakteri (Choma et al., 2010).
33
2.4 Fraksinasi
Proses yang dilakukan untuk menarik senyawa – senyawa kimia yang ada
dalam tumbuhan, hewan dan lain – lain dengan mengguankan suatu pelarut
tertentu merupakan suatu proses ekstraksi. Dalam menentukkan metode ekstraksi
yang digunakan tergantung pada kandungan air, tekstur serta senyawa yang
diisolasi dari sutu hewan atau tumbuhan sehingga senyawa yang tertarik baik sifat
maupun strukturnya tidak berubah. Sedangkan dalam pemilihan pelarut yang
digunakan harus mengetahui sifat dari metabolit sekunder yang akan diisolasi dari
suatu tanaman karena dalam proses ekstraksi untuk memperoleh senyawa yang
diinginkan harus menggunakan pelarut yang sesuai. Suatu senyawa polar akan
lebih mudah larut pada pelarut polarut sedangkan suatu senyawa non polar lebih
mudah larut pada senyawa non polar (Akhsanita, 2012). Sedangkan fraksinasi
dilakukan untuk menarik suatu senyawa kimia yang terkandung didalam tanaman
dengan menggunakan berbagai pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda –
beda sehingga pada masing – masing palrut diperoleh senyawa dengan tingkat
kepolaran yang berbeda – beda pula (Akhsanita, 2012).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sri Purwanto (2015) bertujuan untuk
menguji aktivitas antibakteri pada fraksi aktif daun Senggani terhadap
pertumbuhan bakteri Echerhichia coli dalam proses ekstraksi digunakan metode
maserasi dengan pelarut yang diguanakn etanol 96% untuk simplisia yang
digunakan sebanyak 200g diperoleh ekstrak kentalnya sebanyak 60,4g sehingga
diketahui %randemennya sebesar 30,2 %. dari hasik ekstraksi yang dilakukan
kemudian dilakukan fraksinasi dengan menggunakan tiga jenis pelarut dengan
tingkat kepolaran yang berbeda mulai dari pelarut non – polar : semi polar : polar
pada peneletian tersebut menggunakan pelarut n-heksan : etil asetat : etanol. Hasil
fraksinansi yang diperoleh dari ekstrak daun Senggani untuk farksi n-heksan
ekstrak kental yang diperoleh sebesar 9,1g maka untuk % rendemennya sebesar
30% sedangkan pada fraksi etil asetat diperoleh ekstrak kental sebanyak 7,7 g
dengan hasil % randemen sebesar 25,5% dan terakhir pada fraksi methanol
ekstrak kental yang diperoleh sebesar 30,5g maka untuk % randemen yang
didapat sebesar 44,5% dan pada pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan hasil
bahwa untuk konsentrasi pada masing – masing fraksi sebesar 8000 µg/ml
34
diketahui bahwa pada fraksi n-heksan diameter hambatnya sebesar 0 + 0
sedangkan untuk fraksi etil asetat diameter zona hambatnya sebesar 21.00 + 0,82
mm dan untuk fraksi methanol dapat menghambat bakteri sebesar 13.75+ 0,96
mm hal ini menunjukkan bahwa ekstrak dari daun Senggani memiliki potensi
sebagai antibakteri terhada pertumbuhan bakteri E. coli
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Soemari dan Magfiroh
(2016) bertujuan untuk menguji ativitas antibakteri pada ekstrak etanol 70% daun
Senggani terhadap pertumbuhan koloni bakteri pada sapi. Pada penelitian dalam
proses pengambilan senyawanya dipilih dengan metode maserasi dengan simplisia
sebanyak 500g oelarut yang digunakan etanol 70% sebanyak 5L diperoleh hasil
ekstrak kental sebanyak 102,22g dengan total randemen sebesar 20,44%. Dalam
proses pengujian aktivitas antibakteri menggunakan 4 jenis konsentrasi yaitu 5%,
10%, 15% dan 20% menunjukkan hasil bahwa pada hari ketiga jumlah koloni
bakteri yang terlihat pada kontrol negatif memiliki jumlah yang plaing banyak
yaitu sebesar 15 x 104
CFU/gsedangkan yang diberi perlakuan dengan ekstrak
etanol 70% daun senggani memberikan hasil bahwa semakin tinggi konsentrasi
daun Senggani semakin sedikit jumlah koloni bakteri yang tumbuh. Dengan hasil
yang ditunjukkan berturut – turut sebesar 8 x 104CFU/g, 6 x 10
4 CFU/g, 5x 10
4
CFU/g dan 4 x 104
CFU/g selain itu dari hasil pewarnaan menunjukkan bahwa
bakteri yang tumbuh termasuk bakteri dalam golongan basil dan kokus.
Dari kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa dengan metode fraksinasi
dapat diketahui lebih spesifik jumlah %randemen pada masing – masing fraksi
sehingga dapat diketahui pula fraksi yang paling berpotensi dalam menghambat
pertumbuhan bakteri berdasarkan tingkat kepolarannya sehingga dalam
mengetahui senyawa kimia yang memilki kemampuan dalam menghambat
pertumbuhan bakteri lebih mudah jika kemampuan dalam menghambat
pertumbuhan bakteri yang paling berpotensi pada fraksi semi polar maka senyawa
kimia yang berpotensi sebagai antibakteri adalah golongan senyawa semi polar
juga. Berbeda dengan pengujian aktivitas antibakteri yang hanya dari suatu
ekstrak dengan satu jenis pelarut hasil senyawa yang tertarik kemungkinan dalam
jumlah yang banyak karena kemungkinan senyawa polar, semi polar maupun non
polar juga tertarik.
35
2.5 Tinjauan Tentang Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
2.5.1 Pengertian Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis adalah salah satu contoh kromatografi plannar. Fase
diamnya (stationary phase) berbentuk lapisan tipis yang melekat pada gelas/kaca,
plastik, alumunium. Sedangkan fase geraknya (mobile phase) berupa cairan atau
campuran cairan. Biasanya pelarut organik dan kadang-kadang juga air. Fase diam
yang berupa lapisan tipis ini dapat dibuat dengan membentangkan/ meratakan fase
diam (adsorbent=penjerap=sorbent) diatas plat/lempeng kaca plastik ataupun
alumunium (Depkes RI, 1980). Banyak sekali keuntungan penggunaan KLT dan
salah satu keuntungannya adalah mampu memisahkan beberapa sampel secara
bersamaan, yang lebih menguntungkan dibandingkan KCKT. Densitometri
merupakan metode analisis instrumental yang didasarkan pada interaksi radiasi
elektro magnetik dengan analit yang merupakan bercak pada KLT. Densitometri
dimaksud untuk analisis kuantitatif analit dengan kadar kecil, yang sebelumnya
dilakukan pemisahan dengan KLT. KLT merupakan kromatografi sederhana
dengan bentuk kromatografi planar yang memisahkan campuran analit
berdasarkan distribusi komponen tersebut diantara 2 fase, yaitu fase diam dan fase
gerak (Ihsanto, 2009).
2.5.2 Fase Diam
Sifat fase diam yang satu dengan fase diam yang lain berbeda karena
strukturnya, ukurannya, kemurniannya, zat tambahan sebagai pengikat dll. Fasa
diam yang digunakan TLC tidak sama dengan yang digunakan untuk kromatografi
kolom, terutama karena ukuran dan zat yang ditambahkan (Depkes RI, 1980).
2.5.3 Fase Gerak
Fase gerak atau eluen adalah pelarut yang dipakai dalam proses
migrasi/pergerakan dalam membawa komponen-komponen zat sampel atau fasa
yang bergerak melalui fasa diam dan membawa komponen-komponen senyawa
yang akan dipisahkan.Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut
yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan
resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut,
polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel (Johnson, 1991).Fase
gerak yang biasanya digunakan adalah pelarut organik. Dapat digunakan satu
36
macam saja pelarut organik ataupun campuran. Bilamana fase gerak merupakan
campuran pelarut organik dengan air maka mekanisme pemisahan adalah partisi.
Pemilihan pelarut organic ini sangat penting karena akan menentukan
keberhasilan pemisahan. Pendekatan polaritas adalah yang paling sesuai untuk
pemilihan pelarut. Senyawa polar akan mudah terelusi oleh fase gerak yang
bersifat polar dari pada fase gerak yang bersifat nonpolar. Sebaliknya senyawa
non polar akan mudak terelusi oleh fase gerak non polar dari pada fase gerak
polar.
Dalam kromatografi cair komposisi pelarut atau fase gerak adalah satu
variabel yang mempengaruhi pemisahan. Terdapat keragaman yang luas dari fase
gerak yang digunakan dalam semua mode KCKT, tetapi ada beberapa sifat-sifat
yang diinginkan yang mana umumnya harus dipenuhi oleh semua fase gerak.
Fase gerak harus (Depkes RI, 1980):
a. Murni; tidak ada pencemar/kontaminan
b. Tidak bereaksi dengan pengemas
c. Sesuai dengan detektor
d. Melarutkan cuplikan
e. Mempunyai viskositas rendah
f. Mudah rekoveri cuplikan, bila diinginkan
g. Tersedia diperdagangan dengan harga yang pantas.
2.5.4 Prinsip Kromatografi Lapis Tipis ( KLT )
Kromatografi lapis tipis digunakan pada pemisahan zat secara cepat, dengan
menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata pada
lempeng kaca. Lempeng yang dilapis, dapat dianggap sebagi “kolom kromatografi
terbuka” dan pemisahan didasarkan pada penyerapan, pembagian, atau
gabungnya, tergantung dari jenis zat penyerap dan cara pembuatan lapisan zat
penyerap dan jenis pelarut. Kromatografi lapis tipis dengan penyerap dan jenis
pelarut. Kromatografi lapis tipis dengan penyerap penukar ion dapat digunakan
untuk pemisahan. Senyawa polar. Harga Rf yang diperoleh pada kromatografi
lapis tipis, tidak tetap jika dibandingkan dengan yang diperoleh pada kromatografi
kertas. Karena itu pada lempeng yang sama disamping kromatogram dari zat
pembanding kimia, lebih baik dengan kadar yang berbeda – beda. Perkiraan
37
identifikasi diperoleh dengan pengamatan 2 bercak dengan harga Rf dan ukuran
yang lebih kurang sama. Ukuran dan itensitas bercak dapat digunakan untuk
memperkirakan kadar. Penetapan kadar yang lebih teliti dapat dilakukan dengan
cara spektrofotometri. Pada kromatografi lapis tipis dua dimensi, lempeng yang
telah dieluasi diputar 90° dan dieluasi lagi, umumnya menggunakan bejana lain
yang berisi pelarut lain (Depkes RI, 1980).
Prinsip kerja KLT adalah dengan menotolkan cuplikan atau sampel pada
lempeng KLT, kemudian lempeng dimasukkan kedalam wadah berisi fase gerak,
sehingga komponen-komponen dalam sampel tersebut terpisah. Komponen yang
mempunyai afinitas besar terhadap fase gerak atau afinitas yang lebih kecil
terhadap fase diam akan bergerak lebih cepat dibanding komponen dengan sifat
sebaliknya (Ihsanto, 2009).Pada prinsipnya pemisahan KLT diusahakan dilakukan
dalam keadaan netral (Surya, 2011). KLT dapat digunakan untuk tujuan preparatif
dan kuantitatif, meskipun KLT kuantitatif kurang teliti bila dibandingkan dengan
sistem kromatografi lainnya. Sistem KLT telah banyak digunakan untuk analisis
obat dan senyawa bahan alam. Analisis kualitatif pada KLT menggunakan nilai
Rf. Dua senyawa dikatakan identik bila mempunyai nilai Rf yang sama dengan
dan diukur pada kondisi KLT yang sama. Analisis kuantitatif pada KLT didukung
dengan teknik densitometri. Untuk menguji validitas dari metode ini dilakukan
pengujian antara lain uji akurasi dengan parameter % perolehan kembali (%
recovery), uji presisi dengan parameter simpangan baku (SD) dan koefisien
variasi (KV) (Rofita, 2009).
38
2.5.5 Indeks Polaritas
Polaritas sering diartikan sebagai adanya pemisahan kutub bermuatan positif
dan negatif dari suatu molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasi tertentu
dari atom-atom penyusunnya. Dengan demikian, molekul tersebut dapat tertarik
oleh molekul yang lain yang juga mempunyai polaritas yang kurang lebih sama.
Besarnya polaritas dari suatu pelarut proporsional dengan besarnya konstanta
dielektriknya (Adnan 1997). Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka,
tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya
sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena
daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa
sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal (Gholib, 2007).
Kemampuan suatu analit terikat pada permukaan silika gel dengan adanya
pelarut tertentu dapat dilihat sebagai pengabungan 2 interaksi yang saling
berkompetisi. Pertama, gugus polar dalam pelarut dapat berkompetisi dengan
analit untuk terikat pada permukaan silika gel. Dengan demikian, jika pelarut
yang sangat polar digunakan, pelarut akan berinteraksi kuat dengan permukaan
silika gel dan hanya menyisakan sedikit tempat bagi analit untuk terikat pada
silika gel. Akibatnya, analit akan bergerak cepat melewati fasa diam dan keluar
dari kolom tanpa pemisahan. Dengan cara yang sama, gugus polar pada pelarut
dapat berinteraksi kuat dengan gugus polar dalam analit dan mencegah interaksi
analit pada permukaan silika gel. Pengaruh ini juga menyebabkan analit dengan
cepat meninggalkan fasa diam. Kepolaran suatu pelarut yang dapat digunakan
untuk kromatografi dapat dievaluasi dengan memperhatikan tetapan dielektrik (ε)
dan momen dipol (δ) pelarut. Semakin besar kedua tetapan tersebut, semakin
polar pelarut tesebut. Sebagai tambahan, kemampuan berikatan hidrogen pelarut
dengan fasa diam harus dipertimbangkan (Sholeh, 2009).
39
Tabel II.3Indeks polaritas pelarut (Sholeh, 2009) :
Pelarut Indeks Polaritas
Pentana 0
1,1,2-triklorotrifluoroetana 0
Siklopentana 0,1
Heptana 0,1
Heksana 0,1
Iso oktana 0,1
Petroleum eter 0,1
Sikloheksana 0,2
N-butilklorida 1.0
Toluena 2,4
Metal t-butil eter 2,5
O-xylene 2,5
Klorobenzena 2,7
o-diklorobenzena 2,7
Etil eter 2,8
Diklorometana 3,1
Etilen diklorida 3.5
N-butil alkohol 3,9
Isopropil alkohol 3,9
N-butil asetat 4.0
Isobutyl alcohol 4.0
Metal isoamil keton 4.0
N-propoil alcohol 4.0
Tetrahidrofuran 4.0
Kloroform 4,1
Metal isobutyl keton 4,2
Etil asetat 4,4
Metal n-propil ketone 4,5
Metal etil ketone 4,7
40
2.6 Tinjauan Tentang Pelarut
2.6.1 Pengertian Pelarut
Pelarut adalah benda cair atau gas yang melarutkan benda padat, cair, atau
gas, yang menghasilkan sebuah larutan (Guenther, 1987). Pelarut merupakan
salah satu faktor yang sangat mempengaruhi proses ekstraksi. Pelarut yang
digunakan dalam proses ekstraksi adalah pelarut yang baik yang dapat
memisahkan senyawa yang diinginkan dari bahan dan senyawa kandungan lain.
Pelarut diinginkan yang dapat melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang
terkandung (Depkes RI, 2000). Pemilihan pelarut pada umumnya dipengaruhi
oleh faktor-faktor antara lain (Susanti et al., 2012) :
1. Selektivitas Pelarut dapat melarutkan semua zat yang akan diekstrak dengan
cepat dan sempurna
2. Titik didih pelarut harus mempunyai titik didih yang cukup rendah sehingga
pelarut mudah diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi pada proses
pemurnian dan jika diuapkan tidak tertinggal dalam minyak.
3. Pelarut tidak larut dalam air.
4. Pelarut bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen lain.
5. Harga pelarut semurah mungkin.
6. Pelarut mudah terbakar.
Pelarut minyak atau lemak yang biasa digunakan dalam proses ekstraksi
antara lain (Susanti et al., 2012) :
1. Etanol sering digunakan sebagi pelarut dalam laboratorium karena
mempunyai kelarutan yang relatif tinggi dan bersifat inert sehingga tidak
bereaksi dengan komponen lainnya. Etanol memiliki titik didih yang rendah
sehingga memudahkan pemisahan minyak dari pelarutnya dalam proses
distilasi.
2. n-Heksana merupakan pelarut yang paling ringan dalam mengangkat
minyak yang terkandung dalam biji–bijian dan mudah menguap sehingga
memudahkan untuk refluk. Pelarut ini memiliki titik didih antara 65–70ºC.
3. Etil asetat merupakan jenis pelarut yang bersifat semi polar. Pelarut ini
memiliki titik didih yang relatif rendah yaitu 77ºC sehingga memudahkan
pemisahan minyak dari pelarutnya dalam proses destilasi.
41
2.6.1.1 n-heksana
Heksana adalah suatu hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H14.
Heksana merupakan hasil refining minyak mentah. Komposisi dan fraksinya
dipengaruhi oleh sumber minyak. Seluruh isomer heksana dan sering digunakan
sebagai pelarut organik yang bersifat inert karena non-polarnya. Rentang kondisi
distilasi yang sempit, maka tidak perlu panas dan energi tinggi untuk proses
ekstraksi minyak (Utomo, 2017). n-heksan merupakan pelarut non-polar sehingga
dalam penggunaannya hanya dapat melarutkan senyawa – senyawa non-polar saja
(Romadanu et al., 2014). Dalam beberapa penelitian yang dilakukan dengan
menggunakan pelarut n-heksan menunjukkan bahwa n-heksan mampu menarik
golongan senyawa flavonoid (Mu’awwanah et al., 2015). Selain itu juga mampu
menarik senyawa golongan triterpenoid ,steroid (Prabowo et al., 2014) serta tanin
yang terdapat didalam ekstrak tanaman (Romadanu et al., 2014 ).
Top Related