BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Makanan
Berdasarkan definisi dari WHO di dalam (Chandra, 2006), makanan adalah
semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan, dan
substansi-substansi lain yang digunakan untuk pengobatan. Makanan merupakan
salah satu bagian yang penting untuk kesehatan manusia mengingat setiap saat dapat
saja terjadi penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh makanan. Terdapat 2 faktor yang
menyebabkan suatu makanan menjadi berbahaya bagi manusia, antara lain:
1. Kontaminasi
Kontaminasi pada makanan dapat disebabkan oleh:
a) Parasit, misalnya cacing dan amuba.
b) Golongan mikroorganisme, misalnya Salmonella dan Shigella.
c) Zat kimia, misalnya bahan pengawet dan pewarna.
d) Bahan-bahan radioaktif, misalnya kobalt dan uranium.
e) Toksin atau racun yang dihasilkan oleh mikroorganisme, seperti
Staphilococcus dan Clostridium botulinum.
2. Makanan yang pada dasarnya telah mengandung zat berbahaya, tetapi tetap
dikonsumsi manusia karena ketidaktahuan mereka dapat dibagi menjadi 3
golongan:
a) Secara alami makanan itu memang telah mengandung zat kimia beracun,
misalnya, singkong yang mengandung HCN, ikan dan kerang yang
Universitas Sumatera Utara
mengandung unsur toksik tertentu (logam berat, misalnya Hg dan Cd)
yang dapat melumpuhkan sistem saraf dan napas.
b) Makanan dijadikan sebagai media perkembangbiakan sehingga dapat
menghasilkan toksin yang berbahaya bagi manusia, misalnya dalam kasus
keracunan makanan akibat bakteri (bacterial food poisoning).
c) Makanan sebagai perantara. Jika suatu makanan yang terkontaminasi
dikonsumsi manusia, di dalam tubuh manusia agent penyakit pada
makanan itu memerlukan masa inkubasi untuk berkembang biak dan
setelah beberapa hari dapat mengakibatkan munculnya gejala penyakit.
Contoh penyakitnya antara lain Typhoid abdominalis dan Disentri basiler.
2.2. Higiene dan Sanitasi Makanan
Di samping aspek-aspek biologis, teknologis, komersial dan hukum, setiap
produk pangan yang diproduksi dan diperdagangkan wajib pula memenuhi
persyaratan higienis agar produk itu tidak mengandung bahan yang akan
membahayakan kesehatan konsumen (Ilyas, 1993). Berdasarkan Kepmenkes RI
No.942/Menkes/SK/VII/2003, higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan
faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat
menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan.
Menurut Chandra (2006), sanitasi makanan adalah upaya-upaya yang ditujukan
untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak menimbulkan bahaya keracunan
dan penyakit pada manusia. Dengan demikian, tujuan sebenarnya dari upaya sanitasi
makanan, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
1. Menjamin keamanan dan kebersihan makanan.
2. Mencegah penularan wabah penyakit.
3. Mencegah beredarnya produk makanan yang merugikan masyarakat.
4. Mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan pada makanan.
2.3. Bahan Tambahan Pangan
Menurut FAO bahan tambahan pangan adalah senyawa yang sengaja
ditambahkan ke dalam makanan dengan jumlah dan ukuran tertentu dan terlibat
dalam proses pengolahan, pengemasan, dan atau penyimpanan. Bahan ini berfungsi
untuk memperbaiki warna, bentuk, citarasa, dan tekstur, serta memperpanjang masa
simpan, dan bukan merupakan bahan utama (Saparinto, 2006).
Bahan tambahan makanan yang digunakan diizinkan karena tidak berbahaya
atau aman bagi kesehatan sesuai Undang-Undang RI No.7 Tahun 1996 tentang
Pangan. Pemakaian bahan tambahan makanan memberikan keuntungan besar bagi
industri makanan. Salah satunya adalah makanan menjadi tidak cepat rusak atau
busuk karena makanan menjadi lebih awet (Widyaningsih, 2006). Namun,
penggunaan bahan tambahan pangan dapat merugikan kesehatan. Penyalahgunaan
bahan pewarna tekstil dan kertas untuk pangan, bahan pengawet yang berlebihan,
penggunaan bungkus bekas pestisida, kesalahan penggunaan bahan karena kesalahan
label seperti tertukarnya bikarbonat dengan nitrit merupakan kecerobohan yang
sebenarnya dapat dihindarkan (Baliwati, 2004).
Bahan tambahan makanan di dalam (Widyaningsih, 2006) adalah bahan yang
ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil, dengan tujuan
untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur, flavor, dan memperpanjang daya
Universitas Sumatera Utara
simpan. Selain itu, juga dapat meningkatkan nilai gizi seperti protein, mineral, dan
vitamin. Jenis-jenis bahan tambahan makanan yang sering digunakan adalah bahan
pengawet, pewarna, pemanis, antioksidan, pengikat logam, pemutih, pengental,
pengenyal, emulsifier, buffer (asam, alkali), zat besi, flavoring agent, dan sebagainya.
2.4. Bahan Pengawet
2.4.1. Pengertian Bahan Pengawet Makanan
Menurut Permenkes RI No.722/Menkes/Per/IX/1988, salah satu bahan
tambahan pangan yang diizinkan digunakan pada makanan diantaranya pengawet
yaitu untuk memperpanjang masa simpan suatu makanan. Sebagian besar kerusakan
bahan makanan, khususnya hasil olahan, disebabkan oleh aktivitas mikroba yang
memanfaatkan bahan makanan untuk metabolismenya. Bahan pengawet bersifat
menghambat atau mematikan pertumbuhan mikroba penyebab kerusakan ini sehingga
sering juga disebut dengan senyawa antimikroba.
Pengawetan dan pengolahan bertujuan mengurangi kerugian fisik, gizi, dan
ekonomi, dengan mengurangi limbah dan memanfaatkannya, dan dengan
meningkatkan daya simpan dan nilai tambah (Ilyas, 1993). Jenis bahan pengawet
diantaranya asam benzoat, asam propionat, asam sorbat dan garamnya, nitrat, nitrit,
sulfur dioksida, nipagin, nipasol (Baliwati, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.4.2. Teknik Pengawetan Makanan
Secara garis besar teknik pengawetan dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu
pengawetan secara alami, pengawetan secara biologis, dan pengawetan secara kimia
(Pratiwi, 2008).
1. Pengawetan Secara Alami
Proses pengawetan secara alami meliputi proses pemanasan dan pendinginan.
Teknik liofilisasi atau teknik pengeringan beku yang diperkenalkan oleh Perlman dan
Kikuchi (1977) dan Heckly(1978) merupakan teknik preservasi (pengawetan) yang
sangat terkenal dan biasa digunakan untuk mikroorganisme dengan kisaran yang luas.
2. Pengawetan Secara Biologis
Proses pengawetan secara biologis dapat dilakukan dengan fermentasi
(peragian), yaitu proses perubahan karbohidrat menjadi alkohol. Zat-zat yang bekerja
pada proses ini adalah enzim yang dibuat oleh sel-sel ragi. Lamanya proses peragian
tergantung pada bahan yang akan diragikan.
3. Pengawetan Secara Kimia
Pada proses pengawetan secara kimia, digunakan bahan-bahan kimia yang
bersifat dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Sebagai contoh adalah
penggunaan gula pasir, garam dapur, nitrat, nitrit, natrium benzoat, asam propionat,
asam sitrat, garam sulfat, dan lain-lain. Proses pengasapan juga termasuk cara kimia,
sebab bahan-bahan kimia dalam asap dimasukkan ke dalam bahan makanan yang
akan diawetkan.
Universitas Sumatera Utara
2.4.3. Manfaat Pengawetan Makanan
Menurut Chandra (2006), adapun manfaat yang dapat kita peroleh dalam
upaya pengawetan makanan, antara lain:
1) Segi ekonomi
Makanan yang diawetkan dapat dikonsumsi atau dijual ke tempat-tempat yang
jauh kapan saja dan tanpa mengurangi kualitas makanan. Dengan begitu,
kelebihan makanan di suatu daerah dapat diperluas pemasarannya, tanpa terikat
oleh waktu.
2) Mempermudah transportasi
Di Indonesia yang beriklim tropis, makanan mudah sekali membusuk. Dengan
adanya pengawetan, makanan dapat dipertahankan atau diolah dengan cara lain
sehingga dapat dibeli dengan mudah dan tidak berbahaya serta dapat menghemat
biaya transpor.
3) Mudah dihidangkan
Sebagian makanan yang telah diawetkan siap dihidangkan karena bagian yang
tidak diperlukan telah dibuang. Dengan begitu, untuk pola kehidupan masyarakat
yang telah maju, masalah kendala waktu dapat diatasi.
4) Bermanfaat dalam keadaan tertentu
Misalnya dalam kejadian bencana alam, kelaparan, pengungsian, dan kondisi
genting lainnya, bantuan makanan yang telah diawetkan dapat segera didatangkan
dari daerah lain.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Pemanfaatan Chitosan dari Cangkang Udang Sebagai Pengawet Makanan
2.5.1. Produksi Udang (Litopenaeus vannamei)
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman
hayati tertinggi di dunia. Namun, kekayaan keanekaragaman hayati yang kita miliki
hingga saat ini belum dimanfaatkan secara optimal (Sugandhy, 2009). Saat ini
budidaya dengan tambak telah berkembang dengan pesat karena udang merupakan
komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non migas dan
merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi (Kaban, dkk.,
2006).
Dalam perkembangannya, Indonesia memasukkan udang vannamei
(Litopenaeus vannamei) sebagai salah satu jenis udang budidaya tambak, selain
udang windu (Penaeus monodon) dan udang putih/udang jrebung (Penaeus
merguiensis) yang sudah terkenal lebih dahulu (Amri, 2008). Udang windu saat ini
tidak berkembang lagi karena terserang berbagai macam penyakit udang diantaranya
yang ganas adalah white spot atau virus bintik putih. Petambak udang di Indonesia
saat ini banyak memelihara udang putih (Pennaeus vannamei) (Anonimous, 2009).
Setelah melalui serangkaian penelitian dan kajian akhirnya melalui SK
Menteri Kelautan dan Perikanan RI No.41/2001 pemerintah secara resmi melepas
udang vannamei sebagai varietas unggul untuk dibudidayakan petambak di tanah air
pada tanggal 12 Juli 2001 (Amri, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Berikut tata nama udang vannamei menurut ilmu taksonomi (Haliman, 2008).
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobrachiata
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
2.5.2. Potensi Limbah Udang
Dilihat dari luar, tubuh udang terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian depan dan
bagian belakang. Bagian depan disebut bagian kepala, yang sebenarnya terdiri dari
bagian kepala dan dada yang menyatu. Oleh karena itu dinamakan kepala-dada
(cepholothorax). Bagian perut (abdomen) terdapat ekor di bagian belakangnya.
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat
dari bahan chitin (Suyanto, 2001).
Bagian kepala beratnya kurang lebih 36-49%, bagian daging antara 24-41%,
dan kulit 17-23% dari total berat badan (Purwaningsih, 2000). Limbah yang
dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang dan pengolahan
Universitas Sumatera Utara
kerupuk udang berkisar antara 30-75% dari berat udang. Dengan demikian jumlah
bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi. Limbah kulit udang
mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, chitin,
pigmen, abu dan lain-lain. Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan
masalah yang perlu dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan
nilai tambah pada usaha pengolahan udang akan tetapi juga dapat menanggulangi
masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan (Kaban, dkk., 2008).
Perkembangan teknologi dan industri yang pesat dewasa ini ternyata
membawa dampak bagi kehidupan manusia, baik dampak yang bersifat positif
maupun dampak yang bersifat negatif. Dampak yang bersifat positif memang
diharapkan oleh manusia dalam rangka meningkatkan kualitas dan kenyamanan
hidup. Dalam usahanya untuk meningkatkan kualitas hidup, manusia berupaya
dengan segala daya untuk mengolah dan memanfaatkan kekayaan alam yang ada
demi tercapainya kualitas hidup yang diinginkan. Segala macam organisme yang ada
di alam ini selalu menghasilkan limbah atau bahan buangan. Mengingat akan hal ini
maka perlu pemikiran lebih lanjut bagaimana mengurangi jumlah limbah dengan
memanfaatkan kembali limbah tersebut untuk kepentingan manusia melalui proses
daur ulang limbah (bahan buangan), sekaligus sebagai usaha untuk mengurangi
pencemaran daratan. Pemanfaatan kembali limbah ternyata banyak memberikan
keuntungan bagi kehidupan manusia. Limbah (bahan buangan) yang semula tidak
berharga, setelah dimanfaatkan kembali melalui proses daur ulang, menjadi bernilai
ekonomis (Wardhana, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Dalam industri pembekuan udang ada dua jenis limbah. Pertama adalah
limbah cair yang berupa suspensi air dan kotoran udang serta yang kedua limbah
padat yang berupa kepala udang. Limbah cair jika didiamkan akan menimbulkan bau
tidak sedap dan akan mencemari sungai atau areal persawahan yang ada di dekatnya.
Begitu juga limbah padat yang sarat akan bakteri jika didiamkan akan merupakan
sumber kontaminan yang akan mengganggu lingkungan. Limbah yang berbentuk cair
sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi. Lain halnya dengan limbah padat. Limbah ini
masih bisa dimanfaatkan menjadi produk lanjut yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi, misalnya chitin, tepung ikan untuk pakan ternak, dan flavor udang. Limbah
udang merupakan sumber yang kaya akan chitin, yaitu kurang lebih 30% dari berat
kering. Chitin dapat diproses lebih lanjut menjadi chitosan. (Purwaningsih, 2000).
2.5.3. Chitin dan Chitosan
Chitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi-β-(1→4)-D-glukopiranosa)
yang paling melimpah di alam setelah selulosa. Chitin tidak beracun dan bahkan
mudah terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan
amorf yang berwarna putih. Keberadaan chitin di alam umumnya terikat dengan
protein, mineral, dan berbagai macam pigmen (Sugita, 2009). Chitin banyak
dijumpai pada jamur, crustaceae, insecta, mollusca dan arthropoda. Dalam cangkang
udang, chitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan garam-
garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk
pigmen-pigmen (Wardaniati, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Chitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β-(1-4)-D-glukopiranosa) yang dapat
diperoleh dari deasetilasi chitin. Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang
berwarna putih kekuningan (Sugita, 2009). Untuk memperoleh chitin dari cangkang
udang melibatkan proses deproteinasi (penghilangan protein) dan demineralisasi
(penghilangan mineral). Sedangkan untuk mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan
proses deasetilasi (penghilangan gugus asetil) (Wardaniati, 2009).
Deproteinasi chitin merupakan reaksi hidrolisis dalam suasana asam dan basa.
Umumnya hidrolisis dilakukan dalam suasana basa dengan menggunakan larutan
NaOH. Demineralisasi secara umum dilakukan dengan larutan HCl atau asam lain
seperti H2SO4 pada kondisi tertentu. Keefektifan HCl dalam melarutkan kalsium 10%
lebih tinggi daripada H2SO4. Hal yang terpenting dalam tahap penghilangan mineral
adalah jumlah asam yang digunakan. Secara stoikiometri, perbandingan antara
padatan dan palarut dapat dibuat sama atau dibuat berlebih pelarutnya agar reaksinya
berjalan sempurna. Urutan deproteinasi dan demineralisasi juga berperan penting.
Deproteinasi sebaiknya dilakukan lebih dahulu jika protein yang terlarut akan
dimanfaatkan lebih lanjut. Deproteinasi pada tahap awal dapat memaksimumkan
hasil dan mutu protein serta mencegah kontaminasi protein pada proses
demineralisasi. Kandungan gugus asetil pada chitin secara teoritis ialah sebesar
21,2%. Deasetilasi secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan basa kuat
NaOH atau KOH (Sugita, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Cara pembuatan chitin dan chitosan dari cangkang udang sebagai bahan
pengawet alami pada makanan dapat dilihat melalui tahapan deproteinasi,
demineralisasi dan deasetilasi pada skema di bawah ini (Pratiwi, dkk., 2008).
a. Deproteinasi
Cangkang udang
Cuci air dingin
Cuci air panas
Dikeringkan
Diblender sampai halus
Deproteinasi Direndam dalam larutan NaOH 1M
perbandingan 1:5 (gr serbuk/ml NaOH)
diaduk 1 jam
Dipanaskan 900C selama 1 jam
Didinginkan
Dicuci dengan air sampai pH netral
dikeringkan
Universitas Sumatera Utara
b. Demineralisasi
Cangkang udang berupa serbuk hasil deproteinasi
Demineralisasi Direndam dalam larutan HCl 1M
perbandingan 1:10 (gr serbuk/ml HCl)
diaduk 1 jam
Dipanaskan 900C selama 1 jam
Didinginkan dan disaring
Dicuci dengan air sampai pH netral
dikeringkan
Chitin
Universitas Sumatera Utara
c. Deasetilasi
2.5.4. Kegunaan Chitin dan Chitosan
Saat ini aplikasi chitin dan chitosan sangat banyak dan meluas. Chitin dan
chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau
farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah,
industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain sebagainya
(Wardaniati, 2009).
Di bidang industri, chitin dan chitosan berperan antara lain sebagai koagulan
polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat dan penjerap ion logam,
Deasetilasi Direndam dalam larutan NaOH 1M
perbandingan 1:20 (gr serbuk/ml NaOH)
diaduk 1 jam
Dipanaskan 1400C selama 90 menit
Didinginkan dan disaring
dikeringkan
Chitosan
chitin
Dicuci dengan air sampai pH netral
Universitas Sumatera Utara
mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak tanin, PCB
(poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel
dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentukan film dan
membran mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil
(Sugita, 2009).
Sementara di bidang pertanian dan pangan, chitin dan chitosan digunakan
antara lain untuk pencampur ransum pakan ternak, antimikroba, antijamur, serat
bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental dan
pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi,
pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasidifikasi buah-buahan, sayuran dan
penjernih sari buah (Sugita, 2009).
Di dalam pangan chitosan dapat dijadikan sebagai bahan antimikroba untuk
memperpanjang waktu penyimpanan makanan karena chitosan mengandung enzim
lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroba (Wardaniati, 2009).
Fungsinya sebagai antimikroba dan antijamur juga diterapkan dibidang
kedokteran. Chitin dan chitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans dan
Staphvcoccus aureus. Selain itu, biopolimer tersebut juga berguna sebagai
antikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan
pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran dialisis, bahan shampoo dan
kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut
luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan,
antiinfeksi (Sugita, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.6. Pengawetan Pada Tahu
2.6.1. Asal Usul Tahu
Tahu merupakan bahan makanan sumber protein nabati yang sangat populer
setelah tempe (Widyaningsih, 2006). Tahu mengandung 7-8 gram zat protein dan 124
mg zat kalsium per 100 gram tahu. Tahu berasal dari negara Cina, yang disebut taufu.
Tahu dibuat dari kacang kedelai kuning atau dari kacang hijau (Tarwotjo, 1998).
Kacang kedelai dikenal sebagai makanan terbaik kadar proteinnya, dapat mencapai
35% daripada beratnya (Liwijaya, 2001). Tahu merupakan bahan makanan yang
sudah sejak lama dikenal masyarakat. Namun, dengan meningkatnya kasus formalin
pada makanan, ternyata formalin juga ditemukan pada tahu yang beredar di pasaran
(Widyaningsih, 2006).
Menurut Widyaningsih (2006), tahu adalah bahan pangan yang tinggi protein
dengan kadar air yang tinggi (85%) karena itu tahu tidak tahan lama. Satu hari setelah
diproduksi tahu akan mulai rusak yang ditandai dengan berbau asam dan berlendir.
Dengan merendam tahu pada air yang diberi formalin tahu akan awet sampai 7 hari.
Jadi penggunaan formalin dapat dilakukan pada proses penggumpalan dan
perendaman setelah jadi tahu. Mungkin pada proses penggumpalan di pabrik tahu
tidak menggunakan formalin seperti yang dibantah oleh produsen tahu. Namun,
pedagang juga tidak mau berisiko dagangannya rusak sebelum laku terjual. Oleh
karena itu tahu direndam pada air yang dicampuri formalin agar tahu tetap awet tidak
rusak. Perendaman tahu dengan formalin jelas tidak dapat diterima, walaupun untuk
alasan mencegah kerusakan tahu.
Universitas Sumatera Utara
2.6.2. Macam-Macam Tahu
Menurut Tarwotjo (1998), macam-macam tahu sebagi berikut.
1. Tahu putih, tebal dan halus sehingga disebut tahu sutera (silk) dan cocok untuk
dimasak sup tahu.
2. Tahu putih, tebal dan agak keras, tidak selembut jenis tahu silk sehingga cocok
untuk masakan, seperti tahu isi dan perkedel tahu.
3. Tahu yang sangat padat, tipis, dan diberi warna kuning disebut tahu cina. Banyak
digunakan dalam masakan Cina.
4. Tahu pong, bila digoreng sampai kering, bagian dalamnya kosong, rasanya gurih
dan ringan.
5. Tahu jepang, halus sekali dan lunak (silk), dibuat dari kacang hijau.
2.6.3. Proses Pembuatan Tahu
Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam
kedelai menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut larut,
diusahakan untuk diendapkan kembali dengan penambahan bahan pengendap sampai
terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu (Anonimous, 2000).
Kadang-kadang ada tahu yang terasa agak asam atau pahit. Hal ini disebabkan
pemberian batu tahu atau cuka yang kurang baik perbandingannya (Tarwotjo, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Secara garis besar, pembuatan tahu adalah sebagai berikut.
1) Pilih kedelai yang bersih, kemudian dicuci.
2) Rendam dalam air bersih selama 8 jam (paling sedikit 3 liter air untuk 1 kg
kedelai). Kedelai akan mengembang jika direndam.
3) Cuci berkali-kali kedelai yang telah direndam. Apabila kurang bersih maka tahu
yang dihasilkan akan cepat menjadi asam.
4) Tumbuk kedelai dan tambahkan air hangat sedikit demi sedikit hingga berbentuk
bubur.
5) Masak bubur tersebut, jangan sampai mengental pada suhu 700-800C (ditandai
dengan adanya gelembung-gelembung kecil).
6) Saring bubur kedelai dan endapkan airnya dengan menggunakan batu tahu
(Kalsium Sulfat = CaSO4) sebanyak 1 gram atau 3 ml asam cuka untuk 1 liter sari
kedelai, sedikit demi sedikit sambil diaduk perlahan-lahan.
7) Cetak dan pres endapan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Diagram Alir Pembuatan Tahu
Sumber: Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Anonimous, 2000.
Dicuci
Direndam (8 jam)
Dicuci
Ditiriskan
Ditumbuk
Dimasak sampai mengental
Disaring
Diendapkan dengan batu tahu atau asam cuka
Dicetak
Tahu
Air untuk rendaman (3:1)
Air hangat
Ampas tahu
Kedelai
Universitas Sumatera Utara
2.6.4. Ciri-Ciri Tahu yang Baik
Tahu yang baik adalah tahu yang berkualitas baik, bergizi dan tahan terhadap
penyimpanan. Tahu yang baik tidak cepat mengalami kerusakan yang dapat
menurunkan nilai gizi yang rendah bahkan sampai tahu tidak memenuhi syarat
sebagai makanan. Misalnya tahu cepat menjadi basi, tahu cepat menjadi bau yang
tidak disenangi, tahu cepat ditumbuhi jamur yang menghasilkan toksin/racun yang
dapat mengganggu kesehatan tubuh bagi yang memakan tahu tersebut. Faktor-faktor
yang menentukan mutu tahu adalah, kualitas kedelai yang digunakan, proses
pembuatan tahu, dan pemakaian bahan-bahan pembantu lainnya (Anonimous, 1981).
Ciri-ciri tahu yang baik adalah:
1. Berbau khas tahu dan tidak berbau asam.
2. Teksturnya padat dan tidak lunak sehingga bila diolah tidak mudah hancur.
3. Pori-porinya halus yang menandakan bahwa kualitas tahu bagus.
4. Tidak berlendir (Anonimous, 2010).
2.6.5. Ciri-Ciri Tahu yang Rusak
Umumnya tahu bersifat mudah rusak (busuk). Disimpan pada kondisi biasa
(suhu ruang) daya tahannya rata-rata 1 – 2 hari saja. Setelah lebih dari batas tersebut
rasanya menjadi asam lalu berangsur-angsur busuk, sehingga tidak layak dikonsumsi
lagi. Akibatnya banyak usaha yang dilakukan produsen tahu untuk mengawetkannya,
termasuk menggunakan bahan pengawet yang dilarang, misalnya formalin. Ciri-ciri
tahu yang mengandung formalin:
1. Tahu tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar (25 derajat Celsius) dan bertahan
lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10 derajat Celsius).
Universitas Sumatera Utara
2. Tahu terlampau keras, namun tidak padat, permukaan menjadi lebih kering.
3. Bau khas agak menyengat, bau formalin.
Dengan meningkatnya penggunaan formalin sebagai pengawet tahu, maka
dirasakan perlu untuk mencari alternatif lain yang aman untuk mengawetkan tahu
(Kusuma, 2010).
2.6.6. Pengawetan Tahu dengan Bahan Alami
Pengawetan merupakan cara untuk menghambat pertumbuhan atau
membunuh mikroorganisme. Makanan yang dimasak akan membunuh organisme
tetapi tidak dijamin menjadi awet (Mukono, 2000). Makanan yang mengandung
formalin umumnya awet dan dapat bertahan lebih lama, tetapi dapat membahayakan
dan merugikan kesehatan masyarakat. Sejak meningkatnya penggunaan formalin
pada bahan makanan sebagai pengawet maka banyak pihak yang mencari alternatif
pengganti formalin. Pengawetan tahu tanpa formalin dapat dilakukan dengan cara:
1. Tahu direndam dalam air yang diberi garam dapur 3% atau cuka 0,1% atau
campuran keduanya. Tahu akan awet sampai 3-4 hari.
2. Tahu dikukus atau direbus dan direndam dengan air perebusannya juga dapat
memperpanjang daya awetnya.
Tabel 2.1 Hasil Pengawetan Tahu Tanpa Formalin
Perlakuan Perendaman 1 hari 2 hari 3 hari
Tahu pada suhu kamar tanpa perendaman
Mulai berbau Rusak Rusak
Perendaman dengan air tidak diganti
Normal, air keruh Berbau Rusak
Perendaman dengan air dan air perendam diganti-ganti
Normal Normal Rusak
Universitas Sumatera Utara
Perendaman air dan garam 3%
Normal, air keruh Normal Mulai berbau
Perendaman air garam 3% dan cuka 0,1%
Normal Normal Normal
Pengukusan 20 menit dan direndam air panas
Normal Normal Mulai berbau
Perebusan 20 menit dan direndam air rebusan
Normal Normal Mulai berbau
Sumber: Widyaningsih, 2006
Salah satu pengawetan tahu tanpa formalin, tetapi dengan bahan alami juga
dapat dilakukan dengan cara perendaman tahu pada larutan chitosan. Aplikasi
chitosan juga sudah dilakukan peneliti dari Departemen Teknologi Hasil Perairan
(THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB)
yang telah berhasil memanfaatkan limbah dari udang dan rajungan sebagai bahan
pengawet makanan. Keunggulan penggunaan chitosan sebagai bahan pengawet ikan
berdasarkan indikator parameter daya awet hasil pengujian antara lain : (1) Pada
keefektifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap, di mana pada konsentrasi
chitosan 1,5 persen, dapat mengurangi jumlah lalat secara signifikan, (2) Pada
keunggulan dalam uji mutu hedonik penampakan dan rasa, di mana hasil riset
menunjukkan penampakan ikan asin dengan coating atau pelapisan chitosan lebih
baik bila dibandingkan dengan ikan asin tanpa formalin dan ikan asin dengan
formalin. Coating chitosan pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih baik
dibanding dengan tanpa formalin dan pelakuan formalin pada penyimpanan minggu
ke delapan, (3) Pada keefektifan dalam menghambat pertumbuhan bakteri, di mana
nilai TPC (bakteri) sampai pada minggu kedelapan perlakuan, pelapisan chitosan
masih sesuai dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) ikan asin (Anonimous, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Swastawati, dkk. (2008) telah mengawetkan ikan pindang layang dengan
larutan chitosan 0,25% sehingga masih dapat dikonsumsi sampai hari kedua.
Demikian juga Wardaniati dan Setyaningsih (2009) menggunakan larutan chitosan
untuk mengawetkan bakso dengan konsentrasi 1,5% sehingga dapat disimpan sampai
hari ketiga.
Chitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang
dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan
sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal
antara produk dan lingkungannya. Mekanisme kerja chitosan lewat dua cara. Pertama,
chitosan bisa membunuh bakteri, dengan cara mengikat organisme patogen dengan
polikation bermuatan positif. Organisme pun tidak bisa tumbuh atau bergerak. Kedua,
chitosan akan melapisi kulit luar produk yang diawetkan, sehingga rasa dari dalam
tidak bisa keluar dan kontaminan dari luar tidak bisa masuk (Swastawati, dkk., 2008).
2.7. Chitosan Tidak Berbahaya Untuk Dikonsumsi
Chitosan adalah serbuk yang dihasilkan dari deasetilasi chitin, senyawa yang
banyak diperoleh di kerangka luar (eksoskeleton) hewan Crustacea seperti udang,
kerang, dan kepiting (Rhamnosa, 2006). Serbuk yang telah dilepaskan asetilnya
merupakan zat murni, tinggi sifat basanya, serta mengandung banyak molekul
glukosa. Dalam chitosan terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh
manusia. Butylosar yang telah didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan
cairan tubuh manusia. Dengan demikian, butylosar dapat diserap oleh tubuh. Zat itu
merupakan satu-satunya selulosa yang dapat dimakan. Zat ini mempunyai muatan
Universitas Sumatera Utara
positif yang kuat, dan dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Selain itu,
zat ini mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun (Nasir, 2008).
Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi
kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam
asetat encer (1%) hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relatif lebih
aman (Wardaniati, 2009).
Masalah utama yang dihadapi dalam memproduksi chitin dan chitosan di
Indonesia adalah kualitas produk masih rendah, kontinuitas suplainya belum pasti dan
belum bisa diakses oleh semua kalangan. Selain itu banyak masyarakat yang belum
mengetahui fungsi dari chitin-chitosan (Swastawati, dkk., 2008).
Jurnal Jonathan Rhodes dan Bob Rastall menyebutkan tentang paten produk di
Rusia yang menggunakan chitosan sebagai pengawet untuk kaviar, yang dinyatakan
efektif dengan kombinasi masing-masing 0,1% chitosan dan asam sorbat (Rhamnosa,
2006). Di Indonesia produksi chitosan dalam skala relatif besar mulai diujicobakan
CV Dinar yang berlokasi di sebuah kawasan nelayan di Jl.Raya Dadap, Tangerang
Banten (Anonimous, 2006).
2.8. Kerangka Konsep
Tahu putih
Chitosan dari cangkang udang
Larutan chitosan 0 %, 0,5%, 1%,
1,5%, 2%
Waktu simpan, dilihat ciri fisik:
tekstur, bau, warna
Universitas Sumatera Utara
Top Related